Minggu, 31 Oktober 2021

Status Hadits Dzikir Masuk Pasar


Berdzikir atau mengingat Allah bukanlah hanya di masjid atau tempat shalat. Berdzikir pada Allah itu setiap saat bahkan sampai di tempat keramaian sekalipun seperti pasar. Namun karena kesibukan dunia dan transaksi di pasar, banyak yang lalai dari Allah. Ujung-ujungnya sampai terjerumus dalam perkara yang haram karena merasa tidak ada yang mengawasinya setiap saat.

Fadhilah Dzikir

Kita telah mengetahui bahwa dzikir adalah amalan yang amat utama. Di antara bentuk dzikir adalah menyebut asma’ dan sifat Allah, ditambah perenungan makna dan pengaplikasiannya. Di samping itu, mengingat nikmat Allah juga termasuk bagian dari dzikir. Begitu pula duduk di majelis ilmu untuk mengkaji hukum-hukum Allah juga termasuk dzikir. Demikian macam-macam dzikir yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim semacam dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib dan Madarijus Salikin.

Di antara keutamaan dzikir sebagaimana disebutkan berikut ini:

(1) Dengan dzikir akan mengusir setan.

(2) Dzikir mudah mendatangkan ridho Ar Rahman.

(3) Dzikir dapat menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.

(4) Dzikir menguatkan hati dan badan.

(5) Dzikir menerangi hati dan wajah pun menjadi bersinar.

(6) Dzikir mudah mendatangkan rizki.

(7) Dzikir membuat orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.

(8) Hati dan ruh semakin kuat dengan dzikir. Jika seseorang melupakan dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, “Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku” –atau perkataan beliau yang semisal ini-.

(9) Senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19).

(10) Dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”

Demikian sebagian keutamaan dzikir yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib.

Berdzikir di Kala Orang-Orang Lalai

Lisan ini diperintahkan untuk berdzikir setiap saat. Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,

جَاءَ أَعْرَابِيَّانِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». وَقَالَ الآخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَلَىَّ فَمُرْنِى بِأَمْرٍ أَتَشَبَّثُ بِهِ. فَقَالَ « لاَ يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ »

“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188, sanad shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth). Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir itu dilakukan setiap saat, bukan hanya di masjid, sampai di sekitar orang-orang yang lalai dari dzikir, kita pun diperintahkan untuk tetap berdzikir.

Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam shalat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524). Dinyatakan lebih baik karena orang yang berdzikir di pasar berarti berdzikir di kala orang-orang pada lalai. Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.

Lihatlah contoh ulama salaf. Kata Ibnu Rajab Al Hambali setelah membawahkan perkataan Abu ‘Ubaidah di atas, beliau mengatakan bahwa sebagian salaf ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang lalai dari mengingat Allah. Ibnu Rajab pun menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.” Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi temannya. Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar (dan lantas mengingat Allah).” Lihat Jaami’ul wal Hikam, 2: 524).

Kedho’ifan Do’a Khusus Masuk Pasar

At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَخْبَرَنَا أَزْهَرُ بْنُ سِنَانٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ وَاسِعٍ، قَالَ: قَدِمْتُ مَكَّةَ فَلَقِيَنِي أَخِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ فَحَدَّثَنِي، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ دَخَلَ السُّوقَ، فَقَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، كَتَبَ اللَّهُ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ ".

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun : Telah mengkhabarkan kepada kami Az-har bin Sinaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Waasi’, ia berkata : Aku pernah datang ke Makkah, lalu aku menjumpai saudaraku, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar. Lalu ia menceritakan kepadaku dari ayahnya, dari kakeknya : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Barangsiapa yang masuk pasar dan mengucapkan : Laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu, lahul-mulku wa lahul-hamdu yuhyii wa yumiitu wahuwa hayyun laa yamuutu biyadihil-khairu wa huwa ‘alaa kulli syain qadiir (Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan, bagi-Nya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan pernah mati. Di tangan-Nya kebaikan. Dia-lah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu); maka Allah akan tulis baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan (dosa), dan mengangkatnya sejuta derajat” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3428].

Diriwayatkan juga oleh Ad-Daarimiy no. 2734, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah no. 2821, Adl-Dliyaa' dalam Al-Mukhtarah no. 186 - 169, ‘Abd bin Humaid no. 28, Al-Haakim 1/538, Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 1/151, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 792, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/262, Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 56/139, dan Ibnu Qudaamah dalam Fadllu Yaumit-Tarwiyyah wa ‘Arafah no. 23; semuanya dari jalan Az-har bin Sinaan Al-Qurasyiy dan selanjutnya seperti hadits di atas.

Sanad riwayat ini dla’iif (lemah) dengan sebab Az-har. Berikut keterangan para perawinya :

1.     Ahmad bin Manii’ bin ‘Abdirrahmaan Abu Ja’far Al-Baghawiy Al-Asham; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 244 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 100 no. 115].

2.     Yaziid bin Haaruun bin Zaadziy atau Zaadzaan bin Tsaabit As-Sulamiy Abu Khaalid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqahke-9, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 206 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].

3.     Az-har bin Sinaan Al-Bashriy, Abu Khaalid Al-Qurasyiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh At-Tirmidziy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 123 no. 311].

4.     Muhammad bin Waasi’ bin Jaabir bin Al-Akhnas bin ‘Aaidz bin Khaarijah bin Ziyaad Al-Azdiy, Abu Bakr/Abu ‘Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 123 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 904 no. 6408].

5.     Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang yang tsabat, ‘aabid, lagi mempunyai keutamaan. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 106 H.. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 360 no. 2189].

6.     ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasukthabaqah ke-1, dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528 no. 3514].

7.     ‘Umar bin Al-Khaththaab bin Nufail bin ‘Abdil-‘Uzzaa bin Riyaah bin ‘Abdillah bin Qarth bin Razaah bin ‘Adiy Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu Hafsh; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, amiirul-mukminiin. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 23 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 717 no. 4922].

Muhammad bin Waasi’ dalam periwayatan dari Saalim mempunyai mutaba’ah dari :

1.     ‘Amru bin Diinaar Aaluz-Zubair.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3429, Ibnu Maajah no. 2235, Ahmad 1/47, Ath-Thayaalisiy no. 12, Ad-Duulaabiy dalam Al-Kunaa no. 705, Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183, Abu Nu’aim dalam Akhbaar Ashbahaan 2/150, Abul-‘Abbaas Al-Asham dalam Hadiits-nya no. 58, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 2/205 & 6/235-236, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 212, Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid no. 1598, Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 789-791, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1338, Ar-Ramahurmuziy dalam Al-Muhaddits Al-Faashil 1/332-333, Abusy-Syaikh Al-Ashbahaaniy dalam Thabaqaatul-Muhadditsiin no. 332 & 443, ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Akhbaarush-Shalaah no. 133, Bakr bin Bakkaar dalam Juuz-nya no. 47, Ibnu Abi Fawaaris dalam Juuz-nya no. 129, Abu ‘Abdillah bin Mandah dalam Al-Amaaliy no. 167 & 372, Abu ‘Abdillah Al-Farraa' dalam Al-Fawaaid no. 43, Ibnu Basyraan dalam Al-Amaaliy 1/300, Asy-Syajriy dalam Al-Amaaliy no. 40 & 117, Al-Khathiib dalam Maudlihul-Auhaam2/318-319, Ibnul-Bannaa Al-Baghdaadiy dalam Fadlaailut-Tahliil no. 5, dan Adz-Dzahabiy dalamAt-Taariikh 29/345; semuanya dari jalan ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dan selanjutnya seperti hadits di atas.

Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab ‘Amru bin Diinaar. Nama lengkapnya adalah : ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Yahyaa Al-A’war, Qahramaan Aaluz-Zubair; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 734 no. 5060].

Diriwayatkan juga oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/538 : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Muhammad bin Zaid : Telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Bashrah, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.

Kemungkinan laki-laki mubham ini adalah ‘Amru bin Diinaar Al-Bashriy. Wallaahu a’lam.

Abu Haatim rahimahullah berkata : “Hadits ini sangat munkar. Saalim tidak meriwayatkan hadits ini” [Al-‘Ilal, 5/312 no. 2006].

2.     Muhaajir bin Habiib.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraani dalam Ad-Du’aa’ no. 793 dan Abul-Fadhl Az-Zuhriy dalam Hadiits-nya no. 176; semuanya dari Abu Khaalid Al-Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Muhaajir, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “...(al-hadits)...”.

Sulaimaan bin Hayyaan Al-Azdiy Abu Khaalid Al-Ahmar (114-189/190 H); seorang yangdiperselisihkan statusnya.

Ishaq bin Rahaawaih berkata : Aku bertanya kepada Wakii’ tentang Abu Khaalid, lalu ia berkata : “Dan Abu Khaalid, apakah ia termasuk orang yang masih ditanyakan ?”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaduuq, namun bukan sebagai hujjah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tsiqah”. Di lain riwayat ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. ‘Aliy bin Al-Madiniy berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Abu Hisyaam Ar-Rifaa’iy berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, at-tsiqatul-amiin (sangat terpercaya)”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”. Abu Bakr Al-Khathiib berkata : “Sufyaan mencela Abu Khaalid dengan sebab keluarnya bersama Ibraahiim bin ‘Abdillah bin Hasan. Adapun dalam masalah hadits, maka ia tidak mencelanya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ia mempunyai hadits-hadits yang shaalihah (baik). Hanya saja, hapalannya yang jelek menyebabkan ia sering keliru. Ia pada asalnya adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Ma’iin : ‘shaduuq, namun nukan sebagai hujjah” [Tahdziibul-Kamaal, 11/394-398 no. 2504]. Ibnu Sa’d berkata : “Seorang yang tsiqah, banyak haditsnya”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah, shaahibus-sunnah”. Al-Bazzaar berkata : “Bukan seorang yang haafidh. Ia meriwayatkan hadits-hadits dari Al-A’masy dan lainnya yang tidak mempunyai mutaba’ah” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/182 no. 313]. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering keliru (yukhthi’)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 406 no. 2562]. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah masyhuur” [Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq Au Shaalihul-Hadiits, hal. 239-240 no. 144].

Kesimpulan : Ia seorang yang tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (auhaam).

Adapun Muhaajir bin Habiib atau Muhaashir bin Habiib, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya – atau bahkan ia seorang yang tsiqah.

Riwayat ini munkar.

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata : “’Aliy bin Al-Madiiniy berkata dalam Musnad ‘Umar : ‘Adapun hadits Muhaajir dari Saalim tentang orang yang masuk ke pasar, maka Muhaajir bin Habiib ini seorang yang tsiqah dari kalangan penduduk Syaam. Akan tetapi Abu Khaalid Al-Ahmar tidak pernah berjumpa dengannya. Yang meriwayatkan darinya hanyalah Tsaur bin Yaziid, Al-Ahwash bin Hakiim, Faraj bin Fadlaalah, dan penduduk Syaam. Ini adalah hadits munkar dari hadits Muhaajir dimana ia mendengarnya dari Saalim. Hadits ini hanyalah diriwayatkan oleh seorang syaikh yang menurut ulama tidak tsabt yang bernama ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair. Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’ hadits tersebut darinya. Shahabat-shahabat kami sangat mengingkari hadits ini karena kebagusan sanadnya. Syaikh ini (yaitu ‘Amru bin Diinaar) meriwayatkan satu hadits yang lain dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : ‘Barangsiapa yang melihat sesuatu yang basah....’. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perkataan yang tidak aku hapal. Dan ini termasuk yang diingkari para ulama. Seandainya Muhaajir shahih haditsnya tentang doa masuk pasar, niscaya ‘Amru bin Diinaar tidak diingkari dalam hadits ini” [Musnad Al-Faaruuq, 2/642-643].

3.     ‘Ubaidullah Al-‘Umariy.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 13175 dan dari jalannya diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 12637 dan Ibnu ‘Asaakir dalam At-Taariikh 45/405 : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Aslam Al-Himshiy : Telah menceritakan kepada kami Salm bin Maimuun Al-Khawwaash, dari ‘Aliy bin ‘Athaa’, dari ‘Ubaidullah Al-‘Umariy, dari Saalim bin ‘Abdillah, dari ayahnya, ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “......(al-hadits)...”.

Dalam riwayat ini, Ibnu ‘Umar meriwayatkan langsung secara marfuu’ dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tanpa melalui perantaraan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa. Ini keliru, karena yang benar Ibnu ‘Umar meriwayatkan hadits ini melalui perantaraan ayahnya.

Sanad riwayat ini dla’iif dengan sebab Salm bin Maimuun Al-Khawwaash Az-Zaahid Ar-Raaziy. Ia seorang perawi dla’iif yang meriwayatkan beberapa hadits munkar [lihat : Lisaanul-Miizaan, 4/112 no. 3551]. Adapun ‘Aliy bin ‘Athaa’, saya belum menemukan data biografinya.

Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy dalam Al-‘Ilal Al-Kabiir hal. 674, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr 12/302 no. 6140, Al-Haakim 1/539, dan Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 6/167; semuanya dari jalan Yahyaa bin Sulaim, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’.

At-Tirmidziy berkata : Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini. Maka ia berkata : “Ini adalah hadits munkar”. Aku berkata kepadanya : “Siapakah ‘Imraan bin Muslim ini ?. Apakah ia ‘Imraan bin Al-Qashiir ?”. Ia berkata : “Bukan. Syaikh ini munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, hal. 363]. Penghukuman Al-Bukhaariy tersebut sama dengan Abu Haatim [Al-‘Ilal, 5/352 no. 2038].

Ibnu Abi Haatim berkata : “Hadits ini keliru. Yang benar adalah : ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar Qahramaan Aaliz-Zubair, dari Saalim, dari ayahnya. Lalu perawi keliru dan menjadikan nama ‘Amru (bin Diinaar) sebagai ‘Abdullah bin Diinaar, dan menggugurkan Saalim dari sanad hadits ini. Telah menceritakan kepada kami hal tersebut Muhammad bin ‘Ammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Sulaimaan, dari Bukair bin Syihaab Ad-Daamaghaaniy, dari ‘Imraan bin Muslim, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia menyebutkan haditsnya” [Al-‘Ilal, 5/352-353].

Perkataan Ibnu Abi Haatim ini sekaligus menunjukkan kekeliruan sanad yang dibawakan oleh Al-Haakim 1/539 yang menyebutkan mutaba’ah ‘Imraan bin Muslim dalam periwayatan dari ‘Abdullah bin Diinaar : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Baalawaih : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Al-Hasan bin Habdarah : Telah menceritakan kepada kami Masruuq bin Al-Marzabaan : Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan, dari ‘Abdullah bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “....(al-hadits)....”.

Hal itu dikarenakan Hisyaam bin Hassaan masyhur dalam hadits ini meriwayatkan dari ‘Amru bin Diinaar, dari Saalim, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfuu’.

Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 1/169 & 1/321 membawakan mutaba’ah dari Saalim, yaitu ‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam dan Khaarijah bin Mush’ab. Akan tetapi ‘Abdurrahmaan dan Khaarijah adalah dua orang perawi yang sangat lemah.

‘Abdurrahmaan bin Zaid bin Aslam; seorang yang dla’iif menurut kesepakatan sebagaimana dikatakan Ibnul-Jauziy. Bahkan Ibnu Ma’iin berkata berkata : “Haditsnya tidak ada apa-apanya”. Ibnu Sa’d berkata : “Sangat lemah”. As-Saajiy berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits palsu” [Tahdziibut-Tahdziib, 6/177-179 no. 361].

Khaarijah bin Mush’ab bin Khaarijah Adl-Dluba’iy, Abul-Hajjaaj Al-Khurasaaniy As-Sarkhasiy; seorang yangmatruuk, melakukan tadlis dari para pendusta. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 168 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 283 no. 1622].

‘Umar bin Al-Khaththaab mempunyai syaahid dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 183 : Telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Zuhair : Telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin Al-Khaththaab : Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh At-Tuniisiy, dari Shadaqah, dari Al-Hajjaaj bin Arthaah. Dari Nahsyal bin Sa’iid, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim, dari Ibnu ‘Abbaas secara marfuu’.

Sanad riwayat ini sangat lemah terutama dengan keberadaan Nahsyal bin Sa’iid. Nama lengkapnya adalah : Nahsyal bin Sa’iid bin Wardaan Al-Qurasyiy Al-Wadaaniy, Abu Sa’iid/Abu ‘Abdillah Al-Khuraasaaniy An-Naisaabuuriy; seorang yang matruk – Ishaaq bin Rahawaih mendustakannya. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1009 no. 7247].

Kesimpulan :

Hadits ini dengan keseluruhan jalannya adalah dla’iif. Jalan-jalan hadits yang ada belum mampu menaikkan hadits ini pada derajat hasan atau yang lebih tinggi dari itu (shahih).

FAEDAH HADITS :

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Yang dimaksud dengan pasar adalah semua tempat yang didatangkan dan diperjual-belikan padanya berbagai macam barang dagangan [Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (1/170).

Yang ini mencakup pasar tradisional, pasar modern, super market, mall, toko-toko besar dan lain-lain.

- Pasar adalah tempat berjual-beli dan tempat yang melalaikan orang dari mengingat Allah Ta’ala karena kesibukan mengurus perdagangan. Maka di sanalah tempat berkumpulnya setan dan bala tentaranya, sehingga orang yang berzikir di tempat seperti itu berarti dia telah memerangi setan dan tentaranya, maka pantaslah jika dia mendapat pahala dan keutamaan besar yang tersebut dalam hadits di atas. [Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (9/272) dan “Faidhul Qadiir” (1/170).].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

“Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)

Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan.

Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa.

Abu Sholeh mengatakan,
“Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”

- Pasar merupakan tempat yang paling dibenci oleh Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خير البقاع المساجد و شر البقاع الأسواق

“Sebaik-baik tempat adalah masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar.” (HR. At-Thabarani dan al-Hakim. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 3271)

ada juga hadits lain:

لا تكونن إن استطعت أول من يدخل السوق ولا آخر من يخرج منها

" Janganlah engkau menjadi orang pertama yang masuk pasar jika engkau mampu dan jangan pula menjadi orang paling terakhir yang keluar darinya.

فإنها معركة الشيطان وبها ينصب رايته

Karena pasar itu adalah tempat peperangan para syaitan dan disanalah ditancapkan benderanya." [diriwayatkan oleh Imam Muslim (2451) dari Salman radiyallohu ‘anhu]

Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al-Imam menjelaskan hadits diatas:

Ucapan ini memiliki hukum marfu (disandarkan kepada Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, pen).

Yang dimaksud dengan ا لمعر كة dalam kata ”معركة الشيطان ” adalah tempat peperangan para syaitan dan mereka menjadikan pasar sebagai tempat perang tersebut karena dia mengalahkan mayoritas penghuninya disebabkan karena mereka lalai dari dzikrullah dan gemar melakukan kemaksiatan.

Oleh karena itu, pasar merupakan tempat yang dibenci oleh Alla Subhaanahu wata’ala.

(Kemudian beliau membawakan hadits)

أحب البلاد إلى الله مساجدها و أبغض البلاد إلى الله أسواقها

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim no. 671 dari Abu Hurairah)

Demikianlah para setan berkumpul di tempat-tempat yang di dalamnya gemar dilakukan perbuatan maksiat dan kemungkaran.

Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam:

إن هذه السوق يخالطها اللغو والكذب ، فشوبوها بالصدقة

Sesungguhnya pasar ini, bercampur (perbuatan/perkataan yang) sia-sia dan kedustaan (sumpah serapah). maka campurilah dengan sedekah (Shahiih, HR. Nasaa-iy; dishahiihkan oleh syaikh al-Albaniy dalam shahih an Nasaa-iy)

Maka bukan berarti menjadikan kita memahami keutamaan dzikir masuk pasar ini dengan pemahaman,

“kalau begitu, kita akan ke pasar setiap hari (walaupun tanpa keperluan mendesak) untuk menggapai fadhilah dzikir masuk pasar..”

karena telah dijelaskan diatas bahwa pasar merupakan tempat yang Allah benci, sejelek-jeleknya tempat yang dimana diatas terdapat berbagai macam kemungkaran, perbuatan dan perkataan sia-sia, belum lagi disanalah tempat syaithan berkumpul dan ditancapkan benderanya.. maka tentunya orang yang mencintai Allah akan mencntai apa yang di cintaiNya dan membenci apa yang dibenciNya.

Maka kita ke pasar SEKEDAR dengan KEBUTUHAN kita, terkecuali jika memang kita seorang pedagang (yang memang tempatnya dipasar), yang dimana disanalah tempat kita mencari nafkah.

- Seorang muslim yang datang ke pasar untuk mencari rezki yang halal, dengan selalu berzikir (ingat) kepada Allah Ta’ala dan meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya, maka ini adalah termasuk sebaik-baik usaha yang diberkahi oleh Allah Ta’ala.

Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya sendiri (yang halal)” [SHAHIIH, HR an-Nasa-i (no. 4452), Abu Dawud (no. 3528), at-Tirmidzi (no. 1358) dan al-Hakim (no. 2295), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani]

- Dzkir ini lebih utama jika diucapkan dengan lisan disertai dengan penghayatan akan kandungan maknanya dalam hati.

Karena dzikir yang dilakukan dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama [Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 314)]

Jangan Mudah Melaknat Dan Mendoakan Jelek Pada Orang Lain


Larangan mendoakan jelek dan melaknat, baik ditujukan pada diri sendiri, orang lain maupun sesuatu apa pun di luar dirinya sebagai berikut:

واحذر – أن تدعو على نفسك أو على ولدك أو على مالك أو على احد من المسلمين وإن ظلمك,  فإن من دعا على من ظلمه فقد انتصر. وفي الخبر “لا تدعوا على انفسكم ولا على أولادكم ولا على اموالكم لاتوافقوا من الله ساعة إجابة”.

Artinya: “Jangan sekali-kali mendoakan datangnya bencana atau mengutuk diri sendiri, keluargamu, hartamu ataupun seseorang dari kaum Muslimin walaupun ia bertindak dzalim terhadapmu, sebab siapa saja mengucapkan doa kutukan atas orang yang mendzaliminya, berarti ia telah membalasnya. Rasulullah SAW telah bersabda: ‘Jangan mendoakan bencana atas dirimu sendiri, anak-anakmu ataupun harta hartamu. Jangan-jangan hal itu bertepatan dengan saat pengabulan doa oleh Allah SWT’.”

Larangan tersebut ditulis oleh  Allamah Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam kitabnya berjudul Risâlatul Mu‘âwanah wal Mudzâharah wal Muwâzarah, halaman 141.

Hendaknya kita berhati-hati dalam masalah laknat. Bahkan kepada orang kafir sekalipun. Orang kafir yang masih hidup tidak boleh ditujukan laknat kepadanya secara personal. Hukumnya haram melaknat orang kafir secara personal yang masih hidup. Karena boleh jadi Allah merahmati dia, sehingga dia mendapatkan hidayah untuk masuk Islam.

Definisi laknat secara bahasa adalah:

الإِبْعادُ والطَّرْد من الخير وقيل الطَّرْد والإِبعادُ من الله ومن الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء واللَّعْنةُ الاسم والجمع لِعانٌ ولَعَناتٌ ولَعَنه يَلْعَنه لَعْناً طَرَدَه وأَبعده

“Menjauhkan dan menyingkirkan kebaikan. Dikatakan : ‘Menyingkirkan dan menjauhkan (jika berasal) dari Allah. Dan (jika berasal) dari makhluk maknanya adalah cacian dan doa’. Laknat adalah kata benda (ism), bentuk jamaknya adalah li’aan dan la’anaat. La’anahu – yal’anahu – la’nan, yaitu menyingkirkannya dan menjauhkannya” [Lisaanul-‘Arab, hal. 4044].

Adapun secara istilah:

البعد عن رحمة الله تعالى

“Menjauhkan dari rahmat Allah ta’ala dan pahala-Nya” [‘Umdatul-Qaariy 22/117; Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah, 2/167; dan Aadaabusy-Syar’iyyah 1/344].

Semua hal yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya berdasarkan dalil, maka itu termasuk dosa besar.

Oleh karena itu, haram hukumnya melaknat seorang mukmin yang tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak menampakkan kemaksiatan-kemaksiatannya secara terang-terangan.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 58].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ

“Pelaknatan terhadap seorang mukmin seperti membunuhnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6105 & 6653 dan Muslim no. 110].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

اعلم أن لعن المسلم المصون حرامٌ بإجماع المسلمين

“Ketahuilah bahwasannya melaknat seorang muslim yang terlindungi adalah haram berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin” [Al-Adzkaar, 1/354].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

الاجماع منعقد على تحريم لعنة معين من أهل الفضل

“Telah menjadi ijmaa’ keharaman laknat terhadap person tertentu dari kalangan orang-orang yang mempunyai keutamaan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/285].

Para ulama sepakat kebolehan melaknat secara umum yang disebutkan dalil, seperti melaknat orang kafir, orang dhalim, mubtadi’, pelaku riba, peminum khamr, dan yang lainnya. Diantaranya firman Allah ta’ala:

فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ

“Maka laknat Allah-lah atas orang-orang kafir itu” [QS. Al-Baqarah : 89].

 وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ

“Dan siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka dan para saksi akan berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dhalim” [QS. Huud : 18].

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ

“Allah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5205 & 5934 dan Muslim no. 2123].

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا "،

“Allah telah melaknat Yahudi dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1330 dan Muslim no. 529].

Begitu juga yang dilakukan sebagian shahabat:

فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَصَلَاةِ الْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ

“Dulu Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat Dhuhur, shalat ‘Isyaa’, dan shalat Shubuh setelah ia mengucapkan ‘sami’allaahu li-man hamidah’. Lalu ia mendoakan kebaikan bagi orang-orang beriman dan melaknat orang-orang kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 797].

Ibnul-’Arabiy rahimahullah berkata:

وَأَمَّا لَعْنُ الْعَاصِي مُطْلَقًا فَيَجُوزُ إِجْمَاعًا، لِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ)

“Adapun melaknat orang yang bermaksiat secara mutlak, maka diperbolehkan secara ijmaa’ berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri telur lalu dipotong tangannya” [Tafsir Al-Qurthubiy, 2/190].

Melaknat Orang Kafir Secara Mu’ayyan

Tentang melaknat orang kafir secara spesifik (mu’ayyan) – seperti perkataan : ‘semoga Allah melaknat si Fulaan’ - , maka ada dua keadaan:

1.     Orang yang meninggal dalam keadaan kafir.

Orang yang telah disebutkan secara spesifik oleh nash bahwa ia mati dalam keadaan kafir, seperti Fir’aun, Abu Lahab, dan Abu Jahl; maka diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama.

Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah berkata saat membawakan perkataan perkataan Abu Lahab:

قَالَ أَبُو لَهَبٍ عَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَبًّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ، فَنَزَلَتْ: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ "

Telah berkata Abu Lahab – semoga laknat Allah atas dirinya – kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Celaka kamu sepanjang hari ini". Maka turunlah ayat : ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa’ (QS. Al-Lahab : 1)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1394].

Orang yang tidak disebutkan secara spesifik oleh nash, namun diketahui/dipersaksikan dengan pasti meninggal dalam keadaan kafir, maka boleh juga untuk melaknatnya. Dalilnya adalah:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya” [QS. Al-Baqarah : 161].

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

واما لعنة المعين فان علم أنه مات كافرا جازت لعنته

“Adapun melaknat secara mu’ayyan, apabila diketahui ia mati dalam keadaan kafir, maka boleh untuk melaknatnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 6/511].

Melaknat orang kafir yang telah meninggal boleh dilakukan jika ada maslahatnya, bukan sekedar pertimbangan emosi dan balas dendam.

2.     Orang kafir yang masih hidup.

Para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama melarangnya, sedangkan sebagian ulama lain membolehkannya.

Jumhur ulama berpendapat tidak boleh melaknatnya secara mu’ayyan. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

فأما الكافر المعين، فقد ذهب جماعة من العلماء إلى أنه لا يلعن لأنا لا ندري بما يختم له، واستدل بعضهم بهذه الآية: { إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ }

“Adapun orang kafir tertentu, sekelompok ulama berpendapat tidak boleh melaknatnya karena kita tidak mengetahui dengan apa ia menutup kematiannya. Sebagian dari mereka berdalil dengan ayat ini : ‘Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya’ (QS. Al-Baqarah : 161)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/474].

Selain ayat di atas, dalil yang mereka pergunakan antara lain adalah:

a.      Hadits tentang qunut nazilah.

عَن ابْنِ عُمَر ، أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنَ الْفَجْرِ، يَقُولُ: " اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا، بَعْدَ مَا يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ "، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk yang terakhir shalat Shubuh, beliau berdoa : “Ya Allah, laknatlah Fulaan, Fulaan, dan Fulaan” – yaitu setelah beliau mengucapkan : “Sami’allaahu li-man hamidah, rabbanaa wa lakal-hamd”. Lalu Allah menurunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4070].

Dalam riwayat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, doa yang diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِي يُوسُفَ، اللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ، وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، ثُمَّ بَلَغَنَا، أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ".

“Ya Allah, selamatkanlah Waliid bin Waliid, Salamah bin Hisyaam, ‘Ayyaasy bin Abi Rabii’ah dan orang-orang mukmin yang lemah. Ya Allah, perkuatlah hukumanmu kepada Mudlarr dan jadikanlah untuk mereka masa-masa paceklik sebagaimana paceklik Yuusuf. Ya Allah, laknatilah Lihyaan, Ri’l, dan Dzakwaan, mereka yang telah membangkang Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian sampai berita kepada kami, bahwa beliau meninggakan doa (qunut) tersebut, ketika diturunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128)”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 675].

Yaitu, beliau meninggalkan pelaknatan setelah turunnya QS. Aali ‘Imraan ayat 128, sebagaimana penjelasan An-Nawawiy rahimahullah:

وقد روى البيهقي باسناده عن عبد الرحمن بن مهدي الامام انه قال انما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة السابقة وهي قوله " ثم ترك الدعاء لهم "

“Dan telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dengan sanadnya dari ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy Al-Imaam[, bahwasannya ia berkata : ‘Bahwasannya yang ditinggalkan oleh Nabi itu hanyalah doa laknat (sementara pensyari’atan qunutnya tetap berlaku)’. Dan ta’wil ini diperjelas oleh riwayat Abu Hurairah sebelumnya, yaitu perkataannya : ‘kemudian beliau meninggalkan doa untuk mereka” [Al-Majmuu’, 3/505].

b.      Hadits tentang larangan melaknat.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ، قَالَ: " إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً "

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Dikatakan : “Wahai Rasulullah, berdoalah kecelakaan terhadap orang-orang muusyrik”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai tukang laknat, Aku hanyalah diutus sebagai rahmat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2599].

Sebagian ulama lain membolehkan melaknat orang kafir secara mu’ayyan. Dalil yang mereka gunakan antara lain:

a.      Hadits ucapan salam orang Yahudi.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ الْيَهُودُ يُسَلِّمُونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: السَّامُ عَلَيْكَ، فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ إِلَى قَوْلِهِمْ، فَقَالَتْ: عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَهْلًا يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ "، فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا يَقُولُونَ؟، قَالَ: " أَوَلَمْ تَسْمَعِي أَنِّي أَرُدُّ ذَلِكِ عَلَيْهِمْ فَأَقُولُ وَعَلَيْكُمْ "

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Dulu ada orang Yahudi yang mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “As-Saamu ‘alaika (kebinasaan atasmu)”. Maka ‘Aaisyah cepat menangkap maksud perkataan mereka itu, lalu berkata : “‘Alaikumus-saam wal-la’nah (bagimu kebinasaan dan juga laknat)”.  Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tenanglah wahai ‘Aaisyah, sesungguhnya Allah suka pada kelembutan pada semua hal”. ‘Aaisyah berkata : “Wahai Nabiyullah, tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan ?”. Beliau bersabda : “Apakah engkau tidak mendengar aku telah menjawab ucapan mereka. Aku katakan : ‘wa’alaikum (dan juga bagimu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6395].

Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan laknat ‘Aaisyah kepada orang Yahudi tersebut. Yang beliau ingkari hanyalah bahwa apa yang dilakukan ‘Aaisyah tidak mencerminkan kelembutan. Seandainya ucapan laknat itu dilarang/diharamkan, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan mengkoreksinya.

b.      Hadits laknat dalam qunut naziilah.

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيرَةِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam waktu shalat Shubuh ketika beliau mengangkat kepalanya dari rukuk mengucapkan : ‘Allaahumma Rabbanaa wa lakal-hamdu’ – dalam raka’at terakhir. Kemudian beliau membaca : “Ya Allah, laknatilah Fulaan dan Fulaan”. Lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128) [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 7346].

Sisi pendalilan : Riwayat di atas jelas menyebutkan doa laknat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang kafir Quraisy. Adapun ta’wil sebagian ulama bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti mendoakan laknat kepada orang kafir secara mu’ayyan karena turunnya ayat, maka ini bisa ditinjau kembali.

Hal itu dikarenakan ada sababun-nuzuul lain dari ayat sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ، وَيَقُولُ: كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ

Dari Anas : Bahwasannya pada peperangan Uhud, gigi geraham Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala beliau terluka. Maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan : “Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka menuju (peribadahan kepada) Allah?”. Maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu” (QS. Aali ‘Imraan : 128) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1791].

Perang Uhud terjadi lebih dahulu daripada peristiwa Bi’r Ma’uunah. Ibnu Hajar rahimahullahmenjelaskan penjamakan dua riwayat ini dengan perkataannya:

وَطَرِيق الْجَمْع بَيْنه وَبَيْن حَدِيث اِبْن عُمَر أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا عَلَى الْمَذْكُورِينَ بَعْد ذَلِكَ فِي صَلَاته فَنَزَلَتْ الْآيَة فِي الْأَمْرَيْنِ مَعًا ، فِيمَا وَقَعَ لَهُ مِنْ الْأَمْر الْمَذْكُور وَفِيمَا نَشَأَ عَنْهُ مِنْ الدُّعَاء عَلَيْهِمْ ، وَذَلِكَ كُلّه فِي أُحُد ، بِخِلَافِ قِصَّة رِعْلٍ وَذَكْوَانَ فَإِنَّهَا أَجْنَبِيَّة ، وَيَحْتَمِل أَنْ يُقَال إِنَّ قِصَّتهمْ كَانَتْ عَقِب ذَلِكَ وَتَأَخَّرَ نُزُول الْآيَة عَنْ سَبَبهَا قَلِيلًا ، ثُمَّ نَزَلَتْ فِي جَمِيع ذَلِكَ ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Dan jalan penjamakan antara hadits Anas dan hadits Ibnu ‘Umar bahwasannya beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kejelekan terhadap orang-orang tersebut setelah peristiwa tersebut dalam shalatnya; maka turunlah ayat dalam dua perkara secara bersamaan. Pertama, turun untuk perkara yang telah disebutkan (yaitu dalam hadits) dan kedua, turun untuk peristiwa doa kejelekan yang beliau ucapkan kepada mereka, semuanya terjadi di Uhud. Berbeda halnya dengan kisah Ri’l dan Dzakwaan karena ia adalah kisah lain. Ada kemungkinan untuk dikatakan bahwa sesungguhnya kisah mereka terjadi setelahnya dan ayat turun sedikit terlambat dari sebabnya. Kemudian ayat itu turun untuk semuanya,wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 8/227].

Dan sebelumnya Ibnu Hajar rahimahullah telah menegaskan penguatan bahwa yang benar ayat tersebut turun untuk peristiwa Uhud:

وَالصَّوَابُ أَنَّهَا نَزَلَتْ فِي شَأْنِ الَّذِينَ دَعَا عَلَيْهِمْ بِسَبَبِ قِصَّةِ أُحُدٍ ، وَاَللَّه أَعْلَم . وَيُؤَيِّد ذَلِكَ ظَاهِر قَوْله فِي صَدْرِ الْآيَةِ ( لِيَقْطَعَ طَرَفًا مِنْ الَّذِينَ كَفَرُوا ) أَيْ يَقْتُلهُمْ ( أَوْ يَكْبِتَهُمْ ) أَيْ يُخْزِيَهُمْ ، ثُمَّ قَالَ : ( أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ) أَيْ فَيُسْلِمُوا ( أَوْ يُعَذِّبَهُمْ ) أَيْ إِنْ مَاتُوا كُفَّارًا .

“Dan yang benar, ayat tersebut turun pada perkara yang beliau mendoakan kejelekan pada mereka dengan sebab kisah Uhud. Wallaahu a’lam. Dan hal itu dikuatkan dengan dhahir firman Allah sebelumnya : ‘(Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir’ (QS. Aali ‘Imraan : 127), yaitu : membunuh mereka. ‘Atau untuk menjadikan mereka hina’ (QS. Aali ‘Imraan : 127), yaitu : menghinakan mereka. Kemudian Allah berfirman : ‘atau Allah menerima taubat mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu : lalu mereka masuk Islam. ‘Atau mengadzab mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu jika mereka mati dalam keadaan kafir [Fathul-Baariy, 7/366].

Dhahir ayat ini berkaitan dengan larangan ikut campur dalam urusan Allah dalam hal membiarkan hamba-Nya dalam kesesatan ataukah memberikan petunjuk kepadanya.

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

فقال: { لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ } أي: بل الأمر كلّه إلي، كما قال: { فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ } [الرعد:40] وقال { لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ } [البقرة:272]. وقال { إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ } [القصص:56].

قال محمد بن إسحاق في قوله: { لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ } أي: ليس لك من الحكم شيء في عبادي إلا ما أمرتك به فيهم.

ثم ذكر تعالى بقية الأقسام فقال: { أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ } أي: مما هم فيه من الكفر ويهديهم بعد الضلالة { أَوْ يُعَذِّبَهُمْ } أي: في الدنيا والآخرة على كفرهم وذنوبهم؛ ولهذا قال: { فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ } أي: يستحقون ذلك.

“Allah berfirman : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’, yaitu : bahkan semua urusan kembali kepada-Ku – sebagaimana firman-Nya : ‘Karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka’ (QS. Ar-Ra’d : 40). ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya’ (QS. Al-Baqarah : 272). ‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya’ (QS. Al-Qashshash : 56).

Muhammad bin Ishaaq berkata tentang firman-Nya : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’; yaitu : ‘tidak ada keputusan apapun bagimu terhadap hamba-Ku kecuali apa yang Aku perintahkan dengannya terhadap mereka’.

Kemudian Allah ta’ala menyebutkan bagian lain. Ia berfirman : ‘atau Allah menerima taubat mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu : (mengampuni) kekufuran mereka, dan kemudian Allah memberikan petunjuk kepada mereka setelah mereka terjatuh dalam kesesatan. ‘Atau mengazab mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128); yaitu : ‘(mengadzab mereka) di dunia dan di akhirat karena kekufuran dan dosa-dosa mereka’. Oleh karena itu Allah kemudian berfirman : ‘karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128); yaitu : mereka memang berhak mendapatkannya” [Tafsiir Ibni Katsiir, 2/114].

Konteks tafsir ini lebih sesuai dengan sababun-nuzuul yang dibawakan Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, wallaahu a’lam.

Oleh karena itu, berhentinya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah setelah peristiwa Bi’r Ma’uunah (sebagaimana riwayat Ibnu ‘Umar) adalah terkait teguran agar beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memastikan seseorang tersesat dan terus dalam kekafiran (sehingga beliau mendoakan kecelakaan bagi mereka). Hal itu dikuatkan oleh jalan lain dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو عَلَى أَرْبَعَةِ نَفَرٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ فَهَدَاهُمُ اللَّهُ لِلْإِسْلَامِ

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan kejelekan kepada empat orang, lalu Allah tabaaraka wa ta’ala menurunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali ‘Imraan : 128). Lalu Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk memeluk Islam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3005, dan ia berkata : ‘Hadits hasan ghariib shahih’. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/207].

c.      Hadits sumur Badr.

Ketika 'Amru bin Hisyaam, 'Utbah bin Rabii’ah, Syaibah bin Rabii’ah, Al-Waliid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abu Mu’aith, dan ‘Umaarah bin Al-Waliid mati dan dimasukkan dalam sumur Badr, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَأُتْبِعَ أَصْحَابُ الْقَلِيبِ لَعْنَةً

“Penghuni sumur ini diiringi oleh laknat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 520].

d.      Hadits pemabuk yang dihukum cambuk.

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ: " أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا، فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ "

Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Ada seorang laki-laki di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Abdullah, yang dijuluki keledai (himaar). Ia suka membuat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tertawa. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mencambuknya karena ia mabuk. Suatu hari ia dihadapkan ke hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Lalu ada seorang laki-laki dari satu kaum berkata : “Ya Allah, laknatilah ia, betapa sering ia dihukum”. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya kecuali ia mencintai Allah dan Rasul-Nya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6780].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

وقالت طائفة أخرى: بل يجوز لعن الكافر المعين. واختار ذلك الفقيه أبو بكر بن العربي المالكي، ولكنه احتج بحديث فيه ضعف، واستدل غيره بقوله، عليه السلام، في صحيح البخاري في قصة الذي كان يؤتى به سكران فيحده، فقال رجل: لعنه الله، ما أكثر ما يؤتى به، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لا تلعنه فإنه يحب الله ورسوله" قالوا: فعلَّة المنع من لعنه؛ بأنه يحب الله ورسوله فدل على أن من لا يحب الله ورسوله يلعن، والله أعلم.

“Sekelompok ulama lain berkata : “Bahkan diperbolehkan melaknati orang kafir tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Abu Bakr bin Al-‘Arabiy Al-Maalikiy, akan tetapi ia berhujjah dengan hadits dla’if. Ulama lain (yang berpendapat membolehkan) berdalil dengan sabda beliau‘alaihis-salaam dalam Shahiih Al-Bukhaariy dalam kisah seorang laki-laki pemabuk yang dihadapkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menegakkan hadd padanya. Seorang laki-laki berkata: ‘Semoga Allah melaknatnya, betapa sering ia dihukum’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Janganlah kalian melaknatnya, karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya’. Mereka berkata : ‘Alasan larangan melaknat adalah karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Maka itu menunjukkan bahwa orang yang tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya boleh untuk dilaknat, wallaahu a’lam” [Tafsiir Ibni Katsiir, 1/474].

e.      Perkataan Bilaal bin Rabbaah radliyallaahu ‘anhu yang melaknat beberapa tokoh kafir Quraisy.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: " لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ، وَبِلَالٌ، .......وَكَانَ بِلَالٌ إِذَا أُقْلِعَ عَنْهُ الْحُمَّى يَرْفَعُ عَقِيرَتَهُ، يَقُولُ: أَلَا لَيْتَ شِعْرِي هَلْ أَبِيتَنَّ لَيْلَةً         بِوَادٍ وَحَوْلِي إِذْخِرٌ وَجَلِيلُ وَهَلْ أَرِدَنْ يَوْمًا مِيَاهَ مِجَنَّةٍ وَهَلْ يَبْدُوَنْ لِي شَامَةٌ وَطَفِيلُ. قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ، كَمَا أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ "

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madiinah, Abu Bakr dan Bilaal terserang demam…… Apabila Bilaal sembuh dari demamnya, ia bersyi’ir dengan suara keras : “Alangkah baiknya syairku, dapatkah kiranya aku bermalam di sebuah lembah yang dikelilingi pohon idzkir dan jalil. Apakah ada suatu hari nanti aku dapat mencapai air Majannah. Dan apakah bukit Syamah dan Thufail akan tampak bagiku?”. Lalu ia berkata : Ya “Ya Allah, laknatlah Syaibah bin Rabii’ah, 'Utbah bin Rabii’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami (Makkah) ke negeri derita (Madiinah). Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berkahilah timbangan shaa’ dan mudd kami. Sehatkanlah (makmurkanlah) Madinah untuk kami dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1889].

f.      Perkataan sebagian salaf terhadap Jahm bin Shafwan yang telah dikafirkan para ulama.

عَنْ يَزِيد بْنِ هَارُونَ، يَقُولُ: " لَعَنَ اللَّهُ الْجَهْمَ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ

Dari Yaziid bin Haaruun ia berkata : “Allah melaknat Jahm dan orang yang berkata dengan perkataannya…” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 189; shahih].

Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkannya.

Tentang dalil laknat dalam qunut nazilah yang dibawakan jumhur ulama telah dijawab di atas. Adapun hadits tentang larangan melaknat, maka hadits itu menggunakan lafadh la’aan (لَعَّانٌ). Hal itu seperti hadits yang lain:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا "

Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Tidak selayaknya bagi seorang yang shiddiiq menjadi tukang laknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2597].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

وَلَمْ يَقُلْ : لَاعِنًا وَاللَّاعِنُونَ لِأَنَّ هَذَا الذَّمّ فِي الْحَدِيث إِنَّمَا هُوَ لِمَنْ كَثُرَ مِنْهُ اللَّعْن ، لَا لِمَرَّةٍ وَنَحْوهَا

“Beliau tidak mengatakan laa’inan dan laa’inuun, karena maksud celaan dalam hadits hanyalah bagi orang yang banyak melaknat, bukan orang yang sesekali/jarang melaknat” [Syarh Shahiih Muslim, 16/149].

Sekaligus di sini terkandung faedah : Meskipun boleh melaknat kafir secara mu’ayyan (individu/personal), maka tidak selayaknya seorang mukmin memperbanyak laknat dalam rangka meneladani Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diminta melaknat orang musyrik – padahal mereka memang berhak untuk dilaknat - , beliau menolaknya.

Melaknat Orang Muslim yang Bermaksiat atau Berbuat Kefasikan Secara Mu’ayyan

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum melaknat orang muslim yang berbuat maksiat secara spesifik (mu’ayyan). Jumhur ulama melarangnya, sedangkan yang lain membolehkannya.

a.     Pendapat yang Melarang.

Ulama yang melarang berdalil dengan hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu di atas tentang pemabuk yang dihukum cambuk. Dalam hadits tersebut jelas disebutkan larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melaknatnya, karena ia seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وأما الفاسق المعين فلا تنبغى لعنته لنهى النبى أن يلعن عبدالله بن حمار الذى كان يشرب الخمر

“Adapun orang fasiq mu’ayyan, maka tidak boleh melaknatnya karena adanya larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk melaknat ‘Abdullah bin Himaar yang biasa meminum khamr” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 6/511].

Begitu juga Ibnul-‘Arabiy rahimahullah yang berdalil dengan hadits tersebut untuk menegaskan ketidakbolehannya:

فأما العاصي المعين، فلا يجوز لعنه اتفاقا

“Adapun orang yang bermaksiat mu’ayyan, maka tidak boleh  melaknatnya berdasarkan kesepakatan” [Ahkaamul-Qur’aan, 1/75].

Namun klaim ijmaa’ Ibnul-‘Arabiy rahimahullah ini tidak benar.

Ketika menjelaskan hadits pelaknatan terhadap pencuri, An-Nawawiy rahimahullah berkata:

هَذَا دَلِيل لِجَوَازِ لَعْن غَيْر الْمُعَيَّن مِنْ الْعُصَاة ، لِأَنَّهُ لَعْن لِلْجِنْسِ لَا لِمُعَيَّنٍ ، وَلَعْن الْجِنْس جَائِز كَمَا قَالَ اللَّه تَعَالَى : { أَلَا لَعْنَة اللَّه عَلَى الظَّالِمِينَ } وَأَمَّا الْمُعَيَّن فَلَا يَجُوز لَعْنه

“Ini adalah dalil bolehnya melaknat orang yang bermasiat tanpa penyebutan secara mu’ayyan, karena ia termasuk laknat terhadap jenis, bukan terhadap indidu tertentu. Dan pelaknatan terhadap jenis diperbolehkan sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Ingatlah laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dhalim’ (QS. Huud : 18). Adapun laknat secara individu (mu’ayyan), maka tidak diperbolehkan” [Syarh Shahiih Muslim, 11/185].

Selain hadits peminum khamr, para ulama yang melarang juga berdalil dengan hadits-hadits yang melarang adanya pelaknatan – yang diantaranya telah disebutkan di atas - .

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيْسَ بِاللَّعَّانِ وَلَا الطَّعَّانِ، وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ "

Dari ‘Abdullah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya orang mukmin itu orang yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/416; shahih].

Juga hadits ini:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، وَامْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ عَلَى نَاقَةٍ، فَضَجِرَتْ، فَلَعَنَتْهَا، فَسَمِعَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ

Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, ada seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Tiba-tiba unta ngadat. Lalu wanita itu melaknatnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengarnya lalu bersabda: 'Ambil beban yang ada di atas onta itu dan lepaskanlah, karena ia telah dilaknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2595].

Jika binatang saja tidak boleh dilaknat, apalagi manusia ?.

b.     Pendapat yang Membolehkan.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وقد تنازع الناس في لعنة الفاسق المعين فقيل إنه جائز كما قال ذلك طائفة من أصحاب أحمد وغيرهم كأبي الفرج بن الجوزي وغيره

“Orang-orang berselisih pendapat tentang masalah laknat terhadap orang fasiq secara mu’ayyan. Dikatakan bahwa hal tersebut diperbolehkan sebagaimana dikatakan sekelompok ashhaab Ahmad dan yang lainnya, seperti Abul-Faraj bin Al-Jauziy dan yang lainnya” [Minhaajus-Sunnah, 4/569].

Dalilnya yang mereka jadikan sandaran diantaranya:

Firman Allah ta’ala:

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ * وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ

“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima : bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta” [QS. An-Nuur : 7].

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ "

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila seorang suami mengajak istrinya ke ranjang, namun si (istri) enggan memenuhinya sehingga si suami tidur malam dalam keadaan marah, maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3237].

Sisi pendalilan : Jika melaknat secara mu’ayyan merupakan perbuatan yang dilarang/diharamkan dalam syari’at, niscaya malaikat tidak akan melakukannya.

عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى الْكَعْبَةِ وَهُوَ يَقُولُ: وَرَبِّ هَذِهِ الْكَعْبَةِ، لَقَدْ " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَمَا وُلِدَ مِنْ صُلْبِهِ "

Dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Az-Zubair dalam keadaan bersandar ke Ka'bah, berkata : "Demi Dzat yang memiliki Ka’bah ini, sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallampernah melaknat si Fulan dan yang dilahirkan dari tulang rusuknya" [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/5; sanadnya shahih].

Dalam hadits ini, dikhabarkan beliau dengan jelas pernah melaknat seseorang secara personal.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاصْبِرْ، فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ: اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ، فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَلْعَنُونَهُ فَعَلَ اللَّهُ بِهِ وَفَعَلَ وَفَعَلَ فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ، فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan perihal tetangganya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pulang dan bersabarlah". Orang itu kembali mendatangi beliau sampai dua atau tiga kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya : "Pulang dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan". Maka orang itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya kepadanya. Ia kemudian menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata : “Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu yang tidak engkau sukai dariku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5153, Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 124, dan lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/264].

Abu Hurairah mempunyai syahiid dari Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhumaa yang padanya disebutkan bahwa si tetangga tersebut akhirnya menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan laknat orang-orang kepada. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda:

إِنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ فَوْقَ لَعْنَتِهِمْ

“Sesungguhnya laknat Allah di atas laknat mereka”.

Di lain riwayat:

قَدْ لَعَنَكَ اللَّهُ قَبْلَ النَّاسِ

“Sungguh, Allah telah melaknatmu sebelum orang-orang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 125, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 4235, Ath-Thabaraaniy dalam Makaarimul-Akhlaaq no. 236, dan yang lainnya; Al-Albaaniy mengatakan : ‘hasan shahih’ dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 71-72].

Sisi pendalilannya : Adanya taqrir beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas laknat orang-orang kepada si tetangga jahat tadi.

عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَيْهِ حِمَارٌ قَدْ وُسِمَ فِي وَجْهِهِ، فَقَالَ: " لَعَنَ اللَّهُ الَّذِي وَسَمَهُ "

Dari Jaabir : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berpapasan dengan seekor keledai yang dicap dengan besi panas di wajahnya. Maka beliau bersabda : “Allah melaknat orang yang melakukannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2117].

Di sini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan adanya laknat Allah terhadap orang tertentu yang telah melakukan pengecapan besi panas di wajah keledai yang beliau temui – meski orang tersebut tidak bertemu beliau waktu itu.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ مِنْ مَنْزِلهِ، فَمَرَرْنَا بِفِتْيَانٍ مِنْ قُرَيْشٍ، نَصَبُوا طَيْرًا يَرْمُونَهُ، وَقَدْ جَعَلُوا لِصَاحِبِ الطَّيْرِ كُلَّ خَاطِئَةٍ مِنْ نَبْلِهِمْ، قَالَ: فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ فَعَلَ هَذَا

Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : Aku keluar bersama Ibnu ‘Umar dari tempat kediamannya. Lalu kami melewati beberapa orang pemuda Quraisy yang sedang mengikat seekor burung untuk melemparinya dengan panah. Mereka membayar setiap bidikan yang meleset kepada pemilik burung. Saat melihat Ibnu ‘Umar, mereka pun bubar. Ibnu ‘Umar berkata : “Siapa yang melakukan ini ? Allah melaknat orang yang melakukan ini…” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1958, Ahmad 2/56, dan yang lainnya].

Laknat Ibnu ‘Umar ini diucapkan spesifik terhadap para pemuda Quraisy yang ia temui.

Pendapat yang kuat adalah pendapat yang membolehkannya, karena memang terbukti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melaknat pelaku kemaksiatan secara spesifik dan mentaqrir sebagian shahabat yang melakukannya. Namun, jika pelaku kemaksiatan telah meninggal dunia, tidak boleh dilaknat dan dicaci karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda:

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

“Janganlah engkau mencaci orang yang telah mati, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka lakukan dahulu (di dunia)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1393 & 6516].

Tentang pendalilan jumhur, maka itu dapat dijawab:

1.     Hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu hanyalah mengkhabarkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk melaknat ‘Abdullah Al-Himaar, dengan alasan ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dan memang tidak semua pelaku kemaksiatan dari kaum muslimin harus dilaknat.

Selain itu, shahabat tersebut adalah shahabat yang ikut serta dalam perang Badr. Namanya yang sebenarnya adalah An-Nu’aimaan bin ‘Amru bin Rifaa’ah bin Al-Haarits. Kedudukannya dan apa yang dilakukannya adalah seperti Haathib bin Abi Balta’ah yang membocorkan penyerangan kaum muslimin kepada saudara-saudaranya di Makkah.

2.     Tentang hadits larangan melaknat, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, maka itu berlaku pada orang yang sering melaknat, bukan orang yang hanya sesekali jika ada kemaslahatan.

3.     Tentang hadits larangan ‘Imraan bin Hushain, maka benar di sini terkandung larangan melaknat binatang tanpa alasan yang dibenarkan. Akan tetapi dimanakah sisi pelarangan dari hadits ini tentang melaknat orang yang melakukan kemaksiatan secara mu’ayyan ?.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, meskipun melaknat pelaku kemaksiatan itu diperbolehkan, maka kita tidak memperbanyaknya dan menjadikan perhiasan dalam perkataan kita. Kita dapat mencontoh Nabi kita –shallallaahu ‘alaihi wa sallam – yang sangat jarang mengucapkan kata-kata laknat. Jika tidak ada maslahat, alternatif diam jauh lebih daripada mengumbar lisan.

لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا

“Tidak selayaknya bagi seorang yang shiddiiq menjadi tukang laknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2597].

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang baik (bermanfaat) atau diam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6018].

Dari kutipan diatas dapat diuraikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, mendoakan jelek atau melaknat siapa pun dan apa pun dari kaum Muslimin termasuk diri sendiri, harta benda, keluarga dan orang lain agar tertimpa suatu bencana sangat tidak dianjurkan sekalipun mereka telah berbuat kedzaliman kepada kita. Artinya tidak sepantasnya kita melakukan hal yang sama buruknya sebab mendoakan jelek dan melaknat bukan akhlak karimah. Doa yang sebaiknya diucapkan untuk  orang yang telah berbuat dzalim adalah doa yang baik saja, misalnya agar ia mendapatkan hidayah dari Allah SWT, lalu menyadari kesalahannya dan bertobat.

Kedua, mengucapkan doa kutukan atau laknat atas orang lain agar tertimpa bencana bisa sama saja dengan melaknat diri sendiri. Alasannya,  sebagimana dijelaskan Rasulullah SAW, adalah  bisa saja pada saat kita mengucapkan kutukan atau laknat kepada orang lain, pada saat itu Allah sedang menghendaki  terkabulnya doa-doa, sementara orang lain tersebut ternyata tidak pantas mendapat kutukan karena tidak bersalah, misalnya.  Kutukan atau laknat seperti itu bisa berbalik kepada diri sendiri  sebagaimana dijelaskan  Sayyid Abdullah Al-Haddad di halaman yang sama (hal. 141) sebagai berikut:

وقد ورد أن اللعنة إذا خرجت من العبد تصعد نحوالسماء فتغلق دونها أبوابها ثم تنزل إلى الأرض فتغلق دونها أبوابها ثم تجيء الى الملعون فإن وجدت فيه مساغا وإلارجعت على قائلها.

Artinya: “Ketahuilah bahwa suatu laknat, bila telah keluar dari mulut seseorang, akan naik ke arah langit, maka ditutuplah pintu-pintu langit di hadapannya sehingga ia turun kembali ke bumi dan dijumpainya pintu-pintu bumi pun tertutup baginya, lalu ia menuju ke arah orang yang dilaknat jika ia memang patut menerimany , atau jika tidak, laknat itu akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa kutukan atau laknat memiliki dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang yang dilaknat akan terkena bencana jika memang menurut Allah ia pantas menerimanya. Kemungkinan kedua, jika ternyata Allah memandang lain, maka bencana itu akan menjadi bumerang  atau berbalik arah menuju orang yang telah mengucapkannya. Ini artinya sangat riskan melakukan kutukan atau melaknat orang lain.

Dalam kaitan itu, Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh atau teladan yang baik ketika beliau didzalimi orang-orang Thaif yang menolak dakwahnya. Beliau mendoakan agar mereka tetap diberi keselamatan atau hak hidup dengan berharap dari anak cucunya akan ada yang mau beriman kepada Allah SWT. Sebenarnya mengutuk atau melaknat orang lain hanya diperbolehklan kepada orang-orang tertentu saja yang telah di-nash oleh Allah sendiri sebagaimana penjelasan Sayyid Abdullah Al-Haddad di halaman yang sama (hal. 141) sebagai berikut:

واحذرأن تلعن مسلما أو بهيمة أوجمادا أو شخصا بعينه وان كان كافرا إلا إن تحققت أنه مات على الكفر كفرعون وابي جهل أو علمت أن رحمة الله لا تناله بحال كإبليس.

Artinya: “Jauhkan dirimu dari perbuatan melaknat seorang Muslim (termasuk pelayan dan sebagainya), bahkan seekor hewanpun. Jangan melaknat seorang manusia tertentu secara langsung, walaupun ia seorang kafir, kecuali bila Anda yakin bahwa ia telah mati dalam keadaan kafir sepeti Fir’aun, Abu Jahal dan sebagainya. Ataupun, yang Anda ketahui bahwa rahmat Allah tak mungkin mencapainya seperti Iblis.”

Dari kutipan diatas semakin jelas bahwa kita sangat dianjurkan untuk tidak pernah melaknat siapa pun dan apa pun, baik itu manusia maupun bukan manusia; baik itu Muslim maupun kafir. Orang kafir sekarang bisa saja akan menjadi mukmin di masa depan dengan hidayah Allah SWT. Laknat hanya boleh ditujukan kepada orang-orang kafir yang sudah jelas kekafirannya hingga akhir hayat  seperti Fir’aun, Abu Jahal dan sebagainya.

Iblis juga boleh dilaknat karena rahmat Allah SWT memang tidak akan pernah sampai kepadanya. Ia telah membangkang terhadap perintah Allah dan menyombongkan diri kepada-Nya sebagaimana di tegaskan di dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqarah, ayat 34: “Aba wastakbara wakâna minal kâfirîn.” (Iblis membangkang Allah dan menyombongkan diri. Ia kafir).  Demikian pula setan-setan boleh dilaknat sebagaimana terdapat dalam bacaan ta’awudz:  “A’ûdzu billâhi minasy-syaithânir rajîm.” (Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...