Senin, 01 November 2021

Contoh Tafsir Rosululloh SAW


Sebelum saya menguraikan tentang bagaimana bentuk penafsiran Rasulullah Shallallhu ‘alaih wa Sallam terhadap Alqur’an terlebih dahulu penulis menguraikan tentang tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an di turunkan. dengan alasan : 1). Bahwa al-Qur’an tentunya ditafsirkan dan dipahami oleh para sahabat tentang makna, maksud dan tujuan diturunkan tidak terlepas dari susunan huruf yang terdapat di dalam al-Qur’an apalagi al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka Arab. 2). Bahwa terjadinya silang pemahaman antar para sahabat dan para ulama rabbani setelahnya disebabkan karena terjadinya silang pemahaman terhadap susunan huruf yang terdapat dalam satu atau dua kalimat dalam satu ayat atau bahkan silang pemahaman terhadap huruf-huruf yang menjadi perantara antara satu kalimat dengan kalmat berikutnya.

Defenisi Huruf

Kata “Huruf” berasal dari dasar kata harafa-yahrufu-harfan yang berarti pengalihan dan kata al-Harfu yang dalam bentuk jamaknya al-Hirafu berarti ujung atau batasan segala sesuatu. Adapun al-Harfu menurut para ahli nahwu adalah sesuatu yang menunjukkan suatu makna yang berbeda dari makna yang sesungguhnya, dan kata huruf juga dapat diartikan sebagai bahasa atau kalimat.

Dari definisi tentang kata huruf di atas kami dapat menarik sebuah benag merah bahwa huruf adalah satuan bentuk dari satu susunan kata yang terbentuk dari paduan huruf sehingga menghasilkan suatu struktur kalimat dan dapat dihadikan sebagai bahan dalam berkomunikasi, berinteraksi dan menulis yang kemudian menjadi sebuah bahasa yang dapat dipahami baik oleh orang yang mengelurkan kalimat tersebut atau pun bagi orang yang mendengarkannya, jadi ketika kita bertanya tentang apa itu huruf, maka kita akan menemukan jawabn bahwa huruf terbagi kedalam dua bagian yaitu huruf hijaiyyah yang berwalan dali alif dan berujung pada yaa’yang kedua adalah huruf latin yang berawal dari A dan berakhir pada Z.

Demikianlah kata huruf bila disandarkan kepada hal yang bersifat umum, adapun ketika kata huruf disandarkan kepada al-Qur’an maka, kita akan menuai berbagai makna dan interpretasi (Ikhtilaafun fii at-Tafisiir)dari kalangan para ulama. Karena huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan ditafsirkan secara berbeda sebab disekitar huruf tersebut terdapat banyak persilangan pendapat yang melibatkan para sahabat dan puluhan ulama mulai dari ulama tafsir sampai kepada ulama Fiqhi, bahkan para cendikiawan barat (orientalis) pun turut mengambil posisi dalam wacana tentang huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan.

Ikhtilaf Ulama Tentang Makna Huruf Tujuh al-Qur’an

Terdapat banyak riwayat yang menunjukkan tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantara riwayat-riwayat tersebut adalah Riwayat al-Bukhari dar hadis Umar bin al-Khaththab, R.A

عن عبد الرحمن بن عبد القارىء أنه قال سمعت عمر بن الخطاب يقول :سمعت هشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان على غير ما أقرؤها وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم أقرأنيها فكدت أن أعجل عليه ثم أمهلته حتى انصرف ثم لببته بردائه فجئت به رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله إني سمعت هذا يقرأ سورة الفرقان على غير ما أقرأتنيها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أرسله ثم قال اقرأ يا هشام فقرأ القراءة التي سمعته يقرأ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم هكذا أنزلت ثم قال لي اقرأ فقرأتها فقال هكذا أنزلت إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر منه

Dari Abdurrahman bin abdu al-Qariy ia berkata : ” aku mendengarkan Umar bin al-Khaththab berkata : “Suatu ketika aku mendengarkan Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan yang biasa aku baca sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mebacakannya kepada kami (surat al-Furqan tersebut) aku hampir saja mengkritik bacaannya kemudian aku mendiamkannya dan pergi, kemudian aku memperhatikan pakaian yang dipakainya (Hisyam) saat itu, kemudian akau mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah mendengarkan seseorang membaca surat al-Furqan berbeda dengan bacaan yang pernah engkau ajarkan kepada kami’, maka, Rasulullah berkata : “Bawakan kepadaku orang tersebut?” kemudian berkata : Bacalah wahai Hisyam!” lalu kemudian –Hisyam- membacanya sebagaiman yang aku dengarkan, kemudian Rasulullah bersabda : “Dengan bacaan inilah al-Qur’an diturunkan”. Kemudian belaiu berkata kepadaku : “Bacalah wahai Umar!” lalu akau membacanya kemudian beliau bersabda : “Demikinlah al-Qur’an diturunkan, sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah sesuia dengan bacaan yang mudah bagimu” (H.R Bukhari)

Itulah salah satu riwayat yang menyebutkan bahwasanya al-Qur’an ini di turunkan dalam tujuh huruf.

Berdasarkan riwayat-riwayat yang salah satunya telah kami sebutkan dan masih banyak lagi riwayat-riwayat yang semakna dengannya, maka, para ulama berbeda pendapat tentang makna dari tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Menurut Imam Abu Hatim ibnu Hibban sebagaimana yang dikutip oleh az-Zarkasyi dalam al-Burhan bahwa : “Para ulama berbeda pendapat tentang tujuh huruf di dalam al-Qur’an sebanyak 53 pendapat”. Sementara itu Imam As-Suyuthi menyebutkan bahwa terdapat kurang lebih 40 pendapat tentang maksud tujuh huruf di dalam al-Qur’an. dari sekian banyak silang pendapat tentang tujuh huruf kami akan menyebutkan beberapa diantaranya :

a. Kebanyakan Ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh jenis bahasa Arab yang memiliki kesatuan makna. Kemudian mereka berbeda pendapat dalam membatasi ke tujuh jenis bahasa arab diantara mereka ada yang mengatakan bahwa ke tujuh jenis bahasa yang dimaksud adalah : Quraisy, Hudzil, Tsaqif, Hawadzin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. diantara mereka yang membatasinya pada tjuh bahasa berikut : Quraisy, Hudzail, Tamim, Al-Azdy, Rabi’ah, Hawazin, dan bahasa bani Sa’ad.

b. Pendapat kedua menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa yang kepadanya al-Qur’an diturunkan, dengan artian bahwa secara umum kalimat-kalimat yang terdapat di dalam al-Qur’an tidak terlepas dari ketujuh jenis bahasa Arab yang merupakan bahsa terfasih yang ada di tanah Arab. maka lebih banyak bahasa yang digunakan di dalam al-Qur’an dalam bahasa Quraisy, diantaranya pula terdapat bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamimim dan Yaman yang kesemuanya itu tergolong dalam tujuh bahasa bahasa. Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya dimana mereka memaksudkan bahwa ketujuh huruf atau jenis bahasa tersebut keberadaannya terpisah antara satu surat dengan surat lainnya dan bukan berada pada jenis bahasa dalam satu kalimat.

c. Diantara mereka ada yang berbendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk seperti bentuk perinta (al-Amru), larangan, janji, ancaman, perdebatan, kisah-kisah, permisalan. atau dalam bentuk perinta (al-Amru), larangan, halal, haram, mutasyabih dan permisalan.

d. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bentuk perubahan kata dari segi nahwu dan sharaf.

Dari sekian macam pendapat tentang maksud dari tujuh huruf yang dengan al-Qur’an diturunkan, maka kami dapat mengambil pendapat pertama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh jenis bahasa yang digunakan dalam beberapa kalimat di dalam al-Qur’an, hal ini disebabkan karena keserasian antara pendapat in dengan riwayat-riwayat yang shahih tentang tujuh huruf tersebut.

Setelah kita menjelaskan tentang tujuh huruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan, maka berdasarkan pada hal ini kita dapat mengetahui berebagai macam bentuk penafsiran Rasulullah shallah ‘alaihi wasallam.

Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab yang jelas dan mereka –para sahabat Rasul- memahami teks-teks ayat-ayat Alqur’an beserta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, adapun pemahaman mereka –para sahabat Nabi- tentang kedalaman kandungan makna al-Qur’an, maka hal tersebut nanti akan tampak bagi mereka setelah mereka melakukan penelitian, pencarian dan menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam dalam beberapa kesempatan.

Dari pertanyaan-pertanyan para sahabat beliau Shallallhu ‘alaihi wa Sallam kita dapat menemukan bebagai bentuk penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an dan tentunya hal ini hanya dapat kita temukan melalui penelitan terhadap riwayat-riwayat yang menjelaskan tentang bagaimana Rasulullah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang turun kepada beliau. berikut ini akan kami rinci bentuk-bentuk penafsiran Beliau Shallalhu ‘alaihi wa sallam terhadap al-Qur’an.

Di antara ciri khas tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menjelaskan hal yang masih musykil (taudliihul-musykil). Misalnya, penjelasan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang makna benang putih dan benang hitam dalam firman Allah ta’ala :

حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” [QS. Al-Baqarah : 187].

Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan benang putih di sini adalah waktu siang, dan benang hitam adalah waktu malam.

Telah diriwayatkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, serta kitab-kitab hadits yang lainnya, dari ‘Adiy bn Haatim radliyallaahu ‘anhu bahwasannya ia dulu telah meletakkan dua benang yang berwarna putih dan berwarna hitam di bawah bantalnya. Dia akan memeriksa kedua benang itu apakah ia telah bisa membedakan dengan jelas antara satu dengan yang lainnya. Maka pada pagi harinya ia pergi menuju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan perbuatannya semalam. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إنما ذلك سواد الليل وبياض النهار

“Yang dimaksud dengan (benang) hitam adalah malam, dan (benang) putih adalah siang”.

Contoh lain : Diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban, maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ia berkata :

{كنت قائما عند رسول الله صلى الله عليه وسلم. فجاء حبر من أحبار اليهود فقال: السلام عليك يا محمد! }
 
“Aku pernah berdiri di samping Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian datanglah seorang Rahib Yahudi dan berkata :‘Assalaamu’alaika  ya Muhammad !…”. Redaksi hadits ini panjang, namun dalam redaksi yang panjang itu sang Rahib Yahudi berkata :

أين يكون الناس يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات؟

“Dimanakah manusia di hari ketika bumi digantikan oleh selain bumi dan langit ?”.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

هم في الظلمة دون الجسر

“Mereka dalam kegelapan di hadapan jembatan”.

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini untuk menjelaskan firman Allah ta’ala :

يَوْمَ تُبَدَّلُ الأرْضُ غَيْرَ الأرْضِ وَالسَّمَاوَاتُ

“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” [QS. Ibraahiim : 48].

Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :

سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قوله عز وجل: {يوم تبدل الأرض غير الأرض والسماوات} [14 /إبراهيم /48] فأين يكون الناس يومئذ؟ يا رسول الله! فقال "على الصراط".

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang firman Allah ‘azza wa jalla : “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit” :  ‘Dimanakah manusia pada waktu itu berada wahai Rasulullah ?’. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Di atas jembatan”.

Contoh lain lagi adalah sebuah riwayat yang dibawakan oleh Abu Dawud dari Umayyah Asy-Syaibani, ia berkata :

سألت أبا ثعلبة الخشني فقلت يا أبا ثعلبة كيف تقول في هذه الآية عليكم أنفسكم قال أما والله لقد سألت عنها خبيرا سألت عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال بل ائتمروا بالمعروف وتناهوا عن المنكر حتى إذا رأيت شحا مطاعا وهوى متبعا ودنيا مؤثرة وإعجاب كل ذي رأي برأيه فعليك يعني بنفسك ودع عنك العوام فإن من ورائكم أيام الصبر الصبر فيه مثل قبض على الجمر للعامل فيهم مثل أجر خمسين رجلا يعملون مثل عمله وزادني غيره قال يا رسول الله أجر خمسين منهم قال أجر خمسين منكم

“Aku pernah bertanya kepada Abu Tsa’labah Al-Khasysyaniy : “Bagaimana pendapatmu tentang ayat ‘Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu’ (QS. Al-Maaidah : 105) ?”. Abu Tsa’labah berkata : “Demi Allah, aku pernah menanyakan hal itu pada orang yang memang mengetahuinya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab : ‘Bahkan hendaklah kalian saling beramar ma’ruf nahi munkar. Hingga kamu melihat sifat kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dunia yang diutamakan, dan setiap orang yang bangga/takjub dengan pendapatnya sendiri; maka jagalah dirimu sendiri dan tinggalkanlah masyarakat awam. Sesungguhnya di belakangmu nanti akan ada hari-hari penuh kesabaran. Sabar pada hari itu seperti halnya memegang bara api. Orang yang beramal pada waktu itu akan diberi pahala seperti pahala lima puluh orang lain yang beramal seperti amalnya”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, pahala lima puluh orang dari kalangan mereka ?”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Bahkan limapuluh orang di antara kalian”.

Tafsir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lain terhadap lafadh yang musykil dapat juga ditemui pada riwayat Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata :

عن المغيرة بن شعبة. قال: لما قدمت نجران سألوني. فقالوا: إنكم تقرؤن: يا أخت هارون. وموسى قبل عيسى بكذا وكذا. فلما قدمت على رسول الله صلى الله عليه وسلم سألته عن ذلك. فقال (إنهم كانوا يسمون بأنبيائهم والصالحين قبلهم).

Dari Mughirah bin Syu’bah ia berkata : Ketika aku tiba di Najraan, orang-orang bertanya kepadaku : ”Apakah engkau memahami ayat ”Hai Saudara perempuan Harun” (QS. Maryam : 28) sedangkan Musa itu hidup jauh sebelum jaman ’Isa. Apakah maksudnya begini dan begini ?”. Setelah aku bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam dan menanyakan tentang hal tersebut, maka beliau menjawab : “Kebiasaan mereka pada waktu itu menyebut nama seseorang dengan menisbatkan kepada para nabi atau orang-orang shalih sebelum mereka”.

Di antara ayat yang lafadhnya masih sulit pengertiannya menurut para shahabat adalah firman Allah ta’ala :

لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلا نَصِيرًا

“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah” [QS. An-Nisaa’ : 123].

Ibnu Katsir berkata :

وقد روي أن هذه الآية لما نزلت شق ذلك على كثير من الصحابة. قال الإمام أحمد: حدثنا عبد الله بن نُمَيْر، حدثنا إسماعيل، عن أبي بكر بن أبي زهير قال: أخْبرْتُ أن أبا بكر قال: يا رسول الله، كيف الصلاح بعد هذه الآية: { لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ } فَكُل سوء عملناه جزينا به؟ فقال النبي صلى الله عليه وسلم: "غَفَر اللَّهُ لكَ يا أبا بكر، ألستَ تَمْرضُ؟ ألستَ تَنْصَب؟ ألست تَحْزَن؟ ألست تُصيبك اللأواء ؟" قال: بلى. قال: "فهو ما تُجْزَوْنَ به".

“Telah diriwayatkan bahwasannya ketika ayat ini diturunkan, banyak di antara shahabat merasa berat (dalam memahaminya). Telah berkata Al-Imam Ahmad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Isma’il, dari Abu Bakr bin Abu Zuhair, ia berkata : Aku diberi khabar bahwa Abu Bakr pernah berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin ada kebahagiaan (di antara kami) setelah diturunkannya ayat ini : “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu” (QS. An-Nisaa’ : 123) ?. Bukankah setiap kejahatan yang kami lakukan akan dibalas ?”. Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakr, bukankah kamu akan menderita sakit ?. Bukankah kamu akan ditimpa musibah ? Bukankah kamu jugaakan merasa sedih ? Bukankah kamu juga akan ditimpa hal-hal yang tidak menyenangkan ?”. Abu Bakr menjawab : “Benar”. Beliau bersabda : “Itulah balasan yang akan diberikan kepada kalian”.

Kisah Mubahalah Mirza Ghulam Ahmad Al-Kadzab


Kata mubahalah [arab: المباهلة] turunan dari kata al-Bahl [arab: البَهْل] yang artinya laknat. Dalam Lisan al-Arab dinyatakan,

البَهْل: اللعن، وبَهَله الله بَهْلاً أي: لعنه، وباهل القوم بعضهم بعضاً وتباهلوا وابتهلوا: تلاعنوا، والمباهلة: الملاعنة

Al-Bahl artinya laknat. Kalimat ‘bahalahullah bahlan’ artinya Allah melaknatnya. Kalimat ‘baahala al-qoumu ba’dhuhum ba’dha’ artinya saling melaknat satu sama lain. Al-Mubahalah berarti Mula’anah (saling melaknat). (Lisan al-Arab, 11/71)

Ar-Raghib al-Asfahani mengatakan,

والبهل والابتهال في الدعاء الاسترسال فيه، والتضرع؛ نحو قوله ـ عز وجل ـ: {ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَل لَّعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ} [آل عمران: 61]، ومن فسر الابتهال باللعن فلأجل أن الاسترسال في هذا المكان لأجل اللعن

Al-Bahl dan Ibtihal dalam doa, artinya bersungguh-sungguh tanpa batas dalam berdoa. Seperti disebutkan dalam firman Allah, (yang artinya), “Kemudian kita melakukan ibtihal, dan kita tetapkan laknat Allah untuk orang yang berdusta.” (QS. Ali Imran: 61). Ulama yang menafsirkan ibtihal dengan laknat karena umumnya orang lepas kontrol ketika itu, disebabkan melakukan laknat. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 63).

Kesimpulannya, Mubahalah artinya doa dalam bentuk melaknat dengan sungguh-sungguh.

Bagaimana hasilnya? Laknat akan ditimpakan kepada orang yang berdusta diantara mereka. Ibnu Hajar mengatakan,

ومما عُرف بالتجربة أن من باهل وكان مبطلاً لا تمضي عليه سنة من يوم المباهلة، وقد وقع لي ذلك مع شخص كان يتعصب لبعض الملاحدة فلم يقم بعدها غير شهرين

Berdasarkan pengalaman, orang yang melakukan mubahalah di kalangan pembela kebatilan, tidak bertahan lebh dari setahun sejak hari mubahalah. Itu pernah saya alami sendiri bersama seorang yang memiliki pemikiran menyimpang, dan dia tidak bertahan hidup lebih dari 2 bulan. (Fathul Bari, 8/95)

Ibnu Abbas mengomentari orang nasrani Najran,

وَلَوْ خَرَجَ الَّذِينَ يُبَاهِلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَرَجَعُوا لاَ يَجِدُونَ مَالاً وَلاَ أَهْلاً

Andai ada orang yang berani bermubahalah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu mereka semua akan pulang, dan semua harta dan keluarganya akan hilang habis. (HR. Ahmad 2264).

Shiddiq Hasan Khan pernah mengatakan,

أردت المباهلة في ذلك الباب ـ يعني باب صفات الله تعالى ـ مع بعضهم فلم يقم المخالف غير شهرين حتى مات

Saya ingin mubahalah dengan sebagian mereka dalam masalah aqidh tentang sifat Allah. Dan orang yang menyimpang tidak bertahan lebih dari dua bulan, hingga dia mati. (Aun al-Bari, 5/334)

Kisah Mubahalah dengan Mirza Ghulam Ahmad

Tahukah anda, ternyata Mirza Ghulam Ahmad mati di WC dalam kondisi yang mengenaskan. Mayatnya berbau busuk, hingga semua orang menjauh darinya. Mirza Ghulam Ahmad mati setelah Mubahalah.

Syaikh Tsanaullah al-Amaritsari berdebat dengan Ghulam Ahmad. Setelah Ghulam berada di posisi kalah, akhirnya depat dipungkasi dengan Mubahalah. Syaikh mengatakan,

غلام أحمد من كان على الباطل أماته الله قبل الصادق منهما

Wahai Ghulam Ahmad, siapa diantara kita berada di atas kebatilan, maka Allah akan segera mematikan sebelum orang yang jujur (lawan debatnya) mati.

Berikut ini adalah surat tantangan mubaahalah Ghulam Ahmad Al-Kadzdzab terhadap seorang ‘aalim rabbaniy Asy-Syaikh Tsanaullah Al-Amritsariy rahimahullah atas klaim kenabian dirinya. Akhirnya, Allah pun menimpakan laknat dengan mematikan dirinya di atas kesesatan dan termakan doanya sendiri.

Ghulam Ahmad Al-Kadzdzab menulis :

بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم , يسألونك أحق هو قل إى وربى إنه لحق.
إلى خدمة الأستاذ ثناء الله.
السلام على من اتبع الهدى , من زمان وأنا أُكذّب وأُفسّق فى مجلتكم : أهل حديث . ودائماً تسموننى فى مجلتكم هذه ملعوناً كذاباً ودجالاً مفسداً , وتشهرنى فى العالم بانى مفترى كذاب دجال , وأفترى فى دعواى المسيحية , فانا تأذيت منك كثيراً وصبرت , ولكنى لما رأيت نفسى بأنى مأمور لنشر الحق وأنت تمنع العالم من التوجه إلى بسبب افتراءاتك علىّ إن أنا كذاب ومفترى , فأدعو إن أنا كذاب ومفتري كما تذكرني في مجلتك فأهلك في حياتك؛ لانى أعلم أن عمر الكذاب والمفسد لا يكون طويلاً بل هو يموت خائباً فى حياة أشد أعدائه بالذلة والهوان وتكون فى موته منفعة لعباد الله , حيث لا يضلهم فإن لم أكن كذاباً ومفترياً , بل أكون متشرفاً بمخاطبة الله والمكالمة معه , وأكون مسيحياً موعوداً فأدعو أن لا تنجو من عاقبة المكذبين , حسب سنة الله فأعلن :
إن لم تمت أنت فى حياتى بعقاب الله , الذى لا يكون من عند الله محضاً مثل أن يموت بمرض الطاعون أو الكوليرا , فلن أكون مرسلاً من الله تعالى , وهذا لا أقول نبوءة , بل طلبت القضاء من الله تبارك وتعالى , وأدعو الله , يا مولاى البصير القدير , العليم الخبير , يا عالم أسرار القلوب , إن أنا كاذب ومفسد فى نظرك , وأفترى عليك ليلاً ونهاراً يا الله , فأهلكنى فى حياة الأستاذ ثناء الله , وسره وجماعته بموتى , آمين.
ويا الله إنا صادق , ثناء الله علىّ باطل , وكذّاب فى التهم التى يلصقها بى , فأهلكه - يا رب العالمين - فى حياتى بالأمراض المهلكة , مثل الطاعون أو الكوليرا أو غيره من الأمراض , آمين . يارب أنا أوذيت وصبرت , ولكنى أرى الآن أنه قد تجاوز الحد , وانه يظننى أفسق من السارقين , والغاصبين الذى يضرون العالم , ويحسبنى أرذل خلق الله وقد شهرنى فى البلدان النائية بأنى فى الحقيقة مفسد ونهاب وطماع وكذاب ومفترى وخبيث وإن لم يكن لهذه الكلمات صدى , كنت صبرت عليه ولكنى أرى أن ثناء الله يريد بهذه التهم أن يفنى دعوتى , ويهدم عمارتى التى بنيتها أنت يا رب ويا من أرسلتنى ولذا ألتجأ إليك يا الله آخذاً بذيل رحمتك وتقدسك فاقض بينى وبين ثناء الله بالحق وأهلك الكذاب والمفسد فى حياة الصالح , أو ابتليه فى آفة , تكون مثل الموت , فافعل هكذا يا ربى الحبيب , آمين ثم آمين : ( رَبَّنَا افْتَحْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ قَوْمِنَا بِالْحَقِّ وَأَنتَ خَيْرُ الْفَاتِحِينَ) [الأعراف : 89 ]
وأخيراً أرجو من الأستاذ ثناء الله أن ينشر هذه النشرة فى مجلته , ثم يعلق عليها ما يشاء فالقضاء الآن بيد الله.
الراقم :

عبد الله الصمد غلام أحمد المسيح الموعود , عافاه الله وأيده

“Bismillahir-rahmaanir-rahiim.

Kami memuji dan mengucapkan shalawat kepada Rasul yang mulia. Mereka bertanya kepadamu : ‘Apakah hal itu benar ?’. Katakanlah : ‘Ya, demi Rabbku bahwasannya ia memang benar’.

Kepada yang terhormat : Al-Ustaadz Tsanaaullah (Al-Amritsariy).

Assalaamu ‘alaa manit-taba’al-hudaa (semoga keselamatan tercurah kepada siapa saja yang mengikuti petunjuk).Sudah beberapa waktu lamanya aku didustakan dan difasikkan dalam majalah kalian : Ahlul-Hadiits. Dan senantiasa kalian menyebutku dalam majalah itu terlaknat, pendusta, dajjal, dan perusak. Kalian juga menjelek-jelekkanku dengan mencemooh aku pendusta lagi pembohong, menganggap aku berbohong dalam klaim Al-Masiihiyyah. Sungguh aku merasa sangat tersakiti atas omonganmu ini, namun aku mencoba bersabar. Akan tetapi ketika aku melihat diriku diperintah untuk menyebarkan kebenaran sedangkan engkau mencoba menghalang-halangi dunia menuju kepadaku dengan sebab kebohongan-kebohongan yang engkau alamatkan kepadaku,….. maka aku berdoa seandainya aku pendusta lagi pembohong sebagaimana yang engkau sebutkan dalam majalahmu, aku akan mati di masa kehidupanmu. Karena aku tahu umur seorang pendusta lagi pembohong tidaklah akan lama. Ia akan mati sebagai pecundang dalam kehidupan musuh bebuyutannya secara hina-dina. Kematiannya akan menjadi manfaat bagi hamba-hamba Allah (yang masih hidup), ketika ia tidak bisa menyesatkan mereka. Namun seandainya aku bukan seorang pendusta lagi pembohong, aku akan menjadi orang yang mulia/terhormat dengan firman Allah dan perbincangan bersama-Nya. Dan aku akan menjadi Al-Masiih Al-Mau’uud (yang dijanjikan). Oleh karena itu, aku akan berdoa agar engkau tidak selamat dari akhir kehidupan para pendusta berdasarkan sunnah Allah. Maka aku umumkan :

Seandainya engkau tidak mati di masa kehidupanku dengan hukuman Allah yang murni datang dari sisi-Nya semisal mati terserang penyakit thaa’uun atau kolera, maka aku bersaksi bahwa aku bukan seorang utusan Allahta’ala. Ini tidaklah aku ucapkan sebagai ramalan, akan tetapi aku memohon putusan dari Allah tabaaraka wa ta’ala. Dan aku berdoa kepada Allah, wahai maulaku, Al-Bashiir, Al-Qadiir, Al-‘Aliim, Al-Khabiir,… Wahai, Dzat yang mengetahui rahasia-rahasia hati, seandainya aku pendusta dan perusak di sisi-Mu dimana aku berbohong kepadamu sepanjang malam dan siang ya Allah,… matikanlah aku di masa kehidupan Al-Ustadz Tsanaaullah. Gembirakanlah ia beserta kelompoknya dengan kematianku, amiin.

Ya Allah, namun seandainya aku benar dan tuduhan Tsanaaullah kepadaku itu baathil, dan ia dusta dalam tuduhan-tuduhannya yang dialamatkan kepadaku, matikanlah ia – ya Rabbal-‘aalamiin – di masa kehidupanku dengan penyakit yang membinasakan, seperti thaa’uun, kolera, atau yang lainnya dari macam-macam penyakit (yang membinasakan). Aamiin. Wahai Rabb, aku telah tersakiti dan aku pun bersabar. Akan tetapi, aku melihat sekarang bahwasannya ia telah melewati batas. Ia telah menyangkaku lebih fasik daripada para pencuri dan perampas yang merusak alam/dunia. Dan ia telah menganggapku makhluk yang paling hina, dan ia pun menjelek-jelekkanku di berbagai negeri bahwasanya aku ini sebenarnya perusak, perampok, rakus, pendusta, pembohong, lagi busuk. Seandainya kalimat-kalimat ini tidak bergema (di khalayak), niscaya aku akan tetap sabar kepadanya. Akan tetapi aku melihat Tsanaaullah menginginkan dengan tuduhan ini memadamkan dakwahku, menghancurkan bangunanku yang telah Engkau bangun, wahai Rabb, wahai Dzat yang telah mengutusku. Oleh karena itu, aku berlindung kepadamu ya Allah, dengan berpegang dengan ujung rahmat-Mu dan kesucian-Mu, putuskanlah antara aku dengan Tsanaaullah dengan kebenaran. Dan binasakanlah pendusta dan perusak di masa kehidupan orang yang benar, atau timpakanlah cobaan berupa penyakit hingga seperti kematian. Lakukanlah seperti ini wahai Rabb-ku tercinta, amiin, tsumma amiin. ‘Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya’ (QS. Al-A’raaf : 89).

Dan sebagai penutup, aku mohon kepada Al-Ustaadz Tsanaaullah untuk menyebarkan selebaran ini di majalahnya, kemudian silakan mengomentarinya semaunya, karena keputusan sekarang sudah berada di tangan Allah.

Ttd :

‘Abdullah Ash-Shamad Ghulaam Ahmad Al-Masiih Al-Mau’uud

[selesai – selebaran Al-Ghulaam Al-Qaadiyaaniy yang dipublikasikan tanggal 15 April 1907 M, yang dimuat dalam Tabliigh Risaalaat, 1/120]

Sepuluh hari setelah pengumuman ini disebarkan oleh Ghulam Ahmad, ia berkata dengan pongahnya :

إن كل ما قيل عن ثناء الله ليس من عبد أنفسنا، بل من قبل الله، كما ألهمت الليلة عن الدعاء الذي دعوته ((أجيب دعقة الداع)) ومعنى هذا الالهام أن دعوتي قد قبلت

“Sesungguhnya setiap hal yang dikatakan tentang Tsanaaullah, bukanlah berasal dari diriku sendiri, akan tetapi berasal dari Allah, sebagaimana ilham yang aku terima semalam tentang doa yang aku panjatkan : ‘Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa’ ; yang makna dari ilham ini : doaku telah dikabulkan (oleh Allah)” [Koran Al-Qaadiyaaniyyah, Al-Badr, edisi 25 April 1907 M].

Jadi, ia dengan tantangannya itu telah memastikan bahwasannya doanya diterima. Siapakah yang hendak diyakinkan oleh pendusta ini pihak yang akan binasa ? Tentu saja Asy-Syaikh Tsanaaullah rahimahullah; dan sebaliknya, pendusta inilah yang akan hidup.

Tapi apa yang terjadi ?

Anak Ghulam Ahmad yang bernama Basyiir Ahmad menulis :

أخبتني أمي أن حضرته (أي الغلام) احتاج إلى بيت الخلاء بعد الطعام مباشرة، ثم نام قليلا وبعد ذلك احتج مرة أخرى إلى بيت الخلاء فذهب مرة أو مرتين إليها بدون أن يشعرني، ثم أيقظني، فرأيت أنه ضعف جدا وما استطاع الذهاب إلى سريره فلذا جلس على سريري أنا، فبدأت أمسحه وأمسجه، وبعد قليل أحس الحاجة مرة أخرى ولكن الآن ما استطاع الذهاب إلى بيت الخلاء فلذا قضاها عند السرير واضطجع قليلا بعد القضاء ولكن ضعف بلغ إلى منتهاه فجائته الحاجة مرة أخرى فقضاها ثم جاءه القيء وبعد ما فرغ من القيء خر على ظهره واصطدم رأسه بخشب السرير وتغير حالته

“Ibuku mengkhabarkanku bahwasannya yang mulia (yaitu Ghulaam Ahmad) ingin pergi ke toilet setelah selesai makan. Kemudian setelah itu ia tidur sebentar, namun kemudian ia ingin kembali ke toilet. Ia melakukannya sekali atau dua kali tanpa aku ketahui. Kemudian ia membangunkanku, dan aku melihatnya dalam keadaan sangat lemah. Ia tidak mampu pergi ke tempat tidurnya. Oleh karena itu ia duduk di tempat tidurku. Lalu aku pun mengusap dan memijitnya. Tidak lama kemudian, ia kembali terasa ingin buang air besar, namun sekarang ia tidak mampu lagi pergi ke toilet. Maka, ia pun melakukannya di samping tempat tidur. Ia pun berbaring sebentar setelah selesai, namun kelemahan pada dirinya sampai pada puncaknya. Lalu ia kembali terasa ingin buang air besar, lalu ia pun melakukannya, lalu ia muntah. Setelah selesai muntah, ia jatuh ke belakang dan kepalanya terbentur kayu tempat tidur. Keadaannya pun berubah (= mati)” [Siirah Al-Mahdiy, hal. 109 oleh Basyiir Ahmad bin Ghulaam].

Para Pembaca dapat simak akhir kehidupan mengenaskan si pendusta, bahwa ia sendiri yang dibinasakan oleh Allah ta’ala melalui penyakit mencret/kolera pada tanggal 26 Mei 1908 pukul 10.30 pagi.

Allah ta’ala berfirman :

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

“Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratulmaut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya” [QS. Al-An’aam : 93].

Kunci Kalimah Lailaha Illalloh


Semua muslim pasti telah memahami bahwa segala macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu juga dengan puasa, haji dan ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga dengan kalimat yang mulia ini. Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali dengan terpenuhi syarat-syaratnya.

Oleh karena itu, para ulama terdahulu (baca : ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya memperhatikan syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut ini.

Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan,”Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya, maka dia akan masuk surga.”

Pernah ditanyakan kepada Wahb bin Munabbih : “Bukankah (ucapan syahadat) Tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah sebagai kunci surga?“. Dia (Wahb) menjawab :

بَلَى وَلَكِنْ لَيْسَ مِفْتَاحٌ إِلَّا لَهُ أَسْنَانٌ فَإِنْ جِئْتَ بِمِفْتَاحٍ لَهُ أَسْنَانٌ فُتِحَ لَكَ وَإِلَّا لَمْ يُفْتَحْ لَكَ

“Betul, akan tetapi tidaklah ada kunci melainkan padanya ada gigi-gigi. Maka jika engkaumendatangkan kunci yang mempunyai gigi-gigi,kamu dapat membuka. Dan jika tidak, maka engkau tidak dapat membuka“ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy secara mu‘allaq, di atas hadits no. 1237].

Adapun gigi-gigi kunci yang dimaksud adalah syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam syahadat Laa ilaha illallaah". Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1.     Al-Ilmu, yang meniadakan kebodohan, yaitu mengetahui maknanya baik secara peniadaan maupun penetapannya.

Allah ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ

“Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sembahan/ilah yang berhak diibadahi selain Allah” [QS. Muhammad ayat 19].

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [QS. Aali ‘Imraan : 18].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang meninggal sedangkan ia dalam keadaan mengetahui bahwasannya tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah, melainkan ia akan masuk surga’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 26].

Maksudnya, pengetahuan untuk meniadakan peribadahan selain Allah, dan menetapkannya hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Oleh karena, pengertian kalimatLaa ilaha illallaah adalah pengesaan Allah dalam peribadahan kepada-Nya.

Kalimat yang agung ini mempunyai dua rukun:

a.      An-nafyu (peniadaan), yaitu pada kalimat ‘laa ilaha (لَا إِلَهَ) : meniadakan semua tuhan/sesembahan yang diibadahi selain Allah.

b.      Al-itsbat (penetapan), yaitu pada kalimat ‘illallaah’ (إِلَّا اللهُ) : menetapkan semua jenis peribadahan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Peniadaan saja bukanlah tauhid. Begitu pula dengan penetapan saja bukanlah tauhid. Akan tetapi tauhid adalah penggabungan antara peniadaan dan penetapan sekaligus.

2.     Al-Yaqiin, adalah kesempurnaan ilmu tentangnya (kalimat Laa ilaha illallaah) yangmeniadakan keraguan.

Keimanan seseorang membutuhkan ilmu yakin, bukan sekedar ilmu dhann(persangkaan). Maka, orang yang mengucapkan kalimat laa ilaha illallaah harus benar-benar yakin terhadap makna yang terkandung di dalamnya dengan keyakinan yang pasti. Keyakinan menjadikan hati istiqamah bertauhid dengan tanpa keraguan. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar” [QS. Al-Hujuraat : 15].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، لَا يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا، إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya aku adalah utusan (Rasul) Allah. Tidaklah seorang hamba yang berjumpa Allah dengan keduanya tanpa keraguan (syak), melainkan ia akan masuk surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 27].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu:

فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ، يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ، فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ

“Orang yang engkau temui di balik tembok ini, ia bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah dengan keyakinan di hatinya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya akan surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 31].

Orang yang ragu, maka ia termasuk orang munafik, sebagaimana firman Allah ta’ala:

إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ يَتَرَدَّدُونَ

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya” [QS. At-Taubah : 45].

3.     Al-Ikhlash, yang meniadakan kesyirikan, yaitu kecintaan kepada Allah, menginginkan keridlaan-Nya, memurnikan peribadahan hanya kepada-Nya semata dari semua kesyirikan. Hal itu dikarenakan hanya Allah lah yang berhak mendapatkannya (peribadahan dari makhluk-Nya), bukan selain-Nya.

Kalimat tauhid tidak akan bermanfaat tanpa keikhlashan yang meniadakan kesyirikan. Makna kesyirikan adalah menyamakan sesuatu selain Allah dengan Allah dalam semua hal yang menjadi kekhususan-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)” [QS. Az-Zumar : 3].

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [QS. Al-Bayyinah : 5].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ

“Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah (tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah) secara ikhlash dari hatinya atau jiwanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 99].

4.     Ash-Shidq (jujur), yang meniadakan kedustaan yang menjadi penghalang kemunafikan. Seseorang yang mengucapkan laa ilaha illallaah harus jujur dari hatinya, hatinya sejalan dengan lisannya. Barangsiapa yang mengucapkannya dengan lisannya secara dhahir namun ternyata dusta secara batin (dalam hatinya), maka ia seorang munafik. Kemunafikan adalah menampakkan kebaikan secara dhahir dan menyembunyikan kejelekan secara batin.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ * يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ * فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” [QS. Al-Baqarah : 8-10].

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ * وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta” [QS.Al-Ankabuut : 2-3].

Allah ta’ala banyak berfirman tentang orang-orang munafik dalam Al-Qur’an. Bahkan, Ia berfirman secara khusus dalam satu surat, yaitu surat Al-Munaafiquun (orang-orang munafik), karena besarnya bahaya yang ditimbulkan oleh mereka. Begitu juga dengan surat At-Taubah dimana banyak sekali ayat-ayat dalam surat ini berbicara tentang mereka. Surat At-Taubah disebut juga ‘Al-Faadlihah’ karena Allah menyingkap tirai-tirai keburukan dan kejahatan mereka yang tersembunyi, serta memperingatkan kaum muslimin agar berhati-hati dari sifat-sifat mereka. Mereka adalah musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak tampak, sedangkan orang-orang kafir adalah musuh yang tampak.

5.     Al-Mahabbah, cinta yang merupakan lawan dari kebencian. Yaitu mencintai kalimat laa ilaha illallaah, segala sesuatu yang dikandungnya, dan bergembira karenanya.Seseorang harus mencintai dan melazimi kalimat tauhid, dan membenci apa-apa yang bertentangan/menbatalkan tauhid.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah” [QS. Al-Baqarah : 165].

وَيَقُولُ الَّذِينَ آمَنُوا أَهَؤُلاءِ الَّذِينَ أَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ إِنَّهُمْ لَمَعَكُمْ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَأَصْبَحُوا خَاسِرِينَ

“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi” [QS. Al-Baqarah : 165].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ، أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

“Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah semata, dan (3) ia membenci untuk kembali kepada kekafiran (setelah Allah menyelamatkannya darinya) sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam api neraka“ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 16].

Kecintaan adalah perkara yang sangat agung, bahkan ibadah diantaranya terbangun hal ini, yaitu rasa takut/khawatir, harap, dan cinta.

Kecintaan ada dua macam, yaitu kecintaan wajib dan kecintaan sunnah. Kecintaan wajib adalah kecintaan yang seseorang tidak dihukumi muslim kecuali jika ia dapat mewujudkannya; yaitu : kecintaan kepada Allah. Kecintaan yang mengkonsekuensikan melakukan apa yang diperintahkan kepadanya, meninggalkan apa yang diharamkan kepadanya. Apabila seseorang meninggalkan semua hal tersebut atau tidak mewujudkan sesuatu yang seseorang tidak akan masuk Islam kecuali dengannya; maka ia bukan seorang muslim. Apabila ia meremehkan sebagian kewajiban, maka imannya berkurang sesuai kadar kemaksiatan yang ia lakukan tersebut. Adapun kecintaan sunnah adalah kecintaan yang mendorong seseorang mewujudkan sesuatu yang dianjurkan/disunnahkan untuk melakukannya. Maka, kecintaan ini ada jika seseorang mencintai kalimat tauhid dan segala hal yang dikandungnya berupa perintah-perintah dan yang semisalnya; bergembira serta bahagia dengannya.

Poros kecintaan terletak pada ittiba’terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah ta’ala:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Aali ‘Imraan : 65].

Ayat ini dinamakan ayat mihnah (ujian), karena Allah ta’ala menguji seseorang yang mengaku mencintai Allah dengan ayat tersebut. Sebagian ulama terdahulu berkata:

تعصي الإله وأنت تزعم حبه --- هذا لعمري في القياس شنيع

لو كان حبك صادقا لأطعته --- إن المُحِبّ لمن يحب مطيع

“Engkau bermaksiat kepada Allah dan engkau mengklaim mencintai-Nya

demi hidupku, qiyas ini sangatlah buruk

Seandainya cintamu benar, niscaya engkau akan mentaati-Nya

sesungguhnya orang mencintai itu orang yang mencintai Dzat yang dicintainya”

6.     Al-Inqiyaad, yaitu tunduk dan patuh terhadap hak-hak kalimat laa ilaha illallaah berupa amal-amal kewajiban, secara ikhlash hanya untuk Allah  dan memohon keridlaan-Nya.

Tunduk terhadap hak-haknya (kalimat tauhid) adalah satu kriteria, karena banyak orang yang mengaku mengetahui makna kalimat ini, ikhlash, jujur, dan yakin; apabila mereka diperintahkan dengan satu perintah atau dilarang dengan satu larangan terhadap sesuatu, ia tidak mau tunduk dan patuh, sehingga batallah semua pengakuannya itu. Seandainya ia jujur, yakin, dan cinta secara hakiki; niscaya ia akan tunduk dan patuh terhadap kalimat ini baik secara dhahir maupun batin, ikhlash hanya kepada Allah, mengharap keridlaan-Nya, dan takut terhadap kemurkaan dan hukuman-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الأمُورِ

“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan” [QS. Luqmaan : 22].

7.     Al-Qabul, penerimaan yang menafikkan penolakan. Yaitu menerima dan menunaikan Tauhid dengan hati dan lisan. Allah telah mengisahkan kepada kita tentang kabar yang telah lampau berkenaan akibat/kesudahan orang-orang terdahulu dan menimpakan siksa sebab menolak dan enggan men-Tauhid-kan Allah.

Seseorang harus menerima kalimat laa ilaha illallaah dengan hati dan lisannya. Barangsiapa yang tidak menerimanya dan menolaknya, serta bersikap sombong; maka ia kafir sebagaimana orang-orang kafir Quraisy menolaknya dengan penentangan, kesombongan, tanpa mau menerimanya.

Allah ta’ala telah berfirman dalam Al-Qur’an tentang berita-berita di masa lampau, yaitu keselamatan orang-orang yang mau menerimanya serta celakanya orang-orang yang menolak dan enggan terhadapnya. Begitu juga dengan adanya pahala yang Allah janjikan bagi orang-orang yang mau menerimanya dan adzab yang Allah ancamkan bagi orang-orang yang menolaknya.

Allah ta’ala telah berfirman:

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ * قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ * فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi Peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." (Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu” [QS. Az-Zukhruf : 23-25].

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri. dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [QS. Ash-Shaaffaat : 35-36].

Namun demikian, perlu digarisbawahi di sini bahwa tetapnya keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat. Banyak ulama yang menetapkan hal ini, yang kemudian setelah itu dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, dan semua perkara-perkara syari’at. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ، حَتَّى يَقُولُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَإِذَا قَالُوا: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، عَصَمُوا مِنِّي، دِمَاءَهُمْ، وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkan ‘tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah’, terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, kecuali dengan haknya (Islam); sedangkan perhitungan mereka diserahkan kepada Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 21].

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ ، قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَصَبَّحْنَا الْحُرَقَاتِ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَأَدْرَكْتُ رَجُلًا، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَطَعَنْتُهُ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي مِنْ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُهُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَقَتَلْتَهُ؟ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّمَا قَالَهَا خَوْفًا مِنَ السِّلَاحِ، قَالَ: " أَفَلَا شَقَقْتَ عَنْ قَلْبِهِ، حَتَّى تَعْلَمَ أَقَالَهَا أَمْ لَا؟ " فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمَنَّيْتُ أَنِّي أَسْلَمْتُ يَوْمَئِذٍ، قَالَ: فَقَالَ سَعْدٌ: وَأَنَا وَاللَّهِ لَا أَقْتُلُ مُسْلِمًا حَتَّى يَقْتُلَهُ ذُو الْبُطَيْنِ يَعْنِي أُسَامَةَ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: أَلَمْ يَقُلِ اللَّهُ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ، وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ، فَقَالَ سَعْدٌ: قَدْ قَاتَلْنَا حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ، وَأَنْتَ، وَأَصْحَابُكَ تُرِيدُونَ أَنْ تُقَاتِلُوا حَتَّى تَكُونُ فِتْنَةٌ

Dari Usaamah bin Zaid, ia berkata : Kami pernah dikirim Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamdalam satu pasukan perang. Lalu kami sampai di Al-Huraqaat, daerah Juhainah pada waktu shubuh. Maka aku temukan seorang laki-laki. Ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, lalu aku pun menikamnya. Kemudian dalam diriku aku ada ganjalan karenanya, sehingga aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Apakah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallaah lantas engkau tetap membunuhnya ?”. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanya mengucapkannya karena takut terhadap hunusan pedang”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau belah hati orang tersebut sehingga engkau tahu apakah hatinya mengucapkan Laa ilaha illallaah atau tidak ?”. Beliau terus-menerus mengucapkannya kepadaku hingga berangan-angan aku baru masuk Islam pada hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4269 dan Muslim no. 96].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وَقَدْ عُلِمَ بِاْلاِضْطِرَارِ مِنْ دِيْنِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم وَاِتَّفَقَتْ عَلَيْهِ اْلأُمّةُ أَنَّ أَصْلَ اْلإِسْلاَمِ وَأَوَّلَ مَا يُؤْمَرُ بِهِ الْخَلْقَ : شَهَادَةُ أَنَ لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله فَبِذَلِكَ يَصِيْرُ الْكَافِرُ مُسْلِمًا وَالْعَدُوُّ وَلِيًا وَالْمُبَاحُ دَمَهُ وَمَالَهُ : مَعْصُومُ الدَّمَ وَالْمَالَ

“Telah diketahui dengan pasti dari agama Rasulshallallaahu ‘alaihi wa sallam dan umat telah bersepakat terhadapnya bahwa pokok Islam dan hal yang diperintahkan pertama kali kepada makhluk adalah persaksian tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan (Rasul) Allah. Karenanya seorang kafir menjadi muslim, musuh mejadi wali, darah dan hartanya dihalalkan, menjadi darah dan hartanya dilindungi….” [Fathul-Majiid, hal. 89].

Ibnush-Shalaah rahimahullah berkata:

وَحُكْم الْإِسْلَام فِي الظَّاهِر ثَبَتَ بِالشَّهَادَتَيْنِ....

“Hukum Islam secara dhahir ditetapkan dengan ucapan dua kalimat syahadat….” [Syarh Shahiih Muslim lin-Nawawiy, 1/12].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَمِنْ حُجَج مَنْ أَجَازَ ذَلِكَ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " أُمِرْت أَنْ أُقَاتِل النَّاس حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَه إِلَّا اللَّه ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ " فَيُحْكَم بِإِسْلَامِ مَنْ تَلَفَّظَ بِالشَّهَادَتَيْنِ - وَلَوْ كَانَ فِي نَفْسِ الْأَمْر يَعْتَقِد خِلَاف ذَلِكَ -

“Di antara hujjah-hujjah ulama yang membolehkan hal tersebut adalah sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan/ilah yang berhak disembah selain Allah. Apabila mereka mengucapkannya, terpeliharalah dariku darah mereka’. Maka orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dihukumi Islam (secara dhahir), meskipun sebenarnya ia berkeyakinan lain dari itu” [Fathul-Baariy, 13/174].

Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah berkata:

ومن المعلوم بالضرورة أنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يقبل مِنْ كل منْ جاءه يريدُ الدخولَ في الإسلامِ الشهادتين فقط ، ويَعْصِمُ دَمَه بذلك ، ويجعله مسلماً ، فقد أنكر على أسامة بن زيد قتلَه لمن قال : لا إله إلا الله ، لما رفع عليه السيفَ ، واشتدَّ نكيرُه عليه

“Dan termasuk hal yang telah diketahui dengan pasti bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima siapa saja yang datang kepada beliau yang ingin masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, dan beliau melindungi darahnya dan menjadikannya seorang muslim. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingkari dengan sangat keras terhadap Usaamah bin Zaid yang membunuh orang yang mengucapkan Laa ilaha illallaah ketika ia (Usaamah) mengangkat pedang kepadanya” [Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 207].

وبهذا الذي قرَّرناه يظهر الجمع بين ألفاظ أحاديث هذا الباب ، ويتبين أنَّ كُلَّها حقٌّ ، فإنَّ كلمتي الشهادتين بمجردهما تَعْصِمُ من أتى بهما ، ويصير بذلك مسلماً

“Dengan penjelasan kami ini maka nampak jelas penggabungan/penjamakan lafdh-lafadh hadits  dalam bab ini, dan menjadi jelas bahwa semuanya benar. Sesungguhnya dua kalimat syahadat saja sudah dapat melindungi orang yang mengucapkannya, dan menjadikannya seorang muslim…” [idem, hal. 209].

Begitu juga keislaman ditetapkan bagi orang yang dilahirkan dari kedua orang tua muslim atau perwaliannya milik kaum muslimin sejak kecil sebelum ia mencapai baligh. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1385].

Fithrah yang dimaksudkan di sini adalah Islam sebagaimana firman Allah ta’ala:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [QS. Ar-Ruum : 30].

Apa yang dipaparkan di sini perlu disampaikan karena sebagian orang mencampurkan hukum Islam secara duniawi dan ukhrawiy. Mereka menyangka penghukuman keislaman seseorang (di dunia) mengkonsekuensikan hukum selamatnya ia di akhirat; atau mereka menyangka bahwa keislaman seseorang tidak ditetapkan kecuali setelah memahami syarat-syarat kalimat Laa ilaha illallaah yang disebutkan di atas. Ini keliru. Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan dari syarat-syarat tersebut merupakan amal-amal hati, bukan amal-amal anggota badan, sehingga sangat sulit untuk menelitinya/memastikannya. Terkait dengan itu, sekedar pengucapan dua kalimat syahadat memang tidak cukup menyelamatkan seorang hamba di sisi Allah (kelak di akhirat) kecuali jika ia mewujudkan/merealisasikan syarat-syaratnya. Adapun penghukuman keislaman seseorang di dunia cukup dengan pengucapan dua kalimat syahadat, hingga datang keterangan yang jelas yang membatalkan keislamannya.

Dengan kalimat Tauhid inilah, bumi dan langit dapat tegak. Allâh Azza wa Jalla menjadikan fitrah seluruh makhluk di atas kalimat ini. Di atasnya agama dan kiblat itu dibangun, serta pedang-pedang jihad dihunuskan. Ia murni hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh hamba-Nya, sekaligus merupakan kalimat yang melindungi darah, harta, dan keturunan di kehidupan dunia, kemudian menyelamatkan manusia dari siksa kubur dan Neraka. Ia adalah lembaran terbuka yang seseorang itu tidak akan masuk Surga, melainkan dengannya.
Ia adalah tali yang jika seseorang tidak berpegang dengannya, niscaya dia tidak akan sampai kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ia adalah kalimat Islam dan kunci pembuka Surga yang penuh keselamatan. Dengannya, manusia terbagi menjadi orang sengsara, bahagia, diterima, ataupun ditolak. Dengannya juga, negeri kekufuran terpisah dengan negeri keimanan, serta terbedakan antara negeri kenikmatan dengan negeri kesengsaraan dan kehinaan. Ia adalah tiang yang mengandung perkara yang wajib sekaligus yang sunnah.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّـةَ.

Barangsiapa akhir ucapannya adalah LÂ ILÂHA ILLALLÂH pasti masuk Surga.

Ruh dan rahasia kalimat ini adalah pengesaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam kecintaan, pemuliaan, pengagungan, takut dan berharap (hanya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ), dan perkara-perkara lain yang mengiringinya; berupa tawakkal, taubat, keinginan, dan ketakutan. Seorang hamba tidak mencintai selain-Nya. Kalaupun mencintai selain Allâh Azza wa Jalla itu karena kecintaan itu merupakan bagian dari cinta kepada Allâh Azza wa Jalla dan merupakan sarana untuk menambah rasa cinta kepada Allâh Azza wa Jalla . Seorang hamba juga tidak takut kepada selain Allâh Azza wa Jalla , tidak berharap kepada selain-Nya, tidak bertawakkal selain kepada-Nya, ia hanya mengharap kepada Allâh, tidak takut selain kepada-Nya, hanya ber-sumpah dengan nama-Nya, tidak bernadzar selain kepada-Nya, hanya bertaubat kepada-Nya, tidak mentaati selain perintah-Nya, hanya mengharapkan ganjaran dari-Nya, tidak memohon pertolongan ketika terjadinya kesulitan selain kepada-Nya, hanya bersandar kepada-Nya, tidak sujud selain kepada-Nya, serta hanya menyembelih untuk-Nya dan dengan nama-Nya. Seluruh perkara ini terkumpul pada satu kalimat, yaitu, “Tidaklah disembah dengan semua macam ibadah, melainkan hanya Allâh semata.” Inilah realisasi dari kalimat syahadat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ.

Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan api neraka bagi orang yang mengucapkan dan merealisasikan kalimat syahadat لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ dengan benar. Mustahil orang yang merealisasikan dan menerapkan syahadat ini masuk Neraka. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَالَّذِينَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ

“Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya.” [Al-Ma’ârij/70:33]

Hamba tersebut telah melaksanakan syahadat tersebut secara lahir dan batin, baik melalui hati maupun anggota badannya.

Sebagian manusia ada yang syahadatnya mati, sebagian lagi syahadatnya tertidur sehingga harus dibangunkan supaya terjaga, sebagian lagi ada yang syahadatnya berbaring, dan sebagian lagi ada yang syahadatnya miring hampir berdiri. Kedudukan syahadat dalam hati seperti kedudukan roh terhadap badan. Ada roh yang mati, roh yang sakit dan lebih dekat kepada kematian, roh yang lebih dekat dengan kehidupan, serta ada roh yang sehat dan melaksanakan kemaslahatan badan.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنِّـيْ لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَا يَقُوْلُـهَا عَبْدٌ عِنْدَ الْـمَوْتِ إِلَّا وَجَدَتْ رُوْحُهُ لَـهَا رُوْحًا.

Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang tidaklah seorang hamba mengucapkannya ketika dia meninggal dunia, melainkan rohnya akan mendapatkan roh baginya.

Dengan demikian, kehidupan roh bergantung pada kalimat tersebut, seperti halnya kehidupan badan tergantung dari keberadaan roh; Juga sebagaimana orang yang meninggal di atas kalimat ini sehingga berhak berada di Surga dan bergerak bebas di dalamnya. Oleh karena itu, barangsiapa merealisasikan dan melaksanakan inti kalimat ini niscaya rohnya akan bergerak bebas dalam Surga, bahkan tempat tinggal dan hidupnya menjadi kehidupan yang terbaik. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٤٠﴾ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” [An-Nâzi’ât/79:40-41]

Surga adalah tempat tinggal bagi mereka pada hari Pertemuan dengan-Nya kelak.

Surga pengetahuan, kecintaan, kedekatan dengan Allâh , kerinduan terhadap pertemuan dengan-Nya, senang dengan Allâh, dan ridha terhadap-Nya merupakan tempat tinggal rohnya di dunia. Barangsiapa surga tersebut adalah tempat tinggalnya di dunia maka Surga yang abadi akan menjadi tempat tinggalnya di akhirat. Sebaliknya, orang yang terhalang dari Surga dunia maka dia akan lebih terhalang dari Surga yang abadi. Orang-orang yang melakukan kebajikan berada di dalam Surga kenikmatan meskipun mereka mengalami kesulitan dan kesempitan hidup di dunia; sedangkan orang-orang yang durhaka berada dalam Neraka kepedihan meskipun kehidupan dunia mereka serba cukup. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An-Nahl/16: 97]

Kehidupan yang baik adalah Surga dunia. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ

Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allâh kesesatannya, niscaya Allâh menjadikan dadanya sesak lagi sempit…” [Al-An’âm/6:125]

Kenikmatan manakah yang lebih baik dibandingkan kelapangan dada ? Dan, adzab manakah yang lebih pedih daripada sempitnya dada? Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿٦٢﴾ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ ﴿٦٣﴾ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۚ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allâh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allâh . Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” [Yûnus/10:62-64]

Mukmin yang ikhlas kepada Allâh merupakan manusia yang paling baik hidupnya, paling tenteram pikirannya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Inilah Surga yang disegerakan sebelum Surga yang abadi.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...