Kamis, 28 Oktober 2021

JANGANLAH BERLEBIHAN MEMUJI SAYYIDINA 'ALI BIN ABI THALIB


Dari ‘Amr bin Hubsyiy ia berkata : Sayyidina Al-Hasan bin ‘Aliy pernah berkhutbah kepada kami setelah terbunuhnya ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Ia pun berkata :

لقد فارقكم رجل بالأمس ما سبقه الأولون بعلم ولا أدركه الآخرون ان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليبعثه ويعطيه الراية فلا ينصرف حتى يفتح له وما ترك من صفراء ولا بيضاء الا سبعمائة درهم من عطائه كان يرصدها لخادم لأهله

“Sungguh kemarin telah meninggal seorang laki-laki yang tidak didahului orang-orang terdahulu dan kemudian dalam hal ilmu. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya bendera (kepemimpinan), maka ia tidaklah kembali hingga diberikan kemenangan baginya. Dan tidaklah ia meninggalkan dinar dan dirham kecuali 700 dirham yang berasal dari pemberian (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) yang ia persiapkan untuk pembantu keluarganya”.

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/199, Fadlaailush-Shahaabah no. 922 dan Az-Zuhd hal. 133; serta Ibnu Abi Syaibah 12/75. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/199, Ath-Thabaraniy no. 2717-2725, Ibnu Abi Syaibah 12/73-74, Ibnu Hibbaan no. 6936, Ibnu Sa’d 3/38-39, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8408, dan yang lainnya dari jalan Ibnu Hubairah.

Atsar ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Dr. Wasiyullah ‘Abbas. Dan kedudukannya adalah sebagaimana yang mereka sebutkan (maqbul).

Sebagian orang Syi’ah menggunakan atsar ini untuk menyatakan keilmuan ‘Aliy berada di atas semua shahabat tanpa terkecuali. Tidak Abu Bakr, tidak ‘Umar, dan tidak juga ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum. Tentu saja enggapan ini keliru.

Perlu diketahui bahwa riwayat di atas bukan merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun merupakan perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma. Jadi statusnya adalah mauquf.

Sanjungan tersebut dikatakan Al-Hasan bin ‘Aliy saat terjadi fitnah beberapa saat setelah terbunuhnya Sayyidina ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara dhalim oleh ‘Abdurrahman bin Muljam – semoga Allah memberikan balasan setimpal atas dosa-dosanya. Banyak orang terfitnah sehingga membenci ‘Aliy dan merendahkan kedudukannya. Kemudian, Al-Hasan bin ‘Aliy tampil di atas mimbar untuk mengingkari mereka dan menegaskan keutamaan ‘Aliy di sisinya dan di sisi shahabat secara umum. Dan memang, ‘Aliy bin Abi Thaalib merupakan shahabat yang paling afdlal saat itu.

Apa yang dikatakan Al-Hasan bukan dimaksudkan untuk mengunggulkan ‘Aliy di atas Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Uslub yang dipakai oleh Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma ini mirip dengan yang dilakukan kakeknya, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja saat beliau menyebutkan keutamaan Usamah bin Zaid dan ayahnya (Zaid bin Haritsah) radliyallaahu ‘anhuma saat orang-orang tidak menerima keputusan beliau yang telah mengangkat Usamah menjadi panglima perang dan cenderung merendahkan kedudukannya :

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم بعثا، وأمر عليهم أسامة بن زيد، فطعن بعض الناس في إمارته، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (إن تطعنوا في إمارته، فقد كنتم تطعنون في إمارة أبيه من قبل، وايم الله إن كان لخليقا للإمارة، وإن وكان لمن أحب الناس إلي، وإن هذا لمن أحب الناس إلي بعده).

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberangkatkan pasukan dengan menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima. Kemudian ada sejumlah orang yang mencela/mengkritik tentang kepemimpinannya tersebut. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian mencela penunjukkan Usamah sebagai panglima berarti kalian juga mencela penunjukkan ayahnya sebagai panglima pada masa sebelumnya. Demi Allah, Zaid memang layak memimpin pasukan, dan dia tergolong orang yang paling aku cintai. Sedangkan anaknya ini (Usamah) juga termasuk orang yang paling aku cintai” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3730, Muslim no. 2426, At-Tirmidziy no. 3816, Ahmad dalam Al-Musnad 2/110 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 1525].

Tentu saja perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dimaksudkan untuk mengunggulkan Zaid dan Usamah di atas Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah.

Kalaupun toh kita pahami tanpa memandang ‘illat riwayat, maka pujian atau sanjungan serupa (yaitu pujian satu shahabat terhadap yang shahabat lainnya) semisal di atas adalah banyak. Misalnya sanjungan Ibnu Mas’ud terhadap Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :

لو أن ابن عباس أدرك أسناننا ما عاشره منا أحدٌ. قال وكان يقول : نعم ترجمان القرآن ابن عباس رضي الله عنه.

“Apabila Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir Al-Qur’an adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalam Al-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-Shahabah no. 1860, 1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].

Sanjungan Qabiishah bin Jaabir terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhuma :

عن قبيصة بن جابر، قال : ما رأيت رجلا قط أعلم بالله ولا أقرأ لكتاب الله ولا أفقه في دين الله من عمر.

Dari Qabiishah bin Jaabir, ia berkata : “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki pun yang lebih mengetahui (berilmu) terhadap Allah, lebih bagus bacaannya terhadap Kitabullah, dan lebih paham terhadap agama dibandingkan ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 472 dengan sanad shahih].

Atau bahkan sanjungan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz radliyallaahu ‘anhu :

وأعلمهم بالحلال والحرام معاذ بن جبل

“Dan orang yang paling mengerti tentang halal dan haram di antara mereka, (yaitu) Mu’adz bin Jabal” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 3790, Ahmad 3/281, Ibnu Sa’d 2/341 dll., An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8242, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar 808, Al-Baihaqiy 6/210, Ath-Thayalisiy no. 2096, dan lainnya. Sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaniy dan Al-Arna’uth].

Tiga riwayat yang ‘sebanding’ di atas sudah barang tentu memberatkan orang Syi’ah untuk menukilnya.

Pujian-pujian mereka (para shahabat) kepada yang lain menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tawadlu’ yang mengerti siapa saja yang harus ditinggikan dan siapa saja yang harus direndahkan (yaitu orang-orang munafik dan kafir). Setiap shahabat mempunyai keutamaan. Dan di antara keutamaan-keutamaan yang dimiliki, mereka semua telah berijma’ (sepakat) untuk mengutamakan Abu Bakr dan ‘Umar dibandingkan shahabat yang lain – dalam keutamaan yang bersifat global/umum (bukan keutamaan yang bersifat parsial).

Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata :

كنا نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت

“Kami mengutamakan di jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 7251, Ibnu Abi Syaibah 12/9, Ahmad 2/14, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Ath-Thabaraniy no. 13301; shahih].

Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sendiri yang menegaskan keutamaan mereka berdua.

عن عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.

Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan].

عن علي بن ربيعة الوالبي عن علي قال : إني لأعرف أخيار هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر، ولو شئت أن أسمي الثالث لفعلت.

Dari ‘Aliy bin Rabii’ah Al-Waalabiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Sesungguhnya aku mengetahui sebaik-sebaik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Yaitu) Abu Bakr dan ‘Umar. Jika saja aku ingin untuk menyebutkan yang ketiga, niscaya aku lakukan” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 428 dengan sanad hasan].

عن أبي جحيفة قال : كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم. قلت : يا أمير المؤمنين، إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك. قال : أولا أحدثك يا أنا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟ قلت : بلى ! قال : أبو بكر، قال : أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر ؟ قال : قلت : بلى فديتك ! قال : عمر.

Dari Abu Juhaifah, ia berkata : “Aku dulu berpendapat bahwa ‘Aliy adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Aku berkata : “Wahai Amiirul-Mukminin, sesungguhnya aku tidak berpandangan ada seseorang dari kalangan kaum muslimin setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada engkau”. Ia (‘Ali bin Abi Thaalib) berkata : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu wahai Abu Juhaifah tentang orang yang paling utama setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Aku berkata : “Tentu”. ‘Ali berkata : “Abu Bakr”. Kemudian ia melanjutkan : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu orang yang paling baik setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr ?”. Aku menjawab : “Tentu, berilah kami penjelasan”. ‘Aliy berkata : “Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 404; shahih li-ghairihi).

عن محمد بن الحنفية قال: قلت لأبي: أيُّ الناس خير بعد رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟ قال: أبو بكر، قال: قلت: ثم من؟ قال: ثم عمر، قال: ثم خشيت أن أقول ثم من؟ فيقول عثمان، فقلت: ثم أنت يا أبتِ؟ قال: ما أنا إلا رجل من المسلمين.

Dari Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (yaitu ‘Ali bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya : “Kemudian siapa ?”. Ia menjawab : “Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : “Kemudian aku khawatir untuk menanyakan 'kemudian siapa' (setelah ‘Umar), lalu menjawab : 'Utsmaan. Aku kembali bertanya : “Kemudian setelah itu engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3671, Abu Daawud no. 4629, dan yang lainnya].

Kalaupun misal kita pertentangkan – (dan sebenarnya kita tidak pernah mempertentangkannya) – antara perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy dengan ‘Aliy yang dua-duanya membicarakan tentang diri ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma; siapakah yang lebih pantas untuk didahulukan ? Tentu saja perkataan ‘Aliy tentang dirinya-lah yang lebih didahulukan daripada selainnya, sebagaimana ma'ruf dalam kaidah-kaidah tarjih ilmu ushul.

Bila kita ikuti logika bathil kaum Syi’ah Rafidlah yang berdalil dengan riwayat Al-Hasan bin ‘Aliy di atas bahwa ‘Aliy itu adalah orang yang paling berilmu dibandingkan seluruh shahabat, maka kita akan menemui beberapa ‘kesulitan’ sebagai berikut :

1. Hadits ditunjuknya Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sebagai imam shalat pengganti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya.

عن عبيدالله بن عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله صلى الله عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال "ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق. فقال "أصلى الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال" ضعوا لي ماء في المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى الناس؟" فقلنا: لا. وهم ينتظرونك، يا رسول الله! قالت والناس عكوف في المسجد ينتظرون رسول الله صلى الله عليه وسلم لصلاة العشاء الآخرة. قالت فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بكر، أن يصلي بالناس. فأتاه الرسول فقال: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرك أن تصلي بالناس. فقال أبو بكر، وكان رجلا رقيقا: يا عمر! صل بالناس. قال فقال عمر: أنت أحق بذلك. قالت فصلى بهم أبو بكر تلك الأيام. ثم إن رسول الله صلى الله عليه وسلم وجد من نفسه خفة فخرج بين رجلين. أحدهما العباس، لصلاة الظهر. وأبو بكر يصلي بالناس. فلما رآه أبو بكر ذهب ليتأخر. فأومأ إليه النبي صلى الله عليه وسلم أن لا يتأخر. وقال لهما "أجلساني إلى جنبه" فأجلساه إلى جنب أبو بكر. وكان أبو بكر يصلي وهو قائم بصلاة النبي صلى الله عليه وسلم. والناس يصلون بصلاة أبي بكر. والنبي صلى الله عليه السلام قاعد.

Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku tentang sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sakit berat. Beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi, lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan. Setelah sadar beliau bertanya :‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambillkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Kemudian beliau mandi, lalu keluar menuju masjid, namun beliau pingsan lagi. Setelah sadar, beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu wahai Rasulullah’. ‘Aisyah berkata : “Ketika itu orang-orang beri’tikaf dimasjid sambil menunggu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat ‘Isya’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk mengimami shalat. Utusan itu menemui Abu Bakr, lalu berkata : ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu untuk menjadi imam shalat’. Abu Bakr – dan dia adalah orang yang sangat halus perasaannya – berkata : ‘Wahai ‘Umar, imamilah orang-orang shalat !’. ‘Umar menjawab : ‘Engkau lebih berhak menjadi imam’. Maka Abu Bakr menjadi mam shalat selama beberapa hari. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam merasa tubuhnya agak sehat. Lalu beliau keluar untuk shalat Dhuhur dengan dipapah oleh dua orang, salah satunya adalah Al-‘Abbas radliyalaahu ‘anhu. Pada saat Abu Bakr akan menjadi imam shalat, ia melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mundur. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya isyarat agar ia jangan mundur. Nabi berkata kepada kedua orang yang memapah beliau : Dudukkan aku di samping Abu Bakr’. Abu Bakr shalat dengan berdiri mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan orang-orang mengikuti shalat Abu bakr. Dan Nabi (ketika itu) shalat sambil duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418].

Dalam hadits di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu Sebagai pengganti beliau menjadi imam shalat. Padahal di situ ada ‘Umar, ‘Utsman, dan tentu saja ‘Ali bin Abi Thaalib – bersama para shahabat lainnya radliyallaahu ‘anhum. Jika saja memang ilmu ‘Ali bin Abi Thaalib itu adalah paling tinggi di antara shahabat, mengapa beliau tidak menunjuknya sebagai pengganti imam shalat. Padahal, dalam syari’at, hukum secara umum menyatakan seorang imam diangkat atau ditunjuk berdasarkan keutamaan yang ia miliki. Ia ditunjuk berdasarkan kriteria orang yang paling bagus/hapal dan faqih dalam Al-Qur’an-nya.

عن أبي مسعود الأنصاري؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله. فإن كانوا في القراءة سواء. فأعلمهم بالسنة. فإن كانوا في السنة سواء. فأقدمهم هجرة. فإن كانوا في الهجرة سواء، فأقدمهم سلما. ولا يؤمن الرجل الرجل في سلطانه. ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه"

Dari Abu Mas’uud Al-Anshaariy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Yang berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus/banyak hafalan/faqih Al-Qur’an-nya. Kalau dalam Al-Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Kalau dalam As-Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa ijin darinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 673].

Penunjukkan beliau di sini bukanlah penunjukkan yang bersifat kebetulan. Tentu saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memikirkan dengan matang penunjukan ini. Tidaklah beliau memilih Abu, kecuali dengan pertimbangan keutamaannya dan ilmu yang ia miliki. Pertanyaannya : ‘Mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia memiliki keutamaan dan ilmu yang paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada yang menghalangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya

Kita di sini tidak akan pernah beralasan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu membelot tidak hadir dalam shalat berjama’ah. Jika alasan itu dipakai, sama saja kita menuduh ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu menjadi bagian orang-orang munafiq.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :

لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ

”Sungguh aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya; atau orang yang yang sakit. Jika ia seorang yang sakit, tentu ia bisa berjalan dengan dipapah oleh dua orang sehingga dia bisa mendatangi shalat berjama’ah. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita ’sunnah-sunnah huda’ (= ajaran agama). Dan di antara sunnah-sunnah huda tersebut adalah shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 654].

Na’uudzubillahi min dzaalik !! Sungguh jauh beliau (‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) dari kemunafikan.

2. Hadits tentang wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sepeninggal beliau.

عن محمد بن جبير بن مطعم، عن أبيه؛ أن امرأة سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا. فأمرها أن ترجع إليه. فقالت: يا رسول الله! أرأيت إن جئت فلم أجدك؟ - قال أبي: كأنها تعني الموت - "فإن لم تجديني فأتي أبا بكر".

Dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya : Bahwasannya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu perkara. Maka beliau memerintahkannya untuk kembali lagi (di lain waktu). Maka wanita itu berkata : “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku datang namun aku tidak dapat menemuimu ?” – Ayahku (Jubair bin Muth’im) berkata : ‘Sepertinya yang ia maksudkan jika beliau wafat’ - . Maka beliau bersabda : “Apabila engkau tidak dapat menemuiku, maka temuilah Abu Bakr” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3659, Muslim no. 2386, dan yang lainnya].

Perintah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah berkaitan dengan hutang-piutang atau sejenisnya. Jika memang ini yang dimaksud, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk menemui ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu karena ia merupakan keluarga beliau yang terdekat.

Perintah ini adalah berkaitan dengan permasalahan yang ditanyakan oleh si wanita tadi. Dan objek yang dijadikan pengganti beliau sbagai tempat bertanya, tentu mempunyai kapasitas ilmu untuk menyelesaikannya. Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewariskan sesuatu yang lebih berharga dibandingkan ilmu. Dan ilmu itulah yang telah terwarisi oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu untuk menyelesaikan permasalahan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر

Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah mengambil bagian yang sempurna”[Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196, At-Tirmidzi no. 2682, Ad-Daarimiy no. 349, Abu Dawud no. 3641, Ibnu majah no. 223, dan yang lainnya – shahih].

Tidak mungkin beliau menunjuk seseorang jika tidak punya alasan bukan ?

Pertanyaannya : “Jika memang ‘Aliy bin Abi Thaalb dinyatakan sebagai orang yang paling berilmu seantero shahabat, mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuknya untuk menyelesaikan perkara sepeninggal beliau ?”. Logikanya, jika memang beliau meyakini apa yang diinginkan Syi’ah, tentu beliau akan menunjuk ‘Aliy. Apalagi sifat penunjukkan ini adalah satu hal yang longgar, dapat dipikirkan dan diputuskan melalui pertimbangan, sebagaimana kasus yang pertama. Bukan merupakan keadaan tergesa-gesa, khusus, atau darurat yang membolehkan meninggalkan sesuatu lebih utama kepada yang kurang utama. Tentu saja beliau memikirkan yang terbaik bagi umatnya sepeninggal beliau nanti.

Maka, teranglah bagi kita bahwa pemahaman Syi’ah dengan menggunakan atsar Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma di atas adalah salah.

Ali bin Abi Thalib mengatakan,

وَالَّذِى فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِىِّ الأُمِّىِّ -صلى الله عليه وسلم- إِلَىَّ أَنْ لاَ يُحِبَّنِى إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضَنِى إِلاَّ مُنَافِقٌ

“Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan melepaskan angin. Sesungguhnya Nabi telah berjanji kepadaku bahwa tidak ada yang mencintaiku kecuali ia seorang mukmin, dan tidak ada yang membenciku kecuali ia seorang munafik.” (HR. Muslim, no. 249)

Tentu saja, mencintai Ali bukan hanya klaim semata. Mencintainya adalah dengan mengikuti perintahnya, tidak melebih-lebihkannya dari yang semestinya, dan mencintai orang-orang yang ia cintai. Ali mengutamakan Abu Bakar dan Umar serta Ustman atas dirinya, demikian juga semestinya orang-orang yang mengaku mencintainya, mengikuti keyakinannya.

ABDULLAH IBNU SABA MENURUT SYI'AH


Banyak sudah ulama dan referensi Ahlus-Sunnah yang menyebutkan sosok ‘Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh Yahudi pembuat agama Syi’ah. Namun bagi orang Syi’ah sendiri – terutama golongan kontemporer – saling berlomba untuk memberikan bantahan tentang hal itu. Mereka mengklaim Ahlus-Sunnah telah mereka-reka tokoh ini karena permusuhan mereka terhadap Syi’ah. Banyak sudah tulisan mereka sebar, dan tidak sedikit kaum muslimin yang bodoh tertipu dengan segala bualan mereka. Mereka (kaum muslimin yang bodoh dan tertipu) itu tidak tahu bahwa sebenarnya tokoh ‘Abdullah bin Saba’ bukanlah tokoh fiktif, bukan pula hasil rekayasa Ahlus-Sunnah.

Oleh karena itu, di sini sedikit akan saya tulis beberapa keterangan mengenai ‘Abdullah bin Saba’ dari buku-buku induk referensi Syi’ah.

Tidak lengkap kita membicarakan Syi’ah tanpa menyabutkan nama Abdullah bin Saba`. Karena perannya yang sangat besar terhadap perkembangan Syi’ah selanjutnya. Dialah sebenarnya sutradara berkobarnya fitnah terhadap Khalifah Utsman hingga beliau dibunuh, dan selanjutnya ‘Ali ra dan pengikutnya menjadi sasaran rekayasanya. Abdullah bin Saba` adalah cerminan dendam sejarah dari pihak Yahudi terhadap Islam dan kaum Muslimin, seperti halnya Abu Lu`lu` al-Majusi sebagai cerminan dendam sejarah dari pihak Majusi Persia terhadap Islam dan kaum Muslimin. Masalah khilafah, cinta dan setia kepada Ahlul Bait itu hanya sebagai alat dan kedok saja.

Abdullah bin Saba adalah seorang Rabbi Yahudi yang mendirikan Syiah. Dan kemudian agama Syiah ini disemai oleh bangsa Persia [ Iran ] secara massif, terukur dan terencana dengan matang dengan tujuan menghancurkan Islam dan menggantikannya dengan ajaran Syiah.

Abdulah berasal dari Kerajaan Yaman dan masuk Islam pada masa Ustman bin Affan.  Kunyahnya adalah  Ibnu Saudah.  Ia juga dikenali dengan nama Ibn al-Sawda’ atau ibn ‘Amat al-Sawda’– anak kepada wanita kulit hitam.

Nasab Abdullah bin Saba’

Abdullah bin Sab’ lahir di San’a Yaman.

Nama lengkapnya adalah Abdullah ibn Wahb ibn Rasib ibn Malik ibn Midan ibn Malik ibn Nasr al-Azd ibn Ghawth ibn Nubatah in Malik ibn Zayd ibn Kahlan ibn Saba’.

Ia berasal dari Bani Qahtan.  Yaman[ bagian selatan Semenanjung Tanah Arab ]

Tahun Kelahiran Abdullah bin Saba’

Abdullah bin Saba diperkirakan lahir pada tahun 600 M atau Tahun ke 10 BB

Tahun Wafatnya Abdullah bin Saba’

Abdullah bin Saba wafat pada tahun  670M atau 50 H

Biar tidak terlalu berbusa-busa dalam bermuqaddimah, langsung saja saya tuliskan :


1.      Dari Abu Ja’far ‘alaihis-salaam, ia berkata :

إن عبد الله بن سبأ كان يدعي النبوة، ويزعم أن أمير المؤمنين هو الله - تعالى عن ذلك - فبلغ ذلك أمير المؤمنين عليه السلام فدعاه وسأله فأقر بذلك وقال : نعم أنت هو، وقد كان قد ألقي في ورعي أنك أنت الله وأني نبي، فقال أمير المؤمنين عليه السلام : ويلك قد سخر منك الشيطان، فارجع عن هذا ثكلتك أمك وتب، فأبى، فحبسه، واستتابه ثلاثة أيام، فلم يتب، فأحرقه بالنار، وقال : أن الشيطان استهواه، فكان يأتيه ويلقي في روعه ذلك.

“Sesungguhnya ‘Abdullah bin Saba’ mendakwakan nubuwwah dan mengatakan Amiirul-Mukminiin (‘Aliy bin Abi Thaalib) adalah Allah – Maha Tinggi Allah atas tuduhan itu - . Khabar itu pun sampai kepada Amiirul-Mukminiin. Beliau memanggilnya dan mengkonfirmasikannya. Ia (‘Abdulah bin Saba’) berkata : ‘Benar, engkau adalah Allah. Telah dibisikkan ke dalam hatiku bahwa engkau adalah Allah dan aku adalah nabi’. Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam berkata : ‘Celaka kamu, syaithan telah menundukkanmu’. Rujuklah dari perkataanmu, ibumu pasti binasa, dan bertaubatlah !’. Ia menolak (untuk bertaubat), lalu ia dipenjara dan diminta untuk bertaubat dalam waktu tiga hari. Namun ia tidak mau bertaubat juga, sehingga (dijatuhi hukuman) dibakar dengan api. Amiirul-Mukminiin berkata : ‘Syaithan telah menguasai dirinya. Ia datang kepadanya (Ibnu Saba’) dan membisikkan ke dalam hatinya hal tersebut”.

Dari Abu ‘Abdillah, bahwasannya ia berkata :

لعن الله عبد الله بن سبأ، إنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين عليه السلام، وكان والله أمير المؤمنين عليه السلام عبدًا لله طائعًا، الويل لمن كذب علينا، وإن قومًا يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا نبرأ إلى الله منهم، نبرأ إلى الله منهم.

“Allah melaknat ‘Abdullah bin Saba’. Sesungguhnya ia mendakwakan Rububiyyah kepada Amiirul-Mukminiin ‘alaihis-salaam, sedangkan Amiirul-Mukminiin – demi Allah – hanyalah seorang hamba yang mentaati Allah. Neraka Wail adalah balasan bagi siapa saja yang berdusta atas nama kami. Sesungguhnya telah ada satu kaum berkata-kata tentang kami sesuatu yang kami tidak mengatakannya. Kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu, kami berlepas diri kepada Allah atas apa yang mereka katakan itu”.

[Ma’rifatu Akhbaarir-Rijaal oleh Al-Kasysyiy, hal. 70-71].

Kitab Rijaalul-Kasysyiy ini termasuk kitab Syi’ah yang pertama dan diakui dalam ilmu rijaal.

2.      Al-Maamiqaaniy berkata :

عبد الله بن سبأ الذي رجع إلى الكفر وأظهر الغلو.

“Abdullah bin Saba’ yang dikembalikan kepadanya kekufuran dan sikap berlebih-lebihan yang sangat terang”.

Lalu ia berkata :

غالٍ ملعون، حرقه أمير المؤمنين عليه السلام بالنار، وكان يزعم أن علياً إله، وأنه نبي.

“Orang yang berlebih-lebihan lagi terlaknat. Amiirul-Mukminiin telah membakarnya dengan api. Ia mengatakan bahwa ‘Aliy adalah Tuhan, dan ia adalah nabi”.

[Tanqiihul-Maqaal fii ‘Ilmir-Rijaal, 2/183-184].

Al-Maamiqaaniy merupakan salah seorang ulama besar Syi’ah dalam ilmu rijaal.

3.      An-Naubakhtiy berkata :

السبئية قالوا بإمامة علي، وأنها فرض من الله عز وجل وهم أصحابعبد الله بن سبأ، وكان ممن أظهر الطعن على أبي بكر، وعمر، وعثمان، والصحابة، وقال : (إن عليا عليه السلام أمره بذلك) فأخذه علي فسأله عن قوله هذا، فأقر به، فأمر بقتله، فصاح الناس إليه : يا أمير المؤمنين ! أتقتل رجلاً يدعوا إلى حبكم أهل البيت، وإلى ولايتك والبراءة من أعدائك ؟ فصيره إلى المدائن.
وحكى جماعة من أهل العلم أن عبد الله بن سبأ كان يهوديًا فأسلم ووالى عليًا وكان يقول وهو على يهوديته في يوشع بن نون بعد موسى عليه السلام بهذه المقالة، فقال في إسلامه في علي بن أبي طالب بمثل ذلك، وهو أول من شهر القول بفرض إمامة علي عليه السلام وأظهر البراءة من أعدائه....فمن هڽا قال من خالف الشيعة : إن أصل الرفض مأخوذ من اليهودية.

“Kelompok Saba’iyyah mengatakan keimamahan ‘Aliy dan hal itu merupakan satu kewajiban dari Allah ‘azza wa jalla. Mereka adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’.Mereka adalah orang-orang yang menampakkan pencelaan terhadap Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan para shahabat. Ia (Ibnu Saba’) berkata : ‘Sesungguhnya ‘Aliy memerintahkannya’. Maka ‘Aliy menangkapnya dan mengkonfirmasi atas perkataannya tersebut, dan ia pun mengakuinya. Lalu ‘Aliy memerintahkan untuk membunuhnya. Orang-orang berteriak : ‘Wahai Amiirul-Mukminiin, apakah engkau akan membunuh orang yang menyerukan mencintai Ahlul-Bait, kepemimpinanmu, dan berlepas diri dari musuh-musuhmu ?’. Maka ‘Aliy mengasingkannya ke daerah Madaain.

Diriwayatkan oleh sekelompok ahli ilmu (ulama) bahwasannya ‘Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang masuk Islam, lalu memberikan loyalitas kepada ‘Aliy. Saat masih dalam agama Yahudi, ia pernah berkata tentang Yusya’ bin Nuun sepeninggal Musa ‘alaihis-salaam perkataan seperti ini. Lantas setelah masuk Islam, ia berkata tentang ‘Aliy seperti apa yang dikatakannya kepada Yusya’ bin Nuun. Ia adalah orang yang pertama kali mengumumkan pendapat wajibnya keimamahan ‘Aliy ‘alaihis-salaam dan menampakkan berlepas diri terhadap musuh-musuhnya…. Dari sinilah asal perkataan orang-orang yang menyelisihi Syi’ah (baca : Ahlus-Sunnah) : ‘Sesungguhnya dasar Rafidlah diambil dari paham Yahudi”.

[Firaqusy-Syii’ah, hal. 32-44].

An-Naubakhtiy ini menurut penilaian orang Syi’ah adalah seorang yang tsiqah lagi diakui [lihat Jaami’ur-Ruwaat oleh Al-Ardabiiliy 1/228 dan Al-Kunaa wal-Alqaab oleh ‘Abbaas Al-Qummiy 1/148].

4.      Sa’d bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy Al-Qummiy berkata saat memaparkan kelompok Saba’iyyah :

السبئية أصحاب عبد الله بن سبأ، وهو عبد الله بن وهب الراسبي الهمداني، وساعده على ذلك عبد الله بن خرسي، وابن أسود، وهما من أجل أصحابه، وكان أول من أظهر الطعن على أبي بكر، وعمر، وعثمان، والصحابة وتبرأ منهم.

“Kelompok Saba’iyyah adalah pengikut ‘Abdullah bin Saba’. Ia adalah ‘Abdullah bin Wahb Ar-Raasibiy Al-Hamdaaniy. Para pembantunya adalah ‘Abdullah bin Khurasiy dan Ibnu Aswad. Mereka berdua termasuk orang terkemuka dari kalangan pengikutnya. Ibnu Saba’ adalah orang yang pertama kali menampakkan celaan terhadap Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan para shahabat, serta berlepas diri dari mereka semuanya”.

[Al-Maqaalaatu wal-Firaq, hal. 20].

Al-Qummiy ini menurut penilaian orang Syi’ah termasuk orang yang tsiqah yang luas pengetahuannya tentang khabar/riwayat [lihat Jaami’ur-Ruwaat, 1/352].

5.      Ibnu Abil-Hadiid menyebutkan bahwa ‘Abdullah bin Saba’ pernah berdiri ketika ‘Aliy bin Abi Thaalib sedang berkhutbah. Lalu ia (Ibnu Saba’) berkata :

أنت أنت، وجعل يكررها، فقال له - علي - : ويلك من أنا، فقال : أنت الله، فأمر بأخذه وأخذ قوم كانوا معه على رأيه.

“Engkau, engkau’. Ia (Ibnu Saba’) mengulang-ulang perkataan itu. Maka ‘Aliy berkata kepadanya : “Celaka kamu, siapakah diriku ?”. Ibnu Saba’ menjawab : “Engkau adalah Allah”. ‘Aliy pun memerintahkan untuk menangkapnya dan orang-orang yang sependapat dengannya”.

[Syarh Nahjil-Balaaghah, 5/5].

Kitab Syarh Nahjil-Balaghah karya Ibnu ‘Abdil-Hadiid salah satu kitab besar dan paling utama dalam syarah terhadap Nahjul-Balaaghah yang sering dijadikan rujukan kaum Syi’ah. Namun seringkali didapati saat Ahlus-Sunnah mengutip sebagian isi dari kitab ini yang ‘merugikan’ mereka, orang-orang Syi’ah membantah bahwa Ibnu ‘Abdil-Hadiid adalah orang Sunniy (berpaham Mu’tazillah), bukan Syii’iy. Tentu saja dalih mereka sangat lemah, karena beberapa kitab biografi Syi’ah sendiri menyebutkan bahwa Ibnu ‘Abdil-Hadiid adalah termasukorang yang ber-tasyayyu’ kepada ‘Aliy/Ahlul-Bait.

6.      As-Sayyid Ni’matullah Al-Jazaairiy berkata :

قال عبد الله بن سبأ لعلي عليه السلام : أنت الإله حقًَا، فنفاه علي عليه السلام إلى المدائن، وقيل : إنه كان يهوديًا فأسلم، وكان في اليهودية يقول في يوشع بن نون وفي موسى مثل ما قال في علي.

“’Abdullah bin Saba’ berkata kepada ‘Aliy ‘alaihis-salaam : ‘Engkau adalah tuhan yang sebenar-benarnya’. Maka ‘Aliy mengasingkannya ke daerah Madaain. Dan dikatakan : ‘Sesungguhnya ia dulu seorang Yahudi lalu masuk islam. Saat masih beragama Yahudi ia pernah berkata terhadap Yusyaa’ bin Nuun dan Muusaa semisal apa yang dikatakannya kepada ‘Aliy”.

[Anwaarun-Nu’maaniyyah, 2/234].

Ni’matullah Al-Jazaairiy dikenal sebagai seorang muhaddits dan ulama besar yang diakui keilmuannya oleh kalangan Syi’ah [lihat Al-Kunaa wal-Alqaab, 3/298 dan Safiinatul-Bihaar 2/601].

Keberadaan sosok ‘Abdullah bin Saba’ adalah sesuatu yang telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah dan Syi’ah (mutaqaddimiin). Dan inilah pernyataan tokoh Syi’ah kontemporer yang bernama Muhammad Husain Az-Zain :

وعلى كل حال فإن الرجل - أي: ابن سبأ - كان في عالم الوجود، وأظهر الغلو، وإن شك بعضهم في وجوده وجعله شخصاً خيالياً.. أما نحن - بحسب الاستقراء الأخير - فلا نشك بوجوده وغلوه

“Maka, sesungguhnya sosok laki-laki ini – yaitu Ibnu Saba’ – diketahui benar adanya dan menampakkan sikap berlebih-lebihan (ghulluw). Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka (orang-orang Syi’ah) ragu-ragu akan keberadaannya sehingga menjadikannya sebagai sosok khayalan…..Adapun kami, sesuai penelitian termuktakhir, tidak ragu akan keberadaannya dan sikap berlebih-lebihannya” [Asy-Syii’ah wat-Taariikh, hal. 213].

Dari sini kita dapatkan beberapa point sebagai berikut :

1.      ‘Abdullah bin Saba’ bukanlah tokoh/sosok khayalan sebagaimana klaim orang-orang Syi’ah belakangan yang mulai resah tentang agamanya.

2.      ‘Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi yang kemudian (berpura-pura) masuk Islam untuk merusaknya.

3.      Paham keimamahan ‘Aliy, pencelaan terhadap Al-Khulafaaur-Raasyidin (kecuali ‘Aliy) dan para shahabat berasal darinya.

4.      ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berlepas diri dari paham Saba’iyyah yang dicetuskan oleh ‘Abdullah bin Saba’.

Masih tidak yakinkah kita bahwa ajaran Syi’ah yang ada sekarang ini merupakan buah ajaran firqah Saba’iyyah ?

Kisah Pembakaran Abdullah bin Saba’ Dalam Kitab Syi’ah

Sebelumnya pernah disinggung dalam sebagian tulisan di blog ini bahwa dalam mazhab Syi’ah terdapat riwayat shahih yang menyebutkan tentang Abdullah bin Saba’ bahwa ia seorang ghuluw kafir menyatakan ketuhanan Aliy bin Abi Thalib sehingga Imam Aliy menghukum dengan membakarnya. Hal ini dijadikan syubhat celaan oleh para pembenci Syi’ah. Ada diantara mereka yang mengatakan bahwa perbuatan Imam Aliy membakar Abdullah bin Saba’ bertentangan dengan hadis tidak boleh menyiksa dengan siksaan Allah [api].

Perlu diingatkan bahwa pembahasan yang kami buat disini adalah berdasarkan sudut pandang Syi’ah. Kami akan menilai sejauh mana validitas tuduhan para pembenci Syi’ah tersebut.

Ada ulama Syi’ah menyatakan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah tokoh fiktif. Anggapan ini keliru kalau dilihat dari sudut pandang mazhab Syi’ah karena telah terbukti melalui riwayat shahih bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ memang ada dan ia seorang ghuluw dalam kekafiran. Berikut riwayat shahih di sisi Syi’ah mengenai Abdullah bin Saba’

حدثني محمد بن قولويه، قال: حدثني سعد بن عبد الله، قال: حدثنا يعقوب بن يزيد ومحمد بن عيسى، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم، قال: سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول وهو يحدث أصحابه بحديث عبد الله بن سبأ وما ادعى من الربوبية في أمير المؤمنين علي بن أبي طالب، فقال: انه لما ادعى ذلك فيه استتابه أمير المؤمنين عليه السلام فأبي أن يتوب فأحرقه بالنار

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Quluwaih yang berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Yaziid dan Muhammad bin Iisa dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam bin Saalim yang berkata aku mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan dan ia menceritakan kepada para sahabatnya tentang perkataan Abdullah bin Saba’ dan apa yang ia serukan tentang Rububiyah [ketuhanan] Amirul Mukminin Aliy bin Abi Thalib, maka Beliau selanjutnya berkata “ketika ia menyerukan hal itu maka Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] memintanya bertaubat, ia menolak bertaubat maka Beliau membakarnya dengan api [Rijal Al Kasyiy 1/323 no 171]

Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya

Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570]

Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]

Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215]

Muhammad bin Iisa bin Ubaid, terdapat perbincangan atasnya. Najasyiy menyebutkan bahwa ia tsiqat, banyak riwayatnya dan baik tulisannya [Rijal An Najasyiy hal 333 no 896].

Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]

Hisyam bin Saalim, ia dikatakan An Najasyiy “tsiqat tsiqat” [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165]

Dan disebutkan pula dalam riwayat muwatstsaq dan shahih bahwa imam ahlul bait [‘alaihis salaam] telah melaknat ‘Abdullah bin Saba’

حدثني محمد بن قولويه، قال: حدثني سعد بن عبد الله، قال: حدثنا يعقوب بن يزيد ومحمد بن عيسى، عن علي بن مهزيار، عن فضالة بن أيوب الأزدي عن أبان بن عثمان، قال سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول: لعن الله عبد الله بن سبأ أنه ادعى الربوبية في أمير المؤمنين عليه السلام وكان والله أمير المؤمنين عليه السلام عبدا لله طائعا، الويل لمن كذب علينا وأن قوما يقولون فينا ما لا نقوله في أنفسنا، نبرأ إلى الله منهم نبرأ إلى الله منهم

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Quluwaih yang berkata telah menceritakan kepadaku Sa’d bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Yaziid dan Muhammad bin Iisa dari Aliy bin Mahziyaar dari Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy dari Aban bin ‘Utsman yang berkata aku mendengar Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] mengatakan “laknat Allah atas ‘Abdullah bin Sabaa’ sesungguhnya ia menyerukan Rububiyah [ketuhanan] Amirul Mukminin [‘alaihis salaam], demi Allah, Amirul Mukminin adalah hamba Allah yang taat, celakalah yang berdusta atas kami dan sesungguhnya terdapat kaum yang mengatakan tentang kami apa yang tidak pernah kami katakan tentang diri kami, kami berlepas diri kepada Allah dari mereka, kami berlepas diri kepada Allah dari mereka [Rijal Al Kasyiy 1/324 no 172]

Riwayat Al Kasyiy di atas sanadnya muwatstsaq berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah karena para perawinya tsiqat hanya saja Aban bin ‘Utsman seorang yang jelek mahzabnya, berikut keterangan mengenai para perawinya

Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570]

Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]

Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215]

Muhammad bin Iisa bin Ubaid, terdapat perbincangan atasnya. Najasyiy menyebutkan bahwa ia tsiqat, banyak riwayatnya dan baik tulisannya [Rijal An Najasyiy hal 333 no 896].

Aliy bin Mahziyaar seorang yang tsiqat dalam riwayatnya, tidak ada celaan atasnya dan shahih keyakinannya [Rijal An Najasyiy hal 253 no 664]

Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy seorang yang tsiqat dalam hadisnya dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850]

Abaan bin ‘Utsman Al Ahmar, Al Hilliy menukil dari Al Kasyiy bahwa terdapat ijma’ menshahihkan apa yang shahih dari Aban bin ‘Utsman, dan Al Hilliy berkata “di sisiku riwayatnya diterima dan ia jelek mazhabnya” [Khulashah Al ‘Aqwaal Allamah Al Hilliy hal 74 no 3]

وبهذا الاسناد، عن يعقوب بن يزيد، عن ابن أبي عمير وأحمد بن محمد بن عيسى، عن أبيه والحسين بن سعيد، عن ابن أبي عمير عن هشام بن سالم، عن أبي حمزة الثمالي، قال، قال علي بن الحسين عليهما السلام لعن الله من كذب علينا، اني ذكرت عبد الله بن سبأ فقامت كل شعرة في جسدي، لقد ادعى أمرا عظيما ماله لعنه الله، كان علي عليه السلام والله عبدا لله صالحا، أخو رسول الله، ما نال الكرامة من الله الا بطاعته لله ولرسوله، وما نال رسول الله (ص) الكرامة من الله الا بطاعته لله

Dan dengan sanad ini dari Ya’qub bin Yaziid dari Ibnu Abi Umair dan dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Ayahnya dan Husain bin Sa’iid dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari Abi Hamzah Ats Tsumaliy yang berkata Aliy bin Husain [‘alaihimas salaam] berkata “Laknat Allah kepada orang yang berdusta atas kami, aku menyebutkan Abdullah bin Sabaa’ maka berdirilah setiap bulu di badanku, sesungguhnya dia telah menyeru perkara yang berat, laknat Allah atasnya, demi Allah, Aliy [‘alaihis salaam] adalah hamba Allah yang shalih, saudara Rasulnya dan tidaklah ia mendapatkan karamah dari Allah kecuali dengan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-nya dan tidaklah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] mendapatkan karamah dari Allah kecuali dengan ketaatannya kepada Allah” [Rijal Al Kasyiy 1/324 no 173]

Adapun maksud perkataan Al Kasyiy“dan dengan sanad ini” adalah sanad pada riwayat sebelumnya yaitu dariMuhammad bin Quluwaih dari Sa’ad bin ‘Abdullah. Jadi sanad lengkap sanad di atas ada dua jalan yaitu

Dari Muhammad bin Quluwaih dari Sa’ad bin ‘Abdullah dari Ya’qub bin Yaziid dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari Abi Hamzah Ats Tsumaliy dari Aliy bin Husain

Dari Muhammad bin Quluwaih dari Sa’ad bin ‘Abdullah dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa dari Ayahnya dan Husain bin Sa’iid dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari Abi Hamzah Ats Tsumaliy dari Aliy bin Husain

Secara keseluruhan sanad riwayat Al Kasyiy tersebut shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah, berikut keterangan para perawinya dan kami cukupkan pada sanad yang pertama

Muhammad bin Quluwaih ayahnya Abul Qaasim Ja’far bin Muhammad bin Quluwaih seorang yang tsiqat [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 570]

Sa’d bin ‘Abdullah Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 135]

Ya’qub bin Yazid bin Hammaad Al Anbariy seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 450 no 1215]

Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]

Hisyam bin Saalim, ia dikatakan An Najasyiy “tsiqat tsiqat” [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165]

Abu Hamzah Ats Tsumaliy adalah Tsabit bin Diinar seorang yang tsiqat dan mu’tamad dalam riwayat dan hadis [Rijal An Najasyiy hal 115 no 296]

Setelah membawakan riwayat-riwayat mengenai ‘Abdullah bin Sabaa’ maka Al Kasyiy menutupnya dengan kata-kata berikut

وذكر بعضي أهل العلم أن عبد الله بن سبأ كان يهوديا فأسلم ووالى عليا عليه السلام، وكان يقول وهو على يهوديته في يوشع بن نون وصي موسى بالغلو، فقال في اسلامه بعد وفات رسول الله صلى الله عليه وآله في علي عليه السلام مثل ذلك وكان أول من شهر بالقول بفرض امامة علي وأظهر البراءة من أعدائه وكاشف مخالفيه وكفرهم، فمن هيهنا قال من خالف الشيعة أصل التشيع والرفض مأخوذ من اليهودية

Dan disebutkan oleh sekelompok ahli ilmubahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah seorang Yahudiy yang masuk Islam dan berwala’ kepada Aliy [‘alaihis salaam]. Dahulu ketika masih Yahudiy ia mengatakan tentang Yusya’ bin Nuun sebagai washi Musa dengan ghuluw, maka setelah ia memeluk islam, ia mengatakan setelah wafatnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi] tentang Aliy [‘alaihis salaam] hal yang sama, ia orang pertama yang dengan jelas mengatakan tentang kewajiban Imamah Aliy dan menampakkan bara’ah terhadap musuh-musuhnya, menyingkap orang-orang yang menyelisihinya dan mengkafirkan mereka. Maka dari sinilah, orang-orang yang menyelisihi Syi’ah berkata “asal Tasyayyu’ dan Rafidhah diambil dari Yahudi” [Rijal Al Kasyiy 1/324]

Nukilan Al Kasyiy di atas sering dijadikan hujjah oleh para pembenci Syi’ah untuk merendahkan mazhab Syi’ah. Padahal kalau ditelaah secara kritis maka nukilan di atas tidak bernilai hujjah dengan alasan sebagai berikut

Tidak disebutkan siapakahsekelompok ahli ilmu yang dimaksud dalam perkataan Al Kasyiy di atas apakah mereka dari kalangan Syi’ah atau dari kalangan ahlus sunnah. Apalagi jika dilihat lafaz bahwa sekelompok ahli ilmu tersebut mengatakan ‘Abdullah bin Sabaa’ orang pertama yang menyatakan Imamah Aliy maka lafaz seperti ini tidak akan mungkin diucapkan oleh ulama dari kalangan Syi’ah karena para ulama Syi’ah bersepakat bahwaImamah Aliy itu dinyatakan pertama kali oleh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sehingga dengan dasar ini maka kemungkinan besar ahli ilmu yang dimaksud Al Kasyiy adalah dari kalangan ahlus sunnah

Di sisi mazhab Syi’ah tidak ada satupun riwayat shahih yang membuktikan bahwa ‘Abdullah bin Sabaa’ menyerukan tentang Imamah Aliy, justru riwayat-riwayat shahih membuktikan bahwa apa yang diseru ‘Abdullah bin Sabaa’ adalah tentang Rububiyah [ketuhanan] Aliy bin Abi Thalib. Maka apa yang dikatakan sebagian ahli ilmu tersebut tidak memiliki dasar dalam mazhab Syi’ah

Riwayat-riwayat yang menyebutkanAbdullah bin Saba’ menyerukan Imamah Aliy atau Aliy sebagai washiy Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya ditemukan dalam kitab ahlus sunnah diantaranya adalah riwayat Saif bin Umar. Maka hal ini menguatkan dugaan bahwa “sekelompok ahli ilmu” yang dimaksud Al Kasyiy adalah dari kalangan ahlus sunnah.

Berbeda halnya dengan “sekelompok ahli ilmu” yang dinukil oleh Al Kasyiy, Syaikh Ath Thuusiy dalam kitab Rijal-nya menyebutkan tentang ‘Abdullah bin Sabaa’ dengan lafaz berikut

عبد الله بن سبا، الذي رجع إلى الكفر وأظهر الغلو

‘Abdullah bin Sabaa’, termasuk orang yang kembali pada kekafiran dan menampakkan ghuluw [Rijal Ath Thuusiy hal 75]

Apa yang dikatakan oleh Syaikh Ath Thuusiy di atas memiliki dasar dari riwayat shahih mazhab Syi’ah sebagaimana telah dibuktikan di atas bahwa Abdullah bin Sabaa’ telah kufur karena menyatakan Rububiyah Aliy bin Abi Thalib.

Tidak disebutkan dalam riwayat-riwayat di atas apakah Aliy bin Abi Thalib membakar Abdullah bin Sabaa’ hidup-hidup atau membunuhnya terlebih dahulu baru kemudian membakar jasadnya. Tetapi terdapat qarinah yang menguatkan bahwa Aliy bin Abi Thalib mungkin membakarnya hidup-hidup. Dalam salah satu riwayat shahih Syi’ah disebutkan

علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام بن سالم، عن أبي عبد الله عليه السلام قال: أتى قوم أمير المؤمنين عليه السلام فقالوا: السلام عليك يا ربنا فاستتابهم فلم يتوبوا فحفر لهم حفيرة وأوقد فيها نارا وحفر حفيرة أخرى إلى جانبها وأفضى ما بينهما فلما لم يتوبوا ألقاهم في الحفيرة وأوقد في الحفيرة الأخرى [نارا] حتى ماتوا

Aliy bin Ibrahiim dari Ayahnya dari Ibnu Abi Umair dari Hisyaam bin Saalim dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “datang suatu kaum kepada Amirul Mukminin [‘alaihis salaam] maka mereka berkata “salam untukmu wahai Tuhan kami”. Maka Beliau meminta mereka untuk bertaubat tetapi mereka tidak mau bertaubat. Beliau membuat lubang untuk mereka, menyalakan api di dalamnya dan membuat lubang lagi di sisi lainnya dan menghubungkan diantara keduanya, maka ketika mereka tidak mau bertaubat, Beliau memasukkan mereka ke dalam lubang dan menyalakan lubang yang lain dengan api hingga akhirnya mereka mati [Al Kafiy Al Kulainiy 7/258-259 no 18]

Riwayat Al Kafiy di atas sanadnya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah berikut keterangan mengenai para perawinya

Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680]

Ibrahim bin Haasyim Al Qummiyseorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222]

Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218]

Hisyaam bin Saalim meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] ia tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 434 no 1165]

Walaupun memang dalam riwayat di atas masih terdapat kemungkinan bahwa mereka bukan mati terbakar tetapi mati karena asap dari api yang menyala di lubang yang satunya.

Kemudian para pembenci Syi’ah seperti yang dapat para pembaca lihat salah satunya disini, mengutip salah satu riwayat dari Imam Ja’far bahwa tidak boleh menghukum dengan azab Allah, mereka menyebutkan telah mengutip riwayat tersebut dari Kitab Gunahane Kabira oleh Ayatullah Dastaghaib Shiraziy

Kalau dilihat sepintas memang penulis situs tersebut agak aneh ketika membawakan riwayat tentang Abdullah bin Sabaa’ ia mengutip dari kitab sumber hadisnya [Rijal Al Kasyiy] tetapi ketika ia mengutip hadis larangan membakar, ia malah mengutip kitab bahasa parsi yang bukan kitab sumber hadisnya. Seperti biasa nampak bagi saya bahwa penulis situs tersebut hanya mengkopipaste hujjah para sahabatnya di forum pembenci Syi’ah.

Riwayat yang dijadikan hujjah oleh mereka para pembenci Syi’ah tersebut, telah disebutkan oleh Al Majlisiy dalam Bihar Al Anwar 79/45 dan Al Hurr Al Amiliy dalam Wasa’il Syi’ah 3/29-30

الحسن بن يوسف بن المطهر العلامة في ( منتهى المطلب ) رفعه قال : إن امرأة كانت تزني وتوضع أولادها وتحرقهم بالنار خوفا من أهلها ، ولم يعلم به غير أمها ، فلما ماتت دفنت فانكشف التراب عنها ولم تقبلها الارض ، فنقلت من ذلك المكان إلى غيره ، فجرى لها ذلك ، فجاء أهلها إلى الصادق ( عليه السلام ) وحكوا له القصة ، فقال لامها : ما كانت تصنع هذه في حياتها من المعاصي ؟ فأخبرته بباطن أمرها ، فقال الصادق ( عليه السلام ) : إن الارض لا تقبل هذه ، لانها كانت تعذب خلق الله بعذاب الله ، اجعلوا في قبرها شيئا من تربة الحسين ( عليه السلام ) ، ففعل ذلك بها فسترها الله تعالى

Al Hasan bin Yuusuf bin Muthahhar Al Allamah dalam Muntaha Al Mathlab, merafa’kan, [perawi] berkata “bahwa seorang wanita pezina membakar anak-anaknya dengan api karena takut kepada keluarganya, tidak ada yang mengetahui perbuatannya kecuali Ibunya, ketika ia wafat dan dikuburkan maka bumi mengeluarkannya dan tidak menerima jasadnya, maka kemudian dipindahkan ke tempat lainnya dan ternyata juga terjadi hal yang sama, maka keluarganya datang kepada Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] dan menceritakan kepada Beliau peristiwa tersebut. Maka Beliau berkata kepada ibunya “dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya?”. Ibunya menceritakan kepada Beliau perbuatannya. Maka Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] berkata “sesungguhnya bumi tidak menerimanya karena ia telah menyiksa ciptaan Allah dengan siksaan Allah [api], kemudian Beliau menempatkan pada kuburnya sedikit dari tanah kuburan Husain [‘alaihis salaam], maka ketika hal itu dilakukan, Allah ta’ala menutup kuburnya [Wasa’il Syi’ah Syaikh Al Hurr Al Amiliy 3/29-30]

منتهى المطلب: قال: روي أن امرأة كانت تزني وتضع أولادها فتحرقهم بالنار، خوفا من أهلها، ولم يعلم بها غير أمها، فلما ماتت دفنت، فانكشف التراب عنها ولم تقبلها الأرض، فنقلت من ذلك المكان إلى غيره، فجرى لها ذلك، فجاء أهلها إلى الصادق عليه السلام وحكوا له القصة، فقال لامها ما كانت تصنع هذه في حياتها من المعاصي؟ فأخبرته بباطن أمرها، فقال الصادق عليه السلامإن الأرض لا تقبل هذه لأنها كانت تعذب خلق الله بعذاب الله، اجعلوا في قبرها من تربة الحسين عليه السلام، ففل ذلك بها فسترها الله تعالى

Muntaha Al Mathlab : berkata : diriwayatkan bahwa seorang wanita pezina membakar anak-anaknya dengan api karena takut kepada keluarganya, tidak ada yang mengetahui perbuatannya kecuali Ibunya, ketika ia wafat dan dikuburkan maka bumi mengeluarkannya dan tidak menerima jasadnya, maka kemudian dipindahkan ke tempat lainnya dan ternyata juga terjadi hal yang sama, maka keluarganya datang kepada Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] dan menceritakan kepada Beliau peristiwa tersebut. Maka Beliau berkata kepada ibunya “dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya?”. Ibunya menceritakan kepada Beliau perbuatannya. Maka Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] berkata “sesungguhnya bumi tidak menerimanya karena ia telah menyiksa ciptaan Allah dengan siksaan Allah [api],kemudian Beliau menempatkan pada kuburnya sedikit dari tanah kuburan Husain [‘alaihis salaam], maka ketika hal itu dilakukan, Allah ta’ala menutup kuburnya [Bihar Al Anwar Al Majlisiy 79/45]

Al Majlisiy dan Al Hurr Al Amiliy menukil riwayat tersebut dari kitab Muntaha Al Mathlab Allamah Al Hilliy, dan inilah yang disebutkan dalam kitab tersebut

فقد روى أن امرأة كانت تزني تضع أولادها فتحرقهم بالنار خوفا من أهلها ولم يعلم به غير أمها فلما ماتت دفنت فانكشف التراب عنها ولم تقبلها الأرض فنقلت عن ذلك الموضع إلى غيره فجرى لها ذلك فجاء أهلها إلى الصادق عليه السلام وحكوا له القصة فقال لامها ما كانت تصنع هذه في حيوتها من المعاصي فأخبرته بباطن أمرها فقال عليه السلام أن الأرض لا تقبل هذه لأنها كانت تعذب خلق الله بعذاب الله اجعلوا في قبرها شيئا من تربة الحسين عليه السلام ففعل ذلك فسترها الله تعالى

Sungguh telah diriwayatkan bahwa seorang wanita pezina membakar anak-anaknya dengan api karena takut kepada keluarganya, tidak ada yang mengetahui perbuatannya kecuali Ibunya, ketika ia wafat dan dikuburkan maka bumi mengeluarkannya dan tidak menerima jasadnya, maka kemudian dipindahkan ke tempat lainnya dan ternyata juga terjadi hal yang sama, maka keluarganya datang kepada Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] dan menceritakan kepada Beliau peristiwa tersebut. Maka Beliau berkata kepada ibunya “dosa apa yang pernah ia lakukan semasa hidupnya?”. Ibunya menceritakan kepada Beliau perbuatannya. Maka Ash Shaadiq [‘alaihis salaam] berkata “sesungguhnya bumi tidak menerimanya karena ia telah menyiksa ciptaan Allah dengan siksaan Allah [api], kemudian Beliau menempatkan pada kuburnya sedikit dari tanah kuburan Husain [‘alaihis salaam], maka ketika hal itu dilakukan, Allah ta’ala menutup kuburnya [Muntaha Al Mathlab Allamah Al Hilliy 1/461]

Seperti yang dapat para pembaca lihat sumber hadis tersebut ternyata adalah nukilan ulama yang tidak bersanad, maka berdasarkan standar ilmu hadis Syi’ah hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena tidak ada sanadnya.

Bagaimana mungkin riwayat dengan kedudukan seperti ini dijadikan hujjah untuk menentang riwayat shahih bahkan menurut bahasa lebay para pembenci Syi’ah telah meruntuhkan kema’shuman Imam ahlul bait dalam mazhab Syi’ah. Saran kami kepada penulis situs tersebut, ada baiknya anda belajar bersikap objektif dan merujuk kepada kitab hadis serta menerapkan metode ilmiah, sebelum anda berbicara sok soal mazhab orang lain. Alangkah lucunya ketika anda menuliskan sebuah tulisan panjang untuk merendahkan Syi’ah ternyata inti tulisan tersebut berhujjah pada riwayat dhaif di sisi mazhab Syi’ah.

Kesimpulan

Dalam mazhab Syi’ah, hadis larangan membakar atau menyiksa dengan siksaan Allah kedudukannya dhaif sehingga walaupun telah shahih bahwa Imam Aliy membakar ‘Abdullah bin Sabaa’ maka hal itu tidaklah bertentangan dengan kema’shuman Imam dalam mazhab Syi’ah.

Adapun dalam mazhab Ahlus Sunnah [berdasarkan pendapat yang rajih dan menjadi pegangan kami] telah berlalu penjelasannya dalam beberapa tulisan kami terdahulu bahwa tidak shahih Imam Aliy membakar orang-orang murtad hidup hidup, yang benar adalah Beliau membunuh mereka kemudian membakar jasadnya. Dalam pandangan kami, hal ini adalah kekhususan bagi Beliau dan tidak bertentangan dengan hadis larangan menyiksa dengan siksaan Allah SWT.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...