Jumat, 29 Oktober 2021

Janganlah Engkau Rusak Pahala Puasa Dengan Perbuatanmu!!


Berbicara tentang perkara yang membatalkan puasa, maka sudah maklum diketahui dalam kitab-kitab fiqh yang ada dari kalangan empat mazhab seperti murtad, haid, nifas, bersetubuh, makan minum dan lainnya.  Lalu bagaimana dengan dosa-dosa semisal berdusta, sumpah palsu, berkata kotor, mengghibah dan semisalnya, apakah membatalkan puasa atau pahala puasa sahaja ? Seperti hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini :

خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة

“ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat “.

Dan bagaimana kedudukan hadits tersebut ?

Jumhur fuqaha dari mazhab Syafi’iyyah, Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanbaliyyah mengatakan bahwa perkara ma’shiat semacam itu tidak membatalkan puasa, kecuali imam al-Awza’i beliau mengatakan bahwa ghibah dapat membatalkan puasa dan wajib diqadhai, beliau mendasarinya salah satunya dengan dalil hadits di atas dan juga hadits berikut :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Pendapat al-Awza’i dijawab oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh imam an-Nawawi berikut :

وأجاب أصحابنا عن هذه الأحاديث سوى الأخير بأن المراد أن كمال الصوم وفضيلته المطلوبة إنما يكون بصيانته عن اللغو والكلام الرديء لا أن الصوم يبطل به . وأما الحديث الأخير ، خمس يفطرن الصائم ” فحديث باطل لا يحتج به ، وأجاب عنه الماوردي والمتولي وغيرهما بأن المراد بطلان الثواب لا نفس الصوم

“ Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah) menjawab tentang hadits-hadits tersebut selain hadits yang terakhir, bahwasanya yang dimaksud adalah sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut adalah dapat diperoleh dengan menjaga dari perbuatan sia-sia dan ucapan kotor, bukan puasa dapat batal dengannya. Adapun hadits terakhir yakni ; “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa “, maka hadits itu bathil tidak boleh dibuat hujjah. Maka dijawab oleh imam al-Mawardi , al-Mutawalli dan selain keduanya, bahwasanya yang dimaksud hadits itu adalah membatalkan pahala puasa bukan dzatnya puasa itu sendiri “.[Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, an-Nawawi : 6/356]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan ia mengatakan hadits itu palsu. Ibnu Ma’in mengatakan, “ Sa’id seorang yang pendusta, dan dari Sa’id sampai ke Anas, semua perawinya tertuduh. Ibnu Abi Hatim mengatakan dalam kitab ‘Ilalnya, “ Aku bertanya kepada ayahku tentang hadits tersbut yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Muhammad al-Hajjaj dari Maisarah bin Abd Rabbih dari Jaban dari Anas…maka beliau menjawab, “ Ini adalah pendusta…”
[Nashbu ar-Rayah : 2/483]

Sedangkan imam as-Subuki menilainya dhaif meskipun maknanya sahih :

قال السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح

“ Imam as-Subuki mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya) “[Al-Iqna fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’ : 1/220]

Dari keterangan imam Nawawi, dipahami bahwasanya ghibah dan ucapan kotor tidak membatalkan puasa, adapun hadits “ Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa…”, maka dijawab oleh para ulama bahwa hadits itu bathil dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan batalnya puasa. Akan tetapi, imam al-Mawardi dan imam al-mutawalli menjawab bahwa yang dimaksud hadits itu adalah perkara yang membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Artinya walaupun hadits itu dinilai bathil, namun masih bisa menerima takwil yakni bahwa yang dimaksudkan adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya itu sendiri.  Dengan demikian jika ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya puasa, maka hujjahnya tertolak karena jumhur ulama sudah menetapkan berdasarkan hadits-hadits sahih bahwasanya perkara maksyiat semacam ghibah, dusta dan lainnya tidak membatlkan puasa. Namun apabila ada orang yang menggunakan hadits tersebut sebagai hujjah untuk menetapkan batalnya pahala orang yang berpuasa, maka hal ini tidak bisa ditolak, karena imam al-Mawardi, imam al-Mutawawlli dan ulama lainnya membolehkannya dengan menerima makna takwilannya yaitu yang dimaksud adalah membatalkan pahala puasa bukan puasanya.

Hal yang mendasari hal ini adalah banyaknya hadits-hadits sahih tentang bahayanya lima perkara tersebut. Ghibah, adu domba, dusta, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat memanglah haram dan wajib dijauhi walaupun tidak dalam keadaan berpuasa dari sisi menjauhi perbuatan maksyiat, dan lebih ditekankan untuk dijauhi bagi orang yang berpuasa akan tetapi dari sisi merusak pahala puasa. Maka dengan demikian di saat puasa pun lebih wajib untuk meninggalkan semua perbuatan dosa termasuk lima perkara tersebut, karena bulan puasa pahala ibadah dilipat gandakan demikian juga dosa perbuatan maksyiat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapapan dusta, perbuatan dusta dan perbuatan bodoh, maka Allah tidak perduli dengan ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukari)

Imam ash-Shan’ani mengomentarinya :

الحديثُ دليلٌ على تحريم الكذب والعملِ به، وتحريمِ السفَهِ على الصائم، وهما محرَّمان على غير الصائم ـ أيضًا ـ، إلَّا أنَّ التحريم في حقِّه آكَدُ كتأكُّد تحريم الزنا مِنَ الشيخ والخُيَلَاءِ مِنَ الفقير

“ Hadits tersebut dalil atas keharaman berdusta dan berbuat dusta dan keharaman berbuat bodoh atas orang yang berpuasa, keduanya adalah haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi seorang syaikh (tua) dan sifat sombong bagi orang yang faqir “.[Subul as-Salam, ash-Shan’ani : 2/320]

Para ulama lainnya pun seperti imam Ibn Ash-Shabbagh mengomentari hadits lima perkara tersebut sebagai berikut :

وأما الخبر: فالمراد به: أنه يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل

“ Adapu hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah “, maka tidak ada jum’at baginya “, hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak sholat “.[Al-Bayan fi Mazhab imam Syafi’i : 3/536]

Maka tidak salah jika ada seorang ustadz yang membawakan hadits tersebut dalam konteks sebagaimana disebutkan para ulama di atas yakni menjelaskan rusaknya pahala puasa bukan puasanya itu sendiri, karena ia bukan sedang membawakan hujjah untuk menyatakan batalnya puasa sebagaimana pendapat al-Awza’i. Karena makna seperti itu (merusak pahala puasa) telah disaksikan (syawahid) oleh banyak hadits sahih lainnya, di antaranya :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“ Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli ia meninggalkan makan dan minumnya “.(HR. Bukhari)

Nabi juga bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع والعطش

“ Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus “ (HR. Al-Hakim; sahih ‘ala syartil Bukhari)

Juga hadits :

الصائم في عبادة من حين يصبح إلى أن يُمسي ما لم يغتب، فإذا اغتاب خرق صومه

“ Orang yang berpuasa di dalam beribadah sejak pagi hingga sore hari semenjak ia tidak berghibah, jika ia berghibah maka ia telah merusak (pahala) puasanya “. (Hadits ini diisyaratkan dhaif oleh imam as-Suyuthi)

Puasa adalah menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lainnnya, dan juga menahan diri dari semua perkara haram yang dapat merusak kesempurnaan puasa seperti ghibah, dusta, sumpah palsu, melihat yang diharamkan dan lainnya. Walaupun maksyiat semacam itu haram dilakukan di setiap waktu dan kapanpun, akan tetapi lebih diharamkan lagi bagi orang yang berpuasa sebagaima hadits-hadits di atas supaya tidak dapat merusak pahala puasanya.

Untuk meraih kesempurnaan puasa, orang yang berpuasa selayaknya tidak hanya menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa saja.  Namun ia juga harus menahan diri dari akhlaq-akhlaq yang tercela dan perbuatan dosa lainnya.  Salah satu tujuan yang diinginkan oleh seorang yang berpuasa adalah mencapai derajat taqwa, sebagaimana firman Allah ta’ala :

يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلّكُمْ تَتّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 183).

Beberapa hal yang harus ditinggalkan oleh orang yang berpuasa diantaranya adalah :

1.Perkataan Dusta

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam :

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka Allah tidak memerlukan (puasa orang itu yang) meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Bukhari no. 1903).

2.Pembicaraan yang Tidak Bermanfaat dan Kata-Kata Kotor

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

ليس الصيام من الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث فإن سابك أحد أو جهل عليك فلتقل إني صائم إني صائم

“Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja, tetapi puasa itu (menahan diri) dari kata-kata tidak bermanfaat dan kata-kata kotor.  Oleh karena itu jika ada orang yang mencacimu atau membodohimu, maka katakanlah kepadanya : “Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1996 dan Al-Hakim no. 1571 dengan sanad shahih; ini adalah lafadh Ibnu Khuzaimah).

3.Ghibah (Menggunjing/Ngrumpi)

Ghibah adalah menceritakan keburukan seseorang dimana orang tersebut tidak suka jika hal itu diketahui oleh orang lain. Allah telah berfirman :

وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain.  Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati?  Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya “ (QS. Al-Hujuraat : 12).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل فرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Apakah kalian tahu apa ghibah itu ? Mereka menjawab : ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu’.  Beliau bersabda : ‘Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci, (maka kamu telah melakukan ghibah)’.  Beliau ditanya : ‘Bagaimana jika sesuatu yang aku katakan ada pada saudaraku?’  Beliau menjawab :‘Bila sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah, dan apabila yang kamu bicarakan tidak ada maka kamu telah membuat kebohongan atasnya “ (HR. Muslim no. 2589, At-Tirmidzi no. 1934, Malik no. 1998, dan Ahmad 2/384; ini adalah lafadh Muslim).

4.Namimah (Mengadu Domba)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :

لا يدخل الجنة نمام

“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba” (HR. Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105; ini adalah lafadh Muslim).

Sebagian ulama menjelaskan bahwa namimah itu lebih buruk daripada ghibah, karena ia merupakan satu pengkhianatan dan kehinaan yang kemudian akan berakhir dengan percekcokan dan pemutusan silaturahim.

5.Mengumbar Syahwat

Fenomena yang hampir terjadi di setiap tempat di sekitar kita adalah banyaknya kaum muslimin yang menghabiskan waktu sehabis sahur dan menjelang berbuka untuk “nongkrong”, “mejeng”, berdua-duaan dengan lain mahram, dan yang semisalnya dengan alasan jalan sehat, cuci mata, atau ngabuburit. Alangkah meruginya mereka dengan perbuatan sia-sia dan maksiat itu. Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya :

قُلْ لّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضّواْ مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُواْ فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَىَ لَهُمْ إِنّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ* وَقُل لّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنّ

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.  Katakanlah kepada wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…. (QS. An-Nuur : 30-31).

عن جرير بن عبد الله قال سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نظر الفجاءة فأمرني أن أصرف بصري

Dari Jabir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari pandangan tidak sengaja (terhadap sesuatu yang diharamkan), maka beliau memerintahkan kepadaku untuk memalingkan pandanganku” (HR. Muslim no. 2159).

كُتِبَ عَلَى ابْنِ أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

”Telah dituliskan atas Bani Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan), zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan membenarkan itu semua atau mendustakannya” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657, ini adalah lafadh Muslim)

Oleh karena itu, muncul ancaman keras dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bagi orang-orang yang melakukan keburukan-keburukan tersebut di atas.  Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورب قائم ليس له من قيامه إلا السهر

“Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar dari puasanya” (HR. Ibnu Majah no. 1690, Al-Hakim no. 1572, Ahmad 2/373, dan Al-Baihaqi dalamAl-Kubraa no. 8097; ini adalah lafadh Ibnu Majah.  Hasan shahih).

Hal ini dikarenakan orang yang berpuasa tersebut tidak memahami hakikat puasa yang sebenarnya sebagaimana yang Allah ta’alatelah perintahkan kepada kita……..sehingga Allah membalasnya dengan mengharamkan pahala dan ganjaran puasanya.

Pelaksanaan Zakat Fithrah

 

Kata zakat secara etimologi (asal kata) berarti suci, berkembang dan barokah. Beberapa  arti ini memang sangat sesuai dengan hikmah zakat dalam kehidupan,  zakat berarti suci karena zakat dapat mensucikan  pemilik harta dari sifat kikir,  tamak  dan  bakhil.  Zakat  diartikan  berkah  karena  akan memberikan keberkahan dalam harta dan kehidupan seseorang.

Zakat   menurut   syara’   ialah   pemberian   yang   wajib   diberikan   dari sekumpulan  harta tertentu,  pada waktu tertentu  kepada  golongan  tertentu  yang berhak menerimanya.

Dalam al-Fiqh al-Islami Adilatuh karya Wahbah al-Zuhayly memaparkan definisi zakat yang berbeda dari empat madzhab, namun dari definisi para imam madzhab memiliki esensi yang tetap sama.

Madzhab Maliki, dalam madzhab Maliki zakat adalah mengeluarkan sebagian  yang  khusus  dari  harta  yang  khusus  pula  yang  mencapai nishab,kepada orang yang berhak menerimanya, kepemilikan penuh yang sudah mencapai satu tahun (haul) dan bukan barang tambang dan barang pertanian.

Madzhab Hanafi, mendefinisikan zakat dengan “Menjadikan sebagian harta yang khusus (tertentu) dari harta yang khusus (tertentu) sebagai milik  orang  yang  khusus  (tertentu),  yang  ditentukan  oleh  syariat karena Allah SWT”.

Madzhab Syafi’i, mengartikan zakat sebagai sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara yang khusus.

Madzhab Hambali, zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu untuk kelompok tertentu pula.

Meskipun  para  ulama  mengemukakannya  dengan  redaksi  yang  berbeda akan tetapi pada prinsipnya tetap sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan  persyaratan  tertentu,  yang Allah SWT mewajibkan  kepada  pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.

Dalam Al-Quran ada beberapa istilah yang digunakan untuk zakat yaitu shadaqah  dan  infaq.  Shadaqah  adalah  pemberian  dari  seorang  muslim  secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi waktu dan jumlah ( haul dan nisab) sebagai Haul mempunyai  dua pengertian,  pertama ialah jangka waktu satu tahunsebagai  salah satu syarat untuk beberapa jeniskekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Kedua, upacara memperingati ulang tahun wafatnya seorang tokoh agama Islam dengan menziarahi kuburnya. Jadi istilah  haul  yang berhubungan  dengan  hal di atas adalah  haul dengan  pengertian  yang pertama.

kebaikan  dengan  mengharap  ridha  Allah  Swt. Infaq  adalah  memberikan  rizki kepada orang lain berdasarkan  ikhlas dan karena Allah Swt. Perbedaan  antara zakat, shadaqah  dan infaq dinilai dari hukum dan waktu pengeluarannya  yaitu bahwa zakat ada batasan dan musiman sedangkan shadaqah dan infaq diberikan bisa terus menerus tanpa batas bergantung keadaan. Namun jika di pandang dari segi hukum antara zakat, shadaqah dan infaq berbeda.

Zakat secara umum terbagi menjadi dua bagian. pertama zakat harta atau biasa  disebut  zakat  mal yaitu  zakat  yang  dikeluarkan  atas  harta  yang  dimiliki seseorang  atau  lembaga  dengan  syarat-syarat  atau  ketentuan-ketentuan  secara hukum  syara’. Kedua  adalah  zakat  nafs  atau  zakat  fitrah  yaitu  zakat  yang diberikan berkenaan dengan telah selesai mengerjakan puasa.

Zakat  fitrah  terdiri  dari dua kata,  yaitu  zakat  dan fitrah. Zakat fitrah ialah zakat yang wajib dikeluarkan   setiap muslim disebabkan berakhirnya puasa pada bulan ramadhan. zakat fitrah hanyalah istilah yang ada di  Indonesia  dalam  menyebut  zakatul  fithri,  adapun  dalam  kajian  fiqih  klasik zakat fitrah disebut zakatul fithri. Arti al-fithri adalah berbuka puasa, dengan demikian  zakatul fithri adalah zakat yang wajib dikeluarkan  bertepatan  dengan hari raya berbuka puasa.

Secara istilah, yang dimaksud zakat fitrah adalah :

Artinya : “Zakat yang wajib karena berbukanya di bulan ramadhan”.

Menurut Hasan Ayyub zakat fitrah dan sedekah fitrah itu mempunyai arti yang sama, karena zakat atau sedekah  tersebut dikeluarkan  setelah selesai dari melaksanakan puasa Ramadhan.

Banyak orang menyebutnya dengan zakat fithrah. Yang benar adalah zakat fithri atau shadaqah fithri, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits. Makna zakat fithri atau shadaqah fithri adalah shadaqah yang wajib ditunaikan dengan sebab fithri (berbuka) dari puasa Ramadhan.

HIKMAH ZAKAT FITHRI

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hikmah zakat fithri, sebagaimana tersebut di dalam hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

“Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”.

HUKUM ZAKAT FITHRI

Zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Sebagian ulama beranggapan, kewajiban zakat fithri telah mansukh, tetapi dalil yang mereka gunakan tidak shahih dan sharih (jelas).

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip adanya Ijma’ ulama tentang kewajiban zakat fithri ini. Beliau rahimahullah berkata,”Telah bersepakat semua ahli ilmu yang kami menghafal darinya bahwa shadaqah fithri wajib. Maka kemudian menjadi sebuah ketetapan bahwa zakat fithri hukumnya wajib, tidak mansukh.

SIAPA YANG WAJIB MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI?

Syarat Wajib Zakat Fitrah

Islam, artinya orang yang tidak beragama Islam tidak wajib membayar zakat kecuali menzakati budak dan kerabatnya yang muslim. Merdeka (bukan budak). Menemui sebagian waktu dari bulan Ramadhan serta menemui waktu terbenamnya matahari dengan sempurna di akhir bulan Ramadahan atau malam hari raya idul fitri. Memiliki kelebihan dari nafaqahnya sendiri dan orang-orang yang wajib dinafaqahi di malam hari raya idul fitri dan siang harinya.

Berkaitan dengan syarat wajib yang ke 3, maka apabila ada seorang muslim yang meninggal dunia setelah matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri), maka dia tetap mempunyai kewajiban membayar zakat fitrah, bagi penanggung jawab nafaqahnya wajib mengeluarkannya. Lain halnya apabila ia meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka tidak wajib membayar zakat fitrah.

Adapun seorang bayi yang lahir sebelum matahari tenggelam pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia wajib dibayarkan zakat fitrahnya oleh orang tuanya. Namun apabila ia lahir sesudah tenggelam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib membayar zakat fitrah. (penanggung jawab nafaqah tidak wajib mengeluarkan zakat fitrah).

Demikian juga dengan laki-laki yang menikah sesudah terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam idul fitri) dia tidak berkewajiban untuk membayarkan zakat fitrah untuk istrinya. Akan tetapi kewajiban membayar zakat fitrahnya adalah menjadi kewajiban orang tuanya atau kewajiban dirinya sendiri.

Selanjutnya berkaitan dengan syarat wajib yang ke 4, maka apabila ada seseorang muslim yang tidak mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya dan siang harinya, maka gugurlah kewajibannya membayar zakat fitrah, baik zakat fitrah untuk dirinya maupun keluarga yang menjadi tanggungannya (man talzamuhu nafaqatuhu). Seseorang misalnya saja hanya mampu untuk mengeluarkan setengah sha’ saja, maka wajib mengeluarkan setegah sha’. Dan apabila ada seseorang yang hanya mempunya beberapa sha’ sementara orang menjadi tanggungan zakatnya banyak, maka agar mendahulukan zakat untuk dirinya sendiri, kemudian istrinya, anaknya yang masih kecil, ayah, ibunya, anaknya yang sudah besar dan terakhir budaknya.

Adapun kewajiban atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, karena hal ini telah diwajibkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

“Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)”.

Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.[al Baqarah/2:286].

Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki kecukupan, sebagaimana hadits di bawah ini:

عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّارِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ- فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمَا الْغِنَى الَّذِي لَا تَنْبَغِي مَعَهُ الْمَسْأَلَةُ- قَالَ: ((قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ)) -وَقَالَ النُّفَيْلِيُّ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ-

“Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “(memperbanyak) dari bara Jahannam”- Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?” Beliau bersabda,“Seukuran yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,” -an Nufaili mengatakan di tempat yang lain: “Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan semalam” atau “semalam dan sehari”. [HR Abu Dawud, no. 1629]

Adapun Hanafiyah berpendapat, ukuran kemampuan itu ialah, memiliki nishab zakat uang atau senilai dengannya dan lebih dari kebutuhan tempat tinggalnya. Dengan dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَصَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى

“Tidak ada shadaqah kecuali dari kelebihan kebutuhan”.

Tetapi pendapat ini lemah, karena:
1. Kewajiban zakat fithri tidak disyaratkan kondisi kaya seperti pada zakat maal.
2. Zakat fithri tidak bertambah nilainya dengan bertambahnya harta, seperti kaffarah (penebus kesalahan), sehingga nishab tidak menjadi ukuran.
3. Hadits mereka (Hanafiyah) tidak dapat dijadikan dalil, karena kita berpendapat bahwa orang yang tidak mampu, ia tidak wajib mengeluarkan zakat fithri, dan ukuran kemampuan adalah sebagaimana telah dijelaskan. Wallahu a’lam.

BAGAIMANA DENGAN JANIN?

Para ulama berbeda pendapat tentang janin, apakah orang tuanya juga wajib mengeluarkan zakat fithri baginya?

Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali dan Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari mengatakan: “Sebagian ulama berpendapat wajibnya zakat fithri atas janin, tetapi kami tidak mengetahui dalil padanya. Adapun janin, menurut bahasa dan kebiasaan (istilah), tidak dinamakan anak kecil”.

Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlan -Dosen Universitas Imam Muhammad bin Su’ud- berkata: “Zakat fithri wajib atas setiap muslim, baik orang merdeka atau budak, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang tua, dari kelebihan makanan pokoknya sehari dan semalam. Dan disukai mengeluarkan zakat fithri bagi janin yang berada di dalam perut ibunya”.

Penyerahan Zakat Fitrah

Zakat di golongkan sebagai praktek ibadah yang wajib dilakukan dengan segera (‘ala al-faur), hal tersebut ditandai dengan memungkinkannya mengeluarkan zakat (tamakun) yakni dengan wujudnya harta yang dizakati dan hadirnya orang-orang yang berhak menerima zakat. Kewajiban yang ditanggung oleh seorang muslim dalam mengeluarkan zakat segera (‘ala al-faur) maka berkonsekuensi terhadap hukum keharaman untuk mengakhirkan pengeluaran zakat fitrah. Penundaan atau mengakhirkan zakat setelah memungkinkan untuk diserahkan (tamakun), maka ia berdosa dan mewajibkan menggantinya (dhoman) jika terjadi kerusakan pada harta yang dizakati. Namun apabila ada udzur dalam penundaan tersebut semisal menanti kerabat, tetangga, orang yang lebih membutuhkan dan sebagainya, maka ia tidak berdosa tetapi wajib menggantinya (dhoman).

Sedangkan waktu melaksanakan atau mengeluarkan zakat fitrah terbagi menjadi 5 yakni:

Waktu jawaz: mulai awal puasa Ramadhan (ta’jil) sampai awal bulan syawal, dan tidak boleh mengeluarkan zakat sebelum awal puasa Ramadhan.

Waktu wajib: mulai terbenamnya matahari akhir Ramadhan (menemui sebagian Ramadhan) sampai 1 syawal (menemui sebagian syawal).

Waktu sunnat: setelah fajar dan sebelum di laksanakan shalat hari raya Idul fitri.

Waktu makruh : setelah pelaksanaan shalat idul fitri sampai tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal. Zakat fitrah yang di keluarkan setelah shalat hari raya hukumnya makruh, jika tidak ada udzur. Namun apabila mengakhirkannya terdapat udzur, semisal menanti kerabat dekat, tetangga, orang yang lebih utama atau orang yang lebih membutuhkan, maka hukumnya tidak makruh.

Waktu haram: setelah tenggelamnya matahari pada tanggal 1 Syawal (malam 2 syawal). Apabila seseorang mengakhirkan pelaksanaan zakat fitrah sehingga keluar dari tanggal 1 Syawal maka hukumnya haram jika tanpa adanya udzur, dan status zakat fitrah yang dikeluarkan adalah qadha’ dengan segera (qadha’ ‘ala al-faur). Namun jika pengakhiran tersebut karena adanya udzur, semisal menunggu hartanya yang tidak ada di tempat, atau menunggu orang yang berhak menerima zakat maka hukumnya tidak haram.

Dalam menyerahkan zakat ada 2 syarat yang harus di ketahui :

1. Niat di dalam hati, lebih utama lagi disertai dengan ucapan.

Berkaitan dengan niat dalam zakat maka tanpa menyebutkan kata fardhu sudah sah, karena zakat yang di keluarkan itu sudah pasti fardhu hukumnya, berbeda dengan ibadah shalat. Namun yang paling utama adalah menyebutkan kata fardhu..

Penyerahan zakat boleh dilakukan oleh sendiri, melalui wakil atau diserahkan kepada Imam (amil). Penyerahan zakat kepada Imam (amil) itu lebih baik daripada diserahkan kepada wakil, jika Imam (amil) terjadi penyelewengan dalam pengurusan atau pengelolaan zakat, maka lebih baik diserahkan sendiri atau lewat wakil. Sedangkan penyerahan zakat yang dilakukan sendiri itu lebih baik daripada lewat wakil.

Zakat yang diserahkan melalui wakil, menurut pendapat yang ashah niat dari yang mewakilkan sudah mencukupi, namun yang lebih utama wakil pun juga niat ketika menyerahkan zakat tersebut, kecuali jika penyerahan zakat dan niatnya diwakilkan kepada wakil maka sudah cukup dengan niatnya wakil saja. Adapun zakat yang diserahkan melalui Imam (amil) maka niatnya cukup dilakukan di saat penyerahan kepada Imam (amil), sekalipun amil tidak niat saat menyerahkan zakat kepada yang berhak menerima.

An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menjelaskan bahwa praktek kewajiban ibadah yang berhubungan dengan Allah (haqqullah) itu pada hakikatnya tidak boleh diwakilkan kecuali dalam pembayaran zakat, pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan qurban. Berkaitan dengan pembayaran atau penyerahan zakat kepada yang berhak menerima, maka bagi yang berzakat (muzaki) boleh melakukannya sendiri atau di salurkan melalui wakil (Imam/amil). Diperbolehkannya mewakilkan zakat tersebut karena zakat merupakan ibadah yang menyerupai dengan pembayaran hutang untuk dibayarkan kepada yang berhak sebagai penunjang kebutuhannya.

Selanjutnya, berkaitan dengan kewajiban mengeluaran zakat fitrah yang memungkinkan dilakukan oleh orang lain baik itu dilakukan oleh orang yang menjadi tanggungjawab nafaqah, atau wakil yang sudah mendapat izin dari yang berzakat, maka dalam niat zakatnya ada beberapa macam, berikut ini contohnya:

a) Zakat fitrah untuk diri sendiri : niat dilakukan oleh pelaku dari zakat tersebut.

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِىْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas diri saya sendiri, Fardhu karena Allah Ta’ala.

b) Zakat untuk orang yang menjadi tanggungjawab nafaqahnya: niat dilakukan oleh pelaku tanpa harus mendapatkan izin dari orang yang dizakati (tanggung jawab nafaqah) semisal seorang suami yang mengeluarkan zakat atas nama istri, anaknya dan lain-lain. Dalam hal ini pelaku zakat diperbolehkan memberikan makanan yang akan dizakati agar melakukan niat sendiri.

- Niat zakat fitrah untuk anak laki-laki atau perempuan

نوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ وَلَدِيْ… / بِنْتِيْ… فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya (sebut namanya) / anak perempuan saya (sebut namanya), Fardhu karena Allah Ta’ala.

- Niat zakat fitrah untuk istri

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ زَوْجَتِيْ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya, Fardhu karena Allah Ta’ala.

- Niat zakat fitrah untuk diri sendiri dan untuk semua orang yang menjadi tanggung jawab nafaqahnya

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِّىْ وَعَنْ جَمِيْعِ مَا يَلْزَمُنِىْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas semua yang saya diwajibkan memberi nafaqah pada mereka secara syari’at, fardhu karena Allah Ta’ala.

- Niat zakat fitrah untuk orang yang ia wakili

نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ (…..) فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Artinya: Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), Fardhu karena Allah Ta’ala.

2. Memberikan kepada yang berhak menerima zakat (mustahiqquzzakat).

Dalam madzhab Syafi’i, zakat haruslah diberikan kepada semua orang yang berhak menerima zakat secara merata, hal itu apabila memang jumlah orang yang berhak menerima terbatas dan harta zakatnya mencukupi. Apabila tidak demikian maka diperbolehkan memberikan atau menyerahkan kepada minimal tiga orang dari setiap golongan yang berhak menerima zakat, jika dari setiap golongan tidak ada, maka diberikan kepada golongan yang ada.

Menurut Ibn Hajar, sebagaimana dikutip Abu Bakar Syatha: bahwa menurut Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Imam Malik, diperbolehkan menyerahkan zakat kepada satu golongan saja. Demikian inilah yang juga telah difatwahkan oleh Imam Ibn Ujail, dan juga telah difatwahkan oleh sebagian ulama Syafi’iyyah. Pendapat ini boleh diikuti, karena pada masa sekarang akan kesulitan untuk meratakan ke seluruh golongan yang berhak menerima zakat. Demikian juga dalam hal taqlid kepada mereka dalam hal diperbolehkannya memindah zakat atau naqluzzakat.

Berikut ini adalah doa yang di sunnatkan untuk di baca:

- Do’a saat menerima zakat.

أجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ, , وَاجْعَلْهُ لَكَ طَهُوْرًا وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ

Artinya: Mudah-mudahan Allah memberi pahala atas Apa yang engkau berikan, dan Menjadikannya sebagai pembersih bagimu. Dan memberikan berkah atas apa yang masih ada di tanganmu.

- Do’a sesudah memberikan zakat:

ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم

Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah amal kami sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Penerima Zakat

Muzakki adalah orang yang menyerahkan zakatnya, sementara Mustahiq Zakat Yaitu orang-orang yang berhak menerima zakat. Mustahiq zakat itu harta ada delapan ashnaf sesuai dalam firman Allah Q.S. At-Taubah ayat 60 :

إِنَّمَا ٱلصَّدَقَـٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَـٰكِينِ وَٱلۡعَـٰمِلِينَ عَلَيۡہَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُہُمۡ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَـٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ‌ۖ فَرِيضَةً۬ مِّنَٱللَّهِ‌ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَڪِيمٌ۬

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk [memerdekakan] budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. At-Taubah: 60).

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang berhak menerima zakat fithri.

1. Delapan golongan sebagaimana zakat maal.
Ini merupakan pendapat Hanafiyah, pendapat Syafi’iyyah yang masyhur, dan pendapat Hanabilah.

2. Delapan golongan penerima zakat maal, tetapi diutamakan orang-orang miskin.
Asy Syaukani rahimahullah berkata,”Adapun tempat pembagian shadaqah fithri adalah tempat pembagian zakat (maal), karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan zakat. Seperti sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Barangsiapa membayarnya sebelum shalat, maka itu merupakan zakat yang diterima,’ dan perkataan Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan zakat fithri. Kedua hadits itu telah dijelaskan. Tetapi sepantasnya didahulukan orang-orang faqir, karena perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencukupi mereka pada hari (raya) tersebut. Kemudian jika masih lebih, dibagikan kepada yang lain.”

Perkataan asy Syaukani rahimahullah ini, juga dikatakan oleh Shiqdiq Hasan Khan al Qinauji rahimahullah.

Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi berkata,”Tempat pembagian shadaqah fithri adalah, seperti tempat pembagian zakat-zakat yang umum. Tetapi, orang-orang faqir dan miskin lebih berhak terhadapnya daripada bagian-bagian yang lain. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Cukupilah mereka dari minta-minta pada hari (raya) ini!’ Maka zakat fithri tidaklah diberikan kepada selain orang-orang faqir, kecuali jika mereka tidak ada, atau kefaikran mereka ringan, atau besarnya kebutuhan bagian-bagian yang berhak menerima zakat selain mereka”.

3. Hanya orang miskin.
Malikiyah berpendapat, shadaqah fithri diberikan kepada orang merdeka, muslim, yang faqir. Adapun selainnya, (seperti) orang yang mengurusinya, atau menjaganya, maka tidak diberi. Juga tidak diberikan kepada mujahid (orang yang berperang), tidak dibelikan alat (perang) untuknya, tidak diberikan kepada para mu’allaf, tidak diberikan kepada ibnu sabil, kecuali jika dia miskin di tempatnya, maka ia diberi karena sifatnya miskin, tetapi dia tidak diberi apa yang menyampaikannya menuju kotanya, tidak dibelikan budak dari zakat fithri itu, dan tidak diberikan kepada orang gharim.

Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana tersebut dalam Majmu Fatawa (25/71-78), Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (2/44), Syaikh Abdul ‘Azhim bin Badawi dalam al Wajiz (halaman 231), dan Syaikh Salim bin ‘Id al Hilali serta Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di dalam Sifat Shaum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam fi Ramadhan [halaman 105-106].

Yang rajih (kuat), insya Allah pendapat yang terakhir ini, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri:

وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

“Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

2. Zakat fithri termasuk jenis kaffarah (penebus kesalahan, dosa), sehingga wujudnya makanan yang diberikan kepada orang yang berhak, yaitu orang miskin, wallahu a’lam.

3. Adapun pendapat yang menyatakan zakat fitrah untuk delapan golongan sebagaimana zakat mal, karena zakat fithri atau shadaqah fithri termasuk keumuman firman Allah Azza wa Jalla :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ

“(Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan. -at Taubah/9 ayat 60-), maka pendapat ini dibantah, bahwa ayat ini khusus untuk zakat mal, dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya.

Kemudian juga, tidak ada ulama yang berpegang dengan keumuman ayat ini, sehingga seluruh jenis shadaqah hanyalah hak delapan golongan ini. Jika pembagian zakat fithri seperti zakat mal, boleh dibagi untuk delapan golongan, maka bagian tiap-tiap golongan akan menjadi sedikit. Tidak akan mencukupi bagi gharim (orang yang menanggung hutang), atau musafir, atau fii sabilillah, atau lainnya. Sehingga tidak sesuai dengan hikmah disyari’atkannya zakat. Wallahu ‘alam.

PANITIA ZAKAT FITHRI?

Termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu adanya orang-orang yang mengurusi zakat fithri. Berikut adalah penjelasan di antara keterangan yang menunjukkan hal ini.

1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan Abu Hurairah menjaga zakat fithri. [HR Bukhari, no. 3275].

2. Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986]. Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Problematika Zakat

Zakat Fitrah Kepada Kyai, Masjid dan Sebagainya

Berikut ini penulis sajikan pembahasan tentang berbagai makna sabilillah menurut beberapa ulama yang kemudian menjadi landasan diperbolehkannya memberikan zakat kepada kyai, masjid, pondok, madrasah dan sebagainya.

Sabilillah, pada dasarnya adalah orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Mereka mendapatkan bagian zakat sesuai dengan kebutuhan dirinya dan keluarganya selama berangkat, pulang dan mukim, sekalipun dia termasuk orang kaya. Apabila tidak jadi berperang maka dia harus mengembalikan zakat yang telah dia terima, demikian pula harus mengembalikan kelebihannya setelah berperang.

Perbedaan pandangan tentang pemberian zakat fitrah kepada selain golongan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an menjadi permasalahan yang pelik, di sisi lain praktek tersebut sudah banyak terjadi di kalangan masyarakat kita. Seperti dalam permasalahan mentasarufkan zakat kepada masjid, madrasah, pondok pesantren, panti asuhan, guru ngaji atau kyai, yayasan sosial atau keagamaan dan yang lainnya. Hal tersebut pada hakikatnya tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ahli fiqh) dalam memaknai kata sabilillah dalam al-Qur’an (at-Taubah :30).


Imam Syihabuddin al-Qasthalani misalnya berpendapat bahwa Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang yang bersuka rela dalam berjihad walaupun mereka itu kaya, karena untuk membantu mereka dalam berjihad. Termasuk ahli sabilillah adalah para penuntut ilmu atau pelajar yang mempelajari ilmu syara', orang-orang yang mencari kebenaran, orang yang menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat, memberi bimbingan dan orang yang membela agama yang lurus.

Imam Kasani memaknai sabililah dengan semua jalan ibadah, termasuk pula orang-orang yang berjuang dalam ketaatan kepada Allah, dan menegakkan kebaikan dengan catatan apabila memang membutuhkan pembagian zakat, karena makna sabilillah mencakup semua sektor kebaikan. Sebagian ulama Hanafiyah juga ada yang memaknai sabilillah adalah orang-orang yang mencari ilmu walaupun kaya.Imam al-Qaffal menukil dari sebagian ahli fiqih, bahwa mereka memperbolehkan mentasarufkan zakat kepada segala sektor kebaikan (wujuh al-Khair) seperti mengkafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan sebagainya, karena kata-kata sabilillah dalam Al-Qur'an (at-Taubah:60) itu mencakup umum (semuanya).

Zakat Fitrah dengan Uang

Konsep dasar dalam mengeluarkan zakat fitrah adalah dengan makanan pokok di setiap daerah, bukan dengan uang seharga makanan tersebut (qimah).

Dalam kajian fiqh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang diwarnai perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’. Menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibn Mundzir bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan. Hal ini berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah yang mengatakan boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga) makanan tersebut. Sementara Imam Ishaq dan Imam Abu Tsaur tidak memperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat.

Menurut Imam Abu Hanifah, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang itu lebih efektif, karena dengan uang, penerima zakat akan mendapatkan kemudahan dalam mewujudkan keinginanannya, dan yang terpenting lagi kata Imam Abu Hanifah bahwa tujuan dari yang wajib dari membayar atau mengeluarkan zakat adalah memberi kecukupan bagi para orang yang membutuhkan (ighna’ al-fuqara’).

Imam Ibnu Hajar al-Haitami dan Imam al-Bulqini dari kalangan ulama Syafi’iyyah dan beberapa ulama yang lain, cenderung membenarkan pendapat yang difatwahkan oleh Imam Abu Hanifah berkaitan dengan bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang (seharga makanan). Dan ternyata pendapat para ulama-ulama ini boleh diikuti atau taqlid, mengingat kapasitas mereka diakui sebagai ulama ahli tarjih dan ahli takhrij.

Golongan Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Golongan orang yang tidak berhak menerima zakat ada lima, yakni:
Orang kaya. Yaitu orang yang memiliki harta benda atau pekerjaan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Budak atau hamba sahaya selain budak mukatab.
Keturunan dari bani Hasyim dan bani Muthalib.
Orang kafir.
Orang yang menjadi tanggungan nafaqahnya. Artinya tidak boleh memberikan zakat kepadanya atas nama fakir miskin. Namun apabila sebagai orang yang berperang membela agama Allah “Ghuzat” atau orang yang berhutang “Gharim” maka diperbolehkan.

Perhitungan Nishob Zakat

 

Salah satu rukun Islam yang harus diamalkan seorang muslim, ialah menunaikan zakat. Keyakinan ini didasari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Quran dan Sunnah. Bahkan hal ini sudah menjadi konsensus (ijma’) yang tidak boleh dilanggar.

Adapun dalil dari Al Qur’an, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. [At Taubah :103].

Dan firmanNya:

وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ

“Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. [Al Baqarah:110].

Kemudian dalil dari Sunnah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَ ِمُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ إِلَى الْيَمَنِ قَالَ إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, (beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab. Karena itu, jika engkau menjumpai mereka, serulah mereka kepada syahadat, tidak ada yang berhak disembah dengan haq, kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka mentaati engkau dalam hal itu, maka ajarilah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari- semalam. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka ajarilah mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah atas harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagi-bagikan kepada para faqir miskin dari mereka. Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka berhati-hatilah terhadap harta-harta kesayangan mereka dan bertaqwalah dari doa-doa orang yang dizhalimi, karena tidak ada penghalang darinya dengan Allah”.

Sedangkan dalil dari ijma’, kaum muslimin telah bersepakat atas kewajibannya, sebagaimana telah dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Rusyd

Kewajiban ini, tentunya memiliki syarat dan cara yang harus diperhatikan kaum muslimin, sehingga dapat menunaikan kewajibannya membayar zakat dengan benar dan tepat.

PERSYARATAN KEWAJIBAN MENGELUARKAN ZAKAT

Syarat-syarat wajibnya mengeluarkan zakat adalah sebagai berikut:

1. Islam.
Islam menjadi syarat kewajiban mengeluarkan zakat dengan dalil hadits Ibnu Abbas di atas. Hadits ini mengemukakan kewajiban zakat, setelah mereka menerima dua kalimat syahadat dan kewajiban shalat. Hal ini tentunya menunjukkan, bahwa orang yang belum menerima Islam tidak berkewajiban mengeluarkan zakat.

2. Merdeka.
Tidak diwajibkan zakat pada budak sahaya (orang yang tidak merdeka) atas harta yang dimilikinya, karena kepemilikannya tidak sempurna. Demikian juga budak yang sedang dalam perjanjian pembebasan (al mukatib), tidak diwajibkan menunaikan zakat dari hartanya, karena berhubungan dengan kebutuhan membebaskan dirinya dari perbudakan. Kebutuhannya ini lebih mendesak dari orang merdeka yang bangkrut (gharim), sehingga sangat pantas sekali tidak diwajibkan.

3. Berakal Dan Baligh.
Dalam hal ini masih diperselisihkan, yaitu berkaitan dengan permasalahan zakat harta anak kecil dan orang gila. Yang rajih (kuat), anak kecil dan orang gila tidak diwajibkan mengeluarkan zakat. Akan tetapi kepada wali yang mengelola hartanya, diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya, karena kewajiban zakat berhubungan dengan hartanya.

4. Memiliki Nishab.
Makna nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan batas kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai pada ukuran tersebut . Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih, diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu supaya kamu berfikir”. [Al Baqarah:219].

Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.

SYARAT-SYARAT NISHAB

Adapun syarat-syarat nishab ialah sebagai berikut:

1. Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seseorang, seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.

2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab  dengan dalil hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun)”.

Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan. Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian juga zakat harta karun, yang diambil ketika menemukannya.

Misalnya, jika seorang muslim memiliki 35 ekor kambing, maka ia tidak diwajibkan berzakat karena nishab bagi kambing itu 40 ekor. Kemudian jika kambing-kambing tersebut berkembang biak sehingga mencapai 40 ekor, maka kita mulai menghitung satu tahun setelah sempurna nishab tersebut.

NISHAB, UKURAN DAN CARA MENGELUARKAN ZAKATNYA.

1. Nishab Emas Dan Ukuran Zakatnya.
Adapun nishab emas sebanyak 20 dinar. Dinar yang dimaksud ialah dinar Islam. Ukuran satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jadi 20 dinar itu setara dengan 85 gram emas murni. Demikian ini yang telah ditetapkan oleh Syaikh Muhammad Al Utsaimin dan Yusuf Qardhawi.

Dalil nishab ini ialah hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ يَعْنِي فِي الذَّهَبِ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ

“Tidak ada kewajiban atas kamu sesuatupun – yaitu dalam emas- sampai memiliki 20 dinar. Jika telah memiliki 20 dinar dan telah berlalu satu haul, maka terdapat padanya (zakat) 1/2 dinar. Selebihnya dihitung sesuai dengan hal itu, dan tidak ada di harta zakat, kecuali setelah satu haul”.

Kemudian dari nishab tersebut diambil 2,5 % atau 1/40. Dan kalau lebih dari nishab dan belum sampai pada ukuran kelipatannya, maka diambil dan diikutkan dengan nishab yang awal. Demikian menurut pendapat yang rajih (kuat).
Misalnya : seseorang memiliki 87 gram emas yang disimpan maka jika telah sampai haulnya maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya 87/40 = 2,175 gram atau uang seharga tersebut.

2. Nishab Perak Dan Ukuran Zakatnya.
Adapun nishab perak adalah 200 dirham. Setara dengan 595 gram, sebagaimana hitungan Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ 6/104 dan diambil darinya 2,5% dengan perhitungan sama dengan emas.

3. Nishab Binatang Ternak Dan Ukuran Zakatnya.
Adapun syarat wajib zakat pada binatang ternak sama dengan di atas dan ditambah satu syarat, yaitu binatangnya digembalakan dipadang rumput yang mubah daripada dicarikan makanan.

وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ…..

“Dan dalam zakat kambing yang digembalakan diluar; kalau sampai 40 ekor sampai 120 ekor …”

Sedangkan ukuran nishab dan yang dikeluarkan zakatnya ialah sebagai berikut:

1. ONTA.
Nishab onta ialah 5 ekor. Perhitungan selengkapnya sebagai berikut:

JUMLAH ONTA JUMLAH YANG DIKELUARKAN
5 – 9 ekor——>Satu ekor kambing
10 – 14 ekor –>Dua ekor kambing
15 – 19 ekor—>Tiga ekor kambing
20 – 24 ekor—>Empat ekor kambing
25 – 35 ekor –>Satu ekor bintu makhad
36 – 45 ekor—>Satu ekor bintu labun
46 – 60 ekor—>Satu ekor hiqqah
61 – 75 ekor—>Satu ekor jadzah
76 – 90 ekor—>Dua ekor bintu labun
91 – 120 ekor ->Dua ekor hiqqah
121 ekor ——>Tiga ekor bintu labun
130 ekor ——>Satu ekor hiqqah dan dua ekor bintu labun
140 ekor ——>Dua ekor hiqqah dan dua ekor bintu labun
150 ekor ——>Tiga ekor hiqqah
160 ekor ——>Empat ekor bintu labun
170 ekor ——>Satu ekor hiqqah dan tiga ekor bintu labun
180 ekor ——>Dua ekor hiqqah dan dua ekor bintu labun

Keterangan :
1. Bintu makhad ialah onta yang telah berusia satu tahun.
2. Bintu labun ialah onta yang berusia dua tahun.
3. Hiqqah ialah onta yang telah berusia tiga tahun.
4. Jadzah ialah onta yang berusia empat tahun.

2. SAPI.
Nishab sapi ialah 30 ekor. Apabila kurang dari 30 ekor, maka tidak ada zakatnya. Cara penghitungan sebagai berikut.

JUMLAH SAPI JUMLAH YANG DI KELUARKAN
30 – 39 ekor–>Satu ekor tabi’ atau tabi’ah
40 – 59 ekor–>Satu ekor musinah
60 ekor ——–>Dua ekor tabi’ atau dua ekor tabi’ah
70 ekor ——–>Satu ekor tabi’ dan satu ekor musinnah
80 ekor ——–>Dua ekor musinnah
90 ekor ——–>Tiga ekor tabi’
100 ekor ——>Dua ekor tabi’ dan satu ekor musinnah.

Keterangan :
1. Tabi’ dan tabi’ah ialah sapi jantan dan betina yang berusia setahun.
2. Musinnah ialah sapi betina yang berusia dua tahun.
3. Setiap 30 ekor sapi zakatnya ialah satu ekor tabi’ dan setiap 40 ekor sapi, zakatnya ialah satu ekor musinnah.

3. KAMBING
Nishab kambing ialah 40 ekor. Perhitungannya sebagai berikut:

JUMLAH KAMBING JUMLAH YANG DIKELUARKAN
40 ekor —————>Satu ekor kambing
120 ekor ————->Dua ekor kambing.
201 – 300 ekor —–>Tiga ekor kambing.
Lebih dari 300 ekor->Setiap 101 ekor kambing.

Dalil perhitungan nishab zakat binatang ternak.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
هَذِهِ فَرِيضَةُ الصَّدَقَةِ الَّتِي فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ وَالَّتِي أَمَرَ اللَّهُ بِهَا رَسُولَهُ فَمَنْ سُئِلَهَا مِنْ الْمُسْلِمِينَ عَلَى وَجْهِهَا فَلْيُعْطِهَا وَمَنْ سُئِلَ فَوْقَهَا فَلَا يُعْطِ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنْ الْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا مِنْ الْغَنَمِ مِنْ كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ إِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُونٍ أُنْثَى فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ الْجَمَلِ فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَةٌ فَإِذَا بَلَغَتْ يَعْنِي سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى تِسْعِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا الْجَمَلِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنْ الْإِبِلِ فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا مِنْ الْإِبِلِ فَفِيهَا شَاةٌ وَفِي صَدَقَةِ الْغَنَمِ فِي سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ شَاتَانِ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاهٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِ مِائَةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ الرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي الرِّقَّةِ رُبْعُ الْعُشْرِ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً فَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا

“Ini adalah kewajiban zakat yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin dan yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui RasulNya: Dalam setiap 24 ekor onta dan yang kurang dari itu (zakatnya) kambing; pada setiap 5 ekor (onta), (zakatnya) satu kambing. Kalau telah sampai 25 ekor sampai 35 ekor, maka ada (zakat) binti makhad (onta perempuan yang berusia satu tahun); jika tidak ada, (maka) boleh dengan ibnu labun (onta laki-laki yang berusia dua tahun). Jika sampai 36 hingga 45 ekor, terdapat padanya binti labun (onta perempuan berusia dua tahun). Kalau sampai 46 hingga 60 ekor, terdapat hiqqah (onta perempuan yang telah sempurna berusia 3 tahun) yang siap dihamili oleh onta laki-laki. Kalau sampai 61 hingga 75 terdapat, jidzah(onta yang telah berusia 4 tahun). Kalau sampai 76 hingga 90 ekor, terdapat 2 bintu labun. Kalau sampai 91 hingga 120 ekor, terdapat 2 hiqqah. Kalau sampai lebih dari 120, maka setiap 40 ekor ada bintu labin dan setiap 50 hiqqah. Dan barangsiapa yang memiliki kurang dari 4 ekor onta, maka tidak ada zakatnya kecuali kalau pemiliknya menghendaki. Dan dalam zakat kambing yang digembalakan diluar; kalau sampai 40 ekor hingga 120 ekor ada satu ekor kambing. Dan jika lebih dari 120 sampai 200 ekor, ada 2 ekor. Jika lebih dari 200 sampai 300 ekor, (maka) ada 3 ekor dan kalau lebih dari 300 ekor, maka setiap 100 ekor ada satu ekor kambing. Jika gembalaan seseorang kurang dari 40, seekor saja maka tidak terdapat zakat, kecuali bila pemiliknya menghendakinya ” [Hadits diriwayatkan Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya no. 1362.].

4. Nishab Zakat Hasil Pertanian Dan Buah-Buahan Serta Ukuran Zakatnya.
Zakat hasil pertanian dan buah-buahan disyari’atkan dalam Islam dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَآأَثْمَرَ وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermaca-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. [Al An’am :141]

Adapun nishabnya ialah 5 wasaq, berdasarkan sabda Rasulullah  :

لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقِ صَدَقَةٌ

“Tidak ada di bawah lima wasaq zakat”.[Muttafaq alaih]

Satu wasaq setara dengan 60 sha’ . Sedangkan satu sha’ setara dengan 2,175 kg  atau 3 kg.

Berdasarkan fatwa dan amal resmi yang berlaku di Saudi Arabia, maka nishab zakat hasil pertanian ialah 300 x 3 = 900 kg. Adapun ukuran yang dikeluarkan, bila pertanian itu didapatkan dengan cara pengairan (menggunakan alat penyiram tanaman), maka zakatnya sebanyak 1/20 (5%). Dan jika pertanian itu diairi dengan hujan (tadah hujan), maka zakatnya sebanyak 1/10 (10%). Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فِيْمَا سَقَتْ الأَنْهَارُ وَالغَيْمُ الْعُشُوْرُوَ فِيْمَا سُقِِيَ بِالسَّانِيَةِ نِصْفُ الْعُشُوْرِ

“Pada yang disirami oleh sungai dan hujan, maka sepersepuluh (1/10); dan yang disirami dengan pengairan (irigasi), maka seperduapuluh (1/20)”.[HR Muslim]

Misalnya: seorang petani berhasil menuai hasil panennya sebanyak 1000 kg. Maka ukuran zakat yang dikeluarkan bila dengan pengairan (alat siram tanaman) ialah 1000 x 1/20 = 50 kg. Bila tadah hujan, sebanyak 1000 x 1/10 = 100 kg.

5. Nishab Zakat Barang Dagangan Dan Ukuran Zakatnya.
Pensyariatan zakat barang dagangan masih diperselisihkan para ulama. Menurut pendapat yang mewajibkan zakat perdagangan, nishab dan ukuran zakatnya sama dengan nishab dan ukuran zakat emas.

Adapun syarat-syarat mengeluarkan zakat perdagangan, sama dengan syarat-syarat yang ada pada zakat yang lain, dan ditambah dengan tiga syarat lainnya,yaitu:

a. Memilikinya dengan tidak dipaksa, seperti dengan membeli, menerima hadiah dan yang sejenisnya.
b. Memilikinya dengan niat untuk perdagangan.
c. Nilainya telah sampai nishab.

Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.

Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp 200.000.000,- dan laba bersih sebesar Rp 50.000.000,- Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp 100.000.000,- Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – hutang : Rp 200.000.000,- – Rp 100.000.000,- = Rp 100.000.000,-
Jadi jumlah harta zakat adalah Rp 100.000.000,- + Rp 50.000.000,- = Rp 150.000.000,-
Zakat yang harus dibayarkan: Rp 150.000.000,- x 2,5% = Rp 3.750.000,-

6. Nishab Zakat Harta Karun Dan Ukuran Zakatnya.
Harta karun yang ditemukan, wajib dizakati secara langsung tanpa mensyaratkan nishab dan haul, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَفِيْ الرِّكَازِ الْخُمُسُ

“Dalam harta karun temuan terdapat seperlima zakatnya”.

CARA MENGHITUNG NISHOB.

Dalam menghitung nishab terjadi perbedaan pendapat. Yaitu pada masalah, apakah yang dilihat nishab selama setahun ataukah hanya dilihat pada awal dan akhir tahun saja?

Al Imam An Nawawi berkata,“Menurut mazdhab kami (Syafi’i), mazdhab Malik, Ahmad, dan jumhur, adalah disyaratkan pada harta yang wajib dikeluarkan zakatnya –dan (dalam mengeluarkan zakatnya) berpedoman pada hitungan haul, seperti: emas, perak dan binatang ternak– keberadaan nishab pada semua haul (selama setahun). Sehingga, kalau nishab tersebut berkurang pada satu ketika dari haul, maka terputuslah (hitungan) haul. Dan kalau sempurna lagi setelah itu, maka dimulai perhitungannya lagi, ketika sempurna nishab tersebut. Inilah pendapat yang rajih, insya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Misalnya nishab tercapai pada bulan Muharram 1438H, lalu bulan Rajab pada tahun itu, ternyata hartanya berkurang dari nishabnya. Maka terhapuslah perhitungan nishabnya. Kemudian pada bulan Ramadhan (pada tahun itu juga), hartanya bertambah hingga mencapai nishab. Maka dimulai lagi perhitungan pertama dari bulan Ramadhan tersebut. Demikian seterusnya sampai mencapai satu tahun sempurna, lalu dikeluarkanlah zakatnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...