Selasa, 02 November 2021

Peristiwa Keagungan Pada Bulan Dzulhijjah


Memasuki bulan Dzulhijjah artinya hari raya Idul Adha 1439 H, 10 Dzulhijjah juga semakin dekat.

Di kalender masehi akan jatuh tepat pada tanggal 22 Agustus 2018.

Pada 10 hari di awal bulan Dzulhijjah, yakni mulai 13 Agustus 2018 hingga 22 Agustus 2018, dikenal sebagai har-hari emas sepanjang tahun 2018.

Dzulhijjah adalah salah satu bulan mulia dalam kalender Islam. Banyak umat Islam yang menantikan kedatangannya, khususnya para calon jamaah haji, juga tentunya para peternak hewan qurban. Berikut ini adalah beberapa keutamaan bulan Dzulhijjah yang mesti kita ketahui dan semoga bisa memancing kita untuk melakukan banyak amal kebaikan pada bulan tersebut.

Masyarakat kita belum banyak yang menyadari bahwa Dzulhijjah termasuk bulan yang istimewa. Padahal banyak dalil yang menunjukkan bahwa di bulan Dzulhijjah, amal soleh dilipat gandakan. Sebagaimana pahala yang dijanjikan ketika ramadhan.

Al-Quran sendiri menyebutnya sebagai syahrul harom (bulan harom). Dimana pada bulan-bulan yang termasuk syahrul harom ini, yaitu bulanZulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab, umat muslim dilarang untuk berperang kecuali dalam keadaan membela diri dan benar-benar terpaksa.

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (5): 2).

Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ، شَهْرَا عِيدٍ: رَمَضَانُ، وَذُو الحَجَّةِ

”Ada dua bulan yang pahala amalnya tidak akan berkurang. Keduanya dua bulan hari raya: bulan Ramadlan dan bulan Dzulhijjah.” (HR. Bukhari 1912 dan Muslim 1089).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggandengkan bulan Dzulhijjah dengan Ramadhan. Sebagai motivasi beliau menyebutkan bahwa pahala amal di dua bulan ini tidak berkurang.

Rentang waktu yang paling mulia ketika Dzulhijjah adalah 10 hari pertama. Di surat al-Fajr, Allah berfirman:

وَ الْفَجْرِ * وَلَيَالٍ عَشْرٍ

Demi fajar, dan demi malam yang sepuluh. (QS. Al Fajr: 1 – 2)

Ibn Rajab menjelaskan, malam yang sepuluh adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Inilah tafsir yang benar dan tafsir yang dipilih mayoritas ahli tafsir dari kalangan sahabat dan ulama setelahnya. Dan tafsir inilah yang sesuai dengan riwayat dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma…” (Lathaiful Ma’arif, hal. 469)

Allah bersumpah dengan menuebut sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Yang ini menunjukkan keutamaan sepuluh hari tersebut. Karena semua makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah, adalah makhluk istimewa, yang menjadi bukti kebesaran dan keagungan Allah.

Karena itulah, amalan yang dilakukan selama 10 hari pertama Dzulhijjah menjadi amal yang sangat dicintai Allah. Melebihi amal soleh yang dilakukan di luar batas waktu itu. Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ. يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

“Tidak ada hari dimana suatu amal salih lebih dicintai Allah melebihi amal salih yang dilakukan di sepuluh hari ini (sepuluh hari pertama Dzulhijjah, pen.).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad fi sabilillah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Termasuk lebih utama dibanding jihad fi sabilillah. Kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad), dan tidak ada satupun yang kembali (mati dan hartanya diambil musuh, pen.).” (HR. Ahmad 1968, Bukhari 969, dan Turmudzi 757).

Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

“Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari & Muslim).

Lalu, peristiwa besar apa sajakah yang terjadi pada bulan ini sehingga al-Qur’an pun turut memuliakan bulan ini?...

Dalam sebuah risalah di sebutkan tentang 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah

روي عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال:

في اول يوم من ذي الحجة غفر الله فيه لآدم ومن صام هذا اليوم غفر الله له كل ذنب
و في اليوم الثاني استجاب الله لسيدنا يوسف, ومن صام هذا اليوم كمن عبد الله سنة و لم يعص الله طرفة عين
و في اليوم الثالث استجاب الله دعاء زكريا , ومن صام هذا اليوم استجاب الله لدعاه
و في اليوم الرابع ولد سيدنا عيسى عليه السلام, ومن صام هذا اليوم نفى الله عنه الياس و الفقر و في يوم القيامة يحشر مع السفرة الكرام
و في اليوم الخامس ولد سيدنا موسى عليه السلام, و من صام هذا اليوم برئ من النفاق و عذاب القبر
و في اليوم السادس فتح الله لسيدنا محمد عليه الصلاة و السلام بالخير,و من صامه ينظر الله اليه بالرحمة و لا يعذبه أبدا
و في اليوم السابع تغلق فيه أبواب جهنم, و من صامه أغلق الله له ثلاثون بابا من العسر و فتح الله له ثلا ثين بابا من الخير
و في اليوم الثامن المسمى بيوم التروية و من صامه أعطي له من الأجر ما لا يعلمه إلا الله
و في اليوم التاسع و هو يوم عرفة من صامه يغفر الله له سنة من قبل و سنة من بعد
و في اليوم العاشر يكون عيد الأضحى و فيه قربان و ذبح ذبيحة و عند أول قطرة من دماء الذبيحة يغفر الله ذنوبه وذنوب أولاده. ومن أطعم فيه مؤمنا و تصدق بصدقة بعثه الله يوم القيامة آمنا و يكون ميزانه أثقل من جبل أحد

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallaallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:

“Di hari pertama bulan Dzulhijjah Allah mengampuni Adam dan barangsiapa yang berpuasa pada hari tersebut Allah akan mengampuni seluruh dosanya”

“Di hari kedua Allah mengabulkan doa sayyidina Yusuf, dan barangsiapa yang berpuasa di hari itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah setahun penuh dan tidak bermaksiat walau sekejap mata”

“Di hari ketiga Allah mengabulkan doa Zakaria, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari itu Allah akan mengabulkan doanya”

“Di hari keempat lahir sayyidina ‘Isa ‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan menghilangkan kefakiran darinya dan pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama As Safarat Al Kiram (malaikat yang mulia –pent)

“Di hari kelima lahirlah Musa ‘alaihissalam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu ia akan dibebaskan dari sifat munafik dan adzab kubur”

“Di hari keenam Allah membukakan sayyidina Muhammad ‘alaihis sholatu wassalam kebaikan, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan melihatnya dengan rahmat-Nya dan ia tidak akan diadzab”

“Di hari ketujuh ditutup pintu-pintu jahannam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan tutup baginya 30 pintu kesulitan dan Allah bukakan baginya 30 pintu kebaikan”

“Di hari kedelapan yang disebut juga dengan hari Tarwiyah, barangsiapa berpuasa pada hari itu akan diberi balasan yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah”

“Di hari kesembilan yaitu hari Arafah barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan mengampuni dosanya selama setahun sebelumnya, dan setahun sesudahnya”

“Di hari kesepuluh yaitu Idul Adha, di dalamnya terdapat qurban, penyembelihan, dan pengaliran darah (hewan qurban), Allah akan mengampuni dosa anak-anaknya (yaitu orang yang berpuasa tadi –pent). Barangsiapa yang member makan orang mukmin dan bershadaqah Allah akan mengutus baginya pada hari kiamat, keamanan dan timbangannya lebih berat dari Gunung Uhud”

Tafsir riwayat diatas

HARI PERTAMA

Barangsiapa berpuasa pada hari tersebut maka akan diampuni segala dosanya. Hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan hari dimana Nabi Adam diampuni dosanya oleh Allah setelah melakukan sebuah kesalahan. Nabi Adam dan istrinya yakni siti Hawa diusir dari surga lantaran memakan buah terlarang. Kemudian Nabi Adam berdoa kepada Allah untuk berkenan mengampuni kesalahannya tersebut. Doa Nabi Adam tersebut termaktub dalam Al-Quran pada surat Al-A'raf ayat 23.

رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنْفُسَنَا وَ إِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَسِرِيْنَ

Artinya:
"Yaa Rabb kami, kami telah berbuat dzalim kepada diri kami sendiri. Jika Engkau tidak ampuni dan Engkau kasihi kami, maka jadilah kami orang-orang yang merugi".(Q.S. Al-A'raf: 23).

HARI KEDUA

Barangsiapa berpuasa pada hari kedua ini maka akan mendapat pahala selama satu tahun tanpa mendurhakai Allah walaupun sekejap mata. Hari kedua ini merupakan hari diterimanya doa Nabi Yunus dan dikeluarkannya dari dalam perut ikan. Doa Nabi Yunus tersebut terdapat dalam Al-Quran surat Al-Anbiya ayat 87.

لَآ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ اِنِّى كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ

Artinya:
"Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, aku termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri". (Q.S. Al-Anbiya: 87).

HARI KETIGA

Barangsiapa berdoa pada hari ketiga ini maka Allah akan mengabulkan doa yang menjadi permintaannya. Peristiwa penting yang terjadi pada hari ketiga ini adalah dikabulkannya doa Nabi Zakaria yang menginginkan seorang putera. Pada saat itu umur Nabi Zakaria sudah sangat tua yakni 90 tahun dan hampir putus asa menunggu kehadiran seorang putra hasil dari darah dagingnya sendiri. Akan tetapi setelah Nabi Zakaria mengetahui putri angkatnya yakni Maryam mendapat rezeki dari Allah yakni ia mendapatkan buah-buahan pada saat musim panas yang mana buah-buahan itu pada asalnya tumbuh hanya pada musim dingin, akhirnya Nabi Zakaria tergugah untuk berdoa kepada Allah untuk berkenan memberikan keturunan.

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلاَمٍ اسْمُهُ يَحْيَى لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

Artinya:
"Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia". (Q.S. Al-Maryam: 7).

HARI KEEMPAT

Barangsiapa berpuasa pada hari keempat ini maka Allah akan menghilangkan kesusahan dan kekafirannya, pada hari kiamat kelak ia akan dikumpulkan dengan orang-orang yang mulia. Pada hari keempat ini merupakan hari dimana dilahirkannya nabi Isa. Kelahiran Nabi Isa telah menggegerkan kaumnya, pasalnya ia lahir dari seorang yang masih perawan yakni Maryam.

HARI KELIMA

Barangsiapa berpuasa pada hari kelima ini, maka Allah akan menghindarkannya dari sifat munafik dan siksa kubur. Pada hari kelima ini merupakan hari dilahirkannya nabi Musa. Beliau dirawat oleh istri Fir'aun dan pada akhirnya beliau menentang Fir'aun karena kesombongan dan keangkuhan Fir'aun.

HARI KEENAM

Hari dimana Allah membuka pintu kebaikan pada Nabi Muhammad. Barangsiapa berpuasa pada hari keenam ini maka Allah memperhatikan kepadanya dengan rahmat dan kasih sayang.

HARI KETUJUH

Merupakan hari ditutupnya pintu-pintu Jahannam dan tidak akan dibuka hingga setelah hari kesepuluh. Barangsiapa berpuasa pada hari tersebut, maka Allah akan menghindarkan darinya 30 pintu kesukaran dan membukakan baginya 30 pintu kemudahan.

HARI KEDELAPAN

Barangsiapa berpuasa pada hari tersebut, maka Allah akan memberi pahala yang nilainya hanya Allah yang tahu. Pada hari kedelapan ini Nabi Ibrahim pernah bermimpi mendapat perintah untuk menyembelih putranya yakni Nabi Ismail. Sehari itu beliau berfikir panjang apakah perintah itu dari Allah atau syetan. Maka dari itu hari tersebut dinamakan "Hari Tarwiyyah" yang artinya hari berpikir-pikir.

HARI KESEMBILAN

Barangsiapa puasa pada hari kesembilan ini maka Allah akan mengampuni dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Pada hari kesembilan ini Nabi Ibrahim telah mengetahui bahwa bukan syetan yang menyuruh untuk menyembelih Nabi Ismail melainkan hal itu adalah perintah langsung dari Allah untuk menyembelih putranya tersebut. Karena itulah hari kesembilan ini disebut dengan hari "Arafah" yang artinya hari mengetahui. Pada hari yang sama, Allah juga menurunkan wahyu terakhir kepada Rasulullah S.A.W yaitu Q.S. Al-Maidah ayat 3, pada saat itu Abu Bakar menangis mengetahui bahwa Rasulullah telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini dan segera kembali menghadap Allah S.W.T.

HARI KESEPULUH

Hari raya Idul Adha. Barangsiapa berkurban dengan hewan Qurban, maka mulai tetesan darah yang pertama jatuh ke tanah, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan dosa-dosa keluarganya. Dan barangsiapa memberi makan orang mukmin atau bershadaqah pada hari kesepuluh ini maka Allah akan membangkitkan orang tersebut di hari kiamat dengan selamat dan timbangannya menjadi lebih berat dari gunung Uhud.

AMALAN 10 HARI YANG AWAL BULAN DZULHIJJAH DARI KITAB KANZUN NAJAH WAS SURUR

جاء في كتاب كنز النجاح والسرور فيما يقال في ايام العشر من ذي الحجه : عن العلامة الونائي رحمه الله تعالى قال في رسالته: روى الطبراني رحمه الله تعالى في معجمه الكبير عن النبي صلى الله تعالى عليه وسلم أنه قال: « من قال في عشر ذي الحجة كل يوم عشر مرات: لا إله إلا الله عدد الدهور، لا إله إلا الله عدد أمواج البحور، لا إله إلا الله عدد النبات والشجر، لا إله إلا الله عدد القطر والمطر، لا إله إلا الله عدد لمح العيون، لا إله إلا الله خيرٌ مما يجمعون، لا إله إلا الله من يومنا هذا إلى يوم يُنفخُ في الصور، غفر له ما تقدّم من ذنبه وما تأخّر». انتهى. (كتاب كنز النجاة والسرور)

Dari Al-'Allamah Al-Wanaiy -rahimahu Allah ta.ala- ia berkata dalam risalahnya : Imam Ath-Thobaroni meriwayatkan dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir dari Nabi sholla Allahu 'alaihi wa sallam bahwa sesungguhnya beliau bersabda : Barang siapa mengucapkan disepuluh hari yang awwal dari bulan dzulhijjah setiap hari 10 kali do'a

"LAA ILAAHA ILLA ALLAH 'ADADA DDUHUUR , LAA ILAAHA ILLA ALLAH 'ADADA AMWAJIL BUHUUR , LAA ILAAHA ILLA ALLAH 'ADADA NNABAATI WA SSYAJAR , LAA ILAAHA ILLA ALLAH 'ADADIL QOTHRI WAL MATHOR , LAA ILAAHA ILLA ALLAH 'ADADA LAMHIL 'UYUUN , LAA ILAAHA ILLA ALLAH KHOYRUN MIN MAA YAJMA'UUN , LAA ILAAHA ILLA ALLAH MIN YAUMINA HAADZAA ILAA YAUMI YUNFAKHU FI SSHUUR"

Arti do'a : Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak masa , Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak ombak lautan , Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak tumbuhan dan pohon , Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak tetesan dan air hujan , Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah sebanyak kedipan mata , Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan , Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah mulai hari ini sampai hari ditiupkannya terompet hari kiamat.

maka Allah mengampuni dosa yang telah lalu dan dosa yang akan datang.

Masyaallah, betapa besarnya pahala yang terkandung dalam bulan Dzulhijjah ini. Semoga sedikit ilmu ini dapat membangkitkan Ghirah (semangat) kita untuk lebih tekun beribadah mengharap ridha Allah S.W.T, lebih-lebih pada bulan Dzulhijjah ini. Mari sambut bulan ini dengan memperbaiki perkara-perkara wajib yang terkadang kita lewatkan dan mari kita hidupkan sunnah-sunnah yang telah Rasulullah S.A.W ajarkan kepada kita. Semoga Allah senantiasa mempermudah jalan kita untuk selalu berbuat kebaikan dan kebajikan di muka bumi ini, dan semoga kita semua diberi rahmat dan hidayah-Nya untuk bisa memaknai dan mengisi bulan ini dengan berbagai kebaikan.

Pembelaan Bagi Orang Yang Jadi Terdakwa


Menuduh seorang muslim dengan tuduhan keji seperti menuduh berzina, mencuri, ahlul bid’ah, penganut aliran sesat, pemecah belah umat atau tuduhan lainnya sementara tak ada bukti yang bisa ditunjukan merupakan perkara besar dengan konsekuensi yang berat.

Mencurigai keburukan seseorang tanpa bukti, saksi dan tanda-tanda yang mendasarinya adalah sesuatu yang haram, apalagi sampai menuduh tanpa bukti. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan pra-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari pra-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)

Betapa banyak orang memberikan pernyataan tentang keadaan saudaranya yang muslim itu tanpa dipikirkan lebih mendalam atau diperiksa kebenaran beritanya terlebih dahulu. Akibatnya, berbagai pembicaraan tentang keadaan seorang muslim apakah berupa aib, desas-desus  atau tuduhan keji tanpa bukti menjadi perkara yang biasa dan bahkan berkembang pesat di masyarakat kecuali mereka yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Tak heran, dalam masyarakat seperti ini ada orang yang melabeli seorang muslim yang menjauhi syirik, bid’ah dan penyimpangan lainnya sebagai orang sesat, gila dan tuduhan keji lainnya. Padahal orang yang berkomentar itu shalat saja tidak, bisa ngaji juga tidak dan hidupnya pun bergelimang dosa, kezholiman dan kelalaian.

Diriwayatkan

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ, لَادَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ, وَأَمْوَالَهُمْ, وَلَكِنِ اَلْيَمِينُ عَلَى اَلْمُدَّعَى عَلَيْهِ". مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ. وَلِلْبَيْهَقِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ : "اَلْبَيِّنَةُ عَلَى اَلْمُدَّعِي, وَالْيَمِينُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ".

Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :“Andai saja manusia selalu diberikan (dikabulkan) segala sesuatu yang mereka dakwakan, sungguh ada saja orang yang akan mendakwa darah dan harta orang lain. Akan tetapi, sumpah itu wajib bagi orang yang didakwa (jika ia mengingkarinya)”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim (muttafaqun ‘alaih). Menurut riwayat Al-Baihaqi dengan sanad shahih : “Bukti (al-bayyinah) wajib atas orang yang mendakwa (menuduh) dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkarinya (tertuduh)”.

Derajat Hadits

Tambahan dari Al-Baihaqiy sanadnya adalah shahih, sebagaimana dikatakan oleh Al-Mushannif (Ibnu Hajar) –rahimahullah – dan dihasankan oleh An-Nawawiy dalamAl-Arba’iin. Hadits ini juga dihasankan oleh Ibnush-Shalaah. Ibnu Rajab berkata : “Al-Imam Ahmad dan Abu ‘Ubaid telah berdalil dengannya. Dan mereka berdua tidaklah berdalil dengan hadits tersebut kecuali jika menurut mereka shahih dan layak dijadikan hujjah”. Kemudian Ibnu Rajab berkata : “Banyak hadits yang semakna dengannya”. Kemudian ia (Ibnu Rajab) menyebutkannya dalam Syarh Al-Arba’in.

Beberapa Faedah yang Dapat Diambil dari Hadits Ini :

1. Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan dalam hadits ini bagi siapa saja yang mendakwa orang lain dengan satu dakwaan (tuduhan), maka wajib baginya untuk mendatangkan bukti (bayyinah) atas hal itu. Apabila ia tidak mempunyai bukti yang mencukupi, wajib bagi terdakwa (tertuduh) bersumpah – untuk menolak apa-apa yang telah didakwakan kepadanya – ; yang dengan sumpah itu ia nyatakan dirinya berada di atas kebenaran.

2. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan satu hikmah tentang keberadaan bukti bagi pendakwa dan sumpah bagi yang mengingkarinya; yaitu : jika setiap orang yang mendakwa diberikan (dikabulkan) semua hal yang ia dakwakan, niscaya setiap orang yang tidak merasa dirinya diawasi oleh Allah, bebas mendakwa darah dan harta orang lain secara dusta. Akan tetapi Allah yang Maha Bijaksana dan Mengetahui membuat batasan dan hukumnya untuk mengurangi kejahatan dan meminimalisasi kedhaliman dan kerusakan.

Ibnu Daqiiqil-‘Ied berkata : “Hadits ini menunjukkan tidak diperbolehkannya satu keputusan hukum kecuali dengan undang-undang syari’at yang telah ditetapkan, meskipun perkiraan yang ada lebih condong pada kebenaran pendakwa”.

3. Sumpah itu wajib bagi terdakwa, dan bukti wajib bagi pendakwa, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Al-Baihaqiy. Hal itu disebabkan sumpah menduduki posisi yang kuat di antara dua orang yang mengajukan perkara (di depan hakim), dimana terdakwa punya posisi kuat jika pendakwa tidak mempunyai bukti (atas dakwaannya) karena hukum asalnya ia berlepas diri dari segala tuduhan. Oleh karena itu, ia cukup bersumpah saja.

Ibnul-Qayyim berkata : “Menurut sisi pandang syari’at, sumpah itu disyari’atkan bagi pihak yang terkuat dari dua orang yang berperkara. Maka siapa saja di antara dua orang tersebut lebih kuat posisinya, maka sumpah diambil dari sisinya”.

Ini adalah madzhab jumhur ‘ulama diantaranya adalah penduduk Madinah dan kalangan fuqahaa’ dari ahli hadits, seperti Ahmad, Asy-Syafi’iy, Malik, dan yang lainnya.

4. Bukti (bayyinah) menurut kebanyakan ulama adalah saksi (asy-syuhuud), sumpah (al-aimaan), dan pencabutan dakwaan (an-nukuul).

Menurut muhaqqiqiin, bukti adalah segala sesuatu yang dapat memperjelas kebenaran, berupa saksi, beberapa keterangan keadaan, dan penggambaran objek dakwaan seperti dalam kasus barang yang tercecer (luqathah).

Ibnu Rajab berkata : “Setiap barang yang tidak diklaim oleh pemiliknya, jika ada orang yang datang dengan menyebutkan ciri-cirinya yang tersembunyi, maka barang itu miliknya. Namun bila ada orang lain datang mempersengketakan barang yang ada di tangannya itu, maka barang tersebut tetap miliknya jika ia menyertakan sumpah; selama orang lain tersebut (pendakwa) tidak mendatangkan bukti yang lebih kuat darinya”.

Ibnul-Qayyim berkata : “Bukti dalam firman Allah, sabda Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan perkataan para shahabat adalah : segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. Ia lebih umum daripada bukti dalam peristilahan para fuqahaa’ dimana mereka mengkhususkannya dengan keberadaan seorang saksi atau seorang saksi plus sumpah. Tidaklah dikatakan mencukupi dalam satu peristilahan selama ia tidak mencakup firman Allah dan sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa salam. Hal itu dapat menyebabkan kekeliruan dalam memahami nash-nash dan membawa pada makna selain yang diinginkan”.

5. Hadits ini berisi kaidah agung dari kaidah-kaidah yang berkaitan dengan peradilan, yang menjadi poros bagi hukum-hukum lainnya.

6. Hadits ini mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan salah satu pokok dari pokok-pokok dalam peradilan dan hukum. Sesungguhnya keputusan hukum yang diambil di antara manusia disebabkan adanya persengketaan, dimana satu pihak mendakwakan haknya dan pihak yang lain mengingkarinya dan berlepas diri darinya.

7. Barangsiapa yang mendakwa terhadap satu barang, hutang, atau hak pada yang lainnya; dan terdakwa mengingkari dakwaan tersebut, maka pokok perkara ada pada yang mengingkari. Karena pada asalnya ia terlepas dari segala macam dakwaan (tuduhan).

Apabila pendakwa datang dengan membawakan bukti yang menetapkan haknya tersebut, maka ia adalah miliknya. Namun jika ia tidak dapat mendatangkan bukti, maka tidak ada kewajiban bagi terdakwa padanya kecuali sumpah untuk menafikkan dakwaannya itu.

8. Hadits di atas menunjukkan madzhab jumhur ulama, diantaranya Syafi’iyyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa sumpah itu ditujukan kepada terdakwa, sama saja apakah antara dia dan pendakwa pernah terjadi percampuran (pertemuan/perjumpaan) ataupun tidak.

Adapun madzhab Malikiyyah dan penduduk Madinah, termasuk di antaranya fuqahaa’ yang tujuh, menyatakan : Sesungguhnya sumpah tidaklah ditujukan kepada terdakwa, kecuali jika antara dia dan pendakwa pernah saling berjumpa. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang bodoh tidak seenaknya membuat orang-orang yang mempunyai keutamaan (ahlul-fadhl) bersumpah.

9. Orang yang mempunyai piutang atau hak yang tetap sedangkan ia dituntut untuk membuktikannya, lalu ada orang yang mendakwa bahwa tanggungannya itu (yang berupa piutang atau hak) terlepas dari dirinya dengan adanya pembayaran, penguguran hak, perdamaian, atau yang lainnya; maka pada asalnya tanggungan tersebut masih ada/berlaku. Apabila pendakwa tidak menghadirkan bukti atas adanya pembayaran (hutang) atau terlepasnya tanggungan/hak dari terdakwa, maka baginya sumpah dari terdakwa bahwa haknya (yaitu hak terdakwa) tidak hilang dan tetap ada/berlaku. Karena pada asalnya sesuatu itu tetap ada dan berlaku seperti pada awalnya.

10. Semisal dengan hal itu adalah dakwaan terhadap aib/cacat, syarat, waktu tertentu, dan bukti penguat (watsaaiq). Asal dari perkara tersebut adalah ketiadaannya sehingga tidak perlu berpegang padanya (dakwaan itu). Barangsiapa mengadakan dakwaan, maka wajib baginya mendatangkan bukti. Bila tidak terdapat bukti, maka wajib atas orang yang mengingkarinya untuk bersumpah.

11. Hadits ini merupakan pokok dalam muraafa’aat(penyelesaian perkara) dan manhaj yang telah digariskan oleh kaidah ini dalam penyelesaian dakwaan. Ia merupakan jalan yang jelas untuk mencegah berbagai dakwaan yang bathil serta menetapkan hak-hak yang benar (kepada pemiliknya).

12. Para ulama muhaqqiq berkata : Syari’at telah menjadikan sumpah sebagai sisi yang paling kuat dari pendakwa dan terdakwa. Wallaahu a’lam.

Ibnul-Mundzir berkata : Para ulama telah besepakat bahwa bukti itu wajib bagi pendakwa dan sumpah bagi orang yang mengingkarinya”.

13. Ibnu Rajab berkata dalam Syarh Al-Arba’iin : “Makna perkataan ‘bukti wajib bagi penuduh’ yaitu ia berhak dengannya dari apa yang ia dakwakan, karena bukti itu wajib untuk ia ambil (datangkan). Dan makna ‘sumpah bagi orang yang didakwa’, yaitu berlepas diri dari dakwaan, karena sumpah itu wajib ia ambil dalam setiap keadaan”.

14. Ia (Ibnu Rajab) rahimahullahu ta’ala juga berkata : “Pendakwa apabila menyertakan seorang saksi, maka ia mempunyai posisi yang kuat. Apabila ada sumpah bersama dengan keberadaan saksi itu, maka perkaranya diputuskan (dimenangkan) untuknya (pendakwa).

15. Ia (Ibnu Rajab) juga berkata : “Bukti adalah segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran dakwaan pendakwa dan bersaksi atas kebenarannya. Al-lautsdengan segala macamnya juga termasuk bukti. Saksi yang diperkuat sumpah juga termasuk bukti”.

16. Ia (Ibnu Rajab) berkata : “Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Andai saja manusia selalu diberikan (dikabulkan) segala sesuatu yang mereka dakwakan’ ; menunjukkan bahwa orang yang mendakwa dalam masalah darah dan harta harus menyertakan bukti yang menunjukkan atas dakwaannya itu. Dan masuk dalam keumuman hal itu : Bahwasannya siapa saja mendakwa seorang laki-laki yang membunuh al-muwarrits (orang yang meninggalkan harta warisan)-nya (agar ia mendapatkan harta warisannya), dan tidak ada sesuatupun (bukti pembunuhan) yang menyertai kecuali perkataan orang yang terbunuh tersebut saat menjelang kematiannya : ‘Fulan telah melukaiku’ ; maka perkataan ini tidak mencukupi sebagai bukti. Tidak pula dapat dipakai sebagai lauts. Ini adalah pendapat jumhur kecuali Malikiyyah. Mereka (Malikiyyah) menjadikan perkataan al-muwarrits sebagai lauts dan bersamaan dengan itu keluarga korban bersumpah sehingga ia berhak atas darah pembunuhan itu”.

17. Ia (Ibnu Rajab) berkata : “Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘akan tetapi, sumpah itu wajib bagi orang yang didakwa’ ; menunjukikan baha setiap orang yang didakwa dengan satu dakwaan lalu ia mengingkarinya, maka wajib baginya sumpah. Ini adalah perkataan kebanyakan fuqahaa’.

Malik berkata : ‘Sumpah itu hanya diwajibkan bagi yang mengingkari jika antara pendakwa dan terdakwa pernah saling berjumpa, karena dikhawatirkan orang-orang bodoh akan seenaknya (tidak malu) menuntut para pemimpin untuk bersumpah.

Berkata Syaikhul-Islam : “Kami pernah bersama wakil sulthan, dan aku waktu itu berada di sampingnya. Lalu tiba-tiba ada sebagian orang yang hadir mendakwa bahwasannya ia mempunyai wadii’ah (barang titipan). Ia memintaku untuk didudukkan bersamanya dan juga memintaku untuk bersumpah. Aku berkata kepada seorang hakim yang bermadzhab Malikiyyah yang kebetulan waktu itu hadir : ‘Apakah dakwaan ini dapat dibenarkan dan didengar ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’. Aku berkata : ‘Apa hukum atas perkara ini menurut madzhabmu ?’. Ia menjawab : ‘Hukum ta’zir bagi pendakwa’. Aku berkata : ‘Hukumilah berdasarkan madzhabmu’. Maka pendakwa itu diberdirikan dan dikeluarkan (dari majelis).

18. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullah berkata : “Bukti (al-bayyinah) wajib atas orang yang mendakwa (menuduh) dan sumpah wajib bagi orang yang mengingkarinya (tertuduh)’ . Perkataan ini begitu menyentuh dan lengkap yang menghimpun seluruh kejadian dan bagian-bagiannya di antara manusia dalam seluruh hak mereka. Ia merupakan pokok yang menutup/mengatasi seluruh permasalahan yang ada. Masuk dalam perkara ini :

Pertama, orang yang mendakwa satu hak kepada orang lain, kemudian orang yang didakwa itu mengingkarinya.

Kedua, orang yang telah tetap padanya satu hak, kemudian ada orang lain yang mendakwa hak itu terlepas darinya, lantas orang yang mempunyai hak itu mengingkarinya.

Ketiga, orang yang telah tetap di tangannya atas kepemilikan satu barang, kemudian ada orang lain yang mendakwa bahwa barang itu miliknya, lantas pemilik barang itu mengingkarinya.

Keempat, apabila terjadi kesepakatan antara dua orang di atas satu perjanjian (akad), dimana salah satu di antara keduanya mendakwa bahwa aqad tersebut cacat karena ada syarat yang hilang atau sejenisnya, lalu yang lainnya mengingkarinya; maka perkataan yang diambil adalah perkataan pendakwa yang mengatakan aqad itu selamat (dari cacat).

Kelima, orang yang mendakwa atas satu syarat, cacat, waktu tertentu, atau semisalnya lalu yang lain mengingkarinya; maka perkataan yang diambil adalah perkataan yang mengingkarinya.

Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhuia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِى بَيْتِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun belum masuk ke dalam hatinya janganlah menggunjing kaum muslimin dan janganlah mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka maka Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah niscaya Dia akan menyingkap aibnya meskipun dia ada dirumahnya.” (HR. Abu Dawud no. 4882)

Keutamaan Puasa Bulan Dzulhijjah


Benarkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan puasa awal Dzulhijjah, yaitu dari tanggal 1 hingga 9 Dzulhijjah?

Awal Dzulhijjah, Waktu Utama Beramal Shalih

Intinya, awal Dzulhijjah adalah waktu utama untuk beramal shalih. Di antaranya dengan banyak dzikir, bertakbir, dan termasuk pula berpuasa.

Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

Anjuran memperbanyak amal saleh itu termaktub dalam beberapa hadits. Misalnya hadits riwayat Ibnu ‘Abbas yang ada di dalam Sunan At-Tirmidzi:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر

Artinya, “Rasulullah SAW berkata: Tiada ada hari lain yang disukai Allah SWT untuk beribadah seperti sepuluh hari ini,” (HR At-Tirmidzi).

Hadits di atas menunjukkan beramal apapun di sepuluh hari pertama Dzulhijjah sangat dianjurkan. Namun kebanyakan ulama menggunakan hadits di atas sebagai dalil anjuran puasa sembilan hari pada awal Dzulhijjah. Hal ini terlihat dalam pembuatan judul bab hadits tersebut. Ibnu Majah memberi judul bab hadis di atas dengan “shiyamul ‘asyr (puasa sepuluh hari)”.

Dalam kajian hadits, pemberian judul bab sekaligus menunjukan pemahaman seorang rawi terhadap hadis yang diriwayatkan. Artinya, secara tidak langsung Ibnu Majah selaku perawi menjadikan hadits itu sebagai dalil kesunahan puasa. Karenanya, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:

واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل

Artinya, “Hadits ini menjadi dalil keutamaan puasa sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, karena puasa termasuk amal saleh.”

Kendati disebutkan puasa sepuluh hari dalam hadits di atas, ini bukan berati pada tanggal 10 Dzulhijjah juga dianjurkan puasa. Malah puasa pada tanggal itu dilarang karena bertepatan dengan ‘Idul Adha. Terkait maksud “ayyamul ‘asyr” ini, An-Nawawi sebagaimana dikutip Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan:

والمراد بالعشر ها هنا الأيام التسعة من أول ذي الحجة

Artinya, “Yang dimaksud sepuluh hari di sini ialah sembilan hari, terhitung dari tanggal satu Dzulhijjah.”

Berdasarkan pendapat An-Nawawi ini, siapapun disunahkan untuk beramal sebanyak-banyaknya di bulan Dzulhijjah khususnya puasa sembilan hari di awal bulan. Dalam hadits lain, saking penasarannya sahabat tentang keutamaan beramal sepuluh hari di bulan Dzulhijjah, mereka bertanya kepada Rasul SAW, “Apakah jihad juga tidak sebanding dengan beramal pada sepuluh hari tersebut?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali ia mengorbankan harta dan jiwanya di jalan Allah (mati syahid),” (HR Ibnu Majah).

Dengan demikian, Rasul menyetarakan pahala beramal di sepuluh hari Dzulhijjah dan mati syahid. Karena konteks negara kita bukan perperangan, dalam kondisi aman dan damai, tentu memperbanyak amal di bulan Dzulhijjah, terutama puasa, lebih diprioritaskan.

Puasa di Awal Dzulhijjah

Adapun dalil yang menunjukkan istimewanya puasa di awal Dzulhijjah karena dilakukan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diceritakan dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459)

Nabi Tidak Melakukan Puasa Awal Dzulhijjah, Benarkah?

Ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.” (HR. Muslim no. 1176).

Mengenai riwayat di atas, para ulama memiliki beberapa penjelasan.

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib. (Fathul Bari, 3: 390, Mawqi’ Al Islam)

Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah. Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah.

Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya. (Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460)

Inti dari penjelasan ini, boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya saja. Bisa diniatkan dengan puasa Daud atau bebas pada hari yang mana saja, namun jangan sampai ditinggalkan puasa Arafah. Karena puasa Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun.

Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162).

Berpuasa Selama Hari-Hari Tersebut, Atau Pada Sebagiannya, Terutama Pada Hari Arafah.
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi :

الصوم لي وأنا أجزي به ، انه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي

“Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku”.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

ما من عبد يصوم يوماً في سبيل الله ، إلا باعد الله بذلك اليوم وجهه عن النار سبعين خريف

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun”. [Hadits Muttafaqun ‘Alaih].

Dalil-dalil yang menunjukkan akan penguatan pendapat di atas adalah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ ». فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

Artinya: Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tiada hari-hari, amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini". yakni 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah, mereka (para shahabat) bertanya: "Wahai Rasulullah, dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?", beliau bersabda: "Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan apapun". HR. Bukhari.

 عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« مَا مِنْ عَمَلٍ أَزْكَى عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلاَ أَعْظَمَ أَجْراً مِنْ خَيْرٍ تَعْمَلُهُ فِى عَشْرِ الأَضْحَى ». قِيلَ : وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ :« وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ». قَالَ : وَكَانَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامُ الْعَشْرِ اجْتَهَدَ اجْتِهَاداً شَدِيداً حَتَّى مَا يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ.

Artinya: Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tiada dari amalan lebih suci di sisi Allah Azza wa Jalla dan lebih besar pahalanya dari sebuah kebaikan yang kamu kerjakan pada sepuluh hari pertama”, beliau ditanya: "Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?", beliau bersabda: "Dan tidak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dengan dirinya dan hartanya lalu ia tidak kembali dengan apapun". Beliau berkata: “ Sa’id bin Jibair jika memasuki sepuluh hari pertama Dzulhijjah, sangat bersungguh-sungguh sekali samapi-sampai tidak ada yang mampu sepertinya.” HR. Ad Darimi dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab IRwa Al Ghalil, no. 890.

Penjelasan para ulama terhadap hadits-hadits di atas:

Ibnu Hazm berkata:

 (( ونستحب صيام أيام العشر من ذي الحجة قبل النحر ، لما حدثنا . . . - ، وذكر الحديث ، ثم قال -: قال أبو محمد : وهو عشر ذي الحجة ، والصوم عمل بر ، فصوم عرفة يدخل فيه أيضا )) .

“Dan kami menganjurkan berpuasa pada sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah sebelum hari Idul Adha…”, kemudian beliau menyebutkan hadits, lalu berkata: “berkata Abu Muhammad:Ia adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan berpuasa adalah amal baik dan puasa hari Arafah masuk di dalamnya juga.” Lihat kitab Al Muhalla, 7/19.

Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:

(( وقد دل حديث ابن عباس على مضاعفة جميع الأعمال الصالحة في العشر من غير استثناء شيء منها )) .

“Dan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma telah menunjukkan atas pelipatan pahala seluruh amal-amal shalih pada sepuluh hari pertama tanpa pengecualian darinya sedikitpun.” Lihat kitab Lathaif Al Ma’arif, hal. 460.

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah:

 (( واستدل به - يعني بحديث ابن عباس - على فضل صيام عشر ذي الحجة ، لاندراج الصوم في العمل )) .

“Dan dijadikan dalil dengannya yaitu hadits Abdullah bin Abbas atas keutamaan berpuasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, karean berpuasa masuk dalam amal.” Lihat kitab Fath Al Bary, 2/534.

Berkata Asy Syaukany rahimahullah:

(( وقد تقدم في كتاب العيدين أحاديث تدل على فضيلة العمل في عشر ذي الحجة على العموم ، والصوم مندرج تحتها )) .

“Dan telah lewat di dalam kitab Al ‘Idain hadits-hadits yang menunjukkan atas keutamaan beramal di dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah secara umum, dan puasa masuk di bawahnya.” Lihat kitab Nail Al Awthar, 5/347.

Adapun bagaimana cara menanggapi perkataan Ummu Al Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, mari lihat penjelasan para ulama rahimahumullah;

Berkata An Nawawi rahimahullah:

فيتأول قولها : لم يصم العشر , أنه لم يصمه لعارض مرض أو سفر أو غيرهما , أو أنها لم تره صائماً فيه , ولا يلزم عن ذلك عدم صيامه في نفس الأمر , ويدل على هذا التأويل حديث هنيدة بن خالد عن امرأته عن بعض أزواج النبي - صلى الله عليه وسلم - قالت : كان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يصوم تسع ذي الحجة , ويوم عاشوراء , وثلاثة أيام من كل شهر : الاثنين من الشهر والخميس ) ورواه أبو داود وهذا لفظه وأحمد والنسائي وفي روايتهما ( وخميسين ) والله أعلم )

“Ditafsirkan perkataan beliau (‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) “Tidak berpuasa pada sepuluh hari Dzulhijjah”, bahwa beliau tidak berpuasa padanya karena suatu halangan sakit atau safar atau selain kedunya atau beliau tidak melihatnya sedang berpuasa di dalamnya dan tidak mengharuskan hal itu tidak berpuasanya beliau pada saat yang bersamaan, dan yang menunjukkan tafsiran ini adalah hadits Hunaidah bin Khalid ia meriwayatkan dari istrinya, meriwayatkan dari salah satu istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berpuasa pada sembilan hari (pertama-pen) Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari dari setiap bulan; hari senin dari bulan dan hari kamis”, hadits riwayat Abu Daud dan ini adalah lafazh darinya, Ahmad dan An Nasai di dalam dua riwayatnya menyebutkan “Dua hari Kamis”. Wallahu a’lam. Lihat kitab Syarah Shahih Muslim, Karya An Nawawi, 3/251.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalny rahimahullah:

[ واستدل به على فضل صيام عشر ذي الحجة لاندراج الصوم في العمل , واستشكل بتحريم الصوم يوم العيد , وأجيب بأنه محمول على الغالب , ولا يرد على ذلك ما رواه أبو داود وغيره عن عائشة قالت ( ما رأيت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - صائماً العشر قط ) لاحتمال أن يكون ذلك لكونه كان يترك العمل وهو يحب أن يعمله خشية أن يفرض على أمته , كما رواه الصحيحان من حديث عائشة أيضاً ]

“Dan dijadikan dalil dengannya yaitu hadits Abdullah bin Abbas atas keutamaan berpuasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, karean berpuasa masuk dalam amal, dan dipermasalahkan dengan pengharaman berpuasa pada hari Idul Adha, (dapat) dijawab bahwa disebutkan secara kebanyakan, dan tidak bertentangan atas itu apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan selainnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada sepuluh hari pertma Dzulhijjah.” Karena dimungkinkan itu terjadi, karena belia senantiasa meninggalkan sebuah amalan padahal beliau menyukai untuk mengamalkannya, karena takut akan diwajibkan atas umatnya, sebagaimana yang diriwayatkan dari hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga.” Lihat kitab Fath Al Bary, 2/593.

Orang yang sedang menjalankan ibadah haji tidak disunahkan menjalankan puasa tersebut karena Rasulullah saat haji juga tidak menjalankan puasa Arafah.

قال المصنف رحمه الله) ويستحب لغير الحاج ان يصوم يوم عرفة لما روى أبو قتادة قال " قال رسول الله صلي الله عليه وسلم صوم عاشوراء كفارة سنة وصوم يوم عرفة كفارة سنتين سنة قبلها ماضية وسنة بعدها مستقبلة " ولا يستحب ذلك للحاج لما روت ام الفضل بنت الحارث " ان اناسا اختلفوا عندها في يوم عرفة في رسول الله صلي الله عليه وسلم فقال بعضهم هو صائم وقال بعضهم ليس بصائم فارسلت إليه بقدح من لبن وهو واقف علي بعيره بعرفة فشرب " ولان الدعاء في هذا اليوم يعظم ثوابه والصوم يضعفه فكان الفطر افضل

Artinya, “Pengarang kitab (Al-Muhadzab) berkata, ‘Dan disunahkan bagi selain orang yang berhaji untuk puasa pada hari Arafah, karena mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Qatadah, dia berkata. Berkata Rasulullah SAW, ‘Puasa hari Asyura' bisa menghapus dosa selama setahun. Puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun. Setahun sebelumnya dan setahun yang akan datang.’"

Dan tidak disunahkan (puasa) tersebut bagi orang sedang berhaji karena berdasar pada hadis yang diriwayatkan oleh Umul Fadhl binti Haris. ‘Sesungguhnya para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut pada hari Arafah tentang apa yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Rasul dulu (saat berhaji) berpuasa sedangkan sebagian yang lain mengatakan tidak berpuasa. Lalu Umul Fadhl menghaturi Rasul segelas susu sedang beliau masih duduk di atas ontanya pada padang Arafah, lalu Rasul meminumnya. Karena berdoa pada hari ini (Arafah) adalah sangat besar pahalanya sedang puasa itu melemahkannya, maka tidak puasa itu lebih utama. (Al-Majmu', juz 6, halaman 379).

Dengan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan. Pertama, puasa sembilan hari pertama Dzulhijjah adalah sunah berdasar atas keumuman hadits Rasulullah tentang keutamaan hari-hari tersebut untuk menjalankan ibadah sunah apapun bentuknya.

Kedua, puasa tanggal sembilan Dzulhijjah atau puasa Arafah adalah kesunahan yang lebih spesifik lagi dengan pahala seperti puasa dua tahun. Setahun di masa lampau dan setahun yang akan datang.

Nyadran Dalam Pandangan Ilmu


Islam memiliki sifat-sifat dasar yaitu kesempurnaan, penuh nikmat, diridhai dan sesuai dengan fitrah. Sebagai agama, sifat-sifat ini dapat dipertanggungjawabkan dan menjadikan pengikutnya dan penganutnya tenang, selamat dan bahagia dalam menjalani segala aspek kehidupan.

Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, disetiap tempat dan di masyarakat manapun.

Di Indonesia khususnya orang jawa. Banyak sekali seni budaya, adat dan tradisi (kebiasaan) yang menyebar luas di kalangan masyarakat. Ada yang bernafaskan keislaman yang bermanfaat bagi penyebaran dan syi’ar agama Islam.

Nyadran adalah serangkaian upacara peninggalan nenek moyang yang dilakukan oleh masyarakat khususnya masyarakat jawa tengah dan jawatimur kulonan (baratnya sungai kali brantas). Nyadran sendiri berasal dari bahasa sangsekerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran merupakan tradisi pembersihan makam oleh masyarakat jawa umumnya di pedesaan. Dalam bahasa jawa sendiri nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bungan, dan mempunyai puncak berupa kenduri selamatan makam leluhur.

Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke- 10 pada bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga talasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang di ziarahi. Para masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan sekitar kuburan.

Bulan sya’ban merupakan bulan yang mulia dan istimewa,dimana selama satu tahun amal manusia dilaporkan ke hadzirat ilahi Robbi.dinamakan bulan sya’ban karena dimana setiap amal kebaikan satu akan dilipat gandakan.Rosululloh sendiri memperbanyak amal dan melakukan puasa sebulan penuh.Yahya bin muadz berkata:sya’ban itu mempunyai lima huruf,dan ALLOH akan memberi tiap huruf pada orang yang mau memuliakannya. syin artinya syafaat,ain artinya mulia ba’ artinya kebaikanalif artinya rukun dan nun artinya cahaya.dengan demikian maka bulan rojab adalah bulan membersihkan badan,bulan sya’ban adalah bulan membersihkan hati dan bulan romadhon adalah bulan membersihkan ruh.sesungguhnya orang yang membersihkan badan dibulan rojab,maka akan bersih hatinya dibulan sya’ban,dan orang yang membersihkan hatinya di bulan sya’ban,maka akan bersih ruhnya dibulan romadhon.

Berpijak dari bulan sya’ban yang istimewa,umat islam ditanah air melakukan tradisi ruwahan (memperbanyak sedekah) sehingga bulan sya’ban dinamakan bulan ruwah.para ulama’ juga menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah pada moment-moment yang dianggap penting yang sedang dihadapi.Al-imam Al-hafidz Al-nawawi berkata;

وَقَالَ أَصْحَابُنَا : يُسْتَحَبُ الاِكْثَارُ مِنَ الصَّدَقَةِ عِنْدَ الاُمُوْرِ الْمُهِمَّةِ (شرح المنهاج ٦/٢٣٣

Para ulama’ kami berkata: disunahkan memperbanyak sedekah ketika menghadapi urusan-urusan penting.

Pada bulan sya’ban,ada pula sebagian masyarakat yang melakukan tradisi ziarah kubur yang disebagian daerah dikenal dengan tradisi “nyadran”.Rosululloh juga berziarah ke makam para sahabat di baqi’ pada malam nishfu sya’ban.

Al-imam ibnu rojab Al-hambali berkata:

         وَلَمَّا كَانَ شَعْبَانُ كَالْمُقَدِّمَةِ لِرَمَضَانَ شُرِعَ فِيهِ مَا يُشْرَعُ فِيْ رَمَضَانَ مِنَ الصِّيَامِ وَقِرَأَةُ الْقُرأَنِ لِيَحْصُلَ تَأَهَّبُ لِتَلَقِي رَمَضَانَ وَتَرْتَاضَ النَّفُوْسُ بِذٰلِكَ عَلىٰ طَاعةِ الرَّحْمٰنِ.رَوَيْنَا بِإسْنَادِ ضَعِيْفِ عَنْ اَنَاسٍ قَالَ:كَانَ المُسْلِمُوُنَ إِدَا دَخَلَ شَعْبَانُ اِنْكَبُّوْا عَلٰى الْمَصَاحِفِ فَقَرَؤُوهَا وَأَخْرَجُوا زَكَاةَ اَمْوَالِهِمْ تَقْوِيَةً لِلضَّعِيفِ وَالْمِسْكِينِ عَلٰى صِيَامِ رَمَضَانَ(الامام الحافظ ِبن رجب الحنبلى للطائف المعارف.ص ٢٥٨

Ketika bulan sya’ban itu merupakan pengantar bagi bulan romadhon,maka pada bulan sya’ban dianjurkan hal-hal yang dianjurkan pada bulan romadhon,seperti berpuasa dan membaca Al-qur’an sebagai persiapan menghadapi bulan romadhon,dan jiwa menjadi terlatih untuk taat kepada ALLOH Swt.Kami telah meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari anas yang berkata:ketika bulan sya’ban tiba,kaum muslimin biasanya menekuni mushaf dengan membaca Al-qur’an,mereka juga mengeluarkan zakat,harta benda mereka agar membantu orang yang lemah dan miskin dalam menjalani puasa romadhon (ibnu rajab al-hambali latho’if al-ma’arif hlmn 258)

Beberapa amalan Umat Islam di Jawa yang secara nama masih menggunakan bahasa Jawa namun secara subtansi telah berubah diisi dengan amalan Islami, masih saja dianggap sebagai sesuatu yang diharamkan, seperti Nyadran, Megengan, Tingkeban, Selapan atau lainnya. Padahal sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Akbar dari al-Azhar, Syaikh Jaad al-Haq menjelaskan:

العبرة فى المحرمات ليست بالأسماء، وإنما بالمسميات (فتاوى الأزهر – ج 7 / ص 210)

“Penilaian sesuatu yang diharamkan tidak terletak pada nama, namun pada subtansi isinya” (Fatawa al-Azhar 7/210)

Dalam Nyadran atau Megengan subtansinya adalah ziarah kubur, mendoakan almarhum, membaca ayat al-Quran, berbagi sedekah atas nama mayit, kesemuanya ini adalah ajaran Islam. Lalu dari segi mana yang haram dan sesat?

Rasulullah Bersedekah Makanan Atas Nama Khadijah

قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا ذَبَحَ الشَّاةَ فَيَقُولُ أَرْسِلُوا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيجَةَ . قَالَتْ فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا فَقُلْتُ خَدِيجَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنِّى قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا (رواه مسلم)

“Aisyah berkata: “Jika Rasulullah menyembelih kambing, maka beliau berkata: “Kirimkan daging-daging ini untuk teman-teman dekat Khadijah”. Aisyah berkata: “Saya memarahi Nabi di suatu hari”. Nabi bersabda: “Saya sudah diberi rezeki mencintainya” (HR Muslim)

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَفْعَلُهُ مِنْ ذَبْحِ الذَّبِيْحَةِ وَالتَّصَدُّقِ بِهَا عَنْ خَدِيْجَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بَعْدَ وَفَاتِهَا فَقَالَ: طَبْعًا هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ  نَعَمْ يُؤْخَذُ مِنْهُ اَنَّهُ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ اِمَّا بِلَحْمٍ وَاِمَّا بِطَعَامٍ وَاِمَّا بِنُقُوْدٍ اَوْ بِمَلاَبِسَ يَتَصَدَّقُ عَنِ الْمَيِّتِ هَذَا مِنَ الصَّدَقَةِ عَنْهُ اَوْ بِاُضْحِيَّةٍ عَنْهُ فِي وَقْتِ اْلاُضْحِيَّةِ هَذَا كُلُّهُ مِنَ الصَّدَقَةِ عَنِ الْمَيِّتِ يَدْخُلُ فِيْهِ (فتاوى الاحكام الشرعية رقم 9661)

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallama melakukan penyembelihan hewan dan menyedekahkannya untuk Khadijah setelah wafatnya (HR Muslim No 4464). Syaikh berkata: Secara watak ini adalah sedekah. Dari dalil ini dapat diambil kesimpulan bahwa boleh bersedekah atas nama mayit baik berupa daging, makanan, uang atau pakaian, ini adalah sedekah, atau dengan qurban saat Idul Adlha. Kesemua ini adalah sedekah atas nama mayit” (Fatawa al-Ahkam asy-Syar’iyah No 9661)

Melakukan sedekah untuk almarhum dapat dilakukan dimana pun, termasuk juga di makam, seperti yang disampaikan oleh ahli hadis al-Hafidz adz-Dzahabi bahwa seorang ulama bernama Abu al-Qasim Ismail bin Muhammad yang diberi gelar Qiwam as-Sunnah (penegak sunah) juga membawa makanan di makam:

وَسَمِعْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ (الْاِمَامِ اَبِي الْقَاسِمِ) أَنَّهُ كَانَ يُمْلِي ” شَرْحَ مُسْلِمٍ ” عِنْدَ قَبْرِ وَلَدِهِ أَبِي عَبْدِ اللهِ، فَلَمَّا كَانَ خَتْمُ يَوْمِ الْكِتَابِ عَمِلَ مَأْدَبَةً وَحَلَاوَةً كَثِيْرَةً، وَحُمِلَتْ إِلَى اْلمَقْبَرَةِ (تاريخ الإسلام للذهبي – ج 8 / ص 195)

Saya dengar lebih dari satu orang dari muridnya, bahwa Abu al-Qasim menulis Syarah Muslim di dekat makam anaknya Abu Abdillah. Ketika ia khatam menulis kitab, ia membuat makanan dan masnisan yang banyak, serta dibawa ke makam (Tarikh al-Islam, 8/195)

تاريخ الإسلام للذهبي – (ج 8 / ص 193)

إسماعيل بن محمد بن الفضل بن علي بن أحمد بن طاهر. الحافظ الكبير، أبو القاسم التيمي، الطلحي، الإصبهاني، المعروف بالحوزي، الملقب بقوام السنة.

ولد سنة سبعٍ وخمسين وأربعمائة في تاسع شوال.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِىُّ يَأْتِى مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا . وَكَانَ عَبْدُ اللهِ يَفْعَلُهُ (رواه البخارى رقم 1193 ومسلم رقم 3462)

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah Saw mendatangi masjid Quba’ setiap hari Sabtu, baik berjalan atau menaiki tunggangan. Dan Abdullah bin Umar melakukannya” (HR Bukhari No 1193 dan Muslim No 3462)

Imam an-Nawawi berkata:

فِيْهِ جَوَازُ تَخْصِيْصِ بَعْضِ الْأَيَّامِ بِالزِّيَارَةِ ، وَهَذَا هُوَ الصَّوَابُ وَقَوْلُ الْجُمْهُورِ (شرح النووي على مسلم – ج 5 / ص 62)

“Dalam hadis ini dijelaskan bolehnya menentukan sebagian hari untuk ziarah. Ini adalah pendapat yang benar dan pendapat mayoritas ulama” (Syarah Muslim 5/62)

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُوْرُ قَبْرَ أَخِيْهِ وَيَجْلِسُ عِنْدَهُ إِلاَّ اسْتَأْنَسَ بِهِ وَرَدَّ عَلَيْهِ حَتَّى يَقُوْمَ

“Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Tak seorang pun yang berziarah ke makam saudaranya dan duduk di dekatnya, kecuali ia merasa senang dan menjawabnya hingga meninggalkan tempatnya”

Al-Hafidz al-Iraqi memberi penilaian terkait status hadis ini:

قَالَ الْحَافِظُ الْعِرَاقِي أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي الدُّنْيَا فِي الْقُبُوْرِ وَفِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَمْعَانَ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى حَالِهِ وَرَوَاهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي التَّمْهِيْدِ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ نَحْوَهُ وَصَحَّحَهُ عَبْدُ الْحَقِّ اْلأَشْبِيْلِيِّ (تخريج أحاديث الإحياء 4 / 216)

“Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Qubur. Di dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Sam’an, saya tidak mengetahui perilakunya. Hadis yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr dari Ibnu Abbas dan disahihkan oleh Abdulhaqq al-Asybili” (Takhrij Ahadits al-Ihya IV/216)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ رَجُلٍ كَانَ يَعْرِفُهُ فِى الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِلاَّ عَرَفَهُ وَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ (رواه الخطيب في التاريخ 6 / 137 وابن عساكر 10 / 380 عن أبى هريرة وسنده جيد ورواه عبد الحق في الأحكام وقال : إسناده صحيح كما في القليوبي)

“Rasulullah Saw bersabda: Tidak seoramgpun yang melewati kuburan temannya yang pernah ia kenal ketika di dunia dan mengucap salam kepadanya, kecuali ia mengenalnya dan menjawab salamnya” (HR al-Khatib al-Baghdadi dalam al-Tarikh VI/137 dan Ibnu ‘Asakir X/380 dari Abu Hurairah. Dan sanadnya baik, juga diriwayatkan oleh Abdulhaqq dalam al-Ahkam, ia berkata: Sanadnya sahih)

 صحيح البخارى – (ج 14 / ص 40)

قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلُّهُنَّ فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، إِلاَّ الَّتِى كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ (رواه البخاري)

 “Tidak dilakukan oleh Rasulullah” atau “Tidak ada contoh dari Rasulullah” bukan sebuah dalil untuk melarang suatu amalan yang telah menjadi ‘ijtihad’ oleh sebagian ulama. Klaim semacam ini memang sering dijadikan alat oleh ulama Salafi-Wahabi untuk membidahkan amalan-amalan yang dilakukan oleh mayoritas uma Islam. Sebagai contoh, tidaklah ditemukan dalil bahwa Rasulullah mengkhatamkan bacaan al-Quran selama Tarawih di bulan Ramadlan, ternyata fatwa Syaikh Bin Baz, ketua Komisi Fatwa Arab Saudi berkata lain:

هذا عمل حسن فيقرأ الإمام كل ليلة جزءا…  وهكذا دعاء الختم فعله الكثير من السلف الصالح ، وثبت عن أنس – رضي الله عنه – خادم النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه فعله ، وفي ذلك خير كثير والمشروع للجماعة أن يؤمنوا على دعاء الإمام رجاء أن يتقبل الله منهم

“Mengkhatamkan al-Quran selama Tarawih bulan Ramadlan adalah amal yang baik. Imam membaca 1 juz setiap malam. Demikian halnya dengan doa khataman al-Quran dilakukan oleh banyak ulama Salaf. Dan telah menjadi riwayat yang sahih bahwa Sahabat Anas, pelayan Nabi, melakukan doa khatam al-Quran. Di dalamnya ada banyak kebaikan. Bagi jamaah disyariatkan untuk mengamini doa imam, dengan harapan Allah mengabulkan doa mereka” (Majmu’ Fatawa Bin Baz 11/388)

Rasulullah Saw, Khulafa’ al-Rasyidin dan Para Sahabat Rutin Berziarah Tiap Tahun

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)

“Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra’d 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama” (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...