Jumat, 29 Oktober 2021

Antara Sabdo Palon Dan Satrio Piningit


Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan akhirnyapun dapat dirunut secara logika historis.

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata ”Sabdo Palon Noyo Genggong” sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo ( 1135 – 1157 ) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.

…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.

nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.

menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.

Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan toleransi yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.

Dalam serat Darmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :

”Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”

”Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :

”…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”

”…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”.

Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai ”Manik Maya” atau hakekat ”Semar”.

”Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”

”Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :

Sabdapalon ature sêndhu: ”Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”

Sabdo Palon berkata sedih: ”Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2017, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.542 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam karya-karya leluhur sangat toleransif sifatnya.

Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa ”suara tanpa rupa”.Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah“mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

Banyak kesalahpahaman dalam penagsiran

Salah satu buku berbahasa Jawa yang sering dengan tujuan memunculkan ruang berjarak antara Islam dan Jawa adalah kitab “Jangka Sabda Palon”. Umumnya, upaya-upaya yang mengarahkan untuk memicu gap ini lebih banyak disebabkan penafsiran yang kurang memperhatikan pemahaman komprehensif terhadap keseluruhan teks. Kitab jangka tersusun dari rangkaian tembang macapat ini sering disebut secara lengkap sebagai Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, selanjutnya diingkat sebagai Jangka Sabda Palon. Penamaan ini mungkin disebabkan konten buku ini selain memuat kisah tentang tokoh Sabda Palon, juga berisi tentang mitologi “Prabu Jayabaya”. Serat Jangka Sabdo Palon diyakini merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita.

Anggapan yang berkembang saat ini, umumnya, menyatakan bahwa “Jangka Sabda Palon” merupakan sebuah kitab jangka yang berbicara tentang kehancuran Islam di tanah Jawa dan digantikan oleh ajaran “pengganti Islam” setelah 500 tahun keruntuhan Majapahit. Opini ini rupanya telah diamini oleh sejumlah pihak tanpa mencoba bersikap kritis dan mempertanyakannya kembali. Kebanyakan orang yang turut mengiyakan pendapat ini, sering tidak memiliki akses membaca dari sumbernya secara langsung. Hanya ikut arus mengikuti wacana umum yang berkembang secara taken for granted. Hal yang paling dirasakan, akibat kurang totalitasnya pemahaman terhadap substansi Jangka Sabda Palon adalah muncul sejumlah klaim atas penafsirannya. Klaim ini sudah tentu mewakili kepentingan tertentu untuk menjustifikasi bahwa ajaran yang dimaksud sebagai “pengganti Islam” adalah ajaran dari pemilik klaim tersebut. Terkait klaim-klaim yang muncul dari penafsiran Jangka Sabda Palon akan dibahas selanjutnya.

Kesalahpahaman yang telah terjadi ini, tidak jarang masih coba dipertahankan eksistensinya. Beberapa penulis belakangan ini berusaha memancing kembali perdebatan tentang Jangka Sabda Palon. Ruang yang selama ini telah tersekat, sepertinya hendak ditambah sekatnya kembali sehingga kenyamanan dialog yang harusnya terus dibina justru semakin jauh panggang dari api. Bambang Noorsena, misalnya, tokoh Kristen Ortodoks Syiria ini dalam bukunya “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen” merupakan salah satu penulis yang mencoba mengangkat kembali tema “marginalisasi Islam” dengan menggunakan “Jangka Sabda Palon”. Noorsena menggambarkan bahwa Serat Jangka Jayabaya Sabda Palonini merupakan salah satu gambaran bahwa Penolakan manusia Jawa yang direpresentasikan oleh tokoh Sabda Palon terhadap ajaran Islam karena agama ini dianggap memiliki corak keagamaan yang politis dan doktriner.

Selanjutnya, Noorsena membuat pernyataan bahwa Islam di Jawa pun pada akhirnya mengalami asimilasi dengan keyakinan agama terdahulu. Tentu saja, statemen Bambang Noorsena ini juga lahir dari membebek pendapat yang berkembang belaka, bukan didasarkan pada pengkajian secara langsung terhadap materi yang dibahasnya. Lebih jauh, sangat dimungkinkan Bambang Noorsena tidak membaca secara tuntas buku yang digunakan sebagai referensinya, termasuk Serat Jangka Sabda Palon. Perlu diketahui buku Bambang Noorsena ini seringkali menggunakan “Teori Pengaruh” yang tidak terstruktur dengan baik. Kelemahan paling umum yang sering dilakukan oleh penghasung teori pengaruh ialah kecenderungan membuat generalisasi secara terburu-buru, penarikan kesimpulan berdasarkan data yang belum lengkap, memaksakan data yang sebenarnya tidak relevan, dan pengamatannya hanya bersifat parsial.

Kenyataannya dalam tradisi lesan yang berkembang di Trowulan, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong bukan merupakan sosok yang anti Islam. Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam tradisi oral masyarakat adalah dua orang abdi Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sejumlah kisah babad yang menempatkan keduanya sebagai sosok mitologis. Berdasarkan keterangan resmi Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan), kedua tokoh tersebut merupakan dua di antara 7 (tujuh) dari nama orang yang dimakamkan di situs makam Troloyo yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di situs Troloyo tersebut merupakan makam abdi dalem Majapahit yang telah memeluk agama Islam.

Dengan keterangan tersebut, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam cerita rakyat justru merupakan penganut ajaran Islam. Sehingga setelah wafatnya disemayamkan dalam pemakaman Islam pula. Meskipun demikian Cerita tentang keberadaan nama Sabda Palon dan Noyo Genggong di situs Troloyo ini hanya didasarkan kepada tradisi lesan yang berkembang pada masyarakat di sekitar situs itu saja. Kebenarannya sudah tentu sukar diverifikasi. Namun tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita babad yang saat ini beredar, umumnya banyak yang menggali ide ceritanya dari tradisi lesan yang berkembang di suatu masyarakat tertentu. Kemudian tradisi lesan yang ada, diberi muatan nilai baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan sehingga muncullah mitos tersebut.


Untuk Mengetahui Sabdo Palon sejenak Kita akan membahas Grojogan Sewu terlebih dahulu.

Grojogan Sewu yang selama ini terkenal sebagai salah satu air terjun yang indah di Kecamatan Tawang Mangu Solo-Jawa tengah ternyata juga menjadi nama salah tokoh namanya Grojogan Sewu (Nama gelar) karena memang tempat itu menjadi lokasi Tapa Bratanya dalam rangka mencapai Ilmu Kesempurnaan.Grojogan Sewu adalah seorang sais dokar, kisah awal nya di mulai ketika beliau berkenalan dengang seorang pengembara bernama Rangga Seta yang menumpangi dokarnya. Melihat pengembara itu menggunakan pakaian jubah & sorban dikepala yang berbeda dengan adat Jawa maka beliau bertanya kepada pengembara itu.

Dari mana anda berasal? Rangga Seta tidak menjawab dari mana ia berasal tetapi menjawab pertanyaan tersebut dengan “Saya Saudara Kamu, karena semua manusia bersaudara anak keturunan Adam”. Mendengar jawaban tersebut Grojogan Sewu tersentuh karena orang yang baru dikenalnya menganggap saudara sekaligus penasaran dan kembali bertanya Siapa Adam? Adam adalah Nenek Moyang Saya, Anda Dan semua Manusia. Mendengar jawaban seperti itu Grojogan Sewu semakin tertarik lebih Jauh dan meminta Rangga Seta untuk bersedia mengajarkan Ilmu Pengetahuan Kepadanya. Rangga Seta balik bertanya kepada Grojogan Sewu mengapa anda Ingin Belajar? karena saya ingin cerdas ingin pandai jawab Grojogan Sewu. Memang manusia harus pandai harus mau berpikir karena itu perintah Ilahi tegas Rangga Seta. Melihat niat belajar dan sikap yang theacible Dan memang Bakat kecerdasan Dari Grojogan Sewu maka Rangga Seta pun bersedia mengajarkan kepada Grojogan Sewu.

Proses belajar pun di mulai dengan materi Aji Kalimasada, karena memang bakat kecerdasan dan niat yang bersungguh-sungguh maka proses belajar Grojogan Sewu pun berjalan dengan cepat. Pada Saat pelajaran ujian terakhir Grojogan Sewu di perintahkan untuk semedi di suatu tempat oleh Rangga Seta. Grojogan Sewu bertanya di manakah tempat semedi itu? Kemudian Rangga Seta mengarahkan tangannya menunjuk kesuatu tempat maka terlihat lah air terjun dari kejauhan, bersemedilah kamu disana, di balik air terjun itu ada Goa Dan Goa itulah tempatnya. Mendengar perintah dari Rangga Seta lalu Grojogan Sewu pun menyanggupinya. Perintah semedi ini sekaligus perpisahan antara Grojogan Sewu dengan Rangga Seta. Pada Saat itu Rangga Seta mengatakan suatu saat kita akan bertemu lagi dan beliau berpesan Jadilah Insan yang bermanfaat Dan tegakkan lah keadilan.

Setelah perpisahan tersebut Grojogan Sewu kembali menoleh kearah dimana letak air terjun itu, Namun air terjun itu tidak terlihat Dan Grojogan Sewu akhirnya menelusuri kearah yang tadi di tunjukkan oleh Sang Guru.

SABDO PALON BUKAN SEMAR

Penjabaran dari kata kunci di atas.
Kisah Sabdo Palon & Uga Wangsit Siliwangi tentang Pemimpin Nusantara di Akhir Jaman adalah Ciri dari Waskita nya Raja Brawijaya dan Prabu Siliwangi. Ke waskitaan tersebut di Ajarkan oleh Syech Grojogan Sewu. Syech Grojogan Sewu di ajarkan oleh Rangga Seta.

Cerita Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu naskah skenario dengan sumber yang sama walaupun dari tempat yang berbeda yaitu Majapahit dan Pajajaran. Kedua kisah itu bak gayung bersambut, seperti Madu dengan Manisnya, seperti kata pepatah “asam di gunung daram di laut akhirnya bertemu juga” yang berujung kepada dua tokoh Rangga Seta dan Semar Badranaya.

Siapakah Rangga Seta yang memiliki Kuda Putih Dan Pedang Itu?

Inilah Serat Sabdo Palon Penguasa Ghaib Tanah Jawa

1. Pada sira ngelingana Carita ing nguni-nguni Kang kocap ing serat Babad Babad nagari Mojopahit Nalika duking nguni Sang-a Brawijaya Prabu Pan samya pepanggihan Kaliyan Njeng Sunan Kali Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

Ingatlah kalian semua, Akan cerita masa lalu, Yang tercantum didalam Babad ( Sejarah ) Babad Negara Majapahit, Ketika itu, Sang Prabhu Brawijaya, Tengah bertemu, Dengan Kangjeng Sunan Kalijaga, Ditemani oleh Sabdo Palon dan Naya Genggong.

2. Sang-a Prabu Brawijaya Sabdanira arum manis Nuntun dhateng punakawan Sabda Palon paran karsi Jenengsun sapuniki Wus ngrasuk agama Rasul Heh ta kakang manira Meluwa agama suci Luwih becik iki agama kang mulya.

Sang Prabhu Brawijaya, Bersabda dengan lemah lembut, Mengharapkan kepada kedua punakawan( pengiring dekat )-nya, Tapi Sabdo Palon tetap menolak, Diriku ini sekarang, Sudah memeluk Agama Rasul (Islam), Wahai kalian kakang berdua, Ikutlah memeluk agama suci, Lebih baik karena ini agama yang mulia.

3. Sabda palon matur sugal Yen kawula boten arsi Ngrasuka agama Islam Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu Sagung kang para Nata Kang jumeneng ing tanah Jawi Wus pinasthi sayekti kula pisahan.


Sabdo Palon menghaturkan kata-kata agak keras, Hamba tidak mau, Memeluk agama Islam, Sebab hamba ini sesungguhnya, Raja Dahnyang ( Penguasa Gaib ) tanah Jawa, Memelihara kelestarian anak cucu ( penghuni tanah Jawa ), (Serta) semua Para Raja, Yang memerintah di tanah Jawa, Sudah menjadi suratan karma (wahai Sang Prabhu), kita harus berpisah.

4. Klawan Paduka sang Nata Wangsul maring sunya ruri Mung kula matur petungna Ing benjang sakpungkur mami Yen wus prapta kang wanci Jangkep gangsal atus taun Wit ing dinten punika Kula gantos agami Gama Budhi kula sebar ing tanah Jawa.

Dengan Paduka Wahai Sang Raja, Kembali ke Sunyaruri (Alam kosong tapi ber-'isi'; Alam yang tidak ada tapi ada), Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka menghitung, Kelak sepeninggal hamba, Apabila sudah datang waktunya, Genap lima ratus tahun, Mulai hari ini, Akan saya ganti agama (di Jawa), Agama Buddhi akan saya sebarkan ditanah Jawa.

5. Sinten tan purun nganggeya Yekti kula rusak sami Sun sajakken putu kula Berkasakan rupi-rupi Dereng lega kang ati Yen durung lebur atempur Kula damel pratandha Pratandha tembayan mami Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.

Siapa saja yang tidak mau memakai, Akan saya hancurkan, Akan saya berikan kepada cucu saya sebagai tumbal, Makhluk halus berwarna-warni, Belum puas hati hamba, Apabila belum hancur lebur, Saya akan membuat pertanda, Pertanda sebagai janji serius saya, Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan lahar.

6. Ngidul ngilen purugira Nggada banger ingkang warih Nggih punika wedal kula Wus nyebar agama budi Merapi janji mamai Anggereng jagad satuhu Karsanireng Jawata Sadaya gilir gumanti Boten kenging kalamunta kaowahan.

Kearah selatan barat mengalirnya, Berbau busuk air laharnya, Itulah waktunya, Sudah mulai menyebarkan agama Budhi, Merapi janji saya, Menggelegar seluruh jagad, Kehendak Tuhan, (Karena) segalanya (pasti akan) berganti, Tidak mungkin untuk dirubah lagi.

Note [Suchamda] : Agama Budhi bukan berarti semata agama Buddha, tetapi adalah AGAMA KESADARAN / ELING / HAKIKAT yang bisa meredam kemurkaan alam..

7. Sanget-sangeting sangsara Kang tuwuh ing tanah Jawi Sinengkalan tahunira Lawon Sapta Ngesthi Aji Upami nyabarang kali Prapteng tengah-tengahipun Kaline banjir bandhang Jeronne ngelebna jalmi Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Sangat sangat sengsara, Yang hidup ditanah Jawa, Perlambang tahun kedatangannya, LAWON SAPTA NGESTI AJI ( LAWON ; 8, SAPTA ; 7, NGESTHI ; 9, AJI ; 1 = 1978), Seandainya menyeberangi sebuah sungai, Ketika masih berada ditengah-tengah, Banjir bandhang akan datang tiba-tiba, Tingginya air mampu menenggelamkan manusia, Banyak manusia sirna karena mati.

8. Bebaya ingkang tumeka Warata sa Tanah Jawi Ginawe kang paring gesang Tan kenging dipun singgahi Wit ing donya puniki Wonten ing sakwasanipun Sedaya pra Jawata Kinarya amertandhani Jagad iki yekti ana kang akarya.

Bahaya yang datang, Merata diseluruh tanah Jawa, Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup, Tidak bisa untuk ditolak, Sebab didunia ini, Dibawah kekuasaan, Tuhan dan Para Dewa, Sebagai bukti, Jagad ini ada yang menciptakan.

9. Warna-warna kang bebaya Angrusaken Tanah Jawi Sagung tiyang nambut karya Pamedal boten nyekapi Priyayi keh beranti Sudagar tuna sadarum Wong glidhik ora mingsra Wong tani ora nyukupi Pametune akeh sirna aneng wana.

Bermacam-macam mara bahaya, Merusak tanah Jawa, Semua yang bekerja, Hasilnya tidak mencukupi, Pejabat banyak yang lupa daratan, Pedagang mengalami kerugian, Yang berkelakuan jahat semakin banyak, Yang bertani tidak mengahasilkan apa-apa, Hasilnya banyak terbuang percuma dihutan.

10. Bumi ilang berkatira Ama kathah kang ndhatengi Kayu katahah ingkang ilang Cinolong dening sujanmi Pan risaknya nglangkungi Karana rebut rinebut Risak tataning janma Yen dalu grimis keh maling Yen rina-wa kathah tetiyang ambengal.

Bumi hilang berkahnya, Banyak hama mendatangi, Pepohonan banyakyang hilang, Dicuri manusia, Kerusakannya sangat parah, Sebab saling berebut, Rusak tatanan moral, Apabila malam hujan banyak pencuri, pabila siang banyak perampok.

11. Heru hara sakeh janma Rebutan ngupaya anggering praja Tan tahan perihing ati Katungka praptaneki Pageblug ingkang linangkung Lelara ngambra-ambara Warading saktanah Jawi Enjing sakit sorenya sampun pralaya.

Huru hara seluruh manusia, Berebut kekuasan kerajaan, Tidak tahan perdihnya hati, Disusul datangnya, Wabah yang sangat mengerikan, Penyakit berjangkit kemana-mana, Merata seluruh tanah Jawa, Pagi sakit sorenya mati.

12. Kesandhung wohing pralaya Kaselak banjir ngemasi Udan barat salah mangsa Angin gung nggegirisi Kayu gung brasta sami Tinempuhing angin agung Kathah rebah amblasah Lepen-lepen samya banjir Lamun tinon pan kados samodra bena.

Belum selesai wabah kematian, Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi, Hujan besar salah waktu, Angin besar mengerikan, Pohon-poho besar bertumbangan, Disapu angin yang besar, Banyak yang roboh berserakan, Sungai-sungai banyak yang banjir, Apabila dilihat bagaikan lautan.

13. Alun minggah ing daratan Karya rusak tepis wiring Kang dumunung kering kanan Kajeng akeh ingkang keli Kang tumuwuh apinggir Samya kentir trusing laut Sela geng sami brasta Kabalebeg katut keli Gumalundhung gumludhug suwaranira.

Ombak naik kedaratan, Membuat rusak pesisir pantai, Yang berada dikiri kanannya, Pohon banyak yang hanyut, Yang tumbuh dipesisir, Hanyut ketengah lautan, Bebatuan besar hancur berantakan, Tersapu ikut hanyut, Bergemuruh nyaring suaranya.

14. Hardi agung-agung samya Huru-hara nggegirisi Gumleger swaranira Lahar wutah kanan kering Ambleber angelebi Nrajang wana lan desagung Manungsanya keh brasta Kebo sapi samya gusis Sirna gempang tan wonten mangga puliha.

Gunung berapi semua, Huru hara mengerikan, Menggelegar suaranya, Lahar tumpah kekanan dan kekirinya, Menenggelamkan, Menerejang hutan dan perkotaan, Manusia banyak yang tewas, Kerbau dan Sapi habis, Sirna hilang tak bisa dipulihkan lagi.

15. Lindhu ping pitu sedina Karya sisahing sujanmi Sitinipun samya nela Brekasakan kang ngelesi Anyeret sagung janmi Manungsa pating galuruh Kathah kang nandhang roga Warna-warna ingkang sakit Awis waras akeh klang prapteng pralaya.

Gempa bumi sehari tujuh kali, Membuat ketakutan manusia, Tanah banyak yang retak-retak, Makhluk halus yang ikut membantu amarah alam, menyeret semua manusia, Manusia menjerit-jerit, Banyak yang terkena penyakit, Bermacam-macam sakitnya, Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.

16. Sabda Palon nulya mukswa Sakedhap boten kaeksi Wangsul ing jaman limunan Langkung ngungun Sri Bupati Njegreg tan bisa angling Ing manah langkung gegetun Kedhuwung lepatira Mupus karsaning Dewadi Kodrat iku sayekti tan kena owah.

Sabdo Palon kemudian menghilang, Sekejap mata tidak terlihat sudah, Kembali ke alam misteri, Sangat keheranan Sang Prabhu, Terpaku tidak bisa bergerak, Dalam hati merasa menyesal, Merasa telah berbuat salah, Akhirnya hanya bisa berserah kepada Tuhan, Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak akan bisa dirubah lagi.

Sebagai sebuah jangka yang dinyatakan memiliki visi ramalan, Jangka Sabda Palon bukannya tanpa kritik. Perlu dimengerti bahwa memahami Jangka Sabda Palon sebagai sebuah “ramalan” sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh sebuah pola cara pandang. Bagi seseorang yang menyukai klenik, dengan menghubung-hubungkan Jangka Jayabaya dengan sebuah kepentingan tertentu maka bisa saja didapatkan kesimpulan bahwa jangka ini telah m”meramalkan sesuatu”.

Namun dengan cara demikian jelas banyak kelemahan yang akan ditemui. Sebut saja misalnya Jangka Jayabaya menyebutkan bahwa pada masa berlakunya “ramalan” maka akan terjai sebuah jaman yang paling menyengsarakan penduduk Tanah Jawa. Masa yang dimaksud ditandai dengansengkalan sebagai “Lawon Sapta Ngesthi Aji”. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk angka maka sengkalan tersebut akan menunjukkan tahun 1877 tahun Jawa. Hal ini ditunjukkan dalam Jangka Sabda Palon sebagai berikut:

Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi, sinengkalan tahunira, Lawon sapta Ngesthi Aji, upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir bandhang, jerone nglelebne jalmi, kathah manungsa prapteng pralaya

(Waktu paling sengsara yang terjadi di tanah Jawa terjadi pada sengkalan tahun Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama menyeberang sungai setelah sampai di tengah-tengah, sungainya banjir besar, kedalamannya menenggelamkan manusia, banyak manusia yang tewas)

Pemaknaan atas isi Jangka Sabda Palon tersebut sudah tentu bisa bermacam-macam tergantung cara pandang yang dimiliki penafsirnya. Tradisi Jawa sendiri tidak memiliki metodologi yang jelas dalam berinteraksi dengan bentuk-bentuk teks semacam ini. Salah satu cara pandang yang bisa dikemukakan adalah dengan melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada tahun Jawa tersebut. Angka tahun 1877 tahun Jawa jika dikonversi ke dalam penanggalan masehi maka akan didapatkan angka tahun 1945 atau 1946 M. Jika angka tahun tersebut dihubungkan dengan “kesengsaraan yang terjadi di tanah Jawa” maka akan didapatkan hasil yang membingungkan. Sebab diketahui bersama bahwa pada tahun 1945-1946 ini bangsa Indonesia termasuk penduduk tanah Jawa sedang berada dalam suasana kegembiraan karena “ Atas berkat rahmat Allah yang maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur … maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Tentu saja hal ini bisa ditafsirkan dengan cara yang lain dimana bentuk-bentuk penafsiran tersebut tidak dapat dibatasi dengan satu cara pandang saja. Dengan demikian klaim-klaim terkait penafsirannya bisa saja tidak sepi dari motif dan kepentingan.

Motif dan kepentingan tertentu juga bisa berlaku dalam kasus penafsiran Jangka Sabda Palon sebagai “anti Islam” dan “menubuatkan” lenyapnya Islam di tanah Jawa. Jika diteliti secara mendalam, istilah-istilah seperti agama Buda atau Budi dalam jangka Sabda Palon ternyata tidak menunjukkan adanya eksistensi ajaran Agama Budha sama sekali. Jadi yang dimaksud dengan Agama Buda atau Budi ternyata memiliki makna istilahiy yang lain dari makna aslinya. Hal ini ditunjukkan dalam penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon sebagai berikut:

Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji, …

(Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung jaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu …)

Justru Jangka Sabda Palon dari segi isinya menunjukan bahwa ada keinginan mendalam dari tokoh “Sabda Palon” untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus tahun ramalannya. Dalam pandangan Sabda Palon ajaran Islam yang dibawa oleh para Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga, belum merupakan ajaran Islam yang sempurna. Sabda Palon berkehendak menganut ajaran agama ini jika telah diajarkan secara sempurna, bebas dari sinkretisme. Hal ini ditunjukkan sebagai berikut:

Thathit kliweran ing nusa Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata.

Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan budayawan Jawa, menafsirkan kalimat di atas bahwa pada masa kehidupan Prabu Brawijaya, raja Majapahit, tokoh Sabda Palon belum bersedia menganut Agama Islam dan lebih memilih menganut Agama Budha. Alasannya, Sabda Palon masih menganggap bahwa penganut Islam saat itu masih menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Namun pada saatnya kelak, jika Agama Islam telah diajarkan secara murni, maka Sabda Palon akan bersedia memeluk Agama Islam.

Dalam anggapan Sabda Palon, Islam belum dianggap mencapai kesejatian atau kemurnian jika hanya diamalkan menjadi ibadah ritual belaka tanpa memperhatikan kebersihan jiwa. Juga tidak menjadi murni jika hanya diucapkan dibibir namun tidak menjadi praktek nyata. Bahkan pada bagian akhir Jangka ini tokoh Sabda Palon mengancam “manusia Jawa” jika mereka tidak mengikuti dirinya memeluk agama rasul yaitu islam yang sejati. Maka akan berat tanggungjawabnya kelak. Hal ini ditujukkan sebagai berikut:

Sampurnakna agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati … Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara ing saindenging, …

Dengan demikian anggapan bahwa Jangka Sabda Palon merupakan karya sastra yang memperkuat mitos bahwa Islam akan lenyap dari bumi Jawa terbukti tidak benar. Jangka Sabda Palon justru berbicara sebaliknya bahwa Islam akan sampai kepada pemurnian ajarannya dimana Sabda Palon sendiri berkehendak memeluk agama tersebut. Hal demikian memang sulit dipahami, sebab banyak bahasa simbol yang digunakan dalam kitab tersebut.

Kesalahan penafsiran terhadap jangka Sabda Palon, sebagai “nubuatan” Kristen, Budha, maupun kebatinan lebih banyak didasarkan kepada kepentingan tertentu. Juga disebabkan kurang teliti menganalisa Jangka tersebut.

Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: ”Semar Ngejawantah”.

Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun 2006 lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : ”Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah ”Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama ”Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 0 + 0 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari ”bumi sap pitu” dan ”langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan ”Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

Satrio Piningit

”Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan“Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon.

Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat sensitif. Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah menitis kepada ”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.

Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing orang.

Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah bangsa ini memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi dan langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib namun nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar. Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup) sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas tanpa disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika ”Semar Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka pecahlah peperangan ”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan keburukan. Di saat inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan menjalani fase tersebut.

Hakekat Satrio Piningit  adalah sosok seorang ”Guru Sejati”. Sosok guru yang tidak menyebarkan ”ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man arofa nafsahu faqad arofa robbahu” (kenalilah dirimu sendiri sebelum mengenal Allah).

Sehingga kembali dalam konteks ”Satrio Piningit” yang sejatinya adalah Sabdo Palon, terdapat suatu misteri kata sandi yang harus dipecahkan, yaitu : ”Di balik SP (Satrio Piningit) terdapat 10 SP.” Angka 10 menyiratkan bahwa untuk mencari yang 1 (satu = Esa), kita harus mengosongkan diri (0). Angka 0 dan 1 adalah bilangan digit (binary) yang melambangkan kalimah toyyibah : ”La ilaha ilallah” (tiada Tuhan (0) selain Allah (1).

Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho. Amin.

Menguak Wangsit Siliwangi


Sebelum moksa, Prabu Siliwangi sempat meninggalkan pesan atau amanah yang kemudian disebut Wangsit Siliwangi. Isi Wangsit Siliwangi mengandung pelajaran tinggi, karena di dalamnya tergambar jelas situasi atau kondisi sosial yang melatarbelakangi masa pemerintahan beliau. Di ujung wangsit tersebut, terjadilah peristiwa menghilangnya Kerajaan Pajajaran.

Wangsit Siliwangi

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!

Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada!

Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.

Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.

Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.

Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!

Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.

Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.

Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran.

Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.

Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.

Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!

Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.

Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati.

Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

Artinya

Prabu Siliwangi berkata kepada warga Pajajaran yang ikut mundur sebelum menghilang, “Perjalanan kita hanya sampai hari ini meskipun kalian semua setia kepadaku! Aku tidak boleh membawa-bawa kalian pada masalah ini, ikut-ikutan hidup sengsara, ikut kumal sambil kelaparan. Kalian harus memilih untuk hidup selanjutnya supaya nanti bisa hidup makmur dan kaya raya, bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran seperti yang sekarang ini, melainkan Pajajaran yang berdirinya dibangkitkan oleh perkembangan zaman! Pilih! Aku tidak akan menghalang-halangi sebab bagiku, tidak pantas menjadi raja yang seluruh rakyatnya selalu lapar dan sengsara.”

Dengarkan! Kalian yang masih ingin mengikutiku, cepat pergi pisahkan diri ke sebelah Selatan! Kalian yang ingin kembali ke kota yang ditinggalkan, cepat pisahkan diri ke sebelah Utara! Kalian yang ingin mengabdi kepada penguasa yang sedang jaya, segera pisahkan diri ke sebelah Timur! Kalian yang tidak ingin mengikuti siapa pun, segera pisahkan diri ke sebelah Barat!

Dengarkan! Kalian yang di sebelah Timur, harus tahu. Kejayaan mengikuti kalian. Iya benar sekali, keturunan kalian yang nantinya bakal memerintah saudara-saudara kita dan orang lain. Akan tetapi, harus tahu. Mereka akan memerintah dengan cara yang keterlaluan. Nanti akan tiba pembalasan atas segala perbuatan mereka. Cepat pergi!

Kalian yang berada di sebelah Barat! Telusuri oleh kalian jejak Ki Santang! Hal itu disebabkan nantinya keturunan kalian yang mengingatkan saudara-saudara kita dan orang lain. Keturunan kalian itu yang akan berupaya memberikan peringatan dan penyadaran kepada teman-teman sekampung, saudara-saudara kita yang berupaya untuk hidup rukun melangkah bersama sependirian, dan kepada semua orang yang baik hatinya. Nanti, suatu saat, kalau di tengah malam dari Gunung Halimun terdengar teriakan meminta tolong, nah itulah tandanya, seluruh keturunan kalian dipanggil oleh dia yang akan menikah di Lebak Cawene. Jangan telat serta jangan bersikap dan berperilaku berlebihan sebab telaga akan meluap menimbulkan banjir. Cepat pergi! Jangan menengok ke belakang!

Kalian yang berpisah ke sebelah Utara, dengarkan semuanya! Kota tidak akan pernah kalian temukan. Yang ditemukan hanya tegalan yang harus diolah. Keturunan kalian kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Kalaupun ada yang memiliki pangkat, tetap tidak memiliki kekuasaan. Mereka nanti, suatu waktu, akan tergeser oleh orang lain. Banyak orang datang dari tempat-tempat yang jauh, tetapi orang-orang yang menyusahkan kalian. Waspadalah!

Seluruh keturunan kalian akan aku kunjungi, tetapi hanya pada waktu yang diperlukan. Aku akan datang lagi menolong yang membutuhkan pertolongan, membantu yang kesusahan, tetapi hanya kepada mereka yang baik tingkah lakunya. Jika aku datang, tidak akan terlihat. Kalau aku berbicara, tidak akan terdengar. Memang aku akan datang. Akan tetapi, hanya kepada mereka yang baik hatinya, mereka yang memahami terhadap satu tujuan, mereka yang mengerti pada keharuman sejati, mereka yang memiliki empati tinggi dan tertata rapi pikirannya, serta yang baik tingkah lakunya. Kalau aku datang, tidak akan berupa dan tidak akan bersuara, tetapi memberi ciri dengan wewangian. Sejak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, kecuali nama untuk mereka yang menelusurinya. Hal itu disebabkan bukti yang ada akan diingkari banyak pihak! Akan tetapi, nanti, suatu saat, akan ada yang mencoba-coba supaya yang hilang dapat ditemukan kembali. Memang bisa, hanya menelusurinya harus menggunakan dasar-dasar yang jelas. Namun, mereka yang menelusurinya banyak yang petantang-petenteng merasa diri paling pintar dan paling benar. Kalau berbicara, suka berlebihan. Mereka memang harus menjadi orang-orang brengsek dulu.

Nanti akan banyak yang ditemukan, tetapi hanya sebagian-sebagian. Hal itu disebabkan segera dilarang oleh orang yang disebut Pemimpin Pengganti yang berkuasa hanya pada masa jeda. Namun, ada yang berani mencari terus-menerus, tidak mempedulikan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Sang Anak Gembala. Rumahnya di ujung sungai yang ujungnya bertemu dengan sungai lain, pintunya batu setinggi manusia, terlingkupi lebatnya pohon handeuleum, terimbuni pohon hanjuang. Apa yang digembalakannya? Bukan kerbau, bukan domba, bukan harimau, bukan banteng, melainkan ranting-ranting dan batang-batang pohon kering. Dia asyik mencari, mengumpulkan yang bisa ditemukan. Sebagian disembunyikan karena belum waktunya dikemukakan dan dilaksanakan. Nanti kalau sudah tepat waktu dan masanya, akan banyak yang terbuka dan orang-orang ramai memintanya untuk diungkapkan dan dilaksanakan. Akan tetapi, harus mengalami banyak kejadian dan menemukan berbagai peristiwa bersejarah. Selesai zaman yang satu, berganti zaman yang lain. Setiap zaman membuat sejarah. Lamanya setiap zaman sama dengan melakukan penyukmaan, pengusumahan, dan penitisan. Setelah penitisan, kembali lagi ke penyukmaan. Itu artinya, zaman dan sejarah selalu berputar ke itu-itu lagi.

Dengarkan! Mereka yang sekarang memusuhi kita akan menjadi raja hanya dalam waktu yang sebentar. Waktunya hanya sampai pada masa tanah kering. Padahal, tanah itu terletak di pinggir Sungai Cibantaeun. Tanah itu kemudian dijadikan kandang kerbau kosong. Nah, sejak saat itu seluruh negara akan terpecah-pecah. Dipecahkan dan dijajah kerbau-kerbau bule yang dipimpin oleh orang tinggi yang memerintah di alun-alun. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule mengendalikan generasi muda dan pewaris kekuasaan, keturunan kita menjadi kuli, orang suruhan, namun tidak terasa karena semuanya serba ada, murah, banyak pilihan, dan bisa makan sampai kenyang.

Selepas itu, seluruh bidang kehidupan dikuasai monyet. Kemudian, keturunan kita ada yang sadar, tetapi sadarnya mirip orang yang baru bangun dari mimpi. Hal-hal yang sejak dulu hilang tenggelam dalam sejarah, banyak yang menemukannya. Akan tetapi, banyak yang tertukar sejarahnya. Ada penemuan yang digunakan, tetapi sebetulnya tidak perlu digunakan. Bahkan, ada yang dicuri dan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti kisah! Kemudian, geger senegara. Pintu yang tertutup didobrak oleh para pembuka jalan, tetapi jalan yang kurang tepat.

Yang memerintah bersembunyi jauh sekali, alun-alun jadi kosong, kerbau bule pada kabur. Lalu, negara yang terpecah-pecah itu dikuasai dan dirusakkan monyet! Keturunan kita enak-enak tertawa, tetapi tertawa yang tertahan, tidak tuntas, karena ternyata warung habis dirusak monyet, sawah habis dikuasai monyet, lumbung padi habis dimakan monyet, kebun dilalap monyet, perempuan-perempuan hamil oleh monyet. Segala-gala dikuasai monyet. Keturunan kita takut oleh mereka yang bergaya seperti monyet. Undang-undang dan hukum dipegang monyet sambil mengendalikan para pemuda. Keturunan kita tetap menjadi orang-orang suruhan dan kuli. Banyak yang mati kelaparan. Mulai saat itu keturunan kita mengharapkan panen jagung sambil mencoba-coba bertani tanpa ilmu pengetahuan dalam mengolah lahan. Tidak paham dan tidak peduli bahwa zaman sudah berganti lagi kisah.

Kemudian, sayup-sayup, namun jelas beritanya, dari ujung laut Utara terdengar guruh yang bergemuruh, burung garuda menetaskan telur. Geger seluruh dunia! Lalu, apa yang terjadi di negeri kita?Ramai oleh yang sedang berperang. Perang seluruhnya sampai ke pelosok-pelosok. Monyet mengumpul berjatuhan. Keturunan kita mengamuk sejadi-jadinya, mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tak berdosa. Sudah jelas musuh, malah dijadikan teman. Jelas-jelas teman disebut musuh. Mendadak banyak yang menjadi pemimpin yang memerintah dengan cara-cara edan. Mereka yang kebingunan tambah bingung, anak-anak yang belum dewasa sudah menjadi bapak. Mereka yang mengamuk semakin kalap, mengamuk tanpa pilih bulu. Mereka yang putih dikejar dan dihancurkan, yang hitam diusir. Daratan kita benar-benar panas dan kacau disebabkan mereka yang sedang mengamuk, tidak beda dengan tawon yang dilempari tepat mengenai sarangnya. Seluruh daratan dibuat tempat penjagalan. Akan tetapi, segera ada yang menghentikan. Mereka yang menghentikannya adalah orang seberang.

Lalu, berdirilah seorang raja, asalnya orang biasa. Akan tetapi, memang titisan raja zaman dulu dan ibunya seorang puteri Pulau Dewata. Karena jelas titisan raja, raja baru itu susah untuk dianiaya! Selepas itu, ganti lagi zaman. Ganti zaman, ganti kisah! Kapan? Tidak lama setelah tampak bulan di siang hari yang disusul melintasnya bintang terang bercahaya. Di bekas negara kita, berdiri lagi kerajaan. Kerajaan di dalam kerajaan dan rajanya bukan trah Pajajaran.

Terus, berdiri lagi raja, tetapi raja buta yang membangun gerbang yang tidak boleh dibuka, membangun pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran di tengah jalan, memelihara elang di pohon beringin karena memang raja buta! Bukan buta pemaksa jahat yang sewenang-wenang, tetapi buta tidak dapat melihat, buta matanya. Buaya dan serigala, kucing garong dan monyet mencakar-cakar dan menggeorogoti rakyat yang sedang dalam keadaan susah. Sekalinya ada yang mengingatkan, yang diburu bukan binatangnya, melainkan orang yang mengingatkan tersebut. Makin lama makin lama, banyak raksasa yang jahat. Mereka menyuruh menyembah lagi berhala. Pergaulan anak muda salah jalan. Kesalahan pergaulan itu diakibatkan oleh salahnya aturan dari pemerintah. Undang-undang dan hukum hanya ada di mulut dan dalam diskusi-diskusi kosong tanpa bisa ditegakkan dengan benar. Hal itu disebabkan para pejabatnya bukan ahlinya, buah padi banyak yang tidak masuk ke dapur rakyat. ........................ Salah sendiri mempercayakan kebun kepada orang yang gemar berdusta, petaninya suka mengumbar janji palsu, orang-orang pintar terlalu banyak, tetapi pinternya keblinger.

Dalam keadaan itu, datang Pemuda Berjanggut. Datang dengan menggunakan pakaian serba hitam sambil menyandang sarung tua, menyadarkan orang-orang yang sedang tersesat, mengingatkan orang-orang yang sedang terlupa. Akan tetapi, tidak diperhatikan! Mereka tidak memperhatikannya karena pinter keblinger, inginnya menang sendiri. Mereka tidak paham dan tidak sadar bahwa langit sudah memerah, menunjukkan wajah marah, dari Bumi asap sudah mengepul dari perapian. Alih-alih diperhatikan, Pemuda Berjanggut oleh mereka ditangkap, lalu dimasukkan dalam penjara. Kemudian, mereka mengacak-acak rumah orang, mengobrak-abrik urusan orang, merusakkan nama baik organisasi orang dengan alasan mencari musuh yang jahat, padahal mereka sendiri sesungguhnya yang mencari-cari permusuhan.

Waspadalah! Mereka nanti akan melarang keadaan Pajajaran dikisahkan. Hal itu disebabkan mereka takut ketahuan bahwa sebenarnya merekalah yang menjadi gara-gara selama ini yang menyebabkan terjadinya berbagai kesemrawutan. Raksasa-raksasa yang beringas semakin hari semakin bandel, sombong, pongah, brutal, dan sewenang-wenang melebihi kerbau bule. Mereka tidak sadar bahwa zaman manusia sudah dikuasai binatang!

Kekuasaan raksasa-raksasa buta itu tidak terlalu lama, tetapi selama berkuasa itu keterlaluan sekali menindas rakyat susah yang sedang berharap datangnya mukjizat. Raksasa-raksasa itu akan menjadi tumbal, tumbal kejahatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti kalau sudah tampak Anak Gembala! Mulai saat itu akan terjadi keributan, huru-hara, dari rumah menjadi sekampung, dari sekampung menjadi senegara! Orang-orang bodoh pada jadi gila ikut-ikutan membantu mereka yang sedang berkelahi yang dipimpin oleh Pemuda Buncit! Penyebabnya berkelahi? Memperebutkan warisan, tanah. Mereka yang serakah ingin mendapatkan lebih banyak lagi. Mereka yang memiliki hak meminta haknya diberikan. Mereka yang sadar berdiam diri. Mereka hanya menonton, tetapi tetap terimbas juga.

Mereka yang berkelahi akhirnya kelelahan. Mereka baru tersadar. Ternyata, semuanya tidak ada yang mendapatkan bagian. Hal itu disebabkan tanah dan kekayaan alam seluruhnya habis, habis oleh mereka yang memegang banyak uang. Para raksasa lalu menyusup curang ke berbagai kelompok. Mereka yang berkelahi jadi ketakutan sendiri, takut dipersalahkan atas kerusakan dan kehilangan tanah serta kekayaan negara. Lalu, mereka mencari Anak Gembala yang rumahnya di ujung sungai berpintu batu setinggi manusia beratapkan pohon handeuleum bertiangkan pohon hanjuang. Mereka mencari Anak Tumbal. Mereka menginginkan tumbal untuk dikambinghitamkan. Akan tetapi, Anak Gembala sudah tidak ada, sudah bergerak bersama dengan Pemuda Berjanggut. Keduanya sudah pindah membuka lembaran baru, pindah ke Lebak Cawene!

Mereka yang mencari Anak Gembala hanya menemukan burung gagak yang berkoak-koak di dahan mati. Dengarkan semuanya! Zaman bakalan ganti lagi, tetapi nanti setelah Gunung Gede meletus yang disusul meletusnya tujuh gunung. Gempar lagi seluruh dunia. Orang Sunda dipanggil-panggil. Orang Sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Senegara bersatu lagi. Nusa jaya, jaya lagi sebab berdiri Ratu Adil. Ratu Adil yang sejati.

Ratu siapa? Dari mana asalnya itu ratu? Nanti juga kalian bakal tahu. Sekarang yang penting, cari dan temukan oleh kalian Si Anak Gembala!

Segera berangkat! Jangan menengok ke belakang!

Wangsit Prabu Siliwangi mengandung hakekat yang sangat tinggi oleh karena di dalamnya digambarkan situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian Prabu Siliwangi (ngahyang/menghilang). Peristiwa itu ditandai dengan menghilangnya Pajajaran.


Sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah 0rang-orang sombong dan takabur.

Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut ini :
”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”

Artinya :
“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”

Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai ”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya.

”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.”

Artinya :
”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri de¬ngan wewangian.”

Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb :
”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”

Artinya :
”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya Roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).

Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan diputarbalikkan.

Seperti yang tertulis berikut ini :
”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!. Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.”

Artinya :
”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu : tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”

Kemudian akhirnya masuk pada masa Perang Dunia II dengan datangnya pasukan Jepang yang dilambangkan dengan gemuruh yang datang dari ujung laut utara. Dimana masa penjajahan Jepang menandai berakhirnya penindasan di negeri ini. Terutama peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika, sebagai perlambang dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang menghentikan yaitu orang seberang.

”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.”

Artinya :
”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini. Lalu keturunan kita mengamuk: mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.”

Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb :
”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”

Artinya :
”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”

Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno, Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. Pada masa kepemimpinan Soekarno banyak terjadi upaya pembunuhan terhadap diri beliau, namun selalu saja terlindungi dan terselamatkan.

Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompok sebagai berhalanya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya bisa omong alias pinter keblinger.

Seperti yang dikatakan sbb :
”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.”

Artinya :
”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omong¬an, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.”

Lalu dalam situasi dan kondisi tersebut yang tidak berbeda dengan saat ini kemudian muncul sosok orang yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sbb :
”Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun. Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; ming¬kin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!”

Artinya :
”Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa me¬reka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.”

Sosok ”Pemuda Berjanggut” di atas adalah lambang laki-laki sejati yang sangat kuat prinsip dan akidahnya serta selalu eling (dilambangkan dengan baju serba hitam). Dan dia juga seorang yang tekun dan taat beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur (dilambangkan dengan menyanding sarung tua). Digambarkan bahwa di tengah situasi negeri yang panas membara (carut marut) dimana manusia dipenuhi nafsu angkara, ”Pemuda Berjanggut” datang mengingatkan yang pada lupa untuk kembali eling. Namun tidak dianggap.

Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :
”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”

Artinya :
”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”

Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di mana-mana. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah serta memiliki kepentingan pribadi. Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri.

Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala) dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut).

Coba mari kita simak alinea berikut :
”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”

Artinya :
”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah. Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas” mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya cekung seperti tertumbuk perahu besar. Dikatakan oleh bapak Budi Marhaen, secara gambaran spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan 3 pohon beringin (Ringin Telu).

Lebih lanjut dikatakan :
”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui saka¬béhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”

Artinya :
”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat, jangan menoleh ke belakang!”

Perlambang "gagak berkoar di dahan mati" bermakna situasi dimana banyak suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana. Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia dan pemanasan global. Hal ini ditandai dengan banyak bencana yang terjadi di banyak negara. Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini. Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara (demonstrasi/kerusuhan) sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ?
Tentu bagi yang memahami, ini semua adalah merupakan skenario langit.

Hal ini akan kita bedah lagi setelah sampai pada kesimpulan setelah kita mengkaji karya-karya leluhur lainnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...