Kamis, 28 Oktober 2021

BENARKAH UBAIDILLAH BIN JAHSY MURTAD??


Imam Muslim dalam Mukadimah kitab Shahihnya (1/15) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Imam Abdullah ibnul Mubarok, sebuah perkataan yang layak ditulis dengan tinta emas, yaitu beliau berkata :

الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

Sanad adalah termasuk agama, kalau tidak ada sanad, maka setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.

Terkait dengan sejarah Islam, kita tidak akan peduli apa yang dikatakan oleh ahli sejarah, sekalipun mereka bersepakat untuk menyebutkan sebuah cerita, jika tidak ada sanad yang shahih yang menunjukkan kebenaran cerita tersebut, maka itu layak dilemparkan ke tembok. Kebanyakan ahli sejarah hanya mengumpulkan cerita, dan jarang diantara mereka yang meneliti kebenaran akan ceritanya, mungkin dengan cukup menyebutkan sanadnya, mereka sudah merasa bahwa pembacanya akan menyeleksi kebenaran cerita tersebut, namun sayangnya banyak pembaca yang tidak melakukan hal tersebut, sehingga mereka pun turut dalam menyebarkannya, tanpa menyebutkan benar tidaknya cerita tersebut.

Ini adalah apa yang dialami dalam kisah murtadnya Ubaidillah bin Jahsy rodhiyallahu anhu, para ahli sejarah, bahkan mereka adalah ulamanya Islam, menyebutkan kisah murtadnya Ubaidillah bin Jahsy tanpa ada keterangan apakah kisah ini benar-benar tsabit. Asy-Syaikh Akram dhiyaul Umariy dalam kitabnya Siroh Nabawiyyah ash-Shahihah (1/176) berkata :

المشهور عند أهل المغازي أنه تنصر قبل وفاته (ابن إسحاق: كتاب السير والمغازي 259 والواقدي كما في طبقات ابن سعد 1/ 208)

Yang masyhur di kalangan pakar sejarah bahwa Ubaidillah bin Jahsy masuk Nasroni sebelum wafatnya (Ibnu Ishaq Kitab as-Siyar wal Maghooziy (hal. 259) dan al-Waaqidiy, sebagaimana dalam thobaqoh Ibnu Sa’ad (1/208).

Begitu juga Asy-Syaikh Syu’aib Arnauth menukil keterangan Imam Ibnul Jauzi yang dihikayatkan dari Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, ketika menyebutkan kisah pernikahan Nabi sholallahu alaihi wa salam dengan Ummu Habibah Romlah binti Abi Sufyan rodhiyallahu anha, kata beliau :

وقد اتهموا به عكرمة بن عمار راوي الحديث قال: وإنما قلنا: إن هذا وهم، لان أهل التاريخ أجمعوا على أن أم حبيبة كانت تحت عبيد الله بن جحش، وولدت له، وهاجر بها وهما مسلمان إلى أرض الحبشة، ثم تنصر، وثبتت أم حبيبة على دينها، فبعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى النجاشي يخطبها عليه، فزوجه إياها وأصدقها عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعة آلاف درهم، وذلك في سنة سبع من الهجرة،

Ikrimah bin ‘Ammaar perowi hadits tersebut sungguh telah memperingatkan ketika beliau berkata : “kami mengatakan itu adalah lemah (yaitu kisah yang menikahkan Ummu Habibah adalah Abu Sufyan –pent), karena para pakar sejarah mereka telah bersepakat bahwa Ummu Habiibah adalah istri Ubadillah bin Jahsy, yang melahirkan anak untuknya, lalu keduanya hijrah dalam kondisi sebagai muslim ke negeri Habasyah, kamudian Ubadillah bin Jahsy masuk nasroni,sedangkan Ummu Habibah rodhiyallahu anhu masih kokoh dalam agama Islam, lalu Rasulullah sholallahu alaihi wa salam mengutus Najasyi untuk melamarnya, kemudian menikahinya dan memberikan mahar sebanyak 4000 dirham, yang demikian terjadi pada tahun 7 H.

Ikrimah bin ‘Ammaar (w. Sebelum 160 H), termasuk thobaqoh Tabi’i shoghir, perowi yang tsiqoh, menurut penilaian Imam adz-Dzahabi, dipakai hujjah oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, sedangkan Imam Bukhori hanya meriwayatkan haditsnya sebagai mu’alaq.

Namun kita tidak peduli jika benar mereka memang bersepakat untuk mengisahkan kemurtadan Abdullah bin Jahsy, jika mereka tidak mampu menunjukkan sanad yang shahih yang dapat dijadikan pegangan dalam kisah ini, karena bisa jadi mereka hanya menukil satu sama lainnya. Kita perlu melihat sanadnya apakah kisah tersebut dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya berdasarkan kaedah-kaedah dalam kritik sanad.

Berikut riwayat-riwayat yang menyebutkan kemurtadan Ubaidillah bin Jahsy :

Ummu Habibah rodhiyallahu anhu berkata :

رَأَيْتُ فِي الْمَنَامِ كَأَنَّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنَ جَحْشٍ زَوْجِي بِأَسْوَإِ صُورَةٍ وَأَشْوَهِهِ فَفَزِعْتُ، فَقُلْتُ: تَغَيَّرَتْ وَاللَّهِ حَالُهُ، فَإِذَا هُوَ يَقُولُ حِينَ أَصْبَحَ: يَا أُمَّ حَبِيبَةَ، إِنِّي نَظَرْتُ فِي الدِّينِ فَلَمْ أَرَ دِينًا خَيْرًا مِنَ النَّصْرَانِيَّةِ وَكُنْتُ قَدْ دِنْتُ بِهَا، ثُمَّ دَخَلْتُ فِي دِينِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ رَجَعْتُ إِلَى النَّصْرَانِيَّةِ، فَقُلْتُ: وَاللَّهِ مَا خَيْرٌ لَكَ وَأَخْبَرْتُهُ بِالرُّؤْيَا الَّتِي رَأَيْتُ لَهُ، فَلَمْ يَحْفَلْ بِهَا وَأَكَبَّ عَلَى الْخَمْرِ حَتَّى مَاتَ

Aku melihat dalam mimpi bahwa Ubadillah bin Jahzy suamiku dengan bentuk yang sangat jelek dan buruk, lalu aku terbangun, dan berkata : “ia berubah keadaanya, ketika pagi harinya ia berkata : “wahai Ummu Habibah, aku telah meneliti agama-agama, aku tidak melihat agama yang lebih baik dari Nasroni, kemudian aku pun memeluknya, kamudian aku masuk agama Muhammad, lalu aku telah kembali kepada agama Nasroni”. Ummu Habibah berkata : “demi Allah, itu tidak baik, lalu aku kabarkan mimpi yang tadi malam aku lihat, dan ia tetap tidak bergeming dan tenggelam dalam minum minuman keras, sampai matinya”.

Haditsnya diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrok (no. 6770)dari jalan Muhammad bin Umar al-Waqidiy, haddatsanaa Abdullah bin ‘Amr bin Zuhair, dari Ismail bin ‘Amr bin Sa’ad bin al-‘Ash ia berkata, Ummu Habibah rodhiyallahu anhu berkata : “Al Hadits”.

Sanad ini memiliki kelemahan yaitu : al-Waqidiy perowi matruk; Abdullah bin ‘Amr, asy- Syaikh Akram bin Muhammad Ziyadah mengatakan tentangnya, “aku tidak mengetahuinya, dan aku belum menemukan biografinya;  Ismail tidak diketahui bahwa ia mendengar Ummu Habibah, karena Ummu Habibah rodhiyallahu anhu wafat pada tahun 42 atau 44 atau 49 atau 59 H, sedangkan Ismail wafat pada tahun lebih dari 130 H. Kemungkinan besar ia tidak pernah mendengar dari Ummu Habibah rodhiyallahu anhu. Namun apapun itu adanya al-Waqidy dalam sanad diatas cukup untuk mengatakan hadits ini sangat lemah.

Urwah bin Zubair berkata ketika menyebutkan orang-orang dari Bani Asad bin Khuzaimah yang ikut hijrah ke Habasyah, diantaranya adalah Ubaidillah bin Jahsy, beliau berkata tentangnya :

مَاتَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ نَصْرَانِيًّا وَمَعَهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ، وَاسْمُهَا رَمْلَةُ

Ubaidillah mati di negeri Habasyah dalam keadaan Nasroni, dan ia hijrah bersama istrinya Ummu Habibah binti Abi Sufyan yang nama aslinya Romlah rodhiyallahu anha.

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Mu’jam Kabiir (no. 401)dari jalan Muhammad bin ‘Amr bin Khoolid dari Bapaknya, dari Ibnu Luhaiah, dari Abil Aswad dari Urwah bin Zubair.

Sanad diatas memiliki cacat, yaitu : Ibnu Luhaiah seorang perowi mudallis dan disini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah; kemudian Urwah bin Zubair adalah seorang Tabi’i dan disini ia meriwayatkannya secara mursal.

Kesimpulannya sanad ini lemah.

Imam az-Zuhri berkata :

فَتَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ أَبِي سُفْيَانَ، وَكَانَتْ قَبْلَهُ تَحْتَ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ الْأَسَدِيِّ أَسَدِ خُزَيْمَةَ، فَمَاتَ عَنْهَا بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَكَانَ خَرَجَ بِهَا مِنْ مَكَّةَ مُهَاجِرًا، ثُمَّ افْتُتِنَ وَتَنَصَّرَ، فَمَاتَ وَهُوَ نَصْرَانِيٌّ، وَأَثْبَتَ اللَّهُ الْإِسْلَامَ لِأُمِّ حَبِيبَةَ وَالْهِجْرَةَ، ثُمَّ تَنَصَّرَ زَوْجُهَا وَمَاتَ وَهُوَ نَصْرَانِيٌّ وَأَبَتْ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ أَنْ تَتَنَصَّرَ، وَأَتَمَّ اللَّهُ تَعَالَى لَهَا الْإِسْلَامَ وَالْهِجْرَةَ حَتَّى قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ فَخَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ»

Rasulullah sholallahu alaihi wa salam menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, beliau sebelumnya adalah istri Ubaidillah bin Jahsy al-Asadiy Asad Khuzaimah, ia meninggal di bumi Habasyah, ia hijrah dari Mekkah, lalu terkena fitnah, sehingga masuk agama Nasroni, dan mati diatas agama nasroni….

Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam al-Mustadrok (no. 6768),Imam Baihaqi dalam Sunan Kubro (no. 13423) –dengan kisah yang panjang- semuanya dari jalannya sampai kepada Hajjaaj bin Abi Manii’ dari kakeknya dari az-Zuhri. Namun ini adalah hadits mursal yang tergolong sebagai hadits dhoif. dan mursalnya az-Zuhri disebutkan oleh para ulama sebagai hadits mu’dhol (yaitu terputus sanadnya lebih dari 2 perowi secara berurutan –pent.).

Muhammad bin Jubair bin Ja’far berkata :

كَانَ عُبَيد اللَّهِ بْنُ جَحْشٍ-حِينَ تَنَصَّرَ- يَمُرُّ بِأَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَهُمْ هُنَالِكَ مِنْ أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَيَقُولُ: فقَّحْنا وصَأصَأتم، أَيْ أَبْصَرْنَا وأنتم تلتمسون البصر، ولم تُبصروا بعد،

Ubaidillah bin Jahsy –ketika masuk agama Nasroni- kalau melewati para sahabat Rasulullah sholallahu alaihi wa salam yaitu pada waktu hijrah ke negeri Habasyah, ia berkata : “faqohnaa wa sho`sho`tum” yaitu kami telah melihat, sedangkan kalian masih meraba-raba, dan tidak bisa melihat setelah itu”.

Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hisyam dalam Sirohnya (1/205) dari jalannya sampai kepada Imam Ibnu Ishaq beliau berkata, haddatsanaa Muhammad bin Ja’far bin Zubair beliau berkata : “Al Hadits”.

Muhammad bin Ja’far bin Zubair bin al-‘Awwaam, seorang tabi’i shoghir, oleh karenya hadits ini mursal bahkan bisa dikatakan mu’dhol. Dan tentu saja lemah haditsnya.

Berdasarkan pemaparan jalan-jalan riwayat terkait murtadnya Ubaidillah bin Jahsy, maka tidak ada satu pun riwayat yang shahih, sehingga hal tersebut dapat dijadikan pegangan. Asy-Syaikh Muhammad bin Hammad ash-Shuuyaaniy dalam Siroh Nabawiyyah kamaa jaa`at fiil ahaadits ash-Shahihah (3/149) berkata :

روي أن عبيد الله مات نصرانيًا على أرض الحبشة مرتدًا عن الإِسلام، لكنني لم أجد حديثًا صحيحًا يثبت ذلك، إنما وجدت العكس وهو الحديث التالي والله أعلم.

Diriwayatkan bahwa Ubaidillah mati dalam keadaan Nasroni di negeri Habasyah murtad dari Islam, namun aku belum menemukan satu hadits shahih pun yang menetapkan hal tersebut, hanyalah aku mendapatkan kebalikan dari kisah ini dalam hadits berikut. Wallahu A’lam.

Asy-Syaikh Mahmuud bin Muhammad al-Malaah dalam Ta’liqnya terhadap kitab ar-Rohiqul Makhtuum (karya asy-Syaikh Safiyyurokhman al-Mubarokfuriy) berkata :

تحقيق دعوى ردة عبيد الله بن جحش قال أخونا الفاضل الشيخ:: محمد بن عبد الله العوشن في كتابه (ما شاع ولم يثبت في السيرة) ص (37 – 42): (اشتهر في كتب السيرة أن عبيد الله بن جحش قد تنصّر في أرض الحبشة، وكان قد هاجر إليها مع زوجه أم حبيبة – رضي الله عنها -؛ فهل ثبتت ردّته بسند صحيح؟

Kebenaran klaim murtadnya Ubaidillah bin Jahsy, maka saudara kami asy-Syaikh Muhammad bin Abdullah al-‘ Uusyun dalam kitabnya “Maa syaa’a wa lam yatsbut fii as-Siiroh” (hal. 37-42) berkata : “telah masyhur dalam kitab sejarah bahwa Ubaidillah bin Jahsy memeluk agama Nasroni di negeri Habasyah, ia berhijrah bersama istrinya Ummu Habibah Rodhiyallahu ‘anha. Lalu apakah tsabit kemurtadannya dengan sanad yang shahih?

Kemudian beliau menukil penjelasan asy-Syaikh al-‘Uusyuun dan kesimpulan beliau dalam kitabnya diatas adalah:

مما سبق يتبين -والله أعلم- أن قصة ردة عبيد الله بن جحش لم تثبت

Dari penjelasan sebelumnya –wallahu A’lam- bahwa kisah kemurtadan Ubaidillah bin Jahsy tidaklah tsabit (shahih).

Yang mengisyaratkan kisah murtadnya Ubaidillah tidak benar adalah bahwa ulama hadits yang kitabnya dijadikan sebagai pegangan (ushul) yaitu Imam Abu Dawud dan Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah ibnul Mubarok dari Ma’mar dari az-Zuhri dari Urwah dari Ummu Habiibah :

أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ جَحْشٍ فَمَاتَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ «فَزَوَّجَهَا النَّجَاشِيُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمْهَرَهَا عَنْهُ أَرْبَعَةَ آلَافٍ وَبَعَثَ بِهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ شُرَحْبِيلَ ابْنِ حَسَنَةَ».

Beliau adalah istri Ubadillah bin Jahsy Rodhiyallahu ‘anhu, lalu Beliau meninggal di negeri Habasyah, lalu Najasyi menikahkan Ummu Habibah Rodhiyallahu ‘anhu untuk Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam, Beliau memberinya mahar 4000, lalu beliau diutus kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam bersama dengan Syurohbiil bin Hasanah.

Imam Al Albani dan asy-Syaikh Syu’aib Arnauth menshahihkan hadits ini. Oleh karenanya memang benar bahwa Ubaidillah bin Jahsy Rodhiyallahu ‘anhu meninggal di negeri habasyah dan istrinya setelah itu dinikahi oleh Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam, namun sebab meninggalnya tidak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih, adapun adanya tambahan cerita bahwa beliau dalam kondisi murtad ketika wafat, maka tambahan tersebut melalui jalan-jalan yang lemah, sehingga tambahan ini dihukumi sebagai tambahan yang mungkar.

Bahkan dalam riwayat shahih lainnya bahwa kematian Ubaidillah bin Jahsy adalah karena sakit, bukan karena murtad, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah Rodhiyallahu ‘anhu beliau berkata :

هَاجَرَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَحْشٍ بِأُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ وَهِيَ امْرَأَتُهُ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ أَرْضَ الْحَبَشَةِ مَرِضَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ: أَوْصَى إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ حَبِيبَةَ وَبَعَثَ مَعَهَا النَّجَاشِيُّ شُرَحْبِيلَ بْنَ حَسَنَةَ

Ubaidillah bin Jahsy Rodhiyallahu ‘anhu berhijrah bersama Ummu Habibah bin Abi Sufyan Rodhiyallahu ‘anha ke negeri Habasyah, ketika sampai di negeri Habasyah, Ubaidillah Rodhiyallahu ‘anhu sakit dan ketika menjelang wafatnya beliau berwasiat kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam, maka Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam menikahi Ummu Habibah dan an-Najasyi mengutus bersamanya Syurohbiil bin Hasanah (HR. Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Imam Al Albani dan asy-Syaikh Syu’aib Arnauth).

Seandainya memang benar Ubaidillah Rodhiyallahu ‘anhu meninggal dalam kondisi murtad, tentu Aisyah Rodhiyallahu ‘anha akan menyebutkannya, karena murtad adalah perkara besar, sehingga ketika tidak disebutkan menunjukkan bahwa kisah ini tidak benar dikalangan sahabat Rodhiyallahu ‘anhum, dan karena terkena distorsi mungkin para tabi’in tidak dapat menyeleksi kebenaran kisah kemurtadan Ubaidillah, sehingga mereka menukilkannya kepada kita tanpa menyandarkannya kepada seorang sahabat Nabi satupun.

Alaa kulli haal, para ulama telah mengingatkan bahwa telah terjadi distorsi sejarah islam, oleh karenanya kita perlu jeli dalam menerima kisah-kisah dalam sejarah yang memiliki keanehan-keanehan, dan para ulama sejarah kebanyakan adalah para pengumpul cerita, jarang yang menyeleksi kisah-kisah sejarah yang mereka bawakan dalam kitab sejarahnya. Berdasarkan hal ini kita tidak ragu lagi untuk menetapkan Suhbah atau persahabatan Ubaidillah bin Jahsy Rodhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam. Dan tidak layak menyebarkan kisah murtadnya Ubaidillah bin Jahsy Rodhiyallahu ‘anhu, setelah mengetahui ketidakvalidan kisahnya.

KISAH PEPERANGAN DI 'AQROBA


Imam Muslim dalam Mukadimah kitab Shahihnya (1/15) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Imam Abdullah ibnul Mubarok, sebuah perkataan yang layak ditulis dengan tinta emas, yaitu beliau berkata :

الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

Sanad adalah termasuk agama, kalau tidak ada sanad, maka setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya.

Terkait dengan sejarah Islam, kita tidak akan peduli apa yang dikatakan oleh ahli sejarah, sekalipun mereka bersepakat untuk menyebutkan sebuah cerita, jika tidak ada sanad yang shahih yang menunjukkan kebenaran cerita tersebut, maka itu layak dilemparkan ke tembok. Kebanyakan ahli sejarah hanya mengumpulkan cerita, dan jarang diantara mereka yang meneliti kebenaran akan ceritanya, mungkin dengan cukup menyebutkan sanadnya, mereka sudah merasa bahwa pembacanya akan menyeleksi kebenaran cerita tersebut, namun sayangnya banyak pembaca yang tidak melakukan hal tersebut, sehingga mereka pun turut dalam menyebarkannya, tanpa menyebutkan benar tidaknya cerita tersebut.

Musailimah Al-Kadzdzaab ini dahulu pernah datang kepada Nabi SAW bersama rombongan kaum Bani Hanifah, yang menyatakan masuk Islam. Tetapi Musailimah minta supaya ditetapkan sebagai Nabi, menjadi Nabi bersama Nabi SAW, maka permintaan tersebut ditolak oleh Rasulullah SAW.

Setelah mereka kembali ke Yamamah (negeri mereka), Musailimah murtad dari keislamannya, dan dia mengaku menjadi Nabi disamping Nabi Muhammad SAW, dan dia mulai membuat propaganda palsu kepada kaumnya.

Musailimah berkata, “Sesungguhnya aku bersekutu dalam soal kenabian ini dengan Muhammad”.

Dan dia juga pernah berkirim surat kepada Nabi SAW, surat itu berbunyi sebagai berikut :

مِنْ مُسَيْلِمَةَ رَسُوْلِ اللهِ اِلىَ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ. اَمَّا بَعْدُ: فَاِنّى قَدْ اَشْرَكْتُ فِى اْلاَمْرِ مَعَكَ. وَ اِنَّ لَنَا نِصْفَ اْلاَمْرِ. وَ لَيْسَ قُرَيْشٌ قَوْمًا يَعْدِلُوْنَ. الحلبية 3: 315

Dari Musailimah utusan Allah, kepada Muhammad utusan Allah.

Adapun sesudah itu, sesungguhnya aku telah bersekutu dalam urusan (kenabian) denganmu. Dan bahwasanya bagi kami separuh urusan, akan tetapi kaum Quraisy adalah kaum yang tidak adil. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 315


Setelah surat itu diterima oleh Nabi SAW, maka beliau memberi balasan pada waktu itu juga dengan surat sebagai berikut :

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ. مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ اِلىَ مُسَيْلِمَةَ اْلكَذَّابِ. سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ اْلهُدَى، اَمَّا بَعْدُ: فَاِنَّ اْلاَرْضَ ِللهِ يُوْرِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَ اْلعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ. الحلبية 3: 315

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailimah Pendusta. Keselamatan semoga dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk yang benar. Adapun sesudah itu, sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, Dia mewariskannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya. Dan akibat (kesudahan yang baik) itu bagi orang-orang yang bertaqwa. [Sirah Al-Halabiyah juz 3, hal. 315]

Di dalam tarikh Al-Bidaayah wan Nihaayah disebutkan sebagai berikut :

لَمَّا رَضِيَ الصّدّيْقُ عَنْ خَالِدِ بْنِ اْلوَلِيْدِ وَ عَذَرَهُ بِمَا اعْتَذَرَ بِهِ، بَعَثَهُ اِلىَ قِتَالِ بَنِي حَنِيْفَةَ بِالْيَمَامَةِ، وَ اَوْعَبَ مَعَهُ الْمُسْلِمُوْنَ، وَ عَلَى اْلاَنْصَارِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، فَسَارَ لاَ يَمُرُّ بِاَحَدٍ مِنَ الْمُرْتَدّيْنَ اِلاَّ نَكَّلَ بِهِمْ، وَ قَدْ  اِجْتَازَ بِخُيُوْلٍ لاَصْحَابِ سَجَاحَ فَشَرَّدَهُمْ وَ اَمَرَ بِاِخْرَاجِهِمْ مِنْ جَزِيْرَةِ الْعَرَبِ.

Setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq memaafkan Khalid bin Walid dan menerima alasannya (berkenaan dengan terbunuhnya Malik bin Nuwairah), kemudian beliau mengutus Khalid bin Walid untuk memerangi Bani Hanifah di Yamamah, dengan mengerahkan pasukan kaum muslimin. Pimpinan kaum Anshar ketika itu adalah Tsabit bin Qais bin Syammas.

Khalid mulai berjalan menuju Bani Hanifah, tidaklah ia melewati kaum yang murtad melainkan pasti membuatnya jera. Ketika melewati pasukan berkuda Sajaah, Khalid menyerbu mereka hingga mereka lari kocar-kacir dan akhirnya Khalid berhasil mengusir mereka dari Jazirah ‘Arab.

وَ اَرْدَفَ الصّدّيْقُ خَالِدًا بِسَرِيَّةٍ لِتَكُنْ رِدَءًا لَهُ مِنْ وَرَائِهِ وَ قَدْ كَانَ بَعَثَ قَبْلَهُ اِلىَ مُسَيْلِمَةَ عِكْرِمَةَ بْنَ اَبِي جَهْلٍ، وَ شُرَحْبِيْلَ بْنَ حَسَنَةَ، فَلَمْ يُقَاوِمَا بَنِي حَنِيْفَةَ، لاَنَّهُمْ فِي نَحْوِ اَرْبَعِيْنَ اَلْفًا مِنَ الْمُقَاتِلَةِ، فَعَجَّلَ عِكْرِمَةُ قَبْلَ مَجِئِ صَاحِبِهِ شُرَحْبِيْلَ، فَنَاجَزَهُمْ فَنُكِبَ، فَانْتَظَرَ خَالِدًا

Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq menyertakan bala bantuan di belakang Khalid untuk menjaganya dari belakang.

Sebelumnya, Abu Bakar telah mengutus ‘Ikrimah bin Abu Jahl dan Syurahbil bin Hasanah menuju Musailimah. Namun keduanya tidak mampu menghadapi Bani Hanifah disebabkan jumlah personil musuh  sangat banyak, yakni sekitar 40.000 personil. Kemudian ‘Ikrimah telah mendahului sebelum Syurahbil datang. Kemudian Syurahbil memerangi mereka, namun juga merasa tidak mampu mengalahkannya, lalu menunggu pasukan Khalid bin Walid.

فَلَمَّا سَمِعَ مُسَيْلِمَةُ بِقُدُوْمِ خَالِدٍ عَسْكَرَ بِمَكَانٍ يُقَالُ لَهُ عَقْرَبَا فِي طَرَفِ الْيَمَامَةِ وَالرّيْفُ وَرَاءَ ظُهُوْرِهِمْ، و نَدَبَ النَّاسَ وَحَثَّهُمْ، فَحَشَدَ لَهُ اَهْلُ الْيَمَامَةِ، وَجَعَلَ عَلَى مُجَنّبَتَيْ جَيْشِهِ الْمُحَكَّمَ بْنَ الطُّفَيْلِ، وَالرَّجَّالَ بْنَ عُنْفُوَةَ بْنِ نَهْشَلٍ، وَكَانَ الرَّجَّالُ هذَا صَدِيْقَهُ الَّذِيْ شَهِدَ لَهُ اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ اَنَّهُ قَدْ اُشْرِكَ مَعَهُ مُسَيْلِمَةُ بْنُ حَبِيْبٍ فِي اْلاَمْرِ، وَ كَانَ هذَا الْمَلْعُوْنُ مِنْ اَكْبَرِ مَا اَضَلَّ اَهْلَ الْيَمَامَةِ، حَتَّى اَتْبَعُوْا مُسَيْلِمَةَ، لَعَنَهُمَا اللهُ، وَقَدْ كَانَ الرَّجَّالُ هذَا قَدْ وَفَدَ اِلىَ النَّبِيّ ص وَ قَرَأَ الْبَقَرَةَ، وَجَاءَ زَمَنُ الرّدَّةِ اِلىَ اَبِي بَكْرٍ فَبَعَثَهُ اِلىَ اَهْلِ الْيَمَامَةِ يَدْعُوْهُمْ اِلىَ اللهِ وَ يُثَبّتُهُمْ عَلَى اْلاِسْلاَمِ، فَارْتَدَّ مَعَ مُسَيْلِمَةَ وَ شَهِدَ لَهُ بِالنُّبُوَّةِ.

Setelah Musailimah mendengar kedatangan Khalid dan telah menempatkan pasukannya di suatu tempat yang bernama ‘Aqraba di ujung bumi Yamamah, sedangkan perkampungan tepat di arah punggung mereka, Musailimah lalu membangkitkan semangat fanatisme kesukuan pasukannya, sehingga bangkitlah fanatisme penduduk Yamamah memenuhi ajakannya.

Musailimah menempatkan pada kedua sayap pasukannya masing-masing Al-Muhakkam bin Thufail dan Ar-Rajjal bin ‘Unfuwah bin Nahsyal. Sebelumnya Ar-Rajjal adalah shahabat Musailimah yang pernah bersaksi bahwa dia pernah mendengar Rasulullah SAW menyatakan bahwa Musailimah bin Habib telah mendapatkan wahyu seperti Nabi. Akibat kesaksian palsunya itu orang terla’nat ini memiliki andil besar dalam menyesatkan penduduk Yamamah, sehingga penduduk Yamamah mengikuti Musailimah, semoga Allah mela’nat keduanya. Bahkan Ar-Rajjal pernah datang menghadap Rasulullah SAW dan sempat membaca surat Al-Baqarah.

Pada waktu terjadi pemurtadan besar-besaran, Abu Bakar mengutusnya kepada penduduk Yamamah untuk berda’wah menyeru mereka kepada Allah agar mereka tetap setia pada Islam, namun akhirnya Rajjal ikut murtad bersama Musailimah dan bersaksi bahwa Musailimah adalah Nabi.

وَ قَرُبَ خَالِدٌ وَ قَدْ جَعَلَ عَلَى الْمُقَدّمَةِ شُرَحْبِيْلَ بْنَ حَسَنَةَ، وَ عَلَى الْمُجَنّبَتَيْنِ زَيْدًا وَ اَبَا حُذَيْفَةَ، وَ قَدْ مَرَّتِ الْمُقَدّمَةُ فِي اللَّيْلِ بِنَحْوٍ مِنْ اَرْبَعِيْنَ، وَ قِيْلَ سِتّيْنَ فَارِسًا، عَلَيْهِمْ مَجَّاعَةُ بْنُ مُرَارَةَ، وَكَانَ قَدْ ذَهَبَ لاَخْذِ ثَأْرٍ لَهُ فِي بَنِي تَمِيْمٍ وَ بَنِي عَامِرٍ وَ هُوَ رَاجِعٌ اِلىَ قَوْمِهِ فَاَخَذُوْهُمْ. فَلَمَّا جِيْءَ بِهِمْ اِلىَ خَالِدٍ عَنْ آخِرِهِمْ فَاعْتَذَرُوْا اِلَيْهِ فَلَمْ يُصَدّقْهُمْ، وَ اَمَرَ بِضَرْبِ اَعْنَاقِهِمْ كُلّهِمْ، سِوَى مَجَّاعَةَ فَاِنَّهُ اسْتَبْقَاهُ مُقَيّدًا عِنْدَهُ (لِعِلْمِهِ بِالْحَرْبِ وَ الْمَكِيْدَةِ) وَ كَانَ سَيّدًا فِي بَنِي حَنِيْفَةَ شَرِيْفًا مُطَاعًا

Pasukan Khalid telah dekat, formasi pasukannya, di depan dipimpin Syurahbil bin Hasanah, sementara di sayap kiri dan sayap kanan adalah Zaid bin Khaththab dan Abu Hudzaifah. Dan pasukan Islam yang terdepan telah mendahului bertemu musuh yang berjumlah sebanyak 40 orang penunggang kuda (ada yang mengatakan 60 orang) di malam hari di bawah pimpinan Majja’ah bin Murarah. Waktu itu ia berangkat untuk membalas dendam terhadap Bani Tamim dan Bani ‘Amir, kemudian ketika kembali kepada kaumnya, ia dan teman-temannya ditangkap oleh pasukan kaum muslimin dan dibawa kepada Khalid. Mereka seluruhnya minta pengampunan kepada Khalid, namun Khalid tidak percaya, bahkan memerintahkan agar seluruhnya dibunuh kecuali Majja’ah, ia dibiarkan hidup dalam keadaan terikat di dekat Khalid, karena keahliannya dalam siasat perang, dan ia merupakan pemimpin yang dimuliakan dan dipatuhi oleh kaumnya Bani Hanifah.

وَ يُقَالُ: اِنَّ خَالِدًا لَمَّا عُرِضُوْا عَلَيْهِ قَالَ لَهُمْ: مَاذَا تَقُوْلُوْنَ يَا بَنِي حَنِيْفَةَ ؟ قَالُوْا: نَقُوْلُ مِنَّا نَبِيٌّ وَ مِنْكُمْ نَبِيٌّ، فَقَتَلَهُمْ اِلاَّ وَاحِدًا اِسْمُهُ سَارِيَةُ، فَقَالَ لَهُ: اَيُّهَا الرَّجُلُ اِنْ كُنْتَ تُرِيْدُ عَدًا بِعُدُوْلِ هذَا خَيْرًا اَوْ شَرًّا فَاسْتَبْقِ هذَا الرَّجَلَ (يَعْنِي مَجَّاعَةَ بْنَ مُرَارَةَ) فاسْتَبْقَاهُ خَالِدٌ مُقَيّدًا، وَ جَعَلَهُ فِي الْخَيْمَةِ مَعَ امْرَأَتِهِ، وَ قَالَ: اِسْتَوْصِيْ بِهِ خَيْرًا

Ada yang mengatakan bahwa ketika mereka dihadapkan kepada Khalid, Khalid bertanya kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian wahai Bani Hanifah ?”. Mereka serentak menjawab, “Dari kami seorang Nabi dan dari kalian seorang Nabi pula”.

Khalid lalu membunuh mereka semuanya kecuali seorang yang bernama Sariyah. Sariyah lalu berkata kepada Khalid, “Wahai orang laki-laki, jika anda ingin berperang, bagaimanapun kondisi yang anda temui besok, baik ataupun buruk, namun biarkanlah satu orang ini hidup”. (Yaitu Majja’ah bin Murarah). Oleh karena itulah Khalid membiarkannya hidup dalam keadaan terikat. Khalid menempatkannya di dalam tenda dengan istrinya Khalid. Dan Khalid berpesan kepada istrinya, “Berbuat baiklah kepadanya”.

فَلَمَّا تَوَاجَهَ الْجَيْشَانِ قَالَ مُسَيْلِمَةُ لِقَوْمِهِ: اَلْيَوْمَ يَوْمُ الْغَيْرَةِ، اَلْيَوْمَ اِنْ هُزِمْتُمْ تُسْتَنْكَحُ النّسَاءُ سَبَيَاتٍ، وَ يُنْكَحْنَ غَيْرَ حَظَيَاتٍ، فَقَاتِلُوْا عَلَى اَحْسَابِكُمْ وَ امْنَعُوْا نِسَاءَكُمْ،

Ketika kedua pasukan bertemu, Musailimah berseru kepada kaumnya, Hari ini adalah hari semangat kecemburuan dan penentuan. Hari ini jika kalian kalah, maka istri-istri kalian akan dinikahi orang lain dan ditawan, atau mereka akan dinikahi dengan paksa. Oleh karena itu berperanglah kalian untuk mempertahankan harga diri dan kaum wanita kalian”.

وَ تَقَدَّمَ الْمُسْلِمُوْنَ حَتَّى نَزَلَ بِهِمْ خَالِدٌ عَلَى كَثِيْبٍ يُشْرِفُ عَلَى الْيَمَامَةِ، فَضَرَبَ بِهِ عَسْكَرَهُ، وَ رَايَةُ الْمُهَاجِرِيْنَ مَعَ سَالِمٍ مَوْلىَ اَبِي حُذَيْفَةَ، وَ رَايَةُ اْلاَنْصَارِ مَعَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ، وَ الْعَرَبُ عَلَى رَايَاتِهَا، وَ مَجَّاعَةُ بْنُ مُرَارَةَ مُقَيّدٌ فِي الْخَيْمَةِ مَعَ اُمّ تَمِيْمٍ اِمْرَأَةِ خَالِدٍ،

Adapun kaum muslimin, mereka telah maju dan Khalid bersama pasukannya membuat pertahanan di tempat yang tinggi di perbatasan Yamamah. Di sana Khalid telah mendirikan tenda-tenda. Panji kaum Muhajirin dipegang oleh Salim Maula Abu Hudzaifah dan panji Anshar dipegang oleh Tsabit bin Qais bin Syammas. Orang-orang ‘Arab yang lain juga membawa panji mereka masing-masing, sementara Majja’ah terikat di dalam tenda, di dalam tenda ia bersama Ummu Tamim (istri Khalid).

فَاصْطَدَمَ الْمُسْلِمُوْنَ وَ الْكُفَّارُ فَكَانَتْ جَوْلَةٌ وَ انْهَزَمَتِ اْلاَعْرَابُ حَتَّى دَخَلَتْ بَنُوْ حَنِيْفَةَ خَيْمَةَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيْدِ وَ هَمُّوْا بِقَتْلِ اُمّ تَمِيْمٍ، حَتَّى اَجَارَهَا مَجَّاعَةُ وَ قَالَ: نِعْمَتِ الْحُرَّةُ هذِهِ، وَ قَدْ قُتِلَ الرَّجَّالُ بْنُ عُنْفُوَةَ لَعَنَهُ اللهُ فِي هذِهِ الْجَوْلَةِ، قَتَلَهُ زَيْدُ بْنُ الْخَطَّابِ

Pertempuran antara kaum muslimin dan orang-orang kafir mulai berkobar, serangan silih berganti, namun tiba-tiba terjadi serangan balik oleh pasukan Musailimah. Kaum muslimin mulai terdesak, hingga Bani Hanifah berhasil memasuki tenda Khalid bin Walid dan hampir membunuh Ummu Tamim, seandainya tidak dilindungi oleh Majja’ah dengan mengatakan, “Sesungguhnya wanita merdeka ini sangat baik dan mulia”.

Pada waktu terjadi serangan balik inilah Ar-Rajjal bin ‘Unfuwah tewas terbunuh, semoga Allah mela’natnya, ia dibunuh oleh Zaid bin  Khaththab. [Al-Bidaayah wan Nihaayah juz 6, hal. 716]

SHOLAWAT TAJIYYAH (MAHKOTA)


Fakhrul Wujud Beliau adalah As-Sayyid As-Syeikh Al-Kabir Al-Qutb As-Syahir Abu Bakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin As-Syeikh Al-Imam Al-Qutb Abdurrahman As-Segaf bin As-Syeikh Muhammad Maula Ad-Dawilah bin As-Syeikh Ali Shohibul Dark bin Al-Imam Alwi Al-Ghuyur bin Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Al-Imam Muhammad Shohib Marbat bin Al-Imam Ali Khola’ Qosam bin Alwi bin Al-Imam Ubaydillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Al-imam Isa Ar-Rumi bin Al-Imam Ali Al-Uraydhi bin Al-Imam Ja’far As-Shodiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Sayyidina Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Al-Imam As-Syahid Syababul Jannah Al-Husein putra dari Al-Imam Amirul Mukminin Sayyidina Ali bin Abi Thalib K.W. dan Sayyidatina Fathimah Az-Zahra R.ha.  binti Sayyidina Rasulullah S.A.W.

Beliaulah tokoh ulama Islam, lautan kedermawanan, keberkahan bagi alam semesta, tempat bersandar bagi para pendatang, sosok yang berkedudukan tinggi yang telah disepakati kewalian, keimanan dan ketinggian kedudukannya. Beliau dilahirkan di kota Tarim, Hadramaut – Republik Yaman pada hari Sabtu tanggal 13 Jumadil Akhir  tahun 919 H, beliau menuntut ilmu dari guru-guru besar di masanya seperti Imam Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Ba Syaiban pengarang kitab Tiryaq, Imam Ahmad bin Alwi Ba Jahdab, Syeikh Al-Faqih As-Sufi Umar bin Abdullah Ba Mahramah, belajar padanya kitab Risalah Qusyairiyah, Al-Faqih Umar ini tidak mudah mengajar seseorang kecuali beliau ketahui keselamatannya dan kesiapannya.

Salah satu guru beliau, Syeikh Ma’ruf Ba Jamal sangat memuji dan melebihkan beliau daripada ulama lainnya bahkan mengisyaratkan secara terus terang beliaulah yang akan memegang wali Qutub zaman ini, beliau berkata: “Dialah Qutub zaman ini, pemegang kewalian yang akan Allah nampakkan melalui tangannya dakwah ini, barang siapa yang Allah panjangkan umurnya kelak akan melihat orang ini berkedudukan tinggi, mataharinya senantiasa menerangkan umat laa ilaaha illallah, tak seorangpun yang memperoleh seperti kedudukannya, dialah wali zaman ini dan khalifah dari Rasulullah SAW.”.

As-Syeikh Abu Bakar bin Salim menulis beberapa buku tentang tarekat dan hakikat diantaranya Mi’rajul Arwah Ilal Manhajil Idhah, Fathu Babil Mawahib wa Bughayatu Matlati Thalib, Ma’arijut Tauhid, dan Miftahus Sarair wa Kanzu Dzakhair. Beliau memiliki untaian nasehat yang indah tentang tasawwuf dan hikmah-hikmah disamping kitab syair yang tinggi tentang hakikat.

Keluhuran Akhlak dan Keutamaan As-Syeikh Abu Bakar bin Salim

Harta beliau selalu dibelanjakan untuk membiayai orang-orang fakir miskin dan tamu-tamu. Beliau sosok yang sangat lemah lembut, berakhlak mulia, sangat rendah hati dan memenuhi kebutuhan para tamunya beliau tidak segan-segan untuk turun tangan sendiri menghampiri para tamu dan menanyakan sendiri keperluan mereka serta beliau sendiri yang memasak untuk mereka. Setiap harinya beliau memberikan lebih kurang seribu potong roti kepada fakir miskin.

As-Syeikh Abu Bakar bin Salim mempunyai akhlak mulia serta seorang wali yang sangat tawadhu. Tidak pernah ada seorang pun yang melihat beliau duduk bersandar maupun bersila dalam melayani tamu ataupun dalam setiap majelisnya. Sejak 15 tahun sebelum wafatnya, di dalam berbagai majelisnya, beliau tidak pernah duduk kecualidalam posisi orang yang sedang tasyahud/iftirosy (karena ketawadhuan beliau).

Beliau sangat sangat gemarmenekuni ilmu pengetahuan dan beliau telah mengkhatamkan kitab Ihya Ulumudin karya Al-Imam Al-Ghazali sebanyak 40 kali serta mengkhatamkan kitab Syafi’iyah yaitu Al-Minhaj karya Al-Imam An-Nawawi sebanyak tiga kali. Diantara kebiasaan beliau adalah memberikan wejangan kepada masyarakat setelah shalat Jum’at sampai menjelang Ashar di masjid beliau.

Di awal suluknya, beliau telah melakukan ibadah dan riyadhah yang lazim dilakukan oleh kaum Sufi. Pernah selama waktu yang cukup lama beliau berpuasa dan hanya berbuka dengan kurma yang masih hijau dan pernah selama 90 hari beliau puasa dan shalat malam di lembah Yabhur. Selama 40 tahun beliau shalat Subuh di Masjid Ba’isa di kota Lisk dengan wudhu Isya.

Setiap malam beliau berziarah ke tanah pekuburan kaum Shalihin dan para wali di Tarim dan berkeliling untuk melakukan Shalat 2 rakaat di berbagai masjid di Tarim, beliau pun mengusung ghirbah (tempat air) untuk mengisi tempat wudhu serta tempat minum bagi para peziarah dan juga kolam untuk tempat minum hewan selama 40 tahun dengan berjalan kaki, kemudian beliau mengakhiri perjalanannya dengan shalat Subuh berjama’ah di Masjid Ba’isa. Sepanjang hidup beliau berziarah ke makam Nabi Allah Hud A.S. sebanyak 40 kali (riwayat lain mengatakan 70 kali). Sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah meninggalkan shalat Witir dan Dhuha.

Beliau sangatlah banyak memiliki kekeramatan yang sangat besar dan sangat luar biasa. Diantara keistimewaan beliau adalah beliau pernah berkumpul secara nyata dengan Nabi Allah Al-Khidir dan Ilyas A.S., beliau dapat menyingkap secara bathin hal-hal ghaib dan lintasan hati manusia. Tampak pada beliau kekeramatan yang luar biasa, tetapi sengaja tidak disebutkan disini hanya untuk mempersingkat, beliau pernah berkata: “Penjuru bumi ini ibarat piring yang ada di hadapanku”.

Kali ini saya akan membahas mengenai shalawat At Tajiyah/ Mahkota, shalawat At-Tajiyah sendiri dikarang oleh ulama yang sholeh asal hadhraumut Syekh Abu Bakar bin Salim.  Syekh Abu Bakar bin Salim dikenal akan kewaliannya dan memiliki derajat tinggi di sisi Allah SWT. telah banyak karya karya peninggalannya salah satunya adalah sholawat At-tajiyah ini yang sangat melegenda sekali, sehingga banyak para ulama dan habaib yang mengamalkannya. beberapa manfaat dan keutamaan membacanya adalah untuk mencapai keridhoan Allah SWT Lahir batin dan kesuksesan dunia akhirat. Shalawat ini mengkisahkan perjalanan Rasulullaah SAW ketika isra mi’raj, bagi yang istiqomah mengamalkannya pasti akan mencium bau wangi kasturi, langsung saja berikut teks bacaan shalawat At Tajiyah dalam versi tulisan arab

اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ وَكَرِّمْ بِقَدْرِ عَظَمَةِ ذَاتِكَ الْعَلِيَّةِ فِى كُلِّ وَقْتٍ وَحِيْنٍ اَبَدًا عَدَدَ مَاعَلِمْتَ وَزِنَةَ مَاعَلِمْتَ وَمِلْءَ مَاعَلِمْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ صَاحِبِ التَّاجِ وَالْمِعْرَاجِ وَالْبُرَاقِ وَالْعَلَمِ وَدَافِعِ الْبَلاَءِ وَالْوَبَاءِ وَالْمَرَضِ وَالْآلَمِ جِسْمُهُ مُطَهَّرٌ مُعَطَّرٌ مُنَوَّرٌ مَنِ اسْمُهُ مَكْتُوْبٌ مَرْفُوْعٌ مَوْضُوْعٌ عَلٰى الَّوْحِ وَالْقَلَمِ شَمْسِ الضُّحٰى بَدْرِ الدُّجٰى نُوْرِ الهُدٰى مِصْبَاحِ الظُّلَمِ اَبِى الْقَاسِمِ سَيِّدِ الْكَوْنَيْنِ وَشَفِيْعِ الثَّقَلَيْنِ اَبِى الْقَاسِمِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللّٰهِ سَيِّدِ العَرَبِ وَالْعَجَمِ نَبِيِّ الْحَرَمَيْنِ مَحْبُوْبٌ عِنْدَ رَبِّ الْمَشْرِقَيْنِ وَالْمَغْرِبَيْنِ يَااَيُّهَا الْمُشْتَاقُوْنَ لِنُوْرِ جَمَالِهِ صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Alloohumma sholli wassalim wabarik wa kariim. Biqodri azhomati dzaatikal aliyyati Fii kulli waqtin wahiinin abadaan adada alimta wazinata maa alimta wamil-a maa alimta alaa sayyidinaa wa maulaanaa Muhammadin, Wa alaa aali sayyidinaa wa maulanaa Muhammadin Sohibit-taaji wal mi’rooji wal burooqi wal alam. Wa daafi’il balaa’i wal wabaa’i wal marodhi wal aalam, Jismuhu muthohharun muthohharun munawwarun. Manismuhu maktuubun marfuu’un maudhuu’un alaal-lauhi wal qolam. Syamsidh-dhuhaa badriddujaa nuuril hudaa mishbaahizh-zhulam. Abil qoosimi sayyidil kaunayni wa syafiits-tsasyaqolain. Abiil qosimi sayyidinaa Muhammad ibni abdillahi sayyidil arobi wal ajam. Nabiyyal haromayni mahbuubun inda robbil masyriqoyni wal maghribain. Yaa ayyuhal musytaaquuna linuuri jamalihi sholluu alayhi wasallamuu tasliimaa.

(Ya Allah, Limpahkanlah Shalawat dan salam, berikanlah keberkatan dan kemuliaan, sebesar keagungan DzatMu Yang Maha Tinggi, di setiap waktu dan kesempatan, selama-lamanya, sebanyak bilangan yang Engkau ketahui, sebesar bilangan segala yang Engkau ketahui, dan sepenuh bilangan segala yang Engkau ketahui, kepada junjungan dan pemimpin kami Muhammad saw, pemilik mahkota, Nabi yang (diistimewakan dengan) Mi’raj, kendaraan Buraq dan dengan bendera (Liwaul Hamdi). Nabi yang jasadnya suci dan disucikan, beraroma harum semerbak dan bercahaya. Nabi yang namanya ditinggalkan dan terpampang di Lauhul Mahfuz dan Qalam. Matahari diwaktu Dhuha, purnama di kegelapan malam, cahaya petunjuk, pelita kegelapan, Abi al-Qasim, pemimpin dua alam dan pemberi syafaat bagi jin dan manusia. Nabi dari dua tanah haram, yang dicintai Tuhan penguasa Masyriq dan Maghrib. Wahai siapa yang merindukan (untuk melihat) cahaya keindahannya, ucapkanlah shalawat dan salam kalian kepadanya)

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ بِجَمِيْعِ الصَّلَوَاتِ كُلِّهَاعَدَدَمَافِى عِلْمِ اللهِ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَالِه وَمَنْ وَالاَهُ فِى كُلِّ لَحْظَةٍ اَبَدًا بِكُلِّ لِسَانٍ لاِ َهْلِ اْلمَعْرِفَةِ بِالله (ثَلاَ ثًا) عَدَدَ خَـْلقِكَ وَرِضَى نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ

Alloohumma sholli wasallim bijamii’ish-sholawaati kullihaa adada maa fii ilmillahi alaa sayyidinaa Muhammadin wa alihi waman walahu fikulli lahzhotin abadaan bikulli lisanin li ahlil ma’rifati billah (3x). adada kholqika wa ridho nafsika wa zinata arsyika wa midaada kaalimaatika

(Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam, dengan segenap shalawat yang ada didalam ilmu Allah, atas junjungan kami Muhammad saw dan keluarganya serta orang-orang yang mengikutinya. Dalam setiap waktu, selama-lamanya, dengan segala bentuk ungkapan orang-orang yang telah mengenal Allah swt (ahli ma’rifah) (3 kali), sebanyak bilangan makhlukNya, Keridhoan diriNya sebesar keagungan arsyNya dan sebanyak bilangan tinta kalimatNya.)

اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ وَعَلَى الِ سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ وَاْلاَصْحَابِ صَلاَ ةً وَسَلاَمًا تَرْفَعُ بِهِمَا بَيْنِيْ وَبَيْنَهُ الْحِجَابُ وَتُدْ خِلَنِىْ بِهِمَاعَلَيْهِ مِنْ اَوْسَعِ بَابٍ وَتَسْقِيْنِيْ بِهِمَا بِيَدِهِ الشَّرِ يْفَةِ اَعْذَبَ اْلكُؤُ وسِ مِنْ أَحْلَى شَرَابٍ ( ثَلاَ ثَ ) عَدَدَ خَـْلقِكَ وَرِضَى نَفْسِكَ وَزِنَةَ عَرْشِكَ وَمِدَادَ كَلِمَاتِكَ

Alloohuma sholli wasallim alaa sayyidinaa Muhammadin wa alaa aali sayyidinaa Muhammadin wal ashhabi sholaatan wasalaaman tarfa’u bihimaa bainii wabainahul hijaabu watud khilanii bihimaa alaihi min awsa’i baabin wa tasqiinii bihimaa biyadihisy-syariifati a’dzabal ku’uusi min ahla syaroobi (3x), adada kholqika wa ridho nafsika wa zinata arsyika wa midaada kaalimaatika

(Ya Allah, Limpahkanlah shalawat dan salam kepada junjungan kami Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya. Shalawat dan salam yang dengannya Engkau angkat hijab yang mendidindingi diriku dengannya, kau masukan aku kedalam pintu yang paling lebar, dan kau tuangi aku dengan tangan yang mulia dan dari cawan yang terindah, semurni-murni dan serta semanis-manis minuman, sebanyak bilangan makhluk-Nya, keridhan dari-Nya, sebesar keagungan arsy-Nya dan sebanyak bilangan tinta kalimatNya.)

Teks diatas adalah bacaan shalawat At Tajiyah karya Syekh Abi Bakar bin Salim yang memiliki banyak manfaat jika kita membacanya. sholawat diatas bisa menjadi salah satu pilihan dari banyak bacaan sholawat yang ada. tujuannya tentu sama yaitu agar Rasulullah SAW cinta dan ALLAH SWT ridho kepada kita. sedangkan waktu membacanya adalah kapan saja dibolehkan dan tidak mengenal waktu waktu tertentu. shalawat ini bisa kita temui di buku wirid berjudul “Khulasoh Madad Nabawiy”, wallahu a'lam.

ISTIGHFAR KABIR SAYYID ACHMAD BIN IDRIS AL-HASANY


Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (QS. Nuh (71) : 10-12)

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ سَبْعِينَ مَرَّةً قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَيُرْوَى عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَيْضًا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ وَرَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Abu Salamah dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu: “Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19) nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dalam sehari sebanyak tujuhpuluh kali.” Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. Diriwayatkan dari Abu Hurairah juga dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, beliau bersabda: “Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.” Diriwayatkan melalui sanad lain dari nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, “Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.” Muhammad bin Amru juga meriwayatkannya dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. (HR. At Tirmidzi No.3182, Bukhori No.5832, Muslim No.4870, Ibnumajah No.3805, 3806, Abudaud No.1294, Ahmad No.7461, 8137 dan Ad Darimi No.2607)

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عِرْقٍ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ بُسْرٍ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا

Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Utsman bin Sa’id bin Katsir bin Dinar Al Himsha telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman bin ‘Irq saya mendengar Abdullah bin Busr dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beruntunglah bagi orang yang mendapatkan didalam catatan amalnya istighfar yang banyak.” (HR. Ibnumajah No.3808)

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ مُصْعَبٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ حَدَّثَهُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Telah menceritakan dari Kami Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada Kami Al Walid bin Muslim, telah menceritakan kepada Kami Al Hakam bin Mush’ab, telah menceritakan kepada Kami Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dari ayahnya bahwa ia bercerita kepadanya, dari Ibnu Abbas bahwa ia bercerita kepadanya, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah pasti akan selalu memberikannya jalan keluar dari setiap kesempitan dan kelapangan dari segala kegundahan serta Allah akan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak ia sangka-sangka.” (HR. Abu Daud No.1297, Ibnu Majah No.3809 dan Ahmad No.2123).

حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا رِشْدِينُ قَالَ حَدَّثَنِي مُعَاوِيَةُ بْنُ سَعِيدٍ التُّجِيبِيُّ عَمَّنْ حَدَّثَهُ عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ الْعَبْدُ آمِنٌ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ

Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah bin ‘Amru Telah menceritakan kepada kami Risydin telah menceritakan kepadaku Mu’awiyah bin Sa’id At Tujini dari orang yang bercerita kepadanya dari Fadlalah bin ‘Ubaid dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda: “Hamba akan senantiasa terhindar dari adzab Allah ‘azza wajalla selama ia beristighfar kepada Allah ‘azza wajalla.” (HR. Ahmad No.22828)

عليكم بلا اله الا الله و الاستغفار فأكثروا منهما فان ابليس قال : اهلكت الناس بالذنوب و اهلكونى بلا اله الا الله و الاستغفار فلما رايت ذلك اهلكتهم بالاهواء وهم يحسبون انهم مهتدون

Abubakar As Siddiq ra., Nabi Muhammad saww. bersabda : Pentingkanlah untuk banyak-banyak membaca LAA ILAAHA ILLALLAAH dan ISTIGHFAR, karena Iblis pernah berkata : saya merusak manusia dengan dosa-dosa, dan mereka merusak aku dengan LAA ILAAHA ILLALLAAH dan ISTIGHFAR, manakala aku melihat bacaan tersebut (dibacanya), maka saya rusak mereka dengan HAWA NAFSU sehingga mengira bahwa telah memperoleh hidayah. (HR. Ahmad dan Abu Ya’la, Didalam Kitab Nashoihul Ibad)

أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ ابْنِ الْمُبَارَكِ عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ قَالَ قَالَ إِبْلِيسُ لِأَوْلِيَائِهِ مِنْ أَيِّ شَيْءٍ تَأْتُونَ بَنِي آدَمَ فَقَالُوا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ قَالَ فَهَلْ تَأْتُونَهُمْ مِنْ قِبَلِ الِاسْتِغْفَارِ قَالُوا هَيْهَاتَ ذَاكَ شَيْءٌ قُرِنَ بِالتَّوْحِيدِ قَالَ لَأَبُثَّنَّ فِيهِمْ شَيْئًا لَا يَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ مِنْهُ قَالَ فَبَثَّ فِيهِمْ الْأَهْوَاءَ

Telah mengabarkan kepada kami Ibrahim bin Ishak dari Ibnu Al Mubarak dari Al ‘Auza’i ia berkata: “Iblis berkata kepada pengikutnya, Dari sisi mana saja kalian datang (menggoda) manusia?, mereka menjawab: ‘dari segala arah’, ia bertanya lagi: ‘Apakah kalian akan datang (menggoda) mereka dari arah istighfar? ‘, mereka menjawab: ‘tidak mungkin, karena hal itu sangat berkaitan dengan tauhid, ia berkata: ‘Aku akan sebarkan sesuatu diantara mereka hingga mereka tidak beristighfar kepada Allah. Dia (Al ‘Auza’i) berkata: ‘Lalu iblis menyebarkan (keinginan mengikuti) hawa nafsu kepada mereka’ “. (HR. Ad Darimi No.310)

Sayyidul Istighfar

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ حُرَيْثٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى سَيِّدِ الِاسْتِغْفَارِ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ وَأَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَعْتَرِفُ بِذُنُوبِي فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ لَا يَقُولُهَا أَحَدُكُمْ حِينَ يُمْسِي فَيَأْتِي عَلَيْهِ قَدَرٌ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَلَا يَقُولُهَا حِينَ يُصْبِحُ فَيَأْتِي عَلَيْهِ قَدَرٌ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ أَبْزَى وَبُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَقَدْ رُوِيَ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ غَيْرِ هَذَا الْوَجْهِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ وَعَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي حَازِمٍ هُوَ ابْنُ أَبِي حَازِمٍ الزَّاهِدُ

Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Huraits telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Hazim?? dari Katsir bin Zaid? dari Utsman bin Rabi’ah? dari Syaddad bin Aus? radliallahu ‘anhu bahwa Nabi? shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyid istighfar? Yaitu ALLAAHUMMA ANTA RABBII LAA ILAAHA ILLAA ANTA KHALAQTANII WA ANAA ‘ABDUKA WA ANAA ‘ALAA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU, A’UUDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHANA’TU WA ABUU-U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA A’TARIFU BIDZUNUUBII FAGHFIR LII DZUNUUBII, INNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA. (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engaku, Engkau telah menciptakanku, dan aku adalah hambaMu, dan berada dalam perjanjian dan janjiMu semampuku. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan apa yang telah aku perbuat, dan aku mengakui kenikmatanMu yang Engkau berikan kepadaku dan mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosaku, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau). Tidak ada seorangpun diantara kalian yang mengucapkannya ketika sore hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang pagi hari melainkan wajib baginya Surga, dan tidaklah ia mengucapkannya ketika pagi hari kemudian datang kepadanya taqdir untuk meninggal sebelum datang sore hari melainkan wajib baginya Surga.” Dalam bab tersebut ada yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abza serta Buraidah? radliallahu ‘anhum. Abu Isa berkata; hadits ini adalah hadits hasan gharib dari sisi ini dan hadits ini telah diriwayatkan dari selain sisi ini dari Syaddad bin Aus, sedangkan Abdul Aziz bin Abu Hazim adalah Ibnu Abu Hazim Az Zahid. (HR. At-Tirmidzi No.3315, Bukhori No.5832, 5848, An Nasa’I No.5427 dan Abudaud No.4408)

Bacaan Wirid Imam Ahmad bin Idris

أَسْتَغْفِرُ الله العَظِيْم, الّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الحَيُّ القَيُّوْمُ, غَفَّارُ الذُّنُوب ِذُو الْجَــلاَلِ وَ الإِكْرَامِ وَ أَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ المَعَاصِى كُلِّهَا وَ الذُّنُوبِ وَ الآثاَمِ, وَمِنْ كُلِّ ذَنْبٍ أَذْنَبْتُهُ عَمْدًا وَخَطَأً, ظاهرا وباطنا, قَوْلاً وَفِعْلاً, فِى جَمِيْعِ حَرَكاَتِى وَسَكَنَاتِى وَخَطَرَاتِى وَأَنْفَاسِيى كُلِّهَا دَاِئمًا أَبَدًا سَرْمَدًا مِنَ الذَّنْبِ الَّذِى أَعْلَمُ,مِنَ الذَّنْبِ الَّذِى لاَ أَعْلَم, عَدَدَ مَا أَحَاطَ بِهِ الْعِلْمُ وَأَحْصَاهُ الكِتَابُ وَخَطَّهُ الْقَلَمُ, وَعَدَدَ مَا أَوْجَدَتْهُ الُقْدرًةُ وَخَصَّصَتْهُ الإرَادَةُ, وَمِدَادَ كَلِمَاتِ اللهِ, كَمَا يَنْبَغِى لِجَلاَلِ وَجْهِ رَبِّنَا وَجَمَالِهِ وَكَمَالِهِ, وَ كَمَا يُحِبُّ رَبّـُنَا وَيَرْضَى.

Astaghfirulloohal ‘azhiim. Alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuum, ghaffarudz-dzunuub, dzul jalaali wal ikraam, wa atuubu ilaihi min jamii’il ma’aashii kullihaa wadz-dzunuubi wal aatsaam, wa min kulli dzanbin adznabtuhuu ‘amdan wa khatha-an, zhaahiran wa baathinan, qaulan wa fi’lan, fii jamii’i harakaatii wa sakanaatii wa khatharaatii wa anfaasii kullihaa, daa-iman abadan sarmadan minadz-dzanbilladzii a’lamu, wa minadz-dzanbilladzii laa a’lamu, ‘adada maa ahaatha bihil-’ilmu wa ahshaahul kitaabu wa khath-thahul qalamu, wa ‘adada maa aujadat-hul qudratu wa khash-shashat-hul iraadatu, wa midaada kalimaatillaahi, kamaa yanbaghii lijalaali waj-hi rabbinaa wa jamaalihii wa kamaalihii, wa kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardhaa.

“Aku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung, yang tiada tuhan selain Dia Yang Maha Hidup abadi lagi Terus menerus mengurusi makhluk-Nya, Yang Mengampuni segala dosa, Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan. Aku bertaubat kepada-Nya dari semua kemaksiatan seluruhnya, dosa-dosa dan kesalahan; dari semua dosa yang aku kerjakanbaik secara sengaja maupun salah, baik zhahir maupun bathin, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dalam semua gerak-gerikku, diamku, bisikan hatiku, dan tarikan nafasku seluruhnya, selama-lamanya; dari dosa-dosa yang aku ketahui maupun yang tidak aku ketahui, sejumlah bilangan apa yang diliputi/dijangkau Ilmu (pengetahuan) Allah dan tercatat oleh qalam (pena)-Nya; sejumlah bilangan apa yang diwujudkan/diadakan oleh Qudrat-Nya dan ditentukan oleh Iradat-Nya, serta sejumlah minyak (yang dipakai menulis) kalimat-kalimat-Nya. Sepatutnya-lah (kesemuanya itu) bagi keagungan, keelokan dan kesempurnaan Dzat Tuhan kami, dan sebagaimana yang dicintai dan disukai Tuhan kami.

ISTIGHFAR SHOHABAT ABDILLAH BIN SULTHON


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ.

“Dan orang-orang yang, apabila berbuat keji atau menganiaya diri sendiri, mengingat Allah lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Siapa lagi yang dapat mengampuni dosa, kecuali Allah? Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imran: 135]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا.

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, (tetapi) kemudian memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisa`: 110]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan seruan Nabi Nuh ‘alaihis salam kepada kaumnya,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا. يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا. وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا.

“Maka saya berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian (karena) sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit atas kalian. Dan Dia akan melipatkangandakan harta dan anak-anak kalian, mengadakan kebun-kebun atas kalian, serta mengadakan sungai-sungai untuk kalian.” [Nuh: 10-12]

Ayat di atas menunujukkan bahwa istighfar adalah sebab turunnya rezeki dari langit, dilapangkannya harta dan keturunan, serta dibukakannya berbagai kebaikan untuk hamba sehingga, terhadap masalah apapun yang dihadapi oleh seorang hamba, jalan keluar akan dihamparkan untuknya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebut sebuah atsar dari Al-Hasan Al-Bashry bahwa ada empat orang yang datang secara terpisah kepada beliau. Mereka mengeluh akan masa paceklik, kefakiran, kekeringan kebun, dan tidak mempunyai anak. Namun, terhadap semua keluhan tersebut, beliau hanya menjawab, “Beristighfarlah kepada Allah,” lalu membacakan ayat di atas.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam menganjurkan umatnya agar memperbanyakkan istighfar. Maka banyakkanlah beristighfar pada Rejab ini kerana setiap saat dalamnya Allah SWT menyelamatkan seorang daripada api neraka.

Dari  Ibnu Abbas r.a., Rasulullah SAW bersabda: “ Sesiapa membaca kalimah berikut, pada bulan Rejab, Syaaban dan Ramadhan di antara waktu Zuhur dengan Asar; nescaya disuruh dua malaikat untuk menghapuskan catatan kejahatan.”

اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمُ الَّدِىْ لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ تَوْبَةَ عَبْدٍ ظَالِمٍ لاَ يَمْلِكُ لِنَفْسِهِ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا وَلاَ مَوْتًا وَلاَ حَيَاةً وَلاَ نُشُوْرًا.  

Daku memohon ampun kepada Allah yang Maha Agung yang tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Hidup Lagi Maha Mengurus! Daku bertaubat kepada-Nya selaku taubatnya seorang hamba yang banyak dosa yang tiada menguasai akan dirinya dan tidak mampu membuat, menolak mudharat dan manfaat serta tidak dapat menguasai kematian, hidup dan kebangkitan.

Kisah Istighfarnya Abdullah Bin Sulthon

Abdulah bin Sulthon membaca istighfar ini tiap malam di bulan Rajab. Ini terjadi pada jaman Rasulullah SAW. Ketika Abdullah bin Sulthon meninggal, tidak ada seorangpun yang hadir untuk memandikan, menyolatkan, dan melayat jenazahnya, maka turunlah malikat Jibril kepada Rasulullah SAW dan berkata. "Wahai Rasulullah, Tuhanmu memberimu salam dan mengkhususkanmu dengan kehormatan dan kemuliaan dan Tuhanmu memerintahkanmu untuk pergi ke jenazahnya Abdullah bin Sulthon, kemudian mandikanlah, kafanilah dan sholatilah." Dan kemudian berangkatlah Rasulullah SAW, beliau berjalan dengan ujung jari-jari kakinya, ketika sampai di kuburnya pun, beliau tersenyum, maka para sahabat sungguh heran dengan sikap Rasulullah SAW tersebut. Setelah semuanya kembali pulang, para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW mengapa engkau berjalan dengan ujung jari-jari kaki wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,"sungguh saya melihat dari banyaknya malaikat yang sedang berkumpul sehingga hampir tidak ada tempat untuk meletakkan kakiku di tanah, kecuali untuk jari-jari kakiku" Kemudian para sahabat bertanya lagi : "Kenapa engkau tersenyum wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab,"sungguh aku telah melihat telaga dari surga ada di kuburnya. Dan di belakang telaga itu datang bidadari cantik-cantik yang masing-masing membawa gelas yang penuh dengan air dari telaga Kautsar, dan masing-masing berebut untuk memberi minum kepada Abdulloh, karena itu aku tersenyum. Kemudian Nabi mengajak para sahabat: "Mari kita ke rumah Abdullah bin Sulton untuk bertanya kepada istrinya tentang apa yang dikerjakan suaminya di masa hidupnya." Sesampai di depan rumahnya yang dalam keadaan tertutup, mereka mengetuk pintu, maka istri Abdullah bin Sulthon berkata,"Siapakah yang mengetuk pintu rumah orang fasik lagi pendusta?" Para sahabat berkata : "Wahai ibu yang baik, bukalah imamnya para Rosul, dan Nabi terakhir" Maka dibukalah pintu itu lalu ditanyakan pada istrinya tentang tingkahlaku suaminya dan apa saja yang dikerjakan sewaktu hidupnya. Perempuan itu menjawab, "Wahai Rasulullah saya tidak pernah melihat, tapi saya melihat bila datang bulan Rajab dia membaca Istighfar ini saya menjadi hafal. Nabi memerintahkan kepada Sayyidina Ali KW menulis, setelah ditulis maka Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa membaca Istighfar ini dan meletakkan di rumahnya atau diletakkan di benda lainnya (peci, sabuk, baju) maka Allah SWT memberi pahala kepadanya seperti pahalanya 1000 orang yang jujur, pahala 80.000 haji, pahala 80.000 masjid, pahala 80.000 yang minum air dari telaga Kautsar, pahala 80.000 malaikat yang mulia, pahala 80.000 orang yang ahli ibadah, pahala 7 langit dan 7 bumi, pahala 8 pintu surga, pahala Arsy dan kursi, pahala Laukh dan qolam dan pahala Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, bin Maryam, dan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa yang membaca Istighfar ini maka Allah SWT membangunkan untuknya 80.000 istana yang setiap kamarnya ada 80.000 bidadari yang cantik-cantik, di atas kepala bidadari ada pohon menaunginya selebar dunia seisinya. Barangsiapa membaca Istighfar ini 4x selama hidupnya maka sesungguhnya Allah SWT memberikan pahala Mekkah, Madinah, dan Baitul Maqdis. Apabila orang tersebut mati pada malam atau siang hari pada waktu membaca Istighfar ini, maka Allah SWT memerintahkan 80.000 malaikat untuk mengiringi jenazahnya dan memohonkan ampunan untuknya, dan Allah SWT memudahkannya dalam pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir. Allah SWT membukakan dalam kuburnya pintu ke surga dan akan datang bidadari yang cantik dengan membawa mangkuk berisi air dari telaga Kautsar, maka tatkala bangun dari kubur pada hari kiamat, wajahnya bersinar melebihi sinar bulan. Penduduk Mahsyar berkata,"inikah nabi, inikah Rasul, inikah malaikat yang dengan Allah SWT" Maka diucapkanlah,"Bukan, ini adalah salahsatu hamba Allah SWT dari bani Adam yang dimuliakan Allah SWT sebab BAROKAH bacaan Istighfar." kemudian didatangkanlah Bouraq yang dinaikinya dan berjalan menuju pintu surga tanpa hisab. Nabi Muhammad SAW bersabda : "Barangsiapa membaca istighfar ini tidak akan didekati ular, kalajengking, srigala, dan sesuatu yang mencelakakannya dan selamat dari mati mendadak, selamat dari orang-orang dzalim, penipu, orang hasud/iri, perbuatan ahli sihir, orang yang kejam dan fasik, Allah SWT akan melihatnya dengan pandangan rahmat dan selamat dari jin, orang durhaka, setan-setan dan seluruh hal yang mencelakakannya."

استغفار رجب لعبد الله بن سُلطان

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

 أَسْـتَغْفِرُ اللهَ , أَسْـتَغْفِرُاللهَ , أَسْـتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِي لآإِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيَّ الْقيُّوْمَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ مَا اَكْرَهَهُ قَوْلاً وَفِعْلاً حَاضِرًا وَغَائِبًا , اَللّهُمَّ إِنِّي اَسْتَغْفِرُكَ لِمَا قَدَّمْتُ وَأَخَّرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ مِنِّي أَنْتَ الْـمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ وَأَنْتَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ, اَللّهُمَّ إِنِّيْ اَسْتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ تُبْتُ مِنْهُ ثُمَّ عُدْتُ إِلَيْهِ, أَسْـتَغْفِرُكَ لِمَا اَرَدْتُ بِهِ وَجْهَكَ الْكَرِيْمَ فَخَالَطَنِيْ فِيْهِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ رِضًا, وَأَسْـتَغْفِرُكَ لِماَ دَعَانِيْ إِلَيْهِ الْهَـوَى مِنْ قَبْلُ فِيْمَا اشْـتَبَهَ عَلَيَّ وَهُوَ عِنْدَك محَرّمٌ, وَأَسْـتَغْفِرُكَ مِنَ النِّعَمِ الَّتِى أَنْعَمْتَ بِهَا علَيَّ فَاسْـتَعَنْتُ بِهَا عَلَى مَعَاصِيْكَ, وَأَسْـتَغْفِرُكَ مِنَ الذُّنُوْبِ الَّتِى لاَ يَطَّلِعُ عَلَيْهَا أَحَدٌ سِوَاكَ وَلاَ يُنَجِّى مِنْهَا اَحَدٌ غَيْرُكَ وَلاَ يَسَعُهَا إِلاَّ حِلْمُكَ وَلاَ يُنَجِّىْ مِنْهَا إِلاَّ عَفْوُكَ وَأَسْـتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ يَمِيْنٍ حَنِثْتُ فِيْهِ وَهُوَ عِنْدَكَ مُحَرَّمٌ وَأَناَ مُؤَآخَذٌ بِهِ وَأَسْـتَغْفِرُكَ لآإِلهَ إِلاَّ أَنْتَ يَا عَالِمَ الْغَيْبِ والشَّهَادَةِ مِنْ كُلّ سَيِّـئَةٍ عَمِلْـتُهَا فِيْ سَوَادِ اللَّيْلِ وَبَيَاضِ النَّهَارِ, وَفىِ فَلاَ وَمَلاَ قَوْلاً وَّفِعْلاً وَأَنْتَ نَاظِرٌ إِليَّ إِذَا كَتَمْـتُهُ وَتَرَى مَا اَتَيْـتُهُ مِنَ الْعِصْـيَانِ يَاكَرِيْمُ يَا مَنَّانُ يَاحَلِيْمُ, وَأَسْـتَغْفِرُكَ لآإِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ, وَأَسْـتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ فَرِيْضَـةٍ وَجَبَتْ عَلَيَّ فِي أَنَآءِ اللَّيْلِ وأَطْرَافِ النَّهَارِ وَتَرَكْـتُهَا سَهْوًا أَوْ غَفْـلَةً أَوْ خَطَأً وَأَنَامَسْـئُوْلٌ بِهَا, وَأَسْـتَغْفِرُكَ مِنْ كُلِّ سُنَّةٍ مِّنْ سُنَنِ سَـيِّدِ الْمُرْسَليْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّـيْنَ سَـيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَتَرَكْتُهَا سَهْوًا أَوْ غَفْـلَةً أَوْ خَطَأً أَوْ تَهَاوُنًا فَإِنِّي أَسْـتَغْفِرُكَ يَا اَللهُ يَا اللهُ , لآإِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ, لآإِلهَ إِلاَّ أَنْتَ يَا رَبَّ الْعَالمَيْنَ, أَنْتَ رَبِّي لآإِلهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَشَرِيْكَ لَكَ, سُبْحَانَكَ يَا رَبَّ الْعَالمَيْنَ, وَأَنْتَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ, وَ لاَحَوْلَ وَلاَقُوّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ عَلى سَـيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِيِّ وَعَلى ألِه وَصَحْبِه أَجْمَعِيْنَ, سُبْحَانَ ربِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ ,وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ , وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Astaghfirullahal adziim (3X). Alladhi laa ilaaha illa huwal hayyul qayyuumu wa atuubu ilaaih, min jamii’il ma’aashii, wadh dhunuubi, wa atuubu ilaah, min jamii’i maa karihallaahu qaulan wa fi’lan, wa sam’an, wa basharan, wa hashiran, allaahumma inii astaghfiruka limaa qaddamtu, wa maa akhkhartu wa maa asraftu, wa maa asrartu, wa maa a’lantu, wa maa anta a’lamu bihii minnii, antal muqaddimu wa antal mu’akhkhiru, wa anta ‘alaa kulli sya’in qadiir. allahumma inii astaghfiruka min kulli dhambin tubtu ilaika min hu, tsumma ‘udtu fiih. wa astaghfiruka bi maa ‘aradtu bihii wajhakal karima fa khalathtuhu bimaa ‘alaihi sa’alaka bi hii ridlan. wa astaghfiruka bi maa wa‘adtuka bihii nafsii tsumma akhlaftuka. wa astaghfiruka bi maa da’anii ilaihil hawaa min qablir rukhashi min mastabaha ‘alayya, wa huwa ‘indaka mahdluurun. wa astaghfiruka minan ni’amil latii an’amta bi haa ‘alayya fa sharaftuhaa wa taqawwaitu bi haa ‘alal ma’aashii. wa astaghfiruka minadh dhunuubil latii laa yaghfiruhaa ghairuka wa yaththali’u ‘alaihaa ahadun siwaak, wa laa yasa’uhaa illa rahmatuka wa hilmuka wa laa yunjii min haa illa ‘afwuka. wa astaghfiruka min kulli yamiinin halaftu bi haa fahanaftu fii haa wa ana ‘indaka ma’khudum  bihaa. wa astaghfiruka ya laa ilaahaa illaa anta subhaanaka innii kuntu minadh dhaalimiin. wa astaghfiruka ya laa ilaaha illaa anta, ‘aalimul ghaibi wasysyahaadati min kulli sya’atin ‘amiltuhaa fii bayadlin nahaari wasawaadil laili fii mala’in wa khalain wa sirrin wa ‘alaniyyatin, wa anta ilayya nadziirun idartakabtuhaa taraa maaaataituhu minal ‘ishyaani bihii ‘amdan aw khata’an aw nisyaanan yaa haliimu yaa kariim, wa astaghfiruka yaa laa ilaaha illaa anta subhanaaka innii kuntu minadl dlaalimiin rabbighfirlii warhamnii watub ‘alayya wa anta khairur raahimiin. wa astaghfiruka min kulli faridhatin wajabat alayya fiiaanalil laili wa athraafan nahaari fa taraktuhaa ‘amdan aw khata’an aw nis’yaanan aw tahaawunan wa ana mas’ulun bihaa wa min kulli sanatin min sunani sayyidil mursaliina wakhaatimin nabiyyiina muhammadin shallallahu ‘alaihi wasallam fataraktuha ghaflatan aw syahwan aw jahlan aw tahawunan qallat aw katsurat wa ana ‘aaidum bi haa. wa astaghfiruka yaa laa ilaaha illaa anta wahdaka la syarikalak, subhaanaka rabbal ‘alamiin. lakal mulku wa lakal hamdu walakasy syukru wa anta hasbunaa wa ni’mal wakiil, ni’mal maulaa wani’man nashiir wa laa haula wa laa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adhiim. wa shallaallahu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa aalhi washahbiihi wa sallama tasliiman katsiraw wal hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin.

Artinya:

Aku memohon ampun kepada Allah Yang Mahaagung 3x. Yang Tidak ada Tuhan selain Dia Yang Mahahidup lagi berdiri sendiri. Aku bertobat kepada-Nya dari segala maksiat dan dosa. Aku bertobat kepada-Nya dari segala yang Allah benci, baik berupa perkataan, perbuatan, pendengaran, penglihatan, maupun perasaan. Ya Allah,sesungguhnya aku memohon ampun terhadap apa-apa (dosa-dosa) yang telah lalu maupun yang kemudian, baik (dosa yang aku perbuat) keterlaluan, (dosa) yang aku sembunyikan, (dosa yang aku perbuat) secara terang-terangan, maupun apa-apa (dosa-dosa) yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku. Engkau-lah Yang Maha Pemula, Engkau-lah Yang Mahaakhir, dan hanya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Ya Allah sesungguhnya aku memohon ampun kepada-Mu dari setiap dosa, aku bertobat kepada-Mu dari dosa yang aku lakukan lagi. Aku memohon ampun kepada-Mu terhadap apa-apa yang aku maksudkan untuk berbakti kepada-Mu, Yang Mahamulia, namun tercemari oleh apa-apa yang tidak Engkau ridhai. Aku memohon ampun kepada-Mu atas apa-apa yang telah aku janjikan kepada-Mu kemudian aku khilaf kepada-Mu. Aku memohon ampun kepada-Mu atas apa-apa yang Engkau serukan kepadaku, namun aku menyepelekannya. Aku mohon ampun kepada-Mu dari segala nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku namun aku menyalahgunakannya di jalan maksiat. Aku memohon ampun kepada-Mu dari segala dosa yang tidak ada yang dapat mengampuninya selain-Mu, dan janganlah memperlihatkannya kepada seorang pun selain-Mu, dan tidak ada yang dapat melapangkannya kecuali rahmat-Mu dan kesantunan-Mu, serta tidak ada yang dapat selamat darinya kecuali ampunan-Mu. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw., juga keluarganya, para sahabatnya, dengan keselamatan yang banyak. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

SHOLAT ROGHOIB YANG ADA SEJAK ABAD KE LIMA HIJRIYAH



Tidak ada satu shalat pun yang dikhususkan pada bulan Rajab, juga tidak ada anjuran untuk melaksanakan shalat Roghoib pada bulan tersebut.

Shalat Raghaib adalah shalat dua belas rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’ pada awal malam Jum’at bulan Rojab. Shalat roghoib ini disebut dalam kitab Ihya Ulumuddin dan Qut Al-Muluk karena menurut Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk Syarah Muhazab dan Syarah Muslim, dalil shalat roghoib ini sangat lemah dan bahkan maudhuf.

Tata cara shalat ini mengambil hadits yang dihukumi oleh ulama sebagai hadits palsu, diriwayatkan dari Anas bin Malik:

رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ وَ شَعْبَان شَهْرِيْ وَ رَمَضَانُ شَهْرأَمَّتِيْ : وَمَا مِنْ أَحَدٍ يَصُوْمُ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوَّلَ خَمِيْسٍ فِيْ رَجَبٍ ثُمَّ يًُصَلِّي فِيْمَا بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعَتَمَةِ يَعْنِيْ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ وَكْعَةً يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ مَرَّةً و (إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) ثَلا َثَ مَرَّاتٍ وَ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ مَرَّةً يُفْصَلُ بَيْنَ كَلِّ رَكْعَتَيْنِ بِتَسْلِمَتَيْنِ فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاَةِ صَلِّيْ عَلَيَّ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَقُوْلُ اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ النَّبِيْ الأمِيْ وً عًلًى آلِهِ ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُوْلُ فِيْ سُجُدِهِ سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئكَةِ وَ الرُّوْحِ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُوْلُ رَيِّ اغْفِرْلِيْ وارْحَمْ وَ تَجَاوَزْ عَمَّا تَعْلَمُ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الأَعْظَمُ سَبْعِيْنَ مَرَّةً ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَ فِيْ السَجْدَةِ الأُولَى ثُمَّ يَسْأَلُ اللهَ حَاجَتَهُ فَإِنَّهَا تُقْضَى قَالَ رَسُوْل الله : وَالَّذِيْ تَفْسِيْ بيَدِهِ مَا مِنْ عَبْدٍ وَلا َ لأ أَمَةٍ صَلَّى هَذِهِ الصَلاَةَ إِلاَّ غَفَرَ الله لَهُ جَمِيْعَ ذُنُوْبِهِ وَ إنْ كَانَ مِثْلَ زَيَدِ الْبَحْرِ وَ عَدَدَ وَرَقِ الأَشْجَارِ و شَفَعَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ سَبْعِمِائَةِ مِنْ أَهْلَ بَيْتِهِ . فَإِذَا كَانَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ فِيْ قَبْرِهِ جَاءَ ثَوَّابُ هَذِهِ الصَّلاَةِ فَيُجِيْبُهُ بِوَجْهٍ طَلِقٍ وَلِسَانٍ ذَلِقٍ فَيَقُوْلُ لَهُ حَبِيْبِيْ أَبْشِرْ فَقَدْ نَجَوْتَ مِنْ كُلِّ شِدَّةٍ فَيَقُوْلُ مَنْ أَنْتَ فَوَ اللهِ مَا رَأَيْتُ وَجْهًا أَحْسَنَ مِنْ وَجْهِكَ وَلاَ سَمِعْتُ كَلاَمًا أَحْلَى مِنْ كَلاَمِكَ وَلاَ شَمَمْتُ رَائِحَةُ أَطْيَبُ مِنْ رَائِحَتِكَفَيَقُوْلُ لَهُ يَا حَبِيْبِيْ أَنَا ثَوَابُ الصَلاَةِ الَّتِيْ صَلَّيْتَهَا فِيْ لَيْلَةِ كَذَا فِيْ شَهْرِ كَذَا جِئْتُ الليْلَة َ لأَ قْضِيْ حَقَّكَ وَ أُوْنِِسَ وَحْدَتَكَ وَ أَرْفَعَ عَنْكَ وَحْشَتَكَ فَإِذَا نُفِخَ فِيْ الصُوْرِ أَظْلَلْتُ فِيْ عَرَصَةِ الْقِيَامَةِ عَلَى رَأْسِكَ وَ أَبْشِرْ فَلَنْ تَعْدَمَ الْخَيْرَ مِنْ مَوْلاَكَ أَبَدًا

Rajab bulan Allah dan Sya’ban bulanku serta Ramadhon bulan umatku. Tidak ada seorang berpuasa pada hari Kamis, yaitu awal Kamis dalam bulan Rajab, kemudian shalat diantara Maghrib dan ‘Atamah (Isya) -yaitu malam Jum’at- (sebanyak) dua belas raka’at. Pada setiap raka’at membaca surat Al Fatihah sekali dan surat Al Qadr tiga kali, serta surat Al Ikhlas duabelas kali. Shalat ini dipisah-pisah setiap dua raka’at dengan salam. Jika telah selesai dari shalat tersebut, maka ia bershalawat kepadaku tujuh puluh kali, kemudian mengatakan “Allahhumma shalli ‘ala Muhammadin Nabiyil umiyi wa alihi, kemudian sujud, lalu menyatakan dalam sujudnya “Subuhun qudusun Rabbul malaikati wa ar ruh” tujuh puluh kali, lalu mengangkat kepalanya dan mengucapkan “Rabbighfirli warham wa tajaawaz amma ta’lam, inaka antal ‘Azizul a’zham” tujuh puluh kali, kemudian sujud kedua dan mengucapkan seperti ucapan pada sujud yang pertama. Lalu memohon kepada Allah hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasululloh bersabda,”Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidak ada seorang hamba lali-laki atau perempuan yang melakukan shalat ini, kecuali akan Allah ampuni seluruh dosanya, walaupun seperti buih lautan dan sejumlah daun pepohonan, serta bisa memberi syafa’at pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya. Jika berada pada malam pertama, di kuburnya akan datang pahala shalat ini. Ia menemuinya dengan wajah yang berseri dan lisan yang indah, lalu menyatakan: ‘Kekasihku, berbahagialah! Kamu telah selamat dari kesulitan besar’. Lalu (orang yang melakukan shalat ini) berkata: ‘Siapa kamu? Sungguh demi Allah aku belum pernah melihat wajah seindah wajahmu, dan tidak pernah mendengar perkataan seindah perkataanmu, serta tidak pernah mencium bau wewangian, sewangi bau wangi kamu’. Lalu ia berkata: ‘Wahai, kekasihku! Aku adalah pahala shalat yang telah kamu lakukan pada malam itu, pada bulan itu. Malam ini aku datang untuk menunaikan hakmu, menemani kesendirianmu dan menghilangkan darimu perasaan asing. Jika ditiup sangkakala, maka aku akan menaungimu di tanah lapang kiamat. Maka berbahagialah, karena kamu tidak akan kehilangan kebaikan dari maulamu (Allah) selama-lamanya’.”

Shalat Roghoib atau biasa juga disebut dengan shalat Rajab adalah shalat yang dilakukan di malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya. Di siang harinya sebelum pelaksanaan shalat Roghoib (hari kamis pertama  bulan Rajab) dianjurkan untuk melaksanakan puasa sunnah. Jumlah raka’at shalat Roghoib adalah 12 raka’at. Di setiap raka’at dianjurkan membaca Al Fatihah sekali, surat Al Qadr 3 kali, surat Al Ikhlash 12 kali. Kemudian setelah pelaksanaan shalat tersebut dianjurkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 70 kali.

Di antara keutamaan yang disebutkan pada hadits yang menjelaskan tata cara shalat Raghaib adalah dosanya walaupun sebanyak buih di lautan akan diampuni dan bisa memberi syafa’at untuk 700 kerabatnya. Namun hadits yang menerangkan tata cara shalat Roghoib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu). Ibnul Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam Al Mawdhu’aat (kitab hadits-hadits palsu).

Tidak diagukan lagi amalan di atas adalah bid’ah yang munkar, amalan di atas memang berdasarkan sebuah hadits yang disebutkan dalam kitab ihya’ ulumuddin karangan Imam Al Ghozali namun hadits dhoif dan munkar.

ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار”

“Tidaklah seseorang yang melaksanakan puasa pada hari Kamis (pertama di bulan Rajab), kemudian ia melaksanakan shalat antara Isya dan al-‘Atamah pada malam jum’at sebanyak 12 rakaat, dalam setiap rakaat membaca al-Fatihah satu kali dan al-Qadar tiga kali dan al-Ikhlash 12 kali, setiap 2 rakaat dipisah dengan salam. setelah shalat, bershalawat 70 kali, dalam sujudnya ia ucapkan: “Maha Suci Allah Tuhan para malaikat dan ruh”. Kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan sebanyak 70 kali: “Ya Allah ampunilah, kasihilah, maafkanlah apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Mulia”. Kemudian sujud yang kedua mengucapkan kalimat yang sama pada sujud pertama. Kemudian memohonkan apa yang ia inginkan kepada Allah. Maka Allah akan mengabulkannya. Rasulullah Saw bersabda: “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba laki-laki dan perempuan melaksanakan shalat ini melainkan Allah mengampuni semua dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan, sebanyak pasir, seberat bukit dan sebanyak daun kayu. Ia dapat memberikan pertolongan (Syafaat) pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya yang wajib masuk neraka”.

Tidak sedikit para ulama yang mendhoifkan hadits di atas dari kalanngan ulama empat madzhab dan menganggap amalan di atas sebagaia amalan yang mungkar.

Ibnul Jauziy rahimahullah mengatakan, “Sungguh, orang  yang telah membuat bid’ah dengan membawakan hadits palsu ini sehingga menjadi motivator bagi orang-orang untuk melakukan shalat Roghoib dengan sebelumnya melakukan puasa, padahal siang hari pasti terasa begitu panas. Namun ketika berbuka mereka tidak mampu untuk makan banyak. Setelah itu mereka harus melaksanakan shalat Maghrib lalu dilanjutkan dengan melaksanakan shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaannya tasbih begitu lama, begitu pula dengan sujudnya. Sungguh orang-orang begitu susah ketika itu. Sesungguhnya aku melihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka melaksanakan shalat tarawih, kok tidak bersemangat seperti melaksanakan shalat ini?! Namun shalat ini di kalangan awam begitu urgent. Sampai-sampai orang yang biasa tidak hadir shalat Jama’ah pun ikut melaksanakannya.” (Al Mawdhu’aat li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Shalat Roghoib ini pertama kali dilaksanakan di Baitul Maqdis, setelah 480 Hijriyah dan tidak ada seorang pun yang pernah melakukan shalat ini sebelumnya. (Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Ath Thurthusi mengatakan, “Tidak ada satu riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ini. Shalat ini juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum, para tabi’in, dan salafush sholeh –semoga rahmat Allah pada mereka-.” (Al Hawadits wal Bida’, hal. 122. Dinukil dari Al Bida’ Al Hawliyah, 242)

Shalat roghoib yang dilakukan pada awal malam Jumat bulan Rajab itu tidak ada dasarnya dalam agama. Karena shalat adalah ibadah murni, sebaiknya tidak mengamalkannya tanpa ada dalil dari Quran, hadits atau ijmak ulama.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, 3/549 berkata :

الصلاة المعروفة بصلاة الرغائب , وهي ثنتا عشرة ركعة تصلى بين المغرب والعشاء ليلة أول جمعة في رجب , وصلاة ليلة نصف شعبان مائة ركعة وهاتان الصلاتان بدعتان ومنكران قبيحتان ولا يغتر بذكرهما في كتاب قوت القلوب , وإحياء علوم الدين , ولا بالحديث المذكور فيهما فإن كل ذلك باطل ، ولا يغتر ببعض من اشتبه عليه حكمهما من الأئمة فصنف ورقات في استحبابهما فإنه غالط في ذلك , وقد صنف الشيخ الإمام أبو محمد عبد الرحمن بن إسماعيل المقدسي كتابا نفيسا في إبطالهما فأحسن فيه وأجاد رحمه الله

Artinya: Salat yang dikenal dengan sebutan Shalat Raghaib, dua belas rakaat dilakukan antara Maghrib dan Isya’ awal malam Jum’at bulan Rojab, serta shalat malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban) sebanyak 100 roka’at, keduanya termasuk bid’ah yang mungkar dan jelek. Janganlah tertipu dengan disebutkannya kedua sholat tersebut dalam kitab Quut al-Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, dan jangan tertipu pula oleh hadits yang tertulis pada kedua kitab tersebut, sebab seluruhnya adalah merupakan kebatilan.

Iman Nawawi dalam Syarah Muslim hlm. 8/20 juga menyatakan makruhnya melakukan shalat roghoib sedangkan status shalatnya adalah bid'ah munkaroh.

واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب - قاتل الله واضعها ومخترعها - فإنها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة ، وفيها منكرات ظاهرة

Artinya: Ulama berpendapat atas makruhnya shalat bid'ah yang disebut raghaib. Shalat ini termasuk bid'ah munkaroh, sesat dan bodoh. Di dalamnya terdapat kemungkaran yang jelas.

Al Khottobi berkata : “Hadits sholat rogoib penuh dengan kebohongan dan kedustaan yang tidak sedikit”.

Al Hafidz Ibnu Rajab berkata : “adapun amalan sholat maka tidak dibenarkan di dalam bulan rajab suatu sholat yang khusus pada bulan itu, hadits-hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan sholat roghoib di hari jum’at pertama adalah dusta dan batil, sholat bid’ah ini tidak dibenarkan oleh kalangan mayoritas ulama”

Tentu masih banyak lagi para ulama’ yang membatilkan sholat di atas. Bukan hanya yang kami sebutkan.

HUKUM SHOLAT ROGHOIB

Hukum shalat Raghaib adalah bid’ah, karena tidak didasarkan dengan dalil-dalil yang shahih, menyelisihi tata cara shalat sunnah yang sudah dikenal. Pada zaman salaf al shalih, shalat Raghaib ini tidak pernah dikenal, dan mereka tidak ada yang melakukannya. Oleh karena itu, Al ‘Izz bin Abdussalam menegaskan bid’ahnya shalat Raghaib, dengan memberikan argumentasi, yang secara khusus ditujukan kepada ulama, dan secara umum bagi kalangan awam.

Adapun yang khusus ditujukan untuk para ulama terdapat dua catatan, yaitu:

1. Seorang ulama, jika melakukan shalat tersebut, ia dapat mempengaruhi opini kepada masyarakat umum, bahwa shalat ini sebagai sunnah, sehingga ia berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan amalannya, yang terkadang mewakili lisannya.

2. Ulama yang mengamalkan shalat ini, menjadi penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyatakan “Ini adalah salah satu sunnah Beliau”, padahal seseorang tidak diperbolehkan menjadi penyebab orang lain berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan bagi kalangan awam, secara umum sebagai berikut:

1. Orang awam yang melakukan perbuatan bid’ah, dapat memotivasi para pembuat bid’ah untuk membuat kebid’ahan dan kebohongan (hadits palsu). Padahal memotivasi berbuat batil dan menolongnya, termasuk perbuatan yang dilarang dalam syari’at. Sedangkan meninggalkan kebid’ahan dan hadits-hadits palsu, dapat mencegah munculnya kebid’ahan ataupun hadits palsu. Mencegah dan memperingatkan kemungkaran termasuk ajaran penting dalam syari’at.

2. Shalat ini menyelisihi Sunnah tidak gerak dalam shalat. Dalam shalat ini, terdapat pengulangan surat Al Ikhlash dan Al Qadr. Menghitungnya, tidak dapat dilakukan secara umum, kecuali dengan menggerakkan sebagian anggota tubuh.

3. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah yang berkaitan dengan khusu’, merendahkan diri, menghadirkan hati dalam shalat, konsentrasi kepada Allah, merasakan keagungan Allah dan memahami makna bacaan dan dzikir. Maka jika ia memperhatikan jumlah surat dengan hatinya, maka ia telah berpaling dari Allah dan meningalkanNya dengan satu perkara yang tidak disyari’atkan dalam shalat. Memalingkan wajah dalam shalat dicela oleh syari’at, apalagi berpaling dengan hati yang merupakan tujuan besar dalam shalat.

4. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan yang sunnah dalam shalat nafilah (sunnah). Karena shalat-shalat nafilah disunnahkan dan lebih utama dikerjakan di rumah dari pada masjid, kecuali shalat-shalat nafilah yang telah dijelaskan syari’at, seperti shalat Istisqa’ dan Kusuf. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي الْمَسْجِدِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَة

Shalatnya seseorang di rumahnya, lebih baik dari shalatnya di masjid, kecuali shalat fardhu.

5. Shalat Raghaib ini menyelisihi aturan sunnah. Bahwasanya pelaksanaan shalat sunnah, tidak dilakukan secara berjama’ah, tetapi disunnahkan secara sendiri-sendiri, kecuali yang telah ditetapkan syari’at. Dan kebid’ahan yang dibuat-buat atas nama Rasulullah ini tidak termasuk dalam kategori sunnah tersebut.

6. Shalat Raghaib ini menyelisihi perintah mengkonsentrasikan hati dari hal-hal yang menyibukkannya sebelum masuk dalam shalat; karena shalat Raghaib ini dilakukan dalam keadaan lapar dan haus, apalagi pada hari-hari yang sangat panas; padahal shalat tidak dilaksanakan dengan adanya hal-hal yang menyibukkannya yang dapat dihilangkan.

7. Kedua sujud (setelah selesai shalat tersebut) dilarang, karena dalam syari’at tidak terdapat adanya sujud secara tersendiri tanpa sebab sebagai amalan mendekatkan diri kepada Allah Subahnahu wa Ta’ala ; padahal mendekatkan diri kepada Allah dengan sesusatu ibadah memiliki sebab, syarat, waktu dan rukun-rukun tertentu, sehingga tidak dianggap sah tanpanya. Misalnya, seperti tidak mendekatkan diri kepada Allah dengan wukuf di Arafah, Mudzdalifah, melempar jumrah dan sa’i antara Shafa dan Marwa, dengan tanpa melakukan manasik (haji atau umrah) pada waktunya dengan sebab dan syarat-syaratnya. Maka, demikian juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sujud semata, walaupun sujud merupakan ibadah, kecuali jika memiliki sebab. Juga tidak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan shalat dan puasa setiap waktu dan setiap saat. Terkadang, tanpa disadari, orang bodoh mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang menjauhkannya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala

8. Seandainya kedua sujud tersebut disyari’atkan, tentu menyelisihi perintah khusyu’ dan khudhu’, disebabkan sibuknya menghitung jumlah tasbih dengan batin, atau lahiriyah, atau dengan batin dan lahir.

9. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dari yang lain dengan shalat malam. Janganlah mengkhususkan hari Jum’at dari yang lain dengan puasa, kecuali puasa yang biasa dikerjakan salah seorang kalian”.

10. Dalam shalat Raghaib ini, terdapat sesuatu yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdzikir ketika sujud, karena ketika turun firman Allah سَبِّحِ اسْمِ رَبِّكَ اْلأَعْلَى Beliau berkata ”Jadikanlah dalam sujud kalian”.

Pernyataan ‘سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ’ seandainya benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak benar disendirikan tanpa pernyataan (سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى ), dan tidak pula Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya. Padahal sudah dimaklumi, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya, kecuali yang terbaik.

Juga dalam pernyataan سُبْحَان رَبِّيَ الأ عْلَى , terdapat pujian yang tidak ada dalam pernyataan
[سُبُوْحٌ قُدُّوْسٌ . ]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Shalat Raghaib tidak memiliki dasar. Dia merupakan perbuatan bid’ah, sehingga tidak disunnahkan berjama’ah, dan tidak juga secara sendirian. Dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang pengkhususan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan puasa. Adapun atsar yang menyebutkan tentang itu, menurut kesepakatan para ulama, adalah palsu.”

Dan Syaikhul Islam juga berkata,”Menurut pendapat para imam agama, shalat Raghaib adalah bid’ah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensunnahkannya, dan juga tidak seorangpun dari para khalifah Beliau mensunnahkannya. Tidak pula seorangpun dari para ulama agama, seperti Malik, Syafi’i, Ahmad, Abu Hanifah, Ats Tsauri, Al ‘Auza’i, Al Laits dan lain-lainnya menganggapnya sunnah. Sedangkan menurut ijma’ orang yang mengerti hadits, (menyatakan) hadits yang meriwayatkan tentang shalat ini adalah palsu.”

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...