Senin, 01 November 2021

Sejarah Penakhlukan Majapahit Di Borneo


Sakitar abad ke-5 M berdiri sebuah kerajaan yang merupakan kerajaan permulaan di Kalimantan Selatan, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Nagara Dipa. Kerajaan tersebut bernama Kerajaan Tanjungpuri. Bermula berdirinya Kerajaan Tanjungpuri adalah saat kedatangan bubuhan imigran Malayu asal Kerajaan Sriwijaya di pulau sumatera sekitar Tahun 400-500 Masehi. Oleh karena kebudayaan imigran Malayu sudah lebih maju, lalu mereka mendirikan kampung yang lama kelamaan berubah menjadi sebuah kerajaan kecil. Para imigran Malayu tersebut banyak yang melakukan perkawinan dengan panduduk setempat, yakni suku Dayak (Maanyan, Bukit, Ngaju), sehingga Kerajaan Tanjungpuri tersebut, panduduknya terdiri dari orang Malayu dan Dayak. Perpaduan kadua suku tersebut akhirnya nanti menurunkan suku Banjar (Asal muasal suku Banjar).
         
Semantara sekitar 3000-1500 SM untuk pertama kalinya Imigran dari Yunnan di China Selatan datang ke tanah Borneo. Mereka inilah padatuan ‘nenek moyang orang Dayak atau istilahnya “Melayu tua”. Berabad-abad lamanya Kerajaan Tanjungpuri berdiri, penduduknya makmur dan sajahtera, hidup damai serta bahagia. Pada Tahun 1309 M berdiri juga sabuah kerajaan orang Maanyan yang bernama “Nan Sarunai”. Kedua kerajaan ini saling berkeluarga dan berteman dekat, tidak pernah ada permusuhan. Walau berbeda keyakinan, –Kerajaan Tanjungpuri kebanyakan pangikut ajaran Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai kebanyakan pengikut ajaran Kaharingan– tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati. Kedua kerajaan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan, tidak mau menambang batu bara yang banyak terdapat di wilayah kerajaan, apalagi menanam sawit karena pada saat itu tidak ada istilah jual beli tanah dan sawit serta hasil tambang batu bara.

Kerajaan Tanjungpuri mempunyai lima orang Panglima.

Nama Datu Banua Lima cukup dikenal warga Banjar di Kalimantan Selatan. Datu Banua Lima merupakan gelar bagi lima panglima Kerajaan Tanjungpuri yang terkenal sakti dan ditakuti kerajaan lain termasuk prajurit Majapahit pada awal abad ke 14 masehi.

Berdasarkan hikayat Datu Banua Lima, kelima Panglima tersebut yang pertama bergelar Panglima Alai, merupakan ahli politik dan strategi.

Kedua, Panglima Tabalong, yang terkenal gagah, kuat, pemberani, dan berjiwa ksatria. Ketiga, Panglima Balangan yang berwajah  tampan, pintar, dan suka menuntut ilmu kanuragan.

Sedangkan yang keempat dan kelima adalah si kembar yang bergelar Panglima Hamandit dan Panglima Tapin. Mereka berdua ini terkenal keras  dan suka berkelahi.

Konon kelima bersaudara ini, anak dari Datu Intingan (Saudaranya Datu Dayuhan Kepala Suku Dayak Maratus) dan Dayang Baiduri (Putri Imigran Melayu keturunan Sriwijaya).

Kala itu Kerajaan Tanjungpuri berhubungan baik dengan Kerajaan Nan Serunai tetangganya.

Walau berbeda keyakinan Kerajaan Tanjungpuri yang mayoritas pengikutnya beragama Buddha sedangkan Kerajaan Nan Sarunai pengikut ajaran Kaharingan.

Tapi kedua kerajaan tetap saling menghormati dan sama-sama berkomitmen menjaga alam lingkungan.

Pada saat itu, Kerajaan Majapahit sangat berambisi untuk menguasai nusantara termasuk tanah Borneo. Hal itu terjadi karena Maha Patih Gajah Mada sudah bersumpah untuk menguasai nusantara.

Ada mata-mata Majapahit yang mengatakan bahwa kedua kerajaan di Borneo tadi sangat makmur karena istananya berlapis emas.

Mendengar hal itu, Prabu Hayam Wuruk, Raja Majapahit begitu berambisi untuk menguasai kedua kerajaan tersebut, Kerajaan Tanjungpuri dan Nan Sarunai.

Lalu pada 1356 M Kerajaan Majapahit mengirim ekspedisi militer pertama ke wilayah Borneo.

Yang mula-mula diserang adalah Kerajaan Nan Sarunai. Sekitar 5.000 pasukan Majapahit datang dengan kapal melewati Sungai Barito yang dipimpin Senopati Arya Manggala.

Melihat pasukan yang sangat banyak tersebut, lalu Kerajaan Nan Sarunai meminta bantuan ke Kerajaan Tanjungpuri.

Lalu oleh Raja Tanjungpuri dikirim lima orang panglimanya yaitu Datu Banua Lima dengan membawa 1.000 pasukan membantu Kerajaan Nan Sarunai.

Setelah itu pecahlah perang yang dahsyat antara pasukan Majapahit melawan pasukan Nan Sarunai yang dibantu pasukan Tanjungpuri.

Banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Pasukan Majapahit yang terkenal hebat dalam bertempur karena sudah berkeliling Nusantara dan sudah menaklukan berbagai kerajaan, saat itu mendapat perlawanan yang hebat.

Banyak prajurit Majapahit yang mati di tangan lima panglima Tanjungpuri yang sakti-sakti tersebut.

Panglima Alai yang ahli strategi mengatur pasukan, Panglima Tabalong yang gagah mengamuk di barisan paling muka, banyak tentara Majapahit yang terlempar ke udara dilemparkan oleh panglima.

Sedangkan Panglima Balangan menjadi pimpinan barisan pengawal raja, dengan kesaktiannya mampu melindungi raja dari keroyokan pasukan Majapahit.

Semantara Panglima Hamandit dan Panglima Tapin beradu kesaktian dengan para pendekar Majapahit.

Banyak sudah prajurit Majapahit yang merupakan pendekar bayaran, mati di tangan Panglima Hamandit dan Panglima Tapin.

Setelah dua hari bertempur akhirnya pasukan Majapahit mampu dipukul mundur, bahkan pemimpin pasukan Majapahit ketika itu yaitu Senopati Arya Manggala kepalanya putus terkena Mandau senjata asli Suku Dayak.

Mengetahui pemimpin pasukannya tewas lalu sisa-sisa pasukan Majapahit lari terbirit-birit menuju kapal untuk pulang ke Jawa.

Setelah gagal dalam ekspedisi pertama, Majapahit kembali mengirim ekpedisi militer kedua pada 1358 M.

Ekspedisi kedua kali ini dipimpin langsung Laksamana Nala dengan membawa dua kali lipat pasukan dari ekspedisi pertama.

Dalam rombongan pasukan besar ini terdapat juga pasukan khusus Majapahit yang terkenal yaitu pasukan Bhayangkara.

Pada ekspedisi kedua ini pasukan Majapahit berhasil menaklukkan Kerajaan Nan Sarunai, bahkan Raja Nan Sarunai yang bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas serta Ratu yang bergelar Dara Gangsa Tulen gugur dalam peperangan.

Peristiwa itu oleh orang Maanyan dikenal dengan istilah “Nan Sarunai Usak Jawa”. Konon Raja Nan Sarunai dibunuh oleh Laksamana Nala dengan sebuah tombak sakti di dalam sebuah sumur tempat persembunyiannya.

Laksamana Nala adalah seorang panglima terhebat Majapahit di masa itu, karirnya dimulai dari menjadi prajurit pasukan khusus kerajaan yaitu pasukan Bhayangkara.

Setelah berhasil menaklukkan Nan Sarunai pasukan Majapahit bergerak menuju Tanjungpuri namun pasukan Majapahit mendapati perlawanan yang hebat dari pasukan  Tanjungpuri yang dipimpin oleh Datu Banua Lima yang terkenal tersebut.

Setelah berhari-hari berperang akhirnya kedua pasukan sepakat untuk berdamai dan tidak melanjutkan peperangan.

Pasukan Majapahit kembali ke Jawa dengan kekecewaan mereka tidak sanggup lagi melanjutkan peperangan karena sebelumnya sudah kelelahan berperang menghadapi kerajaan Nan Sarunai.

Sedangkan pihak Tanjungpuri mengalami kehancuran dimana-mana. Akibat peperangan tersebut kerajaan Tanjungpuri menjadi lemah, perdagangan yang dahulu ramai menjadi sunyi karena para pedagang takut untuk singgah di pelabuhan ketika mendengar ada peperangan.

Sebagai tanda terima kasih kepada Datu Banua Lima, Raja Tanjungpuri Sri Baginda Darmapala memberikan kelima orang panglimanya wilayah kekuasaan masing-masing di daerah lima aliran sungai yang berhulu di Pegunungan Maratus.

Daerah lima aliran sungai tersebut akhirnya bernama sesuai gelar lima Panglima Tanjungpuri tersebut.

Panglima Alai mendapat wilayah yang bernama Batang Alai (sekarang menjadi Kabupaten HST), Panglima Tabalong mendapat wilayah yang bernama Batang Tabalong (sekarang menjadi Kabupaten Tabalong).

Panglima Balangan mendapat wilayah yang bernama Batang Balangan (sekarang menjadi Kabupaten Balangan).

Panglima Hamandit mandapat wilayah Batang Hamandit (sekarang menjadi Kabupaten HSS), sedangkan Panglima Tapin mandapat wilayah Batang Tapin (sekarang menjadi Kabupaten Tapin).

Sementara Raja Tanjungpuri sendiri akhirnya memindahkan pusat kerajaan ke daerah Kuripan (Amuntai) karena kota raja sebelumnya (Tanjung) banyak mengalami kehancuran akibat diserang Majapahit.

Lambat laun nama Tanjungpuri semakin terlupakan dan lebih dikenal dengan sebutan baru yaitu Kuripan karena wilayahnya telah terbagi bagi.

Salah satu kisah peperangan Empu Nala :

Tahun 1350, Laksamana Nala mengadakan ekspedisi ke Nansarunai dengan menyamar sebagai nahkoda kapal dagang. Di Nansarunai ia memakai nama samaran Tuan Penayar dan bertemu dengan Raja Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas, serta Ratu Dara Gangsa Tulen.

Laksaman Nala sangat kagum melihat begitu banyak barang-barang terbuat dari emas murni, ketika ia dipersilahkan untuk melihat-lihat perlengkapan pesta adat di ruangan tempat bermusyawarah. Yang sangat dikagumi oleh Laksamana Nala, ialah sokoguru balai adat yang terbuat dari emas murni juga dimana dibagian atasnya bermotif patung manusia.

Setelah kembali ke Majapahit, Laksamana Nala berpendapat, untuk menundukkan Nansarunai, harus dicari kelemahan Raja Raden Anyan yang mempunyai kharisma kuat. Pada pelayanan berikutnya, Laksamana Nala membawa serta seorang panglima perangnya yang bernama Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan Andringau, serta beberapa prajurit dari suku Kalang. Hasil pengamatan Demang Wiraja dilaporkan kepada Laksamana Nala.

Demikianlah pada awal tahun 1356, Laksamna Nala datang lagi ke Nansarunai dengan membawa serta istrinya bernama Damayanti. Sewaktu kembali ke Majapahit, sengaja Laksamana Nala membiarkankan isterinya tinggal di Nansarunai. Damayanti berwajah sangat cantik dan pribadinya menarik.

Pada tahun 1356 itu, terjadi kemarau panjang, sehingga Raja Raden Anyan secara kebetulan bertemu dengan Damayanti di sumur yang khusus diperuntukkan bagi anggota keluarga kerajaan. Pertemuan pertama berlanjut dengan kedua dan demikian seterusnya, sehingga Damayanti melahirkan seorang anak perempuan, lau diberi nama Sekar Mekar.

Pada awal tahun 1358, Laksamana Nala datang ke Nansarunai dan menemukan isterinya sedang menimang seorang anak perempuan. Damayanti yang memakai nama samaran Samoni Batu, menerangkan bahwa anak yang ada dipangkuaanya itu adalah anak anak mereka berdua. Dan Laksamana Nala percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh isterinya itu.

Ketika kembali ke Majapahit, Damayanti beserta anaknya dibawa serta,lalu tinggal dipangkalan aramada laut Majapahit di Tuban. Beberapa bulan kemudian, Laksamana Nala secara kebetulan mendengar isterinya bersenandung untuk menidurkan puterinya dimana syair-syairnya menyebutkan bahwa Sekar Mekar mempunyai ayah yang sebenarnya ialah Raja Raden Anyan.

Bulan April 1358, datanglah prajurit-prajurit Majapahit, dibawah pimpinan Laksamana Nala dan Demang Wiraja menyerang Nansarunai. Mereka membakar apa saja termasuk kapal-kapal yang ada di pelabuhan dan rumah-rumah penduduk. Serangan itu mendapat perlawanan gigih prajurit-prajurit Nansarunai walaupun mereka kurang terlatih.

Menurut cerita, Ratu Dara Gangsa Tulen bersembunyi dipelepah kelapa gading bersenjata pisau dari besi kuning, bernama Lading Lansar Kuning. Ia banyak menimbulkan korban pada pihak musuh sebelum ia sendiri gugur. Raja Raden Anyan dalam keadaan terdesak lalu disembunyikan oleh para Patih dan Uria kedalam sebuah sumur tua yang sudah tidak berair lagi. Diatas kepalanya ditutup dengan sembilan buah gong besar, kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar tidak mudah diketahui musuh.

Ketika keadaan sudah bisa dikuasai oleh pihak Majapahit, Laksamana Nala memerintahkan Demang Wiraja untuk mencari Raden Anyan hidup atau mati. Atas petunjuk prajurit-prajurit suku Kalang yang terkenal mempunyai indera yang tajam, tempat persembunyian Raja Raden Anyan akhirnya dapat ditemukan.

Raja Raden Anyan tewas kena tumbak Laksamana Nala dengan lembing bertangkai panjang. Peristiwa hancurnya Nansarunai dalam perang tahun 1358 itu, terkenal dalam sejarah lisan suku Dayak Maanyan yang mereka sebut Nansarunai Usak Jawa.

Dalam perang itu telah gugur pula seorang nahkoda kapal dagang Nansarunai yang terkenal berani mengarungi lautan luas bernama Jumulaha. Ia banyak bergaul dan bersahabat dengan pelaut-pelaut asal Bugis dan Bajau. Untuk mengenang persahabatan itu, maka puterinya yang lahir ketika ditinggalkan sedang berlayar, diberi nama berbau Bugis yaitu La Isomena.

Prajurit-prajurit Majapahit yang gugur dalam perang tahun 1358 itu, diperabukan berikut persenjattan yang mereka miliki, didekat sungai Tabalong yang dikemudian hari dikenal dengan sebutan Tambak-Wasi. Tambak arti kuburan dan Wasi artinya besi dalam bahasa Maanyan kuno. Sehingga Tambak-Wasi artinya adalah kuburan yang mengandung unsur besi.

Gugurnya Panglima Kebo Iwa Akibat Kelicikan Patih Gajah Mada


Mungkin hingga saat ini nama Gajah Mada adalah salah satunya panglima perang yang namanya paling tersohor karena kesaktiannya di jaman kerajaan Nusantara Khususnya kerajaan Majapahit. Salah satu yang paling dikenal dari sosok Gajah Mada adalah sumpahnya yang sering disebut dengan Sumpah Palapa. Selain dengan sumpah Palapanya, nama Patih Gajah Mada sangat tersohor karena konon kesaktiannya yang tiada tanding, sehingga mampu mampu memersatukan wilayah Nusantara.

Di balik ketenarannya yang hingga kini masih selalu di ingat dan menjadi sejarah besar dalam kerajaan Nusantara terutama Majapahit. Sekalipun terkenal sebagai panglima perang yang hebat, ternyata masih ada seseorang yang bisa membuat patih Gajah Mada ini berpikir ulang untuk melawannya karena memiliki kesaktian yang sama hebatnya dengan dirinya yaiutu Kebo Iwa. Kebo Iwa adalah salah satu panglima perang dari kerajaan Bali Aga yang menjadi satu-satunya kerajaan di Bali yang tidak mau tunduk kepada Majapahit untuk bersatu dalam Nusantara. Berikut adalah kisah panglima Kebo Iwa pada masanya menjadi panglima terhebat yang kesaktiannya di pertimbangkan oleh Gajah Mada.

Faktanya kerajaan di Nusantara yang tergolong makmur san mahsyur ternyata tidak hanya di duduki oleh kerajaan Majapahit saja, melainkan masih banyak sekali kerajaan yang juga makmur seperti Majapahit. Salah satunya adalah kerajaan yang berada di Bali yaitu kerajaan Bali Aga, merupakan kerajaan hindu yang berdiri pada abad 8 dan runtuh padaabad 14 karena di serang oleh Majapahit. Saat itu panglima terkenalnya adalah Kebo Iwa yang menduduki jabatan tersebut pada masa kejayaan raja yang bernama Sri Gajah Waktera (Dalem Bedaulu), bergelar Sri Ratna Bumi Banten. Menurut sejarah, kerajaan Bali Aga di pimpin oleh seorang raja yang sangat adil dan bijak sana, oleh sebab itulah mengapa Sri Ratna Bumi Banten sangat di cintai oleh rakyatnya.

Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang dikatakan sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan karena merasa diri sakti, maka keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa takut kepada siapapun, walau kepada para dewa sekalipun.Sri Gajah Waktera mempunyai sejumlah pendamping yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta juga bijaksana yakni : Mahapatih Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di Tengkulak, Patih Kebo Iwa bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai Karang Buncing, Demung I Udug Basur, Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana – Ularan berdiam di Denbukit, Ki Tunjung Tutur di Tianyar, Ki Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro. Sri Gajah Waktera menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Majapahit, sehingga menimbulkan ketegangan antara Kerajaan Bali dan Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Bali Aga mungkin tidak sebesar kerajaan Majapahit, namun meskipun tergolong dalam kereajaan kecil kerajaan Bali Aga memiliki seorang panglima yang kehebatannya setara dengan Gajah Mada sehingga menjadikan kerajaan Bali Aga sangat di segani oleh para musuhnya. Karena memiliki seorang panglima perang yang sangat kuat, itulah salah satu alasan mengapa kerajaan Bali Aga enggan tunduk di bawah naungan kerajaan Majapahit untuk menjadi satu dalam Nusantara. Alasan itulah yang pada akhirnya membuat kerajaan Bali Aga selalu berusaha di runtuhkan oleh kerajaan Majapahit yang di komandoi oleh patih Gajah Mada.

Pada masa ekspansi militer Majapahit ke arah timur Nusantara, tersebutlah sosok Panglima militer Kerajaan Bedahulu (Bali Aga) yang dengan gagah berani menghadang pasukan Gajah Mada dan pasukan Arya Damar untuk masuk ke Bali. Mereka beradu kekuatan hingga pihak Majapahit menyadari kekuatan Panglima ini tidak dapat dikalahkan hanya dengan sebuah perang tanding. Alhasil, sosok ksatria tersebut naik daun di Nusantara dan menjadi momok bagi siapa saja yang ingin berperang dengan Bali, tidak terkecuali Majapahit sendiri. Peristiwa ini terjadi sekitar pertengahan abad 13 Masehi. Panglima Perkasa dari Bali tersebut dikenal dengan nama Kebo Iwa (1324M-1343M).

Namun di dalam perang diperlukan juga strategi, tidak hanya sekedar otot dan kepalan tangan. strategi militer dan taktik merupakan bagian terpenting dalam perang. Pintar dan Cerdik adalah landasannya. Hal inilah yang dilakukan oleh Ratu Tribhuwana Tunggadewi beserta petinggi-petinggi Majapahit dalam mengatasi Kebo Iwa. Dengan penuh taktik, secara bertahap akhirnya kemenangan di genggam Wilwatika (Majapahit) sekitar tahun1343 Masehi. Mahapatih pencetus istilah "Bhineka Tunggal Ika" tersebut dapat menaklukkan Bali dan seutuhnya berada di bawah kerajaan Majapahit.

Ada hal menarik dan mengharukan yang terjadi antara Gajah Mada dan Kebo Iwa pada masa penaklukan Bali. Kisah ini sebenarnya beragam versi, namun dari rujukan beberapa sumber, kira-kira seperti ini ceritanya :
Kita ketahui bahwa Majapahit sangat kesulitan dalam menaklukkan Bali. Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Mahapatih beserta para menteri pun mengadakan rapat besar-besaran. Fokus permasalahan tersebut pada sosok terkuat di Kerajaan Bedahulu (Bali) yaitu Kebo Iwa atau dikenal Kebo Taruna atau Kebo Wandira. Rapat akhirnya memutuskan bahwa momok menakutkan dari Bali itu harus disingkirkan terlebih dahulu. Sebagai langkah awal siasat yaitu Ratu Wilwatikta mengutus Gajah Mada pergi ke Bedahulu (Bali) untuk melakukan perdamaian. Tipu muslihat tersebut berhasil dengan sepusuk surat ti tangan Majapahit, isinya tak lain adalah tanda tangan pemohonan damai dan diplomasi kenegaraan.

Sesampainya di Sukawati, Gianyar, Bali. Patih Gajah Mada dijemput oleh Ki Pasung Grigis yang sudah mengetahui perihal kedatangan Patih Gajah Mada. Pesan kepada Prabu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten (Raja Bedahulu) tersampaikan. Umbul-umbul tertancap di Tanah Bali. Hingga beberapa pekan terlewati, suasana kedua belah pihak tampak tenang, tak ada pertumpahan darah lagi. Setidaknya untuk beberapa saat. Gajah Mada dengan ambisi Sumpah Palapanya dan Kebo Iwa sebagai Ksatria yang berjanji menjaga negaranya pasti akan berbenturan. Akan ada yang menjadi arang ataupun abu.

Kisah Haru : tangis sesal sang perkasa. Suatu saat Kebo Iwa di undang ke Jawa untuk membantu mengatasi kekeringan yang melanda bumi Majapahit, karena atmosfer kedua belah pihak menurut Kebo Iwa sudah damai, Ksatria Bedahulu berangkat dengan di jemput oleh Patih Gajah Mada dan beberapa prajurit. Sesuatu luar biasa terjadi di Majapahit, saat Kebo Iwa diminta untuk menunjukkan kesaktiannya kepada rakyat Majapahit sekaligus untuk menemukan sumber mata air. Dengan sukarela panglima agung itu menggali tanah dengan tenaga dalamnya. Lubang terbentuk sangat dalam dengan waktu yang singkat. Kembali pada fokus taktik negara, Gajah Mada bersama prajuritnya serempak menimbun lubang tersebut. Mengubur Panglima Agung dan perkasa itu hidup-hidup.

Keseluruhan skenario itu berjalan dengan mulus, tetapi Mahapatih menyayangkan akan kejadian itu. Sosok perkasa Kebo Iwa/Kebo Taruna yang konon pernah mengukir batu dengan kuku tangannya di Bali harus berakhir seperti ini dan tidaklah ksatria jika pertarungan akan dimenangkan dengan cara tidak sehat namun akan lebih rendah lagi apabila wibawa dari sumpah suci yang menaungi negara sehebat Majapahit harus roboh. Tapi cerita tidak berakhir sampai disini, seketika bumi bergetar hebat dan tanah berhamburan dari timbunan lubang itu. Sosok panglima ini dengan gagahnya seperti Kresna yang mengangkat gunung ataupun Jatayu yang menantang sang surya.

Gajah Mada dan seluruh orang yang menyaksikan terkesima. Pertarungan tak terelakkan, ambisi sang penutur Sumpah Palapa benar-benar bertabrakan dengan Ksatria dari Tanah Bali tersebut. Perkelahian sengit pecah dengan waktu yang tidak singkat. Jurus demi jurus, tameng-tameng terbelah, senjata berhamburan, tidak sedikit prajurit yang gugur. Gemuruh bumi bak dihentak ratusan karbau dan gajah, namun lambat laun mata hati Kebo Iwa pun nyata melihat Sumpah Palapa dalam pertempuran itu. Nusantara memang harus bersatu.

Hatinya melayang membayangkan masa depan yang dipenuhi Sang Saka Merah Putih, dari sabang sampai merauke bersatu menumpas kaum asing. Bhineka Tunggal Ika, berkumandang di antara jabat tangan anak bangsa. Akhirnya sifat ksatria mempertanyakannya, iya mencari jalan keluar. Solusi terbaiknya saat itu adalah mengorbankan dirinya. Secara implisit Kobo Iwa menunjukkan kelemahannya pada gajah mada dengan menyiramkan kapur ke badannya. Maka seketika maksud Kebo Iwa terbaca oleh Gajah Mada dan secara bertahap Kebo Iwa dapat dikalahkan.

Kembali Gajah Mada menyesali kematian Kebo Iwa, namun kali ini harunya membuat ia berjanji akan menjaga keutuhan Bali dan Nusantara sampai akhir hayatnya. Darah yang tumpah dari kedua tokoh  besar saat pertarungan itu memang tidak mengalir begitu saja. Darah mereka mengental di seluruh Nusantara, membuat Sang Saka Merah Putih makin merah oleh darah mereka dan putih akan tulang mereka. Kematian Kebo Iwa adalah isyarat persatuan bangsa dan Kebo Iwa adalah pelicin Sumpah Palapa.

Demikian kira-kira kisah perjalanan singkat hubungan Mahapatih Gajah Mada dengan Kebo Iwa/Kebo Taruna. Kisah hubungan mereka abadi sebagai kisah yang melegenda, khususnya di wilayah Bali dan Jawa Timur. Hanya saja cerita yang berkembang di kedua wilayah tersebut agak berbeda, dalam hal ini beberapa pendapat mengatakan karena banyak sejarah yang dibelokkan saat jaman penjajahan Belanda di Indonesia, bukan lain untuk memecah belah kesatuan Bangsa Indonesia.

Makna Filsafat Dalam Tradisi Jamasan Pusaka


Setiap bulan Jawa Sura, masyarakat Jawa umumnya dan Yogyakarta, senantiasa menyelenggarakan berbagai ritual budaya yang berorientasi kebatiniah. Ada berbagai ritual yang di gelar, antara lain ritual wungon, ada kungkum di tempuran, ada yang mengadakan sarasehan dan dianjutkan dengan upacara lampah ratri mubeng kampung atau bahkan mubeng beteng kraton Yogyakarta atau mengarak kebo bule Kyai Slamet dan ada pula yang melakukan persiapan dan jamasan tosan aji seperti keris, tombak dan lain sebagainya.

Menelaah Makna Batiniah Jamasan Tosan Aji atau Siraman Tosan Aji

Sebagai dasar landasan dilaksanakannya ritual jamasan Tosan Aji adalah semangat Tri Mataram yakni Mangasah Mingising Budi, Mamasuh Malaning Bumi dan Hamemayu Hayuning Bawono. Membuat budi dan pikiran dan rasa perasaan manusia semakin tajam, menghilangkan segala keangkaramurkaan yang merupakan bencana bagi bumi serta ikut melestarikan dunia sehingga dunia bisa menjadi tempat yang nyaman bagi manusia untuk hidup yang bermartabat, tidak hanya hidup hidupan atau asal hidup.

Oleh karena itulah di dalam pelaksaan jamasan atau siraman pusaka tosan aji melalui tahap-tahap yang perlu diteliti dalam nafas batiniah karena semua aktivitas dan ritualisme Jawa umumnya sarat makna dan banyak kandungan spiritual filosofis di dalamnya. Dalam melihat jamasan tosan aji yang kita perlu mencermati adalah adanya nilai batiniah yang dikandung dalam jamasan tersebut, bukan hanya semata-mata membersihkan secara fisik benda besinya.

Mengapa jamasan tosan aji biasanya dilakukan pada bulan Suro? lantaran bulan Suro memang dikhususkan bagi segala aktivitas manusia yang  secara khusus dihunjukkan kepada orientasi keilahian. Bulan Jawa pertama bagi orang Jawa memang dipilih untuk kegiatan yang berbau keilahian dan manusia masih mempunyai sisa sebelas bulan lain yang bisa digunakan untuk beraktivitas yang berkaitan dengan kepentingan manusiawi. Untuk kepentingan inilah kalau kita lihat jamasan tosan aji mengandung makna spiritual yang mendalam sebagai sebuah penghayatan/ungkapan manusia yang ingin meluruskan jalan hidupnya yang tengah mengembara di dunia ini. Jamasan tosan aji bagi orang Jawa merupakan sebuah wahana memeriksa diri atau mawas diri dengan menggunkan sarana atau panduan keris atau tosan aji lainnya, yang dibersihkan.

Ada sedikitnya 3 tahap yang dilakukan untuk setiap jamasan dan memerlukan ubarampe jamasan, atau disebut sarana/perlengkapan jamasan dan yang mengandung makna batiniah. Umbarampe yang ada umumnya merupakan symbol atau doa dan harapan yang terwujud dalam makanan dan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan yang merupakan simbolisasi dari berbagai harapan dan doa.

Misalnya adanya ubarampe atau sarana, tumpeng punar yang merupakan harapan agar dengan jamasan manusia Jawa mampu menjadikan jiwanya punar, dalam bahasa Jawa punar jiwa sehingga semakin menjadikan dirinya berwibawa. Semakin mempunyai kewibawaan yang tinggi dan dipandang oleh masyarakat.

Di dalam sarana ada dian yang menyala, dengan harapan agar hidup manusia itu mampu menjadi pepadhang, cahaya bagi manusia lain. Urip iku urub, urub iku laras, laras iku respati, respati iku careming katentreman. Hidup adalah sebuah partisipasi membangun dunia, oleh karena itu tujuan harusnya selaras, keselarasan itu menjadikan yang melihat merasa senang karena mengena di hati dan semua itu akhirnya bermuara di dalam ketentraman dunia dan ketentraman hati.

Ada degan atau kelapa muda yang sudah diperes atau siap digunakan. Cengkir atau degan ini mengharapkan agar dalam melaksanakan sikap mawas diri dengan tekad yang kuat, kencenging pikir dan disertai dengan harapan yang indah dan baik yang dimanisfestasikan dalam gula kelapa setangkep. Berbarengan dengan itu, juga disuguhkan pisang sanggan dari jenis raja pulut yang melambangkan harapan agar manusia senantiasa dekat dan menyatu dengan alam, dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Ada pula suruh ayu atau daun sirih yang melambangkan agar manusia dalam melaksanakan jamasan tosan aji mampu menimba ilmu yang ada di dalam laku jamasan dan bisa dibumikan, atau dilaksanakan di dalam kehidupan nyata.

Adanya ingkung ayam diharapkan manusia senantiasa menekung dan bersujud di hadapan Allah Yang Maha Tinggi. Kemudian adanya jajan pasar melambangkan manusia senantiasa rukun antar sesamaya dan alamnya dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhannya yang dilandasi dengan filsafat Tumengaa ing Akasa, tumungkula ing pertiwi, sikap hormat kepada orang tua, kepada alam dan kepada Yang di Langit. Semua ini dimanifestasikan dalam ubarampe yang berupa jajan pasar yang berupa buah-buahan yang berada di dalam taanah, pala kapendhem, buah-buahan di atas tanah-pala kasimpar, dan buah-buahan yang tergantung, pala gumantung.

Di samping itu biasanya nasi yang dihidangkan dibarengi dengan berbagai macam sayur yang terpenting adalah adanya buah kacang panjang yang simbolisasinya mempunyai harapan, mumpung jantng isih jumangkah, jangkepana panjange pandonga lan punjunge panyuwunan, artinya selagi masih hidup lengkapilah dia dan harapan dengan tindakan yang nyata. Jadi doa dan harapan tidak hanya dibiarkan kosong melompong tanpa daya dan upaya yang maksimal, tetapi harus disertai sebuah usaha keras untuk mewujudkan hidup menjadi sebuah bukti kebaikan bagi sesama hidup.

Lalu yang biasanya ada adalah adanya kelekan sepasang, kelekan adalah anak ayam yang masih berbunyi kelek-kelek. Sebuah pertanda anak ayam ini mencari induknya, sebagai mana manusia yang rindu pada perindungan Tuhan lantaran ancaman bencana dan bahaya di dunia. Manusia diharapkan senantiasa mencari Tuhannya dalam aras pencarian kebatinan dalam persatuan dengan Tuhan untuk mewujudkna Manunggaling Kawula Gusti dan Gusti Lawan Kawula.

Lambang-Lambang Mengemuka Tidak Saja dalam Ubarampe atau Sarana, Tetapi Juga dalam Jamasannya Sendiri.

Misalnya dalam jamasan perlu disiapkan berbagai sarana ntuk membersihkan seperti kuas yang tidak saja satu tetapi paling tidak tiga buah. Ada pula jeruk nipis yang sudah dihilangi kulitnya atau serengnya dalam bahasa Jawa. Kemudian jeruk ini diperas dan diambil airnya. Air ini baik untuk membersihkan kerisnya atau pun untuk sarana pencampuran warangan. Ada pula kawul atau iratan atau seratan dari pohon bambu yang tahan terhadap hewan kecil-kecil atau bubuk. Ada pula air  bersih dan air bunga. Sebelum dilaksanakan jamasan umumnya dilakukan ritual doa ucapan syukur bahw masih dipercaya untuk merawat dan melestarikan hasil budaya leluhur.

Dalam ritual jamasan sendiri, ada tiga tahapan yang harus dilalui manusia yaitu :

Tahapan Pertama

Yakni memutihkn keris atau tosan aji lainnya. Di masa dulu, memutihkan keris ini dilakukan pada malam hari dengan harapan bahwa sambil melakukan pemutihan keris, juga melakukan  mawas diri apa yang sudah diperbuat selama satu tahun. Apa kelebihan dan apa kekurangan yang pantas dicatat dalam kehidupan. Dengan adanya mawas diri ini, diharapkan agar manusia semakin maju dan berkembang menjadi manusia yang lebih baik dan lebih tajam rasa perasaannya dan bersih hatinya.

Disamping mempunyai makna filosofi, juga mempunyai makna fungsional agar air jeruk yang ditorehkan di dalam bilah keris makin meresap dan membuat keris semakin baik. Karena kalau dilakukan siang hari warna keris akan menjadi hijau dan tidak selaras dengan harapan yang mencucinya.

Bisa jadi hampir tiga malah pemutihan ini dilakukan dalam upaya lebih mengenal diri dan kekurangan manusia masing-masing. Pelaksanaan pemutihan di malam hari juga diharapkan manusia semakin insyaf akan tugas luhur misinya di dunia bahwa ia hanya ditugaskan oleh Yang Empunya Hidup untuk bisa semakin menjadikan dunia semakin indah dan memberikan bukti kebaikan kepada sesama hidup.

Tahap Kedua

Perlu diingat bahwa warangan ini sejatinya adalah racun, arsenikum yang bila termakan manusia bisa meninggal. Namun anehnya kalau digunakan untuk mewarangi pusaka menjadikan pusaka indah. Ini tentu mengandung makna yang sangat dalam yang pantas dibedah.

Proses pewarangan sendiri, umumnya dilakukan di pagi hari sekitar jam sembilan pagi dengan harapan sinar ultraviolet Matahari masih banyak. Ini mengandung makna bahwa manusia perlu memohon terang Ilhi agar setelah diam mawas diri menjadi manusia yang baik dan sanggup melaksanakan segala titah Allah yang tertera dalamm berbagai kitab suci yang diturunkan. Bersamaan dengan itu, bilah keris yang sudah putih laksana kertas gerenjeng kemudian dijatuhi warangan dengan dioleskan sedikit demi sedikit. Ingat sedikit demi sedikit. Hal ini pula perlu disadari bahwa barang duniawi bagi manusia sebenarnya adalah sarana. Tetapi orang bakal terkena racun kalau terjerat dalam perburuan harta benda semata. Ini sebuah peringatan bagi manusia bahwa harta duniawi sebenarnya hanyalah sarana kehidupan untuk lebih memartabatkan manusia dan bukannya menjadi tujuan utama.

Kalau harta benda duniawi menjadi tujuan utama, bisa jadi manusia jatuh ke dalam jerat semu yang masuk dalam keracunan yang tidak mungkin selamat di akhirat. Kelebihan warangan berefek merusak bagi keris atau tombak sehingga hanya muncul hitam saja. oleh karena itulah perlu keselarasan dalam memberikan warangan ini sehingga benar-benar muncul pamor yang  indah yang juga diharapkan menjadikan manusianya semakin berwibawa setelah melakukan mawas diri dengan berbagai laku kehidupan seperti yang diterakan dalam berbagai laku keutamaan.

Tahap Ketiga

Tahapan mengolesi tosan aji dengan minyak wangi seperti cendana, mawar, melati dan seterusnya. Hal ini mengandung makna bahwa hidup manusia setelah melalui rangkaian dua tahapan kehidupan mawas diri dan melakukan koreksi dirinya untuk menebarkan keharuman nama. Niyat ingsung nyebar ganda arum, tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama.

Bahwa manusia harusnya kembali membulatkan tekad dirinya untuk memberikan amal bukti baik kepada masyarakat, sesama dan lingkungannya berlandaskan tekad hati yang senantiasa baik, tak pernah menyakiti dan tidak pernah mempunyai sikap mencurigai dan ramah serta bersahabat kepada siapa saja, diteruskan dengan mengajak siapa saja untuk melakukan hal-hal yang baik, berkata yang jujur dan adil serta mengajak di jalan Allah.

Semua sikap dan laku itu kemudian ditambah dengan laku keutamaan. Bahwa manusia hidup itu perlu didukung dengan bukti nyata laku keutamaan dan membuktikan amal bukti kebaikan. Kalau manusia Jawa mampu mengedepankan itu semua maka urusannya menjadi lebih mudah.

Itulah makna memberikan wewangian bagi tosan aji dan bukannya untuk melestarikan pemahaman yang salah bagi setan dan sebagainya. Sekali lagi langkah kebatinan dan spiritualitas Jawa itu biasanya dimasukkan dalam berbagai lambang di dalam kehidupan orang Jawa dari pakaian, makanan, bangunan, senjata dan lain sebagainya, sehingga manusia Jawa perlu cermat dalam melihat hal ini dan yang penting lagi bahwa Jawa di sini bukan berarti etnik Jaa saja, tetapi Jawa dalam arti yang lebih luas yakni Javana, yakni hidup secara arif dan bijaksana, sehingga siapapun bisa menjadi Jawa.

Tangguh Keris Dari Masa Ke Masa


Ilmu tangguh adalah pengetahuan (kawruh) untuk memperkirakan jaman pembuatan keris, dengan cara meneliti ciri khas atau gaya pada rancang bangun keris, jenis besi keris dan pamornya.

Tangguh

Tangguh arti harfiahnya adalah perkiraan atau taksiran. Dalam dunia perkerisan maksudnya adalah perkiraan zaman pembuatan bilah keris, perkiraan tempat pembuatan, atau gaya pembuatannya. Karena hanya merupakan perkiraan, me-nangguh keris bisa saja salah atau keliru. Kalau sebilah keris disebut tangguh Blambangan, padahal sebenarnya tangguh Majapahit, orang akan memaklumi kekeliruan tersebut, karena bentuk keris dari kedua tangguh itu memang mirip. Tetapi jika sebuah keris buatan baru di-tangguh keris Jenggala, maka jelas ia bukan seorang ahli tangguh yang baik.

Walaupun sebuah perkiraan, tidak sembarang orang bisa menentukan tangguh keris. Untuk itu ia perlu belajar dari seorang ahli tangguh, dan mengamati secara cermat ribuan bilah keris. Ia juga harus memiliki photographic memory yang kuat.

Dalam catatan kuno, dituliskan ciri-ciri secara tertulis. Notasi itu meyakini akan adanya sebuah gaya atau langgam dari setiap kerajaan. Artinya pada jaman Majapahit diyakini kerisnya memiliki beberapa ciri gaya atau langgam yang seragam. Begitu pula jaman kerajaan Mataram dan seterusnya jaman kerajaan Surakarta Hadiningrat diyakini memiliki gayanya masing-masing.

Keyakinan terhadap bahan besi dan pamor juga menjadi panduan dalam ilmu tangguh ini.

Adapun pembagian tahapan-tahapan zaman itu adalah sebagai berikut:
1. Kuno
(Budho) tahun 125 M – 1125 M
meliputi kerajaan-kerajaan: Purwacarita, Medang Siwanda, Medang Kamulan, Tulisan, Gilingwesi, Mamenang, Pengging Witaradya, Kahuripan dan Kediri.

2. Madyo Kuno
(Kuno Pertengahan) tahun 1126 M – 1250 M.
Meliputi kerajaan-kerajaan : Jenggala, Singosari, Pajajaran dan Cirebon.

3. Sepuh Tengah
(Tua Pertengahan) tahun 1251 M – 1459 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Jenggala, Kediri, Tuban, Madura, Majapahit dan Blambangan.

4. Tengahan
(Pertengahan) tahun 1460 M – 1613 M
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Demak, Pajang, Madiun, dan Mataram

5. Nom
(Muda) tahun 1614 M – 1945
Meliputi Kerajaan-kerajaan : Kartasura dan Surakarta.

6. Kamardikan 1945 hingga seterusnya.
Adalah keris yang diciptakan setelah Indonesia merdeka, 1945.

Pada waktu itu pun raja di Surakarta Hadiningrat ke XII mendapat julukan Sinuhun Hamardika. Keris yang diciptakan pada era ini masuk dalam penggolongan keris kamardikan.

Tangguh merupakan seni yang digandrungi oleh komunitas pecinta keris, karena disini terletak suatu seni dalam nilai kemampuan; semacam uji kemampuan dari sesama penggemar keris. Tangguh juga menjadi sebuah nilai pada harga sebilah keris … sesuai trend yang ada dari masa ke masa.

Tangguh dalam kamus bahasa Jawa (S. Prawiroatmodjo) diartikan sebagai ’boleh dipercaya’, ’tenggang’, ’waktu yang baik’, ’sangka’, ’persangkaan’, ’gaya’, ’lembaga’, ’macam’ (keris).

Namun demikian, tuntutan modernitas dan keinginan yang kritis (sisi ilmiah) masa kini, tangguh dituntut menjadi pasti (exact), artinya ilmu tangguh akan bergeser menyesuaikan jaman untuk dapat melengkapi salah satu kriteria dalam melakukan sertifikasi sebilah keris. Tuntutan ini adalah hal yang realistik karena generasi muda tak lagi menyanjung ’sesepuh’ yang belum tentu memiliki wawasan yang benar. Penyanjungan sesepuh adalah ciri etnografis dari budaya paternalistik dalam sub kultur Jawa (Nusantara). Namun demikian ’ilmu tangguh’ harus tetap dipertahankan keberadaannya, kepercayaan pada sesepuh akan bergeser pada sertifikasi suatu badan bahkan mungkin institusional berskala nasional.

Dalam sisi pandang yang kritikal pada abad modern ini, tangguh menjadi sebuah rangsangan baru untuk meneliti secara lebih pasti, betul dan tepat (exact) menentukan sebilah tangguh keris. Maka tingkat pengetahuan yang tertuang pada masa dulu melalui catatan, buku dan naskah kuno menjadi sebuah catatan yang masih kurang memenuhi hasrat keingin-tahuan perkerisan pada saat sekarang. Catatan atau buku kuno tidak melampirkan contoh sketsa atau foto apa yang dimaksudkan pada uraiannya. Tulisan kuno tentang tangguh juga belum bisa menjamin si penulis adalah orang mengetahui keris, bisa jadi penulis adalah seorang pujangga yang menulis secara puitis, karena waktu itu memang tidak memiliki target bahwa tulisannya akan menjadi sebuah kawruh yang meningkat menjadi ilmu seni menangguh.

Ilmu tangguh sering menjadi sebuah polemik, karena terkendala oleh banyak hal, antara lain; kendala wawasan, kendala tempat (domisili atau keberadaan), kendala oleh narasumber yang sebetulnya berskala lokal, kendala oleh karena minat atau selera pada jenis keris dan banyak sekali hal-hal yang memancing perdebatan.

Salah satu cara untuk membangun sebuah ”ilmu tangguh” yang representatif tentu harus melakukan pendataan dan penelitian ulang, salah satunya adalah dengan meneliti penyesuaian antara keris penemuan (artefak) dengan situsnya (geografis); meneliti dan mengkaji ulang catatan kuno dan memperbandingkannya satu buku dengan buku yang lain. Saat ini pun di perpustakaan keraton masih banyak sumber yang dapat menjadi referensi, baik buku-buku bahkan contoh keris berserta kekancingannya.

Dibawah ini diberikan ciri-ciri beberapa tangguh yang diambil dari beberapa sumber. Untuk dapat menentukan tangguh yang bersangkutan harus belajar dari mereka yang  tahu, membaca buku keris dan juga banyak melihat keris, itu pun hasilnya terkadang tidak memuaskan :

1. Tangguh Segaluh

Mempunyai pasikutan kaku tetapi luruh. Besinya berkesan kering, warnanya hitam pucat kehijauan. Pamornya kelem. Panjang bilahnya bermacam-macam ada yang panjang, ada pula yang pendek. Gandiknya maju ke depan, sehingga ganjanya selalu panjang.

2. Tangguh Jenggala

Pasikutannya (tampilan) : luwes, birawa. Ukuran panjang bilahnya agak berlebihan dibandingkan tangguh lainnya, demikian juga lebar bilahnya, terutama di bagian sor-soran. Luknya luwes merata. Sirah cecak pada bagian ganja bentuknya lonjong memanjang. Ganjanya pendek tapi tinggi, wadidangnya tegak, ada-ada seperti punggung sapi, Sogokan tanpa pamor. Besi : Padat, halus dan kehitaman Pamor : mrambut, panjang-panjang, seperti rambut putih, Lumer pandes, tapi ada juga yang mubyar

3. Tangguh Singosari

Pasikutannya : Kaku dan wingit. Gandiknya berukuran sedang, agak miring. Sirah cecak pada ganja bentuknya lonjong memanjang. Ukuran Panjang bilahnya sedang, ujungnya tak begitu runcing. Besi : abu-abu kehitaman, nyabak (bagai batu tulis). Pamor : menancapnya pamor pada permukaan bilah lumer dan pandes, Penampilan pamor biasanya lembut dan suram (kelem).

4. Tangguh Pajajaran

Pasikutan : Agak “Kaku” dan kasar. Bilahnya agak “panjang” dibandingkan keris tangguh lainnya. ada kesan ramping. Gandik panjang dan terkadang miring. Sirah cecaknya lonjong  memanjang. Ganja ambatok mengkurep. Blumbangan atau pejetan lebar, sogokan agak dalam dan pendek. Kadang luknya kemba (dangkal). Besi : Cenderung kering, keputih-putihan
Pamor : Biasanya pamor tiban, kesan Pamor cenderung ngegajih (berlemak)

5. Tangguh Pengging

Pasikutan : sedang, ramping, garapannya rapi. Jika keris luk, luknya rengol sekali. (Rengkol = dalam). Gulu melednya panjang. Besi : berwarna hitam dan terkesan basah. Pamor : Bersahaja (sederhana), lumer pandes.

6. Tangguh Blambangan

Pasikutannya : demes (Rapi mengesankan, enak dipandang). Kesan besi : keputih-putihan, padat, berkesan basah, diraba keras. Pamor : Gajih, tapi ada juga yang merambut.

7. Tangguh Sedayu

Pasikutan : agak enak dipandang (dhemes sakedhik). Ganja : sebit lontar. Agak panjang. Gandhik : pendek miring. Sogokan : pendek serasi. Yang Luk : rapat nurut (keker nurut). Sosok bilah sedang sampai panjang. Besi : kurang bercahaya (kirang guwaya). Rabaan : licin (lumer). Baja : sedang. Pamor : kurang, namun keluarnya menyala putih merambut (mubyar pethak angrambut). Menetapnya pamor : mengambang.

8. Tangguh Tuban

Ganja berbentuk tinggi – berbulu, sirah cecak tumpul, potongan bilah cembung dan lebar. Kesan Besi : Kesannya kering, kadar bajanya banyak
Pamor : Menyebar, kesan gajih / berlemak

Keris tangguh Tuban mungkin satu-satunya keris tangguh tua yang masih mudah dijumpai sekarang ini. Tidak seperti tangguh sepuh lainnya, seperti Majapahit, Pajajaran, Kediri, Singosari, Sedayu dan lain-lain yang sangat sulit  untuk di jumpai apalagi didapatkan (ada tapi jarang-jarang). Keris tangguh Tuban memiliki masa perkiraan pembuatan keris sama dengan era Majapahit akhir dan memiliki ciri-ciri khas yang membedakannya dari keris-keris tangguh lainnya.
Ciri-ciri keris tangguh Tuban antara lain :

Pada umumnya keris Tuban dibuat dengan dhapur lurus atau tanpa luk/lekukan dan kebanyakan dhapur "Tilam Upih" dan kadang-kadang "Kebo Lajer" atau dhapur keris lurus lainnya, kecuali untuk dhapur tombak yang malah kebanyakan dijumpai dengan dhapur berluk 7, 9 dan 11.

Keistimewaan keris Tuban yang tidak terdapat pada keris tangguh lainnya adalah bentuk bilahnya yang tipis/pipih dan tempaan yang matang, sehingga Keris Tuban pada umumnya memiliki bobot yang ringan dan jika ditanting/disentil jari, suaranya lebih berdenting yang menandakan matangnya tempaan. Selain tipis, keris Tuban pada umumnya juga memiliki bilah yang lebih besar dibanndingkan dengan tangguh lainnya.

Pamor dari keris Tuban memiliki istilah "Ndeling", yaitu warna besi terdiri dari tiga warna yaitu hitam, putih keruh dan putih mengkilat. Tidak seperti pamor keris pada umumnya yang hanya terdiri dari warna hitam dan putih keruh.
Pamor keris Tuban yang paling indah yaitu pamor "Melati", baik Tumpuk atau pun Rinonce, jika pamor tidak sempurna makan jadi pamor "Banyu (toya) mambeg" atau "Wos Wutah" yang tidak kalah indahnya walaupun tidak sekelas dengan pamor Melati.

9. Tangguh Sendang

Kesan besi : Hitam, padat , dengan kesan basah. Pamor : Kurang padat seolah mengambang

10. Tangguh Demak

Kesan besi : Hitam kebiruan. Kesannya basah. Pamor : mengambang, kurang mantap

11. Tangguh Pajang

Pasikutan : kendor (odhol). Ganja : sengoh sebit lontar condong ke panjang. Gandhik : panjang miring. Sogokan : panjang. Yang Luk : luk-lukan rapat gagah (keker berawa). Besi : hitam (gangsing). Baja : sedang, kurang matang Pamor : tidak direncanakan, namun keluarnya menyala putih (pethak mubyar), keluarnya sekendaknya.

12. Tangguh Umyang : Tangguh Supo Pajang Kyai Kedhe

Ganja : lancip panjang. Gandhik : pendek. Kembang kacang : sedang. Tikel alis, pejetan dalam. Luk : rapat , mengarah ke kiri (kedhe). Bilah : tebal. Sosok bilah : panjang. Besi : halus dan kering, halus. Pamor : kasar dan beberapa menyala seperti perak. Buatannya halus dan bersih. Keris buatan Empu Umyang ini sangat bagus dimiliki pengusaha yang berkecimpug dalam menggandakan uang.

13. Tangguh Kudus

Ganja : rata. Galu meled, sirah cecak : kecil dan pendek lancip. Buntuturang rata. Pamor kurang sempurna, hanya samar-samar. Kebanyakan keris Kudus kurang panjang, lebih pendek dari keris Surakarta.

14. Tangguh Bali

Ukuran bilah besar dan panjang, lebih besar dari ukuran keris jawa, Kesan Besi : besi berkilau. Pamor : besar halus dan berkilau.

15. Tangguh Madura Tua

Kesan besi : Besi kasar dan berat, sekar kacang tumpul. Pamor : besar-besar/agal / pamor mengkilap

16. Tangguh Mataram

Bentuk ganja seperti cecak menangkap mangsa, sogokan berpamor penuh, sekar kacang seperti gelung wayang, pamor tampak kokoh, dan atas puyuan timbul/menyembul (ujung sogokan). Kesan Besi : kebiru-biruan dengan kesan kering. Pamor : garapannya halus & putih jelas

17. Tangguh Kartosura

Besi agak kasar, bila ditimang agak berat, bilah lebih gemuk, ganja berkepala cicak yang meruncing. Kesan besi : keputih-putihan, bajanya kurang
Pamor : Jelas putih tapi terlihat seperti mengambang

18. Tangguh Surakarta

Bilah seperti daun singkong, puyuan meruncing, gulu meled pada ganja pendek, odo-odo dan bagian lainnya tampak manis dan luwes. Kesan besi : halus. Pamor : Menyebar penuh

19. Tangguh Yogyakarta

Ganja menggantung, Kesan besi : halus dan berat. Pamor : menyebar penuh keseluruh bagian bilah.

20. Tangguh Koripan

Pasikutan : hambar. Besi : gangsing (hitam legam). Pamor : sanak dan samar-samar adeg.

21. Tangguh Mataran Senopaten

Pasikutan : tangkas (parigel), galak tetapi tampan. Besi : agak kebiruan. Menetapnya pamor : tandas seperti kawat kencang. Ganja : sebit lontar. Ganja keris Mataran Senopaten banyak yang wulung artinya bahan besinya bukan dari bahan bilah.

22. Tangguh Mataram Sultan Agung

Pasikutan : dhemes bagus (tampan, enak dipandang). Besi : agak mentah. Pamor : mubyar putih menyala. Baja : kurang.

23. Tangguh Kuwung dan Tapan

Keris-keris buatan Empu Kuwung dan Empu Tapan yang hidup sejaman dengan jaman keraton Pajajaran. Gaya garapan dan pasikutannya juga mirip dengan Tangguh Pajajaran.

24. Tangguh Sukuh

Sejaman dengan jaman keraton Majapahit. Gaya garapan dan pasikutannya mirip dengan Tangguh Majapahit.

25. Tangguh Tuban Taruwangsa, Pekajoran,, Semarang di Tembayat.

Sejaman dengan jaman keraton Demak. Gaya dan pasikutannya mirip dengan buatan Demak, Tuban dan Majapahit.

26. Tangguh Sastrotoya (Setrotoya), Sastrolatu (Setrolatu), Supokaripan.

Sejaman dengan jaman Keraton Mataram.  Gaya dan pasikutannya mirip dengan buatan Mataram. Gaya dan pasikutannya mirip dengan buatan Mataram. Keris-keris buatannya bertuah untuk menolak banjir (toya) dan api (latu). Kebanyakan berpamor adeg sapu, meski tidak selalu. Keris-keris karya empu ini biasanya untuk menolak api atau mencagah bahaya air/hujan badai.

27. Tangguh Surakarta

Semasa  pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono IV hingga IX, banyak dibuat keris, tombak dan pedang bermutu tinggi. Diantara empu keris yang terkenal adalah Empu Supo Brojoguno, Empu Supojogokariyo, Empu Supobrojokariyo, Empu Supobrojoguno, E. Supobrojojoyo dan E. Suposingowijoyo. Keris-keris buatannya umumnya panjang dan tebal. Pamornya : pamor Prambanan, indah garapannya dengan sentuhan seni yang tinggi mutunya.

28. Tangguh Ngayogyokarto Hadiningrat

Menurut penilaian  GBPH Yudoningrat, masing-masing jaman pemerintahan raja, keris buatannya (Yasan) mempunyai ciri tersendiri. Yasan Sri Sultan HB I bersifat weweg (tegap) sembodo, bilah berawa (besar). Yasan Sri Sultan HB V (Riyokusuman) relatif lebih pendek, mirip karya Majapahit. Yasan Sri Sultan HB VI dan VII, bilah relatif besar dan tebal. Yasan Sri Sultan HB VIII, besar tetapi kurang panjang (ageng kirang dedeg). Yasan Sri Sultan HB IX, pasikutan wingit, sederhana. Yang dimaksudkan yasan adalah karya empu kolektif abdidalem raja.

Yang jelas, Tangguh Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan campuran Tangguh Majapahit dan Mataram. Sosok bilah sedang tidak terlalu panjang tetapi juga tidak terlalu pendek. Bilahnya tidak ngadhal meteng (besar ditengah) atau kempot (kecil di tengah). Pasikutannya wingit.

29. Tangguh Kadewan

Keris dibuat tanpa api. Empunya : Empu Ramadi, dan Empu Onggojail. Bilah : tebal, sosok bilah tebal nglimpa, besi halus/licin pamornya hanya sedikit.

30. Tangguh Purwocarito

Bilah umumnya pendek tebal, lebar, besi halus. Ganja mbathok mengkurep, pendek tapi gemuk.

31. Tangguh Sigaluh (Segaluh)

Pasikutan : kaku hampir sama dengan Tangguh Pajajaran, Majapahit. Besi : ngrekes dan berserat, terkesan mentah. Baja : keras, Tegaknya Bilah : tegak sampai sedikit agak condong ke kiri. Ghandik : menonjol. Ganja : bathok mengkurep sampai rata. Sosok bilah : tipis dan kering. Keris Sigaluh sangat menyolok bagian sor-sorannya yang menyerupai kursi terbalik, bagian depan menonjol, ganja menonjol ke depan.

32. Tangguh Bugis
Pasikutan : kaku dan galak. Besi : agak mentah, berat jika ditanting. Rabaan : sangat kasar, tapi ada beberapa yang halus. Pamor : agal (kasar) dan berlemak, ada beberapa mubyar nyalaka. Sepuhan besi : sangat matang. Tanda : khas pesi relatif  lebih pendek dari pada keris sejenisnya dari Jawa. Tegaknya bilah sedikit membungkuk.

33. Tangguh Lombok dan Kupang

Pasikutan : Kaku dan galak, Besi : berat, jika ditanting terasa berat. Rabaan : nggrasak, wasuhan kurang matang. Pamor : putih berserat-serat. Kembang kacang : sering dilengkapi dengan jenggot. Begitu juga bilahnya terkadang diberi hiasan pundhak setegal.

34. Tangguh Empu Ni-Mbok Sobro (termasuk Tangguh Tuban)

Yang banyak di masyarakat keris Sombro ini tidak memiliki ricikan apa-apa. Besi : halus, licin, kering. Bilah : lebar dan tipis. Pesi : pipih dan dipilin (diuntir), ujungnya berlubang seperti lubang jarum. Pada permukaan bilahnya terdapat pijitan bekas ibu jari, belekuk-lekuk, jumlahnya bisa 3-5. konon keris Sombro dibuat tanpa api. Ganja : iras kecil. Sirah cecak : bulat, buntut urang : rata. Pamor : jika ada sangat halus. Tegaknya bilah : kurang serasi. Keris Sombro banyak digunakan untuk meredam keris panas, ukurannya kecil saja, disebut juga keris Tindhih.

35. Tangguh Guling Mataram (Guling adalah Empu Jaman Mataram)

Pasikutan : wingit. Ganja : lancip, sebit lontar. Luk-lukan : rapat nurut. Kembang kacang : membulat. Pejetan, tikel alis : lebar dan dalam, serasi. Pamor ; halus, mubyar menyala seperti perak. Ada-ada : ditengah seperti Punggung Sapi. Pesi : seperti diuntir (dipilin). Yang benyak beredar : Luk 11 dan 13.

36. Tangguh Bagelen

Ganja : mbathok mengkurep. Gandhik : lebar tapi pendek. Bilah : besar dan nglimpa. Pamor : mubyar nyalaka. Sepintas keris Begelen menitu Tangguh Mataram.

Ada beberapa tangguh keris diantaranya :

1. Tangguh Segaluh (Abad 12)
2. Tangguh Pajajaran (Abad 12)
3. Tangguh Kahuripan (Abad 12)
4. Tangguh Jenggala (Abad 13)
5. Tangguh Singasari (Abad 13)
6. Tangguh Majapahit (1294-1474)
7. Tangguh Madura (1294-1474, Era Invansi Kerajaan Majapahit)
8. Tangguh Blambangan (1294-1474, Era Invansi Kerajaan Majapahit)
9. Tangguh Sedayu (1294-1474, Era Invansi Kerajaan Majapahit)
10. Tangguh Tuban (1294-1474, Era Invansi Kerajaan Majapahit)
11. Tangguh Sendang (1294-1474, Era Invansi Kerajaan Majapahit)
12. Tangguh Pengging (1475-1479)
13. Tangguh Demak (1480-1550)
14. Tangguh Pajang (1551-1582)
15. Tangguh Madiun (Abad 16)
16. Tangguh Koripan (Abad 16)

17. Tangguh Mataram (1582-1749)
a) Panembahan Senapati – Sutawijaya (1582-1601)
b) Panembahan Seda Krapyak – Mas Jolang (1601-1613)
c) Sultan Agung – R.M. Rangsang (1613-1645)
d) Amangkurat I – Seda Tegal Arum (1645-1677)
e) Amangkurat II (1677-1703)
f) Amangkurat III – Sunan Mas (1703-1705)
g) Paku Buwono I – Sunan Puger (1705-1719)
h) Amangkurat IV – Sunan Prabu (1719-1725)
i) Paku Buwono II (1725-1749)

18. Tangguh Cirebon (Abad 16)

19. Tangguh Surakarta (1749-sekarang)
a) Paku Buwono III (1749-1788)
b) Paku Buwono IV (1788-1820)
c) Paku Buwono V (1820-1823)
d) Paku Buwono VI (1823-1830)
e) Paku Buwono VII (1830-1858)
f) Paku Buwono VIII (1858-1861)
g) Paku Buwono IX (1861-1893)
h) Paku Buwono X (1893-1939)
i) Paku Buwono XI (1839-1944)
j) Paku Buwono XII (1944-sekarang)

20. Tangguh Yogyakarta (1755-sekarang)
a) Hamengku Buwono I – P. Mangkubmi (1755-1792)
b) Hamengku Buwono II – Sultan Sepuh (1792-1810)
c) Hamengku Buwono III (1810-1814)
d) Hamengku Buwono IV (1814-1822)
e) Hamengku Buwono V (1822-1855)
f) Hamengku Buwono VI (1855-1877)
g) Hamengku Buwono VII (1877-1921)
h) Hamengku Buwono VIII (1921-1939)
i) Hamengku Buwono IX (1939-1990)
j) Hamengku Buwono X (1990-sekarang)

Ada lagi sebuah periode keris yang amat mudah di-tangguh, yakni tangguh Buda. Keris Buda mudah dikenali karena bilahnya selalu pendek, lebar, tebal, dan berat. Yang sulit membedakannya adalah antara yang asli dan yang palsu. Hanya penggemar tosan aji yang serius saja yang bisa membedakannya. Memang perlu jam terbang yang tinggi. Setiap orang pasti bisa.

Keris Buda dan tangguh kabudan, walaupun di kenal masyarakat secara luas, tidak dimasukan dalam buku buku yang memuat soal tangguh. Mungkin, karena dapur keris yang di anggap masuk dalam tangguh Kabudan dan hanya sedikit, hanya dua macam bentuk, yakni jalak buda dan betok buda.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...