Minggu, 31 Oktober 2021

Takdir Yang Bisa Berubah


Kalau saya katakan bahwa takdir boleh berubah, kemungkinan besar banyak yang tidak setuju dan merasa heran dan bertanya “kok takdir boleh berubah?” bukankah dalam riwayat penciptaan manusia, bahwa ketika masih dalam rahim ibu, tatkala usia kandungan telah mencapai umur 40 hari, Malaikat diperintahkan oleh Allah untuk menulis catatan. Di antaranya adalah mengenai ajal, rezeqi dan kehidupan baik dan buruk. Bukankah ini takdir Allah yang sudah ditetapkan dan akan di bawa dalam kehidupan seseorang sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut?.

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kalau saya uraikan definisi Qada dan Qadar.
Qada bermaksud pelaksanaan, hasil, buah (realisasi), Adapun qadar bermaksud sukatan (anggaran). Namun dalam bahasa melayu kedua-duanya digabungkan menjadi satu yaitu istilah TAKDIR.

Saat yang dinanti sepasang suami-isteri, dari perwujudan buah percintaan kasih-sayang sekian waktu, yaitu ketika rahim sang isteri mengandung janin calon bayi. Sungguh terasa sebagai anugerah indah tiada tara dari Allah Azza wa Jalla. Gerakan-gerakan kecil menyentak dinding perut sang ibu. Betapa bahagia calon orang tuanya. Ingin segera mengasuh dan merawatnya.

Itulah kebesaran Allah Azza wa Jalla sebagai bukti kekuasaan Nya kepada manusia. Agar mereka banyak bersyukur. Di dalam al-Qur’an Allah Azza wa Jalla telah berfirman

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ ۖ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَانِ مِن طِينٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِن سُلَالَةٍ مِّن مَّاءٍ مَّهِينٍ ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ وَقَالُوا أَإِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَإِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ ۚ بَلْ هُم بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh (ciptaan)Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. Dan mereka berkata, “Apakah bila kami telah lenyap (hancur) di dalam tanah, kami benar-benar akan berada dalam ciptaan yang baru?” Bahkan (sebenarnya) mereka ingkar akan menemui Rabbnya. [As Sajdah : 7-10]

Firman Allah yang lain tentang penciptaan manusia ialah :

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ مِن نُّطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ يُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ ثُمَّ لِتَكُونُوا شُيُوخًا وَمِنكُم مَّن يُتَوَفَّىٰ مِن قَبْلُ وَلِتَبْلُغُوا أَجَلًا مُّسَمًّى وَلَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkanNya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). [Al Mu’min : 67].

TAHAPAN PERKEMBANGAN JANIN

Setelah terjadi pembuahan yang ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla hingga berproses menjadi seorang anak, mulailah sang ibu mengalami perubahan-perubahan di rahimnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu hadits shahih bersabda.

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ،

Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.” [Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu].

Dilihat dari perkembangan ilmu medis sekarang ini, jelas hadits tersebut akan dibenarkan para ilmuwan, karena tidaklah jauh berbeda dengan penemuan-penemuan mereka. Disebutkan pula, bahwa pada kehamilan antara 8 sampai 10 pekan (sekitar 56-70 hari) pembuluh darah janin mulai terbentuk. Dengan alat-alat modern seperti alat perekam jantung bayi (elektrokardiografi/EKG untuk bayi) dan ultrasonografi (USG) dapat diketahui sedini mungkin, apakah jantung bayi sudah berdenyut atau belum. Umumnya denyut jantung bayi dapat diketahui dan dicatat pada pekan ke 12 (lebih kurang 84 hari). Tetapi dengan alat sederhana, baru terdengar pada kehamilan 20 pekan (kira-kira 140 hari). Dibuktikan bahwa kira-kira pada kehamilan 10 pekan (kira-kira 70 hari) sudah mulai terbentuk sistem jantung dan pembuluh darah.

Sejak umur kehamilan 8 pekan (kira-kira 56 hari) mulai terbentuk hidung, telinga, dan jari-jari dengan kepala membungkuk ke dada.

Setelah 12 pekan (84 hari) telinga lebih jelas, tetapi mata masih melekat. Leher sudah mulai terbentuk, alat kelamin sudah terbentuk tetapi belum begitu nampak. Baru setelah 16 pekan (112 hari) alat kelamin luar terbentuk, sehingga dapat dikenali dan kulit janin berwarna merah tipis sekali. Pada umumnya plasenta atau ari-ari sudah terbentuk lengkap pada 16 pekan.

Menginjak kehamilan 24 pekan (168 hari), kelopak mata sudah terpisah. Ditandai dengan adanya alis dan bulu mata. Maha luas ilmu Allah Azza wa Jalla dalam segala penciptaanNya.

Apa yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits tersebut memang benar adanya. Manusia baru membuktikannya pada abad ini. Padahal kebenaran ayat-ayat Allah Azza wa Jalla sudah disampaikan puluhan abad lalu; sebagai bukti, bahwa Allah Azza wa Jalla telah menciptakan manusia dari segumpal darah (alaqah) 40 hari, setelah terbentuknya air mani. Hal ini bisa diketahui oleh ahli medis, bahwa kurang lebih umur 56-70 hari pembuluh darah janin mulai terbentuk..Kemudian ada gerakan-gerakan. Gerakan inilah yang mungkin terdeteksi oleh alat-alat kedokteran modern sebagai denyut jantung janin. Namun berdasarkan dhohir hadits, bahwa ruh ditiupkan pada saat janin berumur lebih dari 120 hari.

Sejak wanita/ibu dinyatakan positif hamil, sebelum usia janin 120 hari dan bahkan sampai melahirkan nanti, para wanita/ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk selalu melakukan kegiatan positif yang bermanfaat buat janin dan dirinya, diantaranya adalah :
1. Membaca Al-Qur’an.
2. Berdoa.
3. Berdzikir (Mengingat Allah dengan hati, lisan dan perbuatan).
4. Membaca shalawat.
5. Bersyukur atas segala hal.
6. Mengatur emosi saat ada hal yang kurang berkenan di hati.
7. Selalu berfikiran positif.
8. Menambah ilmu pengetahuan tentang agama, perkembangan dan kesehatan janin, persiapan melahirkan, nama-nama anak islami dan pendidikan anak.
9. Memenuhi makanan bergizi, terutama untuk perkembangan janin agar menjadi manusia yang sehat, cerdas, sukses dan kuat.
10. Menjaga kesehatan dan keselamatan diri dan janin dengan berkonsultasi kepada dokter atau ahlinya.

PELAJARAN-PELAJARAN YANG BISA DIAMBIL DARI HADITS INI:

1. Para perawi hadits banyak yang meriwayatkan hadits lafadz haddatsana –mencontoh lafadz yang diucapkan Ibnu Mas’ud dalam hadits ini- untuk menunjukkan bahwa ia hadir dan mendengar langsung dari orang yang menceritakannya.
2. Seluruh berita yang shahih berasal dari Nabi harus diyakini dan dibenarkan meski tidak terjangkau akal karena beliau adalah as-Shoodiqul Mashduuq (yang jujur dan harus dipercaya).

3. Tahapan penciptaan manusia di rahim ibunya:
– 40 hari pertama nutfah
– 40 hari kedua segumpal darah
– 40 hari ketiga segumpal daging

4. Ditiupkan ruh pada janin setelah berusia 3 x 40 hari = 120 hari = 4 bulan.
Setelah 4 bulan inilah berlakulah baginya hukum manusia. Jika terjadi keguguran janin, maka dilihat keadaan:
– sebelum 120 hari: tidak perlu dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
– setelah 120 hari: dimandikan, dikafani, dan disholatkan.
Jika janin yang keluar saat keguguran bentuknya sudah seperti manusia, maka berlakulah hukum nifas. Jika tidak, maka hukumnya seperti darah istihadhah (penyakit).

5. Beriman terhadap Malaikat. Ada Malaikat yang bertugas untuk meniup ruh pada janin dan mencatat 4 hal: rezeki, ajal, amalan, dan keadaannya (beruntung atau celaka).

6. Beriman terhadap catatan taqdir.
Para Ulama menjelaskan bahwa berdasarkan lingkupnya, pencatatan taqdir terbagi menjadi 4:

a) Pencatatan di Lauhul Mahfudzh
Catatan induk. Berisi catatan taqdir segala sesuatu. Ditulis 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Catatan ini tidak ada yang tahu kecuali Allah, dan tidak akan berubah sedikitpun

b) Pencatatan dalam lingkup umur perorangan
Ini adalah catatan Malaikat, seperti yang disebutkan dalam hadits ini tentang 4 hal: rezeki, ajal, amalan, dan keadaannya (beruntung atau celaka) terhadap janin yang masih berada di perut ibunya.

c) Pencatatan dalam lingkup tahunan
Dilakukan setiap Lailatul Qodar, berisi catatan segala sesuatu yang akan terjadi dalam waktu setahun ke depan (hingga Lailatul Qodar berikutnya), disebutkan dalam surat ad-Dukhkhan: 3-4).

d) Pencatatan dalam lingkup harian
Disebutkan dalam surat arRahman ayat

Allah meninggikan derajat suatu kaum atau merendahkannya, membentangkan rezeki atau menyempitkannya, dsb. Hal itu berlangsung tiap hari.

Perubahan catatan taqdir yang masih memungkinkan terjadi pada catatan yang ada di Malaikat, sedangkan yang Lauhul Mahfudzh tidak akan pernah berubah.

1) Akhir kehidupan seseorang akan berujung pada dua hal: beruntung atau celaka. Orang yang beruntung adalah yang masuk ke dalam surga, sebaliknya yang celaka adalah yang masuk ke dalam neraka. Tidak ada keadaan ketiga.

2) Seseorang tidak boleh merasa bangga diri ketika ia banyak beribadah dan sering mengisi hari-harinya dengan ketaatan. Harus diiringi dengan perasaan takut dan khawatir jangan sampai mengalami suu-ul khotimah (akhir kehidupan yang buruk).

3) Seseorang yang sedang terjerumus dalam lumpur dosa tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah, hendaknya ia bersemangat untuk bertaubat dan memperbanyak amal sholih dengan harapan meninggal dalam keadaan husnul khotimah (akhir kehidupan yang baik).
4) Akhir kehidupan sangat menentukan kebahagiaan atau kesengsaraan seseorang nanti di akhirat.

KASIH SAYANG ALLAH

Sebagai salah satu bentuk kasih sayang Allah, orang-orang yang berubah dari keadaan baik menjadi buruk lebih sedikit atau jarang dibandingkan orang yang berubah dari keadaan buruk menjadi baik (penjelasan Ibnu Daqiiqil Ied).
Penyebab perubahan dari baik menjadi buruk itupun sebenarnya karena ia hanya menampakkan kebaikan di hadapan manusia. Ia tampakkan seakan-akan ia terus bergelut dengan ketaatan dan sudah dekat dengan surga. Padahal hatinya tidak demikian. amalnya penuh dengan riya’ dan kemunafikan.

Abdul Haq berkata: “Suu-ul Khootimah (akhir kehidupan yang buruk) tidak akan menimpa orang yang istiqomah batinnya dan baik amal perbuatannya…Kebanyakan menimpa orang-orang yang terus menerus dan lancang (tidak mengenal malu) dalam berbuat dosa besar…” (dinukil oleh alHafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (11/489))

KEADAAN PARA SAHABAT NABI

Para Sahabat Nabi adalah orang-orang yang bersemangat melakukan amal sholih yang terbaik dan sempurna diiringi dengan perasaan takut jangan-jangan amalnya tidak diterima. Diiringi perasaan khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang munafik.

Ibnu Abi Mulaikah berkata: Saya menjumpai 30 orang Sahabat Nabi seluruhnya mengkhawatirkan kemunafikan dalam dirinya (Shahih alBukhari).

Umar bin al-Khottob pernah menanyakan kepada Hudzaifah bin al-Yaman apakah nama beliau masuk dalam daftar orang-orang munafik yang disebut Nabi.

Para Sahabat Nabi adalah orang-orang dengan amal ibadah berkualitas tinggi, namun mereka tidak ujub (merasa bangga diri) terhadap amal yang telah dikerjakan. Mereka memadukan antara perasaan berharap terhadap rahmat dan ampunan Allah dengan perasaan takut terhadap adzab Allah pada porsi yang tepat dan sesuai.

Jika seseorang terlalu menggantungkan pada luasnya rahmat Allah, ampunan Allah yang berlimpah, dan melupakan bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha pedih adzabNya, ia akan bermudah-mudahan. Ia akan merasa aman dari makar Allah.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Apakah kalian merasa aman dari Makar (istidraj dan adzab) Allah? Tidak ada yang merasa aman dari Makar Allah kecuali orang –orang yang merugi” (Q.S al-A’raaf:99).

Sebaliknya, seorang yang dominan membaca dan merasakan ancaman-ancaman Allah, kerasnya siksaan, dan semisalnya, kemudian melupakan rahmat dan ampunanNya akan berputus asa dari rahmat Allah.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيم

“Katakanlah : Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang” (Q.S Az-Zumar:53).

Perasaan berharap di satu sisi, takut di sisi lain. Dua hal ini harus berada pada porsi yang tepat dan sesuai, serta tidak berat sebelah.

Dalam alQur’an Allah mengajarkan manusia untuk memiliki dua perasaan itu secara seimbang.

Perhatikan ayat-ayat berikut yang menyebutkan Sifat-Sifat Allah terkait dengan pembangkitan 2 perasaan itu secara berimbang:

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ

“ Khabarkan kepada hamba-hambaKu bahwa Aku adalah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwasanya adzabKu sangat pedih “ (Q.S Al-Hijr 49-50)

إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ

“ Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat adzabNya, dan sesungguhnya Ia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “(Q.S AlAn’aam : 165)

اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ وَأَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Keras SiksaNya dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S al-Maidah:98)

غَافِرِ الذَّنبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِيدِ

Allah adalah Pengampun dosa dan Penerima taubat, keras siksaNya…. (Q.S Ghofir/ al-Mu’min:3)

Kemudian Takdir tersebut terbagi kepada dua bagian iaitu: Qada Mubram dan Qada Mu’allaq.

1) Qada Mubram: Adalah ketentuan Allah Taala yang pasti berlaku. Semua manusia pasti akan menghadapinya, ingin atau tidak, mahu atau tidak mahu, senang ataupun tidak, setiap orang pasti akan menjumpainya, sebab hal tersebut tidak dapat dihalang oleh sesuatu apa pun. Sebagai contohnya adalah perkara kematian. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ -الأنبياء: 35 -.

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.

Jadi masalah kematian merupakan perkara yang pasti dihadapi oleh setiap manusia. Karena ia merupakan suatu kepastian maka dinamakan sebagai Qada Mubram. Oleh karena itu Allah tegaskan jenis Qada ini dalam surah ar-Ra’ad, ayat: 11:

{وَإِذَا أَرَادَ اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ -الرعد:11-.

“Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Rasulpun pernah bersabdah tentang jenis Qada ini:

(إِنَّ رَبِّي قَالَ: يَا مُحَمَّدْ، إِنِّي إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَإِنَّهُ لاَ يُرَدُّ) -مسلم-

“Sesungguhnya Tuhanku berkata padaku: Wahai Muhammad! Sesungguhnya Aku kalau sudah menentukan sesuatu maka tiada seorangpun yang sanggup menolaknya”.

2) Qada Mu’allaq: Adalah takdir yang digantung atau bersyarat, dalam artian ketentuan tersebut boleh berlaku dan terjadi, dan boleh juga tidak terjadi pada diri seseorang, bahkan ia bergantung kepada usaha manusia itu sendiri, Qada ini yang telah disampaikan oleh Allah kepada Malaikat dan disimpan olehnya, jenis Qada ini telah ditegaskan oleh Allah ta’ala:

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ -الرعد: 11-.

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa seseorang mampu merubah nasib dengan usaha sendiri, dan dengan izin Allah Swt. Oleh karena itu agama memberikan dua syarat utama untuk mengubah takdir, yaitu dengan cara memperbanyak doa dan menyambung silaturrahim.

Dalam kaitannya dengan perubahan umur manusia, para ulama berselisih faham tentang bolehkan berubah atau tidak?, bolehkan dipanjangkan atau dikurangkan?. Hal ini disebabkan oleh adanya sumber hukum yang secara zahir dari al-Qur’an yang menyatakan dengan jelas bahwa umur seseorang tidak akan ditambah ataupun dikurangkan, yaitu firman Allah:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ -الأعراف: 34-.

“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (kematian); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya”.

Di samping ayat tersebut, terdapat juga hadits yang secara zahir menjelaskan bahwa doa dan silaturrahim dapat memanjangkan umur seseorang, dan mampu melapangkan rezqinya. Hadits tesebut adalah

(لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ، وَلاَ يُزِيْدُ فِى الْعُمْرِ إِلاَّ الْبِرُّ) -الترمذي-

“Tidak ada yang mampu menolak takdir Allah kecuali doa”.

Oleh karena itu, doa’ dalam Islam sangat digalakkan dan Allah menjanjikan akan menerima doa seseorang mukmin yang betul-betul mengharap diterima doanya, firman Allah:

(وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ) -المؤمنون: 60-.

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (QS Al-Mu’min 60).

Ayat ini dapat dipahami lebih mendalam bahwa doa disyariatkan dalam Islam pada dasarnya untuk merubah nasib seseorang, sebab apalah gunanya seseoarang berdoa kalau ia tidak mengharap perubahan dari Allah. Baik perubahan umur dengan dipanjangkan umurnya, atau mengharap rezki dengan meminta ditambahkan rezkinya.

(مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأُ لَهُ فِي أَثْرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ) -البخاري-

“Siapa saja yang ingin dimudahkan rezqinya, dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambung silaturrahim”.

Kalau dicermati dan direnungkan, memang Allah dalam kenyataan ayat 34 pada surah al-A’raf di atas tidak akan merubah ajal seseorang, tapi perlu diketahui takdir yang dibagi kepada setiap insan itu bukan hanya satu takdir, melainkan ada beberapa takdir.

Contohnya, Allah menentukan ajal si fulan untuk hidup selama 60 tahun, di samping itu juga Allah bagi takdir lain untuk hidup sampai 70 tahun lamanya. Dalam artian sesuai dengan hadis di atas kalau si fulan menyambung silaturrahmi maka takdir kedua akan ia capai, tapi kalau tidak maka ia akan dibagi takdir yang pertama, yaitu akan hidup hanya sampai 60 tahun saja.

Pendapat ini telah ditegaskan oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya “Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits”, beliau menjelaskan bahwa “Ta’jil” memiliki dua makna: pertama: Kehidupan yang lapang, kemudahan rezqi dan sehat jasmani. Kedua: Penambahan umur, di mana Allah Swt mentakdirkan seseorang dengan dua takdir umur, yaitu 100 dan 80, jika seseorang menyambung silaturrahim maka ia akan mencapai 100 tahun umurnya, namun jika tidak maka ia hanya akan dapat umur 80 tahun.

Hal serupa dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam kitab “Fathu al-Baari”, beliau menerangkan bahwa sesungguhnya hadits dan ayat “Ta’jil” boleh digabungkan bersama, yaitu dengan memahaminya kepada dua bahagian. Yang pertama: Maksud penambahan adalah Allah menambahkan keberkatan hidup bagi seorang mu’min yang menjalin silaturrahim. Yang kedua: Hakikatnya adalah penambahan umur, di mana seseorang yang menjalin dan menyambung silaturrahim akan ditambahkan umurnya secara angka.

Beliaupun memberikan contoh umur, misalnya, umur seseorang ditentukan Allah antara enam puluh tahun dan seratus tahun, takdir pertama (enam puluh tahun) dinamakan sebagai Qadha Mubram, sementara umur seratus tahun adalah Qadha Mu’allaq. Namun penambahan di sini adalah sesuai dengan ilmu Malaikat dan pengetahuannya, bukan ilmu Allah. Dalam hal ini Ibnu Hajar memilih penafsiran pertama yaitu menerjemahkan penambahan umur sebagai bentuk keberkatan hidup.

Pada permasalahan lain, misalnya penyakit, dalam satu riwayat disebutkan bahwa, penyakit dan obat merupakan takdir ilahi.

يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ رِقًى نَسْتَرْقِيْهَا وَدَوَاءٌ نَتَدَاوَى بِهِ وَتُقَاةٍ نَتَّقِيْهَا، هَلْ تَرُدٌّ مِنْ قَدْرِ اللهِ شَيْئًا ؟ قَالَ: هِيَ مِنْ قَدْرِ اللهِ -الترمذي-.

“Ya Rasulallah bagaimana pandangan engkau terhadap Ruqyah-ruqyah yang kami gunakan untuk jampi, obat-obatan yang kami gunakan untuk mengobati penyakit, perlindungan-perlindungan yang kami gunakan untuk menghindari dari sesuatu, apakah itu semua bisa menolak takdir ALLAH ?Jawab Rasulullah saw : Semua itu adalah (juga) takdir ALLAH”.

Satu riwayat juga disebutkan bahwa tatkala Umar bin Khattab dan rombongannya melakukan perjalanan ke suatu tempat di Syiria, dan beliau tiba-tiba dikabarkan bahwa tempat yang dituju sedang dilanda penyakit wabak, (penyakit menular), kemudian Umar bermusyawarah dengan rombongan untuk mencari jalan keluar (way out ), lantas Umar dan rombongan sepakat untuk membatalkan perjalanan tersebut dan kembali ke Madinah, kemudian salah seorang sahabat yang bernama Abu Ubaidah tiba-tiba memprotes keputusan Umar yang tidak ingin melanjutkan perjalanan:

فَقَالَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْجَرَّاحِ: أَفِرَارًا مِنْ قَدَرِ اللَّهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: “لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا يَا أَبَا عُبَيْدَةَ – وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُ خِلاَفَهُ – نَعَمْ نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللَّهِ إِلَى قَدَرِ اللَّهِ”.

Abu Ubaidah bin al-jarrah berkata““Apakah kita hendak lari menghindari taqdir Allah?” Umar menjawab: “Benar, kita menghindari suatu taqdir Allah dan menuju taqdir Allah yang lain”.

Hadits ini memberikan gambaran jelas bahwa takdir itu bukan hanya satu melainkan berbilang.

Untuk mengakhiri bahasan ini saya sebutkan suatu kisah, di mana pada suatu hari malaikat Izra`il, malaikat pencabut nyawa, memberi kabar kepada Nabi Daud a.s., bahwa si Fulan minggu depan akan dicabut nyawanya. Namun ternyata setelah sampai satu minggu nyawa si Fulan belum juga mati, sehinggalah Nabi Daud bertanya, mengapa si Fulan belum mati-mati juga, sementara engkau katakan minggu lepas bahwa minggu depan kamu akan mencabut nyawanya.

Izra`il menjawab, “ya betul saya berjanji akan mencabut nyawanya, tapi ketika sampai masa pencabutan nyawa, Allah memberi perintah kepadaku untuk menangguhkannya dan membiarkan ia hidup lagi untuk 20 tahun mendatang, Nabi Daud bertanya, mengapa demikian?, Jawab Izra`il: orang tersebut sangat aktif menyambung silaturrahim sesama saudaranya. Karena itu Allah memberikan tambahan umur selama 20 tahun kepadanya.

Jadi sebagai kesimpulan, semua peristiwa, kejadian dan keadaan yang telah dan yang akan kita hadapi, semuanya di dalam pengetahuan dan pengamatan serta kekuasaan Allah, yang tidak terbelenggu, tidak diikat dan tidak dibatasi oleh masa.

Takdir ada yang boleh berubah dan ada yang tidak akan berubah, yang boleh berubah dikenal dengan istilah Qada Mu’allaq, yaitu takdir yang bergantung dan bersayarat, sementara takdir yang tidak akan berubah dinamakan sebagai Qada Mubram, yaitu takdir yang pasti berlaku pada diri seseorang.

Adapun langkah untuk merubah takdir (nasib) yang mu’allaq adalah sebagai berikut:

1) Berusaha, yaitu dengan melakukan aksi terhadap apa saja yang diinginkan terjadi perubahan atasnya.

2) Berdo’a, yaitu memanjatkan harapan kepada Allah terhadap maksud yang diinginkan diqabulkan olehNya.

3) Tawakkal, yaitu menunggu keputusan, hasil daripada usaha dan doa yang diminta.
Setelah hal di atas dilakukan, maka kita tinggal menunggu ketentuan Allah yang disebut dengan (takdir). Dan untuk menambahkan keyakinan kita terhadap perubahan takdir mu’allaq, ada baiknya kita renungi bersama ayat di bawah ini:

يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ -الرعد: 39-

“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)”.

Dalam menafsiri QS Ar-Ra'd ayat 39 para Sahabat berbeda pendapat terutama antara Ibnu Abbas dan Umar dan Ibnu Mas'ud. Umar dan Ibnu Mas'ud punya pendapat yang menyejukkan di mana merke menyatakan bahwa takdir itu bisa berubah dengan ijin dengan kehendak Allah. Ini pandangan yang selaras dengan firman Allah dalam QS Al-Ra'd ayat 11.

Husain bin Mas'ud dalam Tafsir Al-Baghawi 4/325 mengutip kedua pendapat tersebut:


وقال ابن عباس : يمحو الله ما يشاء ويثبت إلا الرزق والأجل والسعادة والشقاوة .

وروينا عن حذيفة بن أسيد ، عن النبي صلى الله عليه وسلم : " يدخل الملك على النطفة بعدما تستقر في الرحم بأربعين ، أو خمس وأربعين ليلة ، فيقول : يا رب أشقي أم سعيد ؟ فيكتبان ، فيقول : أي رب ، أذكر أم أنثى ؟ فيكتبان ، ويكتب عمله وأثره ، وأجله ، ورزقه ، ثم تطوى الصحف فلا يزاد فيها ، ولا ينقص " .

وعن عمر ، وابن مسعود - رضي الله عنهما - أنهما قالا يمحو السعادة ، والشقاوة أيضا ، ويمحو الرزق والأجل ويثبت ما يشاء .

وروي عن عمر رضي الله عنه أنه كان يطوف بالبيت وهو يبكي ويقول : اللهم إن كنت كتبتني في أهل السعادة فأثبتني فيها ، وإن كنت كتبت علي الشقاوة فامحني ، وأثبتني في أهل السعادة والمغفرة ، فإنك تمحو ما تشاء وتثبت وعندك أم الكتاب . ومثله عن ابن مسعود .

وفي بعض الآثار : أن الرجل يكون قد بقي من عمره ثلاثون سنة فيقطع رحمه فترد إلى ثلاثة أيام ، والرجل يكون قد بقي من عمره ثلاثة أيام فيصل رحمه فيمد إلى ثلاثين سنة .

Artinya: Ibnu Abbas berkata, "Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) kecuali rizki, ajal, bahagia dan derita. Kami meriwayatkan dari Hudzaifah bin Usaid dari Nabi: "Malaikat masuk pada sperma setelah menetap di rahim selama 40 atau 45 malam. Lalu bertanya: Ya Tuhan, apakah ia menderita atau bahagia? Lalu keduanya ditulis. Malaikat bertanya lagi: Perempuan atau laki-laki? Lalu ditulis. Lalu ditulis juga amalnya, jejaknya, ajalnya, rejekinya. Lalu buku itu ditutup, tidak ditambah dan tidak dikurangi."

Dari Umar dan Ibnu Mas'ud keduanya berkata: Allah menghapus bahagia dan derita. Dan menghapus rejeki dan ajal dan menetapkan apa yang Dia kehendaki.

Diriwayatkan dari Umar bahwa ia pernah bertawaf di Baitullah sambil menangi dan berdoa: Ya Allah apabila Engkau menulisku termasuk orang yang berbahagia maka tetapkanlah. Apabila Engkau menulis aku sebagai orang yang menderita, maka hapuskanlah. Tetapkanlah aku sebagai orang yang beruntung dan diampuni karena Engkau dapat menghapus apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan. Di sisiMu induk kitab. (Hadits yang serupa dari Ibnu Mas'ud).

Dalam sebagian Atsar (perkataan Sahabat) diriwayatkan: Seorang laki-laki sisa umurnya 30 tahun. Lalu dia memutskan silaturrahim maka dipanjangkan usianya menjadi tiga hari. Laki-laki lain usianya tersisa 3 hari, tapi ia rajin bersilaturrahim maka umurnya diperpanjang menjadi 30 tahun.

Kisah Rosululloh SAW Yang Mengharukan Saat Di Thoif


Thaif dalam sejarah awal perjuangan Rasulullah Muhammad SAW memang sangat pahit. Terhitung tiga tahun sebelum hijrah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke Thaif untuk melakukan dakwah dan mengajak Kabilah Tsaqif masuk Islam. Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah pada 619 Masehi dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW pada 620 Masehi.

Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah ini yang disegani oleh kaum musyrik Qurais, membuat mereka semakin berani mengganggu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, jika warga kota Thaif mau menerima Islam, kota ini akan dijadikan tempat berlindung bagi warga muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.

Untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat secara diam-diam dan dengan berjalan kaki, Rasulullah mencoba pergi ke Thaif untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Rasulullah tinggal di Thaif selama sepuluh hari untuk berdakwah dan meminta perlindungan. Namun, ternyata penduduk Thaif melakukan penolakan dan memperlakukan Rasulullah dengan kasar.

Saat itu, kaum Tsaqif melempari Rasulullah SAW, sehingga kakinya terluka. Tindakan brutal penduduk Thaif ini membuat Zaid bin Haritsah membelanya dan melindunginya, tapi kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu. Akhirnya, Rasulullah berlindung di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah.

Harapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tinggal harapan. Penduduk Thaif menolak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencemoohnya, bahkan mereka memperlakuan secara buruk terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kenyataan ini sangat menggoreskan kesedihan dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliaupun kembali ke Mekkah dalam keadaan sangat sedih, merasa sempit dan susah.

Keadaan ini diceritakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma :

هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ عَلَيْكَ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ قَالَ لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami-Pen.) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril q , lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.”

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].

Begitulah sambutan penduduk Thaif. Penolakan mereka saat itu sangat mempengaruhi jiwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga beliaupun bersedih. Namun kesedihan ini tidak berlangsung lama. Karena sebelum Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Mekkah, saat melakukan perjalanan kembali dari Thaif, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pertolongan Allah Azza wa Jalla . Pertolongan ini sangat berpengaruh positif pada jiwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengurangi kekecewaan karena penolakan penduduk Thaif, sehingga semakin menguatkan tekad dan semangat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan din (agama) yang hanif ini.

Dalam keadaan sulit seperti itulah Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ke langit dan mengucapkan:

 اللهم إنى أشكو إليك ضعف قوتي ، وقلة حيلتي ، وهواني على الناس ، يا أرحم الراحمين ، أنت رب المستضعفين ، وأنت ربي ، إلى من تكلني ؟إلى عدو يتجهمني ، أم إلى غريب ملكته أمري ؟ إن لم يكن بك غضب عليّ فلا أبالي ، ولكن عافيتك هي أوسع لي ، أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت له الظلمات ، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة ، من أن تُنزل بي غضبك ، أو تُحل بي سُخْطك ، لك العُتبى حتى ترضى ، ولا حول ولا قوة إلا بك

Ya Allah, sesungguhnya aku adukan kepada-Mu kelemahan diriku, sedikitnya usahaku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Engkaulah Rabb orang-orang lemah, dan Engkaulah Rabbku. Kepada siapakah engkau serahkan aku? Kepada musuh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada orang asing yang Engkau berikan kepadanya urusanku? Selama Engkau tidak murka kepadaku maka aku tidak akan merisaukanku. Keselamatan dari-Mu terasa luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang telah menerangi kegelapan, memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu atas diriku, atau kebencian-Mu menimpaku. Hanya milik-Mu keridhaan sehingga Engkau meridhai. Tiada usaha dan kekuatan kecuali dengan-Mu.

PERTOLONGAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA

Pertongan pertama datang saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Qarnuts-Tsa’âlib atau Qarnul-Manazil. Allah Azza wa Jalla mengutus Malaikat Jibril Alaihissallam bersama malaikat penjaga gunung yang siap melaksanakan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perlakuan buruk penduduk Thaif. Namun tawaran ini diabaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkeinginan melampiaskan kekecewaaan atas penolakan penduduk Thaif. Justru sebaliknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharapkan agar dari penduduk Thaif ini terlahir generasi bertauhid yang akan menyebarkan Islam.

Inilah akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang teramat agung. Saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu membalas perlakuan buruk dari kaumnya, namun justru memberikan maaf dan mendoakan kebaikan. Demikian ini selaras dengan beberapa sifat beliau yang diceritakan dalam al-Qur’ân, seperti sifat lemah lembut, kasih sayang, dan sangat menginginkan kebaikan bagi umatnya.

Kemudian pertolongan dan dukungan yang kedua, yaitu saat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di lembah Nakhlah, dekat Mekkah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal disana selama beberapa hari. Pada saat itulah Allah Azza wa Jalla mengutus sekelompok jin kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendengarkan al-Qur`ân dan kemudian mengimaninya. Peristiwa itu disebutkan Allah Azza wa Jalla dalam dua surat, yaitu al-Ahqâf dan al-Jin ayat 1 hingga 15.

Allah berfirman dalam surat al-Ahqâf/46 ayat 29-31:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ ﴿٢٩﴾ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿٣٠﴾ يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur`ân, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (al-Qur`ân) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.

Kedua peristiwa di atas meningkatkan optimisme Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sehingga bangkit berdakwah dengan penuh semangat tanpa peduli dengan berbagai penentangan yang akan dihadapinya.

PERLINDUNGAN AL MUTH’IM BIN ‘ADIY

Setelah kembali ke Mekkah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan perlindungan dari al-Muth’im bin ‘Adiy, sehingga kaum kafir Quraisy tidak leluasa mengganggunya. Al-Muth’im memiliki dua jasa sangat besar kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Pertama, ia memiliki peran dalam perusakan kertas perjanjian pemboikotan yang ditempelkan di dinding Ka’bah.
Kedua, ia memberikan perlindungan saat kaum Quraisy berusaha mengusir dan mengganggu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Jasa al-Muth’im ini selalu diingat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga seusai mengalahkan kaum kafir Quraisy dalam Perang Badr, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda perihal para tawanan:

لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Seandainya al-Muth’im bin Adiy masih hidup, lalu dia mengajakku berbicara tentang para korban yang mati ini (maksudnya, meminta Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membebaskan mereka, Pen.), maka tentu aku serahkan mereka kepadanya.

Posisi Kepala Mayat Saat DiSholatkan


Sebagian kaum muslimin ketika menshalati jenazah, meletakkan kepala mayit di sebelah kanan imam (sebelah utara menurut orang Indonesia, pen). Sebagian lagi meletakkan kepala mayit di sebelah kiri imam (sebelah selatan menurut orang Indonesia, pen). Sebagian lagi bingung, mengikuti pendapat yang mana. Berikut ini ulasannya. Semoga bermanfaat.

Posisi Imam Shalat menurut as-Sunnah

Jika mayitnya adalah seorang wanita, maka imam berdiri di sisi tengah mayit.

Samurah bin Jundub radliyallahu anhu berkata:

صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ مَاتَتْ فِي نِفَاسِهَا فَقَامَ عَلَيْهَا وَسَطَهَا

“Aku melakukan shalat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam atas mayit wanita yang mati karena nifasnya. Maka beliau berdiri padanya di sisi tengahnya.” (HR. al-Bukhari: 1245, Muslim: 1602, an-Nasa’i: 390, at-Tirmidzi: 956, Abu Dawud: 2780 dan Ibnu Majah: 2780).

Dan jika si mayit adalah orang laki-laki, maka imam berdiri di sisi kepalanya.

Abu Ghalib al-Khayyath berkata:

شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ أَوْ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقِيلَ لَهُ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَذِهِ جِنَازَةُ فُلَانَةَ ابْنَةِ فُلَانٍ فَصَلِّ عَلَيْهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسَطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَدَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْتَفَتَ إِلَيْنَا الْعَلَاءُ فَقَالَ احْفَظُوا

“Aku menyaksikan Anas bin Malik menshalati atas jenazah seorang laki-laki, maka beliau berdiri di sisi kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat, maka didatangkan lagi kepada beliau jenazah seorang wanita Quraisy atau Anshar. Maka dikatakan kepada beliau: “Wahai Abu Hamzah! Ini adalah jenazah Fulanah bintu Fulan, mohon engkau menshalati atasnya!” Maka beliau pun menshalatinya dan berdiri di sisi tengahnya. Di sisi kami ada Ala’ bin Ziyad al-Adawi. Ketika ia (Ala’) melihat perbedaan posisi berdirinya Anas bin Malik atas jenazah laki-laki dan wanita, maka ia bertanya: “Wahai Abu Hamzah! Apakah seperti ini posisi berdiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terhadap jenazah laki-laki seperti posisi berdirimu dan juga posisi berdiri beliau terhadap jenazah wanita seperti posisi berdirimu?” Anas menjawab: “Benar.”Maka Ala’ menoleh kepada kita dan berkata: “Hafalkanlah (pelajaran ini, pen)!” (HR. Ahmad: 12640, at-Tirmidzi: 955 dan ia menilai hadits hasan, Abu Dawud: 2779 dan Ibnu Majah: 1483. Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (4/453): “Perawi sanadnya adalah orang-orang tsiqat.” Hadits ini di-shahih-kan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badrul Munir: 5/257).

Perbedaan Pandangan

Pada hadits di atas tidak dijelaskan apakah posisi kepala jenazah berada di sisi kanan imam (sisi utara imam menurut orang Indonesia, pen) ataukah di sisi kiri imam (sisi selatan imam menurut orang Indonesia, pen). Dari sinilah muncul perbedaan pandangan para ulama.

Ulama Hanafiyah

Menurut al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah, ulama bermadzab Hanafi yang wafat tahun 1252 H. Beliau menyatakan:

(قَوْلُهُ وَصَحَّتْ لَوْ وَضَعُوا إلَخْ) كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، وَفَسَّرَهُ فِي شَرْحِ الْمُنْيَةِ مَعْزِيًّا لِلتَّتَارْخَانِيَّةِ بِأَنْ وَضَعُوا رَأْسَهُ مِمَّا يَلِي يَسَارَ الْإِمَامِ ا هـ فَأَفَادَ أَنَّ السُّنَّةَ وَضْعُ رَأْسِهِ مِمَّا يَلِي يَمِينَ الْإِمَامِ كَمَا هُوَ الْمَعْرُوفُ الْآنَ ، وَلِهَذَا عَلَّلَ فِي الْبَدَائِعِ لِلْإِسَاءَةِ بِقَوْلِهِ لِتَغْيِيرِهِمْ السُّنَّةَ الْمُتَوَارَثَةَ

“(Ucapan pemilik matan “Dan shalat jenazahnya tetap sah jika mereka meletakkan…dst”): maksudnya (sebagaimana dalam al-Bada’i (Bada’ius Shana’i karya Al-Kasani, pen), dan ditafsirkan dalam Syarh Al-Maniyyah)… adalah meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam. Selesai. Maka keterangan ini memberikan faedah bahwa as-Sunnah di dalam meletakkan kepala mayit adalah di sisi kanan imam sebagaimana yang dikenal sekarang. Oleh karena itu penulis al-Bada’i  memberi alasan jeleknya (meletakkan kepala mayit di sisi kiri imam, pen) dengan ucapannya “karena mereka telah mengubah as-Sunnah yang turun temurun.” (Raddul Mukhtar alad Durril Mukhtar: 6/282).

Ulama Malikiyah

Menurut penukilan al-Allamah Muhammad bin Yusuf al-Abdari rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 897 H. Beliau menukilkan:

(رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ) ابْنُ عَرَفَةَ : يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِ الْإِمَامِ فَلَوْ عَكَسَ فَقَالَ سَحْنُونَ وَابْنُ الْقَاسِمِ: صَلَاتُهُمْ مُجْزِئَةٌ عَنْهُمْ . ابْنُ رُشْدٍ : فَالْأَمْرُ فِي ذَلِكَ وَاسِعٌ .

“(Kepala mayit di sebelah kanan imam). Ibnu Arafah menyatakan bahwa kepala mayit diletakkan di sisi kanan imam, seandainya terbalik (kepala di posisi kiri, pen), maka menurut Sahnun dan Ibnul Qasim, maka shalat mereka telah mencukupi (tidak usah diulang, pen). Ibnu Rusyd (penulis Bidayatul Mujtahid, pen) berkata: “Perkara ini luas (boleh di kanan atau di kiri imam, pen).” (At-Taj wal Iklil Syarh Mukhtashar Khalil: 2/352).

Lain lagi menurut al-Allamah ad-Dasuqi rahimahullah, ulama bermadzhab Maliki yang wafat tahun 1230 H. Beliau berkata:

وَ( قَوْلُهُ رَأْسُ الْمَيِّتِ عَنْ يَمِينِهِ ) جُمْلَةٌ حَالِيَّةٌ مِنْ إمَامٍ وَ ( قَوْلُهُ إلَّا فِي الرَّوْضَةِ الشَّرِيفَةِ ) أَيْ فَإِنَّهُ يَجْعَلُ رَأْسَ الْمَيِّتِ عَلَى يَسَارِ الْإِمَامِ جِهَةَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ

“Dan ucapan matan (Kepala mayit di sebelah kanan imam) adalah jumlah yang menjadi hal dari imam. Dan ucapan matan (kecuali (jika mayit dishalatkan, pen) di Raudlah yang mulia), maksudnya adalah bahwa kepala mayit diletakkan di kiri imam pada arah kuburan ar-Rasul yang mulia.” (Hasyiyah ad-Dasuqi alasy Syarhil Kabir: 4/149).

Ulama Syafi’iyah

Menurut al-Allamah Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 1221 H. Beliau menyatakan:

وَيُوضَعُ رَأْسُ الذَّكَرِ لِجِهَةِ يَسَارِ الْإِمَامِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ لِجِهَةِ يَمِينِهِ خِلَافًا لِمَا عَلَيْهِ عَمَلُ النَّاسِ الْآنَ أَمَّا الْأُنْثَى وَالْخُنْثَى فَيَقِفُ الْإِمَامُ عِنْدَ عَجِيزَتِهِمَا وَيَكُونُ رَأْسُهُمَا لِجِهَةِ يَمِينِهِ عَلَى عَادَةِ النَّاسِ الْآنَ

“Dan kepala mayit laki-laki diletakkan di sisi kiri imam dan sebagian besar tubuhnya di sisi kanannya, dengan menyelisihi apa yang dilakukan manusia sekarang. Adapaun mayit wanita dan banci, maka imam berdiri pada sisi pantatnya dan kepalanya di sisi kanannya, sesuai dengan kebiasaan manusia sekarang.” (Hasyiyah al-Bujairami alal Minhaj: 4/500).

Begitu pula menurut penukilan al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, ulama bermadzab Syafii yang wafat tahun 974 H. Beliau menukilkan:

وَفِي هَامِشِ الْمُغْنِي لِصَاحِبِهِ وَالْأَوْلَى كَمَا قَالَ السَّمْهُودِيُّ فِي حَوَاشِي الرَّوْضَةِ جَعْلُ رَأْسِ الذَّكَرِ عَنْ يَسَارِ الْإِمَامِ لِيَكُونَ مُعْظَمُهُ عَلَى يَمِينِ الْإِمَامِ ا هـ

“Dan di dalam catatan kaki Al-Mughni (Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini, pen) (terdapat keterangan) bahwa yang lebih utama sebagaimana pendapat as-Samhudi dalam Hasyiyah Ar-Raudlah (Raudlatut Thalibin karya an-Nawawi, pen) adalah menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam agar sebagian besar tubuhnya berada di sisi kanan imam. Selesai.” (Tuhfatul Muhtaj Syarh Minhajith Thalibin: 11/186).

Ulama Hanabilah

Menurut al-Allamah Abdullah bin al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah, ulama Nejd terdahulu. Beliau berkata:

وأما صفة موضعهم بين يدي الإمام للصلاة عليهم، فتجعل رؤوسهم كلهم عن يمين الإمام، وتجعل وسط المرأة حذا صدر الرجل، ليقف الإمام من كل نوع موقفه، لأن السنة أن يقف عند صدر الرجل ووسط المرأة.

“Adapun sifat letak kumpulan jenazah di depan imam untuk dishalati atas mereka, maka kepala mereka semua diletakkan di sisi kanan imam. Dan sisi tengah mayit wanita diluruskan dengan sisi dada mayit laki-laki agar imam dapat berdiri pada posisi yang tepat sesuai dengan macam mayit. Karena menurut as-Sunnah adalah berdiri di sisi dada mayit laki-laki dan sisi tengah mayit wanita.” (Ad-Durarus Sunniyyah fil Kutubin Najdiyyah: 5/83).

Ulama Salafiyyah Masa Kini

Menurut asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, ulama Madinah masa kini. Beliau ditanya:

السؤال: هل ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جعل رأس الميت في صلاة الجنازة عن يسار الإمام، ورأس المرأة عن يمينه؟ الجواب: كلهم يكونون عن يمينه، مثل وضعهم في القبر، ومثله لو صلى عليهم وهم في القبر، فإن الميت يكون في القبر مستقبل القبلة، وما نعرف شيئاً يدل على خلاف ذلك.

Pertanyaan: “Apakah terdapat keterangan yang shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa beliau menjadikan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam dan kepala mayit wanita di sebelah kanan imam?” Jawab: “Semua kepala mayit diletakkan di sebelah kanan imam seperti ketika diletakkan di kuburan. Demikian pula ketika menshalati mereka ketika mereka sudah dikubur. Maka si mayit di kuburannya menghadap kiblat dan kami tidak mengetahui keterangan yang menyelisihi ini.” (Syarh Sunan Abi Dawud: 17/159).

Adapun al-Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah, ulama besar Saudi Arabia, maka beliau mempunyai pandangan yang berbeda lagi. Beliau berkata:

تنبيه: لا يشترط أن يكون رأس الميت عن يمين الإمام، فيجوز أن يكون عن يسار الإمام ويمينه. خلافاً لما يعتقد بعض العامة من أنه لا بد أن يكون عن يمينه.

“Peringatan: Tidak dipersyaratkan meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam. Sehingga boleh meletakkannya di sisi kiri imam dan juga sisi kanannya. Berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian orang awam yang mengharuskan meletakkan kepala mayit di sisi kanan imam.” (asy-Syarhul Mumti’: 5/317).

Beliau juga menegaskan dalam kesempatan lainnya:

فإن كان ذكرا قام الإمام عند رأسه وإن كانت أنثى قام عند وسطها ولا فرق أن يكون الرأس عن يسار الإمام أو عن يمين الإمام لأنه لم يرد في ذلك سنة معينة ولو أن ذاهب ذهب إلى أن يكون الرأس عن يسار الإمام لتكون جملة الميت عن يمين الإمام لكان له وجه لكننا لا نعلم في هذا سنة فالمسألة سهلة وما ظنه بعض الإمام من أن الميت يكون رأسه عن يمين الإمام فهذا لا أصل له اجعله عن يمينك أو عن يسارك المهم أن الرجل تقف عن رأسه والمرأة عند وسطها

“Jika mayitnya adalah laki-laki, maka imam berdiri di sisi kepalanya. Jika mayitnya wanita, maka imam berdiri di sisi tengahnya. Dan tidak ada bedanya antara posisi kepala mayit di sisi kiri imam atau sisi kanan imam, karena tidak terdapat sunnah tertentu yang menjelaskannya. Dan seandainya seseorang berpendapat bahwa kepala mayit berada di sisi kiri imam agar sebagian besar tubuh mayit berada di sisi kanan imam, maka pendapat tersebut memiliki wajah (sebagaimana pendapat Syafiiyah, pen). Akan tetapi kami tidak mendapati sunnah dalam perkara ini (yang sesuai sunnah di kiri ataukah di kanan, pen). Dan apa yang disangkakan oleh sebagian imam bahwa kepala mayit harus di sebelah kanan imam, maka persangkaan ini tidak ada asalnya. Silakan kamu letakkan kepala mayit di sisi kanan atau sisi kirimu. Yang penting, jika mayit laki-laki, maka kamu berdiri di sisi kepalanya dan jika wanita, maka kamu berdiri di sisi tengahnya.” (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram lil  Utsaimin: 4/47).

ووقوف الإمام والمنفرد على وسط الرجل، وعند منكبي المرأة، ويكون رأس الميت عن يمينه، رجلاً كان أو امرأة، إلا في الروضة الشريفة، فإنه يكون عن يساره ليكون جهة القبر الشريف؛ وأما المأموم فيقف خلف الإمام كما يقف في غيرها من الصلاة. (الفقه على مذاهب الأربعة: 1/475 ط: دار الكتب العلمية)

Imam dan munfarid berdiri di tengah mayit lelaki dan pundak perempuan. Posisi kepala mayit di arah kanan imam, baik laki-laki atau perempuan, kecuali di Raudlah yang mulia. Jika disana, maka kepala mayit berada di arah kiri imam, agar lurus ke arah maqam Rasul yang mulia. Adapun makmum, maka ia berdiri di belakang imam seperti berdiri pada shalat-shalat yang lain. (Al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah; 1/475 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)

وفي البجيرمي ما نصه ويوضع رأس الذكر لجهة يسار الإمام ويكون غالبه لجهة يمينه خلافا لما عليه عمل الناس الآن ويكون رأس الأنثى والخنثى لجهة يمينه على عادة الناس الآن ع ش والحاصل أنه يجعل معظم الميت عن يمين المصلي فحينئذ يكون رأس الذكر جهة يسار المصلي والأنثى بالعكس إذا لم تكن عند القبر الشريف أما إذا كانت هناك فالأفضل جعل رأسها على اليسار كرأس الذكر ليكون رأسها جهة القبر الشريف سلوكا للأدب كما قاله بعض المحققين ا هـ (تحفة المحتاج : 3/156 ط: دار إحياء التراث العربي)

Dalam al-Bujairami disebutkan sebagai berikut: Kepala laki-laki diletakkan di arah kiri imam dan sebagaian besar badan mayit berada di arah kanan imam. Hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan masyarakat saat ini. Dan kepala perempuan dan huntsa di arah kanan imam menurut kebiasaan manusia. Kesimpulannya, sebagian besar badan mayit diposisikan di arah kanan mushalli. Dengan demikian, kepala lelaki berada di arah kiri. Untuk perempuan sebaliknya, jika tidak berada di maqam Rasul. Jika di sana, maka yang lebih afdol adalah meletakkan kepala perempuan di sebelah kiri imam seperti kepala mayit lelaki, agar lurus dengan arah maqam rasul sebagai bentuk adab. Hal ini sebagaimana yang yang dikatakan ulama muhaqqiqin. (Tuhfatul Muhtaj: 3/156 cet. Dar Ihya’ Turats al-Arabi)

Pangkal Perbedaan

Letak perbedaan pendapat mereka adalah pada anggapan terhadap mayit. Apakah mayit itu dianggap sebagai imam ataukah mayit itu dianggap sebagai makmum. Kalangan Syafi’iyyah menganggap bahwa mayit itu dianggap sebagai makmum. Dan barisan makmum bagian kanan lebih utama daripada barisan sebelah kiri. Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

وَعُلِّلَ بِأَنَّ جِهَةَ الْيَمِينِ أَشْرَفُ وَقَضِيَّةُ هَذِهِ الْعِلَّةِ أَنْ يَكُونَ الْأَفْضَلُ فِي الرَّجُلِ الذَّكَرِ جَعْلَهُ عَلَى يَمِينِ الْمُصَلِّي فَيَقِفُ عِنْدَ رَأْسِهِ وَيَكُونُ غَالِبُهُ عَلَى يَمِينِهِ فِي جِهَةِ الْمَغْرِبِ وَهُوَ خِلَافُ عَمَلِ النَّاسِ

“Dan (meletakkan kepala mayit laki-laki di sebelah kiri imam, pen) diberi alasan, bahwa arah kanan adalah lebih utama. Konsekuensi dari alasan ini bahwa yang paling utama dari mayit laki-laki adalah meletakkannya di sisi kanan orang yang sholat. Maka ia berdiri di sisi kepala mayit laki-laki dan sebagian besar tubuhnya berada di sebelah kanannya di sisi timur. Dan ini menyelisihi perbuatan manusia.” (Tuhfatul Muhtaj ala Syarhil Minhaj: 11/186).

Lain Syafi’iyyah, lain lagi Hanabilah.Mereka menganggap mayit sebagai imamsehingga kebanyakan mereka meletakkan kepala mayit di sebelah kanan seperti kebiasaan manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menukilkan pendapat Abul Ma’ali dari kalangan Hanabilah:

لَوْ صَلَّى عَلَى جِنَازَةٍ وَهِيَ مَحْمُولَةٌ عَلَى الْأَعْنَاقِ أَوْ عَلَى دَابَّةٍ أَوْ صَغِيرٍ عَلَى يَدَيْ رَجُلٍ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّ الْجِنَازَةَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَامِ

“Jika seseorang menshalati jenazah sedangkan ia masih dibawa di atas leher-leher, atau di atas binatang atau masih dibawa seseorang, maka tidak boleh (dishalati, pen). Ini karena jenazah itu dianggap sebagai imam.” (al-Fatawa al-Kubra: 5/360).

Dan perbedaan anggapan (imam ataukah makmum) ini tidaklah cukup melegakan di dalam memutus perbedaan pendapat selagi tidak didasarkan pada dalil yang kuat.

Jika ada ulama yang menyamakan posisi mayit ketika dishalatkan dengan posisi mayit ketika dikuburkan dengan berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam:

وَاسْتِحْلَالُ الْبَيْتِ الْحَرَامِ قِبْلَتِكُمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا

“Dan (di antara 9 dosa besar adalah) menghalalkan Baitul Haram, kiblat kalian dalam keadaan hidup ataupun mati.” (HR. Abu Dawud: 2490, al-Baihaqi dalam al-Kubra: 6970 (3/408) dan ath-Thabrani dalam al-Kabir: 13789 (17/47).

Maka saya menyatakan: Makna ‘kiblat kalian dalam keadaan hidup’ adalah menghadap kiblat ketika kalian melakukan shalat, bukan dalam semua keadaan orang hidup, seperti makan dan minum, berkendara, mengobati pasian dan sebagainya. Demikian pula makna ‘ataupun mati’. Maksudnya adalah mayit dikubur dalam keadaan menghadap kiblat. Dan tidak semua keadaan mayit diharuskan menghadap kiblat seperti ketika dimandikan, dikafani, dishalati dan ditandu di atas keranda. Al-Allamah asy-Syaukani rahimahullah berkata:

وقد استدل بهذا على مشروعية توجيه المريض إلى القبلة ليموت إليها لقوله صلى الله عليه وسلم: “قبلتكم أحياء وأمواتا” وفيه نظر لأن المراد بقوله: “أحياء” عند الصلاة وبقوله: “أمواتا” في اللحد، والمحتضر حي غير مصل فلا يتناوله الحديث وإلا لزم وجوب التوجه إلى القبلة على كل حي وعدم اختاصه بحال الصلاة وهو خلاف الإجماع

“Dan hadits di atas dijadikan dalil atas disyariatkannya menghadapkan orang yang menghadapi kematian (naza’, pen) ke arah kiblat. Dan pendalilan ini perlu ditinjau lagi, karena maksud sabda beliau“dalam keadaan hidup” adalah ketika shalat dan yang dimaksud sabda beliau“dalam keadaan mati” adalah di liang lahat. Orang yang sedang menghadapi kematian adalah masih hidup dan tidak sedang melakukan shalat, sehingga tidak termasuk hadits ini. Dan jika tidak, maka setiap orang hidup akan diwajibkan menghadap kiblat dan tidak dikhususkan ketika shalat saja. Dan ini menyelisihi ijma’.” (ad-Dararil Mudliyyah: 1/130-131).

Sesorang yang melakukan shalat jenazah boleh meletakkan kepala mayit di sisi kanan ataupun di sisi kirinya. Maka hendaknya dalam suatu tempo ia meletakkan kepala mayit di sisi kanannya dan dalam tempo lain ia meletakkan kepala mayit lain di sisi kirinya, agar orang awam mengerti bahwa meletakkan kepala mayit di sisi kanan bukanlah suatu sunnah.

Hendaknya setiap orang bersikap lapang dada terhadap perbedaan pendapat para ulama dalam masalah ini, apalagi bersikap keras dan memusuhi. Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:

لَا أُعَنِّفُ مَنْ قَالَ شَيْئًا لَهُ وَجْهٌ وَإِنْ خَالَفْنَاهُ

“Aku tidak akan bersikap keras terhadap orang yang berpendapat sesuatu masalah yang masih mempunyai sisi pendalilan, meskipun kami menyelisihinya.” (al-Furu’ li Ibni Muflih: 1/172).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...