Senin, 01 November 2021

SEJARAH MBAH ACHMAD RIFA'I KALISALAK YANG TERLUPAKAN


Nama KH Ahmad Rifa'I tak bisa luput dari deretan ulama tarekat Indonesia. Ialah sang pendiri organisasi kemasyarakatan Rifa'iyyah. Ia juga merupakan salah satu ulama yang bergelar pahlawan nasional.

Dialah K.H. Ahmad Rifa'i (1786-1876 M), putra kelahiran Kendal bermadzhab Syafi'iyah. Seorang ulama besar ahli Thoreqot. Sosok pemimpin yang tegas, ulet, dan gigih melawan dominasi Kolonialisme Belanda. Tak heran jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi gelar Pahlawan Nasional melalui Kepres Nomor: 086/TK/2004.

Kiai lahir di Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah pada 9 Muharram 1200 hijriyyah, atau 1786 masehi. Ia telah menjadi yatim di usia sangat belia. Sang ayah yang merupakam ulama Kendal, KH Muhammad Marhum Bin Abi Sujak, meninggal saat Kiai Rifa'i baru berusia enam tahun. pun kemudian di bawah pengasuhan kakak perempuannya yang bersuamikan Kiai Haji As'ari, pendiri ponpes di Kaliwungu.

Dari kakak iparnya itulah Rifa'i kecil belajar ilmu agama hingga dewasa. Ia juga telah memulai jalan dakwah ketika cukup usia dengan menghelat tabligh keliling Kendal. Dakwah kiai terkenal tegas, sehingga Belanda pun mengawasi gerak-geriknya. Belum lagi tulisan-tulisannya yang menyuarakan kemerdekaan Tanah Air dari tangan penjajah.

Dengan sikap patriotik tersebut, kiai sering kali ditangkap penjajah, di penjara, bahkan diasingkan. Berkali-kali ia keluar masuk penjara di Kendal dan Semarang. Ia juga pernah diasingkan di Desa Kalisalak Batang. Saat dipengasingan tersebut, kiai justru mendirikan sebuah pondok pesantren. Dengan berdirinya ponpes tersebut, warga pun mulai melek terhadap pendidikan agama dan perjuangan kemerdekaan.

Lelah keluar masuk penjara, kiai pun kemudian memutuskan pergi ke Tanah Suci. Saat itu, usianya sekitar 30 tahun. Kiai ingin menambah ilmu agamanya langsung dari ulama Saudi. Di sana, ia pun berguru kepada para masyayikh, seperti Syekh Ahmad Ustman, Syekh Is Al -Barawi dan Syekh Abdul Aziz Al Habisyi. Setelah menempa ilmu di Saudi sekitar delapan tahun, kiai melanjutkan belajar ke Mesir.

Begitu pulang dari Makkah dan melihat kondisi di tanah air yang tak banyak berubah sejak 1833, kebencian K.H. Rifai kepada Belanda dan kaki tangannya semakin tebal. Saat itu dia kembali mengajar di almamater dan pesantren milik kakak iparnya, K.H. Hasyim Asyari, di Kaliwungu. Tak kapok dengan pengalaman penjaranya sebelum berangkat haji, dia tetap menyerukan sikap untuk memusuhi mereka. Akibatnya, dua kali dia dijebloskan ke jeruji besi; pertama di Kendal, kedua di Semarang. Kelar dengan hukumannya, K.H. Rifai memilih pindah ke daerah pedesaan di Kalisalak, Batang, Pekalongan, Jawa Tengah.

Di sana dia membangun pesantrennya sambil tetap menulis. Meski membenci Belanda, gerakan K.H. Ahmad Rifai ini tak menimbulkan gerakan perlawanan fisik seperti halnya H. Abdul Karim, Haji Tb. Ismail, dan lainnya dalam perlawanan petani di Banten pada 1888. Gerakan Rifaiyah ini memusuhi mereka dengan cara menjauhi mereka. Bahkan, meskipun “Perang Sabil”, salah satu mantra yang kerap terdengar dalam Perang Jawa, disebutkan dalam kitabnya, Nazam Wikayah, dia tetap tak menghendaki perlawanan fisik.

Slamete dunya akherat wajib kinira// nglawan raja kafir sekuasane kafikira
tur perang sabil lewih kadene ukara //kacukupan tan kanti akeh bala kuncara

Keselamatan dunia-akhirat wajib diperhitungkan// melawan raja kafir semampunya perlu dipikirkan
Juga perang sabil lebih dari pada ucapan// cukup tidak menggunakan pasukan yang besar

Karena kecenderungannya untuk menghindari pemerintah Belanda itulah kebanyakan pusat kegiatan Rifaiyah terletak di daerah pedesaan, seperti Kalisalak, Batang, Jawa Tengah. Terletak di pedalaman dan jauh dari pemerintah justru membuat gerakan Rifaiyah lebih kukuh. “Akibatnya, ia memiliki keleluasaan untuk mengobarkan sikap anti-pemerintah, bahkan mampu membentuk kekuatan rakyat kecil, yakni santri Kalisalak dengan cirinya melakukan isolasi dengan kebudayaan kota yang berbau pemerintah,”.

Di Kalisalak ini dia menekuni pengajiannya dan menulis ajaran-ajarannya. Dalam kitab-kitabnya, ia semakin tajam menyerang pemerintah. Dalam Abyan Hawaij, ia menulis:

Ratu Islam maring raja kafir anutan// Bupati Demang Ngawula asih-asihan
Maring raja kafir anut parintahan//

Ratu Islam menganut raja kafir// Bupati, Demang sama-sama mengabdi
Kepada raja kafir seraya mengikuti perintahnya//

Selain menulis kitab, Ahmad Rifai juga menulis surat teguran keras kepada bupati dan pemimpin agama. Dia mulai kebanjiran santri yang datang dari berbagai daerah. Dengan menyebutkan secara subur kata-kata kafir, fasik, zalim dalam kitab-kitabnya yang ditujukan kepada Pemerintah Belanda dan para pembantunya, K.H. Rifai membuat pemerintah Belanda gerah.

Pada umumnya masyarakat disana kaum petani yang pengetahuan agamanya perlu disempurnakan. Selain itu para murid yang pernah mendapat latihan mental waktu di Kendal adalah dari Krisidenan Pekalongan, di samping Karisidenan lain, seperti Maufuro Batang, Abu Ilham Batang, Abdul Azis Wonosobo, Abdul Hamid Wonosobo, Abdul Qohar Kendal, Muhammad Thuba Kendal, Imamtani Kutowinangun, Muh Idris Indramayu, Muharrar Purworejo, Mukhsin Kendal, Mas Suemodiwiryo Salatiga, Abdullah ( Dolak ) Magelang, Abu Hasan Wonosobo, Abu Salim Pekalongan, Abdul Hadie Wonosobo, Tawwan Tegal, Asnawi Pekalongan, Abdul Saman Kendal, Abu Mansyur Wonosobo, Abdul Ghani Wonosobo, Muhammad Hasan Wonosobo, Muhammad Tayyib Wonosobo, Ahmad Hasan Pekalongan, Nawawi Batang , Abu Nawawi Purwodadi.

Mereka itulah kader-kader Mubaligh tangguh yang berjasa mengembangkan pemikiran Haji Ahmad Rifai ke daerah - daerah Jawa Tengah danJawa Barat. Ketika Haji Ahmad Rifai berada di Kendal sempat menuklahkan putranya, Fatimah Alias Umroh dengan lurah Pondok, Maufuro bin Nawawi, Keranggonan ( sekarang Karanganyar ) Kecamatan Limpung. Setelah meninggalkan kota Kendal, Haji Ahmad Rifai sementara tinggal di rumah Kiai Maufuro menantunya.

Tidak lama kemudian Ahmad Rifai menikahi janda Demang Kalisalak Alm Martowidjojo namanya Sujainah lalu ia hidup bersama istrinya di Kalisalak. Di Kalisalak pada mulanya Kiai Haji Ahmad Rifai menyelenggarakan pengajian untuk anak-anak. Namun lembaga itu kemudian berkembang menjadi majelis pendidikan yang mencakup pula orang-orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Satu hal yang menyebabkan pengajian haji Ahmad Rifai cepat terkenal adalah metode terjemahannya, baik Al-Quran, Al-Hadits maupun kitab-kitab karangan ulama Arab dan Aceh lebih dahulu diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa sebelum diajarkan kepada para murid, bahkan kelihatan sebagai kewajiban yang ditempuh secara sadar,seperti yang tersirat di dalam satu bait kitab Ri'ayatal Himmah karya Haji Ahmad Rifai, sebagai berikut:

Wajib saben alim adil nuliyan narajumah kitab Arab rinetenan supoyo wong jawi akeh ngerti pitutur saking Qur'an lan kitab - kitab Arab jujur kaduwe wong awam enggal ngerti milahur ningali kitab Tarjamah jawi pitutur

Artinya: Diwajibkan bagi setiap alim adil ( ulama akhirat ) untuk menejemahkan kitab Arab, agar orang jawa lebih mengerti ajaran dari Al Qurandan kitab-kitab Arab ( Hadits dan Ulama ) dengan benar sehingga orang awam mengerti dan segera melaksanakannya.

melihat ( membaca dan mempelajari ) kitab Tarjumah jawa sebagai ajaran. karena metodenya yang tepat manfaat maka tak mustahil pengajian Ahmad Rifai cepat berkembang. Para muridnya datang dari daerah yang dekat saja seperti Kendal, Batang dan Pekalongan tetapi juga berasal dari Kedu , Wonosobo, Magelang , Banyumas, Kerawang, Indramayu dan lainnya . Dan intensitas pengajaran tauhid , fiqh dan tasawuf rasional yang dijalankan oleh Haji Ahmad Rifai yang menyebabkan perbedaan antara tradisi keliru yang telah mapan dengan pemikiran barunya . Mendirikan Pesantren Kiai Haji Ahamd Rifai mendirikan lembaga pendidikan pondok pesantren di Kalisalak Batang . Sistem pengajaran yang menggunakan terjemahan bahasa jawa untuk memahami ajaran - ajaran islam , mendorong bertambahnya murid pesantren yang berdatangan dari berbagai daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sementara waktu itu kebiasaan di pondok pesantren masih berlaku pengajian kitab - kiatb berbahasa Arab saja , dan masih asing terhadap kitab kitab terjemahan. Menurut DR. Karel A. Steenbrink ( Sarjana Belanda ) bahwa di dalam sejarah dakwah , Ahmad Rifai bisa dianggap hampir satu - satunya tokoh yang bisa memberikan uraian tentang agama Islam tanpa memakai idiom - idiom Arab dan mampu mengarang buku dalam bahasa yang menarik karena memakai bentuk syair.

Empat kali Residen Pekalongan, Franciscus Netscher melaporkan secara rahasia kegiatan Rifai ini kepada Gubernur Jenderal Duymaer van Twist dan kemudian Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud. Franciscus juga meminta Rifai diasingkan, tapi pemerintah enggan menanggapi permintaan ini karena tak memenuhi syarat. Selain Franciscus, beberapa pejabat Bumiputera juga melaporkan hal yang sama. Wedana Kalisalak, misalnya, melaporkan kepada Bupati Batang tentang pengajian K.H. Rifai yang makin banyak pengunjung dari berbagai daerah tanpa melalui izinnya. Tak lupa, mereka menyertakan kitab-kitab anggitan K.H. Rifai yang berisi penolakan terhadap Belanda. Tak serta merta laporan-laporan ini membuat Kyai Rifai dipanggil.

“Namun, ketika Wedana Kalisalak dan atasannya, Bupati Batang, kembali mengajukan keluhan yang sama pada bulan April 1859 tentang keresahan yang ditimbulkan oleh Ahmad Ripangi terhadap komunitas Islam dan sikapnya yang tidak menghormati polisi setempat, pengadilan pun segera digelar,” tulis Michael Francis Laffan dalam Islamic Nationhood and Colonial Indonesia. K.H. Rifai dikenal juga dengan nama Ahmad Ripangi.
Demi memenuhi persyaratan pengasingan, tulis Adib dalam disertasinya, pada 6 Mei 1859 Franciscus memejahijaukan K.H. Rifai di Pengadilan Pekalongan. Pengadilan ini pula yang mengeluarkan surat keputusan tertanggal 19 Mei 1859 untuk pembuangannya ke Ambon, Maluku. Dalam surat keputusan itu pemerintah berkesimpulan bahwa K.H. Rifai mengajarkan Islam dengan semangat yang mengandung unsur permusuhan terhadap pemerintah Belanda. Dia dianggap mengganggu stabilitas negara.

Bagaimana pun, dia seorang tokoh Islam populer. Pada 1881, Asisten Bupati Yogyakarta memperkirakan bahwa dalam puncak popularitasnya K.H. Rifai memiliki sekitar dua ribu pengikut. Dengan jumlah ini, kekhawatiran pemerintah Belanda sangatlah beralasan.
Maka, ia dijauhkan dari umatnya. Di Ambon, ia masih sempat menulis. Meski K.H. Rifai diasingkan, gerakan Rifaiyah tetap berkembang. Kitab karangannya tetap dikaji santri-santrinya. Dia tetap mengirimkan kitab-kitabnya ke Jawa. Ia juga berwasiat kepada menantunya, Kiai Maufuro, dan santrinya agar tak bekerja sama dengan Belanda dan pembantunya.

Sebagai ulama, kiai banyak berdakwah serta menulis dan menerjemahkan buku. Di antara karyanya, yakni kitab terjemahan kitab berbahasa Arab dari ulama terdahulu yang jumlahnya mencapai 62 judul. Ia menerjemahkannya bebas ke dalam bahasa Jawa, sehingga dapat dimengerti masyarakat pedesaan. Karya-karya terjemah yang disebut Tarjumah inilah yang paling terkenal dari hasil karyanya. Pasalnya, kitab-kitab itu sangat membantu masyarakat desa dalam memahami agama.

Sebagai pejuang, Kiai Rifa'i sangat vokal dalam menyerukan perlawanan terhadap Belanda. Ia berdakwah sembari menanamkan semangat kemerdekaan kepada masyarakat. Alhasil, setiap geraknya selalu diawasi penjajah. Kiai sering kali diasingkan ke tempat terpencil. Ia juga pernah dibuang ke Ambon dan Manado.

Di akhir hayatnya, kiai pun meninggal di pengasingan di Tanah Tondano, Minahasa, Manado, Sulawesi Utara. Bahkan, tanggal kematiannya pun tak ada yang tahu pasti. Ada yang bilang, Kiai wafat pada Kamis 25 Rabiul Akhir 1286 H di usia 86 tahun. Sumber lain menyebut kiai wafat pada 1292 H di usia 92 tahun. Jenazah kiai dimakamkan di kompleks makam pahlawan di Tondano.

Karya Tulis Mbah Rifa'i yang tersimpan di Belanda

Selain dikenal sebagai ulama Nusantara abad ke-19 yang sangat anti terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda, KH. Ahmad Rifa'i (1786-1870) Kalisalak, Batang, Jawa Tengah menurut Karel A. Steenbrink dalam buku berjudul Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 juga merupakan salah satu ulama yang sangat produktif dalam menulis kitab. Steenbrink menilai Mbah Rifa'i pandai menulis dengan bahasa sederhana yang mudah dipahamai tanpa memakai idiom-idiom Arab yang sulit.

Kitab-kitab agama yang ditulis Mbah Rifa'i dalam bentuk syair, puisi tembang Jawa, bentuk nastar dan nastrah ada sebanyak 65 judul. Sementara yang berbentuk Tanbih (semacam risalah singkat yang membahas satu topik) ada 500 karya dan terdapat 700 berupa nadzom doa. Jumlah kitab tersebut yang ditulis sebelum kiai Ahmad Rifa'i diasingkan ke Ambon Maluku, yaitu saat masih bermukim di Desa Kalisalak.

Disebutkan oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996) selama hidup di pengasingan Ambon, Ahmad Rifa'i ternyata masih tetap konsisten menulis. Hanya media bahasanya beralih dari yang semula menggunakan bahasa Jawa, setelah di Ambon menggunakan bahasa Melayu. Saat diasingkan di Ambon ini Kiai Ahmad Rifai berhasil menulis empat judul kitab dan 60 buah judul Tanbih berbahasa melayu tulisan arab pegon.

Secara umum kitab-kitab di atas mengupas tentang tiga bidang ilmu syariat Islam yang meliputi fiqih, ushuluddin dan tasawuf.

Tetapi karena sebagian besar dalam kitab-kitab karya Kiai ahmad Rifai tersebut juga memuat kritikan keras dan protes tajam yang dialamatkan kepada pemerintah Hindia Belanda beserta para pengabdinya dari kalangan pegawai pribumi, sekitar tahun 1859 kitab-kitab itu disita oleh pemerintah kolonial Belanda dan sebagian dari hasil sitaan tersebut dikirimkan ke negeri Belanda dan sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Sartono Kartidirjo dalam bukunya Protest Movements in Rural Java seperti dikutip oleh Ahmad Syadzirin Amin (1996), menyebutkan kitab-kitab karya KH. Ahmad Rifa'i yang masih disimpan di Universitas Leiden Belanda antara lain:

1. No. 1139 Riayatal Himmah, tahun 1849 M
2. No 6944, Riayatul Himmah, tahun 1849 M
3. No. 5866, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
4. No. 11002, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
5. No. 11003, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
6. No. 8566, Riayatal Himmah, tahun 1849 M
7. No. 6617, Nadzam Kaifiyah, tahun 1845 M
8. No. 7520, Tanbih Bahasa Jawa
9. No. 11004, Tanbib Bahasa Jawa
10. No. 7521, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
11. No. 8570, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
12. No. 8590, Husnul Mithalab, tahun 1842 M
13. No. 7522, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
14. No. 11004, Takhyirah Mukhtasar 1848 M
15. No. 11004, Takhyirah Mukhtasar, tahun 1848 M
16. No. 7523, Abyanal Hawaij, tahun 1849 M
17. No. 7524, Nadzam Irfaq, tahun 1845 M
18. No. 8489, Munawirul Himmah, tahun 1856 M
19. No. 5865, Athlab, tahun 1842 M
20. No. 8566, Nadzam Tazkiyah, tahun 1852 M
21. No. 8567, Tasyrihatal Muhtaj, tahun 1849 M
22. No. 8568, Syarihul Iman, tahun 1839 M
23. No. 8569, Tasfiyah, tahun1849 M
24. No. 11001, Bayan, tahun1839 M
25. No. 11001, Imdad, tahun 1845 M
26. No. 11004, Thariqat, tahun 1840 M
27. No. 8571, Tahshinah (memperbagus bacaan), tahun 1850 M
28. No. 11004, Tanbihun Bahasa Melayu, tahun 1860 M
29. No. 11001, Prose Epistle (?), tahun 1938 M
30. No. 11004, Lembar, 300 hal
31. Tanpa nomer, Shihhatun Nikah
32. Tanpa Nomer, Tajwid (ringkasan Tahsinah)
33. Tanpa Nomer, Nadzam Wiqayah.

Perkembangan Thoriqoh Syadziliyah Di Nusantara


Tarekat (Thoriqoh) Syadziliyah adalah tarekat Islam yang dipelopori oleh Syekh Abul Hasan 'Ali Asy-Syadzili (571-656) H/ (1197 - 1258) M yang berkembang di Indonesia.

Tarekat Syadziliyah adalah tarekat yang dipelopori oleh Syekh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili. Nama Lengkapnya adalah Abul Hasan Ali Asy Syadzili al-Hasani bin Abdullah Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Hatim bin Qushay bin Yusuf bin Yusya' bin Ward bin Baththal bin Ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad anak pemimpin pemuda ahli surga dan cucu sebaik-baik manusia: Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah al-Zahra binti Rasulullah SAW.

Nama kecil Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili adalah Ali, gelarnya adalah Taqiyuddin, Julukanya adalah Abu Hasan dan nama populernya adalah Asy Syadzili. al-Syadzili lahir di sebuah desa yang bernama Ghumarah, dekat kota Sabtah pada tahun 593 H (1197 M). menghapal al-Quran dan pergi ke Tunis ketika usianya masih sangat muda. Ia tinggal di desa Syadzilah. Oleh karena itu, namanya dinisbatkan kepada desa tersebut meskipun ia tidak berasal dari desa tersebut.

Silsilahnya Syaikh Abil Chasan Assyadiliy dari guru dzikir Sirrilalah Syaikh Abi Abdullah Muhamad bin Charozin, beliau dari Syaikh Abi Muhamad Sholeh bin banshori Addakaaliy, beliau dari Syaikh Abi Madyan Al andalusi, beliau dari Syaikh Quthub Abi Ya’inna adar, beliau dari Syaikh Abi Muhammad Tannur, beliau dari Syaikh Abi Muhamad Abdul Jalil, beliau dari Syaikh Abil fadli Al Hindi Abdillah bin Abi Basyar, beliau dari Syaikh Abi Basyar Al Chasan Al Jauhari, beliau dari Syaikh Abi Ali Annuriy, beliau dari Syaikh Abil Chasan Assarry Assiqoty, beliau dari Syaikh Abi Mahfudz Ma’ruf bin firuzil Kurochi, beliau dari Syaikh Sulaiman dawud Atthi’i, beliau dari Syaikh Habib Al’ajamiy beliau dari Syaikh Abi Bakar bin Muhamad bin Sirin, beliau dari Sayidina Anas r.a, beliau dari Rosulullah saw.

Adapun silsilahnya Syaikh Abil Chasan Assyadiliy r.a dari guru dzikir jahri (silsilah Quthubiyah) ialah Syaikh Quthub Abdussalam, beliau mengambil toriqoh dari Al Quthbus Syarif Abdurrohman, beliau dari Quthub Taqilyuddin Al fuqoiri, beliau dari Quthub fahruddin, beliau dari Quthub Nuruddin beliau dari Quthub Tajuddin beliau dari Quthub Syamsuddin beliau dari Quthub Zinuddin, beliau dari Quthub Abi Ishak Ibrohim Al Bashori beliau dari Quthub Abil Qosim Ahmad Al Mazwani, beliau dari Quthub Sa’id, beliau dari Quthub Sa’du, beliau dari Quthub Abi Muhamad Fathusu’ud, beliau dari Quthub Al Fazwani, beliau dari Quthub Abi Muhamad Jabir, beliau dari Quthub Al Aqthob Sayidina Chasan, beliau dari Sayidina Ali r.a, beliau dari Rosulullah saw.

Menurut keterangan orang yang telah bertemu dengan Syaikh Abi Chasan Asyadzili, bahwa dia adalah seorang laki-laki yang agung, yang tinggi agak kurus, wajahnya wajah seorang pertapa, perawakannya menarik, bentuk wajahnya agak lonjong yang memancarkan sinar keimanan dan keihlasan, adapun kulitnya sawo matang (hitam kemerah-merahan), godeknya tipis, tangannya agak panjang dan jari-jarinya langsing. Menurut keterangan itu sudah menunjukkan seorang yang agung yang penuh Asror dan hikmah, yang sifat seperti ini sesuai dengan keterangan Abul Azaa’im bahwa diantara sifat imam Asyadzili itu ialah lincah dan gesit, ucapannya pelan dan jelas, masuk kehati, manis bahasanya, ringkas tutur katanya enak didengarkan dan mudah diterima, sehingga apa yang dikatakan punya pengertian yang dalam.
Syaikh Abi Chasan r.a itu sangat tawaddu’, dan sesungguhnya sebagian dari ketawadu’annya ialah : beliau tidak mau berbicara di suatu tempat perkumpulan, kecuali bila dikatakan pada beliau ”berbicaralah!” maka baru mau berbicara, dan perkataan beliau itu halus, dan bisa ditanggapi orang-orang besar dan orang-orang kecil karena kebijaksanaan beliau, dan keadilan beliau, dan karena beliau mengerti ilmu-ilmunya para ulama, dan sifat-sifatnya raja0raja dan kebijaksanaannya ahli hikmah.

Dan diceritakan : sesungguhnya ketika para auliya dan para ulama berkumpul di balai pertemuan manshuroh dekat tsugroh dimyathi : syaikh izzuddin bin Abdussalam dan syaikh makinuddin Al-asmari dan syaikh taqiyyuddin bin daqiqil’id dan yang lainnya, mereka semua telah duduk sedang membicarakan Risalah Qusyairiyah dan setiap mereka mengatakan pada beliau. Kami ingin mendengar suatu perkataan darimu tentang makna-makna pembinaan ini, maka beliau berkata ”kalian semua adalah para guru-guru besar Islam dan sungguh telah kalian bicarakan maka bagi saya sudah tidak ada tempat untuk membicarakan, maka mereka berkata pada beliau ”tidak”, tetapi tetap berbicaralah. Maka beliau memuja dan memuji Alloh dan mulai berbicara sesuatu. Setelah itu maka Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam yang menjadi sultonnya para ulama berteriak dari dalam perkemahan dan keluar sambil memanggil-manggilnya dengan suara keras. Kesinilah semua! Untuk mendengar pembicaraan yang dekat dengan kebenaran dari hadapan Alloh, maka dengarkanlah!

Dan padahal Syaikh Izziddin itu sebelum berkumpul dengan Syaikh Abi Chasan dia ingkar dengan kaum para sufi dan dia berkata, ”apakah ada toriqoh yang selain Qur’an dan hadits? Dan setelah Syaikh Izzidin berkumpul dengan Syaikh Abi Chasan dan setelah salut dan pasrah dengan kaum sufi dia berkata. ”Sebagian dari tanda yang agung yang menunjukkan adanya golongan kaum ahli tasawuf itu ialah, mereka sudah bisa mendudukkan agung-agungnya dasar agama yaitu mereka bisa meletakkan kekuasaan karomah-karomah dan yang luar kebiasaan manusia sedangkan para ahli fiqih belum bisa menguasai apa-apa kecuali hanya baru bisa menjalani di jalan-jalannya kaum sufi, seperti yang kelihatan di lahirnya saja. Maka setelah Syaikh Izzuddin berkumpul dengan kaum sufi dan setelah merasakan toriqoh yang telah dirasakan kaum sufi dan telah bisa memotong besi dengan lembaran kertas, maka dia memuji-muji terhadap kaum sufi dengan pujian yang sangat.

Syaikh Abi Chasan itu adalah memiliki manakib (sejarah bagus yang khusus) yang agung sebagian dari manakibnya ialah beliau terbuka untuk bisa melihat buku catatan orang-orang yang akan masuk ke toriqoh beliau dan lebarnya buku catatan tersebut ialah sepanjang batas pandangan mata, dari para murid yang baiat langsung pada beliau dan para murid yang setelah beliau wafat sampai akhir zaman, dan seluruh murid-murid akan dibebaskan dari neraka dan Syaikh Abi Chasan r.a diberi Bisyaroh (bebungah) sesungguhnya orang yang melihat beliau dengan rasa cinta dan mengagungkan dia tak akan celaka. Dan sebagian dari manaqibnya lagi ialah sesungguhnya beliau itu menjadi sebab keberuntungan para muridnya. Dan sebagian dari manaqibnya lagi ialah sesungguhnya beliau berdo’a pada Alloh semoga Alloh mengangkat wali-wali quthub sampai akhir zaman diambilkan dari golongan toriqoh Syadziliyah. Dan Alloh mengijabah do’a beliau, maka wali quthub hingga akhir zaman akan diangkat dari golongan toriqoh beliau. Dan sebagian dari manaqibnya lagi ialah Syaikh Abul Abbas berkata : ”ketika Alloh hendak menurunkan bencana secara umum maka golongan toriqoh syadzili diberi selamat dari bencana tersebut dengan karomahnya Syaikh Abil Chasan Asyadzili”. Dan sebagian dari manaqibnya lagi ialah Syaikh Syamsudin Al Chanafi r.a berkata ”Para ahli toriqoh Syadzaliyah itu diberi keunggulan 3 perkata sedangkan yang lainnya tidak diberi, yang pertama ialah sesungguhnya para ahli toriqoh syadzaliyah itu sudah dipilij dari luh mahfudz, yang kedua ialah sesungguhnya bila mereka jadzab bisa pulih kembali seperti semula, yang ketiga ialah sesungguhnya wali quthub yang setelah Syaikh Abil Chasan Asyadzili diambilkan dari ahli toriqoh syadzaliyah”. Dan sebagian dari manaqibnya lagi ialah sesungguhnya bila beliau mendidik murid-muridnya maka cukup sebentar saja sudah bisa menjadi futuh (terbuka). Dan sebagian dari manakibnya lagi ialah sesungguhnya Rosululloh saw telah mengizini siapa saja yang berdo’a kepada Alloh dengan tawasul kepada Syaikh Abil Chasan Asyadzili, karena Syaikah Abdullah berkata kepada Rosululloh saw tentang tingkah lakunya dari membaca sholawat kepada Rosululloh kemudian membaca Tarhibiyahnya (sifat kependetaan / menjauhi masyarakat) Syaikh Abil Chasan Asyadzili r.a kemudian berdo’a kepada Alloh dengan tawasul kepada Syaikh Abil Chasan Asyadzili, kemudian Syaikh Abdullah bertanya kepada Rosululloh ”Apakah yang seperti ini diizinkan atau tidak diizinkan?, maka Rosululloh menjawab ”Tingkah lakumu yang seperti ini diizini, sebab Syaikh Abi Chasan adalah juz (bagian) dari beberapa juz diriku dan barang siapa tawasul dengan juzku, itu seperti orang yang tawasul dengan diriku.

Syaikh Makinudin Al Asmuru r.a berkata ”Para guru toriqoh itu mengajak masyarakat duduk-duduk dipintu rohmatnya Alloh, tetapi Syaikh Abi Chasan Asyadzili mengajak masyarakat supaya masuk dihadapan Alloh.” Syaikh Abi Chasan Asyadzili berkata : ”sebagian dari nifaq ialah menampakkan dirinya melakukan sunah rosul saw, tetapi Alloh mengetahui dari orang itu bahwa ada maksud lainnya.” sebagian dari syirik yaitu menjadikan kekasih selain Alloh dan menjadikan penolong selain Alloh, Alloh telah berfirman ”kalian semua itu tidak mempunyai kekasih dan tidak ada yang menolong kalian semua selain Alloh apakah kalian semua tidak berangan-angan.”

Disebutkan dalam syarah qoridah seperti ini : ”sebagian dari mana aibnya Syaikh Abi Chasan Syadzili adalah beliau itu bila naik kendaraan para pembesarnya fuqoro’ dan ahli dunia mereka berjalan dikanan kiri beliau, bendera dikibarkan di atas kepala beliau, gelas minuman ditaruh dihadapannya dan perintah kepada pimpinan fuqoro’ supaya mengatakan : siapa yang menghendaki quthub supaya bertemu Syadzili. Dan Syaikh Abi Chasan r.a berkata : ”saya diberi oleh Alloh daftar sahabat-sahabat saya dan sahabat-sahabat saya sehingga hari kiamat, yang luasnya sejauh pandangan mata untuk membebaskan sahabat-sahabat saya itu dari neraka. Dan beliau juga berkata ”Andaikan tidak ada ikatan sariat dilisanku, saya bisa menceritakan kalian semua apa yang akan terjadi besok dan besoknya sampai hari kiamat.’

Intisari Thoriqoh

Secara pribadi Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Syekh Ibnu Atha'illah as-Sakandari atau nama lengkapnya Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari]] (658 - 709 H )/ (1260 - 1309 M)  adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khasanah tareqat Syadziliyah tetap terpelihara. Ibnu Atha'illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tareqat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Ibnu Atha'illah, tareqat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Syadzili sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, bagi murid-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tareqat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran Tareqat ini dipengaruhi oleh Al-Ghazali dan Abu Talib al-Makki atau al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya: "Seandainya kalian mengajukan suatu permohonanan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid Al-Ghazali". Perkataan yang lainnya: "Kitab Ihya' Ulum ad-Din, karya Al-Ghazali, mewarisi anda ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya Abu Talib al-Makki/ al-Makki, mewarisi anda cahaya." Selain kedua kitab tersebut, as-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi 'Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atha'illah.

Wejangan Thoriqoh Syadziliyah

1- Tauhid dengan sebenar-benarnya tauhid yang tidak musyrik kepada Allah.
2- Ketaqwaan terhadap Allah swt lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara' dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah swt.
3- Konsisten mengikuti Sunnah Rasul, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalau bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
4- Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah swt (Tawakkal).
5- Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana'ah/ tidak rakus) dan menyerah.
6- Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Keenam sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut:

1- Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.
2- Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.
3- Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.
4- Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.
5- Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tareqat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkukuh oleh Ibn Atha'illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Perkembangan Thoriqoh

Sementara itu tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah, Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita."

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tareqat, secara umum pada pola dzikir tareqat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syekh di pusat lingkaran atau diujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tareqat ini, kebijakjsanaan dari seorang pembimbing khusus mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid.

Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara rohani dan mental, baik bagi sipemakai maupun terhadap orang-orang di sekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah diberikan oleh Ibnu Atha'ilah berikut: Asma al-Latif, Yang Halus harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya; Al-Wadud, Kekasih yang Dicintai membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar; dan Asma al-Faiq, "Yang Mengalahkan" sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tareqat Syadziliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tareqat-tareqat yang lainnya. Setiap anggota tareqat ini wajib mewujudkan semangat tareqat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tareqat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian.

Kekhasan lainnya yang menonjol dari tareqat ini adalah "ketenagan" yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha'illah, Abbad. A Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tareqat ini. Kitab ar-Ri'ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang telaah psikologis mendalam mengenai Islam pada masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali. Ciri "ketenangan" ini tentu saja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya'nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tareqat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tareqat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tareqat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin menyebutkan bahwa pengamalan tareqat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangaian-rangkaian doa yang panjang (hizb), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan megis. Para pengamal tareqat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talkin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwewenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tareqat.

Amalan amalan

Hizib yang diajarkan Tarekat Syadziliyah di antaranya adalah: Hizb al-Syifa’, Hizb al-Kahfi atau al-Autad, Hizb al-bahr, Hizb al-Baladiyah atau Bithatiyah, Hizb al-Barr, Hizb al-Mubarak, Hizb al-Salama, Hizb al-nur, dan Hizb al-Hujb. merupakan Hizib-Hizib yang terkenal dari as-Syadzilli. Menurut laporan, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh [[Nabi Muhammad]] SAW. Sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama dugunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan dan bermanfaat dalam meningkatkan kadar ibadah kepada Allah.

Sebagai contoh, [[Ibnu Batutah]] menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Di Indonesia, di mana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya doa ini baik dan tidak bertentangan dengan Sunatulloh dan Sunnatur Rosul. Untuk pengamalan hizb ini sebaiknya dalam bimbingan guru yang mengamalkannya.

Hizib-hizib dalam Tareqat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tareqat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandegelang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa'iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tareqat Qadiriyah. Akan tetapi yang utama adalah Hizb tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kadar ibadah yang sebenarnya kepada Allah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib, bukanlah doa yang sederhana, ia bukan hanya merupakan mantera megis yang Nama-nama Allah Yang Agung (Ism Allah A'zhim) dan, apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supra natural dan yang terpenting adalah mendapatkan ridha Allah. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dana doa, para syekh tareqat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tareqat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa berlandaskan Al-Qur'an dan tuntunan Rasululloh SAW, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru untuk dapat beribadah kepada Allah dengan benar.

Yang menarik dari filosufi Tasawuf Asy-Syadzily, justru kandungan makna hakiki dari Hizib-hizib itu, memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tharekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin tingkah laku islami, pemahaman, adab hati, penyaksian, pembuktian yang sangat dahsyat yang semuanya bersumber dari Nabi Muhammad SAW.

Diantara Kata Mutiara Syaikh Abil Hasan Asy-Syadzily

Imam Syadzili itu adalah lebih ma’rifat-ma’rifatnya orang yang ada pada saat itu maka dari itu Syaikh Takiyuddin bin daqiq Al-’id ra berkata aku belum pernah melihat orang yang lebih ma’rifat pada Alloh dari pada Syaikh Abi Chasan Asyadzili beliau itu adalah orang yang luas dalam ilmu Hakikotnya. Sebagian yang menunjukkan bahwa beliau memiliki ilmu Hakikot Yang Agung ialah beliau pernah berkata : saya pernah diberi kabar gembira seperti ini. ”Hai Ali tak ada majlis ilmu fiqih yang lebih agung di atas bumi ini dari pada majlisnya Syaikh Izziddin Abdissalam sebagai sulton ulama, dan tak ada majlis ilmu hadits yang agung di atas bumi ini dari pada majlisnya Syaikh Abdil A’dim Al-Mundiri, dan tak ada majlis ilmu hakikot yang agung di atas bumi ini dari pada majlismu.

Syaikh Abi Hasab Asyadzili pernah berkata : ”Saya bertemu Rosul lalu saya bertanya apa hakikinya mengikuti? Rosul menjawab : ”Yaitu melihat orang yang diikuti dalam segala tingkah, dan bersama dalam segalanya, dan ada di dalamnya setiap waktu apa saja. Dan Syaikh Abi Chasan Asyadili juga berkata jika kamu ingin benar dalam setiap ucapan maka perbanyaklah membaca surat : ”Qulhuwallahu Ahad dan jika kami ingin mudahnya rizki maka perbanyaklah membaca surat kul a’udu birobbil falaq dan jika kamu ingin selamat maka perbanyaklah membaca surat ”Qul a’udu birobbinnas. Wali quthub Robbani Syaikh Abdul Wahab Assa’roni berkata : sebagian ulama berkata paling sedikitnya memperbanyak bacaan ialah 70 kali setiap hari sampai 700 kali.

Syaikh Abi Chasan berkata : ”Lebih benar-benarnya ucapan ialah ucapan Laailaaha illallaah dalam keadaan bersih. Dan Syaikh Abi Chasan juga berkata jika kamu ingin hatimu tidak jelek, tidak menemui kesusahan dan perihatin, dan tidak terus-menerus ke tempat dosa, maka perbanyaklah membaca : ”Subhaanallaahi wa bihamdihi subhanallaahil adhiim laailaahaillahuwa. Allaahumma tsabbit ’ilma haa fi qolbii wagfirlil dzanbii.

Syaikh Abi Chasan R.A berkata : kamu jangan memilih suatu perkara, dan pilihlah perkara yang tidak dipilih. Dan Syaikh Abi Chasan juga berkata : para wali itu tidak butuh segala sesuatu, cukup dengan mempunyai Alloh, dan mereka cukup bersama Alloh tanpa pemikiran dan pilihan lain. Sedangkan para orang ’alim mempunyai pemikiran dan pilihan untuk kebaikan dan pembicaraan untuk mendapatkan faidah-faidah.

Syaikh Abi Chasan Asyadzili R.A berkata ada satu perkara yang bisa menghancurkan beberapa amal, dan kebanyakan manusia tidak mengingatnya yaitu bencinya hamba pada qodo’ Alloh (ketentuan Alloh), dan juga ada dua kebaikan yang menjadikan tidak akan berbahaya dengan banyaknya kejelekan yaitu rido dengan qodo’ Alloh dan memaafkan hamba Alloh dan beliau juga berkata seorang hamba tak akan bisa menghindar dari neraka kecuali mencegah anggota badannya dari maksiat pada Alloh dan menghiasi dirinya dengan menjaga amanat Alloh dan membuka hatinya untuk melihat Alloh dan membuka lisan dan batinnya untuk munajat pada Alloh dan menghilangkan hijab (tirai) diantara dirinya dan diantara sifat-sifat Alloh dan mensaksikan dirinya terhadap ruh-ruh kalimat Alloh kepada Alloh.

Syaikh Abil Chasan Asyadzili berkata : ”ketika dzikir terasa berat dilisanmu dan banyak sia-sianya dalam ucapanmu dan tergelarnya anggota badan dalam syahwatmu dan buntunya pintu pemikiran dalam kebaikanmu maka ketahuilah sesungguhnya yang seperti itu dari besarnya dosamu atau adanya irodah (kehendak) munafik di dalam hatimu dan tidak ada jalan untukmu kecuali satu jalan yaitu taubat dan berbuat baik, dan mohon perlindungan Alloh, dan ihlas di dalam agama Alloh. Apakah kau tidak mendengarkan firmah Alloh : ”kecuali orang-orang yang mau bertaubat dan berbuat baik, minta perlindungan kepada Alloh dan membersihkan agama mereka, maka mereka itulah orang-orang yang bisa bersama-sama dengan orang-orang mukmin”. Dan Alloh tidak mengatakan dengan perkataan : sebagian dari golongan orang-orang mukmin maka berangan-anganlah dengan perkara ini jika kamu menjadi orang pandai”.

Syaikh Abil Chasan Asyadzili berkata : ”Apabila ilmu kasafmu (terbukanya hati) bertentangan dengan qur’an hadits, maka berpeganglah dengan qur’an dan hadits dan tinggalkan saja ilmu kasafmu dan katakan pada dirimu : Sesungguhnya Alloh menjamin menjaga saya di dalam qur’an hadits, dan tidak menjamin (tidak bertanggung jawab) dari arah ilmu kasaf, ilmu ilham (bisikan), ilmu musyahadah (melihat perkara goib), dan juga para ulama sepakat sebaiknya tidak mengamalkan ilmu kasaf, ilmu ilham, ilmu musyahadah kecuali setelah ditinjau sesuai qur’an hadits”.

Dan beliau juga berkata : ”Bila ada seseorang menghalangimu menuju Alloh maka tetap teguhlah dan mantaplah, Alloh telah berfirman : Hai orang-orang yang beriman bila kalian bertemu menghadapi suatu qoum (golongan) maka tetap teguhlah dan berdzikirlah (berdo’alah) pada Alloh dengan banyak supaya kalian semua beruntung”.

Syaikh Abil Chasan Asyadzili berkata : ”setiap ilmu yang tergerak dalam hati yang digerakkan oleh nafsu dan nafsu merasa lezat dengan ilmu tersebut maka buanglah walaupun ilmu itu haq dan ambilah ilmunya Alloh yang diberikan Rosululloh kemudian ikutlah kepada Rosululloh dan kepada kholifah, kepada para sahabat, dan para tabi’in dan para imam-imam yang mendapat hidayah yang menjauhkan kehendak dan perintah hawa nafsu. Maka kamu akan selamat dari beberapa keraguan dan beberapa prasangka dan beberapa penarik dusta yang menyesatkan yang menyimpang dari hidayah dan haqiqinya hidayah. Dan beliau juga berkata termasuk sebagian dari lebih menjaganya penjaga dari terjerumus ke dalam cobaan terhadap ma’siat dan dosa. Adalah istigfar, Alloh telah berfirman : Dan tidaklah Alloh itu menyiksa mereka (ahli Makkah) sedangkan mereka lagi mohon ampun.”

Syaikh Abil Chasan r.a berkata : ”Bila kamu majlisan (duduk-duduk) dengan para ulama maka janganlah kamu membicarakan kepada mereka kecuali ilmu yang dinukil dari ketentuan qur’an dan riwayat-riwayat hadits yang shohih, adakalanya berfaidah untuk mereka atau kamu yang mengambil faidah dari mereka yang seperti itu adalah keuntungan yang besar dari mereka. Dan jika kamu majlisan dengan ahli ibadah dan ahli zuhud (ahli bertapa) maka duduk-duduklah ke dalam mereka dengan apa yang mereka anggap baik dan buatlah mudah atas masalah-masalah yang mereka anggap sulit dan berilah mereka rasa ma’rifat yang mereka belum merasakannya. Dan jika kamu majlisan dengan ahli shidiqin maka, pisahkanlah dengan apa yang kau ketahui maka kamu akan mendapat ilmu yang tetap. Dan Syaikh Abil Chasan Asyadzili berkata : ”termasuk sulit-sulitnya manusia ialah orang yang senang bisa orang-orang tunduk dengan mu’amalahnya sehingga orang-orang tersebut sesuai dengan segala yang ia inginkan sedangkan dirinya sendiri tidak bisa menemukan kehendak nafsunya sendiri, maka carilah nafsumu dengan memuliakan manusia dan jangan kau mencari manusia agar mereka memuliakanmu, dan jangan kau memaksa kecuali terhadap nafsumu sendiri.”

Syaikh Abil Chasan r.a berkata : ”saya telah menghentikan manfaat dari saya untuk diri saya sendiri, maka bagaimana tidak bila saya memutuskan manfaat orang lain untuk diri saya. Dan saya mengharapkan kepada Alloh untuk kemanfaatan orang lain maka bagaimana tidak bila saya mengharap kepada Alloh untuk kemanfaatan diri saya sendiri. Syaikh Abil Chasan Asyadzili juga berkata : janganlah kau cenderung dengan ilmu dan jangan kepada kekuatan tetapi cenderunglah kepada Alloh. Dan jangan sampai kau menyebarkan ilmumu hanya agar manusia membenarkan dirimu tapi sebarlah ilmumu agar menjadi lantaran Alloh membenarkanmu. Dan dari perkataan beliu tersebut di atas sudah cukup untukmu bila Syaikh Abil Chasan Syadzili itu adalah dari golongan orang-orang ahli ma’rifat, ahli zuhud, ahli membersihkan diri, ahli fiqih (pandai) dalam agama, ahli muroqobah, dan menjadi gurunya orang-orang besar.”

Syaikh Abil Chasan r.a pernah berkata kepada para sahabatnya : ”makanlah dari makanan yang enak-enak dan minumlah dengan minuman lebih lezat lebih segar dan tidurlah dikasur-kasur yang empuk dan pakailah pakaian yang lebih halus, lebih bagus, maka sesungguhnya diantara kalian semua ketika melakukan seperti itu dan mengucapkan Alhamdulillah maka seluruh anggota badan bisa menerima untuk bersyukur. Berbeda dengan makan makanan jelek, roti kasar dengan garam dan memakai pakaian kasar yang jelek dan tidur di atas bumi dan minum dengan air panasnya matahari dan setelah itu mengucapkan Alhamdulillah maka sesungguhnya ucapannya itu tercampur dengan rasa terpaksa dan kurang ikhlas (gerundel) dan sebagian dari rasa benci dengan takdirnya Alloh. Dan sesungguhnya apabila kalian melihat dengan mata hati sudah pasti bisa menemukan kejengkelan dan rasa kebencian tersebut yang kembali kepada dosa bagi orang-orang yang mengambil kenikmatan perkara dunia dengan yakin. Maka sesungguhnya yang dinamakan orang yang mengambil kenikmatan perkara dunia itu ialah melakukan perkara yang telah diwenangkan oleh Alloh swt dan barang siapa punya rasa jengkel dan benci maka sungguh berarti telah melakukan perkara yang diharamkan oleh Alloh swt. Ucapakan seperti ini adalah sebagian dari tanda bahwa Syaikh Abil Chasan r.a sebagian dari golongan ahli muroqobah (mengintai & meneliti) terhadap tingkah lakunya hati dan termasuk sebagian dari golongan ahli syukur.Beliau juga berkata : ”murid toriqoh tak akan meningkat sama sekali kecuali setelah jelas benar-benar cinta kepada Alloh SWT, dan murid tak akan bisa benar-benar cinta Alloh sehingga benci dunia, dan ahli dunia, dan zuhud dengan kenikmatan dunia dan akhirat. Dan beliau berkata lagi : setiap murid toriqoh tentu ada rasa cinta dunia, maka Alloh akan membencinya menurut banyak sedikitnya di dalam cintanya terhadap dunia. Maka murid supaya membuang dunia lepas dari tangannya dan dari hatinya ketika awal masuknya di dalam toriqoh, dan ketika ada murid meminta talqin (pengajaran secara berhadap-hadapan) dengan guru atau mengambil janji terhadap guru sedangkan dia cenderung kepada dunia, maka dia harus kembali dari mana asal tempat datangnya, dan toriqohnya akan membuang dirinya. Maka sesungguhnya paling sedikitnya sebagai dasar murid masuk toriqoh yaitu zuhud di dalam bab dunia, maka barang siapa tidak zuhud di dalam bab dunia maka tidak sah baginya dibangun sesuatu diakhirat”.

Syaikh Abi Chasan Asyadzily pernah berkata : telapakku bisa di atas jidatnya para wali-wali :
Ada di (kalangan) toriqoh itu tidak ada karomah yang lebih besar daripada karomah (berupa) iman, dan manut pada sunah Nabi, siapa orangnya yang sudah diberi iman dan bisa manut pada sunah Nabi, kemudian menginginkan selain yang kedua tadi, (jelas) orang itu hamba yang berpura-pura dan ahli bohong.

Tidak ada dosa besar yang lebih besar dari pada dua perkara : (yaitu) cinta dunia sampai memilihnya (artinya menganggap lebih penting dari pada akhirat) dan terus menerus (berada di dalam) kebodohan sampai ridho. Karena cinta dunia itu sumber setiap kesalahan dan terus menerus (berada di dalam) kebodohan itu sumbernya maksiat.

Kamu jangan terlalu meninggalkan dunia. Yang bisa menjadi sebab gelapnya dunia (menyelimuti harimu) dan menjadi lemah anggota badanmu. Yang akhirnya kamu kembali merangkul dunia setelah keluar dari dunia dengan Himmahmu (cita-citamu) atau fikiranmu atau keinginan atau gerakmu.
Kamu supaya menetapkan perkara lima yang membersihkan badanmu yang ada dalam perkataan yaitu : ”subhaanallaahi wal hamdulullaahi wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbaru wa laa hau la wa laa quwata illaa billaahi”. Dan perkara lima yang membersihkan badanmu yang ada dalam pekerjaan yaitu solat lima waktu dan membersihkan badan dari rasa memiliki daya dan kekuatan.

Tandanya orang yang mendapat kebahagiaan di akhirat, yaitu : orang yang tahu kebenaran lalu mau tawadu’ pada orang yang ahli kebenaran walaupun melakukan kejelekan apa saja. Dan tandanya orang yang celaka di akhirat yaitu orang yang menentang kebenaran dan menyombongi pada orang yang ahli kebenaran walaupun melakukan kebaikan apa saja.

Cabang Cabang Thoriqoh

Tareqat Syadziliyah ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sekarang tareqat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tareqat ini, tareqat ini mempunyai beberapa cabang, yakitu: al-Qasimiyyah, al- madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafaiyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah dan 'Alawiyah.

Perkembangan di Indonesia

Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk Nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi tarekat yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas tarekat di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.

Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia tarekat adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu Sang Sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Tarekat Kubrawiyah dan Syadziliyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidak(lah) mungkin.

Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri tarekat dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Tarekat Kubrawiyah dan Syadziliyah ke (tanah) Jawa.

Tarekat lain yang masuk Nusantara pada periode awal adalah Tarekat Qadiriyah, Syaththariyah dan Rifa’iyah. Ketiga tarekat tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.

Syaikh Abdul Malik juga mewariskan (ijazah) kemursyidan beberapa tarekat kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Tarekat Syadziliyah. Bahkan, belakangan Rais ‘Aam Jam’iyah Ahli at-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut.

Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Tarekat Syadziliyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. (Muhammad) Dalhar, Watucongol, dan Kiai Siroj, Payaman, Magelang; K.H. Ahmad, Ngadirejo, Klaten; Kiai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal;  Sayyid Abdurrahman Alhasany Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris, Jamsaren, Surakarta. Keenam guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yang sama: Kiai Ahmad, Kiai Abdullah, Kiai Abdurrahman, Kiai Abdul Malik dan Kiai Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad Nahrowi Muhtaram Al-Banyumasi, Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris Jamsaren yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram Al-Banyumasi, yakni Syaikh Muhammad Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.

Masih banyak lagi tarekat-tarekat lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Tarekat Kubrawiyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Tarekat Naqsyabandiyah Haqqani atau Syadziliyah Darqawi yang dibawa para alumnus Damaskus.

Namun demikian, meski secara umum tarekat terus berkembang dan bertambah jumlah pengikutnya, namun karena ada beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang cukup rumit, banyak pusat pengajaran tarekat yang saat ini mengalami kemandegan bahkan hilang sama sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran Tarekat Syadziliyah di Surakarta.

Pada masa keemasaannya, Kota Surakarta dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran Tarekat Syadziliyah, dengan beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan ahli at-thariqah. Pada era abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu Kiai Idris, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan Kiai Ahmad, pengasuh Pesantren Ngadirejo, Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kiai Siradj, Panularan, Surakarta; dan Kiai Abdul Mu’id, Tempursari, Klaten; lalu setelahnya Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan; Kiai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kiai Idris, Kacangan, Boyolali.

Dari beberapa nama tersebut hanya Kiai Idris, Jamsaren, Kiai Abdul Mu’id, Tempursari, dan Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru-murid. Setelah Kiai Idris, Jamsaren wafat, Kiai Abdul Mu’id, kemenakannya, menggantikan kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kiai Abdul Mu’id wafat, putranya, Kiai Ma’ruf Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya. Namun sayang, ketika Kiai Ma’ruf wafat, regenerasi kemursyidannya berhenti (?), seperti halnya mursyid-mursyid Tarekat Syadziliyah lain di Surakarta dan sekitarnya.

(Tentu) Sangat menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah tarekat yang sangat ketat menjaga tradisi sanadnya.

Tarikat Syadziliyyah adalah satu di antara tarikat yang diakui di Indonesia yang tergabung dalam Jam’iyyah Ahli al-Thariqah al-Mu’Tabarah al-Nahdliyah (JATMAN), lembaga otonom Nahdhatul Ulama NU, yaitu Aliran-aliran tarekat yang dinilai mu'tabarah (diakui keabsahannya) adalah: 1) 'Abbasiyah, 2) Akbariyah, 3) Baerumiyah, 4) Bakriyah, 5) Buhuriyah, 6) Ghaibiyah, 7) Haddadiyah, 8) Idrisiyah, 9) Isawiyah, 10) Justiyah, 11) Khadliriyah, 12) Khalidiyah wa al-Naqsyabandiyah, 13) Madbuliyah, 14. Maulawiyah, 15) Rifa'iyah, 16) Sa’diyah, 17) Sumbuliyah, 18) Syadziliyah, 19) Syuhrawiyah, 20) Umariyah, 21) Utsmaniyah. Kemudian, 22) Ahmadiyah, 23) Alawiyah, 24) Bakdasyiyah, 25) Bayumiyah, 26) Dasuqiyah, 27) Ghozaliyah, 28) Hamzawiyah, 29) Idrusiyah, 30) Jalwatiyah, 31) Kalsyaniyah, 32) Khalwatiyah, 33) Kubrawiyah, 34) Malamiyah, 35) Qadiriyah wa al-Naqsyabandiyah, 36) Rumiyah, 37) Samaniyah, 38) Sya'baniyah, 39) Syathariyah, 40) Tijaniyah, 41) Usyaqiyah, 42) Uwaisiyah, dan 43) Zainiyah.

Ziaroh Para Wali Sebagai Wasilah


Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliyah. Terbukti hal yang demikian dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَفَرَأَيْتُمُ الاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزَى

“Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala, di mana mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

Berkah (barokah) diartikan dengan bertambahnya kebaikan (ziyadah al-khair). Sedangkan tabarruk bermakna mencari 'bertambahnya kebaikan' atau ngalap barokah (thalab ziyadah al-khair). Demikian para ulama menjelaskan.

Masyarakat kita seringkali mendatangi orang-orang saleh dan para ulama sepuh dengan tujuan tabarruk. Para ulama dan orang saleh memang ada barokahnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ “. رواه ابن حبان (١٩١٢) وأبو نعيم في “الحلية” (٨/١٧٢) و الحاكم في “المستدرك” (١/٦٢) و الضياء في “المختارة” (٦٤/٣٥/٢) و قال الحاكم : “صحيح على شرط البخاري” . و وافقه الذهبي.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Berkah
Allah bersama orang-orang besar di antara kamu.” (HR. Ibn Hibban (1912), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (8/172), al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/62) dan al-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (64/35/2). Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai kriteria al-Bukhari, dan al-Dzahabi menyetujuinya.)

Al-Imam al-Munawi menjelaskan dalam Faidh al-Qadir, bahwa hadits tersebut mendorong kita mencari berkah Allah subhanahu wa ta’ala dari orang-orang besar dengan memuliakan dan mengagungkan mereka. Orang besar di sini bisa dalam artian besar ilmunya seperti para ulama, atau kesalehannya seperti orang-orang saleh. Bisa pula, besar dalam segi usia, seperti orang-orang yang lebih tua.

Di antara amal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah ziarah makam para nabi atau para wali. Baik ziarah tersebut dilakukan dengan tujuan mengucapkan salam kepada mereka atau karena tujuan tabarruk (ngalap barokah) dengan berziarah ke makam mereka. Maksud tabarruk di sini adalah mencari barokah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berziarah ke makam para wali.

Orang yang berziarah ke makam para wali dengan tujuan tabarruk, maka ziarah tersebut dapat mendekatkannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak menjauhkannya dari Allah subhanahu wa ta’ala. Orang yang berpendapat bahwa ziarah wali dengan tujuan tabarruk itu syirik, jelas keliru. Ia tidak punya dalil, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Hafizh Waliyyuddin al-’Iraqi berkata ketika menguraikan maksud hadits:

أَنَّ مُوْسَى  قَالَ: رَبِّ أَدْنِنِيْ مِنَ اْلأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ وَأَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «وَاللهِ لَوْ أَنِّيْ عِنْدَهُ لأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَنْبِ الطَّرِيْقِ عِنْدَ الْكَثِيْبِ الْأَحْمَرِ».

“Sesungguhnya Nabi Musa berkata, “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada tanah suci sejauh satu lemparan dengan batu.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Demi Allah, seandainya aku ada disampingnya, tentu aku beritahu kalian letak makam Musa, yaitu di tepi jalan di sebelah bukit pasir merah.”

Ketika menjelaskan maksud hadits tersebut, al-Hafizh al-’Iraqi berkata:

وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ مَعْرِفَةِ قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ لِزِيَارَتِهَا وَالْقِيَامِ بِحَقِّهَا، وَقَدْ ذَكَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لِقَبْرِ السَّيِّدِ مُوْسَى u عَلاَمَةً هِيَ مَوْجُوْدَةٌ فِيْ قَبْرٍ مَشْهُوْرٍ عِنْدَ النَّاسِ اْلآَنَ بِأَنَّهُ قَبْرُهُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمَوْضِعَ الْمَذْكُوْرَ هُوَ الَّذِيْ أَشَارَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلاَمُ.

“Hadits tersebut menjelaskan anjuran mengetahui makam orang-orang saleh untuk dizarahi dan dipenuhi haknya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menyebutkan tanda-tanda makam Nabi Musa yaitu pada makam yang sekarang dikenal masyarakat sebagai makam beliau. Yang jelas, tempat tersebut adalah makam yang ditunjukkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.” (Tharh al-Tatsrib, [3/303]).

Berdasarkan hadis-hadis sahih ziarah kubur adalah sunah. Jika ziarah kubur sunah, maka melakukan perjalanan untuk ziarah kubur juga sudah pasti sunah (Syaikh Ali as Sumhudi dalam Khulashat al Wafa I/46). Bahkan Rasulullah Saw setelah di Madinah secara rutin setiap tahun ziarah ke makam syuhada yang gugur saat perang Uhud di Makkah:

كَانَ النَّبِيُّ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)

"Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra'd 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama" (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)

Tidak dipungkiri memang ada ulama yang mengharamkannya dengan berdalil pada hadis sahih:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

"Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Rasulullah (Madinah) dan masjid al Aqsha" (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak dapat dijadikan dalil larangan ziarah ke makam Rasulullah Saw. Hal ini berdasarkan takhsis (yang membatasi) dari dua hadis, yang menunjukkah bahwa larangan berpergian dalam hadis diatas adalah ke masjid selain yang 3 tadi, bukan ke makam para Nabi atau ulama.

Pertama riwayat Ahmad (III/471) dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا (رواه أحمد وشهر فيه كلام وحديثه حسن)

"Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan salat disana, selain masjid al-Haram, masjid al-Aqsha dan masjidku". Al-Hafidz Al-Haitsami berkata: "Di dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab, hadisnya hasan" (Majma' az-Zawaid IV/7). Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilainya hasan dalam Fathul Bari III/65

Kedua, hadis riwayat al-Bazzar dari Aisyah, Rasulullah Saw bersabda:

أَناَ خَاتَمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِي خَاتَمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحَقُّ الْمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدَّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ الْمَسْجِدُ وَمَسْجِدِي صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (رواه البزار)

"Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para Nabi. Dan yang paling berhak didatangi adalah masjid al-Haram dan masjidku…." (Baca Majma' az-Zawaid IV/7 karya al-Hafidz al-Haitsami)

Ahli hadis Al Hafidz Ibnu Hajar membantah penggunaan hadis diatas sebagai dalil larangan melakukan ziarah ke makam orang-orang shaleh. Pertama, jika hadis ini digunakan sebagai larangan melakukan perjalanan ziarah kubur, maka mestinya melakukan perjalanan silaturrahim, perjalanan mencari ilmu, berdagang dan sebagainya juga dilarang (Fathul Bari IV/190). Kedua, hadis ini bertentangan dengan hadis sahih lain riwayat al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa "Rasulullah berkunjung ke masjid Quba' setiap hari Sabtu, baik berkendaraan atau berjalan kaki". Oleh karenanya melakukan perjalanan ke selain tiga masjid tersebut tidak dilarang (Fathul Bari IV/190)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَاَلله أَعْلَمُ (فتح الباري لابن حجر - ج 4 / ص 197)

“Maka batallah pendapat ulama yang mengatakan dilarangnya ziarah ke makam Rasulullah dan dan makam orang-orang shaleh” (Fathul Bari IV/197)

Imam Nawawi juga berkata:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي شَدِّ الرِّحَالِ وَإِعْمَالِ الْمَطِيّ إِلَى غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ كَالذَّهَابِ إِلَى قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ وَإِلَى الْمَوَاضِعِ الْفَاضِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيّ مِنْ أَصْحَابِنَا هُوَ حَرَامٌ وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِلَى اِخْتِيَارِهِ وَالصَّحِيْحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الَّذِي اِخْتَارَهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ وَلاَ يُكْرَهُ (شرح النووي على مسلم - ج 5 / ص 62)

“Ulama berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan ke selain 3 masjid diatas, seperti perjalanan ke makam-makam orang shaleh, tempat-tempat utama dan sebagainya. Dari kalangan Syafiiyah, Syaikh al-Juwaini mengatakan haram. Pendapat ini pula yang diisyaratkan oleh Qadli Iyadl. Namun pendapat yang sahih menurut ulama Syafiiyah, yang juga dipilih oleh Imam al-Haramain dan ulama lainnya adalah tidak haram dan tidak makruh” (Syarah Muslim 5/62)

Di sini mungkin ada yang bertanya, adakah dalil yang menunjukkan bolehnya ziarah kubur dengan tujuan tabarruk dan tawassul? Sebagaimana dimaklumi, tabarruk itu punya makna keinginan mendapat berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala dengan berziarah ke makam nabi atau wali. Kemudian para nabi itu meskipun telah pindah ke alam baka, namun pada hakekatnya mereka masih hidup. Dengan demikian, tidak mustahil apabila mereka merasakan datangnya orang yang ziarah, maka mereka akan mendoakan peziarah itu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «اَلاَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِيْ قُبُوْرِهِمْ يُصَلُّوْنَ» رواه البيهقي.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Para nabi itu hidup di alam kubur mereka seraya menunaikan shalat.” (HR. al-Baihaqi dalam Hayat al-Anbiya').

Sebagai penegasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang telah wafat, dapat mendoakan orang yang masih hidup, adalah hadits berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ فَإِذَا أَنَا مِتُّ عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ فَإِنْ رَأَيْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ وَإِنْ رَأَيْتُ غَيْرَ ذَلِكَ اِسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ » رَوَاهُ الْبَزَّارُ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Hidupku lebih baik bagi kalian. Kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian. Apabila aku wafat, maka amal perbuatan kalian ditampakkan kepadaku. Apabila aku melihat amal baik kalian, aku akan memuji kepada Allah. Dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. al-Bazzar, [1925]).

Karena keyakinan bahwa para nabi itu masih hidup di alam kubur mereka, kaum salaf sejak generasi sahabat melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah beliau wafat. Hakekat bahwa para nabi dan orang saleh itu masih hidup di alam kubur, sehingga para peziarah dapat bertabarruk dan bertawassul dengan mereka, telah disebutkan oleh Syaikh Ibn Taimiyah berikut ini:

وَلاَ يَدْخُلُ فِيْ هَذَا الْبَابِ (أَيْ مِنَ الْمُنْكَرَاتِ عِنْدَ السَّلَفِ) مَا يُرْوَى مِنْ أَنَّ قَوْمًا سَمِعُوْا رَدَّ السَّلاَمِ مِنْ قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَوْ قُبُوْرِ غَيْرِهِ مِنَ الصَّالِحِيْنَ وَأَنَّ سَعِيْدَ بْنِ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَسْمَعُاْلأَذَانَ مِنَ الْقَبْرِ لَيَالِيَ الْحَرَّةِ وَنَحْوُ ذَلِكَ فَهَذَا كُلُّهُ حَقٌّ لَيْسَ مِمَّا نَحْنُ فِيْهِ وَاْلأَمْرُأَجَلُّ مِنْ ذَلِكَ وَأَعْظَمُ وَكَذَلِكَ أَيْضًا مَا يُرْوَى أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَشَكَا إِلَيْهِ الْجَدَبَ عَامَ الرَّمَادَةِ فَرَآهُ وَهُوَ يَأْمُرُهُ أَنْ يَأْتِيَ عُمَرَ فَيَأْمُرَهُأَنْ يَخْرُجَ فَيَسْتَسْقِي النَّاسُ فَإِنَّ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَذَا الْبَابِ وَمِثْلُ هَذَا يَقَعُ كَثِيْرًا لِمَنْهُوَ دُوْنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَعْرِفُ مِنْ هَذِهِ الْوَقَائِعِ كَثِيْرًا. (الشيخ ابن تيمية، اقتضاء الصراط المستقيم ١/٣٧٣).

“Tidak masuk dalam bagian ini (kemungkaran menurut ulama salaf) adalah apa yang diriwayatkan bahwa sebagian kaum mendengar jawaban salam dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam atau makam orang-orang saleh, juga Sa’id bin al-Musayyab mendengar adzan dari makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam-malam peristiwa al-Harrah dan sesamanya. Ini semuanya benar, dan bukan yang kami persoalkan. Persoalannya lebih besar dan lebih serius dari hal tersebut. Demikian pula bukan termasuk kemungkaran, adalah apa yang diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu mengadukan musim kemarau kepada beliau pada tahun ramadah (paceklik). Lalu orang tersebut bermimpi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyuruhnya untuk mendatangi Umar bin al-Khaththab agar keluar melakukan istisqa’ dengan masyarakat. Ini bukan termasuk kemungkaran. Hal semacam ini banyak sekali terjadi dengan orang-orang yang kedudukannya di bawah Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan aku sendiri banyak mengetahui peristiwa-peristiwa seperti ini.” (Syaikh Ibn Taimiyah, Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim, juz. 1, hal. 373).

Kisah laki-laki yang datang ke makam Nabi shallallahu alaihi wa sallam di atas, telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Hafizh Ibn Katsir al-Dimasyqi, murid terkemuka Syaikh Ibn Taimiyah, dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah. Beliau berkata:

وَقَالَ الْحَافِظُ اَبُوْ بَكْرٍ الْبَيْهَقِيُّ اَخْبَرَنَا اَبُوْ نَصْرٍ بْنُ قَتَادَةَ وَاَبُوْ بَكْرٍ الْفَارِسِيُّقَالَا حَدَّثَنَا اَبُوْ عُمَرِ بْنِ مَطَرٍ حَدَّثَنَا اِبْرَاهِيْمُ بْنُ عَلِيٍّ الذُّهْلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُيَحْيَى حَدَّثَنَا اَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ اَبِيْ صَالِحٍ عَنْ مَالِكٍ قَالَ اَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌفِيْ زَمَنِ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ فَجَاءَ رَجُلٌ اِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَيَارَسُوْلَ اللهِ اِسْتَسْقِ اللهَ لِاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَنَامِ فَقَالَ اِيْتِ عُمَرَ فَأَقْرِءْهُ مِنِّي السَّلاَمَ وَاَخْبِرْهُمْ اِنَّهُمْ مُسْقَوْنَ وَقُلْلَهُ عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ فَاَتَى الرَّجُلُ فَاَخْبَرَ عُمَرَ فَقَالَ يَارَبِّ مَا آَلُوْا اِلاَّ مَا عَجَزْتُعَنْهُ، وَهَذَا اِسْنَادٌ صَحِيْحٌ. (الحافظ ابن كثير، البداية والنهاية ٧/٩۲ وقال في جامع المسانيد ١/۲٣٣: اسناده جيد قوي، وروى هذا الحديث ابن ابي خيثمة. انظر: الاصابة ٣/٤٨٤، والخليلي في الارشاد ١/٣١٣ وابن عبد البر في الاستيعاب ۲/٤٦٤ وصححه الحافظ ابن حجر في “ فتح الباري “ ۲/٤٩٥.

“Al-Hafizh Abu Bakar al-Baihaqi berkata, Abu Nashr bin Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi mengabarkan kepada kami, Abu Umar bin Mathar mengabarkan kepada kami, Ibrahim bin Ali al-Dzuhli mengabarkan kepada kami, Yahya bin Yahya mengabarkan kepada kami, Abu Muawiyah mengabarkan kepada kami, dari al-A’masy, dari Abu Shalih, dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani) mendatangi makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Lalu Umar menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”. Sanad hadits ini shahih. (Al-Hafizh Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, juz 7, hal. 92. Dalam Jami’ al-Masanid juz i, hal. 233, Ibn Katsir berkata, sanadnya jayyid (baik). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibn Abi Khaitsamah, lihat al-Ishabah juz 3, hal. 484, al-Khalili dalam al-Irsyad, juz 1, hal. 313, Ibn Abdil Barr dalam al-Isti’ab, juz 2, hal. 464 serta dishahihkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, juz 2, hal. 495).

Apabila hadits di atas kita cermati dengan seksama, maka akan kita pahami bahwa sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallahu ‘anhu tersebut datang ke makam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan tujuan tabarruk, bukan tujuan mengucapkan salam. Kemudian ketika laki-laki itu melaporkan kepada Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu, ternyata Umar radhiyallahu ‘anhu tidak menyalahkannya. Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhu juga tidak berkata kepada laki-laki itu, “Perbuatanmu ini syirik”, atau berkata, “Mengapa kamu pergi ke makam Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tujuan tabarruk, sedangkan beliau telah wafat dan tidak bisa bermanfaat bagimu”. Hal ini menjadi bukti bahwa bertabarruk dengan para nabi dan wali dengan berziarah ke makam mereka, itu telah dilakukan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat, tabi’in dan penerusnya.

Berkah Kuburan Orang Sholeh menurut Imam AdzDzahabi, seperti terkutip berikut ini :

سير أعلام النبلاء – (ج 17 / ص 77(
قلت: والدعاء مستجاب عند قبور الانبياء والاولياء، وفي سائر البقاع، لكن سبب الاجابة حضور الداعي، وخشوعه وابتهاله، وبلا ريب في البقعة المباركة، وفي المسجد، وفي السحر، ونحو ذلك، يتحصل ذلك للداعي كثيرا، وكل مضطر فدعاؤه مجاب.

Doa itu MUSTAJAB (BILA DIBACA) DI SISI MAKAM PARA NABI DAN WALI, juga di beberapa tempat yang lain. Namun penyebab terkabulnya doa adalah hadhirnya hati orang yang berdoa, kekhusyuka nya, dan TIDAK DIRAGUKAN LAGI DI TEMPAT-TEMPAT YANG DIBERKATI, di masjid, saat sahur dan sebagainya dimana doa akan lebih banyak didapat oleh pelakunya. Dan setiap orang yang sangat membutuhkan maka doanya akan diijabahi”
(al-Hafidz adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala’ 17/77).

Madzhab Hanbali Percaya Berkah Kuburan Orang Saleh

(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ فِي الْمَقْبَرَةِ الَّتِي يَكْثُرُ فِيْهَا الصَّالِحُوْنَ لَتَنَالَهُ بَرَكَتهُمْ، وَكَذَلِكَ فِي الْبِقَاعِ الشَّرِيْفَةِ فَقَدْ رُوِيَ فِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ لَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُدْنِيَهُ إِلَى اْلاَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ (الشرح الكبير لابن قدامة – ج 2 / ص 389)

“(Fashal) Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, begitu pula tempat-tempat mulia. Al-Bukhari dan Muslim sungguh meriwayatkan bahwa Musa As ketika ia akan wafat meminta kepada Allah agar didekatkan dengan tanah Baitul Maqdis sejarak lemparan batu”
(Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/389)

( وَ ) يُسْتَحَبُّ أَيْضًا الدَّفْنُ فِي ( مَا كَثُرَ فِيهِ الصَّالِحُونَ ) لِتَنَالَهُ بَرَكَتُهُمْ وَلِذَلِكَ الْتَمَسَ عُمَرُ الدَّفْنَ عِنْدَ صَاحِبَيْهِ وَسَأَلَ عَائِشَةَ ، حَتَّى أَذِنَتْ لَهُ . (كشاف القناع عن متن الإقناع – ج 4 / ص 420)

“Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, oleh karenanya Umar berusaha agar dimakamkan di deekat kedua sahabatnya dan meminta pada Aisyah hingga ia memberi izin”
(Kasysyaf al-Qina’ 4/420)

يُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ عِنْدَ الصَّالِحِ لِتَنَالَهُ بَرَكَتُه (الفروع لابن مفلح – ج 3 / ص 353)

“Disunahkan mengubur di dekat orang saleh agar mendapat berkahnya”
(al-Furu’ Ibnu Muflih, 3/353)

Ahli hadis juga mempercayai tabarruk dan tawassul:

قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ فِي الْعَاقِبَةِ : فَيُنْدَبُ لِوَلِيِّ الْمَيِّتِ أَنْ يَقْصِدَ بِهِ قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ وَمَدَافِنَ أَهْلِ الْخَيْرِ فَيَدْفَنَهُ مَعَهُمْ وَيَنْزِلَهُ بِإِزَائِهِمْ وَيُسْكِنَهُ فِي جِوَارِهِمْ تَبَرُّكًا وَتَوَسُّلاً بِهِمْ وَأَنْ يَجْتَنِبَ بِهِ قُبُوْرَ مَنْ يُخَافُ التَّأَذِّي بِمُجَاوَرَتِهِ وَالتَّأَلُّمُ بِمُشَاهَدَةِ حَالِهِ (فيض القدير – ج 1 / ص 297)

“Abdulhaqq berkata dalam kitab al-Aqibah: Disunahkan bagi keluarga mayit untuk bertuju ke makam orang-orang saleh dan pemakaman orang-orang baik, kemudian dimakamkan bersama mereka dan diletakkan didekat mereka, ditempatkan di sebelah mereka, untuk mencari berkah dan bertawassul dengan mereka. Dan hendaknya menjauhi kuburan orang yang dikhawatirkan buruk berdampingan dengan kubur mereka dan tersakiti menyaksikan keadaannya”
(Faidl al-Qadir 1/297)

وَقَبْرُهُ بِسَنَا بَاذْ خَارِجَ النَّوْقَانِ مَشْهُوْرٌ يُزَارُ بِجَنْبِ قَبْرِ الرَّشِيْدِ قَدْ زُرْتُهُ مِرَارًا كَثِيْرَةً وَمَا حَلَّتْ بِي شِدَّةٌ فِي وَقْتِ مَقَامِي بِطُوْسٍ فَزُرْتُ قَبْرَ عَلِّى بْنِ مُوْسَى الرِّضَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى جَدِّهِ وَعَلَيْهِ وَدَعَوْتُ اللهَ إِزَالَتَهَا عَنِّى إِلاَّ اسْتُجِيْبَ لِي وَزَالَتْ عَنِّى تِلْكَ الشِّدَّةَ وَهَذَا شَئٌ جَرَّبْتُهُ مِرَارًا فَوَجَدْتُهُ كَذَلِكَ (ثقات ابن حبان – ج 8 / ص 457)

“Makam Ali bin Musa di Sanabadz di sebelah luar Nauqan sudah masyhur dan diziarahi, berada di samping makam ar-Rasyid. Saya sudah sering kali menziarahinya. Saya tidak mengalami kesulitan ketika saya berada di Thus kemudian saya berziarah ke makam Ali bin Musa Ar Ridho, semoga Salawat dari Allah dihaturkan kepada kakeknya (Nabi Muhammad) dan kepadanya. Saya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untuk saya dan kesulitan itu pun lenyap dari saya. Ini saya alami berkali-kali, dan saya temukan seperti itu.”
(Ahli Hadis Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat 8/457)

ودفن بكار بن قتيبة بطريق القرافة، والدعاء عند قبره مستجاب. (رفع الإصر عن قضاة مصر لابن حجر – ج 1 / ص 43 الطبقات السنية في تراجم الحنفية للتقي الغزي – (ج 1 / ص 195)

“Bakkar bin Qutaibah dimakamkan di jalan Qarafah. Berdoa didekatnya adalah mustajab. Ia meninggal pada 270 H, usianya hampir 90 tahun” (Raf’ al-Ishri ‘an Qudlat Mishr karya Ibnu Hajar 1/43 dan Thabaqat as-Saniyyah At Taqiy Al Ghaziy 1/195).

Apakah Imam Adz Dzhabi dan seluruh ulama serta pengikutnya akan masuk neraka karena kebid’ahan serta kesyirikan yang dibuat ( menurut Salafy-Wahabi) akan menjadi penghuni neraka??

HUKUM MEMBAWA TANAH MAKAM UNTUK TABARUK

Bertabaruk dengan tanah atau pasir makam seorang wali, dibolehkan dalam madzhab fiqih SUNNI. Al-Imam Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi al-Maliki (wafat tahun 914 H) berkata:

حمل تراب المقابر للتبرك
وسئل أحمد بن بكوت عن تراب المقابر الذي كان الناس يحملونه للتبرك هل يجوز أو يمنع؟ فأجاب هو جائز ما زال الناس يتبركون بقبور العلماء والشهداء والصالحين وكان الناس يحملون تراب سيدنا حمزة بن عبد المطلب في القديم من الزمان فإذا ثبت أن تراب سيدنا حمزة يحمل من قديم الزمان فكيف يتمالأ أهل العلم باالمدينة على السكوت عن هذه البدعة المحرمة ؟ هذا من الأمر البعيد. قلت من هذا القبيل ما جرى عليه عمل العوام في نقل تراب الشيخ أبي يعزى وتراب ضريح الشيخ أبي غالب النيسابوري للاستشفاء من الأمراض والقروح المعضلة. (الإمام أبي العباس أحمد بن يحيى الونشريسي، المعيار المعرب والجامع المغرب عن فتاوى أهل أفريقية والأندلس والمغرب، 1/330).

Hukum membawa tanah makam untuk Tabaruk

Ahmad bin Bakut ditanya tentang tanah makam yang dibawa oleh orang-orang karena tujuan tabaruk apakah boleh atau dilarang? Lalu beliau menjawab: “Hal tersebut boleh. Orang-orang (umat Islam), selalu bertabaruk dengan makam para ulama, syuhada dan orang shaleh. Orang-orang selalu membawa tanah/debu makam Sayyidina Hamzah bin Abdul Mutthalib sejak masa lampau. Apabila telah tetap bahwa tanah makam Sayyidina Hamzah selalu dibawa sejak masa silam, maka bagaimana mungkin para ulama Madinah akan bersepakat mendiamkan bid’ah yang diharamkan ini? Ini jauh dari kemungkinan. Aku berkata: “Termasuk bagian hukum boleh ini, adalah pengamalan orang kebanyakan yang berlaku, berupa membawa tanah makam Syaikh Abu Yi’za dan tanah makam Syaikh Abu Ghalib an-Naisaburi untuk kesembuhan dari banyak penyakit dan bisul yang sulit disembuhkan.” (Al-Imam Abul-‘Abbas Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi, al-Mi’yar al-Mu’rib wa al-Jami’ al-Mughrib ‘an Fatawa Ahli Afriqiyah wa al-Andalus wa al-Maghrib, juz 1 hal. 330).

Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا اشْتَكَى الإِنْسَانُ الشَّىْءَ مِنْهُ أَوْ كَانَتْ بِهِ قَرْحَةٌ أَوْ جَرْحٌ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِإِصْبَعِهِ هَكَذَا وَوَضَعَ سَبَّابَتَهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ رَفَعَهَا « بِاسْمِ اللهِ تُرْبَةُ أَرْضِنَا بِرِيقَةِ بَعْضِنَا لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا بِإِذْنِ رَبِّنَا ». متفق عليه.

“Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila seseorang mengeluhkan sakit kepada beliau, atau pada dirinya terdapat bisul dan luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dengan jari-jarinya begini, dan meletakkan telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya: “Dengan nama Allah, tanah bumi kita, dengan ludah sebagian kita, agar supaya orang kita yang sakit disembuhkan oleh sebabnya, dengan restu Tuhan kita.” (HR Bukhari dan Muslim.)

Dalam mengomentari hadits tersebut, Ibnu Qayyimil Jauziyah berkata:

وَمَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّهُ يَأْخُذُ مِنْ رِيقِ نَفْسِهِ عَلَى أُصْبُعِهِ السَّبَّابَةِ، ثُمَّ يَضَعُهَا عَلَى التُّرَابِ فَيَعْلَقُ بِهَا مِنْهُ شَيْءٌ، فَيَمْسَحُ بِهِ عَلَى الْجُرْحِ، وَيَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ لِمَا فِيهِ مِنْ بَرَكَةِ ذِكْرِ اسْمِ اللهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، وَالتَّوَكُّلِ عَلَيْهِ، … وَهَلِ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: ” تُرْبَةُ أَرْضِنَا ” جَمِيعُ الْأَرْضِ أَوْ أَرْضُ الْمَدِينَةِ خَاصَّةً؟ فِيهِ قَوْلَانِ، وَلَا رَيْبَ أَنَّ مِنَ التُّرْبَةِ مَا تَكُونُ فِيهِ خَاصِّيَّةٌ يَنْفَعُ بِخَاصِّيَّتِهِ مِنْ أَدْوَاءٍ كَثِيرَةٍ، … وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي هَذِهِ التُّرْبَاتِ، فَمَا الظَّنُّ بِأَطْيَبِ تُرْبَةٍ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ وَأَبْرَكِهَا، وَقَدْ خَالَطَتْ رِيقَ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وَقَارَنَتْ رُقْيَتَهُ بِاسْمِ رَبِّهِ، وَتَفْوِيضِ الْأَمْرِ إِلَيْهِ، (ابن قيم الجوزية، زاد المعاد، 4/187).

“Makna hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil ludah beliau pada jari telunjuknya, lalu meletakkannya ke tanah, sehingga ada tanah yang menempel, lalu beliau usapkan pada luka dan mengucapkan kalimat tadi, karena isinya terdapat berkah Nama Allah, menyerahkan urusan kepada-Nya… Apakah yang dimaksud dengan tanah bumi kam, berlaku bagi semua bumi atau khusus tanah Madinah? Dalam hal ini ada dua pendapat. Tidak diragukan lagi, bahwa sebagian tanah memiliki khasiat yang bermanfaat bagi banyak penyakit… apabila hal ini berlaku dalam semua tanah ini, lalu bagaimana dengan tanah yang paling suci di muka bumi dan tanah yang paling berkah, dan telah bercampur dengan ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ruqyah beliau bersama Nama Tuhannya dan menyerahkan urusan kepada-Nya?” (Ibnu Qayyimil Jauziyah, Zadul Ma’ad, juz 4 hal. 187).

Pernyataan di atas menyimpulkan, bahwa tanah itu ada barokahnya. Kalau memang ada barokahnya, berarti bertabaruk hukumnya tidak ada-apa dan syar’i.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...