Minggu, 31 Oktober 2021

Jejak Sejarah Peradaban Islam Di Bhumi Cahyana


Jauh sebelum Wirasaba dan Onje berdiri, apalagi Purbalingga, di Cahyana, Kecamatan Karangmoncol telah berdiri pusat pemerintahan yang solid dan disegani. Diperkirakan mulai dirintis sekitar tahun 1450, atau 559 tahun yang lalu. Jika pada tahun 2018 Purbalingga berusia 188 tahun maka selisihnya 380 tahun.

Tulisan singkat tentang Perdikan Cahyana dan Sejarah Perkembangan Agama Islam di Bumi Cahyana ini bertujuan agar saya sendiri pada khususnya, serta masyarakat Cahyana umumnya dapat mengetahui tentang sekelumit sejarah masa lalu di Bumi Perdikan Cahyana. Selain itu, dengan penulisan ini semoga dapat memberikan kita pelajaran yang berharga untuk lebih beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman dan mencontoh semangat dari para leluhur kita dalam berislam dan menyebarkan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rasulullah.

Daerah Perdikan Cahyana berada di Kecamatan Karangmoncol dan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Di Kecamatan Karangmoncol ada 13 daerah perdikan, diantaranya : Grantung Andhap, Grantung Kidul, Grantung Gerang, Grantung Lemah Abang, Grantung Kauman, Pekiringan Kauman, Pekiringan Lama, Pekiringan Anyar, Pekiringan Bedhahan, Tajug Lor, Tajug Kidul, Rajawana Lor, dan Rajawana Kidul. Sementara itu, 8 desa yang terdapat di Kecamatan Rembang, diantaranya : Makam Wadhas, Makam Bantal, MakamTengah, Makam Dhuwur, Makam Kidul, Makam Jurang, Makam Panjang, dan Makam Kamal.

Salah satu sumber sejarah Perdikan Cahyana adalah piagam-piagam dan beslit-beslit A.M. Kartosoedirdjo dalam naskah Tjarijos Panembahan Lawet yang disusun pada tahun 1941(Behrend, 1990: 77-78) memuat daftar piagam dan beslit yang diterima oleh para pengelola desa Perdikan di Cahyana. Naskah koleksi Museum Sana Budaya dengan kode PB.A. 271 itu sangat berguna untuk melacak keberadaan piagam dan beslit tersebut. Piagam yang diterima adalah 3 piagam, isi piagam yang diberikan oleh Sultan Demak (1403 AJ) dapat dilihat disini, sedangkan piagam dari Sultan Pajang (1503 AJ) dapat dilihat disini, dan isi piagam dari Ki Gede Mataram dapat dilihat disini.

Ketiga Piagam tersebut menunjukan bahwa bumi Cahyana adalah bumi perdikaning Allah, bukan perdikaning ratu. Sultan Demak, Pajang dan Ki Gede Mataram hanyalah meluluskan dan melestarikan perdikaning Allah kepada Mahdum Wali Prakosa. Begitu pula dalam kasus piagam raja-raja Jawa muslim, piagam-pigam tersebut menguatkan eksistensi Perdikan Cahyana dengan gutukullah, gutuking Allah, bebenduning para wali, dan ora olih berkahingsun.

Dengan demikian, status perdikan menjadi tradisi secara terus menerus karena perubahan pusat politik tidak akan mengubahnya, bahkan piagam dari pusat yang lama akan didukung oleh pusat yang baru dan seterusnya.

Pangeran Wali Syekh Atas Angin adalah seorang mubaligh Islam dari negara Arab yang termasuk keturunan Rasulullah SAW dari keturunan Sayidina Ali dengan Siti Fatimah. Nama beliau yang sebenarnya adalah Syarif Abdurahman Al-Qadri. Sesudah sholat Subuh beliau mendapat ilham bahwa di sebelah timur terdapat tiga buah cahaya putih yang menjulang sangat tinggi ke angkasa. Maka beliau beserta 200 orang pengiringnya pergi dari negara Arab, bermaksud akan mencari cahaya tersebut.

Dalam perjalanannya beliau singgah di Gresik dan Pemalang, kemudian terus menuju ke Gunung Cahya hingga beliau menemukan cahaya tersebut. Pangeran Wali Syekh Atas Angin berdiam di Cahyana selama 45 tahun. Perkawinannya dengan Nyai Agung Rubiah bekti berputra lima orang, tiga orang putra dan dua orang putri, yaitu:

1. Pangeran Wali Makhdum Kusen/Husen (Kayupuring), makamnya di desa Rajawana, Kecamatan karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.
2. Pangeran Makhdum Medem, makamnya di Cirebon.
3. Pangeran Makhdum Umar, makamnya di pulau Karimun Jawa.
4. Nyai Rubiah raja, makamnya di Ragasela Pekalongan.
5. Nyai Rubiah sekar, makamnya di jambagan, Banjarnegara.

Pangeran Wali Syekh Jambukarang berasal dari Jawa Barat, putra dari Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman, Raja Pajajaran I. Ketika masa mudanya beliau bernama Adipati Mendang (R. Mundingwangi). Tradisi Sadjarah Padjajaran Baboning Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Prijangan Manondjaja menyebutkan bahwa Jambukarang merupakan raja Pajajaran yang bergelar Prabu Lingga Karang atau Prabu Jambu Dipa Lingga Karang.

Sebenarnya beliau menggantikan ayahnya menjadi raja di Pajajaran, tetapi beliau lebih tertarik kepada pendeta (bertapa) dan kerajaan diserahkan kepada adiknya yang bernama R. Mundingsari, yang dinobatkan pada tahun 1990 M. Beliau kemudian bertapa di gunung Jambudipa. Beliau berganti nama menjadi Jambukarang, begitu pula gunung tempat beliau bertapa hingga sekarang terkenal dengan nama Gunung Karang (di Karesidenan Banten, Jawa Barat).

Pada saat beliau bertapa di gunung Jambudipa (Gunung Karang), tampaklah nur/cahaya (cahya bahasa Jawa) tiga buah, di sebelah timur dan putih warnanya menjulang sangat tinggi ke angkasa. Maka dicarilah nur/cahaya itu beserta 160 pengikutnya dan terdapatlah cahaya itu di Gunung Panungkulan (sekarang dikenal dengan nama Gunung Cahya) di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah.

Dalam perjalanan mencari cahaya itu beliau melalui :

1. Kerawang, terus berlayar ke timur sampai di Jatisari.
2. Sungai Comal, disini agak lama dan sekarang terdapat petilasan Geseng.
3. Gunung Cupu terus mengikuti alirannya sungai Kuripan.
4. Gunung Keraton terus ke selatan menuju gunung Lawet.
5. Bocong sana terus ke selatan sepanjang sungai Ideng, Kedung Budah, Kedung Manggis atau Kesimpar.
6. Penyidangan (sekarang bernama Desa Rajawana).
7. Karangarum (sekarang bernama Desa Makam) terus ke selatan sampailah di Gunung Panungkulan (Gunung Cahya).

Kekeramatan atau kesaktian Pangeran Wali Syekh Jambukarang dengan pertolongan Allah SWT antara lain :

1. Pecinya bisa terbang ke angkasa.
2. Menumpuk-numpuk telur ke udara satu persatu tidak jatuh.
3. Dapat membaca surat yang tidak bertulisan.
4. Gunung-gunung tunduk ke Gunung Keraton (Lawet) ketika diberi ilmu kewalian.
5. Menggandeng tempat-tempat air ke udara (ke angkasa) tidak tumpak airnya.

Adanya telur dan air yang dapat ditumpuk ke udara dan bergantungan di atas ketika beradu kesaktian dengan Pangeran Wali Syekh Atas Angin maka tempat sebagai adu kesaktian tersebut di kenal dengan nama Grantung. Desa Grantung terletak di Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.

Setelah wafatnya Pangeran Wali Syekh Jambukarang, perjuangannya diteruskan oleh keturunannya, yaitu cucunya yang bernama Pangeran Wali makhdum Husen. Ketika Pangeran Wali Syekh Atas Angin sampai di tempat munculnya cahaya tersebut dan ternyata disitu telah ada seorang yang berada di dekat cahaya dan sedang bertapa, tak lain orang tersebut adalah Jambukarang.

Kemudian beliau mengucapkan salam kepada secara islami yaitu Assalamu’alaikum kepada orang tersebut, berulang beliau mengucapkan salam akan tetapi tak ada sepatah kata jawaban karena pada saat itu Jambukarang masih memeluk agama Hindu. Dianatara keduanya pun akhirnya mengadu kesaktian sehingga kemenangan berada pada Pangeran Wali Syekh Atas Angin.

Dengan perjanjian semula bahwa siapapun yang kalah maka akan beralih ke agama kepada agama sang pemenang. Jambukarang kemudian bersyahadat untuk masuk agama Islam sehingga beliau bergelar “Pangeran Wali Syekh Jambukarang”. Sebelum masuk Islam beliau terlebih dulu harus memenuhi segala syarat rukunnya, antara lain mandi taubat, memotong rambut, dan syarat rukun islam lainnya. Petilasan sebagai tempat pertaubatannya pun sekarang masih ada.

Ketika Pangeran Wali Syekh Jambukarang akan diberi ilmu Kewalian oleh Pangeran Wali Syekh Atas Angin, maka beliau meminta supaya mengambil tempat di Gunung Keraton saja, hingga saat ini masih ada petilasannya dan dikenal dengan Gunung Lawet hingga sekarang.

Pada saat Ilmu Kewalian itu diajarkan (dalam bahasa Jawa disebut diwejang), semua gunung yang berada di sekitar Gunung Keraton puncaknya tunduk mengarah kepada Gunung Keraton, hingga saat ini masih dapat dilihat bekas-bekasnya. Akan tetapi ada satu gunung yang tak tunduk puncaknya, maka terkenalah gunung tersebut dengan nama Gunung Bengkeng (membandel).

Sebagai tanda terima kasih Pangeran Wali Syekh Jambukarang kepada Pangeran Wali Syekh Atas Angin, maka putrinya yang bernama Nyai Rubiahbekti dikawinkan dengan beliau. Untuk menyempurnakan keislamannya, Pangeran Wali Syekh Jambukarang menunaiakn ibadah Haji ke Tanah Suci (Mekah).

Sekembalinya dari Tanah Suci, beliau dikenal sebagai Mubaligh Agung dan diberi gelar Haji Purwa/Purba. Nama Gunung Lawet berasal dari kata khalwat, jadi merupakan tempat untuk berkhalwat / tabarrur yaitu mendekatkan diri kepada Allah, seperti Rasulullah SAW berkhalwat di Gua Hira’ untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dengan kodrat dan iradat Allah SWT maka timbullah nur / cahaya (dlam bahasa jawa disebut cahya) di Gunung Panungkulan, sebanyak tiga buah, menjulang tinggi ke angkasa dan putih warnanya. Gunung Panungkulan terletak di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Menurut riwayat yang dapat melihat dan menemukan nur/cahya yang timbul di Gunung Panungkulan hanyalah Pangeran Wali Syekh Atas Angin dan Pangeran Wali Syekh Jambukarang.

Beberapa nama dari tiga buah nur / cahaya yang timbul di Gunung Panungkulan serta arti yang terkandung di dalamnya:

1. Dinamakan Cahyana, sebab cahaya tersebut dapat membuat terang di dunia ini.
2. Dinamakan Wonosepi, sebab timbulnya cahaya tersebut ghaib, dahulunya tidak ada sama sekali dan kemudian timbul dengan sendirinya.
3. Dinamakan Wonokerso, sebab memang tujuan nur/cahaya tersebut ghaib.
4. Dinamakan Wonokesimpar, sebab ghaib, sering dibicarakan dan disinggung, tetapi jarang yang mengetahui hal sebenarnya.
5. Dinamakan Pengadanagan, sebab benar-benar cahaya tersebut diharap-harapkan oleh ummat manusia di dunia ini.
6. Dinamakan Cahyana, sebab mempunyai kekuatan atau kekuasaan untuk membuat terang awal ummat manusia sejagat.
7. Dinamakan Tanggeran, sebab menjadi pertanda bagi orang sejagat.
8. Dinamakan Kojur, sebab membuat hancur/sial/celaka kepada kehendak jahat manusia sejagat.
9. Dinamakan juga Kecepit.
10.Dinamakan Rajawana.

Sepuluh nama dari tiga cahaya tersebut merupakan sifat cahaya tersebut. Kalau kita ingat bahwa timbulnya cahaya itu, sebelum Agama Islam masuk ke Cahyana, yaitu sebelum datangnya Pangeran Wali Syekh Atas Angin untuk membawa Agama Islam. Maka benar-benarlah bahwa nur/cahaya itu merupakan pertanda akan datangnya petunjuk Allah (Agama Islam) di daerah Cahyana khususnya dan di daerah lain pada umumnya.

Pangeran Wali Makhdum Husen mengantikan ayah dan kakeknya memimpin Cahyana. Sudah sejak masa Pangeran Wali Syekh Jambukarang, Pajajaran tidak senang kepada daerah Cahyana, Karena berlainan pandangan, yaitu Pajajaran menganut Agama Hindu, sedangkan Cahyana menganut Agama Islam.

Maka pada masa Pangeran Wali Makhdum Husen diseranglah Cahyan oleh Pajajaran dengan jumlah yang besar dan dipimpin oleh seorang Patih menyerbu Cahyana, akan tetapi berkat pertolongan Allah SWT dan keberanian Pangeran Wali Makhsum Husen, serta keuletan para santri pengikutnya, tentara Pajajaran dapat dikalahkan dan kembali ke Pajajaran dengan tangan hampa.

Pada saat menghadapi serangan tentara Pajajaran, tampaklah kekeramatan Pangeran Wali makhdum Husen, yaitu pada malam hari beliau memohon kepada Allah SWT dengan menjalankan sholat hajat, maka berdatanglah lebah berbondong-bondong banyak sekali dan menyerang balatentara Pajajaran, sehingga balatentara Pajajaran lari tunggang langgang sampai jauh dari daerah tapal batas Cahyana. Akan tetapi berhenti di sebelah barat sungai.

Dengan serta merta datanglah makhluk halus yang besar dan akan menghancurkan balatentara Pajajaran, maka larilah semua sisa tentara dar sebelah barat sungai tersebut. Sebagai peringatan maka sungai tersebut diberi nama sungai Mulih (dalam bahasa jawa) yang artinya pulang, karena dari sungai inilah tentara Pajajaran pulang.

Dan hingga saat ini sungai tersebut masih ada yang terletak di Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah.

Tak ketinggalan pula para santri dan pengikutnya dipimpin supaya berdo’a memohon pertolongan Allah SWT. Dan do’a tersebut hingga saat ini terkenal dengan nama Braen. Braen ini diadakan tiap-tiap hari Besar Islam hamper di semua daerah Cahyana dan sering juga digunakan untuk sesuatu hajat yang lain.

Kesenian Braen ini dilakukan oleh orang-orang wanita, dengan bunyi-bunyian terbang. Pemimpin Braennya namanya Rubiyah. Jumlah bait do’anya lebih kurang 50 bait.

Isi Braen bermacam-macam, antara lain doa, sejarah, pendidikan, ketauhidan dan lain-lain. Adapun salah satu contoh bait Braen berisi doa :

Tulung matulung, tulung Tuan
Para Wali lilirna nyawa nira
Lilirna ing jagate kelawan sir Allah
Para Wali bukakna lawang ing sepangat Nabi
Lawan sepangat Allah

Artinya :

Mohon pertolongan kepada Allah SWT
Para Wali supaya membangkitkan semangat
Membangkitkan dunia dengan perintah Allah
Para Wali supaya membuka pinti pertolongan
Yaitu safa’at Allah dan Rasul-Nya

Makam Pangeran makhdum Husen terletak di desa Rajawana, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.

Pangeran Makhdum Wali Prakosa adalah putra dari Pangeran Makhdum Jamil bin Pangeran Wali Makhdum Husen. Beliau semasa dengan jaman Wali Sanga, dan Kerajaan Islam Demak. Hubungan Cahyana dengan Demak sangat bagus dan erat, sebab kedua belah pihak menganut Agama Islam.

Apalagi beliau turut serta dalam pembuatan Masjid Demak, bahkan mendapat bagian membuat soko guru masjid bersama Sunan Kalijaga, yang soko tersebut kemudian terkenal dengan nama Soko Tatal. Begitu pula ketika arah masjid masih belum tepat mengarah kiblat, Beliau turut serta membenarkannya. Do’a Beliau dapat diterima Allah SWT sehingga beliau dapat meluruskan arah masjid dengan palu besar menjadi tepat arah kiblatnya. Karena kekuatan dan keperkasaannya maka beliau terkenalah dengan nama Wali Prakosa (kuat sekali).

Hubungan Cahyana dengan Demak bertambah erat lebih-lebih setelah Demak dengan tegas mengakui kemerdekaan Cahyana. Cahyana dapat bantuan seorang guru/mubaligh, bahkan guru tersebut meninggal di Cahyana.

Adapun mengenai pengakuan Demak terhadap Cahyana dapat dilihat pada piagam yang tertulis di bawah ini:

Turunan Piagam Atau Surat Pengakuan dari Kerajaan Demak

“Penget laying kang idi Pangeran Sultan ing Demak, kagaduha dening paman Makhdum Wali Prakosa ing Cahyana. Mulane anggaduh laying ingsun dene angrowangi melar tanah Jawa, sun tulusaken pemerdikane pasti lemah pemerdikaning Allah, tan taha ana angowahana ora sun wehi suka khalal dunya akhirat, anaa anak putu hamba anganiaya muga kena ing gutuking Allah lan oleh bebenduning para wali kang ana ing nusa Jawa. Esti yen peperdikaning Allah.

Artinya :

Bahwa kami sebagai Sultan Demak, memberikan tanda piagam ini. Kepada Paman Makhdum Wali Prakosa di Cahyana. Mengingat bahwa yang bersangkutan telah membantu menyebarkan Agama Islam di tanah Jawa, kami tetapkan langsung kemerdekaannya. Pasti tanah ini benar-benar merdeka karena Allah. Barang siapa berani merubah, kami tidak khalalkan dunia dan akhirat. Bila ada anak cucu kami yang berani merusak, moga-moga mendapat kutuk Allah dan semua Wali yang ada di pulau Jawa. Bahwa benar-benar tanah merdeka karena Allah.

Makam Pangeran Makhdum Wali Prakosa terletak di desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia.

Pangeran Wali Makhdum Cahyana adalah putra dari Agiyana di Ampeldenta dan menantu Pangeran Makhdum Wali Prakosa, suami dari Pangeran Estri. Pada saat Pangeran Makhdum Cahyana bersama saudara perempuannya akan menuaniakan ibadah Haji, berangkat dari Ampel singgah di Cirebon. Kemudian menetap beberapa waktu pada Sultan Cirebon.

Selanjutnya saudara perempuannya diambil sebagai istri Sultan Cirebon. Karena sesuatu hal yang tidak baik, maka Pangeran Wali Makhdum Cahyana bersama saudara perempuannya, pada waktu malam hari lolos dari Kasultanan Cirebon secara rahasia.

Dari Cirebon dengan mengambil jalan melalui hutan belantara, sehingga badannya banyak yang menderita luka, dan akhirnya sampailah di Cahyana. Kemudian beliau berguru menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Karena banyak luka-luka pada badannya, maka terkenalah dengan nama Santri Gudig.

Lama beliau menjadi santri dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa. Di dalam pesantren beliau sangat patuh kepada gurunya dan pandai, cakap susila serta mempunyai beberapa keistimewaan yang jarang ada bandingannya.

Oleh Karena itu Pangeran Makhdum Wali Prakosa sangat kasih sayang kepada beliau dan akhirnya diambil sebagai menantunya.

Kesaktian Pangeran Wali Makhdum Cahyana antara lain:

1. Kain yang sedang dipakainya waktu tidur malam hari bercahaya seperti ada apinya.

2. Mempunyai keahlian mengambil ikan air yang sangat luar biasa.

3. Mempunyai keahlian bertani yang istimewa sehingga hasil pertaniannya luar biasa baiknya.

4. Mempunyai ilmu rahasia untuk menghilang, sehingga musuh tidak sempat dan tak dapat mencarinya.

5. Dapat memerintah batu-batu supaya berjalan sendiri ketika beliau membuat lantai rumah, sehingga seperti binatang ternak yang digiring, dan beliau mengambil ranting pohon waru sebagai cambuknya.

Barang-barang peninggalan Pangeran Wali Makhdum Cahyana anatara lain :

1. Lumbung padi, sebenarnya lumbung ini sebagai tempat pengumpulan padi zakat yang digunakan untuk kesejahteraan lahir batin sesuai dengan ajaran Islam.
2. Langgar untuk sholat dan pengajian.
3. Sorban hijau muda (seperti sorban haji).
4. Sorban hitam tua.
5. Kain lurik kepyur.
6. Kain batik barong.
7. Kitab-kitab.
8. Ceret tembaga.
9. Kendil/periuk tembaga.
10.Terbang.
11. Golok/pedang.

Setelah wafat beliau dimakamkan di desa Grantung, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Keduanya adalah putra dari Pangeran Makhdum Tores. Makhdum Tores merupakan saudara kandung dari Pangeran Makhdum Wali Prakosa, beliau dimakamkan di Bogares (Tegal).

Setelah Pangeran Makhdum Cahyana wafat, maka Kiai Pekeh/Fakih dan mas Barep yang menggantikan pimpinan daerah Cahyana. Mulai Kiai Pekeh/Fakih dan mas Barep inilah timbulnya pembagian pimpinan keluarga Cahyana menjadi dua pimpinan kepala keluarga, dari keluarga keturunan Pangeran Wali Syekh Jambukarang. Seterusnya berkembang biak, hingga sampai waktu sekarang ini telah menjadi 21 kepala keluarga.

Dari kepala keluarga ini berkembang menjadi ribuan jumlahnya, baik di daerah Cahyana sendiri maupun di luar daerah Cahyana.

Kesaktian Kiai Pekeh/ Fakih dan mas Barep:

A. Kiai Pekeh/ Fakih dengan pertolongan Allah dapat sholat di atas pelepah pohon pisang yang masih berdiri.

B. Mas Barep dengan pertolongan Allah dapat mendatangkan angin rebut, sehingga pohon-pohon jati di hutan jati daerah Tegal banyak yang roboh.

2. Ziarah Makam Syeh Jambu Karang di Rembang

Petilasan atau Makam Syeh Jambu Karang atau Jambukarang lebih dikenal masyarakat jawa sebagai Ardi Lawet atau Ardilawet. Terletak di puncak gunung Lawet yang masuk kedalam Wilayah Pemerintah Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah, dengan ketinggian kurang lebih 3000 dpl. Disebutkan oleh berbagai kitab merupakan wilayah Perdikan Cahyana.

Menurut kitab Babad Tanah Jawa, Syeh Jambu Karang merupakan salah satu tokoh yang turut menyebarkan ajaran Agama Islam di Pulau Jawa. Bahkan jauh sebelum Wali Songo melakukan Syiar Agama Islam. Sebagai salah satu Tokoh Islam di pulau jawa, maka banyak cerita yang bervariasi di dalam masyarakat sekitar, dari silsilah sampai dengan berbagai kesaktian yang dimiliki, bahkan hingga betapa mustajabnya doa yang dipanjatkan disana.

Perdikan Cahyana atau bumi cahyana menurut Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (deel I) tulisan C.J Hasselman (1887) adalah bumi perdikaning Allah, bukan perdikaning ratu, sesuai dengan 3 Piagam yang disebutkan disana, yaitu: Piagam Sultan (1403 AJ), Sultan Pajang (1503 AJ), dan Ki Gede Mataram. Ketiga piagam tersebut meluluskan dan melestarikan perdikaning Allah tersebut kepada Mahdum Wali Prakosa (Ind: Perkasa). Dalam tradisi Cahyana, Pangeran Mahdum Wali Prakosa berjasa dalam membangun Masjid Agung Demak.

Silsilah atau asal usul menurut manuskrip Cariyosing Redi Munggul, Pangeran Jambu Karang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman. Pangeran Jambu Karang ditonjolkan sebagai Raja Sunda yang masih kafir. Kemudian diislamkan oleh Pangeran Atas Angin setelah melalui perang kesaktian yang dimenangkan oleh Pangeran Atas Angin. Kemudian Pangeran Atas Angin menikah dengan putri Pangeran Jambu Karang yang bernama Rubiyah Bekti. Perkawinan mereka melahirkan lima orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring) yang dimakamkan di Rajawana, (2) Mahdum Madem (makamnya di Cirebon), (3) Pangeram Mahdum Omar (makamnya di Pulau Karimun, Jepara), (4) Nyai Rubiyah Raja (makamnya di Ragasela, Pekalongan), dan nyai Rubiah Sekar (makamnya di Jambangan Banjarnegara).

Hubungannya wali Prakosa dengan Syeh Jambu Karang. Pangeran Mahdum Kusen berputra Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil mempunyai dua orang anak, yaitu
(1) Pangeran Mahdum Tores (makmnya di Bogares, tegal) dan
(2) Pangeran Wali Prakosa (makamnya di desa Pekiringan, karangmoncol, purbalingga).
Pangeran wali Prakosa inilah yang disebut dalam Piagam Sultan demak yang berasal dari tahun Jawa 1503 sehingga ia merupakan tokoh sejarah, sedangkan Pangeran Jambu Karang, Pangeran Atas Angin, Pangeran Mahdum Kusen, dan Pangeran Mahdum Jamil adalah tokoh-tokoh legendaris dari Perdikan Cahyana.

PEZIARAHAN GUNUNG LAWET
PERJALANAN KAMI MENUJU ARDI LAWET

Pintu Gerbang utama menuju Ardi Lawet
Disini semua pengunjung diwajibkan membayar tiket masuk sebesar Rp. 3000. peraturan ini berlaku sejak tahun 2002. kawasan Ardi Lawet di Desa Panusupan ini rencananya akan dijadikan tempat Pariwisata oleh Pemda Purbalingga.

Tepat dibelakang bangunan ini terdapat makam Kyai kunci. Kyai Kunci adalah orang yang pertama menjaga Tempat Makam Syekh Jambukarang
Siapa saja yang masuk ke Wilayah ini diharuskan meminta ijin terlebih dahulu kepada Kyai Kunci. Sampai saat ini, juru kunci digantikan oleh keturunannya .. Perjalanan menuju puncak Ardi Lawet cukup memakan tenaga mengingat jalan yang dilalui berupa jalan setapak berkelok dengan kemiringan rata-rata 70 Derajat. Kanan kiri jalan adalah tebing yang cukup dalam.
Dari tengah perjalanan kita bisa melihat arus Sungai Kuripan. Sungai kuripan adalah sungai yang dulu dilalui oleh Pangeran Atas Angin menuju Gunung Panungkulan.

Disebelah kanan kami adalah pegunungan yang dinamakan Bukit Tembelang. Konon bukit ini dikuasai oleh arwah dari Eyang Ranggayuda yang terkenal sangat kejam. Sampai sekarang kawasan ini jarang sekali dirambah oleh warga. Namun tak jarang juga warga yang memberanikan diri untuk kesana.

Pengandegan watu , dalam bahasa Indonesia Pemberhentian Batu. Itulah nama yang diberikan peda tempat yang dulunya dijadikan tempat istirahat syekh Jambukarang dalam menggiring Bytu menuju puncak Ardi Lawet. Karena keburu Fajar , Batu-batu itu akhirnya tidak sampai ke puncak Ardi Lawet. Hanya di tempat itu.

Pengandegan Watu dalam bahasa Indonesia
Pemberhentian batu
Pemandangan dari atas bukit sangat indah, sampailah di sebuah jalan menanjak yang menurut Juru Kunci jalan ini adalah yang terpanjang menuju Ardi Lawet. Konon siapa saja yang ingin berkunjung ke Ardi Lawet apabila sudah bisa melewati tempat ini, niscaya mereka akan sampai juga ke Puncak Ardi Lawet. “ dibawah ini adalah jalan hewan yang tembus dari sebelah timur bukit ke sebelah barat.oleh karenanya disebut lemah Growong atau Tanah Terowongan.
Lemah Growong dalam bahasa Indonesia
Berarti Tanah Terowongan

Setelah kita melewati Lemah Growong, tibalah di peristirahatan ke dua, tempat ini adalah tempat dimana salah satu murid Syekh Jambukarang dimakamkan. Yaitu dibawah pohon Nangka. Konon masyarakat yang mempercayainya, banyak orang yang sudah lama tidak memiliki keturunan jika datang kesini akan mendapatkan keturunan apabila mendapati buah Babal (nagka kecil) untuk dimakan.
Perjalanan dari Pintu Gerbang utama di Desa Panusupan menuju Ardi Lawet memakan waktu kira-kira 1,5 Jam

Di ardi lawet terdapat tiga bangunan utama peninggalan Syekh Jambukarang yakni: Masjid, Aula Tempat Santri dan tempat pertama kali Syekh jambukarang menerima Ilmu kewalian dari Pengeran Atas Angin. Ketiga bangunan ini telah mengalami renovasi berkali-kali sehingga menghilangkan keasliannya.

Pintu masuk menuju tempat pertama kali Syekh jambukarang menerima Ilmu kewalian dari Pengeran Atas Angin berupa tangga, konon barang siapa yang bisa menghitung tangga tersebut sama jumlahnya dengan ketika turun tangga, niscaya akan mendapat keberuntungan

Pintu Masuk Petilasan
Inilah tempat Pertama kali Syekh jambukarang menerima Ilmu kewalian dari Pengeran Atas Angin. Didalam bangunan ini terdapat Rambut dan kuku Pangeran Jambukarang. Menurut cerita, P.Atas Angin mau menerima P.Jambukarang apabila memenuhi beberapa persyaratan yang salah satunya P.Jambukarang harus memotong Kuku dan rambutnya. Makam Syekh Jambukarang sendiri ada di Gunung Mandala Giri yang terletak disebelah utara Ardi Lawet sekitar tiga kali lagi perjalanan menuju Ardi Lawet dengan kondisi jalan yang sama bahkan lebih sulit. Meskipun demikian tak sedikit orang yang rela merogoh saku hingga jutaan rupiah untuk upacara selamatan menuju G.Mandala Giri. Menurut juru kunci orang yang akan kesana minimal telah berkunjung ke Ardi Lawet terlebih dahulu sebanyak 3 kali dilanjutkan dengan selamatan menyembelih Kambing.

Tiba di Petilasan, juru kunci memimpin ritual ziarah. Ritual ini adalah ritual yang biasa dilakukan oleh orang yang berziarah ke sini. Kita berdoa kepada Allah agar cita-cita dapat terkabul. Setiap hari Rabu Pon, tempat ini ramai dikunjungi orang hingga ratusan dan bahkan ribuan. Mereka memohon kepada Allah SWT dengan perantara mengunjungi Ardi Lawet atau mengunjungi makam Syekh Jambukarang. Hal ini yang terkadang menjadi kontroversi.

Jangan Panggil Saudaramu Dengan Nama Buruk

 

Apalah artinya sebuah nama? Ungkapan tersebut mungkin masih sering kita dengar dari orang lain. Nama adalah doa. Nama merupakan sebutan atau panggilan yang lebih banyak dipakai untuk memanggil, disamping laqab (julukan) atau lainnya. Dengan nama kita bisa mengenal orang lain atau saling mengenal lebih akrab dengan sesama. Untuk itu nama sangat penting untuk manusia.

Dalam ajaran agama Islam, umatnya di anjurkan memberikan nama yang baik kepada anak-anaknya, tentunya dengan nama-nama yang baik. Agar seorang memperoleh sebutan yang baik, maka namanya pun harus baik. Oleh karena itu, memberi nama yang baik disunnahkan.

Dalam ajaran agama Islam juga dilarang memberikan nama-nama yang buruk. Agama Islam juga melarang untuk memanggil dan memberi gelar yang buruk mengolok-olok) kepada orang lain. Yang dimaksud dengan mengolok-olok dan memberi gelar yang buruk  adalah menghinakan dan merendahkan orang lain. Hal itu sudah jelas haram. Karena terkadang orang yang dihina itu lebih terhormat di sisi Allah dan bahkan lebih dicintai-Nya daripada orang yang menghinakan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran,

Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Hujuraat : 11].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ تَحْقِرَنَّ شَيْئًا مِنَ الْمَعْرُوفِ وَأَنْ تُكَلِّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنَ الْمَعْرُوفِ وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ وَإِنِ امْرُؤٌ شَتَمَكَ وَعَيَّرَكَ بِمَا يَعْلَمُ فِيكَ فَلاَ تُعَيِّرْهُ بِمَا تَعْلَمُ فِيهِ فَإِنَّمَا وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِ

“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau dengan berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya. Amalan tersebut adalah bagian dari kebajikan. Jika ada seseorang yang menghinamu dan mempermalukanmu dengan sesuatu yang ia ketahui ada padamu, maka janganlah engkau membalasnya dengan sesuatu yang engkau ketahui ada padanya. Akibat buruk biarlah ia yang menanggungnya.” (HR. Abu Daud no. 4084 dan Tirmidzi no. 2722. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits ini shahih).

Mencela merupakan bagian dari Akhlak yang buruk dan tidak terpuji karena tidak ada yang menjamin seseorang akan selalu lebih baik kondisinya dari orang lain. Orang yang tadinya kaya bisa jadi mendadak hilang hartanya. Orang yang punya jabatan tinggi, bisa lengser seketika. Orang yang tadinya mulia kedudukannya, bisa jadi nanti masyarakat merendahkannya. Sehingaa, tidaklah pantas seseorang merasa jumawa, merasa dirinya lebih baik dari orang lain sehingga mencela dan merendahkannya.

عن أبي جبيرة بن الضحاك قال : فينا نَزلتْ - في بنى سلمة -  ( وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ )  قال : قَدِمَ عَلينَا رسولُ الله صلى الله عليه وسلم وليسَ مِنَّا رَجُلٌ إلا لَه اسمَانِ ، فَجَعَل النَّبيُ صلى الله عليه وسلم يَقولُ : ( يَا فُلان ) فَيقولُونَ يا رسول الله إِنَّهُ يَغضَبُ مِنهُ

Dari Abu Jubairah bin Adl-Dlahhaak ia berkata : “Firman Allah ta’ala : walaa tanaabazuu bil-alqaab turun kepada kami dan Bani Salamah”. Ia kembali berkata : “Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi kami, tidaklah seorang pun di antara kami melainkan mempunyai dua nama. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Fulan”. Maka mereka berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia marah (dipanggil dengan nama itu” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul-Mufrad no. 330, Abu Dawud no. 4962, Ibnu Majah no. 3741, dan yang lainnya; shahih].

Haram hukumnya memberikan laqab (gelar) yang buruk dan saling memanggil dengannya. Jika laqab tersebut mengandung pujian (yang tidak berlebihan) dan orang tersebut menyukainya, maka diperbolehkan. Ini dapat dibuktikan dari perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan laqab (gelar) kepada beberapa orang shahabat, seperti Amiinul-Ummah kepada Abu ‘Ubaidah, Dzul-Janaahain kepada Ja’far bin Abi Thaalib, dan yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.

Al-Imam An-Nawawiy rahimahullah berkata :

واتفق العلماء على تحريم تلقيب الإِنسان بما يكره، سواء كان له صفة؛ كالأعمش، والأجلح، والأعمى، والأعرج، والأحول، والأبرص، والأشج، والأصفر، والأحدب، والأصمّ، والأزرق، والأفطس، والأشتر، والأثرم، والأقطع، والزمن، والمقعد، والأشلّ، أو كان صفة لأبيه أو لأمه أو غير ذلك مما يَكره‏.‏ واتفقوا على جواز ذكره بذلك على جهة التعريف لمن لا يعرفه إلا بذلك‏.‏‏

“Para ulama sepakat diharamkannya memberikan laqab(gelar) pada seseorang dengan gelar yang ia benci, baik gelar tersebut diambil dari sifatnya seperti : Al-A’masy (si rabun), Al-Ajlah (si botak), Al-A’maa (si buta), Al-A’raj (si pincang), Al-Ahwal (si juling), Al-Abrash (yang mengidap penyakit kusta), Al-Asyaj (yang kepalanya luka), Al-Ashfar(si kuning), Al-Ahdab (si bungkuk), Al-Asham (si bisu), Al-Azraq (si biru), Al-Afthasy (si pesek), Al-Asytar (si cacat), Al-Asyram (si sumbing), Al-Aqtha’ (si buntung), Az-Zaman (si pengidap penyakit yang tidak akan sembuh), Al-Maq’ad(yang selalu duduk), dan Al-Asyal (si lumpuh); atau menjulukinya dengan sifat ibu atau bapaknya atau julukan lainnya yang tidak ia senangi. Namun para ulama sepakat tentang kebolehan memberikan laqab (julukan) seperti itu jika seseorang tidak dikenal melainkan dengan laqab tersebut” [Al-Adzkaar oleh An-Nawawiy, 2/342].

Apa kerugianmu jika engkau bicara dengan kata-kata yang baik?

Berkata kotor itu menandakan hatimu penuh dengan perasaan hasad, dengki, kebencian, dan denda, terhadap kaum muslimin. Lidahmu, tidak engkau gunakan untuk berbicara yang baik. Wajahmu, senantiasa cemberut, tertutup sama sekali dari kebaikan.

Apa sih yang memberatimu sekiranya engkau memanggil saudaramu dengan nama yang paling disukainya? Untuk memasukkan rasa gembira ke dalam hatinya yang mungkin sedang terluka, lalu engkau menawarkannya dengan kata-kata yang baik itu.

Apa yang memberatimu? Sehingga engkau sangat bakhil, sampai bakhil berbicara baik, sampai bakhil mengucapkan salam!

يا أيُّها الناسُ، أفْشُوا السَّلام، وأطْعِموا الطَّعام، وصِلُوا الأرحام، وصَلُّوا باللَّيلِ والناسُ نِيام، تَدخلوا الجَنَّةَ بسَلام

“Wahai sekalian manusia! Sebarkanlah salah, salinglah memberi makan, sambunglah tali silaturahim, lakukan salat malam ketika manusia pada tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan salam,”(HR Tirmizi: 2485, Ahmad: 23784, Ibnu Majah: 3251).

Tidak ada yang menambah umur kalian kecuali kebajikan, kecuali perbuatan baik. Untuk itu, penuhilah hatimu dengan mahabbbah, sesungguhnya dengan mahabbbah ini engkau dapat membantu dirimu untuk memperoleh sumber kebaikan yang sangat jernih dan tidak akan pernah keruh. Kebaikan itu akan senantiasa mengalir kepada dirimu meski engkau ada di rumah, tidak bergerak dan tidak beramal, lantara kecintaan (mahabbahmu) kepada seorang mukmin.

Di dalam hadis disebutkan:

ما تحابَّ رجلان في اللهِ إلا كان أحبُّهما إلى اللهِ عزَّ وجلَّ أشدَّهما حُبًّا لصاحبِه

“Jika ada seorang yang mencintai saudaranya, maka yang paling dicintai oleh Allah di antara mereka adalah yang paling besar cintanya kepada saudaranya,”.

يا محمدُ عِشْ ما شئتَ فإنك ميِّتٌ ، وأحبِبْ ما شئتَ ، فإنك مُفارِقُه ، واعملْ ما شئتَ فإنك مَجزِيٌّ به

(Allah ﷻ berfirman): “Wahai Muhammad! Hiduplah kamu sesuka hatimu, sesungguhnya kamu akan mati jua. Cintailah sesiapa yang kamu cintai, toh akhirnya kamu akan berpisah dengannya. Dan beramallah sesukamu, sesungguhnya amalanmu akan mendapat balasan,”.

اتَّقِ المحارمَ تكن أعبدَ الناسِ ، و ارْضَ بما قسم اللهُ لك تكن أغنى الناسِ و أَحْسِنْ الى جارِك تكن مؤمنًا ، و أَحِبَّ للناسِ ما تُحبُّ لنفسِك تكن مسلمًا ، و لا تُكثِرِ الضحكَ ، فإنَّ كثرةَ الضحكِ تُميتُ القلبَ

“Jauhilah perkara-perkara yang haram, niscaya engkau akan menjadi manusia yang paling berbakti. Dan ridalah engkau terhadap apa yang Allah bagikan kepadamu, niscaya engkau jadi manusia yang paling kaya. Berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang mukmin. Dan cintailah untuk manusia apa-apa yang engkau mencintai untuk dirimu sendiri, niscaya engkau menjadi seorang muslim. Dan janganlah banyak tertawa, karena banyak tertawa itu akan mematikan hati,”(Silsilah Sahihah: 930).

Tiga perkara yang semuanya haram: 1) As-Sukhriyah (menghina), 2) Lamzu (mencela), dan 3) At-Tanabazu bil Alqab (panggil memanggil dengan gelar yang buruk).

Akibat dari melanggar salah satu dari ketiga perkara haram tersebut adalah balasan dari sisi Allah berupa dua gelar yang buruk. Engkau menerima dari Allah dua nama buruk dan kehilangan sebuah gelar yang agung.

Padahal sebelum itu, namamu di sisi Allah adalah mukmin, lalu Allah memberikan kepadamu gantinya dengan nama fasik dan fusuq. Dan jika engkau tidak cepat-cepat bertaubat, maka Allah akan menambah dengan gelar lain, yakni fasik dan zalim.

بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١

“Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim,” (QS Al-Hujurat: 11).

Adakah engkau suka menukar nama mukminmu di sisi Allah dengan nama fasik? Engkau jual nama mukminmu kemudian engkau beli sebagai gantinya nama fasik dan zalim.

Dengan apa? Dengan umpatan lisan atau engkau gunakan kedua bibirmu untuk mencela saudaramu atau dengan gerakan hati yang serupa dengannya. Celaka dan celakalah orang yang menukar nama mukmin dari Rabbul Izzati dengan nama fasik dan zalim. Sungguh jelek sekali jual beli tersebut.

Hukum Sholat Jum'at Tanpa Mustautin


Allah menciptakan manusia tidak lain hanyalah untuk melaksanakan ibadah.Ibadah merupakan aktivitas manusia  dalam kehidupan sehari-hari. Dan juga sebagai alat komunikasi kepada Allah serta mendekatkan diri kepadaNya. Banyak ibadah yang Allah perintahkan kepada hambanya seperti sholat, zakat, puasa, haji, kurban dan sebagainya.Allah akan membalas ibadah hambanya bagi mereka yang ikhlas. Tanpa ikhlas, ibadah sia-sia tidak mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT dan bahkan bisa melebur pahala amal  sebelumnya.  Amal dan ikhlas harus sejalan denga ril agama yang tidak bisa dipisahkan.   Meninggalkan salah satu diantaranya akan gagal harapan, maka ikhlas beramal merupakan pilar penting dalam  kehidupan dunia untuk menuju kehidupan akhirat.  Semoga Allah menjadikan   ikhlas dalam hati kita dalam segala amal ibadah.
Amiin

Sholat Jum’at hukumnya wajib ‘ain artinya wajib atas setiap laki-laki dewasa yang beragama islam, merdeka, dan tetap di dalam negeri. Perempuan kanak-kanak,hamba sahaya, dan orang dalam perjalanan tidak jauh wajib sholat Jum’at.

Firman Allah SWT :

ياايهاالذين امنوا اذا نودي للصلوة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذروا البيع : الجمعة :                                              
Hai orang orang yang yang beriman, apabila diseru untuk  menuaikan sholat pada hari Jum at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli ( QS.Aljum at : 9 )

ليس على مسافر جمعة

Seorang musafir tidak berkewajiban melaksanakan sholat jum’at

Sabda Rasulullah SAW :

الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة الا اربعة عبد مملوك اوامرأة او صبي اومريض ( رواه ابودود والحاكم )

Sholat Jum’at hak yang wajib dikerjakan oleh tiap-tiap orang islam dengan berjamaah, kecuali empat orang : (1.) Hamba sahaya yang dimiliki (2.) Perempuan (3.) Anak anak (4.) Orang sakit. ( HR. Abu Dawud dan Hakim )

Bagaimana hukum Sholat Jumat tanpa mustauthin dan muqimin.

Hukumnya tidak wajib .
Dasar pengambilan  hukum  antara lain dari :

1.      Kitab Tuhfah  al-Thullab ( Hams Syarqowi  ) juz : 1 hlm 261 – 262

وثانيها اقامتها باربعين ولو بالامام مسلما مكلفا حرا ذكرا للاتباع   رواه البيهقى وغيره مع خبر صلوا كما رايتموني اصلى متوطنا بمحل الجمعة  لايظعن شتا ء ولاصيفا الالحاجة لانه صلى الله عليه وسلم لم يجمع بحجة الوداع مع عزمه على الاقامة اياما لعدم التوطن وكان يوم عرفة فيها يوم جمعة وصلى بها الظهر والعصر تقديما رواه مسلم  فلا تصح بكافر ولابغير مكلف ولابمن فيه رق ولابغيرذكر لنقصهم ولابغيرمتوطن لما مر    ( تحفة الطلا ب / هامس شرقاوى جزء 1 ص  

Dan keduanya (syarat wajib jum’at) adalah mendirikan Sholat Jum’at dengan jumlah 40 orang, meskipun imam disertakan yang beragama Islam, mukallaf, merdeka, dan leleki karena mengikuti Sunnah Nabi (HR : Baihaqi dan lainnya) serta ada hadits : Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat dalam keadaan menetap pada tempat jum’atan yang tidak pergi pada musim dingin dan panas melainkan karena ada hajat. Karena Nabi saw tidak melaksanakan sholat jum’at pada waktu haji wada’, yang azamnya mukim beberapa hari, karena tidak menetap tempat tinggalnya. Padahal hari Arafah, hari jum’at tapi beliau sholat dhuhur dan ashar dijama’ Taqdim (HR. Muslim). Maka tidak sah jum’atan karena kafir, belum mukallaf, budak, perempuan dan tidak menetap (mustauthin) menurut keterangan yang telah lewat (Tuhfatu al-Thullab/Hams Syarqowi juz : 1 halaman : 261-262)

2.        Al-Taqqrirot As-sadidah hlm : 324

السابعة الاقامة ,فلا تجب على المسافر,وتجب على المستوطن    
                                           
Ketujuh (syarat wajib jum’at) adalah mukmin. Maka tidak wajib jum’atan bagi musafir dan wajib bagi mustauthin.

3.     Kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Juz : 4 hlm : 246

قال المصنف رحمه الله تعالى: ولا تجب على المقيم في موضع لا يسمع النداء من البلد الذي تقام فيها الجمعة أو القرية التي تقام فيها الجمعة لما روى عبد الله بن عمرو أن النبي صلى الله عليه وسلم قال "الجمعة على من سمع النداء"

Kyai. Pengarang Kitab berkata : Sholat jum’at tidak wajib bagi orang yang mukim pada suatu tempat yang tidak mendengar panggilan (adzan) dari kota/desa yang mendirikan jum’atan. Menurut keterangan yang diriwayatkan  Abdullah bin Amr : Sesungguhnya Nabi saw bersabda : Sholat wajib atas orang yang mendengar panggilan (adzan)

Para pelajar dan mahasiswa yang rumahnya berdekatan dengan sekolah atau kampus termasuk golongan mustautin sedangkan yang rumahnya jauh dari sekolah atau kampus tidak termasuk golongan mustautin. Demikian pula karyawan yang rumahnya dekat dengan pabrik/perusahaan termasuk golongan mustautin, sedang yang jauh tidak termasuk golongan mustautin. Yang dimaksud dekat disini adalah dapat mendengarkan adzan dari tempat mendirikan salat Jumat yang dilakukan di atas menara tanpa pengeras suara dari muadzin yang suaranya normal pada saat yang hening tanpa kebisingan.

Yang dimaksud dengan mustautin adalah orang yang bertempat tinggal menetap di suatu tempat, tanpa ada keinginan pulang kembali ke kampung halamannya manakala tujuannya telah tercapai sebagaimana pelajar atau mahasiswa yang kost dikota lain dengan tujuan mencari ilmu yang apabila setelah lulus dai akan pulang ke kampungnya atau pindah ketempat lain. Maka mereka ini meskipun menetap sampai 5 tahun menuntut ilmu, tidak dapat digolongkan mustautin, tetapi hanya digolongkan mukimin saja.

Salat Jumat yang dilakukan oleh orang-orang yang mukim atau musafir seperti karyawan pabrik/ perusahaan adalah sah jika tempat melakukan salat Jumat tersebut sah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Akan tetapi mereka ini tidak sah dijadikan hitungan sebagai ahli Juamat di tempat melakukan salat Jumat tersebut.

Mengenai salat Jumat yang diadakan di sekolah/kampus atau di lingkungan pabrik, selama ahli Jumatnya yang terdiri dari orang-orang yang mustautin ada sejumlah 40 orang (menurut madzhab Syafii) laki-laki, orang merdeka bukan budak, sehat pendengarannya dan semuanya dapat membaca al Quran dengan benar, dan meskipun hari libur bertepatan dengan hari Jumat salat Jumat ditempat tersebut tetap ada (tidak diliburkan). Sedang tempatnya cukup jauh dengan tempat mendirikan salat Jumat yang lain (minimal 1666 m, menurut keputusan Muktamar NU), maka mendirikan salat Jumat ditempat tersebut adalah sah.

Menurut ibarat dari kitab I’anatut Thalibin juz 2 halaman 54, para murid sekolah, mahasiswa dan para karyawan yang tidak berdomisili di sekitar tempat mendirikan salat Jumat tidaklah termasuk golongan mustautin.

Dasar pengambilan Kitab Tausyih ala ibn Qosim halaman 78:

(وَ) السَّابِعُ (الإسْتِيْطَانُ) بِمَحَلِّ إِقَامَةِ الجُمُعَةِ فَلاَ تَنْعَقِدُ بِمَنْ يَلْزَمُهُ حُضُورُهَا مِنْ غَيْرِ المُسْتَوْطِنش وَهُوَ المُقِيْمُ بِمَحَلِّهَا أرْبَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ أو بِمضا يُسْمَعُ مِنْهُالنِّدَاءُ. وَلاَ تَنْعَقِدُ بِمُسافِرٍ وَمُقِيْمٍ عَزَمَ عَلَى عَوْدِهِ لِوَطَنِهِ وَلَو بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَالمُسْتَوطِنُ مَنْ لاَيُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ فَغَيْرُ المُسْتَوطِنِ إنْ كَانَ مُسَافِرًا لَمْ تَجِبْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَإنْ كَانَ مُقِيْمًا وَلَوْ أربَعَةَ أيَّامِ صِحَاحٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ.

“Dan yang ketujuh (dari syarat-syarat mendirikan salat Jumat) adalah istitan (bertempat tinggal menetap) di tempat mendirikan salat Jumat. Sehingga salat Jumat itu tidak sah (apabila ahli Jumatnya paling sedikit 40 orang itu digenapi jumlahnya) dengan orang yang wajib menghadiri salat Jumat dan ia bukan mustautin, yaitu orang yang bertempat tinggal ditempat mendirikan salat Jumat selama empat hari penuh, atau digenapi dengan orang yang mendengar adzan melalui pengeras suara atau radio tetapi rumahnya sangat jauh dari tempat mendirikan salat Juamat. Salat Jumat tidak sah dengan ahli Jumat (jamaah tetap) orang musagir atau orang mukim yang bercita-cita kembali kenegerinya meskipun sesudah jangka waktu yang lama. Mustautin itu adalah orang yang tidak bepergian dari tempat tinggalnya pada musim hujan atau musim lainnya, kecuali karena ada keperluan. Orang yang tidak mustautin, jika dia bepergian, maka dia tidak wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat itupun tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi dengan dia, dan jika musafir ini melakukan salat Jumat, maka salat Jumatnya sah. Jika musafir itu tinggal di suatu tempat, meskipun selama empat hari penuh, maka dia wajib melakukan salat Jumat dan salat Jumat tidak sah jika ahli Jumatnya digenapi hitungannya dengan dia, dan salat Jumat yang dilakukan olehnya sah. ”

Perlu di ketahui bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab itu adalah disebabkan oleh perbedaan ushul dan pendangan mereka terhadap dalil-dalil nash. Sebagai contoh, madzhab Hanafi tidak mau menggunakan hadist ahad (hadist yang dalam satu stadium hanya diriwayatkan oleh satu orang) meskipun sahih sebagai dasar pengambilan hukum. Bagi madzhab Hanafi hadist yang dapat dijadikan dasar hukum itu paling tidak adalah Hadist Mashur (hadist yang dalam satu stadium diriwayatkan oleh paling sedikit dua orang).

Sebaliknya madzhab Maliki mau menggunakan hadist dlaif asal tidak terlalu dlaif sebagai dasar pengambilan hukum. Sedang madzhab Syafii hanya mau menggunakan hadist sahih meskipun hadist tersebut adalah hadist ahad.

Terhadap ayat-ayat al Quran serta perbedaan ushul diantara mereka, maka hasil ijtihad mereka menjadi berbeda-beda. Jadi jika dalam satu masalah, misalnya fardlu wudlu, kita setuju pendapat madzhab Syafii, yaitu enam, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Syafii bahwa hadist yang dapat dijadikan dasr hukum adalah hadist sahih meskipun ahad. Jika kita setuju pendapat madzhab Hanafi, yatiu empat, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hadist yang dapat dijadikan dasar hukum adalah hadist masyhur. Kemudian jika kita setuju pendapat madzhab Maliki, yaitu delapan, maka hal itu berarti kita setuju pendapat Imam Malik bin Anas bahwa hadist dlaif itu dapat dijadikan dasar hukum.

Dengan demikian, maka dapat kita ketahui bahwa jika seseorang dalam keadaan tidak terpaksa memiliki pendapat yang ada diantara para Imam Madzhab dengan alasan sama benarnya (melakukan talfiq) , maka berarti orang tersebut tidak mengetahui dan tidak memiliki pendirian yang tetap (consist) terhadap pokok masalah yang menjadi landasan dan dasar hukum. Terlebih hal itu tidak diperkenankan oleh agama.

Dasar pengambilan Kitab I’anatut Thalibin juz 4 halaman 217-218:

(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ العَامِى بِمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَتُهُ وَإلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهَبُ بَمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنَ الأرْبَعَةٍ لاَغَيْرِهَا وَإنْ عَمَلَ بِالأوَّلِ. الإنْتِقَالُ الَى غَيْرِهِ بِالكُلِّيَّةِ أوْ فِى المَسَائِلِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرُخَصُ بِأنْ يَأخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِالأَسْهُلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى الأوجَة.

(faedah) apabila ada seorang yang awam berpegang teguh pada satu mazhab, maka wajib baginya untuk menyesuaikan diri dengan mazhab tersebut. Jika tidakdemikian, maka wajib baginya bermazhab dengan mazhab yang tertentu dari empat mazhab, bukan dengan selainya. Kemudian jika dia mengamalkan dengan mazhab yang pertama, dia boleh pindah ke mazhab lainya secara keseluruhan atau dalam masalah tertentu dengan syarat tidak mengikuti keringanan-keringanan, seperti apabila dia mengambil dari mazhab yang paling ringan dari mazhab tersebut, sehingga karenaya, menurut pendapat yang paling kuat, dia menjadi orang yang fasik.

Hukum Bilal Dalam Sholat Jum'at


Ada beberapa shalat yang menggunakan khutbah, berbeda dengan shalat maktubah (wajib) pada umumnya, salah satunya shalat Jum’at. Dalam khutbah tersebut biasanya Muadzin (orang yang adzan atau disebut juga bilal) membaca bacaan sebelum Khatib (orang yang menyampaikan khutbah) naik ke mimbar serta di antara 2 khutbah. Bacaannya adalah sebagai berikut:

مَعَاشِرَ الُمسْلِمِين وَزُمْرَةَ المُؤْمِنِينَ رَحِمكُمُ اللَه رُوِيَ عَنُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْه أَنَّهُ قَال قَالَ رَسُولُ اللِه صَلّيَ اللهَ عَلَيهِ وَسَلَم إذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الُجمعَةِ أَنْصِتْ وَالإمَامُ يَخطُبُ فَقَدْ لَغَوت (أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا رَحِمَكُمُ الله ,أَنْصِتُوا وَاسْمعُوا وَأطِيْعُوْا لَعَلَكُمْ تُرْحمَون

Artinya :
"Wahai golongan kaum muslim dan kaum mukmin, semoga Allah senantiasa memberikan rohmat-Nya kepada kamu sekalian. Diriwayatkan dari sahabat Abu Huraiarah ra., bahwasanya beliau berkata, Rosulullah SAW bersabda : ketika kamu berkata “ansit” kepada temanmu pada hari jum’at (sholat jum’at), sedangkan khotib sedang berkhutbah, maka kamu telah melakukan hal yang sia-sia. Barang siapa yang melakukan hal sia-sia, maka tidak ada jum’at baginya, maka perhatikan, dengarkan, dan ta’atilah, semoga Allah memberikan rohmat kepada kamu sekalian.”

Catatan :
Kata “ansit” di sini adalah kata seruan untuk memperingati seseorang, misalnya “stttt !!!” juga merupakan kata “ansit” yang memberikan artian ajakan untuk diam, “hei” juga merupakan kata “ansit” yang memberikan artinya ajakan untuk tidak ramai, dan lain sebagainya.

Bacaan seperti itu lazim dibacakan ketika seorang Khatib hendak naik ke mimbar, terutama dalam khutbah shalat Jumat. Memang hal ini termasuk bid’ah karena tidak ada pada masa Rasulullah SAW dan tidak ada dalil tentang hal tersebut. Namun bid’ah ini tergolong bid’ah hasanah (bid’ah baik atau boleh dilakukan) karena dibaca sebelum Khatib naik ke mimbar. Yang tidak diperbolehkan adalah bacaan ini dibaca ketika Khatib sedang berkhutbah, hal ini berdasarkan hadis Nabi SAW:

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ . وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ

“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jumat, ‘Diamlah, khotib sedang berkhotbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.”(HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851).

Bacaan tersebut makruh dibacakan dihadapan Khatib atau ketika Khatib sedang berkhutbah, hal ini berdasarkan pendapat al-Jhuury, “Karena yang demikian tidak pernah dinuqil dari nabi dan seorang sahabatpun dari sahabat-sahabat beliau, yang demikian adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Syam”. Pendapat lain menyatakan bahwa menghukuminya makruh perlu dikaji ulang karena yang dilakukan Muadzin tersebut adalah bentuk peringatan untuk tidak mengerjakan hal-hal yang diharamkan saat khutbah berlangsung, kiranya dapat tergolong bid’ah hasanah. Hal ini berdasarkan Al Fawakih ad Diwani III/190.

Untuk bacaan Muadzin saat Khatib duduk di antara dua khutbah bisa dengan shalawat sebagaimana biasa dilakukan, tasbih, tahlil, ataupun istighfar. Hal ini diperbolehkan menurut Imam Syafi’i dengan catatan tidak berlebihan dengan mengeraskan suara atau secara sirr (pelan) dan sebaiknya tidak terdengar oleh orang yang berada di sampingnya. Menurut Imam Abu Hanifah hal ini hukumnya makruh mendekati haram, baik itu hanya sekedar membaca do’a atau shalawat kepada Nabi, ataupun percakapan tentang urusan dunia. Sedangkan menurut Imam Maliki hal ini tidak diperbolehkan sama sekali.

Bilal Jum’at atau muroqqi atau seseorang yang meminta perhatian jama’ah jum’at agar menyimak khutbah sekaligus mengatur prosesi khotbah jum’at, tidaklah tergolong bid’ah. Mengapa? Karena hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwirul Qulub berkata, “Menjadikan seorang muraqqi atau bilal pada shalat Jum’at baru dilakukan pasca abad pertama hijriyah. Namun sesungguhnya Rasulullah Saw pernah menyuruh seseorang untuk meminta perhatian orang banyak agar menyimak khutbah beliau di Mina ketika haji Wada’. Inilah sebenarnya hakikat dari muraqqi itu. Sehingga pelaksanaannya sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai bid’ah, karena dalam penyebutan ayat (yang artinya): “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya membaca shalawat kepada Nabi”, terdapat peringatan dan motivasi untuk selalu membaca shalawat kepada Nabi Saw pada hari yang agung ini, yang memang sangat dianjurkan membaca shalawat. Dan dalam pembacaan hadits riwayat Imam Muslim dan lainnya setelah adzan: “Apabila kamu berkata-kata kepada temanmu, padahal imam sedang berkhutbah, maka sungguh sia-sia Jum’at-mu”. Hadits ini memberi peringatan kepada orang mukallaf untuk menjauhi perkataan yang haram ataupun perkataan yang makruh selama khutbah. Nabi Saw mengucapkan hadits ini ketika beliau menyampaikan khutbah di atas mimbar. Hadits tersebut adalah shahih. As-Syibramalisi mengatakan, boleh jadi Nabi SAW mengeluarakan hadits itu pada awal khutbah karena mengandung perintah untuk diam dan tenang menyimak khutbah.”.

Sesuai dengan perkataan Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi ini, maka yang dianjurkan untuk dibaca bilal adalah hadits yang berkaitan dengan peringatan itu. Misalnya sabda Rasulullah Saw :

رُوِيَ عَنُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْه أَنَّهُ قَال قَالَ رَسُولُ اللِه صَلّيَ اللهَ عَلَيهِ وَسَلَم إذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الُجمعَةِ أَنْصِتْ وَالإمَامُ يَخطُبُ فَقَدْ لَغَوت.

Artinya : “Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Apabila engkau katakan kepada temanmu pada hari Jum’at (kata) “diamlah” sewaktu imam menyampaikan khutbah, maka sesungguhnya hilanglah pahala jum’atmu.” (HR Bukhari).

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk membid’ahkan perbuatan ini. Bilal Jum’at itu tidak dilarang dalam agama karena ada tujuan terpuji di balik pelaksanaannya. Dan Rasulullah Saw juga pernah melaksanakannya.

Sedangkan tatacara Bilal Jum’at, di setiap daerah atau desa biasanya mempunyai tatacara yang berbeda-beda. Di antaranya ada yang memakai cara sebagai berikut:

Pertama, acara di awali oleh bilal. Posisi bilal berada di dekat mimbar membawa tongkat menghadap ke jama’ah, seraya membaca bacaan seperti berikut ini :

مَعَاشِرَ الُمسْلِمِين وَزُمْرَةَ المُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ الله, رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْه, أَنَّهُ قَال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلْ: إذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الُجمعَةِ أَنْصِتْ وَالإمَامُ يَخطُبُ فَقَدْ لَغَوت, (أَنْصِتُوْا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا رَحِمَكُمُ الله. X۲) أَنْصِتُوا وَاسْمعُوا وَأطِيْعُوْا لَعَلَكُمْ تُرْحمَون.

Artinya :
"Wahai golongan kaum muslim dan kaum mukmin, semoga Allah senantiasa memberikan rohmat-Nya kepada kamu sekalian. Diriwayatkan dari sahabat Abu Huraiarah ra., bahwasanya beliau berkata, Rosulullah SAW bersabda : ketika kamu berkata “ansit” kepada temanmu pada hari jum’at (sholat jum’at), sedangkan khotib sedang berkhutbah, maka kamu telah melakukan hal yang sia-sia. Barang siapa yang melakukan hal sia-sia, maka tidak ada jum’at baginya, maka perhatikan, dengarkan, dan ta’atilah, semoga Allah memberikan rohmat kepada kamu sekalian.”

Catatan :
Kata “ansit” di sini adalah kata seruan untuk memperingati seseorang, misalnya “stttt !!!” juga merupakan kata “ansit” yang memberikan artian ajakan untuk diam, “hei” juga merupakan kata “ansit” yang memberikan artinya ajakan untuk tidak ramai, dan lain sebagainya.

Setelah bilal selesai membaca kalimat di atas, lalu bilal menghadap qiblat, sedangkan khotib berjalan menghampiri bilal meminta tongkat yang dibawah bilal, terus dibawah menuju mimbar dengan di iringi bacaan sholawat tiga kali oleh bilal, seperti di bawah ini :

اَللَهُمّ صَلِّ عَلَي سَيّدِنَا مُحمّدٍ, اَللَهُمّ صَلِّ عَلَي سَيّدِنَا مُحمّدٍ, اَللَهُمّ صَلِّ عَلَي سَيّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحمّدٍ وَعَلَي أَلِ سَيّدِنَا مُحمَدٍ.

Kedua, sampai di atas mimbar, khotib berdiri menghadap jama’ah, sementara bilal meneruskan membaca do’a berikut ini :

اللَّهُمَّ قَوِّ الْاِسْلامَ, مِنَ المُسْلِمِينَ وَالُمسْلِمَات, والمُؤْمِنِين وَالُمؤْمِنَات, وَانْصُرْهُمْ عَلَى مُعَانِدِ الِدّيْنِ وَاخْتِمْ لَنَا بِالخَيْر, ويَا خَيْرَ النَّاصِرِينَ برَحْمَتِكَ يااَرْحَمَ الرَاِحِمين.

Artinya :
"Ya Allah, kuatkanlah keislaman dan keimanan kaum muslimin (pria) dan muslimat (wanita), kaum mukminin (pria) dan mukminat (wanita), yang masih hidup dari mereka semua dan juga yang sudah meninggal, mudahkanlah mereka untuk mengokohkan agama, akhirilah (hidup) kami dari-Mu dengan kebaikan, wahai Tuhan sebaik-baik penolong, dengan rohmat-Mu wahai Tuhan yang Maha penyayang dari semua penyayang”

Ketiga, setelah selesai do’a di atas, khotib langsung mengucapkan salam kepada jama’ah, lalu duduk. Kemudian bilal mengumandangkan Adzan. Selesai adzan, bilal terus duduk, sedangkan khatib terus berdiri dan memulai khutbah pertamanya.
Keempat, selesai khotbah pertama, bilal melantunkan sholawat yang biasa dibaca diantara dua khutbah, misalnya seperti berikut ini :

أَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ، وَزِدْ وَاَتِمْ وَتَفَضَّلْ وَبَارِكْ، بِجَلاَلِكَ وَكَمَالِكَ عَلَى زَيْنِ عِبَادِكْ، وَأَشْرَفِ عِبَادِكَ سَيِّدِ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ، وَإِمَامِ طَيْبَةَ وَالْحَرَامْ، وَمَنْبَعِ الْعِلْمِ وَالْحِلْمِ وَالْحِكْمَةِ وَالْحِكَمْ, أَبِي الْقَاسِمِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وأَلِهِ وَسَلَّمَ، وَرَضِيَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ.

Kelima, selesai bacaan sholawat tersebut, khotib berdiri dan memulai khotbahnya yang kedua.
Keenam, selesai khotbah yang kedua, bilal langsung Iqomah.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...