Jumat, 29 Oktober 2021

Makan Sahur Ketika Adzan Subuh


Makan atau minum setelah tanda imsak berbunyi, tak diragukan lagi sebagai tanda peringatan hati-hati.

Tujuannya, agar orang yang sedang sahur tidak kaget dengan azan subuh. Dengan adanya tanda imsak, orang yang sedang sahur bisa segera menghabiskan makanannya. Demikian juga orang yang belum sahur, bisa segera untuk makan sahur.

Setiap negara punya kebijakan sendiri soal tanda imsak. Di Indonesia, tanda imsak yang disepakati ulama yakni 10 menit sebelum waktu subuh. Sedangkan untuk daerah Timur Tengah biasanya 15 menit sebelum waktu subuh. Penghitungannya tergantung kesepakatan ulama setempat melihat Kondisi masyarakat yang ada.

Dan imsak ternyata sudah ada juga di zaman Ibnu hajar Al-asqalanirahimahullah, beliau mengingkarinya dan berkata,

من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان واطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك الا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن صاروا لا يؤذنون الا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فاخروا الفطر وعجلوا السحور وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان

“Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di zaman ini (zaman Ibnu Hajar) yaitu adanya pengumandangan adzan kedua tiga perempat jam sebelum waktu fajar bulan Ramadhan. Serta memadam lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa hal itudimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih memastikan waktu. Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka menyegerakan waktu sahur, dan suka menyelisihi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan.” [fathul barri 4/199]

Namun bagaimana jika azan subuh sudah berkumandang? Apakah masih diperbolehkan menghabiskan sisa makanan yang ada? Menjadi suatu dilema, jika sisa makanan harus dibuang karena waktu subuh telah masuk.

Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika adzan shubuh.

Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى بْنُ حَمَّادٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2350].

Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Al-Musnad 2/423 no. 9473 & 2/510 no. 10629, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/526 no. 3015, Ad-Daaruquthniy no. 2182, Ibnu Abi Shaabir dalam Al-Fawaaid no. 2, Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/203 & 1/205 & 1/426, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8018; dari 5 jalan (Ghassaan bin Ar-Rabii’, Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin Hammaad, ‘Affaan, dan ‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats); semuanya dari Hammaad bin Salamah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Sanad riwayat ini hasan, dan shahih dengan penguat yang akan disebut setelahnya.

Berikut keterangan para perawinya :

a.‘Abdul-A’laa bin Hammaad bin Nashr Al-Baahiliy, Abu Yahyaa Al-Bashriy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘Tidak mengapa dengannya (laa ba’sa bih)’. Termasuk thaqabah ke-10, dan wafat tahun 236 H/237 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 561 no. 3754].

b.Ghassaan bin Ar-Rabii’. Ad-Daaruquthniy telah mendla’ifkannya. Di tempat lain ia berkata : “Shaalih”.  Al-Khathiib berkata : “Ia seorang yang mulia, mempunyai keutamaan, dan wara’”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Wafat tahun 226 H [lihat : Taariikh Baghdaad, 14/285-286 no. 6723 dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad, hal. 285 no. 175].

c.Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan bin ‘Amr bin Martsad Al-Qaisiy, Abu Muhammad Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 205 H/207 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah[lihat : Al-Mu’jamush-Shaghiir li-Ruwaati Al-Imam Ibni Jariir Ath-Thabariyno. 1167 dan Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].

d.‘Affaan bin Muslim bin ‘Abdillah Al-Baahiliy, Abu ‘Utsmaan Ash-Shaffaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun kadang ragu. Termasuk thabaqah ke-10, wafat setelah tahun 219 H di Baghdaad. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 681 no. 4659].

e.‘Abdul-Waahid bin Ghiyaats Al-Mariidiy Al-Bashriy, Abu Bahr Ash-Shairafiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 240 H. Dipakai oleh Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 631 no. 4275].

f.Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy, Abu Salamah; seorang yang tsiqah, lagi ‘aabid, orang yang paling tsabt dalam periwayatan hadits Tsaabit (Al-Bunaaniy). Berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thabaqah ke-8, wafat tahun 167 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara muallaq, Muslim, Abu Daawud, Ar-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 268-269 no. 1507].

g.Muhammad bin ‘Amru bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 144 H/145 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 884 no. 6228]. Basyar ‘Awwaad dan Al-Arna’uth :shaduuq[Tahriirut-Taqriib, 3/299 no. 6188].

h.Abu Salamah bin ‘Abdirrahmaan bin ‘Auf Al-Qurasyiy Az-Zuhriy; seorang yang tsiqahlagi banyak haditsnya. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 94 H dalam usia 72 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8203].

i.Abu Hurairah Ad-Dausiy Al-Yamaaniy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhuur dan mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 57 H/58 H/59 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1218 no. 8493].

Khusus periwayatan ‘Affaan dari Hammaad bin Salamah, Ibnu Rajab rahimahumullah berkata :

قال عبد الله بن أحمد : سمعتُ يحيى بن معين يقول : من أراد أن يكتب حديث حماد بن سلمة، فعليه بعفان بن مسلم

“Telah berkata ‘Abdullah bin Ahmad : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : ‘Barangsiapa yang ingin menulis hadits Hammaad, maka wajib baginya berpegang pada ‘Affaan bin Muslim” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 2/707].

Artinya, hadits ‘Affaan bin Muslim dari Hammaad adalah shahih, karena ia meriwayatkan sebelum ikhtilaath-nya. Selain itu, periwayatannya diunggulkan di kalangan ashhaab Hammaad bin Salamah. Wallaahu a’lam.

Diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam Al-Musnad 2/510 no. 10630, Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 3/527 no. 3016, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/218 no. 8019; semuanya dari jalan Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad bin Salamah, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisal hadits sebelumnya, dengan tambahan lafadh dari perawi:

وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ

“Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”.

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja tidak diketahui apakah Rauh mendengar riwayat Hammaad sebelum atau setelah masa ikhtilaath-nya. Akan tetapi, riwayatnya berkesesuaian dan dikuatkan oleh riwayat sebelumnya.

Ammaar bin Abi ‘Ammaar, Abu ‘Umar/Abu ‘Abdillah Al-Makkiy; seorang yang shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan. Termasuk thabaqah ke-3 [Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 709 no. 4863].

Diriwayatkan pula oleh Ahmad 2/423 : Telah menceritakan kepada kami Ghassaan : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Yuunus, darii Al-Hasan, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Riwayat ini lemah dengan sebab mursal.

Hadits di atas dishahihkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 1/205, serta dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 1394 dan Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadii’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih 2/374.

Ada yang mengatakan riwayat ini ma’lul berdasarkan perkataan Ibnu Abi Haatim rahimahullah:

وَسألت أبي عَنْ حديث رَوَاهُ رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ ". قُلْت لأَبِي: وَرَوَى رَوْحٌ أَيْضًا عَنْ حَمَّادٍ، عَنْ عَمَّارِ بْنِ أَبِي عَمَّارٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلَهُ، وَزَادَ فِيهِ: " وَكَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ إِذَا بَزَغَ الْفَجْرُ ". قَالَ أَبِي: هَذَانِ الْحَدِيثَانِ لَيْسَا بِصَحِيحَيْنِ، أَمَّا حَدِيثُ عَمَّارٍ فَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفٌ، وَعَمَّارٌ ثِقَةٌ، وَالْحَدِيثُ الآخَرُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ

Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang hadits Rauh bin ‘Ubaadah, dari Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Apabila salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut)’. Aku berkata kepada ayahku : “Dan Rauh juga meriwayatkan dari Hammaad, dari ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam semisalnya, dan terdapat tambahan padanya : ‘Dan muadzdzin mengumandangkan adzan apabila fajar telah terbit”. Ayahku berkata : “Kedua hadits ini tidak shahih. Adapun hadits ‘Ammaar, maka ia berasal dari Abu Hurairah secara mauquuf, dan ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqah. Sedangkan hadits yang lain, tidaklah shahih” [Al-‘Ilal, 2/235-236 no. 240. Juga pada 2/137-138 no. 759].

Jawab : Perkataan Abu Haatim rahimahullah perlu ditinjau kembali, sebab ia tidak menjelaskan apa alasan pendla’ifannya tersebut. Sebagaimana yang kita lihat sanad riwayat Hammaad, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hasan; dan inilah riwayat jama’ah yang meriwayatkan dari Hammaad bin Salamah. Adapun perkataannya bahwa riwayat ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar adalah mauquuf, maka fakta yang ada menyatakan riwayat tersebut marfuu’. Al-Arna’uth dalam takhriij-nya atas Musnad Ahmad (16/368) tidak menemukan riwayat mauquuf yang dimaksudkan oleh Abu Haatim.

Ringkasnya, ta’lil Abu Haatim ini tidaklah diterima.

Ada yang mengatakan bahwa Hammaad bin Salamah mengalami idlthiraab dalam periwayatan.

Jawab : Perkataan ini tidak diterima.  Idlthiraab terjadi jika jalan riwayat sampai ke Hammaad bin Salamah sama kuat dan tidak bisa ditarjih. Namun di atas telah dijelaskan bahwa riwayat paling kuat adalah riwayat jama’ah yang di antaranya adalah riwayat ‘Affaan bin Muslim. Selain itu, tidak ada halangan bagi Hammaad meriwayatkan dari beberapa jalan selain riwayat jama’ah [lihat : Al-Jaami’ush-Shahiih oleh Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’iy, 2/373-374].

Ada yang mengatakan bahwa hadits tersebut bertentangan dengan ayat :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” [QS. Al Baqarah: 187].

Jawab : Hadits tersebut tidaklah bertentangan dengan ayat, karena hadits tersebut merupakan rukhshah pada makanan/minuman yang sedang dikunyah atau yang ada ditangan yang belum terselesaikan (untuk dimakan atau diminum). Tentu lain halnya dengan orang yang telah selesai makan sahur (atau bahkan belum sahur sama sekali), kemudian nampak baginya fajar shaadiq dalam keadaan ia tahu waktu itu merupakan batas larangan untuk makan/minum; ia tidak boleh makan atau minum. Bahkan jika ia makan dan minum dengan sengaja berdasarkan pengetahuannya tersebut di atas, maka batal puasanya, dan wajib ia mengqadla di hari lain. Dua hal ini tentu berbeda.Rukhshah ini seperti yang terdapat dalam hadits :

وَحَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ اللَّيْثِيُّ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ، فَلا يَعْجَلْ عَنْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ وَإِنْ أُقِيمَتِ الصَّلاةُ ".

Telah menceritakan kepada kami Yuunus bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin ‘Iyaadl Al-Laitsiy, dari Muusaa bin ‘Uqbah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila kalian sedang makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan hajatnya, meskipun shalat telah ditegakkan (iqaamah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1986; shahih].

Ada yang mengatakan bahwa hadits di atas dibawa pada pengertian masih bolehnya makan dan minum saat dikumandangkan adzan yang pertama, sebagaimana penjelasan Al-Baihaqiy rahimahullah :

وَهَذَا إِنْ صَحَّ فَهُوَ مَحْمُولٌ عِنْدَ عَوَامِّ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّهُ -صلى الله عليه وسلم- عَلِمَ أَنَّ الْمُنَادِىَ كَانَ يُنَادِى قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِحَيْثُ يَقَعُ شُرْبُهُ قُبَيْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَقَوْلُ الرَّاوِى وَكَانَ الْمُؤَذِّنُونَ يُؤَذِّنُونَ إِذَا بَزَغَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ خَبَرًا مُنْقَطِعًا مِمَّنْ دُونَ أَبِى هُرَيْرَةَ أَوْ يَكُونَ خَبَرًا عَنِ الأَذَانِ الثَّانِى وَقَوْلُ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :« إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ ». خَبَرًا عَنِ النِّدَاءِ الأَوَّلِ لِيَكُونَ مُوَافِقًا لِمَا أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، أنبأ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، ثنا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أنبأ جَرِيرٌ، وَالْمُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْدِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَن رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لا يَمْنَعَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ أَذَانُ بِلالٍ مِنْ سُحُورِهِ، فَإِنَّمَا يُنَادِي لِيُوقِظَ نَائِمَكُمْ، وَيَرْجِعَ قَائِمُكُمْ "

“Jika hadits ini shahih, maka dipahami oleh mayoritas ulama bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kadang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar (shubuh) dan beliau minum dekat dengan terbitnya fajar. Sedangkan perkataan perowi bahwa muadzin mengumandangkan adzan ketika muncul fajar dipahami bahwa hadits tersebut sebenarnya munqothi’ (terputus dalam sanad) di bawah Abu Hurairah. Atau boleh jadi hadits tersebut dimaksudkan untuk adzan kedua. Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan bejana (piring) masih ada di tangannya …”, maka yang lebih tepat hadits ini dimaksudkan untuk adzan pertama sehingga berkesesuaianlah dengan riwayat : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-haafidh : Telah memberitakan kepada Abul-Fadhl bin Ibraahiim : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Salamah : Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah memberitakan Jariir dan Al-Mu’tamir bin Sulaimaan, dari Sulaimaan At-Taimiy, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahdiy, dari ‘Abdullah bin Mas’uud, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Janganlah adzan Bilaal menghalangi salah seorang di antara kalian dari makan sahurnya, karena Bilaal mengumandangkannya untuk membangunkan orang yang masih tidur dan mengingatkan orang yang sedang shalat” [As-Sunan Al-Kubraa, 4/218].

Jawab : Hadits tersebut memang shahih. Namun membawa hadits di atas pada adzan pertama, maka itu musykil, karena dhahir hadits yang dimaui dengan adzan adalah adzan kedua (telah masuk waktu Shubuh, terbit fajaf shaadiq). Apalagi dalam riwayat ‘Ammaar bin Abi ‘Ammaar telah dijelaskan bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan kedua. Selain itu, ada beberapa syawaahid hadits yang menguatkan, yang menafikkan apa yang dikatakan oleh Al-Baihaqiy rahimahullah :

1.Hadits Abu Umaamah radliyallaahhu ‘anhu.

حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، قَالَ: ثَنَا الْحُسَيْنُ، وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، قَالا جَمِيعًا، عَنْ أَبِي غَالِبٍ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: " أُقِيمَتِ الصَّلاةُ وَالإِنَاءُ فِي يَدِ عُمَرَ، قَالَ: أَشْرَبُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَشَرِبَهَا "

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Waadlih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, ia berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Husain bin Waaqid; keduanya (Yahyaa bin Waadlih dan ‘Aliy bin Al-Hasan dari jalur Al-Husain) dari Abu Ghaalib, dari Abu Umaamah, ia berkata : ““Pernah iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab) radliyallaahu ‘anhu. Ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : ‘Apakah aku boleh meminumnya?’. Beliau menjawab : ‘Boleh’. Maka Umar pun meminumnya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir 3/527 no. 3017].

Riwayat ini terdiri dari dua jalan dari Al-Husain bin Waaqid. Pertama, dari jalan Ibnu Humaid, dan yang kedua, dari jalan Muhammad bin ‘Aliy bin Syaqiiq. Akan tetapi jalan pertama yang berasal dari Ibnu Huimaid adalah lemah atau bahkan sangat lemah. Ibnu Humaid namanya : Muhammad bin Humaid bin Hayyaan, Abu ‘Abdillah Ar-Raaziy; termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 248 H. Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 839 no. 5871]. Ia telah dilemahkan oleh jumhur ahli hadits, dan bahkan ada yang mendustakannya.

Adapun jalan riwayat yang lain, maka sanadnya hasan. Berikut keterangan perawinya :

a.Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdillah Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, shaahibul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-11, dan wafat tahun 250 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6190].

b.‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq bin Diinaar Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Marwaziy; seorang yang tsiqahlagi haafidh. Termasukthabaqahke-10, dan wafat tahun 215 H atau sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 692 no. 4740].

c.Al-Husain bin Waaqid Al-Marwaziy, Abu ‘Abdillah Al-Qurasyiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Tsiqah, namun mempunyai beberapa keraguan (lahu auhaam). Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 157 H/159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim (dalam mutaba’ah kitab Shahih-nya), Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 251 no. 1367]. Namun yang tepat, ia seorang yang shaduuq, hasanul-hadiits, karena beberapa kritikan para ulama tentang dirinya.

Ibnu Hajar memasukkan Al-Husain dalam jajaran perawi mudallis dalam Thabaqaatul-Mudallisiin no. 8, yaitu pada thabaqah pertama. Artinya, tadlis yang ia lakukan amatlah jarang, sehingga ‘an’anah riwayatnya tidak membahayakan – kecuali ada qarinah yang kuat bahwa ia melakukan tadlis pada riwayat yang ia bawakan.

d.Abu Ghaalib Al-Bashriy, shaahibu Abi Umaamah; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : “Shaduuq, namun sering keliru”. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1188 no. 8362]. Namun yang raajih, haditsnya adalah hasan, dan ia sendiri seorang yang shaduuq.

2.Hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا مُوسَى، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، قَالَ: سَأَلْتُ جَابِرًا عَنِ الرَّجُلِ يُرِيدُ الصِّيَامَ، وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ لِيَشْرَبَ مِنْهُ، فَيَسْمَعُ النِّدَاءَ، قَالَ جَابِرٌ: كُنَّا نُحَدَّثُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " لِيَشْرَبْ "

Telah menceritakan kepada kamu Muusaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Abuz-Zubair, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Jaabir tentang seseorang yang bermaksud puasa sedangkan ia masih memegang gelas untuk minum, kemudian ia mendengar adzan. Jabir menjawab : “Kami pernah mengatakan hal seperti itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau bersabda : ‘Hendaklah ia minum’”  [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/348].

Diriwayatkan juga oleh Thaahir bin Muhammad dalam An-Nuskhah no. 23 : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, selanjutnya seperti riwayat di atas.

Sanad riwayat ini lemah, karena faktor Ibnu Lahii’ah. Namanya adalah : ‘Abdullah bin Lahii’ah bin ‘Uqbah Al-Hadlramiy, Abu ‘Abdirrahmaan/Nashr Al-Mishriy; seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 174 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 538 no. 3587].

Jika yang meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah itu adalah salah satu dari Al-‘Abadillah (empat orang yang bernama ‘Abdullah), maka riwayat itu diterima (karena mereka meriwayatkan sebelum kitab-kitab Ibnu Lahi’ah terbakar). Al-‘Abaadillah tersebut adalah : ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim, ‘Abdullah bin Al-Mubarak, ‘Abdullah bin Yazid Al-‘Adawiy Al-Makkiy, dan ‘Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy. Keempat orang ini termasuk para perawi Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahiih-nya.

Adapun Abuz-Zubair, namanya adalah : Muhammad bin Muslim bin Tadrus Al-Qurasyiy Al-Asadiy, Abuz-Zubair Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, namun sering melakukan tadlis.Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 126 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 895 no. 6331].

3.Hadits mursal Al-Hasan.

عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ أَبِي مُوسَى، عَنِ الْحَسَنِ، قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِي، وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ، قَالَ: اشْرَبْ "

Dari Ibnu ‘Uyainah, dari Israaiil Abu Muusaa, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah berkata seorang laki-laki : “Wahai Rasulullah, muadzdzin telah mengumandangkan adzan sedangkan gelas masih ada di tanganku dan aku berniat untuk berpuasa ?”. Beliau bersabda : “Minumlah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 4/172-173 no. 7369].

Sanad riwayat di atas adalah lemah dikarenakan mursal, namun semua perawinya tsiqaat :

a.Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yangtsiqah, haafidh, faqiih, imaam,dan hujjah. Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].

b.Israaiil bin Muusaa, Abu Muusaa Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [taqriibut-Tahdziib, hal. 134 no. 404].

c.Al-Hasan bin Abil-Hasan Yasaar Al-Bashriy Al-Anshaariy, Abu Sa’iid atau lebih dikenal dengan nama Al-Hasan Al-Bashriy; seorang yang tsiqah,faqiih,faadlil, lagi masyhuur. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 110 H dalam usia 88/89 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1237].

Ada kemungkinan perantara Al-Hasan tersebut adalah Jaabir bin ‘Abdillah sebagaimana riwayat yang kedua, karena Al-Hasan Al-Bashriy dikenal mempunyai periwayatan darinya. Matan yang dibawakannya pun berdekatan. Jika memang benar perantara tersebut adalah Jaabir, maka hadits tersebut adalah shahih.

Tiga hadits di atas menjelaskan makna hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwa adzan yang dimaksud adalah adzan kedua, bukan adzan pertama. Dan berikut terdapat beberapa atsar shahabat selaras dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, di antaranya :

1.Atsar Hudzaifah bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ جُمَيْعٍ، قَالَ: ثَنَا أَبُو الطُّفَيْلِ أَنَّهُ تَسَحَّرَ فِي أَهْلِهِ فِي الْجَبَّانَةِ، ثُمَّ جَاءَ إلَى حُذَيْفَةَ وَهُوَ فِي دَارِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي رَبِيعَةَ، فَوَجَدَهُ: فَحَلَبَ لَهُ نَاقَةً فَنَاوَلَهُ، فقَالَ: إنِّي أُرِيدُ الصَّوْمَ، فقَالَ: وَأَنَا أُرِيدُ الصَّوْمَ فَشَرِبَ حُذَيْفَةُ وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَدَفَعَ إلَى الْمَسْجِدِ حِينَ أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ "

Telah menceritakan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Jumai’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abuth-Thufail : Bahwasannya ia pernah sahur bersama keluarganya di Al-Jabbaanah. Kemudian ia mendatangi Hudzaifah yang waktu itu berada di rumah Al-Haarits bin Rabii’ah. Ia pun mendapatinya, lalu diperaskan untuknya susu onta betina, dan diberikan kepadanya. Abuth-Thufail berkata : “Sesungguhnya aku berniat akan berpuasa”. Hudzaifah berkata : “Aku pun berniat akan berpuasa”. Kemudian Hudzaifah meminumnya dan ia (Abuth-Thufail) mengambilnya dengan tangannya (ikut minum). Lalu mereka pun berjalan menuju masjid ketika shalat telah ditegakkan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9028].

Sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat, kecuali Al-Waliid bin Jumai’. Selengkapnya, berikut keterangan para perawinya :

a.Al-Fadhl bin Dukain – ‘Amru bin Hammaad bin Zuhair Al-Qurasyiy At-Taimiy Abu Nu’aim Al-Malaaiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 129/130 H, dan wafat tahun 218 H/219 H.Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 782 no. 5436].

b.Al-Waliid bin ‘Abdilah bin Jumai’ Az-Zuhriy Al-Kuufiy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-5. Dipakai oleh Al-BukhaariydalamAl-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,dan An-Nasaa’iy [Tahriirut-Taqriib,4/63no.7432].

c.‘Aamir bin Waatsilah bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Jahsy, Abuth-Thufail Al-Laitsiy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Wafat tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 478 no. 3128].

Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu makan sahur bersamaan dengan terbitnya fajar, dan kemudian melanjutkannya hingga selesai, lalu mendatangi masjid dalam keadaan shalat telah ditegakkan. Ada kisah lain yang menguatkan dari Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu :

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ، وَأَبُو السَّائِبِ، قَالا: ثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ حُذَيْفَةَ إِلَى الْمَدَائِنِ فِي رَمَضَانَ، فَلَمَّا طَلَعَ الْفَجْرُ، قَالَ: هَلْ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ آكِلٍ، أَوْ شَارِبٍ؟ قُلْنَا: أَمَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَصُومَ فَلا. قَالَ: لَكِنِّي، قَالَ: ثُمَّ سِرْنَا حَتَّى اسْتَبْطَأْنَا الصَّلاةَ، قَالَ: هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يُرِيدُ أنْ يَتَسَحَّرَ؟ قَالَ: قُلْنَا أَمَّا مَنْ يُرِيدُ الصَّوْمَ فَلا. قَالَ: لَكِنِّي ! ثُمَّ نَزَلَ فَتَسَحَّرَ، ثُمَّ صَلَّى "

Telah menceritakan kepada kami Hannaad dan Abus-Saaib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : Aku pernah keluar safar bersama Hudzaifah ke negeri Madaain pada bulan Ramadlaan. Ketika fajar terbit, ia berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak makan atau minum ?”. Kami menjawab : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku (akan makan dan minum)”. Kemudian kami melanjutkan perjalanan hingga melambatkan shalat. Hudzaifah kembali berkata : “Apakah ada di antara kalian yang hendak sahur ?”. Kami berkata : “Adapun orang yang hendak berpuasa, maka tidak ada”. Ia berkata : “Akan tetapi aku mau makan sahur”. Kemudian ia berhenti dan makan sahur, lalu melaksanakan shalat” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/518 no. 2999].

Sanad riwayat ini shahih, perawinya tsiqaat :

a.Hannaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah.Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun243 H.Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1025 no. 7370].

b.Abus-Saaib namanya adalah : Salm bin Junaadah bin Salm bin Khaalid bin Jaabir bin Samurah As-Suwaa’iy Al-‘Aamiriy, Abus-Saaib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun kadang menyelisihi. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 174 H, dan wafat tahun 254 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 396 no. 2477].

c.Abu Mu’aawiyyah namanya adalah : Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].

d.Al-A’masy namanya adalah : Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah,haafidh, lagi 'aalim terhadap qira’aat, wara’, akan tetapi sering melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun 147/148 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah[Taqriibut-Tahdziib, hal. 414 no. 2630].

e.Ibraahiim bin Yaziid bin Syariik At-Taimiy, Abu Asmaa’ Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, namun ia sering melakukan irsaal dan tadliis. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 152 H, dan wafat tahun 192 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 118 no. 271]. Namun penghukuman Ibnu Hajar bahwa Ibraahiim sering melakukan tadliis perlu ditinjau kembali, sebab tidak ada ulama mutaqaddimiin yang mensifati Ibraahiim dengan tadliis. Bahkan Ibnu Hajar tidak memasukkannya dalam Thabaqaatul-Mudallisiin [Tahriirut-Taqriib, 1/102-103 no. 269].

f.Ayah Ibraahiim namanya : Yaziid bin Syariik bin Thaariq At-Taimiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat pada masa kekhilafahan ‘Abdul-Malik. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal.1076no.7780].

Catatan : Dalam riwayat Ath-Thabariy yang lain (3/518-519 no. 3000), Al-A’masy telah menjelaskan penyimakan riwayatnya dari Ibraahiim :

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ: ثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: رُبَّمَا شَرِبْتُ بَعْدَ قَوْلِ الْمُؤَذِّنِ يَعْنِي فِي رَمَضَانَ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ.قَالَ: وَمَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَفْعَلَ لَهُ مِنَ الأَعْمَشِ، وَذَلِكَ لَمَّا سَمِعَ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ.....

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : “Kadang-kadang aku minum – dalam bulan Ramadlaan - setelah muadzdzin berkata : qad qaamatish-shalaah”. Ia (Abu Bakr) berkata : “Dan aku tidak pernah melihat seorang pun yang melakukannya kecuali Al-A’masy. Hal tersebut disebabkan ketika ia mendengar (riwayat) : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya, ia berkata : “……(al-atsar)…” [selesai].

Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan perawinya :

a.Abu Kuraib namanya adalah : Muhammad bin Al-‘Alaa’ bin Kuraib Al-Hamdaaniy, Abu Kuraib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk thabaqah ke-10, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 247 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,hal. 885 no. 6244].

b.Abu Bakr bin ‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, namun ketika beranjak tua, hapalannya berubah/jelek, dan kitabnya adalah shahih. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 95 H/96 H/100 H, dan wafat tahun 194 H atau dikatakan setahun atau dua tahun sebelum itu. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042].

2.Atsar Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.

حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ، قَالَ: " أَتَيْتُ عَبْدَ اللَّهِ فِي دَارِهِ فَأَخْرَجَ لَنَا فَضْلَ سُحُورِهِ فَتَسَحَّرْنَا مَعَهُ فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَخَرَجْنَا فَصَلَّيْنَا مَعَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Asy-Syaibaaniy, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Aku mendatangi ‘Abdullah di rumahnya, lalu ia menyuguhi kami kelebihan makan sahurnya, lalu kami pun sahur bersamanya. Setelah itu shalat diiqamati, maka kami pun keluar dan shalat bersamanya”  [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, 3/10 no. 9024].

Atsar ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :

a.Abu Mu’aawiyyah namanya adalah : Muhammad bin Khaazim At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abu Mu’aawiyyah Adl-Dlariir Al-Kuufiy; seorang yangtsiqah, dan orang yang paling hapal hadits Al-A’masy, namun sering mengalami keraguan dalam hadits selainnya. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 113 H, dan wafat tahun 194/195 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 840 no. 5878].

b.Asy-Syaibaaniy namanya adalah : ‘Uraif bin Dirham Al-Jammaal, Abu Hurairah Al-Kuufiy. Abu Ahmad Haakim berkata : “Tidak kokoh (laisa bil-matiin)”. Yahyaa bin Sa’iid mengatakan ia meriwayatkan hadits munkar dari Jabalah. Al-‘Uqailiy menyebutkan hadits munkar yang diingkari oleh Yahyaa bin Sa’iid adalah dari Jabalah dari Ibnu ‘Umar tentang onta. Abu Haatim berkata : “Shaalihul-hadiits, tidak mengapa dengannya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 7/44 no. 246 dan Lisaanul-Miizaan, 5/430 no. 5198].

c.Jabalah bin Suhaim At-Taimiy/Asy-Syaibaaniy, Abu Suwairah/Abu Sariirah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 125 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 194 no. 905].

d.‘Aamir bin Mathar Al-Bakriy Al-Kuufiy Asy-Syaibaaniy. ‘Abdurrahmaan bin Al-Hakam berkata tentangnya : “Seorang laki-laki yang mempunyai kedudukan di kalangan kaum muslimin”. Ibnu Sa’d berkata : “Sedikit haditsnya”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, sedangkan sejumlah perawi tsiqaat meriwayatkan darinya, di antaranya : Asy-Sya’biy, Jabalah bin Suhaim, dan Sulaimaan Asy-Syaibaaniy. Al-Haakim menshahihkan haditsnya. Oleh karena itu, ia seorang yang shaduud, hasanul-hadiits [Al-Mustadrak 4/459, Al-Jarh wat-Ta’diil 5/328 no. 1825 dan Lisaanul-Miizaan 4/381 no. 4057].

Asy-Syaibaaniy mempunyai mutaba’ah dari :

a.Mis’ar sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 7619 dan dari jalannya Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 9/314-315 :

عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ عَامِرِ بْنِ مَطَرٍ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ عَبْدِ اللَّهِ، ثُمَّ خَرَجْنَا فَأُقِيمَتِ الصَّلاةُ "

Dari Abu Sufyaan, dari Mis’ar, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar Asy-Syaibaaniy, dari ayahnya, ia berkata : Kami pernah makan sahur bersama ‘Abdullah, kemudian kami keluar, lalu shalat pun diiqamati”.

Penyebutan perantara ‘dari ayahnya’ adalah keliru, karena ‘Aamir dalam periwayatan dari Ibnu Mas’uud tidaklah melalui perantaraan ayahnya, sebagaimana dikenal dalam kitab-kitab taraajim.

b.Abu Ishaaq Asy-Syaibaaniy sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khathiib dalam At-Talkhiish 2/648-649.

Diriwayatkan pula secara marfuu’, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush-Shahaabah no. 5220, dan ia mengkritiknya :

حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سُلَيْمٍ، ثنا سَهْلُ بْنُ زَنْجَلَةَ، ثنا وَكِيعٌ، عَنْ مِسْعَرٍ، عَنْ جَبَلَةَ بْنِ سُحَيْمٍ، عَنْ  عَامِرِ  بْنِ  مَطَرٍ ، قَالَ: " تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاةِ "، كَذَا قَالَ سَهْلٌ، عَنْ وَكِيعٍ، وَرَوَاهُ غَيْرُهُ عَنْ وَكِيعٍ، فَقَالَ: تَسَحَّرْنَا مَعَ ابْنِ مَسْعُودٍ، وَهُوَ الصَّحِيحُ

Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad bin Hayyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Sulaim : Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Zanjalah : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Mis’ar, dari Jabalah bin Suhaim, dari ‘Aamir bin Mathar, ia berkata : “Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kami berdiri untuk melakukan shalat (Shubuh)”. Abu Nu’aim berkata : “Begitulah yang dikatakan Sahl dari Wakii’. Dan telah diriwayatkan dari selainnya dari Wakii’, dan ‘Aamir berkata : ‘Kami pernah makan sahur bersama Ibnu Mas’uud’ – inilah yang benar” [selesai].

Atsar ini menjelaskan kepada kita bahwa Ibnu Mas’uud tetap menyelesaikan makan sahurnya hingga kemudian ia mendatangi masjid yang ketika itu shalat telah dimulai.

فالصوم المشروع هو الإمساك عن المفطرات من طلوع الفجر الثاني (الصادق) إلى غروب الشمس. قال تعالى (وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل )[ البقرة:187] وعن عائشة وابن عمر رضي الله عنهم أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :”إن بلالاً يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم” وكان رجلاً أعمى لا ينادي حتى يقال له : أصبحت أصبحت ” متفق عليه. وفي لفظ للبخاري :”فإنه لا يؤذن حتى يطلع الفجر” وفيه دليل على أن قوله: أصبحت أصبحت دخلت في وقت الصبح.

Puasa yang disyariatkan adalah menahan dari segala yang membatalkannya dari terbit fajar yang kedua (Fajar Shadiq) sampai terbenamnya matahari. Allah berfirman (makan dan minumlah sampai jelas bagimu benang putih dari benang hitam dari waktu fajar kemudian sempurnakan puasa hingga waktu malam) [albaqarah :187].
Aisyah dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum meriwayatkan bahwasanya Nabi saw bersabda : “Sungguh Adzan yang dikumandangkan Bilal masih menunjukkan waktu malam, karena itu makan dan minumlah kalian hingga adzan dikumandangkan oleh Ibnu Ummu Maqtum.” Beliau sahabat yang buta, dan tidaklah beradzan kecuali setelah dikatakan kepadanya : “Telah subuh, telah subuh”. Muttafaqun ‘Alaihi. Dalam lafadz Bukhari disebutkan, “Sungguh ia tidaklah mengumandangkan adzan kecuali tampak fajar.

وعن ابن عباس رضى الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :” الفجر فجران: فجر يحرم الطعام وتحل فيه الصلاة، و فجر تحرم فيه الصلاة ويحل فيه الطعام “رواه ابن خزيمه والحاكم وصححاه.

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata : Rasulullah saw bersabda : “Waktu Fajar itu ada dua: waktu fajar dimana makan diharamkan dan shalat subuh dibenarkan pada saat itu. dan waktu fajar dimana shalat subuh diharamkan dan makan dibenarkan pada saat itu.” diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dan Hakim mensohihkan hadits ini.

 قال أبو بكر ابن خزيمة :”قوله : فجر يحرم فيه الطعام يريد على الصائم” فإذا كان المؤذن يؤذن لطلوع الفجر وجب الإمساك بمجرد سماع الأذان، إلا إذا كان يعلم أن المؤذن يؤذن قبل الوقت بقليل فلا حرج في الأكل والشرب حال الأذان، وعلى ذلك يحمل قوله صلى الله عليه وسلم :”إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي منه حاجته ” رواه أحمد وأبو داود والحاكم وقال صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه.

Abu Bakar bin Khuzaimah mengatakan, “Perkataan Nabi, “Waktu fajar yang diharamkan makan pada saat itu”… maksudnya adalah bagi orang yang berpuasa”. Maka jika muadzin beradzan karena terbitnya matahari (adzan subuh) maka wajib bagi yang berpuasa memulai imsak (menahan) meskipun hanya mendengar adzan. kecuali diketahui bahwa muadzin beradzan lebih cepat sedikit dari waktunya, maka tidak ada larangan makan dan minum saat adzan tengah dikumandangkan. Hal inilah yang menjadi maksud perkataan Nabi saw, “Jika salahseorang kalian mendengar adzan sedang gelas berada ditangannya, maka janganlah meletakkan gelas tersebut sampai dia memenuhi hajatnya (meminumnya lebih dahulu). diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Hakim, dan hadits ini memenuhi syarat kesohihan ang dipersyaratkan Imam Muslim.

 قال البيهقي : ” وهذا إن صح فهو محمول عند عامة أهل العلم على أنه صلى الله عليه وسلم علم أن المنادي كان ينادي قبل طلوع الفجر بحيث يقع شربه قبيل طلوع الفجر” .
وعلى هذا فيجب عليك القضاء إن كان المؤذن متقيداً بالوقت ولا يؤذن قبله ، ولاشيء عليك إذا كان يؤذن قبل الوقت بقليل ، عملاً بالحديث السابق. والله أعلم.

Al-Baihaqi mengatakan :”Kondisi minum saat terdengar adzan berlaku sekiranya memang benar (adzan lebih cepat dari waktunya), karena itulah para ulama mengkondisikan hadits di atas bahwa Nabi saw mengetahui pada saat itu Muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar, sehingga aktivitas minum itu dibolehkan karena tetap dilakukan sebelum terbitnya fajar.”
Atas dasar inilah tetap wajib bagi anda al-Qadhau (mengganti puasa di hari yang lain) sekiranya muadzin betul-betul adzan berdasarkan waktu, dan tidak adzan sebelum benar-benar masuk waktunya. dan tidak mengapa bagimu (makan atau minum) sekiranya muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya, dalam rangka mengamalkan hadits Nabi saw tsb. Wallahu a’lam.

Rukhshoh Puasa Bagi Musyafir


Para ulama sepakat bahwasannya safar merupakan sebab diperbolehkannya berbuka bagi orang yang berpuasa, sebagaimana firman Allah ta’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].

حدثنا يحيى بن يحيى. أخبرنا أبو خيثمة عن حميد. قال: سئل أنس رضي الله عنه عن صوم رمضان في السفر ؟ فقال: سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر على الصائم.

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Khaitsamah, dari Humaid, ia berkata : Anas radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang puasa Ramadlaan ketika safar, maka ia menjawab : “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlaan. Maka, orang yang berpuasa tidaklah mencela orang yang berbuka. Begitu pula orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1118].

Dari pendapat jumhur yang menyatakan kebolehan tetap berpuasa dalam keadaan safar, mereka berbeda pendapat tentang keafdlalan antara berbuka atau tetap berpuasa bagi musafir, yang terbagi menjadi dua kelompok besar :

1.Berbuka afdlal, baik berpuasa itu mudah baginya atau tidak.

Dalilnya adalah :

وحدثني أبو الطاهر وهارون بن سعيد الأيلي (قال هارون: حدثنا. وقال أبو الطاهر: أخبرنا ابن وهب) أخبرني عمرو بن الحارث عن أبي الأسود، عن عروة بن الزبير عن أبي مراوح، عن حمزة بن عمرو الأسلمي رضي الله عنه: أنه قال: يا رسول الله: أجد بي قوة على الصيام في السفر. فهل علي جناح ؟، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "هي رخصة من الله فمن أخذ بها فحسن. ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه". قال هارون في حديثه: "هي رخصة" ولم يذكر من الله.

Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir dan Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy - Haaruun berkata : ‘Telah menceritakan kepada kami’, dan Abuth-Thaahir berkata : ‘Telah mengkhabarkan kepada kami’ – Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits, dari Abul-Aswad, dari ‘Urwah bin Az-Zubair, dari Abu Muraawih, dari Hamzah bin ‘Amr Al-Aslaamiy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah berkata : “Wahai Rasulullah, aku merasa kuat berpuasa ketika safar. Apakah berdosa jika aku berpuasa ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berbuka merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Barangsiapa mengambilnya, maka itu baik. Namun barangsiapa yang lebih suka berpuasa, maka ia tidak berdosa”. Haaruun berkata dalam haditsnya :“Berbuka merupakan rukhshah” – tanpa menyebutkan : “dari Allah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1121].

Sisi pendalilannya : Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada pihak yang berbuka : ‘Berbuka merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Barangsiapa mengambilnya, maka itu baik’ ; sedangkan untuk yang tetap berpuasa : ‘Namun barangsiapa yang lebih suka berpuasa, maka ia tidak berdosa’. Beliau mencukupkan peniadaan dosa bagi yang berpuasa sehingga hukumnya boleh saja; sementara bagi yang berbuka, beliau menetapkan adanya kebaikan. Padahal Hamzah sebelumnya mengatakan : ‘Sesungguhnya aku merasa kuat berpuasa ketika safar’.

Keutamaan pengambilan rukhshah juga ditegaskan dalam riwayat berikut :

حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا عبد العزيز بن محمد عن عمارة بن غزية عن نافع عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله يحب أن تؤتى رخصة كما يكره أن تؤتى معصيته.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad, dari ‘Ammaarah bin Ghaziyyah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya”[Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].

حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن المثنى وابن بشار. جميعا عن محمد بن جعفر. قال أبو بكر : حدثنا غندر عن شعبة، عن محمد بن عبدالرحمن بن سعد، عن محمد بن عمرو بن الحسن، عن جابر بن عبدالله رضي الله عنه. قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفره. فرأى رجلا قد اجتمع الناس عليه. وقد ضلل عليه. فقال: "ما له ؟" قالوا: رجل صائم. فقال رسول الله عليه وسلم: "ليس من البر أن تصوموا في السفر".

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin Al-Mutsannaa, dan Ibnu Basyaar, mereka semua dari Muhammad bin Ja’far – Abu Bakr berkata : Telah menceritakan kepada kami Ghundar - , dari Syu’bah, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan bin Sa’d, dari Muhammad bin ‘Amru bin Al-Hasan, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berada dalam safarnya, beliau melihat sekelompok orang berkumpul dan memayungi seorang laki-laki. Beliau bertanya : “Ada apa dengannya ?”. Mereka menjawab : “Ia sedang berpuasa”. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1115].

Sisi pendalilan : Sangat jelas di sini bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menafikkan kebaikan bagi orang yang berpuasa dalam keadaan safar.

حدثني محمد بن المثنى. حدثنا عبدالوهاب (يعني ابن عبدالمجيد) حدثنا جعفر عن أبيه، عن جابر بن عبدالله رضي الله عنهما ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج عام الفتح إلى مكة في رمضان. فصام حتى بلغ كراع الغميم. فصام الناس. ثم دعا بقدح من ماء فرفعه. حتى نظر الناس إليه. ثم شرب. فقيل له بعد ذلك: إن بعض الناس قد صام. فقال: " أولئك العصاة. أولئك العصاة ".

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Al-Mutsannaa : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab - yaitu Ibnu ‘Abdil-Majiid - : Telah menceritakan kepada kami Ja’far, dari ayahnya, dari Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada tahun Fath menuju Makkah pada bulan Ramadlaan. Beliau berpuasa hingga mencapai satu tempat yang bernama Kuraa’ul-Ghamiim. Orang-orang pun turut berpuasa. Kemudian beliau meminta segelas air dan mengangkatnya sehingga orang-orang melihat kepada beliau. Lalu beliau meminumnya. Kemudian setelah itu dikatakan kepada beliau : “Sesungguhnya sebagian manusia tetap berpuasa”. Beliau bersabda : “Mereka itu adalah orang-orang yang durhaka, mereka itu adlah orang-orang yang durhaka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1114].

Sisi pendalilannya : Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada orang yang tidak berbuka bersama beliau sebagai orang yang durhaka. Tidak bisa tidak bahwasannya berbuka tentu lebih utama daripada yang berpuasa. Bahkan, dhahir hadits menyatakan berpuasa ketika safar adalah kemaksiatan/kedurhakaan.

Pendapat ini dikuatkan oleh Ahmad serta Ibnu Habiib dan Ibnu Maajisyuun dari kalangan shahabat Maalik [Al-Ifshaah 1/247, Al-Inshaaf 3/287, Ar-Taudlun-Nadiyhal. 162, dan Al-Fawaakihud-Dawaaniy 1/264 – melalui perantaraan At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah oleh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul, hal. 76; Daarul-Hijrah, Cet. Thn. 1415 H]. Di antara ulama kontemporer yang merajihkan pendapat ini antara lain : ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Aali Bassaam [Taisirul-‘Allaam Syarh ‘Umdatil-Ahkaam, 1/594; Daar Ibnil-Haitsam, Thn. 1425 H], Muhammad ‘Umar Bazmuul [At-Tarjiih, hal. 77], ‘Abdullah bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-‘Uqail, dan yang lainnya.

2.Berpuasa afdlal.

Dalilnya utama mereka adalah firman Allah ta’ala :

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 184].

Sisi pendalilannya : Setelah menetapkan rukhshah berbuka bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan (safar), Allah ta’ala menutupnya dengan firman-Nya : ‘Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui’.

Ini adalah pendapat Anas bin Maalik, Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ‘Athaa’, Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Uma, Sa’id bin Jubair, Mujaahid, dan yang lainnya. Pendapat ini dinisbatkan kepada pendapat jumhur dari kalangan Hanafiyyah, Maalikiyyah, dan Syaafi’iyyah [Al-Ikhtiyaar 1/134, Fathul-Qadiir 2/351, Haasyiyyah Ibni ‘Aabidiin2/117, Al-Kaafiy hal. 121, Al-Fawaakihud-Dawaaniy 1/364, Bulghatus-Saalik 1/243, At-Tanbiih hal. 66,Raudlatuth-Thaalibiin 2/370, dan Al-Majmuu’ 6/265 – melalui perantaraan At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah hal. 77].

 Ath-Thabariy rahimahullah berkata :

حدثنا هناد وأبو السائب قالا حدثنا أبو معاوية عن عاصم عن أنس : أنه سئل عن الصوم في السفر فقال : من أفطر فبرخصة الله ، ومن صام فالصوم أفضل

Telah menceritakan kepada kami Hanaad dan Abus-Saaib, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari ‘Aashim, dari Anas : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang puasa ketika safar, maka ia menjawab : “Barangsiapa yang berbuka, maka ia melakukannya dengan rukhshah yang diberikan Allah. Dan barangsiapa yang berpuasa, maka puasa itu lebih utama” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/466-467 no. 2874, tahqiq : Ahmad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H].
Sanad riwayat ini shahih.

 Ath-Thabariy rahimahullah berkata :

حدثنا أبو كريب قال، حدثنا أبو أسامة، عن أشعث بن عبد الملك، عن محمد بن عثمان بن أبي العاص قال: الفطر في السفر رخصة، والصوم أفضل

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Asy’ats bin ‘Abdil-Malik, dari Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abil-‘Aash, ia berkata : “Berbuka ketika safar itu rukhshah,sedangkan puasa adalah afdlal” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/467 no. 2875].
Sanad riwayat ini shahih.

Ath-Thabariy rahimahullah berkata :

حدثنا هناد قال، حدثنا وكيع، عن بسطام بن مسلم، عن عطاء قال: إن صمتم أجزأ عنكم، وإن أفطرتم فرُخصة.

Telah menceritakan kepada kami Hanaad : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Busthaam bin Muslim, dari ‘Athaa’, ia berkata : “Apabila engkau berpuasa, engkau akan diberikan pahala. Dan jika engkau berbuka, maka itu adalah rukhshah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2877].
Sanad riwayat ini shahih

Ath-Thabariy rahimahullah berkata :

حدثنا هناد قال، حدثنا وكيع، عن كهمس قال: سألت سالم بن عبد الله عن الصوم في السفر، فقال: إن صمتم أجزأ عنكم، وإن أفطرتم فرخصة

Telah menceritakan kepada kami Hanaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Kahmas, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Saalim bin ‘Abdillah tentang puasa ketika safar. Maka ia menjawab : “Apabila engkau berpuasa, engkau akan diberikan pahala. Dan jika engkau berbuka, maka itu adalah rukhshah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2878].
Sanad riwayat ini shahih.

Ath-Thabariy rahimahullah berkata :

حدثنا هناد قال، حدثنا وكيع، عن سفيان، عن حماد، عن سعيد بن جبير، قال: الفطر في السفر رُخصة، والصومُ أفضل.

Telah menceritakan kepada kami Hanaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Hammaad, dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Berbuka puasa ketika safar itu rukhshah, dan puasa adalah afdlal (lebih utama)” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2880].
Sanad riwayat ini shahih.

Ath-Thabariy rahimahullah berkata :

حدثنا حميد بن مسعدة قال، حدثنا سفيان بن حبيب قال، حدثنا العوّام بن حوشب قال: قلت لمجاهد: الصوم في السفر قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم فيه ويفطر. قال: قلت: فأيهما أحب إليك؟ قال: إنما هي رُخصة، وأن تصوم رمضان أحب إليّ.

Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan bin Habiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Awwaam bin Hausyab, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Mujaahid : “Apa pendapatmu tentang puasa ketika safar ?”. Ia menjawab : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa dan berbuka ketika safar”. Aku berkata : “Lalu, yang manakah di antara keduanya yang engkau sukai ?”. Ia menjawab : “Berbuka hanyalah merupakan rukhshah. Namun jika engkau berpuasa Ramadlaan, maka lebih aku senangi” [Tafsiir Ath-Thabariy, 3/468 no. 2883].
Sanad riwayat ini hasan.

Pembahasan (Tarjih)

Apabila kita lihat beberapa nash yang menjelaskan berbukanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa shahabat lain, maka dijelaskan ‘illat perbuatan tersebut. Di antaranya :

وحدثنا أبو كريب. حدثنا حفص عن عاصم الأحول، عن مورق، عن أنس رضي الله عنه قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر. فصام بعض وأفطر بعض. فتحزم المفطرون. وعملوا وضعف الصوام عن بعض العمل. قال: فقال في ذلك "ذهب المفطرون اليوم بالأجر".

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Hafsh, dari ‘Aashim Al-Ahwal, dari Muwarriq, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berada dalam satu safar. Lalu sebagian orang berpuasa, dan sebagian lain berbuka. Orang-orang berbuka semangat dalam beramal, akan tetapi orang yang berpuasa merasa lemah dalam sebagian amal. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal itu : “Orang-orang yang berbuka pada hari ini pergi dengan membawa pahala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1119].

حدثني محمد بن حاتم. حدثنا عبدالرحمن بن مهدي عن معاوية بن صالح، عن ربيعة. قال: حدثني قزعة. قال: أتيت أبا سعيد الخدري رضي الله عنه وهو مكثور عليه. فلما تفرق الناس عنه، قلت: إني لا أسألك عما يسألك هؤلاء عنه. سألته عن الصوم في السفر ؟ فقال: سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى مكة ونحن صيام. قال: فنزلنا منزلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إنكم قد دنوتم من عدوكم والفطر أقوى لكم. فكانت رخصة". فمنا من صام ومنا من أفطر. ثم نزلنا منزلا آخر. فقال: "إنكم مصبحوا عدوكم. والفطر أقوى لكم، فأفطروا وكانت عزمة". فأفطرنا. ثم قال: رأيتنا نصوم، مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد ذلك، في السفر.

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Haatim : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Mu’aawiyyah bin Shaalih, dari Rabii’ah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Qaza’ah, ia berkata : Aku pernah menemui Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu yang saat itu sedang dikerumuni banyak orang. Ketika orang-orang bubar, aku berkata : “Sesungguhnya aku tidak bertanya kepadamu tentang apa yang telah ditanyakan orang-orang tadi. Aku bertanya kepadamu tentang hukum puasa ketika safar ?”. Ia menjawab : “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menuju Makkah dalam keadaan berpuasa. Kami pun tiba di suatu tempat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya jarak antara kalian dengan musuh kalian semakin dekat. Berbuka puasa akan menjadikan kalian lebih kuat. Dan ia adalah sebuah keringanan”. Lalu, ada di antara kami yang tetap berpuasa, ada pula yang berbuka. Kemudian kami tiba di satu tempat yang lain. Beliau bersabda : ‘Sesungguhnya besok pagi kalian akan bertemu dengan musuh kalian, dan berbuka berpuasa itu akan menjadikan kalian lebih kuat. Maka berbukalah kalian, dan ia adalah satu ketetapan’. Maka kami pun berbuka”. Kemudian Abu Sa’iid berkata : “Aku melihat kami masih berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu pada waktu safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1120].

حدثنا داود بن رشيد. حدثنا الوليد بن مسلم عن سعيد بن عبدالعزيز، عن إسماعيل بن عبيدالله، عن أم الدرداء عن أبي الدرداء رضي الله عنه ؛ قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في شهر رمضان في حر شديد. حتى إن كان أحدا ليضع يده على رأسه من شدة الحر. وما فينا صائم، إلا رسول الله صلى الله عليه وسلم وعبدالله بن رواحة.

Telah menceritakan kepada kami Daawud bin Rasyiid : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, dari Sa’iid bin ‘Abdil-‘Aziiz, dari Ismaa’iil bin ‘Ubaidillah, dari Ummud-Dardaa’, dari Abud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlaan yang ketika itu hari sangat panas/terik.Hingga salah seseorang harus meletakkan tangannya di atas kepalanya dikarenakan panasnya hari itu. Di antara kami tidak ada yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ‘Abdullah bin Rawaahah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1122].

‘Illat-nya adalah : Adanya kesulitan dan kelemahan bagi orang yang berpuasa sehingga lemah pula untuk beramal. Oleh karena itu, dalam beberapa riwayat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk berbuka. Inilah yang afdlal bagi mereka (dengan adanya penetapan kebaikan dan pahala bagi yang berbuka).

Akan tetapi, jika mereka merasa kuat dan tidak merasa payah, tetap diperbolehkan untuk berbuka sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Hamzah bin ‘Amru Al-Aslamiy, dan juga perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam hadits Abud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhumaa di atas.

Perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan sebagian shahabat yang tetap berpuasa menunjukkan bahwa berpuasa saat safar tetap mempunyai keutamaan, yaitu jika mereka kuat dan tidak lambat dalam beramal. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat adalah orang-orang yang rakus akan kebaikan. Seandainya berpuasa ketika safar sama sekali tidak ada kebaikan di dalamnya (atau bahkan perbuatan maksiat), niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan sebagian shahabat beliau tidak akan melakukannya.

Keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang berpuasa sebelum berbuka atau memerintahkan para shahabat untuk berbuka ketika safar, menguatkan makna ini.

Ringkas kata, barangsiapa yang mendapati kekuatan/kemampuan pada dirinya sehingga puasa tidak memberatkan dirinya, maka berpuasa itu afdlal baginya. Dan barangsiapa yang mendapati kelemahan pada dirinya, maka berbuka itu afdlal baginya. Makruh baginya untuk berpuasa. Inilah yang raajih, insya Allah.

حدثنا نصر بن علي أخبرنا يزيد بن زريع أخبرنا الجريري وأخبرنا سفيان بن وكيع أخبرنا عبد الأعلى عن الجريري عن أبي نضرة عن أبي سعيد الخدري قال: كنا نسافر مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فمنا الصائم ومنا المفطر فلا يجد المفطر على الصائم ولا الصائم على المفطر، وكانوا يرون أنه من وجد قوة فصام فحسن، ومن وجد ضعفا فأفطر فحسن"

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Zurai’: Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Jurairiy. Dan telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan bin Wakii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Al-Jurairiy, dari Abu Nadlrah, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ada di antara kami yang tetap berpuasa, ada pula yang berbuka. Orang yang berbuka tidaklah marah kepada orang yang berpuasa, begitu juga sebaliknya, orang yang berpuasa kepada orang yang berbuka. Dan mereka (para shahabat) berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya.  Dan barangsiapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 713, dan ia berkata : “Hasan shahih”. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan At-Tirmidziy, 1/382; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1420 H].

حدثنا ابن بشار، قال: حدثنا عبد الوهاب قال، حدثنا أيوب قال، حدثنا عروة وسالم: أنهما كانا عند عمر بن عبد العزيز إذ هو أميرٌ على المدينة، فتذاكروا الصومَ في السفر، قال سالم: كان ابن عمر لا يصُوم في السفر. وقال عروة. وكانت عائشة تصوم. فقال سالم: إنما أخذت عن ابن عمر. وقال عروة: إنما أخذتُ عن عائشة. حتى ارتفعت أصواتهما. فقال عمر بن عبد العزيز: اللهم عفوً!ا إذا كان يُسرًا فصوموا، وإذا كان عُسرًا فأفطروا.

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ayyuub, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Urwah dan Saalim : Bahwasannya keduanya pernah berada di sisi ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz ketika ia menjadi gubernur di Madiinah. Mereka berdiskusi tentang hukum puasa ketika safar. Saalim berkata : “Ibnu ‘Umar tidak berpuasa ketika safar”. ‘Urwah berkata : “Akan tetapi, ‘Aaisyah berpuasa (ketika safar)”. Saalim berkata : “Aku hanya akan mengambil pendapat Ibnu ‘Umar”. ‘Urwah berkata : “Adapun aku, hanya akan mengambil pendapat ‘Aaisyah”. Hingga suara keduanya meninggi (karena pertengkaran tersebut). Lalu ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz berkata : “Ya Allah, berilah maaf. Apabila merasa mudah, berpuasalah. Namun bila merasa susah/payah, maka berbukalah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalamTafsir-nya, 3/465 no. 2869; shahih].

Pendapat inilah yang dipilih oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, dan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak sebagaimana disebutkan oleh At-Tirmidziy rahimahumullah.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :

واختلف أهل العلم في الصوم في السفر، فرأى بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم أن الفطر في السفر أفضل، حتى رأى بعضهم عليه الإعادة إذا صام في السفر. واختار أحمد وإسحاق الفطر في السفر.
وقال بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم: إن وجد قوة فصام فحسن وهو أفضل، وإن أفطر فحسن، وهو قول سفيان الثوري ومالك بن أنس وعبد الله بن المبارك.

“Para ulama berbeda pendapat tentang puasa ketika safar. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat bahwa berbuka ketika safar lebih utama, hingga sebagian dari mereka mengulangi (menqadla’)-nya apabila terlanjur berpuasa ketika safar. Ahmad dan Ishaaq memilih pendapat untuk berbuka ketika safar.

Dan sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat : Seandainya ia mendapatkan kekuatan lalu ia berpuasa, maka itu baik dan afdlal (lebih utama). Namun seandainya ia berbuka, itu pun baik. Ini adalah pendapat Sufyaan Ats-Tsauriy, Maalik bin Anas, dan ‘Abdullah bin Al-Mubaarak” [Shahih Sunan At-Tirmidziy, 1/380-381].

Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnul-Jibriin, Mushthafaa Al-‘Adawiy, dan yang lainnya.

Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan : Mana saja yang mudah baginya untuk melakukanya, maka itulah yang afdlal.

Allah ta’ala berfirman :

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” [QS. Al-Baqarah : 185].

أخبرنا أبو علي أحمد بن محمد ابن فضالة بن غيلان بن الحسين السوسي الحمصي الصفار : ثنا أبو عبد الله بحر ابن نصر : ثنا ابن وهب : ثنا ابن لهيعة عن يزيد بن أبي حبيب : أن عمران بن أنس حدثه عن أبي سلمة بن عبد الرحمن عن حمزة بن عمرو : أنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صيام في السفر ؟. فقال : أي ذلك عليك أيسر فافعل. يعني إفطار رمضان أو صيامه في السفر

Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Aliy Ahmad bin Muhammad bin Fudlaalah bin Ghailaan bin Al-Husain As-Suusiy Al-Himshiy Ash-Shaffaar : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdillah Bahr bin Nashr : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib : Bahwasannya ‘Imraan bin Anas telah menceritakan kepadanya, dari Abu Salamah bin ‘Abdirahmaan, dari Hamzah bin ‘Amru : Bahwasannya ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang puasa ketika safar ?. Maka beliau menjawab : “Mana saja yang paling mudah bagimu, lakukanlah” – yaitu berbuka atau berpuasa di bulan Ramadlaan ketika safar [Diriwayatkan oleh Tamaam Ar-Raaziy dalam Al-Fawaaid (Ar-Raudlul-Bassaam) 2/180-181 no. 571; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah 6/898-899 no. 2884, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1416 H].

Karena….., pendapat sebelumnya juga terbangun di atas prinsip kemudahan bagi orang yang berpuasa.

Lantas, apa jawaban atas dalil-dalil yang diutarakan oleh pendapat pertama di atas ?

Jawab :

1.Pengutamaan pengambilan rukhshah.

Dalam beberapa riwayat dijelaskan tentang ‘illat keutamaan/kewajiban mengambil rukhshah berbuka ketika safar :

أخبرني شعيب بن شعيب بن إسحاق قال حدثنا عبد الوهاب بن سعيد قال حدثنا شعيب قال حدثنا الأوزاعي قال حدثني يحيى بن أبي كثير قال أخبرني محمد بن عبد الرحمن قال أخبرني جابر بن عبد الله: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر برجل في ظل شجرة يرش عليه الماء قال ما بال صاحبكم هذا قالوا يا رسول الله صائم قال انه ليس من البر أن تصوموا في السفر وعليكم برخصة الله التي رخص لكم فاقبلوها.

Telah mengkhabarkan kepadaku Syu’aib bin Ishaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Wahhaab bin Sa’iid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Auza’iy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Abi Katsiir, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin ‘Abdirrahmaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang laki-laki yang berada di bawah naungan pohon yang dirinya disiram air. Beliau bersabda : “Ada apa dengan shahabat kalian ini ?”. Mereka menjawab : “Wahai Rasulullah, ia sedang berpuasa”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya tidak ada kebaikan kalian berpuasa ketika safar. Wajib atas kalian mengambil rukhshah yang telah Allah berikan kepada kalian. Terimalah ia” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2258; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan An-Nasa’iy 2/130, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419 H].

Yaitu, adanya kepayahan dari orang yang bersangkutan.

Adapun sabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam:“barangsiapa yang senang untuk berpuasa, maka tidak ada dosa baginya”– bagi yang berpuasa ketika safar, maka tidak selalu menunjukkan bahwa hal itu berkonsekuensi berpuasa mempunyai kedudukan lebih rendah dari lawannya (tidak berpuasa). Perbuatan yang dinafikkan adanya dosa padanya kadangkala merupakan perbuatan yang disyari’atkan dan mempunyai keutamaan, bahkan merupakan bagian dari satu kewajiban. Hanya saja datangnya nash tentang dicabutnya dosa ini untuk menghilangkan kesalahpahaman atau dugaan orang yang menganggapnya satu dosa jika melakukannya. Contoh yang cukup baik dalam perkara ini adalah satu riwayat yang dibawakan oleh Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, ia berkata :

سألت عائشة رضي الله عنها، فقلت لها: أرأيت قول الله تعالى: {إن الصفا والمروة من شعائر الله فمن حج البيت أو اعتمر فلا جناح عليه أن يطوف بهما}. فوالله ما على أحد جناح أن لا يطوف بالصفا والمروة، قالت: بئس ما قلت يا ابن أختي، إن هذه لو كانت كما أولتها عليه، كانت: لا جناح عليه أن لا يتطوف بهما، ولكنها أنزلت في الأنصار، كانوا قبل أن يسلموا، يهلون لمناة الطاغية، التي كانوا يعبدونها عند المشلل، فكان من أهل يتحرج أن يطوف بالصفا والمروة، فلما أسلموا، سألوا رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك، قالوا: يا رسول الله، إنا كنا نتحرج أن نطوف بين الصفا والمروة، فأنزل الله تعالى: {إن الصفا والمروة من شعائر الله}. الآية.
قالت عائشة رضي الله عنها: وقد سن رسول الله صلى الله عليه وسلم الطواف بينهما، فليس لأحد أن يترك الطواف بينهما.

Aku bertanya kepada ‘Aisyahradliyallaahu ‘anhaa, maka aku katakan kepadanya : “Apa pendapatmu mengenai firman Allahta’ala:‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya’(QS. Al-Baqarah : 158). Maka demi Allah, tidak ada dosa pula bagi seorang pun untuk tidak melakukan thawaf antara Shafa dan Marwah”. ‘Aisyah berkata : “Sungguh jelek apa yang engkau katakan wahai anak saudariku. Sesungguhnya ayat tersebut jika pengertiannya seperti yang engkau ta’wil-kan, tentu itu akan berkonsekuensi : tidak ada dosa untuk tidak melakukan thawaf antara keduanya. Akan tetapi ayat tersebut turun berkenaan dengan orang-orang Anshar ketika dahulu mereka sebelum masuk Islam, mereka berteriak sambil ber-talbiyah kepada berhala Manaat yang dulu mereka sembah di daerah Musyallal; sehingga orang yang ber-ihram merasa berdosa melakukan thawaf (sa’i) antara Shafa dan Marwah. Dan ketika mereka telah masuk Islam, mereka bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam perihal tersebut. Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa jika melakukan thawaf di Shafa dan Marwah’. Maka Allah menurunkan ayat :‘Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai antara keduanya’(QS. Al-Baqarah : 158)”.

‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : “Dan sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah men-sunnah-kan thawaf (sa’i) di antara keduanya. Maka tidak boleh bagi seorang pun untuk meninggalkan thawaf di antara keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1643, Ahmad 6/144, Al-Humaidiy no. 219, Muslim no. 1277, At-Tirmidzi no. 2965, dan yang lainnya].

Jika demikian, maka sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

ومن أحب أن يصوم فلا جناح عليه

“Dan barangsiapa yang senang untuk berpuasa, ”.

Bukan bermakna tarjih untuk berbuka atas yang berpuasa. Namun maknanya pencabutan dosa atas kekhawatiran adanya anggapan sebagian orang bahwa berpuasa ketika safar adalah dilarang/berdosa.

Maka, meskipun hadits Hamzah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhu menegaskan adanya kebaikan bagi orang yang berbuka, bukan berarti orang yang berpuasa tidak ada kebaikan. Dua-duanya mempunyai kebaikan. Dan kebaikan itu tergantung pada keadaan diri masing-masing yang menjalankannya. Jika mampu berpuasa dan ia merasa ringan untuk mengerjakannya, maka berpuasa itu afdlal(lebih utama) dibandingkan berbuka. Jika sebaliknya, maka berbuka afdlal dibandingkan berpuasa.

2.Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar.

Sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini diucapkan ketika melihat orang yang kepayahan ketika berpuasa sehingga memudlaratkannya.

3.Orang yang berpuasa ketika safar termasuk orang yang durhaka.

Hadits ini disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak berangkat dalam peperangan pembebasan negeri Makkah. Kemungkinan, sabda beliau ini diucapkan pada kali kedua setelah jarak jarak musuh semakin dekat untuk mempersiapkan fisik para pasukan (lihat dalam hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy dalam Shahih Muslim no. 1120 di atas).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...