Senin, 01 November 2021

Telaga Jonge Yang Penuh Misteri Dan Sejarah


Tidak seperti telaga-telaga lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul yang akan mengering ketika musim kemarau, telaga ini justru tetap memiliki air yang melimpah sepanjang tahun. Telaga Jonge memiliki luas sekitar 3 hektare dengan dikelilingi hutan buatan yang membuat pinggiran telaga ini terlihat teduh dan asri. Telaga Jonge terletak di dusun Kwangen, Pacarejo, Semanu.

Tidak seperti telaga-telaga lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul yang akan mengering ketika musim kemarau, telaga ini justru tetap memiliki air yang melimpah sepanjang tahun. Telaga Jonge memiliki luas sekitar 3 hektare dengan dikelilingi hutan buatan yang membuat pinggiran telaga ini terlihat teduh dan asri. Telaga Jonge terletak di dusun Kwangen, Pacarejo, Semanu.

Berjarak sekitar 7 km ke arah timur dari pusat kota Wonosari. Lokasinya berdekatan dengan Gua Kalisuci dan Gua Jomblang yang terletak di desa yang sama. Rute yang harus dilalui sama dengan rute menuju ke Kalisuci. Hanya saja jika Kalisuci di perempatan terakhir belok ke kiri sedangkan Telaga Jonge belok ke kanan. Lokasinya tepat berada di depan SMP N 3 Semanu. Jalan yang dilalui untuk menuju telaga ini pun sudah cukup mudah dan cukup bagus. Di telaga ini terdapat makam Kiai Jonge alias Ki Sidiq Wacono alias Ki Soponyono yang merupakan sesepuh dari Majapahit.

Berkat perjuangan Kiai Jonge, telaga tersebut membawa berkah dan selalu mengayomi warga, termasuk para peziarah yang datang dengan berbagai kepentingan. Terlepas dari itu semua, tradisi ini merupakan kearifan budaya yang masih lestari dan dijunjung tinggi dalam masyarakat.

Di tempat ini juga tersedia lapak pedagang yang menyediakan makanan ringan dan menu makan siang serta untuk mie ayam, bakso, nasi dan sebagainya. Hal ini dapat dikatakan sebagai tempat khusus karena air dari tempat ini atau telaga ini tidak pernah kering hanya berkurang pada saat musim kemarau, mungkin karena beberapa tempat atau wilayah di sekitar tempat ini yang masih terjaga kelestariannya dicirikan oleh pertumbuhan pohon-pohon besar di sekitar danau ini, sehingga cadangan air tanah tidak pernah habis meskipun musim kemarau tiba. Semua orang yang datang ke sini harus menjaga lisan karena tempat ini adalah tempat yang penuh dengan sakral dan mistis. Di tempat ini juga dugunakan oleh penduduk untuk mandi setiap hari, mencuci, atau lainnya.

Kyai Jonge adalah salah satu tokoh dalam sejarah Gunungkidul. Dia merupakan pepunden dari Kraton Yogyakarta Hadiningrat. Makam Kiai Jonge berada di kompleks Telaga Jonge yang berada di dusun Kwangen, Pacarejo, Semanu. Berjarak sekitar 7 km ke arah timur dari pusat kota Wonosari. Lokasinya berdekatan dengan Gua Kalisuci dan Gua Jomblang yang terletak di desa yang sama. Tidak seperti telaga-telaga lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul yang akan mengering ketika musim kemarau, telaga ini justru tetap memiliki air yang melimpah sepanjang tahun. Telaga Jonge memiliki luas sekitar 3 hektar dengan dikelilingi hutan buatan yang membuat pinggiran telaga ini terlihat teduh dan asri.

Kiai Jonge merupakan salah satu penasehat spiritual dari Ki Ageng Giring atau Ki Ageng Wonokusumo. Beliau adalah tokoh dari Kerajaan Majapahit yang meninggalkan kerajaan, namun akhirnya masuk Islam. Makamnya terdapat di tengah-tengah Telaga Jonge. Pusara dibangun di sebelah timur telaga dengan bentuk kotak, tidak persegi panjang sebagaimana lazimnya sebuah makam.

Warga harus selalu menjaga kebersihan dan kemanfaatan telaga Jonge, untuk kesejahteraan bersama. Telaga ini sangat bermanfaat bagi warga sekitar, biasanya warga sekitar memanfaatkan telaga ini untuk mencuci dan mandi. Tidak jarang pula muda-mudi datang ke tempat ini karena memang suasana yang teduh dan asri di sekitar telaga. Ada juga beberapa warung dan angkringan dari warga sekitar. Di sekitar telaga ini juga telah dibuatkan beberapa tempat duduk dari batang kayu untuk duduk menikmati keindahan Telaga Jonge.

Telaga ini dibersihkan dan dilestarikan melalui tradisi masyarakat. Bahkan dalam tradisi ini, diikuti oleh beberapa orang dari luar DIY. Mereka secara sengaja mendatangi semacam kuburan atau petilasan Kiai Jonge yang terletak di pinggir telaga Jonge wilayah Dusun Kwangen Desa Pacarejo Kecamatan Semanu. Selain itu masyarakat adat menggelar pentas seni di sekitar telaga. Ratusan orang mengelilingi telaga yang berdiri di atas tanah Sultan Ground seluas satu hektar tersebut.

Kesenian jathilan, wayangan, kethoprak dan beberapa tokoh desa setempat ikut mengiringi kirab tersebut. Kearifan lokal tersebut terus dipelihara oleh warga setempat. Dalam tradisi tersebut, menurutnya merupakan bentuk penghormatan pada sosok Kiai Jonge yang dipercaya sebagai penduduk yang paling awal menempati wilayah sekitar telaga tersebut. Mereka juga mengucap syukur lantaran airnya masih bisa terus digunakan bagi kemakmuran masyarakat.

Juru kunci telaga Jonge, Noto Karjo menjelaskan bahwa empat dusun di sekitar jonge seperti Dusun Kwangen lor, Kwangen Kidul, Jelok, Wilayu secara bergotong royong menjaga kebersihan telaga ini. Ia menunjuk tempat persemayaman Kiai Jonge yang merupakan satu-satunya makam yang berada di bawah pohon beringin yang cukup besar, di pinggir telaga yang airnya sepanjang tahun tidak pernah kering.

Bagi warga setempat, Kiai Jonge bukan hanya dipercaya bersemayam di kuburan itu, tetapi juga menunggu telaga agar tetap lestari dan air tidak kering, sehingga bermanfaat bagi masyarakat yang setiap tahunnnya menjadi korban kekeringan. Termasuk mereka tidak berani untuk merusak alam di sekitar Telaga Jonge.

Pesan selanjutnya, warga di sekitar telaga dilarang untuk saling menikah, larangan ini sangat dipatuhi oleh 5 dusun yang ada di sekitar Telaga Jonge itu sendiri. Tradisi tidak saling menikahkan anak di antara lima dusun diawali adanya perseteruan tentang penguburan jasad Kiai Jonge. Dulu kelima dusun tersebut sempat terbagi dalam dua desa, yaitu Desa Menthel dan Desa Kwangen. Kiai Jonge yang berasal dari Kwangen memperistri seorang gadis warga Desa Menthel. Masing-masing warga dari dua desa tersebut menginginkan agar penguburan jenazah tersebut berlokasi di wilayah desa mereka. Karena tak ada kesepahaman, tiap warga membangun kubur bagi Kiai Jonge baik di Desa Menthel maupun Kwangen.

Hingga kini ada dua kuburan Kiai Jonge, yaitu di tengah ladang penduduk di Dusun Mojosari serta di tengah Telaga Jonge. Awalnya pantangan ini hanya berlaku selama sembilan generasi di lima dusun tersebut, namun hingga saat ini tetap tidak ada warga yang berani melanggarnya.

Disunahkan Berqurban Bagi Musafir


Qurban merupakan salah satu ibadah yang asal muasalnya dari kisah Nabi Ibrahim ‘alayhis salam dan Nabi Isma’il ‘alayhis salam, hal ini diabadikan oleh Allah Subahanhu wa Ta’alaa didalam Al-Qur’an:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَفَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُمِنَالصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ. قَدْصَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَالْبَلَاءالْمُبِينُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, 5.kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim,. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash-Shaaffat 37 : 102-107)

Safar (perjalanan jauh) merupakan sesuatu yang melelahkan fisik. Bahkan Rasul menyebutnya sebagai sepenggal dari adzab. Sebagimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu;

السَّفَرُ قِطْعَةٌ من الْعَذَابِ يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ نَوْمَهُ وَطَعَامَهُ وَشَرَابَهُ فإذا قَضَى أحدكم نَهْمَتَهُ فَلْيُعَجِّلْ إلى أَهْلِهِ

“Safar adalah bagian dari adzab (siksa). Ketika safar salah seorang dari kalian akan sulit makan, minum dan tidur. Jika urusannya telah selesai, bersegeralah kembali kepada keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa makna hadits tersebut adalah, “Seseorang terhalangi dari kelezatan dan kenikmataan makan, minum, dan tidurnya yang disebabkan oleh kesulitan, rasa letih, cuaca panas, dingin, rasa takut dan was-was serta perpisahan dengan keluarga dan kawan karib” (Syarh Shahih Muslim 13/70)

Imam al-Juwaini rahimahullah pernah ditanya tentang sebab penyebutan safar sebagai potongan dari adzab, “karena musafir berpisah dengan orang-orang yang dicintainya”, jawabnya.

Oleh karena itu ada beberapa keringanan (rukhshah) yang diberikan oleh syari’at kepada orang yang dalam perjalanan (musafir).

Disunnahkan bagi seorang musafir untuk berkurban, meski hal itu tidak wajib baginya. Ini adalah madzhab jumhur ulama. An-Nawawiy rahimahullah berkata :

يستحب التضحية للمسافر كالحاضر هذا مذهبنا وبه قال جماهير العلماء وقال أبو حنيفة لا أضحية على المسافر وروى هذا عن علي رضى الله عنه وعن النخعي

“Disukai (disunnahkan) berkurban bagi musafir sebagaimana orang yang hadir. Ini adalah madzhab kami (Syaafi’iyyah), dan inilah yang menjadi pendapat jumhur ulama. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak ada kurban bagi musafir’. Dan diriwayatkan juga pendapat ini dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu dan (Ibraahiim) An-Nakha’iy” [Al-Majmuu’, 8/426].

Pendapat inilah yang dirajihkan Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhallaa (5/314-315).

Dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama antara lain :

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ أَبِي الزَّاهِرِيَّةِ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: ذَبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَحِيَّتَهُ، ثُمَّ قَالَ يَا ثَوْبَانُ: " أَصْلِحْ لَحْمَ هَذِهِ "، فَلَمْ أَزَلْ أُطْعِمُهُ مِنْهَا حَتَّى قَدِمَ الْمَدِينَةَ.

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari Abuz-Zaahiriyyah, dari Jubair bin Nufair, dari Tsaubaan, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih hewan kurbannya, kemudian bersabda : “Wahai Tsaubaan, simpan daging kambing ini baik-baik (agar awet)”. Aku senantiasa memberi makan beliau dengan daging tersebut hingga tiba di Madiinah [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1975].

Dalam lain riwayat disebutkan penyembelihan beliau dilakukan saat safar [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 4/230 dan Al-Baihaqiy 9/295 (9/497)]; atau saat berada di Minaa waktu haji wada’ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1975, Ad-Daarimiy no. 1960, dll.].

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ، وَغَيْرُ وَاحِدٍ، قَالُوا: حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى، عَنْ حُسَيْنِ بْنِ وَاقِدٍ، عَنْ عِلْبَاءَ بْنِ أَحْمَرَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الْأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً، وَفِي الْجَزُورِ عَشَرَةً ".

Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Huraits dan yang lainnya, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Muusaa, dari Husain bin Waaqid, dari ‘Ilbaa’ bin Ahmar, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan (safar). Tibalah hari ‘Iedul-Adhlaa. Lalu kami berserikat sebanyak tujuh orang untuk seekor sapi dan sepuluh orang untuk seekor onta” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 905 dan 1501; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy 1/466-467].

أَخْبَرَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ فِي حَدِيثِهِ، عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ، عَنِ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كُنَّا فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الْأَضْحَى، فَجَعَلَ الرَّجُلُ مِنَّا يَشْتَرِي الْمُسِنَّةَ بِالْجَذَعَتَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ، فَقَالَ لَنَا رَجُلٌ مِنْ مُزَيْنَةَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ هَذَا الْيَوْمُ، فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَطْلُبُ الْمُسِنَّةَ بِالْجَذَعَتَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ الْجَذَعَ يُوفِي مِمَّا يُوفِي مِنْهُ الثَّنِيُّ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Hannaad bin As-Sariy dalam haditsnya, dari Abul-Ahwash, dari ‘Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, ia berkata : Kami pernah berada di satu perjalanan (safar). Lalu tibalah hari ‘Iedul-Adlhaa. Salah seorang dari kami lalu membeli dua atau tiga ekor kambing musinnah (untuk disembelih). Lalu ada seorang laki-laki dari Muzainah berkata kepada kami : “Dulu kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan, lalu tibalah hari ini (yaitu ‘Ied). Kemudian ada seseorang yang mencari  dua atau tiga ekor kambing yang cukup umur (untuk disembelih). Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya kambing jadza’ah mencukupi apa-apa yang mencukupi bagi musinnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4383; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy, 3/179].

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَحَاضَتْ بِسَرِفَ قَبْلَ أَنْ تَدْخُلَ مَكَّةَ، وَهِيَ تَبْكِي، فَقَالَ: " مَا لَكِ أَنَفِسْتِ؟ "، قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: " إِنَّ هَذَا أَمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ، فَاقْضِي مَا يَقْضِي الْحَاجُّ، غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ "، فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟، قَالُوا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah masuk menemuinya. ‘Aaisyah haidl saat tiba di Sarif sebelum memasuki Makkah, dan ia pun menangis. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ada apa ? apakah engkau sedang haidl ?”. Ia menjawab : “Ya”. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ini adalah perkara yang telah ditetapkan oleh Allah atas para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang ditunaikan orang yang berhaji selain thawaf di Ka’bah”. Ketika kami berada di Minaa, disuguhkan kepada kami daging sapi. Aku bertanya : “Apakah ini ?”. Mereka (para shahabat) menjawab : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkurban sapi atas nama istri-istrinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5548].

Mengqoshor Sholat Bagi Musyafir


Shalat qashar adalah shalat yang diringkas bilangan rakaatnya, yaitu shalat wajib yang seharusnya dikerjakan 4 rakaat, seperti zhuhur, ‘ashar dan ‘isya’, lalu dikerjakan 2 rakaat saja. Shalat maghrib (3 rakaat) dan subuh (2 rakaat) tetap dikerjakan seperti biasa, tidak boleh di-qashar. Dalil shalat qashar adalah firman Allah swt dan hadits Nabi saw :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. An-Nisa : 101)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ دَاوُدَ عَنِ الشَّعْبِيِّ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَدْ فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ بِمَكَّةَ فَلَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ زَادَ مَعَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ وَصَلَاةَ الْفَجْرِ لِطُولِ قِرَاءَتِهِمَا-قَالَ وَكَانَ إِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلَاةَ الْأُولَى.(رواه احمد : 24849 – مسند احمد– المكتبة الشاملة –باب باقى المسند السابق– الجزء : 53– صفحة : 6)

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Abi ‘Adi], dari [Dawud] dari [Asy-Sya’by], bahwa [‘Aisyah] berkata : Shalat sungguh telah diwajibkan 2 rakaat, 2 rakaat di kota Makkah. Setelah Rasulullah saw datang ke kota Madinah, beliau menambah 2 rakaat, 2 rakaat, kecuali shalat maghrib, karena ia adalah shalat ganjilnya di siang hari, dan shalat shubuh karena bacaannya panjang. Dia berkata : Apabila beliau saw bepergian, beliau melakukan shalat yang di awal (yaitu 2 rakaat, 2 rakaat). (HR. Ahmad : 24849, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Baqil musnad Assabiq, juz : 53, ha. 6)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَطَاءٍ عَنْ دَاوُدَ بْنِ أَبِي هِنْدَ عَنِ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ فُرِضَتْ ثَلَاثًا لِأَنَّهَا وِتْرٌ قَالَتْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَافَرَ صَلَّى الصَّلَاةَ الْأُولَى إِلَّا الْمَغْرِبَ فَإِذَا أَقَامَ زَادَ مَعَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ إِلَّا الْمَغْرِبَ لِأَنَّهَا وَتْرٌ وَالصُّبْحَ لِأَنَّهُ يُطَوِّلُ فِيهَا الْقِرَاءَةَ.(رواه احمد : 25080– مسند احمد– المكتبة الشاملة –باب باقى المسند الاسابق– الجزء : 53– صفحة :238)

Telah menceritakan kepada kami [Abdulwahhab bin ‘Atha’] dari [Dawud bin Abu Hind] dari [Asy-Sya’bi], dari [Aisyah], ia berkata : Shalat telah diwajibkan 2 rakaat, 2 rakaat kecuali maghrib, ia 3 rakaat, karena ia adalah shalat ganjil. Aisyah berkata : Rasulullah saw bila bepergian mengerjakan shalat yang awal (yaitu 2 rakkat) kecuali shalat maghrib (tetap dikerjakan 3 rakat); dan apabila beliau menetap (mukim), beliau menambah untuk masing-masing 2 rakaat, 2 rakaat, kecuali shalat maghrib, karena ia adalah shalat ganjil, dan shalat shubuh, karena di dalamnya beliau memanjangkan bacaannya. (HR. Ahmad : 25080, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Baqil musnad Assabiq, juz : 53, ha. 238)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا وَتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى الْأُولَى.(رواه البخاري : 3642– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة -بَاب التَّارِيخِ مِنْ أَيْنَ أَرَّخُوا التَّارِيخَ-الجزء : 12– صفحة : 323)

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Zurai’], telah menceritakan kepada kami [Ma’mar] dari [Azzuhri] dari [Urwah] dari [Aisyah ra], ia berkata : (Pada awalnya) shalat itu diwajibkan 2 rakaat, kemudian beliau saw hijrah, maka lalu shalat itu diwajibkan menjadi 4 rakaat, dan ditetapkan bagi shalat safar atas yang perama (yaitu 2 rakaat). (HR Bukhari :3642, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babut Tarikh min ayna arakhkhut Tarikh, juz : 12, ha. 323)

Al-Imam An-Nasaa’iy rahimahullah berkata :

أخبرني أحمد بن يحيى الصوفي قال حدثنا أبو نعيم قال حدثنا العلاء بن زهير الأزدي قال حدثنا عبد الرحمن بن الأسود عن عائشة أنها اعتمرت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم من المدينة إلى مكة حتى إذا قدمت مكة قالت يا رسول الله بأبي أنت وأمي قصرت وأتممت وأفطرت وصمت قال أحسنت يا عائشة وما عاب علي

Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Yahyaa Ash-Shuufiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman Al-Aswad, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ia pernah melakukan perjalanan ‘umrah dari Madinah menuju Makkah. Saat saat tiba di Makkah ia berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayahku dan ibuku, engkau mengqashar shalat sedangkan aku menyempurnakannya. Engkau berbuka sedangkan aku tetap berpuasa”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, engkau telah berbuat kebaikan. Dan itu tidak tercela bagiku” [As-Sunan no. 1456].

Diriwayatkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5429) dari jalan Abu Nu’aim.

Ahmad bin Yahyaa, ia adalah Ibnu Zakariyyaa Al-Audiy, Abu Ja’far Al-Kuufiy Ash-Shuufiy Al-‘Aabid; seorang yang tsiqah[lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 101 no. 125].

Abu Nu’aim, ia adalah ‘Amr bin Hammaad bin Zuhair bin Dirham Al-Qurasyiy At-Taimiy Ath-Thalhiy, Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabt [lihatTaqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].

Al-‘Allaa’ bin Zuhair Al-Azdiy, seorang yang tsiqah [lihatTaqriibut-Tahdziib, hal. 760 no. 5272].

‘Abdurrahman bin Al-Aswad bin Yaziid bin Qais An-Nakha’iy, Abu Hafsh; seorang yang tsiqah [lihat Taqriibut-Tahdziib, hal. 570 no. 3827].

Jadi, sanad riwayat di atas adalah shahih.

Abu Nu’aim dalam sanad di atas mempunyai mutaba’ah dari : Al-Qaasim bin Al-Hakam sebagaimana diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2294) dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5428) : Telah menceritakan Al-Husain bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad At-Tubba’iy : Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim bin Al-Hakam : ….. selanjutnya seperti sanad di atas.

Ad-Daaruquthniy mengatakan sanad riwayat tersebut hasan.

Al-Qaasim bin Al-Hakam, ia adalah Ibnu Katsiir bin Jundab bin Rabii’ bin ‘Amr, Abu Ahmad Al-Kuufiy. Abu Shaalih Ahmad bin Khalaf berkata : “Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, Yahyaa bin Ma’iin, Abu Khaitsamah, Khalaf bin Saalim Al-Mukharrimiy, dan ‘Abdurrahman bin Numair tentangnya, mereka menjawab : ‘tsiqah”. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq”. Abu Haatim berkata : “Tempatnya kejujuran, ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya”. An-Nasa’iy berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Abu Nu’aim berkata : “Padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”. Al-‘Uqailiy berkata : “Terdapat pengingkaran dalam haditsnya, dan tidak punya mutaba’ah pada banyak haditsnya”. Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqriib : “Jujur, padanya terdapat kelemahan (shaduuq, fiihi layyin)”. Adz-Dzahabiy mentsiqahkannya. Al-Albaaniy berkata : “Hasanul-hadiits,insya Allahu ta’ala, kecuali jika terdapat penyelisihan”.

Penghukuman yang benar terhadap Al-Qaasim adalah seperti perkataan Al-Albaaniy (yaitu hasanul-hadiits). Pen-tautsiq-an para imam menunjukkan kelalaian yang ada pada diri Al-Qaasim adalah ringan; dan pengingkaran dalam haditsnya sebagaimana dikatakan Al-‘Uqailiy adalah sedikit. Adapun jarh Abu Haatim, tetap tidak menurunkan derajatnya dari hasan. Selain beliau termasuk imam yang ketat dalam pemberian jarh terhadap perawi, di sini Al-Qaasim mempunyai mutaba’ah dari Abu Nu’aim sebagaimana telah lewat penyebutannya.

[lihat Tahdziibul-Kamaal 23/342-346 no. 4785, Tahdziibut-Tahdziib 8/311-312 no. 565, Man Tukullima fiihi wahuwa Muwatstsaqun au Shaalihul-Hadiits hal. 429-430 no. 284, dan Irwaaul-Ghaliil 8/187].

Ahmad bin Muhammad bin Sa’iid bin Abaan Al-Qurasyiy Al-Hamdzaaniy At-Tubba’iy; seorang yang tsiqah. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Al-Khaathib telah mentsiqahkannya. Adapun Adz-Dzahabiy berkata : “Al-imaam ats-tsiqah, muhaddits Hamdzaan”. [selengkapnya lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 2/72 no. 138, Taariikh Baghdaad 6/145-146 no. 2632, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 12/612 no. 236].

Terakhir, Al-Husain bin Ismaa’iil bin Muhammad bin Ismaa’iil bin Sa’iid bin Abaan Adl-Dlabbiy Al-Baghdaadiy Al-Muhaamiliy, seorang yang tsiqah [lihat Taraajim Rijaal Ad-Daaruquthniy fii Sunanihi oleh Muqbil Al-Wadi’iy hal. 194 no. 466].

Kesimpulan sanad mutaba’ah ini adalah hasan, namun menjadi shahih dengan keseluruhan jalannya.

Ad-Daaruquthniy (3/162 no. 2293) dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa (3/142 no. 5427) membawakan sanad lain dimana antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dan ‘Aisyah terdapat perantara ayah ‘Abdurrahman. Oleh karena itu, sebagian huffadh menyatakan riwayat ini idlthirab. Namun ta’lil idlthirab ini tidak bisa diterima dengan alasan :

a.      Sanad riwayat pertama lebih kuat dibandingkan sanad kedua.

b.      Abu Bakr An-Naisabuuriy, salah satu perawi hadits, berkata saat mengomentari sanad Al-Baihaqiy (3/142 no. 5429) : “Begitulah yang dikatakan Abu Nu’aim, dari ‘Abdurrahman, dari ‘Aaisyah. Barangsiapa yang mengatakan ‘dari ayahnya’ dalam (sanad) hadits ini, maka ia telah keliru”.

Maka, yang raajih dari dua sanad di atas adalah sanad pertama tanpa perantaraan ayah ‘Abdurrahman bin Al-Aswad.

Sebagian muhadditsin juga men-ta’lil sanad pertama dengan inqitha’ antara ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dengan ‘Aaisyah. Mereka mengambil perkataan Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal tentang kemursalannya. Juga, dengan perkataan Ibnu Abi Haatim : “Aku mendengar ayahku berkata : ‘Abdurrahman bin Al-Aswad masuk menemui ‘Aaisyah saat masih kecil, dan ia tidak mendengar darinya” [Al-Maraasil, no. 129].

Namun perlu dicatat bahwa dalam As-Sunan, Ad-Daaruquthniy memberikan penghukuman yang berbeda, yaitu sanad riwayat tersebut hasan – sehingga mengandung pengertian tidak ada inqitha’ antara ‘Abdurrahman dengan ‘Aaisyah. Ad-Daaruquthniy sendiri mengatakan : “’Abdurrahman bertemu dengan ‘Aaisyah, dan ia pernah masuk menemuinya yang saat itu ia hampir baaligh (muraahiq) bersama ayahnya. Dan ia mendengar dari ‘Aaisyah” [As-Sunan, 3/162].

Adapun terhadap perkataan Abu Haatim, Al-‘Alaa-iy memberikan sanggahan dengan membawakan perkataan ‘Abdurrahman bin Al-Aswad sendiri bahwa ketika telah ihtilaam (baligh), ia meminta idzin dan memberikan salam kepada ‘Aisyah, dan ‘Aisyah pun mendengar suaranya” [Jaami’ut-Tahshiil no. 422]. Tentu saja, yang menetapkan lebih didahulukan daripada yang menafikkan, sebagaimana telah ma’ruf dalam kaedah. Apa yang dikatakan Al-‘Alaa’iy ini disebutkan pula oleh Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir (5/252-253 no. 815) dimana ‘Abdurrahman memang benar-benar telah mendengar dari ‘Aisyah dan bercakap-cakap dengannya.

Tidak diragukan lagi bahwa hadits ‘Aaisyah ini adalah shahih.

Hadits ini menjadi dalil yang terang bagi pendapat jumhur ulama madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah bahwa menyempurnakan shalat (4 raka’at) ketika safar adalah diperbolehkan, dan qashar hukumnya merupakan rukhshah yang diberikan Allah ta’ala kepada hamba-Nya.

Dalil lain yang memperkuat pendapat jumhur adalah firman Allah ta’ala :

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” [QS. An-Nisaa’ : 101].

Peniadaan dosa (falaisa ‘alaikum junaah) menunjukkan bahwa mengqashar shalat itu adalah satu kebolehan, bukan kewajiban.

عن يعلي بن أمية؛ قال: قلت لعمر بن الخطاب: {ليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا} [4/النساء/ الآية-101] فقد أمن الناس! فقال: عجبت مما عجبت منه. فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك. فقال "صدقة تصدق الله بها عليكم. فاقبلوا صدقته".

Dari Ya’laa bin Umayyah, ia berkata : Aku berkata kepada ‘Umar bin Al-Khaththaab tentang ayat : ‘Maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir’ (QS. An-Nisaa’ : 101) : “Sungguh orang-orang telah berada dalam kondisi aman”. Maka ia berkata : “Aku juga sempat heran seperti keherananmu itu. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut. Beliau bersabda : ‘Itu adalah shadaqah yang telah Allah shadaqahkan kepada kalian. Terimalah shadaqah-Nya itu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 686].

Pengungkapan qashar dengan kata ‘shadaqah’ menunjukkan kebolehan, bukan wajib. Dan shadaqah jika disebutkan secara mutlak, maka maknanya menunjukkan shadaqah sunnah – bukan shadaqah wajib.

عن عبد الرحمن بن يزيد قال : صلّى عثمان بمنىً أربعاً، فقال عبد اللّه بن مسعود: صليت مع النبي صلى اللّه عليه وسلم ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين، زاد عن حفص: ومع عثمان صدراً من إمارته ثم أتمّها، …ثمَّ تفرَّقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين، قال الأعمش: فحدثني معاوية بن قرة عن أشياخه أن عبد اللّه صلى أربعاً قال: فقيل له: عبت على عثمان ثم صليت أربعاً قال: الخلاف شرٌّ.

Dari ‘Abdurrahman bin Yaziid, ia berkata : ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)”. Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Khilaaf(perselisihan) itu jelek” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1960; shahih].

‘Utsmaan telah mengqashar shalat di awal pemerintahannya, namun kemudian menyempurnakannya kemudian. Walau sempat protes, Ibnu Mas’uud dan kemudian diikuti semua shahabat yang lain tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan sempurna (4 raka’at). Jika melakukan shalat tamam (sempurna 4 raka’at) itu tidak diperbolehkan, tentu Ibnu Mas’ud akan menjelaskannya dan tidak sekedar beralasan menghindari khilaf.

Kita tidak mengatakan bahwa ‘Utsmaan sengaja melanggar apa yang telah diwajibkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Justru perbuatannya itu (dan juga perbuatan shahabat lain yang mengikutinya) menunjukkan pemahamannya bahwa qashar dalam safar bukanlah sesuatu yang diwajibkan ketika safar.

Hukum Shalat Qashar

Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat, apakah mengqashar shalat dalam perjalanan (safar) itu wajib, sunnah atau pilihan.

1. Wajib

Mazhab imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah wajib. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Nabi berikut :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : الصَّلَاةُ أَوَّلُ مَا فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ.(رواه البخاري : 1028 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب يَقْصُرُ إِذَا خَرَجَ مِنْ مَوْضِعِهِ – الجزء : 4 – صفحة : 237)

Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Muhammad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Sufyan], dari [Az-Zuhri], dari [Urwah], dari [‘Aisyah ra], ia berkata : Shalat pada awal mulanya diwajibkan 2 rakaat, kemudian (ketentuan ini) ditetapkan sebagai shalat safar (2 rakaat) dan disempurnakan (menjadi 4 rakaat) bagi shalat di temapat tinggal (mukim). (HR Bukhari : 1028, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Yaqshuru idzaa kharaja min maudh’ihii, juz : 4, ha. 238)

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ الْأَخْنَسِ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : فُرِضَتْ الصَّلَاةُ عَلَى لِسَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا وَفِي السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ وَفِي الْخَوْفِ رَكْعَةً. (رواه النسائي : 452 – سنن النسائي – المكتبة الشاملة -باب كَيْفَ فُرِضَتْ الصَّلَاةُ – الجزء : 2– صفحة : 235)

Telah mengabarkan kepada kami [Amr bin Ali], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dan [Abdurrahman], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Abu ‘Awanah] dari [Bukair bin Al-Akhnas] dari [Mujahid] dari [Ibnu Abbas], ia berkata : Shalat diwajibkan lewat lisan Nabi saw bagi yang tinggal di tempat (mukim) 4 rakaat, dalam keadaan bepergian 2 rakaat, dan dalam keadaan takut satu rakaat. (HR. An-Nasai : 452, Sunan An-nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab kaifa Furidhatish shalaatu, juz : 2, ha. 235)

Dua hadits di atas memang tegas menyebut dengan kata `diwajibkan`, sehingga dijadikan dalil oleh mazhab imam Hanafi untuk mewajibkan qashar shalat dalam perjalanan (safar).

2. Sunnah

Mazhab imam Maliki berpendapat, bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah sunat muakka. Dalilnya adalah tindakan Rasulullah saw yang secara umum selalu mengqashar shalat dalam hampir semua perjalanannya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عِيسَى بْنِ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ :صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ لَا يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.(رواه البخاري : 1038– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب مَنْ لَمْ يَتَطَوَّعْ فِي السَّفَرِ دُبُرَ الصَّلَاةِ وَقَبْلَهَا- الجزء : 4 – صفحة :253)

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [‘Isa bin Hafash bin ‘Ashim], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku [ayahku], bahwa ia pernah mendengar [Ibnu Umar] berkata: Aku menemani Rasulullah saw, beliau tidak pernah menambah shalat lebih dari 2 rakaat dalam safar (perjalanan), demikian pula Abu Bakar, Umar dan Utsman ra. (HR.Bukhari :1038, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab man lam Yatathawwa’ fissafar Duburashalaati wa qablahaa,juz :4, ha.253)

3. Pilihan

Mazhab imam Syafi`i dan Hanbali berpendapat bahwa shalat qashar bagi orang yang melakukan perjalanan hukumnya adalah ‘Jaiz’, yaitu boleh memilih antara mengqashar shalat atau itmam (menyempurnakan 4 rakaat). Namun menurut mereka, mengqashar itu tetap lebih utama daripada itmam, karena merupakan sedekah dari Allah swt. Hadits Nabi :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ إِسْحَقُ أَخْبَرَنَا وَقَالَ الْآخَرُونَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ ابْنِ أَبِي عَمَّارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَابَيْهِ عَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ قَالَ قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ {لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنْ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمْ الَّذِينَ كَفَرُوا} فَقَدْ أَمِنَ النَّاسُ فَقَالَ عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتَ مِنْهُ فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ.(رواه مسلم : 1108 – صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 10– صفحة :296)

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Abu Kuraib] dan [Zuhair bin Harb] dan [Ishaq bin Ibrahim]. Ishaq berkata : “Telah mengabarkan kepada kami”. Yang lain mengatakan : “Telah menceritakan kepada kami”[Abdullah bin Idris] dari [Ibnu Juraij] dari [Ibnu Abi Ammar] dari [Abdullah bin Babaih], dari [Ya’la bin Umayyah], ia berkata : Aku berkata kepada [Umar bin Khattab] tentang firman Allah yang artinya : “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. An-Nisa : 101),- Sementara saat ini manusia dalam kondisi aman (maksudnya tidak dalam kondisi perang). Umar menjawab : Sungguh aku juga pernah penasaran seperti yang engkau juga penasaran tentang ayat itu, lalu aku tenyakan kepada Rasulullah saw tentang ayat tersebut. Beliau saw menjawab : Itu (mengqashar shalat) adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terimalah sedekah-Nya. (HR.Muslim : 1108, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 19, ha.296)

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Allah swt menyukai bila kita menerima sedekah-Nya, yaitu berupa rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan.

أخبرنا محمد بن إسحاق بن إبراهيم مولى ثقيف ، قال : حدثنا قتيبة بن سعيد ، قال : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يُحِبَّ أَنْ تُؤْتَى عَزَائِمُهُ.(رواه ابن جبان : 3637 –صجيح الن حبان– المكتبة الشاملة –باب صوم المسافر- الجزء : 15– صفحة :133)

Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim] mantan budak [Tsaqif], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Qutaibah bin Sa’id], Ia berkata : telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [‘Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar] dari Rasulullah saw, beliau bersabda : Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia suka jika kewajiban-Nya dijalankan. (HR. Ibnu Hibban : 3637, Shahih Ibnu Hibban, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 15, ha. 133)

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ حَرْبِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ.(رواه احمد :5606– مسند احمد– المكتبة الشاملة –باب مسند عبد الله بن عمر - الجزء : 12– صفحة : 143)

Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdillah], telah menceritakan kepada kami [Abdul Aziz bin Muhammad] dari [Ammar bin Ghaziyyah] dari [Harb bin Qais] dari [Nafi’] dari [Ibnu Umar], ia berkata : Rasulullah saw, bersabda :Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan dari)Nya dilaksanakan sebagaimana Dia benci jika kemaksiatan kepada-Nya dilakukan. (HR.Ahmad : 5606, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Musnad Abdullah bin Umar, juz : 12, ha. 143)

Selain dari keterangan di atas, Aisyah dan Rasulullah saw pernah mengadakan perjalanan, dimana mereka saling berbeda dalam shalat, yang satu mengqashar dan yang lain tidak mengqashar. Hadits Nabi :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ كَثِيرٍ الصُّورِىُّ ح وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ النَّيْسَابُورِىُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو الْغَزِّىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ الْفِرْيَابِىُّ حَدَّثَنَا الْعَلاَءُ بْنُ زُهَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى عُمْرَةٍ فِى رَمَضَانَ فَأَفْطَرَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَصُمْتُ وَقَصَرَ وَأَتْمَمْتُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِى وَأُمِّى أَفْطَرْتَ وَصُمْتُ وَقَصَرْتَ وَأَتْمَمْتُ. قَالَ أَحْسَنْتِ يَا عَائِشَةُ.(رواه الدارقطني : 2317 – سنن الدارقطني– المكتبة الشاملة –باب القبلة للصائم - الجزء : 6– صفحة :58)

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar An-Naisabury], telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Muhammad bin Amr Al-Ghazzi], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Yusuf Al-Firyaby], telah menceritakan kepada kami [Al’Ala’ bin Zuhair] dari [Abdurrahman bin Al-Aswad] dari ayahnya, dari ‘Aisayah, ia berkata : Aku pernah keluar melakukan umrah bersama Rasullah saw di bulan Ramadhan, beliau saw berbuka dan aku tetap berpuasa, beliau mengqashar shalat dan aku tidak. Maka aku berkata : Wahai Rasulullah! Dengan ayah dan ibuku, anda berbuka dan aku berpuasa, anda mengqashar dan aku tidak. Beliau menjawab : Kamu baik, wahai Aisyah.(HR. Ad-Daruquthuny : 2317, Sunan Ad-Daruquthuny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qublah Lishshaim, juz : 6, ha. 58)

Syarat Sah Shalat Qashar

1. Niat shalat qashar

Shalat qashar harus dilakukan dengan niat qashar ketika takbiratul Ihram. Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa “niat” qashar harus dilakukan untuk setiap kali shalat. Mazhab imam Malik berpendapat bahwa “niat” qashar cukup dilakukan di awal shalat yang diqashar dalam perjalanan itu, dan shalat berikutnya tidak wajib memperbaharui niat qashar. Sedangkan mazhab imamAbu Hanifa berpendapat bahwa yang wajib dilakukan adalah “niat safar”; dan bila niat safar telah dilakukan, maka bagi sang musafir wajib mengqashar shalatnya menjadi 2 rakaat.

2. Bukan perjalanan maksiat

Shalat qashar dapat dilakukan dengan syarat perjalanan itu mubah, bukan perjalanan maksiat. Mazhab imam Syafi’I dan Hanbali sepakat, bahwa perjalanan yang terlarang atau maksiat, tidak membolehkan untuk mengqashar shalat; dan kalau shalatnya itu diqashar, maka shalat tersebut tidak sah. Sedangkan mazhab imam Abu Hanifa dan Malik berpendapat bahwa mengqashar shalat tidak disyaratkan perjalanan yang mubah. Bahkan menurut mazhab imam Abu Hanifa wajib mengqashar shalatnya atas setiap orang yang melakukan perjalanan (musafir), walaupun perjalanannya termasuk yang terlarang/diharamkan. Dan menurut mazhab imam Malik, shalatnya sah walaupun dilakukan bersama perbuatan dosa.

3. Shalat Adaa’ (tunai)

Shalat yang diqashar itu adalah shalat adaa’ (tunai), bukan shalat Qadha’. Adapun shalat yang ketinggalan di waktu dalam perjalanan boleh diqashar bila diqadha’ dalam perjalanan; tetapi shalat yang ketinggalan waktu mukim tidak boleh diqadha’ dengan qashar sewaktu dalam perjalanan.

4. Perjalanan jarak jauh

Shalat Qashar dapat dilakukan bagi orang yang melakukan perjalanan dengan jarak jauh, yaitu 16 farsakh. Jarak 16 Farsakh dalam kitab Fiqih empat madzhab : 80,640 km. Sedangkan satu Farsakh menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah : 5541 . jadi 16 x 5541 = 88,656 (16 Farsakh = 88,656 km). Dalam suatu riwayat ditegaskan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat setelah menempuh perjalanan dengan jarak 4 burud, yaitu 16 Farsakh :

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا.(رواه البخاري– صحيح البخاري–المكتبة الشاملة- بَاب فِي كَمْ يَقْصُرُ الصَّلَاةَ –الجزء : 4–صفحة: 231)

Dan adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas pernah mengqashar dan berbuka dalam perjalanan 4 burud, yaitu 16 Farsakh. (HR.Buklhari, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fii kam Yaqshurusa sdalaata, juz : 4, hal.231)

Para ‘Ulama’ berbeda pendapat tentang jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar. Namun imam Malik, Syafi’I dan Ahmad sepakat, bahwa jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar adalah 4 burud, yaitu 16 Farshakh. (80,640 km/88,656 km). Walaupun jarak itu dapat ditempuh dengan waktu yang singkat, hanya satu jam perjalanan umpamanya, seperti naik pesawat terbang, maka tetap dianggap telah memenuhi syarat untuk mengqashar shalat, karena yang dijadikan dasar adalah jarak tempuh, bukan hari atau waktu tempuh. Dalilnya adalah hadits Nabi :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْمَاعِيلَ التِّرْمِذِىُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ عَبْدِ الْوَهَّابِ بْنِ مُجَاهِدٍ عَنْ أَبِيهِ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: يَا أَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا الصَّلاَةَ فِى أَدْنَى مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عُسْفَانَ. (رواه الدارقطني : 1463– سنن الدارقطني-المكتبة الشاملة- باب قَدْرِ الْمَسَافَةِ الَّتِى تُقْصَرُ فِى مِثْلِهَا صَلاَةٌ وَقَدْرِ الْمُدَّةِ-الجزء :4– صفحة :109)

Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Muhammad bin Ziyad], telah menceritakan kepada kami [Abu Isma’il At-Tirmidzi], telah menceritakan kepada kami [Ibrahim bin Al-‘Ala’], telah menceritakan kepada kami [Isma’il bin ‘Ayyasy], dari [Abdul wahhab bin Mujahid] dari ayahnya, dan [‘Atha’ bin rabah] dari [Ibnu Abbas ra], bahwa Rasulullah saw bersabda : Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan. (HR. Ad-Daruquthuny : 1463, Sunan Ad-Daruquthuny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qadril Masafal Latii taqshuru fii Mitslihaa Shlaatun wa qadril Muddah, juz : 4, hal. 109)

Mengqashar shalat dalam perjalanan sudah boleh dilakukan walaupun belum mencapai jarak yang telah ditetapkan, dengan syarat sejak awal niatnya memang akan menempuh jarak sejauh itu. Shalat qashar sudah bisa dimulai ketika musafir itu sudah keluar dari kota atau wilayah tempat tinggal. Suatu ketika Anas bin Malik mengqashar shalat bersama Nabi saw di Dzul Hulaifah atau sekarang dikenal dengan Bir ‘Ali setelah melakukan perjalanan dari kota Madinah. Sedangkan jarak antara Madinah–Bir ‘Ali (Dzul Hulaifaf) hanya 12 km. Hadits Nabi :

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ سَمِعَا أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَصَلَّيْتُ مَعَهُ الْعَصْرَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم : 1115 -صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 3– صفحة : 469)

Telah menceritakan kepada kami [Sa’id bin Manshgur], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al-Muknkadir] dan [Ibrahim bin maisarah] mereka berdua pernah mendengar [ Anas bin Malik ra] berkata : Aku pernah shalat Zhuhur bersama Rasulullah SAW di Madinah 4 rakaat, dan shalat Ashar bersama beliau di Dzil Hulaifah 2 rakaat. (HR.Muslim : 1115, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 3, ha.469)

Batas Jarak Minimal

Jarak paling dekat untuk bolehnya mengqashar shalat menurut imam Nawawi dan pengikutnya adalah 3 mil.  Sedangkan satu mil menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhussunnah : 1748 m. (3 x 1748 = 5,238), jadi, 3 mil = 5,238 km. Hadits Nabi :

حَدَّثَنَاه أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ كِلَاهُمَا عَنْ غُنْدَرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ الْهُنَائِيِّ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ-شُعْبَةُ الشَّاكُّ- صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.(رواه مسلم :1116-صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 3– صفحة : 470)

Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Muhammad bin Basysyar] keduanya dari [Ghundzar], [Abu Bakar] berkata : Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin ja’far] [Ghundar] dari [Syu’bah] dari [Yahya bin Yazid Al-huna’i] ia berkata : Aku bertanya kepada [Anas bin Malik] tentang shalat qashar, lalu ia menjawab : Rasulullah SAW jika keluar menempuh jarak 3 mil atau 3 farsakh [Syu’bah ragu] beliau shalat 2 rakaat. (HR.Muslim : 1116, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Sahalatul Musafir wa qashrihaa, juz : 3, ha. 470)

Tanpa Batas Jarak

Menurut Ibnu Hazm Azh-Zhahiri, seorang musafir dapat mengqashar shalatnya tanpa adanya batas minimal jarak yang harus ditempuh, yang penting sudah termasuk dalam perjalanan (safar), berdasarkan umumnya firman Allah surat An-Nisa ayat101 yang artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu).

Jarak 3 Hari Perjalanan

Sebagian Ulama’ berpendapat, bahwa bolehnya mengqashar shalat adalah menggunakan ukuran hari atau waktu tempuh. Seperti mazhab imam Abu Hanifah berpendapat, bahwa hari atau waktu yang harus tempuh adalah minimal perjalanan 3 hari. Dan perjalanan itu cukup dilakukan sejak pagi hingga zawal di siang hari. Dasar dari penggunaan masa waktu tiga hari ini adalah hadits Nabi SAW, dimana dalam beberapa hadits beliau selalu menyebut perjalanan dengan masa waktu tempuh tiga hari. Seperti hadits tentang mengusap sepatu, disana dikatakan bahwa seorang boleh mengusap sepatu selama perjalanan 3 hari.

حَدَّثَنَا الْمُهَاجِرُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو مَخْلَدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُرَخَّصَ لِلْمُسَافِرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ....(رواه الدارقطني : 796- سنن الدارقطني – المكتبة الشاملة - باب مَا فِى الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ بِغَيْرِ تَوْقِيتٍ- الجزء :2– صفحة : 375)

Telah menceritakan kepada kami [Al-Muhajir bin Makhlad Abu Makhlad], dari [Abdurrahman bin Abi Bakrah] dari ayahnya, dari Nabi saw, bahwa sesungguhnya beliau memberikan keringanan (Rukhshah) kepada orang yang bepergian (untuk mengusap sepatu) dalam jangka waktu tiga hari tiga malam. (HR. Ad-Daruqthny : 796, Sunan Ad-Daruqthny, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab maa filmashi ‘alalkhuffain bighairi tawqiit, juz : 2, ha. 375)

Demikian juga ketika Rasulullah saw menyebutkan tentang larangan wanita bepergian tanpa mahram yang menyertainya, beliau menyebut perjalanan selama 3 hari.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ أَخْبَرَنَا الضَّحَّاكُ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ ثَلَاثِ لَيَالٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ.(رواه مسلم : 2382-صحيح مسلم– المكتبة الشاملة - بَاب سَفَرِ الْمَرْأَةِ مَعَ مَحْرَمٍ إِلَى حَجٍّ وَغَيْرِهِ - الجزء : 7– صفحة : 45)

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Raf’I’], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi Fudaik], telah mengabarkan kepada kami [Adh-Dhahhak] dari [Nafi’] dari [Abdullah bin Umar] dari Nabi saw, beliau bersabda : Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian sejauh 3 malam kecuali bersama mahram. (HR.Muslim : 2382, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab safari mar-ati ma’a mahramin ilaa haajin wa ghairihii, juz : 7, ha. 45)

Menurut mazhab imam Abu Al-Hanifah, penyebutan 3 hari perjalanan itu pasti ada maksudnya, yaitu untuk menyebutkan bahwa minimal jarak perjalanan yang membolehkan qashar adalah sejauh perjalanan 3 hari.

Berakhirnya Kebolehan Qashar

Pada waktu Rasulullah saw melaksanakan haji wada’ mukim di Makkah dan sekitarnya selama 10 hari. Dan selama 10 hari mukim, beliau mengqashar shalatnya. Beliau datang di Makkah pada hari ke 4 dan mukim di Makkah pada hari ke 5, 6 dan 7; dan pada hari ke 8 keluar dari Makkah menuju Mina, hari ke 9 menuju Arafah, hari ke 10 kembali ke Mina; dan mukim di Mina pada hari ke 11, 12 dan berangkan ke Makkah lagi pada hari ke13; lalu kembali ke Madinah pada hari ke 14.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ إِلَى مَكَّةَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ حَتَّى رَجَعَ قُلْتُ كَمْ أَقَامَ بِمَكَّةَ قَالَ عَشْرًا.(رواه مسلم: 1118 -صحيح مسلم– المكتبة الشاملة -بَاب صَلَاةِ الْمُسَافِرِينَ وَقَصْرِهَا - الجزء : 3– صفحة :472)

Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Yahya At-tamimy], telah mengabarkan kepada kami [Husyaim] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas bin Malik] : kami berangkat bersama Rasulullah saw dari Madinah ke Makkah, lalu beliau shalat 2 rakaat, 2 rakaat hingga pulang. Aku bertanya : Berapa lama beliau mukim di Makkah? Dia menjawab : Sepuluh hari. (HR.Muslim : 1118, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab shalaatil musaafiriin wa qashrihaa, juz : 3, ha. 472)

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ح حَدَّثَنَا قَبِيصَةُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرًا نَقْصُرُ الصَّلَاةَ.(رواه البخاري : 3959 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب مَقَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ زَمَنَ الْفَتْحِ - الجزء :13– صفحة :194)

Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim], telah menceritakan kepada kami [Sufyan], telah menceritakan kepada kami [Qabishah], telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari [Yahya bin Abi Ishaq] dari [Anas ra], ia berkata : Kami bermukim bersama Nabi saw 10 hari, dan sekian hari itu kami melakukan qashar.(HR.Buklhari : 3959, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanl fathi, juz : 13, hal. 194)

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا عَاصِمٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ. (رواه البخاري : 3960 – المكتبة الشاملة - بَاب مَقَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ زَمَنَ الْفَتْحِ - الجزء :13– صفحة :195)

Telah menceritakan kepada kami [‘Abdan], telah mengabarkan kepada kami [Abdullah], telah mengabarkan kepada kami [‘Ashim] dari [‘Ikrimah] dari [Ibnu Abbas ra], ia berkata : Nabi saw bermukim di Makkah 19 hari dan selama itu pula beliau shalat 2 rakaat. (HR.Buklhari : 3960, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanal fathi, juz : 13, hal. 195)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ عَنْ عَاصِمٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ تِسْعَ عَشْرَةَ نَقْصُرُ الصَّلَاةَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَنَحْنُ نَقْصُرُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ تِسْعَ عَشْرَةَ فَإِذَا زِدْنَا أَتْمَمْنَا.(رواه البخاري : 3961– المكتبة الشاملة - بَاب مَقَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ زَمَنَ الْفَتْحِ - الجزء :13– صفحة : 196)

Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus], telah m,enceritakan kepada kami [Abu Syihab] dari [‘Ashim] dari [‘Ikrimah] dari [Ibnu Abbas], ia berkata : Kami tinggal (bermukim) bersama Nabi saw dalam sebuah perjalanan selama 19 hari, yang sekian itu pula kami lakukan qashar. Ibnu Abbas berkata : Kami mengqashar ketika kami bermukim sekitar selama 19 hari, namun apabila lebih, tentu kami melakukan shalat dengan sempurna (Itmam). (HR.Buklhari : 3961, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maqaaminj Nabiyyi bi Makkata zamanal fathi, juz : 13, hal. 196)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ ثَوْبَانَ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ الصَّلَاةَ.(رواه ابو داود : 1046 - سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – بَاب إِذَا أَقَامَ بِأَرْضِ الْعَدُوِّ يَقْصُرُ- الجزء : 3 – صفحة : 477)

Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Hanbal], telah menceritakan kepada kami [Abdurrazaq], telah mengabarkan kepada kami [Ma’mar] dari [Yahya bin Abi Katsir] dari [Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban] dari [Jabir bin Abdillah] ia berkata : Rasulullah saw pernah bermukim di Tabuk selama 20 hari dan beliau selalu mengqashar shalat. (HR. Abu Dawud : 1946, Sunan AQbu dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab idzaa aqaamaa Bi ardhil ‘aduwwi wa yaqshuru, juz : 3, ha. 477)

Empat Mazhab Beda Pendapat

1. Imam Malik dan Imam As-Syafi`i berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat selama 4 hari.

2. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa masa berlakunya jama` dan qashar bila menetap disuatu tempat selama 15 hari.

3. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Daud berpendapat bahwa masa berlakunya qashar bila menetap disuatu tempat lebih dari 4 hari. 

Hukum Mustautin Dalam Sholat Jum'ah


Pada waktu agama Islam datang, di seluruh dunia ini sudah ada sistem perbudakan dan keadaan/wujud para budak itu tidak dapat dipungkiri. Kemudian Islam datang dengan keinginan agar para pemilik budak yang dapat diperjual belikan itu mau memerdekakan para budak dengan sukarela, antara lain dengan jalan kewajiban memerdekakan budak sebagai denda dari orang yang melakukan hubungan seksual dengan isterinya disiang hari pada bulan Ramadan dan lainnya. Sedang perbedaan hukuman bagi budak sebanyak setengah dari hukuman bagi orang merdeka adalah salah satu bukti perhatian Islam terhadap para budak.

Budak belian itu sekarang ini tidak kita dapati di negeri-negeri Islam, sehingga perbedaan hukum antar orang merdeka (hurri) dan budak (abdi) sudah tidak ada lagi.

Para pelajar dan mahasiswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah atau kampus termasuk golongan mustautin sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus tidak termasuk golongan mustautin. Demikian pula karyawan yang rumahnya dekat dengan pabrik/perusahaan termasuk golongan mustautin, sedang yang jauh tidak termasuk golongan mustautin. Yang dimaksud dekat disini adalah dapat mendengarkan adzan dari tempat mendirikan salat Jumat yang dilakukan di atas menara tanpa pengeras suara dari muadzin yang suaranya normal pada saat yang hening tanpa kebisingan.

Yang dimaksud dengan mustautin adalah orang yang bertempat tinggal menetap di suatu tempat, tanpa ada keinginan pulang kembali ke kampung halamannya manakala tujuannya telah tercapai sebagaimana pelajar atau mahasiswa yang kost dikota lain dengan tujuan mencari ilmu yang apabila setelah lulus dai akan pulang ke kampungnya atau pindah ketempat lain. Maka mereka ini meskipun menetap sampai 5 tahun menuntut ilmu, tidak dapat digolongkan mustautin, tetapi hanya digolongkan mukimin saja.

Salat Jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan adalah sah jika tempat melakukan salat Jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli Juamat di tempat melakukan salat Jumat tersebut.

Mengenai salat Jumat yang diadakan di sekolah/kampus atau di lingkungan pabrik, selama ahli Jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafii) laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semuanya dapat membaca al Quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari Jumat salat Jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedang tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat Jumat yang lain (minimal 1666 m, menurut keputusan Muktamar NU), maka mendirikan salat Jumat ditempat tersebut adalah sah.

Menurut ibarat dari kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 54, para murid sekolah, mahasiswa dan para karyawan yang tidak berdomisili di sekitar tempat mendirikan salat Jumat tidaklah termasuk golongan mustautin.

Dasar pengambilan Kitab Tausyih ala ibn Qosim halaman 78:

(وَ) السَّابِعُ (الإسْتِيْطَانُ) بِمَحَلِّ إِقَامَةِ الجُمُعَةِ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ المُسْتَوْطِنش وَهُوَ المُقِيْمُ بِمَحَلِّهَا أرْبَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ أو بِمضا يُسْمَعُ مِنْهُالنِّدَاءُ. وَلاَ تَنْعَقِدُ بِمُسافِرٍ وَمُقِيْمٍ عَزَمَ عَلَى عَوْدِهِ لِوَطَنِهِ وَلَو بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَالمُسْتَوطِنُ مَنْ لاَيُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ فَغَيْرُ المُسْتَوطِنِ إنْ كَانَ مُسَافِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَإنْ كَانَ مُقِيْمًا وَلَوْ أربَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ.

“Dan yang ketujuh (dari syarat-syarat mendirikan salat Jumat) adalah istitan (bertempat tinggal menetap) di tempat mendirikan salat Jumat. Sehingga salat Jumat itu tidak sah (apabila ahli Jumatnya paling sedikit 40 orang itu digenapi jumlahnya) dengan orang yang wajib menghadiri salat Jumat dan ia bukan mustautin, yaitu orang yang bertempat tinggal ditempat mendirikan salat Jumat selama empat hari penuh, atau digenapi dengan orang yang mendengar adzan melalui pengeras suara atau radio tetapi rumahnya sangat jauh dari tempat mendirikan salat Juamat. Salat Jumat tidak sah dengan ahli Jumat (jamaah tetap) orang musagir atau orang mukim yang bercita-cita kembali kenegerinya meskipun sesudah jangka waktu yang lama. Mustautin itu adalah orang yang tidak bepergian dari tempat tinggalnya pada musim hujan atau musim lainnya, kecuali karena ada keperluan. Orang yang tidak mustautin, jika dia bepergian, maka dia tidak wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat itupun tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi dengan dia, dan jika musafir ini melakukan salat Jumat, maka salat Jumatnya sah. Jika musafir itu tinggal di suatu tempat, meskipun selama empat hari penuh, maka dia wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi hitungannya dengan dia, dan salat Jumat yang dilakukan olehnya sah. ”

Adapun dalil-dalil penetapan ahli Jum’at, sekurang-kurangnya empat puluh orang, antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,

أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون

Artinya : Sesungguhnya Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim.Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad sahih)
Berkata Hakim : “Hadits ini shahih atas syarat Muslim.”

Jalan pendalilian dengan hadits ini dikatakan, Ijmak ulama keabsahan shalat Jum’at harus dengan memenuhi persyaratan bilangannya. Maka tidak sah shalat Jum’at kecuali dengan bilangan yang ditetapkan syara’ (tauqif). Berdasarkan hadits di atas, Jum’at boleh dilakukan dengan bilangan empat puluh orang. Maka tidak boleh mendirikan Jum’at dengan bilangan yang kurang dari itu kecuali ada dalil yang menjelaskannya. Sedangkan hadits Rasulullah SAW menerangkan :

صلوا كما رأيتموني أصلي

Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.(H.R. Bukhari dan Baihaqi)

Pendalilian seperti ini telah disebut oleh Ibnu Mulaqqan dalam Badrul Munir.Keterangan bahwa pada jum’at tidak boleh tidak dari bilangan jum’at, juga dikemukakan oleh al-Suyuthi. Jalan pendalilian lain disebut oleh al-Khithabi al-Busty, yaitu : Jum’at yang terjadi pada kisah hadits di atas merupakan Jum’at kali pertama dalam sejarah Islam. Oleh karena itu, semua keadaannya menjadi wajib pada Jum’at, karena hal itu merupakan penjelasan (bayan) atas mujmal yang wajib.Sedangkan bayan mujmal yang wajib adalah wajib.

Hadits-hadits lain yang mendukung antara lain :

2. Hadits dari Jabir, beliau berkata :

مضت السنة أن في كل أربعين فصاعدا جمعة

Artinya : Sudah berlaku sunnah bahwa pada setiap empat puluh orang dan selebihnya boleh dilaksanakan shalat Jum’at.(H.R. al-Darulquthni)
Hadits ini juga diriwayat oleh Baihaqi.

3. Hadits dari Abu al-Darda’, beliau berkata :

ان رسول الله صلعم قال إذا اجتمع أربعون رجلا فعليهم الجمعة

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila berkumpul empat puluh orang laki-laki, maka wajib atasnya shalat Jum’at.”

4. Hadits dari Abu Umamah, beliau berkata :

أن النبي صلعم قال لا جمعة الا باربعين

Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tidak ada Jum’at kecuali dengan empat puluh orang.”

5. Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :

جمعنا رسول الله صلعم نحن أربعون رجلا

Artinya : Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah SAW, kami waktu ituempat puluh orang (H.R. Baihaqi)

6. Al-Raqi mengatakan :

أتانا كتاب عمر بن عبد العزيز إذا بلغ أهل القرية أربعين رجلا فليجمعوا

Artinya : Datang kepada kami surat dari Umar bin Abd al-Aziz, “Apabila penduduk suatu egara sampai empat puluh orang laki-laki, maka hendaklah melakukan jum’at.” (H.R. Baihaqi)

Kifayatul Akhyar Juz 1 halaman 148 menjelaskan 40 orang yang dapat menjadi pendukung keabsahan pendirian shalat Jumat :

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ.

Ketahuilah! Adapun syarat 40 orang itu, haruslah laki-laki, sudah mukallaf/baligh, merdeka (bukan budak) bermukim dalam arti menetap, tidak berpindah pada musim dingin atau panas kecuali untuk hajat. Maka tidaklah sah shalat Jumat dengan (melengkapi jumlah 40) bersama perempuan, anak kecil, hamba sahaya, orang yang bepergian (kedaerah diselenggarakannya Jumat), juga tidak dapat (dilengkapi oleh) penduduk musiman yang berpindah pada musim tertentu…

Dari keterangan ini maka jelaslah bahwa setiap pendirian Jumat harus dihadiri oleh penduduk setempat minimal 40 orang. Pendirian Jumat yang didirikan oleh 40 orang yang berasal dari berbagai wilayah dan bukan dari wilayah dimana Jumat diselenggarakan maka Jumatnya tidak sah, sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Kifayatul Akhyar juz 2 halaman 148 :

إِذَا تَقَارَبَ قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ.

Ketika berdekatan dua buah desa, tiap-tiap dari dua desa itu tidak ada 40 orang dengan sifat yang sempurna (yang memenuhi syarat pelengkap Jumat), seandainya mereka berkumpul, kemudian mencapai 40 orang, maka Jumat yang mereka dirikan tetap tidak sah! Meskipun tiap-tiap dari penduduk desa itu mendengar panggilan dari yang lain. Karena 40 itu dilengkapi oleh orang yang tidak bermukim dan menetap dari desa dimana Jumat itu didirikan.

Perlu anda ketahui bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab itu adalah disebabkan oleh perbedaan ushul dan pendangan mereka terhadap dalil-dalil nash. Sebagai contoh, madzhab Hanafi tidak mau menggunakan hadist ahad (hadist yang dalam satu stadium hanya diriwayatkan oleh satu orang) meskipun sahih sebagai dasar pengambilan hukum. Bagi madzhab Hanafi hadist yang dapat dijadikan dasar hukum itu paling tidak adalah Hadist Mashur (hadist yang dalam satu stadium diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang).

Sebaliknya madzhab Maliki mau menggunakan hadist dlaif asal tidak terlalu dlaif sebagai dasar pengambilan hukum. Sedang madzhab Syafii hanya mau menggunakan hadist sahih meskipun hadist tersebut adalah hadist ahad.

Terhadap ayat-ayat al Quran serta perbedaan ushul diantara mereka, maka hasil ijtihad mereka menjadi berbeda-beda. Jadi jika dalam satu masalah, misalnya fardlu wudlu, kita setuju pendapat madzhab Syafii, yaitu enam, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Syafii bahwa hadist yang dapat dijadikan dasr hukum adalah hadist sahih meskipun ahad. Jika kita setuju pendapat madzhab Hanafi, yatiu empat, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hadist yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadist masyhur. Kemudian jika kita setuju pendapat madzhab Maliki, yaitu delapan, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Malik bin Anas bahwa hadist dlaif itu dapat dijadikan dasar hukum.

Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak terpaksa memiliki pendapat yang ada diantara para Imam Madzhab dengan alasan sama benarnya (melakukan talfiq) , maka berarti orang tersebut tidak mengetahui dan tidak memiliki pendirian yang tetap (consist) terhadap pokok masalah yang menjadi landasan dan dasar hukum. Terlebih hal itu tidak diperkenankan oleh agama.

Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 4 halaman 217-218:

(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ العَامِى بِمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهَبُ بَمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الأرْبَعَةٍ لاَغَيْرِهَا وَإنْ عَمَلَ بِالأوَّلِ. الإنْتِقَالُ الَى غَيْرِهِ بِالكُلِّيَّةِ أوْ فِى المَسَائِلِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُخَصُ بِأنْ يَأخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِالأَسْهُلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى الأوجَة.

(faedah) apabila ada seorang yang awam berpegang teguh pada satu mazhab, maka wajib baginya untuk menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Jika tidakdemikian, maka wajib baginya bermazhab dengan mazhab yang tertentu dari empat mazhab, bukan dengan selainya. Kemudian jika dia mengamalkan dengan mazhab yang pertama, dia boleh pindah ke mazhab lainya secara keseluruhan atau dalam masalah tertentu dengan syarat tidak mengikuti keringanan-keringanan, seperti apabila dia mengambil dari mazhab yang paling ringan dari mazhab tersebut, sehingga karenaya, menurut pendapat yang paling kuat, dia menjadi orang yang fasik.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...