Minggu, 31 Oktober 2021

Janganlah Meludah Sembarangan


Seorang muslim, sikapnya selalu ditimbang dengan dalil. Karenanya, ia paling semangat menuntut ilmu, untuk diamalkan dalam kehidupan keseharian. Diam dan geraknya selalu terkait dengan boleh atau tidak, pahala ataukah dosa.

Semakin ia terikat dengan hukum syariat, ketika itu pula jiwa penghambaannya kepada Allah semakin besar. Pada titik ideal, ia akan sampai kepada derajat Ihsan, mencapai muraqabatullah. Yaitu merasa selalu diawasi oleh Allah.

Dahulu, Sufyan bin Said Ats Tsauri pernah mengatakan:

إنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَحُكَّ رَأْسَكَ إلَّا بِأَثَرٍ فَافْعَلْ

“Apabila engkau mampu untuk tidak menggaruk kepalamu kecuali dengan dalil, maka lakukanlah!” [Al Jami’ li Akhlaqi Ar Rawi].

Memang, Islam adalah agama yang sempurna. Semuanya telah gamblang dijelaskan di dalamnya. Dari aktivitas paling ringan sampai urusan terbesar yang menyangkut umat seluruhnya. Semuanya tergariskan dengan jelas di sana. Masalahnya, kita mau belajar atau tidak.

Meludah, juga buang dahak pun ada aturannya. Bukan hanya sisi adab atau tinjauan kesehatan, bahkan syariat mengatur sedemikian rupa untuk maslahat bersama. Lebih dari itu, hikmahnya adalah untuk memuliakan syiar Islam. Nah, bagaimana keterangan dan pembahasannya seputar adab berikut sedikit bahasan tentangnya.

Ada beberapa hadits yang berkaitan dalam permasalahan ini, yaitu :

Hadits Pertama

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ، فَقَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّي فَلَا يَبْصُقُ قِبَلَ وَجْهِهِ، فَإِنَّ اللَّهَ قِبَلَ وَجْهِهِ إِذَا صَلَّى "

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ludah di dinding kiblat (masjid), lalu beliau menggosoknya (agar hilang). Kemudian menghadap ke orang-orang dan bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian shalat, janganlah meludah ke arah depan karena Allah berada di hadapannya ketika seseorang sedang shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 406, Muslim no. 547, An-Nasaa’iy no. 724, dan yang lainnya].

Hadits Kedua

عَنْ حُذَيْفَةَ أَظُنُّهُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ تَفَلَ تُجَاهَ الْقِبْلَةِ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَفْلُهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ....... "

Dari Hudzaifah – aku menyangkanya – dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang meludah ke arah kiblat, maka ia akan datang di hari kiamat dengan membawa ludah di antara dua matanya….” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3824, Ibnu Khuzaimah no. 925 & 1314 & 1663, Ibnu Hibbaan no. 1639, dan yang lainnya; dishahihkan sanadnya oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij-nya terhadap Shahiih Ibni Hibbaan 4/518].

Hadits Ketiga

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ، وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا "

Dari Anas bin Maalik, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Meludah di masjid adalah kesalahan, dan kaffaratnya adalah menimbunnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 415, Muslim no. 552, Abu Daawud no. 475, At-Tirmidziy no. 572, dan yang lainnya].

Hadits Keempat

عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ، فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ، فَقَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ، فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ، ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ، ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ، فَقَالَ: أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا "

Dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di kiblat (dinding masjid). Beliau merasa terganggu akan hal tersebut hingga terlihat di wajah beliau. Lalu beliau berdiri dan menggosoknya dengan tangan beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian apabila berdiri dalam shalatnya, maka ia sedang bermunajat kapada Rabbnya – atau Rabbnya berada antara dia dan kiblat - . Maka, janganlah salah seorang di antara kalian meludah ke arah kiblat. Akan tetapi hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kakinya”. Lalu beliau memegang ujung selendangnya dan meludah padanya, kemudian menggosok-gosokkan kainnya tersebut. Setelah itu beliau bersabda : “Atau melakukan yang seperti ini” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 405, Muslim no. 551, dan yang lainnya].

Hadits Kelima

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي جِدَارِ الْمَسْجِدِ، فَتَنَاوَلَ حَصَاةً فَحَكَّهَا، فَقَالَ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ، فَلَا يَتَنَخَّمَنَّ قِبَلَ وَجْهِهِ، وَلَا عَنْ يَمِينِهِ، وَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى "

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’iid : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat dahak di dinding masjid. Lalu beliau mengambil kerikil dan membersihkannya (dengannya). Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian ingin membuang dahak, janganlah membuangnya ke arah depan (kiblat). Dan hendaklah ia meludah ke sebelah kirinya atau di bawah kaki kirinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 409 & 411].

Hadits Keenam

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " عُرِضَتْ عَلَيَّ، أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا، الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا، النُّخَاعَةَ، تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ، لَا تُدْفَنُ "

Dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Diperlihatkan kepadaku amal-amal umatku yang baik dan yang buruk. Lantas aku dapati di antara amal-amal yang baik tersebut adalah menghilangkan gangguan dari jalan. Dan aku dapati di antara amal-amal yang buruk tersebut adalah meludah di masjid tanpa menguburnya (membersihkannya)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 553, Ibnu Maajah no. 3683, dan yang lainnya].

Hadits Ketujuh

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِذَا تَنَخَّمَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ، فَلْيُغَيِّبْ نُخَامَتَهُ، أَنْ تُصِيبَ جِلْدَ مُؤْمِنٍ أَوْ ثَوْبَهُ فَتُؤْذِيَهُ "

Dari Sa’d, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang di antara kalian berdahak di masjid, hendaklah ia hilangkan dahaknya itu agar tidak mengenai kulit atau pakain orang lain sehingga menyakitinya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/179, Ibnu Khuzaimah no. 1311, dan yang lainnya; hasan].

Pada bahasan hadits ini, kata ludah memiliki ragam variasi kata, sebagian hadits menyampaikannya dengan kata Al-Bashaq, burzaq, nuha’ah, dan At-Tapl. Meskipun demikian, maknanya tetap sama, yakni ludah. Disini ada perbedaan makna antara tafl dan burzaq. Bahwa tafl lebih ringan dari burzak. Meski demikian secara umum tetap dipahami sama, yakni kata-kata diatas menunjuk pada ludah , yakni air liur yang keluar dari mulut.

Kata masjid dalam hadits-hadits di atas berarti tempat ibadah, yakni sebuah bangunan yang biasa dijadikan tempat untuk melakukan shalat berjama’ah secara rutin. Dalam konteks kontemporer ada yang dinamakan mushalla, meski demikian mushalla bukanlah mesjid begitupun sebaliknya. Dua kata ini sangat berbeda. Dalam hadits ini yang disebutkan adalah mesjid.

Ada perbedaan aktivitas disini, yakni meludah di mesjid dalam konteks dan tidak dalam konteks sahalat. Jika pada saat shalat maka meludahnya harus ke sebelah kiri atau ke bawah dan dilarang meludah ke kanan. Ada perbedaan alasan antara imam nawawi dan ibnu hajar. Nawawi dengan alasan bahwa kanan sebagai penghormatan, sedangkan ibnu hajar melarang ke kanan karena di kanan ada malaikat.

Kata khati’ah menunjukan bahwa perbuatan tersebut adalah kesalahan. Meludah dalam keadaan demikian adalah dosa secara mutlaq dan dosanya berlipat. Namun, dosa disini adalah apabila ludah tersebut tidak dikubur.kata dosa dalam hal ini juga tidak dipahami hanya dari itu saja, melainkan karena adanya kafarat yang harus dibayar atau dilakukan bagi orang yang meludah di mesjid. Karena itu maka perbuatan meludah di mesjid adalah dosa dan harus di denda.

 Ada dua perbuatan yang dijelaskan dalam hal ini, yakni meludah di mesjid adalah kesalahan dan yang kedua adalah perintah meludah ke kiri atau ke bawah kaki. Menurut imam nawawi, yang pertama adalah umum, dan kedua khusus. Sedangkan pendapat kebanyakan dan paling kuat adalah pendapat Al-Qadi, yakni yang pertama adalah khusus dan kedua adalah umum. Berdasarkan hal itu, maka khusus dalam artian bahwa meludah di mesjid adalah dosa bagi orang yang tidak menguburnya. Sedangkan perkataan yang kedua adalah umum, yakni meludah jangan ke sebelah kanan.Dosa yang dijelaskan disini adalah bagi orang yang meninggalkannya dengan alasan bahwa ludah tersebut bisa menyakiti atau mengganggu muslim lainnya.

Dari segi kualitas, hadits-hadits yang menjelaskan tentang meludah di mesjid adalah hadits shahih, berarti hadits tersebut bisa dijadikan sebagai hujjah. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa meludah adalah perbuatan dosa atau istilah lainnya kesalahan, dan dilanjutkan dengan penjelasan kafaratnya, yakni menguburnya.

Dalam hadits ini jika dianalisis berdasarkan kebahasaan maka bisa kita lihat bahwa kalimat hadits ini tidak mengandung unsur larangan yang beraplikasi pada keharaman. Kalimat hadits disampaikan dengan kalimat khabariyah yang menggunakan ataf bayan. Maka dalam hal ini ataf bayan berpungsi sebagai penjelas sebagaimana dalam redaksi tersebut bahwa dua kalimat khabariyah tersebut saling menjelaskan satu sama lain. Dalam hadits ini ada kata kafarat yang artinya denda. Dalam istilah hukum atau denda dimaksudkan untuk menebus suatu kesalahan, maka dalam konteks ini pula denda yang dimaksud adalah penebus kesalahan meludah di mesjid. Dari hal tersebut jelas bahwa meskipun dalam konteks kebahasaan tidak dijumpai larangan, namun istilah kafarat sebagai denda cukup bisa menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Hukum ini sesuai dengan syarah hadits mengandung alasan (Ilat) menyakiti orang lain. Karena ludah bagaimanapun bisa membuat orang merasa jijik.

Maka dari hal ini bisa dipahami lebih lanjut bahwa meludah di mesjid bukanlah kebiasaan yang baik atau boleh dilakukan seenaknya. Banyak ayat yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan serta menyuruh masuk mesjid dengan pakaian bersih. dari keterangan tersebut bisa diambil sebuah alasan untuk melakukan perbuatan ini, yakni hanya sebuah keterpaksaan saja, jika dalam konteks tidak demikian, maka kurang baik untuk dilakukan. Bukan berarti juga karena dendanya ringan perbuatan ini dianggap sepele. Karena meludah di mesjid bagaimanapun mengotori mesjid, maka tidak boleh dilakukan kecuali dalam keadaan terpaksa.

Dari berbagai penjelasan di atas bisa disimpulkan makna hadits tersebut adalah larangan tentang meludah di mesjid dengan alasan menyakiti orang lain, karena alasan itulah perbuatan tersebut dikatakan sebagai dosa. Namun apabila terpaksa melakukannya, maka dendanya adalah menguburnya.

Terlepas dari masalah hukum tadi, bahwasanya bila hadits ini ditelusuri dengan pendekatan sosiologis, maka akan terjadi perubahan praktek atas denda ini. Pada mulanya, mesjid zaman Nabi hanya terdiri atas tanah, tanpa kramik atau tembok dan tidak berdinding, hanya atap dan tiang di samping-sampingnya. Maka denda dalam hukum ini adalah mengubur. Pertanyaan kemuadian adalah, “Bagaimana jika kondisi mesjid telah berusaha mengikuti konteks budaya? apakah masih dikubur dengan tanah?”

Untuk menjawab hal ini tentu perlu diberikan alasan logisnya. Pada dasarnya manusia bertindak sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. Seperti bisa dipahami bahwa peperangan zaman dahulu menggunakan kuda, onta dan senjata sederhana, namun tidaklah demikian dengan sekarang. Peperangan sudah menggunakan alat-alat yang canggih. Dengan hal tersebut maka manusia dalam bertindak akan selalu dihadapkan dengan kondisi yang ia hadapi. Hal ini adalah suatu pilihan rasional, atau pilihan yang didsarkan atas nilai yang dicari dengan pertimbangan. Maka berdasarkan hal itu, tindakan mengubur juga dihadapkan dengan kondisi yang dihadapi saat itu. Dan pada saat itu yang berlaku dan yang bisa dilakukan memang demikian. Penggunaan air juga tidak memungkinkan karena daerah arab sangat tandus dan susah air, atau sering mengalami kekeringan.

Jika hal ini telah berubah, tindakan demikian tidaklah selaras lagi. Kondisi mesjid yang sudah sangat jauh dari zaman nabi sudah bisa dilihat. Bangunan mesjid sangatlah mewah dan tidak lagi menggunakan tanah, bahkan sudah memakai karpet, bukan keramik saja. Hal ini sudah sangat tidak memungkinkan adanya pelaksanaan denda mengubur bagi kafarat meludah di mesjid. Oleh karena itu hukum mengubur akan berganti menjadi membersihkan dengan air dan lap. Karena pilihan rasional yang bisa dilakukan sesuai dengan kondisi yang dihadapi adalah dengan hal itu.

Lebih lanjutnya, budaya masyarakat sudah berubah sangat jauh, kebiasaan meludah di mesjid sudah dianggap perbuatan yang kurang sopan karena memang kondisi sudah berubah jauh. Bila dahulu meludah adalah hal yang biasa karena kondisi mesjid masih menggunakan pasir sebagai alasnya, maka sekarang perbuatan meludah di mesjid sudah dianggap tidak sopan dengan melihat mesjid yang sudah lagi tidak berpasir. Hal ini memperlihatkan adanya perubahan hukum dan adat yang terjadi akibat perubahan budaya masyarakat.

Kebiasaan meludah bagi sebagian masyarakat bisa dianggap sudah kurang baik sekalipun dilaksanakan diluar ruangan. Anggapan masyarakat ini sekalipun dalam adat bisa dijadikan sebagai hujjah karena tidak bertentangan dengan nash-nash yang menyuruh kita untuk menjaga kebersihan apalagi di mesjid tempat beribadah. Dari hal ini, maka meludah di mesjid bisa saja memang dilarang karena sudah tidak sesuai dengan norma yang berlaku saat ini dimana masyarakat sudah tidak lagi melakukannya dan bahkan meninggalkannya. Penggunaan kalimat batas suci seperti halnya menandakan bahwa mesjid sangat dijaga kebersihannya. Memang ludah bukanlah barang kotor atau najis. Ulama juga mengatakan demikian bahwa ludah bukanlah najis, tapi perbuatan ini sudah dianggap salah oleh masyarakat dengan alasan mengotori mesjid dan tidak sopan atau melanggar etika yang berlaku. Dari paparan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa meludah di mesjid juga tidak lagi sejalan dengan kondisi yang dihadapi.

AIR LIUR NABI MUHAMMAD SHALLALLU ALAIHI WASALLAM

Bagi sebagian kalangan, air liur mungkin menjijikkan. Tetapi berbeda jika air liur itu berasal dari mulut orang paling mulia ini. disebutkan dalam sebuah riwayat:

عن سهل بن سعد رضي الله عنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يفتح الله على يديه فقاموا يرجون لذلك أيهم يعطى فغدوا وكلهم يرجو أن يعطى فقال أين علي فقيل يشتكي عينيه فأمر فدعي له فبصق في عينيه فبرأ مكانه حتى كأنه لم يكن به شيء  (الحديث)

Artinya: “Dari sahal bin saad radliyaAllhu anhu bahwa dia mendengar Nabi bersabda ketika perang khoibar, saya akan berikan bendera ini kepada seseorang yang Allah akan memberikan kemenangan di tangannya. Maka para sahabat berdiri dan berharap akan mendapatkan kehormatan itu. Lantas Nabi bersabda, dimanakah ali berada?. Para sahabat menjawab, dia sedang sakit mata wahai Nabi!. Maka Nabi memanggil Ali lalu diludahilah kedua mata Ali sampai akhirnya mata Ali sembuh seperti sedia kala” Al-hadits.

Dalam hadits lain disebutkan:

وعن عبد الله بن بريدة قال : سمعت أبي يقول : إن رسول الله صلى الله عليه و سلم تفل في رجل عمرو بن معاذ حين قطعت رجله فبرأ .رواه ابن حبان و إسناده حسن

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah berkata, saya mendengar bapak saya berkata bahwa nabi Muhammad pernah meludahi [tafala: meludahi tanpa keluar ludah] seorang laki-laki bernama Umar bin Mu’adz ketika kakinya patah dan akhirnya sembuh”.

Bahkan lebih ekstrim lagi para sahabat Nabi dahulu berebut dan hampir saling bunuh gara-gara berebut atsar atau barang bekas Nabi Muhammad shallaAllahu alihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang panjang mengenai perang Hudaibiyyah disebutkan:

عن المسور بن مخرمة، ومروان بن الحكم : يصدق كل واحد منهما حديث صاحبه قالا: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم زمان الحديبية في بضع عشرة مائة من أصحابه .... ثم إن عروة جعل يرمق النبي صلى الله عليه وسلم بعينه، قال: فوالله ما تنخم رسول الله صلى الله عليه وسلم نخامة إلا وقعت في كف رجل منهم، فدلك بها وجهه وجلده، وإذا أمرهم ابتدروا أمره، وإذا توضأ كادوا يقتتلون على وضوئه، وإذا تكلموا، خفضوا أصواتهم عنده، وما يحدون إليه النظر تعظيما له ( الحديث).

Artinya: “Diriwayatkan dari Miswar bin makhzumah dan Marwan bin Hakam yang mereka saling membenarkan perkataan temannya, berkata: Rasulullah keluar bersama seribuan lebih sahabatnya dalam perang Hudaibiyah… Kemudian Urwah mulai memperhatikan para sahabat Nabi dengan kedua matanya. Ia berkata,"Demi Allah! Tidaklah Rasulullah mengeluarkan dahak, kecuali mengenai satu telapak seorang dari mereka, lalu menggosokkannya ke wajah dan kulitnya. Dan jika beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka, maka mereka segera melaksanakannya. Juga jila beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, maka mereka seakan-akan berperang memperebutkan sisa air wudhunya. Dan jika berbicara, mereka merendahkan suara-suara mereka. Mereka tidak memandang langsung Rasulullah karena mengagungkannya.”

Sama sekali ini bukanlah Ghuluw atau berlebih-lebihan dalam mencintai Nabi. Para shahabat pun bertabarruk dengan atsar-atsar Nabi Muhammad ShallaAllahu alaihi wa sallam.  bagaimana para sahabat dahulu berlomba mendapatkan barang dari Nabi InsyaAllah.

Sesuatu yang sepele tak semestinya disepelekan. Jangan sampai di akhirat nanti kita malu gara-gara ada ludah menempel di muka. Memperjuangkan wong cilik juga tak harus dengan cara anarkis apalagi menggunakan cara-cara yang memang dilarang syariat, seperti menghina, mengumpat, menjatuhkan, memfitnah, atau merusak fasilitas umum. Memperbaiki keburukan tak seharusnya dengan hal yang buruk pula. Dan yang penting lagi, jangan meludah di sembarang tempat apalagi di muka orang lain.

Adab Mengangkat Tangan Dalam Berdoa


Mengangkat tangan ketika sedang berdoa adalah hal yang disyariatkan dalam Islam. Perbuatan ini merupakan salah satu adab dalam berdoa dan juga nilai tambah yang mendukung terkabulnya doa.

Ketika berdoa dianjurkan dengan mengangkat tangan. Anjuran ini didasarkan pada hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مَيْمُونٍ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ عَنْ سَلْمَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ رَبَّكُمْ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهِ فَيَرُدَّهُمَا صِفْرًا أَوْ قَالَ خَائِبَتَيْنِ (رواه ابن ماجه: الدعاء: رفع اليدين فى الدعاء)

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyrin Bakar bin Khalafin, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Adiyyi dari Ja'far ibnu Maimun dari Abu Utsman ra dari Salman dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Tuhanmu adalah "sangat malu" lagi Maha Pemurah, Dia merasa malu kepada hamba-Nya yang menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya, kemudian ditolak-Nya sama sekali atau sia-sia." [HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi]

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab ad-Du'a, Bab Raf'u al-Yadain fi ad-Du'a dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dalam Kitab ad-Da'awaat 'an Rasulillah, Bab fi Du'a an-Naby. Imam al-Hafidz Abil Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdur Rahim al-Kafury dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami' at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya mengangat tangan ketika berdo'a, dan hadits yang menunjukkan hal tersebut jumlahnya cukup banyak.

Tidak kami ketahui adanya perbedaan diantara para ulama bahwa pada asalnya mengangkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah dan merupakan adab dalam berdoa. Dalil-dalil mengenai hal ini banyak sekali hingga mencapai tingkatan mutawatir ma’nawi. Diantaranya hadist Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا، إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya apa yang Allah perintahkan kepada orang mukmin itu sama sebagaimana yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan kerjakanlah amalan shalih’ (QS. Al Mu’min: 51). Alla Ta’ala berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang telah Kami berikan kepadamu’ (QS. Al Baqarah: 172). Lalu Nabi menyebutkan cerita seorang lelaki yang telah menempuh perjalanan panjang, hingga sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Ia menengadahkan tangannya ke langit dan berkata: ‘Wahai Rabb-ku.. Wahai Rabb-ku..’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR. Muslim)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah itu sangat pemalu dan Maha Pemurah. Ia malu jika seorang lelaki mengangkat kedua tangannya untuk berdoa kepada-Nya, lalu Ia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa” (HR. Abu Daud 1488, At Tirmidzi 3556).

As Shan’ani menjelaskan: “Hadits ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat kedua tangan ketika berdoa. Hadits-hadits mengenai hal ini banyak” (Subulus Salam, 2/708)

Demikianlah hukum asalnya. Jika kita memiliki keinginan atau hajat lalu kita berdoa kepada Allah Ta’ala, kapan pun dimanapun, tanpa terikat dengan waktu, tempat atau ibadah tertentu, kita dianjurkan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa.

Banyak hadits-hadits yang menyebutkan praktek mengangkat tangan dalam berdoa dalam beberapa ritual ibadah, diantaranya:

1. Ketika berdoa istisqa dalam khutbah

Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu berkata:

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

2. Ketika berdoa qunut dalam shalat

Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:

فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad 12402, dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)

Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi, diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi’ :

صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء

“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya” (HR. Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)

3. Ketika melempar jumrah

Berdasarkan hadits:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَمَى الجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنًى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا، فَوَقَفَ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ، رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، وَكَانَ يُطِيلُ الوُقُوفَ، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ اليَسَارِ، مِمَّا يَلِي الوَادِيَ، فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو، ثُمَّ يَأْتِي الجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ العَقَبَةِ، فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ، يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika melempar jumrah yang berdekatan dengan masjid Mina, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir pada setiap lemparan lalu berdiri di depannya menghadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tanganya. Berdiri di situ lama sekali. Kemudian mendatangi jumrah yang kedua, lalu melamparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu menepi ke sisi kiri Al Wadi. Beliau berdiri mengahadap kiblat, berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau mendatangi Jumrah Aqabah, beliau melemparnya dengan tujuh batu kecil. Beliau bertakbir setiap lemparan, lalu pergi dan tidak berhenti di situ” (HR Bukhari 1753)

4. Ketika wukuf di Arafah

Diceritakan oleh Usamah bin Zaid Radhiallahu’anhu:

 كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ «فَرَفَعَ يَدَيْهِ يَدْعُو

“Aku pernah dibonceng oleh Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam di Arafah. Di sana beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa” (HR. An Nasa’i 3993, Ibnu Khuzaimah 2824)

Dan masih banyak dalil yang lain.

Adapun mengangkat tangan ketika berdoa yang terkait suatu ritual ibadah, hukumnya kembali pada dalil-dalil ibadah tersebut. Jika terdapat dalil bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa mengangkat tangan dalam ibadah tersebut, maka dianjurkan mengangkat tangan. Jika tidak ada dalil, maka tidak disyari’atkan mengangkat tangan.

Karena dengan mengangkat tangan ketika berdoa yang ada dalam suatu ibadah, tanpa adanya dalil bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ini berarti menambah tata cara ibadah tersebut. Contohnya, jika kita mengangkat tangan ketika membaca doa istiftah dalam shalat (yang dibaca sebelum Al Fatihah), padahal Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam tidak mencontohkan demikian, maka kita menambah 1 tata cara dalam shalat.

Tatacara Mengangkat Tangan Dalam Berdoa

Banyak sekali tata cara mengangkat tangan dalam berdoa yang ada dalam riwayat-riwayat dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat. Para ulama pun berselisih pendapat dalam sebagian tata cara tersebut namun khilaf ini merupakan khilaftanawwu’ (variasi), dibolehkan mengambil mana saja dari variasi yang ada. Namun mengingkat banyak sekali praktek mengangkat tangan dalam berdoa yang beredar di masyarakat, hendaknya kita mencukupkan diri pada praktek-praktek mengangkat tangan yang dijelaskan oleh para ulama dan tidak mengikuti cara-cara yang tidak diketahui asalnya.

Jika kita kelompokkan, praktek-praktek mengangkat tangan dalam berdoa bisa dibagi menjadi tiga. Sebagaimana pembagian dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhuma :

المسألة أن ترفع يديك حذو منكبيك أو نحوهما والاستغفار أن تشير بأصبع واحدة والابتهال أن تمد يديك جميعا

“Al Mas’alah adalah dengan mengangkat kedua tanganmu sebatas pundak atau sekitar itu. Al Istighfar adalah dengan satu jari yang menunjuk. Al Ibtihal adalah dengan menengadahkan kedua tanganmu bersamaan” (HR. Abu Daud 1489)

Jenis pertama:
Al Mas’alah. Merupakan jenis yang umumnya dilakukan dalam berdoa. Bentuk ini juga yang digunakan ketika membaca doa qunut, istisqa dan pada beberapa rangkaian ibadah haji. Yaitu dengan membuka kedua telapak tangan dan mengangkatnya sebatas pundak, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu ‘Abbas. Juga berdasarkan hadits:

إِذَا سَأَلْتُمُ اَللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلاَ تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا

“Jika engkau meminta kepada Allah, mintalah dengan telapak tanganmu, jangan dengan punggung tanganmu” (HR. Abu Daud 1486)

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai detail bentuknya:

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa kedua telapak tangan dibuka namun kedua tidak saling menempel, melainkan ada celah diantara keduanya. (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)

Ulama Syafi’iyyah mengatakan telapak tangan mengarah ke langit dan punggung tangan ke arah bumi, boleh ditempelkan ataupun tidak. Ini dilakukan dalam doa untuk mengharapkan terkabulnya sesuatu. Sedangkan untuk mengharapkan hilangnya bala, punggung tangan yang menghadap ke langit, telapak tangan mengarah ke bumi (yaitu Al Ibtihal). (Lihat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)

Sedangkan Hanabilah berpendapat kedua tangan ditempelkan berdasarkan hadits:

كَانَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم إِذا دَعَا ضم كفيه وَجعل بطونهما مِمَّا يَلِي وَجهه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berdoa beliau menempelkan kedua telapak tangannya dan melihat pada kedua telapak tangannya” (HR. Ath Thabrani 5226, sanad hadits ini dhaif sebagaimana dikatakan oleh Al ‘Iraqi dalam Takhrijul Ihya 1/326). (LihatAl Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 45/266)

Jenis kedua:
Al Istighfar. Yaitu dengan mengangkat tangan kanan dan jari telunjuk menunjuk ke atas. Syaikh Shalih Alu Asy Syaikh mengatakan: “Cara ini khusus bagi khatib yang berdiri. Jika ia berdoa, cukup jari telunjuknya menunjuk ke atas. Ini simbol dari doa dan tauhidnya. Tidak disyariatkan bagi khatib mengangkat kedua tangannya (ketika berdoa) jika ia berkhutbah sambil berdiri di atas mimbar atau di atas benda lainnya, kecuali jika sedang berdoa istisqa (maka boleh mengangkat kedua tangan)” (Syarh Arba’in An Nawawiyyah, 1/112).

Termasuk dalam jenis ini, khatib jum’at yang membaca doa, yang sesuai sunnah adalah dengan mengacungkan telunjuknya ke langit ketika sedang berdoa.

Dalil dari jenis ini diantaranya hadits:

عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ، قَالَ: رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ، فَقَالَ: «قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ»

“Dari ‘Umarah bin Ru’aybah, ia berkata bahwa ia melihat Bisyr bin Marwan mengangkat kedua tangannya (ketika menjadi khatib) di atas mimbar. ‘Umarah lalu berkata kepadanya: ‘Semoga Allah memburukkan kedua tanganmu ini, karena aku telah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika menjadi khatib tidak menambah lebih dari yang seperti ini: (Umarah lalu mengacungkan jari telunjuknya)‘” (HR. Muslim, 847)

Jenis ketiga:
Al Ibtihal. Yaitu dengan bersungguh-sungguh mengangkat kedua tangan ke atas dengan sangat tinggi hingga terlihat warna ketiak. Boleh juga hingga punggung tangan menghadap ke langit dan telapaknya menghadap ke bumi. Jenis ini dilakukan ketika keadaan benar-benar sulit, mendapat musibah yang sangat berat, sedang sangat-sangat mengharapkan sesuatu, atau berdoa dalam keadaan sangat berduka, atau ketika istisqa (memohon hujan).

Diantara dalil dari jenis ini adalah hadits Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :

كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه

“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895)

Juga dalam hadits lain dari Anas bin Maalik Radhiallahu’anhu:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَسْقَى، فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ

“Pernah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ber-istisqa (meminta hujan), beliau mengarahkan punggung tangannya ke langit” (HR. Muslim 895)

Sepenggal Sejarah Sesepuh Pondok Somalangu


SUMBERADI merupakan sebuah desa yang cukup tua di Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Nama Sumberadi sendiri muncul pada tahun 1950 pasca tragedi AOI (Angkatan Oemat Islam) berlangsung. Karena nama sebelumnya yakni Somalangu, namun untuk menghilangkan jejak sejarahnya, maka desa ini diganti nama. Semenjak saat itu orang banyak yang tidak tahu mengenai Sumberadi itu daerah mana, dan biasanya masyarakat, khususnya Kebumen lebih akrab menyebut Semlangu dari pada nama Somalangu itu sendiri.

Konon Sumberadi adalah gabungan tiga desa yakni Semlangu Wetan, Semlangu Kulon, dan Kemejing. Dan dikenal dengan beberapa wilayah hingga saat ini, seperti Semlangu Tengah, Wetanan, Sitontong, Mbalong, Ndukuh, Kauman, Jembrang, Kemejing, Plered, Karang Wetan, Bojong, dan wilayah pondok masih bernama Somalangu seperti aslinya. Namun hanya beberapa nama tempat tersebut yang diakui sebagai pedukuhan di data Sensus penduduk Somalangu. Tetapi bagi masyarakat Somalangu nama-nama pedukuhan itu mempunyai asal muasal dan cerita tersendiri secara turun temurun. Menurut masyarakat Somalangu menyebut Sumberadi itu bagaikan Pusatnya Ilmu, sebab dari zaman dahulu sudah terdapat beberapa peradaban kuno, baik pra Islam maupun saat Islam itu datang.

Beberapa bukti Arkeologi tak dapat dibantahkan, karena beberapa peninggalan kuno masih ada sampai saat ini. Diantaranya, Situs Candi Yoni dan Lingga yang masih utuh walau dimakan zaman sejak abad ke-8M. Di situs ini terdapat dua Candi Yoni dengan empat Lingga yang berbeda tempat. Konon cerita lokal masyarakat Somalangu, mengatakan bahwa dahulu masih terdapat belasan reruntuhan candi, namun kini tinggal dua saja yang tersisa. Dan tempat ini dahulu bernama "Alang Alang Wangi" yang dikuasai oleh Resi Pucuk Laras. Namun menurut Versi sejarah Bagelan, tempat ini dikuasai oleh Ki Buyut Somalangu cucu Ki Buyut Salingga, yang konon putri Ki Buyut Somalangu diperistri oleh Raja dari Medang Kawulan, Cikal bakal Kerajaan Mataram Kuno.

Kedua, Di Somalangu terdapat Masjid dan Pondok Pesantren yang usianya sudah 500 tahun lebih. Pondok ini didirikan pada 25 Sya'ban 879H atau 4 Januari 1475M oleh Syaikh As_Sayyid Abdul Kahfi Al-Hasani yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Beliau datang ke Pulau Jawa pada masa pemerintahan Prabu Kertawijaya Majapahit dan se-Zaman dengan Walisongo. Beliau baru mendirikan Pondok Somalangu sesudah berdakwah selama 27 tahun di tanah Jawa.

Di Somalangu juga terdapat beberapa maqam para leluhur yang sudah bermukim ratusan tahun dan para Ulama lainnya. Diantaranya ; Maqam Syaikh Abdul Kahfi Al-Awwal, Maqam Syaikh Ibrohim Sitontong, Maqam Mbah Ketayasa, Maqam Syaikh Abdul Kahfi At-Tsani, Maqam Syarifah Ummu Kultsum Abdul Kahfi Tsani, Maqam Syaikh Muhammad Mut'hi Abdul Hayyi, Maqam Syaikh Thoifur Abdurrahman, Maqam Syaikh Muhammad Syafi'i dan lainnya.

Asal muasal nama Somalangu itu sendiri sebenarnya dari titah Raja Demak Raden Fatah kepada Sayyid Abdul Kahfi Al-Hasani atas jasanya membantu menyelesaikan permasalahan pengikut Syaikh Siti Jenar pada saat itu. Kata yang berasal dari bahasa arab "Tsuma'dau" yang berarti silahkan anda menempati. Namun pada masa itu masyarakat Jawa masih awwam dan belum mahir berbahasa arab maka kata Tsuma menjadi Soma dan dau menjadi langu. Dan akhirnya tempat itu dikenal dengan nama Somalangu.

Suasana kini sudah berbeda jauh dari dulu, namun nuansa khasnya masih bisa dirasakan sampai saat ini. Tempat ini menjadi Berkah bagi siapa saja yang memasukinya. Karena kini sudah terdapat banyak Mushola, Yayasan Islam, Pondok Pesantren, dan Sekolah mulai dari SD sampai SMK pun ada banyak. Disetiap setahun dua kali, di bulan Maulud dan Rewah tempat ini bagaikan lautan manusia, sebab banyak orang yang tak terhitung jumlahnya datang untuk Ziarah Waliyullah dan menghadiri acara Khoul maupun Maulid Nabi SAW di dua Pondok Pesantren. Yakni Pondok Al-Kahfi yang diasuh Sayyid 'Afifuddin bin Chanif Al-Hasani generasi ke-16 dari Syaikh Abdul Kahfi. Dan Pondok Al-Falah yang diasuh KH.Musyaffa 'Ali menantu Syaikh Thoifur bin Abdurrohman Al-Hasani, sedangkan Syaikh Abdurrohman adalah salah satu dari Masyayikh Somalangu. Dari acara ini kedua Pondok Pesantren tersebut menjadi Maghnet tersendiri, sebab keduanya sama sama Mursyid Thoriqoh As-Syadziliyyah walaupun berbeda Pondok, namun banyak Jama'ah dari berbagai wilayah Nusantara datang berbondong-bondong ke Somalangu hanya untuk mencari Barokah dan Kebaikan Dunia dan Akhirat

Sekilas Kepemimpinan SOMALANGU Setelah Tragedi AOI

Setelah tragedy AOI, desa Sumberadi dalam keadaan porak poranda. Banyak bangunan terbakar habis.Pondok pesantren dan rumah para kiyainya jadi abu semuanya. Rumah peninggalan Syekh Abd Kafi Tsani yg ditinggali oleh KH Mu'ti . rumah Syekh Abd Rahman yg di tinggali oleh  Hj Ghanimah, anak ketiga dari beliau, rumahnya kangmas Kidul dan kangmas lor (begitu biasa kami memanggil KH Mahfudz dan KH Thaifur). Semua ludes. Hanya ada satu rumah keluarga yg utuh, yaitu rumah Bu Ngakidah bungsu dari Syekh Abd rahman yg tinggal dirumah ayahandanya yang dulu beliau tinggali dengan isterinya yang kedua, dan memang agak jauh dari Masjid/pusat ketegangan)  Masjid sudah ada bagian yg hangus tetapi konon tidak jadi terbakar, mungkin untuk menghindari luka ummat islam seara keseluruhan kalau ada masjid yang terbakar. Rumah kami tinggal tersisa bagian dapur, yg masih ada atapnya ,tapi dinding sebelah baratnya habis terbakar sehingga menjadi terbuka, sementara rumah induk dan tempat perempuan mengaji tinggal puing puing penuh dengan pecahan genting dan kaca saja. Itulah keadaan sekitar tahun 1951, dan sepulang dari pengungsian  kami sementara tinggal di Mulangan, tepatnya di bagian timur dari mulangan yang di sekat dengan beketepe untuk tidur ibu dan 5 anak anak2nya, sementara bagian lainnya mulai dipakai ngaji lagi untuk anak anak perempuan. Setelah dinding bagian barat dari dapur yg terbuka ditutup dgn tabag anyaman bambu selesai, dapur itu kami jadikan rumah tinggal dan Mulangan kembali di  fungsikan sebagai tempat ngaji anak anak perempuan dan juga ibu ibu.

Para kiyai tidak ada yang di tempat. KH Mahfudz  syahid di Gunung Selok, Bapak ditahan di Ambarawa, KH Thaifur , KH Zamahsyari dan Gus Hanif bin KH Mahfudz di tahan di Nusakambangan. Pesantren sudah hancur, masjid sementara di pegang oleh Kaum Ahmad Siraj, (salah seorang santri di akhir zamannya Syekh Abd Kafi dan semasa Syekh Abdurahman). Yang biasa dipanggilnya (Wa Kaum). Hal ini berlangsung hingga sekitar 3 tahun, dan KH Mu'thi yg pertama kali di keluarkan dari tahanan, oleh Kepala Desa diangkat  menjadi Kiyai secara resmi, dan memimpin kegiatan keagamaan di Masjid dan di desa Sumberadi. Sejak saat itu, kembali Sumberadi mempunyai kiyai lagi. Pengangkatan itu sangat wajar dan tidak ada yang protes. Minimal karena dua hal :

Putra putri Syekh Abd Kafi yg masih hidup hanya tinggal dua. Yaitu  KH Mu’thi Abd Hayyi  dan Nyai Dulah Mukri. Nyai Dulah Mukri ( Dewi Maryam) tinggal bersama suaminya di Kebarongan Banyumas. Bapak adalah satu satunya anak laki laki syekh Abd Kafi yang masih hidup dan tinggal di Somalangu.Syekh Abd Rahman yg menggantikan Syekh Abd Kafi Tsani sudah meninggal, dan KH Mahfudz yg menggantikannya juga syahid, sementara Putra laki2 kh mahfudz dan adik adiknya juga tidak ada ditempat, kecuali Bu Ngakidah yg tinggal di Kemejing perempuan, dan Mbah Kumari tinggalnya di Wonoyoso Kebumen.

Oleh karena itu sangat wajarlah kalau kepala desa menetapkan bapak sebagai kiyai yang memegang imamah di masjid Somalangu.

Kepala desa Sumberadi pada waktu itu bernama Sariyo Martoamijoyo  ? menurut satu versi punya kaitan erat dengan Syekh Abd Kafi Awwal sebagai ikal bakan Somalangu.

Pondok Somalangu

KH Thaifur  sepulang dari Nusakambangan, lalu merintis kembali pondok pesantren lama yg telah hancur dengan merehab rumah beliau dan juga merehab pondok yang ada di selatan halaman masjid. Kemudian memperbaiki pula panggung diatas kulah masjid yg konon di kulah masjid itu dulu sebelum menjadi kulah pernah dipergunakan sebagai tempat tinggal Syekh Abd Kafi Awal.

Madrasah diniyah pun dibuka, dengan mempergunakan srambi masjid sebagai tempat belajar, sedang santri banat dibangunkan madrasah di sebelah timur. Pada waktu itu pondok dan madrasah diniyah dibawah asuhan KH Thoifur, sedang imamah masjid dan pengajian tiap jumat dan tiap bulan Ramadhan ada pada kepemimpinan Bapak saya yaitu KH Mu’thy Abd Hayyi yg lebih di kenal dengan sebutan Mbah Ragil, karena beliau adalah bungsu dari Syekh Abd Kafi Tsani.

Hal ini berlangsung hingga KH Mu'ti meninggal bulan Agustus 1966. Selanjutnya karena KH Mu'ti   dulu menerima amanah untuk memegang imamah masjid dari Kepala desa, karena KH Mu'ti telah wafat maka  oleh putra yang tertua, Muhammad faqihuddin ,mewakili keluarga, diserahkanlah imamah masjid  kepada KH Thaifur, karena beliau adalah keturunan Syekh Abd Kafi yg tertua yang masih ada. Sejak saat itulah kepemimpinan masjid dan pondok pesantren berada pada satu tangan yaitu KH Thaifur. Namun seingat saya waktu itu tidak ada nama Pesantren Alkafi ataupun al Kahfi, yg ada adalah pesantren Semlangu, sedang madrasah diniyah yg adapun bukan Al Kahfi/al Kafy tetapi al Iman  dan kemudian Mathla’ul Anwar dibawah kepemimpinan Den Dur ( Abdurahman anak dari Ny Hj Ghanimah binti Syekh Abdrahman). Sedang madrasah kulon yg tidak ber afiliasi dengan pondok pesantren Somalangu, juga punya nama lain.

Demikianlah sedikit tentang Somalangu waktu itu. Kini keadaannya tentu telah berbeda, ada pesantren Al falah, ada Al Kahfi musholla/ langgar pun sudah bertambah pula.

SILSILAH KEPENGASUHAN PONDOK PESANTREN  SOMALANGU, Sumberadi, Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia.
1. Sayid As_Syekh Muhammad 'Ishom Al Hasani/Sayid As_Syekh Abdul Kahfi Awwal Al Hasani (1424-1609) Makam di Lemah Lanang, Kebumen.
2. Sayid As_Syekh Muhtarom Al Hasani(1473-1677) Makam di Gabudan, Solo.
3. Sayid As_Syekh Jawahir Al Hasani (1504-1684) Makam di Kudus.
4. Sayid As_Syekh Muhammad Yusuf Al Jawahiri Al Hasani As_Sulasi, Makam di Kudus.
5. Sayid As_Syekh Hasan Al Indis/ Sayid As_Syekh Hayatul Hukmi Al Hasani.
6. Sayid As_Syekh Tajul 'Arifin Abdul Karim Al Jawahiri Al Hasani, Makam diGujarat, India.
7. Sayid As_Syekh Fathurrohman Al Jawahiri Al Hasani, Makam di Somalia.
8. Sayid As_Syekh Misbahus Siraj Al Jawahiri Al Hasani, Makam di Sulawesi.
9. Sayid As_Syekh Muhammad Yusuf Al Jawahiri Al Hasani (1728-1817) Makam di Bulus Pesantren, Kebumen.
10. Sayid As_Syekh Zaenal 'Abidin Al Hasani (1473-1677) Makam di Bulus Pesantren, Kebumen.
11. Sayid As_Syekh Muhammad MarwanAl Hasani (1795-1868) Makam di BulusPesantren, Kebumen.
12. Sayid As_Syekh Ibrahim Mahmud AlHasani/Sayid As_Syekh Abdul Kahfi Atsani (1824-1915) Makam di Lemah Lanang, Kebumen.
13. Sayid As_Syekh Abdurrahman Al Hasani (1855-1938) Makam di Jeddah, Saudi Arabia.
14. Sayid As_Syekh Mahfudz Al Hasani (1901-1950) Makam di Selok, Cilacap.
15. Sayid As_Syekh Thoifur Bin Abdurrahman Al Hasani Wafat Th 1986. Makam di Selatan Pesantren Al-Kahfi.
16. Sayid As_Syekh Chanifuddin Al Hasani (1936 -1983) Makam di Lemah Lanang, Kebumen.
17. KH Musyafa' 'Ali (menantu Syaikh Thoifur dan Pengasuh Ponpes Al-Falah Somalangu). Dan
18. Al Ustadz Sayid 'Afifuddin Chanif Al Hasani (Pengasuh Pesantren Al_Kahfi Somalangu Periode Sekarang)

Sekilas Letak Maqom Auliya' Somalangu

Ziarah di Kebumen, nampaknya tak asing lagi jika berkunjung ke wilayah Somalangu. Karena disinilah pusat peradaban dan penyebaran Agama Islam di Nusantara khususnya wilayah Jawa sejak abad ke-14M. Sejak dahulu disana banyak tokoh-tokoh Mubaligh yang terkemuka belajar Ilmu Agama Islam kepada As-Syaikh Muhammad 'Ishom Al-Hasani atau yang lebih dikenal dengan laqobnya Syaikh Abdul Kahfi, seorang Ulama Besar asal Hadramaut, yang berdakwah di wilayah Jawa sejak zaman Prabu Kertawijaya Majapahit.

Beberapa Maqam para Awliya/Waliyullah serta Ulama Somalangu Kebumen, yang berlokasi dibeberapa tempat di wilayah Somalangu. Seperti di Bukit Lemah Lanang/Ardir Rijal, Maqbarroh Sitontong, Belakang Komplek Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu Kebumen. Berikut informasinya ;

1.Maqam Syaikh Abdul Kahfi Al-Awwal, berada di Bukit Lemah Lanang bagian utara. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Somalangu Kebumen. Beliau lahir di Kampung Jamhar, Distrik Syihr, Hadramaut pada tahun 827H atau 1424M. Dari pasangan Syaikh Abdur Rasyid Muqaddas Al-Jamhari Al-Hasani dengan Syarifah Zulaikhah Al-Husaini 'Inath, Yaman. Beliau wafat pada Jum'at 15 Sya'ban 1018H atau 12 November 1609M dalam usia 185 tahun. Jasad beliau yang pertama kali dimakamkan di Bukit Lemah Lanang, Somalangu.

2.Maqam Syaikh Abdul Kahfi Ats-Tsani, berada di Bukit Lemah Lanang sebelah selatan terletak di dalam Cungkup. Beliau adalah putra dari Sayid Muhammad bin Zainal 'Abidin Al-Hasani. Generasi ke-12 dari Syekh Abdul Kahfi Awwal. Beliau lahir pada tahun 1239H atau 1824M. Dan masyhur dilaqobi Syaikh Abdul Kahfi (II) karena memiliki kepribadian dan keilmuan yang mirip dengan Datuknya yang berjuluk Syaikh Abdul Kahfi (I). Beliau wafat pada 1 Jumadil Akhir 1333H atau 17 Maret 1915M. Jasad beliau dimakamkan di Bukit Lemah Lanang, Somalangu.

3.Maqam Sayid Chanifuddin bin Mahfudz Abdurrahman Al-Hasani, berada di Bukit Lemah Lanang bagian Barat. Beliau adalah ayah dari Gus 'Afif pengasuh Pesantren AlKahfi Somalangu saat ini.

4.Maqam Mbah Syaikh Ibrohim, berada di sebelah timur Jalan Syaikh Ibrohim Ratan Tengah atau di Sitontong, Somalangu. Beliau adalah Ulama dan Awliya yang dimuliakan warga masyarakat daerah sekitar Sitontong Somalangu

5.Maqam Syaikh Thoifur bin Abdurrahman Al-Hasani berada di belakang komplek Pesantren AlKahfi Somalangu bagian selatan. Beliau adalah adik dari Syaikh Mahfudz Al-Hasani (Romo Pusat).

Doa Para Malaikat Untuk Orang Yang Menunggu Sholat


Sholat merupakan amalan yg sangat utama dan juga disukai Allah SWT, dan shalat juga termasuk pondasi atau salahsatu rukun islam yang lima. Dan shalat juga diperintahkan secara langsung oleh Allah SWT kpd Nabi Muhammad pada saat malam Isra Mi’raj, dimana Beliau betemu Allah SWT di Sidratul Muntaha. Selain itu, kita umat muslim juga telah diperintahkan untuk mengerjakan shalat lima waktu setiap harinya.

Sehingga setiap umat islam itu wajib mengerjakan shalat lima waktu setiap harinya, karena memang hal tersebut telah diperintahkan secara langsung oleh Allah SWT. Selain itu, kita juga masih disarankan untuk mengerjakan beberapa amalan shalat sunnah lainnya yang ada banyak sekali. Dengan kita mengerjakan amalan shalat sunnah yg ada tersebut, maka kita akan mendapatkan tambahan pahala buat kita.

Dan untuk hari ini, kami ingin mencoba membahas mengenai keutamaan menunggu shalat. Karena telah diperintahkan kepada semua umat islam untuk mengerjakan shalat bila telah tiba waktu shalat dan meninggalkan segala urusan duniawi mereka. Dan bagi mereka yg mau menunggu waktu shalat dan meninggalkan segala urusannya sebelum tiba waktu shalat, maka tidak menutup kemungkinan bagi mereka ini untuk mendapatkan keutamaan menunggu shalat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ يَنْتَظِرُهَا وَلَا تَزَالُ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي الْمَسْجِدِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ, فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ وَمَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ, قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاط

“Salah seorang dari kalian akan tetap dianggap sedang sholat selama ia menunggu sholat. Dan malaikat juga akan senantiasa bersholawat selama salah seorang dari kalian berada di masjid, mereka berkata; “Ya Allah, ampunilah ia, Ya Allah rahmatilah ia, ” yakni selama ia tidak berhadats (tidak batal wudhunya).” maka ada seorang laki-laki dari Hadramaut bertanya, “Wahai Abu Hurairah, seperti apa hadats (yang membatalkan wudhu itu)?” ia menjawab, “Kentut tanpa suara atau pun bersuara.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya).

Dari Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ

“Barangsiapa duduk di masjid dalam rangka menunggu sholat, maka dia terhitung dalam keadaan sholat.” (HR. an-Nasa’i dan Ahmad dengan sanad hasan).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا ويرفع به الدرجات, قالوا بلى يا رسول الله, قال : إسباغ الوضوء على المكاره, وكثرة الخطا إلى المساجد, وانتظار الصلاة بعد الصلاة, فذلكم الرباط ”

“Maukah kalian aku tunjukkan tentang sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat-derajat?” Para sahabat menjawab, ‘Tentu, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda: ‘Menyempurnakan wudhu dalam keadaan yang tidak disukai, memperbanyak langkah menuju masjid, dan menunggu sholat (yang berikutnya) setelah melakukan sholat, itu adalah ribath (yakni pahalanya seperti berjaga-jaga di wilayah perbatasan negeri muslim dan kafir, pent).” (HR. Muslim nomor.251).

Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ahuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُوْرَةٍ قَالَ: أَحْسَبُهُ، قَالَ: فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ هَلْ تَدْرِي فِيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأُ اْلأَعْلَى؟ قَالَ: قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ، أَوْ قَالَ: فِي نَحْرِي، فَعَلِمْتُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ، قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَلْ تَدْرِي فِيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأُ اْلأَعْلَى، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ فِي الْكَفاَّرَاتِ وَالْكَفَّارَاتُ الْمَكْثُ فِي الْمَسَاجِدِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ وَالْمَشْيُ عَلَى اْلأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ وَإِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ فِي الْمَكَارِهِ وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَاشَ بِخَيْرٍ وَمَاتَ بِخَيْرٍ وَكَانَ مِنْ خَطِيْئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.”

‘Malam tadi Rabb-ku datang kepadaku dalam bentuk yang paling indah, aku menyangkan bahwa itu terjadi di dalam mimpi. Kemudian Dia berfirman kepadaku, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu apa yang menjadi bahan pembicaraan para Malaikat ?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Lalu Allah meletakkan tangan-Nya di antara kedua pundakku, sehingga aku merasakan dingin di dada atau di dekat tenggorokan, maka aku tahu apa yang ada di langit dan bumi. Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, tahukah engkau apa yang menjadi bahan pembicaraan para Malaikat?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku tahu. Mereka membicarakan al-kafarat.’ Al-kafarat itu adalah berdiam di masjid setelah shalat, melangkahkan kaki menuju shalat berjama’ah, dan menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan yang sangat dingin. Barangsiapa yang melakukannya, maka ia akan hidup dengan baik dan wafat dengan baik pula, ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari di mana ia dilahirkan dari (rahim) ibunya.”

Allaahu Akbar! Sungguh sangat agung pahala orang-orang yang melakukan tiga amalan seperti itu. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang menjaga amalan ini, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

Pantas kiranya jika kita mengungkapkan dua pertanyaan tentang tetap duduk di masjid setelah shalat dengan berusaha untuk menjawab masing-masing pertanyaan tersebut -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- yaitu:

Pertama: Apakah untuk mendapatkan shalawat dari para Malaikat disyaratkan untuk berdiam di masjid, tempat ia melaksanakan shalat, atau ia mendapatkannya walaupun ia pindah ke masjid yang lainnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan membawakan apa yang diungkapkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-‘Allamah al-‘Aini ketika mereka berdua menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّّى عَلَيْهِ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ.

“Maka jika seseorang melaksanakan shalat, senantiasa para Malaikat bershalawat kepadanya selama ia berada di masjid.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Makna dari mushalla adalah sebuah tempat yang biasa digunakan untuk shalat dalam bentuk sebuah masjid. Dan aku mengira bahwa redaksi ini melihat kepada suatu kebiasaan, artinya seandainya seseorang pindah ke masjid lain dan terus dengan niatnya semula untuk menunggu shalat, maka ia tetap mendapatkan pahala yang dijanjikan baginya.”

Al-‘Allamah al-‘Aini berkata: “Kata مُصَلاَّهُ -dengan mim yang didhammahkan- adalah sebuah tempat yang digunakan untuk melaksanakan shalat. Aku mengira redaksi ini melihat kepada suatu kebiasaan. Artinya, seandainya seseorang pindah ke masjid lain dan terus dengan niatnya semula untuk menunggu shalat, maka ia tetap mendapatkan pahala yang dijanjikan untuknya.”

Kedua: Apakah para wanita yang biasa duduk di tempat shalatnya di rumah mendapatkan pahala yang ditetapkan bagi kaum lelaki yang duduk di masjid, yaitu shalawat dari para Malaikat?

Saya jawab: Diharapkan -dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala- bahwa mereka juga mendapatkan pahala yang telah ditetapkan, karena mereka semua tidak diwajibkan untuk datang ke masjid, bahkan shalat di rumah mereka lebih utama daripada shalat di masjid. Oleh karena itu, duduk di tempat shalat mereka di rumah tentu akan lebih baik daripada duduk di masjid.

Disunahkan Imam Menghadap Ke Makmum Setelah Sholat


Sebuah fenomena pahit yang lagi menggejala di masyarakat. Yakni kebiasaan mengalamatkan sebuah praktek amalan kepada organisasi atau kelompok Islam tertentu. Jika ada sebuah tata amalan disampaikan, langsung diidentifikasi, ini milik  kelompok anu, sedangkan yang ini praktek amalan kelompok anu. Sehingga ketika ada upaya perbaikan praktek ibadah umat yang masih kurang sempurna bahkan penyimpangan sekalipun, akan menghadapi kendala ini, karena bila telah dicap sebagai pendapat dari kelompok tertentu, pasti berujung kepada penolakan. Tidak perduli sekuat apapuin dalil dan hujjah agama yang disampaikan, karena sudah divonis ‘produk orang lain’ go out.

Inilah buah pahit dari sifat jumud dan fanatik golongan. Yang tumbuh subur diatas lahan kebodohan. Keadaan ini terkadang diperparah dengan adanya segelintir oknum ‘ustadz’ yang seharusnya memberikan tuntunan atau pencerahan kepada umat, malah justru memanfaatkan kondisi, justru memupuk semangat jahiliyah ini, yang tentu saja untuk kepentingan dan ambisi mazhab dan kelompoknya.

Sudah saatnya umat Islam bangun dari tidurnya, bangun dari pemikiran picik dan sempit, sehingga dengan mudahnya menolak kebenaran hanya karena yang membawa atau yang dibawa tidak dari kelompoknya.  Dan untuk bisa bangkit berdiri, yang dibutuhkan pertama kali adalah ilmu.  Yang dibutuhkan adalah semangat tak kenal lelah  untuk menimba ilmu syar’i. Ilmu akan menjadi cahaya dalam kegelapan bagi mereka yang bisa melihat. Bagi mereka yang buta sekalipun, ilmu akan menjadi sebatang tongkat, yang akan menuntunnya meniti jalan kebenaran.

Disunnahkan bagi imam untuk menghadap makmum, atau menghadap ke kanan atau ke kiri seusai shalat; berdasarkan hadits :

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ، عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ، قَالَ: "كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ "

Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Haazim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Rajaa’, dari Samurah bin Jundab, ia berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasanya jika telah usai mengerjakan shalat, berbalik menghadapkan wajahnya kepada kami (makmum)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 845].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ عَن السُّدِّيِّ، عَنْ أَنَسٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِينِهِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari As-Suddiy, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berpaling dari arah kanan (seusai shalat) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 708].

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ سُلَيْمَانَ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ الْأَسْوَدِ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: " لَا يَجْعَلْ أَحَدُكُمْ لِلشَّيْطَانِ شَيْئًا مِنْ صَلَاتِهِ يَرَى أَنَّ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ لَا يَنْصَرِفَ إِلَّا عَنْ يَمِينِهِ، لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ كَثِيرًا يَنْصَرِفُ عَنْ يَسَارِهِ"

Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Sulaimaan, dari ‘Umaarah bin ‘Umair, dari Al-Aswad, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah : Janganlah salah seorang di antara kalian menjadikan satu bagian pun dari shalatnya bagi syaithan, dimana ia berpendapat bahwa yang benar padanya adalah tidak berpaling kecuali dari sebelah kanannya. Dan sungguh aku telah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kebanyakan berpaling dari arah kiri (setelah shalat)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 852].

Tentang hikmah atau tujuan Nabi saw melakukan hal itu, ada beragam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa menghadapnya imam kepada makmum setelah shalat bertujuan untuk memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diperlukan makmum, sehingga dikhususkan bagi orang yang mendapati keadaan seperti Rasulullah saw ini memiliki kecakapan untuk mengajarkan dan memberi nasehat. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu untuk mengetahui selesainya shalat, karena sekiranya imam senantiasa pada duduknya setelah shalat, maka bias jadi difahami bahwa imam masih dalam tasyahud (belum selesai shalat). (Lihat Nailul-Authar, jilid 2 hal 326)

Ibn Qudamah di dalam kitab al-Mughni jilid 1 halaman 561 mengatakan bahwa berubahnya arah duduk imam adalah untuk memastikan telah selesainya shalat itu bagi imam. Hal ini agar makmum bisa memastikan bahwa imam telah benar-benar selesai dari shalatnya. Sebab dengan mengubah arah duduk, imam akan meninggalkan arah kiblat dan hal itu jelas akan membatalkan shalatnya.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa dengan menggeser arah duduk ke belakang atau ke samping, berarti imam sudah yakin 100% bahwa rangkaian shalatnya sudah selesai seluruhnya dan terputus. Tidak sah lagi apabila tiba-tiba ia teringat mau sujud sahwi atau kurang satu rakaat. Demikian disebutkan di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu Qasim ‘alar-Raudhah jilid 12 halaman 354-355.

Zain ibn Munir berpendapat bahwa membelakanginya imam kepada makmum itu adalah hak seorang imam, dan apabila shalat telah selesai maka hilanglah alasan untuk membelakangi makmum. Seorang imam yang menghadap kepada makmum saat itu adalah untuk menghilangkan kesombongan dan perasaan angkuh terhadap makmum. (Lihat Nailul-Authar, jilid 2 hal 326)

Begitu pula disunnahkan baginya untuk membaca istighfar dan dzikir allaahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam setelah salam berdasarkan hadits :

حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ رُشَيْدٍ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ، عَنْ أَبِي عَمَّارٍ اسْمُهُ شَدَّادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ : "كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ، اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا، وَقَالَ: " اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ"، قَالَ الْوَلِيدُ: فَقُلْتُ لِلأَوْزَاعِيِّ، كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ؟ قَالَ: تَقُولُ: أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rusyaid : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Al-Auzaa’iy, dari Abu ‘Ammaar – namanya adalah Syaddaad bin ‘Abdillah - , dari Abu Asmaa’, dari Tsaubaan, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila selesai dari shalatnya, beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca : Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam (Ya Allah, Engkaulah As-Salaam (Keselamatan) dan darimulah keselamatan, Maha Suci Engkau wahai Sang Pemilik Keagungan dan Kemuliaan)”. Al-Waliid berkata : Aku bertanya kepada Al-Auzaa’iy : “Bagaimana bacaan istighfar itu ?”. Ia berkata : “Katakanlah : ‘Astaghfirullaah, Astaghfirullaah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 591].

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ، حَدَّثَنِي شَدَّادٌ أَبُو عَمَّارٍ، حَدَّثَنِي أَبُو أَسْمَاءَ الرَّحَبِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي ثَوْبَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ".

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Muusaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Auzaa’iy : Telah menceritakan kepadaku Syaddaad Abu ‘Ammaar : Telah menceritakan kepadaku Abu Asmaa’ Ar-Rahabiy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaubaan maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau hendak beranjak dari shalatnya, beliau beristighfar kepada Allah tiga kali, kemudian membaca : ‘Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta yaa dzal-jalaali wal-ikraam”. [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 300. At-Tirmidziy berkata : “Hadits ini hasan shahih”].

Letak bacaan istighfar dan allahumma antas-salaamadalah sebelum berpaling menghadap makmum, berdasarkan hadits :

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَابْنُ نُمَيْرٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ عَاصِمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ، لَمْ يَقْعُدْ إِلَّا مِقْدَارَ، مَا يَقُولُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ، وَمِنْكَ السَّلَامُ، تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالإِكْرَامِ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari ‘Aashim, dari ‘Abdullah bin Al-Haarits, dari ‘Aaisyah : “Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam biasanya setelah mengucapkan salam, tidak duduk kecuali seukuran membaca : Allahumma antas-salaam wa minkas-salaam tabaarakta dzal-jalaali wal-ikraam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 592].

Kemudian diperjelas lagi oleh hadits :

حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ، عَنْ ثَوْرٍ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ، عَنْ عِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ، قَالَ: صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ الْفَجْرَ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا، فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً، ذَرَفَتْ لَهَا الْأَعْيُنُ، وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ....

Telah menceritakan kepada kami Adl-Dlahhaak bin Makhlad, dari tsaur, dari Khaalid bin Ma’daan, dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru As-Sulamiy, dari ‘Irbaadl bin Saariyyah, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Shubuh bersama kami. (Setelah usai), beliau berbalik menghadap kepada kami, lalu menasihati kami dengan satu nasihat yang sangat jelas, yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati pun bergetar….” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/126; shahih].

Hadits ‘Irbaadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu di atas menyebutkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbalik menghadap shahabat dan menasihat mereka seusai shalat. Telah diketahui tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhiri shalatnya kecuali setelah membacaistighfar dan dzikir allahumma antas-salaam sebagaimana hadits-hadits di awal. Oleh karena itu, hadits ini memberitahukan kepada kita waktu bacaan dzikir allahumma antas-salaam…dst. itu adalah sebelum beliau berpaling menghadap makmum.

Lama beliau duduk menghadap kiblat sebelum berpaling dijelaskan oleh hadits berikut :

وحدثنا حامد بن عمر البكراوي وأبو كامل فضيل بن حسين الجحدري. كلاهما عن أبي عوانة. قال حامد: حدثنا أبو عوانة عن هلال بن أبي حميد، عن عبدالرحمن بن أبي ليلى، عن البراء بن عازب؛ قال : رمقت الصلاة مع محمد صلى الله عليه وسلم. فوجدت قيامه فركعته، فاعتداله بعد ركوعه، فسجدته، فجلسته بين السجدتين، فسجدته، فجلسته ما بين التسليم والانصراف، قريبا من السواء.

Dan telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar Al-Bakraawiy dan Abu Kaamil Fudlail bin Husain Al-Jahdariy, keduanya dari Abu ‘Awaanah - Haamid berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah - , dari Hilaal bin Abi Humaid, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa, dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : Aku mengamati shalat Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam, maka aku dapati berdirinya, rukuknya, i’tidal setelah rukuknya, sujudnya, duduknya antara dua sujud, sujud kedua, duduknya antara salam dan selesai shalat; lamanya hampir sama satu dengan lainnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 471].

An-Nawawiy rahimahullah berkata :

دليل على أنه صلى الله عليه وسلم كان يجلس بعد التسليم شيئًا يسيرًا في مصلاه

“Hadits ini sebagai dalil bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk sebentar setelah salam di tempat shalatnya” [Syarh Shahih Muslim, 4/188].

Yaitu, seukuran membaca istighfar dan allaahumma antas-salaam sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...