Minggu, 31 Oktober 2021

Alloh Akan Mengabulkan Doa Hamba-nya


Mintalah apa saja kepada Allah SWT, Insya Allah akan diberi, asal yakin dan mengerti caranya. Jangan ikuti hawa nafsu sehingga sampai kepada jalan sesat yang akan menjerumuskan kita. Allah memberikan jalan keluar bagi orang yang percaya dan tawakal kepadaNya. Tetaplah bersabar dan bertahan dengan jalan mencari rizki yang diridhoi Allah SWT.

Berdoa dan bertawakallah kepada Allah dan Allah akan memberi rejeki dari arah yang tidak kita sangka-sangka.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ‌ۖ أُجِيبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ‌ۖ فَلۡيَسۡتَجِيبُواْ لِى وَلۡيُؤۡمِنُواْ بِى لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُونَ

Artinya: “Dan apabila bamba-bamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 186).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Abdah ibnu Abu Barzah As-Sukhtiyani, dari As-Silt ibnu Hakim ibnu Mu'awiyah (yakni Ibnu Haidah Al-Qusyairi), dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa ada seorang penduduk Badui bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat, maka kita akan bermunajat (berbisik) kepada-Nya; ataukah Dia jauh, maka kita akan menyeru-Nya?" Nabi Saw. diam, tidak menjawab. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Aku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)

Dengan kata lain, apabila kamu perintahkan mereka untuk berdoa kepada-Ku, hendaklah mereka berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan mereka.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Humaid Ar-Razi, dari Jarir dengan lafaz yang sama. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Murdawaih serta Abusy Syekh Al-Asbahani, melalui hadis Muhammad ibnu Abu Humaid, dari Jarir dengan lafaz yang sama.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Al-Hasan yang menceritakan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw., "Di manakah Tuhan kita?" Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata, telah sampai kepada Ata bahwa ketika firman-Nya ini diturunkan: Dan Tuhan kalian berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian." (Al-Mumin: 60) Maka orang-orang bertanya, "Sekiranya kami mengetahui, saat manakah yang lebih tepat untuk melakukan doa bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ الثَّقَفِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاة فَجَعَلْنَا لَا نَصْعَدُ شَرَفًا، وَلَا نَعْلُو شَرَفًا، وَلَا نَهْبِطُ وَادِيًا إِلَّا رَفَعْنَا أَصْوَاتَنَا بِالتَّكْبِيرِ. قَالَ: فَدَنَا مِنَّا فَقَالَ: "يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أرْبعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ؛ فإنَّكم لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا، إِنَّ الذِي تَدْعُونَ أقربُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُق رَاحِلَتِهِ. يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ؟ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِالْلَّهِ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Abdul Majid As-Saqafi, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Abu Musa Al-Asy'ari yang menceritakan, "Ketika kami (para sahabat) bersama Rasulullah Saw. dalam suatu peperangan, tidak sekali-kali kami menaiki suatu tanjakan dan berada di tempat yang tinggi serta tidak pula kami menuruni suatu lembah melainkan kami mengeraskan suara kami seraya mengucapkan takbir." Abu Musa melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi Saw. mendekat ke arah kami dan bersabda: 'Hai manusia, tenangkanlah diri kalian, karena sesungguhnya kalian bukan berseru kepada orang yang tuli, bukan pula kepada orang yang gaib; sesungguhnya kalian hanya berseru kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya Tuhan yang kalian seru lebih dekat kepada seseorang di antara kalian daripada leher unta kendaraannya. Hai Abdullah ibnu Qais, maukah kamu kuajarkan suatu kalimat (doa) yang termasuk perbendaharaan surga? (Yaitu) la haula wala quwwata ilia billah (tiada upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)'."
Hadis ini diketengahkan di dalam kitab Sahihain dan jamaah lainnya melalui hadis Abu Usman An-Nahdi yang nama aslinya ialah Abdur Rahman ibnu Ali, dari Abu Musa Al-Asy'ari dengan lafaz yang semisal.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا دَعَانِي"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku menurut dugaan hamba-Ku mengenai diri-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika dia berdoa kepada-Ku."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ كَرِيمَةَ بِنْتِ الْخَشْخَاشِ الْمُزَنِيَّةِ، قَالَتْ: حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ: أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "قَالَ اللَّهُ: أَنَا مَعَ عَبْدِي مَا ذَكَرَنِي، وَتَحَرَّكَتْ بِي شَفَتَاهُ"

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ubaidillah, dari Karimah binti Ibnu Khasykhasy Al-Muzaniyyah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah yang pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah Swt. berfirman, "Aku selalu bersama hamba-Ku selagi ia ingat kepada-Ku dan kedua bibirnya bergerak menyebut-Ku."
Menurut kami, hadis ini sama pengertiannya dengan firman Allah Swt. yang mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan. (An-Nahl: 128)
Sama pula dengan firman-Nya kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, yaitu:

إِنَّنِي مَعَكُما أَسْمَعُ وَأَرى

Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Thaha: 46)
Makna yang dimaksud dari kesemuanya itu adalah, Allah Swt. tidak akan mengecewakan doa orang yang berdoa kepada-Nya dan tidak sesuatu pun yang menyibukkan (melalaikan) Dia, bahkan Dia Maha Mendengar doa. Di dalam pengertian ini terkandung anjuran untuk berdoa, dan bahwa Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan doa yang dipanjatkan kepada-Nya. Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:

حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا رَجُلٌ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا عُثْمَانَ -هُوَ النَّهْدِيُّ -يُحَدِّثُ عَنْ سَلْمَانَ -يَعْنِي الْفَارِسِيَّ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَيَسْتَحْيِي أَنْ يَبْسُطَ الْعَبْدُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ يَسْأَلُهُ فِيهِمَا خَيْرًا فَيَرُدُّهُمَا خَائِبَتَيْنِ". قَالَ يَزِيدُ: سَمَّوْا لِي هَذَا الرَّجُلَ، فَقَالُوا: جَعْفَرُ بْنُ مَيْمُونٍ

telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki yang pernah mendengar dari Abu Usman (yakni An-Nahdi) ketika ia menceritakan hadis berikut dari Salman (yakni Al-Farisi r.a.), bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. benar-benar malu bila ada seorang hamba mengangkat kedua tangannya memohon suatu kebaikan kepada-Nya, lalu Allah menolak permohonannya dengan kedua tangan yang hampa. Yazid berkata, "Sebutkanlah kepadaku nama lelaki itu." Mereka menjawab bahwa dia adalah Ja'far ibnu Maimun.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Ibnu Majah melalui hadis Ja'far ibnu Maimun (pemilik kitab Al-Anbat) dengan lafaz yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa predikat hadis ini hasan garib. Hadis ini diriwayatkan pula oleh sebagian dari mereka, tetapi dia tidak me-rafa'-kannya. Syekh Al-Hafiz Abul Hajjah Al-Mazi di dalam kitab Atraf-nya mengatakan bahwa periwayatan hadis ini diikuti pula oleh Abu Hammam Muhammad ibnu Abuz Zabarqan, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Usman An-Nahdi dengan lafaz yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula:

حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ، حَدَّثَنَا عَليّ بْنُ دُؤاد أَبُو الْمُتَوَكِّلِ النَّاجِي، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلَا قَطِيعَةُ رَحِمٍ، إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يعجِّل لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدّخرها لَهُ فِي الْآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا" قَالُوا: إِذًا نُكْثِرُ. قَالَ: "اللَّهُ أَكْثَرُ "

telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abul Mutawakkil An-Naji, dari Abu Sa'id, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Tiada seorang muslim pun yang memanjatkan suatu doa kepada Allah yang di dalamnya tidak mengandung permintaan yang berdosa dan tidak pula memutuskan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya berkat doa itu salah satu dari tiga perkara berikut, yaitu: Adakalanya permohonannya itu segera dikabulkan, adakalanya permohonannya itu disimpan oleh Allah untuknya kelak di hari kemudian, dan adakalanya dipalingkan darinya suatu keburukan yang semisal dengan permohonannya itu. Mereka (para sahabat) berkata, "Kalau begitu, kami akan memperbanyak doa." Nabi Saw. menjawab, "Allah Maha Banyak (Mengabulkan Doa)."

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا ابْنُ ثَوْبَانَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ مَكْحُولٍ، عَنْ جُبَير بْنِ نُفَيْرٍ، أَنَّ عُبَادة بْنَ الصَّامِتِ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ مِنْ رَجُلٍ مُسْلِم يَدْعُو اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا، مَا لَمْ يَدعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ"

Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur Al-Kausaj, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Sauban, dari ayahnya, dari Makhul, dari Jubair ibnu Nafir, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah menceritakan hadis berikut kepada mereka, yaitu Nabi Saw. pernah bersabda: tiada seorang lelaki muslim pun di muka bumi ini berdoa kepada Allah Swt. memohon sesuatu melainkan Allah pasti mengabulkan permintaannya itu atau mencegah darinya keburukan yang seimbang dengan permintaannya, selagi dia tidak meminta hal yang berdosa atau memutuskan hubungan silaturahmi.
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Turmuzi, dari Abdullah ibnu Abdur Rahman Ad-Darami,dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Ibnu Sauban (yaitu Abdur Rahman ibnu Sabit ibnu Sauban) dengan lafaz yang sama.
Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat hasan sahih bila ditinjau dari jalur yang terakhir ini.

وَقَالَ الْإِمَامُ مَالِكٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ -مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ -عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ: "يُسْتَجَاب لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجل، يَقُولُ: دعوتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي".

Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari Abu Ubaid maula Ibnu Azhar, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dikabulkan bagi seseorang di antara kalian selagi dia tidak tergesa-gesa mengatakan, "Aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku."
Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadis Malik dengan lafaz yang sama. Hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari rahimahullah.

قَالَ مُسْلِمٌ أَيْضًا : حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ صَالِحٍ، عَنْ ربيعة ابن يَزِيدَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الخَوْلاني، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا الاستعجال؟ قال: "يقول: قد دعوتُ، وَقَدْ دَعَوتُ، فَلَمْ أرَ يستجابُ لِي، فَيَسْتَحسر عِنْدَ ذَلِكَ، وَيَتْرُكُ الدُّعَاءَ"

Imam Muslim mengatakan di dalam kitab sahihnya, telah menceritakan kepadaku Abut Tahir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Rabi'ah, dari Yazid, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Doa .seorang hamba masih tetap dikabulkan selagi dia tidak mendoakan hal yang berdosa atau yang memutuskan silaturahmi, bilamana dia tidak tergesa-gesa. Lalu ditanyakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Seorang hamba mengatakan, 'Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku,' lalu saat itu dia merasa kecewa dan menghentikan doanya."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا ابْنُ هِلَالٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَا يَزَالُ الْعَبْدُ بِخَيْرٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ". قَالُوا: وَكَيْفَ يَسْتَعْجِلُ؟ قَالَ: "يَقُولُ: قَدْ دعوتُ رَبِّي فَلَمْ يَسُتَجبْ لِي"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Abu Hilal, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Seorang hamba masih tetap berada dalam kebaikan selagi dia tidak tergesa-gesa. Mereka (sahabat) bertanya, "Bagaimanakah pengertian tergesa-gesa itu?" Beliau Saw. menjawab, "Dia mengatakan, 'Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tetapi masih belum diperkenankan juga bagiku'."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعة، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُليّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال: "الْقُلُوبُ أَوْعِيَةٌ، وَبَعْضُهَا أَوْعَى مِنْ بَعْضٍ، فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ فَاسْأَلُوهُ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ، فَإِنَّهُ لَا يَسْتَجِيبُ لِعَبْدٍ دَعَاهُ عَنْ ظَهْرِ قَلْبٍ غَافِلٍ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Amr, dari Ibnu Abdur Rahman Al-Jaili, dari Abdullah ibnu Amr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Hati manusia itu bagaikan wadah, sebagian di antaranya lebih memuat daripada sebagian yang lain. Karena itu, apabila kalian meminta kepada Allah, hai manusia, mintalah kepada-Nya, sedangkan hati kalian merasa yakin diperkenankan; karena sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan bagi hamba yang berdoa kepada-Nya dengan hati yang lalai.

قَالَ ابْنُ مَرْدُويه: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ أَيُّوبَ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بن إبراهيم بن أبيَّ بن نافع ابن مَعْدِ يكَرِبَ بِبَغْدَادَ، حَدَّثَنِي أُبَيُّ بْنُ نَافِعٍ، حدثني أبي نَافِعِ بْنِ مَعْدِ يكَرِبَ، قَالَ: كُنْتُ أَنَا وَعَائِشَةُ سألتُ رسولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْآيَةِ: {أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} قَالَ: "يَا رَبِّ، مَسْأَلَةُ عَائِشَةَ". فَهَبَطَ جِبْرِيلُ فَقَالَ: اللَّهُ يُقْرِؤُكَ السَّلَامَ، هَذَا عَبْدِي الصَالِحٍ بِالنِّيَّةِ الصَّادِقَةِ، وقلبُه نَقِيٌّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، فَأَقُولُ: لَبَّيْكَ. فَأَقْضِي حَاجَتَهُ.

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq ibnu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba di Bagdad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Nafi' ibnu Ma'di Kariba yang mengatakan bahwa ia dan Siti Aisyah r.a. pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai makna firman-Nya: Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186) Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Wahai Tuhanku, ini adalah pertanyaan Aisyah?" Maka turunlah Malaikat Jibril dan berkata: Allah menyampaikan salam-Nya kepadamu, ada seorang hamba-Ku yang saleh, dengan niat yang benar dan hatinya bersih mengatakan, "Wahai Tuhanku." Maka Aku berfirman, "Labbaika," lalu Aku penuhi permintaannya.
Akan tetapi, hadis ini garib bila ditinjau dari sanad ini.

وَرَوَى ابْنُ مَرْدُويه مِنْ حَدِيثِ الْكَلْبِيِّ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: حَدَّثَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ: {وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ} الْآيَةَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اللَّهُمَّ أَمَرْتَ بِالدُّعَاءِ، وتوكَّلْتَ بِالْإِجَابَةِ، لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَرْدٌ أَحَدٌ صَمَد لَمْ تَلِدْ وَلَمْ تُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَكَ كُفُوًا أَحَدٌ، وَأَشْهَدُ أَنَّ وَعْدَكَ حَقٌّ، وَلِقَاءَكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةَ حَقٌّ، وَالنَّارَ حَقٌّ، وَالسَّاعَةَ آتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا، وَأَنْتَ تَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُورِ"

Ibnu Murdawaih meriwayatkan dari hadis Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Jabir ibnu Abdullah, bahwa Nabi Saw. pernah membacakan firman-Nya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku. (Al-Baqarah: 186), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah Saw. bersabda: ya Allah, Engkau memerintahkan untuk berdoa dan aku bertawakal dalam masalah pengabulannya. Kupenuhi seruan-Mu, ya Allah, kupenuhi seruan-Mu, kupenuhi seruan-Mu, tiada sekutu bagimu, kupenuhi seruan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah milik-Mu dan begitu pula semua kerajaan, tiada sekutu bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa Engkau tiada tandingan lagi Maha Esa, bergantung kepada-Mu segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan-Mu. Aku bersaksi bahwa janji-Mu adalah benar, pertemuan dengan-Mu adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan hari kiamat pasti akan datang tanpa diragukan lagi, dan Engkaulah yang akan membangkitkan manusia dari kuburnya.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى الْأَرْزِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى القُطَعي  قَالَا حَدَّثَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ مِنْهال، حَدَّثَنَا صَالِحٍ المُرِّي، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، وَاحِدَةٌ لَكَ وَوَاحِدَةٌ لِي، وَوَاحِدَةٌ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَكَ؛ فَأَمَّا التِي لِي فَتَعْبُدُنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا، وَأَمَّا التِي لَكَ فَمَا عملتَ مِنْ شَيْءٍ وَفَّيْتُكَه وَأَمَّا التِي بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَمِنْكَ الدُّعَاءُ وَعَلِيَّ الْإِجَابَةُ"

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan pada kami Al-Hasan ibnu Yahya Al-Azdi dan Muhammad ibnu Yahya Al-Qat'i; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Saleh Al-Mari, dari Al-Hasan, dari Anas, dari Nabi Saw. yang bersabda: Allah SWT berfirman, "Hai anak Adam, satu hal untukmu, dan satu hal untuk-Ku, serta satu hal lagi antara Aku dan kamu. Adapun hal yang untuk-Ku ialah kamu harus menyembah-Ku, janganlah kamu persekutukan Aku dengan sesuatu pun. Dan adapun yang bagimu ialah semua hal yang kamu lakukan atau amal apa pun, maka Aku pasti menunaikan (pahala)nya kepadamu. Dan adapun yang antara Aku dan kamu ialah kamu berdoa dan Aku yang memperkenankan (mengabulkan).
Penyisipan anjuran untuk berdoa di antara hukum-hukum puasa ini mengandung petunjuk yang menganjurkan agar berdoa dengan sekuat tenaga di saat menyempurnakan bilangan Ramadan, dan bahkan di setiap berbuka. Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud At-Tayalisi di dalam kitab Musnad-nya:

حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ الْمَلِيكِيُّ، عَنْ عَمْرو -هُوَ ابْنُ شُعَيْبِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم يقول: "لِلصَّائِمِ عِنْدَ إِفْطَارِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ". فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو إِذْ أَفْطَرَ دَعَا أَهْلَهُ، وَوَلَدَهَ وَدَعَا

telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad Al-Mulaiki, dari Amr (yakni Ibnu Syu'aib ibnu Muhammad ibnu Abdullah ibnu Amr), dari ayahnya, dari kakeknya (yakni Abdullah Ibnu Amr) yang telah menceritakan bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Bagi orang puasa di saat berbukanya ada doa yang dikabulkan. Tersebutlah bahwa Abdullah ibnu Amr selalu berdoa untuk keluarga dan anaknya; begitu pula anak dan keluarganya, sama-sama berdoa ketika berbuka puasa.
Abu Abdullah Muhammad ibnu Yazid ibnu Majah di dalam kitab sunannya;

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ الْمَدَنِيِّ، عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكة، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوةً مَا تُرَدّ". قَالَ عَبْد اللَّهِ بْنُ أَبِي مُليَكة: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرو يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وسعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي .

telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Madani, dari Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah, dari Abdullah ibnu Amr yang menceritakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya bagi orang puasa di saat berbukanya terdapat doa yang tidak ditolak (untuknya). Ubaidillah ibnu Abu Mulaikah mengatakan, ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amr selalu mengucapkan doa berikut bila berbuka: Ya Allah, sesungguhnya Aku memohon demi rahmat-Mu yang memuat segala sesuatu, sudilah kiranya Engkau mengampuniku.

Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad, Sunan Turmuzi, Nasai, dan Ibnu Majah disebutkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

" ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حتى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ يَرْفَعُهَا اللَّهُ دُونَ الْغَمَامِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَتُفْتَحُ لَهَا أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيَقُولُ: بعزتي لأنصرنك ولو بعد حين"

Ada tiga macam orang yang doanya tidak ditolak, yaitu imam yang adil, orang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang teraniaya diangkat oleh Allah sampai di bawah gamam (awan) di hari kiamat nanti, dan dibukakan baginya semua pintu langit, dan Allah berfirman, "Demi kemuliaan-Ku, Aku benar-benar akan menolongmu, sekalipun sesudahnya.”

Ingatlah wejangan yang amat menyejukkan hati dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata,

من اتكل على حسن اختيار الله له، لم يتمن شيئا. وهذا حد الوقوف على الرضى بما تصرف به القضاء

“Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya)” (Lihat Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262 dan Al Bidaayah wan Nihaayah 8/39). Pilihan Allah itulah yang terbaik.

Penyebab Terhalangnya Doa


Sesunguhnya usaha tanpa berdoa seperti benda yang rapuh. Orang yang berdoa yakni orang yang memohon ada Allah SWT sesuatu yang dia inginkan. Keinginan itu ada kalanya terlalu muluk (mustahil terjadi), serta ada kalanya juga mungkin akan terjadi.  Namun hal hal yang mustahil, tentu tidak boleh kita mohonkan, sebab akal tidak menerima wujudnya. Dan sedangkan hal hal yang mungkin terjadi diharapkan untuk berdoa.

Adalah sangat baik jika kita memperbanyak doa, sebab memperbanyak doa adalah merupakan salah satu perintah Allah sebagaimana firman-Nya :

وَقَالَ رَبّكُـمْ ادْعُونِيَ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنّ الّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنّمَ دَاخِرِينَ

Dan Tuhanmu berfirman : "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [QS. Al-Mukmin : 60].

Namun jika kita merasa bahwa doa kita belum terkabulkan, maka kita tidak boleh putus asa. Kita harus ber-husnudhanpada Allah ta’ala dengan terus introspeksi terhadap diri kita sendiri. Ketika berdoa, kita harus memperhatikan adab-adab berdoa, diantaranya : ikhlash, sungguh-sungguh, khusyuk, penuh kerendahan, dan yakin bahwa doa kita pasti akan dikabulkan (sebagaimana firman Allah di atas). Awalilah doa kita dengan sanjungan kepada Allahta’ala dan shalawat kepada Nabi-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam. Bisa jadi doa kita terhalang karena beberapa faktor, diantaranya :

1. Makan dan minum dari yang haram, mengkonsumsi barang haram berupa makanan, minuman, pakaian, dan hasil usaha yang haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لا يُقبَلَ إِلا طَيِّباً وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ اْلمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ اْلمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوْا صَالِحاً إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاء يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِاْلحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah ta’ala adalah Maha Baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada para Rasul. Allah ta’ala berfirman : “Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih” (QS. Al-Mu’minuun : 51). Dan Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” (QS. Al-Baqarah : 172). Kemudian Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu lalu menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata,”Ya Rabb..ya Rabb…”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya dari yang haram, dicukupi dari yang haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1015].

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata,

كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلاَمٌ يُخْرِجُ لَهُ الْخَرَاجَ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ، فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ لَهُ الْغُلاَمُ: أَتَدْرِي مَا هَذَا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، وَمَا أُحْسِنُ الْكِهَانَةَ إِلاَّ أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ، فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ. فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ

“Dahulu, Abu Bakr memiliki seorang bujang yang biasa mengeluarkan kharaj (harta yang menjadi bagian majikan dari usaha budaknya, -red.) untuknya. Abu Bakr biasa makan dari kharaj itu. Pada suatu hari, si bujang datang membawa sesuatu, lalu Abu Bakr memakannya.
Berkatalah bujang itu, ‘Tahukah Anda makanan apakah ini?’
‘Makanan apakah ini?’ Abu Bakr balik bertanya.
Kata bujang itu, ‘Dahulu, pada masa jahiliah, saya selalu membisikkan hal-hal gaib kepada seseorang. Sebenarnya, saya tidak pandai perdukunan. Saya hanya menipunya. Dia pun menemui saya lalu memberi saya upah. Makanan yang Anda makan ini adalah dari upah itu.’
Seketika, Abu Bakr memasukkan jarinya ke mulutnya hingga memuntahkan semua yang ada di perutnya.”

Subhanallah! Coba bandingkan dengan sebagian besar saudara kita kaum muslimin saat ini, yang tidak hanya menceburkan diri dalam perkara syubhat (samar-samar), tetapi juga menceburkan diri dalam perkara haram!

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

كُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, neraka lebih pantas baginya.”

2. Minta cepat terkabul doa yang akhirnya meninggalkan doa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُوْلُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ

“Dikabulkan doa seseorang dari kalian selama ia tidak buru-buru,(dimana) ia berkata : ”Aku sudah berdoa namun belum dikabulkan doaku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5981 dan Muslim no. 2735].

لا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيْلَ يَا رَسوْلَ اللهِ مَا اْلاِسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُوْلُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَم أَرَ يَسْتَجِيْبُ لِيْ فَيَسْتحْسِرَ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

“Senantiasa doa seorang hamba akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk berbuat dosa atau memutuskan silaturahim, dan selama ia tidak meminta dengan tergesa-gesa (isti’jal)”. Ada yang bertanya : “Ya Rasulullah, apa itu isti’jal ?”. Jawab beliau : “Jika seseorang berkata : ‘Aku sudah berdoa, memohon kepada Allah, tetapi Dia belum mengabulkan doaku’. Lalu ia merasa putus asa dan akhirnya meninggalkan doanya tersebut” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2735].

Ketika Allah tidak mengabulkan doa seseorang—meskipun dia sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa, belum tentu karena Allah tidak menyukainya. Akan tetapi, mungkin Allah menundanya sampai waktu yang tepat.

Masih ingatkah Anda kisah Nabi Zakariya ‘alaihissalam? Kapan beliau mempunyai putra? Setelah lanjut usia! Apakah sejak menikah, beliau pernah berhenti berdoa karena putus asa?

Perhatikanlah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ ٱلۡعَظۡمُ مِنِّي وَٱشۡتَعَلَ ٱلرَّأۡسُ شَيۡبٗا وَلَمۡ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيّٗا ٤

“Ia (Zakariya) berkata, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa berdoa kepada-Mu, wahai Rabbku’.” (Maryam: 4)

Maksudnya, beliau tidak pernah merasa ditolak dan tidak dikabulkan doanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya, Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa sangat baik kepada beliau dan selalu mengabulkan doa beliau. Kebaikan dan kelembutan Allah subhanahu wa ta’ala selalu tertuju kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, hendaklah dipahami bahwa tidak terkabulnya doa adalah salah satu bentuk ujian dari Allah subhanahu wa ta’alaepada seorang hamba. Oleh sebab itu, hendaklah dia bersabar menerima ujian tersebut. Bisa jadi, tidak terkabulnya doa yang dia panjatkan itu agar dia mengoreksi diri dan semakin mendekatkan diri kepada Allah.

Di sisi lain, terpenuhinya semua harapan hamba belum tentu menjadi pertanda kebaikan bagi dirinya. Sebab, mungkin saja hal itu merupakan istidraj (pancingan) dari Allah subhanahu wa ta’ala, apalagi jika selama ini dia bergelimang kemaksiatan dan jauh dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wassalam.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ. ثُمَّ تَلاَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِۦ فَتَحۡنَا عَلَيۡهِمۡ أَبۡوَٰبَ كُلِّ شَيۡءٍ حَتَّىٰٓ إِذَا فَرِحُواْ بِمَآ أُوتُوٓاْ أَخَذۡنَٰهُم بَغۡتَةٗ فَإِذَا هُم مُّبۡلِسُونَ ٤٤

“Apabila engkau melihat Allah memberi seorang hamba sebagian dunia yang disukainya, padahal dia suka bermaksiat, (ketahuilah bahwa) itu adalah istidraj.” Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan firman Allah subhanahu wa ta’ala(((yang artinya),
“Tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu kesenangan untuk mereka, hingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka mereka terdiam berputus asa.” (al-An’am: 44)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تُعۡجِبۡكَ أَمۡوَٰلُهُمۡ وَأَوۡلَٰدُهُمۡۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُعَذِّبَهُم بِهَا فِي ٱلدُّنۡيَا وَتَزۡهَقَ أَنفُسُهُمۡ وَهُمۡ كَٰفِرُونَ ٨٥

“Dan janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki akan mengazab mereka di dunia dengan harta dan anak-anak itu dan agar melayang nyawa mereka dalam keadaan kafir.” (at-Taubah: 85)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

أَيَحۡسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِۦ مِن مَّالٖ وَبَنِينَ ٥٥ نُسَارِعُ لَهُمۡ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ بَل لَّا يَشۡعُرُونَ ٥٦

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (al-Mu’minun: 55—56)

3. Melakukan maksiat dan apa yang diharamkan Allah.Seorang penyair berkata : “Bagaimana mungkin kita mengharap terkabulnya doa, sedangkan kita sudah menutup jalannya dengan dosa dan maksiat”.

4. Meninggalkan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah.Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلْتَنْهَوُنَّ عَنِ اْلمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَ تَدْعُوْنَهُ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan) maka pasti Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2169, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah 14/3453, dan Ahmad no. 23360. At-Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan”].

5. Berdoa yang isinya mengandung perbuatan dosa atau memutuskan silaturahim.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ: إمَّا أَنْ يُعَجِّلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِي اْلآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يَكْشِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا. قَالُوا: إذًا نُكْثِرُ يَا نَبِيَّ اللهِ؟ قَالَ: اللهُ أَكْثَرُ.

“Tidak ada seorang muslim pun yang memanjatkan sebuah doa yang tidak mengandung dosa dan pemutusan silaturahmi, melainkan Allah pasti memberinya salah satu dari tiga hal dengan sebab doa itu: (1) Allah menyegerakan untuknya jawaban doa yang dipanjatkannya, (2) menyimpan jawaban doa itu untuknya di akhirat, atau (3) menyelamatkannya dari kejelekan yang sebanding dengan doa yang dipanjatkannya.”
Kata para sahabat, “Kalau begitu, kami akan memperbanyak (doa), wahai Nabiyullah.”
Kata beliau, “Allah subhanahu wa ta’alaebih banyak lagi (karunia-Nya).”

Maka dari itu, bisa jadi, selama ini, kita mengira bahwa doa kita tidak terkabul, padahal sudah dikabulkan dengan sesuatu yang mungkin lebih banyak atau lebih baik daripada doa yang pernah kita panjatkan. Misalnya, kita pernah meminta rezeki berupa harta yang banyak kepada Allah, tetapi tidak pernah terkabul. Sementara itu, kita selalu sehat, berhati tenteram, dan bekerja tidak terlalu berat. Bukankah kondisi seperti ini jauh lebih baik daripada seandainya kita diberi harta berlimpah, tetapi satu atau dua organ penting tubuh kita terkena penyakit berat, seperti kanker ganas, serangan jantung, atau kerusakan hati—hepatitis dan sejenisnya?

Bagaimana mungkin kita menikmati harta tersebut kalau tubuh kita sakit-sakitan, terbaring di atas ranjang, terkurung di dalam rumah, atau dirawat di rumah sakit?
Bisa jadi pula, kita diselamatkan dari kejelekan yang sebanding dengan apa yang pernah kita minta. Bisa jadi pula, permohonan kita itu dijadikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sebagai simpanan kebaikan untuk kita di akhirat.

Abu Nu’aim, al-Hakim, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi rahimahumullah menukil dari sebagian sahabat, seperti Jabir dan Bunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Jibril ‘alaihissalam ditugasi memerhatikan hajat setiap manusia. Apabila seorang mukmin berdoa, Allah subhanahu wa ta’ala berkata kepadanya, “Hai Jibril, tahanlah keperluan hamba-Ku ini karena Aku mencintainya dan mencintai suaranya.” Sebaliknya, jika seorang kafir berdoa, Allah subhanahu wa ta’ala berkata kepadanya, “Penuhilah hajat hamba-Ku ini karena Aku membencinya dan membenci suaranya.”

6. Tidak bersungguh-sungguh dalam berdoa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا دَعَوْتُمُ اللهَ فَاعْزِمُوْا فِي الدُّعَاءِ وَلا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنْ اللهَ لا مُسْتَكْرِهَ لَهُ

“Apabila seseorang dari kamu berdoa dan memohon kepada Allah, janganlah ia mengucapkan : ‘Ya Allah, ampunilah dosaku jika Engkau kehendaki, sayangilah aku jika Engkau kehendaki, dan berilah rizki jika engkau kehendaki ‘. Akan tetapi, ia harus bersungguh-sungguh dalam berdoa. Sesungguhnya Allah berbuat menurut apa yang Ia kehendaki dan tidak ada yang memaksa-Nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 7026].

7. Tidak khusyu’, lalai, dan terkuasai hawa nafsu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ادْعُوْا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِاْلإِجَابَةِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ لا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاهٍ

“Berdoalah kepada Allah dan kamu yakin akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang hatinya lalai dan tidak khusyu’ “ [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3479 dan Al-Hakim no. 1817; hasan lighairihi].

Kalaupun misalnya Allah ta’ala belum mentaqdirkan doa kita terwujud, kita harus sabar dan ridla bahwasannya Allah ta’ala mempunyai hikmah yang sangat besar. Allahta’ala sangat sayang terhadap hamba-Nya dan seorang hamba tidak tahu tentang akibat urusannya. Terkadang seseorang mengharapkan sesuatu, padahal itu jelek buat dia. Sebaliknya, seseorang membenci sesuatu, padahal itu baik buat dia.

Hukum Berdoa Dengan Bahasa Non Arab


Jika seseorang berdoa dalam shalat -misal ketika sujud atau saat tasyahud akhir sebelum salam- di mana doa tersebut dibuat-buat sendiri dengan selain bahasa Arab, seperti itu tidak dibolehkan bahkan shalatnya batal.

Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i. Oleh karena itu, baiknya memang doa dalam shalat adalah doa yang ma’tsur yang berasal dari Al Quran dan As Sunnah, itu lebih selamat.

Berikut penjelasan dari Imam Nawawi rahimahullah di mana beliau bagi menjadi dua pembahasan yaitu hukum untuk doa ma’tsur (yang ada nash dari Al Quran dan As Sunnah) dan hukum untuk doa yang tidak ma’tsur. Beliau rahimahullah berkata,

[Untuk doa ma’tsur]

Adapun jika doanya itu ma’tsur (berasal dari Al Quran dan As Sunnah), maka ada tiga pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama Syafi’iyah.

Pendapat pertama, bagi yang tidak mampu berbahasa Arab, maka ia boleh membaca terjemah dari doa tersebut. Namun bagi yang mampu berbahasa Arab, tidak dibolehkan baginya membaca terjemahnya. Jika ia mampu berbahasa Arab dan tetap memakai terjemah, shalatnya batal.

Pendapat kedua, boleh membaca terjemah bagi yang bisa berbahasa Arab ataukah tidak.

Pendapat ketiga, tidak dibolehkan membaca terjemah baik yang mampu berbahasa Arab ataukah tidak karena pada saat itu tidak disebut darurat.

[Untuk doa yang tidak ma’tsur]

Untuk doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dari Al Quran dan As Sunnah) dengan selain bahasa Arab, maka tidak dibolehkan dan ini tidak ada khilaf dalam madzhab Syafi’i dan shalatnya bahkan menjadi batal. Hal ini berbeda jika seseorang membuat-buat doa dengan bahasa Arab, maka seperti itu dibolehkan dalam madzhab Syafi’i tanpa ada khilaf. (Al Majmu’, 3: 181).

Salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah berkata,

فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .

“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).

Jadi berdasarkan pendapat dalam madzhab Syafi’i, berdoa dengan selain bahasa Arab tidak dibolehkan dan membuat shalat menjadi batal.

Adapun do’a di luar shalat, maka tidak mengapa menggunakan bahasa non Arab. Seperti ini sama sekali tidak ada masalah lebih-lebih lagi jika hatinya semakin hadir (semakin memahami) do’a yang ia panjatkan.

Sudah sepatutnya do’a yang dipanjatkan dipahami maknanya. Karena hati yang memahami isi do’a tentu saja do’anya akan lebih didengar dan dikabulkan daripada hati yang lalai. Oleh karena itu, setiap do’a yang dipanjatkan hendaknya dipahami artinya sehingga bisa lebih diresapi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Hambali menerangkan,

وَالدُّعَاءُ يَجُوزُ بِالْعَرَبِيَّةِ وَبِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ يَعْلَمُ قَصْدَ الدَّاعِي وَمُرَادَهُ وَإِنْ لَمْ يُقَوِّمْ لِسَانَهُ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ ضَجِيجَ الْأَصْوَاتِ بِاخْتِلَافِ اللُّغَاتِ عَلَى تَنَوُّعِ الْحَاجَاتِ .

“Berdo’a boleh dengan bahasa Arab dan bahasa non Arab. Allah subhanahu wa ta’ala tentu saja mengetahui setiap maksud hamba walaupun lisannya pun tidak bisa menyuarakan. Allah Maha Mengetahui setiap do’a dalam berbagai bahasa pun itu dan Dia pun Maha Mengetahui setiap kebutuhan yang dipanjatkan”.

Do’a terbaik tentu saja do’a yang disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika memanjatkan do’a semacam ini, kita akan mendapatkan kebaikan yang amat banyak, tidak sebatas pada yang kita minta saja. Begitu pula kita nantinya tidak salah meminta karena tidak sedikit yang salah meminta dalam do’anya. Do’a dari Al Qur’an dan Hadits pun tidak membuat kita salah dalam mengucap sehingga salah makna.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,

وَيَنْبَغِي لِلْخَلْقِ أَنْ يَدْعُوا بِالْأَدْعِيَةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ فَإِنَّ ذَلِكَ لَا رَيْبَ فِي فَضْلِهِ وَحُسْنِهِ وَأَنَّهُ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ صِرَاطُ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا .

“Sudah sepatutnya setiap hamba berdo’a dengan do’a yang syar’i yang disebutkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Karena do’a yang berasal dari keduanya tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebaikannya. Do’a yang ada pada keduanya termasuk doa’ para Nabi, para shidiqin, para syuhada’, orang-orang sholih yang menjadi teman terbaik yang tentu berada di jalan yang lurus. ”

Pegang Mushaf Al-qur'an Saat Sholat



Salah satu ibadah sunat paling utama yang dilakukan oleh umat Nabi Muhammad saw adalah membaca ayat-ayat al-Qur’an terlebih apabila dilakukan dalam shalat. Bahkan hukum sunat ini dapat berubah menjadi wajib seperti  membaca surat Al-Fatihah dalam shalat  menurut madzhab Syafi’i.

Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah membuat satu bab dalam kitab Shahih-nya berjudul :

إمامة العبد والمولى - وكانت عائشةُ يؤُمُّها عبدُها ذَكوانُ من المصحف

“Keimaman seorang budak dan maulaa – ‘Aaisyah pernah diimami oleh budaknya yang bernama Dzakwaan dengan membaca mushhaf” [Mukhtashar Shahih Al-Bukhaariy ].

Al-Bukhaariy membawakan atsar di atas secara mu’allaq, namun di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Daawud sebagai berikut :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ، " أَنَّهُ كَانَ يَؤُمُّهَا عَبْدٌ لَهَا فِي مُصْحَفٍ".

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya ia pernah diimami oleh budaknya dengan membaca mushhaf [Al-Mashaahif, hal. 656 no. 791– shahih].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَسَارٍ , قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدٌ ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَائِشَةَ , رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، " أَنَّهُ كَانَ يَؤُمُّهَا غُلامٌ لَهَا فِي الْمُصْحَفِ".

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Bahwasannya ia pernah diimami budaknya dengan membaca mushhaf” [idem, hal. 656-657 no. 792 - shahih].

Juga Ibnu Abi Syaibah rahimahullah :

حدثنا وكيع قال : حدثنا هشام بن عروة، عن أبي بكر بن أبي مليكة : أن عائشة أعتقت غلاما لها عن دبر، فكان يؤمها في رمضان في مصحف

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Urwah, dari Abu Bakr bin Abi Mulaikah : Bahwasannya ‘Aaisyah pernah membebaskan budaknya jika ia (‘Aaisyah) meninggal, dimana budak tersebut mengimaminya di bulan Ramadlaan dengan membaca mushhaf [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/86 (2/338) no. 7294].

Selain riwayat di atas, ada riwayat-riwayat lain dari kalangan salaf yang menyatakan pembolehannya, antara lain :

1.‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنِ الْقَاسِمِ، أَنَّ عَائِشَةَ كَانَتْ تَقْرَأُ فِي الْمُصْحَفِ , فَتُصَلِّي فِي رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin ‘Umar : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Az-Zuhiy, dari Al-Qaasim : Bahwasannya ‘Aaisyah pernah shalat pada bulan Ramadlaan atau yang lainnya dengan membaca mushhaf [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif, hal. 657 no. 793 - shahih].

2.Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu.

حدثنا يحيى بن آدم قال : حدثنا عيسى بن طهمان قال : حدثني ثابت البناني قال : كان أنس يصلي وغلامه يمسك المصحف خلفه، فإذا تعايا في آية فتح عليه

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Thahmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaabit Al-Bunaaniy, ia berkata : “Adalah Anas shalat sedangkan budaknya memegang mushhaf di belakangnya. Apabila ia ragu/lupa pada satu ayat, maka budaknya membukakan mushhaf untuknya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/87 (2/338) no. 7300 – shahih].

3.Muhammad bin Siiriin rahimahullah.

حدثنا محمد بن يحيى، نا عبد الرزاق، عن معمر، عن أيوب، عن ابن سيرين : أنه كان يصلي والمصحف إلى جنبه، فإذا تردَّد نظر في المصحف

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Ibnu Siiriin : Bahwasannya ia pernah shalat sedangkanmushhaf ada di sisinya. Apabila ia ragu-ragu (dalam bacaannya), ia melihat mushhaf [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif, hal. 662-663 no. 813 – shahih].

4.Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy rahimahullah.

حدثنا أحمد بن سعيد الهمداني، نا عبد الله بن وهب، نا معاوية بن صالح، عن يحيى بن سعيد الأنصاري قال : لا أرى بالقراءة من المصحف في رمضان بأسا - يريد القرآن - .

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sa’iid Al-Hamdaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari Yahyaa bin Sa’iid Al-Anshaariy, ia berkata : “Aku memandang tidak mengapa membaca mushhaf di bulan Ramadlaan (ketika shalat) – maksudnya adalah Al-Qur’an – [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif, hal. 660 no. 805 – hasan].

5.Al-Hakam bin ‘Utaibah rahimahullah.

حدثنا أبو داود، عن شعبة، عن الحكم في الرجل يؤم في رمضان يقرأ في المصحف : رخَّص فيه

Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud, dari Syu’bah, dari Al-Hakam tentang laki-laki yang mengimami pada bulan Ramadlaan dengan membaca mushhaf : Ia memberikan keringanan padanya [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/87 (2/338) no. 7296 – shahih].

6.Al-Hasan Al-Bashriy dan Az-Zuhriy rahimahumallah.

أبو داود الطيالسي، عن شعبة، عن منصور، عن الحسن ومحمد قالا : لا بأس به

Abu Daawud Ath-Thayaalisiy, dari Syu’bah, dari Manshuur, dari Al-Hasan dan Muhammad, mereka berdua berkata : “Tidak mengapa dengannya (membaca mushhaf ketika shalat)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/87(2/338) no. 7297 - shahih].

Catatan : Ada riwayat lain dari Al-Hasan yang menyatakan kebenciannya sebagaimana akan dibawakan di bawah.

7.Maalik bin Anas rahimahullah.

حدثنا أبو الربيع قال : أنا ابن وهب قال ؛ سمعتُ مالكا وسئل عمَّن يؤم الناس في رمضان في المصحف ؟. فقال : لا بأس بذلك إذا اضطروا إلى ذلك

Telah menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Aku mendengar Maalik, dan ia pernah ditanya tentang orang yang mengimami orang-orang di bulan Ramadlaan dengan membaca mushhaf ?. Maka ia berkata : “Tidak mengapa dengan hal itu jika ia terpaksa melakukannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Daawud dalam Al-Mashaahif, hal. 661 no. 808 – shahih].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

لو قرأ القرآن من المصحف لم تبطل صلاته سواء كان يحفظه أم لا ، بل يجب عليه ذلك إذا لم يحفظ الفاتحة . . . وهذا الذي ذكرناه من أن القراءة في المصحف لا تبطل الصلاة مذهبنا ومذهب مالك وأبي يوسف ومحمد وأحمد

“Meskipun ia membaca Al-Qur’an dari mushhaf, makatidak membatalkan shalatnya, sama saja apakah ia menghapalnya ataukah tidak. Bahkan wajib baginya jika tidak hapal Al-Faatihah.... dan inilah yang telah kami sebutkan dari madzhab kami (Syaafi’iyyah), Maalik, Abu Yuusuf, Muhammad, dan Ahmad bahwa membacamushhaf tidak membatalkan shalat” [Al-Majmu’, 4/27].

Namun pembolehan Maalik bin Anas rahimahulah ini adalah untuk shalat sunnah, dan ia membencinya jika dilakukan pada shalat fardlu, sebagaimana dikatakan Ibnul-Qaasim rahimahullah :

وقال مالك لا بأس ان يؤم الامام بالناس في المصحف في رمضان في النافلة (قال ابن القاسم) وكره ذلك في الفريضة

“Dan Maalik berkata : ‘Tidak mengapa seorang mengimami manusia dengan membaca mushhaf di bulan Ramdlan pada shalat sunnah”. Ibnul-Qaasim berkata : “Dan ia membenci hal tersebut pada shalat fardlu” [Al-Mudawwanah, 1/283].

Dari  rujukan diatas, kami memberikan beberapa gambaran sebagai  berikut:

Pertama, apabila mushaf tersebut terletak dan terpampang didepan mushalli (orang yang shalat), maka hukumnya tidak masalah  seperti  mushaf yang dipigura atau dilaminating lalu dipasang didepan pengimaman dan imam membacanya ketika shalat.

Kedua, mushaf tersebut terletak disebelah atau disaku orang yang shalat. Apabila memang demikian kondisinya, maka yang perlu diperhatikan adalah cara pengambilan serta meletakkannya kembali berikut membukanya. Selama dalam proses pengambilan, meletakkan serta membuka tersebut tidak tergolong melakukan  banyak aktifitas, maka hukum membaca mushaf tersebut tetap dibenarkan. Sedangkan apabila dalam proses yang kami sebutkan dianggap melakukan banyak aktifitas, maka dalam pandangan madzhab Syafii  hal ini  dianggap dapat membatalkan shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih mereka.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa membaca mushaf ketika sedang melaksanakan shalat hukumnya boleh selama tidak melakukan aktifitas-aktifitas yang dapat membatalkan shalat. Pendapat ini sekali lagi mengacu kepada pandangan madzhab Syafi’i. Berbeda dengan pendapat  sebagaian pengikut madzhab Hanafi yang menyatakan bahwa hal yang demikian (membaca mushaf ketika shalat) dianggap membatalkan shalat.

Kontradiktif dengan pendapat di atas yang membolehkan, ada sebagian salaf yang membencinya sebagaimana ada dalam beberapa riwayat berikut :

1.Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy rahimahullah.

حدثنا وكيع قال حدثنا سفيان عن عطاء عن أبي عبد الرحمن أنه كره أن يوءم في المصحف .

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Athaa’, dari Abu ‘Abdirrahmaan : Bahwasannya ia membenci mengimami dengan membaca mushhaf [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/88 (2/338) no. 7302 – shahih].

2.Ibraahiim An-Nakhaa’iy rahimahullah.

حدثنا أبو معاوية عن الاعمش عن إبراهيم أنه كرهه أن يوءم الرجل في المصحف كراهة أن يتشبهوا بأهل الكتاب

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim : Bahwasannya ia membenci seorang laki-laki yang mengimami dengan membaca mushhaf, dengan kebencian bahwasannya hal itu menyerupai Ahlul-Kitab [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/88 (2/338) no. 7303 – shahih].

3.Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah.

حدثنا وكيع قال حدثنا هشام الدستوائي عن قتادة عن الحسن أنه كرهه وقال هكذا تفعل النصارى

Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam Ad-Dastuwaaiy, dari Qataadah, dari Al-Hasan : Bahwasannya ia membenci hal tersebut, dan berkata : “Begitulah yang dilakukan oleh orang Nashara” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/88 (2/339) no. 7307 – shahih].

4.Hammaad bin Abi Sulaimaan dan Qataadah rahimahumallah.

حدثنا أبو داود عن شعبة عن حماد وقتادة في رجل يوءم القوم في رمضان في المصحف فكرهاه

Telah menceritakan kepada kami Abu Daawud, dari Syu’bah, dari Hammaad dan Qataadah tentang laki-laki yang mengimami satu kaum di bulan Ramdlaan dengan membaca mushhaf, maka mereka berdua membencinya [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 5/88 (2/339) no. 7307 – shahih].

5.Mujaahid rahimahullah.

عن الثوري، عن منصور، عن مجاهد أنه كرهه

Dari Ats-Tsauriy, dari Manshuur, dari Mujaahid : Bahwasannya ia membencinya [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq, 2/419 no. 3928 - shahih].

Adapun Abu Haniifah rahimahullah, maka ia melarang membaca mushhaf baik dalam shalat fardlu ataupun shalat nafilah karena dapat membatalkan shalat, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Kaasaaniy dalam Badaa’ish-Shanaai’ (2/611) – lihat pula Mukhtashar Ikhtilaafil-‘Ulamaa lith-Thahawiy oleh Al-Jashshash, 1/207 no. 145.

Imam memegang Mushaf

Kasus imam yang memimpin shalat jamaah sambil membawa atau membaca mushaf, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Al-Kasani menyebutkan,

ولو قرأ المصلي من المصحف فصلاته فاسدة عند أبي حنيفة. وعند أبي يوسف و محمد: تامة ويكره. وقال الشافعي: لا يكره.

“Jika ada orang yang shalat sambil membaca mushaf, maka shalatnya batal menurut Imam Abu Hanifah, sementara menurut Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani (dua murid senior Imam Abu Hanifah), shalatnya sah, namun makruh. Kemudian Imam asy-Syafii berpendapat, “Tidak makruh.” (Bada’i ash-Shana’i, 1:236).

Selanjutnya al-Kasani menyebutkan alasan masing-masing pendapat,

Abu Hanifah menganggap ini membatalkan shalat karena dua hal:

Pertama, bahwa orang yang shalat sambil membawa mushaf, membolak-balik halaman mushaf, melihat mushaf, dst. adalah gerakan yang terlalu banyak, padahal itu bukan bagian dari shalat. Sementara itu juga tidak diperlukan ketika shalat, sehingga hal ini merusak shalatnya.

Kedua, orang yang menjadi imam sambil membawa mushaf, dia membaca teks dari mushaf. Padahal orang yang membaca teks termasuk belajar, sebagaimana dia belajar dari teks yang lain, sehingga ini bisa membatalkan shalat.

Sementara ulama yang tidak menghukumi batal beralasan dengan hadis tentang Dzakwan (bekas budak Aisyah)

أن مولى لعائشة يقال له: ذكوان كان يؤم الناس في رمضان وكان يقرأ من المصحف

“Bahwa mantan budak Aisyah, yang namanya Dzakwan, beliau mengimami masyarakat ketika Ramadhan dan beliau sambil membaca mushaf.”

Kemudian, melihat mushaf termasuk ibadah, membaca mushaf juga ibadah, dan menggabungkan satu ibadah dengan ibadah yang lain, tidak menyebabkan batal. Hanya saja, semacam ini dimakruhkan, karena menyerupai Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani, yang shalat dengan membaca kitabnya).

Sedangkan Imam asy-Syafi’i beralasan bahwa itu bukan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir, karena kita juga makan apa yang mereka makan, dan itu tidak disebut meniru kebiasaan ahli kitab. (Bada’i ash-Shana’i, 1:236)

Badruddin Al-Aini mengatakan:

“Zahirnya menunjukkan bolehnya membaca dari mushaf ketika shalat. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin, Hasan al-Bashri, al-Hakam, dan Atha’. Anas bin Malik juga pernah menjadi imam, sementara ada anak di belakang beliau yang membawa mushaf. Apabila beliau lupa satu ayat, maka si anak tadi membukakan mushaf untuk beliau. Imam Malik juga membolehkannya ketika tarawih, sementara an-Nakhai, Said bin Musayib, dan asy-Sya’bi membencinya. Mereka mengatakan: ‘Itu seperti perbuatan orang Nasrani.’” (Umdatul Qori, Syarh Shahih Bukhari, 5:225)

Membedakan antara shalat sunnah dengan shalat wajib perlu dalil, karena apa saja yang berlaku pada shalat wajib, berlaku juga untuk shalat sunnah, kecuali ada dalil yang memang membedakannya. Dan di sini tidak ada.

Jika dikatakan ia dilarang karena akan terjadi banyak gerakan (di luar shalat) sehingga dapat membatalkan shalat, maka telah shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan gerakan di luar shalat karena ada kebutuhan.

حدثنا محمد بن أبي عمر. حدثنا سفيان عن عثمان بن أبي سليمان وابن عجلان. سمعا عامر بن عبدالله بن الزبير يحدث عن عمرو بن سليم الزرقي، عن أبي قتادة الأنصاري؛ قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يؤم الناس وأمامه بنت أبي العاص وهي ابنة زينب بنت النبي صلى الله عليه وسلم على عاتقه. فإذا ركع وضعها. وإذا رفع من السجود أعادها.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Utsmaan bin Abi Sulaimaan dan Ibnu ‘Ajlaan, keduanya mendengar ‘Aamir bin ‘Abdillah bin Az-Zubair menceritakan hadits dari ‘Amru bin Sulaim Az-Zuraqiy, dari Qataadah Al-Anshaariy, ia berkata : “Aku melihat Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam sedang mengimami manusia dan Umamah binti Abil-’Ash – ia adalah anak dari Zainab bintu Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam – (digendong) di atas pundakya. Apabila beliau rukuk, maka beliau meletakkannya, dan apabila beliau akan berdiri dari sujud, maka beliau kembali (menggendongnya)” [Diriwayatkan Muslim no. 543].

حدثنا أحمد بن حنبل ومسدد وهذا لفظه قال ثنا بشر يعني بن المفضل ثنا برد عن الزهري عن عروة بن الزبير عن عائشة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أحمد يصلي والباب عليه مغلق فجئت فاستفتحت قال أحمد فمشى ففتح لي ثم رجع إلى مصلاة

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal dan Musaddad – dan ini adalah lafadhnya - , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Bisyr, yaitu Ibnul-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami Burd, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat sedangkan pintu yang ada di dekatnya dalam keadaan tertutup. Lalu aku datang, dan minta dibukakan. Beliau berjalan, lalu membukakan pintu untukku, kemudian kembali ke shalatnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 922; hasan – lihat Shahih Sunan Abi Daawud, 1/257].

Sudah sepatutnya kaum muslimin, terlebih lagi mereka yang dipercaya menjadi imam shalat berjama’ah, bersemangat menghapalkan Al-Qur’an, Bagaimanapun juga, berdiri membaca Al-Qur’an dengan hapalan di dada adalah lebih baik, lebih khusyu’, dan lebih sempurna daripada membaca dengan melihat dan/atau memegang mushhaf.

Jika hal itu dilakukan tanpa ada keperluan/kebutuhan, maka makruh karena Allah ta’ala berfirman :

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya...” [QS. Al-Mukminuun : 1-2].

حدثنا قتيبة بن سعيد عن بكر يعني بن مضر عن بن عجلان عن سعيد المقبري عن عمر بن الحكم عن عبد الله بن عنمة المزني عن عمار بن ياسر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : إن الرجل لينصرف وما كتب له إلا عشر صلاته تسعها ثمنها سبعها سدسها خمسها ربعها ثلثها نصفها

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, dari Bakr, yaitu Ibnu Mudlar, dari Ibnu ‘Ajlaa, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari ‘Umar bin Al-Hakam, dari ‘Abdullah bin ‘Anamah Al-Muzanniy, dari ‘Ammaar bin Yaaisr, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya seseorang menyelesaikan shalatnya, dan tidak dituliskan baginya (pahala) kecuali sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau setengahnya dari shalatnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 796; hasan – lihat Shahiihul-Jaami’, hal. 335 no. 1626].

Bermuamalah Kepada Non Muslim



Kecintaan (mahabbah) adalah ibadah hati yang tidak boleh ditujukan kecuali hanya kepada Allah Ta’ala dan kepada apa saja yang dicintai Allah, seperti dien (agama), kitab, para nabi, para wali, syariat-syariat, dan syiar-Nya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

أوثق عرى الإيمان الموالاة في الله و المعاداة في الله و الحب في الله و البغض في الله

“Ikatan keimanan yang paling kuat adalah perwalian (loyalitas) karena Allah dan permusuhan karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.

Mencintai orang-orang kafir dan berwala’ kepada mereka, apa pun agamanya dan alirannya, seperti para biduanita, para pegulat, penyanyi, olahragawan, seniman, politikus, dan lain sebagainya dari orang-orang yang sudah terkenal kabarnya dan tersebar foto-foto maupun kisah-kisahnya, sehingga hati sebagian orang-orang yang lalai menjadi tergantung kepada mereka adalah termasuk perbuatan haram yang sangat berbahaya, yang kemungkinan besar akan menyebabkan pelakunya murtad dari agama Allah Ta’ala.

Allah ta’ala berfirman :

لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ

”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].

Yakni mereka tidak membantu (orang-orang) untuk memerangi dan mengusirmu. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Allah tidak melarang kamu menjalin hubungan baik dengan orang-orang kafir yang tidak memerangimu karena agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka.

{أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}

untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 8)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ الْمُنْذِرِ، عَنْ أَسْمَاءَ -هِيَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا-قَالَتْ: قَدَمت أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدُوا، فأتيتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: "نَعَمْ، صِلِي أُمَّكَ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari Fatimah bintil Munzir, dari Asma binti Abu Bakar r.a. yang menceritakan, "Ibuku datang, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa terjadinya perjanjian perdamaian dengan orang-orang Quraisy. Maka aku datang kepada Nabi Saw. dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku datang, ingin berhubungan dengan diriku, bolehkah aku berhubungan dengannya?' Nabi Saw. bersabda, "Ya, bersilaturahmilah kepada ibumu'."

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan pula hadis ini.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Arim, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnuSabit, telah menceritakan kepada kami Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Qatilah datang menemui anak perempuannya (yaitu Asma binti Abu Bakar) dengan membawa hadiah-hadiah berupa keju, obat penyamak kulit, dan minyak samin, sedangkan ibunya masih dalam keadaan musyrik. Maka Asma pada mulanya menolak menerima kedatangan ibunya, dan masuk ke dalam rumahnya, lalu bertanya kepada Aisyah r.a. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Allah tiada melarangmu terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama. (Al-Mumtahanah: 8), hingga akhit ayat. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepada Asma agar menerima hadiah ibunya itu dan mempersilakan ibunya masuk ke dalam rumahnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Mus'ab Ibnu Sabit dengan sanad yang sama.

Menurut riwayat lain, Imam Ahmad dan Ibnu Jarir, disebutkan bahwa ibu Asma bernama Qatilah binti Abdul Uzza ibnu Sa'd ibnu Bani Malik ibnu Hasal.

Ibnu Abu Hatim menambahkan pula bahwa hal itu terjadi di masa gencatan senjata antara orang-orang Quraisy dan Rasulullah Saw.

Abu Bakar alias Ahmad ibnu Amr ibnu Abdul Khaliq Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abu Qatadah Al-Adawi, dari keponakan Az-Zuhri, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah dan Asma, bahwa keduanya pernah menceritakan, "Ibu kami datang kepada kami ke Madinah, sedangkan dia masih dalam keadaan musyrik di masa gencatan senjata yang ada antara Rasulullah Saw. dan orang-orang Quraisy. Maka kami bertanya, 'Wahai Rasulullah sesungguhnya ibu kami datang ke Madinah untuk menemui kami, bolehkah kami menghubungkan silaturahmi dengannya?' Rasulullah Saw. menjawab, 'Ya, bersilaturahmilah kamu berdua kepadanya'."

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa hadis ini kami tidak mengenalnya diriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah kecuali hanya melalui jalur ini.

Menurut hemat kami, hadis ini munkar dengan teks yang berbunyi demikian, karena sesungguhnya ibu Siti Aisyah adalah Ummu Ruman, ia seorang muslimah dan ikut berhijrah. Sedangkan ibunya Asma adalah lainnya, sebagaimana yang disebutkan namanya dalam hadis-hadis sebelumnya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.

Ayat di atas tidak mengandung pengertian kecintaan sama sekali kepada salah seorang kafir sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ayat tersebut hanyalah merupakan rukhshash (keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita.

Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :

هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى

”Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah ta’aladalam hal menjalin hubungan dengan orang-orang (kafir) yang tidak memusuhi dan memerangi orang-orang mukmin. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap semacam ini terjadi di permulaan Islam saat perdamaian dan gencatan senjata,lalu dihapus’. Qatadah berkata : ’Ayat tersebut dihapus (mansukh) oleh ayat : ’Maka bunuhlah orang musyrik itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah : 5)’. Dan dikatakan : ’Hukum (dalam ayat) ini berlaku karena ada sebab, yaitu perdamaian. Ketika hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah hukumnya, dan tersisa bacaannya” [Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 18/59].

Dan yang benar bahwa hukum yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak terhapus secara mutlak).

Berbuat baik kepada orang kafir dalam hal muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan untuk menanamkan kecintaan kepada mereka dalam hati. Hal itu dikarenakankecintaan mempunyai konsekuensi pembolehan untuk menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong, mempercayakan amanah kepada mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.Perbuatan tersebut terlarang secara asal dalam Islam, berdasarkan firman Allah ta’ala :

لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً

”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”.[QS. Aali ’Imraan : 28]

الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ للّهِ جَمِيعاً

”(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. [QS. An-Nisaa’ : 139]

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

ثُمَّ اَلْبِرُّ وَالصِّلَة وَالْإِحْسَان لَا يَسْتَلْزِمُ التَّحَابُبَ وَالتَّوَادُدَ اَلْمَنْهِيَّ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْم اَلْآخِر يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اَللَّه وَرَسُولَهُ) . اَلْآيَة فَإِنَّهَا عَامَّةٌ فِي حَقِّ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاَللَّه أَعْلَمُ.

”Kemudian, kebajikan, hubungan, dan kebaikan (yang kita lakukan kepada orang kafir) tidaklah mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya’(QS. Al-Mujaadilah : 22).  Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 5/233].

معنى الآية المذكورة عند أهل العلم: الرخصة في الإحسان إلى الكفار , والصدقة عليهم إذا كانوا مسالمين لنا, بموجب عهد أو أمان أو ذمة, وقد صح في السنة ما يدل على ذلك, كما ثبت في الصحيح أن أم أسماء بنت أبي بكر قدمت عليها في المدينة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وهي مشركة تريد الدنيا, فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أسماء أن تصل أمها, وذلك في مدة الهدنة التي وقعت بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين أهل مكة , وصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أعطى عمر جبة من حرير, فأهداها إلى أخ له بمكة مشرك, فهذا وأشباهه من الإحسان الذي قد يكون سببا في الدخول في الإسلام, والرغبة فيه, وإيثاره على ما سواه, وفي ذلك صلة للرحم, وجود على المحتاجين, وذلك ينفع المسلمين ولا يضرهم, وليس من موالاة الكفار في شيء كما لا يخفى على ذوي الألباب والأبصار.

”Makna ayat tersebut menurut para ulama adalah :keringanan dalam hal berbuat baik kepada orang-orang kafir dan memberi sedekah kepada mereka jika mereka menyerah kepada kita dengan menggunakan perjanjian atau jaminan atau dzimmah (suaka politik), dan ada shahih dalam sunnah yang menunjukkan hal tersebut. Sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab Ash-Shahiih bahwa ibu Asmaa’ bintu Abi Bakr pernah mendatangi Asmaa’ di Madinah pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, padahal ibunya itu seorang musyrik yang menginginkan dunia. Maka Nabi memerintahkan Asmaa’ untuk menjalin hubungan dengannya, dan itu berlangsung selama masa perdamaian yang terjadi antara Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dengan penduduk Makkah. Dan telah shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa beliau pernah memberi jubah sutera kepada ’Umar, lalu ’Umar menghadiahkannya kepada saudaranya di Makkah yang masih musyrik.Hal itu dan juga contoh-contoh kebaikan lain yang serupa merupakan salah satu bentuk yang tidak jarang menjadi sebab masuknya orang ke dalam agama Islam atau mencitrakan baik pada Islam serta pengutamaan Islam atas yang lainnya. Dan hubungan seperti itu hanya sekedar hubungan nasab yang memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan tidak memberikan mudlarat kepada mereka. Dan bukan pula termasuk sama sekali dalam pengertian wala’ (loyalitas) terhadap orang-orang kafir, sebagaimana hal itu sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang berakal”.

Itulah keluasan dan keadilan Islam. Keluasan dalam arti bahwa Islam tidak melarang kaum muslimin untuk bermuamalah dengan kaum kuffar yang tidak memerangi kaum muslimin; baik dalam hubungan silaturahim dengan anggota keluarga, jual-beli, dan yang lainnya. Keadilan dalam arti bahwa Islam melarang kaum muslimin untuk berbuat segala macam kedhaliman kepada mereka yang tidak berbuat dhalim kepada kita, dan membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita (dalam batas-batas syari’at). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah bersabda :

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا

”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Yaitu, orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1827].

Dalam kitab-kitab tafsir dikemukakan kisah yang unik dari seorang ulama salaf, yaitu Imam al-Sibli, ulama shufi terkemuka dan murid al-Junaid al-Baghdadi, sebagai berikut:

حكى عن الشبلي رضى الله عنه أنه كان إذا لبس ثوبًا جديدًا مزقه، فأراد ابن مجاهد أن يعجزه بمحضر الوزير، فقال له: أين تجد في العلم إفساد ما ينتفع به؟ فقال له الشبلي: أين في العلم: فَطَفِقَ مَسْحاً بِالسُّوقِ وَالْأَعْناقِ ؟ فسكت، فقال له الشبلي: أنت مقرىء عند الناس، فأين في القرآن: إن الحبيب لا يعذب حبيبه؟ فسكت ابن مجاهد، ثم قال: قل يا أبا بكر، فقرأ له الشبلي قوله تعالى وَقالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصارى نَحْنُ أَبْناءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ، فقال ابن مجاهد: كأني والله ما سمعتها قط. هـ

Diceritakan dari al-Syibli apabila ia memakai baju baru, maka akan merobeknya terlebih dahulu. Lalu Imam Ibnu Mujahid ingin menampakkan kelemahan al-Syibli di hadapan Menteri. Ibnu Mujahid berkata kepada al-Syibli, “Di mana Anda dapati dalam ilmu agama dalam hal merusak sesuatu yang bermanfaat?” Al-Syibli berkata, “Di mana pengetahuanmua terhadap firman Allah, “Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS Shad : 33).

Akhirnya Ibnu Mujahid terdiam dengan jawaban al-Syibli yang luar biasa. Lalu al-Syibli bertanya kepada Ibnu Mujahid, “Kamu menurut orang-orang ahli dalam bidang ilmu al-Qur’an. Lalu di mana dalam al-Qur’an bahwa kekasih tidak akan mengazab kekasihnya?” Ternyata Ibnu Mujahid diam tidak bisa menjawab.

Lalu Ibnu Mujahid berkata, “Katakanlah wahai Abu Bakar (al-Syibli)”. Lalu al-Syibli membacakan firman Allah ta’ala, ““Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (QS al-Maidah : 18). Mendengar jawaban al-Syibli, Ibnu Mujahid berkata, “Demi Allah saya seperti belum pernah mendengar ayat ini.” (Ibnu Ajibah al-Hasani, al-Bahr al-Madid juz 2 hlm 23).

Kisah di atas dikutip oleh hampir semua kitab-kitab tafsir. Tetapi sebagian besar tidak menyebutkan nama pemiliki kisah di atas, kecuali Ibnu Ajibah dalam tafsir al-Bahr al-Madid dan al-Qasimi dalam Mahasin al-Ta’wil. Bahkan all-Hafizh Ibnu Katsir, setelah mengutip kisah di atas dalam tafsirnya, memberikan pujian dan penguatan dengan hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، وَصَبِيٍّ فِي الطَّرِيقِ، فَلَمَّا رَأَتْ أُمُّهُ الْقَوْمَ خَشِيَتْ عَلَى وَلَدِهَا أَنْ يُوطَأَ، فَأَقْبَلَتْ تَسْعَى وَتَقُولُ: ابْنَيِ ابْنِي، وَسَعَتْ فَأَخَذَتْهُ فَقَالَ الْقَوْمُ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا كَانَتْ هَذِهِ لتلقي ولدها في النار. قال: فَخَفَّضَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” وَلاءُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لا يُلْقِي حَبِيبَهُ فِي النَّارِ

Sahabat Anas berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan bersama beberapa orang sahabatnya, sedangkan seorang bocah kecil ada di tengah jalan. Begitu ibunya melihat orang-orang yang akan lewat, ia khawatir, mereka menginjak anaknya, lalu ia menghampiri dengan berjalan dan berkata, “Anakku, anakku”, dan mengambil anaknya. Lalu orang-orang berkata, “Wahai Rasulullah, ibu anak ini sungguh tidak akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan mereka. Lalu bersabda: “Tidak, Allah azza wa jalla tidak akan melemparkan kekasihnya ke dalam api neraka.”

(Hadit shahih riwayat Ahmad [12018], al-Bazzar [3476 Kasyf al-Astar], Abu Ya’la [3747] dan al-Hakim juz 1 hlm 58 dan juz 4 hlm 177).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...