Senin, 01 November 2021

Hukum Dan Tatacara Fidyah


Shalat merupakan kewajiban setiap muslim yang tidak dapat diwakilkan pada orang lain, baik seseorang tersebut mampu atau tidak mampu melaksanakannya. Orang yang dengan sengaja atau tidak sengaja meninggalkan shalat, maka harus segera menggantinya.

Apabila seseorang telah meninggal dunia dan masih menanggung puasa, dalam beberapa hadits dijelaskan bahwa walinya lah yang harus menggantinya, karena telah dipertegas bahwa hutang harus dibayar. Shalat dan puasa merupakan ibadah badaniyah yang hukumnya bisa disamakan. Maka, apabila orang yang meninggal dan masih menanggung shalat, shalatnya harus digantikan oleh walinya sebagaimana puasa.

Banyak terjadi perbedaan pendapat tentang adanya qadha’ dan fidyah shalat yang ditanggung oleh orang yang meninggal. Diantara ulama’ masyhur yang menolak adanya fidyah dan qadha’ untuk menggantikan tanggungan orang yang meninggal dunia adalah Imam Malik dan Imam Syafi’i. Dalam beberapa kitabnya, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa shalat yang ditanggung oleh orang yang sudah meninggal tidak perlu diqadha’ atau dibayar fidyahnya. Akan tetapi ada sebuah pendapat bahwa Imam Syafi’i mengatakan tentang bolehnya qadha’ dan fidyah shalat. Imam Syafi’i mengatakan demikian karena memang ada hadits yang menjelaskannya. Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah bahwa shalat yang ditanggung orang yang meninggal hanya dibayar fidyahnya tanpa harus diqadha’.

Demi adanya kehati-hatian, karena memang ada hadits yang menjelaskan demikian, maka lebih baik untuk melakukan qadha’ atau fidyah sebagai ganti tanggungan shalat orang yang telah meninggal. Masalah apakah nanti diterima atau tidak, itu sudah menjadi hak Allah dalam memutuskannya.

Termaktub Dalam Hadits

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من مات وعليه صيام صام عنه وليه.

Dari Aisyah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang meninggal dan masih menanggung puasa, maka berpuasalah walinya atasnya.

عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله أمي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه عنها؟ قال نعم. فدين الله أحق أن يقضي.

Dari Ibnu Abbas r.a berkata: Telah datang seorang laki-laki kepada nabi, dia bertanya: Ya Rasulallah, ibuku meninggal dan beliau masih menanggung puasa satu bulan, apakah saya boleh mengqadha puasa atasnya? Nabi menjawab: Boleh. Dan hutang pada Allah lebih berhak untuk ditunaikan. (HR. Bukhari no. 1953 dan Muslim no. 1148).”

Dari kedua hadits tersebut jelas bahwa jika seseorang meninggal dan masih menanggung hutang puasa, maka harus dibayar (diqadha’) oleh walinya. Memang hadits tersebut tidak mengatakan tentang hal shalat, akan tetapi hukum mengqhada’ shalat dapat diqiyaskan dengan hukum mengqadha’ puasa, karena keduanya sama-sam merupakan ibadah badaniyah yang pada hakikatnya tidak bisa diwakilkan.

Dalam hadits yang ke dua dipertegas bahwa hutang pada Allah lebih berhak untuk ditunaikan. Maka, demi berhati-hati dalam hal ini, lebih baik untuk mengqadhanya. Masalah diterima atau tidaknya, sudah menjadi keputusan Sang Pembuat Hukum.

Fidyah adalah memberi makan orang miskin sebagai pengganti seseorang yang meninggalkan kewajiban shalat sebagaimana orang yang meninggalkan puasa. Pembayaran fidyah ini sebanyak satu mud (6 ons) bagi setiap shalatnya.

“Dan bagi orang yang berat melakukannya , wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (Al-Baqarah: 184)

Dalam beberapa dalil memang hanya ada fidyah puasa, akan  tetapi dengan illat  shalat disamakan  dengan puasa, maka pada pentasharufan  atau pengalokasian fidyah shalatpun untuk orang miskin juga. Adapun orang faqir tentunya lebih utama untuk mendapatkannya karena kondisinya yang lebih memperhatinkan dibandingkan si miskin. Dengan penyebutan spesifik ini pula (menyebutkan kata ‘Miskin’ dalam Al-Qur’an), pembagian fidyah tidak teruntuk 8 golongan dalam pembagian zakat (I’anat at-Thalibin: 2/244). Dan perlu dicatat ini adalah ranah pendapat di kalangan madzhab Syafi’i.

Pendapat Ulama’ Tentang Qadha dan Fidyah Shalat Bagi Mayit

Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan mengenahi perihal kewajiban qadha shalat, bahwa apabila sesorang dengan tanpa adanya halangan meninggalkan shalat maka seseorang tersebut wajib mengqadha shalatnya. Sehingga apabila seseorang meninggal dunia dan masih meninggalkan shalat fardhu, maka hendaknya wajib diqadha ataupun dibayar fidyahnya.

Akan tetapi dalam hal ini para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian dari mereka menerima adanya qadha’ atau fidyah, sedang yang lainnya menolak.

إِنَّ عَبْد الله ابن عمر رضي الله عنهما أَمَرَ امْرَأَةَ جَعَلَتْ أُمُّها على نَفْسِهَا صلاةً بِقُباءَ يعني ثم ماتت فقال صلّي عنها (رواه البخاري)

“Sesungguhnya Abdullah bin Umar r.a. memerintahkan perempuan yang ibunya pernah bernadzar shalat di Quba’, lantas ibu itu meninggal sebelum sempat melakukannya. Ibnu Umar berkata kepada perempuan itu : Lakukanlah shalat untuk (mengqodhoi shalat) ibumu.” (H.R Bukhari)

Hal ini didukung dengan sebuah nukilan:

(فَائِدَةٌ) مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلاَ قَضَاءَ وَلاَ فِدْيَةَ. وَفِي قَوْلٍ -كَجَمْعٍ مُجْتَهِدِيْنَ- أَنَّهَا تُقْضَى عَنْهُ لِخَبَرِ الْبُخَارِي وَغَيْرِهِ، وَمِنْ ثَمَّ اخْتَارَهُ جَمْعٌ مِنْ أَئِمَّتِنَا، وَفَعَلَ بِهِ السُّبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ. وَنَقَلَ ابْنُ بُرْهَانٍ عَنِ الْقَدِيْمِ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْوَلِيَّ إِنْ خَلَفَ تِرْكَةً أَنْ يُصَلِّىَ عَنْهُ، كَالصَّوْمِ. وَفِي وَجْهٍ – عَلَيْهِ كَثِيْرُوْنَ مِنْ أَصْحَابِنَا – أَنَّهُ يُطْعَمُ عَنْ كُلِّ صَلاَةٍ مُدًّا (إعانة الطالبين – ج ۱ / ص۳۳ )

Disebutkan  bahwa: Ibnu Burhan mengutip dari qaul qadim, sesungguhnya wajib bagi wali/orang tua jika mati meninggalkan tirkah (warisan) agar dilakukan ganti darinya (mengqadha’ shalat yang ditinggalkan), seperti halnya puasa. Salat yang ditinggalkan mayit dapat diganti dengan membayar makanan sebanyak 1 mud (6 ons) bagi setiap salatnya (Syaikh Abu Bakar Syatha, I’anatu al-Thalibin, Juz I, Hlm. 24)

Pendapat ini juga diperkuat oleh ulama’ Syafi’iyah, seperti yang disebutkan oleh al-Ibadiy dari Asy-Syafi’i bahwa: “Sesungguhnya shalat itu harus diqodho’kan oleh orang lain, baik orang mati itu berwasiat untuk hal ini atau tidak.” Adalah karena ada hadits yang menjelaskannya. Bahkan imam as-Subki melakukan qadha’ shalat yang ditinggalkan mayit dari sebagian kerabatnya.

Tentang pahala tersebut akan sampai atau tidak kepada mayit, dijelaskan dalam kitab Nihayatuz Zain, bahwa Nabi pernah mengerjakan shalat sunnah yang pahalanya dihadiahkan pada mayit.

ومن صلاة النفل صلاة ركعتين في القبر

Termasuk salah satu dari shalat sunnah dua rakaat pada malam pertama untuk menghibur mayit di dalam kubur.

واختلفوا في العباده البدانيه كالصوم والصلاة وقرأة القرأن والذكر. فمذهب الإمام أحمد وجمهور السلف وصولها وهو قول بعض أصحاب أبي حنيفه نصّ على هذا الإمام أحمد في رواية محمد ابن يحي الكحّال قال: قيل لأبي عبد الله: الرجل يعمل الشيء من الخير من صلاة أو صدقة أو غير ذلك فيجعل نصفه لأبيه أو لأمه؟ قال: ارجو أو قال: الميت يصل إليه كل شيء من صدقة أو غيرها.

Dalam sebuah nukilan tersebut dijelaskan bahwa Imam Ahmad dan Jumhur Ulama’ menyatakan bahwa pahala ibadah yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepadanya. Hal itu dipertegas oleh penjelasan dari sebagian sahabat Abu Hanifah di dalam riwayat Muhammad bin Yahya Al-Kahhal  bahwa Abi Abdillah pernah ditanya tentang sampainya pahala melakukan shalat dan shadaqah yang dihadiahkan kepada ibu atau bapaknya. Maka kemudian Abi Abdillah mengatakan bahwa pahala tersebut akan sampai kepada keduanya.

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah dibayarkan fidyah satu mud beras untuk tebusan untuk satu sholat yang ditingalkanya jadi menurut mazhab ahli sunah waljamaah boleh menghadiahkan pahala amalnya maupun sholatnya, untuk orang lain (mayit) dan pahala itu bisa sampai.

Oleh sebab itu, apabila seseorang yang telah meninggal dan masih memiliki tanggungan shalat, menurut madzhab Syafi’i diperbolehkan walinya mengqadha shalat yang telah ditinggalkan.  Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah hanya perlu dibayarkan fidyahnya oleh ahli warisnya.

Akan tetapi banyak Ulama’ yang menolak adanya qadha’ dan fidyah shalat untuk orang yang telah meninggal dunia. Dengan alasan bahwa shalat merupakan ibadah badaniyah yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun kecuali dirinya sendiri yang melaksanakannya.

والمشهور في مذهب الشفعي ومالك أن فضله لا يصل. وذهب أهل البدع من اهل الكلام أنه لا يصل إلى الميت شيء البتة لا دعاء ولا غيره

Dalam nukilan tersebut dijelaskan bahwa penjelasan yang paling masyhur tentang penolakan pendapat sampainya pahala perwakilan ibadah kepada mayit adalah dari kalangan madzhab Syafi’i dan Maliki.

Seluruh Ulama’ sepakat bahwa mewakili orang dalam hal puasa dan shalat dari orang yang hidup tidak sah sama sekali. Baik orang yang diwakili itu mampu melakukan ibadah ataupun tidak mampu.

Empat Madzhab mengatakan tidak sah menggantikan orang mati sebagaimana menggantikan orang hidup.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam beberapa kitab fiqih bahwa orang yang meninggal dan masih menanggung shalat maka tidaklah perlu untuk diqadha atau dibayar fidyahnya, seperti salah satu nukilan:

(تنبيه)من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه

“Barang siapa meninggal dunia dan masih meninggalkan shalat fardhu, tidaklah wajib diqadha’ atau dibayar fidyahnya.”

Demikian juga boleh mengqodho sholat orang yang meninggal menurut pendapat Imam Syibromalisi, Al-Ibadi, Ishaq, Atha, Ibnu Asyirin , Ibnu Daqiqi Al-Id dan Tajuddin As-Syubky.

Memang diakui, Pendapat yang masyhur dalam Mazhab Syafi’I ” Orang yang meninggal yang masih ada qodhoan shalatnya tidak ada perintah atau suruhan untuk mengqodho atau membayar Fidyah sholat orang tersebut”. Namun perlu kita ketahui banyak ulama berpendapat sangat baik membuatkan Fidyah sholat orang yang meninggal tersebut, diantaranya Imam Al-Qolyuby, Imam Nawawi, Imam Al-bughowy, Imam Ar-Rofi’I dan Imam Algoffal menjelaskan begini :

انه يطعم عن كل صلاة مدا

Artinya : Memberi makan satu mud (675 gr) dari setiap sholat wajib yang ditinggalkan.

Pemikiran beliau-beliau ini dikiaskan atau dianalogikan mereka kepada masalah shoum (puasa) yang nashnya begini :

من مات وعليه صيام صام عنه وليه (متفق عليه)

من مات وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا (رواه ابن ماجه)

Pendapat-pendapat Ulama Syafi’iyah ini sejalan dengan ijtihad Imam Abu Hanifah Rohimahulloh dan menurut As-Syafi’iyah setiap satu sholat wajib Fidyahnya satu mud (675 gr). Sehari semalam 5 x shalat wajib, sedangkan 1 tahun = 360 hari x 5 waktu =1800 x sholat wajib.1 tabung beras (4 kg) = 6 mud.

Bila orang meninggal berusia 45 tahun umpamanya, maka 45 tahun dikurang umur sebelum dewasa 15 tahun = 30 tahun dikurangi lagi ketaatan 15 tahun misalnya, tinggal yang perlu dibayar Fidyahnya 15 tahun lagi.

Kalau beras yang dipersiapkan untuk Fidyah ada 20 tabung, maka cara pelaksanaannya sebagai berikut :

15 tahun x 360 hari x 5 waktu = 27000 waktu.

20 tabung itu = 120 waktu. 27000 waktu : 120 mud = 225 kali.

Selanjutnya faqir A mensedekahkan kepada faqir B 113 kali dan faqir B mensedekahkan kepada Faqir A sebanyak 112 kali jumlahnya = 225 kali.

Dengan demikian selesailah Fidyah orang tersebut.

Imam Abu Hanifah hanya membolehkan dibayar Fidyah sholat orang yang meninggal dengan syarat :

a. Ada wasiat untuk dibuat Fidyah dari orang yang wafat itu

b. Makanan pokok, juga boleh dengan uang seharga 1/2 sha’ (1,9 kg).

c. Sehari semalam dihitung 6 kali sholat wajib dengan witir.

d. Tidak boleh sedekah berputar ( faqir A mensedekahkan kepada faqir B dan faqir B kembali mensedekahkan kepada faqir A dan seterusnya.

Kesimpulannya Imam Abu Hanifah Rahimahulloh tidak membolehkan membayar Fidyah orang yang meninggal tanpa ada wasiat dari orang yang meninggal tersebut.

Menjalankan fidyah shalat

Misal, beras yang tersedia adalah 100 kg, maka untuk fidyah shalat  adalah 12600 dibagi 150 mud, hasilnya adalah 84, ini artinya beras yang 1 kwintal tersebut mesti diserahterimakan (sodaqohkan) sebanyak 84 kali. Teknisnya, misal ada 2 org yang melakukan yaitu A dan B, maka pertama pihak ahli waris meniatai beras tsb kemudian dipasrahkan ke pihak A misalnya untuk menjalankan fidyah, dari pihak A diniati (niat fidyah) lalu disedekahkan kepada B, dari B sedekahkan lagi kepada A dan begitu seterusnya hingga 84 kali. Jika selesai tinggal puasanya

Menjalankan fidyah puasa romadon

Misal, beras yang tersedia adalah 100 kg, maka untuk fidyah puasa adalah 210 dibagi 150 mud, hasilnya adalah 1,4, ini artinya beras yang 1 kwintal tersebut mesti diserahterimakan (sodaqohkan) sebanyak 1,4 kali. Kita genapkan saja 2 kali. Teknisnya, misal ada 2 org yang melakukan yaitu A dan B, maka dari pihak A diniati lalu disedekahkan kepada B, dari B sedekahkan lagi kepada A, nah ini sudah dua kali berarti selesai. Tinggal beras tadi terakhir kali diterimanya oleh siapa apakah A atau B. Maka pembagian beras tersebut untuk fakir miskin terserah menurut siapa yang terakhir kali menerima.  Misal dari 1 kwntal tersebut 25 kg untuk A dan 25 kg untuk B, kemudian sisanya yng 50 kg dibagikan kpada fakir miskin. Atau disedekahkan kembali kepada ahli waris juga tidak apa-apa, misalnya karena si ahli waris tersebut fakir.

Niat fidyah:

Pertama, ahli waris niat mewakilkan untuk melaksanakan fidyah kepada pihak yang menjalankan fidyah, misalnya kepada salah satu pihak A atau B dari dua orang yang telah dimintai untuk menjalankan fidyah.

Selanjutnya tinggal pelaksanaan sebagaimana yang dilakukan pada poin no.3 diatas. Pihak A atau B selama menjalankan fidyah itu setiap kali mau menyedekahkan diniati dahulu:

Ini niatnya:

NIAT UNTUK FIDYAH SHALAT:

Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi sholaawatil mafruudhoti.....waktin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala. Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

Saya niat fidyah dengan beras ini yang sejumlah .....(sebutkan berapanya, misal tadi 150 mud)untuk mengqodhoi  shalat yang difardukan si fulan bin fulan yang jumlahnya ....waktu (sebutkan berapa waktu) fardhon lillahi ta’ala. Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

NIAT UNTUK FIDYAH PUASA

Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi shiyaami romadhon

.....yaumin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala

Saya niat fidyah dengan beras ini yang sejumlah .....(sebutkan berapanya, misal tadi 150 mud)untuk mengqodhoi  puasa romadhon si fulan bin fulan yang jumlahnya ....hari (sebutkan berapa) fardhon lillahi ta’ala.

Catatan:

Misal tadi beras tsb 100 kg, maka setiap kali A menyerahkan ke B, beras tadi mesti dipindahkan kepada B begitu juga sebaliknya hingga sejumlah giliran yang sudah dihitung, misal untuk shalat sebanyak 84 kali, maka artinya beras tsb berpindah sebanyak 84 kali juga dan untuk puasa 2 kali, jadi total bolak balik serah terima dan pindahnya beras adalahh sebanyak 86 kali, begitu juga niatnya, sebab setiap hendak menyerahkan (misal A ke B dan sebaliknya) mesti diniati terlebih dahulu .

Ingat! Niat dibaca setiap kali mau menyerahkan beras dari pihak A ke B atau sebaliknya

A: baca niat: Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi sholaawatil mafruudhoti.....waktin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala. Lalu katakan: Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

B: saya terima, lalu baca niat: Nawaitul fidyata bihaadzihil aruzzi  ..... muddan ‘an qodhoi sholaawatil mafruudhoti.....waktin fulan bin fulan fardhon lillahi Ta’ala. Ini saya sodaqohkan beras kepadamu mohon diterima

Terus dilakukan sampai selesai, begitu juga niat fidyah puasa.

Semoga Bermanfaat

Sejarah Situ Sangiang Dan Makam Sunan Parung


Situ Sangiang merupakan objek wisata dan tempat berziarah andalan di Kabupaten Majalengka. Terletak di Desa Sanggiang, Kecamatan Banjaran, atau berjarak kurang lebih 27 Km dari pusat ibu kota kabupaten Majalengka menuju arah kecamatan Talaga atau Cikijing.  Objek wisata ini memiliki luas keseluruhan sekitar 105 hektar sedangkan luas Situ Sangiang sekitar 14 hektar. Situ Sangiang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga pengelolaannya pun dilakukan oleh pihak Taman Nasionl Gunung Ciremai. Situ ini terkenal dengan sebuah legenda pelet-nya.

Situ Sangiang diyakini sebagai tempat hilangnya atau tilemnya Sunan Talaga manggung dan Keratonnya ketika dikhianati menantunya Patih Palembang Gunung sekira abad ke 15. Keberadaan ikan lele yang sekarang sudah mulai langka, menurut kepercayaan adalah merupakan jelmaan para prajurit dan pengawal kerajaan. Keberadaan ikan tanpa daging yang hidup beberapa tahun kebelakang masih sering kita dengar, sebagai sebuah keajaiban.

Bagi yang berminat wisata ziarah, puncak keramaian biasanya pada bulan Maulud. Pada tersebut biasanya pengunjung berziarah ke makam Sunan Parung (Prabu Pucuk Umun) dimana makamnya berada di samping Situ Sangiang.

Situ Sangiang terletak 800 m atau  sebelum kota Talaga dari arah selatan. Kawasan tersebut terletak pada ketinggian tanah antara 600-800 m.

Ketinggian tanah terendah berada didesa Banjaran dan tertinggi di desa Sangiang. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%. Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan perairan.

Dari aspek iklim, kawasan Situ Sangiang termasuk type iklim C2 dengan intensitas curah hujan rata-rata antara tahun 1990-1997 sebesar 1.802 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada tahun 1990 sebesar 3.050 mm/tahun dan terendah terjadi pada tahun 1991 dengan curah hujan sebesar 716 mm/tahun.

Kawasan WW Situ Sangiang dengan pemandangan hutan campuran diantaranya mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh, pohpohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan lain-lain. Sedangkna jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah, burung kutilang, bincarung, cangkakak, kera, lutung, bai.

Kegiatan Wisata yang dapat dilakukan diantaranya lintas alam, bersampan, memancing dan berkemah.
Di Wana Wisata Situ Sangiang terdapat makam yang dikeramatkan. Juru kunci setempat menyebutkan, makam yang ada dipinggir Situ Sangiang ini merupakan salah satu makam tokoh penyebar Islam didaerah Majalengka dan sekitarnya.

Wajar saja bila berwisata di Situ Sangiang lebih bersifat religius. Ada yang jauh-jauh datang kesitu, hanya ingin berziarah kemakam wali dan kemudian mandi dipinggir situ. Jadi benar-benar wisata itu sangat sakral. Menurut penduduk setempat dan juru kunci situ itu merupakan penjelmaan dari sebuah kerajaan kuno yang disebut kerajaan Telaga.

Sekilas Kisah Kerajaan Talaga

Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu Kerajaan Talaga Manggung adalah kerajaan yang didirikan Pada kira-kira sebelum abad ke-15, oleh Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu Darmasuci putra Batara Gunung Picung putera Suryadewata putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) di Galuh Kawali, Ciamis.

Di Naskah Wangsakerta. Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan Ratna Umalestari, adiknya Prabu Citraganda penguasa kerajaan Sunda Galuh tahun (1303-1311) Masehi. Pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan Bogor ke Kawali, Ciamis. Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:

1- Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot (kelak menjadi raja pengganti) Prabu Ajiguna Linggawisesa;
2- Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3- Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga di Majalengka.

Dengan kata lain, Prabu Suryadewata adalah putra Prabu Ajiguna Linggawisesa penguasa Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Talaga dan kelak akan melahirkan raja-raja di Kerajaan Talaga sebagai negara bawahan Kerajaan Sunda Galuh dimana ayahnya Prabu Ajiguna Linggawisesa dan kakaknya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa alias Aki Kolot (1340-1350) M berkuasa di Galuh Kawali Ciamis.

Lokasinya kini di kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, yang terletak di Kabupaten Majalengka, bertahta bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi yang dimaksud mungkin Suryadewata putra Maharaja Ajiguna Linggawisesa. Kerajaan di Sangiang. Dia mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar Kencana.

Ratu SIMBAR KENCANA mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama PALEMBANG GUNUNG, berasal dari Palembang. Patih palembang gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama CITRA SINGA, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata  tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang, Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar / akan dinaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi SUNAN TALAGA MANGGUNG baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa  karena ia durhaka”. Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit  anggota badannya sampai ia mati.

Palembang Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan SITU SANGIANG TALAGA. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi Raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada RATU SIMBAR KENCANA atau istrinya Palembang Gunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapat kanbar itu maka SIMBAR KENCANA membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya  (digorok) oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan (putra sulung dari sunan Talalga Manggung) sedatangnya ke sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (desa Kagok).

Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayah handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri, dan beliau (Raden Panglurah) akan menyusul ayah handanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, beliau menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut beliau beserta pengiringnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang.

Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya SUNAN PARUNG.
Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra Putranya Raden Munding  Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Padjajaran.

Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari agama Budha, yang dikembangkan oleh SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON (SYARIF HIDAYAT TULLOH). Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti PRABU PUCUK ULUM. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama SUNAN WANAK PRIH. Sunan Wanak Prih menjadi raja yang bertempat diwaloang suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai putra AMPUH SURAWIJAYA SUNAN KIDAK. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada AMPUH SURAWIJAYA, dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.

Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama SUNAN PANGERAN SURAWIJAYA, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada Putranya DIPATI SUARGA. Dari putra Dipati Suarga diturunkn kepada putranya DIPATI WIRANATA. Kemudian kerajaan itu  diturnkan kepada putranya bernama RADEN SACA EYANG hingga abad ke tujuh belas.

Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi KABUPATEN. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama ARIA SECANATA. Setelah itu

Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.

Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati  Raden Sacanata menolak sampai beliau pada waktu itu dipensiun. Beliau mempunyai putra bernama PANGERAN SUMANEGARA. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama NYI RADEN ANGREK. Nyi Raden Angrek mempunyai suami bernama KERTADILAGA putra pangeran Kartanegara kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama NATAKUSUMAH di CIKIFAI TALAGA, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga. Barang-Barang kuno tersebut adalah BAJU KERA, ARCA-ARCA, GAMELAN, TUAH MERIAM, BEDIL SUNDUT, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.

Adapun bekas keratonnya sudah diubah-ubah menjadi rumah tembok, hanya pintu-pintu dan dinding-dindingnya saja yang ada terbuat dari ukiran kuno, dimiliki oleh keturunanya.

Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang berziarah ke Situ Sangiang dan kemakam, juga tersebar rotannya (dari talaga).
Dari luar kabupaten, masih banyak orang-orang yang berjiarah sampai sekarang. Di Situ Sangiang ada pekuncenan sebanyak tujuh orang. Demikian cerita singkat ini dikumpulkan dari orang-orang tua dan keturunanya.

SITU SANGIANG dan MAKAM SUNAN PARUNG SAAT INI

Sejak saat itu sampai sekarang, danau ciptaan Raden Panglurah tersebut dinamakan Situ Sangiang yang letaknya di Kampung Wates, Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Banyak keanehan di Situ Sangiang. Antara lain, sampai sekarang tidak pernah ditemukan selembar daun pun yang mengapung di atas situ walau sekelilingnya dipenuhi pepohonan yang telah berumur ratusan tahun, ini merupakan bukti bahwa situ tersebut ada yang menjaga serta memelihara, yang tak lain adalah Raden Panglurah beserta abdi setianya. Sesekali orang bisa melihat kehadiran ikan lele jelmaan Raden Panglurah yang besarnya sebesar bayi. Namun itu jarang terjadi, kecuali kepada mereka yang kebetulan bernasib baik saja. Namun biasanya orang yang sempat melihat ikan Lele tersebut akan terus berlari menghindar karena takut terkena musibah. Mereka percaya sampai sekarang kemungkinan besar Raden Panglurah masih menyimpan dendam kepada penduduk Talaga. Seiring dengan itu, agama Islam berkembang dengan pesat di Talaga dan sekitarnya. Kini hampir dari setiap rumah terdengar suara orang yang sedang mengaji, dan ada pula yang sedang berzikir mengagungkan asma Allah SWT.

Setelah sekian lama menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, Sunan Parung pun wafat dengan tenang. Makamnya tidak jauh dari tepi Situ Sangiang, dan dikeramatkan sampai sekarang. Di hari-hari tertentu para peziarah berdatangan mengharapkan berkahnya, terutama dari Cirebon. Lokasi makan Sunan Parung agak tinggi dari tepi situ, sehingga kita harus manaiki tangga sejumlah 128 buah. Suasana di dalam makan wali tersebut sangat sakral dan mencekam. Tidak heran jika juru kunci melarang para peziarah untuk bermalam di dalam makam Sunan Parung. Juru kunci tidak bertanggung jawab jika ada peziarah yang memaksa tidur di makam. Alasannya para peziarah belum tentu tahan menghadapi godaan sebab biasanya godaan akan datang dari dalam Situ Sangiang. Godaan itu bisa berbentuk ikan besar, ular, dan sebangsanya yang menakutkan. Di dalam hutan sekitar situ sangiang terdapat pula tujuh buah pohon angsana yang telah berusia ratusan tahun. Dari bawah pohon tersebut terpisah, tapi setelah agak ke atas, ketujuh pohon angsana itu menjadi satu sehingga tampaknya seperti sebuah pohon saja. Itu merupakan keajaiban yang tidak terdapat di tempat keramat lain. Ada beberapa versi tentang pohon angsana itu. Sebagian penduduk mengatakan, bahwa pohon tersebut berasal dari tongkat Sunan Parung. Sebagian lagi mempercayai bahwa pohon itu berasal dari senjata Prabu Talaga manggung Pucuk Umum. Dan sebagian lagi percaya bahwa pohon itu berasal dari tongkat Raden Panglurah yang ia bawa saat baru saja pulang bertapa dari Gunung Bitung. Selanjutnya ditancapkannya, dan berubah jadi tujuh buah pohon hingga sekarang. Tak jauh dari tempat itu, terdapat batu untuk menyembelih binatang sebagai Nazar mereka yang berhasil maksudnya. Namun banyak pula yang hanya berekreasi, sebab Situ Sangiang sekarang dijadikan objek pariwisata yang menarik.

Sejarah Situ Sangiang Dan Makam Sunan Parung


Situ Sangiang merupakan objek wisata dan tempat berziarah andalan di Kabupaten Majalengka. Terletak di Desa Sanggiang, Kecamatan Banjaran, atau berjarak kurang lebih 27 Km dari pusat ibu kota kabupaten Majalengka menuju arah kecamatan Talaga atau Cikijing.  Objek wisata ini memiliki luas keseluruhan sekitar 105 hektar sedangkan luas Situ Sangiang sekitar 14 hektar. Situ Sangiang masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga pengelolaannya pun dilakukan oleh pihak Taman Nasionl Gunung Ciremai. Situ ini terkenal dengan sebuah legenda pelet-nya.

Situ Sangiang diyakini sebagai tempat hilangnya atau tilemnya Sunan Talaga manggung dan Keratonnya ketika dikhianati menantunya Patih Palembang Gunung sekira abad ke 15. Keberadaan ikan lele yang sekarang sudah mulai langka, menurut kepercayaan adalah merupakan jelmaan para prajurit dan pengawal kerajaan. Keberadaan ikan tanpa daging yang hidup beberapa tahun kebelakang masih sering kita dengar, sebagai sebuah keajaiban.

Bagi yang berminat wisata ziarah, puncak keramaian biasanya pada bulan Maulud. Pada tersebut biasanya pengunjung berziarah ke makam Sunan Parung (Prabu Pucuk Umun) dimana makamnya berada di samping Situ Sangiang.

Situ Sangiang terletak 800 m atau  sebelum kota Talaga dari arah selatan. Kawasan tersebut terletak pada ketinggian tanah antara 600-800 m.

Ketinggian tanah terendah berada didesa Banjaran dan tertinggi di desa Sangiang. Bentuk permukaan tanah umumnya beragam, namun secara umum adalah relatif datar dengan kemiringan lahan sampai dengan 10%. Lahan-lahan demikian umumnya dipergunakan untuk areal pesawahaan dan perairan.

Dari aspek iklim, kawasan Situ Sangiang termasuk type iklim C2 dengan intensitas curah hujan rata-rata antara tahun 1990-1997 sebesar 1.802 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada tahun 1990 sebesar 3.050 mm/tahun dan terendah terjadi pada tahun 1991 dengan curah hujan sebesar 716 mm/tahun.

Kawasan WW Situ Sangiang dengan pemandangan hutan campuran diantaranya mahoni dan kayu manis ditemukan juga jenis-jenis lain diantaranya alang-alang, rumput teki, gewar, rotan, saliara, kirinyuh, pohpohan, tepus, kiara, manglid, suren, benda, kemiri, pasang dan lain-lain. Sedangkna jenis fauna diantaranya ular sanca, ular sawah, burung kutilang, bincarung, cangkakak, kera, lutung, bai.

Kegiatan Wisata yang dapat dilakukan diantaranya lintas alam, bersampan, memancing dan berkemah.
Di Wana Wisata Situ Sangiang terdapat makam yang dikeramatkan. Juru kunci setempat menyebutkan, makam yang ada dipinggir Situ Sangiang ini merupakan salah satu makam tokoh penyebar Islam didaerah Majalengka dan sekitarnya.

Wajar saja bila berwisata di Situ Sangiang lebih bersifat religius. Ada yang jauh-jauh datang kesitu, hanya ingin berziarah kemakam wali dan kemudian mandi dipinggir situ. Jadi benar-benar wisata itu sangat sakral. Menurut penduduk setempat dan juru kunci situ itu merupakan penjelmaan dari sebuah kerajaan kuno yang disebut kerajaan Telaga.

Sekilas Kisah Kerajaan Talaga

Pada kira-kira zaman abad sebelum ke 15, kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu Kerajaan Talaga Manggung adalah kerajaan yang didirikan Pada kira-kira sebelum abad ke-15, oleh Sunan Talaga manggung putra Pandita Prabu Darmasuci putra Batara Gunung Picung putera Suryadewata putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340) di Galuh Kawali, Ciamis.

Di Naskah Wangsakerta. Prabu Ajiguna Linggawisesa, menikah dengan Ratna Umalestari, adiknya Prabu Citraganda penguasa kerajaan Sunda Galuh tahun (1303-1311) Masehi. Pada masa pemerintahan Prabu Ajiguna Linggawisesa, ibukota Kerajaan Sunda beralih, dari Pakuan Bogor ke Kawali, Ciamis. Dari pernikahannya dengan Uma Lestari, Prabu Ajiguna Linggawisesa memperoleh putera, di antaranya:

1- Ragamulya Luhur Prabawa, atau Aki Kolot (kelak menjadi raja pengganti) Prabu Ajiguna Linggawisesa;
2- Dewi Kiranasari, diperisteri oleh Prabu Arya Kulon;
3- Suryadewata, leluhur Kerajaan Talaga di Majalengka.

Dengan kata lain, Prabu Suryadewata adalah putra Prabu Ajiguna Linggawisesa penguasa Kerajaan Sunda, yang ditempatkan di Kerajaan Talaga dan kelak akan melahirkan raja-raja di Kerajaan Talaga sebagai negara bawahan Kerajaan Sunda Galuh dimana ayahnya Prabu Ajiguna Linggawisesa dan kakaknya, Prabu Ragamulya Luhurprabawa alias Aki Kolot (1340-1350) M berkuasa di Galuh Kawali Ciamis.

Lokasinya kini di kewadanaan Talaga adalah bekas salah satu kerajaan, yang terletak di Kabupaten Majalengka, bertahta bernama Sunan Talaga Manggung, asal keturunan Raja Prabu Siliwangi yang dimaksud mungkin Suryadewata putra Maharaja Ajiguna Linggawisesa. Kerajaan di Sangiang. Dia mempunyai dua orang putra, satu laki-laki dan satu perempuan, yang laki-laki bernama Raden Panglurah dan yang perempuan bernama Ratu Simbar Kencana.

Ratu SIMBAR KENCANA mempunyai suami kepala seorang patih di keraton tersebut, yang bernama PALEMBANG GUNUNG, berasal dari Palembang. Patih palembang gunung setelah dirinya dipercaya oleh mertuanya, yaitu sunan Talaga Manggung dan ditaati oleh masyarakatnya, timbul pikiran yang murka ingin menjadi seorang raja di Sangiang Talaga, dengan maksud akan membunuh mertuanya ialah Sunan Talaga Manggung. Setelah mendapat keterangan dari seorang mantra yang bernama CITRA SINGA, bahwa sang raja sangat gagah perkasa tidak satu senjata atau tumbak yang mampu mengambil patinya raja, melainkan oleh suatu senjata  tumbak kawannya raja sendiri ketika ia lahir, dan oleh Citra Singa diterangkan bahwa yang dapat mengambil senjata itu hanya seorang gendek kepercayaan raja yang bernama Centang Barang, Setelah mendapatkan tombak tersebut, kemudian Palembang Gunung membujuk dengan perkataan yang manis-manis dan muluk-muluk kepada Centang Barang untuk mengambil senjata tersebut, dan melakukan pembunuhannya, bila berhasil akan diganjar / akan dinaikan pangkatnya. Kemudian setelah Centang Barang mendapatkan bujukan yang muluk-muluk dari Palembang Gunung ia bersedia melakukan pembunuhan itu.

Pada suatu waktu kira-kira jam lima pagi SUNAN TALAGA MANGGUNG baru bangun dari tidurnya dan menuju jamban, beliau diintai oleh Centang Barang, kemudian di tempat yang gelap ditumbak pada pinggang sebelah kiri, sehingga mendapat luka yang parah. Centang Barang setelah melakukan lari jauh dan diburu oleh yang menjaga, tetapi sang prabu bersabda, “biarlah si Centang Barang jangan diburu, nanti juga ia celaka mendapat balasan dari Dewa  karena ia durhaka”. Setelah si Centang Barang keluar dari keraton, ia menjadi gila, ia menggigit-gigit  anggota badannya sampai ia mati.

Palembang Gunung Mendapat kabar tentang peristiwa itu, lalu ia berangkat menengoknya, tetapi keraton tidak ada (hilang) dengan seisinya hilang menjadi situ yang sekarang dinamakan SITU SANGIANG TALAGA. Setelah keadaan keraton hilang, Patih Palembang Gunung diangkat menjadi Raja di Talaga.

Lama kelamaan peristiwa itu terbongkar dan ada diantaranya yang memberitahukan kepada RATU SIMBAR KENCANA atau istrinya Palembang Gunung, bahwa kematian ayah handanya adalah perbuatan suaminya sendiri. Setelah mendapat kanbar itu maka SIMBAR KENCANA membulatkan hati untuk membalas dendam kepada suaminya, atas kematian ayah handanya. Pada saat Palembang Gunung sedang tidur nyeyak di tikamnya  (digorok) oleh tusuk konde ratu Simbar Kencana, sehingga mati seketika itu juga.

Setelah gunung palembang itu mati, kerajaan belum ada yang menjabatnya maka di angkat Raden Panglurah yang baru pulang dari petapaan (putra sulung dari sunan Talalga Manggung) sedatangnya ke sangiang beliau merasa kaget karena keadaan keraton sudah musnah hanya nampak situ saja dan setelah beliau mendapat kabar dari orang yang bertemu di tempat itu bahwa keraton sudah dipindah tempatkan ke Walang Suji (desa Kagok).

Ketika Ratu Simbar Kencana sedang kumpulan dengan ponggawa, datanglah Raden Panglurah yang menuju kepada Ratu Simbar Kencana dan kemudian oleh ratu Simbar Kencana diterangkan atas kematian ayah handanya. Kemudian Raden Panglurah meminta agar yang melanjutkan pemerintahan adalah Ratu Simbar kencana sendri, dan beliau (Raden Panglurah) akan menyusul ayah handanya dengan meminta empat dinas pahlawannya, setelah permintaan dikabukannya, beliau menuju Situ Sangiang dan setelah tiba di Situ Sangiang tersebut beliau beserta pengiringnya turun ke situ sangiang dan turut menghilang.

Setelah Palembang Gunung meninggal dunia, Ratu Simbar kencana menikah lagi deangan Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu, keturunan Galuh dan mempunyai putra Sunan Parung, dan setelah Ratu Simbar Kencana meninggal dunia, kerajaan pun diturunkannya kepada putranya SUNAN PARUNG.
Sunan Parung mempunyai putra istri bernama Ratu Parung, melanjutkan kerajaannya dengan mempunyai suami Raden Rangga Mantra Putranya Raden Munding  Sari Agung, keturunan Prabu Siliwangi atau Padjajaran.

Dari waktu itu Raden Rangga Mantri dan Ratu Parung agamanya ganti menjadi Islam dari agama Budha, yang dikembangkan oleh SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON (SYARIF HIDAYAT TULLOH). Raden Rangga Mantri setelah menjadi Islam namanya diganti PRABU PUCUK ULUM. Prabu Pucuk Ulum mempunyai putra bernama SUNAN WANAK PRIH. Sunan Wanak Prih menjadi raja yang bertempat diwaloang suji (Desa Kagok). Sunan Wanak Prih mempunyai putra AMPUH SURAWIJAYA SUNAN KIDAK. Setelah Sunan Wanak Prih Meninggal dunia tahta kerajaannya diturunkan kepada AMPUH SURAWIJAYA, dan kerajaan dipindahkan dari Walang Suji ke Talaga.

Ampuh Sura Wijaya mempunyai putra bernama SUNAN PANGERAN SURAWIJAYA, Sunan Ciburuy, diturunkan kepada Putranya DIPATI SUARGA. Dari putra Dipati Suarga diturunkn kepada putranya DIPATI WIRANATA. Kemudian kerajaan itu  diturnkan kepada putranya bernama RADEN SACA EYANG hingga abad ke tujuh belas.

Kerajaan dipindahkan (dihilangkan) karena penjajahan, dan pada waktu itu kerajaan di Talaga menjadi KABUPATEN. Raden Saca Nata Eyang meninggalkan kepangkatannya. Diturunkan kepada putranya bernama ARIA SECANATA. Setelah itu

Kabupaten dipindahkan ke Majalengka bertempat di Sindangkasih.

Waktu Kabupaten dipindahkan Bupati  Raden Sacanata menolak sampai beliau pada waktu itu dipensiun. Beliau mempunyai putra bernama PANGERAN SUMANEGARA. Pangeran sumanegara mempunyai putri bernama NYI RADEN ANGREK. Nyi Raden Angrek mempunyai suami bernama KERTADILAGA putra pangeran Kartanegara kamboja. Dari Kartadiliga mempunyai putra bernama NATAKUSUMAH di CIKIFAI TALAGA, sampai sekarang keturunanya masih ada, menjaga (memelihara) barang-barang kuno keturunan Raja Talaga. Barang-Barang kuno tersebut adalah BAJU KERA, ARCA-ARCA, GAMELAN, TUAH MERIAM, BEDIL SUNDUT, dan perkkas lainya yang sekarang masih ada.

Adapun bekas keratonnya sudah diubah-ubah menjadi rumah tembok, hanya pintu-pintu dan dinding-dindingnya saja yang ada terbuat dari ukiran kuno, dimiliki oleh keturunanya.

Perlu diterangkan bahwa sebelum perang, tidak sedikit yang berziarah ke Situ Sangiang dan kemakam, juga tersebar rotannya (dari talaga).
Dari luar kabupaten, masih banyak orang-orang yang berjiarah sampai sekarang. Di Situ Sangiang ada pekuncenan sebanyak tujuh orang. Demikian cerita singkat ini dikumpulkan dari orang-orang tua dan keturunanya.

SITU SANGIANG dan MAKAM SUNAN PARUNG SAAT INI

Sejak saat itu sampai sekarang, danau ciptaan Raden Panglurah tersebut dinamakan Situ Sangiang yang letaknya di Kampung Wates, Desa Sangiang, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Majalengka. Banyak keanehan di Situ Sangiang. Antara lain, sampai sekarang tidak pernah ditemukan selembar daun pun yang mengapung di atas situ walau sekelilingnya dipenuhi pepohonan yang telah berumur ratusan tahun, ini merupakan bukti bahwa situ tersebut ada yang menjaga serta memelihara, yang tak lain adalah Raden Panglurah beserta abdi setianya. Sesekali orang bisa melihat kehadiran ikan lele jelmaan Raden Panglurah yang besarnya sebesar bayi. Namun itu jarang terjadi, kecuali kepada mereka yang kebetulan bernasib baik saja. Namun biasanya orang yang sempat melihat ikan Lele tersebut akan terus berlari menghindar karena takut terkena musibah. Mereka percaya sampai sekarang kemungkinan besar Raden Panglurah masih menyimpan dendam kepada penduduk Talaga. Seiring dengan itu, agama Islam berkembang dengan pesat di Talaga dan sekitarnya. Kini hampir dari setiap rumah terdengar suara orang yang sedang mengaji, dan ada pula yang sedang berzikir mengagungkan asma Allah SWT.

Setelah sekian lama menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, Sunan Parung pun wafat dengan tenang. Makamnya tidak jauh dari tepi Situ Sangiang, dan dikeramatkan sampai sekarang. Di hari-hari tertentu para peziarah berdatangan mengharapkan berkahnya, terutama dari Cirebon. Lokasi makan Sunan Parung agak tinggi dari tepi situ, sehingga kita harus manaiki tangga sejumlah 128 buah. Suasana di dalam makan wali tersebut sangat sakral dan mencekam. Tidak heran jika juru kunci melarang para peziarah untuk bermalam di dalam makam Sunan Parung. Juru kunci tidak bertanggung jawab jika ada peziarah yang memaksa tidur di makam. Alasannya para peziarah belum tentu tahan menghadapi godaan sebab biasanya godaan akan datang dari dalam Situ Sangiang. Godaan itu bisa berbentuk ikan besar, ular, dan sebangsanya yang menakutkan. Di dalam hutan sekitar situ sangiang terdapat pula tujuh buah pohon angsana yang telah berusia ratusan tahun. Dari bawah pohon tersebut terpisah, tapi setelah agak ke atas, ketujuh pohon angsana itu menjadi satu sehingga tampaknya seperti sebuah pohon saja. Itu merupakan keajaiban yang tidak terdapat di tempat keramat lain. Ada beberapa versi tentang pohon angsana itu. Sebagian penduduk mengatakan, bahwa pohon tersebut berasal dari tongkat Sunan Parung. Sebagian lagi mempercayai bahwa pohon itu berasal dari senjata Prabu Talaga manggung Pucuk Umum. Dan sebagian lagi percaya bahwa pohon itu berasal dari tongkat Raden Panglurah yang ia bawa saat baru saja pulang bertapa dari Gunung Bitung. Selanjutnya ditancapkannya, dan berubah jadi tujuh buah pohon hingga sekarang. Tak jauh dari tempat itu, terdapat batu untuk menyembelih binatang sebagai Nazar mereka yang berhasil maksudnya. Namun banyak pula yang hanya berekreasi, sebab Situ Sangiang sekarang dijadikan objek pariwisata yang menarik.

Kepahlawanan Paku Buwono VI


Susuhunan Pakubuwono VI dikalangan kraton dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa. Nama ini diberikan karena beliau memiliki kebiasaan bertapa, sebagai bagian dari kehidupan beliau sepanjang masa yang dihabiskan untuk perjuangan.

PB VI diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional RI berdasarkan Keppres No. 294 tanggal 17 Nopember 1964.

Sejauh mana perjuangan beliau sehingga pantas diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan? Sedangkan Sultan Agung yang perjuangannya melawan Kompeni lebih dikenal dalam sejarah, baru diangkat sebagai pahlawan pada tanggal 3 Nop 1975.

Ada sebagian kalangan bahkan pengamat sejarah yang meragukan pengangkatan PB VI sebagai Pahlawan. Jawabnya adalah maklum, mengingat sejarah beliau tidak banyak diketahui, baik oleh masyarakat umum maupun didalam penulisan sejarah. Sedang sejarah yang ada lebih banyak ditulis oleh Belanda sendiri dengan menutupi peran PB VI. Mengapa Bung Karno, seorang pemimpin yang cerdas dan berwawasan spiritual, tidak ragu ragu menetapkan PB VI sebagai Pahlawan Nasional, bahkan pengangkatannya mendahului para Pejuang lain yang lebih dikenal? Akan terjawab dalam ungkapan ini.

Pengungkapan sejarah ini diperoleh dari dokumen dan berbagai sumber dari Kraton Surakarta yang tidak disebar luaskan. Kami mengungkap sejarah perjuangan PB VI berkenaan dengan tugas yang diberikan oleh Ketua Paguyuban Darah Dalem Pahlawan Nasional PB VI pada tahun 1997 di Solo. Ringkasan dari sejarah ini dibacakan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 Nop 1997 di Istana Makam Raja Raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta.

JIWA PEJUANG PB VI

Lahir dengan nama BRM Sapardan, pada hari Minggu Wage, 26 April 1807 Jam 2 pagi. Beliau adalah Putra Susuhunan Pakubuwono V dan Cucu Susuhunan Pakubuwono IV. Sejak kanak kanak dekat dengan Eyang Dalem, bahkan menjadi kekudangan (harapan) agar kelak kemudian menjadi raja yang mampu mengusir penjajah dan mengembalikan kejayaan seperti dizamannya Leluhur Dalem Sultan Agung dan Hayam Wuruk. Kekudangan mana oleh Ayahanda PB V diwujudkan dalam Tembang Dandanggula :

Putraningsun pindha Dewa Aji
Hayu kadya suryaning wanodya
Deg pidegsa sarirane
Nora prakosa bakuh
Kukuh jinongko hing Ywang Widhi
Wanter santoseng karsa
Suthik yen winengku
Kuwasane liya bangsa
Budidaya mardikane bu Pretiwi
Tekeng tembe wurinya

Tembang ini melukiskan sosok beliau yang luhur dan wajah yang bersinar lembut dengan perawakan yang tidak berlebihan. Ditegaskan bahwa sudah menjadi Kehendak Tuhan, beliau ini memiliki pendirian yang kuat tidak sudi dikuasai dan diatur oleh Asing, berusaha memerdekakan tanah air hingga akhir hayat.

Nata Luhur Gung Hamrabawani
Bawana Pinaku Bangun tapa
Pandhita Ratu harane
Rukun sawiji tuhu
Tetaline kawula Gusti
Ginugah hing Ywang Suksma
Humangsah prang kalbu
Buntu tatap titimasa
Mapan pinastheng weca jumeneng dadi
Tetunggulipun Bangsa

Sebagai raja agung berwibawa yang berjiwa pandita pertapa, atas dasar kebaktian kepada Tuhan, beliau mengupayakan kerukunan bawahan dan atasan untuk menghadapi perang lahir dan batin. Meskipun belum saatnya dapat memerdekakan bangsa, namun yang pasti menjadi pahlawan perintis kemerdekaan.

Sedemikian dekatnya dengan Eyang Dalem sehingga ditahun 1817 ketika masih berumur 10 thn, beliau diajak menyaksikan dimana Pakubuwono IV berperang melawan Kolonial Inggris. Jadi sejak kecil didalam jiwa beliau sudah tertanam perjuangan melawan penjajah. Beliau naik tahta pada usia 16 tahun yaitu pada Hari Senen Kliwon, 15 September 1823. Setelah menjadi raja, sudah pasti apabila beliau mewujudkan dalam tindakan nyata untuk melanjutkan perjuangan Eyang Dalem mengusir penjajah. Namun ada yang tidak puas dengan pengangkatan ini yaitu Pangeran Purbaya, adik dari Pakubuwono V, yang merasa dirinya lebih pantas menggantikan kakaknya dengan alasan keponakannya masih terlalu muda. Inilah dalam kisah nanti yang menjadi penghambat dalam perjuangan.

PENGATUR STRATEGI DIBELAKANG LAYAR.

Ketika itu sebagai seorang raja, yang dikenal sebagai pemuda yang memiliki semangat tinggi, beliau merasa gerak geriknya sangat diawasi oleh Belanda, sehingga tidak bebas secara terang-terangan mengadakan perlawanan. Apalagi masih terikat perjanjian dengan Belanda yang dikenakan terhadap Raja Raja sebelumnya pada tahun 1677 (bersamaan dengan pengangkatan Amangkurat II), 1702 (pengangkatan Amangkurat III) dan 1749 (pengangkatan PB III). Dimana setiap pengangkatan, raja dikenakan kewajiban memberi bantuan sejumlah prajurit untuk keamanan dan pertahanan. Perjanjian mana berlaku juga terhadap Susuhunan PB VI.

Oleh karena keterbatasan gerak gerik, beliau mengadakan kerjasama dengan Pangeran Diponegoro yang kebetulan memiliki cita-cita yang sama untuk mengusir penjajah.

Kedua Patriot ini, berpuluh kali mengadakan pertemuan rahasia di Krendhawahana dekat kaliyoso, Guwaraja lereng Merapi Merbabu, Mancingan pesisir laut selatan, Padhepokan Jatirogo daerah Tanjung Anom, dll tempat rahasia dalam rangka mempersiapkan peperangan melawan penjajah. Ditempat tempat rahasia inilah beliau menyempatkan bertapa (samadhi), menapak tilas kebiasaan para raja leluhur, yaitu Sanjaya, Syailendra, Smaratunggadewa, Rakai Pikatan, Erlangga, Jayabaya, Kertanegara, Wijaya, Hayam Wuruk dan Brawijaya.

Inti hasil pertemuan adalah :

1. Pertempuran akan dikobarkan serentak keseluruh pelosok tanah Jawa.

2. Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan dari para petani, santri dan segenap lapisan rakyat.

3. Susuhunan Pakubuwono VI mengerahkan bantuan berupa dana, logistik, senjata, prajurit dan segala kebutuhan peperangan, baik secara langsung maupun melalui perintah kepada para Bupati didaerah.

4. Agar peran Susuhunan Pakubuwono VI tidak diketahui oleh Belanda, perang akan dipimpin dan dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro. Kyai Maja selain penasehat merangkap sebagai penghubung antara PB VI dengan P. Diponegoro.

5. Susuhunan Pakubuwono VI tetap berada dibelakang layar, sampai pada saatnya tampil kedepan apabila konsolidasi seluruh rakyat di P. Jawa telah terbentuk cukup kuat dan ketika Belanda mulai melemah.

PERANG DIKOBARKAN

Perang berkobar dengan dahsyat mulai tahun 1825 meliputi seluruh Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Sedemikian dahsyatnya, bangsa bangsa di Eropa waktu itu menyebut dengan Perang Jawa. Sedangkan peristiwa diterjangnya makam keluarga Pangeran Diponegoro oleh pembangunan jalan untuk kepentingan Belanda, sebagaimana ditulis didalam sejarah versi Belanda, sebenarnya hanyalah momentum untuk mengawali peperangan. Jadi peperangan sudah dipersiapkan jauh sebelumnya secara matang oleh Susuhunan bersama Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu gebrakan ini betul betul Belanda menjadi kewalahan dan kalang kabut.

Dapat dipahami bahwa tidak mungkin perang dapat berkobar demikian dahsyat tanpa dukungan material, personal dan spiritual dari Pakubuwono VI. Dukungan material dapat dikatakan tak terbatas mengingat Kasunanan adalah penerus dan pewaris dari kerajaan kerajaan sebelumnya mulai dari Mataram Kuno, Kahuripan, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram hingga Surakarta Hadiningrat. Tidak hanya makanan, perbekalan dan anggaran, juga termasuk pusaka yang diantaranya adalah :

· Keris Kyai Sandhanglawe dan panah Kyai Sirwinda kepada Pamanda Pangeran Diponegoro. Dalam menggunakan panah supaya disertai sasanti : “Sirwinda, nuncepa gundhule Walanda kang hambeg kumawasa”! Dengan menggunakan keris inilah P. Diponegoro berhasil membunuh banyak serdadu Belanda dipalagan dekat Ringin Growong (Kulon Progo), sehingga tempat ini dianggap keramat oleh musuh dengan sebutan “jalma mara jalma mati”.

· Pelana kuda Kyai Sabuk Angin lengkap dengan cemethinya kepada Raden Ajeng Sumirah. Pusaka ini dapat memacu kuda dengan kecepatan luar biasa sambil menerjang musuh dan memusnahkannya dengan cemethi. Termasuk kapten Van der Bos menjadi korban ketika berhadapan dengan R.A Sumirah (Nyai Kedung Gubah).

· Keris Kyai Umbul Ludiro kepada Tumenggung Prawirodigdoyo, yang mampu menjadikan banjir darah (umbul ludiro) dikalangan pasukan Belanda.

· Dll pusaka yang diberikan PB VI kepada Senthot Ali Basah Prawirodirdjo, Imam Rozi (Kyai Singomanjat), RA Kusriyah (Nyai Ageng Serang) dan masih banyak lagi.

Dukungan SDM (Sumber Daya Manusia) yang memperkokoh pasukan, tidak ternilai harganya, diantaranya adalah:

· Para Pinisepuh Pengageng kraton nan sakti mandraguna, seperti Kanjeng Gusti Pangeran Mangkubumi dan Kanjeng Gusti Pangeran Kusumoyudo.

· Para Kyai selain Kyai Mojo dan Kyai Singomanjat, yang berperan sebagai Manggala Setya, seperti Kyai Singoprono, Kyai Singolodra, Kyai Singomangkoro, Kyai Singomanggolo, Kyai Singodipo dan Kyai Singoyudo. Barisan Kyai yang memperoleh sebutan Singo tsb diatas, menggambarkan singa hutan yang tidak takut siapapun dan siap bertarung sampai ajal, artinya musuh harus menemui ajal, kalau tidak dirinya siap menerima ajal.

· Pasukan Manggala Putri yang pantang mundur, selain RA Sumirah dan RA Kusriyah yang telah disebut diatas, mereka adalah RA Akhadiyah, RA Marwiyah, RA Marfungah dan RA Murtinah. Fakta membuktikan bahwa sesungguhnya barisan Raden Ajeng inilah yang menginspirasi RA Kartini dalam perjuangan melawan Belanda melalui tulisan. Justru inilah yang membuat Kartini bersedih mengapa tidak sempat berjuang fisik seperti Eyang Eyang Putrinya tersebut diatas.

Jelas bahwa tidak mungkin sedemikian besar dukungan SDM disegala lapisan rakyat hingga ditingkat Elite, apabila tidak atas prakarsa PB VI sebagai penguasa waktu itu. Dari barisan ini saja sudah tidak meragukan lagi kesungguhan PB VI dalam upaya mengusir penjajah sampai rela mengerahkan kerabat putri putri cantik menyabung nyawa dimedan laga!

Dukungan spiritual tidak dapat diabaikan karena beliau sering bertapa memohon kepada Tuhan untuk keberhasilan perjuangan, sesuai dengan sebutan beliau yaitu Pangeran Bangun Tapa.

Belanda telah menghabiskan lebih dari 20 juta gulden dan 15.000 tentaranya tewas, yang membuat pemerintahannya didaratan Eropa mengalami kegoncangan. Sehingga Belgia dan Luxemburg sebagai negara bagian, mengambil kesempatan mengadakan pergolakan, hingga pada akhirnya pada tahun 1830 memisahkan diri dari Belanda hingga sekarang. Untuk memberikan gambaran berapa banyak 20 juta gulden itu, dapat dibandingkan dengan biaya sebesar 50.000 gulden untuk memugar candi Borobudur waktu itu. Jadi 20 juta gulden setara dengan biaya untuk memugar 400 candi Borobudur! Dari jumlah tentara Belanda yang tewas, 15.000 jiwa adalah angka yang berlipat kali lebih besar dari keberhasilan para pejuang yang lain dalam menewaskan tentara musuh. Perlawanan Sultan Agung sekalipun, tidak sampai menewaskan sepuluh ribu tentara Belanda.

Ketika itu kemenangan mutlak sudah diambang pintu. Belanda sudah bangkrut, sedang perbekalan dan tambahan kekuatan dari Susuhunan Pakubuwono VI untuk pasukan Pangeran Diponegoro mengalir terus, tersebar keseluruh medan laga di daerah Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Banyumas, Pati hingga ke Jawa Timur. Niscaya apabila tidak ada pengkhianatan, beberapa tahun kemudian Belanda sudah terusir dari bumi Pertiwi.

PENGKHIANATAN

Namun tibalah saatnya kelicikan Belanda berulang kembali, seperti didalam perang ini. Diawali dengan persekongkolan Belanda dengan Pangeran Purboyo (Adik PB V) yang memang ingin menjadi raja. Dia ini yang membocorkan strategi dan rahasia perjuangan serta menghambat segala bantuan dari kraton untuk pasukan dimedan laga. Sejak itu perlawanan mulai melemah karena dengan cepat Belanda dapat mengetahui rahasia dan posisi kekuatan perjuangan, untuk satu persatu ditaklukkan dan dipecah belah. Pada gilirannya, lagi lagi berdasarkan informasi dari Pangeran Purboyo, malam hari tanggal 5 Juni tahun 1830 terjadi penangkapan terhadap Pakubuwono VI di Mancingan (pantai selatan Yogjakarta) sepulang dari upaya untuk membangkitkan kembali perlawanan pasca tertangkapnya Pangeran Diponegoro tanggal 28 Maret 1830. Beliau dengan masih berpakaian penyamaran sebagai orang biasa langsung dibawa ke Semarang dan selanjutnya diasingkan ke Pulau Ambon.

Sebagai hadiah dari Belanda, Pangeran Purboyo dinobatkan menjadi Paku Buwono VII.

BERJUANG TERUS DIPENGASINGAN.

Yang mengagumkan ternyata perjuangan PB VI tidak terhenti di tempat pengasingan sebagaimana raja raja yang telah dibuang. Beliau masih terus mengobarkan perlawanan dengan berjuang ditempat yang baru bersama-sama dengan para pemimpin pergerakan di Maluku, antara lain dengan Sultan Ternate dan keturunan Sultan Palembang, Mahmud Badarudin, yang dibuang di Ternate serta dibantu masyarakat Cina yang dikoordinir nona Kowi (anak Kwe Ko Hing).

Ternyata tempat pengasingan Pangeran Diponegoro di Manado masih terlalu dekat dengan Ambon, terbukti dengan masih berlanjutnya komunikasi perjuangan diantara keduanya. Pada akhirnya Pangeran Diponegoro dijauhkan lagi dari Ambon dengan ditempatkan di Ujung Pandang.

Perlawanan yang tiada hentinya dari Pakubuwono VI membuat Belanda kehilangan akal, sehingga pada hari Minggu Pon tgl 3 Juni thn 1849 Susuhunan ditangkap kembali oleh Belanda. Selanjutnya esok harinya jam 5.00 pagi, dieksekusi oleh regu tembak dengan senjata Baker Rifle yang diantaranya mengenai kepala tepat diatas mata kanan. Ini adalah pelanggaran Undang Undang Internasional yang disusun di Geneva yang berlaku terhadap Negara Penjajah yang isinya tidak boleh membunuh Raja di wilayah Jajahan. Mengapa Belanda nekat dan berani membunuh seorang Raja, sebagai bukti betapa heroiknya Susuhunan tetap mengadakan perlawanan meskipun sudah ditempat pembuangan. Tidak seperti raja raja lain (yang juga diangkat sebagai pahlawan) ditempat pembuangan tinggal duduk manis disediakan segala kesenangannya oleh Belanda asal tidak lagi melakukan perlawanan. Sebenarnya diawal masa pembuangan Susuhunan dicukupi juga segala kesenangannya oleh Belanda, tetapi sama sekali tidak terpengaruh. Kalau hanya untuk kesenangan duniawi dan apabila beliau berkenan, sudah dari dulu diawal menjadi raja apapun bisa didapatkan, tidak perlu mengadakan perlawanan terhadap penjajah.

Dikisahkan waktu itu diawal pengasingan, Susuhunan merasakan keprihatinan yang amat mendalam akibat kegagalan perjuangan. Sebagai Seorang Pertapa Agung, kesedihannya menimbulkan iklim buruk bagi serdadu Belanda sehingga yang sakit pagi sore mati, yang sakit sore pagi mati. Penguasa Belanda menjadi kalang kabut berupaya agar Susuhunan tidak berlanjut dalam kesedihan, mencari informasi ke Keraton Surakarta apa yang paling disukainya. Maka diserahkanlah kesukaannya yaitu kuda balap hitam besar dan sangat tampan yang didatangkan dari Eropa. Tetapi balik kuda inilah yang dipakai Susuhunan untuk melanjutkan perjuangan.

Sebagai layaknya raja raja besar yang gemar bertapa dan memiliki kawaskitan, maka sebelum dieksekusi beliau sempat berwasiat mengingatkan Belanda : "Hai penjajah, tunggulah 100 tahun lagi, tiga generasi dari keturunanku akan mengusir kalian dari Bumi Pertiwi ini".

Terbuktilah wasiat ini dengan tersingkirnya secara de facto seluruh aparat Belanda pada tahun 1949, melalui perjuangan bangsa Indonesia dibawah pimpinan Ir.Soekarno.

SEKILAS ANALISA

Sungguh luar biasa keluhuran jiwa Susuhunan PB VI sebagai patriot bangsa yang dengan ikhlas mengorbankan jiwa raganya. Beliau berjuang betul betul tanpa pamrih; tidak juga meskipun hanya untuk mendapatkan nama baik. Terbukti dengan posisinya yang secara diam diam berada dibelakang layar, sehingga tidak perlu diketahui oleh siapapun.

Pada zaman itu, para raja dan para petinggi Kraton banyak yang mencari selamat dan mengikut arus saja. Terbukti dengan Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaran dan Paku Alaman, membantu Belanda dengan mengerahkan laskar memerangi para Pejuang.

Sesungguhnyalah yang disebut dengan pasukan Pangeran Diponegoro, sebenarnya adalah prajurit Kasunanan juga yang tersebar dipulau Jawa, yang diperintah oleh rajanya melalui para Bupati, untuk membantu Pangeran Diponegoro. Inilah yang membuat Belanda keheran heranan, mengapa pasukan Pangeran Diponegoro demikian banyak, kuat dan tidak ada habis habisnya. Sedang pasukan Belanda sudah habis habisan, termasuk kehabisan akal sehat, hingga akhirnya bersekongkol dengan Pangeran Purbaya. Alasan ini jugalah kenapa pihak kraton tidak mengungkap sejarah yang sebenarnya terjadi, karena pengkhianatan itu dilakukan oleh kerabat kraton itu sendiri yang kemudian mendapat hadiah dari Belanda menjadi Pakubuwono VII. Sesungguhnya para pembesar kraton sama sekali tidak menyukai pengkhianatan ini, terbukti dengan setelah meninggalnya PB VII tidak digantikan oleh keturunannya, tetapi oleh adiknya sebagai PB VIII, sambil menunggu putra PB VI, BRM Duksino, yang oleh para Sesepuh Kerabat kraton disepakati menjadi PB IX. Dari sini tiba saatnya untuk mengungkap hubungannya dengan Bung Karno.

Pengganti PB IX adalah putra mahkota yang bernama BRM Kusno (lahir tgl 29 Nop 1866), yang kemudian menjadi PB X (th 1893 s/d 1939) dengan sebutan Pangeran Hingkang Wicaksana. Sebagai cucunda PB VI, faham akan perjuangan Eyang Dalem yang dengan gigih melawan penjajah, yang harus dilanjutkan oleh 3 generasi sesudah PB VI, yang berarti putra PB X lah yang akan mengusir Belanda di tahun 1949, yaitu 100 th kemudian setelah PB VI dieksekusi di th 1849. Sebagai Raja yang bijaksana dan uninga sakdurunge winarah (mengetahui sebelum terjadi), pada th 1900 beliau mengambil garwa ampil seorang putri raja Buleleng yang bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Ketika mulai mengandung Sang Isteri diungsikan ke Surabaya dengan didampingi seorang abdi dalem kinasih yang bernama R. Sukemi, yang selanjutnya menggantikan sebagai suami Sang Putri. PB X mengetahui bahwa putranya yang akan lahir inilah yang dimaksud oleh Eyang Dalem PB VI yang akan memerdekakan bangsa ditahun 1949. Tetapi perjuangannya tidak lagi didalam keraton, karena disamping kehidupan kraton sangat diawasi Belanda, juga karena perlawanan terhadap Belanda sejak era pasca PB VI sudah berada diluar keraton. Betul, ditahun 1901 lahirlah Sang Fajar yang diberi nama Kusno, yaitu nama beliau sendiri ketika masih muda. Kusno inilah setelah dewasa bernama Sukarno yang berhasil memimpin bangsa ini mengusir Belanda secara de facto ditahun 1949, yang kemudian menjadi presiden RI yang pertama.

Meskipun Susuhunan Pakubuwono VI bersama Pangeran Diponegoro belum berhasil mengusir penjajah, namun pengaruh Perang Jawa telah berhasil menginspirasi dan membangkitkan semangat perjuangan masyarakat luas di luar kraton pada generasi berikutnya. Dapat dikatakan sebagai peralihan dari perjuangan yang bersumber pada Kraton (Raja) ke perjuangan yang bersumber pada Tanah Air (Rakyat). Diawali dengan tumbuhnya pergerakan pergerakan sosial, seperti gerakan melawan pemerasan, gerakan ratu adil, gerakan samin dan gerakan keagamaan, hingga pergerakan pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Indische Partij dan Gerakan Pemuda. Semuanya merupakan bibit perjuangan yang dilahirkan oleh kepeloporan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro, hingga berhasil mengusir penjajah Belanda secara keseluruhan tepat pada tahun 1949.

PELAJARAN BAGI PEMIMPIN.

Marilah kita memetik pelajaran dari kebesaran jiwa PB VI dibandingkan dengan kepemimpinan nasional dijaman yang tinggal mengenyam nikmatnya kemerdekaan ini.

Dalam situasi negara RI yang sedang dilanda segala macam kebohongan, kebodohan dan bencana ini, apakah para pemimpin kita sudah berperan sebagai pejuang bangsa ataukah hanya membohongi agar diri sendiri dan keluarganya tetap tetap selamat dan berkemewahan?

Bandingkan dengan PB VI selaku pejuang bangsa, beliau bahkan meninggalkan kehidupan yang serba mewah untuk bersusah payah memperjuangkan kesejahteraan rakyat dari belenggu penjajahan. PB VI merasakan bagaimana mungkin mewujudkan kerajaan yang besar seperti dijaman Mataram Kuno dan Majapahit, sementara Belanda mengeduk terus kekayaan sumber daya alam bumi Pertiwi ini, maka harus disingkirkan.

Dijaman sekarang ini penghambat kejayaan bangsa, yang juga harus disingkirkan adalah sifat kepemimpinan nasional yang tidak memperjuangkan kemandirian dan kebesaran bangsa, yang pada gilirannya hanya mencari persenan atau komisi dengan mengikuti saja kemauan Negara maju seperti Amerika Serikat dan Cina, yang nota bene menyodorkan diri untuk dijajah meskipun secara halus dan tersamar. Akibat dari kepemimpinan yang diliputi kebodohan ini, menimbulkan penderitaan pada rakyat kecil, karena selalu dikalahkan dan tertindas. Disisi lain martabat bangsa merosot jauh, karena rakyat kecil yang tidak berdaya itu rela jadi budak di negara negara Arab, padahal bangsa Arab adalah kelompok bangsa yang peradabannya jauh dibawah bangsa Indonesia dimasa lalu.

Pada dasarnya setiap pemimpin bangsa ini apabila mau mendengarkan suara hati nuraninya, akan faham betul bagaimana seharusnya menjalankan pemerintahan ini secara benar, jujur dan adil. Masalahnya karena masih terlalu besar pamrihnya terhadap tahta dan harta, yang menyebabkan tertutupnya hati nurani tersebut. Dia berarti bukan pejuang bangsa, karena salah satu ciri yang menonjol sebagai pejuang sejati adalah tanpa pamrih; sebagai yang telah dicontohkan oleh Susuhunan Paku Buwono VI.

Hutan Sancang Yang Penuh Misteri


Dalam peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar sekaliber Galuh Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut Selatan yang terjadi sekira awal abad ke 13.

Kota Garut tempo dulu  dibagi menjadi tiga distrik
1. distrik Garut kota
2. Distrik limbangan
3, distrik kandang wesi.

Di kandang wesi memiliki hutan yang sangat luas dengan nama leuweung sancang, leuweung Sancang, pada saat itu kawasan leuweung sancang sangatlah luas sebelah barat hingga ke ranca buaya ,sebelah utara hingga gunung gelap dan tegal siawat-awat di kawasan pakenjeng, ketimur sampai ke cikaengan perbatasan tasik Malaya (sekarang). Leuweng sancang memiliki mitos yang sangat melegendaris di tatar sunda dengan kemunculan maung bodas dan lodaya sakti, maka hingga kini sancang dikenal memiliki macan jejadian/ (maung kajajaden).

Di tengah-tengah kehidupan masyarakat dipercaya bahwa nama Sancang memiliki arti khusus. Susunan huruf tersebut memiliki arti bahwa,
Huruf S, sebagai wujud dari Sasakala Asal-Usul cerita sesepuh urang-urang sadaya, yang berarti hutan Sancang merupakan tempat asal usul nenek moyang kita semua.
Huruf A, sebagai wujud dari anu luhur tur ngahiang, yang berarti daerah Sancang adalah daerah keramat dan sejak zaman dahulu sudah dikenal.
Huruf N, sebagai wujud dari Nyata sarta talapakuran tah ku aranjeun manungsa, yang berarti hutan Sancang adalah nyata dan perlu untuk dikaji oleh setiap manusia.
Huruf C, sebagai wujud dari cacandran carita sesepuh urang sadaya, yang berarti Sancang adalah asal usul cerita tentang nenek moyang kita.
Huruf A yang kedua merupakan wujud dari Aya nya carita pasundan yang berarti asal mula dari kerajaan Pasundan dan Padjajaran.
Huruf N, sebagai wujud dari Negeri Padjajaran tilas Siliwangi, yang berarti hutan Sancang merupakan salah satu wilayah negeri Padjajaran peninggalan Siliwangi.
Terakhir, huruf G, merupakan wujud dari Goib di Sancang Pameungpeuk Garut yang berarti hutan Sancang mempunyai cerita gaib dan setiap manusia harus mempercayai hal gaib seperti Tuhan Yang Maha Esa, yang sifatnya gaib.

Terlepas dari itu Sancang dikenal keseluruh nusantara bahkan kedunia sekalipun.Karena sejak jaman kerajaan salaka ngara dan Taruma nagara sancang yang memiliki  situs-gunung-nagara     sudah di jadikan tempat peristirahatan raja-raja dari kedua kerajaan tersebut.

Sancang sudah bayak dikenal berbagai kalangan namun tidak tahu mana-mana saja Sancang itu, orang tahu bahwa sancang ada sancang satu , sancang dua, tiga dan seterusnya. Namun secara detailnya masih banyak yang belum mengetahuinya.
Sancang satu  mulai dari Ranca buaya sampai ke sungai Cikaso,
Sancang dua mulai dari Sungai Cikaso sampai ke Sungai Cibaluk,
Sancang tiga mulai dari Sunga Cibaluk sampai Ci balieur dan Cigandawesi,
Sancang Empat mulai Ciganda wesi sampai Cipareang,
Sancang lima mulai cipareang sampai Cibako,
Sancang  enam, tujuh delapan dan Sembilan mulai dari Cibako sampai ke Karang Gajah  dan Cikaengan.

Di setiap Sancang ada banyak situs makam makam kuno, yang paling  banyak menyimpan situs pemakaman di Sancang Utama atau Sancang  Satu yaitu SITUS GUNUNG NAGARA dan Makam Prabu Gesan Ulun di bukit Sayang heulang dan masih banyak yang saya tidak sebutkan di sini.

Berbicara tentang gunung, pikiran kita tertuju pada sebuah gunung cukup tinggi. Sebenarnya, Gunung Nagara bukanlah gunung dalam artian para pecinta alam. Ia lebih merupakan bukit yang memiliki keragaman flora cukup unik. Di tempat tersebut masih banyak terdapat pohon burahol, menyan, kananga, bintanu, kigaru, binong serta masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang mungkin secara ilmiah belum dikenal, dan belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia.

Kekayaan fauna juga dimiliki hutan Gunung Nagara. Kalau kebetulan, kita akan menemukan burung rangkong (Buceros rhinoceros) yang sedang asyik berduaan bersama pasangannya di atas pohon yang cukup tinggi. Tubuhnya yang cukup besar diperindah dengan mahkota. oranye di atas kepalanya. Bagi yang pertama kali menemukan burung ini, mungkin akan merasa aneh, sebab ketika burung tersebut akan terbang, biasanya memberi aba-aba dengan suara “gak” yang keras mirip suara monyet. Lantas, ketika sudah tinggal landas, kepakan sayapnya mengeluarkan suara yang dramatis. Selain burung Rangkong, masih terdapat hewan langka lainnya semisal kambing hutan, landak, kucing hutan, macan kumbang, walik, surili, dan beragam jenis kupu-kupu.

Sesampainya di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama dikenal dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam kuburan. Kuburan-kuburan tersebut relatif besar-besar. Setiap kuburan dihiasi batu “sakoja” dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong). Kalau kita perhatikan secara seksama, komplek pekuburan tersebut tersusun secara rapi membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua kuburan. Konon kabarnya, kuburan ini merupakan kuburan Embah Ageung Nagara dan patihnya.

Menurut Kepala Desa Sukanegara, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi’un dan pusaran ketiga melambangkan sab’ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah kuburan. Lebih lanjut, ia mengatakan kalau pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Eyang Brajasakti dan istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga merupakan kuburan Prabu Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah kuburan yang terpisah, konon kabarnya kuburan tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syeh Abdal Jabar).

Dalam sebuah riwayat sebenarnya situs Gunung Nagara terdiri atas beberapa peninggalan dalam bentuk barang. Namun sayang, naskah aslinya terbakar manakala gorombolan (DI/TII) menyerang Kampung Depok, sedangkan beberapa naskah lainnya yang tersisa dan barang-barang peninggalan sudah menjadi milik orang Tasik. Barang-barang yang masih ada, terpencar diperseorangan. Bagi para peziarah yang terbiasa melakukan semedi, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.

Di Sancang dua terdapat situs  MAUNG BODAS & MUNDING BODAS.
Di Sancang tiga ada situs Makam Eyang Ghozali.
Di Sancang empat terdapat situs Eyang Salatim
Di sancang lima dan seterusnya  ada situs makam Pandita Rukmin , eyang rukman tara dan rukmantiri dan sebagainya.

Yang paling diburu oleh Peziarah adalah kayu kaboa  konon kalau orang yang ada bagian maka akan mendapatkan kayu Kaboa yang  dipercaya dengan khodam penjaga  sebangsa macan lodaya.

Menurut cerita dari salah seorang penduduk setempat bahwa  siapa saja yang bersemedi hingga mendapat berkah maka akan ada seseorang manusia ghoib yang datang dan siap menjadi pembantu sipertapa tersebut, dan setelah memberinya beberapa petunjuk  si ghaib tersebut akan masuk ke salah satu  pohon Kaboa dan sipertapa tersebut mengambilnya dan di bawa pulang maka kayu itu akan bisa dipergunakan untuk mengundang orang ghaib tersebut ,dan orang gahaib atau khodam tersebut akan sering menjelma menjadi Seekor Harimau dengan sebutan Maung Sancang.

Dari data-data sepintas tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi, baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata. Hingga pertengahan tahun 1980-an, Hutan Sancang sebagai hutan tutupan suaka margasatwa masih terbilang utuh, tetapi pada tahun 1998 mengalami degradasi hebat seiring dengan penyerobotan dan pembalakan liar. Salah satu satwa liar penghuni Sancang, banteng, hilang lenyap tak berbekas. Mungkin satwa itu kabur ke arah Hutan Pangandaran yang masih cocok untuk habitat banteng atau mungkin bergelimpangan mati akibat dampak perusakan hutan. Nasib banteng Sancang sangat mirip dengan nasib banteng Cikepuh, Kabupaten Sukabumi, yang juga rusak terkena penyelewengan eforia reformasi.

Area Hutan Sancang kini menyempit karena sebagian terkena pembangunan jalur jalan lintas selatan. Kondisi keamanannya sangat rawan. Kekayaan flora dan faunanya juga sangat menyusut. Selain kehilangan banteng, Sancang juga kehilangan berbagai jenis burung langka, seperti rangkong dan julang, serta harimau, baik maung Sancang maupun maung Lodaya. Jenis kayu werejit yang getahnya mengandung racun keras ikut tumpas bersama kayu-kayu hutan tropis heterogen lainnya. Yang masih tersisa dari Hutan Sancang mungkin hanya legenda dan mitos, yang juga mulai t

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...