Senin, 01 November 2021

Sejarah Kehidupan Sayyid 'Alwi Bin Achmad Basyaiban


Bermula dari kegagalan Daendels dan pasukan gabungan Belanda-Perancisnya mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, maka pada 1811 jatuhlah pulau Jawa kedalam kekuasaan cengkraman Inggris. Pembaguan Jalan Raya Pos dan pabrik – pabrik senjata di Jawa ternyata tidak mampu membendung ekspedisi laut terbesar sepanjang sejarah, setidaknya sampai pecah perang dunia II. Melalui penandatanganan Rekapitulasi Tuntang, maka berakhir sudah pemerintahan Belanda-Perancis di bawah pimpinan adik Napoleon Bonaparte atas Jawa. Sejak saat itulah, Sir Thomas Stamford Raffles bertugas sebagai Gubernur Jendral atas Hinda Belanda.

Setahun setelah Inggris berkuasa atas Tanah Jawa, Kesultanan Yogyakarta dibantu Kasunanan Surakarta melakukan pemberontakan kepada pemerintah Inggris. Pemberontakan ini di jawab Raffles dengan sebuah penyerbuan besar – besaran yang dikenal dengan “Geger Sepoy”. Peperangan ini mengakibatkan luluh lantaknya Kraton Yogyakarta dan dijarahnya harta benda Keraton. Tidak hanya itu, kekalahan Kesultanan Yogyakarta juga berakibat pada diserahkannya beberapa wilayah Kesultanan ke tangan Inggris. Pada 1 Agusuts 1812, Dataran Kedu yang mana Magelang termasuk di dalamnya berpindah tangan kepada pemerintahan Raffles. Penyerahan Dataran Kedu ini menjadi awal mula perubahan pola struktur pemerintahan Tanah Jawa, khususnya Magelang yang dulunya bercorak feodalistik menjadi tataran pemerintahan kolonial.

Raden Mas Ngabehi Danoekromo : Bupati Pertama Magelang

Membicarakan Eyang Seda Perang (demikian ia dipanggil oleh anak keturunan RT Danuningrat 1) tidak akan pernah lepas dari sejarah orang Arab di Nusantara, sejarah pendudukan Inggris, dan secuil cerita perang Diponegoro. Bupati Magelang pertama ini memang masih keturunan Arab, muncul saat pendudukan Inggris, dan tewas saat perang Diponegoro. Meski sudah tidak murni berdarah Arab, kasus nikah campur keluarga Danuningrat dan Raden Saleh menurut Snouck Hurgronye tidak akan terjadi lagi. Untuk lebih lengkapnya marilah kita ulas satu demi satu.

Melihat posisi Magelang yang sangat strategis ditengah – tengah pulau Jawa, maka Raffles menjadikan Magelang sebagai pusat pemerintahan Karesidenan Kedu. Ia menunjuk seorang resident bernama John Crawfurd untuk membenahi administrasi pemerintahan local di Karesidenan ini. Dalam tugas interennya, Crawfurd membutuhkan seorang pribumi untuk membantunya berurusan dengan pemerintahan lokal lain dan kepada rakyat setempat. Maka diambilah seorang mantan asisten Patih Danurejo III dari Yogyakarta bernama Danoekromo sebagai Bupati Pertama Magelang. Pada tanggal  30 November 1813 resmi sudah Danoekromo yang bernama asli Alwi Bin Said Abdar Rahim Bach Caiban (Basyaiban) menyandang gelar Raden Mas Ngabehi Danoekromo.

Danuningrat I mempunyai nama Jawa Danukromo. Sebagai keturunan Arab, ia mempunyai nama kecil Alwi dengan nama keluarga (marga) Basyaiban. Basyaiban merupakan salah satu marga keturunan nabi Muhammad dan merupakan kabilah yang pertama kali bermigrasi. Kabilah Hadramaut ini menuju Hijaz, kemudian Ahmadebad India, dan kemudian ke Cirebon.

Abdurrahman sang moyang setelah menginjakkan kaki di Cirebon berhasil memperistri Syarifah Khadijah putri Kesultanan Cirebon yang masih keturunan Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) dan konon masih keturunan nabi Muhammad pula. Dari pasangan ini lahirlah tiga putra yaitu Sulaiman, Abdurrahim dan Abdul Karim. Seperti keluarga Arab pada masanya, mereka aktif menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa dan membuat khawatir VOC. Salah satu putra mereka yaitu Sulaiman kemudian tinggal di Krapyak Pekalongan dan mempunyai 4 putra yaitu Hasan, Abdul Wahhab, Muhammad Baqir dan Ali Akbar. Sulaiman kemudian berdakwah lagi menuju Solo. Di Solo ia dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna dengan nama Sayid Sulaiman. Kesaktiannya membuat takjub Raja Mataram dan menginginkannya bergabung dengan pihak kerajaan. Sulaiman enggan dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya untuk berguru di Pesantren Sunan Ampel. Utusan Raja Mataram berhasil mengetahui keberadaannya dan memintanya datang ke Solo. Singkat cerita, ia kemudian berangkat ke Solo namun berdoa bahwa apabila perjalanan itu membawa keburukan lebih baik ia mati saja. Ternyata ia kemudian sakit di perjalanan dan meninggal di Mojoagung. Ia dikenal sebagai Sayid Sulaiman Mojoagung atau Pangeran Kanigoro atau mbah Sulaiman.

Anaknya yaitu Abdul Wahab kemudian mempunyai anak Muhammad Said. Muhammad Said mempunyai anak bernama Ki Mas Ahmad, seorang guru ngaji di keraton Yogyakarta. Ki Mas Ahmad ini mempersunting anak patih keraton Yogyakarta (1755-1799) yang pernah menjadi Bupati Banyumas tahun 1749-1755, yaitu Danurejo I. Ki Mas Ahmad di kemudian hari mengundurkan diri dan menetap di Krapyak. Dari pernikahannya lahirlah 3 anak yaitu Hasyim, Abdullah, dan Alwi. Hasyim adalah Wongsorejo (RT Wongsodirjo I). Abdullah adalah panglima pasukan berkuda bergelar Tumenggung Alap-alap di Madiun yang menikahi putri HB II GKR Kartodipuro. Alwi adalah Danoekromo sang bupati Magelang.

Dengan demikian, dari segi silsilah Alwi ini saya berikan khusus satu paragraf. Nama lengkap beliau adalah Sayyid Alwi bin Ahmad bin Muhammad Said bin Abdul Wahab bin Sulaiman Mojoagung /Pangeran Kanigoro bin Abdurrohman Tadjuddin Muhyuddin bin Muhammad bin Umar bin 'Abdullah bin Umar bin Muhammad Asy-Syaibah bin Ahmad Basyeiban Ba'Alawi bin Abu Bakar Basyaiban bin Muhammad Assadillah bin Hasan At-thurobi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih Muqoddam bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbad bin Ali Khola Ghosam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi Alawiyyin bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Nagieb bin Ali Uroidhi bin Ja'far Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyid Husein bin Fatimah Az-Zahra binti MUHAMMAD SAW.

Danukromo muda sebagai cucu Danurejo I berhasil mendapatkan jabatan di Kantor Kepatihan Yogyakarta. Di situ ia bekerja selama 4 tahun sebagai Asisten Pertama Danurejo II (1799-1811). Pada tahun 1810, ia menjadi Demang Bojong di Kedu dengan tanah lungguh sebanyak 100 cacah. Pada November 1811 setelah Danurejo II terbunuh, ia kembali ke Jogja melayani Danurejo III yang baru menjabat hingga geger sepei. Saat keraton Jogja jatuh ke tangan Inggris dan Raffles memberlakukan landrent di wilayah Kedu pada 10 September 1812, maka Crawfurd sang residen membutuhkan orang yang cakap dari Jogja sehingga mempekerjakan Danoekromo sebagai asisten hingga Desember 1813 saat ia diangkat menjadi Bupati Magelang.

Danoekromo diangkat menjadi Bupati Magelang pertama sesuai Magelang Vooruit 1935 yaitu : "...menoeroet beslit Goebernemen pada 30 Nopember 1813 Mas Angabei Danoekromo ditetapkan dalam djabatannja oleh Pemerintah Belanda bergelar Raden Toemenggoeng Danoeningrat."

Bagi Magelang, Mas Ngabehi Danoekromo sangat berjasa bagi cikal bakal perkembangan Magelang. Pada awal – awal pemerintahannya, ia membangun infrastruktur utama pendirian sebuah pusat pemerintahan baru. Layaknya kabupaten – kabupaten lain di Jawa, keberadaan aloon – aloon, masjid dan rumah Bupati adalah satu paket komponen penting yang mutlak harus ada dalam sebuah pusat pemerintahan. Dalam penentuan lokasi pusat pemerintahan barunya ini, Danoeningrat tentunya tidak main – main. Konon untuk menentukan lokasi aloon – aloon, Mas Ngabehi Danoekromno harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada gurunya. Menurut petunjuk sang guru, sebuah tanah lapang diantara Desa Gelangan dan Desa Meteseh adalah lokasi yang paling tepat sebagai pusat pemerintahan Bupati Magelang. Selain bertanah lapang, lokasi itu juga sudah ditumbuhi pohon beringin yang membuat tanah ini sangat representatif sebagai aloon – aloon Kabupaten.  Setelah penentuan lokasi aloon – aloon, maka Mas Ngabehi Danoekromo mulai mendirikan rumah bupati (regentswoning) disebelah utara aloon – aloon dan sebuah Masjid Agung (Groote Moskee) dibarat aloon - aloon.

Raffles yang mengagumi kebudayaan Jawa, mendukung langkah sang adipati dalam membuat alun-alun. Di samping sesuai dengan kultural Jawa, juga sejalan dengan pola pembangunan di Kerajaan Inggris pada masanya.

Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Kraton, Kadipaten) selalu dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Alun-alun secara kultural Jawa merupakan simbol keluasan titah manusia di dunia di mana unsur makrokosmos dengan mikrokosmos berpadu sebagai sebuah hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta, dan secara horisontal antara manusia dengan alam dan sesamanya.

Setelah Hindia Belanda kembali ke pangkuan Kerajaan Belanda pada tahun 1813, Magelang secara otomatis juga menjadi daerah kolonial Belanda lagi. Sejak itu, Belanda mulai mengembangkan Magelang menjadi kota yang maju dengan mendirikan sejumlah gedung di sekitar alun-alun tersebut, sepertiGPIB (1817), Klenteng Liong Hok Bio (1864), Gereja Santo Ignatius (1865), Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren(1878), Kantor Pos (1845), Menara Air (1920), dan lain-lain. Dari sinilah pembangunan berbagai infrastruktur terus berkembang pesat pada masanya.

Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-alun bukan sekadar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni di samping sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi alun-alun sudah berubah wajah, namun sebagai elemen kota berupa ruang terbuka umum, ruang publik, masih sangat diperlukan, dan bahkan alun-alun menjadi penanda penting dari Kota Magelang.

Setelah kurang lebih tiga tahun menjabat sebagai Bupati Magelang, Raden Mas Ngabehi Danoekromo harus mengalami gejolak politik antara Inggris dan Belanda. Perjanjian London yang berisi penyerahan kembali semua bekas jajahan Belanda yang pernah direbut Inggris membuat Magelang kembali ke tangan Kerajaan Belanda. Penyerahan kekuasaan Inggris ini terjadi di Benteng Willem I Ambarawa pada 19 Agustus 1816. Dibawah pemerintahan Belanda ini, Raden Mas Ngabehi Danoekromo kembali diangkat menjadi Bupati Magelang dengan gelar Raden Tumenggung Aryo Danoeningrat (Danoeningrat I).

Pada perkembangannya, sang regent berhasil memimpin dan membangun kota dengan baik. Pihak Belanda juga mengakui bahwa ia berhasil menjadi pengayom orang Belanda sehingga mereka sangat kehilangan saat ia tewas di perang Diponegoro.

Perang Diponegoro yang dimulai terhitung 20 Juli 1825 langsung meletup serentak se-Jawa karena sang pangeran telah mengirim puluhan surat kepada para tumenggung di Jawa. Pada tanggal 23 Juli 1825 di Pisangan timur Magelang, Mulyosentiko dengan pasukan 400-500 orang bersenjatakan senapan berhasil menghadang bala bantuan Belanda yang sedang menuju Yogyakarta. Beberapa orang Belanda tewas, F30.000 berhasil dirampas dan dibawa ke Selarong.

Pada tanggal 31 Juli 1825 Pangeran Diponegoro mengutus çaraka Kasan Besari untuk menyampaikan surat ke masyarakat Kedu. Isinya agar membantu perjuangan mengusir penjajah, bagi yang melawan akan dipenggal lehernya. Ajakan ini ditanggapi dengan baik oleh rakyat di distrik Barat maupun Timur Magelang, namun tidak didukung oleh sang Bupati Magelang. Mungkin tumenggung beranak enam orang dari GKR Anom putri sultan ini berpikir bahwa ia mendapat jabatan dan kekuasaan dari Belanda sehingga inilah saat untuk membalas budi. Padahal, nun jauh di mancanegara timur di Madiun sang kakak Abdullah atau Tumenggung Alap-alap mengikuti ajakan Diponegoro untuk memberontak.

Mertawijaya dari desa Benda, distrik Probolinggo, Kedu selatan, tampil dalam gelanggang perang bersama saudaranya yaitu Raden Tumenggung Sumadirja, keduanya putra kepala distrik Kradenan di daerah Kedu Selatan. Probolinggo sebagai salah satu distrik Magelang di Tenggara ternyata menjadi salah satu basis Diponegoro dan terkumpul 55.000 orang yang kemudian menyerbu kota sang bupati yang hanya dijaga 50 orang pasukan Belanda. Rumah-rumah pejabat Belanda dibakar.

Danuningrat kemudian mengumpulkan kekuatan ke Dimoyo (Jumoyo) dan berjaga di pos Kalijengking (700 meter di utara makam Cina). Kalijengking merupakan kali kecil saat ini namun saat itu merupakan sungai yang lebih besar, mengecil karena pernah terlewati luapan lahar Gunung Merapi sehingga hulu sungai terhambat material hingga kini. Tentang Danuningrat ini, Pangeran Diponegoro sempat menuliskannya dalam autobiografi beliau sebagai berikut : "Secanegara memberitahukan, di Dimaya terdapat barisan besar dari daerah Kedu, Yang menjadi pemandi barisan Belanda ini Raden Tumenggung Danuningrat. Jumlahnya lebih dari 2.000 orang. Oleh karena merasa tidak mampu menghadapinya. Secanegara memberi tahu ke Selarong. Secanegara dan Kertanegara diberi bantuan prajurit Bulkiya, 363 orang banyaknya. Yang menjadi pemandunya Ki Muhammad Bahwi, yang waktu masih di Tegalreja menjadi penghulu. Usianya telah tua, namun hatinya sangat berani."

Ki Muhammad Bahwi bersikeras ingin ikut berperang dan rela mati berperang sabil sehingga ia kemudian konon diberi nama Muhammad Usman Ali Basah. Prajurit Bulkiya juga mempunyai dua orang Tumenggung yakni Haji Abdul Kadir, dan Haji Mustafa. Keduanya sangat pemberani. Kepada Secanegara dan Kertanegara juga disertakan dua orang ulama berpangkat Tumenggung yakni kyai guru di Mlangi bernama Muhammad Salim dan kyai guru di Kasongan bernama Abdul Rakup. Abdul Kadir, Muhammad Salim, Kasan Besari adalah anak K.H.Nur Iman (BPH Sandiyo)  pemilik pondok Mlangi yang merupakan cikal ratusan ponpes di Jawa. Salim tewas dalam pertempuran ini sementara Kasan Besari kelak menemani Pangeran Diponegoro di pengasingan.

Kyai Usman Ali Basah mengerahkan kekuatan tombak pusaka pemberian bernama Ki Barutuba. Tombak pusaka itupun menyala. Melihat itu, semua prajurit Bulkiya semakin berani dan tidak ada yang merasa khawatir. Usman Ali Basah yang memimpin sayap kanan-kiri kemudian memberi aba-aba kepada teman-temannya. Bedug dibunyikan bertalu-talu, gong dan siyem bergantian berbunyi menghancurkan mental pasukan Danuningrat. Prajurit Bulkiya pun mengamuk maju serentak. Tembakan pasukan Danuningrat tidak mempunyai pengaruh apa-apa bagi pasukan ini. Saking ketakutannya, pasukan Belanda di bawah komando Hilmer tercatat hanya sempat menyulutkan meriam sebanyak 3 kali. Selanjutnya tombak dan sangkur pun beradu, pedang dan keris bergantian mencabut nyawa.

Dalam suratnya tertanggal 28 September 1825 kepada Jenderal De Kock, Residen Kedu Lo Clereg antara lain menyatakan bahwa Kalijengking Pos selatan karesidenan Kedu, " pagi hari telah diserang sebuah pasukan yang lebih besar. Letnan Hilmer telah terluka terkena sebuah peluru dan tujuh orang prajurit bersenjata bedil telah gugur di medan pertempuran. Sementara itu juga ada kemungkinan Bupati Magelang telah menjadi korban. Magelang menghadapi bahaya yang sangat besar, oleh karena distrik-distrik disebelah barat dan timur tidak mungkin dapat dipertahankan". Prediksi Lo Clereg kemudian terbukti benar karena sang bupati tewas dan dipenggal lehernya, sementara sembilan orang Belanda turut tewas. Nasib bupati Magelang ini ternyata menyusul nasib sama yang dialami oleh bupati Menoreh (=Temanggung) Ario Sumodilogo yang dipenggal oleh demangnya sendiri setelah dikejar berhari-hari hingga hutan daerah Krasak. Sang anjing peliharaan turut ditikam berkali-kali namun berhasil lari membawa sabuk sang bupati hingga rumah kadipaten. Sang anjing memandu anak buah Sumodilogo sampai tempat mayat sang bupati terbujur kaku tanpa kepala di bawah pohon besar. Sang anjing yang penuh luka di sekujur tubuh besarnya langsung mati menyusul tuannya di tempat itu. Sumodilogo dimakamkan di tempat tersebut dengan buah kelapa sebagai ganti kepalanya. Kedua kepala bupati tersebut dibawa ke Selarong dan diterima Sentot Alibasya Prawirodirdjo yang konon masih bersaudara. Kedua kepala dimakamkan di Selarong dengan baik dan konon sang penjagal kepala mengalami kematian yang sama yaitu terpenggal pula. Entahlah.

Dalam silsilah bupati Danuningrat I tercatat beberapa pendahulu yang dikenal sakti mandraguna misalnya Sayid Sulaiman Mojoagung. Hal ini membuat beberapa orang menghubungkan cara kematian Danuningrat I dengan cara dipenggal karena ia juga dikenal sakti dan mempunyai ilmu rawa rontek. Seperti kita tahu, masa lalu dipenuhi banyak kisah kesaktian para tokoh yang tidak bisa dipahami sebagian generasi saat ini. Adapun penjelasan logis tentang pemenggalan itu bisa dihubungkan dengan surat ancaman Diponegoro untuk memenggal kepala bagi pengikut Belanda. Entahlah.

Pada 1971, tercatat Apong dan Prawoto berhasil menembusi masyarakat Selarong melalui pertemuan berkali-kali. Akhirnya setelah diadakan pertunjukan wayang dan upacara ruwatan, kedua kepala diijinkan diambil untuk disatukan dengan tubuhnya menggunakan bis AMN. Kepala Danuningrat disatukan dengan tubuhnya di makam keluarga Payaman sementara kepala Sumodilogo sang eyang kapiten disatukan dengan tubuhnya di Krasak Temanggung.

RT Danuningrat meninggal dalam perang di Kalijengking tadi pada tanggal 30 September 1825 atau 19 Muharram 1241 H. Dalam Perang Diponegoro selama lima tahun itu, delapan ribu orang serdadu Eropa dan tujuh ribu serdadu pribumi tewas sementara 2/3 lahan pertanian di Kedua rusak.

Mendiang Bupati Pertama Magelang tersebut meninggalkan seorang putera lelaki yang telah berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda sebagai wakil kolektor penghasilan negeri dan telah kawin dengan puten Bupati Pekalongan dan menggantikan ayahnya menjadi RT Danuningrat II Pada tahun 1826. Pada tahun 1862 beliau diganti oleh puteranya Sa’id yang bergelar RADEN TUMENGGUNG DANU (KUSUMO) NINGRAT III. Pada tahun 1879 beliau diganti oleh puteranya SAYID AHMAD BIN SA’ID yang bergelar RADEN TUMENGGUNG DANU KUSUMO. Sayid Sa’id bin Hamdani balik dari haji (Mekkah) pada tahun 1881, seorang sayid dari keturunan para Pangeran Jawa Kuna.

Demikianlah kisah perjalanan hidup sang Bupati Pertama Magelang, Danoeningrat I. Ia adalah orang yang berjasa dalam pendirian Nagari Magelang yang harus tewas dengan cara dipenggal pada masa Perang Jawa. Walaupun menurut keturunan Danoeningrat peran sang Bupati pertama Magelang itu mendukung Belanda pada perang Jawa masih bisadiperdebatkan, namun yang jelas diluar semua kontroversi yang menyelimuti kisah sang Bupati, Danoeningrat adalah sosok manusia yang pertama membangun Magelang.

Sejarah Perjuangan KPAH Ronggo Prawirodirdjo


RONGGO PRAWIRODIRJO III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di Yogyakarta. Beliau berkediaman di 3 tempat yaitu Yogyakarta, Maospati dan Wonosari.

Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di Ds. Sekaran (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup dekat makam Imogiri. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.

Pemberontakan Raden Ronggo merupakan peristiwa pertempuran yang terjadi antara tanggal 20 November hingga 17 Desember 1810 antara pasukan yang dipimpin Raden Ronggo Prawirodirjo III melawan tentara Belanda di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels. Pemberontakan berlangsung singkat dan dapat segera dipadamkan oleh Daendels dengan bantuan pihak Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengkubuwana II tidak dapat berbuat banyak selain berpura-pura mendukung Belanda akibat tuduhan yang diarahkan Sunan Pakubuwana IV kepadanya.

PERLAWANAN BUPATI MADIUN TERHADAP BELANDA

Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.

Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.

Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.

Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.

Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.

Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing yang bagus yang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.

Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.

Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo Prawirodirjo III di anggap bersalah.

Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras penebangan hutan tersebut.

Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :

1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.

2. Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.

(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)

3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)

4. Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.

Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.

PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP BELANDA

Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.

Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.

Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.

Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”

Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”

Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara

Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda

Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan

Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.

Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda

Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.

Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.

Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.

Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.

Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.

Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.

Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari, Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.

Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk, pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.

Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.

Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.

Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.

Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.

Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.

Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.

Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :

Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.

Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro. Jenazahnya di bawa ke Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau dimakamkan di makam Banyu sumurup, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.

Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut, yang berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo

Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta,

versi Peter Carey : 1.Prambanan 2.Klaten 3.Delanggu (21 November 1810) 4.Kartasura (22 November 1810) 5.Masaran * 6.Padas (24 November 1810) 7.Sragen * 8.Tarik (25 November 1810) 9.Jagaraga 10.Magetan (27 November 1810) 11.Maospati (28 November 1810) 12.Madiun 13.Sentul (3 Desember 1810) 14.Caruban (8 Desember 1810) 15.Tunggur (9 Desember 1810) 16.Berbek 17.Pace * 18.Nganjuk (10 Desember 1810) 19.Gabar 20.Kertasana (11 Desember 1810) 21.Munung (12 Desember 1810) 22.Pandhantoya 23.Cabean (14-16 Desember 1810) 24.Sekaran (16-17 Desember 1810)

= daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III

Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dn kesultanan

PANGERAN DIPOKUSUMO menjabat dari tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.

Perindah Irama Bacaan Al-qur'an Dengan Hukum Tajwid


غَايَتُهُ بُلُوْغُ النِّهَايَةِ فِي اِتْقَانِ لَفْظِ الْقُرْآنِ عَلَى مَاتُلُقِّيَ مِنَ الْحَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ اَلاَفْصَحِيَّةِ وَقِيْلَ غَايَتُهُ صَوْنُ اللِّسَانِ عَنِ الْخَطَاءِ فِي كِتَابِ اللهِ تَعَالَى

“Tujuan (memahami ilmu tajwid) ialah agar dapat membaca ayat-ayat al-Qur’ân secara betul (fasih) sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi SAW. Dengan kata lain, agar dapat memelihara lisan dari kesalahan-kesalahan ketika membaca kitab Allâh SWT.”

Definisi Ilmu Tajwid

وَهُـوَ إِعْـطَـاءُ الْـحُـرُوفِ حَقَّـهَـا

مِــنْ صِـفَـةٍ لَـهَـا وَمُستَحَـقَّـهَـا

“Ilmu yang memberikan pengertian tentang hak-hak huruf dari sifat huruf dan mustahaqqul hurûf.”

Haqqul Hurûf (حق الحروف): sifat-sifat huruf dan tempat-tempat keluarnya huruf.Mustahaqqul Hurûf (مستحق الحروف): meliputi hukum-hukum baru (‘aridhah) semisal izh-har, ikhfa’, iqlab, idhgham, mad, waqaf, tafkhim, tarqiq, qalqalah, ghunnah,-.

Wajib Membaca Al-Qur’ân dengan Tajwidnya

Saat membaca al-Qur’ân dalam terapi ruqyah, wajib pula diperhatikan pengamalan tajwidnya, berdasarkan dalil al-Qur’ân dan al-Sunnah.

Dalil-Dalil Al-Qur’ân

 وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“…Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Muzzammil [73]: 4)

Melalui ayat yang agung ini, Allâh SWT memerintahkan kita membaca al-Qur’ân secara perlahan sehingga memudahkan kita memahami dan merenungi al-Qur’ân.Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasûlullâh SAW,beliau membaca panjang ayat yang seharusnya dibaca panjang (madd), dan membaca pendek ayat yang seharusnya dibaca pendek.

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan al-Qur’ân itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isrâ’ [17]: 106)

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’ân karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.” (QS. Al-Qiyâmah [75]: 16)

Salah satu dalil hadîts tentang tajwid ialah hadîts dari Qatadah r.a. ia berkata, Anas r.a. pernah ditanya:

كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ فَقَالَ كَانَتْ مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ { بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ }يَمُدُّ بِبِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيمِ

“Bagaimanakah bacaan (al-Qur’ân) Nabi SAW?” Ia pun menjawab, “Beliau membaca dengan madd (dipanjangkan).” Lalu Anas r.a. mencontohkan, “Bismillâhirrahmânirrahîm” Anas r.a. menjelaskan, “Beliau SAW memanjangkan bacaan, ‘Bismillâh’ dan juga memanjangkan bacaan, ‘arrahmân’ serta bacaan, ‘arrahîm’.” (HR. al-Bukhârî)

عَن عُثَمانَ رَضِىَ اللٌهُ عَنهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صٌلَى اللٌهُ عَلَيهِ وَسَلٌمَ خَيُركُم مَن تَعلٌمَ القُرانَ وَعَلٌمَهَ . ) رواه البخاري وابو داود والترمذي والنسائ وابي ماجه هكذا في الترغيب وعزاه الى مسلم ايضا لكن حكي الحافظ في الفضح عن ابي العلاء ان مسلما سكت عنه ).

Dari Utsman r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda, “sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya.” (Hr. Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah)

Dalam sebagian besar kitab, hadis diriwayatkan dengan menunggukan huruf wa (artinya dan) , sebagaimana terjemahan di atas. Dengan merujuk terjemahan di atas, maka keutamaan itu diperuntukkan bagi orang yang belajar al Qur’an dan mengajarkannya kepada orang lain. Namun dalam beberap kitab lainnya, hadits itu diriwayatkan dengan menggunakan huruf aw (artinya ataw), sehingga terjemahanya adalah, “Yang terbaik di antara kamu ialah orang yang belajar Al-Quraan saja ataw yang mengajarkan alquraan saja.” Dengan demikian, maka keduanya mendapatkan derajat keutamaan yang sama .

Al Qur’an adalah inti agama. Menjaga dan menyebarkan sama dengan menegakan agama. Karenanya sangat jelas keutamaan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, walaupun bentuknya berbeda-beda. Yang paling sempurna adalah mempelajarinya, dan akan lebih sempurna lagi jika mengetahui maksud dan kandungannya. Sedangkan yang terendah adalah mempelajari bacaannya saja.

Hadist di atas diperkuat oleh sebuah hadist yang diriwayatkan dari Sa’id bin Sulaim r.a. secara mursal bahwa barang siapa mempelajari al Qur’an tetapi ia menganggap bahwa orang lain yang telah diberi kelebihan yang lain lebih utama darinya, berarti ia telah menghina nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya, yaitu taufik untuk mempelajari al Qur’an.

Jelaskanlah, bahwa al Qur’an itu lebih tinggi daripada yang lainnya, sebagaimana akan diterangkan dalam hadist-hadist selanjutnya, sehingga harus diyakini bahwa membaca dan mengajarkannya lebih utama daripada segala-galanya. Mengenai hal ini, Mulla Ali Qari rah.a menegaskan dalam hadist yang lain bahwa barang siapa yang menghafal al Qur’an, maka ia telah menyimpan ilmu kenabian dikepalanya. Sahal Tustari rah.a. berkata, “Tanda cinta seseorang kepada Allah adalah menanamkan rasa cinta terhadap al Qur’an didalam hatinya.

Dalam Syarah al Ihya diterangkan bahwa diantara golongan orang yang akan mendapatkan naungan Arasy Ilahi pada hari Kiamat yang penuh ketakutan yaitu orang yang mengajarkan al Qur’an kepada anak-anak, dan orang yang mempelajari al Qur’an pada masa kanak-kanak serta ia terus menjaganya hingga masa tua.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Al Qur`an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak mengatakan ALIF LAAM MIIM itu satu huruf, akan tetapi ALIF satu huruf, LAAM satu huruf dan MIIM satu huruf.” ( HR.Tirmidzi,no 2910)

Maksudnya, bahwa dalam amal ibadah lain, sesuatu ibadah itu baru dihitung sebagai satu amalan jika dilakukan secara utuh (keseluruhan). Tetapi tidak demikian dengan amalan membaca al Qur’an. Setiap bagiannya akan dinilai sebagai satu amalan, sehingag membaca satu huruf pun tergolong satu hasanah (kebaikan). Dan bagi setiap satu kebaikan itu Allah berjanji akan melipatkannya hingga sepuluh kali, sebagaimana firman-Nya,

مَنْ جاء بالحسنة فلهُ عَشْرُ أمْثَالهِا......

“Barangsiapa membawa amalan baik, maka untuknya (pahala) sepuluh kali lipat amalannya…”(Qs. Al An’am [6] :160)

Walau bagaimanapun, tambahan sepuluh kali lipat ini adalah yang terendah, karena Allah swt. mampu melipatgandakan pahala dengan sekehendak-Nya,

والله يضاعف لمن يشاءُ....

“…..Allah menggandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki….” (Qs. Al Baqarah [2] : 261)

Permisalan bahwa setiap huruf al Qur’an dinilai satu kebaikan telah disabdakan oleh Rasulullah saw. bahwa alif lam mim bukanlah satu huruf, tetapi alif terpisah, lam terpisah, dan mim terpisah, sehingga alif lam mim berisi tiga puluh kebaikan. Disini terdapat perselisihan apakah yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Baqarah atau permulaan surat al Fiil? Jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan al Baqarah, berarti hitungannya menurut jumlah huruf yang tertulis. Karena yang tertulis hanya tiga huruf, maka pahalanya tiga puluh. Dan jika yang dimaksud adalah alif lam mim permulaan surat al Fiil, berarti alif lam mim pada surat al Baqarah itu Sembilan huruf (dengan menghitung jumlah huruf yang dilafazhkan), sehingga menjadi Sembilan puluh pahala. Baihaqi meriwayatkan, “Aku tidak mengatakan bahwa bismillah itu satu huruf, tetapi ba, sin, mim, dst. adalah huruf-huruf yang terpisah.”

Bahkan seseorang membaca terbata- bata juga mendapatkan pahala.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ

“Orang mukmin yang mahir membaca Al Qur`an, maka kedudukannya di akhirat ditemani oleh para malaikat yang mulia. Dan orang yang membaca Al Qur`an dengan gagap, ia sulit dalam membacanya, maka ia mendapat dua pahala.” ( HR.Muslim,no 798).

Ilmu Tajwid Hukumnya Fardhu Kifayah, dan mengamalakannya hukumnya fardhu ain bagi kaum muslimin dan muslimah”.
(Al Mulakhos Al Mufid Fi ilmi Tajwid,hal 8)

Adapun Dalil dari Hadist Nabi tentang membaguskan Bacaan di antaranya,

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَمْ يَأْذَنْ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ وَقَالَ صَاحِبٌ لَهُ يُرِيدُ يَجْهَرُ بِهِ

“Allah tidak pernah mengijinkan sesuatu pun kepada Nabi sebagaimana ijin-Nya untuk membaguskan Al Qur`an.” Salah seorang sahabatnya berkata; Maksudnya adalah membaguskan dengan suara yang keras .(HR.Bukhari 5023)

Dalam hadist lain juga disebutkan,

Dari Al Bara` bin ‘Azib  radhiallahu ‘anhu ia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

“Perindahlah Al Qur’an dengan suara kalian.” (HR.Abu Daud,no 1468)

Dalam riwayat lain juga disebutkan,

Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak membaguskan Al Qur’an, ” (HR.Bukhari,7527)

Ada beberapa hadis yang menganjurkan untuk memperindah bacaan al-Quran. Diantaranya,

Hadis dari al-Barra bin Azib Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan,

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

Hiasilah al-Quran dengan suara kalian. (HR. Ahmad 18994, Nasai 1024, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Kemudian, hadis dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

“Siapa yang tidak memperindah suaranya ketika membaca al-Quran, maka ia bukan dari golongan kami.” (HR. Abu Daud 1469, Ahmad 1512 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Ada beberapa keteragan yang disampaikan para ulama tentang makna ‘yataghanna bil qur’an’. Diantaranya adalah memperindah bacaan al-Quran. Karena itu, dia hadis di atas dijadikan dalil anjuran memperbagus suara ketika membaca al-Quran.

Imam an-Nawawi mengatakan,

أجمع العلماء رضي الله عنهم من السلف والخلف من الصحابة والتابعين ومن بعدهم من علماء الأمصار أئمة المسلمين على استحباب تحسين الصوت بالقرآن

Para ulama salaf maupun generasi setelahnya, di kalangan para sahabat maupun tabiin, dan para ulama dari berbagai negeri mereka sepakat dianjurkannya memperindah bacaan al-Quran. (at-Tibyan, hlm. 109).

Selanjutnya an-Nawawi menyebutkan makna hadis kedua,

قال جمهور العلماء معنى لم يتغن لم يحسن صوته،… قال العلماء رحمهم الله فيستحب تحسين الصوت بالقراءة ترتيبها ما لم يخرج عن حد القراءة بالتمطيط فإن أفرط حتى زاد حرفا أو أخفاه فهو حرام

Mayoritas ulama mengatakan, makna ‘Siapa yang tidak yataghanna bil quran’ adalah siapa yang tidak memperindah suaranya dalam membaca al-Quran. Para ulama juga mengatakan, dianjurkan memperindah bacaan al-Quran dan membacanya dengan urut, selama tidak sampai keluar dari batasan cara baca yang benar. Jika berlebihan sampai nambahi huruf atau menyembunyikan sebagian huruf, hukumnya haram. (at-Tibyan, hlm. 110)

Konsekuensi melagukan al-Quran dengan dalam arti mengikuti irama lagu, bisa dipastikan dia akan memanjangkan bacaan atau menambahkan huruf atau membuat samar sebagian huruf karena tempo nada yang mengharuskan demikian. Dan ini semua termasuk perbuatan haram sebagaimana keterangan an-Nawawi.

Makna yang benar untuk melagukan al-Quran adalah melantunkannya dengan suara indah, membuat orang bisa lebih khusyu. Diistilahkan Imam as-Syafii dengan at-Tahazun (membuat sedih hati). Sebagaimana dinyatakan al-Hafidz dalam Fathul Bari, Syarh Shahih Bukhari (9/70).

Al Imam Ibnul Jazari rahimahullah mengatakan di dalam matan al Jazari

والأخذ بالتجويد حتمٌ لازمُ

Membaca Al Qur’an dengan Tajwid Hukumnya Wajib

من لم يجوِّد القرآن آثم

Barangsiapa yang tidak mengamalkan tajwid dalam membaca Al Qur’an maka ia berdosa

لأنه به الإله أنزلا

Karena dengan tajwidlah Allah menurunkan Al Qur’an.

وهكذا منه إلينا وصلا

Dan demikian dengan tajwid pulalah al Qur’an dturunkan kepada kita.

وهو أيضًا حلية التلاوة

Dan dengan Tajwid juga sebagai penghias Al Qur’an

وزينة الأداء والقراءة

Juga sebagai penghias dalam membacanya.

Dalam Kitab Fathul Bary Dijelaskan

ولا شك أن النفوس تميل إلى سماع القراءة بالترنم أكثر من ميلها لمن لا يترنم , لأن للتطريب تأثيرا في رقة القلب وإجراء الدمع . وكان بين السلف اختلاف في جواز القرآن بالألحان
أما تحسين الصوت وتقديم حسن الصوت على غيره فلا نزاع في ذلك , فحكى عبد الوهاب المالكي عن مالك تحريم القراءة بالألحان

Tidak syak lagi bahawa setiap nafs akan tertarik dgn bacaan yang baik (tarannum) daripada bacaan yang tidak bertarannum kerana keasyikan melembutkan hati dan mengalirnya air mata. Sungguhpun demikian, para salaf berbeza pendapat tentang keharusan membaca quran dgn talhin. Utk memperelokkan suaranya dan keutamaan utk memperelokkan suara maka ia tidak ada sebarang masalah dgn nya itu. Maka Abdul Wahab Al-maliki meriwayatkan dari Malik bahwa dilarang (haram) membacanya dgn talhin. (Fathul Bari, Ibn Hajar Al-Asqalani)

Namun demikian, tidaklah dilarang membaca dgn tartil dgn suara yang merdu.

الدَّالَّة عَلَى اِسْتِحْبَاب التَّرْتِيل وَتَحْسِين الصَّوْت بِالْقِرَاءَةِ كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيث
" زَيِّنُوا الْقُرْآن بِأَصْوَاتِكُمْ " وَ " لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ "

Antara dalil2 yang menganjurkan bertartil dan memperelokan suara dan bacaan seperti mana yang disebut dlm hadith spt “Perindahkanlah al-quran dgn suaramu yang merdu”, “Bukan dari golongan kami mereka yang tidak melagukan quran.”

Kembali kepada persoalan anda. APakah bacaan musabaqah al-quran itu termasuk dalam talhin? Jawabnnya tidak.

Syaikh Zainuddin Al-Munawi rahimahullah (wafat 1031 H) dalam kitabnya Faidhul Qadiir Syarh al-Jami' as-Shoghiir cet. Al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubro 1356 H, menukilkan perkataan yang bagus dari At-Turbisyti:

هذا إذا لم يخرجه التغني عن التجويد ولم يصرفه عن مراعاة النظم في الكلمات والحروف فإن انتهى إلى ذلك عاد الاستحباب كراهة وأما ما أحدثه المتكلفون بمعرفة الأوزان والموسيقى فيأخذون في كلام الله مأخذهم في التشبيب والغزل فإنه من أسوأ البدع فيجب على السامع النكير وعلى التالي التعزير ِ

Seperti ini, jika lantunan-lantunan yang dipergunakan di saat membacanya tidak menyalahi aturan tajwid, dan tidak juga memalingkannya dari kesesuaian rangkaian kalimat dan huruf-hurufnya. Apabila sampai melakukan hal itu, maka suatu yang sunnah akan berubah menjadi sesuatu yang makruh. Adapun yang diada-adakan (lagu-lagu yang diada-adakan), orang-orang yang suka memberatkan diri untuk menekuni nada-nada musik (cengkok irama), lalu menyadurnya ke dalam Al-Quran sebagaimana mereka memainkannya ketika menyanjung dan merayu wanita adalah termasuk salah satu dari sekian bid'ah yang paling jelek. Wajib bagi orang yang mendengarkannya untuk mengingkari kemudian mencelanya.

وأخذ جمع من الصوفية منه ندب السماع من حسن الصوت وتعقب بأنه قياس فاسد وتشبيه للشيء بما ليس مثله وكيف يشبه ما أمر الله به بما نهى عنه

Sebagian kaum Sufi, dengan analogi dari hadits ini menyatakan sunnahnya menyimak suara yang indah. Namun ini dapat disanggah yaitu bahwa ini adalah analogi yang rusak dan penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang tidak serupa dengannya. Bagaimana mungkin mereka (berani) untuk menyamakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah (membaca al-Quran) dengan sesuatu yang dilarang oleh Allah (nyanyian). (end Faidhul Qadiir)

Ada pula orang yang memaksa panjangnya harokat agar sesuai dengan lagu dan irama yang diinginkannya, bahkan diulang-ulang ataupun dilengking panjangkan, sehingga tajwidnya porak poranda.

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah (wafat 852 H) mengatakan dalam kitabnya Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhori 9/92 cet. Darul Ma'rifah 1379 H:

وَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ فِي الترجيع قدرا زَائِدا على الترتيل فَعِنْدَ بن أَبِي دَاوُدَ مِنْ طَرِيقِ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ بِتُّ مَعَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فِي دَارِهِ فَنَامَ ثُمَّ قَامَ فَكَانَ يَقْرَأُ قِرَاءَةَ الرَّجُلِ فِي مَسْجِدِ حَيِّهِ لَا يَرْفَعُ صَوْتَهُ وَيُسْمِعُ مَنْ حَوْلَهُ وَيُرَتِّلُ وَلَا يُرَجِّعُ

Yang Nampak jelas bagiku bahwa bacaan dengan tarji' ada nilai lebih dari sekedar membaca dengan tartil. Pada riwayat dari Ibnu Abi Dawud dari Jalan Abu Ishaq dari Alqamah, dia berkata, "Saya menginap di kediaman Abdullah bin Mas'ud. lalu beliau tidur, setelah itu beliau berdiri mengerjakan sholat dan beliau membaca bacaannya seperti layaknya seseorang yang membaca di masjid kampungnya. Beliau tidak mengeraskan bacaannya namun memperdengarkannya kepada yang ada disekitarnya dan membacanya dengan tartil namun tidak mentarji'

وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنِ أَبِي جَمْرَةَ : مَعْنَى التَّرْجِيعِ تَحْسِينُ التِّلَاوَةِ لَا تَرْجِيعَ الْغِنَاءِ لِأَنَّ الْقِرَاءَةَ بِتَرْجِيعِ الْغِنَاءِ تُنَافِي الْخُشُوعَ الَّذِي هُوَ مَقْصُودُ التِّلَاوَةِ

Syaikh Abu Muhammad Ibnu Abi Jamrah (wafat 699 H) berkata, "Makna tar'ji adalah membaguskan suara ketika melantunkan bacaan al-Qura-an ...bukan tarji' yang berarti melagukannya. Karena membaca al-Quran dengan tarji' yang dilagukan meniadakan kekhusyukan yang merupakan tujuan yang sebenarnya dari melantunkan al-Qur-an. (end nukilan Al-Hafizh)

قال الشيخ القاري : وَمَنْ تَأَمَّلَ أَحْوَالَ السَّلَفِ عَلِمَ أَنَّهُمْ بَرِيئُونَ مِنَ التَّصَنُّعِ فِي الْقِرَاءَةِ بِالْأَلْحَانِ الْمُخْتَرَعَةِ دُونَ التَّطْرِيبِ، وَالتَّحْسِينِ الطَّبِيعِيِّ، فَالْحَقُّ أَنَّ مَا كَانَ مِنْهُ طَبِيعَةً، وَسَجِيَّةً كَانَ مَحْمُودًا، وَإِنْ أَعَانَتْهُ طَبِيعَتُهُ عَلَى زِيَادَةِ تَحْسِينٍ وَتَزْيِينٍ لَتَأَثَّرَ التَّالِي وَالسَّامِعُ بِهِ، وَأَمَّا مَا فِيهِ تَكَلُّفٌ وَتَصَنُّعٌ بِتَعَلُّمِ أَصْوَاتِ الْغِنَاءِ، وَأَلْحَانٍ مَخْصُوصَةٍ فَهَذِهِ هِيَ الَّتِي كَرِهَهَا السَّلَفُ وَالْأَتْقِيَاءُ مِنَ الْخَلَفِ. جمع الوسائل في شرح الشمائل 2/115

Syaikh al-Mulaa Ali al-Qari (wafat th. 1014 H) dalam kitabnya Jam'ul Wasaail fi Syarh as-Syamaail 2/115 (cet. Mathba'ah Syarfiyah) berkata,

"Barangsiapa yang mau memperhatikan dengan seksama perilaku para ulama salaf, dia akan mengetahui bahwa mereka berlepas diri dari bacaan yang dibuat-buat dengan sekian banyak lantunan yang bid'ah dan tanpa dinyanyikan. Bacaan mereka adalah dengan membaguskan suara secara alamiyah. Yang benar adalah bahwa bacaan yang sifatnya alamiyah merupakan tabiat (sesuai dengan asal suaranya) adalah sesuatu yang terpuji dan itu "intonasi" alaminya akan membantunya untuk lebih memperbagus dan mengindahkan bacaannya agar yang melantunkannya dan juga yang mendengarnya dapat tersentuh (hatinya). Sedangkan bacaan yang terlalu dipaksakan dan dibuat-buat dengan mempelajari nada-nada lagu dan lantunan yang khusus maka inilah yang dibenci oleh ulama Salaf dan ulama khalaf yang bertaqwa.

Dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Saya mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ الْقُرْآنَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّـهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ

“Manusia pertama yang diadili pada hari Kiamat adalah seorang yang mati syahid, ia menghadap kepada Allah, kemudian Allah memperlihatkan nikmat yang telah dika-runiakan kepadanya. Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang untukMu sehingga aku mati syahid’. Lantas dijawab: ‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau berperang agar manusia mengatakan bahwa engkau seorang pemberani’, kemudian Allah memerintahkan agar ia diseret dan di-lempar ke Neraka. Kemudian didatangkan seorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu Allah mem-perlihatkan nikmat yang telah dikaruniakan kepadanya. Allah bertanya: ‘Untuk apa engkau berbuat dalam hal ini?’ Ia menjawab: ‘Aku belajar dan mengajarkan ilmu yang kudapat serta membaca Al-Qur’an untukMu’. Allah menjawab: ‘Engkau dusta, sesungguhnya engkau belajar agar dikatakan ‘alim dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang qari’, kemudian diperintahkan agar ia diseret dan dilempar ke Neraka.”

Al-Ajuri berkata: “Seyogyanya bagi yang dikaruniai oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala suara yang baik ketika membaca Al-Qur’an agar mengetahui bahwa Allah telah mengaruniakan kebaikan khusus padanya maka hendaknya ia mengetahui kadar keistimewaan Allah baginya. Bacalah Al-Qur’an semata ka-rena Allah bukan untuk dipuji manusia. Berhati-hatilah dari kecenderungan untuk didengarkan orang agar memperoleh pujian, untuk mendapat dunia (harta), perasaan suka dipuji, untuk memperoleh kedudukan di dunia, hubungan dengan penguasa, lebih dari masyarakat umumnya. Barangsiapa cenderung kepada yang aku peringatkan maka aku khawatir suaranya yang bagus malah menjadi fitnah. Sedangkan suaranya akan memberi manfaat baginya jika ia takut kepada Allah Subhannahu wa Ta’ala dalam keadaan sendiri atau bersama yang lain. Yang diminta darinya agar ia memperdengarkan Al-Qur’an untuk memperingatkan orang-orang yang lalai agar berpaling dan mencintai apa yang dicintai Allah Subhannahu wa Ta’ala menjauhi apa yang dicegahnya. Siapa yang memiliki sifat ini maka suaranya yang bagus bermanfaat baginya sendiri dan manusia.”

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...