Kamis, 28 Oktober 2021

JIKA PEMERINTAH JATUH PADA KEKAFIRAN???


Para ulama telah sepakat bahwa jabatan imamah tidak boleh diserahkan kepada orang kafir, sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadli ’Iyadl :

أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر

”Para ulama telah bersepakat bahwasannya imamah tidak bisa diserahkan kepada orang kafir” [Syarh Shahih Muslim juz 12 hal. 229].

Ibnu Hajar berkata :

انه ينعزل بالكفر إجماعا فيجب على كل مسلم القيام في ذلك فمن قوي على ذلك فله الثواب ومن داهن فعليه الإثم ومن عجز وجبت عليه الهجرة من تلك الأرض

”Bahwasannya mencopot (seorang pemimpin) karena kekufuran merupakan ijma’. Maka wajib bagi setiap muslim untuk melakukan hal tersebut. Barangsiapa yang mampu melakukanya, maka ia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak mau melakukannya (padahal dia mampu), maka ia mendapatkan dosa. Dan barangsiapa yang lemah (tidak memiliki kemampuan), maka ia harus berhijrah meninggalkan negeri tersebut” [Fathul-Bari juz 13 syarah hadits no. 6725].

Al-Qadli Abu Ya’la Al-Hanbaly berkata : ”Jika pemimpin menjadi kufur setelah iman, berarti dia harus diturunkan dari tampuk kepemimpinannya. Tidak ada perbedaan pendapat tentang masalah ini, karena dia sudah dianggap keluar dari agama. Bahkan dia harus dibunuh” [Al-Mu’tamad fii Ushuuliddiin hal. 243].

عن جنادة بن أبي أمية قال دخلنا على عبادة بن الصامت وهو مريض قلنا أصلحك الله حدث بحديث ينفعك الله به سمعته من النبي صلى الله عليه وسلم قال دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullahshallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].

Ibnu Hajar berkata :

قال النووي المراد بالكفر هنا المعصية ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا حققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فانكروا عليهم وقولوا بالحق حيثما كنتم انتهى وقال غيره المراد بالإثم هنا المعصية والكفر فلا يعترض على السلطان إلا إذا وقع في الكفر الظاهر

”Telah berkata An-Nawawi : Yang dimaksudkan dengan kufur di sini adalah kemaksiatan. Jadi makna hadits adalah : Jangan kalian menentang ulil-amri (pemimpin/penguasa) dalam kekuasaan mereka dan janganlah kalian membangkang kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam (min qawaa’idil-Islaam). Apabila kalian melihat yang demikian itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar dimanapun kalian berada” – selesai –.[Di sini (dalam kitab Fathul-Bari) Ibnu Hajar menukil perkataan An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim hanya sampai kalimat ini. Kami tambahkan, dalam Syarah Shahih Muslim terdapat kalimat setelahnya yang masih terkait dengan bahasan yaitu beliau berkata : ”Adapun memerangi dan memusuhi mereka (pemimpin), tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’ ulama muslimin, meskipun penguasa itu termasuk orang-orang yang fasiq dan dhalim” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 229].] (Ibnu Hajar melanjutkan : ) Dan berkata ulama selain beliau (An-Nawawi) : ”Bahwasannya yang dimaksudkan dengan dosa adalah kemaksiatan dan kekufuran. Maka dari itu, tidak diperbolehkan melakukan penyerangan kepada sulthan kecuali bila ia telah terjatuh dalam kekufuran yang nyata” [selesai – Fathul-Bari juz 13 penjelasan hadits no. 6647].

Beliau melanjutkan :

والذي يظهر حمل رواية الكفر على ما إذا كانت المنازعة في الولاية فلا ينازعه بما يقدح في الولاية الا إذا ارتكب الكفر وحمل رواية المعصية على ما إذا كانت المنازعة فيما عدا الولاية فإذا لم يقدح في الولاية نازعه في المعصية بأن ينكر عليه برفق ويتوصل الى تثبيت الحق له بغير عنف ومحل ذلك إذا كان قادرا والله أعلم ونقل بن التين عن الداودي قال الذي عليه العلماء في أمراء الجور أنه إن قدر على خلعه بغير فتنة ولا ظلم وجب والا فالواجب الصبر وعن بعضهم لا يجوز عقد الولاية لفاسق ابتداء فان أحدث جورا بعد أن كان عدلا فاختلفوا في جواز الخروج عليه والصحيح المنع إلا أن يكفر فيجب الخروج عليه

”Dan yang jelas adalah membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kekafiran dalam konteks bolehnya merebut kekuasaan, sehingga tidak boleh direbut semata karena adanya faktor yang menodai kekuasaannya tersebut, kecuali jika ia melakukan kekufuran. Dan membawa riwayat (yang menyatakan tentang) kemaksiatan untuk merebut urusan di luar kekuasaan. Apabila kekuasannya tidak ternoda (dengan satu kekufuran), namun di sisi lain ia terkena satu kemaksiatan, maka cara menghilangkannya adalah dengan pengingkaran yang lemah-lembut dan mengantarkannya pada kebenaran tanpa kekerasan. Itu jika ia mampu.Wallaahu a’lam. Dan dinukil dari Ibnut-Tiin dari Ad-Dawudi bahwasannya ia berkata : ”Yang menjadi kewajiban ulama kepada para pemimpin yang dhalim/jahat yaitu jika ia mampu untuk menurunkannya dari jabatannya tanpa menimbulkan fitnah dan kedhaliman, maka ia wajib melakukannya. Sebaliknya, jika ia tidak mampu, maka wajib untuk bersabar”. Dan dari selainnya : “Pada asalnya, tidak diperbolehkan untuk memberikan kekuasaan kepada orang yang fasiq. Apabila ia melakukan kedhaliman setelah sebelumnya ia seorang yang ‘adil, maka mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang kebolehan keluar dari ketaatan darinya. Dan yang benar adalah larangan untuk keluar dari ketaatan darinya (memberontak) kecuali bila ia telah kafir. Maka dalam hal ini wajib untuk keluar dari ketaatan kepadanya” [selesai – idem].

Berkata Al-Kirmaniy sebagaimana dinukil Badruddin Al-’Aini :

وقال الكرماني الظاهر أن الكفر على ظاهره

”Dan Al-Kirmany berkata secara dhahirnya, yaitu bahwa kufur di sini adalah kufur secara dhahir (kufur akbar)” [’Umdatul-Qaari oleh Al-’Aini juz 24 hal. 342; Maktabah Al-Misykah].

Para ulama menjelaskan bahwa bolehnya untuk keluar dari ketaatan dan memerangi penguasa adalah karena penguasa tersebut telah melakukan kekufuran (kufur akbar) yang menyebabkan ia menjadi kafir. Itulah yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar setelah membawakan beberapa riwayat tentang lafadh hadits (kufran bawaahan, kufran shuraahan, ma’shiyatallaahi bawaahan, dan itsmin bawaahan). Lafadh-lafadh hadits itu saling menjelaskan satu sama lain. Lafadh kufur lebih khusus/spesifik daripada lafadh maksiat ataupun dosa. Perkataan An-Nawawi sebagaimana tertulis di atas (yaitu perkataannya : ”kecuali apabila kalian melihat kemungkaran yang nyata dari mereka, yang kalian ketahui bahwa hal itu termasuk sendi-sendi Islam / min qawaa’idil-Islaam”), maka itupun juga tidak bertentangan dengan makna kufur. Orang yang mengerjakan kemaksiatan yang jelas yang termasuk dalam sendi-sendi Islam, maka sudah dimaklumi bahwa ia bisa terjatuh dalam kekufuran. Akan tetapi hal ini memerlukan tafshil (perincian).
[An-Nawawi berkata ketika menafsirkan hadits afalaa nuqaatiluuhum ? Qaala : Laa maa shalluu :

عدم جواز الخروج على الخلفاء بمجرد الظلم أو الفسق ما لم يغيروا شيئًا من قواعد الإسلام

”(Hadits tersebut merupakan) peniadaan kebolehan untuk keluar dari ketaatan penguasa dengan sebab kedhaliman atau kefasiqan semata, selama mereka (penguasa) tidak mengubah sesuatupun dari sendi-sendi pokok Islam” [Syarah Shahih Muslim juz 12 hal. 243].
Nah, An-Nawawi mengisyaratkan sendi pokok yang dimaksud adalah penegakan shalat].

Telah berlalu perkataan para ulama yang menyatakan bahwa sekedar kemaksiatan saja tidak boleh menjadi sebab mengangkat senjata kepada penguasa. Dan telah menjadi kemafhuman bagi para ulama dan penuntut ilmu, kemaksiatan yang dilakukan terang-terangan tidaklah selalu berkonsekuensi pada kekufuran.

إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون فمن كره فقد برئ ومن أنكر فقد سلم ولكن من رضي وتابع قالوا يا رسول الله ألا نقاتلهم قال لا ما صلوا أي من كره بقلبه وأنكر بقلبه

”Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”. Yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” [HR. Muslim no. 1854].

Hadits di atas memberikan satu pengetahuan bagi kita bahwa penguasa yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam adalah penguasa muslim yang melakukan kemungkaran. Kalimat fata’rifuuna wa tunkiruuna menunjukkan bahwa lafadh umum, yaitu kemunkaran yang dilakukan oleh penguasa itu terlihat, baik langsung ataupun tidak langsung, oleh rakyat. Pemahaman ini sangat mudah terambil dari hadits. Tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa kemunkaran yang terkandung dalam hadits ini dibatasi oleh makna kemunkaran yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Apalagi jika dikaitkan dengan hadits kemunculan atsarah (penguasa dhalim). Sangat jelas dipahami bahwa kedhaliman para atsarah tersebut nampak secara dhuhuran (terang-terangan). Bukan sembunyi-sembunyi. Bila sembunyi-sembunyi, tentu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan berpesan untuk bersabar terhadap kedhaliman mereka.

Sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kaum takfiriyyun. Perhatikan hadits Abu Bakrah berikut :

عن زياد بن كسيب العدوي قال كنت مع أبي بكرة تحت منبر بن عامر وهو يخطب وعليه ثياب رقاق فقال أبو بلال انظروا إلى أميرنا يلبس ثياب الفساق فقال أبو بكرة اسكت سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من أهان سلطان الله في الأرض أهانه الله

Dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawy ia berkata : ”Aku bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ’Amir. Sedangkan Ibnu ’Amir berkhutbah dengan pakaian yang tipis (pakaian orang fasiq). Abu Bilal (salah seorang gembong Khawarij) berkata : ”Lihatlah pemimpin kita, dia berpakaian dengan pakaiannya orang fasiq”. Kemudian Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu berkata : ”Diam kamu !! Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : Barangsiapa yang menghinakan penguasa Allah di bumi, maka Allah akan hinakan orang itu” [HR. Tirmidzi no. 2224 dan Ibnu Abi ’Ashim no. 1024; shahih].

Abu Bilal, ia adalah Mirdas bin Udayyah, salah seorang gembong Khawarij. Hal ini dikatakan oleh Al-Hafidh Al-Mizzy (guru Ibnu Hajar) dalam catatan kaki kitabnya : Tahdzibul-Kamal juz 7 hal. 399.

Apa yang dilakukan oleh Abu Bakrah radliyallaahu ’anhu ketika melihat seorang pemimpin yang melakukan kefasiqan di muka umum (bahkan dilakukannya ketika di depan rakyat banyak di atas mimbar) ? Dan apa pula yang dilakukan ketika ada orang yang mencelanya secara terang-terangan terhadap kefasiqan penguasa tersebut ? Mendorongnya untuk memberontak ? Tidak tercatat dalam kitab-kitab tarikh (setahu kami) bahwa shahabat Abu Bakrah ini terlibat fitnah peperangan dengan penguasa.

Contoh baik adalah sebagaimana fitnah yang terjadi di masa Imam Ahmad dimana kefasiqan, kemunkaran, dan kemaksiatan merajalela secara terang-terangan. Para imam pakar sejarah telah me-report apa yang terjadi di masa Imam Ahmad (pada Dinasti ’Abbasiyyah). Bahkan aqidah Jahmiyyah dilindungi oleh penguasa. Orang-orang dipaksa untuk mengakui aqidah ini. Namun, adakah para ulama mu’tabar waktu itu yang memaklumkan kebolehan untuk melawan penguasa. Tidak !! Sungguh picik jika ada orang yang menganggap Imam Ahmad dan para ulama semasanya memerintahkan untuk memberontak kepada penguasa. Penguasa melakukan berbagai kemunkaran tersebut berdasarkan kebodohannya akibat pengaruh para pembantunya dari kalangan Mu'tazillah. Belum terpenuhi syarat-syarat kekafiran pada diri penguasa sehingga mengharuskan jatuhnya vonis takfir serta fatwa kebolehan memberontak darinya.

Bagaimana halnya Jika Penguasa Memberlakukan Undang-Undang Buatan dalam Menjalankan Pemerintahannya ?

Beberapa orang atau kelompok ketika mengulas pembahasan tasyri’ ’aam dan tabdiil yang bermuara pada pembuatan dan pemberlakukan undang-undang keduniaan menegaskan akan kekafiran penguasa sehingga membolehkan adanya pemberontakan/keluar dari ketaatan. Mereka menyatakan bahwa penguasa tersebut telah kafir karena membuat dan/atau menjalankan hukum selain dari hukum Allah, dimana hal itu merupakan kekufuran yang nyata dalam kaca mata syari’at.

Permasalahan ini telah dibahas oleh para ulama ketika mereka membahas Al-Hukmu bi-Ghairi Maa Anzalallaah (Berhukum dengan hukum selain yang diturunkan Allah). Mereka membahas bahasan tasyri’ aam dan qadliyyah mu’ayyanah dalam satu lingkup bahasan. Allah telah berfirman :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

”Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44].

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 45].

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Maaidah : 47].

Ayat-ayat hukum di atas berlaku pada semua jenis manusia, baik aamir (pemimpin) ataupun ma’mur (yang dipimpin/rakyat). Tidak ada pengkhususan bahwa ayat tersebut hanya berlaku pada satu golongan manusia dan tidak bagi yang lain. Kita semua paham – insya Allah – bahwasannya berhukum dengan hukum Allah itu mencakup segala hal (aqidah, hukum, akhlaq, dan yang sebagainya); karena kalimat maa anzalallah (apa-apa yang diturunkan Allah) meliputi semua isi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semua hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka hal itu dinamakan ghairu maa anzalallaah (selain yang diturunkan Allah). Jika ada orang yang berpandangan dengan pemutlakan kekafiran (kufur akbar) terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka konsekuensinya dia akan mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, dan mungkin juga termasuk dirinya. Ia akan mengkafirkan pada setiap pelaku kemaksiatan seperti pembohong, pencuri, pezina, dan yang lain-lain. Tidak diragukan lagi ini adalah i’tiqad (keyakinan) yang salah yang merupakan warisan kaum sesat Khawarij dan Mu’tazillah. Al-Imam Ibnu Hazm telah mengisyaratkan hal ini dengan perkataannya :

فإن الله عز وجل قال : ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون ، ومن لم يحكم بما أنز الله فأولئك هم الفاسقون ، ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون . فليلزم المعتزلة أن يصرحوا بكفر كل عاص وظالم وفاسق لأن كل عامل بالمعصية فلم يحكم بما أنزل الله

“Sesungguhnya Allah telah berfirman : Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq ; Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Maka konsekuensi bagi Mu’tazillah, hendaknya mereka mengkafirkan setiap pelaku kemaksiatan, kedhaliman, dan kefasikan; karena setiap pelaku kemaksiatan itu tidaklah berhukum dengan apa yang diturunkan Allah” [Al-Fishaal juz 3 hal. 234].

Ahlus-Sunnah telah sepakat bahwa bahwa orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tidaklah selalu jatuh padanya kufur akbar yang menyebabkan keluar dari agama. Bisa jadi perbuatan tersebut merupakan kufur ashghar yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama (tapi ia tetap merupakan dosa besar yang wajib bagi seseorang untuk bertaubat).

Al-Imam Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy berkata :

أجمع العلماء على أن الجور في الحكم من الكبائر لمن تعمَّد ذلك عالماً به

”Para ulama telah sepakat bahwa kecurangan dalam menghukumi termasuk dosa-dosa besar bagi siapa saja yang melakukannya dengan sengaja dalam keadaan mengetahui hukumnya (tanpa adanya pengingkaran dan penghalalan)...”[At-Tamhid juz 17 hal. 16].

Al-Imam Abu Bakr Al-Ajurri berkata :

ومما يتبع الحرورية من المتشابه قول الله عز وجل { وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} ويقرءون معها {ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ} فإذا رأوا الإمام الحاكم يحكم بغير الحق قالوا: قد كفر ، ومن كفر عدل بربه فقد أشرك، فهؤلاء الأئمة مشركون ، فيخرجون فيفعلون ما رأيت ؛ لأنهم يتأولون هذه الآية

”Di antara ayat-ayat mutasyaabihaat yang diikuti oleh orang-orang Haruriyyah (Khawarij) adalah firman Allah ’azza wa jalla : "Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir” [QS. Al-Maaidah : 44]. Dan mereka juga menyertakan ayat : ”Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka” [QS. Al-An’aam : 1]. Jika mereka melihat seorang penguasa/hakim yang menghukumi dengan tidak haq maka mereka berkata : ’Dia telah kafir, dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb-nya, maka sungguh ia telah musyrik. Para penguasa ini merupakan orang-orang musyrikin”. Maka mereka memberontak dan melakukan hal yang engkau lihat, karena mereka menakwilkan ayat ini” [Asy-Syari’ah hal. 18; Maktabah Al-Misykah].

Al-Imam Abu Hayyan Al-Andalusi berkata :

واحتجت الخوارج بهذه الآية على أن كل من عصى الله تعالى فهو كافرٌ وقالوا هي نص في كل من حكم بغير ما أنزل الله فهو كافر

”Orang-orang Khawarij berargumen dengan ayat ini bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah maka dia telah kafir. Dan mereka berkata : ”Ia adalah nash bagi setiap orang yang berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, maka dia kafir” [Al-Bahrul-Muhithjuz 3 hal. 493].

Muhammad Rasyid Ridla berkata :

أما ظاهر الآية لم يقل به أحدٌ من أئمة الفقه المشهورين . بل لم يقل به أحدٌ قط

”Adapun dhahir ayat ini, maka tidak ada seorangpun dari para imam fiqh yang masyhur yang berpendapat dengannya. Bahkan tidak ada seorangpun yang berpendapat dengannya” [Tafsir Al-Manar juz 6 hal. 406].

Para ulama di atas (dan masih banyak yang lain) menjelaskan tentang manhaj Khawarij (dan Mu’tazillah) dimana mereka menggunakan ayat tersebut untuk memutlakkan setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa perincian yang dikenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah. Mereka menghantam kaum muslimin (terutama para penguasa) yang melakukan kabaair (dosa-dosa besar) dengan kekafiran. Adapun para ulama Ahlus-Sunnah telah memberikan penjelasan tentang tafsir ayat {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } sebagai berikut :

Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhu berkata :

من جحد ما أنزل الله فقد كفر, ومن أقرّ به ولـم يحكم فهو ظالـم فـاسق

”Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengikrarkannya namun tidak berhukum dengannya, maka ia seorang yang dhalim dan fasiq” [Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].

Abu Ja’far Ath-Thabari berkata :

وأولـى هذه الأقوال عندي بـالصواب, قول من قال: نزلت هذه الاَيات فـي كافر أهل الكتاب, لأن ما قبلها وما بعدها من الاَيات ففـيهم نزلت وهم الـمعِنـيون بها, وهذه الاَيات سياق الـخبر عنهم, فكونها خبرا عنهم أولـى. فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك عن جميع من لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ بـالـخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم أنهم بتركهم الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم بـما أنزل الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس

”Yang lebih benar dari perkataan-perkataan ini menurutku adalah adalah, perkatan orang yang mengatakan bahwa : ”Ayat ini turun pada orang-orang kafir dari Ahli Kitab, karena sebelum dan sesudah (ayat tersebut) bercerita tentang mereka. Merekalah yang dimaksudkan dalam ayat ini. Dan konteks ayat ini juga mengkhabarkan tentang mereka. Sehingga keberadaan ayat ini sebagai khabar tentang mereka lebih didahulukan”. Apabila ada yang berkata : ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi setaip orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa menjadikan ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan : ”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan tentang mereka bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Abbas...” [Tafsir Ath-Thabari QS. Al-Maidah : 44].

Abul-’Abbas Al-Qurthubi (guru mufassir Abu ’Abdillah Al-Qurthubi penulis Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’an) berkata :

وقوله تعالى : { ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون )) ؛ يحتجُّ بظاهره من يُكفِّرُ بالذنوب ، وهم الخوارج ، ولا حجَّة لهم فيه ؛ لأنَّ هذه الآيات نزلت في اليهود المحرفين كلام الله تعالى ، كما جاء في هذا الحديث ، وهم كفار ، فيشاركهم في حكمها من يشاركهم في سبب نزولها . وبيان هذا : أن المسلم إذا علم حكم الله تعالى في قضيَّة قطعًا ، ثم لم يحكم به ؛ فإن كان عن جَحْدٍ كان كافرًا ، لا يختلف في هذا . وإن كان لا عن جَحْدٍ كان عاصيًا مرتكب كبيرة ؛ لأنَّه مصدق بأصل ذلك الحكم ، وعالم بوجوب تنفيذه عليه ، لكنه عصى بترك العمل به ، وهكذا في كل ما يعلم من ضرورة الشرع حكمه ، كالصلاة ، وغيرها من القواعد المعلومة . وهذا مذهب أهل السُّنه. وقد تقدم ذلك في كتاب الإيمان ؛ حيث بيَّنَّا : أن الكفر هو الجحد والتكذيب بأمرٍ معلوم ضروري من الشرع ، فما لا يكن كذلك فليس بكفر . ومقصود هذا البحث : أن هذه الآيات المراد بها : أهل الكفر ، والعناد . وأنها كانت ألفاظها عامة ، فقد خرج منها المسلمون ؛ لأنَّ ترك العمل بالحكم مع الإيمان بأصله هو دون الشرك . وقد قال تعالى : { إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء }. وترك الحكم بذلك ليس بشرك بالاتفاق ، فيجوز أن يُغفر ، والكفر لا يُغفر ، فلا يكون ترك العمل بالحكم كفرًا

”Firman Allah ta’ala : Barang siapa yang tidak berhukum/memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir [QS. Al-Maaidah : 44]. Dhahir ayat ini dijadikan hujjah bagi orang yang mengkafirkan orang yang berbuat dosa (yaitu khawarij), padahal tidak ada hujjah bagi mereka pada ayat tersebut. Karena ayat-ayat ini turun pada orang Yahudi yang menyelewengkan firman Alah ta’ala, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits, dan mereka adalah orang-orang kafir. Maka orang-orang yang semisal dengan mereka yang menjadi sebab turun ayat ini, sama pula hukumnya. Penjelasannya adalah : Sesungguhnya seorang muslim bila dia mengetahui hukum Allah ta’ala pada perkara tertentu, kemudian dia tidak menjalankannya, jika hal itu dilakukan karena pengingkarannya (terhadap hukum tersebut), maka dia kafir dan ini tidak diperselisihkan lagi. Namun jika tidak demikian (tidak mengingkari), maka dia termasuk orang yang berbuat dosa besar, karena dia masih mengakui pokok hukum tersebut dan mengetahui kewajiban menjalankan hukum tersebut, tapi dia bermaksiat dengan meninggalkannya. Demikian pula halnya dengan perkara-perkara yang hukumnya sudah diketahui dengan gamblang dari syari’at ini seperti shalat dan selainnya berupa kaidah-kaidah yang sudah dimaklumi. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah. Hal ini telah berlalu pembahasannya dalam Kitaabul-Iman dimana kami telah menjelaskanya : Bahwasannya kekufuran itu adalah kufur juhd (pengingkaran) dan takdzib (pendustaan) terhadap perkara-perkara yang telah diketahui secara dlaruri dalam syari’at. Apabila keadaannya tidaklah seperti itu, maka ia bukanlah kekufuran (yang mengeluarkan dari Islam). Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa ayat-ayat ini ditujukan kepada orang-orang kafir dan yang menentang, walaupun lafadhnya umum, tapi kaum muslimin tidak termasuk dalam ayat ini. Hal itu dikarenakan tidak menjalankan hukum Allah bersamaan dengan masih adanya iman terhadap pokok hukum tersebut, masih berada pada posisi di bawah dosa syirik. Dan Allah telah berfirman : ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik tapi Dia mengampuni dosa selain syirik bagi yang dikehendakinya” [QS. An-Nisaa’ : 48]. Adapun meninggalkan hukum yang demikian bukanlah termasuk syirik menurut kesepakatan. Oleh karena itu, dia berhak untuk mendapatkan ampunan. Adapun kekufuran, tidak ada ampunan baginya. Maka meninggalkan berhukum dengan hukum Allah bukan termasuk kekafiran” [Al-Mufhim limaa Asykala min Talkhiisi Kitaabi Muslim juz 4 hal. 150].

Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata :

قال ابن مسعود والحسن: هي عامة في كل من لم يحكم بما أنزل الله من المسلمين واليهود والكفار أي معتقدا ذلك ومستحلا له؛ فأنا من فعل ذلك وهو معتقد أنه راكب محرم فهو من فساق المسلمين، وأمره إلى الله تعالى إن شاء عذبه، وإن شاء غفر له

Telah berkata Ibnu Mas’ud dan Al-Hasan : "Hal itu bersifat umum bagi setiap orang yang yang tidak berhukum/memutuskan hukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dari kalangan muslimin, orang Yahudi, dan orang kafir. Yaitu jika meyakini atau menghalalkan (berhukum dengan selain hukum Allah), maka ia kafir. Namun barangsiapa yang mengerjakan hal tersebut dan dia meyakini bahwa dia mengerjakan larangan, maka dia termasuk orang-orang muslim yang fasiq dan perkaranya di tangan Allah. Jika Dia menghendaki, maka akan diadzab; dan jika tidak, maka Dia akan mengampuninya” [Lihat Al-Jami’ li-Ahkaamil-Qur’an juz 6 hal. 190; tafsir QS. Al-Maidah : 44].

Ibnul-Jauzi berkata :

أن من لم يحكم بما أنزل الله جاحدا له، وهو يعلم أن الله أنزله، كما فعلت اليهود، فهو كافر، ومن لم يحكم به ميلا إلى الهوى من غير جحود، فهو ظالم وفاسق. وقد روى علي بن أبي طلحة عن ابن عباس أنه قال: من جحد ما أنزل الله فقد كفر، ومن أقر به ولم يحكم به فهو فاسق وظالم

"(Kesimpulannya), bahwa barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah dalam keadaan mengingkari akan kewajiban (berhukum) dengannya padahal dia mengetahui bahwa Allah-lah yang menurunkannya – seperti orang Yahudi – maka orang ini kafir. Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah karena condong pada hawa nafsunya - tanpa adanya pengingkaran – maka dia itu dhalim dan fasiq. Dan telah diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu ‘Abbas bahwa dia berkata : ‘Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang diturunkan Allah maka dia kafir. Dan barangsiapa yang masih mengikrarkannya tapi tidak berhukum dengannya, maka dia itu dhalim dan fasiq" [lihat Zaadul-Masiir juz 2 hal. 366].

Dan lain-lain. Semua menjelaskan adanya perincian, yaitu :

1.     Jika orang tersebut berhukum/memutuskan hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan tetap meyakini kewajibannya dan membenarkan hukum Allah, maka orang tersebut tidaklah kafir. Ia adalah seseorang yang melakukan dosa besar atau kufur ashghar.

2.     Jika orang tersebut berhukum/memutuskan hukum dengan selain hukum Allah dalam keadaan mengingkari kewajibannya dan menghalalkan dalam hati apa yang ia perbuat (berhukum dengan selain hukum Allah), maka tidak syakk (ragu) tentang kekafirannya.

Perkara pengkafiran dalam perkara ini adalah masalah i’tiqady yang tidak bisa serta merta dihukumi dengan dhahirnya saja. Tidak bisa orang hanya menilai dari apa yang tampak sehingga ia mengatakan (misalnya) : ”Ia telah mengingkari hukum Allah” atau ”Ia telah menghalalkan hukum sekuler” yang kemudian dengan itu ia menjustifikasi kekafiran terhadap orang tersebut. Dari mana ia bisa tahu padahal semua itu terkait dengan i’tiqad (keyakinan) dalam hati ? Maka, penentuan hukum kafir ini tidaklah dengan serta merta. Harus ada tahapan penegakan hujjah (iqaamatul-hujjah), dihilangkannya syubhat (izaalatusy-syubuhaat), dan terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan :

وليس لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة، وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة‏.

“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyyah juz 12 halaman 135].

Dalil yang melandasi adalah firman Allah ta’ala :

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].

كُلّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ * قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزّلَ اللّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ

Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?". Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9].

Dan perlu menjadi catatan penting adalah bahwa tegaknya hujjah itu tidak hanya sekedar hujjah tersebut sampai kepadanya. Tapi hal itu mensyaratkan kepahaman dari orang tersebut (atas hujjah yang disampaikan). Nah, jika demikian, penerapan ataupun pelaksanaan beberapa hukum selain hukum Allah (seperti banyak kita dapatkan kenyataannya pada jaman sekarang) tidaklah selalu mengharuskan kekafiran pada pelakunya. Konsekuensinya, perbuatan tidak berhukum dengan hukum Allah itu tidak selalu ada dalam lingkup kufran bawaahan atau kufran shuraahan, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi.

Ada satu hadits yang nampaknya perlu mendapatkan perhatian kita bersama.

عن جابر رضى الله تعالى عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم حين مات النجاشي مات اليوم رجل صالح فقوموا فصلوا على أخيكم أصحمة

Dari Jabir radliyallaahu ’anhu : Telah berkata Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pada waktu raja Najasyi meninggal dunia : ”Sesungguhnya pada hari ini seorang laki-laki yang shalih meninggal dunia, maka berdirilah kalian dan shalatkanlah saudaramu Ashhamah” [HR. Bukhari no. 3664 dan Muslim no. 952].

Dalam hadits tersebut terkandung suatu hukum yang agung dimana seorang penguasa yang tidak menerapkan hukum Islam pada rakyatnya tidaklah selalu dikatakan kafir. Bahkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam menisbatkan keshalihan padanya. Mungkin ada sebagian orang yang akan berkomentar :

( - ) An Najasyi tidak divonis kafir karena ia tidak mampu untuk menerapkan hukum islam, beda halnya dengan pemerintahan yang ada pada jaman sekarang, terlebih-lebih pemerintahan yang mayoritas penduduknya kaum muslimin, bahkan mereka menuntut agar diterapkan hukum islam.

Kita jawab : Bukankah para pemerintahan yang ada sekarang juga merasa takut untuk menerapkan syari’at, takut dibunuh, digulingkan, diserang negara lain, dan banyak alasan lagi. An-Najasyi takut untuk digulingkan, begitu juga pemerintah yang ada sekarang, takut untuk digulingkan, dan bahkan diserang oleg negara lain. Bukankah kita pernah dengar seorang yang bernama Zhiyaul-Haq (mantan Presiden Pakistan), dan kisah kenapa ia dibunuh ? Terdapat kesamaan ’íllat syar’i antara keadaan An-Najasyi dengan kebanyakan penguasa di jaman sekarang.

Jika ada orang yang berkata :

( - ) "Bukankah para penguasa kita telah ‘mengganti’ hukum Allah dengan hukum-hukum lain seperti demokrasi sehingga dengan itu mereka telah kafir ?".

Kita jawab : "Tidak diragukan bahwa hukum demokrasi merupakan hukum kufur. Namun tidaklah setiap orang yang terlibat dalam demokrasi bisa disebut telah melakukan kekufuran yang nyata atau pelakunya layak disebut kafir. Tidak seperti itu. Perlu dicatat bahwa « mengganti » atau tabdiil (تَبْدِيْلٌ) yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah maknanya adalah keadaan seorang yang membuat hukum selain hukum Allah dengan menganggap bahwa itu adalah hukum Allah atau seperti hukum Allah. Adapun jika tidak demikian, maka bukan dinamakan tabdil (yang menyebabkan kufur akbar). Imam Ibnu ‘Arabi berkata :

وهذا يختلف: إن حكم بما عنده على أنه من عند الله فهو تبديل له يوجب الكفر. وإن حكم به هوى و معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين

"Dan ini berbeda : Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdiil (mengganti) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai dengan pokok Ahlus-Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa" [lihat Ahkaamul-Qur’an juz 2 hal. 624].

Apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi ini sama seperti yang dikatakan oleh Al-Qurthubi dalamTafsir-nya (juz 6 hal. 191 – yang merupakan penjelasan Imam Thawus dan selainnya) dan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa ( juz 3 hal. 268). Bisa jadi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah itu hanya melakukan kekufuran ashghar saja (yang bukan termasuk kufran bawwaahan). Kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Tidak boleh kita menghilangkan sifat iman dan Islam dari seorang muslim tanpa hujjah dan alasan yang dibenarkan syari’at.

Dan puncak penjelasan dari bagian ini adalah hadits Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ’anhu :

يكون بعدي أئمة لا يهتدون بهداي ولا يستنون بسنتي وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس قال قلت كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك قال تسمع وتطيع للأمير وإن ضرب ظهرك وأخذ مالك فاسمع وأطع

“Akan ada sepeninggalku nanti para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku. Akan muncul pula di tengah-tengah kalian orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia”. Aku (Hudzaifah) bertanya : “Apa yang harus aku lakukan jika aku mendapatkannya?”. Beliau menjawab : “(Hendaknya) kalian mendengar dan taat kepada amir, meskipun ia memukul punggungmu dan merampas hartamu, tetaplah mendengar dan taat” [HR. Muslim no. 1847].

Hadits ini telah menjelaskan tentang kemaksiatan yang dilakukan penguasa baik yang ia lakukan pada diri sendiri ataupun pada orang lain (rakyatnya); baik kemaksiatan itu merupakan sebuah sistem atau bukan merupakan sebuah sistem.

’Ali Al-Qari berkata ketika menjelaskan hadits di atas dalam penyebutan sifat-sifat pemimpin yang diisyaratkan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :

لا يهتدون بهداي أي من حيث العلم ولا يستنون بسنتي أي من حيث العمل والمعنى أنهم لا يأخذون بالكتاب والسنة

”.... Tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku” ; adalah dalam hal ’ilmu. ”Tidak mengambil sunnah dengan sunnahku” ; adalah dalam hal amal. Maknanya adalah bahwa pemimpin-pemimpin tersebut tidak mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam menjalankan kekuasannya)” [Mirqatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 5 hal. 113]

Kapan Diperbolehkan Memprotes kepada Penguasa ?

 Dari Junadah bin Abi Umayyah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Kami masuk ke rumah ’Ubadah bin Ash-Shaamit ketika ia dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya : ’Sampaikan hadits kepada kami – aslahakallah – dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang dengannya Allah akan memberi manfaat kepada kami”. Maka ’Ubadah bin Ash-Shaamit berkata :

دعانا النبي صلى الله عليه وسلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن ترو كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان

”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil kami kemudian membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak). Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam berkata : ”Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah” [HR. Bukhari no. 6647].

Sebagian ulama telah merangkum beberapa syarat kapan diperbolehkan memberontak kepada penguasa, yaitu :

1.     Melihat, yang mempunyai makna mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.

2.     Apa yang dilakukan penguasa benar-benar merupakan kekafiran. Apabila masih tergolong perbuatan kefasikan, maka tidak diperbolehkan memberontak bagaimanapun besarnya kefasiqan tersebut.

3.     Dilakukan dengan terang dan jelas tanpa mengandung penafsiran lain.

4.     Kita memiliki bukti di sisi Allah padanya, yaitu hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta ijma’ umat.

5.     Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam, yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa, karena jika tidak punya kemampuan maka akan terbalik sehingga malah mencelakakan rakyat sehingga menimbulkan mudlarat ang lebih besar daripada mudlarat yang diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut. [Fiqh Siyasah Asy-Syar’iyyah hal. 287-288].

Sebagai bahan perenungan akhir, mari kita cermati untaian perkataan indah dari Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy (w. 792 H) yang termuat dalam salah satu kitab syarah terbaik bagi kitab Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah :

وأما لزوم طاعتهم وإن جاروا ، فلأنه يترتب على الخروج من طاعتهم من المفاسد أضعاف ما يحصل من جورهم ، بل في الصبرعلى جورهم تكفير السيئات ومضاعفة الأجور ، فإن الله تعالى ما سلطهم علينا إلا لفساد أعمالنا ، والجزاء من جنس العمل ، فعلينا الإجتهاد في الإستغفار والتوبة وإصلاح العمل . قال تعالى : وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ. وقال تعالى : أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ. وقال تعالى : مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ. وقال تعالى : وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ. فإذا أراد الرعية أن يتخلصوا من ظلم الأمير الظالم ، فليتركوا الظلم.

“Adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk mentaati mereka (yaitu para penguasa) walaupun mereka jahat/dhalim. Hal itu dikarenakan kerusakan yang ditimbulkan akibat keluar dari ketaatan kepada mereka lebih besar daripada kerusakan yang terjadi karena kejahatan mereka. Bahkan, kesabaran dalam menghadapi kejahatan mereka akan menghapus berbagai kejelekan dan melipatgandakan pahala. Sesungguhnya Allah tidak menjadikan mereka berkuasa atas kita (dengan segala kejahatan/kedhalimannya) meliankan karena kerusakan amal-amal kita. Balasan yang diberikan itu tergantung dari jenis amal yang diperbuat. Maka, yang menjadi kewajiban bagi kita adalah bersungguh-sungguh dalam memohon ampun, bertaubat, dan memperbaiki amal. Allah ta’ala telah berfirman : ”Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” [QS. Asy-Syuuraa : 30]. ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” [QS. An-Nisaa’ : 79]. ”Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang lalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan” [QS. Al-An’aam : 129].
Maka, apabila rakyat ingin mengakhiri/melepaskan diri dari kedhaliman pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman juga”

KISAH DIALOG RAJA HIRACLIUS DENGAN ABU SYUFYAN


Di masa jahiliyah bohong atau dusta adalah sifat yang hina. Mereka benar-benar memandang dusta sebagai sifat rendahan. Islam hadir di lisan masyarakat yang jujur ini sehingga syahadat bisa terwakili dengan zhahir ucapan lisan. Ketika lisan mereka telah berucap itu berarti isi hati dan perbuatan pun sama.

Berikut ini sebuah kisah dimana orang-orang Arab jahiliyah menganggap dusta adalah aib yang tercela dan memalukan. Orang-orang akan mengingatnya dalam waktu yang panjang. Dan dicap sebagai pembohong. Apalagi kalau yang berdusta adalah seorang tokoh. Kisah ini sekaligus menguatkan hikmah mengapa Nabi Muhammad  SAW diutus di Arab.

Kisah Abu Sufyan Bertemu dengan Raja Heraklius – Kitab Permulaan Wahyu – Hadits 7 – Kitab Shahih Bukhari

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ بْنَ حَرْبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ هِرَقْلَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانُوا تِجَارًا بِالشَّأْمِ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَادَّ فِيهَا أَبَا سُفْيَانَ وَكُفَّارَ قُرَيْشٍ فَأَتَوْهُ وَهُمْ بِإِيلِيَاءَ فَدَعَاهُمْ فِي مَجْلِسِهِ وَحَوْلَهُ عُظَمَاءُ الرُّومِ ثُمَّ دَعَاهُمْ وَدَعَا بِتَرْجُمَانِهِ فَقَالَ أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَقُلْتُ أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا فَقَالَ أَدْنُوهُ مِنِّي وَقَرِّبُوا أَصْحَابَهُ فَاجْعَلُوهُمْ عِنْدَ ظَهْرِهِ ثُمَّ قَالَ لِتَرْجُمَانِهِ قُلْ لَهُمْ إِنِّي سَائِلٌ هَذَا عَنْ هَذَا الرَّجُلِ فَإِنْ كَذَبَنِي فَكَذِّبُوهُ فَوَاللَّهِ لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَنْهُ ثُمَّ كَانَ أَوَّلَ مَا سَأَلَنِي عَنْهُ أَنْ قَالَ كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ قُلْتُ هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ قَالَ فَهَلْ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ مِنْكُمْ أَحَدٌ قَطُّ قَبْلَهُ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ لَا قَالَ فَأَشْرَافُ النَّاسِ يَتَّبِعُونَهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَقُلْتُ بَلْ ضُعَفَاؤُهُمْ قَالَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ قُلْتُ بَلْ يَزِيدُونَ قَالَ فَهَلْ يَرْتَدُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ يَغْدِرُ قُلْتُ لَا وَنَحْنُ مِنْهُ فِي مُدَّةٍ لَا نَدْرِي مَا هُوَ فَاعِلٌ فِيهَا قَالَ وَلَمْ تُمْكِنِّي كَلِمَةٌ أُدْخِلُ فِيهَا شَيْئًا غَيْرُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ قَالَ فَهَلْ قَاتَلْتُمُوهُ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ كَانَ قِتَالُكُمْ إِيَّاهُ قُلْتُ الْحَرْبُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ سِجَالٌ يَنَالُ مِنَّا وَنَنَالُ مِنْهُ قَالَ مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ فَقَالَ لِلتَّرْجُمَانِ قُلْ لَهُ سَأَلْتُكَ عَنْ نَسَبِهِ فَذَكَرْتَ أَنَّهُ فِيكُمْ ذُو نَسَبٍ فَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فِي نَسَبِ قَوْمِهَا وَسَأَلْتُكَ هَلْ قَالَ أَحَدٌ مِنْكُمْ هَذَا الْقَوْلَ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا فَقُلْتُ لَوْ كَانَ أَحَدٌ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ قَبْلَهُ لَقُلْتُ رَجُلٌ يَأْتَسِي بِقَوْلٍ قِيلَ قَبْلَهُ وَسَأَلْتُكَ هَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا قُلْتُ فَلَوْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ رَجُلٌ يَطْلُبُ مُلْكَ أَبِيهِ وَسَأَلْتُكَ هَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا فَقَدْ أَعْرِفُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَذَرَ الْكَذِبَ عَلَى النَّاسِ وَيَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ وَسَأَلْتُكَ أَشْرَافُ النَّاسِ اتَّبَعُوهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّ ضُعَفَاءَهُمْ اتَّبَعُوهُ وَهُمْ أَتْبَاعُ الرُّسُلِ وَسَأَلْتُكَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ فَذَكَرْتَ أَنَّهُمْ يَزِيدُونَ وَكَذَلِكَ أَمْرُ الْإِيمَانِ حَتَّى يَتِمَّ وَسَأَلْتُكَ أَيَرْتَدُّ أَحَدٌ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الْإِيمَانُ حِينَ تُخَالِطُ بَشَاشَتُهُ الْقُلُوبَ وَسَأَلْتُكَ هَلْ يَغْدِرُ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ لَا تَغْدِرُ وَسَأَلْتُكَ بِمَا يَأْمُرُكُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّهُ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَيَنْهَاكُمْ عَنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ وَيَأْمُرُكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ فَلَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنِّي أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ ثُمَّ دَعَا بِكِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي بَعَثَ بِهِ دِحْيَةُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى فَدَفَعَهُ إِلَى هِرَقْلَ فَقَرَأَهُ فَإِذَا فِيهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ { يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ } قَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَلَمَّا قَالَ مَا قَالَ وَفَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ الْكِتَابِ كَثُرَ عِنْدَهُ الصَّخَبُ وَارْتَفَعَتْ الْأَصْوَاتُ وَأُخْرِجْنَا فَقُلْتُ لِأَصْحَابِي حِينَ أُخْرِجْنَا لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ ابْنِ أَبِي كَبْشَةَ إِنَّهُ يَخَافُهُ مَلِكُ بَنِي الْأَصْفَرِ فَمَا زِلْتُ مُوقِنًا أَنَّهُ سَيَظْهَرُ حَتَّى أَدْخَلَ اللَّهُ عَلَيَّ الْإِسْلَامَ وَكَانَ ابْنُ النَّاظُورِ صَاحِبُ إِيلِيَاءَ وَهِرَقْلَ سُقُفًّا عَلَى نَصَارَى الشَّأْمِ يُحَدِّثُ أَنَّ هِرَقْلَ حِينَ قَدِمَ إِيلِيَاءَ أَصْبَحَ يَوْمًا خَبِيثَ النَّفْسِ فَقَالَ بَعْضُ بَطَارِقَتِهِ قَدْ اسْتَنْكَرْنَا هَيْئَتَكَ قَالَ ابْنُ النَّاظُورِ وَكَانَ هِرَقْلُ حَزَّاءً يَنْظُرُ فِي النُّجُومِ فَقَالَ لَهُمْ حِينَ سَأَلُوهُ إِنِّي رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ حِينَ نَظَرْتُ فِي النُّجُومِ مَلِكَ الْخِتَانِ قَدْ ظَهَرَ فَمَنْ يَخْتَتِنُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَالُوا لَيْسَ يَخْتَتِنُ إِلَّا الْيَهُودُ فَلَا يُهِمَّنَّكَ شَأْنُهُمْ وَاكْتُبْ إِلَى مَدَايِنِ مُلْكِكَ فَيَقْتُلُوا مَنْ فِيهِمْ مِنْ الْيَهُودِ فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى أَمْرِهِمْ أُتِيَ هِرَقْلُ بِرَجُلٍ أَرْسَلَ بِهِ مَلِكُ غَسَّانَ يُخْبِرُ عَنْ خَبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا اسْتَخْبَرَهُ هِرَقْلُ قَالَ اذْهَبُوا فَانْظُرُوا أَمُخْتَتِنٌ هُوَ أَمْ لَا فَنَظَرُوا إِلَيْهِ فَحَدَّثُوهُ أَنَّهُ مُخْتَتِنٌ وَسَأَلَهُ عَنْ الْعَرَبِ فَقَالَ هُمْ يَخْتَتِنُونَ فَقَالَ هِرَقْلُ هَذَا مُلْكُ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَدْ ظَهَرَ ثُمَّ كَتَبَ هِرَقْلُ إِلَى صَاحِبٍ لَهُ بِرُومِيَةَ وَكَانَ نَظِيرَهُ فِي الْعِلْمِ وَسَارَ هِرَقْلُ إِلَى حِمْصَ فَلَمْ يَرِمْ حِمْصَ حَتَّى أَتَاهُ كِتَابٌ مِنْ صَاحِبِهِ يُوَافِقُ رَأْيَ هِرَقْلَ عَلَى خُرُوجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ نَبِيٌّ فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِي دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ هَلْ لَكُمْ فِي الْفَلَاحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِيَّ فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الْأَبْوَابِ فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ وَأَيِسَ مِنْ الْإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَيَّ وَقَالَ إِنِّي قُلْتُ مَقَالَتِي آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ فَقَدْ رَأَيْتُ فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ رَوَاهُ صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ وَيُونُسُ وَمَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ

Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Al Hakam bin Nafi’ dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhri telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah bin Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud bahwa Abdullah bin ‘Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwaAbu Sufyan bin Harb telah mengabarkan kepadanya; bahwaHeraclius menerima rombongan dagang Quraisy, yang sedang mengadakan ekspedisi dagang ke Negeri Syam pada saat berlakunya perjanjian antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdengan Abu Sufyan dan orang-orang kafir Quraisy.

Saat singgah di Iliya’ mereka menemui Heraclius atas undangan Heraclius untuk di diajak dialog di majelisnya, yang saat itu Heraclius bersama dengan para pembesar-pembesar Negeri Romawi. Heraclius berbicara dengan mereka melalui penerjemah. Heraclius berkata; “Siapa diantara kalian yang paling dekat hubungan keluarganya dengan orang yang mengaku sebagai Nabi itu?.” Abu Sufyan berkata; maka aku menjawab; “Akulah yang paling dekat hubungan kekeluargaannya dengan dia”.

Heraclius berkata; “Dekatkanlah dia denganku dan juga sahabat-sahabatnya.” Maka mereka meletakkan orang-orang Quraisy berada di belakang Abu Sufyan. Lalu Heraclius berkata melalui penerjemahnya: “Katakan kepadanya, bahwa aku bertanya kepadanya tentang lelaki yang mengaku sebagai Nabi. Jika ia berdusta kepadaku maka kalian harus mendustakannya.”Demi Allah, kalau bukan rasa malu akibat tudingan pendusta yang akan mereka lontarkan kepadaku niscaya aku berdusta kepadanya.” Abu Sufyan berkata; Maka yang pertama ditanyakannya kepadaku tentangnya (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah: “bagaimana kedudukan nasabnya ditengah-tengah kalian?” Aku jawab: “Dia adalah dari keturunan baik-baik (bangsawan) “. Tanyanya lagi: “Apakah ada orang lain yang pernah mengatakannya sebelum dia?” Aku jawab: “Tidak ada”. Tanyanya lagi: “Apakah bapaknya seorang raja?” Jawabku: “Bukan”. Apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah?” Jawabku: “Bahkan yang mengikutinya adalah orang-orang yang rendah”.

Dia bertanya lagi: “Apakah bertambah pengikutnya atau berkurang?” Aku jawab: “Bertambah”. Dia bertanya lagi: “Apakah ada yang murtad disebabkan dongkol terhadap agamanya?” Aku jawab: “Tidak ada”. Dia bertanya lagi: “Apakah kalian pernah mendapatkannya dia berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya itu?” Aku jawab: “Tidak pernah”. Dia bertanya lagi: “Apakah dia pernah berlaku curang?” Aku jawab: “Tidak pernah. Ketika kami bergaul dengannya, dia tidak pernah melakukan itu”. Berkata Abu Sufyan: “Aku tidak mungkin menyampaikan selain ucapan seperti ini”. Dia bertanya lagi: “Apakah kalian memeranginya?” Aku jawab: “Iya”. Dia bertanya lagi: “Bagaimana kesudahan perang tersebut?” Aku jawab: “Perang antara kami dan dia sangat banyak. Terkadang dia mengalahkan kami terkadang kami yang mengalahkan dia”. Dia bertanya lagi: “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Aku jawab: “Dia menyuruh kami; ‘Sembahlah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan tinggalkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang kalian.’ Dia juga memerintahkan kami untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan dan menyambung silaturrahim”.

Maka Heraclius berkata kepada penerjemahnya: “Katakan kepadanya, bahwa aku telah bertanya kepadamu tentang keturunan orang itu, kamu ceritakan bahwa orang itu dari keturunan bangsawan. Begitu juga laki-laki itu dibangkitkan di tengah keturunan kaumnya. Dan aku tanya kepadamu apakah pernah ada orang sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya, kamu jawab tidak. Seandainya dikatakan ada orang sebelumnya yang mengatakannya tentu kuanggap orang ini meniru orang sebelumnya yang pernah mengatakan hal serupa. Aku tanyakan juga kepadamu apakah bapaknya ada yang dari keturunan raja, maka kamu jawab tidak. Aku katakan seandainya bapaknya dari keturunan raja, tentu orang ini sedang menuntut kerajaan bapaknya. Dan aku tanyakan juga kepadamu apakah kalian pernah mendapatkan dia berdusta sebelum dia menyampaikan apa yang dikatakannya, kamu menjawabnya tidak. Sungguh aku memahami, kalau kepada manusia saja dia tidak berani berdusta apalagi berdusta kepada Allah. Dan aku juga telah bertanya kepadamu, apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah?” Kamu menjawab orang-orang yang rendah yang mengikutinya. Memang mereka itulah yang menjadi para pengikut Rasul.

Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah bertambah pengikutnya atau berkurang, kamu menjawabnya bertambah. Dan memang begitulah perkara iman hingga menjadi sempurna. Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah ada yang murtad disebabkan marah terhadap agamanya. Kamu menjawab tidak ada. Dan memang begitulah iman bila telah masuk tumbuh bersemi di dalam hati. Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah dia pernah berlaku curang, kamu jawab tidak pernah. Dan memang begitulah para Rasul tidak mungkin curang. Dan aku juga sudah bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya kepada kalian, kamu jawab dia memerintahkan kalian untuk menyembah Allah dengan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, dan melarang kalian menyembah berhala, dia juga memerintahkan kalian untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, berkata jujur, saling memaafkan dan menyambung silaturrahim. Seandainya semua apa yang kamu katakan ini benar, pasti dia akan menguasai kerajaan yang ada di bawah kakiku ini. Sungguh aku telah menduga bahwa dia tidak ada diantara kalian sekarang ini, seandainya aku tahu jalan untuk bisa menemuinya, tentu aku akan berusaha keras menemuinya hingga bila aku sudah berada di sisinya pasti aku akan basuh kedua kakinya.

Kemudian Heraclius meminta surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dibawa oleh Dihyah untuk para Penguasa Negeri Bashrah, Maka diberikannya surat itu kepada Heraclius, maka dibacanya dan isinya berbunyi: “Bismillahir rahmanir rahim. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya untuk Heraclius. Penguasa Romawi, Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Kemudian daripada itu, aku mengajakmu dengan seruan Islam; masuk Islamlah kamu, maka kamu akan selamat, Allah akan memberi pahala kepadamu dua kali. Namun jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa rakyat kamu, dan: Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Rabb selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Abu Sufyan menuturkan: “Setelah Heraclius menyampaikan apa yang dikatakannya dan selesai membaca surat tersebut, terjadilah hiruk pikuk dan suara-suara ribut, sehingga mengusir kami. Aku berkata kepada teman-temanku setelah kami diusir keluar; “sungguh dia telah diajak kepada urusan Anak Abu Kabsyah. Heraclius mengkhawatirkan kerajaan Romawi.”Pada masa itupun aku juga khawatir bahwa Muhammad akan berjaya, sampai akhirnya (perasaan itu hilang setelah) Allah memasukkan aku ke dalam Islam. Dan adalah Ibnu An Nazhur, seorang Pembesar Iliya’ dan Heraclius adalah seorang uskup agama Nashrani, dia menceritakan bahwa pada suatu hari ketika Heraclius mengunjungi Iliya’ dia sangat gelisah, berkata sebagian komandan perangnya: “Sungguh kami mengingkari keadaanmu. Selanjutnya kata Ibnu Nazhhur, “Heraclius adalah seorang ahli nujum yang selalu memperhatikan perjalanan bintang-bintang. Dia pernah menjawab pertanyaan para pendeta yang bertanya kepadanya; “Pada suatu malam ketika saya mengamati perjalanan bintang-bintang, saya melihat raja Khitan telah lahir, siapakah di antara ummat ini yang di khitan?” Jawab para pendeta; “Yang berkhitan hanyalah orang-orang Yahudi, janganlah anda risau karena orang-orang Yahudi itu. Perintahkan saja keseluruh negeri dalam kerajaan anda, supaya orang-orang Yahudi di negeri tersebut di bunuh.”

Ketika itu di hadapakan kepada Heraclius seorang utusan raja Bani Ghasssan untuk menceritakan perihal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setelah orang itu selesai bercerita, lalu Heraclius memerintahkan agar dia diperiksa, apakah dia berkhitan ataukah tidak. Seusai di periksa, ternyata memang dia berkhitam. Lalu di beritahukan orang kepada Heraclius. Heraclius bertanya kepada orang tersebut tentang orang-orang Arab yang lainnya, di khitankah mereka ataukah tidak?” Dia menjawab; “Orang Arab itu di khitan semuanya.” Heraclius berkata; ‘inilah raja ummat, sesungguhnya dia telah terlahir.” Kemudian heraclisu berkirim surat kepada seorang sahabatnya di Roma yang ilmunya setarf dengan Heraclisu (untuk menceritakan perihal kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam). Sementara itu, ia meneruskan perjalanannya ke negeri Himsha, tetapi sebelum tiba di Himsha, balasan surat dari sahabatnya itu telah tiba terlebih dahulu. Sahabatnya itu menyetujui pendapat Heraclius bahwa Muhammad telah lahir dan bahwa beliau memang seorang Nabi. Heraclius lalu mengundang para pembesar Roma supaya datang ke tempatnya di Himsha, setelah semuanya hadir dalam majlisnya, Heraclius memerintahkan supaya mengunci semua pintu.

Kemudian dia berkata; ‘Wahai bangsa rum, maukah anda semua beroleh kemenangan dan kemajuan yang gilang gemilang, sedangkan kerajaan tetap utuh di tangan kita? Kalau mau, akuilah Muhammad sebagai Nabi!.” Mendengar ucapan itu, mereka lari bagaikan keledai liar, padahal semua pintu telah terkunci. Melihat keadaan yang demikian, Heraclius jadi putus harapan yang mereka akan beriman (percaya kepada kenabian Muhammad). Lalu di perintahkannya semuanya untuk kembali ke tempatnya masing-masing seraya berkata; “Sesungguhnya saya mengucapkan perkataan saya tadi hanyalah sekedar menguji keteguhan hati anda semua. Kini saya telah melihat keteguhan itu.” Lalu mereka sujud di hadapan Heraclius dan mereka senang kepadanya. Demikianlah akhir kisah Heraclius. Telah di riwayatkan oleh Shalih bin Kaisan dan Yunus dan Ma’mar dari Az Zuhri.

Pelajaran Dari Kisah Ini

Satu dari beberapa hal penting yang dapat dijadikan pelajaran adalah bahwa Raja Heraklius mengajukan pertanyaan-pertanyaan cerdas kepada Abu Sufyan sehingga dia dapat mengambil kesimpulan bahwa Nabi Muhammad s.a.w adalah seorang Nabi yang diutus untuk umat akhir zaman yang kedatangannya telah dinubuatkan sebelumnya. Pertanyaan cerdas dengan jawaban yang jujur akan menghasilkan kesimpulan yang tepat.

Kisah Pria Tampan Dari Madinah (Dihyah bin Kholifah Al-Kalby)


Pria tampan nan rupawan itu berasal dari Madinah. Nama lengkapnya Dihyah Bin Khalifah bin Farwah Al-Kalbi al-Qaddhai. Namun penduduk Madinah lebih mengenalnya dengan nama Dihyah Al-Kalbi.

Sahabat anshar ini memiliki fisik sempurna dan penampilan menawan yang membuatnya populer dan terkenal. Kala ia muncul di keramaian, selalu mencuri perhatian. Konon, tiap melewati jalanan Madinah, para gadis tiba-tiba keluar rumah sambil mencuri-curi pandang.

Menurut penuturan ahli sirah, Nabi Muhammad SAW adalah pria paling tampan dari Makkah. Sedangkan Dihyah Al-Kalbi merupakan penduduk Madinah yang paling tampan. Saat kedua insan itu sedang bersama-sama, para sahabat seakan melihat dua simbol keindahan dari golongan muhajirin dan anshar menyatu. Siapa yang mengira di pelosok gurun pasir yang panas, terdapat unsur-unsur keindahan yang patut dikagumi.

Kendati demikian, Dihyah Al-Kalbi sadar bahwa nilai seorang muslim bukan pada penampilannya fisiknya, melainkan hati dan takwa. Tanpa hal itu,manusia tidak bernilai di hadapan Rabbnya. Inilah standar kualitas muslim yang sebenarnya. Mengukur seseorang bukan dari apa yang ia lakukan. Oleh karenanya, Dihyah Al-Kalbi berusaha meraih kesempurnaan amal setelah memiliki kesempurnaan fisik.

Dihyah Al-Kalbi masuk Islam pada tahun pertama Rasulullah hijrah ke Madinah. Ahli sejarah menulis bahwa ia telah bersyahadat sebelum peristiwa Perang Badar tahun 2 H. Hanya saja ia tidak ikut dalam perang tersebut dan baru terjun pada Perang Uhud. Dalam peristiwa itu, Dihyah ikut memanggul beratnya perjuangan mempertahankan kota Madinah dari serangan kafir Quraisy. Setelah itu, ia tidak mau absen dalam kancah jihad, bahkan setelah Rasulullah tiada. Buktinya, ia ikut serta dalam Perang Yarmuk yang terjadi pada era pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Setelah itu Dihyah memutuskan untuk menetap di bumi Syam hingga wafat.

‘Awwanah bin al-Hakam berkata: “Manusia yang paling tampan rupanya, ialah seseorang yang Malaikat Jibril Alaihissallam datang dalam bentuk rupanya. Yakni Dihya.”

Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu adalah salah satu di antara para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah lama masuk Islam. Beliau masuk Islam sebelum perang Badar. Akan tetapi, dalam peperangan itu, beliau belum sempat mengikutinya. Baru, setelah peperangan itu, beliau tidak pernah absen dalam jihad di medan peperangan.

Dia juga salah seorang sahabat Rasulullah yang masyhur. Dia dikaruniani Allah berupa keutamaan yang tidak dimiliki sahabat lainnya. Di antara keutamaan yang beliau miliki, yaitu Malaikat Jibril Alahissallam seringkali datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud menyerupai dirinya. Imam an-Nasaa`i meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Yahya bin Ya’mur rahimahullah dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

كَانَ جِبْرَائِيْلُ يَأْتِيْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِيْ صُوْرَةِ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ.

Malaikat Jibril Alaihissallam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rupa Dihyah al-Kalbi.

Dalam hadits lain disebutkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ عُرِضَ عَلَيَّ الْأَنْبِيَاءُ فَإِذَا مُوسَى ضَرْبٌ مِنْ الرِّجَالِ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَرَأَيْتُ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ وَرَأَيْتُ إِبْرَاهِيمَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ وَرَأَيْتُ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِذَا أَقْرَبُ مَنْ رَأَيْتُ بِهِ شَبَهًا دَحْيَةُ ((مسلم الإسراء برسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ 1/395))

Dari Jâbir Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Telah diperlihatkan kepadaku para nabi, maka aku melihat Musa Alaihissallam adalah seorang laki-laki yang kuat, seakan-akan dia adalah lelaki dari kaum Syanû’ah. Dan aku melihat Isa bin Maryam Alaihissallamdan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat, adalah Urwah bin Mas’ud. Dan aku melihat Ibrâhîm Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat ialah sahabat kalian –yaitu diri beliau sendiri– dan aku pun melihat Jibril Alaihissallam, dan yang paling mirip dengannya di antara yang pernah aku lihat adalah Dihyah”. [HR Muslim].

عن أَبي عُثْمَانَ قَالَ أُنْبِئْتُ أَنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَام أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَعِنْدَهُ أُمُّ سَلَمَةَ فَجَعَلَ يُحَدِّثُ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لِأُمِّ سَلَمَةَ مَنْ هَذَا أَوْ كَمَا قَالَ قَالَ قَالَتْ هَذَا دِحْيَةُ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ ايْمُ اللَّهِ مَا حَسِبْتُهُ إِلَّا إِيَّاهُ حَتَّى سَمِعْتُ خُطْبَةَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يُخْبِرُ جِبْرِيلَ أَوْ كَمَا قَال. ((صحيح البخاري باب علامات النبوة في الإسلام كتاب المناقب 3362))

Dari Abu ‘Utsman, ia berkata: “Telah diberitakan kepadaku bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ummu Salamah sedang bersama beliau. Maka, dia pun berbicara lantas berdiri, sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata kepada Ummu Salamah: ‘Siapakah ini?’ – atau seperti ucapan beliau – lantas Ummu Salamah pun berkata: ‘Ini adalah Dihyah’. Ummu Salamah berkata: ‘Demi Allah, sungguh aku mengira, ia adalah Dihyah, sampai aku mendengar khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengabarkan bahwa dia adalah Malaikat Jibril Alaihissallam‘.”

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan surat-surat seruan memeluk Islam kepada para raja, kisra dan kaisar, yaitu pada akhir tahun ke enam hijriah, Dihyah termasuk salah satu delegasi yang ditugaskan. Adapun tugas yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Dihyah, yaitu agar ia menyampaikan surat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hiraklius kaisar Romawi.

Dalam satu riwayat disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ إِلَى قَيْصَرَ يَدْعُوهُ إِلَى الْإِسْلَامِ وَبَعَثَ بِكِتَابِهِ إِلَيْهِ مَعَ دِحْيَةَ الْكَلْبِيِّ وَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى لِيَدْفَعَهُ إِلَى قَيْصَرَ ((صحيح البخاري كتاب الجهاد والسير باب دعاء النبي الناس إلى الإسلام))

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada kaisar untuk mengajaknya masuk Islam. Beliau pun mengutus Dihyah al-Kalbi untuk menyampaikan suratnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintanya supaya menyerahkan surat tersebut kepada penguasa kota Bushra, agar ia menyampaikannya kepada kaisar.

Disebutkan oleh Ibnu Abbas dalam sebuah kisah yang panjang, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengirim surat kepada raja Romawi, Heraclius. Selanjutnya dia mencari orang Mekah, yang saat itu sedang berdagang di Syam. Pada saat yang sama, ternyata Abu Sufyan sedang menjalankan bisnis di Syam. Terjadilah dialog antara raja dengan Abu Sufyan –sebelum ia masuk Islam- radhiallahu ‘anhu, membahas ciri-ciri nabi yang diutus di Mekah.

Selanjutnya Abu Sufyan menceritakan tentang isi surat yang dikirim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Raja Heraclius :

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ: سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الهُدَى، أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ، يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ ” وَ {يَا أَهْلَ الكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}

Bismillahir rahmanir rahiim…

Dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya

Kepada Heraclius, raja Romawi

Salaamun ‘ala manit-taba’al huda, amma ba’du

(keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk, selanjutnya)

Saya mengajak Anda dengan seruan Islam. Masuklah Islam, niscaya Anda akan selamat. Allah akan memberikan pahala kepada-Mu dua kali. Jika Anda berpaling (tidak menerima) maka Anda menanggung semua dosa kaum Arisiyin. Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran: 64).

Hadis ini diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan yang lainnya.

Keterangan:

1. Makna ‘seruan Islam’ adalah kalimat syahadah, dimana setiap pemeluk agama lain diajak untuk mengucapkan dua kalimat ini.

2. Pahala dua kali adalah pahala yang berlipat, sejumlah orang yang mengikutinya untuk masuk Islam.

3. Kaum Arisiyin adalah para pengikut dari kalangan keluarga kerajaan. Dosa Arisiyin ditanggung oleh Heraclius, karena posisi Heraclius sebagai pemimpin, sehigga diikuti anggota kerajaannya, termasuk dalam beragama.

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, sepulang dari menemui kaisar – dan Dihyah mendapatkan hadiah yang banyak dari kaisar – ketika ia telah sampai di daerah Hisma, ia dihadang oleh sekelompok orang dan mereka pun mengambil semua yang ada padanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Zaid bin Haritsah Radhiyallahu anhu untuk memerangi mereka.

Demikian, sekilas kisah Dihyah bin Khalîfah al-Kalbi Radhiyallahu anhu. Pada masa hidupnya, beliau tinggal di daerah Mizzah di Damaskus, dan beliau hidup hingga sampai masa kekhilafahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Semoga keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa tercurahkan pada sahabat yang mulia ini.

LAPORAN CATATAN AMAL MANUSIA TIAP SETAHUN DIBULAN SYA'BAN??

 

Sering kali kita mendengar dari beberapa orang bahwa bulan Sya’ban adalah bulan di mana catatan amal ditutup. Begitu banyak broadcast ataupun SMS yang berisikan tentang berita mengenai hal tersebut. Namun sobat, apakah ada dalil shahih yang menjelaskan tentang hal tersebut? Yuk kita simak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Tidak pernah menjumpai dalil maupun keterangan ulama bahwa buku catatan amal hamba ditutup di malam nisfu Sya’ban atau ketika bulan Sya’ban. Kami hanya menduga, barangkali anggapan semacam ini karena kesalah pahaman terhadap hadis, dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ“

Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana anda berpuasa di bulan Sya’ban?
”Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ ا
لْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّأَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ“

Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.’” (HR. An Nasa’i 2357, Ahmad 21753, Ibnu Abi Syaibah 9765 dan Syuaib Al-Arnauth menilai ‘Sanadnya hasan’).

Dalam hadis di atas, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, salah satu waktu, dimana amal para hamba dilaporkan adalah ketika bulan Sya’ban. Dan karenanya, beliau memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.

Dan pada saat itu Rasul tidak menentukan di tanggal berapa peristiwa pelaporan itu terjadi. Bahkan telah nampak secara zhahir bahwa hadits di atas menunjukkan laporan amal itu terjadi selama satu bulan. Karena itu pulalah , Rasul tidak pilih-pilih tanggal ketika ingin berpuasa beliau juga tidak menganjurkan untuk berpuasa di pertengahan bulan Sya’ban (nisyfu Sya’ban).Yang beliau lakukan hanya memperbanyak puasa  bulan Sya’ban.

Amalan harian manusia di laporkan setiap bada shubuh dan ashar, amalan mingguannya setiap hari senin dan amalan tahunan pada bulan sya’ban

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو الْغُصْنِ شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Telah mengabarkan kepada kami [‘Amr bin ‘Ali] dari [‘Abdurrahman] dia berkata; telah menceritakan kepada kami [Tsabit bin Qais Abu Al Ghushn] – seorang syaikh dari penduduk Madinah – dia berkata; telah menceritakan kepadaku [Abu Sa’id Al Maqburi] dia berkata; telah menceritakan kepadaku [Usamah bin Zaid] dia berkata; Aku bertanya; “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam satu bulan sebagaimana engkau berpuasa di bulan Sya’ban?” Beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya; -ia bulan yang berada- di antara bulan Rajab dan Ramadlan, yaitu bulan yang disana berisikan berbagai amal, perbuatan diangkat kepada Rabb semesta alam, aku senang amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa.” (Nasai 2317)

Secara nilai hadis di atas adalah sahih dan diperkuat lagi dengan hadis di bawah ini :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو غُصْنٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ الْأَيَّامَ يَسْرُدُ حَتَّى يُقَالَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ الْأَيَّامَ حَتَّى لَا يَكَادَ أَنْ يَصُومَ إِلَّا يَوْمَيْنِ مِنْ الْجُمُعَةِ إِنْ كَانَا فِي صِيَامِهِ وَإِلَّا صَامَهُمَا وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ الشُّهُورِ مَا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَصُومُ لَا تَكَادُ أَنْ تُفْطِرَ وَتُفْطِرَ حَتَّى لَا تَكَادَ أَنْ تَصُومَ إِلَّا يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلَا فِي صِيَامِكَ وَإِلَّا صُمْتَهُمَا قَالَ أَيُّ يَوْمَيْنِ قَالَ قُلْتُ يَوْمُ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمُ الْخَمِيسِ قَالَ ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الْأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ قَالَ قُلْتُ وَلَمْ أَرَكَ تَصُومُ مِنْ شَهْرٍ مِنْ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ يُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi], telah menceritakan kepada kami [Tsabit bin Qais Abu Ghushn], telah menceritakan kepadaku [Abu Sa`id Al Maqburi], telah menceritakan kepadaku [Usamah bin Zaid] ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa beberapa hari berturut-turut, sampai-sampai dikatakan, beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau juga berbuka beberapa hari hingga hamir beliau tidak puasa kecuali dua hari dalam sepekan, yaitu dua hari yang biasa beliau gunakan untuk berpuasa, jika tidak (berpuasa terus menerus), maka beliau akan berpuasa dua hari itu. Dan tidaklah beliau banyak berpuasa kecuali di bulan Sya’ban, Aku bertanya; ‘Wahai Rasulullah, engkau berpuasa seakan-akan engkau tidak pernah berbuka dan engkau berbuka seakan engkau tidak berpuasa kecuali dua hari saja, yaitu Senin dan Kamis.” Beliau bersabda: “Itulah dua hari yang amalan seorang hamba ditampakkan di hadapan Rabb semesta alam, aku senang ketika amalanku ditampakkan, diriku sedang berpuasa.” Usamah melanjutkan; kataku selanjutnya; “Dan kami tidak melihat engkau banyak berpusa kecuali di bulan Sya’ban?.” Beliau bersabda: “Itulah bulan yang orang-orang banyak yang lalai antara bulan Rajab dan Ramadhan, yaitu bulan ditampakkannya amalan-amalan, dan aku suka ketika amalanku diperlihatkan dihadapan Rabbku, sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad 20758)

Bukan hanya dibulan Sya’bân, amal juga diangkat pada setiap hari senin dan kamis, serta pada penghujung siang dan penghujung malam.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِيَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلا عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ : اتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا.“

Seluruh amal manusia dihadapkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dua kalidalam sepekan. Yaitu pada hari Senin dan Kamis. Lalu Allah mengampuni dosa setiap hamba-Nya yang mukmin, kecuali orang yang bermusuhan. Maka dikatakan kepadamereka: tinggalkanlah dahulu kedua orangini, sampai mereka berdamai.” (HR. Muslim 179).

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلائِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلائِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِي صَلاةِ الْفَجْرِ وَصَلاةِ الْعَصْرِ ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ :كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِي ؟ فَيَقُولُونَ : تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ

“Para malaikat malam dan malaikat siang silih berganti mendatangi kalian. Dan mereka berkumpul saat shalat subuh dan ashar. Kemudian malaikat yang menjaga kalian naik ke atas hingga Allah Ta’ala bertanya kepada mereka -dan Allah lebih mengetahui keadaan mereka (para hamba-Nya)-, “Dalam keadaan bagaimanakalian tinggalkan hamba-hambaKu?” Para malaikat menjawab, “Kami tinggalkan mereka dalam keadaan sedang mendirikan shalat. Begitu juga saat kami mendatangi mereka, mereka sedang mendirikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 555 dan Muslim no. 632)

Nisfu Sya'ban

Nisfu Sya’ban adalah salah satu pertengahan bulan  istimewa, bulan yang dihormati dalam agama Islam, selain Muharram, Dzulhijjah dan Rajab. Tepatnya  pada malam ke lima belas bulan Sya’ban, yang lebih dikenal dengan nama malam Nisfu Sya’ban. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih dari Mu‘az bin Jabal Radhiallahu ‘anhu, bahwa pada malam ini “Allah menjenguk datang kepada semua makhlukNya di Malam Nisfu Sya‘ban, maka diampuni segala dosa makhlukNya kecuali orang yang menyekutukan Allah dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibnu Majah, at-Thabrani dan Ibnu Hibban). Begitu juga hadits riwayat Aisyah r.a.

 عن عائشة بنت أبي بكر قالت: «قام رسول الله من الليل يصلي، فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قبض، فلما رأيت ذلك قمت حتى حركت إبهامه فتحرك فرجعت، فلما رفع إلي رأسه من السجود وفرغ من صلاته، قال: يا عائشة أظننت أن النبي قد خاس بك؟، قلت: لا والله يا رسول الله، ولكنني ظننت أنك قبضت لطول سجودك، فقال: أتدرين أي ليلة هذه؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال: هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده في ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين، ويرحم المسترحمين، ويؤخر أهل الحقد كما هم

Dari Aisyah radhiyallahu’anha berkata bahwa Rasulullah SAW bangun pada malam dan melakukan shalat serta memperlama sujud, sehingga aku menyangka beliau telah diambil. karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan selesai dari shalatnya, beliau berkata, “Wahai Asiyah, (atau Wahai Humaira’), apakah kamu menyangka bahwa Rasulullah tidak memberikan hakmu kepadamu?”Aku menjawab, “Tidak ya Rasulallah, namun Aku menyangka bahwa Anda telah dipanggil Allah karena sujud Anda lama sekali.” Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kamu malam apa ini?” Aku menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”Beliau bersabda, “Ini adalah malam nisfu sya’ban (pertengahan bulan sya’ban). Dan Allah muncul kepada hamba-hamba-Nya di malam nisfu sya’ban dan mengampuni orang yang minta ampun, mengasihi orang yang minta dikasihi, namun menunda orang yang hasud sebagaimana perilaku mereka.” (HR Al-Baihaqi)

Begitulah kemurahan Allah swt yang diberikan kepada hambanya di malam Nisfu Sya’ban. Sehingga dalam kesempatan lain Aisyah meriwayatkan hadits lagi dengan banyaknya pengampunan itu semisal bulu kambing Bani Kalb

عن عائشة بنت أبي بكر قالت: «قال رسول الله : “إن الله ينزل ليلة النصف من شعبان إلى السماء الدنيا، فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب”

Sesungguhnya Allah ‘Azza Wajalla turun ke langit dunia pada malam nisfu sya’ban dan mengampuni lebih banyak dari jumlah bulu pada kambing Bani Kalb (salah satu kabilah yang punya banyak kambing). (HR At-Tabarani dan Ahmad)

Demikianlah hendaknya kesempatan malam  Nisfu Sya’ban ini tidak disia-siakan.  Demikian hadits riwayat Ali bin Abi Thalib menegaskan;

عن علي بن أبي طالب قال: «قال رسول الله : “إذا كان ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلها وصوموا نهارها فإن الله ينزل فيها إلى سماء الدنيا فيقول ألا من مستغفر فأغفر له ، ألا من مسترزق فأرزقه ألا من مبتلى فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر

Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: “Malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: “Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing.” (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).

Cara Shalat  Malam Nisfu Sya’ban

Amaliah Malam  Nisfu Sya’ban dapat dimulai setelah sholat maghrib. Berpegang pada hadits Rasulullah saw, sebaiknya ibadah malam Nisfu Sya’ban ini dilakukan secara individual (tidak berjama’ah).

Secara umum panduannya :

1. Shalat fardlu Maghrib
2. Membaca Surah Yassin 3 kali
3. Membaca doa Nifsu Sya’ban
4. Malam Nisfu Sya’ban dengan memperbanyak dzikir, shalawat, doa dan istighfar.

أصلى سنة نصف شعبان ركعتين لله تعالى

Artinya: Aku niat shalat sunat nisfu sya’ban 2 rakaat sebagai karena Allah Ta’ala.

Bilangan shalat sunnah Nisfu Sya’ban adalah 2 rakaat dengan 1 kali salam. Pada rakaat pertama setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Kafirun. Sedangkan pada rakaat setelah Al-Fatihah membaca surat Al-Ikhlas.

Doa Malam Nisfu Sya’ban

Setelah shalat sunnah dua rekaat biasanya dilanjutkan dengan membaca surat yasin tiga kali yang dan ditutup dengan doa malam Nisfu Sya’ban di bawah ini;

اَللَّهُمَّ يَا ذَا الْمَنِّ وَ لا يَمُنُّ عَلَيْكَ يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَ اْلاِكْرَامِ ياَ ذَا الطَّوْلِ وَ اْلاِنْعَامِ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ ظَهْرَ اللاَّجِيْنَ وَجَارَ الْمُسْتَجِيْرِيْنَ وَ اَمَانَ اْلخَائِفِيْنَ . اَللَّهُمَّ اِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِى عِنْدَكَ فِيْ اُمِّ اْلكِتَابِ شَقِيًّا اَوْ مَحْرُوْمًا اَوْ مَطْرُوْدًا اَوْ مُقْتَرًّا عَلَىَّ فِى الرِّزْقِ فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ فِيْ اُمِّ اْلكِتَابِ شَقَاوَتِي وَ حِرْمَانِي وَ طَرْدِي وَ اِقْتَارَ رِزْقِي وَ اَثْبِتْنِىْ عِنْدَكَ فِي اُمِّ اْلكِتَابِ سَعِيْدًا مَرْزُوْقًا مُوَفَّقًا لِلْخَيْرَاتِ فَإِنَّكَ قُلْتَ وَ قَوْلُكَ اْلحَقُّ فِى كِتَابِكَ الْمُنْزَلِ عَلَى نَبِيِّكَ الْمُرْسَلِ يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَ يُثْبِتُ وَ عِنْدَهُ اُمُّ اْلكِتَابِ. اِلهِيْ بِالتَّجَلِّى اْلاَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ الْمُكَرَّمِ الَّتِيْ يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ وَ يُبْرَمُ اِصْرِفْ عَنِّيْ مِنَ اْلبَلاَءِ مَا اَعْلَمُ وَ مَا لا اَعْلَمُ وَاَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ صَحْبِهِ وَ سَلَّمَ . اَمِيْنَ

“ALLAAHUMMA YAA DZAL MANNI WALAA YUMANNU ‘ALAIKA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, YAA DZATH THAULI WALIN’AAM, LAA ILAAHA ILLAA ANTA, DHAHRUL LAAJIIN, WA JAARUL MUSTAJIIRIIN, WA AMAANUL KHAA IFIIN, ALLAAHUMMA IN KUNTA KATABTA NII ‘INDAKA FII UMMIL KITAABI SYAQIYYAN AW MAHRUUMAN AW MATHRUUDAN AW MUQTARRAN ‘ALAYYA FIR RIZQI, FAMHULLAA HUMMA BI FADLLIKA SYAQAAWATII WA HIRMAANII WA THARDII WAQ TITAARI RIZQII WA ATS-BITNII INDAKA FII UMMIL KITAABI SA’IIDAN MARZUUQAN MUWAFFAQALLIL KHAIRAAT. FA INNAKA QULTA WA QAULUKAL HAQQU FII KITAABIKAL MUNAZZALI ‘ALAA NABIYYIKAL MURSALI, YAMHUL LAAHUMAA YASYAA U WA YUTSBITU WA ‘INDAHUU UMMUL KITAAB. ILAAHII BITTAJALLIL AA’DHAMI FII LAILATIN NISHFI MIN SYAHRI SYA’BAANIL MUKARRAMIL LATII YUFRAQU FIIHAA KULLU AMRIN HAKIIM WA YUBRAM, ISHRIF ‘ANNII MINAL BALAA I MAA A’LAMU WA MAA LAA A’LAM WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUBI BIRAHMATIKA YAA ARHAMAR RAAHIMIIN.

Artinya: Ya Allah, Dzat Pemilik anugrah, bukan penerima anugrah. Wahai Dzat yang memiliki keagungan dan kemuliaan. Wahai dzat yang memiliki kekuasaan dan kenikmatan. Tiada Tuhan selain Engkau: Engkaulah penolong para pengungsi, pelindung para pencari perlindungan, pemberi keamanan bagi yang ketakutan. Ya Allah, jika Engkau telah menulis aku di sisiMu di dalam Ummul Kitab sebagai orang yang celaka atau terhalang atau tertolak atau sempit rezeki, maka hapuskanlah, wahai Allah, dengan anugrahMu, dari Ummul Kitab akan celakaku, terhalangku, tertolakku dan kesempitanku dalam rezeki, dan tetapkanlah aku di sisimu, dalam Ummul Kitab, sebagai orang yang beruntung, luas rezeki dan memperoleh taufik dalam melakukan kebajikan. Sunguh Engkau telah berfirman dan firman-Mu pasti benar, di dalam Kitab Suci-Mu yang telah Engkau turunkan dengan lisan nabi-Mu yang terutus: “Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan apa yang dikehendakiNya dan di sisi Allah terdapat Ummul Kitab.” Wahai Tuhanku, demi keagungan yang tampak di malam pertengahan bulan Sya’ban nan mulia, saat dipisahkan (dijelaskan, dirinci) segala urusan yang ditetapkan dan yang dihapuskan, hapuskanlah dariku bencana, baik yang kuketahui maupun yang tidak kuketahui. Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi, demi RahmatMu wahai Tuhan Yang Maha Mengasihi. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam kepada junjungan kami Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau. Amin

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...