Kamis, 28 Oktober 2021

BERTAMBAHNYA UMUR DENGAN IBADAH


Manusia memiliki fithrah mencintai harta dan menyukai umur yang panjang, bahkan semakin usia bertambah kedua hal tersebut semakin bertambah besar, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ

Anak Adam semakin tua, dan dua perkara semakin besar juga bersamanya: cinta harta dan panjang umur. [HR. Bukhâri, no: 5942, dari Anas bin Mâlik]

KEUTAMAAN UMUR PANJANG DISERTAI KETAATAN

Sesungguhnya panjang umur merupakan modal untuk meraih kedudukan yang tinggi di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Namun jika umur yang panjang dipenuhi dengan keburukan, maka pemiliknya menjadi orang yang paling buruk.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ »

Dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasûlullâh, siapakah manusia yang terbaik?” Beliau menjawab, “Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”. Dia bertanya lagi, “Lalu siapakah orang yang terburuk?” Beliau menjawab, “Orang yang berumur panjang dan buruk amalnya”. [HR. Ahmad; Tirmidzi; dan al-Hâkim]•

Kenapa orang yang panjang umurnya dan baik amalnya merupakan orang terbaik ? Karena orang yang banyak kebaikannya, setiap kali umurnya bertambah maka pahalanya juga bertambah dan derajatnya semakin tinggi. Kesempatan hidupnya merupakan tambahan pahala dengan sebab nilai amalannya yang terus tambah, walaupun hanya sekedar istiqâmah di atas iman. Karena apakah yang lebih besar dari iman di dalam kehidupan ini?

Sebaliknya, seburuk-buruk orang adalah orang yang panjang umurnya dan buruk amalnya, karena waktu dan jam seperti modal bagi pedagang. Seyogyanya, dia menggunakan modalnya dalam perdagangan yang menjanjikan keuntungan. Semakin banyak modal yang diinvestasikan, maka keuntungan yang akan diraihnya juga semakin banyak. Barangsiapa melewatkan hidup untuk kebaikannya maka dia telah beruntung dan sukses. Namun barangsiapa menyia-nyiakan modalnya, dia tidak akan beruntung dan bahkan merugi dengan kerugian yang nyata”. [Lihat Faidhul Qadîr, 3/480]

Di dalam hadits yang lain disebutkan :

وعَنِ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :« أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِكُمْ ». قَالُوا نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ : خِيَارُكُمْ أَطْوَلُكُمْ أَعْمَاراً وَأَحْسَنُكُمْ أَعْمَالاً

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah aku beritahukan kepada kamu tentang orang yang paling baik di antara kamu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Ya wahai Rasûlullâh”. Beliau bersabda, “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling panjang umurnya di antara kamu dan paling baik amalnya”. [HR. Ahmad; Ibnu Hibbân; dan al-Baihaqi] •

Hadits-hadits ini menjelaskan keutamaan panjang umur yang disertai dengan amal yang baik. Syaikh Abdurrauf al-Munâwi  menjelaskan perkara tersebut dengan berkata, “Karena termasuk keadaan seseorang adalah bertambah dan meningkat dari satu kedudukan menuju kedudukan (di atasnya) sehingga mencapai kedudukan kedekatan (kepada Allâh), maka seorang Mukmin yang berusaha mencari bekal untuk akhirat dan berusaha menambah amal shalih tidak layak menginginkan berhentinya dari apa yang dia inginkan itu dengan mengharapkan kematian.” [Faidhul Qadîr, 3/480]

Oleh karena itu seorang Mukmin jangan sampai menyia-nyiakan umur dan waktunya. Hendaklah dia selalu waspada terhadap kehidupannya, umur yang masih ada hendaklah diisi dengan amal sholih. Jika tidak, maka kerugian yang akan didapatkan.

Al-Imaam Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي يَعْقُوبَ الْكِرْمَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَسَّانُ، حَدَّثَنَا يُونُسُ، قَالَ مُحَمَّدٌ هُوَ الزُّهْرِيُّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Ya’quub Al-Kirmaaniy: Telah menceritakan kepada kami Hassaan : Telah menceritakan kepada kami Yuunus : Telah berkata Muhammad – ia adalah Az-Zuhriy - , dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 2067].

Sanad ini hasan, namun shahih dengan keseluruhan jalannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 2/181-182 no. 439 dengan sanad hasan, dengan lafadh :

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَجَلِهِ، فَلْيَتَّقِ اللَّهَ، وَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan ajalnya, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturahim”.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ بْنُ عَبْدِ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْزَمٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا: " إِنَّهُ مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ، فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَحُسْنُ الْجِوَارِ يَعْمُرَانِ الدِّيَارَ، وَيَزِيدَانِ فِي الْأَعْمَارِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad bin ‘Abdil-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihzam, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim: Telah menceritakan kepada kami Al-Qaasim, dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadanya : “Barangsiapa yang diberikan bagian dari kelemah-lembutan, sungguh ia telah diberikan bagian kebaikan dari dunia dan akhirat. Menyambung silaturahim, akhlaq yang baik, dan bertetangga yang baik akan memakmurkan negeri-negeri dan menambah umur-umur” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 6/159].

Sanadnya shahih.

Sebagian orang mendapatkan kesulitan memahami hadits di atas dengan keberadaan dalil yang menafikkan pertambahan umur manusia sebagaimana dibawakan di bawah :

Allah ta’ala berfirman :

وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ

“Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)”[QS. Faathir : 11].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ } أي: ما يعطى بعض النطف من العمر الطويل يعلمه، وهو عنده في الكتاب الأول، { وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ } الضمير عائد على الجنس، لا على العين؛ لأن العين الطويل للعمر في الكتاب وفي علم الله لا ينقص من عمره، وإنما عاد الضمير على الجنس.
قال ابن جرير: وهذا كقولهم: "عندي ثوب ونصفه" أي: ونصف آخر.

“Dan firman-Nya : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’; yaitu : apa yang telah diberikan kepada sebagian nuthfah berupa umur panjang, Allah mengetahuinya dan hal itu di sisi-Nya terdapat dalam catatan yang pertama. Tentang firman-Nya : ‘dan tidak pula dikurangi umurnya’; kata ganti/dlamiir dalam ayat tersebut kembali kepada jenisnya (yaitu umur secara umum), bukan kembali pada umur orang tertentu. Hal itu dikarenakan panjangnya umur dalam Kitaab dan dalam ilmu Allah tidaklah berkurang dari umurnya. Kata ganti itu hanyalah kembali pada jenisnya. Ibnu Jariir berkata : ‘Ini seperti perkataan mereka : Aku punya baju dan setengahnya. Yaitu, setengah bau yang lain” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/538].

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ رُسْتُمَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ " فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ ، قَالَ: فِي أَوَّلِ الصَّحِيفَةِ مَكْتُوبٌ عُمْرُهُ، ثُمَّ يُكْتَبُ بَعْدَ ذَلِكَ ذَهَبَ يَوْمٌ، ذَهَبَ يَوْمَانِ حَتَّى يَأْتِيَ عَلَى أَجَلِهِ "

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Rustum : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdush-Shamad : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Sa’iid bin Jubair radliyallaahu ‘anhu tentang firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’; ia berkata : “Dalam lembaran awal tertulis (panjang) umurnya. Kemudian ditulis setelah itu hilang sehari, hilang dua hari, hingga datang kematiannya” [Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah 3/918-919 no. 452].

Sanadnya shahih. Hammaad bin Salamah mendengar riwayat ‘Athaa’ sebelum berubah hapalannya [Al-Mukhtalithiin hal. 82-84 no. 73 – beserta catatan kaki muhaqqiq-nya]. Muslim berhujjah dengan riwayat ‘Abdush-Shamad dari Hammaad dalam Shahiih-nya.

Allah ta’ala juga berfirman :

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya” [QS. Aali ‘Imraan : 145].

Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقوله: { وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا } أي: لا يموت أحد إلا بقدر الله، وحتى يستوفي المدةَ التي ضربها الله له؛ ولهذا قال: {كِتَابًا مُؤَجَّلا } كقوله { وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلا فِي كِتَابٍ } [فاطر:11] وكقوله { هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلا وَأَجَلٌ مُسَمًّى عِنْدَهُ } [الأنعام:2].

وهذه الآية فيها تشجيع للجُبَناء وترغيب لهم في القتال، فإن الإقدام والإحجام لا يَنْقُص من العمر ولا يزيد فيه كما قال ابن أبي حاتم:
حدثنا العباس بن يزيد العبدي قال: سمعت أبا معاوية، عن الأعمش، عن حبيب بن صُهبان، قال: قال رجل من المسلمين -وهو حُجْرُ بن عَدِيّ-: ما يمنعكم أن تعبُروا إلى هؤلاء العدو، هذه النطفة؟ -يعني دِجْلَة-{ وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلا } ثم أقحم فرسه دجلة فلما أقحم أقحم الناس فلما رآهم العدوّ قالوا: ديوان، فهربوا

“Dan firman-Nya : ‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah’; yaitu : seseorang tidak akan mati kecuali dengan ketentuan/takdir Allah, dan hingga ia memenuhi waktu yang telah Allah tentukan baginya. Oleh karena itu Allah berfirman : ‘sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya’, seperti firman-Nya : ‘Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfudh)’ (QS. Faathir : 11). Dan juga seperti firman-Nya : ‘Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ditentukan (untuk berbangkit) yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya)’ (QS. Al-An’aam : 2).

Ayat ini terdapat dorongan semangat (keberanian) bagi para penakut dan pemberian motivasi bagi mereka untuk berperang, karena maju atau mundurnya dari berperang tidaklah mengurangi atau menambah umur, sebagaimana dikatakan Ibnu Abi Haatim : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Yaziid Al-‘Abdiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Habiib bin Shuhbaan, ia berkata : Ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin – ia adalah Hujr bin ‘Adiy - : “Apa yang menghalangimu menyeberangi sungai Tigris ini menuju musuh-musuh itu ?. ‘Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya”. Setelah itu, ia memacu kudanya menyeberangi sungai Tigris, dan kemudian orang-orang pun mengikutinya. Ketika mereka melihat musuh, mereka berkata : “Diiwaan (lembar catatan)”. Mereka (musuh) pun lari ke belakang [Tafsir Ibni Katsiir, 2/129-130].

Allah ta’ala berfirman :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لا يَعْلَمُهَا إِلا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلا يَعْلَمُهَا وَلا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأرْضِ وَلا رَطْبٍ وَلا يَابِسٍ إِلا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh)” [QS. Al-An’aam : 59].

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal" [QS. At-Taubah : 51].

حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ............"

Telah menceritakan kepadaku Abuth-Thaahir Ahmad bin ‘Amru bin ‘Abdillah bin Sarh : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Haani’ Al-Khaulaaniy, dari Abu ‘Abdirrahmaan Al-Hubuliy, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : Aku mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Allah telah menulis seluruh takdir makhluk limapuluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.......” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2653].

Oleh karena itu, sebagian ulama menafsirkan pertambahan (ziyaadah) umur dalam hadits di awal adalah pertambahan keberkahannya, sehingga usianya penuh dengan amal-amal yang besar.

Namun sebagian ulama lain tetap menafsirkan pertambahan umur itu adalah pertambahan hakiki, dengan penjelasan sebagai berikut :

Sesungguhnya takdir itu ada dua macam. Pertama, taqdir mutlak, yaitu takdir yang tertulis dalam Lauh Mahfudh. Takdir inilah yang dimaksud dalam nash-nash di atas. Kedua, takdir mu’allaq atau muqayyad, yaitu takdir yang tertulis dalam lembaran malaikat yang masih mungkin untuk dihapuskan atau ditetapkan.

Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :

والأجل أجلان: مطلق يعلمه الله، وأجل مقيد، وبهذا يتبين معنى قوله : من سره أن يبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره فليصل رحمه. فإن الله أمر الملك أن يكتب له أجلا، وقال: إن وصل رحمه زدته كذا وكذا، والملك لا يعلم أيزداد أم لا، لكن الله يعلم ما يستقر عليه الأمر، فإذا جاء الأجل لا يتقدم ولا يتأخر

“Ajal itu ada dua macam, yaitu ajal mutlak yang hanya diketahui oleh Allah, dan ajal muqayyad. Dengan demikian menjadi jelas makna sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘barangsiapa yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia menyambung silaturahim’. Sesungguhnya Allah memerintahkan malaikat untuk menuliskan baginya ajal, dan berfirman : ‘Apabila ia menyambung silaturahim akan bertambah sekian dan sekian’. Dan malaikat sendiri tidak mengetahui apakah bertambah ataukah tidak.  Akan tetapi Allah mengetahui apa-apa yang telah Ia tetapkan pada orang tersebut. Apabila datang ajal padanya, maka tidak dapat dimajukan ataupun dimundurkan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/517].

Sebagaimana terdapat dalam riwayat :

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الرَّبِيعِ، حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ الْأَعْمَشِ، عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ، قَالَ: " إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ "

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ar-Rabii’ : Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Al-A’masy, dari Zaid bin Wahb : Telah berkata ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan beliau adalah ash-shaadiqul-mashduuq, bersabda : “Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah semisal itu (yaitu : selama empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging semisal itu (yaitu : selama empat puluh hari). Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara. Dikatakan kepadanya : Tulislah amalnya, rizkinya, ajalnya, celaka atau bahagianya. Kemudian ditiupkan padanya ruh. Sesungguhnya di antara kalian ada melakukan satu amalan hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan satu amalan hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, lalu dia melakukan perbuatan ahli surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3207].

Keterangan perawi:

a.     Al-Hasan bin Ar-Rabii’ bin Sulaimaan Al-Bajaliy Al-Qasriy, Abu ‘Aliy Al-Kuufiy Al-Buuraaniy Al-Hashaar; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 220 H/221 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 238 no. 1251].

b.    Abul-Ahwash, ia adalah : Sallaam bin Saliim Al-Hanafiy, Abul-Ahwash Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagimutqin, shaahibul-hadiits. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 179 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 425 no. 2718].

c.     Al-A’masy, telah lewat keterangan tentangnya.

d.    Zaid bin Wahb Al-Juhhaniy, Abu Sulaimaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi jaliil. Termasuk thabaqah ke-2, dan wafat setelah tahun 80 H atau dikatakan tahun 96 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 356 no. 2172].

أَخْبَرَنَا ابْنُ قُتَيْبَةَ، حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ هُنَيْدَةَ حَدَّثَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَخْلُقَ نَسَمَةً، قَالَ مَلَكُ الأَرْحَامِ مُعْرِضًا: يَا رَبِّ، أَذَكَرٌ أَمْ أُنْثَى؟ فَيَقْضِي اللَّهُ أَمْرَهُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا رَبِّ، أَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيدٌ؟ فَيَقْضِي اللَّهُ أَمْرَهُ، ثُمَّ يَكْتُبُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مَا هُوَ لاقٍ حَتَّى النَّكْبَةَ يُنْكَبُهَا "

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Ibnu Syihaab : Bahwasannya ‘Abdurrahmaan bin Hunaidah telah menceritakan kepadanya, bahwasannya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila Allah hendak menciptakan jiwa, malaikat arhaam berkata : ‘Wahai Rabb, apakah ia laki-laki ataukah perempuan ?’. Maka Allah menetapkan keputusan-Nya. Malaikat itu berkata kembali : ‘Wahai Rabb, apakah ia celakan ataukah bahagia ?’. Maka Allah pun menetapkan keputusan-Nya. Kemudian malaikat tersebut menulis di antara kedua mata jiwa tersebut apa saja yang akan ditemuinya hingga musibah yang akan menimpanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan 14/54 no. 6178; semua perawinya tsiqah kecuali Harmalah bin Yahyaa, seorang yang shaduuq. Hanya saja ia adalah salah seorang perawi yang paling mengetahui hadits Ibnu Wahab, sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’iin dan Al-‘Uqailiy, sehingga sanad riwayat ini shahih].

Diriwayatkan pula secara mauquf dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.

Keterangan perawi :

a.     Muhammad bin Al-Hasan bin Qutaibah bin Zabaan Al-‘Asqalaaniy Al-Lakhamiy; seorang yang tsiqahsebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy [Mishbaahul-Ariib, 3/103 no. 23094].

b.    Harmalah bin Yahyaa bin ‘Abdillah bin Harmalah bin ‘Imraan bin Quraad At-Tajiibiy, Abul-Hafsh Al-Mishriy; seorang yang shaduuq.  Termasuk thabaqah ke-11, lahir tahun 160 H, dan wafat tahun 243 H/244 H. Dipakai oleh Muslim, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 229 no. 1185].

c.     ‘Abdullah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, lahir tahun 125 H, dan wafat tahun 194 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 556 no. 3718].

d.    Ibnu Syihaab, telah lewat keterangan tentangnya.

e.    ‘Abdurrahmaan bin Hunaidah, atau dikatakan : Ibnu Abi Hunaidah, Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-Madaniy; seorang yang tsiqah.  Termasuk thabaqah ke-4, dam dipakai oleh Abu Daawud dalam Al-Qadar [Taqriibut-Tahdziib, hal. 603 no. 4061].

Diriwayatkan pula secara mauquf dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan sanad yang shahih.

Mengomentari hadits-hadits di atas, Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

وبكل حال ، فهذه الكتابةُ التي تُكتب للجنين في بطن أمِّه غيرُ كتابة المقادير السابقة لخلق الخلائقِ المذكورة في قوله تعالى : مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا

“Dan kesimpulannya, penulisan malaikat bagi janin dalam perut ibunya bukanlah penulisan takdir-takdir bagi penciptaan makhluk-makhluk terdahulu yang disebutkan dalam firman-Nya ta’ala : ‘Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudh) sebelum Kami menciptakannya’ (QS. Al-Hadiid : 22)” [Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, hal. 147, tahqiq : Al-Fakhl].

Di kesempatan lain ketika menjelaskan tentang rizki, Syaikhul-Islaam rahimahullah berkata :

الرزق نوعان: أحدهما: ما علمه الله أن يرزقه، فبهذا لا يتغير، والثاني: ما كتبه، وأعلم به الملائكة فهذا يزيد وينقص بحسب الأسباب

“Rizki ada dua macam. Pertama, rizki yang hanya diketahui oleh Allah, ini tidak berubah. Kedua, rizki yang Allah tulis dan Ia beritahukan kepada malaikat. Rizki jenis ini dapat bertambah dan dapat berkurang tergantung sebabnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/540].

الأسباب التي يحصل بها الرزق هي من جملة ما قدره الله وكتبه؛ فإن كان قد تقدم بأن يرزق العبد بسعيه واكتسابه ألهمه السعي والاكتساب، وذلك الذي قدره له بالاكتساب لا يحصل بدون الاكتساب، وما قدره له بغير اكتساب- كموت مورثه- يأتيه بغير اكتساب

“Sebab-sebab yang menghasilkan rizki sendiri termasuk apa-apa yang telah Allah tentukan dan tulis. Seandainya sejak semula Allah menentukan memberikan rizki kepada seorang hamba dengan usaha dan kerja yang dilakukannya, maka Allah akan mengilhamkan kepadanya untuk berusaha dan bekerja. Dan rizki itulah yang Allah tentukan baginya melalui perantaraan usaha dan bekerja; dan ia tidak bisa mendapatkannya tanpa melalui bekerja. Dan rizki yang telah Allah tentukan baginya tanpa melalui bekerja – misalnya dengan kematian ahli warisnya - , maka rizki itu datang kepadanya tanpa bekerja” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 8/540-541].

Dengan penjelasan Syaikhul-Islaam rahimahullah  menjadi jelaslah perkaranya. Yaitu, umur memang bisa bertambah dengan sebab-sebab yang dijelaskan oleh nash (misalnya : menyambung silaturahim, doa, dan yang lainnya). Yaitu bertambah dengan menghapus ketentuan/takdir yang ada dalam catatan malaikat. Namun pertambahan berikut sebab yang dilakukan oleh hamba itu sendiri merupakan bagian dari takdir mutlak yang telah Allah tulis dalam Lauh Mahfudh limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.

MENGHINA ROSULULLOH MATI HUKUMANNYA



Menghina Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan syari’at yang dibawanya merupakan tabiat orang-orang kuffaar yang telah mentradisi semenjak dulu kala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah banyak menerima banyak tuduhan dan hinaan/cacian. Diantaranya, mereka menghina beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai tukang sihir yang banyak berdusta, sebagaimana terdapat dalam ayat :

وَعَجِبُوا أَنْ جَاءَهُمْ مُنْذِرٌ مِنْهُمْ وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ

“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: "Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta" [QS. Shaad : 4].

Menghina beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang penyair gila, sebagaimana terdapat dalam ayat :

وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ

“Dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" [QS. Ash-Shaaffat : 36].

Menghina beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai pengarang atau plagiator kitab suci, sebagaimana terdapat dalam ayat :

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ * أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". Bahkan mereka mengatakan: "Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Al Qur'an)" [QS. Al-Ahqaaf : 7-8].

أَنَّى لَهُمُ الذِّكْرَى وَقَدْ جَاءَهُمْ رَسُولٌ مُبِينٌ * ثُمَّ تَوَلَّوْا عَنْهُ وَقَالُوا مُعَلَّمٌ مَجْنُونٌ

“Bagaimanakah mereka dapat menerima peringatan, padahal telah datang kepada mereka seorang rasul yang memberi penjelasan, kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila” [QS. Ad-Dukhaan : 13-14].

Dan yang lainnya.....

Menyakiti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan menghina, mencaci, atau menuduh dengan tuduhan-tuduhan yang tidak pantas lagi keji merupakan sesuatu yang besar dalam Islam. Haram hukumnya. Allah ta’ala berfirman :

وَمِنْهُمُ الَّذِينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَيَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَيُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ * يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوهُ إِنْ كَانُوا مُؤْمِنِينَ * أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ * يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّلَ عَلَيْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلِ اسْتَهْزِئُوا إِنَّ اللَّهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ * وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

“Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan: "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya". Katakanlah: "Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu". Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari keridaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin”. Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya Barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa” [QS. At-Taubah : 61-66].

إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا

“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan” [QS. Al-Ahzaab : 57].

Para ulama mengambil istinbath dengan ayat-ayat di atas tentang kafirnya orang yang menghina/mencaci/mencela Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, halal darahnya. Ini jika pelakunya muslim, maka ia kafir dengan sebab celaan/caciannya tersebut dan halal dibunuh sesuai dengan syari’at Islam yang berlaku padanya.

Lantas bagaimana dengan orang kafir yang mencela/mencaci Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?. Al-Mundziriy rahimahullah berkata setelah menyebutkan ijma’ wajib dihukum bunuh bagi muslim yang mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

وَإِنَّمَا الْخِلَاف إِذَا كَانَ ذِمِّيًّا ، فَقَالَ الشَّافِعِيّ يُقْتَل وَتَبْرَأ مِنْهُ الذِّمَّة ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَة لَا يُقْتَل مَا هُمْ عَلَيْهِ مِنْ الشِّرْك أَعْظَم ، وَقَالَ مَالِك مَنْ شَتَمَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْيَهُود وَالنَّصَارَى قُتِلَ إِلَّا أَنْ يُسْلِم

“Perbedaan pendapat yang ada hanyalah jika orang yang mencela itu berstatus dzimmiy. Asy-Syaafi’iy berpendapat pelakunya dibunuh dan lepas darinya jaminan (dengan sebab perbuatannya tersebut). Abu Haniifah berpendapat pelakunya tidak dibunuh, karena kesyirikan yang ada padanya lebih besar. Maalik berkata : Barangsiapa yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan Yahudi dan Nashara, maka dibunuh kecuali jika kemudian ia masuk Islam” [‘Aunul-Ma’buud, 9/394].

Yang raajih – wallaahu a’lam - , maka dirinci sebagaimana pendapat Maalik rahimahullah :

a.      Orang kafir mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara terang-terangan dan tidak bertaubat dengan masuk Islam, maka ia boleh dibunuh. Dalilnya adalah kisah pembunuhan Ka’b bin Al-Asyraf, dimana dalam riwayat di sebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الْأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Siapakah yang akan (mencari) Ka’b bin Al-Asyraf. Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya ?......”

Juga riwayat berikut :

عَنِ ابْن عَبَّاسٍ، أَنَّ أَعْمَى كَانَتْ لَهُ أُمُّ وَلَدٍ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَيَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَيَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ جَعَلَتْ تَقَعُ فِي النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَشْتُمُهُ، فَأَخَذَ الْمِغْوَلَ فَوَضَعَهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأَ عَلَيْهَا فَقَتَلَهَا فَوَقَعَ بَيْنَ رِجْلَيْهَا طِفْلٌ، فَلَطَّخَتْ مَا هُنَاكَ بِالدَّمِ فَلَمَّا أَصْبَحَ ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَمَعَ النَّاسَ فَقَالَ: أَنْشُدُ اللَّهَ رَجُلًا فَعَلَ مَا فَعَلَ لِي عَلَيْهِ حَقٌّ إِلَّا قَامَ فَقَامَ الْأَعْمَى يَتَخَطَّى النَّاسَ وَهُوَ يَتَزَلْزَلُ حَتَّى قَعَدَ بَيْنَ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا صَاحِبُهَا كَانَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَنْهَاهَا فَلَا تَنْتَهِي وَأَزْجُرُهَا فَلَا تَنْزَجِرُ وَلِي مِنْهَا ابْنَانِ مِثْلُ اللُّؤْلُؤَتَيْنِ وَكَانَتْ بِي رَفِيقَةً فَلَمَّا كَانَ الْبَارِحَةَ جَعَلَتْ تَشْتُمُكَ وَتَقَعُ فِيكَ فَأَخَذْتُ الْمِغْوَلَ فَوَضَعْتُهُ فِي بَطْنِهَا وَاتَّكَأْتُ عَلَيْهَا حَتَّى قَتَلْتُهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلَا اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ "

Dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ada seorang laki-laki buta yang mempunyai ummu walad (budak wanita yang melahirkan anak dari tuannya) yang biasa mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan merendahkannya. Laki-laki tersebut telah mencegahnya, namun ia (ummu walad) tidak mau berhenti. Laki-laki itu juga telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Hingga pada satu malam,ummu walad itu kembali mencaci dan merendahkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki itu lalu mengambil pedang dan meletakkan di perut budaknya, dan kemudian ia menekannya hingga membunuhnya. Akibatnya, keluarlah dua orang janin dari antara kedua kakinya. Darahnya menodai tempat tidurnya. Di pagi harinya, peristiwa itu disebutkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan orang-orang dan bersabda : “Aku bersumpah dengan nama Allah agar laki-laki yang melakukan perbuatan itu berdiri sekarang juga di hadapanku”. Lalu, laki-laki buta itu berdiri dan berjalan melewati orang-orang dengan gemetar hingga kemudian duduk di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, akulah pembunuhnya. Wanita itu biasa mencaci dan merendahkanmu. Aku sudah mencegahnya, namun ia tidak mau berhenti. Dan aku pun telah melarangnya, namun tetap saja tidak mau. Aku mempunyai anak darinya yang sangat cantik laksana dua buah mutiara. Wanita itu adalah teman hidupku. Namun kemarin, ia kembali mencaci dan merendahkanmu. Kemudian aku pun mengambil pedang lalu aku letakkan di perutnya dan aku tekan hingga aku membunuhnya”. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Saksikanlah bahwa darah wanita itu sia-sia” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4361, An-Nasaa’iy no. 4070, dan yang lainnya; shahih].

Para ulama mengatakan bahwa ummul-walad tersebut adalah seorang kafir dzimmiy.

b.      Jika orang yang mencela tersebut kafir, dan kemudian bertaubat dan masuk Islam, maka ia tidak dibunuh dengan dasar keumuman firman Allah ta’ala :

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأوَّلِينَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu" [QS. Al-Anfaal : 38].

Mereka menetapkan adanya ijma’ akan hal tersebut.

Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata :

لا يُقْتَلُ أَحَدٌ بِسَبِّ أَحَدٍ، إِلا مَنْ سَبَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Seseorang tidaklah dibunuh karena mencela/mencaci orang lain, kecuali orang yang mencela/mencaci Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam Ad-Diyaat no. 340; sanadnya hasan].

Ishaaq bin Raahawaih rahimahullah (w. 238 H) berkata :

أجمع المسلمون على أن من سبَّ الله ، أو سبَّ رسولَه صلى الله عليه وسلم ، أو دفع شيئاً مما أنزل الله عزَّ وجلَّ ، أو قتل نبيَّاً من أنبياء الله، أَنَّه كافر بذلك وإِنْ كان مُقِرَّاً بكلِّ ما أنزل الله

“Kaum muslimin bersepakat bahwa orang yang mencaci Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, atau menolak sesuatu dari yang diturunkan Allah ‘azza wa jalla, atau membunuh nabi dari nabi-nabi Allah; maka ia kafir dengan sebab itu, meskipun ia mengakui semua (syari’at) yang diturunkan Allah” [Ash-Shaarimul-Masluul oleh Ibnu Taimiyyah, 2/15. Juga dalam Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 4/226].

Muhammad bin Sahnuun Al-Maalikiy rahimahullah (w. 265 H) berkata :

أجمع العلماء أَنَّ شاتمَ النبيِّ صلى الله عليه وسلم لمتنقِّصَ له كافرٌ ، والوعيدُ جارٍ عليه بعذاب الله له، وحكمه عند الأمَّة : القتل ، ومن شكَّ في كفرِه وعذابِه كفَر

“Para ulama bersepakat bahwa orang yang mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk merendahkan beliau adalah kafir. Dan ancamannya adalah adzab Allah, hukumnya di sisi umat adalah dibunuh. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan adzabnya (kelak di akhirat), maka kafir” [Asy-Syifaa’ oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl, 2/312].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

ونقل أبو بكرٍ الفارسيّ أحد أئمَّة الشافعيَّة في كتاب الإجماع أَنَّ من سبَّ النّبيَّ صلى الله عليه وسلم ممَّا هو قذفٌ صريحٌ كفر باتِّفاق العلماء

“Dan Abu Bakr Al-Faarisiy – salah seorang imam madzhab Asy-Syaafi’iyyah – menukil dalam kitab Al-Ijmaa’ bahwasannya siapa saja yang mencela/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tuduhan-tuduhan palsu secara terang-terangan adalah kekufuran berdasarkan kesepakatan ulama” [Fathul-Baariy, 12/282].

Allah ta’ala telah memerintahkan kaum muslimin menghormati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga adab-adab.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ * إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” [QS. Al-Hujuraat : 2-3].

Tentang sebab turunnya ayat, Al-Bukhaariy rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ، أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ، أَخْبَرَنَا نَافِعُ بْنُ عُمَرَ، عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، قَالَ: كَادَ الْخَيِّرَانِ أَنْ يَهْلِكَا أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ لَمَّا قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفْدُ بَنِي تَمِيمٍ أَشَارَ أَحَدُهُمَا بِالْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ التَّمِيمِيِّ الْحَنْظَلِيِّ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ وَأَشَارَ الْآخَرُ بِغَيْرِهِ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ: إِنَّمَا أَرَدْتَ خِلَافِي، فَقَالَ عُمَرُ: مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَزَلَتْ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ إِلَى قَوْلِهِ عَظِيمٌ "، قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: فَكَانَ عُمَرُ بَعْدُ وَلَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ عَنْ أَبِيهِ يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ إِذَا حَدَّثَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَدِيثٍ حَدَّثَهُ كَأَخِي السِّرَارِ لَمْ يُسْمِعْهُ حَتَّى يَسْتَفْهِمَهُ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqaatil : Telah mengkhabarkan kepada kami Wakii’ : Telah mengkhabarkan kepada kami Naafi’ bin ‘Umar, dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata : Hampir-hampir dua orang manusia terbaik binasa, yaitu Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa. Ketika delegasi Bani Tamiim datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, salah seorang di antara keduanya mengisyaratkan agar Al-Aqra’ bin Haabis At-Tamiimiy Al-Handhaliy saudara Bani Mujaasyi’ (untuk menjadi pimpinan mereka), sedangkan yang lainnya mengisyaratkan orang yang lain. Abu Bakr berkata kepada ‘Umar : “Engkau hanyalah ingin menyelisihiku saja !”. ‘Umar berkata : “Aku tidak ingin menyelisihimu !”. Suara keduanya pun meninggi di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar’ (QS. Al-Hujuraat : 2-3). Ibnu Abi Mulaikah berkata : Ibnuz-Zubair berkata : “Setelah itu ‘Umar – dan ia tidak menyebut dari ayahnya, yaitu Abu Bakr – apabila berbicara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan satu pembicaraan, ia berbicara dengan berbisik sehingga beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta kejelasan darinya (dikarenakan saking pelannya suara ‘Umar)” [Shahiih Al-Bukhaariy no. 7302].

Masih berkaitan dengan ayat ini, ada kisah menarik tentang Tsaabit bin Qais radliyallaahu ‘anhu :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّهُ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ إِلَى آخِرِ الآيَةِ، جَلَسَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ فِي بَيْتِهِ، وَقَالَ: " أَنَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَاحْتَبَسَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَمْرٍو، مَا شَأْنُ ثَابِتٍ، اشْتَكَى؟ قَالَ سَعْدٌ: إِنَّهُ لَجَارِي، وَمَا عَلِمْتُ لَهُ بِشَكْوَى، قَالَ: فَأَتَاهُ سَعْدٌ، فَذَكَرَ لَهُ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ثَابِتٌ: أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ وَلَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنِّي مِنْ أَرْفَعِكُمْ صَوْتًا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنَا مِنَ أَهْلِ النَّارِ، فَذَكَرَ ذَلِكَ سَعْدٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " بَلْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّة ".

Dari Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Ketika turun ayat : ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi... hingga akhir ayat (QS. Al-Hujuraat : 2), maka Tsaabit bin Qais duduk di rumahnya dan berkata : “Aku termasuk penduduk nereka”. Setelah itu, ia pun berhenti bicara kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Karena tidak melihat Tsaabit), lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Sa’d bin Mu’aadz : “Wahai Abu ‘Amru, bagaimana keadaan Tsaabit. Apakah ia sakit ?”. Sa’d berkata : “Sesungguhnya ia baik-baik saja, dan aku tidak mengetahui kalau ia sedang sakit”. Lalu Sa’d menemui Tsaabit dan menyebutkan perkataan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtadi. Tsaabit berkata : “Ayat ini (QS. Al-Hujuraat : 2) telah diturunkan, sedangkan kalian mengetahui bahwa aku adalah orang yang paling keras suaranya di antara kalian ketika berbicara dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sehingga aku termasuk penduduk neraka”. Sa’d menyebutkan perkataan Tsaabit itu kepada Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Bahkan ia termasuk penduduk surga” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 119].

Dua riwayat di atas menjelaskan kepada kita bagaimana adab para shahabat di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengeraskan suaranya di hadapan beliau. Dan QS. Al-Hujuraat ayat 2-3 merupakan dalil terlarangnya untuk mengeraskan suara di hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, para ulama memakruhkan meninggikan suara ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah wafat di samping makam beliau. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

وقال العلماء: يكره رفع الصوت عند قبره، كما كان يكره في حياته؛ لأنه محترم حيا وفي قبره، صلوات الله وسلامه عليه، دائما. ثم نهى عن الجهر له بالقول كما يجهر الرجل لمخاطبه ممن عداه، بل يخاطب بسكينة ووقار وتعظيم؛ ولهذا قال: { وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ } ، كما قال: { لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا } [النور : 63] .

“Para ulama berkata : Dimakruhkan meninggikan (mengeraskan) suara di sisi kubur beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dimakruhkan saat beliau masih hidup, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang terhormat baik ketika masih hidup atau setelah meninggalnya. Dan setelah itu, dilarang untuk mengeraskan suara saat berbicara dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti kerasnya suara seseorang ketika berbicara dengan selain beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, hendaklah ia berbicara dengan pelan, tenang, dan penuh penghormatan. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain’ (QS. Al-Hujuraat : 2), sebagaimana firman-Nya yang lain : ‘Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain)’ (QS. An-Nuur : 63)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 7/368].

Ibnu Katsiir rahimahullah berdalil dengan riwayat :

عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنْتُ قَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ فَحَصَبَنِي رَجُلٌ فَنَظَرْتُ، فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، فَقَالَ: اذْهَبْ فَأْتِنِي بِهَذَيْنِ، فَجِئْتُهُ بِهِمَا، قَالَ: مَنْ أَنْتُمَا أَوْ مِنْ أَيْنَ أَنْتُمَا؟ قَالَا: مِنْ أَهْلِ الطَّائِفِ، قَالَ: " لَوْ كُنْتُمَا مِنْ أَهْلِ الْبَلَدِ لَأَوْجَعْتُكُمَا تَرْفَعَانِ أَصْوَاتَكُمَا فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "

Dari As-Saaib bin Yaziid, ia berkata : “Aku pernah berdiri di masjid, lalu tiba-tiba ada orang yang melempar batu kerikil kepadaku. Lalu aku melihat, dan ternyata orang yang melempar itu adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab. Ia berkata : “Pergilah, dan bawa kedua orang itu kepadaku”. Aku pun datang kepadanya dengan membawa kedua orang tersebut. Ia (Umar) bertanya : “Siapa nama kalian berdua ?” - atau - “Dari mana kalian berdua berasal?”. Keduanya menjawab : “Dari penduduk Thaa’if”. ‘Umar berkata : “Kalau kamu berdua berasal dari penduduk negeri ini (Madiinah), niscaya kalian berdua akan aku hukum. Kalian telah mengeraskan suara di masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 740].

Jika sekedar mengeraskan suara saja tidak boleh meski tanpa bermaksud menentang atau mencela, lantas bagaimana keadaannya dengan orang yang terang-terangan mencela, menghina, mencaci, dan merendahkan kehormatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.

Marah ?. Tentu saja. Kemarahan itu sebuah keniscayaan dari keimanan seorang muslim karena melihat kehormatan Allah ta’ala dilanggar.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا، قَالَتْ: مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ إِلَّا أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ بِهَا

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, bahwasannya ia pernah berkata : “Tidaklah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dihadapkan dua pilihan, kecuali beliau akan mengambil yang paling mudah selama hal itu tidak terkandung dosa. Namun jika ia terkandung dosa, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling jauh darinya. Dan tidaklah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membalas karena dirinya, kecuali apabila kehormatan Allah dilanggar, maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam marah karenanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3560 & 6126 & 6786 & 6853, Muslim no. 2327, dan yang lainnya].

Sungguh sangat disayangkan apabila kemarahan kita kemudian tersalurkan pada media yang tidak benar.

Ketika marah, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berlaku dhalim. Misalnya, kemarahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap Kisraa (penguasa Persia) yang merobek surat yang beliau kirimkan, tidaklah ditimpakan kepada Heraklius (penguasa Romawi), meski keduanya sama-sama kafir dan tidak menerima dakwah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya mendoakan kebinasaan secara khusus kepada Kisraa’ atas sikap dan kesombongannya tersebut.

Kemarahan kita mesti tersalurkan secara cerdas dan bermartabat. Harus tegas, namun tidak kasar dan berandal. Tidakkah kita sadar bahwa kaum muslimin tidak semuanya berkumpul di negeri berpenduduk mayoritas beragama Islam ?. Bukankah berbagai penghinaan dan pelecahan tersebut muncul dari negeri yang dihuni oleh mayoritas beragama kafir ?. Tidakkah kita sadar bahwa tindakan-tindakan itu merupakan bentuk intimidasi terselubung terhadap saudara-saudara kita yang tinggal di negeri mereka ?.

Namun dibalik itu, tidakkah kita sadar segala macam tindakan itu menggambarkan betapa galaunya mereka melihat perkembangan Islam yang cukup pesat di negeri mereka ?. Jika di atas kita membaca berbagai nash yang menyatakan halalnya darah orang yang menghina/mencaci Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka perhatikan pula nash berikut :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُرْوَةُ، أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا قَالَتْ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟، قَالَ: " لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ مَا لَقِيتُ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ، وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ، فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي، فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَقَالَ: ذَلِكَ فِيمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا "

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yuunus, dari Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Urwah, bahwasannya ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakan kepadanya, bahwasannya ia berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Pernahkah engkau mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang paling menyakitkan dari mereka adalah pada waktu hari ‘Aqabah, saat aku mengajak Ibnu ‘Abdi Yaaliil bin ‘Abdi Kulaal masuk Islam namun ia tidak menyambut ajakan yang kuinginkan. Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih. Aku tidak tersadar kecuali setelah tiba di Qarnul-Tsa’aalib. Aku angkat kepalaku ke langit, tiba-tiba ada segumpal awan menaungiku. Aku pun melihatnya. Ternyata padanya terdapat Jibriil, lalu ia memanggilku. Ia berkata : ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan tentang penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar engkau memerintahkan apa yang engkau kehendaki (terhadap kaummu itu)’. Lalu malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku. Kemudian ia berkata : ‘Wahai Muhammad, itu terserah padamu. Jika engkau menginginkan, aku akan menimpakan dua gunung kepada mereka”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bahkan aku berharap Allah mengeluarkan dari tulang-tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya sedikitpun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3231].

Seandainya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat menginginkan orang-orang yang mentauhidkan Allah meski bapak-bapak mereka kafir dan menyakiti beliau; salahkah kita berharap hal yang serupa ?. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersikap seperti itu ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam belum mempunyai kekuatan, pendukung, dan sangat mengharapkan keislaman kaumnya. Mungkin keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sama halnya dengan keadaan kaum muslimin saat ini. Lemah dan belum punya kekuatan.

JANGAN TERGESA-GESA UNTUK PERGI SHOLAT

 

Pernahkah kita mendengar adzan atau iqamat sedangkan saat itu kita belum sempat bersiap-siap pergi ke masjid?

Kemudian, kita segera bergegas untuk pergi ke masjid dengan terburu-buru karena khawatir tertinggal takbir pertama, atau tertinggal raka'at ataupun tertinggal shalat berjama'ah di masjid?

Mungkin pernah, mungkin juga sering.....

Nah, berkenaan dengan hal ini, maka Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan :

حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلَاةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلَا تُسْرِعُوا فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Telah menceritakan kepada kami Adam, ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami ibnu Abi Dzi-b, ia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri dari Sa’id bin Al-Musayyab dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, -dan juga diriwayatkan- dari Az-Zuhri dari Abi Salamah dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

“Apabila kalian mendengar suara iqamat, maka berjalanlah menuju shalat dan hendaknya kalian berjalan perlahan-lahan serta bersikap tenang.

Janganlah kalian tergesa-gesa. Apa yang kalian dapati, maka shalatlah dan apa yang terluput dari kalian, maka sempurnakanlah.”
(Shahih al-Bukhari 1/129 no. 636)

Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu ini terdapat satu perintah yang terang bagi seseorang untuk mendatangi masjid, apabila ia mendengar iqamat dikumandangkan.

Sekaligus dalam hal ini terkandung pula larangan bagi seseorang yang mendatangi masjid dari tergesa-gesa ketika ia mendatanginya, entah karena takut tertinggal takbir pertama ataupun karena sebab lainnya.

Berkenaan dengan masalah ini, Al-Hafizh ibnu Rajab rahimahullah mengatakan :

قوله ( : ( ( إذاسمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة ، ولا تسعوا ) ) أمر بالمشي ونهي عن الإسراع إلى الصلاة لمن سمع الإقامة

“Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ““Apabila kalian mendengar suara iqamat, maka berjalanlah menuju shalat..”, adalah perintah untuk berjalan menuju shalat, dan sekaligus larangan dari tergesa-gesa menuju shalat bagi siapa yang mendengar iqamat.”
(Fath al-Bari 5/391)

Dan beliau rahimahullah juga mengatakan :

وحديث أبي هريرة : دليل ظاهر على أنه لإيسرع لخوف فوت التكبيرة الأولى ، ولا الركعة ؛ فانه قال : ( ( فإذا سمعتم الإقامة فامشوا إلى الصلاة ، ولا تسرعوا ) ) ، فدل على أنه ينهى عن الإسراع مع خوف فوات التكبيرة أو الركعة .

“Hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu adalah dalil yang menjelaskan bahwa seseorang itu tidaklah perlu tergesa-gesa untuk mendatangi shalat karena takut ketinggalan takbir pertama ataupun ketinggalan raka’at, sebab sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila kalian mendengar suara iqamat, maka berjalanlah menuju shalat dan janganlah kalian tergesa-gesa..”

Yang menunjukkan bahwa seseorang itu bersamaan dengan takutnya ia tertinggal takbir pertama ataupun tertinggal raka’at, maka tetaplah ia dilarang untuk tergesa-gesa.”
(Fath al-Bari 5/391)

Adapun berkenaan tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang kalian dapati, maka shalatlah.”, maka al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah mengatakan :

واستدل بهذا الحديث على حصول فضيلة الجماعة بإدراك جزء من الصلاة لقوله: "فما أدركتم فصلوا " ولم يفصل بين القليل والكثير، وهذا قول الجمهور

“Dan hadits ini menjadi dalil bahwa keutamaan shalat berjama’ah akan tetap didapat meski dengan hanya mendapatkan sebagian shalat, berdasarkan sabda beliau : “Apa yang kalian dapati, maka shalatlah”, tanpa membedakan apa yang didapat dari shalat itu apakah sedikit ataupun banyak.

Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.”
(Fathul Bari 2/140)

Na'am.
Ini merupakan satu pandangan yang benar, yakni bagi seseorang yang tertinggal raka’at, maka ia tetaplah mendapatkan keutamaan shalat berjama’ah, berapapun jumlah raka’at yang tertinggal tersebut.

Begitupula jika seseorang itu saat mendengar iqamat, ia lalu mendatangi masjid dengan tenang dan tidak terburu-buru karena melaksanakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, dan ternyata setelah sampai ke masjid, ia dapati shalat berjama’ah telah selesai, maka iapun tetap dianggap mendapatkan keutamaan shalat berjama’ah berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh imam Muslim rahimahullah dari haditsnya Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

“Salah seorang diantara kamu apabila mendatangi shalat, maka sesungguhnya ia dianggap berada dalam shalat.” (Shahih Muslim 1/420 no.602).

Al-Hafizh ibnu Hajar rahimahullah dalam hal ini menukilkan perkataan imam Imam An-Nawawi rahimahullah yang mengatakan tentang sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “sesungguhnya ia dianggap berada dalam shalat.”:

نبه بذلك على أنه لم يدرك من الصلاة شيئا لكان محصلا لمقصوده لكونه في صلاة

“Dalam hadits ini dikabarkan bahwa apabila seseorang itu tidak mendapatkan shalat sedikitpun (setelah sampai di masjid), maka sesungguhnya ia telah mendapatkan apa yang menjadi tujuannya, karena ia dianggap berada dalam shalat saat dalam perjalanannya.”
(Fathul Bari 2/139)

Jangan tergesa sholat jika sedang makan

Jika Anda merasa lapar dan keinginan untuk makan, maka Anda dahulukan untuk makan daripada shalat. Dalilnya antara lain adalah:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ، وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ

Dari Anas bin Maalik, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Apabila makan malam telah tersedia, dahulukan makan malam sebelum engkau melaksanakan shalat Maghrib. Dan jangan engkau tergesa-gesa dari makan malam kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 672 & 5463, Muslim no. 557, At-Tirmidziy no. 353, An-Nasaa’iy no. 853, dan Ibnu Maajah no. 933].

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الأَخْبَثَانِ

Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda : “Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan telah dihidangkan atau menahan buang air besar atau kecil” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 560 dan Abu Daawud no. 89].

عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ " قَالَ: وَتَعَشَّى ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ

Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Apabila makan malam telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan makan malam”. Naafi’ berkata : “Ibnu ‘Umar pernah makan malam sedangkan ia mendengar bacaan imam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 354; shahih].

Dalam riwayat lain disebutkan:

وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا وُضِعَ عَشَاؤُهُ أَوْ حَضَرَ عَشَاؤُهُ لَمْ يَقُمْ حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنْ سَمِعَ الْإِقَامَةَ، وَإِنْ سَمِعَ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ

“Apabila makan malam telah dihidangkan, maka ‘Abdullah (bin ‘Umar) tidak berdiri shalat hingga ia menyelesaikan makannya, meskipun ia mendengar iqamah dan bacaan imam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3757; shahih].

At-Tirmidziy rahimahullah berkata:

وَعَلَيْهِ الْعَمَلُ عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَابْنُ عُمَرَ، وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق يَقُولَانِ: يَبْدَأُ بِالْعَشَاءِ وَإِنْ فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ فِي الْجَمَاعَةِ.قَالَ أَبُو عِيسَى: سَمِعْت الْجَارُودَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ وَكِيعًا يَقُولُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: يَبْدَأُ بِالْعَشَاءِ إِذَا كَانَ طَعَامًا يَخَافُ فَسَادَهُ وَالَّذِي ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ أَشْبَهُ بِالِاتِّبَاعِ، وَإِنَّمَا أَرَادُوا أَنْ لَا يَقُومَ الرَّجُلُ إِلَى الصَّلَاةِ وَقَلْبُهُ مَشْغُولٌ بِسَبَبِ شَيْءٍ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: لَا نَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ وَفِي أَنْفُسِنَا شَيْءٌ

“Hadits ini diamalkan oleh sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya : Abu Bakr, ‘Umar, dan Ibnu ‘Umar. Ahmad dan Ishaaq berpendapat dengannya, dimana mereka berdua berkata : ‘Hendaklah ia mulai dengan makan malam meskipun akan ketinggalan shalat berjama’ah’. Abu ‘Iisaa (At-Tirmidziy) berkata : Aku mendengar Al-Jaarud berkata : Aku mendengar Wakii’ berkata tentang hadits ini : ‘Hendaknya ia mulai dengan makan malam apabila makanan dikhawatirkan menjadi rusak’. Pendapat yang dipegang oleh sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya lebih tepat untuk diikuti. Yang mereka maksudkan hanyalah seseorang tidak berdiri shalat sedangkan hatinya tersibukkan oleh sesuatu (selain shalat). Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas bahwasannya ia berkata : ‘Kami tidak berdiri shalat sedangkan pada diri kami terdapat sesuatu” [A-Jaami’ At-Kabiir, 1/381].

An-Nawawiy rahimahullah berkata:

فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، ....... ، وَهَذِهِ الْكَرَاهَة عِنْد جُمْهُور أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْت سَعَة ، فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْت الصَّلَاة صَلَّى عَلَى حَاله مُحَافَظَة عَلَى حُرْمَة الْوَقْت ، وَلَا يَجُوز تَأْخِيرهَا

“Dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang dimakruhkannya shalat ketika makanan telah dihidangkan bagi orang yang hendak memakannya, karena akan menyebabkan kesibukan hati terhadapnya dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan…. Kemakruhan ini menurut jumhur shahabat kami dan yang lainnya, apabila waktu shalat masih luas. Namun apabila waktu shalat sempit sekiranya jika ia makan lalu bersuci (wudlu) menyebabkan waktu shalat habis, maka ia harus shalat pada waktu tersebut untuk menjaga kehormatan waktu  shalat, dan tidak diperbolehkan untuk mengakhirkannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/46].

Al-Manawiy rahimahullah ketika mengomentari hadits ‘Aaisyah, berkata:

وفيه تقديم فضيلة حضور القلب على فضيلة أول الوقت

“Dalam hadits tersebut terdapat faedah mendahulukan keutamaan hadirnya hati daripada keutamaan awal waktu” [Faidlul-Qadiir, 6/557 no. 9896].

Maksud mendahulukan makan di sini bukan untuk makan sampai kenyang, akan tetapi sekedar menghilangkan rasa laparnya. An-Nawawiy rahimahullah berkata:

أن يكون به جوع، أو عطش شديد، وحضر الطعام والشراب، وتاقت نفسه إليه، فيبدأ بالاكل والشرب. قال الاصحاب: وليس المراد أن يستوفي الشبع، بل يأكل لقما يكسر حدة جوعه

“Apabila ia merasa sangat lapar atau haus, sedangkan makanan dan minuman telah tersedia dan dirinya sangat menginginkannya; hendaklah ia dahulukan untuk makan dan minum (daripada shalat). Shahabat-shahabat kami berkata : Maksudnya di sini bukanlah untuk makan sampai kenyang, akan tetapi makan sekedar untuk menghilangkan rasa laparnya” [Raudlatuth-Thaalibiin, 1/451].

‘Illat mendahulukan makan daripada shalat di sini adalah untuk menghilangkan kesibukan hati (dari sesuatu selain shalat) dan ketidakkhusyukan. Jika seseorang tidak terlalu berkeinginan untuk makan sehingga ia dapat menghadirkan hati dan kekhusyukan selama shalat, maka didahulukan shalat.

Sebagaimana dikatakan An Nawawiy rahimahullah di atas, ketentuan untuk mendahulukan makan atau minum daripada shalat ini berlaku jika waktu shalat masih longgar. Namun jika waktu shalat hampir habis, tetap wajib untuk mendahulukan shalat; karena shalat di luar waktunya adalah haram, sedangkan shalat dengan menahan rasa lapar dan haus hanyalah makruh saja (tidak sampai haram). Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...