Minggu, 31 Oktober 2021

Sholat Tarawih 2 Raka'at Salam


Dalam risalah ini menjelaskan pemaparan tentang perkara-perkara terpenting dalam shalat Tarawih secara sederhana. Dengan demikian risalah ini menjadi tulisan yang dapat dihayati dan sangat layak dibaca oleh siapa saja yang ingin memahami secara benar dan mau menyelamatkan perkara ibadahnya.

Banyak orang mengerjakan shalat Tarawih dengan cara 4 rakaat sekali salam dengan dalil hadis Siti Aisyah sebagai berikut:

  مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.

Artinya: Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 4 rakaat jangan engkau bertanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat 3 rakaat. Kemudian aku bertanya ”Ya Rasulullah apakah kamu tidur sebelum shalat Witir”? Kemudian beliau menjawab: ”Aisyah, meskipun kedua mataku tidur, hatiku tidaklah tidur”.

Banyak orang terkecoh dan terjebak dalam memahami penjelasan Imam Muhammad al-Shan’âniy dalam kitab Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, sehingga mereka mengatakan tata cara shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam disebutkan dalam kitab itu. Untuk menjawab tuduhan itu, mari kita lihat secara langsung redaksi Imam Muhammad al-Shan’âniy, sebagai berikut:

 وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ثُمَّ فَصَّلَتْهَا بِقَوْلِهَا ( يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى .

Artinya; Rasulullah tidak pernah melakukan shalat malam (sepanjang tahun) pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 rakaat. Kemudian Siti A’isyah merincikan  shalat Rasulullah dengan perkataannya:”Beliau shalat 4 rakaat”. Redaksi ini memiliki kemungkinan 4 rakaat dilakukan sekaligus dengan 1 salam, ini adalah yang zhahir, dan juga bisa dipahami 4 rakaat itu dilakukan secara terpisah (2 rakaat- 2 rakaat), tetapi pemahaman ini jauh hanya saja ia sesuai dengan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.

Maksud perkataan Imam Muhammad al-Shan’âniy:” 4 rakaat dilakukan dengan sekali salam, dipahami menurut zhahir/tekstual hadis. Sedangkan pelaksanaan 4 rakaat dengan 2 salam menjadi jauh bila tidak ada keterangan dari hadis lain. Tetapi 4 rakaat dengan cara 2 salam memiliki kekuatan dengan adanya keterangan hadis Shalat malam itu dilakukan dengan 2 rakaat- 2 rakaat.Dalam hal ini Imam Syafii mengatakan dalam kitab al-Risâlah sebagai berikut:

 فَكُلُّ كَلَامٍ كَانَ عَامًا ظَاهِرًا فِي سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ فَهُوَ عَلَى ظُهُوْرِهِ وَعُمُوْمِهِ حَتَّى يُعْلَمَ حَدِيْثٌ ثَابِتٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ .

Artinya: “Setiap perkataan Rasulullah dalam hadis yang bersifat umum/zhahir diberlakukan kepada arti zhahir dan umumnya sehingga diketahui ada hadis lain yang tetap dari Rasulullah”.

Maksud dari  perkataan Imam Syafii adalah redaksi hadis yang masih bersifat umum/zhahir, boleh-boleh saja dipahami demikian adanya, dengan catatan selama tidak ada keterangan lain dari hadis Rasulullah. Tetapi bila ditemukan hadis Rasulullah yang menjelaskan redaksi zhahir dan umum satu hadis, maka hadis tersebut tidak boleh lagi dipahami secara zhahir dan umum.Jika hendak dipertentangkan, hadis tentang shalat yang dikerjakan 2-2 lebih kuat dan lebih banyak diamalkan oleh umat sebab ia merupakan hadis Qauliy (perkataan Nabi) dalam riwayat lain dikatakan juga sebagai hadis Fi’liy (perbuatan Nabi), sedangkan hadis Siti Aisyah 4-4 hanya merupakan hadis Fi’liy (perbuatan Nabi).

Ketika terjadi perbedaan antara perkataan Nabi dengan perbuatannya maka yang harus dilakukan umatnya adalah mengamalkan apa yang diperintahkannya (perkataannya), sebabnya adalah lantaran perbuatan Nabi bisa jadi merupakan kekhususan bagi beliau yang tidak berlaku bagi umatnya. Contohnya adalah tentang kandungan surat annisa ayat 3 sebagai perintah Nabi kepada para sahabat dan umatnya agar tidak memiliki istri lebih dari 4 orang. Padahal beliau sendiri di akhir hayatnya meninggalkan 9 orang istri. Dalam hal ini yang berlaku adalah kita tetap tidak boleh memiliki istri lebih dari 4. Sementara beristri lebih dari 4 merupakan kekhususan yang hanya boleh bagi Nabi. Dengan kaidah ini, maka mengerjakan shalat malam dengan 2-2 rakaat lebih tepat ketimbang mengerjakannya dengan 4-4 rakat sekali salam, sebab bisa jadi shalat 4-4 rakaat merupakan sesuatu yang khusus bagi Nabi.

Masih ada cara lain yang paling mudah untuk memahami hadis Siti Aisyah yakni dengan mencari ucapan Aisyah sendiri pada lain kesempatan. Kita tentu berhak mempertanyakan kembali apakah yang dimaksud Siti Aisyah 4 rakaat benar-benar sekali salam??? Ternyata Siti Aisyah sendiri sebagai periwayat hadis 4-4 menjelaskan dalam hadis lain bahwa yang dimaksud dengan 4 rakaat pelaksanaannya adalah dengan 2-2. Perhatikanlah penjelasan Siti Aisyah pada hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاةِ الْعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَتَبَيَّنَ لَهُ الْفَجْرُ وَجَاءَهُ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ لِلْإِقَامَةِ.

Artinya: Dari Aisyah berkata: ”Seringkali Rasulullah melakukan shalat antara selesai shalat Isya yang disebut orang dengan shalat ’Atamah sampai Fajar beliau mengerjakan shalat 11 rakaat, beliau melakukan salam pada tiap 2 rakaat dan melakukan 1 rakaat Witir. Apabila seorang Muadzzin selesai dari azan shalat Shubuh yang menandakan fajar telah datang, Muadzzin tersebut mendatangi beliau beliau pun melakukan shalat 2 rakaat ringan setelah itu beliau berbaring (rebah-rabahan) atas lambungnya yang kanan sampai Muadzzin itu mendatangi beliau untuk Iqamah.Hadis tersebut disebutkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya hadis no: 1216, Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak hadis no: 1671, Imam al-Darimiy dalam sunannya hadis no: 1447, Imam al-Bayhaqiy dalam al-Sunan al-Shughra hadis no: 600, al-sunan al-Kubra hadis no: 4865 dan Ma’rifah Sunan Wa al-Atsar hadis no: 1435.>>

Dalam risalah الجـواب الصحيح لمن صلى أربعا بتسليمة من التراويــح, penulis telah sebutkan lebih dari 80 kitab Mu’tabar dari berbagai cabang ilmu, baik dari keterangan kitab Syarh hadis, fiqh, Ushul Fiqh dan Taswwuf, yang menyatakan bahwa shalat Tarawih yang dikerjakan dengan 4 rakaat sekali salam itu tidak sah. Di antaranya:

1.  Imam Nawawiy al-Dimasyqiy:

يَدْخُلُ وَقْتُ التَّرَاوِيْحِ بِالْفَرَاغِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ذَكَرَهُ الْبَغَوِيُّ وَغَيْرُهُ وَيَبْقَى إِلَى طُلُوْعِ اْلفَجْرِ وَلْيُصَلِّهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كَمَا هُوَ اْلعَادَةُ فَلَوَْصَلَّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ الْقَاضِى حُسَيْنٌ فيِ فَتَاوِيْهِ ِلاَنَّهُ خِلاَفُ الْمَشْرُوْعِ قَالَ وَلاَ تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ يَنْوِى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ أَوْ صَلاَةَ التَّرَاوِيحِ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ فَيَنْوِيْ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ التَّرَاوِيحِ . )المجموع شرح المهذب: ج 4 ص : 38 (دار الفكر 2000)

Artinya:”Masuk waktu shalat Tarawih itu setelah melaksanakan shalat Isya. Imam al-Baghawi dan lainnya menyebutkan: “waktu tarawih masih ada sampai terbit fajar”. Hendaklah seseorang mengerjakan shalat Tarawih dengan dua rakaat- dua rakaat, sebagaimana kebiasaan shalat sunah lainnya. Seandainya ia shalat dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Hal ini telah dikatakan oleh al-Qâdhi Husain dalam fatwanya, dengan alasan hal demikian menyalahi aturan yang telah disyariatkan. Al-Qâdhi juga berpendapat seorang dalam shalat Tarawih ia tidak boleh berniat mutlak, tetapi ia berniat dengan niat shalat sunah Tarawih, shalat Tarawih atau shalat Qiyam Ramadhan. Maka ia berniat pada setiap 2 rakaat dari shalat Tarawih.

2.  Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haytamiy:

اَلتَّرَاوِيْحُ  عِشْرُوْنَ رَكْعَةً , وَيَجِبُ  فِيْهَا أَنْ تَكُوْنَ  مَثْنَى  بِأَنْ  يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِشِبْهِهَا بِاْلفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلاَ تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ بِخِلاَفِ  نَحْوِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ . )فتح الجواد شرح الارشاد:ج  1 ص : 163 (مكتبة اقبال حاج ابراهيم سيراغ ببنتن 1971)

Artinya: Shalat Tarawih itu 20 rakaat, wajib dalam pelaksanaanya dua-dua, dikerjakan dua rakaat-dua rakaat. Bila seseorang mengerjakan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah karena hal tersebut menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang). Lain halnya dengan shalat sunah Zuhur dan Ashar (boleh dikerjakan empat rakaat satu salam) atas Qaul Mu’tamad.

3.  Imam Muhammad Ibn Ahmad al-Ramliy:              

وَلَا تَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ كَمَا فِي الرَّوْضَةِ بَلْ يَنْوِي رَكْعَتَيْنِ مِنْ التَّرَاوِيحِ أَوْ مِنْ قِيَامِ رَمَضَانَ .وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ إنْ كَانَ عَامِدًا عَالِمًا ، وَإِلَّا صَارَتْ نَفْلًا مُطْلَقًا ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ.) نهاية المحتاج شرح المنهاج : ج  1  ص :127  (دار الفكر 2004)

Artinya: Tidak sah shalat Tarawih dengan niat shalat Mutlak, seharusnya seseorang berniat Tarawih atau Qiyam Ramadhan dengan mengerjakan salam pada setiap 2 rakaat. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, jika ia sengaja-ngaja dan mengetahui maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak demikian maka shalat itu menjadi shalat sunah Mutlak, Karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.

4.  Imam Muhammad al-Zarkasyiy:

صَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَحَكَى الرُّوْيَانِيُّ عَنِ اْلقَدِيْمِ أَنَّهُ لاَحَصْرَ لِلتَّراوِيْحِ وَهُوَ غَرِيْبٌ . وَيُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ذَكَرَهُ فِي التَّحْقِيْقِ وِثَاقًا لِلْقَاضِي حُسَيْنٍ فِي فَتَاوِيْهِ وَلِأَهْلِ الْمَدِيْنَةِ فَعْلُهَا سِتًّا وَثَلاَثِيْنَ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَاْلأَصْحَابُ : مِنْ خَصَائِصِهِمْ . (الديباج في توضيح المنهاج : ج 1 ص : 198 (دار الحديث 2005)

Artinya: Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Imam al-Rûyâniy menghikayatkan pendapat dari Qaul Qadim ”Sesungguhnya pernyataan shalat Tarawih tidak ada batasan adalah pendapat yang Gharib (aneh)”. Seseorang yang mengerjakan shalat Tarawih hendaknya memberi salam pada tiap 2 rakaatnya.Seandainya seseorang shalat 4 rakaat dengan satu salam, maka shalatnya tidak sah. Imam Nawawiy al-Dimasyqiy telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya al-Tahqîq, yang bersandar kepada al-Qâdhi Husain dalam fatâwanya. Adapun penduduk kota Madinah mereka mengerjakan shalat Tarawih 36 rakaat. Imam Syafii dan para pengikutnya berkata:” Khusus bagi penduduk Madinah saja”.

5.  Imam Ahmad Ibn Muhammad al-Qasthallaniy:

وَ فُهِمَ مِمَّا سَبَقَ مِنْ أَنَّها بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ أَنَّهُ لَوْ صَلَّاهَا أَرْبَعًا أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ ، وَبِهِ صَرَّحَ فِي الرَّوْضَةِ لِشَبَهِهَا بِالْفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلَا تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ .)ارشاد الساري شرح صحيح البخاري  :  ج 3 ص : 426 (دار الفكر 1984)

Artinya: “Dipahami dari ungkapan yang lalu sesungguhnya shalat Tarawih itu pelaksanaannya dengan 10 kali salam, Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah. Seperti inilah keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam kitab al-Rawdhah, Karena shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah (tiap 2 rakaat melakukan Tasyahhud), maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).”

6.  Imam Zakariya al-Anshariy:

وَسُمِّيَتْ كُلُّ أَرْبَعٍ مِنْهَا تَرْوِيحَةً لِأَنَّهُمْ كَانُوا يَتَرَوَّحُونَ عَقِبَهَا أَيْ : يَسْتَرِيحُونَ ، وَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ لِأَنَّهَا بِمَشْرُوعِيَّةِ الْجَمَاعَةِ فِيهَا أَشْبَهَتْ الْفَرِيضَةَ فَلَا تُغَيَّرُ عَمَّا وَرَدَ . )فتح الوهاب شرح منهج الطلاب:  ج1 ص : 58 ( منارا قدس د ت)

Artinya: Pada setiap 4 rakaat dinamai satu Tarwihah karena para sahabat bersantai-santai setelahnya artinya beristirahat. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka tidak sah, karena anjuran berjamaah pada shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu, maka jangan diubah aturan yang telah ada keterangannya.”

7.  Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalliy:

( وَمَعْنَى الشَّرْعِيِّ ) الَّذِي هُوَ مُسَمَّى مَا صَدَقَ الْحَقِيقَةُ الشَّرْعِيَّةُ ( مَا ) ، أَيْ : شَيْءٌ ( لَمْ يُسْتَفَدْ اسْمُهُ إلَّا مِنَ الشَّرْعِ ) كَالْهَيْئَةِ الْمُسَمَّاةِ بِالصَّلَاةِ ( وَقَدْ يُطْلَقُ ) ، أَيْ : الشَّرْعِيُّ ( عَلَى الْمَنْدُوبِ ، وَالْمُبَاحِ ) ، وَمِنْ الْأَوَّلِ قَوْلُهُمْ مِنْ النَّوَافِلِ مَا تُشْرَعُ فِيهِ الْجَمَاعَةُ ، أَيْ : تُنْدَبُ كَالْعِيدَيْنِ . وَمِنْ الثَّانِي قَوْلُ الْقَاضِي الْحُسَيْنِ لَوْ صَلَّى التَّرَاوِيحَ أَرْبَعًا بِتَسْلِيمِة لَمْ تَصِحَّ ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ الْمَشْرُوعِ .)  شرح جمع الجوامع : ج 1 ص : 304 (مطبعة مصطفى البابي الحلبي 1973)

Artinya: Makna Syar’i itu dinamakan sesuatu yang berbetulan dengan hakikat syara’ adalah sesuatu yang tidak dipahami namanya melainkan dari syara’ seperti bentuk shalat. Digunakan juga makna syar’i  itu atas perbuatan yang mandub dan mubah, dari definisi pertama para ulama berpendapat shalat sunah yang disyari’atkan berjamaah artinya disunahkan berjamaah seperti shalat dua hari raya idul fitri dan idul Adha. Dari definisi kedua ini perkataan al-Qadhi Husein yang mengatakan “Seandainya ia mengerjakan shalat Tarawih dengan 4 rakaat dengan satu salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah”.

8.  Imam Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthiy:

(وَيَقُوْمُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً) بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ بَيْنَ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ، فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ، كَمَا نَقَلَهُ فِي الرَّوْضَةِ عَنِ الْقَاضِي حُسَيْنٍ وَأَقَرَّهُ ِلأَنَّهُ خِلاَفُ اْلمَشْـرُوْعِ .) شرح التنبيه في فروع الفقه الشافعي:ج 1 ص : 134 (دار الفكر 1996)

Artinya: “Seseorang mengerjakan shalat Tarawih pada tiap malam bulan Ramadhan dengan 10 kali salam pada tiap malam antara shalat Isya sampai terbit fajar. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukumnya tidak sah. Sebagaimana Imam Nawawi menukilkannya dalam kitab Rawdhah dari al-Qadhi Husain dan beliau menetapkan hal itu karena menyalahi aturan yang disyariatkan”.

9.  Imam Abdur Rauf al-Munawiy

(يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ) اَيْ اِنَّهُنَّ مِنْ كَمَالِ الطُّوْلِ وَالْحُسْنِ عَلَى غَايَةٍ ظَاهِرَةٍ مُغْنِيَةٍ عَنِ السُّؤَالِ اَيْ اِنَّهُنَّ فِي غَايَةِ الْحُسْنِ وَ الطُّوْلِ بِحَيْثُ يُعْجِزُ الِّلسَانُ عَنْ بَيَانِهَا , فَمَنْعُ السُّؤَالِ كنِاَيَةٌ عَنِ الْعَجْزِ عَنِ الْجَوَابِ . وَالْمُرَادُ أَنَّهُ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَتَيْنِ لِيُوَافِقَ خَبَرَ زَيْدِ السَّابِقِ وَاِنَّمَا جُمِعَ اْلأَرْبَعُ لِتَقَارِبِهَا طُوْلاً وَحُسْنًا لاَ لِكَوْنِهِمَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ .شرح الشمائل المحمدية ج 2 ص : 91 (دار الأقصى 1988)

Artinya: Beliau shalat 4 rakaat, jangan anda tanya bagaimana bagus dan lamanya beliau shalat. Artinya 4 rakaat yang beliau lakukan tergolong dari saking sempurna lama dan eloknya atas puncak yang zhahir yang tidak butuh pertanyaan, artinya 4 rakaat tersebut menggambarkan puncak keelokan dan lamanya waktu dari segi lidah akan payah dari menjelaskannya. Penolakan Aisyah dari pertanyaan orang yang bertanya merupakan kiasan dari tidak mampunya Aisyah untuk memberikan jawaban. Yang dimaksud Rasulullah shalat 4 rakaat itu dikerjakan dengan 2 salam agar menjadi sesuai dengan keterangan hadis dari Zaid yang telah lalu. Hanya sanya digabungkan penyebutan 4 rakaat karena berdekatan antara keduanya dalam hal lama dan eloknya, bukan berarti 4 rakaat itu dipahami dengan satu salam.

10.  Imam Zaynuddin al-Malibariy:

(وَ) صَلاَةُ (التَّرَاوِيْحِ) وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ، فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، لِخَبَرِ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاْحتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ ، بِخِلاَفِ سُنَّةِ الظُّهْرِ وَاْلعَصْرِ وَالضُّحَى وَاْلوِتْرِ. وَيَنْوِي بِهَا التَّرَاوِيْحَ أَوْ قِيَامَ رَمضَانَ) . فتح المعين شرح قرة العين بمهمات الدين:  ص : 33( منارا قدس د ت)

Artinya: Shalat Tarawih 20 rakaat dengan 10 kali salam pada setiap malam di bulan Ramadhan. Karena ada hadis: Siapa saja melaksanakan Qiyam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahulu di ampuni. Wajib setiap 2 rakaat mengucapkan salam. Jika seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan satu salam maka hukum shalat Tarawihnya tidak sah. Berbeda  dengan shalat sunah Zuhur,  Ashar, Dhuha dan witir. Seharusnya bagi yang mengerjakan shalat Tarawih, ia berniat dengan niat Tarawih atau Qiyam Ramadhan.

11.  Imam Muhammad Ibn Qasim

اَلتَّرَاوِيحُ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فيِ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَجُمْلَتُهَا خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ, وَيَنْوِيْ الشَّخْصُ بِكُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّرَاوِيْحَ أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ, فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ لَمْ تَصِحَّ . )فتح القريب المجيب شرح متن غاية والتقريب  ص : 13 ( منارا قدس د ت)

Artinya: Shalat Tarawih dikerjakan 20 rakaat, terdiri dari 10 salam pada tiap malam bulan Ramadhan. Jumlahnya 5 tarwihah (istirahat). Seseorang yang mengerjakannya ia berniat tiap 2 rakaat akan shalat Tarawih atau Qiyam Ramadhan. Jika ia shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam maka shalat Tarawihnya tidak sah .

12.  Imam Murtadha Muhammad  al-Zabidiy:

اَلتَّرَاوِيْحُ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ وَكَيْفِيَّتُهَا مَشْهُوْرَةٌ قَالَ النَّوَوِيُّ فَلَوْ صَلَّى  أَرْبَعًا بِتَسْلِيمِة لَمْ يَصِحَّ. (اتحاف السادة المتقين شرح احياء علوم الدين:   ج 3 ص : 415 (دار الفكر د ت)

Artinya: Shalat Tarawih itu 20 rakaat dengan 10 kali salam. Tata caranya telah diketahui banyak orang. Imam Nawawi berkata “Seandainya seseorang shalat Tarawih 4 rakaat dengan sekali salam, maka shalat Tarawihnya tidak sah.”

13.  Imam Muhammad Amin Kurdiy:

اَلتَّرَاوِيْحُ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ, فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ يَصِحَّ , وَيُسَنُّ كَوْنُهَا جَمَاعَةً .) تنويرالقلوب في معاملة علام الغيوب : ص : 199 (دار الفكر 1994)

Artinya; Shalat Tarawih itu dikerjakan 20 rakaat dengan 10 salam. Bila seseorang shalat setiap 4 rakaat dengan satu salam maka shalatnya tidak sah. Disunahkan pelaksanaannya berjamaah.”

14.  Syaikh Mahmud MuhammadKhatthab al-Subkiy

وَيُطْلَبُ السَّلاَمُ عَلَى رَأْسِ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ , فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا أَوْ أَكْثَرَ بِتَسْلِيْمَةٍ وَاحِدَةٍ وَقَعَدَ عَلَى رَأْسِ كُلِّ رِكْعَتَيْنِ صَحَّتْ صَلاَتُهُ مَعَ الْكَرَاهَةِ عِنْدَ غَيْرِ الشَّافِعِي , وَلاَ تَصِحُّ عِنْدَ هُمْ , لِأَنَّ السَّلاَمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَرْضٌ عِنْدَهُمْ . وَكَذَا اِذَا لَمْ يَقْعُدْ عَلَى رَأْسِ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلاَ تَصِحَّ عِنْدَهُمْ بِالْأَوْلَى . وَبِهِ قَالَ محمدٌ وَ زُفَرُ لِأَنَّ الْقُعُوْدَ عَلَى رَأْسِ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَرْضٌ فِي التَّطَوُّعِ .(الدين الخالص أو ارشاد الخلق الى دين الحق  ج 4 ص : 170 (مطبعة السعادة 1964)

Artinya: Dituntut melakukan salam pada tiap 2 rakaat,. Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat atau lebih dengan satu salam dan ia duduk tasyahhud, maka shalatnya sah tetapi makruh menurut ulama selain Mazhab Syafii, dan tidak sah menurut Mazhab Syafii. Alasannya karena memberi salam pada tiap 2 rakaat itu wajib dalam Mazhab Syafii, begitu juga bila seseorang tidak melakukan duduk tasyahhaud pada tiap 2 rakaat maka lebih teristimewa tidak sah. Dalam hal ini Syaikh Muhammad dan Zufar mengatakan: ”Duduk tasyahhud pada tiap 2 rakaat dalam shalat sunah hukumnya wajib.

15.  Syaikh Shiddiq Hasan Ali al-Qanujiy al-Bukhariy

قَالَ الْحَلِيمِيُّ وَالسِّرُّ فِي كَوْنِهَا عِشْرِينَ أَنَّ الرَّوَاتِبَ فِي غَيْرِ رَمَضَانَ عَشْرُ رَكَعَاتٍ فَضُوعِفَتْ لِأَنَّهُ وَقْتُ جِدٍّ وَتَشْمِيرٍ ،وَفُهِمَ مِمَّا سَبَقَ مِنْ أَنَّها بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ أَنَّهُ لَوْ صَلَّاهَا أَرْبَعًا بِتَسْلِيمَةٍ لَمْ يَصِحَّ . وَبِهِ صَـرَّحَ اْلاِمَـامُ النَّوَوِيُّ فِي الرَّوْضَةِ لِشَبَهِهَا بِالْفَرْضِ فِي طَلَبِ الْجَمَاعَةِ فَلَا تَغَيُّرَ عَمَّا وَرَدَ .( عون الباري لِحَلِّ أدلة البخاري  ج 2  ص : 862 دار الرشيد : حلب سوريا 1992)

Artinya; Imam al-Halimi berkata ”Hikmah dan rahasia 20 rakaat shalat Tarawih adalah shalat Rawatib yang Muakkad itu 10 rakaat, di bulan Ramadhan digandakan karena bulan Ramadhan itu bulan yang penuh semangat dan gairah untuk mengerjakan ibadah. Dipahami dari ungkapan yang telah lalu sesungguhnya shalat Tarawih itu pelaksanaannya dengan 10 kali salam, Seandainya seseorang shalat Tarawih dengan 4 rakaat satu salam, maka shalatnya tidak sah. Seperti inilah keterangan yang telah dijelaskan oleh Imam Nawawiy dalam kitab al-Rawdhah, Karena shalat Tarawih menyerupai shalat fardhu dalam menuntut berjamaah, maka jangan dirubah keterangan sesuatu yang telah warid (datang).

Wudhu Riwayat Dari Sayyidina 'Ali Bin Abi Tholib


Secara bahasa wudhu berarti indah. Wudhu adalah membasuh atau mengusap air pada anggota badan tertentu dengan cara tertentu.
Wudhu disyariatkan berdasarkan Alquran dan hadits. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Mâidah: 6).

Tulisan ini sedikit akan mengupas bagaimana tata cara wudlu yang diajarkan oleh Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, khususnya dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu. Tentu saja, apa yang diajarkan oleh Ahlul-Bait – yaitu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu – merupakan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Harapannya, kita akan semakin cinta kepada sunnah dan semakin cinta kepada Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shaalih. Berikut riwayat-riwayatnya:

1.     Riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa

عَن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: دَخَلَ عَلَيَّ  عَلِيٌّ  بَيْتِي، فَدَعَا بِوَضُوءٍ، فَجِئْتُهُ بِقَعْبٍ يَأْخُذُ الْمُدَّ أَوْ قَرِيبَهُ، حَتَّى وُضِعَ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَقَدْ بَالَ، فَقَالَ: يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، أَلَا أَتَوَضَّأُ لَكَ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: بَلَى، فِدَاكَ أَبِي وَأُمِّي، قَالَ: فَوُضِعَ لَهُ إِنَاءٌ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ، ثُمَّ مَضْمَضَ، وَاسْتَنْشَقَ، وَاسْتَنْثَرَ، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدَيْهِ فَصَكَّ بِهِمَا وَجْهَهُ، وَأَلْقَمَ إِبْهَامَهُ مَا أَقْبَلَ مِنْ أُذُنَيْهِ، قَالَ: ثُمَّ عَادَ فِي مِثْلِ ذَلِكَ ثَلَاثًا، ثُمَّ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ بِيَدِهِ الْيُمْنَى، فَأَفْرَغَهَا عَلَى نَاصِيَتِهِ، ثُمَّ أَرْسَلَهَا تَسِيلُ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى، إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثًا، ثُمَّ يَدَهُ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ مِنْ ظُهُورِهِمَا، ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ مِنَ الْمَاءِ، فَصَكَّ بِهِمَا عَلَى قَدَمَيْهِ، وَفِيهِمَا النَّعْلُ، ثُمَّ قَلَبَهَا بِهَا، ثُمَّ عَلَى الرِّجْلِ الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ، قَالَ: فَقُلْتُ: وَفِي النَّعْلَيْنِ؟ قَالَ: وَفِي النَّعْلَيْنِ، قُلْتُ: وَفِي النَّعْلَيْنِ؟ قَالَ: وَفِي النَّعْلَيْنِ، قُلْتُ: وَفِي النَّعْلَيْنِ؟ قَالَ: وَفِي النَّعْلَيْنِ

Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah masuk ke rumahku, lalu meminta air untuk berwudlu. Kemudian aku bawakan satu bejana untuknya. Ia mengambil (airnya) satumudd atau kurang lebih seukuran itu, sampai kemudian diletakkan di hadapannya, sementara dia selesai buang air kecil. Kemudian ia berkata : “Wahai Ibnu ‘Abbaas, maukah aku berwudlu untuk mengajarimu dengan cara berwudlu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam?”. Aku menjawab : “Ya, bapak dan ibuku sebagai tebusannya”. Kemudian bejana tersebut diletakkan untuknya (‘Aliy). Lalu membasuh kedua tangannya, kemudian berkumur-kumur, ber-istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), dan ber-istintsar (mengeluarkannya dari hidung). Kemudian ia mengambil air dengan kedua tangannya dan membasuh wajahnya, lalu meletakkan ibu jarinya dibelakang daun telinganya. Ia mengulanginya tiga kali. Lalu ia mengambil segenggam air dengan tangan kanannya dan menuangkannya di atas ubun-ubunnya dan membiarkannya mengalir di wajahnya. Kemudian ia membasuh tangan kanannya sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian tangan kirinya seperti itu juga. Lalu ia mengusap kepalanya dan kedua telinganya dari luarnya. Kemudian ia mengambil air dengan kedua tangannya dan menuangkannya kepada kedua kakinya yang masih mengenakan sandal, kemudian membalikkan kaki kanannya, dan begitu juga dengan kaki yang lain seperti itu juga. Aku (Ibnu ‘Abbaas) berkata : “Dengan memakai sandal?”. ‘Aliy menjawab : “Ya, dengan memakai sandal”. Aku bertanya lagi :  “Dengan memakai sandal?”. Ia menjawab : “Ya dengan memakai sandal”. Aku bertanya lagi : “Dengan memakai sandal?”. Ia menjawab : “Ya, dengan memakai sandal” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/82; hasan].

2.     Riwayat Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa.

عَن الْحُسَيْن بْن عَلِيٍّ، قال: دَعَانِي أَبِي عَلِيٌّ بِوَضُوءٍ، فَقَرَّبْتُهُ لَهُ فَبَدَأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهُمَا فِي وَضُوئِهِ، ثُمَّ مَضْمَضَ ثَلَاثًا وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثًا ثُمَّ الْيُسْرَى كَذَلِكَ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَسْحَةً وَاحِدَةً، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثًا ثُمَّ الْيُسْرَى كَذَلِكَ، ثُمَّ قَامَ قَائِمًا، فَقَالَ: نَاوِلْنِي، فَنَاوَلْتُهُ الْإِنَاءَ الَّذِي فِيهِ فَضْلُ وَضُوئِهِ، فَشَرِبَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ قَائِمًا ".فَعَجِبْتُ، فَلَمَّا رَآنِي، قَالَ: لَا تَعْجَبْ، فَإِنِّي رَأَيْتُ أَبَاكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ مِثْلَ مَا رَأَيْتَنِي صَنَعْتُ، يَقُولُ: لِوُضُوئِهِ هَذَا وَشُرْبِ فَضْلِ وَضُوئِهِ قَائِمًا

Dari Al-Husain bin ‘Aliy, ia berkata : Ayahku, yaitu ‘Aliy, pernah menyuruhku untuk mengambilkan air wudlu. Maka aku membawakannya untuknya. Maka ia mulai (berwudlu), lalu membasuh kedua telapak tangannya tiga kali sebelum memasukkan keduannya ke dalam air wudlu. Kemudian berkumur-kumur tiga kali dan ber-istintsar tiga kali. Lalu membasuh wajahnya tiga kali. Kemudian membasuh tangannya yang kanan sampai kedua siku tiga kali, lalu yang kiri seperti itu pula. Kemudian mengusap kepalanya sekali usap, lalu membasuh kakinya yang kanan sampai dua mata kaki tiga kali dan yang kiri seperti itu juga. Kemudian ia berdiri seraya berkata : ”Ambilkan (bejana itu) kepadaku!”. Lalu aku mengambilkan bejana itu untuknya yang di dalamnya terdapat sisa air wudlu. Lalu ia minum dari sisa air wudlunya sambil berdiri. Aku merasa heran. Maka ketika ia melihatku, ia berkata : ”Janganlah engkau merasa heran karena sesungguhnya aku pernah melihat kakekmu yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan seperti yang engkau melihatku melakukannya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuat kepada air wudlunya seperti ini dan meminum sisa air wudlunya sambil berdiri” [Diriwayatkan oleh An-Nasaaiy no. 95; shahih].

3.     Riwayat ‘Abdu Khair rahimahullah

عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ، قَالَ: أَتَانَا عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَدْ صَلَّى، فَدَعَا بِطَهُورٍ، فَقُلْنَا: مَا يَصْنَعُ بِالطَّهُورِ، وَقَدْ صَلَّى؟ مَا يُرِيدُ إِلَّا لِيُعَلِّمَنَا، فَأُتِيَ بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ وَطَسْتٍ فَأَفْرَغَ مِنَ الْإِنَاءِ عَلَى يَمِينِهِ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا، فَمَضْمَضَ وَنَثَرَ مِنَ الْكَفِّ الَّذِي يَأْخُذُ فِيهِ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَغَسَلَ يَدَهُ الشِّمَالَ ثَلَاثًا، ثُمَّ جَعَلَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً وَاحِدَةً، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَرِجْلَهُ الشِّمَالَ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: " مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ هَذَا "

Dari ‘Abdu Khair, ia berkata : ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah mendatangi kami sedangkan ia telah shalat. Lalu ia meminta untuk didatangkan air untuk bersuci. Kami berkata : "Apa yang hendak ia lakukan dengan air sedangkan ia telah shalat?. Ia tidak berkehendak kecuali untuk mengajari kita". Lalu didatangkan bejana berisi air, kemudian ia menuangkan air dari bejana tersebut pada tangan kanannya. Ia membasuh kedua tangannya tiga kali, lalu berkumur-kumur, (ber-istinsyaq), dan ber-istintsar tiga kali. Ia berkumur dan ber-istinsyaq dari telapak tangan yang ia gunakan untuk mengambil air (yaitu dengan tangan kanannya). Lalu ia membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh tangan kanannya tiga kali dan membasuh tangan kirinya tiga kali. Lalu berkata : "Barangsiapa yang ingin mengetahui wudhu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka yang seperti ini" [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 111; shahih].

Dalam riwayat lain ada tambahan:

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ مُقَدَّمَهُ وَمُؤَخِّرَهُ مَرَّةً

“Kemudian ia (‘Aliy) mengusap kepalanya, bagian depan dan bagian belakangnya sekali” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 112; shahih].

Dalam riwayat lain dibawakan lebih lengkap, yaitu setelah mengusap kepala sekali disebutkan:

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا وَرِجْلَهُ الشِّمَالَ ثَلَاثًا ".ثُمَّ قَالَ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَعْلَمَ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ هَذَا

Kemudian ‘Aliy mencuci/membasuh kaki kanannya tiga kali dan kaki kirinya tiga kali, lalu berkata : “Barangsiapa yang ingin mengetahui wudhu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka yang seperti ini” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 92; shahih].

4.     Riwayat Zirr bin Hubaisy rahimahullah.

عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَسُئِلَ عَنْ وُضُوءِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ، وَقَالَ: وَمَسَحَ عَلَى رَأْسِهِ حَتَّى لَمَّا يَقْطُرْ وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari Zirr bin Hubaisy, bahwasannya ia mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang cara wudlu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia (Zirr bin Hubaisy) menyebutkan hadits ‘Abdu Khair di atas dan berkata : “Ia (‘Aliy) mengusap kepalanya hingga air tidak menetes darinya. Kemudian ia mencuci/membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali, lalu berkata : “Demikianlah cara wudlu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 114; shahih].

5.     Abu Hayyaah Al-Waadi’iy rahimahullah.

عَنْ أَبِي حَيَّةَ الْوَادِعِيِّ، قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَالَ فِي الرَّحَبَةِ، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، وَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَغَسَلَ قَدَمَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَالَّذِي رَأَيْتُمُونِي فَعَلْتُ

Dari Abu Hayyah Al-Waadi’iy, ia berkata : Aku pernah melihat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu buang air kecil/kencing di Rahabah, kemudian meminta air dan kemudian berwudhu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali, berkumur-kumur dan ber-istinsyaq tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga kali-tiga kali, mengusap kepalanya, serta membasuh kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian ia berkata : "Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang kalian lihat aku melakukannya" [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 1/157; hasan].

6.     Riwayat ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa rahimahumallah.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, ia berkata : Aku pernah melihat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berwudhu. Ia membasuh wajahnya tiga kali, membasuh kedua lengannya tiga kali, dan mengusap kepalanya satu kali, kemudian berkata : “Demikianlah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  berwudlu”  [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 115; shahih].

7.     Nazzaal bin Sabrah rahimahullah.

عَنْ النَّزَّال بْن سَبْرَةَ، قال: رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ قَعَدَ لِحَوَائِجِ النَّاسِ، فَلَمَّا حَضَرَتِ الْعَصْرُ، أُتِيَ بِتَوْرٍ مِنْ مَاءٍ فَأَخَذَ مِنْهُ كَفًّا فَمَسَحَ بِهِ وَجْهَهُ وَذِرَاعَيْهِ وَرَأْسَهُ وَرِجْلَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ فَضْلَهُ فَشَرِبَ قَائِمًا. وَقَالَ: إِنَّ نَاسًا يَكْرَهُونَ هَذَا، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ، وَهَذَا وُضُوءُ مَنْ لَمْ يُحْدِثْ

Dari Nazzaal bin Sabrah, ia berkata : “Aku pernah melihat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu shalat Dhuhur. Kemudian ia duduk untuk memenuhi kebutuhan/hajat orang-orang. Ketika tiba waktu ‘Ashar, didatangkan kepadanya bejana kecil berisi air. Kemudian ia mengambil air darinya satu genggam, lalu mengusapkannya ke wajahnya, kedua lengannya, kepalanya, dan kedua kakinya. Kemudian ia mengambil sisa air (dalam bejana tersebut) lalu meminumnya sambil berdiri. Ia berkata : “Sesungguhnya orang-orang tidak suka yang seperti ini, padahal aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Dan inilah cara wudlu bagi orang yang berhadats (batal)” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 130; shahih].

Dalam riwayat lain, Nazzaal bin Sabrah berkata:

صَلَّيْنَا مَعَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الظُّهْرَ، فَانْطَلَقَ إِلَى مَجْلِسٍ لَهُ يَجْلِسُهُ فِي الرَّحَبَةِ، فَقَعَدَ وَقَعَدْنَا حَوْلَهُ، ثُمَّ حَضَرَتْ الْعَصْرُ، فَأُتِيَ بِإِنَاءٍ، فَأَخَذَ مِنْهُ كَفًّا، فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ وَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَذِرَاعَيْهِ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَمَسَحَ بِرِجْلَيْهِ، ثُمَّ قَامَ فَشَرِبَ فَضْلَ إِنَائِهِ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّي حُدِّثْتُ أَنَّ رِجَالًا يَكْرَهُونَ أَنْ يَشْرَبَ أَحَدُهُمْ وَهُوَ قَائِمٌ، إِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَ كَمَا فَعَلْتُ

Kami pernah shalat Dhuhur bersama ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. (Setelah usai), ia pergi ke sebuah majlis di Rahabah. (Sesampainya di sana), ia duduk dan kami duduk di sekitarnya. Kemudian tiba waktu ‘Ashar. Didatangkan kepadanya bejana berisi air (untuk berwudlu). Ia mengambil satu genggam air, lalu berkumur-kumur dan ber-istinsyaq, lalu mengusap wajahnya, kedua lengannya, kemudian mengusap kepalanya dan mengusap kedua kakinya. Setelah itu meminum sisa dalam bejana tersebut dan berkata : "Aku diberitahu bahwa ada beberapa orang yang tidak suka apabila salah seorang di antara mereka minum sambil berdiri. Padahal aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan sebagaimana yang aku lakukan" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/159; shahih].

Sebagian faedah dari beberapa riwayat di atas:

1.     Keutamaan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu dalam menjaga sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam meskipun orang lain tidak mengamalkan atau tidak menyukainya.

2.     Bolehnya berwudlu dalam rangka pengajaran bagi orang lain.

3.     Sah berwudlu dengan satu mudd air. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas radliyallaahu ‘anhu:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ أَوْ كَانَ يَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ وَيَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ

“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mandi dengan 1 shaa’ hingga 5 mudd air, dan berwudlu dengan 1 mudd air” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 201].

Islam melarang berlebih-lebihan dan boros dalam menggunakan air, meski untuk bersuci sekalipun. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

“Sesungguhnya kelak akan ada satu kaum dari umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 96, Ibnu Maajah no. 3864, dan yang lainnya].

Allah ta’ala berfirman:

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” [QS. Al-An’aam : 141].

4.     Kaifiyat (tata cara) wudlu yang wajib dalam syari’at Islam adalah :

a.      Membasuh kedua telapak tangan tiga kali.

b.      Berkumur-kumur tiga kali serta ber-istinsyaq dan ber-istintsar tiga kali.  Istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan dengan kumur-kumur dengan menggunakan air yang ada di telapak tangan kanan.

c.      Membasuh wajahnya tiga kali.

d.      Membasuh tangan kanan dan tangan kiri hingga siku masing-masing tiga kali

e.      Mengusap kepala bagian depan dan belakang, serta kedua telinga dengan sekali usapan.

f.      Membasuh kaki kanan dan kaki kiri sampai dua mata kaki masing-masing tiga kali.

5.     Boleh meringankan wudlu yang bersifat sunnah/anjuran – bukan untuk menghilangkan hadats kecil, lebih-lebih hadats besar - dengan hanya mengusap anggota-anggota badan yang wajib untuk dibasuh/dicuci sebagaimana riwayat Nazzaal bin Sabrah [lihat : Al-Furuu’ oleh Ibnu Muflih, 1/151].

6.     Boleh berwudlu dengan mengenakan sandal.

7.     Diperbolehkannya minum sambil berdiri, meski duduk tetap lebih utama.

Inilah wudlu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi amalan Ahlul-Baitnya, dan juga menjadi sunnah yang tetap bagi kaum muslimin di seluruh dunia hingga akhir jaman.

Gotong-Royong Tradisi Yang Sudah Kian Terkikis


Masa kecil dulu saya masih ingat jelas bagaimana semangat gotong royong masyarakat sangat tinggi, terutama masyarakat kampung atau masyarakat daerah terpecil, jika ada tetangga yang akan bangun rumah atau hajatan, malam harinya Pak RT sudah keliling kampung untuk mengumumkan kepada warganya agar tidak ada yang keluar kampung untuk urusan pribadinya dan masyarakat kala itu sangat taat dan mematuhi setiap peraturan tidak ada yang merasa pintar sendiri dan membangkang, kehidupan bermasyarakat berjalan begitu damai dalam bingkai kekeluargaan, padahal kita ketahui sekitar tahun 90-an belum banyak transportasi seperti sekarang ini tapi masyarakat begitu semangat dan ikhlas dalam membantu warga yang lain dalam segala urusan atau kepentingan bersama walaupun harus mengorbankan tenaga bahkan biaya.

Kehidupan masyarakat seperti itu sangat dirindukan jaman sekarang bahkan sudah menjadi sesuatu yang langkah di tengah masyarakat modern, jika dulu semangat gotong royong mulai mengikis hanya di daerah perkotaan namun kini sudah mulai merambah ke kampung-kampung, padahal daerah perkampungan diyakini bahwa daerah yang masih kental dengan berbagai tradisi nenek moyang termasuk tradisi gotong royong ini, seharusnya tradisi ini tidak boleh hilang dan sirna dari kehidupan kita sehari-hari, tradisi ini harus tetap dilestarikan sebagai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala, karena semanagat gotong royong adalah sarana untuk mempersatukan kita dalam hal berkehidupan di masyarakat. Jika semangat gotong royong sudah tidak lagi kita lihat dalam masyarakat maka kehidupan yang damai akan menjauh dari kita.

Di zaman yang serbai modern seperti sekarang ini semangat gotong royong sudah jarang terlihat lagi di kalangan masyarakat terutama masyarakat perkampungan yang terkenal dengan sistem kekeluargaanya masih kental, seperti pengalaman yang saya alami di daerah yang saat ini tengah saya tempati sebagai daerah pengabdian, kebetulan sekolah penempatan saya sebagai sekolah yang cukup memprihatinkan kondisinya sehingga suatu ketika sekolah ini didatangi oleh salah satu komunitas yang memiliki kepedulian di bidang pendidikan dan kesehatan dengan membawa segala keperluan kami di sekolah, melihat kondisi sekolah kami yang sangat memperihatinkan itu mereka terketuk hatinya untuk membantu sesuai kemampuan yang mereka miliki tentunya, tentu saja pihak sekolah setuju ketika waktu itu saya sampaikan, sehingga pada bulan oktober lalu rencana pembenahan sekolah akan dilakukan, untuk membantu meringan beban pendanaan saya melakukan musyarawarah dengan masyarakat terutama orang tua wali murid agar sudi kiranya menyumbangkan waktu dan tenaga untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan pembenahan ini. Dari hasil musyawarah tersebut masayarakat sepakat untuk membantu proses pelaksanaan pembenahan dengan dibagi perkelompok dan setiap kelompok diberi jatah 1 kali setiap minggunya hal ini dilakukan agar tidak menyita aktivitas masing-masing warga, namun seiring berjalannya waktu warga semakin tidak terlihat dalam pelaksanaan kegiatan gotong royong ini bahkan saling menyalahkan si ini begini si itu begitu dan lain sebagainya bahkan hingga akhir pelaksanaan pembenahan ini hanya beberapa orang saja yang sering telihat yang menurut pandangan saya mereka adalah orang-orang yang punya kesadaran dan tanggung jawab.

Bahkan saya dikagetkan dengan budaya yang tidak biasa saya lihat di tempat lain, jika di tempat lain gotong royong diartikan sebagai satu bentuk kerja sama untuk meringankan pekerjaan yang berat yang dilakukan secara bersama-sama tanpa mengharapkan apapun, namun di sini berbeda, prinsip gotong tidak berubah namun pelaksanaannya yang berubah dengan kebiasaan masyarakat minimal rokok atau kopi dalam bahasa halusnya harus ada, hal ini sangat diperhitungkan sehingga inilah yang membuat kehidupan bermasyarakat menjadi sulit dan berat akibatnya pekerjaan yang seharusnya cepat selesai menjadi lambat, hal ini terjadi disebabkan oleh banyak faktor di antaranya masyarakat sudah semakin materealistis segala-galanya harus ada imbalan, rasa kekeluargaanya semakin hilang karena sudah menggangap dirinya semakin mampu tanpa bantuan orang lain lebih-lebih orang yang memiliki kelebihan secara materi dan jarang terlihat dalam aktivitas sosial, padahal kehidupan seperti ini justru akan semakin menjauhkan kita baik dengan tetanggal kita maupun masyarakat yang berada di sekitar kita bahkan kita tidak tau beberapa tahun kemudian apa yang terjadi dengan tetangga kitapun mungkin tidak tahu karena sibuk dengan urusan pribadi.

Inti dari semua itu adalah jika kita mengharapkan kehidupan yang harmonis dan damai dalam hal berkehidupan di masyarakat maka peliharalah semangat gotong royong, jangan sampai mengikis karena jika semangat gotong royong sudah tidak lagi hadir di tengah-tengah kehidupan kita maka persaudaraan kita akan semakin jauh, karena dengan semangat itulah kita bisa bersatu sebagai ciri khas daerah yang aman dan damai.

Allah Swt. berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ}

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syiar-sy'iar Allah. (Al-Maidah: 2)

Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah manasik haji. Menurut Mujahid, Safa dan Marwah, serta hadyu dan budna termasuk syiar-syiar Allah.

Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan syiar-syiar Allah ialah semua yang diharamkan oleh Allah. Dengan kata lain, janganlah kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman:

{وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ}

dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2)

Makna yang dimaksud ialah harus menghormatinya dan mengakui keagungannya, dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah melakukannya di masa-masa itu —misalnya memulai peperangan—dan lebih dikuatkan lagi melakukan hal-hal yang diharamkan. Seperti pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ}

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan ha­ram. Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa be­sar." (Al-Baqarah: 217)
Allah Swt. telah berfirman:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan. (At-Taubah: 36). hingga akhir ayat.
Di dalum kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Abu Bakrah, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda dalam haji wada':

"إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُم، ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدة، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَر الَّذِي بَيْنَ جُمادى وَشَعْبَانَ".

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya di hari Allah menciptakan langit dan bumi; satu tahun adalah dua bilas bulan; empat bulan di antaranya adalah bulan haram (su­ci) tiga(di antaranya) berturut-turut, yaitu Zul Qa'dah, Zul Hijjah, dan Muharram serta Rajab Mudar jatuh di antara bulan Jumada dan bulan Sya'ban.

Hal ini menunjukkan berlangsungnya status haram bulan-bulan haram tersebut sampai dengan akhir waktu (hari kiamat), seperti yang di­katakan oleh mazhab sejumlah ulama Salaf.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehu­bungan dengan makna firman-Nya: dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram. (Al-Maidah: 2); Janganlah kalian menghalalkan perang padanya.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari, dipilih oleh Ibnu Jarir.

Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut telah di-mansukh, dan boleh memulai peperangan dalam bulan-bulan ha­ram. Mereka mengatakan demikian berpegang kepada firman Allah Swt. yang mengatakan:

{فَإِذَا انْسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ}

Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah: 5)

Makna yang dimaksud ialah empat bulan yang berlaku itu. Mereka mengatakan, tidak disebutkan adanya pengecualian antara bulan-bulan haram dan yang lainnya.

Imam Abu Ja'far meriwayatkan adanya kesepakatan perihal bah­wa Allah membolehkan memerangi orang-orang musyrik dalam bu­lan-bulan haram maupun bulan-bulan lainnya. Abu Ja'far mengatakan bahwa mereka sepakat pula seandainya orang musyrik mengalungkan serat-serat pepohonan tanah suci pada lehernya atau kedua lengannya, maka hal tersebut bukan merupakan keamanan baginya dari pembu­nuhan, jika dia tidak terikat dengan perjanjian perlindungan atau ke­amanan dari kaum muslim. Masalah ini memerlukan pembahasan yang lebih luas dan lebih panjang, tetapi tempatnya bukan pada kitab ini.

Firman Allah Swt:

{وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ}

jangan (mengganggu) binatang-binatang hadya dan binatang-bi­natang qolaid. (Al-Maidah: 2)

Maksudnya, janganlah kalian tidak ber-ihda(berkurban) untuk Baitul­lah, karena sesungguhnya hal tersebut mengandung makna meng­agungkan syiar-syiar Allah; jangan pula kalian tidak memberinya kalungan sebagai tanda yang membedakannya dari ternak lainnya, agar hal ini diketahui bahwa ternak tersebut akan dikurbankan untuk Kabah. Dengan demikian, maka orang-orang tidak berani mengganggu­nya. Sekaligus mendorong orang yang melihatnya untuk melakukan hal yang semisal; karena sesungguhnya barang siapa yang menyeru­kan kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala me­reka barang sedikit pun.

Untuk itulah ketika Rasulullah Saw. melakukan haji, terlebih da­hulu beliau menginap di Zul Hulaifah, yaitu di lembah Aqiq. Keesok­an harinya beliau menggilir semua istrinya yang saat itu ada sembilan orang. Kemudian beliau mandi dan memakai wewangian, lalu salat dua rakaat Sesudah itu beliau memberi tanda kepada ternak hadyunya dan mengalunginya dengan kalungan tanda, lalu ber-ihlal (berih­ram) untuk haji dan umrah. Saat itu ternak hadyu Nabi Saw. terdiri atas ternak unta yang cukup banyak jumlahnya, mencapai enam puluh ekor, terdiri atas berbagai jenis dan warna yang semuanya baik. Sela­ras dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt melalui firman-Nya:

{ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}

Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj: 32)

Menurut sebagian ulama Salaf, yang dimaksud dengan mengagung-kannya ialah memilihnya dari yang baik-baik dan yang gemuk-ge­muk. Sahabat Ali ibnu Abu Talib r.a. mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah memerintahkan kepada kami untuk memberikan tanda pa­da mata dan telinga (ternak hadyunya). Demikianlah menurut riwayat ahlus sunan.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan sehubungan dengan makna fir­man-Nya: dan jangan (pula)binaiang-binaiang qalaid. (Al-Maidah: 2);

Dengan kata lain, janganlah kalian mengganggunya. Disebutkan bah­wa dahulu ahli Jahiliah bila keluar dari tanah airnya di luar bulan-bu­lan haram, mereka mengalungi dirinya dengan bulu domba dan bulu unta, dan orang-orang musyrik Tanah Suci mengalungi dirinya dengan serat-serat pepohonan Tanah Suci. Karena itu, mereka aman (ti­dak ada yang berani mengganggunya). Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Sufyan ibnu Husain, dari Al-Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa telah di-mansukh dari surat Al-Maidah sebanyak dua ayat, yaitu ayat mengenai qalaid dan firman-Nya:

{فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ}

Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu(untuk meminta putusan), maka puluskanlah(perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka. (Al-Maidah: 42)

Telah menceritakan kepada kami Al-Munzir ibnu Syazan, telah men­ceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, dari Ibnu Auf yang mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan (Al-Basri), 'Apakah ada se­suatu yang di-mansukh dari Al-Maidah?' Al-Hasan menjawab, 'Tidak ada'."

Ata mengatakan bahwa dahulu mereka mengalungi (dirinya) de­ngan akar tumbuh-tumbuhan Tanah Suci, karenanya mereka aman. Maka Allah melarang menebang (memotong) pepohonannya. Hal yang sama dikatakan oleh Mutarrif ibnu Abdullah.

Firman Allah Swt.:

{وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا}

dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (Al-Maidah: 2)

Artinya, janganlah kalian menghalalkan perang terhadap orang-orang yang mengunjungi Baitullah yang suci dan barang siapa yang mema­sukinya aman. Jangan pula mengganggu orang yang mengunjunginya dengan tujuan mencari karunia Allah dan berharap mendapat rida­-Nya. Jangan sekali-kali kalian mcnghalang-halanginya. jangan men­cegahnya, jangan pula mengacaukannya.

Mujahid, Ata, Abul Aliyah, Mutarrif ibnu Abdullah. dan Abdul­lah ibnu Ubaid ibnu Umair, Ar-Rabi' ibnu Anas, Muqatil ibnu Hayyan, dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: sedang mereka mencari karunia Allah. (Al-Maidah: 2); Makna yang dimaksud ialah berdagang. Penafsiran ini sama dengan apa yang telah disebutkan sehubungan dengan firman-Nya:

{لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ}

Tidak ada dosa bagi kalian untuk mencari karunia(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 198)

Mengenai firman-Nya: dan keridaan (dari Tuhan kalian). (Al-Maidah: 2); Menurut Ibnu Abbas, mereka mencari rida Allah melalui ibadah haji­nya.
Ikrimah, As-Saddi, dan Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Hatm ibnu Hindun Al-Bakri; dia pernah menyerang ternak milik orang-orang Madinah (merampok­nya), kemudian pada tahun berikutnya dia berumrah ke Baitullah. Maka sebagian sahabat bermaksud menghadangnya di tengah jalan yang menuju ke Baitullah. Lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: dan jangan (pula)mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridaan dari Tuhannya. (Al-Maidah: 2)
Ibnu Jarir meriwayatkan adanya kesepakatan bahwa orang musyrik boleh dibunuh jika ia tidak mempunyai jaminan keamanan, sekalipun dia bertujuan mengunjungi Baitullah yang suci atau Baitul Maadis. Hukum yang berkaitan dengan mereka (orang-orang musyrik) di-mansukh.Orang yang bertujuan ke Baitullah dengan maksud untuk melakukan ke-mulhid-an,kemusyrikan, dan kekufuran jelas harus dilarang. Allah Swt. telah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا}

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)

Karena itulah Rasulullah Saw. pada tahun sembilan Hijriah ketika mengangkat Abu Bakar As-Siddiq sebagai amir jamaah haji menu­gaskan Ali, sebagai ganti dari Rasulullah Saw., untuk menyerukan di kalangan manusia agar Baitullah dibersihkan; dan sesudah tahun ini tidak boleh lagi ada orang musyrik melakukan haji, dan tidak boleh ada orang yang tawaf sambil telanjang bulat.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2); Yaitu orang yang menuju ke Baitullah yang suci. Dahulu orang-orang muslim dan orang-orang musyrik sama-sama melakukan haji, dan Allah Swt. melarang orang-orang mukmin mencegah seseorang dari kalangan mukmin atau orang kafir untuk sampai kepadanya. Sesudah itu Allah Swt. menurunkan lagi Firman-Nya, yaitu:

{إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا}

Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. (At-Taubah: 28)

{مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ}

Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjidAllah. (At-Taubah: 17)

{إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ}

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. (At-Tau­bah: 18)
Maka sejak itu orang-orang musyrik diusir dari Masjidil Haram.

Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid dan jangan(pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah. (Al-Maidah: 2); Ayat ini telah di-mansukh. Dahulu seseorang di zaman Jahiliah apabi­la keluar dari rumahnya dengan maksud melakukan haji, mereka me­makai kalung (qiladah, jamaknya qalaid) yang terbuat dari bagian po­hon Tanah Suci, maka tiada seorang pun yang berani mengganggu­nya. Apabila ia pulang, ia memakai kalung dari (pintalan) bulu dom­ba, maka tiada seorang pun yang berani mengganggunya. Pada masa itu orang musyrik tidak dihalang-halangi datang ke Baitullah. Se­dangkan orang-orang muslim telah diperintahkan tidak boleh melaku­kan peperangan pada bulan-bulan haram, tidak boleh pula melakukan­nya di dekat Baitullah (Tanah Suci dalam waktu kapan pun). Kemu­dian hal ini di-mansukh oleh firman-Nya: maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka. (At-Taubah 5)

Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa firman-Nya: dan jangan mengganggu binatang-binatang qalaid (Al-Maidah: 2); Artinya, jika mereka (orang-orang musyrik) mengalungi dirinya de­ngan kalung yang terbuat dari sesuatu dari Tanah Suci, mereka harus diberi jaminan keamanan. Ibnu Jarir mengatakan bahwa orang-orang Arab masih tetap mencela orang yang berani melanggar ketentuan tersebut Salah seorang penyair mereka mengatakan:

ألَمْ تَقْتُلا الحرْجَين إِذْ أَعْوَرَا لَكُمْ ...يمرَّان الأيدي اللَّحاء المُضَفَّرا

Mengapa kamu membunuh dua orang yang menuju ke Tanah Suci, padahal kamu tidak boleh mengganggunya;

keduanya lewat memakai kalung dari serat kayu pohon Tanah Suci yang dipintal.

Firman Allah Swt:

{وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا}

dan apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji, maka boleh­lah berburu. (Al-Maidah: 2)

Jika kalian telah selesai dari ihram dan sudahber-tahallul, maka Kami perbolehkan kalian mengerjakan hal-hal yang tadinya kalian di­larang sewaktu ihram, seperti berburu. Hal ini merupakan perintah se­sudah larangan. Menurut pendapat yang sahih lagi terbukti jeli dan mendalam, hukum mengenai hal ini dikembalikan kepada hukum se­mula sebelum ada larangan. Jika sebelum ada larangan hukumnya wajib, maka dikembalikan menjadi wajib. Jika sebelum ada larangan hukumnya sunat, maka dikembalikan menjadi sunat lagi; atau asalnya mubah, maka dikembalikan menjadi mubah. Menurut orang yang ber­pendapat bahwa hukum hal ini wajib, berarti pendapatnya itu bertentangan dengan banyak ayat lainnya. Mengenai pendapat orang yang mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah (boleh), akhirnya diban­tah oleh ayat lain. Sedangkan pendapat yang sesuai dengan dalil-dalil lainnya adalah pendapat yang kami sebutkan tadi, seperti yang dipilih oleh sebagian ulama Usul Fiqh.

Firman Allah Swt.:

{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا}

Dan jangan sekali-kali kebencian (kalian) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kalian dari Masjidil Haram, mendorong kalian berbuat aniaya (kepada mereka). (Al-Maidah: 2)
Sebagian ulama qiraah membacanya as-saddukum, dengan harakat fat-hah pada alif-nya.Maknanya sudah jelas karena berasal dari an(masdariyah), yakni: Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka.

Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang di­perintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam per­kara yang hak terhadap siapa pun.
Makna ayat ini sama dengan ayat lain yang pembahasannya akan diuraikan kemudian, yaitu firman-Nya:

{وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى}

Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil­lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, (Al-Maidah: 8)

Maksudnya, jangan sekali-kali kebencian terhadap suatu kaum men­dorong kalian untuk meninggalkan norma-norma keadilan. Sesung­guhnya keadilan itu wajib atas setiap orang terhadap siapa pun dalam segala keadaan. Salah seorang ulama Salaf mengatakan, "Selama ka­mu memperlakukan orang yang durhaka kepada Allah terhadap diri­mu dengan perlakuan yang kamu landasi dengan taat kepada Allah dan selalu berlaku adil dalam menanganinya, niscaya langit dan bumi ini masih akan tetap tegak."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Affan, telah men­ceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah Saw. dan para sahabat­nya berada di Hudaibiyah ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi mereka sampai ke Baitullah. Peristiwa tersebut terasa amat berat bagi mereka. Kemudian lewatlah kepada mereka sejumlah orang dari kalangan kaum musyrik —penduduk kawasan timur— dengan maksud akan melakukan umrah. Sahabat-sahabat Nabi Saw. berkata, "Kita halang-halangi mereka sebagaimana teman-teman mereka menghalang-halangi kita." Lalu Allah Swt. menurunkan ayat ini.
Asy-syana-an artinya kebencian; menurut Ibnu Abbas dan lain-lainnya berakar dari kata syana-iuhu asynau-hu syana-anan, semua­nya di-harakat-i, wazan-nya sama dengan lafaz jamazan, darajah, raqalan yang berasal dari jamz, daraj, dan raql.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa di antara orang-orang Arab ada yang menghapuskan harakat alif-nya hingga disebutkan menjadi sya-nan. Akan tetapi, menurut saya tidak ada seorang pun yang saya ke­tahui memakai bacaan ini. Termasuk ke dalam bacaan ini perkataan seorang penyair mereka yang mengatakan:

ومَا العيشُ إِلَّا مَا تُحبُّ وتَشْتَهي ...وَإنْ لامَ فِيهِ ذُو الشنَّان وفَنَّدَا

Tiadalah kehidupan ini melainkan apa yang kamu sukai dan kamu senangi, sekalipun dalam menjalaninya dicela dan dikecam oleh orang yang tidak suka.

Firman Allah Swt.:

{وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ}

Dan  Tolong- menolonglah kalian dalam(mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2)

Allah Swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam berbuat kebaikan —yaitu kebajikan— dan meninggalkan hal-hal yang mungkar: hai ini dinamakan ketakwa­an. Allah Swt. melarang mereka bantu-membantu dalam kebatilan serta tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan hal-hal yang diha­ramkan.

Ibnu Jarir mengatakan bahwa dosa itu ialah meninggalkan apa yang  diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan. Pelanggaran itu artinya melampaui apa yang digariskan oleh Allah dalam agama kalian, serta melupakan apa yang difardukan oleh Allah atas diri kalian dan atas diri orang lain.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيْم، حَدَّثَنَا عَبِيدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ، عَنْ جَدِّهِ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُه مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَحْجِزُهُ تَمْنَعُهُ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ".

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim. telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Abu Bakar ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas ibnu Malik) yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Tolonglah saudaramu, baik dalam keadaan berbuat aniaya atau dianiaya. Lalu ada yang bertanya, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat kutolong jika ia dianiaya. Tetapi bagaimanakah menolongnya jika dia berbuat aniaya?" Maka Rasulullah Saw. menjawab: Kamu cegah dan kamu halang-halangi dia dari perbuatan ani­aya, itulah cara menolongnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid melalui hadis Hasyim dengan sanad yang sama dan lafaz yang semisal.
Ke­duanya mengetengahkan hadis ini melalui jalur Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

"انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا". قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا نَصَرْتُهُ مَظْلُومًا، فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ ظَالِمًا؟ قَالَ: "تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمَ، فَذَاكَ نَصْرُكَ إِيَّاهُ"

"Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat aniaya ataupun diani­aya." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, orang ini dapat aku to­long bila dalam keadaan teraniaya, tetapi bagaimana menolong­nya jika dia berbuat aniaya?" Rasulullah Saw. menjawab,"Kamu cegah dia dari perbuatan aniaya, itulah cara kamu meno­longnya."

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ وَثَّاب، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Sa'id, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang lelaki sahabat Nabi Saw. yang mengatakan: Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar da­lam menghadapi gangguan mereka lebih besar pahalanya dari­pada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan ti­dak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.

Imam Ahmad meriwayatkannya pula di dalam kitab Musnad Abdul­lah ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, telah mence­ritakan kepada kami Syu'bah, dari Al-A'masy, dari Yahya ibnu Wassab, dari seorang syekh sahabat Nabi Saw. yang mengatakan:

"الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ"

Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap gangguan mereka lebih besar pahalanya daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.

Imam Turmuzi meriwayatkan hal yang serupa melalui hadis Syu'bah, dan Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Ishaq ibnu Yusuf; ke­duanya dari Al-A'masy dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَزَّارُ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدٍ أَبُو شَيْبَةَ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ الْمُخْتَارِ، عَنِ ابْنِ أَبِي لَيْلَى، عَنْ فُضَيْل بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "الدَّالُّ عَلَى الْخَيْرِ كَفَاعِلِهِ".

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abdullah ibnu Muhammad Abu Syaibah Al-Kuti. telah menceritakan kepada kami Bakr ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Isa ibnul Mukhtar, dari Ibnu Abu Laila. dari Fudail ibnu Amr, dari Abu Wa-il, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Orang yang menunjukkan (orang lain)kepada perbuatan yang baik, sama (pahalanya)dengan pelaku kebaikan itu.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa kami tidak mengetahuinya meriwayatkan hadis kecuali dalam sanad ini.
Menurut kami, hadis ini mempunyai syahid (bukti) dalam kitab sahih, yaitu:

"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا"

Barang siapa yang mengajak ke jalan petunjuk, baginya pahala semisal dengan semua pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat; hal tersebut tanpa mengurangi pahala mere­ka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengajak kepada kesesalan, baginya dosa yang semisal dengan semua dosa orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat: hal tersebut tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun.

قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ زِبْرِيقٍ الْحِمْصِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الْحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَالِمٍ، عَنِ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ عَبَّاسُ بْنُ يُونُسَ: إِنَّ أَبَا الْحَسَنِ نِمْرَان بْنَ مخُمر حَدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِينَهُ، وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ، فَقَدْ خَرَجَ من الإسلام"

Abul Qasim At-Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zuraiq Al-Himsi, telah mencerita­kan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Anu ibnul Haris, dari Abdullah ibnu Salim, dari -Az-Zubaidi yang mengatakan, "Abbas ibnu Yunus pernah mengatakan bahwa Abul Hasan Namran ibnu Sakhr pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: 'Barang siapa yang berjalan bersama orang yang zalim untuk membantunya, sedangkan dia mengetahui kezalimannya, maka sesungguhnya dia telah keluar dari Islam.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...