Kamis, 28 Oktober 2021

ADAB SANGAT PENTING BAGI SANTRI DAN PENUNTUT ILMU


Sebaik-baik kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan waktu adalah menyibukkan diri dengan ilmu syar'i, ilmu Agama, terus mencari dan mendapatkan faidah ilmu, senantiasa mengulang-ulangi pelajaran dan mengajarkannya. Menuntut ilmu syar'i termasuk pendekatan diri yang paling afdhol dan ketaatan yang paling agung. Oleh karena itu para Ulama sejak dahulu sampai sekarang, banyak yang memberikan perhatian besar dalam menjelaskan adab sopan santun yang harus dimiliki oleh para penuntut ilmu, adab sopan santun tersebut merupakan perhiasan dan sarana menuju kemenangan dan kesuksesan. Sebagaimana mereka para Ulama telah menjelaskan tentang akhlaq terpuji dan akhlaq tercela dalam menuntut ilmu, dimana dengan mengetahuinya dan mengamalkannya -dengan menerapkan akhlaq terpuji dan meninggalkan akhlaq tercela tersebut- merupakan jalan pintas untuk mendapatkan ilmu yang diidam-idamkan serta jalan pintas untuk bisa memetik buah ilmu tersebut. Adab Sopan Santun bagi Penuntut Ilmu yang paling penting antara lain:

Niat Ikhlas hanya karena Allah Ta'ala

Menuntut ilmu merupakan ketaatan dan ibadah, sementara Ikhlas hanya karena Allah ta'ala itu wajib ada pada seluruh bentuk ibadah dan ketaatan lainnya. Allah Ta'ala berfirman :

{وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ} [البينة: 5]

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. [Al Bayyinah (98):5]

Ikhlas dalam menuntut ilmu adalah mengharapkan wajah Allah ketika menuntut ilmu, sehingga apabila keinginan seorang penuntut ilmu hanya untuk memperoleh ijazah, atau menduduki jabatan tertentu untuk mendapatkan manfaat berupa materi saja, maka sesungguhnya dia belumlah ikhlas dalam menuntut ilmu. Dari Abu Hurairah radhiallohu 'anhu, dia berkata : Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :

من تعلّم علماً مما يبتغَى به وجه الله - عز وجل- لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا لم يجد عرف الجنة يوم القيامة يعني ريحها

Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dicari karena mengharapkan wajah Allah Azza Wajalla semata, namun dia tidaklah mencarinya kecuali karena ingin mendapatkan perhiasan dunia dengan ilmu tersebut, maka dia tidak akan mendapatkan "urf Jannah" pada hari kiamat yaitu wangi surga. [HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dishohihkan oleh Al hakim dan Annawawi dalam riadhussholihin]

Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam telah memotifasi kita agar senantiasa memiliki Niat Ikhlas hanya karena Allah Ta'ala semata, sebagaimana dalam hadits Umar Rodhiallohu 'anhu :

إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى ..

Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung hanya dengan niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan hanya sesuai dengan apa yang dia niatkan [Muttafaq alaih]

Para Ulama sangat perhatian terhadap hadits Umar Rodhiallohu 'anhu diatas, mereka senantiasa mendahulukan hadits ini dalam kitab-kitab mereka, karena hadits tersebut dibutuhkan secara umum dalam segala perkara, seperti yang telah dikatakan oleh Imam Al Khot-thobi, perhatikan Imam Al Bukhari rahimahullah, beliau memulai kitab Shohihnya dengan hadits ini, para ulama mengatakan : Hadits ini adalah khotbah pembuka kitabnya Imam Al-Bukhari karena beliau tidak menulis muqaddimah apapun, tujuan dari hal tersebut adalah sebagai peringatan bagi para penuntut ilmu agar memperbaiki niatnya dan hanya mengharapkan wajah Allah ta'ala. Imam Annawawi dan Imam Al Baghowi mengikuti metode imam Al Bukhori ini, didalam beberapa kitab mereka berdua, demikian pula para penulis lainnya. Berkata Abdurrahman bin Mahdi :

لو صنفت كتاباً بدأت في أول كل كتاب منه بهذا الحديث

Sekiranya saya menulis sebuah kitab tentu saya mulai pada awal setiap kitab tersebut dengan hadits Umar ini

Imam Ahmad berkata :

العلم لا يعدله شيء لمن صحّت نيته

Ilmu itu tidak ada sesuatupun yang bisa menandinginya, bagi orang yang benar niatnya
Murid-muridnya lalu bertanya : bagaimana orang yang benar niatnya itu..???
Imam Ahmad menjawab :

ينوي رفع الجهل عن نفسه وعن غيره

dia berniat untuk mengangkat kejahilan dari dirinya sendiri dan dari orang lain

Berkata Ibnu Jama'ah Al Kinani setelah menjelaskan keutamaan ilmu :

واعلم أن جميع ما ذكر من فضل العلم والعلماء إنما هو في حقّ العلماء العاملين الأبرار المتقين، الذين قصدوا به وجه الله الكريم، والزلفى لديه في جنات النعيم ، لا من طلبه بسوء نية، وخبث طوية ، أو لأغراض دنيوية ، من جاه أو مال أو مكاثرة في الأتباع والطلاب

ketahuilah, bahwa semua hal yang disebutkan dari keutamaan ilmu dan ulama, hanya terbatas bagi para ulama, yang mengamalkan ilmunya, yang senantiasa melakukan kebaikan serta bertaqwa, mereka yang hanya mengharapkan wajah Allah yang Mulia, dan mengharapkan kedekatan dengan-Nya di surga yang penuh kenikmatan. Bukan bagi orang yang menuntut ilmu dengan niat yang buruk dan hati yang busuk atau karena tujuan-tujuan duniawi berupa kedudukan, harta atau banyaknya pengikut dan santri.

Berkata Abu Yusuf :

أَريدوا بعلمكم اللهَ تعالى، فإني لم أجلس مجلساً قطّ أنوي فيه أن أتواضع إلالم أقم حتى أعلُوَهم، ولم أجلس مجلساً قط أنوي فيه أن أعلوهم إلا لم أقم حتى اُفْتَضَح

Inginkanlah hanya Allah Ta'ala dengan ilmu kalian, karena sesungguhnya aku tidak duduk pada satu majlis sama sekali yang aku berniat didalamnya untuk tawadhu' kecuali aku tidak akan berdiri sehingga mengalahkan mereka, dan aku tidak akan duduk di satu majlis sama sekali yang aku niatkan didalamnya untuk mengalahkan mereka kecuali aku tidak berdiri sehingga aku dikenal.

Bertaqwa kepada Allah Azza wajalla

Para ulama adalah manusia yang paling mengenal Allah dan paling bertaqwa kepada-Nya, Allah ta'ala berfirman :

{إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ} [فاطر: 28]

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Pengampun. [Fa-thir (35):28]

Dengan Taqwa, seorang alim akan bertambah ilmunya dan dengan ilmu orang yang bertaqwa akan bertambah ketaqwaannya, Allah ta'ala berfirman :

{وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ} [البقرة: 282]

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al Baqarah (2):282]

Allah ta'ala berfirman :

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ} [الطلاق: 2، 3]

Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. [Ath-Tholaq (65):2 & 3]

Rezki yang paling agung adalah ilmu yang bermanfaat.

Taqwa adalah kumpulan seluruh kebaikan dan wasiat Allah kepada umat terdahulu dan belakangan, Allah Ta'ala berfirman dalam surah Annisa :

{وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا} [النساء: 131]

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [Annisa (4):131]

Allah Azza wajalla berfirman dalam surah Al-Anfal :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ} [الأنفال: 29]

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. [Al-Anfal (8):29]

Dia akan memberikan kepadamu furqaan yaitu memberikan kepadamu sesuatu yang bisa membedakan antara yang haq dan batil, antara yang sehat dan sakit, antara yang bermanfaat dan tak berguna, semua itu hanya ada dengan adanya cahaya dan timbangan ilmu, pelita dan ukuran ilmu. Jadi ilmu itu adalah buah dari buah-buah taqwa, taqwa merupakan jalan untuk memperoleh ilmu, dan ilmu itu mengangkat derajat pemiliknya ke derajat ma'rifatullah yang paling tinggi serta takut ~khos-yah~ kepada Allah, oleh karena itu didapatkan atsar dari Imam Syafi'i Rahimahullah bahwa beliau berkata :

شكوت إلى وكيع سـوء حفظـي فأرشـدني إلى ترك المعــاصي
وأخبرنـي بأن العلـم نــــور ونـور الله لا يهدى لعـاصـي

Aku adukan kepada Waki' tentang buruknya hafalanku, maka dia membimbingku agar meninggalkan maksiat
Dan mengabariku bahwasanya ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat

Hal-hal yang pertama kali masuk dalam bentuk-bentuk taqwa adalah menegakkan syi'ar-syi'ar Islam dan hukum-hukum Islam yang nampak, diantara hal itu adalah menjaga sholat lima waktu di masjid, menyebarkan salam kepada orang-orang tertentu dan kepada kaum muslimin secara umum, amar ma'ruf nahi mungkar, menampakkan sunnah, memadamkan bid'ah, dan menampakkan hukum-hukum Islam lainnya agar supaya dia pantas dijadikan panutan serta terjaga kehormatannya, tidak dilecehkan dan tidak memunculkan persangkaan buruk.

Termasuk juga dalam bentuk ketaqwaan adalah menjaga syari'at-syari'at yang dianjurkan baik dalam bentuk ucapan lisan atau perbuatan anggota badan : diantaranya adalah membaca Al Qur'an Al Karim dengan tafakkur dan tadabbur; memperbanyak dzikir dengan hati dan lisan; senantiasa berdo'a dengan penuh ketundukan disertai dengan keikhlasan dan kejujuran; perhatian terhadap ibadah-ibadah sunnah baik berupa sholat, puasa, sedekah dan haji (umroh) ke Baitullah; serta bersholawat kepada Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam, dan ibadah-badah lainnya yang memiliki keutamaan-keutamaan baik berupa perkataan ataupun perbuatan yang dengannya diharapkan semakin bertambahnya ilmu.

Ilmu memang memilki derajat yang tinggi di hadapan Allah, namun adab adalah buah nyata dari ilmu itu. Sikap kritis terhadap pendapat manusia adalah kewajiban setiap orang yang tidak ingin disebut muqollid (taqlid). Namun adab terhadap ilmu dan ahlul ilmi melebihi tingginya kewajiban untuk bersikap kritis tersebut.

Para salafus shalih mengajarkan kepada kita betapa adab adalah tanda dalamnya ilmu dan tingginya wara’ seseorang dan tawadhu’ terhadap ilmu dan adab walaupun itu dimiliki olah orang yang usianya jauh lebih muda darinya.

عَنْ غُضَيْفِ بْنِ الْحَارِثِ أَنَّهُ مَرَّ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ نِعْمَ الْفَتَى غُضَيْفٌ. فَلَقِيَهُ أَبُو ذَرٍّ فَقَالَ أَىْ أُخَىَّ اسْتَغْفِرْ لِى. قَالَ أَنْتَ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَنْتَ أَحَقُّ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِى. فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ نِعْمَ الْفَتَى غُضَيْفٌ. وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ ضَرَبَ بِالْحَقِّ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ وَقَلْبِهِ ». قَالَ عَفَّانُ عَلَى لِسَانِ عُمَرَ يَقُولُ بِهِ

Dari Ghudhoif bin Al Harits Radhiyallohu ‘Anhu ia bercerita bahwa suatu hari ia lewat di depan Umar Bin Khattab Radhiyallohu ‘Anhu, lalu Umar berkata: “Sebaik-baik anak muda adalah Ghudhoif”. Ghudhoif melanjutkan ceritanya: “Setelah peristiwa itu aku berjumpa dengan Abu Dzar, beliau berkata kepadaku : “Wahai saudaraku mintakan ampun kepada Allah untukku”.

Ghudhoif menjawab : “Engkau shahabat Rasul yang terpandang, engkau lah yang lebih pantas berdo’a dan memintakan ampun kpd Allah buatku”.

Abu Dzar menjawab : “Sungguh aku mendengar Umar berkata : “Sebaik-baik anak muda adalah Ghudhoif”, sedangkan Rasulullah Shollallohu ‘alaihi Wasallam : “Sesungguhnya Allah meletakkan kebenaran pada lisan dan hati Umar” (HR. Ahmad dan Imam Hakim dalam Al Mustadrak dan beliau menyatakan hadits ini shahih atas persyaratan Bukhari dan Muslim, Muhtashor Tarikh Dimasyq juz 6 hal 247)

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنما بعثت لأتمم مكارم لأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”

Adab dan akhlak sangat penting dalam kehidupan, baik itu kehidupan sendiri, keluarga ataupun sosial. Dan yang lebih penting lagi adalah adab keapada Allah dan Rasul-Nya.

Dengan adab seorang muslim yang sejati akan menjadi mulia dihadapan Allah dan RasulNya juga dihadapan manusia. Bahkan Allah subuhanahu wa ta’ala menjadikan akhlaq yang baik sebagai barometer sempurnanya iman seorang hamba, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi Wasallam Bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ».

Artinya: “Kaum Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya (H.R Tirmidzi (1162), Abu Dawud (4682))

Begitu pentingnya ahlaq dan adab , maka Allah subuhanahu wa ta’ala mengutus Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam untuk menyempurnakan Akhlaq, sebagaimana dijelaskan dalam hadits shohih yang diriwayatkan dalam hadits yang diriwayatkan:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381 (8939), Bukhari dalam Adabul mufrad nomor 273,

Kita diwajibkan untuk memiliki akhlak dan adab yang baik, sebagaimana yang dijelaskan Allah Subuhanahu Wa Ta’ala dalam firmanNya

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا

Artinya: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Al-Furqon [25] : 63)

Dan juga firman Allah Azza Wajalla:

وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ* وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS. Luqman [31] : 18, 19)

Dan Allah subuhanahu wata’la berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاء ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl [16] : 90)

Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم : اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

Artinya: Dari Abu Dzar , ia berkata, Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa sallam— bersabda kepadaku: “Taqwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada, dan ikutilah kejelekan itu dengan kebaikan yang menghapusnya, dan berakhlaqlah kepada manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR At-Tirmidzi nomor 1987, ia berkata hasan).

Semua dalil diatas, menunjukkan wajibnya berakhlaq dan beradab yang baik. Oleh karena itu, hendaknya kita selalu memanifestasikan hal tersebut agar kita mendapatkan kedudukan yang mulia dihadapan Allah dan RasulNya serta manusia. Rasulullah Shollallahu alaihi Wasallam Bersabda:

عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَأَحْسَنَهُمْ خَلْقًا.

Artinya: “Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalian adalah orang yang terbaik akhlaknya”  (dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya:Adab/39, 7/82. Muslim dalam Shahihnya: Al-Fadhail/16, hadits (68), 4/1810)

Akhlaq yang mulia adalah merupakan bentuk kebaikan yang memiliki nilai disisi Allah Subuhanahu wa ta’ala, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْبِرِّ وَالإِثْمِ فَقَالَ «الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ».

Artinya: Dari Nawwas bin Sim’an al-Anshari, katanya: “Saya bertanya kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tentang kebaikan dan tentang dosa. Dia menjawab, “Kebaikan adalah akhlak yang mulia, dan dosa adalah sesuatu yang bergejolak dalam dadamu dan engkau merasa tidak senang apabila orang lain mengetahuinya” (H.R Muslim nomor 2553)

Akhlaq yang mulia termasuk amal yang menjadi sebab seorang hamba akan dimasukkan kedalam surga, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ «تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah —shallallahu ‘alaihi wa sallam— ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga, maka beliau bersabda: “Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlaq.” Dan beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan)” (HR At-Tirmidzi nomor 2004, ia berkata hadits Shahih Gharib).

Oleh karena itu, jika kita semua ingin dimasukkan surga oleh Allah subuhanahu wa ta’ala maka berakhlaklah yang baik.

Akhlaq yang mulia termasuk amal yang paling utama :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ ، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya: seorang laki-laki anshor datang kepada rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya: wahai rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam! Manakah orang mukmin yang paling utama? Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menjawab: yang paling baik akhlaqnya”. (H.R Ibnu Majah nomor 4259)

Orang yang memiliki akhlaq yang bagus adalah sebaik-baiknya manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (H.M Muslim Nomor 2321).

Orang yang memiliki akhlaq yang mulia menjadi orang yang paling dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dalam sabdanya:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ اِلَيَّ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقاً

Artinya: Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling bagus akhlaqnya”. (HR. Al-Bukhari nomor 3549).

Akhlaq yang mulia merupakan tanda kesempurnaan iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَاناً ، أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً ، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِم

Artinya: Yang paling sempurna keimanan seseorang mu’min adalah yang paling bagus akhlaqnya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”. (HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata hasan shahih).

Akhlaq yang mulia akan mengantarkan ke derajat orang yang senantiasa mengerjakan puasa dan shalat malam.

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ

Artinya: Dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya dengan akhlaq mulia seorang mukmin akan sampai ke derajat orang yang mengerjakan puasa dan shalat malam.”’ (HR. Abu Daud nomor 4798).

Berikut beberapa kisah dari ulama, mereka menekankan agar belajar adab dahulu baru ilmu. Imam Malik rahimahullahu mengisahkan,

قال مالك: قلت لأمي: ” أذهب، فأكتب العلم؟ “، فقالت: ” تعال، فالبس ثياب العلم “، فألبستني مسمرة، ووضعت الطويلة على رأسي، وعممتني فوقها، ثم قالت: ” اذهب، فاكتب الآن “، وكانت تقول: ” اذهب إلى ربيعة، فتعلًّمْ من أدبه قبل علمه

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.” (‘Audatul Hijaab 2/207)

Berkata Adz-Dzahabi rahimahullahu,

كان يجتمع في مجلس أحمد زهاء خمسة آلاف – أو يزيدون نحو خمس مائة – يكتبون، والباقون يتعلمون منه حسن الأدب والسمت

“Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis [pelajaran] sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya.”(Siyaru A’lamin Nubala’ 21/37)

KEJUJURAN YANG BISA MENJADIKAN TERCELA


Pada asalnya, kejujuran itu sangat terpuji dalam syari’at. Allah ta’ala telah menjelaskan bahwa kejujuran itu merupakan sifat orang yang beriman.

إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ الّذِينَ آمَنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ ثُمّ لَمْ يَرْتَابُواْ وَجَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـَئِكَ هُمُ الصّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu; dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar” [QS. Al-Hujuraat : 15].

Tidaklah kejujuran itu akan membawa pelakunya kecuali kepada surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

عليكم بالصدق فإن الصدق يهدى إلى البر وإن البر يهدى إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدى إلى الفجور وإن الفجور يهدى إلى النار وما يزال الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا

“Berpegangteguhlah pada kejujuran karena kejujuran membawa kebaikan dan kebaikan itu membawa kepada surga. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berbuat jujur dan memilih kejujuran hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hati-hatilah kamu terhadap kedustaan karena kedustaan membawa kejahatan dan kejahatan itu membawa kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta“ [HR. Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607].

Akan tetapi, ada beberapa hal yang dikecualikan dimana orang yang jujur malah tidak mendapat sanjungan sebagaimana di atas. Apakah itu ? Berikut penjelasannya……

Ghibah

Ghibah atau menggunjing (ngrumpi, nggosip) merupakan perkataan jujur yang tercela dan merupakan khianat terhadap aib-aib kaum muslimin yang seharusnya ditutupi. Allah ta’ala berfirman :

وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوه

“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya “[QS. Al-Hujuraat : 12].

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أتدرون ما الغيبة قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل فرأيت إن كان في أخي ما أقول قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته

“Apakah kalian tahu apa ghibah itu ?” Para shahabat menjawab : ”Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Beliau bersabda : ”Jika kamu menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci, maka kamu telah melakukan ghibah”. Beliau ditanya : ”Bagaimana jika sesuatu yang aku katakan ada pada saudaraku?” Beliau menjawab : ”Bila sesuatu yang kamu bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah, dan apabila yang kamu bicarakan tidak ada maka kamu telah membuat kebohongan atasnya “ [HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874, At-Tirmidzi no. 1934, Ahmad 2/230, Ad-Darimi no. 2717, dan yang lainnya].

Ghibah itu hukumnya haram, baik sedikit ataupun banyak.

عن عائشة قالت : قلت للنبي صلى الله عليه وسلم حسبك من صفية كذا وكذا قال غير مسدد تعني قصيرة فقال لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته

Dari ’Aisyah ia berkata : ”Aku pernah berkata kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ‘Cukuplah Shafiyyah itu begini dan begitu’. Salah seorang perawi berkata bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek badannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang seandainya dicelupkan ke dalam air laut niscaya akan berubah warnanya” [HR. Abu Dawud no. 4875, At-Tirmidzi no. 2502, Ahmad 6/128, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar no. 1080].

عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخمشون وجوههم وصدورهم فقلت من هؤلاء يا جبريل قال هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم

Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : “Ketika aku sedang dimi’rajkan, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga yang sedang mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya : ‘Siapakah mereka wahai Jibril ?’. Jibril menjawab : ‘Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatannya” [HR. Abu Dawud no. 4878 dan Ahmad 3/224].

Ibnu Katsir menjelaskan :

والغيبة محرمة بالإجماع, ولا يستثنى من ذلك إلا من رجحت مصلحته, كما في الجرح والتعديل والنصيحة كقوله صلى الله عليه وسلم, لما استأذن عليه ذلك الرجل الفاجر: «ائذنوا له بئس أخو العشيرة!» وكقوله صلى الله عليه وسلم لفاطمة بنت قيس رضي الله عنها, وقد خطبها معاوية وأبو الجهم: «أما معاوية فصعلوك, وأما أبو الجهم فلا يضع عصاه عن عاتقه» وكذا ما جرى مجرى ذلك, ثم بقيتها على الترحيم الشديد

“Menurut kesepakatan, ghibah merupakan perbuatan yang diharamkan, dan tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali jika terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misal dalam al-jarh wat-ta’dil dan nasihat. Hal itu sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika ada seorang jahat yang meminta ijin kepada beliau : ‘Berikanlah oleh kalian ijin kepadanya, ia adalah seburuk-buruk saudara dalam keluarga’. Dan juga seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais radliyallaahu ‘anhaa ketika dilamar oleh Mu'awiyyah dan Abul-Jahm : ‘Adapun Mu’awiyyah adalah seorang yang tidak Mempunyai harta. Sedangkan Abul-Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (ringan tangan)’. Demikianlah yang memang terjadi dan berlangsung. Kemudian selain dari hal yang di atas, maka hukumnya haram, yang karenanya pelakunya diberikan ancaman keras” [Tafsir Ibnu Katsir hal. 517].

Jumhur ‘ulamaa menjelaskan bahwa ghibah itu termasuk dosa besar. Dalil yang menjadi sandaran tentang hal tersebut adalah :

عن سعيد بن زيد عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إن من أربى الربا الاستطالة في عرض المسلم بغير حق

Dari Sa’id bin Zaid dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda :“Sesungguhnya termasuk dari riba yang paling berat adalah terus-menerus melanggar kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang benar” [HR. Abu Dawud no. 4876 dan Al-Baihaqi 10/241].

Bagaimana cara bertaubat dari ghibah ?

Ibnu Katsir menjelaskan :

قال الجمهور من العلماء: طريق المغتاب للناس في توبته أن يقلع عن ذلك ويعزم على أن لا يعود, وهل يشترط الندم على ما فات ؟ فيه نزاع, وأن يتحلل من الذي اغتابه. وقال آخرون: لا يشترط أن يتحلله فإنه إذا أعلمه بذلك ربما تأذى أشد مما إذا لم يعلم بما كان منه فطريقه إذاً أن يثني عليه بما فيه في المجالس التي كان يذمه فيها, وأن يرد عنه الغيبة بحسبه وطاقته, لتكون تلك بتلك

“Jumhur ulama mengatakan : ‘Jalan yang harus ditempuh orang yang berbuat ghibah adalah dengan melepaskan diri darinya dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya kembali’. Apakah dalam taubat itu disyaratkan adanya penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf kepada orang yang telah dighibahinya itu ? Mengenai hal ini, terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta penghalalan (maaf) kepada orang yang dighibah. Ada yang berpendapat, tidak disyaratkan baginya meminta maaf kepadanya. Karena jika ia memberitahukan apa yang telah dighibahkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada jika ia tidak diberitahu. Dengan demikian, cara yang harus ia tempuh adalah memberi sanjungan kepada orang yang telah dighibahnya itu di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya ia menghindari ghibah orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga ghibah itu dibayar dengan pujian” [Tafsir Ibnu Katsir, hal. 517].

Pendapat kedua lah yang lebih dekat dengan kebenaran. Ibnul-Qayyim menjelaskan secara lebih detail :

يذكر عن النبي صلى الله عليه وسلم أن كفارة الغيبة أن تستغفر لمن اغتبته، تقول : ((اللهم اغفر لنا وله)). ذكره البيهقي في كتاب ((الدعوات الكبير))، وقال : في إسناده ضعف.
وهذه مسألة فيها قولان للعلماء - هما روايتان عن الإمام أحمد - ، وهما : هل يكفي في التوبة من الغيبة الاستغفار للمغتاب، أم لابد من أعلامه وتحلله؟
والصحيح أنه لا يحتاج إلى إعلامه، بل يكفيه الاستغفار له، وذكره بمحاسن ما فيه في المواطن التي اغتابه فيها.وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية، وغيره.
والذين قالوا : لابد من إعلامه؛ جعلوا الغيبة كالحقوق المالية، والفرق بينهما ظاهر، فإن في الحقوق المالية ينتفع المظلوم بعود نظير مظلمته إليه، فإن شاء أخذها، وإن شاء تصدق بها.
وأما في الغيبة، فلا يمكن ذلك، ولا يحصل له بإعلامه إلا عكس مقصود الشارع، فإنه يوغر صدره ويؤذيه إذا سمع ما رُمِيَ به، ولعله يُنْتِجُ عداوته، ولا وصفو له أبداً، وما كان هذا سبيله فإن الشارع الحكيم لا يبيحه ولا يُجَوِّزُه، فضلاً عن أن يوجبه ويأمر به، ومدار الشرعية على تعطيل المفاسد وتقليلها، لا على تحصيلها وتكميلها، والله أعلم

”Disebutkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bahwa kaffarah (tebusan) perbuatan ghibah adalah dengan memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang dighibahi dengan mengatakan : ”Ya Allah, ampunilah kami dan dia”. Ini disebutkan oleh Al-Baihaqi dalam Ad-Da’awaat Al-Kabiir dan ia mengatakan dalam sanadnya terdapat kelemahan.

Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini, keduanya merupakan riwayat dari Al-Imam Ahmad, yaitu : Apakah sudah mencukupi bertaubat dari perbuatan ghibah hanya dengan memohonkan ampunan untuk orang yang dighibahi ? Ataukah harus memberitahukannya dan minta dihalalkan ?

Yang benar, bahwasannya tidak perlu memberitahukannya, akan tetapi cukup baginya memohonkan ampunan serta menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ada padanya di tempat-tempat dimana ia telah membicarakan (meng-ghibah) orang tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya.

Adapun orang yang mengharuskan untuk memberitahukannya, mereka menganggap bahwa ghibah itu seperti hak-hak harta. Sedangkan perbedaan keduanya sangat jelas, karena dalam kasus hak harta, yang terdhalimi akan mendapatkan manfaat dengan dikembalikannya semisal kedhalimannya. Maka jika ia menghendaki boleh diambilnya, atau dia shadaqahkan harta tersebut jika ia mau.

Adapun dalam kasus ghibah, maka hal itu tidak memungkinkan, dan tidak akan ia peroleh melalui keterangannya itu kecuali kebalikan dari yang dimaksud oleh Pembuat syari’at, karena hal itu justru membuat dadanya panas, dan menyakitinya jika ia mendengar apa yang dighibahkan tentang dirinya, dan mungkin sekali itu akan membangkitkan rasa permusuhan serta tidak menjernihkan permasalahan selama-lamanya. Dan apapun yang seperti ini jalannya, maka Pembuat syari’at yang bijaksana tidaklah memperkenankannya dan tidak mengijinkannya, lebih-lebih mewajibkan apalagi memerintahkannya. Adapun poros beredarnya syari’at ini adalah menghilangkan kerusakan (yang ada) dan meminimalkannya, bukan untuk menimbulkan kerusakan (yang baru) atau (bahkan) menyempurnakannya. Allahu a’lam” [selesai perkataan Ibnul-Qayyim –Al-Waabilush-Shayyib wa Raafi’ul-Kalimith-Thayyib, hal. 389-390, tahqiq : ’Abdurrahman bin Hasan bin Qaaid, isyraf : Bakr Abu Zaid; Daar ’Aalamil-Fawaaid].

Namimah (mengadu domba)

Namimah lebih tercela dan lebih buruk daripada ghibah. Disamping itu merupakan pengkhianatan dan kehinaan yang kemudian berakhir dengan percekcokan, pemutusan silaturahim, dan kebencian di antara teman. Allah ta’ala telah mencela orang yang berperangai seperti ini dengan firman-Nya :

وَلا تُطِعْ كُلَّ حَلافٍ مَهِينٍ * هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ * مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ

”Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa” [QS. Al-Qalam : 10-12].

Ibnu Katsir menjelaskan :

{مشاء بنميم} يعني الذي يمشي بين الناس ويحرش بينهم وينقل الحديث لفساد ذات البين وهي الحالقة, وقد ثبت في الصحيحين من حديث مجاهد عن طاوس عن ابن عباس قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بقبرين فقال «إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير, أما أحدهما فكان لا يستتر من البول, وأما الاَخر فكان يمشي بالنميمة» الحديث.

”Firman-Nya : { مشاء بنميم} ”yang kian kemari menghambur fitnah” ; yaitu : yang berjalan di tengah-tengah umat manusia seraya memprovokasi mereka serta menyebarluaskan pembicaraan untuk mengaburkan yang sudah jelas. Dan telah ditegaskan dalam Ash-Shahihain, dari hadits Mujahid, dari Thawus, dari Ibnu ’Abbas ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda : ’Kedua orang (yang berada di kuburan ini) sedang disiksa. Keduanya tidak disiksa karena dosa besar. Adapun salah satunya, (mereka disiksa) karena tidak menutup diri saat buang air, sedangkan yang lain (disiksa) karena suka mengadu domba (namimah)’. Al-Hadits” [Tafsir Ibnu Katsir, hal. 564].

Tidak disangsikan lagi bahwa namimah termasuk salah satu jenis dosa besar. Oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang namimah dengan sabdanya :

لا يدخل الجنة نمام

“Tidak akan masuk surga orang yang mengadu domba” [HR. Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105].

Orang yang mengadu domba adalah makhluk yang paling buruk di sisi Allah, penghuni neraka jahannam dan bila tidak bertaubat akan menjadi hamba yang terhina di dunia dan putus asa dari rahmat Allah di akhirat.

وذكر ابن عبد البر عن يحيى بن أبي كثير قال : يفسد النمام والكذاب في ساعة ما لا يفسد الساحر في سنة . وقال أبو الخطاب في عيون المسائل : ومن السحر السعي بالنميمة والإفساد بين الناس . قال في الفروع : ووجهه أن يقصد الأذى بكلامه وعمله على وجه المكر والحيلة ، أشبه السحر ، وهذا يعرف بالعرف والعادة أنه يؤثر وينتج ما يعمله السحر ، أو أكثر فيعطى حكمه تسوية بين المتماثلين أو المتقاربين . لكن يقال : الساحر إنما يكفر لوصف السحر وهو أمر خاص ودليله خاص ، وهذا ليس بساحر . وإنما يؤثر عمله ما يؤثره فيعطي حكمه إلا فيما اختص به من الكفر وعدم قبول التوبة . انتهى ملخصاً .
وبه يظهر مطابقة الحديث للترجمة . وهو يدل على تحريم النميمة ، وهو مجمع عليه قال ابن حزم رحمه الله : اتفقوا على تحريم الغيبة والنميمة في غير النصيحة الواجبة . وفيه دليل على أنها من الكبائر .

”Ibnu ’Abdil-Barr menyebutkan dari Yahya bin Abi Katsir, dia berkata : ”Para pengadu domba dan pendusta membuat kerusakan dalam satu saat yang tidak dapat dicapai oleh tukang sihir selama setahun”. Abul-Khaththab berkata dalam kitab ’Uyuunul-Masaaail : ”Termasuk sihir adalah berkeliling dengan namimah dan berbuat kerusakan di antara manusia”. Ia juga berkata dalam kitab Al-Furu’ : ”Ini permasalahannya adalah, bahwa orang itu bermaksud menyakiti dengan ucapannya dan perbuatannya dengan cara makar dan tipu muslihat, dan itu menyerupai sihir. Ini dapat diketahui secara adat kebiasaan, bahwa perbuatan itu berpengaruh dan membuahkan sesuatu serupa dengan apa yang dihasilkan oleh sihir, atau bahkan lebih banyak. Maka hukumnya pun serupa dengan sihir, karena di antara keduanya terdapat kesamaan yang saling berdekatan”. Akan tetapi dikatakan bahwa tukang sihir adalah kafir karena kriteria sihirnya. Ia adalah sesuatu yang khusus dan dalil yang dimilikinya pun khusus; sedangkan yang ini (yaitu namimah) tidak seperti pelaku sihir. Akan tetapi keduanya ada kesamaan dalam pengaruh. Maka hukum keduanya pun harus disamakan, kecuali dalam kekafiran yang khusus pada sihir dan tidak diterimanya taubat. Selesai dengan peringkasan.
Dengan ini jelaslah relevansi hadits ini dengan bab di atas, dan hadits itu menunjukkan haramnya namimah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama. Ibnu Hazm rahimahullah berkata : “Mereka sepakat atas haramnya ghibah dan namimah di luar nasihat yang wajib. Hal ini juga menunjukkan bahwa namimah termasuk perbuatan dosa besar”

Para ulama berbeda pendapat tentang ghibah dan namimah; apakah keduanya sama atau berbeda ?

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :

وأن بينهما عموما وخصوصا وجهيا وذلك لأن النميمة نقل حال الشخص لغيره على جهة الإفساد بغير رضاه سواء كان بعلمه أم بغير علمه والغيبة ذكره في غيبته بما لا يرضيه فامتازت النميمة بقصد الافساد ولا يشترط ذلك في الغيبة وامتازت الغيبة بكونها في غيبة المقول فيه واشتركتا فيما عدا ذلك ومن العلماء من يشترط في الغيبة أن يكون المقول فيه غائبا والله أعلم

”Bahwasannya di antara keduanya terdapat perbedaan, dan di antara keduanya terdapat sisi keumuman dan kekhususan. Karena namimah adalah menukil keadaan seseorang untuk disampaikan kepada yang lain dengan tujuan membuat kerusakan tanpa keridlaannya, baik ia tahu atau tidak tahu. Sedangkan ghibah adalah menyebut tentang seseorang tanpa kehadiran orang yang disebut dengan sesuatu yang tidak diridlainya. Maka namimah itu terbedakan dengan adanya tujuan untuk merusak, dan ini tidak disyaratkan dalam ghibah. Dan ghibah sendiri terbedakan dengan ketidakhadiran orang yang dibicarakan. Keduanya memiliki sisi kesamaan dalam hal yang selain itu. Di antara ulama ada yang mensyaratkan tentang ghibah, keharusan orang yang dibicarakan tidak ada di tempat. Wallaahu a’lam” [Fathul-Bari, 10/473; Daarul-Ma’rifah, Beirut].

Menyebarkan Rahasia

Menyebarkan rahasia adalah satu kejujuran yang sangat tercela dan merupakan bukti pengkhianatan dari pelakunya. Ia merupakan satu sikap khianat terhadap amanah. Allah ta’alatelah mengabadikan satu contoh dalam Al-Qur’an :

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ

”Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" [QS. At-Tahrim : 3].

Ayat di atas berisi terkandung satu teguran bagi Ummul-Mukminin Hafshah binti ’Umar bin Al-Khaththab ketika ia membocorkan rahasia Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang seharusnya ia simpan. Ia melakukannya karena rasa cemburu dengan madunya (istri beliau shallallaahu ’alaihi wasallam yang lain). Setelah mendapat teguran dari Allah dan Rasul-Nya melalui ayat tersebut, maka ia adalah salah satu wanita yang paling cepat sadar akan kesalahannya, bertaubat, dan kembali kepada kebenaran.

Para ulama berbeda pendapat mengenai ”rahasia” yang dimaksud dalam ayat. Ada dua pendapat masyhur dalam hal ini :

Pertama, maksudnya adalah pengharaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam terhadap madu.

عن عبيد بن عمير قال سمعت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم كان يمكث عند زينب ابنة جحش، ويثرب عندها عسلا فتواصيت أنا وحفصة أن أيتنا دخل عليها النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم فلتقل: إني لأجد منك ريح مغافير، أكلت مغافير. فدخل على إحداهما فقالت له ذلك، فقال: "لا بأس شربت عسلا عند زينب ابنة جحش ولن أعود له". فنزلت {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ} إلى {تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ} لعائشة وحفصة {وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا} لقوله بل شربت عسلا.

Dari ’Ubaid bin ’Umair berkata : Aku mendengar ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wa ’alaa aalihi wasallam tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan beliau meminum madu di sana. Maka aku dan Hafshah bersepakat bahwa siapa saja di antara kami yang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam masuk kepadanya, hendaknya ia berkata : ”Sesungguhnya aku mencium bau maghaafir (sesuatu yang kurang sedap baunya)”. Lalu Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam masuk kepada salah satu dari keduanya, ia pun mengatakan hal itu kepada Nabi. Beliau menjawab : ”Tidak mengapa, aku telah minum madu di tempat Zainab binti Jahsy. Aku tidak akan meminumnya lagi”. Maka turunlah ayat :”Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu”sampai pada ayat : ”Jika kamu berdua bertobat kepada Allah” (QS. At-Tahrim : 1 - 4) – dimana ayat ini turun kepada ’Aisyah dan Hafshah. Adapun ayat : ”Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa” – turun karena perkataan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Akan tetapi aku meminum madu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari 11/293].

Kedua, maksudnya pengharaman terhadap Mariyyah Al-Qibthiyyah. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyebut riwayat sebagai berikut :

عن ابن عباس قال: قلت لعمر بن الخطاب: من المرأتان ؟ قال: عائشة وحفصة. وكان بدء الحديث في شأن أم إبراهيم مارية القبطية أصابها النبي صلى الله عليه وسلم في بيت حفصة في نوبتها, فوجدت حفصة: فقالت: يا نبي الله لقد جئت إليّ شيئاً ما جئت إلى أحد من أزواجك في يومي وفي دوري وعلى فراشي قال: «ألا ترضين أن أحرمها فلا أقربها» قالت: بلى فحرمها وقال لها «لا تذكري ذلك لأحد»

Dari Ibnu ’Abbas ia berkata : Aku bertanya kepada ’Umar bin Al-Khaththab : ’Siapa dua wanita yang dimaksudkan dalam ayat ?’. Ia menjawab : ’Aisyah dan Hafshah’. Kejadian itu terjadi berkaitan dengan perkara Ummu Ibrahim Mariyah Al-Qibthiyyah yang digauli Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam di rumah Hafshah, sedangkan hari itu merupakan hari giliran Hafshah. Dan ternyata Hafshah pun melihatnya. Maka ia pun berkata : ”Wahai Nabi Allah, sungguh engkau telah mendatangkan kepadaku sesuatu yang tidak pernah engkau datangkan kepada seorang pun dari para istrimu, di hari (giliran)-ku dan di atas tempat tidurku”. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Tidakkah engkau ridlai, kalau aku haramkan dia dan aku berjanji untuk tidak mendekatinya lagi”. Hafshah berkata : ”Tentu”. Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam mengharamkannya (yaitu mengharamkan Mariyyah Al-Qibthiyyah untuk diri beliau). Dan beliau berkata kepada Hafshah : ”Janganlah engkau ceritakan hal ini kepada siapapun” [Tafsir Ibnu Katsir hal. 560].

Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa para shahabat adalah orang yang sangat menjaga rahasia :

عن أنس قال أتى علي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا العب مع الغلمان قال فسلم علينا فبعثني إلى حاجة فأبطأت على أمي فلما جئت قالت ما حبسك قلت بعثني رسول الله صلى الله عليه وسلم لحاجة قالت ما حاجته قلت انها سر قالت لا تحدثن بسر رسول الله صلى الله عليه وسلم أحدا قال أنس والله لو حدثت به أحدا لحدثتك يا ثابت

Dari Anas ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam mendatangiku ketika itu aku sedang bermain-main bersama beberapa orang anak laki-laki, kemudian beliau memberi salam kepada kami. Lalu beliau menyuruhku untuk satu keperluan hingga aku terlambat pulang ke rumah. Dan ketika aku pulang menemui ibuku, ia bertanya : ”Apa yang menyebabkan engkau pulang terlambat ?”. Maka aku pun menjawab : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menyuruhku untuk satu keperluan”. Ia bertanya : ”Apa Apa keperluannya ?”. Aku menjawab : ”Ini rahasia”. Ibuku pun berkata : ”Jangan sekali-kali engkau ceritakan rahasia Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kepada seorangpun”. Anas berkata : ”Demi Allah, seandainya aku menceritakannya kepada seseorang, niscaya aku menceritakannya kepadamu wahai Tsabit !” [HR. Al-Bukhari no. 6289 dan Muslim no. 2482].

Namun, ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian shahabat menyebutkan satu rahasia dari beliau setelah beliau shallallaahu ’alaihi wasallam wafat. Diantaranya :

عن أنس بن مالك أن النبي صلى الله عليه وسلم ومعاذ رديفه على الرحل قال يا معاذ بن جبل قال لبيك يا رسول الله وسعديك قال يا معاذ قال لبيك يا رسول الله وسعديك ثلاثا قال ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار قال يا رسول الله أفلا أخبر به الناس فيستبشروا قال إذا يتكلوا وأخبر بها معاذ عند موته تأثما

Dari Anas bin Malik : Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda kepada Mu’adz ketika ia dibonceng oleh beliau di atas kendaraan :”Wahai Mu’adz !”. Mu’adz berkata :”Labbaika ya Rasulallah wa sa’daika!”.Beliau berkata lagi : ”Wahai Mu’adz !”.Mu’adz berkata : ”Labbaika ya Rasulallah wa sa’daika!”. Setelah tiga kali, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam melanjutkan :”Barangsiapa yang bersaksi dengan tulus sepenuh hati bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Allah dan Muhammad utusan Allah, maka Allah akan mengharamkannya dari api neraka”. Mu’adz bertanya : ”Wahai Rasulullah, bolehkah saya beritahukan hal ini kepada manusia agar mereka merasa gembira ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”(Apabila engkau beritahukan hal ini kepada mereka), niscaya akan menyandarkan diri (pada hal ini saja)”. Maka Mu’adz menyampaikan hadits ini menjelang kematiannya karena takut berdoa (jika tidak disampaikan)” [HR. Al-Bukhari no. 128 dan Muslim no. 30].

Al-Hafidh Ibnu Hajar memberikan satu penjelasan yang sangat bagus dalam mengkompromikan dua hal tersebut, yaitu ketika beliau mengomentari hadits Anas (Shahih Al-Bukhari no. 6289) :

قال بعض العلماء : كأن هذا السر كان يختص بنساء النبي صلى الله عليه وسلم وإلا فلو كان من العلم ما وسع أنسا كتمانه. وقال بن بطال الذي عليه أهل العلم أن السر لا يباح به إذا كان على صاحبه منه مضرة وأكثرهم يقول انه إذا مات لا يلزم من كتمانه ما كان يلزم في حياته إلا أن يكون عليه فيه غضاضة قلت الذي يظهر انقسام ذلك بعد الموت إلى ما يباح وقد يستحب ذكره ولو كرهه صاحب السر كأن يكون فيه تزكية له من كرامة أو منقبة أو نحو ذلك وإلى ما يكره مطلقا وقد يحرم وهو الذي أشار إليه بن بطال وقد يجب كأن يكون فيه ما يجب ذكره كحق عليه كان يعذر بترك القيام به فيرجى بعده إذا ذكر لمن يقوم به عنه ان يفعل ذلك

”Sebagian ulama mengatakan : ’Sepertinya rahasia itu khusus berkaitan dengan istri-istri Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Kalau tidak, andaikan itu tentang ilmu, tidak pantas bagi Anas untuk menyembunyikannya’. Ibnu Baththal mengatakan : ’Yang dipegangi oleh ahli ilmu adalah bahwa menceritakan rahasia itu tidak diperbolehkan jika menimbulkan kemudlaratan bagi orangnya. Mayoritas mereka mengatakan : Apabila dia telah meninggal, maka tidak harus menyembunyikannya sebagaimana keharusan menyembunyikan ketika masih hidup, kecuali jika rahasia itu di dalamnya ada perkara-perkara yang mengandung kerendahan’. Aku (Ibnu Hajar) katakan : Yang lebih jelas (dan tepat) adalah memperinci perkara tersebut, yaitu :

1. Perkara yang diperbolehkan dan terkadang disukai penyebutannya walaupun si pemilik rahasia tidak menyukainya. Seperti misal, jika rahasia itu mengandung pujian kepadanya karena kemuliaan atau perbuatannya baik atau yang semisal dengan itu.

2. Perkara yang dibenci secara mutlak dan mungkin diharamkan, dan inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Baththal.

3. Bahkan bisa jadi diwajibkan apabila dalam rahasia itu ada sesuatu yang wajib disebutkan. Misalnya hak yang harus dipenuhinya, tetapi ia terhalang (dengan sesuatu) sehingga tidak menunaikannya. Kemudian setelah ia meninggal, ada orang yang mau menunaikan hak itu apabila rahasia itu diceritakan” [Fathul-Bari, 11/82].

Jadi, jika rahasia itu mengandung satu pujian, kebaikan, ilmu, atau hak yang harus ditunaikan; maka boleh – dan bahkan bisa menjadi wajib – untuk disampaikan setelah meninggalnya si pemilik rahasia. Namun jika rahasia itu berkaitan dengan aib, hubungan pribadi suami istri, atau hal-hal yang rendah yang tidak membawa maslahat jika disampaikan – atau bahkan membawa kemudlaratan - , maka rahasia tersebut tidak boleh untuk disampaikan. Wallaahu a’lam.

Demikianlah sedikit uraian yang membahas kejujuran dari ”sisi yang lain”. Semoga ada manfaatnya.

PENJELASAN TENTANG HUKUM SIHIR


Allah ta’ala berfirman :

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلا يَنْفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” [QS. Al-Baqarah : 102].

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قالت: سَحَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَهُودِيٌّ مِنْ يَهُودِ بَنِي زُرَيْقٍ يُقَالُ لَهُ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَتْ: حَتَّى كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا يَفْعَلُهُ، حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ أَوْ ذَاتَ لَيْلَةٍ دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ دَعَا ثُمَّ دَعَا، ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ: " أَشَعَرْتِ أَنَّ اللَّهَ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ؟ "، جَاءَنِي رَجُلَانِ، فَقَعَدَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ، فَقَالَ: الَّذِي عِنْدَ رَأْسِي لِلَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ أَوِ الَّذِي عِنْدَ رِجْلَيَّ لِلَّذِي عِنْدَ رَأْسِي مَا وَجَعُ الرَّجُلِ، قَالَ: مَطْبُوبٌ، قَالَ: مَنْ طَبَّهُ؟، قَالَ: لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ، قَالَ: فِي أَيِّ شَيْءٍ؟، قَالَ: فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ، قَالَ: وَجُفِّ طَلْعَةِ ذَكَرٍ، قَالَ: فَأَيْنَ هُوَ؟، قَالَ: فِي بِئْرِ ذِي أَرْوَانَ، قَالَتْ: فَأَتَاهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ، ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ: " وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ، وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ "، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا أَحْرَقْتَهُ؟، قَالَ: " لَا، أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِي اللَّهُ، وَكَرِهْتُ أَنْ أُثِيرَ عَلَى النَّاسِ شَرًّا، فَأَمَرْتُ بِهَا فَدُفِنَتْ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari Hisyaam, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah disihir oleg seorang laki-laki Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Labiid bin Al-A’sham. (Dalam sihir tersebut), Terbayangkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan sesuatu, padahal tidak melakukannya. Hingga pada suatu hari atau suatu malam, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa, lalu berdoa, doa, dan berdoa; dan kemudian bersabda : “Wahai ‘Aaisyah, apakah engkau mengetahui bahwa Allah telah memberi fatwa atas apa yang aku minta fatwa kepada-Nya ?. Telah datang kepadaku dua orang laki-laki, lalu salah satu di antara keduanya duduk di dekat kepalaku dan yang lain di dekat kedua kakiku. Laki-laki yang di dekat kepalaku berkata kepada laki-laki yang ada di dekat dua kakiku – atau laki-laki yang di dekat kedua kakiku berkata kepada laki-laki yang ada di kepalaku - : ‘Sakit apa laki-laki ini ?’. Temannya menjawab : ‘Disihir’. Laki-laki itu bertanya : ‘Siapa yang telah menyihirnya ?’. Temannya menjawab : ‘Labiib bin Al-A’sham’. Laki-laki itu berkata : ‘Pada apa ia berada ?’. Temannya menjawab : ‘Pada sisir, rambut, dan serbuk sari kurma jantan’. Laki-laki itu bertanya : ‘Dimanakah ia berada ?’. Temannya menjawab : ‘Di sumur Dzu-Arwaan”. ‘Aaisyah berkata : “Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama para shahabatnya. Kemudian beliau datang dan berkata : ‘Wahai ‘Aaisyah, demi Allah, seakan-akan airnya seperti celupan daun hinaa, dan kepala kurmanya seperti kepala syaithaan’. Aku (‘Aaisyah) berkata : ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau membakarnya ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak. Adapun aku, sungguh Allah telah menyembuhkanku, dan aku tidak suka menimpakan kejelekan pada manusia. Lalu aku perintahkan untuk menguburnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2189].

حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ أَبِي الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ "، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: " الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ "

Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal, dari Tsaur bin Zaid, dari Abul-Ghaits, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab : “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 89].

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُسَدَّدٌ الْمَعْنَى، قَالَا: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الأَخْنَسِ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ، اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ "

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Musaddad secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Ubaidullah bin Al-Akhnas, dari Al-Waliid bin ‘Abdillah, dari Yuusuf bin Maahak, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa mempelajari ilmu nujuum (perbintangan), sungguh ia telah mempelajari sebagian dari (ilmu) sihir. Bertambah dari ilmu sihir apa yang bertambah dari ilmu nujuum” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3905; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud, 2/473].

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :

أَنَّ السِّحْرَ ثَابِتٌ، وَحَقِيقَتُهُ مَوْجُودَةٌ، اتَّفَقَ أَكْثَرُ الأُمَمِ مِنَ الْعَرَبِ، وَالْفُرْسِ، وَالْهِنْدِ، وَبَعْضِ الرُّومِ عَلَى إِثْبَاتِهِ، وَهَؤُلاءِ أَفْضَلُ سُكَّانِ أَهْلِ الأَرْضِ، وَأَكْثَرُهُمْ عِلْمًا وَحِكْمَةً، وَقَدْ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ، وَأَمَرَ بِالاسْتِعَاذَةِ مِنْهُ، فَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ: وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ، وَوَرَدَ فِي ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَارٌ لا يُنْكِرُهَا إِلا منْ أَنْكَرَ الْعِيَانَ وَالضَّرُورَةَ، وَفَرَّعَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا يَلْزَمِ السَّاحِرِ مِنَ الْعُقُوبَةِ، وَمَا لا أَصْلَ لَهُ لا يَبْلُغُ هَذَا الْمَبْلَغُ فِي الشُّهْرَةِ وَالاسْتِفَاضَةِ، فَنَفْيُ السِّحْرِ جَهْلٌ، وَالرَّدُّ عَلَى منْ نَفَاهُ لَغْوٌ وَفَضْلٌ.

“Bahwasannya sihir itu tsaabit, hakekatnya benar-benar ada. Kebanyakan umat dari bangsa ‘Arab, Persia, India, dan sebagian bangsa Romawi telah bersepakat dalam penetapannya. Mereka semua itu adalah penduduk bumi yang utama, dan paing banyak mempunyai ilmu dan hikmah. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Mereka mengajarkan sihir kepada manusia’ (QS. Al-Baqarah : 102), dan memerintahkan untuk meminta perlindungan darinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul’(QS. Al-Falaq : 4). Dan telah datang riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu (sihir) dimana tidak ada yang mengingkarinya, kecuali orang yang mengingkari sesuatu yang jelas dan aksiomatik. Para fuqahaa’ telah menyebutkan beberapa bentuk hukuman yang mesti dijatuhkan kepada tukang sihir. Sesuatu yang tidak ada asalnya biasanya tidak dapat terkenal dan tersebar luas (dalam pembicaraannya). Sehingga menafikkan keberadaan sihir adalah kebodohan, dan membantah orang yang menafikkannya adalah kesia-siaan belaka” [Syarhus-Sunnah, 12/187-188].

Al-Maziiriy rahimahullah berkata :

وجمهور علماء الأمة على اثبات السحر وأن له حقيقة كحقيقة غيره من الأشياء الثابتة خلافا لمن أنكر ذلك ونفى حقيقته واضاف ما يقع منه إلى خيالات باطلة لاحقائق لها وقد ذكره الله تعالى فى كتابه وذكر أنه مما يتعلم وذكر ما فيه اشارة إلى أنه مما يكفر به وأنه يفرق بين المرء وزوجه وهذا كله لا يمكن فيما لاحقيقة له وهذا الحديث أيضا مصرح باثباته وأنه أشياء دفنت وأخرجت وهذا كله يبطل ما قالوه فإحالة كونه من الحقائق محال

“Jumhur ulama umat menetapkan keberadaan sihir dan ia mempunyai hakekat sebagaimana hakekat dari perkara-perkara lain yang telah tetap. Berbeda halnya dengan orang yang mengingkarinya dan menafikkan hakekatnya, dimana mereka menyandarkan apa yang terjadi dari sihir sebagai khayalan/halusinasi belaka, tanpa hakekat. Allah ta’ala telah menyebutkan dalam kitab-Nya dan menyebutkan bahwasannya sihir termasuk sesuatu yang dapat dipelajari. Dan Allah pun menyebutkan bahwa sihir merupakan perkara yang dapat mengkafirkan pelakunya, dan ia dapat memisahkan pasangan suami istri. Semuanya ini tidaklah mungkin jika tidak ada hakekatnya. Dan hadits ini (yaitu dalam bab sihir) juga menegaskan tentang penetapannya dan ia merupakan sesuatu yang terkubur dan kemudian muncul kembali. Dan semuanya ini membatalkan apa yang mereka katakan. Oleh karena itu, meniadakan keberadaan hakekatnya adalah mustahil...” [Syarh Shahih Muslim lin-Nawaawiy, 4/174].

Hukum Sihir

Sulaimaan bin ‘Abdillah rahimahullah berkata :

السحر محرم في جميع أديان الرسل عليهم السلام، كما قال تعالى : وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى

“Sihir diharamkan dalam seluruh agama yang dibawa para Rasul ‘alaihimis-salaam, sebagaimana firman Allah ta’ala :‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (QS. Thaha : 69)” [Taisirul-‘Aziizil-Hamiid, hal. 386].

Para ulama sepakat bahwa mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan sihir adalah haram, dan ia termasuk di antara dosa-dosa besar (al-kabaair). Kaum muslimin juga sepakat bahwa sihir tidaklah muncul kecuali dari orang-orang fasiq [Mausu’ah Al-Ijmaa’ fil-Fiqhil-Islaamiy oleh Sa’diy Abu Jaib, hal. 554 no. 1910-1911].

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang kekafiran pelaku sihir.

Pertama; Abu Haniifah, Maalik, Ahmad dalam satu riwayat, dan sekelompok salaf berpendapat akan kekafiran pelaku sihir secara mutlak. Mereka berdalil dengan firman Allahta’ala :

وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا

“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir)”[QS. Al-Baqarah : 102].

Sisi pendalilan : Allah ta’ala telah menamai sihir dalam ayat di atas dengan kekafiran [Tafsir Al-Qurthubiy, 2/47].

Kedua; Asy-Syaafi’iy, Ahmad dalam satu riwayat, dan Daawud Adh-Dhaahiriy merinci keadaan pelaku sihir tersebut. Apabila pelaku sihir itu melakukan sesuatu yang mengkafirkan seperti peribadahan kepada syaithaan dan sejenisnya selain Allah, maka kafir. Jika tidak, maka tidak kafir. Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :

فَيُقَالُ لِلسَّاحِرِ: صِفِ السِّحْرَ الَّذِي تَسْحَرُ بِهِ، فَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامَ كُفْرٍ صَرِيحٍ اسْتُتِيبَ مِنْهُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلَّا قُتِلَ، وَأُخِذَ مَالُهُ فَيْئًا، وَإِنْ كَانَ مَا يَسْحَرُ بِهِ كَلَامًا لَا يَكُونُ كُفْرًا، وَكَانَ غَيْرَ مَعْرُوفٍ، وَلَمْ يَضُرَّ بِهِ أَحَدًا نُهِيَ عَنْهُ، فَإِنْ عَادَ عُزِّرَ، وَإِنْ كَانَ يَعْلَمُ أَنَّهُ يَضُرُّ بِهِ أَحَدًا مِنْ غَيْرِ قَتْلٍ، فَعَمَدَ أَنْ يَعْمَلَهُ عُزِّرَ

“Dan dikatakan kepada pelaku sihir : ‘Sifatkan sihir yang engkau menyihir dengannya’. Apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan kufur yang jelas, maka ia diminta bertaubat. Jika ia bertaubat, taubatnya diterima; dan jika tidak, ia dibunuh, diambil hartanya sebagai fai’. Namun apabila sesuatu yang ia pakai untuk menyihir berupa perkataan yang tidak mengandung kekufuran, tidak ma’ruuf, dan tidak menyebabkan bahaya bagi seseorang, maka ia dilarang darinya. Jika ia mengulangi, ia dihukum ta’zir. Jika ia mengetahui bahwasannya sihir itu menyebabkan bahaya bagi orang lain tanpa membunuhnya, lalu ia sengaja melakukannya, maka ia dihukum ta’zir” [Al-Umm, 1/256-257].

Dalil yang dipakai oleh pendapat kedua adalah perbuatan ‘Aaisyah yang tidak membunuh budak wanita yang menyihirnya karena menginginkan kemerdekaannya. Atsar ini diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 10/183 dengan sanad shahih.

Yang raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat kedua yang memerincinya. Seandainya perbuatan sihir yang dilakukan budak wanitanya itu termasuk sihir yang mengandung kesyirikan (akbar), niscaya ‘Aaisyah tidak akan meninggalkan hukum untuk membunuhnya (karena ia telah murtad).

Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata :

التحقيق في هذه المسألة هو التفصيل. فإن كان السحر مما يعظم فيه غير الله كالكواكب والجنّ وغير ذلك مما يؤدي إلى الكفر فهو كفر بلا نزاع، ومن هذا النوع سحر هاروت وماروت المذكور في سورة "البقرة" فإنه كفر بلا نزاع. كما دل عليه قوله تعالى: {وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ} ، وقوله تعالى: {وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ} ، وقوله: {وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ} ، وقوله تعالى: {وَلا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى}, كما تقدّم إيضاحه. وإن كان السحر لا يقتضي الكفر كالاستعانة بخواص بعض الأشياء من دهانات وغيرها فهو حرام حرمة شديدة ولكنه لا يبلغ بصاحبه الكفر. هذا هو التحقيق إن شاء الله تعالى في هذه المسألة التي اختلف فيها العلماء.

“Dan tahqiiq dalam permasalahan ini adalah adanya perincian. Apabila sihir tersebut termasuk pengagungan terhadap selain Allah seperti pengagungan kepada bintang, jin, dan lainnya yang sampai pada derajat kekafiran, maka hukumnya kafir tanpa perselisihan. Dan yang termasuk sihir macam ini adalah sihir Haaruut dan Maaruut yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah, maka ia adalah kufur tanpa perselisihan. Sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya ta’ala : ‘Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia’ (QS. Al-Baqarah : 102); dan firman-Nya ta’ala : ‘Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’(QS. Al-Baqarah : 102); dan firman-Nya ta’ala : ‘Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang’ (QS. Thaha : 69), sebagaimana telah lalu penjelasannya. Dan bila sihir tersebut tidak menuntut adanya kekafiran seperti meminta bantuan pada kekhususan sebagian benda semisal cat atau selainnya, maka ia haram dengan keharaman yang keras, akan tetapi pelakunya tidak sampai pada kekafiran. Inilah tahqiq, insya Allah ta’ala, dalam permasalahan ini yang diperselisihkan para ulama” [Adlwaaul-Bayaan, 5/50].

Hukuman Bagi Penyihir

Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman seseorang yang telah terbukti melakukan sihir, dan ini kembali pada pokok perbedaan pendapat hukum kafir tidaknya pelaku sihir di atas. Jika pelaku sihir tersebut melakukan sihir yang tidak mengandung kekufuran, maka ia tidak dijatuhi hukuman hadd bunuh, akan tetapi dijatuhi hukum ta’zir. Kecuali jika sihir yang dilakukan itu menyebabkan kematian seseorang, maka ditegakkan hadd bunuh kepadanya.

Jika sihir yang dilakukannya itu mengandung kekafiran (yang menyebabkannya kafir), maka dijatuhi hukuman hadd bunuh atas kekafirannya itu. Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :

واختلف الفقهاء في حكم الساحر المسلم والذمي، فذهب مالك إلى أن المسلم إذا سحر بنفسه بكلام يكون كفرا يقتل ولا يستتاب ولا تقبل توبته، لأنه أمر يستسر به كالزنديق والزاني، ولأن الله تعالى سمى السحر كفرا بقوله: {وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ} وهو قول أحمد بن حنبل وأبي ثور وإسحاق والشافعي وأبي حنيفة

“Dan para fuqahaa’ telah berselisih pendapat tentang hukum pelaku sihir muslim dan dzimmiy. Maalik berpendapat apabila ia berbuat sihir sendiri dengan perkataan yang mengandung kekufuran, maka ia dibunuh tanpa dimintai bertaubat terlebih dahulu, (dan seandainya bertaubat) tidak diterima taubatnya; karena ia (sihir) merupakan perkara yang dilakukan dengan senang hati seperti orang zindiiq dan pezina. Dan karena Allah ta’alamenamakan sihir dengan kekufuran dengan firman-Nya : ‘Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan : Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’ (QS. Al-Baqarah : 102). Hal itu merupakan pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Ishaaq, Asy-Syaafi’iy, dan Abu Haniifah” [Tafsir Al-Qurthubiy, 2/47-48].

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: ثنا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَبُو مَعْمَرٍ الْقَطِيعِيُّ، ثنا هُشَيْمٌ، ثنا خَالِدٌ الْحَذَّاءُ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ النَّهْرِيِّ، " أَنَّ سَاحِرًا كَانَ يَلْعَبُ عِنْدَ الْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ، فَكَانَ يَأْخُذُ السَّيْفَ فَيَذْبَحُ نَفْسَهُ، وَيَعْمَلُ كَذَا، وَلا يَضُرُّهُ، فَقَامَ جُنْدُبُ إِلَى السَّيْفِ فَأَخَذَهُ، فَضَرَبَ عُنُقَهُ، ثُمَّ قَرَأَ: أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ".

Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Ahmad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim Abu Ma’mar Al-Qathii’iy : Telah menceritakan kepada kami Husyaim : Telah menceritakan kepada kami Khaalid Al-Kadzdzaa’, dari Abu ‘Utsmaan An-Nahriy : Bahwasannya ada seorang penyihir yang sedang bermain-main di sisi Al-Waliid bin ‘Uqbah. Penyihir itu memegang sebilah pedang, lalu menyembelih dirinya sendiri, namun sama sekali tidak melukainya.Berdirilah Jundab mengambil pedang, lalu memukulkan ke lehernya. Kemudian ia membaca ayat : ‘Maka, apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya ?’ (QS. Al-Anbiyaa’ : 3)”  [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim 1/471-472 no. 1594 dengan sanad shahih lemah karena Khaalid tidak pernah mendengar riwayat dari Abu 'Utsmaan An-Nahdiy sebagaimana dikatakan oleh Ahmad].

حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، سَمِعَ بَجَالَةَ، يُحَدِّثُ عَمْرَو بْنَ أَوْسٍ، وَأَبَا الشَّعْثَاءِ، قَالَ: كُنْتُ كَاتِبًا لِجَزْءِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَمِّ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ إِذْ جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ اقْتُلُوا كُلَّ سَاحِرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَ كُلِّ ذِي مَحْرَمٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَانْهَوْهُمْ عَنِ الزَّمْزَمَةِ، فَقَتَلْنَا فِي يَوْمٍ ثَلَاثَةَ سَوَاحِرَ، وَفَرَّقْنَا بَيْنَ كُلِّ رَجُلٍ مِنْ الْمَجُوسِ وَحَرِيمِهِ فِي كِتَابِ اللَّهِ

Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru bin Diinaar, ia mendengar Bajaalah menceritakan kepada ‘Amru bin Aus dan Abusy-Sya’tsaa’; ia (Bajaalah) berkata : “Dahulu aku adalah seorang sekretaris Jaz` bin Mu'aawiyah paman Al Ahnaf bin Qais. Tiba-tiba datang kepada kami surat ‘Umar satu tahun sebelum ia meninggal. Ia berkata : ‘Bunuhlah seluruh tukang sihir, dan pisahkan antara setiap orang yang memiliki mahram dari kalangan orang-orang Majusi, dan laranglah mereka dari zamzamah'. Maka kami dalam sehari telah membunuh tiga orang tukang sihir, dan memisahkan antara setiap laki-laki majusi dan mahramnya dalam kitab Allah....” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3043; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 2/260].

SEBERAPAPUN UMUR MANUSIA TETAP AKAN MENGALAMI KEMATIAN


Sebuah kejadian penuh hikmah dan pelajaran di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa amal seseorang akan meningkatkan derajatnya dan juga menjelaskan bahwa hari-hari dalam kehidupan adalah kesempatan untuk manambah amalan. Marilah kita perhatikan hadits di bawah ini:

وعَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَدَّادٍ أَنَّ نَفَراً مِنْ بَنِى عُذْرَةَ ثَلاَثَةً أَتَوُا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمُوا – قَالَ – فَقَالَ النَّبِىُّ n : مَنْ يَكْفِنِيهِمْ. قَالَ طَلْحَةُ أَنَا. قَالَ فَكَانُوا عِنْدَ طَلْحَةَ فَبَعَثَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْثاً فَخَرَجَ فِيهِ أَحَدُهُمْ فَاسْتُشْهِدَ – قَالَ – ثُمَّ بَعَثَ بَعْثاً فَخَرَجَ فِيهِ آخَرُ فَاسْتُشْهِدَ – قَالَ – ثُمَّ مَاتَ الثَّالِثُ عَلَى فِرَاشِهِ قَالَ طَلْحَةُ فَرَأَيْتُ هَؤُلاَءِ الثَّلاَثَةَ الَّذِينَ كَانُوا عِنْدِى فِى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ الْمَيِّتَ عَلَى فِرَاشِهِ أَمَامَهُمْ وَرَأَيْتُ الَّذِى اسْتُشْهِدَ أَخِيراً يَلِيهِ وَرَأَيْتُ الَّذِى اسْتُشْهِدَ أَوَّلَهُمْ آخِرَهُمْ – قَالَ – فَدَخَلَنِى مِنْ ذَلِكَ – قَالَ – فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ – قَالَ – فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَمَا أَنْكَرْتَ مِنْ ذَلِكَ لَيْسَ أَحَدٌ أَفْضَلَ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَمِّرُ فِى الإِسْلاَمِ لِتَسْبِيحِهِ وَتَكْبِيرِهِ وَتَهْلِيلِهِ »

Dari Abdullâh bin Syaddad bahwa ada tiga orang dari suku Bani ‘Udzrah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka masuk Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang mau membantuku untuk mencukupi kebutuhan mereka?” Thalhah berkata, “Aku”. Maka mereka bersama Thalhah.
Suatu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan, salah seorang dari mereka (tiga orang tersebut) keluar dalam pasukan itu, lalu dia mati syahid.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan lagi, salah seorang yang lain (dari tiga orang tersebut) ikut keluar dalam pasukan itu, lalu dia mati syahid.
Kemudian orang yang ketiga mati di atas tempat tidurnya. Thalhah berkata, “Aku bermimpi, tiga orang yang dahulu bersamaku itu berada dalam surga. Aku melihat orang yang mati di atas tempat tidurnya itu berada di depan mereka. Dan aku lihat orang yang mati syahid terakhir mengiringinya. Aku juga melihat orang yang mati syahid pertama kali berada paling belakang. Maka hatiku mengingkari hal itu. Lalu saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku ceritakan hal itu kepada beliau, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang engkau ingkari dari hal itu ? Tidak ada seorangpun yang lebih utama di sisi Allâh daripada seorang Mukmin yang diberi umur panjang dalam agama Islam untuk bertasbîh, bertakbîr, dan bertahlîl untukNya”. [HR. Ahmad dan Abu Ya’ala].

Lihatlah bagaimana seorang Muslim yang mati di atas kasurnya lebih tinggi derajatnya di surga dibandingkan orang-orang yang mati syahid sebelumnya ? Ini semua dengan sebab iman dan amal shalihnya dalam kehidupannya yang lebih panjang dari kedua saudaranya itu, walaupun hanya beberapa waktu! Allâh Maha Besar dengan karunia-Nya.

KISAH DUA BERSAUDARA DARI SUKU BALIY

Ada kisah lain lagi. Kisah dua bersaudara yang masuk Islam bersama-sama, lalu keduanya meraih khusnul khatimah di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala , namun berbeda derajatnya dengan sebab umur yang berbeda!

عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ بَلِىٍّ قَدِمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ إِسْلاَمُهُمَا جَمِيعًا فَكَانَ أَحَدُهُمَا أَشَدَّ اجْتِهَادًا مِنَ الآخَرِ فَغَزَا الْمُجْتَهِدُ مِنْهُمَا فَاسْتُشْهِدَ ثُمَّ مَكَثَ الآخَرُ بَعْدَهُ سَنَةً ثُمَّ تُوُفِّىَ. قَالَ طَلْحَةُ فَرَأَيْتُ فِى الْمَنَامِ بَيْنَا أَنَا عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ إِذَا أَنَا بِهِمَا فَخَرَجَ خَارِجٌ مِنَ الْجَنَّةِ فَأَذِنَ لِلَّذِى تُوُفِّىَ الآخِرَ مِنْهُمَا ثُمَّ خَرَجَ فَأَذِنَ لِلَّذِى اسْتُشْهِدَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَىَّ فَقَالَ ارْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ يَأْنِ لَكَ بَعْدُ. فَأَصْبَحَ طَلْحَةُ يُحَدِّثُ بِهِ النَّاسَ فَعَجِبُوا لِذَلِكَ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .وَحَدَّثُوهُ الْحَدِيثَ فَقَالَ « مِنْ أَىِّ ذَلِكَ تَعْجَبُونَ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا كَانَ أَشَدَّ الرَّجُلَيْنِ اجْتِهَادًا ثُمَّ اسْتُشْهِدَ وَدَخَلَ هَذَا الآخِرُ الْجَنَّةَ قَبْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « أَلَيْسَ قَدْ مَكَثَ هَذَا بَعْدَهُ سَنَةً ». قَالُوا بَلَى. قَالَ « وَأَدْرَكَ رَمَضَانَ فَصَامَهُ وَصَلَّى كَذَا وَكَذَا مِنْ سَجْدَةٍ فِى السَّنَةِ ». قَالُوا بَلَى قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَمَا بَيْنَهُمَا أَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ

Dari Thalhah bin ‘Ubaidillâh bahwa dua laki-laki dari Baliy (cabang suku Qudhâ’ah-pen) datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keduanya masuk Islam bersama-sama. Salah seorang dari keduanya lebih giat daripada yang lain. Orang yang sangat giat dari keduanya itu ikut berperang lalu mati syahid. Sedangkan yang lainnya hidup setahun setelahnya, lalu meninggal dunia. Thalhah berkata, “Aku bermimpi, ketika aku sedang berada di pintu surga, aku melihat keduanya. Tiba-tiba ada seseorang keluar dari dalam surga, lalu mengidzinkan orang yang mati terakhir dari keduanya (untuk masuk surga lebih dahulu, lalu orang itu masuk lagi ke dalam surga-pen). Lalu dia keluar lagi dari surga, lalu mengidzinkan orang yang mati syahid (untuk masuk surga -pen). Lalu dia menemuiku kemudian berkata, “Kembalilah, karena sesungguhnya belum datang waktu untukmu (boleh masuk surga)”. Besoknya Thalhah menceritakan kepada orang-orang dan mereka keheranan terhadapnya. Hal itu sampai kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka menyampaikan cerita itu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari sisi mana kamu heran?” Mereka menjawab, “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , orang yang satu ini lebih giat dari yang lain, lalu dia juga mati syahid, tetapi orang yang terakhir (mati) itu masuk surga lebih dahulu”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah dia (orang yang terakhir mati itu) masih hidup setahun setelahnya?” Mereka menjawab, “Ya”. Beliau bersabda lagi, “Dan (bukankah) dia telah menemui bulan Ramadhân lalu berpuasa Ramadhân, dan dia telah melakukan shalat sekian banyak sujud di dalam setahun?” Mereka menjawab, “Ya”. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara keduanya lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi”. [HR. Ibnu Mâjah] •

Lihatlah bagaimana amalan setahun manjadikan jarak keduanya melebihi jaraka antara langit dan bumi!

EMPAT PULUH HARI MERUBAH PERSEPSI

Ada juga kisah dua bersaudara yang lain, hanya beda 40 hari jarak kematiannya, namun mengubah persepsi para Sahabat tentang siapa yang lebih utama dari keduanya.

عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ قَالَ كَانَ رَجُلَانِ أَخَوَانِ فَهَلَكَ أَحَدُهُمَا قَبْلَ صَاحِبِهِ بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً فَذُكِرَتْ فَضِيلَةُ الْأَوَّلِ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ n فَقَالَ أَلَمْ يَكُنْ الْآخَرُ مُسْلِمًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَانَ لَا بَأْسَ بِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُدْرِيكُمْ مَا بَلَغَتْ بِهِ صَلَاتُهُ إِنَّمَا مَثَلُ الصَّلَاةِ كَمَثَلِ نَهْرٍ غَمْرٍ عَذْبٍ بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَقْتَحِمُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ فَمَا تَرَوْنَ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ مَا بَلَغَتْ بِهِ صَلَاتُهُ

Dari ‘Âmir bin Sa’ad bin Abi Waqqâsh, dari bapaknya, dia berkata, “Dahulu ada dua laki-laki bersaudara, salah satu dari kedunya meninggal dunia 40 hari sebelum lainnya. Lalu keutamaan orang yang meninggal pertama itu disebut di dekat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bukankah yang lain juga seorang Muslim?” Mereka menjawab, “Ya, wahai Rasûlullâh, dia juga lumayan.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu, derajat yang dia raih dengan sebab shalatnya ? Sesungguhnya perumpamaan shalat adalah seperti sungai yang melimpah airnya lagi segar yang mengalir di depan pintu seseorang dari kamu, dia menceburkan diri (mandi) di dalamnya sehari lima kali. Apakah kamu mengira hal itu masih menyisakan dakinya? Sesungguhnya kamu tidak tahu derajat yang dia raih dengan sebab shalatnya. [HR. Mâlik, no. 600 dan ini lafazhnya; Ahmad; Nasai; dan Ibnu Khuzaimah].

Marilah kita perhatikan, bagaimana 40 hari yang dilalui oleh orang tersebut bisa membalikkan anggapan para sahabat Nabi yang menyangka bahwa saudaranya yang meninggal lebih dahulu lebih baik baginya! Ini adalah dengan sebab umur dan amal dengan karunia dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semoga Allâh menganugerahkan umur panjang dan selalu memberikan taufiq kepada kita untuk mengisi umur kita dengan ketaatan dan keberkahan. Hanya Allâh Yang Memberi petunjuk.

Bagaimanapun panjangnya umur, pasti akan mati

{كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ} [آل عمران: 185]

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. [Ali Imran:185] [Al-Anbiyaa':35] [Al-'Ankabuut:57]

Dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُرْسِلَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَلَمَّا جَاءَهُ صَكَّهُ فَفَقَأَ عَيْنَهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَبِّهِ فَقَالَ: أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ، قَالَ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ: ارْجِعْ إِلَيْهِ، فَقُلْ لَهُ: يَضَعُ يَدَهُ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ، فَلَهُ، بِمَا غَطَّتْ يَدُهُ بِكُلِّ شَعْرَةٍ، سَنَةٌ، قَالَ: أَيْ رَبِّ ثُمَّ مَهْ؟ قَالَ: ثُمَّ الْمَوْتُ، قَالَ: فَالْآنَ [صحيح مسلم]

Malaikat maut diutus kepada Musa'alaihissalam, ketika malaikat datang, Musa memukulnya sampai matanya tercabut. Lalu malaikat maut kembali kepada Tuhannya dan berkata: Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak ingin mati!

Kemudian Allah megembalikan matanya dan berkata: Kembalilah kepadanya dan katakan kepadanya untuk metakkan tangannya di atas kulit sapi, maka untuknya setiapa helai rambut yang tertutupi oleh tangannya satu tahun.

Musa berkata: Ya Rabb, kemudian setelah itu apa?

Allah menjawab: Kemudian mati!

Musa berkata: Kalau begitu, sekarang saja. [Sahih Bukhari dan Muslim]

Hadits ini bukan berarti larangan meminta panjang umur atau cala umur panjang, karena awalnya nabi Musa pun menginginkannya dan Allah hendak mengabulkannya tanpa celaan.

Akan tetapi nabi Musa merasa kehidupan akhiratnya kelak lebih berharga dari tambahan kehidupan dunia.

Sedangkan kita? Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan akhirat kita nanti.

Dari Abu Sa'id Al-Khudriy radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam khutbah di depang para sahabat:

«إِنَّ اللَّهَ خَيَّرَ عَبْدًا بَيْنَ الدُّنْيَا وَبَيْنَ مَا عِنْدَهُ، فَاخْتَارَ ذَلِكَ العَبْدُ مَا عِنْدَ اللَّهِ» [صحيح البخاري]

"Sesungguhnya Allah memberi pilihan kepada seorang hamba antara kehidupan di dunia dan kehidupan di sisi-Nya, maka hamba tersebut memilih kehidupan di sisi Allah"

Maka Abu Bakar - radiyallahu 'anhu- menangis, dan kami heran dengan tangisannya padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menceritakan tentang seorang hamba yang diberi pilihan. Akan tetapi ternyata hamba yang dimaksud itu adalah Rasulullah, dan Abu Bakar adalah yang paling paham dari kami. [Sahih Bukhari]

Jangan takut mati demi kebaikan

Dari Tsauban radiyallahu 'anhu; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا»

"Sudah dekat masanya umat-umat (kafir) saling mengajak untuk membinasakan kalian sebagaimana orang yang mau makan saling mengajak ke hidangannya".

Seorang bertanya: Apakah karena kami sedikit pada waktu itu?

Rasulullah menjawab:

«بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ، وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ، وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ، وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ»

"Bahkan kalian pada waktu itu banyak akan tetapi kalian lemah seperti buih di lautan, dan Allah mencabut dari hati musuh-musuh kalian rasa gentar kepadamu dan Allah menamkan pada hati kalian sifat "Al-Wahan"."

Seseorang bertanya: Ya Rasulullah, apa itu "Al-Wahan"?

Rasulullah menjawab:

«حُبُّ الدُّنْيَا، وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ» [سنن أبي داود: صحيح]

"Cinta dunia dan takut mati". [Sunan Abu Daud: Sahih]

Dari Aisyah radiyallahu 'anha; Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

«مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، أَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ»

Barangsiapa yang mencintai pertemua dengan Allah maka Allah akan mencintai pertemuan dengannya, dan barangsiapa yang membenci pertemuan dengan Allah maka Allah akan membenci pertemuan dengannya.

Aisyah bertanya: Wahai Nabi Allah, apakah yang dimaksud adalah rasa benci pada kematian?Padahal kami semua benci dengan kematian!

Rasulullah menjawab:

 «لَيْسَ كَذَلِكِ، وَلَكِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا بُشِّرَ بِرَحْمَةِ اللهِ وَرِضْوَانِهِ وَجَنَّتِهِ، أَحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، فَأَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الْكَافِرَ إِذَا بُشِّرَ بِعَذَابِ اللهِ وَسَخَطِهِ، كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، وَكَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ» [صحيح مسلم]

Bukan yang demikian, akan tetapi seorang mukmin jika diberi berita gembira akan rahmat Allah, ridha, dan surga-Nya maka ia mencintai pertemuan dengan Allah. Sedangkan orang kafir jika diberi berita tentang siksaan Allah dan murka-Nya maka ia membenci pertemuan dengan Allah dan Allah pun membenci pertemuan dengannya. [Sahih Muslim]

Ammar bin Yasir radiyallahu 'anhuma berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering membaca do'a ini ...

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ ... الشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ، فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ

"Ya Allah .. sesungguhnya aku meminta kepada-Mu rasa rindu bertemu dengan-Mu tanpa ada kesulitan yang membahayakan, dan tampa ada cobaan yang menyesatkan." [Sahih Ibnu Hibban]

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...