Minggu, 31 Oktober 2021

Saat Hujan Adalah Waktu Yang Mustajabah


Air adalah salah satu nikmat Allah yang sangat agung. Ia menjadi sumber kehidupan manuisa, hewan, dan tumbuhan. Semuanya tidak bisa lepas dari air. sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala,

وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya': 30)

Allah telah menyediakan nikmat ini untuk makhlauk-makhluk-Nya di bumi. Sumbernya ada yang keluar dari tanah, turun dari langit (hujan), atau mengalir di sungai dan lautan.

Air Hujan salah satu nikmat yang banyak Allah sebutkan dalam Al-Qur'an. Memiliki Manfaat dan fungsi sangat banyak, tidak diketahui detailnya kecuali oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Allah mengabarkan, Dia menghidupkan bumi yang mati dan kering melalui guyuran hujan. Airnya menghidupkan bumi & menghijaukannya.

وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ

“Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan.” (QS. Al-Baqarah: 164)

Sebagian orang tatkala memperhatikan hujan, ada yang sampai gelisah. Apalagi jika turunnya hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, mungkin ada meeting, janji atau yang lainnya. Sehingga yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh. Padahal jika kita merenung dan memahami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu hujan turun adalah saat mustajabnya do’a, artinya do’a semakin mudah terkabulkan.

Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2540),

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ يَعْقُوبَ الزَّمْعِيُّ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ثِنْتَانِ لَا تُرَدَّانِ، أَوْ قَلَّمَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِ، وَعِنْدَ الْبَأْسِ حِينَ يُلْحِمُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا»، قَالَ مُوسَى، وَحَدَّثَنِي رِزْقُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «وَوَقْتُ الْمَطَرِ»

Al Hasan bin Ali menuturkan kepadaku, Ibnu Abi Maryam menuturkan kepadaku, Musa bin Ya’qub Az Zam’i menuturkan kepadaku, dari Sahl bin Sa’d ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda: “dua waktu yang doa ketika itu tidak tertolak, atau sangat sedikit sekali tertolaknya, yaitu: ketika adzan dan ketika perang saat kedua pasukan bertemu“.

Musa (bin Ya’qub Az Zam’i) mengatakan: Rizq bin Sa’id bin Abdirrahman menuturkan kepadaku, dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’d, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: “dan ketika turun hujan“.

Hadits ini dan ziyadah-nya, juga dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalamSunan Al Kubra (6459),

Derajat hadits

Mengenai hadits di atas, ringkasnya, hadits ini shahih dengan jalan-jalannya yang lain. Sebagaimana dishahihkan oleh Al Mundziri (At Targhib wat Tarhib, 2/262), Ibnu Hajar (Futuhat Rabbaniyyah, 2/137), An Nawawi (Al Adzkar, 57), Al Albani (Shahih Abi Daud, 2540), dan yang lainnya.

Namun yang menjadi bahasan kita adalah ziyadah (tambahan) bagi hadits ini, yaitu lafadz: “dan ketika turun hujan“.

Riwayat 1

Sanad dari ziyadah ini memiliki dua masalah:

1- Terdapat perawi Musa bin Ya’qub Az Zam’i. Para ulama berselisih kuat mengenai status beliau.
Yahya bin Ma’in mengatakan: “tsiqah”
Ali Al Madini mengatakan: “dha’iful hadits, munkarul hadits“
Adz Dzahabi mengatakan: “terdapat kelemahan”
Ibnu Hajar mengatakan: “shaduq, lemah hafalannya”
Ad Daruquthni mengatakan: “tidak dijadikan hujjah”
An Nasa’i mengatakan: “ia tidak qawiy“

2- Terdapat perawi Rizq bin Sa’id bin Abdirrahman, ia perawi yang majhul. Ibnu Hajar mengatakan: “ia majhul“.

: ورزق هذامجهول كما في (التقريب) فلا تغتر بقول الشوكاني في (تحفة الذاكرين) بعد أن ذكر الحديث بهذه الزيادة عند أبي داود: (وأخرجه أيضا الطبراني في (الكبير) وابن مردويه والحاكم وهو حديث صحيح)

“Rizq ini majhul, sebagaimana dijelaskan dalam At Taqrib. Maka jangan terkecoh oleh perkataan Asy Syaukani dalam Tuhfah Adz Dzakirin, setelah menyebutkan hadits ini dengan ziyadah-nya dari Abu Daud, ia mengatakan:dikeluarkan pula oleh Ath Thabrani dalam Al Kabir dan Ibnu Mardawih dan Al Hakim, dan sahanadnya shahih” (Ats Tsamar Al Musthathab, 1/139).

Namun terdapat mutaba’ah bagi Rizq bin Sa’id bin Abdirrahman dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya (6/343), dari jalan Abdullah bin Quraisy Ash Shan’ani:

ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ قُرَيْشٍ الصَّنْعَانِيُّ، ثَنَا أَبُو مَطَرٍ – وَاسْمُهُ مَنِيعٌ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” تَحَرَّوُا الدُّعَاءَ فِي الْفَيَافِي وَثَلَاثَةٌ لَا يَرُدُّ دُعَاؤُهُمْ: عِنْدَ النِّدَاءِ، وَعِنْدَ الصَّفِّ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَعِنْدَ نُزُولِ الْقَطْرِ “

“Abdullah bin Quraisy Ash Shan’ani menuturkan kepadaku, Abu Mathar (namanya Mani’) dari Malik bin Anas dari Abu Hazim, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘carilah ijabah doa di gurun-gurun, dan tiga waktu yang doa tidak tertolak ketika itu: ketika adzan, ketika berada di barisan perang fii sabiilillah, ketika turun hujan‘”.

Dalam riwayat ini Rizq bin Sa’id bin Abdirrahman di-mutaba’ah oleh Imam Malik bin Anas yang dimasukkan oleh Imam Al Bukhari dalam sanad yang paling shahih (yaitu Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar).

Maka yang tersisa masalah Musa bin Ya’qub Az Zam’i. Sehingga riwayat ini lemah, namun ringan lemahnya.

Riwayat ke 2

Dan terdapat jalan untuk ziyadah tersebut, yang dikeluarkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (1/289):

أَخْبَرَنِي مَنْ لَا أَتَّهِمُ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ مِنْ مَكْحُولٍ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ «اُطْلُبُوا إجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ وَنُزُولِ الْغَيْثِ»

“orang yang tidak muttaham telah mengabarkan kepadaku, Abdul Aziz bin Umar menuturkan kepadaku, dari Makhul, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘carilah ijabah doa ketika bertemunya kedua pasukan dalam perang, dan ketika shalat ditegakkan dan ketika turunnya hujan‘”.

Sanad riwayat ini juga lemah, karena memiliki 2 masalah:

1- Terdapat perawi yang mubham, yaitu Syaikh-nya Asy Syafi’i yang meriwayatkan hadits ini kepada beliau. Dan Asy Syafi’i pun tidak menegaskan Syaikh-nya tsiqah ataukah tidak. Hanya disebutkan “orang yang tidak muttaham“.
2- Sanad ini mursal, karena Makhul adalah tabi’in, tidak berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Namun riwayat ini menjadi tersambung (muttashil) jika disandingkan dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (19512),

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ، نا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنِي يَزِيدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ بَعْضِ، أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الدُّعَاءَ كَانَ يُسْتَحَبُّ عِنْدَ نُزُولِ الْقَطْرِ وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ وَالْتِقَاءِ الصَّفَّيْنِ

“Muhammad bin Bisyr menuturkan kepadaku, Abdul Aziz bin Umar menuturkan kepadaku, Yazid bin Yazid bin Jabir menuturkan kepadaku, dari Makhul, dari sebagian sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam bahwa doa dianjurkan ketika turun hujan, dan ketika shalat ditegakkan, ketika bertemunya kedua pasukan dalam perang, dan ketika turunnya hujan‘”.

Adapun Abdul Aziz bin Umar, ia diperselisihkan statusnya.

Ibnu Hajar mengatakan: “ia shaduq dan sering salah”.
Adz Dzahabi mengatakan: “ia termasuk para ulama yang tsiqah“
Imam Ahmad mengatakan: “ia bukan termasuk orang yang hafalannya kuat dan cermat”
Yahya bin Ma’in menganggapnya tsiqah

Maka wallahu a’lam yang tepat Abdul Aziz bin Umar statusnya tsiqah. Andai pun dianggap ia termasuk perawi yang “ia shaduq dan sering salah”, riwayat ini bisa dijadikan i’tibar.

Riwayat ke 3

Terdapat jalan lain, dari sahabat Abu Umamah radhiallahu’anhu. Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar (7239-7240), dari jalan Muhammad bin Ibrahim Al Busyanji:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبُوشَنْجِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ عُفَيْرِ بْنِ مَعْدَانَ قَالَ: حَدَّثَنَا سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَيُسْتَجَابُ الدُّعَاءُ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاطِنَ: عِنْدَ الْتِقَاءِ الصُّفُوفِ، وَعِنْدَ نُزُولِ الْغَيْثِ، وَعِنْدَ إِقَامَةِ الصَّلَاةَ، وَعِنْدَ رُؤْيَةِ الْكَعْبَةِ “

“Muhammad bin Ibrahim Al Busyanji menuturkan kepadaku, Al Haitsam bin Kharijah menuturkan kepadaku, Al Walid bin Muslim menuturkan kepadaku, dari ‘Ufair bin Ma’dan ia berkata, Sulaim bin Amir menuturkan kepadaku, dari Abu Umamah, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda: ‘pintu-pintu langit dibuka dan doa diijabah pada empat waktu: ketika bertemunya pasukan (ketika perang), ketika turun hujan, ketika shalat ditegakkan dan ketika melihat Ka’bah‘”.

Riwayat ini lemah karena memiliki 2 masalah:

1- Terdapat ‘an’anah dari Al Walid bin Muslim yang merupakan mudallis.
2- Terdapat Ufair bin Ma’dan yang statusnya munkarul hadits.

Imam Ahmad mengatakan: “dha’if, munkarul hadits”
Yahya bin Ma’in mengatakan: “laysa bi syai’in“
Ibnu Abi Hatim mengatakan: “dha’iful hadits, ia banyak meriwayatkan riwayat yang palsu dari Sulaim bin Amir dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, jangan disibukkan dengan periwayatan darinya”
Abu Daud mengatakan: “ia seorang Syaikh yang shalih, namun dhaiful hadits”
Ibnu ‘Adi mengatakan: “keumuman riwayatnya tidak mahfuzh“

Maka riwayat ini lemah dan tidak bisa menjadi i’tibar.

Riwayat ke 4

Terdapat jalan lain dari Abdullah Ibnu Umar radhiallahu’anhuma. Dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Ad Du’a (490),

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ سَيَّارٍ الْوَاسِطِيُّ، ثنا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ، أَنْبَأَ حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ، عَنْ سَالِمٍ، عَنْ أَبِيهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ لِخَمْسٍ: لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَلِلِقَاءِ الزَّحْفِ، وَلِنُزُولِ الْقَطْرِ، وَلِدَعْوَةِ الْمَظْلُومِ، وَلِلْأَذَانِ “

“Sa’id bin Sayyar Al Wasithi menuturkan kepadaku, Amr bin Aun menuturkan kepadaku, Hafsh bin Sulaiman mengabarkan kepadaku, dari Abdul Aziz bin Rufai’, dari Salim (bin Abdullah bin Umar), dari ayahnya ia berkata, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘pintu-pintu langit dibuka oleh 5 hal: bacaan Al Qur’an, bertemunya dua pasukan, turunnya hujan, doanya orang yang terzalimi, dan adzan’“.

Riwayat ini bermasalah pada Hafsh bin Sulaiman, ahli qira’ah namun ia statusnya matrukul hadits.

Imam Ahmad mengatakan: “matrukul hadits“
Yahya bin Ma’in mengatakan: “tidak tsiqah”
Al Bukhari mengatakan: “para ulama meninggalkan haditsnya”
Abu Hatim mengatakan: “ia matruk dan tidak dipercayai haditsnya”
Ibnu ‘Adi mengatakan: “keumuman haditsnya tidak mahfuzh“
Adz Dzahabi mengatakan: “matrukul hadits walaupun ia imam dalam qira’ah”
Ibnu Hajar mengatakan: “haditsnya lemah, namun ia tsabat dalam qira’ah”

Sehingga riwayat ini juga tidak bisa menjadi i’tibar.

Dengan melihat jalan-jalan yang ada, dari empat jalan yang ada hanya dua jalan yang bisa dijadikan i’tibar. Dan dari kedua jalan ini keseluruhannya, bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya sehingga terangkat derajatnya menjadi hasan. Maka dapat kita simpulkan bahwa ziyadah pada hadits di atas hasan sanadnya, insya Allah.

Berdo’a Setelah Turun Hujan: ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih

Dari Zaid bin Kholid Al Juhani, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat shubuh bersama kami di Hudaibiyah setelah hujan turun pada malam harinya. Tatkala hendak pergi, beliau menghadap jama’ah shalat, lalu mengatakan, ”Apakah kalian mengetahui apa yang dikatakan Rabb kalian?” Kemudian mereka mengatakan,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ. فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا. فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

“Pada pagi hari, di antara hambaKu ada yang beriman kepadaKu dan ada yang kafir. Siapa yang mengatakan ’Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih’ (Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah), makadialah yang beriman kepadaku dan kufur terhadap bintang-bintang. Sedangkan yang mengatakan ‘Muthirna binnau kadza wa kadza’ (Kami diberi hujan karena sebab bintang ini dan ini), maka dialah yang kufur kepadaku dan beriman pada bintang-bintang.” (HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71).

Mengapa Do'a Mustajab Saat Hujan?

Didalam Tafsir Ath-Thabari, ada sebuah riwayat yang menyebutkan:

 ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ | ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻋﺸﺮ :ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺍﻟﻘﺎﺳﻢ ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﺍﻟﺤﺴﻴﻦ ، ﻗﺎﻝ : ﺛﻨﺎ ﻫﺸﻴﻢ ،ﻗﺎﻝ : ﺃﺧﺒﺮﻧﺎ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺳﺎﻟﻢ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﻜﻢ ﺑﻦ ﻋﺘﻴﺒﺔ ،ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻣﺎ ﻧﻨﺰﻟﻪ ﺇﻻ ﺑﻘﺪﺭ ﻣﻌﻠﻮﻡ. ﻗﺎﻝ : ﻣﺎ ﻣﻦ ﻋﺎﻡﺑﺄﻛﺜﺮ ﻣﻄﺮﺍ ﻣﻦ ﻋﺎﻡ ﻭﻻ ﺃﻗﻞ ، ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻳﻤﻄﺮ ﻗﻮﻡ ،ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺁﺧﺮﻭﻥ ، ﻭﺭﺑﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺒﺤﺮ ، ﻗﺎﻝ : ﻭﺑﻠﻐﻨﺎ ﺃﻧﻪﻳﻨﺰﻝ ﻣﻊ ﺍﻟﻤﻄﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻋﺪﺩ ﻭﻟﺪ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻭﻭﻟﺪ ﺁﺩﻡ ﻳﺤﺼﻮﻥ ﻛﻞ ﻗﻄﺮﺓ ﺣﻴﺚ ﺗﻘﻊ ﻭﻣﺎ ﺗﻨﺒﺖ .

Telah menceritakan pada kami al-Qasim, Ia berkata : Telah menceritakan pada kami al-Husain, Ia berkata : Telah menceritakan pada kami Hasyim, Ia berkata : Telah mengkhabarkan pada kami Isma'il bin Salim dari al-Hakam bin'Utaibah dalam firman Allah : “Dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu”.

Dia berkata ; Tidaklah satu tahun lebih banyak hujannya dan tidak lebih sedikit,akan tetapi satu qaum diberi hujan, sedang yang lain tidak, dan terkadang hujan turun dilaut.

Dia berkata : Telah sampai pada kami bahwasanya turun bersama tetes hujan, Malaikat yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah anak Iblis dan anak Adam. Mereka menjaga setiap tetes ditempat ia jatuh, dan apa yang ia tumbuhkan".

Oleh karena itu, bila hujan telah turun maka bersyukurlah kepada Allah seraya berdo'a dengan perasaan senang kepada Allah SWT, mengharap kepada Allah agar hajat-hajat kita dikabulkan oleh Allah SWT.

Beberapa Amalan Sunah Saat Turun Hujan


Allah tabaaraka wa ta’ala telah mensifatkan manfaat dan keberkahan turunnya hujan kepada makhluknya sebagai satu nikmat pada banyak ayat dalam Al-Qur’an Al-Kariim. Di antaranya adalah firman Allah ta’ala :

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لَكُمْ مِنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ * يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالأعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan”[QS. An-Nahl : 10-11].

Juga firman-Nya :

وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا * لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا * وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَى أَكْثَرُ النَّاسِ إِلا كُفُورًا

“Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak. Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (daripadanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat)” [QS. Al-Furqaan : 48-50].

Juga firman Allah tabaaraka wa ta’ala :

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ * وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَهَا طَلْعٌ نَضِيدٌ * رِزْقًا لِلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ

“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun. untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.”[QS. Qaaf : 9-11].

Allah ta’ala menyebutkan hujan sebagai kebersihan dan rahmat, sebagaimana telah lalu penjelasannya. Allah juga menamainya dengan rizki, berdasarkan firman-Nya :

وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ رِزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا

“Dan rizki yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya” [QS. Al-Jaatsiyyah : 5].

Al-Imam Al-Baghawiy rahimahullah berkata :

يعني الغيث الذي هو سبب أرزاق العباد.

“Yaitu hujan yang merupakan sebab diberikannya rizki seorang hamba”.

Berdasarkan penjelasan mengenai manfaat hujan dan kebaikan yang banyak darinya, maka hujan adalah sesuatu yang diberkahi (mubaarak).

Hendaknya seseorang tidak menolak turunnya hujan, sebab hujan adalah berkah. Jika pun itu ia ingin lakukan, maka yang disunnahkan adalah berdoa kepada Allah ta’ala agar hujan dialihkan ke tempat lain yang membutuhkan, sebagaimana doa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلا عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُوْنِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ.

“Ya Allah, berikanlah hujan di sekitar kami, jangan kepada kami. Ya Allah, berikanlah hujan ke daratan tinggi, beberapa anak bukit, perut lembah, dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan”.

Beberapa sunnah yang sering ditinggalkan saat musim penghujan, yang kebetulan menginspirasi setelah hujan reda.

1.     Bergembira dengan turunnya hujan.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ، عَنْ جَعْفَرٍ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الرِّيحِ وَالْغَيْمِ، عُرِفَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ وَأَقْبَلَ وَأَدْبَرَ، فَإِذَا مَطَرَتْ سُرَّ بِهِ وَذَهَبَ عَنْهُ ذَلِكَ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَسَأَلْتُهُ، فَقَالَ: " إِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ عَذَابًا سُلِّطَ عَلَى أُمَّتِي "، وَيَقُولُ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ: " رَحْمَةٌ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Bilaal, dari Ja’far bin Muhammad, dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, bahwasannya ia pernah mendengar ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Apabila hari mendung dan angin bertiup kencang, maka hal itu dapat diketahui dari wajah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Beliau bolak-balik ke depan dan ke belakang. Dan ketika hujan telah turun, beliau pun bergembira dan hilanglah kekhawatirannya”. ‘Aaisyah berkata : “Lalu aku bertanya tentang hal itu pada beliau. Beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : "Aku khawatir hal itu akan menjadi menjadi adzab yang ditimpakan kepada umatku". Ketika melihat hujan turun, beliau bersabda : "(Ini adalah) rahmat" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 889 (14)].

وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ جُرَيْجٍ، يُحَدِّثُنَا، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ، عَنْ عَائِشَةَ زَوْج النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَصَفَتِ الرِّيحُ، قَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلَتْ بِهِ "، قَالَتْ: وَإِذَا تَخَيَّلَتِ السَّمَاءُ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ وَخَرَجَ وَدَخَلَ وَأَقْبَلَ وَأَدْبَرَ، فَإِذَا مَطَرَتْ سُرِّيَ عَنْهُ، فَعَرَفْتُ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَسَأَلْتُهُ، فَقَالَ: " لَعَلَّهُ يَا عَائِشَةُ كَمَا قَالَ قَوْمُ عَادٍ: فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا "

Dan telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Aku mendengar Ibnu Juraij menceritakan kepada kami, dari ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, dari ‘Aaisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : Jika angin bertiup kencang, maka Nabishallallaahu 'alaihi wa sallam berdoa : “(Alloohumma innii as-aluka khoirohaa wa khoiro maa fiihaa, wa khoiro maa ursilat bihi.  Wa a’uudzubika min syarrihaa wa syarri maa fiihaa wa syarri maa ursilat bihi) Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya, kebaikan yang ada di dalamnya dan kebaikan apa yang Engkau kirimkan dengannya. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan yang ada di dalamnya dan keburukan apa yang Engkau kirimkan dengannya”. ‘Aaisyah berkata : “Apabila langit gelap berawan, maka beliau akan kelihatan pucat, keluar masuk rumah, ke depan dan ke belakang. Dan jika hujan turun, beliau pun merasa gembira. Aku mengetahuinya dari raut wajah beliau. Saya menanyakan hal itu kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : "Barangkali wahai ‘Aaisyah, kalau cuaca seperti ini, aku khawatir jangan-jangan akan terjadi seperti apa yang diungkapkan oleh kaum 'Aad : 'Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: 'Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami (QS. Al-Ahqaaf : 24)’ - (padahal yang sesungguhnya itu adalah adzab dari Allah ta’ala)" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 899 (15)].

2.     Berdzikir atau berdoa saat hujan turun.

Yaitu membaca dzikir atau doa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: " هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah, dari Maalik, dari Shaalih bin Kaisaan, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’uud, dari Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, bahwasannya ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah di atas bekas-bekas hujan yang turun pada malam harinya. Ketika selesai shalat, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berbalik) menghadapkan ke orang-orang (makmum) dan bersabda : “Apakah kalian mengetahui apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?”. Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Allah berfirman:) ‘Pada pagi hari (Shubuh) hari ini ada di antara hamba-hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Barangsiapa yang berkata: ‘Muthirnaa bi-fadllillaahi wa rohmatihi (hujan turun kepada kami karena karunia Allah dan rahmat-Nya)’, maka dia adalah orang yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Dan barangsiapa yang berkata: ‘(Hujan turun disebabkan oleh) bintang ini atau itu’, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 846].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ مُقَاتِلٍ أَبُو الْحَسَنِ الْمَرْوَزِيّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ، " أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ، قَالَ: اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqaatil Abul-Hasan Al-Marwaziy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah, ia berkata : telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Al-Qaasim bin Muhammad, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamapabila melihat hujan turun, beliau berdoa : ‘Alloohumma shoyyiban naafi’an (Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat bagi kami)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1032].

Dalam riwayat lain :

اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَيِّبًا نَافِعًا

“(Alloohummaj-‘alhu shoyyiban naafi’an) Ya Allah, jadikanlah ia hujan yang bermanfaat bagi kami” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1523; shahih].

Jika hujan sangat deras hingga memberikan mafsadat, maka disunnahkan kita membaca doa :‘Alloohumma hawaalainaa wa laa ‘alainaa’.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ جَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَحَطَ الْمَطَرُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يَسْقِيَنَا، فَدَعَا فَمُطِرْنَا فَمَا كِدْنَا أَنْ نَصِلَ إِلَى مَنَازِلِنَا فَمَا زِلْنَا نُمْطَرُ إِلَى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ، قَالَ: فَقَامَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ غَيْرُهُ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَصْرِفَهُ عَنَّا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا، قَالَ: فَلَقَدْ رَأَيْتُ السَّحَابَ يَتَقَطَّعُ يَمِينًا وَشِمَالًا يُمْطَرُونَ وَلَا يُمْطَرُ أَهْلُ الْمَدِينَةِ "

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Qataadah, dari Anas, ia berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sedang berkhutbah pada hari Jum'at, tiba-tiba datanglah seorang laki-laki kepada beliau dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, hujan sudah lama tidak turun, berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan untuk kami’. Maka beliau pun berdoa sehingga turun hujan kepada kami. Hampir-hampir kami tidak bisa pulang ke rumah-rumah kami. Dan hujan terus turun hingga hari Jum'at berikutnya. Laki-laki itu atau lelaki lain berdiri dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar hujan segera dialihkan dari kami’. Maka Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berdoa : ‘Alloohumma hawaalainaa wa laa ‘alainaa (ya Allah turunkanlah hujan di sekitar kami saja dan jangan kepada kami – sehingga membahayakan kami)”. Anas berkata : "Sungguh aku melihat awan berpencar ke kanan dan kiri, lalu hujan turun namun tidak menghujani penduduk Madinah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 969].

3. Menyingkap sebagian pakaian agar badan terkena hujan.

وحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: قَالَ أَنَسٌ: " أَصَابَنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَطَرٌ، قَالَ: فَحَسَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَوْبَهُ حَتَّى أَصَابَهُ مِنَ الْمَطَرِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ صَنَعْتَ هَذَا؟ قَالَ: " لِأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى "

Dan telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Ja’far bin Sulaimaan, dari Tsaabit Al-Bunaaniy, dari Anas, ia berkata : “Kami pernah diguyur hujan bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyingkap pakaiannya hingga terkena hujan. Kami pun bertanya kepada beliau : ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan itu ?’. Beliau menjawab :‘Karena hujan baru saja diturunkan oleh Rabb-nya”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 898].

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْحَكَمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ، عَنِ السَّائِبِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ كَانَ إِذَا مَطَرَتِ السَّمَاءُ، يَقُولُ: " يَا جَارِيَةُ، أَخْرِجِي سَرْجِي، أَخْرِجِي ثِيَابِي، وَيَقُولُ: وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا "

Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Hakam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rabii’ah, dari As-Saaib bin ‘Umar, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya apabila hujan turun, Ibnu ‘Abbaas berkata : ‘Wahai pelayan, keluarkanlah pelanaku dan pakaianku”. Kemudian ia (Ibnu ‘Abbas) membaca ayat : ‘Dan Kami turunkan dari langit air yang dibekahi’ (QS. Qaaf : 9)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1228].

Tentu saja ini disesuaikan dengan kondisi masing-masing (aktivitas, kesehatan, dan yang lainnya).

4.     Jika Mendengar Guruh, Membaca : Subhaanallaadzii Yusabbihur-Ra’d......

عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ تَرَكَ الْحَدِيثَ، وَقَالَ: سُبْحَانَ الَّذِي يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: إِنَّ هَذَا لَوَعِيدٌ لِأَهْلِ الأَرْضِ شَدِيدٌ

Dari ‘Aamir bin ‘Abdillah bin Az-Zubair, dari ‘Abdullah bin Az-Zubair : Bahwasannya apabila mendengar guruh, ia meninggalkan pembicaraan dan kemudian berdoa : ‘Subhaanalladzii yusabbihur-ro’du bi-hamdihi wal-malaaikatu min khiifatih (Maha Suci Allah, Dzat yang guruh itu bertasbih dengan memuji-Nya, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya)". Lalu ia berkata : "Sesungguhnya ini benar-benar merupakan peringatan keras bagi penduduk bumi” [Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’4/524-525 no. 2019; shahih].

Karena,.... banyaknya petir dan guruh merupakan tanda-tanda hari kiamat.

حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُصْعَبٍ، وَقُرَّةُ بْنُ حَبِيبٍ، عَنْ عُمَارَةَ، عَنْ أَبِي نَضْرَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " تَكْثُرُ الصَّوَاعِقُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ حَتَّى يُقَالَ: مَنْ صُعِقَ اللَّيْلَةَ "

Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin Muhammad bin Al-Hasan : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mush’ab dan Qurrah bin Habiib, dari ‘Umaarah, dari Abu Nadlrah, dari Abu Sa’iid radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Petir akan banyak terjadi di akhir jaman, hingga nanti dikatakan : ‘siapakah yang tersambar petir malam ini ?” [Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamahno. 787; sanadnya shahih].

5.     Perkataan Muadzdzin dalam Adzannya : Sholluuu fir-Rihaalikum.

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قال: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ أَبِيهِ، قال: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بِحُنَيْنٍ فَأَصَابَنَا مَطَرٌ فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Qataadah, dari Abul-Maliih, dari ayahnya, ia berkata : Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Hunain yang ketika itu turun hujan. Lalu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan : ‘sholluu fii rihaalikum” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy; no. 854; shahih].

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ، يَقُولُ: أَنْبَأَنَا رَجُلٌ مِنْ ثَقِيفٍ، أَنَّهُ سَمِعَ مُنَادِيَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْنِي فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فِي السَّفَرِ، يَقُولُ: " حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Diinaar, dari ‘Amru bin Aus, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami seorang laki-laki dari Tsaqiif yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar muadzdzin Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari yang hujan di waktu safar. Ia berkata : ‘Hayyaa ‘alash-sholaah, hayyaa ‘alal-falaah,sholluu fii rihaalikum” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 647; sanadnya shahih].

Atau dengan lafadh : ‘Alaa Sholluu fii Rihaalkum, alaa Sholluu fir-Rihaal’ – berdasarkan riwayat:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنِي نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ، وَرِيحٍ، وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ، إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ، أَوْ ذَاتِ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ، أَنْ يَقُولَ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Musaddad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Naafi’, ia berkata : “Ibnu ‘Umar pernah mengumandangkan adzan pada waktu malam yang dingin, berangin, dan hujan; maka ia mengucapkan di akhir adzannya : ‘alaa sholluu fii rihaalikum, alaa sholluu fir-rihaal (hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian 2x)’. Kemudian ia melanjutkan : “Apabila malam begitu dingin atau turun hujan ketika safar, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzdzin untuk mengucapkan : ‘alaa shollu fii rihaalikum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 697 (23)].

Atau dengan lafadh : ‘Ash-Sholaatu fir-Rihaal’ – berdasarkan riwayat:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ صَاحِبُ الزِّيَادِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ، قَالَ: " خَطَبَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ فِي يَوْمٍ ذِي رَدْغٍ، فَأَمَرَ الْمُؤَذِّنَ لَمَّا بَلَغَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قَالَ: قُلِ الصَّلَاةُ فِي الرِّحَالِ، فَنَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَكَأَنَّهُمْ أَنْكَرُوا، فَقَالَ: كَأَنَّكُمْ أَنْكَرْتُمْ هَذَا، إِنَّ هَذَا فَعَلَهُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهَا عَزْمَةٌ وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Abdil-Wahhaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid shaahibu Az-Ziyaadiy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Al-Haarits, ia berkata : Ibnu ‘Abbaas pernah berkhutbah kepada kami pada hari yang ketika itu turun hujan. Lalu ia memerintahkan muadzdzin ketika sampai pada bacaan ‘hayya ‘alash-shalaah’ : “Katakanlah : ‘ash-sholaatu fir-rihaal (shalat di rumah-rumah kalian)’”. Orang-orang pun saling berpandangan seakan-akan mereka mengingkarinya. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Sepertinya kalian mengingkarinya ini. Sesungguhnya hal tersebut pernah dilakukan orang yang lebih baik dariku, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya shalat Jum’at adalah kewajiban, namun aku tidak suka membuat kalian merasa susah (jika harus mendatangi shalat/masjid saat turun hujan)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 668].

Atau dengan lafadh : ‘Sholluu fii buyuutikum’ – berdasarkan riwayat:

وحَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل، عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ صَاحِبِ الزِّيَادِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ: إِذَا قُلْتَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَلَا تَقُلْ: حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، قُلْ: صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ، قَالَ: فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ، فَقَالَ: أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُخْرِجَكُمْ فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ، وَالدَّحْضِ "

Dan telah menceritakan kepadaku ‘Aliy bin Hujr As-Sa’diy : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, dari ‘Abdul-Hamiid bin Az-Ziyaadiy, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits, dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas : Bahwasannya ia pernah berkata kepada mu’adzdzinnya ketika hari hujan : “Apabila engkau telah mengucapkan ‘asyhadu an-laa ilaaha illallaah, asyhadu anna Muhammadan-Rasuulullah’, maka jangan engkau ucapkan : ‘hayya ‘alash-shalaah’. Akan tetapi ucapkanlah : ‘sholluu fii buyuutikum’”. Seakan-akan orang orang mengingkarinya. Maka Ibnu ‘Abbaas berkata : “Apakah kalian heran tentangnya ?. Sungguh, hal tersebut pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku. Sesungguhnya shalat Jum’at adalah kewajiban, namun aku tidak suka membuat kalian keluar rumah sehingga kalian berjalan di atas tanah yang berlumpur” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 699].

Penerapannya, kalimat yang diucapkan muadzdzin tersebut terletak pada :

a.      setelah bacaan hayya ‘alal-falaah di tengah adzan;
b.      di akhir adzan;
c.      pengganti hayya ‘alash-shalaah.

Semuanya boleh.

Faedah : Hujan menjadi sebab diberikan keringanan bagi seorang muslim tidak mendatangi shalat berjama’ah di masjid, dan melaksanakannya di rumah-rumah mereka.

Kiamat Pasti Datang Melalui Tanda


Beriman kepada hari akhir maksudnya adalah mengimani semua penjelasan Allah dan Rasul-Nya yang menyebutkan tentang keadaan setelah mati, seperti: Fitnah kubur, azab kubur dan nikmat kubur, Ba’ts (kebangkitan manusia), Hasyr (pengumpulan manusia), bertebarannya catatan amal, Hisab (pemeriksaan amal), Mizan (timbangan), Haudh (telaga), Shirat (jembatan), syafa’at, surga, neraka dsb.

Termasuk beriman kepada hari akhir adalah beriman kepada tanda-tanda hari kiamat, seperti keluarnya Dajjal, turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam, keluarnya Ya’juj-Ma’juj, dan terbitnya matahari dari barat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأَجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ *

“Sesungguhnya kiamat tidak akan tegak sampai kalian melihat sebelumnya sepuluh tanda.” Beliau menyebutkan sebagai berikut, “Adanya Dukhan (asap), Dajjal, Daabbah (binatang melata), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa putera Maryam, Ya’juj dan Ma’juj, adanya tiga khasf (penenggelaman bumi) di timur, di barat, dan di jazirah Arab, dan yang terakhir dari semua itu adalah keluarnya api dari Yaman menggiring manusia ke tempat berkumpulnya.” (HR. Muslim)
Apabila sudah tiba tanda besar ini, maka sudah sangat dekat sekali hari kiamat.

Sebelum tibanya tanda-tanda tersebut, akan didahului tanda-tanda kecilnya di antaranya adalah diangkatnya ilmu (yaitu dengan banyak diwafatkannya para ulama), perzinaan merajalela, wanita lebih banyak daripada laki-laki, amanah akan disia-siakan dengan diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, banyaknya pembunuhan, dan banyaknya gempa bumi (berdasarkan hadits-hadits yang shahih).

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَيضاً قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِـي صلى الله عليه وسلم فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلاَم، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدَاً رَسُولُ الله،وَتُقِيْمَ الصَّلاَة، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ البيْتَ إِنِ اِسْتَطَعتَ إِليْهِ سَبِيْلاً)، قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ، قَالَ: (أَنْ تُؤْمِنَ بِالله،وَمَلائِكَتِه،وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآَخِر،وَتُؤْمِنَ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ)، قَالَ: صَدَقْتَ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ، قَالَ: (أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ)، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: (مَا الْمَسئُوُلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ)، قَالَ: فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِها، قَالَ: (أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا،وَأَنْ تَرى الْحُفَاةَ العُرَاةَ العَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي البُنْيَانِ)، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيَّاً ثُمَّ قَالَ: (يَا عُمَرُ أتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ؟) قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوله أَعْلَمُ، قَالَ: (فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ). رواه مُسلِمٌ

Dari Umar radhiallahu ‘anhu, dia menceritakan, “Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, pada dirinya tidak ada bekas-bekas datang dari perjalanan, namun tidak ada satu pun di antara kami yang mengenalnya. Kemudian, dia duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menempelkan lututnya ke lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meletakkan telapak tangannya di atas paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, dia bertanya, ‘Wahai Muhammad, sampaikan kepadaku, apa itu islam? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan salat, menunaikan zakat, berpuasa ramadhan, dan melaksanakan haji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana.’ Orang ini berkata, ‘Engkau benar.’” Umar pun mengatakan, “Kami terheran; dia bertanya lalu dibenarkannya sendiri. Orang tersebut bertanya, ‘Sampaikan kepadaku tentang apa itu iman!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iman itu, engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, serta beriman kepada takdir baik maupun buruk.’ Orang tersebut menyahut, ‘Kamu benar. Sampaikan kepadaku tentang apa itu ihsan!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ihsan itu, engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihatnya. Jika engkau tidak bisa, maka sesungguhnya Allah melihatmu.’ Orang itu bertanya, ‘Sampaikan kepadaku, kapan kiamat terjadi?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Orang yang ditanyai tidak lebih tahu daripada orang yang bertanya.’ Orang itu bertanya lagi, ‘Sampaikan kepadaku tentang tanda-tandanya!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Budak-budak wanita akan melahirkan tuannya, dan engkau akan melihat orang yang tidak memakai alas kaki, suka tidak memakai baju, miskin, dan penggembala kambing berlomba-lomba dalam membuat bangunan yang tinggi.’ Kemudian, orang tersebut pergi, sementara aku (Umar) diam (tidak mencari) beberapa hari. Setelah itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Wahai Umar, tahukah kamu, siapa orang yang kemarin bertanya itu?’ Umar mengatakan, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya, dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.’” (HR. Muslim, no. 1)

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.

Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat. Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul Baari (I/115-116), yaitu :
– Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
– Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
– Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
– Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
– Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)

Disebut “hadis Jibril”, karena hadis ini menceritakan tentang Jibril yang datang mengajarkan islam, iman, dan ihsan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Hadis ini ditempatkan oleh Imam Muslim sebagai hadis pertama dalam kitab Shahihnya. Demikian pula, Imam Al-Baghawi menempatkan hadis ini sebagai hadis pertama dalam dua kitabnya: Syarhus Sunnah dan Mashabih As-Sunnah. Sementara, Imam An-Nawawi menempatkan hadis ini sebagai hadis kedua dalam Al-Arbain An-Nawawiyah (Kumpulan 42 Hadis Penting). Hadis ini memiliki banyak redaksi riwayat yang berbeda-beda, padahal kisah yang diceritakan hanya terjadi sekali.

Banyak ulama yang menyebutkan bahwa “hadis Jibril” ini merupakan hadis yang agung dan mendapatkan banyak perhatian, karena hadis ini mencakup semua pokok amal zahir dan batin, sehingga semua ilmu dan pengetahuan syariah masuk dalam lingkup “hadis Jibril”. Mengingat status “hadis Jibril” memuat semua ilmu sunah maka Ibnu Daqiqil ‘Id menggelari hadis ini sebagai ummus sunnah (induk sunnah), sebagaimana “Al-Fatihah” digelari sebagai “ummul Qur’an” (induk Alquran), karena kandungannya mencakup seluruh makna Alquran. (Syarah Arbain An-Nawawi, Ibnu Daqiqil ‘Id, hlm. 7)

Di antara hikmah mengapa Allah sering menyebutkan hari akhir dalam Al Qur’an adalah karena beriman kepada hari akhir memiliki pengaruh yang kuat dalam memperbaiki keadaan seseorang sehingga ia akan mengisi hari-harinya dengan amal saleh, ia pun akan lebih semangat untuk mengerjakan ketaatan itu sambil berharap akan diberikan pahala di hari itu. Demikian pula akan membuatnya semakin takut ketika mengisi hidupnya dengan kemaksiatan apalagi sampai merasa tenteram dengannya. Beriman kepada hari akhir juga membantu seseorang untuk tidak berlebihan terhadap dunia dan tidak menjadikannya sebagai tujuan hidupnya. Di antara hikmahnya juga adalah menghibur seorang mukmin yang kurang mendapatkan kesenangan dunia karena di hadapannya ada kesenangan yang lebih baik dan lebih kekal.

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa maksud dari turunnya Jibril adalah untuk mengajarkan kepada umat Islam perihal agama mereka. Dalam redaksi hadits tersebut jelas sekali Jibril hanya menyinggung soal garis-garis besar agama Islam. Maka dari itu Jibril hanya menanyakan perkara Islam, iman, dan ihsan. Perkara ini merupakan aksioma dalam agama Islam. Intinya pertanyaan tersebut hanyalah bertujuan untuk menunjukkan bahwa merealisasikan ketiga hal tersebut dalam kehidupan merupakan tonggak utama agama Islam.

Kemudian pertanyaan tentang perkara ini diikuti dengan pertanyaan tentang hari Kiamat. Dalam pertanyaan terakhir ini terkandung sebuah pengertian bahwa mengetahui perkara hari Kiamat merupakan hal yang amat penting. Terbukti dengan dilontarkannya pertanyaan tersebut setelah pertanyaan rukun Islam dan iman. Jika tidak demikian maksudnya lantas untuk apa Jibril menanyakan perkara hari Kiamat setelah dua pertanyaan sebelumnya atau melontarkan pertanyaan lain yang lebih penting daripada dua hal tersebut jika di sana memang ada hal lain yang lebih penting?

Bahkan bisa jadi lafal-lafal hadits tersebut memberikan isyarat bahwa turunnya malaikat Jibril ini tujuan utamanya adalah memberi penjelasan tentang perkara yang selama ini mereka lupakan, yaitu agar mereka menanyakan kepada Rasulullah saw tentang pertanda hari Kiamat sebagaimana mereka bertanya tentang rukun Islam dan iman.

Kemungkinan lain adalah jika di kalangan sahabat, mereka semua telah paham bahwa masalah penentuan terjadinya hari Kiamat ini hanya Allah swt yang tahu, ada semacam rasa segan pada mereka untuk menanyakan perkara yang berkaitan dengan hari Kiamat sebagai perwujudan tatakrama mereka terhadap Allah swt.

Maka untuk memperingatkan mereka bahwa yang dilarang itu adalah menanyakan kapan terjadinya hari Kiamat, sedangkan kalau hanya menanyakan pertandanya saja termasuk hal yang dibenarkan, maka datanglah Jibril untuk memberikan contoh kepada mereka.

Bahkan perkara ini harus ditanyakan agar dapat diketahui. Sebab rangkaian dan urutan tanda-tanda Kiamat, sebagai permulaan datangnya hari Kiamat adalah perkara yang harus diperhatikan daripada hari Kiamat itu sendiri.

Hari Kiamat, sebagaimana yang diredaksikan Allah swt sebagai an-naba’ al-‘azhim, oleh karenanya mempelajari tanda-tanda permulaannya dengan sendirinya merupakan bagian dari berita agung dan urgent sehingga setiap muslim wajib mengetahuinya.

Demikian juga hadits tersebut mengandung sisi yang amat penting, yaitu terpadunya antara utusan terpercaya dari langit (Jibril as) dan utusan terpercaya di bumi (Muhammad saw) untuk bersama-sama mengingatkan umat Islam akan pentingnya mengetahui tanda-tanda hari Kiamat.

Hal ini terbukti dengan cara penyampaian peringatan tersebut yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh para sahabat sebelumnya, yaitu Jibril datang kepada Rasulullah saw dengan rupa seorang laki-laki untuk menanyakan beberapa perkara. Peristiwa seperti inilah yang membuat para sahabat sulit untuk melupakan peristiwa tersebut lengkap dengan rinciannya.

Pada akhir hadits tersebut ditutup dengan sabda Nabi berikut: “Inilah Jibril yang mendatangi kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian.” Redaksi ini menyiratkan bahwa betapa pentingnya untuk menanyakan perkara tanda-tanda hari Kiamat dan mempertautkan urutan kejadiannya, sebab dengan mengetahui hal tersebut akan sangat bermanfaat bagi urusan agama umat Islam.

Demikian juga hadits tersebut juga mencakup petunjuk Rasulullah saw kepada para sahabat yang mulia akan keharusan menanyakan tanda-tanda hari Kiamat. Artinya, rangkaian redaksi hadits tersebut menjelaskan bahwa Jibril datang kepada Nabi saw untuk mengingatkan mereka tentang prinsip yang paling fundamen dan penting dalam agama Islam agar mereka juga menanyakannya, yang termasuk di antaranya adalah pertanda hari Kiamat ini.

Sebelum membicarakan makna beriman kepada qadar Allah, alangkah baiknya kita simak perkatan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma terhadap orang-orang yang ingkar kepada qadar:

فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي

“Jika engkau menemui mereka (orang-orang yang ingkar kepada qadar), maka beritahukan mereka, bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka juga berlepas diri dariku.”

لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ

“Kalau sekiranya salah seorang di antara mereka mempunyai emas sebesar gunung Uhud, lalu ia infakkan, maka Allah tidak akan menerimanya sampai ia beriman kepada qadar.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

Maksud beriman kepada qadar adalah kita mengimani bahwa semua yang terjadi di alam semesta ini yang baik mapun yang buruk adalah dengan qadha’ Allah dan qadar-Nya. Semuanya telah diketahui Allah, telah ditulis, telah dikehendaki, dan diciptakan Allah.
Allah Subhaanahu wa Ta’aala berbuat adil dalam qadha’ dan qadar-Nya. Semua yang ditaqdirkan-Nya adalah sesuai hikmah yang sempurna yang diketahui-Nya. Allah tidaklah menciptakan keburukan tanpa adanya maslahat, namun keburukan dari sisi buruknya tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya. Tetapi keburukan masuk ke dalam ciptaan-Nya. Apabila dihubungkan kepada Allah Ta’ala, maka hal itu adalah keadilan, kebijaksanaan, dan sebagai rahmat/kasih-sayang-Nya.
Allah telah menciptakan kemampuan dan iradah (keinginan) untuk hamba-hamba-Nya, di mana ucapan yang keluar dan perbuatan yang dilakukan sesuai kehendak mereka, Allah tidak memaksa mereka, bahkan mereka berhak memilih.
Manusia merasakan bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan, yang dengannya ia akan berbuat atau tidak, ia juga bisa membedakan antara hal yang terjadi dengan keinginannya seperti berjalan, dengan yang tidak diinginkannya seperti bergemetar. Akan tetapi, kehendak dan kemampuan seseorang tidak akan melahirkan ucapan atau perbuatan kecuali dengan kehendak atau izin Allah, namun ucapan atau perbuatan tersebut tidak mesti dicintai Allah meskipun terwujud.

Banyaknya Wanita Berdagang Sebagai Tanda Kiamat


Orang yang sering membaca literatur hadits akan menjumpai bahwa Rasulullah saw tidaklah melewatkan satu pun kesempatan untuk menyelipkan kabar tentang tanda-tanda datangnya hari Kiamat. Ini adalah satu isyarat yang amat jelas bahwa dalam benak Rasulullah saw tidak pernah sedikitpun terkosongkan dari perihal tanda-tanda ini. Atau bisa jadi hal itu disebabkan wahyu masih dalam proses turun. Hal yang seperti ini tidak lain membuktikan bahwa masalah tanda-tanda hari Kiamat ini merupakan perkara yang agung.

Bagaimana mungkin hal ini bisa dianggap remeh sedangkan kejadiannya itu merupakan permulaan dari sebuah an-naba’ al-azhim? Bagaimana hal ini bisa dipandang remeh, padahal keempat penjuru mata angin turut mengiyakan betapa pentingnya mengetahui tanda-tanda yang dikabarkan oleh utusan langit?

Di antaranya adalah: pernah Rasulullah saw terbangun di tengah malam karena dikejutkan oleh peringatan (dalam mimpinya, penj) tentang sebuah bencana, yaitu mulai keroposnya tembok yang menghalangi Ya’juj dan Ma’juj. Tentunya, peristiwa terbangunnya Rasulullah saw ini merupakan dalil tersendiri yang menunjukkan betapa pentingnya urusan yang satu ini.

Kita juga menyimak perjalanan panjang yang ditempuh Rasulullah saw dalam perang Tabuk, yang dalam kesempatan tersebut beliau memanfaatkannya untuk menjelaskan tanda-tanda datangnya hari Kiamat. Di samping itu Rasulullah saw juga pernah memanggil para sahabat beliau agar melakukan shalat jamak kemudian mendengarkan khutbah beliau terkait peristiwa yang dialami oleh Tamim bin Aus Ad-Dari ra atas penampakkan Dajjal. Tentunya menjamak shalat tidak dilakukan kecuali ada hal-hal yang amat penting.

Bahkan sampai di saat wudhu pun beliau sempat menjabarkan tanda-tanda hari Kiamat kepada beberapa sahabatnya. Dan tentunya kita juga tidak melewatkan ketika Rasulullah saw menyampaikan Khutbah Ushama’ (Khutbah Haji Wada‘) yang di antara topiknya menyinggung tentang tanda-tanda hari Kiamat.

Moment-moment yang seperti ini dan masih banyak lagi moment-moment yang lain menjelaskan kepada kita betapa Rasulullah saw sangat menaruh perhatian besar terhadap tanda-tanda kedatangan hari Kiamat. Hal tersebut juga menunjukkan betapa pentingnya untuk mengetahui tanda-tanda hari Kiamat, padahal pada masa ini sering dilalaikan para ulama sehingga orang-orang yang sok alim berbicara semaunya sendiri tentang tema ini.

Di antara tanda-tanda Kiamat adalah banyaknya perdagangan, dan penyebarannya ditengah-tengah manusia, sehingga kaum wanita ikut bergabung di dalamnya bersama kaum pria.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Hakim dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:

بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ تَسْلِيمَ الْخَاصَّةِ، وَفُشُوَّ التِّجَارَةِ، حَتَّى تُشَارِكَ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا عَلَى التِّجَارَةِ.

“Menjelang tibanya hari Kiamat, salam hanya diucapkan kepada orang-orang tertentu, dan banyaknya perdagangan hingga seorang wanita membantu suaminya dalam berdagang.”[Musnad Ahmad (V/333, Syarah Ahmad Syakir), beliau berkata, “Sanadnya shahih” dan Mustadrak al-Hakim (IV/45-446).].

An-Nasa-i meriwayatkan dari ‘Amr bin Taghlib Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَفْشُوَ الْمَالُ وَيَكْثُرَ وَتَفْشُوَ التِّجَارَةُ.

‘Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah melimpah ruahnya harta dan banyaknya perdagangan.”[Sunan an-Nasa-i (VII/244, Syarh as-Suyuthi).
Hadits ini dari riwayat oleh al-Hasan dari ‘Amr bin Taghlib, sementara al-Hasan seorang mudallis, dan beliau meriwayatkannya secara ‘An’anah dalam hadits ini, akan tetapi beliau meriwayatkan dengan jelas dari ‘Amr bin Taghlib pada riwayat Imam Ahmad].

Hal ini telah terjadi, perdagangan menjadi banyak dan wanita ikut serta di dalamnya, sehingga banyak manusia yang terfitnah untuk mengumpulkan harta, bahkan berlomba-lomba mendapatkannya.

Akhir abad ke-20 merupakan masa-masa tumbuh dan gencarnya emansipasi. Dan pada abad ke-21 sungguh mengejutkan banyaknya pabrik-pabrik, kantor-kantor, pasar dan pusat perdagangan, dan lapangan pekerjaan lainnya, dipadati oleh komunitas perempuan.

Bahkan pekerjaan kasar yang sejatinya dilakukan oleh kaum laki-laki pun tak luput dari campur tangan perempuan. Sebagai contoh pekerjaan kuli pasar, pekerja bangunan, kernet bus, polisi, pekerja SPBU, polisi lalu lintas, pendorong gerobak, kini sudah banyak diisi oleh kaum perempuan.

Hadits di atas juga menggambarkan maraknya perdagangan di kalangan manusia. Tugas mencari nafkah yang sebenarnya dibebankan kepada kaum laki-laki, ternyata juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan.

Hadits di atas juga bisa sebut sebagai peringatan dari nabi untuk berhati-hati dengan fenomena yang terjadi saat ini, di mana peran seorang perempuan sudah banyak berubah di akhir zaman. Mereka tidak lagi menahan diri mereka di rumah, yang memang itu lebih baik untuk mereka. Namun, justru keluar dari rumah mereka dan ikut meramaikan pasar-pasar dengan kehadiran mereka di tengah-tengah kaum laki-laki.

Dengan alasan persamaan gender dan emansipasi, banyak dari kaum perempuan yang menuntut agar mereka mendapatkan peran dan posisi yang setara dengan kaum laki-laki, jelas ini merupakan penyimpangan fitrah mereka sebagai perempuan.

Meningkatnya aktivitas bisnis sehingga muncul wanita-wanita karir dan pebisnis yang membantu suaminya mengelola perdagangan dan perusahaan. Manusia diuji dengan kesibukan mengumpulkan harta dan berkompetisi di dalamnya. Rasulullah SAW mengingatkan :

فَوَاللَّهِ لاَ الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنْ أَخَشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ»

“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah jika dunia dibukakan atas kalian, sebagaimana dibukakan atas orang-orang sebelum kalian. Maka kalian akan saling berkompetisi sebagaimana mereka berkompetisi dan kalian hancur sebagaimana mereka hancur”. [Shahiih al-Bukhari, kitab al-Jizyah wal Muwaada’ah bab al-Jizyah wal Muwaada’ah ma’a Ahlidz Dzimmah wal Harb (VI/257-258, al-Fat-h), dan Shahiih Muslim, kitab az-Zuhd (XVIII/95, Syarh an-Nawawi).]

Kompetisi mengejar dunia akan berekses negatif pada melemahnya perhatian kepada agama dan berimbas kepada kehancuran umat dan pecahnya persatuan mereka sebagaimana realitas sejarah masa lalu dan inilah yang terjadi dewasa ini.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa beliau tidak takut terhadap kefakiran yang menimpa umat ini, akan tetapi beliau takut ketika dunia dibentangkan kepada mereka hingga terjadi perlombaan di antara mereka (untuk mendapatkannya). Dijelaskan dalam hadits bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَـى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ.

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang lebih aku takutkan menimpa kalian, akan tetapi yang aku takutkan atas kalian jika dunia dibentangkan kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian, sehingga kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan (dunia) menghancurkan kalian sebagaimana (dunia) telah menghancurkan mereka.”  [Muttafaq ‘alaihi ]

Dalam riwayat Muslim:

وَتُلْهِيْكُمْ كَمَا أَلْهَتْهُمْ.

“Dan (dunia) melalaikan kalian sebagaimana telah melalaikan mereka.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا فُتِحَتْ عَلَيْكُمْ فَارِسُ وَالرُّومُ، أَيُّ قَوْمٍ أَنْتُمْ؟ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: نَقُولُ كَمَا أَمَرَنَـا اللهُ. قَالَ رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ: تَتَنَافَسُونَ، ثُمَّ تَتَحَاسَدُونَ، ثُمَّ تَتَدَابَرُونَ، ثُمَّ تَتَبَاغَضُونَ، أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ.

“Jika Persia dan Romawi ditaklukkan untuk kalian, kaum apakah kalian?” ‘Abdurrahman bin Auf berkata, “Kami akan mengucapkan (pujian) sebagaimana Allah memerintahkan kepada kami.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Atau selainnya: kalian akan berlomba-lomba, kemudian saling iri, kemudian saling memutuskan hubungan, kemudian saling membenci atau yang serupa dengannya.”[HR Muslim]

Berlomba-lomba meraup dunia dapat melemahkan agama seseorang, menghancurkan umat, dan dapat mencabik-cabik persatuan mereka, sebagaimana terjadi pada masa-masa yang telah lalu, juga terjadi pada masa-masa sekarang ini.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...