Jumat, 29 Oktober 2021

Ikutilah aS-Sawadul A'dhom (Kelompok Besar)


Dalam menjalankan kehidupan diperbolehkan berkelompok atau mengikuti jama’ah minal muslimin seperti mengikuti organisasi kemasyarakatan (ormas) namun ketika sebuah kelompok kaum muslim menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah SEKTE atau firqoh.

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memperingatkan kita bahwa jika kita menemukan perselisihan karena perbedaan pendapat maka ikutilah MAYORITAS kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan hindarilah semua sekte atau firqoh yang MENYEMPAL keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim.

Akhir-akhir ini telah banyak kita lihat perbedaan pendapat dikalangan umat Islam semakin meluas tidak hanya dikalangan para Ulama, tetapi juga dikalangan intelektual islam. Parahnya lagi ranah yang seharusnya menjadi "Ikhtilaful Ulama" ini menjadi konsumsi umat yang notabene sama sekali tidak memiliki kapasitas keilmuan dalam bidangnya. Perang pemikiran semakin berkembang terus seiring dengan perkembangan zaman (antara umat islam dan islam sekuler/pembaharuan). Ini diperparah lagi dimana pemerintah sebagai (ulil amri) tidak memiliki sikap ketegasan dalam menetapkan berkenaan dengan perkara hukum itu tadi (karena negara tidak mengurus agama) sebuah pemikiran yang "absurd" menurut saya. Sebagaimana yang telah digambarkan oleh baginda nabi shallallahu'alaihiwasallam, "Barangsiapa yang hidup lama sesudahku maka akan kalian temukan perselisihan yang besar ditengah-tengah umat. Bila engkau temukan perselisihan itu maka kembalilah kepada Al quran dan Sunnahku". Hadist ini shahih dan jelas sekali keterangannya, namun ternyata tidak mudah untuk dijalankan.

Perkataan Nabi berkenaan kembalilah kepada Al Quran dan Sunnah begitu jelas dikemukakan oleh baginda Nabi Shallallahu'alaihiwasallam. Namun tidak semua orang diperkenankan melakukannya (istinbath langsung kepada Al Quran dan Hadist).

Timbul pertanyaan siapakah yang mampu mengambil hikmah atau istinbath hukum yang terkandung di dalam Al Quran dan Hadist itu tadi. Ijtihad siapa yang harus kita ikuti ? bahkan ada dikalangan umat islam ketika kita katakan ikutilah pendapat yang masyhur dikalangan (jumhur) ‘ulama, mereka mengatakan ulama siapa, na'uzubillah?. Lalu kita bertanya agama islam yang kita jalani selama ini dengan segala ketentuan (syari’at) nya ini apakah langsung datang dari pada baginda nabi?. Lalu apa makna hadist "al 'ulama warisatul anbiya"?.

Padahal ‘ulama itu sendiri adalah :

العارفون بالكتاب و السنة

Mereka yang ‘arif dengan Al Kitab dan As-sunnah (I’anatuth Thalibin : 3 : 157, Bab Waqaf)

Umat islam kita saat ini telah berada pada degradasi iman, akhlaq dan islamnya. Inikah umat yang mampu membangun sebuah peradaban? inikah umat yang mampu menetapkan ijtihad Dinul Islam? umat yang terbaik?.

Tatkala bingung menghadapi perbedaan ideologi dan ajaran Islam yang berkembang di masyarakat, sebagian kita berpegangan pada prinsip ‘ikut saja dengan kebanyakan orang‘. Akibat fatalnya, ajaran agama yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah serta pemahaman yang benar, dianggap salah semata-mata karena tidak diamalkan oleh kebanyakan orang.

Diantara alasan mereka yang berpendapat demikian adalah hadits-hadits tentang golongan yang selamat diistilahkan dengan Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham. Dan memang sekilas nampak bahwa Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham berarti sekumpulan orang yang jumlahnya sangat banyak.

Sebelum membahas makna Al Jama’ah dan As Sawadul A’zham, perlu diketahui bahwa terlalu banyak dalil dari Qur’an dan Sunnah yang memberikan faedah kepada kita bahwa kebenaran tidak memandang jumlah. Kebenaran adalah kebenaran walaupun bersendirian. Kesalahan adalah kesalahan walaupun didukung banyak orang. Bahkan Allah menyatakan bahwa keadaan umum manusia adalah berada dalam kesesatan, kejahilan dan jauh dari iman yang benar:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al An’am: 116)

Allah Ta’ala berfirman:

مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Yusuf: 40)

Allah Ta’ala berfirman:

المر تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ وَالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ

“ Alif laam miim raa. Ini adalah ayat-ayat Al Kitab (Al Qur’an). Dan Kitab yang diturunkan kepadamu daripada Tuhanmu itu adalah benar; akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman (kepadanya).” (QS. Ar Ra’du: 1)

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103)

Bahkan ada Nabi Allah yang tidak memiliki pengikut, ada yang hanya satu orang, ada pula yang hanya sekelompok orang. Andai yang sedikit itu pasti sesat, apakah mereka tidak memiliki pengikut atau menjadi minoritas karena mengajarkan kesesatan? Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam bersabda:

حدثنا ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: “عرضت عليّ الأمم، فرأيت النبي ومعه الرهط، والنبي ومعه الرجل والرجلان، والنبي وليس معه أحد

“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda bahwa Islam itu awalnya asing, dan akan kembali menjadi asing kelak. Dan beliau memuji orang-orang yang masih mengamalkan ajaran Islam ketika itu. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بدأ الإسلام غريبا وسيعود كما بدأ غريبا. فطوبى للغرباء

“Islam pada awalnya asing dan akan kembali asing kelak sebagaimana awalnya. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing” (HR. Muslim no.145)

Nah, apakah Islam itu asing ketika mayoritas manusia mengamalkan ajaran Islam? Bahkan yang minoritas ketika itu adalah yang dipuji oleh Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam.

Al Fudhail bin Iyadh rahimahullah (wafat 187 H) berkata:

لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ بكثرةِ الهالكين

“Janganlah engkau mengangap buruk jalan-jalan kebenaran karena sedikit orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya oleh banyaknya orang-orang yang binasa” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)

Imam An Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata:

ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ

“Seorang manusia hendaknya tidak terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukan hal-hal terlarang, yaitu orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini” (Dinukil dari Al Adabusy Syar’iyyah 1/163)

Hadits-Hadits Tentang Al Jama’ah

Untuk memahami makna Al Jama’ah, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ: ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Ketahuilah sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahli Kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan. 72 golongan di neraka, dan 1 golongan di surga. Merekalah Al Jama’ah” (HR. Abu Daud 4597, dihasankan Al Albani dalamShahih Abi Daud)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

عليكم بالجماعة ، وإياكم والفرقة ، فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد .من أراد بحبوحة الجنةفليلزم الجماعة .ن سرته حسنته وساءته سيئته فذلكم المؤمن

“Berpeganglah pada Al Jama’ah dan tinggalkan kekelompokan. Karena setan itu bersama orang yang bersendirian dan setan akan berada lebih jauh jika orang tersebut berdua. Barangsiapa yang menginginkan bagian tengah surga, makaberpeganglah pada Al Jama’ah. Barangsiapa merasa senang bisa melakukan amal kebajikan dan bersusah hati manakala berbuat maksiat maka itulah seorang mu’min” (HR. Tirmidzi no.2165, ia berkata: “Hasan shahih gharibdengan sanad ini”)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

ستكون بعدي هنات وهنات، فمن رأيتموه فارقالجماعة، أو يريد أن يفرق أمر أمة محمد كائنا من كان فاقتلوه ؛ فإن يد الله مع الجماعة، و إن الشيطان مع من فارق الجماعة يركض

“Sepeninggalku akan ada huru-hara yang terjadi terus-menerus. Jika diantara kalian melihat orang yang memecah belah Al Jama’ah atau menginginkan perpecahan dalam urusan umatku bagaimana pun bentuknya, maka perangilah ia. Karena tangan Allah itu berada pada Al Jama’ah. Karena setan itu berlari bersama orang yang hendak memecah belah Al Jama’ah” (HR. As Suyuthi dalam Al Jami’ Ash Shaghir 4672, dishahihkan Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shahih 3621)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر عليه فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات ، إلا مات ميتة جاهلية

“Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang keluar dari Al Jama’ah sejengkal saja lalu mati, ia mati sebagai bangkai Jahiliah” (HR. Bukhari no.7054,7143, Muslim no.1848, 1849)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

والذي لا إله غيره ! لا يحل دم رجل مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، وأني رسول الله ، إلا ثلاثة نفر : التارك الإسلام ، المفارق للجماعة أو الجماعة ( شك فيه أحمد ) . والثيب الزاني.والنفس بالنفس

“Demi Allah, darah seorang yang bersyahadat tidak lah halal kecuali karena tiga sebab: keluar dari Islam atau keluar dari Al Jama’ah, orang tua yang berzina dan membunuh” (HR. Muslim no.1676)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:

من مات مفارقا للجماعة فقد خلع ربقة الإسلام من عنقه

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan memisahkan diri dari Al Jama’ah, maka ia telah melepaskan tali Islam dari lehernya” (HR Bukhari dalam Tarikh Al Kabir 1/325. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 6410)

Makna Al Jama’ah

Secara bahasa, makna Al Jama’ahadalah:

الجماعة هي الاجتماع ، وضدها الفرقة ، وإن كان لفظ الجماعة قد صار اسما لنفس القوم المجتمعين

“Al Jama’ah artinya perkumpulan, lawan dari kekelompokan. Walau terkadang Al Jama’ah juga artinya sebuah kaum dimana orang-orang berkumpul” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyah, 3/157)

Namun dalam terminologi syar’i, para ulama menjabarkan banyak definisi sesuai dengan banyaknya hadits yang memuat istilah tersebut.

Sahabat Nabi, Abdullah bin Mas’udRadhiallahu’anhu, menafsirkan istilah Al Jama’ah:

الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك

“Al Jama’ah adalah siapa saja yang sesuai dengan kebenaran walaupun engkau sendiri”

Dalam riwayat lain:

وَيحك أَن جُمْهُور النَّاس فارقوا الْجَمَاعَة وَأَن الْجَمَاعَة مَا وَافق طَاعَة الله تَعَالَى

“Ketahuilah, sesungguhnya kebanyakan manusia telah keluar dari Al Jama’ah. Dan Al Jama’ah itu adalah yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah Ta’ala” (Dinukil dariIghatsatul Lahfan Min Mashayid Asy Syaithan, 1/70)

Ibnu Hajar Al Asqalani (wafat 852H) menukil penjelasan Imam Ath Thabari (wafat 310H) menjabarkan makna-makna dari Al Jama’ah:

قَالَ الطَّبَرِيُّ اخْتُلِفَ فِي هَذَا الْأَمْرِ وَفِي الْجَمَاعَةِ فَقَالَ قَوْمٌ هُوَ لِلْوُجُوبِ وَالْجَمَاعَةُ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ ثُمَّ سَاقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَصَّى مَنْ سَأَلَهُ لَمَّا قُتِلَ عُثْمَانُ عَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَجْمَعَ أُمَّةَ مُحَمَّدٍ عَلَى ضَلَالَةٍ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِالْجَمَاعَةِ الصَّحَابَةُ دُونَ مَنْ بَعْدَهُمْ وَقَالَ قَوْمٌ الْمُرَادُ بِهِمْ أَهْلُ الْعِلْمِ لِأَنَّ اللَّهَ جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى الْخَلْقِ وَالنَّاسُ تَبَعٌ لَهُمْ فِي أَمْرِ الدِّينِ قَالَ الطَّبَرِيُّ وَالصَّوَابُ أَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْخَبَرِ لُزُومُ الْجَمَاعَةِ الَّذِينَ فِي طَاعَةِ مَنِ اجْتَمَعُوا عَلَى تَأْمِيرِهِ فَمَنْ نَكَثَ بَيْعَتَهُ خَرَجَ عَنِ الْجَمَاعَةِ

“Ath Thabari berkata, permasalahan ini (wajibnya berpegang pada Al Jama’ah) dan makna Al Jama’ah, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib. Dan makna Al Jama’ah adalah:

as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: “hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan“.sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para sahabat, tidak termasuk orang setelah mereka.sebagian ulama berpendapat maknanya adalah para ulama. Karena Allah telah menjadikan mereka hujjahbagi para hamba. Para hamba meneladani mereka dalam perkara agama.

Ath Thabari lalu berkata, yang benar, makna Al Jama’ah dalam hadits-hadits perintah berpegang pada Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada dalam ketaatan, mereka berkumpul dalam kepemimpinan. Barangsiapa yang mengingkari baiat terhadap pemimpinnya (baca: merasa tidak berkewajiban untuk mentaati pemimpin sah kaum muslimin, ed), maka ia telah keluar dari Al Jama’ah” (Fathul Baari, 13/37)

Imam Asy Syathibi (wafat 790H) juga merinci makna-makna dari Al Jama’ah:

اختلف الناس في معنى الجماعة المرادة في هذه الأحاديث على خمسة أقوال :
أحدها : أنها السواد الأعظم من أهل الإسلام … فعلى هذا القول يدخل في الجماعة مجتهدو الأمة وعلماؤها ، وأهل الشريعة العاملون بها ، ومن سواهم داخل في حكمهم ؛ لأنهم تابعون لهم مقتدون بهم .
الثاني : أنها جماعة أئمة العلماء المجتهدين ، فعلى هذا القول لا مدخل لمن ليس بعالم مجتهد ؛ لأنه داخل في أهل التقليد فمن عمل منهم بما يخالفهم فهو صاحب الميتة الجاهلية ، ولا يدخل أيضا أحد من المبتدعين .
الثالث : أن الجماعة هي الصحابة على الخصوص . فعلى هذا القول فلفظ (الجماعة) مطابق للرواية الأخرى في قوله صلى الله عليه وسلم : “ما أنا عليه وأصحابي” .
الرابع : أن الجماعة هي أهل الإسلام إذا أجمعوا على أمر ، فواجب على غيرهم من أهل الملل اتباعهم ثم تعقب الشاطبي هذا القول بقوله : ” وهذا القول يرجع إلى الثاني ، وهو يقتضي أيضا ما يقتضيه ، أو يرجع إلى القول الأول ، وهو الأظهر ، وفيه من المعنى ما في الأول من أنه لا بد من كون المجتهدين منهم ، وعند ذلك لا يكون مع اجتماعهم بدعة أصلا فهم إذن الفرقة الناجية ” .
الخامس : ما اختاره الطبري الإمام من أن الجماعة جماعة المسلمين إذا اجتمعوا على أمير ، فأمر عليه الصلاة والسلام بلزومه ونهى عن فراق الأمة فيما اجتمعوا عليه من تقديمه عليهم .

“Para ulama berbeda pendapat mengenai makna Al Jama’ah yang ada dalam hadits-hadits dalam lima pendapat:

As sawadul a’zham dari umat Islam. Termasuk dalam makna ini para imam mujtahid, para ulama, serta ahli syariah yang mengamalkan ilmunya. Adapun selain mereka juga dimasukkan dalam makna ini karena diasumsikan hanya mengikuti orang-orang tadi”Para imam mujtahid. Dalam makna ini, tidak termasuk orang-orang yang bukan imam mujtahid karena mereka hakikatnya adalah ahli taqlid. Maka barangsiapa yang beramal dengan keluar dari pendapat para imam mujtahid, lalu mati, maka matinya sebagai bangkai jahiliyah. Dalam makna ini tidak termasuk juga seorang pun dari ahlul bid’ah (artinya, adanya pendapat yang beda dari ahli bidah tidaklah mempengaruhi keabsahan ijma, ed).Para sahabat nabi saja. Makna ini sesuai dengan riwayat dari Nabi yang menafsirkan makna Al Jama’ah, yaitu:

ما أنا عليه وأصحابي

“Siapa saja yang berpegang padaku dan para sahabatku”

Umat Islam jika bersepakat dalam sebuah perkara (baca: ijma’). Maka wajib bagi orang-orang yang menyimpang untuk mengikuti mereka. Asy Syathibi lalu memberi catatan: “Makna ini sebenarnya kembali pada makna kedua (para imam mujtahid), dan berkonsekuensi sama seperti konsekuensi dari makna kedua. Atau kembali pada makna pertama, dan inilah yang lebih nampak. Dan secara makna pun, sama seperti makna pertama. Karena sudah pasti butuh peran para imam mujtahid di antara mereka barulah bisa terwujud umat tidak akan bersatu dalam kesesatan, bahkan merekalah golongan yang selamat”Pendapat yang dipilih Imam Ath Thabari, yaitu bahwa Al Jama’ah adalah jama’ah kaum muslimin yang berkumpul di bawah pemerintahan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallammemerintahkan ummat untuk berpegang pada pemerintahnya dan melarang memecah belah apa yang telah dipersatukan oleh umat sebelumnya.

Imam Asy Syathibi kemudian menyimpulkan:

قال الشاطبي : ” وحاصله أن الجماعة راجعة إلى الاجتماع على الإمام الموافق لكتاب الله والسنة ، وذلك ظاهر في أن الاجتماع على غير سنة خارج عن الجماعة المذكورة في الأحاديث المذكورة ؛

“Kesimpulannya, Al Jama’ah adalah bersatunya umat pada imam yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Dan jelas bahwa persatuan yang tidak sesuai sunnah tidak disebut Al Jama’ah yang disebut dalam hadits-hadits” (Al I’tisham 2/260-265)

Al Munawi (wafat 1031H) menukil perkataan Syihabuddin Abu Syaamah (wafat 665H) dan Al Baihaqi (wafat 458H) mengenai makna Al Jama’ah:

قال أبو شامة: حيث جاء الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق وإتباعه وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف كثيرا أي الحق هو ما كان عليه الصحابة الأول من الصحب ولا نظر لكثرة أهل الباطل بعدهم قال البيهقي: إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانوا عليه من قبل وإن كنت وحدك فإنك أنت الجماعة حينئذ

“Abu Syamah berkata, ketika dalam hadits terdapat perintah berpegang pada Al Jama’ah, yang dimaksud dengan berpegang pada Al Jama’ah adalah berpegang pada kebenaran dan menjadi pengikut kebenaran walaupun ketika itu hanya sedikit jumlahnya dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran banyak jumlahnya. Maksud Abu Syaamah adalah bahwa kebenaran itu adalah mengikuti pemahaman para sahabat Nabi, bukan melihat banyak jumlah, ini pada orang-orang yang datang setelah mereka. Al Baihaqi berkata, ketika Al Jama’ah (baca: kaum muslimin saat ini) telah bobrok maka hendaknya engkau berpegang pada pemahaman orang terdahulu (para Salaf) walaupun engkau sendirian, maka ketika itu engkaulah Al Jama’ah” (Faidul Qadhir, 4/99)

Jika kita telah memahami penjelasan para ulama mengenai makna Al Jama’ah, walaupun definisi mereka berbeda, namun pokok maknanya sama. Bahwa yang dimaksud dengan Al Jama’ah adalah umat Islam yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang senantiasa meneladani ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallamdengan pemahaman para sahabat Nabi dan mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya.

Hadits-Hadits Tentang As Sawadul A’zham

Untuk memahami makna as sawaadul a’zham, mari kita simak beberapa hadits yang memuatnya:

إن أمتي لن تجتمع على ضلالة، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسواد الأعظم فإنه من شذ شذ إلى النار

“Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Barangsiapa yang menyelisihinya akan terasing di neraka”

Dalam riwayat lain:

إن أمتي لا تجتمع على ضلالة فإذا رأيتم الاختلاف فعليكم بالسواد الأعظم يعني الحق وأهله

“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Maka jika kalian melihat perselisihan, berpeganglah pada as sawaadul a’zham yaitu al haq dan ahlul haq” (HR. Ibnu Majah 3950, hadits hasan dengan banyaknya jalan kecuali tambahan من شذ شذ إلى النار sebagaimana dikatakan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1331)

عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ، وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ، إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيلَ لِي: هَذَا مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ، وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ، فَقِيلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ

“Diperlihatkan kepadaku umat manusia seluruhnya. Maka akupun melihat ada Nabi yang memiliki pengikut sekelompok kecil manusia. Dan ada Nabi yang memiliki pengikut dua orang. Ada Nabi yang tidak memiliki pengikut. Lalu diperlihatkan kepadaku sekelompok hitam yang sangat besar, aku mengira itu adalah umatku. Lalu dikatakan kepadaku, ‘itulah Nabi Musa Shallallhu’alaihi Wasallam dan kaumnya’. Dikatakan kepadaku, ‘Lihatlah ke arah ufuk’. Aku melihat sekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan lagi, ‘Lihat juga ke arah ufuk yang lain’. Aku melihatsekelompok hitam yang sangat besar. Dikatakan kepadaku, ‘Inilah umatmu dan diantara mereka ada 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab’.” (HR. Bukhari 5705, 5752, Muslim, 220)

Dalam menafsirkan maksud “Sawadul A’zham”, Kitab As-Sindi menyatakan;

أَيْ بِالْجَمَاعَةِالْكَثِيرَة فَإِنَّ اِتِّفَاقهمْ أَقْرَب إِلَى الْإِجْمَاع

Maksudnya : “Jama’ah yang ramai. Karena, kesepakatan mereka itu lebih mendekati kepada ijma'” [Hasyiah As Sindi :3942]

Imam As-Sayuti dalam menafsirkan “Sawadul A’zham”;

أَيْ جَمَاعَة النَّاس وَمُعْظَمهمْ الَّذِينَيَجْتَمِعُونَ عَلَى سُلُوك الْمَنْهَج الْمُسْتَقِيم وَالْحَدِيث يَدُلّعَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي الْعَمَل بِقَوْلِ الْجُمْهُور

Maksudnya; “Ia adalah himpunan manusia dan kebanyakan yang mereka bersepakat atas melalui jalan yang betul. Hadis itu menunjukkan bahawa selayaknya beramal dengan perkataan mayoritas” [Hasyiah As-Sindi : 3940]

Al-Munawi pula berkata;

 )فعليكم بالسواد الأعظم) من أهل الإسلام أي الزموا متابعةجماهير المسلمين فهو الحق الواجب والفرض الثابت الذي لا يجوز خلافه فمنخالف مات ميتة جاهلية

Maksudnya; “[hendaklah kamu ikut Sawadul A’zham dari ahli islam] yaitu, lazimnya mengikut pendapat mayoritas orang islam, karena ia adalah kebenaran yang wajib dan fardhu yang pasti, yang tidak boleh menyalahinya. Barangsiapa menyalahinya, lalu ia mati, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah” [Faidhul Qadir : 2/547] Pendapat ini, sesuai dengan sabda Nabi Shallallahu'alaiwasallam ;

اثْنَانِ خَيْرٌمِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّلَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى

Maksudnya; “dua lebih baik dari satu. Tiga lebih baik dari dua. Empat lagi baik dari tiga. Hendaklah kamu dengan jama’ah [mayoritas], karena Allah SWT tidak akan menghimpunkan umatku kecuali atas petunjuk”

[Musnad Ahmad : 20331] Imam Al-Munawi menyebutkan tentang Jamaah:

 ))وعليكم بالجماعة)) أي أركانالدين والسواد الأعظم من أهل السنة أي الزموا هديهم فيجب اتباع ما هم عليهمن العقائد والقواعد وأحكام الدين

Maksudnya: “(Hendaklah kamu bersama dengan Al-Jamaah) yaitu berpegang dengan rukun-rukun agama dan As-Sawad Al-A’zam dari kalangan Ahlus-Sunnah. Yaitu, kamu ikutilah petunjuk mereka. Maka hendaklah seseorang itu mengikut apa yang mereka berpegang dengannya daripada Aqidah (Mazhab Aqidah), Qawa’id (Usul Aqidah dan Usul Fiqh) dan Hukum Agama (Mazhab Fiqh). [Al-Faidh Al-Qadir 3/101]

Makna As Sawadul A’zham

As sawad artinya sesuatu yang berwarna hitam, dalam bentuk plural. Al A’zhamartinya besar, agung, banyak. Sehingga as sawaadul a’zham secara bahasa artinya sesuatu yang berwarna hitam dalam jumlah yang sangat banyak. Menggambarkan orang-orang yang sangat banyak karena rambut mereka umumnya hitam.

Dalam terminologi syar’i, kita telah dapati bahwa as sawaadul a’zham itu semakna dengan Al Jama’ah. Sebagaimana penjelasan Ath Thabari di atas: “…Dan makna Al Jama’ah adalah as sawadul a’zham. Kemudian Ath Thabari berdalil dengan riwayat Muhammad bin Sirin dari Abu Mas’ud bahwa beliau berwasiat kepada orang yang bertanya kepadanya ketika Utsman bin ‘Affan terbunuh, Abu Mas’ud menjawab: hendaknya engkau berpegang pada Al Jama’ah karena Allah tidak akan membiarkan umat Muhammad bersatu dalam kesesatan.. ” (Fathul Baari, 13/37)

Maka makna as sawaadul a’zhammencakup seluruh makna dari Al Jama’ah. Dipertegas lagi dengan beberapa penjelasan lain dari para sahabat dan para ulama mengenai makna as sawaadul a’zham berikut ini.

Sahabat Nabi, Abu Umamah Al BahiliRadhiallahu’anhu, berkata

عليكم بالسواد الأعظم قال فقال رجل ما السواد الأعظم فنادى أبو أمامة هذه الآية التي في سورة النور فإن تولوا فإنما عليه ما حمل وعليكم ما حملتم

“Berpeganglah kepada as sawadul a’zham. Lalu ada yang bertanya, siapa as sawadul a’zham itu? Lalu Abu Umamah membaca ayat dalam surat An Nur:

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ

(HR. Ahmad no.19351. Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 5/220)

Ayat tersebut berbunyi:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS. An Nuur: 54)

Abu Umamah mengisyaratkan bahwa makna as sawadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, atau dengan kata lain, pengikut kebenaran.

Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy (wafat 242H) berkata:

عليكم باتباع السواد الأعظم قالوا له من السواد الأعظم، قال: هو الرجل العالم أو الرجلان المتمسكان بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم وطريقته، وليس المراد به مطلق المسلمين، فمن كان مع هذين الرجلين أو الرجل وتبعه فهو الجماعة، ومن خالفه فقد خالف أهل الجماعة

“Berpeganglah pada as sawaadul a’zham. Orang-orang bertanya, siapa as sawaadul a’zham itu? Beliau (Muhammad bin Aslam) menjawab, ia adalah seorang atau dua orang yang berilmu, yang berpegang teguh pada sunnah RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam dan mengikuti jalannya. Bukanlah as sawaadul a’zham itu mayoritas kaum muslimin secara mutlak. Barangsiapa berpegang pada seorang atau dua orang tadi dan mengikutinya, maka ia adalah Al Jama’ah. Dan barangsiapa yang menyelisihi mereka, ia telah menyelisihi ahlul jama’ah” (Thabaqat Al Kubra Lisy Sya’rani, 1/54)

Muhammad bin Aslam sendiri oleh ulama sezamannya, Ishaq bin Rahawaih (wafat 238H), dikatakan sebagai as sawaadul a’zham:

قَالَ رَجُلٌ: يَا أَبَا يَعْقُوْبَ مَنِ السَّوَادُ الأَعْظَمُ? قَالَ: مُحَمَّدُ بنُ أَسْلَمَ، وَأَصْحَابُهُ، وَمَنْ تَبِعَهُ. ثُمَّ قَالَ إِسْحَاقُ: لَمْ أَسْمَعْ عَالِماً مُنْذُ خَمْسِيْنَ سنَةً كَانَ أَشَدَّ تَمَسُّكاً بِأَثَرِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنْ مُحَمَّدِ بنِ أَسْلَمَ

“Ada seorang yang bertanya, wahai Abu Ya’qub (Ishaq bin Rahawaih), siapa as sawadul a’zham itu? Beliau menjawab: Muhammad bin Aslam, murid-muridnya dan para pengikutinya. Kemudian beliau berkata: Aku tidak pernah mendengar orang yang alim sejak 500 tahun yang lebih berpegang teguh pada sunnah NabiShallallahu’alaihi Wasallam selain Muhammad bin Aslam” (Siyar A’lamin Nubala, 9/540)

Abdullah Bin Mubarak (wafat 181H) ditanya as sawaadul a’zham:

سَأَلَ رَجُلٌ ابْنَ الْمُبَارَكِ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالَ: أَبُو حَمْزَةَ السَّكُونِيُّ

“Seorang lelaki bertanya kepada Ibnul Mubarak, wahai Abu Abdirrahman siapaas sawadul a’zham itu? Beliau menjawab, Abu Hamzah As Sakuni” (Hilyatul Aulia, 9/238)

Dari sini kita tahu bahwa as sawaadul a’zham dalam istilah syar’i itu tidak harus berjumlah banyak. Dan jelaslah juga bagi kita ternyata as sawaadul a’zham adalah Al Jama’ah dan bukanlah ‘kebanyakan orang’ secara mutlak. As sawaadul a’zham adalah orang-orang yang taat kepada Allah, mengikuti sunnah NabiShallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman para sahabat Nabi, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit. Bahkan Ishaq bin Rahawaih, guru dari Imam Al Bukhari ini, mengatakan bahwa hanya orang bodoh yang mengira bahwaas sawaadul a’zham adalah mayoritas orang secara mutlak:

لَوْ سَأَلْتَ الْجُهَّالَ مَنِ السَّوَادُ الْأَعْظَمُ؟ قَالُوا: جَمَاعَةُ النَّاسِ وَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ الْجَمَاعَةَ عَالِمٌ مُتَمَسِّكٌ بِأَثَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَرِيقِهِ، فَمَنْ كَانَ مَعَهُ وَتَبِعَهُ فَهُوَ الْجَمَاعَةُ، وَمَنْ خَالَفَهُ فِيهِ تَرَكَ الْجَمَاعَةُ

“Jika engkau tanyakan kepada orang-orang bodoh siapa itu as sawadul a’zham, niscaya mereka akan menjawab: mayoritas manusia. Mereka tidak tahu bahwa Al Jama’ah itu adalah orang alim yang berpegang teguh pada sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan jalannya. Barangsiapa yang bersama orang alim tersebut dan mengikutinya, ialah Al Jama’ah, Dan yang menyelisihinya, ia meninggalkan Al Jama’ah” (Hilyatul Aulia, 9/238)

Kesimpulan

Al Jama’ah semakna dengan as sawaadul a’zham, yaitu orang-orang yang berkumpul bersama imam mujtahid dan para ulama mereka yang berpegang teguh pada ajaran Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi, mereka berbaiat pada penguasa muslim yang sah serta tidak memberontak kepadanya, baik jumlah mereka banyak maupun sedikit.

Oleh karena itu ‘kebanyakan orang’ secara mutlak bukanlah as sawaadul a’zham, sehingga tidak benarlah orang-orang yang hanya ikut ‘kebanyakan orang’ dalam beragama. Bagaimana halnya jika prinsip demikian diterapkan di masyarakat yang bobrok, mayoritasnya meninggalkan shalat misalnya. Apakah meninggalkan shalat menjadi hal yang biasa dan dibenarkan? Jika masyarakatnya gemar berzina, bagaimana mungkin ahluz zinaitu disebut as sawadul a’zham yang merupakan ahlul haq? Jika masyarakatnya mayoritas gemar berbuat bid’ah, maka bagaimana mungkin as sawaadul a’zham adalah ahlul bid’ah?

Dengan penjelasan para ulama di atas, maka mayoritas penduduk sebuah negeri secara mutlak pun bukan as sawadul ‘azham. Apalagi sekedar organisasi massa, partai, jama’ah dakwah, thariqah, mengklaim diri mereka sebagai as sawadul a’zham atau Al Jama’ah. Demi Allah, bukan demikian.

Hendaknya setiap muslim bersatu dalam kebenaran, berkumpul dalam petunjuk para ulama yang berpegang teguh pada Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman sahabat NabiRadhiallahu’anhum tanpa dibatasi oleh sikap fanatik golongan, tidak terbatas oleh keanggotaan ormas, partai atau jama’ah dakwah. Allah Ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ

“Bersatulah dengan tali Allah dan janganlah berpecah-belah” (QS. Al Imran: 103)

Keterangan dari kitab:
Sullamul Ushul Syarh Nihayatussul ;

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّبِعُوْا السَّوَادَ الْأَعْظَمِ، وَلَمَّا انْدَرَسَتِ الْمَذْهَبُ الْحَقَّةُ بِانْقِرَاضِ أَئِمَّتِنَا إِلاَّ الْمَذْهَبَ الْأَرْبَعَةَ الَّتِي انْتَشَرَتْ اَتْبَاعُهَا كَانَ اِتْبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأَعْظَمِ.

Rasulullah Saw. bersabda: "Ikutlah kalian kepada Al-Sawad al-A’zham." Ketika madzhab-madzhab yang benar telah punah dengan kematian para imamnya kecuali empat madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali) yang pengikutnya tersebar luas, maka mengikuti empat madzhab tersebut berarti mengikuti Al-Sawad al-A’zham, dan keluar dari empat madzhab tersebut berarti keluar dari Al-Sawad al-A’zham.

Al-Nashaih al-Diniyah :

وَلَمْ يَزَلْ أَهْلُ السُّنَّةِ بِحَمْدِ للهِ تَعَالَى مِنَ الزَّمَنِ الأَوَّلِ إِلَى الْيَوْمِ هُمُ السَّوَادُ الأَعْظَمُ.

"Ahlu al-Sunnah – al-hamdulillah Ta’ala – sejak masa awwal hingga masa sekarang, merekalah yang dimaksud dengan al-Sawad al-A’zham".

Al-Yawaqit wa al-Jawahir :

وَاعْلَمْ يَاأَخِي أَنَّ الْمُرَادَ بِأَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِي عُرْفِ النَّاسِ الْيَوْمَ الشَّيْخُ أَبُوْ الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيّ وَمَنْ سَبَقَهُ بِالزَّمَانِ أَبُوْ مَنْصُوْرِ الْمَاتُوْرِيْدِيّ وَغَيْرِهِ.

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa yang dimaksud dengan ahli al-Sunnah wa al-Jamaah dalam pemahaman orang-orang sekarang ini adalah, Syeikh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam sebelumnya seperti Syeikh Abu Manshur al-Maturidi.

Dan sungguh Allah Subhanhu wa ta'ala telah berfirman yang bermaksud :

... ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

"(Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui) – (Surah An Nahl :43)

Orang yang taqlid bukanlah orang yang ‘alim. Oleh kerana itu, tidak sah baginya selain bertanya kepada ahli ilmu. Para ahli ilmu itulah tempat kembali baginya dalam urusan hukum agama secara mutlak. Jadi, kedudukan mereka bagi orang yang taqlid serta ucapannya seperti syara'."

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam golongan as sawadul a’zham atau menjadikan kita orang-orang yang berpegang teguh kepadanya.

Muntah Ketika Puasa Belum Tentu Sebabkan Batal Puasa


Umumnya para ulama sepakat bahwa muntah yang di luar kesengajaan itu tidak membatalkan puasa. Yang membatalkan puasa adalah muntah yang disengaja.

Misalnya seseorang memasukkan jarinya saat berpuasa, sehingga mengakibatkan dirinya muntah, maka barulah hal itu membatalkan puasanya.

Sedangkan bila karena sesuatu hal yg tdk bisa dihindari, kemudian muntah, tentu tdk batal puasanya. Misalnya karena sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk & muntah, maka muntah yg seperti itu tdk termasuk kategori yg membatalkan puasa.

Imam Abu Daawud rahimahullah berkata:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ "

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam keadaan berpuasa, maka tidak ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka ia harus mengqadla (puasanya)” [As-Sunan no. 2380].

Diriwayatkan juga oleh At-Tirmidziy no. 720, Ibnu Maajah no. 1676, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/317 no. 3117, Ad-Daarimiy no. 1770, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh Al-Kabiir 1/91, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Musnad Ahmad 2/498, Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa (Ghautsul-Makduud)2/35-36 no. 385, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/97 no. 3410 dan dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1680, Ibnu Khuzaimah no. 1960, Ad-Daaraquthniy no. 2273-2274, Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 1/276-277, Ath-Thuusiy dalam Al-Mukhtashar no. 660, Ibnu Hibbaan 8/284-285 no. 3518, Al-Haakim 1/426-427, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/219 (371) no. 8027, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah1755, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 4/302-303; semuanya dari jalan ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah secara marfuu’.

‘Iisaa bin Yuunus dalam periwayatan dari Hisyaam mempunyai mutaba’ah dari Hafsh bin Ghiyaats sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1676, Ibnu Khuzaimah no. 1961, dan Al-Baihaqiy 4/219 (371) no. 8028.

Ibnu Siirin mempunyai mutaba’ah dari Abu Sa’iid Al-Maqburiy sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6604 dan Ad-Daaraquthniy no. 2275-2276, namun sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk [Taqriibut-Tahdziib, hal. 511 no. 3376].

Para ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Ada yang menguatkan dengan menshahihkannya, ada pula yang melemahkannya dengan men-ta’lil-nya.

Diantara ulama yang menguatkannya adalah Ad-Daaraquthniy rahimahullah, yang berkata : “Para perawinya semuanya tsiqaat” [As-Sunan, 3/154]. Begitu juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, dan Al-Haakim menshahihkan dalam kitabnya. Abu Daawud menyebutkan dalam kitab Sunan-nya tanpa mengomentarinya. Dishahihkan pula oleh An-Nawawiy, Ibnu Taimiyyah, Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya.

Adapun para ulama yang melemahkannya, berkisar pada penta’lilan:

1.Tafarrud ‘Iisaa bin Yuunus.

At-Tirmidziy rahimahullah berkata:

حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ هِشَامٍ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ

“Hadits hasan ghariib. Kami tidak mengetahuinya dari hadits Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus” [Al-Jaami’ At-Tirmidziy, 2/90-91].

Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata:

وَعِيسَى ثِقَةٌ فَاضِلٌ، إِلا أَنَّهُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ قَدْ وَهِمَ فِيهِ، وَأَنْكَرُوهُ عَلَيْهِ. وَقَدْ زَعَمَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ بِإِسْنَادِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“’Iisaa seorang yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan, namun menurut ahli hadits ia mengalami wahm padanya sehingga mereka mengingkarinya. Sebagian mereka mengira hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam bin Hassaan dengan sanadnya, wallaahu a’lam” [Al-Istidzkaar, no. 14462].

Sebagaimana telah dituliskan dalam takhrij di atas, ‘Iisaa bin Yuunus mempunyai mutaba’ah dari Hafsh bin Ghiyaats dari jalan ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Abu Sya’tsaa’ (tsiqah) dan Yahyaa bin Sulaimaan Al-Ju’fiy (shaduuq).

Akan tetapi, sanad riwayat mutaba’ah ini mudltharib karena Abu Ma’mar Ismaa’iill bin Ibraahiim (tsiqah lagi ma’muun) meriwayatkan dari Ghiyaats dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari kakeknya, dari Abu Hurairah secara marfuu’ sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa (no. 6604). Sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk.

2.Wahm Hisyaam bin Hassaan.

‘Iisaa bin Yuunus berkata :

زَعَمَ أَهْلُ الْبَصْرَةِ أَنَّ هِشَامًا أَوْهَمَ فِيهِ، فَمَوْضِعُ الْخِلَافِ هَهُنَا

“Penduduk Bashrah mengira bahwa Hisyaam mengalami wahm dalam hadits tersebut. Di sinilah letak perbedaan pendapat tersebut” [Sunan Ad-Daarimiy, hal. 1079 di bawah hadits no. 1770].

Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:

لَا أُرَاهُ مَحْفُوظًا

“Aku berpendapat ia tidak mahfuudh” [Al-Jaami’ Al-Kabiir lit-Tirmidziy, 2/91].

At-Tirmidziy rahimahullah berkata:

سَأَلْتُ مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَلَمْ يَعْرِفْهُ إِلا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَقَالَ: مَا أَرَاهُ مَحْفُوظًا.

“Aku pernah bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini, namun ia tidak mengetahuinya kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah. Lantas ia berkata : ‘Aku berpendapat ia tidak mahfuudh’” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].

Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:

وَبَعْضُ الْحُفَّاظِ لا يَرَاهُ مَحْفُوظًا، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ، يَقُولُ: لَيْسَ مِنْ ذَا شَيْءٌ

“Sebagian huffaadh tidak memandangnya mahfuudh” [As-Sunan Al-Kubraa 4/219 (371)].

Ketidak-mahfudh-an riwayat Hisyaam, karena ia mengalami wahm dalam membawakan matan riwayat yang ia bawakan sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.

Abu Daawud rahimahullah berkata:

سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ مَا أَصَحُّ مَا فِيهِ، يَعْنِي: فِي " مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيءُ وَهُوَ صَائِمٌ ".قَالَ نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ.قُلْتُ لَهُ: حَدِيثُ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَيْسَ مِنْ هَذَا شَيْءٌ، إِنَّمَا هُوَ حَدِيثُ: " مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، يَعْنِي: وَهُوَ صَائِمٌ، فَاللَّهُ أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ "

“Aku mendengar Ahmad ditanya : “Riwayat apa yang paling shahih dalam hal : ‘barangsiapa yang muntah dalam keadaan berpuasa’; ia menjawab : ‘Naafi’, dari Ibnu ‘Umar’. Aku berkata kepadanya : ‘Hadits Hisyaam, dari Muhammad, dari Abu Hurairah ?’. Ia menjawab : ‘Ini tidak ada apa-apanya'. Ia sebenarnya hanyalah hadits : ‘barangsiapa yang makan karena lupa dalam keadaan berpuasa, maka Allah telah memberi makan dan minum kepadanya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 387 no. 1864].

Hadits yang dimaksudkan Al-Imaam Ahmad rahimahullah tersebut adalah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ "

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang makan dalam keadaan lupa padahal ia sedang berpuasa, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum”.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6669 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Abu Daawud no. 2398, At-Tirmidziy 2/92 no. 721-722, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa3/356-357 no. 3262, Ahmad 2/395 & 2/493 & 2/514, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 117, Abu Ya’laa no. 6038 & 6058, Ibnu Hibbaan 8/288-289 no. 3522, Abu ‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 2835-2836, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/229 (386-387) no. 8072-8073; dari beberapa jalan (‘Auf bin Abi Jamiilah, Ayyuub, Habiib bin Asy-Syahiid, dan Qataadah), semuanya dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Di sini, Hisyaam menyelisihi empat orang perawi yang dua di antaranya – yaitu Ayyuub dan ‘Auf - lebih kuat periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin dibanding dirinya.

Ibnul-Madiiniy rahimahullah berkata:

لَيْسَ أَحَدٌ أَثْبَتَ فِي ابْنِ سِيرِينَ مِنْ أَيُّوبَ، وَابْنِ عَوْنٍ.

“Tidak ada seorang pun yang lebih tsabt periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin daripada Ayyuub dan Ibnu ‘Aun” [Al-‘Ilal, 2/132].

Al-Burdaijiy rahimahullah berkata:

أحاديث هشام عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أكثرها صحاح ، غير أن هشام ابن حسان دون أيوب ويونس وابن عون وسلمة بن علقمة وعوف عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة فيها صحاح وفيها منكرة ومعلولة

“Hadits-hadits Hisyaam dari Ibnu Siiriin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam kebanyakannya shahih. Namun demikian, Hisyaam bin Hassaan kedudukannya di bawah Ayyuub, Yuunus, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah, dan ‘Auf dalam periwayatan dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah. Padanya ada riwayat yang shahih, ada pula yang munkar dan ma’luul” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy li-Ibni Rajab, 2/688].

Al-Marwaziy rahimahullah berkata:

سألت أبا عبد الله عن هشام بن حسان فقال: " أيوب وابن عون أحب إلي وحسن أمر هشام

“Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Hisyaam bin Hassaan, lalu ia berkata : ‘Ayyuub dan Ibnu ‘Aun lebih aku sukai. Dan telah baik perkara Hisyaam…” [idem, 2/688-689].

Ad-Daaraquthniy rahimahullah berkata:

 أثبت أصحاب ابن سيرين أيوب وابن عون وسلمة بن علقمة ويونس بن عبيد

“Ashhaab Ibnu Siiriin yang paling tsabt adalah Ayyuub, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah, dan Yuunus bin ‘Ubaid” [idem, 2/689].

Di sini dapat diketahui bahwa Hisyaam memang mengalami wahm sehingga hadits yang ia bawakan tidak mahfuudh.

3.Bertentangan dengan pendapat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang notabene merupakan shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.

Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:

ولم يصح وانما يروى هذا عن عبد الله بن سعيد عن ابيه عن أبى هريرة رفعه وخالفه يحيى بن صالح قال ثنا معاوية قال ثنا يحيى عن عمر بن حكم بن ثوبان سمع ابا هريرة قال إذا قاء احدكم فلا يفطر فانما يخرج ولا يولج

“Tidak shahih. Hadits itu hanyalah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfuu’. Hadits itu diselisihi oleh hadits yang bawakan oleh Yahyaa bin Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah berkata : “Apabila salah seorang di antara kalian muntah, janganlah ia berbuka (membatalkannya), karena ia hanyalah sesuatu yang keluar bukan yang masuk”[At-Taariikh Al-Kabiir, 1/91-92].

Melihat tiga alasan pen-ta’lil-an para ulama di atas, maka pendapat yang melemahkan hadits tersebut lebih kuat.

Kesimpulannya : Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di atas tidak shahih.

Ada hadits lain.

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ، عَنْ يَحْيَى، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ، حَدَّثَنِي مَعْدَانُ بْنُ طَلْحَةَ، أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ، فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ، فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ. قَالَ: صَدَقَ، وَأَنَا صَبَبْتُ لَهُ وَضُوءَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar ‘Abdullah bin ‘Amru : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru Al-Auzaa’iy, dari Ya’iisy bin Al-Waliid bin Hisyaam, bahwasannya ayahnya telah menceritakannya : Telah menceritakan kepadaku Ma’daan bin Thalhah, bahwasannya Abud-Dardaa’ pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu berbuka. Lalu aku (Ma’daan) bertemu dengan Tsauban maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di masjid Damaskus. Aku berkata : “Sesungguhnya Abud-Dardaa’ telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah kemudian beliau berbuka”. Tsaubaan berkata : “Ia benar, dan aku yang menuangkan air wudlu untuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2381].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad 5/195 & 5/277 & 6/443, At-Tirmidziy no. 87, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 3107, Ad-Daarimiy no. 1769, Ibnu Abi Syaibah 2/39 (6/183-184) no. 9292, Ibnu Khuzaimah no. 1956, Ibnu Hibbaan no. 1097, dan Al-Haakim 1/426 ; semuanya dari jalan Yahyaa bin Abi Katsiir yang selanjutnya seperti riwayat di atas.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي مَرْزُوقٍ، عَنْ حَنَشٍ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَدَعَا بِشَرَابٍ، فَقَالَ لَهُ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَمْ تُصْبِحْ صَائِمًا، قَالَ: " بَلَى، وَلَكِنْ قِئْتُ "

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ishaaq, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abu Marzuuq, dari Hanasy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid : Bahwasannya pada suatu pagi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berpuasa, lalu beliau meminta air minum. Sebagian shahabat beliau berkata : “Wahai Rasulullah, bukankah pagi ini engkau berpuasa ?”. Beliau menjawab : “Benar, akan tetapi tadi aku telah muntah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/19].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/18 & 6/21 & 6/22, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/96-97 no. 3406-3409, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/220 (372) no. 8032; semuanya dari Yaziid bin Abi Habiib yang selanjutnya seperti riwayat di atas.

Shahih.

Hadits di atas juga tidak dipahami bahwa muntah menyebabkan batalnya puasa. Apalagi dijadikan dalil muntah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah disengaja, sehingga beliau berbuka. Mustahil beliau melakukannya hanya sekedar menyengaja membatalkan puasa, karena membatalkan puasa tanpa ‘udzur adalah berdosa.

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلانِ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ، فَأَتَيَا بِي جَبَلا وَعْرًا، فَقَالا لِي: اصْعَدْ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ، فَإِذَا أَنَا بِصَوْتٍ شَدِيدٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ؟ قَالَ: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هَؤُلاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

Dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallaahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak gunung. Tiba-tiba aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan : ”Suara apakah itu?”. Salah satu dari mereka menjawab : ”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka”. Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalir darah. Kemudian aku bertanya : ”Siapakah mereka itu?”. Maka dikatakan : ”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (dengan sengaja) sebelum tiba waktunya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa no. 3274, Ibnu Hibbaan no. 7491, Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lihat Ta’liqatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban 10/456 no. 7448].

Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berbuka karena badan beliau lemah untuk meneruskan puasa setelah muntah.

Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:

وَلَيْسَ فِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ، دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْقَيْءَ كَانَ مُفْطِرًا لَهُ، إِنَّمَا فِيهِ أَنَّهُ قَاءَ فَأَفْطَرَ بَعْدَ ذَلِكَ

“Dua hadits ini (yaitu hadits Fadlaalah) bukanlah sebagai dalil yang menunjukkan muntah menyebabkan beliau berbuka puasa (batal). Kandungan hadits tersebut hanya menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammuntah, lalu beliau berbuka setelah itu” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 2/97].

At-Tirmidziy rahimahullah berkata:

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، وَثَوْبَانَ، وَفَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " قَاءَ فَأَفْطَرَ " وَإِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَائِمًا مُتَطَوِّعًا، فَقَاءَ فَضَعُفَ فَأَفْطَرَ، لِذَلِكَ هَكَذَا رُوِيَ فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ مُفَسَّرًا، وَالْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّ الصَّائِمَ إِذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ " وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق

“Dan telah diriwayatkan dari Abud-Dardaa’, Tsaubaan, dan Fadlaalah bin ‘Ubaid bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu berbuka. Makna hadits tersebut hanyalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah puasa sunnah, lalu muntah sehingga beliau merasa lemah yang menyebabkan beliau berbuka karenanya. Begitulah yang diriwayatkan dari sebagian hadits beserta tafsirnya. Para ulama mengamalkan hadits Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya jika orang yang berpuasa tidak sengaja muntah, maka tidak ada qadlaa’ baginya. Namun apabila ia sengaja muntah, hendaknya ia mengqadlanya’. Pendapat inilah yang dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq” [Al-Jaami’ Al-Kabiir, 2/92].

Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda tentang masalah muntah sebagai faktor pembatal puasa.

1.Jumhur ulama berpendapat dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di awal artikel bahwa muntah yang disengaja dapat membatalkan puasa, sedangkan jika tidak sengaja maka tidak batal puasa. Bahkan sebagian ulama menukil adanya ijmaa’.

Ibnul-Mundzir rahimahullah berkata:

وأجمعوا على أنه لا شيء على الصائم إذا ذرعه القيء، وانفرد الحسن البصري، فقال: عليه، ووافق في أُخرى.

“Para ulama bersepakat bahwa tidak ada keraguan bagi orang yang berpuasa apabila ia muntah tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban (qadlaa’) apapun baginya. Al-Hasan Al-Bashriy menyendiri dalam hal ini dimana ia berkata : ‘Wajib baginya qadlaa’’. Dan ia menyepakatinya dalam lain riwayat” [Al-Ijmaa’ hal. 59 no. 149].

Riwayat lain dari Al-Hasan yang akan dibawakan di bawah.

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata:

لا أعلم خلافا بين أهل العلم في أن من ذرعه القيء فإنه لا قضاء عليه ولا في أن من استقاء عامدا أن عليه القضاء ولكن اختلفوا في الكفارة

“Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa siapa saja yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada qadlaa’ baginya; dan bagi orang yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya untuk mengqadlaa’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam kaffarah” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539 – dicetak bersama Sunan Abi Daawud].

Klaim ijmaa’ ini tidak benar.

Berikut beberapa riwayat madzhab para ulama mutaqaddimiin yang memegang pendapat ini:

أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: " مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتِقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ ".

Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada (kewajiban) qadlaa' baginya. Namun barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginyaqadlaa'" [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm, 2/111; shahih].

حَدَّثَنَا أَزْهَرُ السَّمَّانُ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنِ الْحَسَنِ، وَابْنِ سِيرِينَ، قَالَا: " إذَا ذَرَعَ الصَّائِمَ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ، وَإِذَا تَقَيَّأَ أَفْطَرَ "

Telah menceritakan kepada kami Az-har As-Sammaan, dari Ibnu ‘Aun, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin, mereka berdua berkata : “Apabila orang yang berpuasa muntah tanpa sengaja, ia tidak perlu berbuka (batal). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka batal telah berbuka (batal)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/38 (6/181) no. 9281; sanadnya shahih].

حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَ: " إذَا ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَهَوَّعَ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ "

Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Mughiirah, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja, maka ia tidak perlu mengulangnya (mengqadlanya). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka ia wajib mengulangnya” [idem, (6/181-182) no. 9282; sanadnya shahih].

حَدَّثَنَا أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: " إذَا تَقَيَّأَ مُتَعَمِّدًا فَهُوَ أَفْطَرَ "

Telah menceritakan kepada kami Asbaath bin Muhammad, dari Mutharrif, dari ‘Aamir, ia berkata : “Apabila seseorang muntah dengan sengaja, maka ia telah berbuka (batal)” [idem, 2/39 (6/182) no. 9286; sanadnya shahih].

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ: " إذَا تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَإِنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia berkata : “Apabila seorang muntah dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya qadlaa’. Namun apabila ia tidak sengaja muntah, tidak wajib baginya qadlaa’” [idem, 2/39 (6/182) no. 9288; sanadnya shahih].

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلا؟ قَالَ: لا يُبْدِلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَيُتِمُّهُ "، قَالَ: وَقَالَ عَطَاءٌ: " إِنِ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ عَامِدًا فِي رَمَضَانَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَإِنْ سَهَا فَلَمْ يُفْطِرْ "،

قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ

Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : Ada seseorang yang muntah karena lupa atau tidak tahu. Ia (‘Athaa’) berkata : “Ia tidak perlu mengganti puasanya hari itu, dan hendaknya ia menyempurnakannya”. ‘Athaa’ melanjutkan: “Apabila seseorang muntah dengan sengaja di bulan Ramadlaan, sungguh puasanya telah batal. Namun apabila ia lupa, maka tidak batal”.

Ibnu Juraij berkata : “’Amru bin Diinaar mengatakan hal yang semisal itu” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7547; shahih].

عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، وَعَنْ حَفْصٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالا: مَنِ اسْتَقَاءَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ فَلَمْ يُفْطِرْ "

Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy; dan dari Hafsh, dari Al-Hasan; mereka berdua berkata : “Barangsiapa yang muntah dengah sengaja, sungguh ia telah berbuka (batal puasanya), wajib baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa disengaja, maka tidak batal puasanya” [idem, no. 7550; shahih].

عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: إِنْ قِئْتَ أَوِ اسْتَقَأْتَ سَهْوًا لَمْ تُفْطِرْ "

Dari Ma’mar, daru Ibnu Thaawuus, dari ayahnya (Thaawuus bin Kaisaan), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja atau muntah dengan sengaja karena lupa, maka tidak batal puasanya” [idem, no. 7552; shahih].

أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، أنبأ الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنبأ الشَّافِعِيُّ، قال: " وَمَنْ تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al-Qaadliy dan yang lainnya, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah memberitakan Ar-Rabii’ bin Sulaimaan : Telah memberitakan Asy-Syaafi’iy, ia berkata : “Barangsiapa muntah dengan sengaja dalam keadaan berpuasa, wajib baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban qadlaa’ baginya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 4/219 (370) no. 8025; shahih].

Abu Daawud rahimahullah berkata:

سَمِعْتُ أَحْمَدَ، سُئِلَ عَمَّنْ قَاءَ فِي رَمَضَانَ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ مُتَعَمِّدًا قَضَى، وَإِنْ ذَرَعَهُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ".

“Aku mendengar Ahmad ditanya tentang orang yang muntah di bulan Ramadlaan. Ia menjawab : ‘Apabila ia sengaja muntah, ia wajib mengqadlanya. Namun apabila tidak sengaja, maka tidak ada qadla’ baginya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 130 no. 623].

2.Sebagian ulama berpendapat muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak.

At-Tirmidziy rahimahullah berkata:

وَقَدْ رَوَى يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ: أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ لا يَرَى الْقَيْءَ يُفْطِرُ الصَّائِمَ

“Dan telah diriwayatkan oleh Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Umar bin Al-Hakam, bahwasannya Abu Hurairah tidak berpendapat muntah membatalkan puasa seseorang” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].

وَقَالَ لِي يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " إِذَا قَاءَ فَلَا يُفْطِرُ إِنَّمَا يُخْرِجُ وَلَا يُولِجُ

Dan telah berkata kepadaku Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Sallaam : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Apabila seseorang muntah, janganlah ia berbuka. Karena yang menyebabkan berbuka (batal puasanya) hanyalah sesuatu yang dimasukkan, bukan yang dikeluarkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya setelah hadits 1937].

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: " الإِفْطَارُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ، وَالْوُضُوءُ مِمَّا خَرَجَ، وَلَيْسَ مِمَّا دَخَلَ "

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Teklah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia berkata : “Berbuka itu karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar. Adapun wudlu itu (batal) karena sesuatu yang keluar, bukan karena sesuatu yang masuk” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mudzir dalam Al-Ausath 1/185 no. 81; sanadnya lemah karena keterputusan antara Yaziid dengan ‘Ikrimah. Akan tetapi ia mempunyai penguat dari jalan yang lain sehingga derajatnya hasan lighairihi, wallaahu a’lam].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدَةَ، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ عَنِ الرَّجُلِ يَسْبِقُهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَائِمٌ أَيَقْضِي ذَلِكَ الْيَوْمَ، قَالَ: لَا "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ubaidah, dari Ya’quub bin Qais, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang seorang laki-laki yang mengalami muntah dalam keadaan berpuasa. Apakah ia mesti menqadla (puasa) hari itu?. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/39 (6/182) no. 9285; shahih].

Pendapat inilah yang nampak dipegang Al-Bukhaariy. Khususnya saat ia menta’lil hadits marfuu’ Abu Hurairah dan kemudian membawakan riwayat mauquuf darinya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...