Selasa, 02 November 2021

Ruwatan Dalam Pandangan Ilmu


Islam memiliki sifat-sifat dasar yaitu kesempurnaan, penuh nikmat, diridhai dan sesuai dengan fitrah. Sebagai agama, sifat-sifat ini dapat dipertanggungjawabkan dan menjadikan pengikutnya dan penganutnya tenang, selamat dan bahagia dalam menjalani segala aspek kehidupan.

Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang bisa diterapkan di setiap masa, disetiap tempat dan di masyarakat manapun.

Di Indonesia khususnya orang jawa. Banyak sekali seni budaya, adat dan tradisi (kebiasaan) yang menyebar luas di kalangan masyarakat. Ada yang bernafaskan keislaman yang bermanfaat bagi penyebaran dan syi’ar agama Islam.

Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.

YANG PERLU ATAU HARUS DI RUWAT.

Menurut kepustakaan " Pakem Ruwatan Murwa Kala " Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini ( Sri Paku Buwana V ), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang " Sukerta " ada 60 macam penyebab malapetaka, yaitu sebagai berikut :

1. Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan
2. Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3. Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan
4. Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki
5. Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi ( placenta )
6. Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar "dampit" yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ( yang lahir pada saat bersamaan )
7. Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan
8. Kendhana-Kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan
11. Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya laki-laki
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan
13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki
14. Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan
15. Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16. Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari
17. Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang
18. Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19. Jempina, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir
20. Tiba Sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21. Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22. Wahana, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah
23. Siwah atau Salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macem warna, misalnya hitam dan putih
24. Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih " bule "
25. Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
26. Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil
27. Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok
28. Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta
29. Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek
30. Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya " Candikala " yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan
31. Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas ( tikar )
32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan " Dandhang " ( tempat menanak nasi )
33. Memecahkan " Pipisan " dan mematahkan " Gandik " ( alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional
34. Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada " tutup keyongnya "
35. Orang tidur di atas kasur tanpa sprei ( penutup kasur )
36. Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang
37. Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap
38. Orang yang menempatkan barang di suatu tempat ( dandhang - misalnya ) tanpa ada tutupnya
39. Orang yang membuat kutu masih hidup
40. Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu
41. Orang yang duduk didepan ( ambang ) pintu
42. Orang yang selalu bertopang dagu
43. Orang yang gemar membakar kulit bawang
44. Orang yang mengadu suatu wadah atau tempat ( misalnya dandhang diadu dengan dandhang )
45. Orang yang senang membakar rambut
46. Orang yang senang membakar tikar dengan bambu ( galar )
47. Orang yang senang membakar kayu pohon " kelor "
48. Orang yang senang membakar tulang
49. Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus
50. Orang yang suka membuang garam
51. Orang yang senang membuang sampah lewat jendela
52. Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah ( dikolong ) tempat tidur
53. Orang yang tidur pada waktu matahari terbit
54. Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam ( wayah surup )
55. Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang ( wayah bedhug )
56. Orang yang tidur diwaktu siang hari bolong jam 12 siang
57. Orang yang menanak nasi, kemuadian ditinggal pergi ketetangga
58. Orang yang suka mengaku hak orang lain
59. Orang yang suka meninggalkan beras di dalam " lesung " ( tempat penumbuk nasi )
60. Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran " wijen " ( biji-bijian )

Demikainlah 60 jenis " Sukerta " yaitu jenis-jenis manusia yang telah dijanjikan oleh Sang Hyang Betara Guru kepada Batara Kala untuk menjadi santapan atau makananya, bahkan menurut Pustaka Raja Purwa ( jilid I halaman 194 ) karya pujangga R.Ng Ranggawarsito disebutkan ada 136 macam Sukerta. Menurut meraka yang percaya, orang-orang yang tergolong di dalam kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan diri dari malapetaka ( menjadi makanan Betara Kala ) tersebut, jika ia mempergelarkan wayangan atau ruwatan dengan cerita Murwakala. Ada juga lakon ruwatan yang misalanya : Baratayuda, Sudamala, Kunjarakarna dll.

Selain Sukerta, terdapat juga " Ruwat Sengkala atau Sang Kala " yang artinya menjadi mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum alam ( ruang dan waktu ) ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah lakunya pada masa lalu.

Diriwayatkan

وعن طارق بن شهاب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (دخل الجنة رجل في ذباب، ودخل النار رجل في ذباب) قالوا: وكيف ذلك يا رسول الله؟! قال: (مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجوزه أحد حتى يقرب له شيئاً، فقالوا لأحدهما قرب قال: ليس عندي شيء أقرب قالوا له: قرب ولو ذباباً، فقرب ذباباً، فخلوا سبيله، فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، فقال: ما كنت لأقرب لأحد شيئاً دون الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة) [رواه أحمد].

Thariq bin Syihab menuturkan bahwa Rasulullah bersabda :
“Ada seseorang masuk surga karena seekor lalat, dan ada seseorang yang masuk neraka karena seekor lalat pula.”
Para sahabat bertanya:
“Bagaimana hal itu, ya Rasulallah.
Beliau menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati suatu kaum yang mempunyai berhala, yang mana tidak seorangpun melewati berhala itu sebelum mempersembahkan kepadanya suatu kurban.
Ketika itu, berkatalah mereka kepada salah seorang dari kedua orang tersebut: “Persembahkanlah kurban kepadanya”.
Dia menjawab: “Aku tidak mempunyai sesuatu yang dapat kupersembahkan kepadanya.”Merekapun berkata kepadanya lagi: “Persembahkan, sekalipun hanya seekor lalat. Lalu orang tersebut mempersembahkan seekor lalat dan merekapun memperkenankan dia untuk meneruskan perjalanannya. Maka dia masuk neraka karenanya.
Kemudian berkatalah mereka kepada seorang yang lain: “Persembahkanlah kurban kepadanya.”Dia menjawab : Aku tidak patut mempersembahkan sesuatu kurban kepada selain Allah ‘Azza wa Jalla.” Kemudian mereka memenggal lehernya. Karenanya, orang ini masuk surga.” (HR. Ahmad)

Pada saat para wali bertabligh di Jawa, tradisi ruwatan tersebut terus berlaku di kalangan masyarakat. Oleh karena menurut hasil seleksi para wali di dalam upacara dan acara ruwatan ala Jawa tersebut ada unsur-unsur yang menyimpang dari syari’ah, dan ada juga unsur-unsur yang merusak 'aqidah. Maka dengan bijak mbah wali mencari alternatif lain dengan cara mewarnai budaya tersebut dengan amalan-amalan yang Islami.

Sewaktu ada salah satu warga masyarakat yang meminta kepada mbah wali untuk diruwat, beliau tetap melayaninya, namun dengan cara baru, yaitu :

Dalam acara ruwatan yang Islami ini, mbah Wali berinisiatif untuk melakukan amalan-amalan yang sekiranya sesuai dengan tuntunan syari’ah dan berpegang pada aqidah yang benar. Amalan-amalan tersebut antara lain :

a.    Membaca surat Yasin dengan cara berjama'ah;
b.    Membaca kalimah Thayyibah dan shalawat Nabi;
c.    Memanjatkan do'a (memohon kepada Allah SWT) agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari mara bahaya, diberi keselamatan di dunia dan akhirat;
d.    Diadakan sekedar selamatan, shadaqahan, yang dihidangkan kepada para peserta upacara ruwatan.

Hukum Ruwatan

Jika dengan Tradisi Jawa Murni

Haram bahkan bisa menyebabkan kufur, karena mengandung tawassul dengan arwah syaithoniyyah .

(مسئلة ك) جعل الوسائط بين العبد وبين ربه فإن صار يدعوهم كما يدعو الله فى الأمور ويعتقد تأثيرهم فى شيء من دون الله تعالى فهوكفر. وإن كان التوسل بهم إليه تعالى في قضاء مهماته مع اعتقاد أن الله هو النافع الضار المؤثر فى الأمور دون غيره فالظاهر عدم كفره, وإن كان فعله قبيحا.اهـ

“Menjadikan perantara antara hamba dan Tuhannya, bila pelaksanaannya seperti saat ia berdoa/memohon pada Allah akan terkabulnya keinginannya dan menyakini bahwa yang merealisasikan masalahnya juga perantara tersebut maka ia kufur karenanya, sedang bila ia menjadikan perantara pada Allah untuk memenuhi kebutuhannya dengan meyakini yang memberi manfaat serta musibah hanya Allah maka ia tidak kufur hanya saja perbuatannya tergolong jelek.”
Bughyah al-Mustarsyidiin hal 249

اما وضع الطعام والازهارفي الطرق والمزارع اوالبيوت لروح الميت وغيره في الايام المعتادة كيوم العيد ويوم العيد ويوم الجمعة وغيرهما فكل ذالك من الامورالمحرمة ومن عادة الجاهلية ومن عمل اهل الشرك اهـ

“Sedangkan meletakkan makanan dan aneka kembang dijalan raya, sawah-sawah, rumah-rumah untuk ruh orang yang telah meninggal dihari-hari tertentu yang dibiasakan seperti hari raya, hari jumah dan selainnya kesemuanya tergolong perilaku yang diharamkan, kebiasaan orang-orang jahiliyyah dan perilaku orang-orang ahli syirik.”
Siraaj al-‘Aarifiin hal 57

واتفقوا على أن ما كان من جنس دعوة الكواكب السابقة أو غيرها أو خطابها أو السجود لها والتقرب إليها بما يناسبها من اللباس والخواتم والنجوم ونحو ذلك فإنه كفر وهو أعظم أبواب الشر –إلى أن قال- ولا يجوز الإستعانة بالجن في قضاء حوائجه وامتثال أوامره وإخباره بشيء من المغيبات ونحو ذلك. اهـ

“Ulama sepakat bahwa perbuatan sejenis menyeru pada planet-planet, berkomunikasi, sujud, ibadah padanya dengan hal-hal yang layak dengannya seperti aneka pakaian, cincin, bintang-bintang maka termasuk perbuatan kufur dan tergolong paling agungnya perbuatan kotor...Dan tidak boleh meminta pertolongan pada jin untuk memenuhi keinginannya, menjalani perintah-perintahnya, mempercayai berita yang mereka bawa dari alam ghaib dan lain sebagainya.”
Ittihaaf as-Saadah al-Muttaqiin II/286

Mengenai hukum ruwatan dengan cara tradisi Jawa seperti yang tersebut dalam keterangan di atas, kiranya cukup jelas bagi kita kaum muslimin, bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena didalamnya ada unsur-unsur yang menyimpang dari ajaran agama Islam.

Nah, sekarang bagaimana hukum ruwatan yang dilaksanakan dengan mambaca surat Yasin, Sholawat Nabi, Kalimah Thoyyibah, bacaan do'a dan selamatan ala kadarnya?

Jawaban masalah tersebut, bisa diuraikan sebagai berikut:

a. Membaca surat Yasin dan sholawat Nabi dengan maksud agar tercapai apa yang dituju, terlepas dari kesulitan dan terhindar dari bermacam-macam kejahatan, hal itu termasuk amalan yang dibenarkan dalam agama kita. Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya"Idlohu Mafahimis Sunnah" menerangkan :

وَمَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ يس أَوْ غَيْرَهَا مِنَ الْقرآنِ للهِ تَعَالَى طَالِبًا الْبَرَكَةَ فِيْ الْعُمْرِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ الْمَالِ وَالْبَرَكَةَ فِيْ الصِّحَّةِ فَإِنَّهُ لاَ حَرَجَ عَلَيْهِ وَقَدْ سَلَكَ سَبِيْلَ الْخَيْرِ، بِشَرْطِ أِنْ لاَيَعْتَقِدَ مَشْرُوْعِيَّةَ ذَلِكَ بِخُصُوْصِهِ. فَلْيَقْرَأْ يس ثَلاَثًا أَوْ ثَلاَثِيْنَ مَرَّةً أَوْ ثَلاَثَمِائَةِ مَرَّةٍ بَلْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ للهِ تَعَالَى خَالِصًا لَهُ مَعَ طَلَبِ قَضَاءِ حَوَائِجِهِ وَتَحْقِيْقِ مَطَالِبِهِ وَتَفْرِيْجِ هَمِّهِ وَكَشْفِ كَرْبِهِ وَشِفَاءِ مَرَضِهِ، فَمَا الْحَرَجُ فِيْ ذَلِكَ؟ وَاللهُ يُحِبُّ مِنَ الْعَبْدِ أَنْ يَسْأَلَهُ كُلَّ شَيْءٍ حَتىَّ مِلْحَ الطَّعَامِ وَإِصْلاَحِ شِسْعِ نَعْلِهِ. وَكَوْنُهُ يُقَدِّمُ بَيْنَ يَدَيْ ذَلِكَ سُوْرَةَ يس أَوِ الصَّلاَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هُوَ إِلاَّ مِنْ بَابِ التَّوَسُّلِ بِاْلأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ وَبِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ. وَذَلِكَ مُتَّفَقٌ عَلَى مَشْرُوْعِيَّتِهِ. إهـ إيضاح مفاهيم السنة ص: 11

" Barang siapa membaca surat Yasin atau surat lain dalam Al-Qur'an karena Allah dengan niat memohon agar diberkahi umurnya, harta bendanya dan kesehatannya, hal yang demikian itu tidak ada salahnya, dan orang tersebut telah menempuh jalan kebajikan, dengan syarat jangan menganggap adanya anjuran syari'at secara khusus untuk hal itu. Silahkan orang itu membaca surat Yasin tiga kali, tiga puluh kali atau tiga ratus kali, bahkan bacalah AI-Qur'an seluruhnya secara ikhlas karena Allah serta memohon agar terpenuhi hajatnya, tercapai maksudnya, dihilangkan kesusahannya, dilapangkan kesempitannya, disembuhkan penyakitnya dan terbayar hutangnya. Maka apa salahnya amalan tersebut? Toh Allah menyukai orang yang memohon kepadaNya mengenai segala sesuatu sampai dengan urusan garam untuk dimakan atau memperbaiki tali sandal.Adapun orang tersebut sebelum berdo’a membaca surat Yasin atau membaca sholawat Nabi hal itu hanyalah merupakan tawassul dengan amal shalih dan tawassuldengan Al-Qur'an. Disyari'atkannya Tawassul ini disepakati oleh para ulama.

Syaikh Ahmad As-Showi dalam kitab tafsirnya juz III halaman 317 juga meriwayatkan sabda Nabi yang artinya:

إِنَّ فِيْ الْقُرْآنِ لَسُوْرَةً تَشْفَعُ لِقَارِئِهَا وَتَغْفِرُ لِمُسْتَمِعِهَا، أَلاَ وَهِيَ سُوْرَةُ يس. تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْمُعِمَّةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْمُعِمَّةُ؟ قَالَ تَعُمُّ صَاحِبَهَا بِخَيْرِ الدُّنْيَا وَتَدْفَعُ عَنْهُ أَهْوَالَ اْلآخِرَةِ. وَتُدْعَى أَيْضًا الدَّافِعَةَ وَالْقَاضِيَةَ. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ تَدْفَعُ صَاحِبَهَا كُلَّ سُوْءٍ وَتَقْضِيْ لَهُ كُلَّ حَاجَةٍ ..... إِلَى أَنْ قَالَ: يس لِمَا قُرِئَتْ لَهُ. وَحِكْمَةُ اخْتِيَارِ الصَّالِحِيْنَ فِي اسْتِعْمَالِهَا التَّكْرَارَ كَأَرْبَعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ أَحَدٍ وَأَرْبَعِيْنَ وَغَيْرِ ذَلِكَ شِدَّةُ الْحِجَابِ وَالْغَفْلَةِ عَلَى الْقَلْبِ، فَبِالتَّكْرَارِ تَصْفُوْ مِرْأَتَهُ وَتَرِقُّ طَبِيْعَتَهُ. إهـ تفسير صاوي جزء ثالث ص 317

''Sungguh dalam Al-Qur'an itu ada satu surat yang memberi syafa'at kepada pembacanya dan memohonkan ampunan untuk pendengarnya, ingatlah surat itu adalah surat Yasin. Dalam kitab Taurat surat ini disebut “AL –MU’IMMAH”. Ditanyakan : apa itu Al-Mu’immah Ya Rasul? Rasu!ullah menjawab : artinya surat yang bisa meliputi secara keseluruhan kabajikan di dunia dan tertolaknya kehebohan di akhirat bagi pembaca. Surat ini disebut juga “AD-DAFI'AH” dan “Al-QODLIYAH”. Ditanyakan : bagaimana demikian itu Ya Rasul ? Rasulullah menjawab : artinya surat yang melindungi dari segala keburukan dan meyebabkan tercapainya segala hajat bagi pembacanya, .... sampai dengan sabdanya : surat Yasin itu untuk apa saja yang diniatkan oleh pembacanya. Adapun hikmahnya para ulamaus Sholihin memilih membacanya dengan berulang-ulang, empat kali, tujuh kali atau empat puluh satu kali dan lain sebagainya, hal itu karena adanya penghalang dan kelalaian pada hati kita, maka dengan dibaca berulang-ulang itu kiranya bisa menjadi bersihlah cermin hati kita dan menjadi lunaklah tabi'atnya.

b.Beristighatsah dengan niat bertaqarrub dan berdo'a/ memohon kepada Allah mengenai segala urusan, baik urusan yang kecil atau yang besar, adalah termasuk hal yang diperintahkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam Tafsir Showi juz IV halaman 13 diterangkan :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ. الدُّعَاءُ فِيْ اْلأَصْلِ السُّؤَالُ وَالتَّضَرُّعُ إِلَى اللهِ تَعَالَى فِيْ الْحَوَائِجِ الدُّنْيَوِيَّةِ وَاْلأُخْرَوِيَّةِ الْجَلِيْلَةِ وَالْحَقِيْرَةِ. وَمِنْهُ مَا وَرَدَ: لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ كُلَّهَا حَتَّى فِيْ شِسْعِ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ. وَقَوْلُهُ أَسْتَجِبْ لَكُمْ أَيْ أُجِبْكُمْ فِيْمَا طَلَبْتُمْ. إهـ تفسير صاوي جزء رابع ص 13

''Dan Tuhanmu berfirman "Berdo'alah kepadaKu niscaya akan Aku perkenankan bagimu (Al-Mukmin : 60). Do'a menurut aslinya ,adalah memohon dan merendahkan diri kepada Allah SWT dalam segala kebutuhan duniawi dan ukhrowi, kebutuhan yang besar atau kecil. Ada anjuran untuk berdo'a dalam riwayat hadits : Silahkan salah satu dari kamu sekalian memohon kepada Tuhannya mengenai semua kebutuhannya sampai dengan tali sandalnya yang putus. Firman Allah: "Astajib Lakum" artinya : Aku (Allah) akan memperkenankan kamu mengenai apa yang kamu mohonkan kepadaKu.

c.Mengadakan selamatan/menghidangkan hidangan kepada para peserta upacara ruwatan dengan niat shadaqah. Hal ini juga rnengandung banyak fadlilah/keutamaan, antara lain : menyebabkan orang yang bersedekah akan terhindar dari beraneka ragam balak, mushibah dan mara bahaya. Sebagaimana hadits Nabi riwayat dari sahabat Anas, bahwa Nabi SAW bersabda :

الصَّدَقَةُ تَمْنَعُ سَبْعِيْنَ نَوْعًا مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلاَءِ. رواه الخطيب عن أنس رضي الله عنه. إهـ الجامع الصغير ص 190

“'Shodaqoh itu bisa menolak tujuh puluh macam balak (mushibah)”. HR. Khotib

فائدة من ذبح تقربا لله تعالى لدفع شر الجن عنه لم يحرم أو بقصدهم حرم (قوله فائدة من ذبح) أي شيئا من الإبل أو البقر أو الغنم (وقوله تقربا لله تعالى) أي بقصد التقرب والعبادة لله تعالى وحده وقوله لدفع شر الجن عنه علة الذبح أي الذبح تقربا لأجل أن الله سبحانه وتعالى يكفي الذابح شر الجن عنه وقوله لم يحرم أي ذبحه وصارت ذبيحته مذكاة لأن ذبحه لله لا لغيره (قوله أو بقصدهم حرم) أي أو ذبح بقصد الجن لا تقربا إلى الله حرم ذبحه وصارت ذبيحته ميتة بل إن قصد التقرب والعبادة للجن كفر كما مر فيما يذبح عند لقاء السلطان أو زيارة نحو ولي اهـ

“Faedah, barangsiapa menyembelih karena mendekatkan diri pada Allah untuk menolak gangguan jin maka tidak haram, bila penyembelihan karena murni menolak gangguan jin maka haram.(Keterangan barangsiapa menyembelih) baik unta atau lainnya dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah karena ingin menolak gangguan jin, karena Allah lah yang maha mencukupi dengan mendekatkan diri padanya lewat cara menyembelih binatang dia berharap gangguan jin dapat terhilangkan.(keterangan bila penyembelihan karena murni menolak gangguan jin) artinya penyembelihannya bertujuan menolak gangguan jin bukan mendekatkan diri pada Allah maka haram sembelihannya dan sembelihannya dihukumi bangkai bahkan bila tujuannya mendekatkan diri dan ibadah pada jin maka ia kufur seperti keterangan yang telah lewat dalam masalah menyembelih saat bertemu pemimpin atau atau ziarah semacam wali”.
I’aanah at-Thoolibiin II/349

Dengan demikian hukum ruwatan dengan membaca surat Yasin, shalawat Nabi dan lain sebagainya adalah boleh jika dimaksudkan untuk rnendekatkan diri kepada Allah dan bersih dari hal-hal yang terlarang. Bisa juga rnenjadi haram jika tidak dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mengandung larangan agama, bahkan bisa jadi kufur, jika dimaksud untuk menyembah selain Allah.

Kesimpulan hukum demikian ini, sebagaimana yang tersebut dalam hasil keputusan bahtsul masa'il NU Jatim halaman 90 :

إِنْ قُصِدَ بِتَصَدُّقِ ذَلِكَ الطَّعَامِ التَّقَرُّبَ إِلَى اللهِ لِيَكْفِيَ اللهُ شَرَّ ذَلِكَ الْجِنِّ لَمْ يَحْرُمْ، لأَنَّهُ لَمْ يَتَقَرَّبْ لِغَيْرِ اللهِ كَمَا لاَ يَخْفَى لِلْمُصَنِّفِ. وَأَمَّا إِذَا قَصَدَ الْجِنَّ فَحَرَامٌ، بَلْ إِنْ قَصَدَ التَّعْظِيْمَ وَالْعِبَادَةَ لِمَنْ ذُكِرَ، كَانَ ذَلِكَ كُفْرًا قِيَاسًا عَلَى نَصِّهَا فِي الذَّبْحِ.

''Apabila menshodaqohkan makanan tersebut dengan tujuan mendekatkan diri (taqarrub) pada Allah agar terhindar dari kejahatan jin, maka tidak haram karena tidak ada taqarrub kepada selain Allah. Apabila ditujukan pada jin, maka haram hukumnya. Bahkan apabila bertujuan mengagungkan dan menyembah pada selain Allah, maka hal itu menjadikan kufur karena diqiyaskan pada nashnya dalam masalah penyembelihan (dzabhi).

Mukmin Yang Kuat Lebih Dicintai Alloh


Nikmat agama merupakan karunia terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada siapa yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada siapa yang mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran baik atau buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.

Bentuk nikmat agama adalah iman kepada Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan yang lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih banyak mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit. Siapa yang kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya daripada yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam lingkup kebaikan.

Bertambahnya iman harus diusahan, yakni dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus dihindarkan, yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat. Berkurang dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi ukuran seseorang mulia atau tercela.  

Diriwayatkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَاَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلِّ خَيْرًا ، احرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ ، وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجَزْ ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيءٌ فَلاَ تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّ رَاللَّهُ وَمَاشَاءَ فَعَلَ ، فَإِنْ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda ‘Orang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada orang Mukmin yang lemah. Masing–masing ada kebaikannya. Bersemangatlah untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu, serta mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan menjadi orang lemah! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah mengucapkan, ‘Seandainya saya berbuat begini tentu akan terjadi begini dan begitu’ tetapi katakanlah, ‘Allah telah menakdirkannya; apa yang telah dikehendaki-Nya pasti akan terjadi, karena sesungguhnya kata ‘seandainya’ itu membuka jalan bagi setan.”

Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2664); Ahmad (II/366, 370); Ibnu Mâjah (no. 79, 4168); an-Nasâ-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 626, 627); at-Thahawi dalam Syarh Musykilil Aatsâr (no. 259, 260, 262); Ibnu Abi Ashim dalam Kitab as-Sunnah (no. 356).

Penjelasan Tafsir Hadits

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan

Hadits ini mengandung beberapa perkara besar dan kata-kata yang memiliki arti luas. Di antaranya yaitu menetapkan adanya sifat mahabbah bagi Allâh Azza wa Jalla . Sifat ini terkait dengan orang-orang yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. Hadits ini juga menunjukkan bahwa mahabbah Allâh tergantung keinginan dan kehendak-Nya. Kecintaan Allâh kepada makhluk-Nya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada Mukmin yang kuat lebih besar dari kecintaan-Nya kepada Mukmin yang lemah.

Hadits ini juga mencakup aqidah qalbiyyah (keyakinan hati), perkataan , dan perbuatan sebagaimana madzhab ahlus sunnah wal jamaah. Karena iman itu terdiri dari tujuh puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah kalimat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah yaitu menyingkirkan suatu yang mengganggu dari jalan. Dan malu itu merupakan cabang dari iman.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَلْإِيـْمَـانُ بِـضْـعٌ وَسَبْـعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَـاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْـحَيَاءُ شُعْبَـةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ

Iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman.

Cabang-cabang yang kembalinya kepada amalan-amalan bathin dan zhahir ini, semuanya termasuk bagian dari iman. Barangsiapa yang mengerjakannya dengan benar, memperbaiki dirinya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, juga memperbaiki orang lain dengan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, maka dia adalah Mukmin yang kuat. Dalam diri orang seperti ini terdapat tingkatan iman yang paling tinggi. Siapa yang belum sampai pada tingkatan ini, maka dia adalah Mukmin yang lemah.

Hadits ini sebagai dalil para Ulama salaf bahwa iman itu bisa bertambah dan berkurang, sesuai dengan kadar ilmu dan amalan-amalannya.

Setelah menjelaskan bahwa Mukmin yang kuat lebih baik daripada Mukmin yang lemah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir Mukmin yang lemah imannya merasa tercela, karena itulah beliau melanjutkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

Dan pada keduanya ada kebaikan

Dalam penggalan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Pada keduanya ada kebaikan.” ada faedah berharga, yaitu barangsiapa lebih mengutamakan seseorang atau amalan dengan yang lainnya, hendaknya dia menyebutkan sisi pengutamaannya serta berusaha menyebutkan keutamaan yang dimiliki oleh al-fâdhil (yang utama) dan al-mafdhûl (yang diutamakan atasnya), agar al-mafdhûl tidak merasa tercela.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kaum Mukmin itu berbeda-beda dalam kebaikan, kecintaannya kepada Allâh dan berbeda-beda derajatnya. Seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا

Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan [al-Ahqâf/46:19]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzhalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. [Fâthir/35:32]

Dalam ayat di atas, Allâh Azza wa Jalla membagi orang Mukmin menjadi tiga bagian :
Pertama, as-Sâbiqûna bil khairât (Golongan yang senantiasa bergegas melakukan kebaikan). Mereka ini melakukan yang wajib dan yang sunnah, meninggalkan yang haram dan makruh, menyempurnakan amalan-amalan yang dianjurkan. Mereka disebut memiliki sifat yang sempurna.

Kedua, al-Muqtashidûn (Golongan pertengahan). Yaitu mereka yang merasa cukup dengan mengerjakan yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara yang haram.

Ketiga, az-Zhâlimûna li anfusihim (Golongan yang menzhalimi diri sendiri). Yaitu mereka yang mencampur-adukkan perbuatan yang baik dengan perbuatan lain yang keji.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

اِحْـرِصْ عَـلَـى مَا يَـنْـفَـعُـكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَـعْجَـزْ

Bersungguh-sungguhlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu)

Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengandung arti luas dan penuh manfaat, mencakup kebahagiaan dunia dan akhirat. Perkara-perkara yang bermanfaat itu ada dua macam yaitu perkara yang bermanfaat dalam agama dan perkara bermanfaat dalam hal keduniaan. Seorang hamba membutuhkan kebutuhan dunyawiyyah (keduniaan) sebagaimana dia membutuhkan kebutuhan diniyyah (keagamaan). Kebahagiaan seorang hamba dan kesuksesannya sangat ditentukan oleh semangat dan kesungguhannya dalam melakukan segala yang bermanfaat dalam urusan agama dan dunianya, serta keriusannya dalam memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla . Ketika semua unsur ini sudah terpenuhi, maka itu adalah kesempurnaan baginya dan sebagai tanda kesuksesannya. Namun, ketika dia meninggalkan salah satu dari tiga perkara ini (bersemangat, bersungguh-sungguh, dan meminta pertolongan Allâh), maka dia akan kehilangan kebaikan seukuran dengan perkara yang ditinggalkannya.

Orang yang tidak bersemangat dalam meraih dan melakukan hal-hal yang bermanfaat, bahkan bermalas-malasan, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena malas itu sumber kegagalan. Orang yang malas tidak akan mendapatkan kebaikan dan kemuliaan. Orang yang malas tidak akan bernasib baik dalam agama dan dunianya.

Dan ketika dia semangat, tetapi bukan pada hal-hal yang bermanfaat, seperti bersemangat pada sesuatu yang membahayakan dan menghilangkan kebaikan, maka ujung dari kesemangatannya itu adalah kegagalan, kehilangan kebaikan, mendapatkan keburukan dan kerugian. Berapa banyak orang yang bersemangat untuk meraih dan menempuh cara-cara dan hal-hal yang tidak bermanfaat, akhirnya ia tidak mendapat faedah apapun dari kesemangatannya itu selain hanya rasa lelah, payah dan susah.

Jika ada orang menempuh jalan-jalan yang bermanfaat, bersemangat dan bersungguh-sungguh padanya, namun tidak disertai dengan keseriusannya dalam memohon pertolongan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka hasil yang akan dipetiknya tidak maksimal. Jadi benar-benar bersandar kepada Allâh Azza wa Jalla dan memohon pertolongan kepada-Nya bertujuan agar bisa mendapatkan perkara yang bermanfaat itu secara maksimal. Orang seperti ini tidak hanya bertumpu pada dirinya, kedudukannya dan kekuatannya, tetapi ia bertumpu sepenuhnya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Apabila seorang hamba bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla , menyerahkan urusan hanya kepada Allâh, dan minta tolong hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan memudahkan urusannya, memudahkan segala kesulitannya, menghilangkan kesedihannya, memberikan hasil akhir yang baik dalam urusan agama dan dunianya.

Jika demikian keadaannya, berarti seseorang sangat dituntut untuk mengetahui hal-hal bermanfaat yang harus dilakukan dengan penuh semangat dan serius. Apa saja hal-hal yang bermanfaat itu ? Hal-hal yang bermanfaat dalam agama kembali kepada dua perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

1. Ilmu Yang Bermanfaat
Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang dapat mensucikan hati dan jiwa; Ilmu yang bisa menghasilkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang datang dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa aqîdah, tauhîd, hadîts, tafsîr, fiqh, dan ilmu-ilmu yang menunjang untuk mempelajari hal tersebut seperti ilmu bahasa arab.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) mengatakan bahwa ilmu adalah ilmu yang berdasarkan dalil dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.

Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat membimbing seseorang kepada dua hal. Pertama, mengenal Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan segala yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang maha indah, sifat-sifat-Nya yang maha tinggi, dan perbuatan-perbuatan yang maha agung. Ini menuntut adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan. Kedua, mengetahui segala yang diridhai dan dicintai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya, berupa keyakinan, perbuatan, baik yang lahir dan bathin serta ucapan. Ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bergegas melakukan segala yang dicintai dan diridhai Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu-ilmu itu sudah melahirkan hal-hal ini pada diri pemiliknya, maka itulah ilmu yang bermanfaat. Ketika ilmu itu bermanfaat dan menancap dalam hati, maka sungguh, hati akan khusyu (tunduk), takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , jiwa merasa cukup dan puas dengan sesuatu yang halal meskipun sedikit dan merasa kenyang dengannya sehingga menjadikannya qanaah dan zuhud terhadap dunia…

Di antara contoh bersemangat dan bersungguh-sungguh dalam sesuatu yang bermanfaat, yaitu seorang penuntut ilmu yang bersungguh-sungguh dalam menghafal ringkasan-ringkasan ilmu yang sedang dia tekuni. Jika dia ada udzur atau mengalami kesulitan dalam menghafalnya dengan dilafazhkan, hendaknya dia mengulanginya terus menerus, sambil merenungi maknanya, sampai maknanya itu benar-benar menempel dengan kuat dalam hatinya. Kemudian materi pelajaran yang lain seperti tafsîr, hadîts, dan fiqh, seperti itu juga. Karena sesungguhnya manusia jika telah menghafal yang pokok-pokok, dan dia telah mengetahuinya dengan sempurna, maka akan menjadi mudah baginya dalam menghafal dan mempelajari kitab-kitab tentang disiplin ilmu seluruhnya, baik yang kecil maupun yang besar. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui atau tidak menguasai yang ushûl (hal-hal yang pokok) maka dia akan bisa mendapatkan semuanya.

Barangsiapa yang bersemangat dalam hal yang telah disebutkan tadi, kemudian dia meminta pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menolongnya, memberkahi ilmunya dan memberkahi jalan yang dia tempuh.

Dan barangsiapa menuntut ilmu tidak dengan jalan yang bermanfaat, maka dia akan kehilangan waktu-waktunya dan dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali kepayahan. Jika Allâh Azza wa Jalla mempertemukannya dengan seorang pengajar yang memperbaiki jalannya dan pemahamannya, maka sempurnalah jalannya untuk mencapai ilmu.

2. Amal Shalih
Perkara yang kedua, yaitu amal shalih. Amal Shalih yaitu amalan yang memenuhi dua unsur yaitu ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dan ittibâ (mengikuti) contoh Rasul-Nya. Inilah amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh. Juga keyakinan tentang penetapan sifat-sifat sempurna bagi Allâh, penetapan hak-hak-Nya dengan ibadah kepada-Nya, mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, membenarkan atau mengimani berita-berita yang datang dari Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, baik tentang kejadian-kejadian yang telah berlalu ataupun yang akan datang, seperti tentang Rasul-rasul, Kitab-kitab, Malaikat-malaikat, keadaan-keadaan akhirat, surga, neraka, pahala, hukuman, dan lain-lain.

Kemudian seorang hamba berusaha melaksanakan yang diwajibkan Allâh, seperti hak-hak Allâh dan hak-hak makhluk-Nya. Dan dia menyempurnakannya dengan amalan-amalan yang sunnah, khususnya yang sunnah muakkadah (yang ditekankan), serta memohon pertolongan kepada Allâh dalam melakukan amalan tersebut. Juga dia mengerjakannya dengan ikhlas, tanpa dicampuri syirik, riya, dan tidak juga dengan tujuan-tujuan untuk kepentingan pribadi.

Begitu juga seorang hamba mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan meninggalkan perkara-perkara yang haram, khususnya perkara haram yang disenangi jiwa, kemudian dia mendekatkan diri kepada Rabb-nya dan meninggalkan perkara tersebut karena Allâh, sebagaimana dia mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan.

Ketika seorang hamba diberi taufik untuk menempuh jalan ini dalam beramal dan meminta pertolongan Allâh, maka dia telah beruntung dan sukses. Dan dia akan bisa meraih kesempurnaan sesuai dengan kadar perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla yang dikerjakannya dan larangan-larangan Allâh Azza wa Jalla yang ditinggalkannya.

Itulah dua hal yang bermanfaat dalam masalah agama, sedangkan perkara-perkara yang bermanfaat di dunia, yaitu seorang hamba wajib mencari rizki yang halal. Hendaknya dia menempuh jalan-jalan yang paling bermanfaat sesuai dengan keadaannya. Dia mencari rizki dengan tujuan untuk menunaikan kewajibannya dan kewajiban orang-orang yang menjadi tanggungannya. Dia merasa cukup dengan apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikan dan tidak menggantungkan harapan kepada manusia.

Dalam berusaha dan mencari rizki Allâh Azza wa Jalla , dia juga berniat untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan bekal beribadah kepada Allâh, seperti untuk menunaikan ibadah haji, mengeluarkan zakat, sedekah, infak, dan untuk menolong orang-orang yang susah. Dan dia melakukannya dari hasil yang baik dan halal, bukan dari hasil-hasil yang buruk dan diharamkan.

Ketika seorang hamba dalam usaha dan mencari rizkinya dengan tujuan seperti yang telah disebutkan di atas, dan dia menempuh jalan yang paling bermanfaat, maka usaha dan semua gerakannya menjadi amal shalih yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Di antara yang dapat menyempurnakan itu adalah hendaknya seorang hamba tidak hanya bergantung pada dirinya, kekuatannya, kecerdasannya, pengetahuannya, kecakapannya dalam mengetahui cara-cara dan tata usaha. Tetapi hendaknya dia meminta pertolongan kepada Rabb-nya dengan bergantung kepada-Nya, berharap kepada-Nya agar Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya perkara yang paling mudah dan paling berhasil, juga paling cepat membuatkan hasil. Dan meminta kepada Rabb-nya agar memberkahi rizkinya.

Berkah rizki yang pertama adalah hendaknya mencari rizki itu atas dasar takwa dan niat yang ikhlas. Dan yang termasuk berkahnya rizki yaitu seorang hamba diberi taufik (kesuksesan) dalam membelanjakan dan menginfakkan rizkinya sesuai dengan tempat-tempat yang wajib dan sunnah.

Termasuk dari berkahnya rizki juga seorang hamba tidak lupa akan kebaikan dalam bermuamalah, seperti firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu [al-Baqarah/2:237]

Yaitu dengan membantu orang yang tidak mampu, memberi kesempatan kepada orang yang sedang dalam kesulitan ekonomi untuk menunda pelunasan hutang jika dia memiliki berhutang, berkasih sayang sesama kaum Mukminin, mudah dalam transaksi jual beli dan berbagai kebaikan lainnya. Dengan ini, seorang hamba akan mendapatkan kebaikan yang banyak.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَلَا تَـعْجَـزْ

Janganlah sekali-kali engkau merasa lemah

Maksudnya lakukanlah segala yang bermanfaat itu dengan kontinyu ! Janganlah lemah dan lambat dalam melakukan amalan itu. Karena sesungguhnya waktu ini singkat sementara kesibukan-kesibukan sangat banyak. Jika seseorang terbiasa melakukan sesuatu yang bermanfaat pada awal waktu dan meminta pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka sesuatu yang bermanfaat itu akan lebih bermanfaat baginya.

Janganlah malas dan berlambat-lambat dalam beramal. Jika engkau telah memulai melaksanakan sesuatu yang bermanfaat, maka lanjutkanlah. Karena jika engkau tinggalkan amalan ini dan engkau melaksanakan amalan yang lain, maka pekerjaan itu tidak akan sempurna.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنْ أَصَابَكَ شَـيْءٌ فَـلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِـّيْ فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَـذَا ، وَلَـكِنْ قُلْ: قَـدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَـفْـتَـحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, ‘Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu !’ Tetapi katakanlah, ‘Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki’, Karena ucapan “Seandainya” akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.

Kemudian setelah seseorang mencurahkan kesungguhan dan kemampuannya dalam meraih segala yang bermanfaat, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan agar ridha dengan ketentuan dan takdir Allâh Azza wa Jalla .

Jika seorang hamba ditimpa sesuatu yang tidak ia sukai atau musibah yang pahit, maka hendaklah ia sabar dan ridha. Janganlah ia mengatakan, “Kalau seandainya saya berbuat begini tidak akan terjadi begini.” Hendaklah dia tenang dan sabar dengan ketetapan Allâh dan takdir-Nya, agar imannya bertambah, hatinya tenang dan jiwanya lapang. Karena sesungguhnya kata “seandainya” dalam keadaan seperti ini akan membuka peluang bagi setan dengan sebab berkurangnya keimanannya kepada takdir Allâh Azza wa Jalla , keberatan dengannya, membuka pintu kesedihan dan kesusahan yang dapat melemahkan hatinya.

Ketika kaum Muslimin tertimpa musibah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan agar mengucapkan :

قَدَّرَ الله ُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ

Allâh sudah takdirkan, dan Allâh berbuat menurut apa yang Dia kehendaki,

عَنْ طَاوُسٍ، أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ، قَالَ: وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ، أَوِ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ

Dari Thaawus, ia berkata : Aku berjumpa dengan orang-orang dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka berkata : “Segala sesuatu berdasarkan takdir”. Thaawus melanjutkan : Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Segala sesuatu berdasarkan takdir hingga orang yang lemah dan orang yang cerdas, atau orang yang cerdas dan orang yang lemah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2655].

An-Nawawiy rahimahullah berkata menjelaskan makna hadits di atas:

وَمَعْنَاهُ أَنَّ الْعَاجِز قَدْ قَدَّرَ عَجْزه ، وَالْكَيِّس قَدْ قَدَّرَ كَيْسه

“Maknanya, bahwa orang yang lemah telah ditakdirkan kelemahannya dan orang yang cerdas telah ditakdirkan kecerdasannya” [Syarh Shahiih Muslim, 16/205].

Ini termasuk metode efektif dan ampuh untuk meraih ketenangan jiwa, untuk menghasilkan qana’ah (merasa puas) dan kehidupan yang baik. Dan kehidupan yang baik ini yaitu semangat dalam perkara-perkara yang bermanfaat, bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya, meminta pertolongan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang telah dimudahkan untuknya, ia sabar dan ridha dengan apa yang terluput darinya dan dengan apa yang belum bisa ia peroleh.

Ketahuilah, bahwa penggunaan kata “Kalau seandainya” itu berbeda-beda sesuai dengan tujuannya. Jika digunakan untuk sesuatu yang telah lewat dan tidak mungkin kembali, maka ini membuka pintu setan bagi seorang hamba seperti yang telah dijelaskan.

Begitu juga jika digunakan untuk berangan-angan dalam kejelekan dan maksiat, maka ini tercela, dan pelakunya berdosa walaupun dia belum melakukannya. Karena sesungguhnya dia berangan-angan untuk melakukannya.

Adapun jika digunakan untuk berangan-angan dalam kebaikan atau mendapatkan ilmu yang bermanfaat, maka ini terpuji. Karena sesuatu yang menjadi sarana memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Jika tujuannya baik, maka angan-angan itu terpuji, begitu sebaliknya.

Dan pokok yang telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam -(yaitu perintah untuk semangat dalam hal-hal yang bermanfaat dan menjauhi perkara-perkara yang membahayakan disertai dengan keseriusan memohon pertolongan kepada Allâh)- pengamalannya meliputi perkara-perkara khusus yang berkaitan dengan individu seorang hamba, juga perkara-perkara umum yang berkaitan dengan ummat pada umumnya.

Oleh karena itu, hendaklah kaum Muslimin bersemangat dalam perkara-perkara yang bermanfaat ! Hendaklah mereka berusaha melaksanakan semua yang bermanfaat, baik di dunia maupun di akhirat ! Hendaklah mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh dengan segenap kemampuan yang sesuai dengan kekuatan lahir dan bathin ! Hendaklah mereka mencurahkan kesabaran mereka dalam perkara yang telah ditakdirkan Allâh untuk mereka, disertai dengan permohonan tolong kepada Allâh Azza wa Jalla untuk mewujudkannya dan menyempurnakannya, juga melawan semua yang bertentangan dengan itu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggabung dalam hadits ini antara iman kepada qadha dan qadar dengan amalan yang bermanfaat. Dua pokok ini telah ditunjukkan oleh al-Qur’ân dan Sunnah dalam banyak tempat, dan agama ini tidak akan sempurna kecuali dengan keduanya. Bahkan tidak sempurna perkara-perkara yang diniatkan kecuali dengan keduanya, karena sabda Nabi n , yang artinya, “Berkemauan keraslah dan bersemangatlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu !” adalah perintah untuk bersungguh-sungguh dan bersemangat, berniat ikhlas dan berkemauan tinggi; Sementara sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Dan mintalah pertolongan Allâh (dalam segala urusanmu) !” adalah iman kepada qadha dan qadar, juga perintah untuk bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena Allâh Azza wa Jalla adalah tempat sandaran yang sempurna dengan segala keadaan dan kekuatan-Nya dalam usaha meraih kebaikan-kebaikan dan menolak segala keburukan, disertai dengan keyakinan dan kepercayaan yang sempurna kepada Allâh Azza wa Jalla untuk mencapai keberhasilan dari usaha tersebut.

Orang yang mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dia bertawakkal kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara agama dan dunianya, juga melakukan amalan bermanfaat sesuai dengan kemampuannya, ilmunya dan pengetahuannya.

Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut bisa menjadi renungan bagi kita semua.

مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ

“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465

Benarkah Sayidina Mu'awiyah Wafat Dalam Keadaan Tidak Islam??


Sayyidina Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa adalah salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Tidak henti-hentinya ia mendapatkan celaan dari para ‘pecinta (palsu) Ahlul-Bait’ semenjak dulu hingga sekarang. Lisan mereka senantiasa basah akan cacian saat menyebut namanya. Mereka memusuhi siapa saja yang tidak mengucapkan kalimat kekafiran atas dirinya. Ya, Ahlus-Sunnah merupakan musuh abadi para ‘pecinta (palsu) Ahlul-Bait’ dikarenakan kecintaannya kepada para shahabat dan menahannya diri mereka untuk tidak mengungkit-ungkit kekeliruan dan ketergelinciran sebagian shahabat. Termasuk dalam hal ini : Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah ridla kepada Mu’aawiyyah sebagaimana Mu’aawiyyah pun ridla kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman :

لَقَدْ تابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ والمُهاجِرينَ والأنْصارِ الَّذينَ اتَّبَعُوهُ في سَاعَةِ العُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ ما كادَ يَزِيغُ قُلوبُ فَريقٍ مِنهم ثُمَّ تابَ عَلَيْهِم، إنَّهُ بِهِم رَؤوفٌ رَحيمٌ

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka” [QS. At-Taubah : 117].

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ka’b bin Maalik yang panjang, bahwa yang ayat ini turun berkaitan dengan perang Tabuk. Inilah makna ‘saa’atul-‘usrah’ (saat-saat yang sulit). Telah diketahui bahwa Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan adalah salah seorang shahabat yang mengikuti Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di saat-saat yang sulit tersebut (perang Tabuk).

Bahkan, beliau telah mengkhabarkan adanya balasan surga bagi Mu’aawiyyah sebagaimana tertera dalam riwayat berikut :

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ يَشُكُّ أَيَّهُمَا قَالَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ أَنْتِ مِنْ الْأَوَّلِينَ فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنْ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan (hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan - isteri ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan untuk beliau. Setelah itu Ummu Haram menyisir rambut beliau, hingga Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : "Apa yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?". Beliau bersabda :“Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta'ala kepadaku. Mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana" - perawi ragu antara keduanya - . Ummu Haram berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka." Kemudian beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata : Lalu aku kembali bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa ?". Beliau menjawab :"Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta'ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…" - sebagaimana sabda beliau yang pertama - . Ummu Haram berkata : Lalu aku berkata : "Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka !". Beliau bersabda : "Kamu termasuk dari rombongan pertama". Pada masa (kepemimpinan) Mu'aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا

Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan : Bahwasannya ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya : Bahwa dia pernah menemui 'Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. 'Umair berkata : Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya (pahala surga)". Ummu Haram berkata : Aku katakan : "Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?". Beliau bersabda : "Ya, kamu termasuk dari mereka". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali bersabda : "Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) akan diberikan ampunan (dari dosa)". Aku katakan : "Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?". Beliau menjawab : “Tidak" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2924].

Al-Muhallab rahimahullah berkata :

في هذا الحديث منقبةٌ لمعاوية، لأنه أول من غزا البحر، ومنقبةٌ لولده يزيد لأنه أول من غزا مدينةَ قيصر

“Dalam hadits ini (terdapat petunjuk tentang) kebajikan yang dilakukan Mu’aawiyyah, karena ia adalah orang yang pertama kali (memimpin) peperangan di lautan; dan juga kebajikan yang dilakukan anaknya, Yaziid, karena ia adalah orang yang pertama kami memerangi kota Qaishar” [Fathul-Baariy, 6/102].

Al-Firyaabiy rahimahullah berkata :

وكان أول من غزا [يعني البحر] معاويةُ في زمن عثمان بن عفان رحمة الله عليهما

“Orang yang pertama kali berperang di lautan adalah Mu’aawiyyah di jaman (kekhalifahan) ‘Utsmaan bin ‘Affaan – semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka berdua” [Asy-Syarii’ah, 3/501 no. 1980, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad bin Saif An-Nashr; Muassasah Al-Qurthubah, Cet. 1/1417].

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :

لم يختَلفْ أهلُ السِّـيَر فيما عَلمتُ أن غَزاةَ معاوية هذه المذكورةُ في حديثِ هذا الباب إذْ غَزَتْ معه أمُّ حَرَام كانت في خِلافة عُثمان

“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli sirah sepanjang yang aku ketahui bahwa peperangan Mu’aawiyyah (di lautan) pada hadits dalam bab ini, saat Ummu Haram ikut berperang bersamanya, terjadi pada masa kekhilafahan ‘Utsmaan” [At-Tamhiid, 1/242 – melalui perantaraan Min Fadlaaili wa Akhbaari Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan].

Hadits ini merupakan keutamaan besar yang dimiliki Mu’aawiyyah.

Datanglah kemudian kaum pendengki – yaitu Syi’ah, seperti biasa – yang selalu mencari-cari celah yang bisa digunakan untuk mencela Mu’aawiyyah dengan menutup mata keberadaan hadits-hadits di atas yang terdapat dalam kitab Ash-Shahiih. Salah satunya, mereka membawakan hadits berikut :

عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baladzuriy dalam Ansabul-Asyarf melalui dua jalan yang kesemuanya berujung pada Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa :

1.      Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Shaalih: Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Aadam (w. 203), dari Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash secara marfu’ [idem, 2/121].

Pembahasan :

Hadits ini lemah lagi munkar. Kelemahan sanadnya terletak pada Yahyya, dan Laits ; dan Syariik matannya munkar karena bertentangan dengan hadits yang disebutkan di awal.

Selain itu, Ibnu Qudaamah membawakan cacat lain dalam riwayat ini, dari riwayat Al-Khallaal : Aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.

Ahmad berkata : “Hadits itu hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari ‘Abdulah bin ‘Amru atau selainnya”, ia ragu-ragu dalam penyebutannya” [lihat : Al-Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal oleh Ibnu Qudaamah, hal. 228 no. 136, tahqiq & ta’liq : Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Awwadlillah; Daarur-Raayah, Cet. 1/1419].

Ta’lil dari Ahmad bin Hanbal ini mengindikasikan bahwa sanad hadits ini keliru, dan yang benar adalah sanad dari Ibnu Thaawuus, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru secara marfu’ sebagaimana dalam sanad hadits yang kedua di bawah.

2.      Telah menceritakan kepadaku Ishaaq dan Bakr bin Al-Haitsam, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam : Telah memberitakan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash secara marfu’.

Pembahasan :

Dhahir sanad hadits ini adalah shahih, namun sebenarnya ma’lul.

Masih dalam peristiwa yang sama dalam sanad yang lain, disebutkan bahwa orang yang diisyaratkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah Al-Hakam bin Abil-‘Aash.

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair: Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Kami pernah duduk-duduk di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu ‘Amru bin Al-'Aash pergi berjalan dengan mengenakan baju untuk menemuiku. Beliau bersabda - sementara kami berada di sisinya - :"Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat". Maka demi Allah, semenjak beliau mengatakan itu, aku selalu melihat-lihat ke dalam dan ke luar hingga datanglah si Fulan, yaitu Al-Hakam [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/163. Melalui jalan Ahmad, diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad 6/344 no. 2352 dan dalam Kasyful-Astaar 2/247 no. 1625].

Al-Bazzaar berkata :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ قَالَ : لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ وَكُنْتُ تَرَكْتُ عَمْرَو بْنَ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَمَا زِلْتُ أَنْظُرُ وَأَخَافُ ، حَتَّى دَخَلَ الْحَكَمُ بْنُ أَبِي الْعَاصِ

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Numair, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Aku pernah berada di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika kami berada di sisi beliau, beliau bersabda : “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat”. Pada waktu itu aku telah meninggalkan ‘Amru bin Al-‘Aash yang sedang mengenakan baju untuk menemuiku. (Setelah mendengar sabda beliau tersebut) aku senantiasa melihat (siapa gerangan orang yang akan datang) dan khawatir; hingga datanglah Al-Hakam bin Abil-‘Aash” [Al-Musnad, 6/344 no. 2352, Maktabah Al-‘Ulum wal-Hikam, Cet. 1/1415].

Kekhawatiran ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash kemungkinan disebabkan ayahnya akan datang menemuinya hingga ia khawatir yang dimaksudkan oleh beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah ayahnya. Wallaahu a’lam.
Sanad hadits ini shahih.

Al-Haitsamiy saat mengomentari riwayat di atas berkata : “Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih” [Majma’uz-Zawaaid, 1/112. Lihat juga 5/241].

Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif dalam penyebutan Al-Hakam bin Abil-‘Aash ini mempunyai mutaba’ah dari Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits bin Sufyan: Telah menceritakan kepada kami Qaasim: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair : Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad: Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : “…..(al-hadits)…..” [Al-Isti’aab, 1/360, tahqiq : ‘Aliy bin Muhammad Al-Bajawiy; Daarul-Jail. Cet. 1/1412].

Berkata Ahmad Syaakir : “Sanad (hadits) ini juga shahih” [Ta’liiq ‘alaa Musnad Ahmad, 6/85; Daarul-Hadiits, Cet. 1/1416].

Saya (Abul-Jauzaa’) berkata : “Sanadnya hasan, karena Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash seorang shaduuq yang haditsnya hasan, wallaahu a’lam. Namun secara keseluruhan, ia shahih”.

Hadits ini mempunyai syaahid dari ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى الْكَعْبَةِ وَهُوَ يَقُولُ وَرَبِّ هَذِهِ الْكَعْبَةِ لَقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَمَا وُلِدَ مِنْ صُلْبِهِ

Telah menceitakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq: Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid dari Asy-Sya’biy ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Az-Zubair dalam keadaan bersandar ke Ka'bah, berkata : "Demi Dzat yang memiliki Ka’bah ini, sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah melaknat si Fulan dan yang dilahirkan dari tulang rusuknya" [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/5; sanadnya shahih].

Diriwayatkan pula oleh Al-Bazaaar dari jalan Ahmad bin Manshuur bin Siyaar dari ‘Abdurrazzaaq yang selanjutnya seperti sanad Ahmad di atas; dimana disebutkan orang yang dilaknat tersebut adalah Al-Hakam bin Abil-‘Aash [Al-Musnad, no. 2197; shahih. Lihat pula Majma’uz-Zawaaid 5/241 no. 9230 dan Taariikhul-Islaam lidz-Dzahabiy 3/368, tahqiq : Dr. ‘Umar bin ‘Abdis-Salaam At-Tadmuriy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 2/1410].

Riwayat ini cukup menunjukkan bahwa hadits yang dibawakan oleh Al-Balaadzuriy adalah ma’lul, tidak shahih.

Ta’lil tersebut dikuatkan lagi oleh riwayat berikut :

Al-Khallaal berkata :

وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس، عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "يطلع عليكم رجل من أهل النار"، فطلع معاوية.
قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد الله بن عمرو أو غيره، شك فيه.
قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو

Dan aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.

Ahmad berkata : “Hadits itu hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari ‘Abdulah bin ‘Amru atau selainnya, ia (Thaawuus) ragu-ragu dalam penyebutannya”

“‘Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus. Ia (Ibnu Thaawuus) berkata : Aku mendengar Furkhaasy menceritakan hadits ini dari ayahku, dari ‘Abdullah bin ‘Amr” [lihat :Al-Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal, hal. 228 no. 136].

Furkhaasy tidak diketahui identitasnya.

Dari sisi Al-Khallaal, riwayat ‘Abdurrazzaaq dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawus mempunyai dua jalan. Pertama dengan menyebut perantara antara Ibnu Thaawus dengan Thaawus (yaitu : Furkhaasy), dan yang kedua tidak menyebutkan perantara; sehingga nampak adanya idlthirab dalam sanadnya.

Besar kemungkinan kekeliruan riwayat Al-Baladzuriy disebabkan oleh ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash-Shan’aaniy (120-211 H). Telah keliru sebagian orang yang menshahihkan riwayat ini karena memutlakkan ketsiqahan pada ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam. Apalagi ditunjukkan dengan adanya idlthirab dalam matan hadits di atas.

Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh, penulis yang terkenal, mengalami kebutaan di akhir umurnya, sehingga berubah hapalannya. Cenderung ber-tasyayyu’” [At-Taqriib, hal. 607 no. 4092, tahqiq : Abul-Asybal Shaghiir bin Ahmad Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah].

Al-Bukhaariy berkata : “Apa yang ia riwayatkan dari kitabnya, maka lebih shahih” [At-Taariikh Al-Kabiir, 6/130 no. 1933; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah]. Di lain tempat ia berkata : “Dan ‘Abdurrazzaaq telah keliru dalam sebagian hadits yang ia riwayatkan” [‘Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir, hal. 199 no. 352, tahqiq & ta’liq : As-Sayyid Shubhiy As-Saamiaaiy & As-Sayyid Abul-Ma’aathiy An-Nuuriy; Daaru ‘Alamil-Kutub, Cet. 1/1409].

Ahmad berkata : “Kami menemui ‘Abdurrazzaaq sebelum tahun 200 H yang waktu itu penglihatannya masih baik/sehat. Barangsiapa yang mendengar darinya setelah hilang penglihatannya (buta), maka penyimakan haditsnya itu lemah (dla’iifus-samaa’)” [Taariikh Abi Zur’ah, hal. 215 no.  1160, ta’liq : Khaliil Al-Manshuur; Cet. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417].

Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah, akan tetapi ia telah keliru dalam hadits-hadits dari Ma’mar” [Miizaanul-I’tidaal, 2/610 no. 5044, tahqiq : ‘Aliy bin Muhammad Al-Bukhaariy; Daarul-Ma’rifah]. An-Nasaa’i berkata : “Padanya terdapat kritikan bagi siapa saja menulis hadits darinya di akhir umurnya” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, hal. 209 no. 379, Daarul-Ma’rifah – dicetak bersama dengan Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir lil-Bukhaariy].

Hadits-haditsnya yang diingakri para muhadditsiin ketika penglihatannya hilang (buta) adalah ketika ‘Abdurrazzaaq bermukin di Yamaan/Shan’aa di akhir hayatnya. Al-‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim sekembalinya dari Shan’aa mengkritiknya dengan keras : “…Sesungguhnya ‘Abdurrazzaaq adalah pendusta, dan Muhammad bin ‘Umar Al-Waaqidiy lebih jujur daripadanya” [Adl-Dlu’afaa’ lil-‘Uqailiy, hal. 859 no. 1084, tahqiq : Hamdiy bin ‘Abdil-Majiid As-Salafiy; Daarush-Shumai’iy, Cet. 1/1420].

Abu Haatim berkata : “Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/39 no. 204, tahqiq : Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalamAts-Tsiqaat, namun berkata : “…… Ia termasuk orang yang sering keliru jika meriwayatkan dari jurusan hapalannya…” [Ats-Tsiqaat, 8/412, tahqiq : Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy].

An-Nasaa’iy berkata : “Padanya terdapat kritikan, bagi siapa saja yang menulis darinya di akhir hayatnya” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 379]. Ia (An-Nasaa’iy) juga membawakan satu contoh hadits munkar yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dengan berkata : “Hadits ini munkar. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan mengingkari ‘Abdurrazzaaq atas hal tersebut. Hadits ini tidak diriwayatkan dari Ma’mar kecuali oleh ‘Abdurrazzaaq. Hadits ini telah diriwayatkan dari Ma’qil bin ‘Abdillah dan terdapat perselisihan padanya. Telah diriwayatkan dari Ma’qil, dari Ibraahiim bin Sa’d dari Az-Zuhriy (secara mursal). Hadits ini bukan termasuk hadits Az-Zuhriy, wallaahu a’lam [lihat : ‘Amalul-Yaum wal-Lailah, hal. 276 no. 311, tahqiq : Dr. Faaruq Hamaadah; Muasasah Ar-Risaalah, Cet. Thn. 1399].

Oleh karena itu, idlthirab sanad dan matan hadits ini sangat patut diduga berasal dari periwayatan Ishaaq bin Abi Israaiil dari ‘Abdurrazzaaq setelah berubah hapalannya.

Dan jika kita menempuh jalan tarjih –dan ini sangat memungkinkan – maka riwayat yang menyebutkan Al-Hakam bin Abil-‘Aash (bukan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan) lebih shahih tanpa keraguan.

Selain itu, telah maklum bagi muhadditsiin, bahwa Musnad Al-Imam Ahmad dan Musnad Al-Bazzaar lebih kuat daripada Ansaabul-Asyraf, karena ia (Ansaabul-Asyraf) sebenarnya adalah kitab sejarah. Kitab-kitab riwayat itu mempunyai thabaqah-thabaqah sebagaimana dijelaskan para ulama.

Al-Balaadzuriy adalah seorang sastrawan dan sejarawan; bukan termasuk dari kalangan muhadditsiin. Ia adalah seorang yang dekat dengan penguasa, memuji-muji mereka dengan bait-bait syi’ir-nya, dan tertimpa was-was di akhir hayatnya [lihat biografinya dalam Taariikh Dimasyq 6/74-76, tahqiq : ‘Umar bin Gharaamah Al-‘Umariy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415; Liisaanul-Miizaan 1/322-323 no. 982, Muassasah Al-A’lamiy, Cet. 2/1390; dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 13/12-163 no. 96, Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9/1413]. Beda halnya dengan Ahmad bin Hanbal dan Ahmad bin ‘Amr Al-Bazzaar yang memang keduanya dikenal sebagai seorang muhaddits masyhuur.

Mungkin ada sebagian orang yang lemah pengetahuannya dalam ilmu hadits akan mengatakan bahwa dua jalan lemah tersebut bisa saling menguatkan sehingga derajatnya bisa naik pada hasan li-ghairihi.

Kita katakan : Dua jalan hadits di atas pada hakekatnya adalah satu, karena jalan riwayat yang pertama adalah sanad yang keliru sebagaimana ta’lil yang diberikan Ahmad bin Hanbal. Kalaupun seandainya kita menutup mata terhadap ta’lil ini, maka jalan sanad pertama dla’iif (dan matannya munkar) sebagaimana telah dijelaskan; sedangkan jalan sanad kedua sarat akan ‘illlat. Lantas, bagaimana keduanya bisa saling menguatkan ?.

Riwayat Al-Balaadzuriy ini juga bertentangan dengan hadits :

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah : telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah : Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda - ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya : "Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746].

Perdamaian yang dilakukan oleh Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa di ‘tahun jama’ah’ adalah antara pendukungnya dan pendukung Mu’aawiyyah. Sejarah Ahlus-Sunnah dan Syi’ah mencatat penyerahan kekuasaan ini. Di sini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap menyebut : ‘kaum muslimin’. Seandainya Mu’aawiyyah (dan juga para pendukungnya) adalah orang yang telah beliau ketahui akan mati tidak di atas agama Islam, niscaya beliau tidak akan menisbatkan Islam padanya.

Atau,…. mungkinkah Al-Hasan akan berdamai dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada orang yang telah ia ketahui akan mati bukan di atas agama Islam (baca : kafir) ? Jika ia melakukannya, maka itu adalah satu kekeliruan, bahkan satu kemunkaran. Ini bertentangan dengan doktrin kemaksuman imam ala Syi’ah.

Jika ada orang (Syi’ah) mengatakan :“Ada kemungkinan Al-Hasan bin ‘Aliy tidak mengetahui sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa Mu’aawiyyah akan mati bukan di atas agama Islam”.

Kita katakan : Bagaimana bisa mereka – apalagi kita – benarkan omongan mereka sendiri dimana mereka mengetahui apa yang tidak diketahui imam mereka (Al-Hasan) ?. Bukankah pernyataan ini – lagi-lagi – bertentangan doktrin bahwa imam mewarisi seluruh ilmu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada ruang bagi mereka – apalagi kita – untuk menerima hadits Al-Balaadzuriy di atas, dengan syarat : Mereka melihat rangkaian hadits-hadits lain yang berkenaan dengan Mu’aawiyyah.

Apakah para pendengki itu akan rujuk dari perkataannya dalam penshahihan hadits ini atau rujuk dari men-taqlid-i orang yang menshahihkan hadits ini ? Dari pengalaman yang ada, nampaknya harapan kita susah diwujudkan, kecuali Allah menghendaki lain. Pengalaman pun menuntun kita agar hati-hati pada retorika mereka : “Kita hanya butuh riwayat yang shahih”. Riwayat shahih macam apa ? Shahihnya riwayat Al-Bukhaariy, Muslim, dan yang lainnya tentang keutamaan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...