Sabtu, 30 Oktober 2021

Kaitan Iman Dan Amal Dalam Menggapai Ridho Alloh


يُرْشِدُ الْقُرْآنُ إِلَى أَنَّ الْعِبْرَةَ بِحُسْنِ حَالِ الإِنْسَانِ : إِيْمَانُهُ الصَّحِيْحُ وَعَمَلِهِ الصَّالِحُ، وَأَنَّ الاِسْتِدْلاَلَ عَلَى ذَلِكَ باِلدَّعَاوَى الْمُجَرَّدَةِ أَوْ بِإِعْطَاءِ اللهِ لِلْعَبْدِ مِنَ الدُّنْيَا بِالرِّيَاسَاتِ, كُلُّ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ الْمُنْحَرِفِيْنَ

Al-Qur’ân memberikan petunjuk bahwa standar baiknya seseorang adalah keimanan dan amal shalehnya. Al-Qur’ân juga menunjukkan bahwa mengukur kebaikan seseorang berdasarkan pengakuan hampa, kekayaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seseorang atau berdasarkan jabatan adalah metode orang-orang menyimpang

Kaidah ini menunjukan bahwa bukti baiknya keadaan seseorang adalah keistiqamahannya dalam iman dan amal shaleh serta semangatnya untuk selalu bergegas melakukan kebaikan, bukan harta melimpah, bukan pula pengakuan-pengakuan hampa. Orang yang senantiasa melakukan perbuatan taat dan konsisten menjalankan al-Qur’an dan sunnah, dialah orang baik, sebaliknya yang tidak seperti itu berarti dia buruk, bagaimanapun pengakuan dan perkataannya.

Kaidah dijelaskan dalam banyak ayat, diantaranya firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا

Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal (shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. [Saba’/34:37]

Juga firman-Nya :

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih, [As-Syu’ara/26:88-89]

Sebagian orang mengira bahwa harta melimpah yang diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada seseorang adalah tanda kedekatan mereka kepada Allâh Azza wa Jalla dan kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka. Ini merupakan sangkaan yang keliru. Seandainya karunia harta itu merupakan bukti kecintaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang paling banyak menerima anugerah ini. Namun faktanya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam miskin dan beliau  menjelaskan bahwa dunia diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki sedangkan akhirat hanya diberikan kepada insan yang bertaqwa.

Iman adalah keyakinan dalam hati, ucapan dalam lisan, amal oleh anggota badan; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

اتفقت الصحابة والتابعون، فمن بعدهم من علماء السنة على أن الأعمال من الإيمان، لقوله سبحانه وتعالى : (إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ .....) إلى قوله (وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ) [الأنفال : ٢-٣] فجعل الأعمال كلها إيمانا، وكما نطق به حديث أبي هريرة.
وقالوا : إن الإيمان قولٌ وعملٌ وعقيدةٌ، يزيد بالطاعة، وينقص بالمعصية ......

“Para shahabat, taabi’iin, dan para ulama sunnah setelah mereka telah bersepakat bahwa amal termasuk bagian dari iman berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa : ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka’ (QS. Al-Anfaal : 2-3). Allah telah menjadikan amal secara keseluruhan (bagian dari) iman, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah.

Mereka berkata : ‘Sesungguhnya iman itu perkataan, perbuatan, dan ‘aqiidah; bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan….” [Syarhus-Sunnah, 1/38-39, tahqiq : Zuhair Syaawiisy & Syu’aib Al-Arna’uth; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1403].

قال أبو عمر ابن عبد البر في ‏[‏التمهيد‏]‏‏:‏ أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا عمل إلا بنية، والإيمان عندهم يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، والطاعات كلها عندهم إيمان

“Telah berkata Abu ‘Umar Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid: ‘Para ahli fiqh dan ahli hadits telah bersepakat bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan. Tidak amal kecuali dengan niat. Iman di sisi mereka dapat bertambah dengan ketaatan, dan berkurang dengan kemaksiatan. Seluruh amal ketaatan  di sisi mereka termasuk iman” [Al-Iimaan hal. 208].

حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء

Telah menceritakan kepadaku ayahku (Ahmad bin Hanbal) rahimahullaahu : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Maalik bin Anas berkata : ‘Iman adalah perkataan dan perbuatan, Allah telah berbicara kepada Muusaa, dan Allah berada di atas langit sedangkan ilmu-Nya – tidak ada sesuatu yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532, – sanadnya hasan atau shahih].

حدثني أبو عبد الرحمن سلمة بن شبيب قبل سنة ثلاثين ومائتين حدثنا عبد الرزاق قال كان معمر وابن جريج والثوري ومالك وابن عيينة يقولون الايمان قول وعمل يزيد وينقص قال عبدالرزاق وأنا أقول ذلك الايمان قول وعمل والايمان يزيد وينقص فان خالفتهم فقد ضللت إذا وما أنا من المهتدين

Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Abdirrahmaan Salamah bin Syabiib sebelum tahun 230 : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : “Ma’mar, Ibnu Juraij, Ats-Tsauriy, Maalik, dan Ibnu ‘Uyainah berkata : ‘Iman adalah perkataan dan perbuatan; (dapat) bertambah dan berkurang”. ‘Abdurrazzaaq berkata : “Dan akupun mengatakan hal itu, yaitu iman adalah perkataan dan perbuatan. Iman (dapat) bertambah dan berkurang. Apabila aku menyelisihi mereka, sungguh aku telah tersesat dan aku bukan termasuk orang-orang yang diberi petunjuk” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 342-343 no. 726; shahih].

حدثنا محمد بن عبد الرحمن حدثني أبو أحمد حاتم بن عبد الله الجهاري، قال: سمعت الربيع بن سليمان يقول: سمعت الشافعي يقول: الإيمان قول وعمل يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، ثم تلا هذه الآية:  وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا   المدثر 31  الآية

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdirrahmaan : Telah menceritakan kepadaku Abu Ahmad Haatim bin ‘Abdillah Al-Jihaariy, ia berkata : Aku mendengar Ar-Rabii’ bin Sulaimaan berkata : Aku mendengar Asy-Syaafi’iy berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena (melakukan) kemaksiatan”. Kemudian ia (Asy-Syaafi’iy) membaca ayat ini : “Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya’ (QS. Al-Mudatstsir : 31)” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/114-115; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1409].

وأخبرنا أبو بكر المروذي قال : سمعت أبا عبد الله يقول : قال الله عز وجل : (فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ) وقال تعالى : (وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ). وقال : هذا الإيمان. ثم قال أبو عبد الله : فالإيمان قول وعمل.

Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Marwadziy, ia berkata : Aku mendengar Abu ‘Abdillah berkata : “Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama’. Allah ta’ala juga berfirman : ‘Dan dirikanlah shalat serta tunaikanlah zakat’; lalu ia (Ahmad) berkata : ”Inilah iman !. Iman adalah perkataan dan perbuatan” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah, 3/589 no. 1035, tahqiq : Dr. ’Athiyyah Az-Zahraaniy; Daarur-Rayyah, Cet. 1/1410 - shahih].

وأخبرنا أبو بكر المروذي وعبد الملك الميموني وأبو داود السجستاني وحرب بن إسماعيل الكرماني ويوسف بن موسى ومحمد بن أحمد بن واصل والحسن بن محمد، كلهم يقول : إنه سمع أحمد بن حنبل قال : الإيمان : قول وعمل يزيد وينقص.

Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Marwadziy, ‘Abdul-Malik Al-Maimuuniy, Abu Daawud As-Sijistaaniy, Harb bin Ismaa’iil Al-Kirmaaniy, Yuusuf bin Muusaa, Muhammad bin Ahmad bin Waashil, dan Al-Hasan bin Muhammad; semuanya berkata bahwasannya mereka mendengar Ahmad bin Hanbal berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang” [Diriwayatkan oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah, 3/582 no. 1010; shahih].

Dalil-dalil yang mereka (para ulama salaf) pakai untuk membangun ‘aqidah ini antara lain adalah :

الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ طُوبَى لَهُمْ وَحُسْنُ مَآبٍ

“Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” [QS. Ar-Ra’d : 29].

وَأُدْخِلَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ تَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلامٌ

“Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal shalih ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seijin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam surga itu ialah ‘salaam" [QS. Ibraahiim : 23].

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal” [QS. Al-Kahfiy : 107].

Allah ta’ala dalam ayat-ayat di atas telah menggandengkan antara iman dan amal sehingga dua hal ini sangat berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bahkan, Allah ta’ala telah berfirman bahwa manusia akan dimasukkan ke dalam surga dengan sebab amal-amal yang mereka kerjakan.

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan”  [QS. Az-Zukhruf : 72].

Ibnu Katsiir rahimahullah saat mengomentari ayat ini berkata :

أي : أعمالكم الصالحة كانت سببا لشمول رحمة الله إياكم، فإنه لا يدخل أحدًا عمله الجنة، ولكن بفضل من الله ورحمته. وإنما الدرجات تفاوتها بحسب عمل الصالحات.

“Yaitu : amal-amal shaalih kalian yang menjadi sebab kalian diliputi rahmat. Karena, tidak ada seorang pun yang masuk surga karena amalnya semata, akan tetapi (ia masuk surga) karena rahmat dan karunia Allah. Hanya saja perbedaan derajat dapat diperoleh berdasarkan amal-amal shaalihnya” [Tafsir Ibni Katsiir, 7/239-240].

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Iman itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah; keduanya (Sufyaan dan Syu’bah) dari Qais bin Muslim, dari Thaariq bin Syihaab – dan ini adalah hadits Abu Bakr - , ia (Thaariq) berkata : Orang pertama yang berkhutbah pada hari raya (‘Ied) sebelum shalat didirikan adalah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya : "Shalat (‘Ied) hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah". Marwan menjawab : "Sungguh, khutbah ini telah ditinggalkan". Kemudian Abu Sa’iid berkata : "Adapun orang ini telah menunaikan kewajibannya. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallambersabda : ‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 49].

Dua hadits di atas memberi faedah bahwa iman mempunyai beberapa cabang dan tingkatan yang tidak sama kedudukannya. Begitu pula keadaan pemiliknya. Ada yang keimanannya tinggi (kuat), ada pula yang keimanannya rendah (lemah). Dan perkataan serta perbuatan termasuk bagian dari iman.

Para ulama telah menjelaskan bahwa perkataan itu terdiri dari perkataan hati dan anggota badan (lisan). Begitu juga dengan perbuatan, ia terdiri dari perbuatan hati dan anggota badan.

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

والمقصود هنا أن من قال من السلف‏:‏ الإيمان قول وعمل، أراد قول القلب واللسان وعمل القلب والجوارح

“Dan yang dimaksudkan di sini dari perkataan salaf :‘qaulun wa ‘amalun (perkataan dan perbuatan)’; yaitu perkataan hati dan lisan, serta amal hati dan anggota badan” [Al-Iimaan, hal. 137].

ومن أصول أهل السنة أن الدين والإيمان قول وعمل ، قول القلب واللسان وعمل القلب واللسان والجوارح

“Dan termasuk prinsip pokok Ahlus-Sunnah bahwasannya agama dan iman adalah perkataan dan perbuatan. Perkataan hati dan lisan, serta amal hati, lisan, dan anggota badan” [Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah – melalui At-Tanbiihaat Al-Lathiifah oleh ‘Abdurrahmaan As-Sa’diy, hal. 89; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1 /1414].

Asy-Syaikh As-Sa’diy memberikan komentar terhadap perkataan Ibnu Taimiyyah di atas sebagai berikut :

قد دل الكتاب والسنة على ما قاله الشيخ ، وأجمع على ذلك سلف الأمة ، فكم من آية قرآنية وأحاديث نبوية أطلقت على كثير من الأقوال والأعمال اسم الإيمان ، فالإيمان المطلق يدخل فيه جميع الدين ، ظاهره وباطنه ، أصوله وفروعه ، ويدخل فيه العقائد التي يجب اعتقادها في كل ما احتوت عليه من هذا الكتاب ، ويدخل أعمال القلوب كالحب لله ورسوله.

والفرق بين أقوال القلب وبين أعماله: أن أقواله هي العقائد التي يعترف بها القلب ويعتقدها ، وأما أعمال القلب فهي حركته التي يحبها الله ورسوله ، وضابطها محبة الخير وإرادته الجازمة ، وكراهية الشر والعزم على تركه ، وهذه الأعمال القلبية تنشأ عنها أعمال الجوارح ، فالصلاة والزكاة والصوم والحج والجهاد- من الإيمان ، وبر الوالدين وصلة الأرحام والقيام بحقوق الله وحقوق خلقه المتنوعة- كلها من الإيمان. وكذلك الأقوال؛ فقراءة القرآن وذكر الله والثناء عليه والدعوة إلى الله والنصيحة لعباد الله وتعلم العلوم النافعة - كلها داخلة في الإيمان

“Sesungguhnya yang dikatakan Syaikhul-Islaam telah ditunjukkan dalilnya melalui Al-Kitaab dan As-Sunnah. Dan salaful-ummah pun telah bersepakat akan hal itu. Betapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang memutlakkan kebanyakan dari perkataan dan perbuatan dalam nama iman. Iman mutlak (al-iimaanul-muthlaq) masuk padanya semua urusan agama, baik yang dhaahir maupun baathin, pokok maupun cabangnya. Dan masuk pula padanya i'tiqad-i'tiqad yang wajib diyakini dari setiap yang terkandung dalam kitab ini. Dan masuk pula padanya amal-amal hati seperti : cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Perbedaan antara perkataan-perkataan hati dengan amal-amal hati adalah : Bahwasannya perkataan-perkataan hati adalah i'tiqad-i'tiqad yang diketahui dan diyakini oleh hati. Sedangkan amal-amal hati adalah gerakan hati dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Ketentuannya adalah, mencintai dan keinginan yang pasti akan kebaikan, serta kebencian terhadap kejelekan dan keinginan yang kuat untuk meninggalkannya. Inilah yang disebut amal-amal hati yang kemudian mendorong amal-amal anggota badan, seperti : shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad – dimana hal termasuk iman. Berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahim, menegakkan hak-hak Allah dan makhluk-Nya yang bermacam-macam; kesemuanya termasuk iman. Begitu juga dengan perkataan-perkataan. Membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah, memuji-Nya, berdakwah/menyeru di jalan Allah, menasihati sesama manusia, serta belajar ilmu-ilmu yang bermanfaat – kesemuanya juga termasuk iman” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 89-90].

Allah ta’ala telah berfirman tentang keadaan orang-orang yang bertambah keimanannya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal” [QS. Al-Anfaal : 2].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقد استدل البخاري وغيره من الأئمة بهذه الآية وأشباهها، على زيادة الإيمان وتفاضله في القلوب، كما هو مذهب جمهور الأمة، بل قد حكى الإجماع على ذلك غير واحد من الأئمة، كالشافعي، وأحمد بن حنبل، وأبي عبيد، كما بينا ذلك مستقصى في أول الشرح البخاري، ولله الحمد والمنة.

“Al-Bukhaariy dn yang lainnya dari kalangan imam telah berdalil dengan ayat ini dan yang semisalnya, akan bertambahnya iman dan tingkatannya di dalam hati yang berbeda-beda – sebagaimana madzhab jumhur umat. Bahkan telah dikatakan terjadi ijma’ (kesepakatan) atas hal itu oleh lebih dari seorang dari kalangan para imam, seperti : Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, dan Abu ‘Ubaid – sebagaimana telah kami jelaskan secara panjang lebar di awal syarh Al-Bukhaariy. Wa lillaahil-hamd wal-minnah” [Tafsiir Ibni Katsiir, 4/12].

Dan ketika dikatakan iman dapat bertambah (dengan ketaatan), maka ia pun dapat berkurang (dengan kemaksiatan).

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ عَرْضَ الْحَصِيرِ فَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَتْ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَتْ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ حَتَّى يَصِيرَ الْقَلْبُ عَلَى قَلْبَيْنِ أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا لَا يَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرِ أَسْوَدَ مُرْبَدٍّ كَالْكُوزِ مُخْجِيًا وَأَمَالَ كَفَّهُ لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ

Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun: Telah menceritakan kepada kami Abu Maalik, dari Rib’iy bin Hiraasy, dari Hudzaifah, dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Fitnah dibentangkan di hati seperti dibentangkannya tikar. Setiap hati yang mengingkarinya maka diberi satu titik putih dan setiap hatinya menyerapnya maka diberi satu titik hitam, hingga hati pun menjadi dua macam : (1) hati putih seperti benda jernih dimana fitnah tidak akan membahayakannya selama langit dan bumi masih ada, dan yang lainnya (2) hati hitam berdebu seperti panci kotor - beliau memiringkan telapak tangan - ia tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali sesuatu yang terserap dari hawa nafsunya" [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/386; shahih. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 144].

Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu di atas menjelaskan tentang naik turunnya iman dalam hati seorang manusia. Ketika seseorang mengerjakan amal ketaatan dengan menolak fitnah, maka akan ditambah titik putih dalam hatinya. Sebaliknya, jika ia seseorang mengerjakan kemaksiatan dengan menerima dan mengikuti fitnah, maka akan ditambah titik hitam dalam hatinya. Banyak sedikitnya amal ketaatan dan kemaksiatan akan mempengaruhi dominasi titik putih dan hitam dalam hatinya. Siapa yang Allah ta’ala rahmati untuk dimudahkan mengerjakan amal-amal ketaatan, maka hatinya akan putih bersih karena terkumpulnya cahaya iman. Merekalah orang-orang yang beruntung…..

Siapapun yang menetapkan bahwa amal/perbuatan termasuk bagian dari iman dan iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan; maka ia berlepas diri dari ‘aqidah Murji’ah dari awal hingga akhirnya.

Al-Imam Al-Barbahaariy rahimahullah berkata :

ومن قال الإيمان قول وعمل يزيد وينقص فقد خرج من الإرجاء كلِّه، أوَّله وآخره.

“Barangsiapa yang berkata : ‘Iman itu perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang’; sungguh ia telah berlepas diri dari pemahaman irja’ secara keseluruhan, dari awal hingga akhirnya” [Syarhus-Sunnah, hal. 129].

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya tentang orang yang mengatakan : ‘iman  itu bisa bertambah dan berkurang’ , maka beliau menjawab :

هذا برئَ من الإرجاء.

“Orang ini telah berlepas diri dari (bid’ah) irjaa’“ [As-Sunnah oleh Al-Khalaal 3/581 no.1009].

Hakikat Bertambahnya Umur


Didalam kitab lisanul arab dikatakan bahwa sanya adapun ta’rif atau defenisi dari umur itu adalah

العمور هو سيرة الحياة التى تبدأ حين يولد حتى يصل الى الموت

Umur itu adalah suatu perjalanan hidup yang dimulai ketika ia dilahirkan hingga sampai kepada kematian.

Dari defenisi mengenai umur diatas sudah jelas bagi kita bahwa ketika kita dilahirkan kedunia ini pada saat itu jua kehidupan kita telah dihitung dan merupakan babak awal untuk menuju kehidupan yang kekal abadi dan sekarang tergantung kepada kita masing masing kemanakah umur yang kita miliki ini akan kita bawa apakah untuk kebaikan atau untuk keburukan semua itu kita yang akan menjalaninya.

Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ، قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Ya’quub Al-Kirmaaniy: Telah menceritakan kepada kami Hassaan : Telah menceritakan kepada kami Yuunus : Telah berkata Muhammad – ia adalah Az-Zuhriy- , dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 2067].

Sanad ini hasan, namun shahih dengan keseluruhan jalannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 2/181-182 no. 439 dengan sanad hasan, dengan lafadh :

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَجَلِهِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ، وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan ajalnya, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturahim”.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْزَمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: " إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ، فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِيدَانِ فِي الْأَعْمَارِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihzam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim: Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Barangsiapa yang diberikan bagian dari kelemah-lembutan, sungguh ia telah diberikan bagian kebaikan dari dunia dan akhirat. Menyambung silaturahim, akhlaq yang baik, dan bertetangga yang baik akan memakmurkan negeri-negeri dan menambah umur-umur” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/159].

Sanadnya shahih.

Sebagian orang mendapatkan kesulitan memahami hadits di atas dengan keberadaan dalil yang menafikkan pertambahan umur manusia sebagaimana dibawakan di bawah :

Allah ta’ala berfirman :

وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)”[QS. Faathir : 11].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ } أي: ما يعطى بعض النطف من العمر الطويل يعلمه، وهو عنده في الكتاب الأول، { وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ } الضمير عائد على الجنس، لا على العين؛ لأن العين الطويل للعمر في الكتاب وفي علم الله لا ينقص من عمره، وإنما عاد الضمير على الجنس.
قال ابن جرير: وهذا كقولهم: "عندي ثوب ونصفه" أي: ونصف آخر.

“Dan firman-Nya : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’; yaitu : apa yang telah diberikan kepada sebagian nuthfah berupa umur panjang, Allah mengetahuinya dan hal itu di sisi-Nya terdapat dalam catatan yang pertama. Tentang firman-Nya : ‘dan tidak pula dikurangi umurnya’; kata ganti/dlamiir dalam ayat tersebut kembali kepada jenisnya (yaitu umur secara umum), bukan kembali pada umur orang tertentu. Hal itu dikarenakan panjangnya umur dalam Kitaab dan dalam ilmu Allah tidaklah berkurang dari umurnya. Kata ganti itu hanyalah kembali pada jenisnya. Ibnu Jariir berkata : ‘Ini seperti perkataan mereka : Aku punya baju dan setengahnya. Yaitu, setengah bau yang lain” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/538].

قَالَ النَّسَائِيُّ عِنْدَ تَفْسِيرِ هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي زَيْدِ بْنِ سُلَيْمَانَ، سَمِعْتُ ابْنَ وَهْبٍ يَقُولُ: حَدَّثَنِي يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ سرَّه أَنْ يُبْسَط لَهُ فِي رِزْقُهُ، ويُنْسَأ لَهُ فِي أَجَلِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَه".

Imam Nasai dalam tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya ibnu Abu Zaid ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Wahb mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang ingin agar rezekinya diluaskan dan usianya diperpanjang, hendaklah ia menghubungkan tali persaudaraannya.

Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud telah meriwayatkan­nya melalui hadis Yunus ibnu Zaid Al-Aili dengan sanad yang sama.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحُسَيْنِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَبُو مُسَرَّحٍ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عَطَاءٍ، عَنْ مَسْلَمَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ عَمِّهِ أَبِي مَشْجَعَة بْنِ رِبْعِيٍّ، عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: ذَكَرْنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "إِنَّ اللَّهَ لَا يُؤَخِّرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجْلُهَا، وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمُرِ بِالذُّرِّيَّةِ الصَّالِحَةِ يُرْزَقُهَا الْعَبْدَ، فَيَدْعُونَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ، فَيَلْحَقُهُ دُعَاؤُهُمْ فِي قَبْرِهِ، فَذَلِكَ زِيَادَةُ الْعُمْرِ".

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnul Walid ibnu Abdul Malik ibnu Ubaidillah Abu Sarh, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Ata, dari Maslamah ibnu Abdullah, dari pamannya Abu Masja'ah ibnu Rib'i, dari Abu Darda r.a. yang mengatakan bahwa kami berada di majelis Rasulullah Saw., lalu beliau bersabda:Sesungguhnya Allah Swt. tidak akan menangguhkan ajal seseorang apabila telah tiba masanya, dan sesungguhnya penambahan umur itu hanya melalui keturunan yang saleh yang dianugerahkan kepada seseorang. Maka mereka mendoakan baginya sesudah ia tiada, sehingga doa mereka sampai kepadanya di dalam kuburnya; yang demikian itulah pengertian penambahan umur.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ رُسْتُمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ " فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ ، قَالَ: فِي أَوَّلِ الصَّحِيفَةِ مَكْتُوبٌ عُمْرُهُ، ثُمَّ يُكْتَبُ بَعْدَ ذَلِكَ ذَهَبَ يَوْمٌ، ذَهَبَ يَوْمَانِ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى أَجَلِهِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Rustum: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad: Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’iid bin Jubair radliyallaahu ‘anhu tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’; ia berkata : “Dalam lembaran awal tertulis (panjang) umurnya. Kemudian ditulis setelah itu hilang sehari, hilang dua hari, hingga datang kematiannya” [Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 3/918-919 no. 452].

Sanadnya shahih. Hammaad bin Salamah mendengar riwayat ‘Athaa’ sebelum berubah hapalannya [Al-Mukhtalithiin hal. 82-84 no. 73 – beserta catatan kaki muhaqqiq-nya]. Muslim berhujjah dengan riwayat ‘Abdush-Shamad dari Hammaad dalam Shahiih-nya.

Allah ta’ala juga berfirman :

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya” [QS. Aali ‘Imraan : 145].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا } أي: لا يموت أحد إلا بقدر الله، وحتى يستوفي المدةَ التي ضربها الله له؛ ولهذا قال: {كِتَابًا مُؤَجَّلا } كقوله { وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ } [فاطر:11] وكقوله { هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ } [الأنعام:2].

وهذه الآية فيها تشجيع للجُبَناء وترغيب لهم في القتال، فإن الإقدام والإحجام لا يَنْقُص من العمر ولا يزيد فيه كما قال ابن أبي حاتم:
حدثنا العباس بن يزيد العبدي قال: سمعت أبا معاوية، عن الأعمش، عن حبيب بن صُهبان، قال: قال رجل من المسلمين -وهو حُجْرُ بن عَدِيّ-: ما يمنعكم أن تعبُروا إلى هؤلاء العدو، هذه النطفة؟ -يعني دِجْلَة-{ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا } ثم أقحم فرسه دجلة فلما أقحم أقحم الناس فلما رآهم العدوّ قالوا: ديوان، فهربوا

“Dan firman-Nya : ‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah’; yaitu : seseorang tidak akan mati kecuali dengan ketentuan/takdir Allah, dan hingga ia memenuhi waktu yang telah Allah tentukan baginya. Oleh karena itu Allah berfirman : ‘sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya’, seperti firman-Nya : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’ (QS. Faathir : 11). Dan juga seperti firman-Nya : ‘Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya)’ (QS. Al-An’aam : 2).

Ayat ini terdapat dorongan semangat (keberanian) bagi para penakut dan pemberian motivasi bagi mereka untuk berperang, karena maju atau mundurnya dari berperang tidaklah mengurangi atau menambah umur, sebagaimana dikatakan Ibnu Abi Haatim : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Yaziid Al-‘Abdiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Habiib bin Shuhbaan, ia berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin – ia adalah Hujr bin ‘Adiy - : “Apa yang menghalangimu menyeberangi sungai Tigris ini menuju musuh-musuh itu ?. ‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”. Setelah itu, ia memacu kudanya menyeberangi sungai Tigris, dan kemudian orang-orang pun mengikutinya. Ketika mereka melihat musuh, mereka berkata : “Diiwaan (lembar catatan)”. Mereka (musuh) pun lari ke belakang [Tafsir Ibni Katsiir, 2/129-130].

Allah ta’ala berfirman :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Al-An’aam : 59].

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal" [QS. At-Taubah : 51].

حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ............"

Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir Ahmad bin ‘Amru bin ‘Abdillah bin Sarh : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Haani’ Al-Khaulaaniy, dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk limapuluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.......” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].

Oleh karena itu, sebagian ulama menafsirkan pertambahan (ziyaadah) umur dalam hadits di awal adalah pertambahan keberkahannya, sehingga usianya penuh dengan amal-amal yang besar.

Namun sebagian ulama lain tetap menafsirkan pertambahan umur itu adalah pertambahan hakiki, dengan penjelasan sebagai berikut :

Sesungguhnya takdir itu ada dua macam. Pertama, taqdir mutlak, yaitu takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfudh. Takdir inilah yang dimaksud dalam nash-nash di atas. Kedua, takdir mu’allaq atau muqayyad, yaitu takdir yang tertulis dalam lembaran malaikat yang masih mungkin untuk dihapuskan atau ditetapkan.

Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :

والأجل أجلان: مطلق يعلمه الله، وأجل مقيد، وبهذا يتبين معنى قوله : من سره أن يبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره فليصل رحمه. فإن الله أمر الملك أن يكتب له أجلا، وقال: إن وصل رحمه زدته كذا وكذا، والملك لا يعلم أيزداد أم لا، لكن الله يعلم ما يستقر عليه الأمر، فإذا جاء الأجل لا يتقدم ولا يتأخر

“Ajal itu ada dua macam, yaitu ajal mutlak yang hanya diketahui oleh Allah, dan ajal muqayyad. Dengan demikian menjadi jelas makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim’. Sesungguhnya Allah memerintahkan malaikat untuk menuliskan baginya ajal, dan berfirman : ‘Apabila ia menyambung silaturahim akan bertambah sekian dan sekian’. Dan malaikat sendiri tidak mengetahui apakah bertambah ataukah tidak.  Akan tetapi Allah mengetahui apa-apa yang telah Ia tetapkan pada orang tersebut. Apabila datang ajal padanya, maka tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/517].

Sebagaimana terdapat dalam riwayat :

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ، قَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ "

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb : Telah berkata ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau adalah ash-shaadiqul-mashduuq, bersabda : “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah semisal itu (yaitu : selama empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging semisal itu (yaitu : selama empat puluh hari). Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara. Dikatakan kepadanya : Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya, celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkan padanya ruh. Sesungguhnya di antara kalian ada melakukan satu amalan hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan satu amalan hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, lalu dia melakukan perbuatan ahli surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207].

Keterangan perawi:

a.     Al-Hasan bin Ar-Rabii’ bin Sulaimaan Al-Bajaliy Al-Qasriy, Abu ‘Aliy Al-Kuufiy Al-Buuraaniy Al-Hashaar; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 220 H/221 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 238 no. 1251].

b.    Abul-Ahwash, ia adalah : Sallaam bin Saliim Al-Hanafiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagimutqin, shaahibul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 425 no. 2718].

c.     Al-A’masy, telah lewat keterangan tentangnya.

d.    Zaid bin Wahb Al-Juhhaniy, Abu Sulaimaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat setelah tahun 80 H atau dikatakan tahun 96 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 356 no. 2172].

أَخْبَرَنَا ابْنُ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ هُنَيْدَةَ حَدَّثَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَ نَسَمَةً، قَالَ مَلَكُ الأَرْحَامِ مُعْرِضًا: يَا رَبِّ، أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى؟ فَيَقْضِي اللَّهُ أَمْرَهُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، أَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ؟ فَيَقْضِي اللَّهُ أَمْرَهُ، ثُمَّ يَكْتُبُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مَا هُوَ لاقٍ حَتَّى النَّكْبَةَ يُنْكَبُهَا "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Ibnu Syihaab : Bahwasannya ‘Abdurrahmaan bin Hunaidah telah menceritakan kepadanya, bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila Allah hendak menciptakan jiwa, malaikat arhaam berkata : ‘Wahai Rabb, apakah ia laki-laki ataukah perempuan ?’. Maka Allah menetapkan keputusan-Nya. Malaikat itu berkata kembali : ‘Wahai Rabb, apakah ia celakan ataukah bahagia ?’. Maka Allah pun menetapkan keputusan-Nya. Kemudian malaikat tersebut menulis di antara kedua mata jiwa tersebut apa saja yang akan ditemuinya hingga musibah yang akan menimpanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/54 no. 6178; semua perawinya tsiqah kecuali Harmalah bin Yahyaa, seorang yang shaduuq. Hanya saja ia adalah salah seorang perawi yang paling mengetahui hadits Ibnu Wahab, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy, sehingga sanad riwayat ini shahih].

Diriwayatkan pula secara mauquf dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.

Keterangan perawi :

a.     Muhammad bin Al-Hasan bin Qutaibah bin Zabaan Al-‘Asqalaaniy Al-Lakhamiy; seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy [Mishbaahul-Ariib, 3/103 no. 23094].

b.    Harmalah bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Harmalah bin ‘Imraan bin Quraad At-Tajiibiy, Abul-Hafsh Al-Mishriy; seorang yang shaduuq.  Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 243 H/244 H. Dipakai oleh Muslim, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 229 no. 1185].

c.     ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].

d.    Ibnu Syihaab, telah lewat keterangan tentangnya.

e.    ‘Abdurrahmaan bin Hunaidah, atau dikatakan : Ibnu Abi Hunaidah, Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah.  Termasuk thabaqah ke-4, dam dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Qadar [Taqriibut-Tahdziib, hal. 603 no. 4061].

Diriwayatkan pula secara mauquf dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.

Mengomentari hadits-hadits di atas, Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

وبكل حال ، فهذه الكتابةُ التي تُكتب للجنين في بطن أمِّه غيرُ كتابة المقادير السابقة لخلق الخلائقِ المذكورة في قوله تعالى : مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

“Dan kesimpulannya, penulisan malaikat bagi janin dalam perut ibunya bukanlah penulisan takdir-takdir bagi penciptaan makhluk-makhluk terdahulu yang disebutkan dalam firman-Nya ta’ala : ‘Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudh) sebelum Kami menciptakannya’ (QS. Al-Hadiid : 22)” [Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 147]•

Hukum Puasa Di Hari Syakk


Hari syakk menurut sebagian ulama adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya gelap atau langit diliputi mendung sehingga hilal tidak tampak. Sebagian ulama lain berpendapat : hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya langit dalam keadaan cerah atau berawan, kemudian diberitahukan adanya ru’yah hilal dari orang yang tidak diterima persaksiannya seperti budak, wanita, atau orang fasik. Sebagian lagi berpendapat ia adalah hari ketigapuluh bulan Sya’baan dimana ketika malamnya hilal tidak nampak dalam keadaan langit
 tanpa ada faktor yang menghalangi tampaknya hilal seperti mendung, gelap, atau yang lainnya. Yang kesemuanya itu menimbulkan keraguan : apakah hari tersebut masih bulan Sya’baan ataukah telah masuk bulan Ramadlaan.

Para ulama berbeda pendapat tentang puasa di hari syakk bersamaan dengan adanya kesepakatan kebolehan berpuasa di hari itu jika memang bertepatan dengan kebiasaannya melakukan puasa (sunnah), seperti hari Senin, Kamis, atau kebiasaan puasa Daawud. Beberapa pendapat tersebut antara lain :

Hanafiyyah berpendapat berpuasa di hari itu makruh apabila diniatkan untuk berpuasa Ramadlaan atau puasa wajib lainnya. Namun jika diniatkan puasa sunnah/tathawwu’, maka tidak makruh.

Imam Al Kasaani (587 H) dari kalangan Hanafiah menyebutkan dalam Kitabnya Bada’i As-Shana’i Fi Tartib As-Syarai’ menuliskan sebagai berikut:

وأما صوم يوم الشك بنية التطوع: فلا يكره عندنا ويكره عند الشافعي، واحتج بما روي عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «من صام يوم الشك فقد عصى أبا القاسم» ولنا ما روينا عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «لا يصام اليوم الذي يشك فيه من رمضان إلا تطوعا» ، استثنى التطوع، والمستثنى يخالف حكمه حكم المستثنى منه.

Adapun berpuasa pada hari Syak dengan niat puasa sunnah: maka hal itu tidak makruh dalam mazhab kami, dan makruh dalam mazhab Syafi’i sebagaimana hadist dari Nabi Muhammad saw bahwasanya beliau berkata: barang siapa yang berpuasa pada hari syak maka telah menyalahi/bermaksiat terhadap Abu Al-Qasim. Adapun dalil yang kami gunakan ialah bahwa nabi bersabda: tidaklah seseorang berpuasa pada hari syak kecuali puasa sunah .

Az-Zayla’i (743 H) dari kalangan Hanafiah menyebutkan dalam kitabnya Tabyin Al-Haqoiq Syarh Kanzu Ad-Daqoiq bahwasanya:

قال - رحمه الله - (ولا يصام يوم الشك إلا تطوعا)

Tidaklah seseorang berpuasa pada hari syak kecuali puasa sunah.

Ibnul Humam (w. 861 H) dari kalangan Al-Hanafiyah di dalam kitabnya Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :

ولا يصومون يوم الشك إلا تطوعا وهذه المسألة على وجوه: أحدها: أن ينوي صوم رمضان وهو مكروه لما روينا، والثاني: أن ينوي عن واجب آخر وهو مكروه أيضا والثالث: أن ينوي التطوع وهو غير مكروه

Dan jangan puasa di hari syak kecuali puasa sunnah. Ada tiga bentuk dalam hal ini. Pertama, puasa dengan niat puasa Ramadhan maka hukumnya makruh sebagai kami riwayatkan. Kedua, puasa dengan niat puasa wajib yang lain dan hukumnya makruh. Ketiga, puasa dengan niat puasa sunnah dan hukumnya tidak makruh.

Maalikiyyah berpendapat makruh dalam satu perkataan – dan haram di perkataan yang lain – jika diniatkan puasa dalam rangka kehati-hatian (ihtiyaath). Namun jika diniatkan berpuasa sunnah, qadlaa’, nadzar, atau kaffarah; maka boleh dan tidak makruh.

Ibnu Abdil Barr (463 H) dari kalangan Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Al-Kaafi Fi Fiqhi Ahli Al-Madinah bahwasanya:

ولا يجوز لأحد صوم يوم الشك خوفا من أن يكون من رمضان فإن تيقن أنه من شعبان جاز صيامه تطوعا فأما مع الشك فلا

Dan tidak boleh seseorang berpuasa pada hari syak karena ditakutkan masuknya bulan ramadhan, adapun jika ia yakin bahwa hari tersebut masih di bulan Sya’ban maka diperbolehkan berpuasa sunah, adapun puasa hari syak maka tidak sama sekali .

Al-Qarafi (684 H) dari kalangan Malikiyah menyebutkan dalam kitabnya Adz-Zakhiroh bahwasanya:

الخامس في الكتاب النهي عن صوم يوم الشك أول رمضان

Dilarang untuk berpuasa di hari syak pada awal ramadhan.

Syaafi’iyyah berpendapat haram dan tidak sah, baik puasanya itu diniatkan sebagai puasa Ramadlan (dalam rangka kehati-hatian) atau puasa sunnah. Namun jika diniatkan puasa qadla’, nadzar, kaffaarah, ataupun bertepatan dengan kebiasaan puasa sunnahnya; maka boleh dan tidak makruh.

Imam An-Nawawi (676 H) dari kalangan Syafi’iyah menyebutkan dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab menyebutkan sebagaimana berikut:

ولا يجوز صوم يوم الشك لما روى عن عمار رضي الله عنه انه قال " من صام اليوم الذي يشك فيه فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم " فان صام يوم الشك عن رمضان لم يصح لقوله صلي الله عليه وسلم " ولا تستقبلوا الشهر استقبالا " ولانه يدخل في العبادة وهو في شك من وقتها فلم يصح كما كما لو دخل في الظهر وهو يشك في وقتها وإن صام فيه عن فرض عليه كره وأجزأه كما لو صلي في دار مغصوبة وإن صام عن تطوع نظرت فان لم يصله بما قبله ولا وافق عادة له لم يصح لان الصوم قربة فلا يصح بقصد معصية وإن وافق عادة له جاز لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال " لا تقدموا الشهر بيوم ولا بيومين إلا أن يوافق صوما كان يصومه أحدكم " إن وصله بما قبل النصف جاز وإن وصله بما بعده لم يجز لما روى أبو هريرة رضي الله عنه إن النبي صلى الله عليه وسلم قال " إذا انتصف شعبان فلا صيام حتى يكون رمضان "}

Tidak boleh untuk berpuasa pada hari syak sebagaiaman hadits: barang siapa yang berpuasa pada hari syak maka ia menyelesihi Abu Al-Qasim . Jika ia berpuasa pada hari syak pada ramadhan maka itu tidak diperbolehkan sebagaimana dalil: tidaklah bulan ramadhan didahului beberapa hari . Mengapa demikian? Karena hal itu termasuk ibadah, sedangkan ibadah dalam keadaan ragu tidak sah amalannya , sebagaimana jika shalat zhuhur sedang ia ragu dalam penetapan waktu zhuhur . Adapun jika ia bermaksud untuk berpuasa sunah maka perlu dilihat juga, bahwa apabila ia tidak menyambungkannya dengan hari sebelumnya atau tidak sesuai kebiasaan yang ia kerjakan maka tidak sah puasanya, karena puasa itu merupakan pendekatan kepada Allah swt. Tetapi apabila puasanya tersebut sesuai denga kebiasaan yang ia kerjakana maka hal itu tidak mengapa, sebagaiaman dalil: ramadhan tidak didahului sehari atau dua hari kecuali puasa yang biasa dikerjakan salah seorang antara kalian.

Zakaria Al-Anshari (926 H) dari kalangan Syafi’iyah menyebutkan dalam kitabnya Asna Al-Matahlib fi Syarhi Raudah At-Thalib sebagaiamana berikut:

(وكذا يوم الشك) صومه حرام فلا يصح

Demikian juga berpuasa pada hari syak, hal tersebut haram dan tidak sah.

Hanaabilah dalam pendapat masyhurnya mengatakan wajib dalam rangka kehati-hatian jika hilal di malam tigapuluh tidak nampak padahal langit tidak berawan atau tidak gelap (cerah).

Ibnu Qudamah (620 H) dari kalangan Hanabilah menyebutkan dalam kitabnya Al-Mughni bahwasanya:

وكره أهل العلم صوم يوم الشك، واستقبال رمضان باليوم واليومين؛ لنهي النبي - صلى الله عليه وسلم - عنه

Para ahli ilmu memakruhkan puasa para hari syak, juga menyambut Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, lantaran larangan dari Nabi SAW atas hal itu.

Al-Mardawi (885 H) juga dari kalangan Hanabilah mengatakan dalam kitabnya Al-Inshaf Fi Ma’rifati Ar-Rajih Minal Khilaf sebagaimana pendapat Ibnu Qudamah bahwa puasa pada hari syak itu makruh .

قوله (ويوم الشك) . يعني أنه يكره صومه

Mazhab Dzahiri

Ibnu Hazm Al-Andalusi (456 H) yang merupakan pembaharu mazhab menyebutkan dalam kitabnya Al-Muhalla Bi Al-Atsar bahwasanya:

مسألة: ولا يجوز صوم يوم الشك الذي من آخر شعبان، ولا صيام اليوم الذي قبل يوم الشك المذكور إلا من صادف يوما كان يصومه فيصومهما حينئذ للوجه الذي كان يصومهما له لا لأنه يوم شك ولا خوفا من أن يكون من رمضان

Tidak diperbolehkan berpuasa pada hari syak diakhir bulan sya’ban, begitupula sehari sebelumnya kecuali jika ia berpuasa pada dua hari sekaligus saat itu, bukan karena hari syak dan bukan pula takut akan tibanya bulan ramadhan.

Dalil-dalil yang menjadi dasar masyru’-nya puasa di hari syakk antara lain :

حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ الْحَارِثِ عَنْ الْقَاسِمِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَبْلَ شَهْرِ رَمَضَانَ الصِّيَامُ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَنَحْنُ مُتَقَدِّمُونَ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَتَقَدَّمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَتَأَخَّرْ

Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Walid Ad-Dimasyqiy : Telah menceritakan kepada kami Marwaan bin Muhammad : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Humaid   Telah menceritakan kepada kami Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits, dari Al-Qaasim Abu ‘Abdirrahmaan, bahwasannya ia mendengar Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan berkata di atas mimbar : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda di atas mimbar sebelum tiba bulan Ramadlaan : "Puasa itu hari seperti ini dan seperti ini, dan kami mendahulukannya. Barangsiapa berkehendak, ia boleh mendahulukannya. Dan barangsiapa berkehendak, ia pun boleh mengakhirkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1647].

Hadits ini lemah (syaadz) karena matannya bertentangan dengan hadits Abu Hurairah (dan yang lainnya) yang lebih shahih dari ini. Al-‘Alaa’ bin Al-Haarits meskipun seorang yang tsiqah, namun hapalannya berubah di akhir umurnya. Ada kekhawatiran kekeliruan ini berasal darinya. Wallaahu a’lam.

Al-Qaasim mempunyai mutaba’ah dari Al-Mughiirah bin Farwah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud dengan sanad dan lafadh sebagai berikut :

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْعَلَاءِ الزُّبَيْدِيُّ مِنْ كِتَابِهِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِي الْأَزْهَرِ الْمُغِيرَةِ بْنِ فَرْوَةَ قَالَ قَامَ مُعَاوِيَةُ فِي النَّاسِ بِدَيْرِ مِسْحَلٍ الَّذِي عَلَى بَابِ حِمْصَ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا قَدْ رَأَيْنَا الْهِلَالَ يَوْمَ كَذَا وَكَذَا وَأَنَا مُتَقَدِّمٌ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَفْعَلَهُ فَلْيَفْعَلْهُ قَالَ فَقَامَ إِلَيْهِ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ السَّبَئِيُّ فَقَالَ يَا مُعَاوِيَةُ أَشَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمْ شَيْءٌ مِنْ رَأْيِكَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ صُومُوا الشَّهْرَ وَسِرَّهُ

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-‘Alaa’ Az-Zubaidiy dari kitabnya : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-‘Alaa’, dari Abul-Azhar Al-Mughiirah bin Farwah, ia berkata : Mu'aawiyah pernah berdiri di antara orang-orang di Dair Mis-hal yang berada di depan pintu Himsh. Ia berkata : “Wahai manusia, sesungguhnya kami telah melihat hilaal pada hari ini dan ini, dan aku akan mendahului (berpuasa). Barangsiapa yang ingin melakukannya, maka hendaklah ia melakukannya”. Al-Mughiirah berkata : Kemudian Maalik bin Hubairah As Sabaiy berdiri di sampingnya dan berkata : “Wahai Mu'aawiyah, apakah itu sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam atau sesuatu yang berasal dari pendapatmu ?”. Ia berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Berpuasalah pada bulan tersebut dan sirr-nya” [As-Sunan no. 2329].

Sanad hadits ini pun lemah karena Al-Mughiirah bin Farwah; ia seorang yang maqbuul, yaitu dalam mutaba’ah.

عن مكحول : أن عمر بن الخطاب - رضي الله عنه - كان يصوم إذا كانت السماء في تلك الليلة مغيمة، ويقول : ليس هذا بالتقدُّم، ولكنه التحري.

Dari Mak-huul : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu biasa berpuasa (di hari tigapuluh bulan Sya’baan) apabila langit pada malam itu mendung/berawan. Ia berkata : “Ini bukanlah mendahului berpuasa (Ramadlan), akan tetapi sebagai taharriy (berhati-hati memilih yang benar/kuat untuk menghilangkan keraguan)” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/42-43].

Sanad riwayat ini lemah, karena inqithaa’. Mak-huul tidak pernah bertemu dengan ‘Umar [lihat : Al-Maraasiil oleh Ibnu Abi Haatim, hal. 213 no. 799; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 2/1418].

عن فاطمة بنت حسين، أن علىَّ بن أبى طالب قال: أصومَ يوماً من شعبان، أحبُّ إلىَّ من أن أُفْطِرَ يوماً من رمضان.

Dari Faathimah bin Husain : Bahwasannya ‘Aliy bin Abi Thaalib berkata : “(Seandainya) aku berpuasa sehari di bulan Sya’baan, maka itu lebih aku senangi daripada aku berbuka sehari di bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 612; dan dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/43].

Sanad riwayat ini lemah karena kelemahan Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru. Juga, ada keterputusan (inqitha’) antara Faathimah binti Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan kakeknya ‘Aliy bin Abi Thalib radliyallaahu anhu.

عَنْ نَافِعٍ قَالَ : فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا مَضَى مِنْ شَعْبَانَ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ يَبْعَثُ مَنْ يَنْظُرُ فَإِنْ رُئِيَ فَذَاكَ وَإِنْ لَمْ يُرَ وَلَمْ يَحُلْ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ وَلَا قَتَرٌ أَصْبَحَ مُفْطِرًا وَإِنْ حَالَ دُونَ مَنْظَرِهِ سَحَابٌ أَوْ قَتَرٌ أَصْبَحَ صَائِمًا

Dari Naafi’, ia berkata : "Jika telah berlalu dua puluh sembilan hari di bulan Sya'baan, Abdullah bin Umar mengutus seseorang untuk melihat hilal. Jika hilal terlihat maka besok adalah bulan Ramadlaan. Jika tidak terlihat dan tidak ada mendung ataupun kegelapan yang menyelimuti pandangannya, maka keesokan harinya ia berbuka (tidak berpuasa). Namun bila terhalang mendung atau kegelapan yang menutupi pandangannya maka pada keesokan harinya ia berpuasa” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/5; shahih].

عن أبى هُريرة يقول: لأن أتعجَّل فى صَوْمِ رَمَضَانَ بيوم، أحبُّ إلىَّ من أن أتأخر، لأنى إذا تَعَجَّلْتُ لم يَفُتْنى، وإذا تأخَّرت فاتَنى.

Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Aku mempercepat puasa Ramadlaan sehari, lebih aku senangi daripada mengakhirkannya. Hal itu dikarenakan, apabila aku mempercepatnya, maka tidaklah hilang/berlalu bagiku puasa Ramadlaan (walau sehari pun). Namun jika aku mengakhirkannya, maka hilang/berlalu bagiku (sehari dari puasa Ramadlaan)” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/44].
Sanad riwayat ini shahih.

عن عائشة رضى اللَّه عنها، قالت : لأن أَصُوم يَوْماً مِن شَعْبَانَ، أحبُّ إلىَّ مِن أَنْ أُفْطِرَ يوماً مِنْ رَمَضَانَ.

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ai berkata : “Aku berpuasa sehari di bulan Sya’baan lebih aku senangi daripada berbuka sehari di bulan Ramadlaan” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/44].

Sanad riwayat ini lemah karena jahalah dari utusan yang mendatangi ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa.

عن فاطمة بنت المنذر قالت: ما غُمَّ هلالُ رمضان إلا كانت أسماءُ متقدِّمةً بيوم، وتأمُرُ بتقدُّمه.

Dari Faathimah binti Al-Mundzir, ia berkata : “Tidaklah hilaal bulan Ramdlaan tertutupi (awan), kecuali Asmaa’ (binti Abi Bakr) mendahului (berpuasa) sehari. Dan ia pun memerintahkan untuk mendahuluinya” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/45].
Sanad riwayat ini shahih.

عن فاطمة، عن أسماء، أنها كانت تصومُ اليوم الذى يُشك فيه من رمضان.

Dari Faathimah, dari Asmaa’ (binti Abu Bakr) : Bahwasannya ia biasa berpuasa di hari syakk dari bulan Ramdlaan” [Dibawakan oleh Ibnul-Qayyim dengan sanadnya dalam Zaadul-Ma’aad, 2/45].
Sanad riwayat ini shahih.

Dan yang lainnya.

Dalil-dalil yang menjadi dasar tidak masyru’-nya berpuasa di hari syakk antara lain :

حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الْيَوْمَ

Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Janganlah salah seorang di antara kalian mendahului Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa, maka tidaklah mengapa ia berpuasa di hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1914].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الضَّبِّيُّ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ الْمُعْتَمِرِ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقَدِّمُوا الشَّهْرَ حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثُمَّ صُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ أَوْ تُكْمِلُوا الْعِدَّةَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz: Telah menceritakan kepada kami Jariir bin ‘Abdil-Hamiid, dari Manshuur bin Al-Mu’tamir, dari Rib’iy bin Hiraasy, dari Hudzaifah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mendahului bulan hingga melihat Hilal, atau kalian menyempurnakan bilangan, kemudian berpuasalah hingga kalian melihat Hilal atau menyempurnakan bilangan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2326].
Sanad hadits ini shahih.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فِي الْيَوْمِ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَأَتَى بِشَاةٍ فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ عَمَّارٌ مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Amru bin Qais, dari Abu Ishaaq, dari Shillah, ia berkata : Kami pernah berada bersama 'Ammar di pada hari yang diragukan, kemudian ia membawa daging kambing. Lalu sebagian orang menyingkir. Kemudian 'Ammar berkata : “Barangsiapa yang berpuasa pada hari ini, sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2336].

Sanad hadits ini lemah karena Abu Ishaaq As-Sabi’iy. Ia seorang mudallis yang membawakan riwayat dengan ‘an’anah. Akan tetapi ia mempunyai mutaba’ah dari Rib’iy sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (3/73) : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdish-Shamad Al-‘Ammiy, dari Manshur, dari Rib’iy : Bahwasannya ‘Ammaar bin Yaasir….dst. Sanad hadits ini shahih.

عن حفص وعلي بن مسهر، عن الشيباني، عن الشعبي قال : قال الضحاك بن قيس : لو صمت السنة كلها، ما صمتُ اليوم الذي يشك فيه من رمضان.

Dari Hafsh dan ‘Aliy bin Mushir, dari Asy-Syaibaaniy, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Telah berkata Adl-Dlahhaak bin Qais: “Seandainya saja aku berpuasa setahun penuh, niscaya aku tidak akan berpuasa di hari yang diragukan padanya dari bulan Ramadlaan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/71].
Sanad riwayat ini shahih.

عن وكيع، عن سفيان، عن عبد العزيز بن حكيم قال : سمعت ابن عمر يقول : لو صمت السنة كلها لأفطرتُ اليوم الذي يشك فيه.

Dari Wakii’, dari Sufyaan, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Hakiim, ia berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : “Seandainya aku berpuasa setahun penuh, aku tetap akan berbuka pada hari yang diragukan padanya” [idem].
Sanad riwayat ini hasan.

عن ابن فضيل، عن بيان، عن عامر قال : ما من يوم أبغض إليَّ أن أصومه من اليوم الذي يشك فيه من رمضان.

Dari Ibnu Fudlail, dari Bayaan, dari ‘Aamir, ia berkata : “Tidak ada hari yang lebih aku benci untuk berpuasa padanya dibandingkan hari yang diperselisihkan padanya dari bulan Ramadlaan” [idem, 3/72].

Sanad riwayat ini shahih.

Tarjih

Tarjih terhadap dalil-dalil yang dipaparkan di atas nampak bahwa pendapat yang menyatakan tidak masyru’-nya puasa di hari syakk lebih kuat/raajih.Dhaahir-nya, hukum yang terambil menunjukkan keharamannya walau dilakukan dalam rangka kehati-hatian (ihtiyaath), kecuali jika bertepatan dengan hari yang seseorang biasa berpuasa padanya.

Setelah menyebutkan hadits ‘Ammaar bin Yaasir radliyallaahu ‘anhu, At Tirmidziy  rahimahullah berkata :

وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ التَّابِعِينَ وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ كَرِهُوا أَنْ يَصُومَ الرَّجُلُ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ وَرَأَى أَكْثَرُهُمْ إِنْ صَامَهُ فَكَانَ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ أَنْ يَقْضِيَ يَوْمًا مَكَانَهُ

“Hadits ini diamalkan oleh kebanyakan ulama dari kalangan shahabat Nabi shalallaahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang sepeninggal mereka dari kalangan tabi'in. Ini juga merupakan pendapat Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, Asy-Syaafi'iy, Ahmad, dan Ishaaq. Mereka membenci orang yang berpuasa di hari syakk. Jika ternyata hari itu adalah awal Ramadlan, maka dia wajib meng-qadla' satu hari sebagai gantinya” [Jaami’ At-Tirmidziy, 2/65-66].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

قوله: "فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم" استدل به على تحريم صوم يوم الشك لأن الصحابي لا يقول ذلك من قبل رأيه فيكون من قبيل المرفوع. قال ابن عبد البر: هو مسند عندهم لا يختلفون في ذلك.

“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘sungguh ia telah durhaka kepada Abul-Qaasim shallallaahu 'alaihi wa sallam’ dijadikan dalil haramnya berpuasa di hari syakk, karena shahabat tidaklah mengatakan hal itu berdasarkan pendapatnya. Oleh karena itu, riwayat itu termasuk riwayat yang dihukumi marfuu’. Ibnu ‘Abdil-Barr berkata : ‘Riwayat itu tergolong musnad menurut mereka tanpa ada perselisihan” [Fathul-Baariy, 4/120].

قوله: "لا يتقدم رمضان بصوم يوم أو يومين" أي لا يتقدم رمضان بصوم يوم يعد منه بقصد الاحتياط له

“Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘janganlah kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa sehari atau dua hari’ ; yaitu jangan kalian mendahului Ramadlaan dengan berpuasa yang bertujuan untuk berhati-hati terhadapnya (Ramadlaan)” [idem, 4/128].

Adapun perbuatan sebagian shahabat yang berpuasa di hari syakk, maka ada kemungkinan mereka belum mengetahui dalil-dalil yang menyatakan larangan berpuasa di hari syakk. Apapun itu, sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap lebih didahulukan daripada yang lainnya sebagai bentuk pengamalan dari firman Allah ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” [QS. An-Nisaa’ : 65].

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...