Rabu, 27 Oktober 2021

Bunga Kamboja Sebagai Obat Kelamin


Bunga Kamboja umumnya ditanam di pekarangan rumah untuk mempercantik rumah. Bunga kamboja ini tidak hanya banyak dijumpai di Indonesia, namun banyak juga dimanfaatkan oleh negara lain. Dibalik warnanya yang indah dan cantik tanaman Kamboja menyimpan fakta unik yang tak terduga.

Nama lokal: Semboja, kamboja (Jawa); samoja, kamoja (Sunda); pandam (Minangabau); campaka bukul, campaka sabakal, campaka malja (Madura); bunga jebun (Bali); capaka kubu (Tidore); saja kolocucu (Ternate); bunga uwae mawara, bunga tampung (Bugis)

Nama asing: Kalachuche, kaiasusi, kalatsutsi (Filipina); frangipani, pagoda tree (Inggris); flor de mayo (Meksiko); perungalli, champa, chafa, temple tree (India); dead man’s fingers (Australia); champa (Laos); plumeria, melia (Hawai); araliya (Srilanka); calachuchi (Thailand); mian zhi zi (Cina)

Ikhtisar

Nama genus Plumeria berasal dari nama botanis asal Prancis yang bepergian ke Dunia Baru dan mendokumentasikan beragam spesies flora fauna pada abad ke-17, Charles Plumier. Di dunia, kamboja dikenal dengan sebutan frangipani yang merujuk pada nama yang diberikan seorang bangsawan Italia yang menemukan parfum beraroma plumeria. Plumeria yang asli Amerika Tengah, Meksiko, Karibia, dan Amerika Selatan itu kini tumbuh menyebar di daerah tropis. Genus Plumeria mengalami revisi nama menjadi Plumeria rubra, Plumeria obtusa, dan hibridnya, Nama acuminata, acutifolia, dan lutea dimasukkan ke dalam Plumeria rubra. Plumeria acuminata yang berubah menjadi Plumeria rubra forma acutifolia berbunga berwarna putih hingga kuning. Plumeria rubra forma lutea berwarna kuning dengan semburat merah muda. Nama lainnya Plumeria rubra forma acutifolia. Termasuk bangsa Gentianales, suku Apocynaceae.

Sosok

Tanaman: Membentuk pohon kecil dengan tinggi 3-7 m. Batang halus dan berkilau. Batang sukulen – menyimpan banyak air. Mengandung getah seperti susu yang lengket dan dapat menimbulkan iritasi bila terkena mata dan kulit. Kayunya putih kekuningan dan lembut. Percabangan tebal dan berdaun di bagian ujung.

Daun: Tumbuh mengumpul pada ujung terminal cabang, bentuk bulat memanjang 20-40 cm. Lebar sekitar 7 cm tersusun spiral pada akhir cabang.

Bunga: Biseksual (bunga sempurna), beraroma wangi. Warna putih dengan bagian tengah dalam berwarna kuning. Bunga hibrida banyak berwarna paduan merah. Panjang 5-6 cm.

Buah: Linear – bulat memanjang atau elips dengan ujung lancip. Panjang 15-20 cm dengan diameter 1,5-2 cm.

Biji: Banyak dan bersayap.

Kandungan kimia

Kulit kayu mengandung glukosida irridoid. Daun mengandung stigmast-7-enol, lupeol carboxylic acid, lupeol acetate, ursolic acid. Dari akar berhasil diisolasi fulvoplummierin, plumericin, beta-dihydroplumericin, beta-dihydropluericinic acid. Batang mengandung minyak esensial yang terdiri dari geraniol, citronella, farnesol, phenylethyl alohol.

Pemanfaatan Bunga Kamboja

Serupa dengan di Indonesia, di India kamboja yang berwarna putih identik dengan kematian dan pemakaman. Di Filipina, pohon kamboja juga ditemui tumbuh di wilayah pemakaman. Namun, karena kecantikan bunganya, tidak jarang bunga yang dijuluki temple tree itu dipergunakan sebagai tanaman hias seperti yang terlihat di tempat peribadatan umat hindu di Bali. Bunga juga dijadikan hiasan riasan tradisional adat Bali hingga bunga pelengkap janur dan dekorasi. Di Cina bunganya kadang dibuat manisan. Di Jawa kulit batangnya untuk mengobati kaki pecah-pecah. Air seduhannya untuk merendam kaki yang bengkak. Seluruh bagian tumbuhan penuh getah putih, orang dahulu mengoleskannya pada gusi yang sakit karena gigi berlubang. Getah juga dioleskan pada luka bengkak agar bengkaknya cepat matang dan mata intinya dapat keluar. Di Madura kamboja dipakai sebagai pencahar. Pasta yang berasal dari akar yang dihancurkan secara topikal diaplikasikan untuk meningkatkan laktasi pada ibu menyusui. Pasta akar juga diaplikasikan untuk mencegah nanah pada luka terbuka. Di Meksiko, dekoksi (air rebusan) bunganya dipakai untuk mengatasi diabetes. Sedangkan di Yukatan, getahnya digunakan untuk obat sakit gigi.

Aktivitas farmakologis

Antikanker: Penelitian bertujuan menginvestigasi sitotoksik dan efek apoptosis saponin yang berasal dari pohon kamboja pada sel karsinoma sel skuamosa oral (OSCC). OSCC ditempatkan pada 2 x 104 sel/well dalam sebuah 96-well plate diberi perlakuan dengan saponin dari pohon kamboja dan cisplatin dalam konsentrasi berbeda selama 24 jam. Uji eksklusi Trypan blue dye dan ethidium bromide/ acridine orange masing-masing digunakan untuk mengevaluasi sitotoksisitas dan efek apoptosis pada sel. Hasil menunjukkan baik saponin dan cisplatin memiliki efek sitotoksik dan apoptosis pada OSCC. Saponin yang berasal dari pohon kamboja dapat berpotensi sebagai agen antikanker untuk OSCC.

Antiinflamasi: Ekstrak metanol daun kamboja menunjukkan aktivitas antiinflamasi secara nyata. Hasil maksimal dicapai pada dosis 500 g/kg BB yang diberikan pada tikus yang mengalami inflamasi akibat induksi karagenan.

Antipiretik dan antinosiseptif: Ekstrak metanol daun pada beberapa dosis (100, 250, dan 500 mg/kg bobot tubuh tikus) menunjukkan aktivitas antipiretik (penurun demam) dan antinosiseptif (penghilang rasa sakit) yang signifikan. Ekstrak juga menunjukkan kemampuan yang sama dengan parasetamol dosis 100 mg/kg BB. Aktivitas pengurang rasa sakit diduga terjadi karena kemampuan daun kamboja mengurangi peradangan.

Antioksidan: Aktivitas antioksidan memperlihatkan peningkatan nyata seiring kenaikan dosis ekstrak metanol daun kamboja. Dosis yang diujicobakan berkisar antara 50, 100, 200, 300, 400, dan 500 µg.

Antimikrob: Ekstrak metanol daun kamboja diujikan pada beberapa jenis bakteri: gram positif (Bacillus subtilus, Staphylococcus aureus, dan Micrococcus luteus) dan gram negatif (Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, dan Salmonella typhimurium). Ternyata ekstrak pada konsentrasi 250 µg/ml dan 1.000 µg/ml menunjukkan aktivitas penghambatan pada semua bakteri kecuali S. typhimurium. Ekstrak bersifat netral terhadap M. luteus, E. coli, dan P. aeruginosa.

Bunga Kamboja Sebagai Obat Kelamin 

Kembang Kuburan alias bunga kamboja (Plumeria alba) ternyata menyimpan banyak manfaat. Bunga berkelopak lima ini tak hanya bisa digunakan untuk berbagai rangkaian ritual keagamaan, tetapi juga 'mengampuni' orang-orang berpenyakit kotor.

"Di balik kemistikan kamboja atau orang Jawa biasa menyebut semboja, ia menyembunyikan berbagai kebaikan buat manusia. Lewat akar, sirap kulit, getah, kuntum bunga dan daun yang eggan bergerombol, semboja diam-diam amat bermanfaat. Akarnya bisa 'mengampuni' orang-orang berpenyakit kotor," 

Dijelaskan, dengan meminum rebusan akar semboja, laki-laki penderita kencing nanah (gonorrhe) akibat suka 'jajan' pun disembuhkan. "Bisa jadi akar-akar semboja melalui remah-remah jenazah yang telah berubah menjadi unsur hara, memohon ampunan bagi sang pendosa tersebut. Memperingati para laki-laki agar insyaf kembali ke jalan benar,".‎

Sawo Kecik Pohon Yang Makin Langka


Sawo kecik atau nama ilmiahnya Manilkara kauki yang juga sering disebut sebagai sawo jawa merupakan pohon atau tanaman yang menghasilkan buah yang berasal dari famili sawo-sawoan atau Sapotaceae. Kini sawo kecik ini mulai langka dan sangat jarang ditemukan di Indonesia. Menurut filosofi jawa, sawo kecik sering diidentikkan dengan sarwo becik atau serba baik. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta, sawo ini sering dijadikan sebagai tanaman pertanda bahwa orang yang menanam sawo kecik merupakan abdi dalem keraton.
Tanaman sawo ini memiliki batang dengan kayu yang keras dan kuat sehingga banyak dimanfaatkan menjadi berbagai keperluan, diantaranya menjadi perabot rumah tangga, bahan bangunan, dan alat-alat pertukangan. Bukan hanya itu saja, batang dari pohon sawo ini juga bisa dimanfaatkan sebagai benda seni seperti ukiran, patung hingga menjadi berbagai peralatan musik.

Dalam bahasa Inggris, sawo kecik dikenal sebagai Manilkara dan Caqui. Sedangkan di beberapa Negara lainnya sawo kecik memiliki nama yang berbeda lagi. Misalnya di India, sawo kecik dikenal dengan nama Khirni dan di Thailand dikenal dengan nama Lámút Sida atau Lámút Thai.

Ciri-ciri Tanaman Sawo Kecik

Sawo kecik atau yang memiliki nama ilmiah Manilkara kauki ini memiliki tinggi mencapai 25 meter dengan diameter batang pohon bisa mencapai 100 cm.

Daun pada pohon sawo kecik mengelompok pada ujung batang dengan permukaan bawah daun berwarna keputihan dan halus. Pohon sawo kecik memiliki tangkai daun yang tidak menebal dengan panjang kelopak daun bisa mencapai 77 mm. Kuncup pada bunga sawo kecik memiliki bentuk berupa bulat telur.

Sawo kecik memiliki buah yang berbentuk bulat telur yang berukuran kecil dengan panjang kurang lebih 3,7 cm. Buah sawo kecik ini memiliki kulit pembungkus yang tipis dan bisa dengan mudah dikelupas. Buah sawo kecik yang sudah matang memiliki rasa yang manis dan terkadang ada sedikit rasa sepat.

Habitat dan Persebaran Pohon Sawo Kecik

Sawo kecik berasal dari India dan banyak dibudidayakan di kawasan Amerika Tropis dan Asia Tropis. Meskipun di Indonesia sawo kecik mulai langka karena sudah mulai jarang dibudidayakan, namun kebuners masih bisa menemuinya di seluruh wilayah Indonesia kecuali Kalimantan.

Sawo kecik bisa tumbuh dengan subur di daerah pesisir pantai dengan iklim kering dan berada di ketinggian sekitar 500 mdpl. Biasanya, sawo kecik ditanam sebagai pohon peneduh, pohon buah dan sebagai pohon ornament yang ditanam di dekat istana atau kuil.

Di Yogyakarta, sawo kecik ditanam sebagai pertanda bahawa orang yang menanam pohon tersebut merupakan abdi dalem keraton.

Pemanfaatan Pohon Sawo Kecik

Sawo kecik merupakan pohon yang menghasilkan buah. Akan tetapi tidak hanya buahnya saja yang bisa dimanfaatkan, tetapi masih banyak bagian pohon sawo kecik yang bisa dimanfaatkan. Misalnya batang dari pohon sawo kecik bisa dimanfaatkan sebagai perabot rumah tangga, bahan bangunan dan berbagai karya seni.

Pohon sawo kecik bisa tumbuh dengan subur meskipun ditanam di daerah dengan tanah yang kurang subur bahkan pohon sawo kecik mampu berfungsi sebagai pohon perintis. Selain itu, pohon sawo kecik juga bisa menjadi tanaman pemulih lahan yang kurang subur serta kritis. Oleh karena itu, banyak orang yang membudidayakan pohon sawo kecik sebagai batang bawah untuk penyambungan atau okulasi dengan pohon sawo manila.‎

Manfaat Pohon Klampis


Kalangan penggemar bonsai lebih mengenalnya sebagai Arabica (Arabika), meski nama lokalnya adalah Klampis, Klampis Ireng, atau Pung Hitam. Sosoknya memang meyakinkan sebagai bahan bonsai. Selain daunnya yang memang sudah kecil, karakter batangnya sangat kuat, sudah memperlihatkan kesan tua. 

Kalau memang niat menjadi penggemar bonsai harus tahu karakter pohonnya. Arabica dinilai sulit merawat karena tidak mengerti karakternya. Indonesia ini adalah negeri yang sangat beragam berbagai jennis pohonnya. Kita  harus mempelajarinya, dan  bukan menaklukkannya. Soal katakter pohon ini kadang dianggap sepele, tapi kadang-kadang malah dilewatkan.  

Pohon kecil hingga sedang, tingginya 5–10(–18) m, dan gemang batangnya hingga 50 cm; menggugurkan daun. Tajuk serupa payung; ranting-ranting muda berambut kuning, rapat; dengan banyak duri berukuran besar dan panjang (Acacia: berduri, tomentosa: berambut padat).Pepagan cokelat gelap, memecah tak beraturan.

Daun penumpu berupa duri, lurus, panjang hingga 4,5 cm. Daun-daun majemuk menyirip berganda, terletak berseling, dengan tangkai daun 0,6–1 cm dan rakis (2,5–)3–9 cm; dengan satu kelenjar tepat di bawah pertemuan sirip-sirip terbawah, bentuk jorong, lk 1–2,5 mm, rata atau sedikit melekuk; satu-dua kelenjar yang lain di dekat ujung rakis, membundar, lk 0,8 mm. Sirip-sirip (7–)12–25 pasang, 0,9–2,5 cm; beranak daun 12–50, yang tersusun berhadapan, duduk, helaiannya seperti kertas, seperti garis, 1–4 × 0,4–1 mm, pangkalnya asimetris, terpangkas, ujungnya menumpul, berambut halus di sisi bawah dan di tepinya, atau hampir gundul.

Bunga majemuk berupa bongkol-bongkol ‎bertangkai lk 2,5 cm, 1–7 bongkol berkumpul di ketiak daun dekat ujung ranting. Bunga duduk, putih atau putih kekuningan, berbilangan–4 atau –5. Kelopak lk 0,9–1,2 mm, tabungnya gundul kecuali pada ujung dan pada gigi-giginya yang berambut; gigi menyegitiga runcing, 0,1–0,2 mm. Mahkota 2,8–3,5 mm, gundul, taju bundar telur atau bundar telur-jorong, runcing, 0,5–1 mm. Benang sari banyak, panjang lk 5 mm; bakal buah gundul, 0,8–1 mm, duduk. Buah polong cokelat gelap, membelulang, tipis rata, sedikit membenjol pada biji, lurus atau membengkok, 9–18 cm × 0,8–1 cm, dengan urat-urat yang membujur memanjang buah, memecah pada kedua kampuhnya. Biji pipih, jorong atau lonjong, 6,5–9 × 4–5,5 mm.

Pohon ini biasa dijumpai tumbuh di sabana,hutan jati, hutan semak belukar, wilayah dekat pantai; juga ditanam di sepanjang tepi jalan, dan di pematang-pematang sawah; pada ketinggian hingga 500 m dpl‎. Di Jawa Timur juga didapati di hutan musim.

Berbunga pada bulan-bulan Oktober hingga Juni.

Klampis menyebar secara alami di India s‎elatan, Srilanka, Benggala, Burma,Thailand, Vietnam, dan Indonesia; yakni di ‎Jawa, Madura, Sumbawa, Sumba, dan ‎Sulawesi.

Klampis dipelihara untuk dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar‎. Kayu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat gagang cangkul dan tangkai sabit‎. Kayu ‎A. tomentosa tergolong ke dalam kayu yang berbobot sedang, dengan densitas 580–670 kg/m³ pada kadar air 15%‎.

Kulit batangnya pahit dan berbau tak enak, dimanfaatkan sebagai obat kuda. Serat dari pepagan ini sangat liat dan digunakan untuk membuat tali atau tambang. Getahnya dimanfaatkan untuk membuat ‎tinta.

Tunas dan daun-daun mudanya disenangi ternak, walaupun berduri. Di samping itu, dedaunan ini dapat dijadikan pupuk hijau.

Manfaat Pohon Pule


Pulai adalah nama pohon dengan nama botani Alstonia scholaris. pohon ini dari jenis tanaman keras yang hidup di pulau Jawa dan Sumatra. Dikenal juga dengan nama lokal pule, kayu gabus, lame, lamo dan jelutung. kualitas kayunya tidak terlalu keras dan kurang disukai untuk bahan bangunan karena kayunya mudah melengkung jika lembap, tetapi banyak digunakan untuk membuat perkakas rumah tangga dari kayu dan ukiran serta patung. Pohon ini banyak digunakan untuk penghijauan karena daunnya hijau mengkilat, rimbun dan melebar ke samping sehingga memberikan kesejukan. Kulitnya digunakan untuk bahan baku obat. berkhasiat untuk mengobati penyakit radang tenggorokan dan lain-lain.

Ciri- ciri tanaman herbal pule :

Daun terpusar berkisar 4 – 9 helai, bentuk lonjong sampai lanset, atau lonjong sampai bulat telur sungsang, menjangat, tipis dan kuat. Permukaan atas daun licin. Sedangkan permukaan bawahnya buram. Panjang daun 10 – 23 cm, dengan lebar 3 – 7,5 cm dengan panjang tangkai 7,5 cm  – 15 cm.
Bunga : Perbungaan berupa malai rata, keluar diujung cabang atau diketiak daun, panjangnya sampai 13 cm. Sedangkan gagang bunganya pendek kurang lebih 2,5 cm, dan berambut. Bunganya wangi berwarna hijau terang sampai putih kekuningan dan pada  permukaannya berbulu halus dan rapat. Panjang   tabung 7 – 9 mm, agak mengecil pada bagian lehernya, helaian mahkota menyerong dan bundar. Panjang tangkai putik 3 – 5 cm.
Buah : Berbentuk bumbung, panjangnya 20 – 50 cm.
Biji : Biji-bijinya berambut pada bagian tepinya berjambul pada bagian ujungny, panjang 1,5 – 2 cm.
Kandungan Zat tanaman herbal pule : Tanaman ini mengandung berbagai zat yang dapat digunakan sebagai obat herbal. Adapun kandungan zat berkhasiat dalam tanaman ini adalah: Alkaloida, Ekitamina, Ekitenina, Alsonina, Akiserina, Ekitina, Ekiretina, Ditamina, Ekitamidina dan ekiteina.

Pemanfaatan Tanaman pule sebagai obat herbal, untuk beberapa Penyakit :

1. Mengobati demam : Bagian yang digunakan adalah kulit batang sejumlah 10 gram, direbus dengans segelas air selama 15 menit, saring dan minumlah air rebusannya.

2.  Sebagai penurun Tekanan Darah ( Antihipertensi ): Bagian yang digunakan juga kulit batang 10 gram, direbus dengan 3 gelas air. Sisakan 2 gelas, saring dan minumlah air rebusannya.

3. Untuk mengobati nyeri di bagian dada : Bagian yang digunakan adalah akarnya. Dikunyah bersama dengan pinang.

4. Sebagai pengurang rasa sakit ( Antipiretik ). Misalkan digunakan pada penderita sakit kepala.

5. Sebagai Antidiabetik, atau penurun gula darah bagi penderita Diabetes melitus.  Bagian yang digunakan adalah daunnya.  Direbus dan diminum kemudian.

Pohon Pulai sering dianggap sebagai pohon keramat yang dihuni Roh-roh halus, bentuk pohon menyerupai pohon karet (penghasil getah karet) dan biasa tumbuh didaerah kering dengan tinggi pohon mencapai 50 meter, deameter batang sampai dengan 2 meter.‎

Bentuk batang lurus berwarna kelabu, daunnya rimbun berwarna hijau mengkilat serta melebar kesamping jadi sangat cocok bila dijadikan sebagai pohon peneduh.
Sifat kayunya lunak, berwarna kuning keputihan dan mudah melengkung bila digunakan untuk bahan bangunan, untuk itu secara umum Kayu Pule hanya cocok untuk dibuat perkakas rumah tangga seperti : mainan anak-anak, papan gambar, ukiran patung dan topeng.

Dalam pengobatan herbal Pohon Pule dapat dimanfaatkan untuk :
- Getah Pule digunakan untuk mematangkan asbes (bengkak) pada kulit.
- Kulit Pule untuk obat radang tenggorokan.
- Daun Pule untuk obat demam, penurun tekanan darah, diabetes, nyeri dibagian dada dan mengurangi rasa sakit.

Khusus di Jawa Timur kayu Pule paling sering dibuat Topeng Panji, Topeng Bantengan, Topeng Barongan dan Topeng Kesenian lainnya yang berhubungan dengan makhluk halus, karena dipercaya dengan menggunakan Topeng yang terbuat dari Kayu Pule akan mempermudah para pemainnya untuk kerasukan bangsa jin.

Menurut kepercayaan banyak orang Pohon Pule biasanya dihuni oleh Raja Jin, dan biasanya dibagian tengah dari pohon ini digunakan untuk menyimpan mustikanya, sedang dalam dunia metafisika Kayu Pule dianggap mempunyai daya potensi supernatural yang berguna untuk :
= Menolak energi negatip dalam rumah atau pekarangan.
= Mengobati kesurupan dan mengusir roh-roh jahat dengan cara dicambukkan.‎

 

Sholawat Thibil Qulub

Shalawat Thibbul Qulub Syaikh Ahmad al-Dardir al-Khalwatiy
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا . وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا . وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا . وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا . وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ .
Artinya:”Ya Allah, limpahkanlah rahmat yang disertai ta’zhim kepada Nabi Muhammad sebagai penyembuh semua hati dan menjadi obatnya, keafiatan badan dan kesembuhannya, cahaya segala penglihatan dan menjadi sinarnya, menjadi makanan jiwa santapannya. Dan semoga terlimpahkan pula shalawat dan salam kepada keluarga  dan sahabat beliau.”

Dalam kitab Saadah al-Darain Fi Shalat Ala sayyid al-kaunain, syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhani menisbahkan shalawat ini kepada Syaikh Abu al-Barakat Ahmad al-Dardir.

Ada sedikit perbedaan redaksi dari shalawat Thibb al-Qulub atau yang disebut juga shalawat al-Thibbiyyah ini, dalam redaksi Syaikh Ahmad al-Shawiy tidak ada tambahan (وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا). Tambahan tersebut disebutkan oleh Syaikh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhaniy dalam kitab Saadah al-Darain Fi Shalat Ala Sayyid al-Kaunain. Kemudian Sayyid Muhammad Ibn Alawiy al-Maliky mengukuhkan kembali dalam kitab ‎Abwab al-Faraj dan Sawariq al-Anwar Min Ad’iyah al-Sadah al-Akhyar.

Habib Abu Bakar Ibn Abdullah Ibn Alawiy al-Atthas pengarang kitab Risalah al-Kautsar, menamakan shalawat Thibb al-Qulub dengan sebutan shalawat Nur al-Abshar.

Syaikh al-Hasan ad-Daymainiy at-Tijaniy membuat gubahan nazham dari redaksi shalawat Thibbul Qulub sebagai berikut:

^ صلاة طب القلوب ^

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ طِبِّ الْقُلُوْبِ وَدَوَائِهَا . وَعَافِيَةِ اْلأَبْدَانِ وَشِفَائِهَا . وَنُوْرِ اْلأَبْصَارِ وَضِيَائِهَا . وَقُوْتِ اْلأَرْوَاحِ وَغِذَائِهَا . وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ :

اللـهمّ صلينْ وســلمن على * سيدنا محــــمد الذي علا
طب القلوب ودوا عــلتها       * شفاء الابـــدان وعافيتها
ونور الابصار الذي أيضا به * ضــياؤها وآله وصحبه
Biografi Syaikh Ahmad al-Dardir
Imam Abu al-Barakat Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Adawiy al-Malikiy al-Khalwatiy yang dikenal dengan Syaikh al-Dardir, seorang ulama shufi, pakar fiqh, teologi, tafsir, hadis, gramatika dan lain-lain. Pendidikannya dimulai sejak beliau menghafal al-Qur’an pada masa kecilnya. Kemudian melanjutkan ke al-Azhar dengan mengikuti perkuliahan para ulama terkemuka di sana seperti Syaikh Muhammad al-Dafariy dan lain-lain.
            
Dalam studi hadis, Syaikh al-Dardir banyak belajar kepada Imam al-Shabbagh dan Syamsuddin al-Hifniy. Dalam studi fiqh, beliau belajar kepada Imam Ali al-Shaidi yang merupakan ulama terkemuka dalam mazhab Maliki. Lalu beliau menjalani kehidupan shufi di bawah bimbingan Imam al-Hifniy. Setelah Imam Ali al-Shaidi meninggal, Syaikh al-Dardir menggantikan posisinya sebagai mufti dan guru besar dalam mazhab Maliki di Mesir, baik ilmu-ilmu zhahir maupun ilmu bathin (tashawuf).
            
Syaikh al-Dardir dilahirkan  pada tahun 1127 H/1715 M. Beliau wafat pada tahun 1201 H/1786 M. beliau termasuk ulama produktif, meninggalkan sejumlah karangan yang populer hingga kini. Karangannya meliputi bidang studi fiqh, gramatika, tashawuf, teologi, tafsir dan lain-lain. Diantara karangannya dalam bidang fiqh adalah Aqrab al-Masalik Li Mazhab al-Imam Malik, Syarh Mukhtashar Khalil dan lain-lain. Dalam bidang gramatika beliau menulis Tuhfah al-Ikhwan Fi ilm al-bayan. Dalam bidang teologi, karyanya yang popular dan menjadi kajian para pelajar adalah al-Kharidah al-Bahiyyah, sebuah kitab yang menguraikan teologi al-Asy’ariyah dalam bentuk Nazham.

Karamah Syaikh Ahmad al-Dardir
Syaikh Hasan al-Adawiy pernah mengalami ujian berat yang dilakukan oleh penguasa Mesir. Kemudian beliau teringat akan pesan gurunya, Syaikh Muhammad al-Siba’iy yang pernah mengabarkan kepada beliau, bahwa engkau akan mendapatkan Futuh dari Syaikh al-Dardir. Sejak saat itu Syaikh Hasan al-Adawiy melakukan ziarah ke maqam Syaikh al-Dardir dan selalu bertawassul kepadanya. Sehingga pertolongan dan kemenangan, Allah berikan kepada Syaikh Hasan al-Adawiy.

Keutamaan Shalawat Thibb al-Qulub
Syaikh Ahmad Ibn Muhammad al-Shawiy al-Malikiy berkata; “Apabila shalawat Thib al-Qulub dibaca sebanyak 400 kali atau 2000 kali, diniatkan buat orang sakit, maka dengan izin Allah, penyakit apapun akan sembuh.”
            
Dihikayatkan ada orang mendatangi Habib Ahmad Ibn Hasan al-Atthas di kota Huraidhah, ia mengadukan perihal matanya yang telah mengalami gangguan penglihatannya. Kemudian Habib Ahmad mengusap kedua mata orang tersebut dan beliau memerintahkan agar ia memperbanyak membaca shalawat Thibb al-Qulub. Habib Ahmad lalu berkata: “Habib Muhammad Ibn Zain Baabud telah mengabarkan diriku bahwa ia berkata; mataku pernah mengalami ganguan penglihatan sehingga aku minta solusi kepada Habib Shalih Ibn Abdullah al-Atthas kemudian beliau mengusap kedua mataku dan beliau memerintahkan agar aku membaca shalawat Thibb al-Qulub setiap hari sebanyak 300 kali, maka aku amalkan shalawat itu sehingga aku diberikan kesembuhan yang segera.
            
Selain shalawat Thibb al-Qulub, syaikh Ahmad al-Dardir memilki beberapa kumpulan shalawat diantaranya;

Shalawat al-Ridhaiyyah

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً الرِّضَا وَارْضَ عَنْ أَصْحَابِهِ رِضَاءَ الرِّضَا .

Artinya: “Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Nabi Muhammad, sebenar-benar shalawat sempurna yang Engkau ridha dan Engkau berikan keridhaan kepadanya, dan berikanlah keridhaan yang tinggi kepada para sahabatnya.”
            
Para ulama mengatakan; “Keutamaan shalawat al-Ridhaiyyah, apabila dibaca 70 kali, akan mengabulkan segala doa kebaikan.”

Shalawat al-Wishal

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ صَلاَةً تَلِيْقُ بِجَمَالِهِ وَجَلاَلِهِ وَكَمَالِهِ وَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَذِقْنَا بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ لَذَّةَ وِصَالِهِ .

Artinya: “Ya Allah, berikan rahmat yang disertai Ta’zhim kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, sebenar-benar shalawat yang pantas dengan keagungan, kebesaran dan kesempurnaannya. Berikanlah pula shalawat dan salam kepada beliau dan keluarganya. Anugrahkanlah kami kelezatan bertemu dengan beliau dengan keberkahan bershalawat kepadanya.”

Dinamakan shalawat al-Wishal lantaran menurut keterangan para ulama, siapa saja yang lazim membacanya, akan Allah sampaikan dirinya bertemu dengan makhluk yang paling mulia yakni Nabi Muhammad.

Ki Gede Kejiwan


Pada zaman kerajaan, setelah berdirinya kerajaan Islam Pakungwati Cirebon, dibawah pimpinan Sunan Gunungjati tepatnya pada tahun 1406 M, tersebutlah salah seorang murid dia bernama Taka Bin Talab (‎Ki Mertabumi) yang di kenal dengan Ki Beyot meminta izin untuk membuka pedukuhan (Desa), yang berada di perbatasan Kerajaan Indramayu dengan Rajanya Prabu Indra Wijaya (Arya Wiralodra), yang pada tahun 1528 M kerajaan ini menggabungkan diri dengan Kerajaan Islam Pakungwati Cirebon.

Setelah memperoleh izin dari Sunan Gunungjati, maka Ki Beyot mulai membuka hutan (Babad Alas) bersama Nyi Gede Susukan yaitu Nyi Tosa. Ki Beyot membuka hutan dengan cangkul dan pedang, wilayah yang terdapat hasil cangkulan (tebalan) termasuk wilayah kekuasaan Ki Beyot, sedangkan karena Nyi Tosa seorang perempuan yang tidak bisa mencangkul, maka ia menandai daerahnya dengan membakar hutan dengan api, wilayah yang terdapat bekas bakaran (Obar-obaran) termasuk daerah kekuasaan Nyi Tosa.

Berhari-hari kegiatan membuka hutan itu dilakukan, sampailah Ki Beyot di daerah Bundermire. Setelah pembukaan hutan sampai didaerah tersebut, Ki Beyot menghentikan kegiatannya karena sempat tergoda dengan Nyi Tosa Yang berwajah Cantik, berbadan kuning dan suka nginang, sehingga disaat demikian, Nyi Tosa tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia memperluas wilayahnya hingga ke daerah ‎Pucuk Sawit. Oleh karena itu wilayah Susukan lebih luas hingga mencapai daerah Pucuk Sawit, sedangkan Kejiwan hanya sampai daerah Bundermire.

Setelah selesai membuka hutan, Ki Beyot menamakannya desa Kejiwaan, yang berarti pembukaannya dengan jiwa (tenaga), selain itu karena sifat Ki Beyot sendiri yang mempunyai Kejiwaan yang kuat, walaupun dicaci, dihina dan diremehkan dia tidak membalasnya. Karena logat Orang Jawa yang cepat, kata Kejiwaan disebut menjadi KEJIWAN. Hingga sekarang desa kita ini disebut Kejiwan.

Sedangkan wilayah Nyi Tosa dinamakan Yangtanjung (desanya berada di tengah sawah), kearah timur dari desa itu merupakan sebuah kebun yang subur, yang memiliki sebuah kalen (sungai kecil)yang selalu disusuk (dijeroi) agar airnya dapat mengalir dengan lancar, sehingga daerah tersebut disebut ‎Susukan. Karena kesuburannya dan letaknya yang strategis, banyak penduduk desa Yangtanjung berpindah ke Susukan. Hingga sekarang Susukan menjadi desa yang besar, sedangkan Yangtanjung sudah di tinggalkan oleh penduduknya.‎

Ki Mertabumi (Ki Taka bin Talab) adalah salah seorang Ki Gede dan abdi dalem kesultanan Cirebon. Pada suatu hari ketika Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang mengadakan kenduri dalam rangka syukuran hajat walimah, ternyata persediaan air untuk keperluan kenduri tersebut kurang. Maka oleh Kanjeng Sinuhun Ki Taka diperintahkan untuk mencari air. Namun aneh Ki Taka berangkat hanya membawa keranjang wadah rumput, tidak membawa ember untuk wadah airnya. Keranjang yang sudah diisi air itu dibawanya ke keraton. Orang-orang yang melihatnya, geleng-geleng kepala tanda kagum. Kok bisa-bisanya air diwadahi keranjang, bahkan sampai penuh (luber, Cirebon). Melihat kejadian itu Kanjeng Sinuhun tersenyum, juga sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sejak itu Ki Taka dijuluki Ki Luber, karena Ki Mertabumi dapat membawa air diwadahi keranjang yang berlubang sampai luber. Luber juga ilmunya, Kanjeng Sinuhun membatin.‎

Seusai kenduri, Kanjeng Sunan Jati  Purba memerintahkan kepada para Ki Gede untuk membuka hutan di wilayah cakrahannya masing-masing. Wilayah cakrahan Ki Luber adalah dari ujung sebelah barat berbatasan dengan wilayah Indramayu.

Ki Luber adalah seorang sakti mandraguna, terpelihara jiwanya, kepribadiannya sangat terpuji, lemah lembut, berbudi luhur, rendah hati dan murah hati terhadap sesama. Ketika ia membuka hutan tidak bersusah payah menebang pohon-pohon. Atas ridho Allah, dengan ilmu yang dimiliki, hanya dengan tudang-tuding saja pepohonan di hutan itu roboh rata dengan tanah. Kemudian dijadikanlah pedukuhan untuk tempat tinggal Ki Luber dan keluarganya. Karena Ki Taka seorang yang berjiwa yang luhur dan terpuji, maka Ki Taka dijuluki Ki Kejiwantaka dan pedukuhan yang dibangunnya dinamakan Pedukuhan Kejiwan dan sekarang menjadi Desa Kejiwan dalam Wilayah Kecamatan Susukan. Sejak saat itu Ki Luber (Ki Taka) disebut orang Ki Gede Kejiwantaka. Pada setiap kesempatan ia selalu mengajarkan ilmu agama Islam, lama kelamaan banyak santrinya. Kemudian dibangun sebuah pesantren dan sumur untuk mandi, minum, dan berwudlu para santrinya dan masyarakat sekitarnya. Sumur itu diberi nama Sumur Kejiwantaka. Sumur itu sampai sekarang masih ada dan banyak dikunjungi masyarakat baik masyarakat setempat maupun dari luar daerah untuk mandi dan minum, mereka senantiasa mengharapkan karomahnya. Konon katanya setelah mandi dan minum air sumur itu maka tenaganya menjadi kuat. Wallahu A’’lam.

Suatu waktu Kanjeng Sunan Gunung Jati bersama para petinggi keraton berkunjung ke daerah-daerah dengan mengendarai pedati (glebeg) dan membawa perbekalan secukupnya tidak lupa membawa serta Ki Mertabumi. Setiap daerah yang dikunjungi selalu saja para sesepuhnya mempersembahkan kepada Kanjeng Sinuhun barang-barang hasil bumi antara lain: padi, jagung, waluh, ketimun, kacang tanah dan lain-lain sebagai buah tangan. Karena saratnya barang-barang bawaan yang dimuat, maka sampai di daerah Kedung Ngengeng wilayah Ligung, tiba-tiba pedati itu ambles ke tanah, sehingga susah untuk diangkat. Maka Kanjeng Sinuhun memerintahkan para petinggi keraton untuk mengadakan sayembara; Barang siapa yang bisa mengangkat pedati itu akan diberi hadiah 1 Ha tanah.

Banyak para Ki Gede yang mengikuti sayembara, antara lain: Ki Gede Tegal Gubug, Ki Gede Rawagatel, Ki Gede Bojong, Ki Gede Jungjang, Ki Gede Mejasri, Ki Gede Bunder, Ki Gede Jatianom dan Ki Gede Ujunggebang. Namun tidak ada yang kuat mengangkat pedati itu, walaupun dengan menggunakan kerbau piaraannya masing-masing. Melihat kenyataan itu Ki Gede Kejiwan pulang mengambil kerbaunya ingin coba-coba ikut sayembara. Setelah kembali dengan membawa seekor kerbau para Ki Gede mentertawakan sambil mengejek, karena yang mereka lihat adalah seekor kerbau yang kecil, begitu pula badan Ki Kejiwantaka kecil dan kurus, menurut mereka tidak mungkin bisa untuk mengangkat pedati yang sangat berat itu. Pelaksanaan sayembara dihentikan karena waktu sudah malam, para Ki Gede tertidur pulas karena kelelahan. Pada saat para Ki Gede tertidur, Ki Kejiwantaka secara diam-diam dengan kerbaunya mencoba mengangkat pedati itu, kerbaunya yang menarik dan Ki Kejiwantaka dengan kesaktiannya mengangkat pedati itu hanya dengan ibu jari sebelah kakinya saja. Setelah terangkat kerbaunya dilepas dan diikat di sebuah pohon disamping kerbau-kerbau lainnya milik para Ki Gede. Kemudian Ki Kejiwantaka tidur pula disamping para Ki Gede. Gusti Kanjeng Sinuhun tahu, dan pada saat Ki Gede Kejiwantaka tertidur, oleh Kanjeng Sinuhun diberi ciri (tanda) dengan melilitkan benting (sabuk dari kain) warna hitam di perut Ki Kejiwantaka dan leher kerbaunya.

Pada keesokan harinya para Ki Gede kebingungan karena melihat pedati itu sudah terangkat, setelah ditanyakan oleh petinggi keraton siapa yang telah mengangkat pedati itu, mereka tidak ada yang mengaku. Kemudian Kanjeng Sinuhun menyatakan, bahwa barang siapa diantara para Ki Gede yang perutnya ada tanda “benting warna hitam” dan juga di leher kerbaunya, maka ialah yang telah berhasil mengangkat pedati itu. Ternyata yang ada tanda tersebut adalah Ki Gede Kejiwantaka.

Para Ki Gede terkejut, mereka merasa malu karena telah mengejek Ki Gede Kejiwantaka. Walupun kerbaunya kecil dan postur tubuh Ki Gede Kejiwantaka kecil dan kurus, namun memiliki kekuatan yang luar biasa. Sehingga oleh Kanjeng Sinuhun Ki Gede Kejiwantaka dianugerahi nama Ki Beyot (Beyot artinya kecil tapi kuat). Kemudian hadiah yang dijanjikan yaitu tanah seluas 1 Ha di daerah Kedung Ngengeng diserahkan kepada Ki Beyot.

Perjalanan kunjungan ke daerah-daerah dilanjutkan dengan menggunakan pedati yang ditarik oleh kerbaunya Ki Beyot, hingga sampai di Desa Krangkeng wilayah Indramayu. Sesampainya di sana pedati yang ditumpangi Kanjeng Sinuhun, Ki Beyot dan para petinggi keraton itu rusak, akhirnya diputuskan untuk ditinggal di Desa Krangkeng, sedangkan kerbaunya dibawa lagi pulang. Sampai sekarang pedati itu masihada di pendopo Balai Desa Krangkeng dan dirawat oleh seorang Juru Kunci. Pedati itu dikenal dengan Pedati Ki Luber. Menurut ceritera masyarakat setempat bahwa setiap malam Jum’at Kliwon kerbau Ki Luber suka nampak di sekitar bangunan pendopo.

Sumur Kejiwan
Sumur Kejiwan adalah sumur yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan sumur-sumur lain. Unjungan Desa sering dipusatkan di lokasi ini. Sejarah Sumur Kejiwan adalah:
Ketika wilayah Cirebon kekeringan, saat itu di keraton Pakungwati Cirebon ada kegiatan tahunan Sunan Gunungjati mengundang Ki Gede Kejiwan ke Kraton sambil membawa air dari sumur Kejiwan. Ki Beyot mematuhi perintah guru dia Sunan Gunungjati, datang ke Cirebon dengan memikul air dari sumur Kejiwan, anehnya air itu dibawa dalam keranjang tetapi tidak bocor. Sesampainya di Cirebon Ki Beyot menumpahkan air dari keranjang itu ke paso-paso penduduk, anehnya lagi puluhan paso dapat terpenuhi hingga luber padahal air yang di bawa hanya dua keranjang. Oleh karena itu Ki Beyot di beri julukan Ki Luber.

Ki Lamun (Ki Buyutan)
Ki Lamun adalah salah satu Ki Gede Kejiwan, Ia memperistri putri dari Ki Gede Kedongdong sehingga desa Kejiwan dengan desa Kedongdong ada hubungan mertua. Ki Gede Ki Lamun mempunyai 25 anak keturunan yang semuanya menjadi Ki Gede yang tersebar ke berbagai daerah luar desa Kejiwan seperti ada yang berada di Sumber, Bongas, Ligung dan lain-lain. Sedangkan sebagian lagi berada di Kejiwan seperti Ki Gede Kirawuh, Ki Suwala, Ki Gede Sikepel dan lain-lain.‎

Ki Muaji
Ki Gede Ki Muaji merupakan santri dari Ki Gede Gagarsari, saat Ki Muaji bekerja di sawah (meluku) Weluku yang dia gunakan patah menjadi dua, Ki Muaji mencoba mengganti weluku itu dengan yang baru tetapi Gurunya (Ki Gede Gagarsari) menolak, ia ingin agar welukunya itu kembali seperti semula tidak diganti dengan uang atau dengan yang baru. Hal ini dimaksudkan menguji sejauh mana kemampuan muridnya itu untuk bertanggung jawab dan menunjukkan kemampuan (Kesaktian) kepada Gurunya.
Ki Muaji terus berfikir bagaimana caranya agar weluku itu kembali seperti semula, akhirnya dia berpuasa dan menempelkan weluku yang patah itu dengan tanah liat dan mengelus-elusnya sehingga atas izin Allah SWT weluku yang patah itu kembali tersambung seperti semula, dan dari kemampuan inilah Ki Muaji dapat menyembuhkan penyakit.

Ki Gede - Ki Gede Kejiwan
1. Ki Beyot (Kejiwan Taka)
Dimakamkan di kompleks makam Gunung Sembung Desa Astana Kec. Gunung Jati Kab. Cirebon. (Makam dia berdampingan dengan Ki gede Bojong Kulon)
2. Ki Lamun (Ki Buyutan)
Makamnya di Desa Kejiwan bagian Selatan
3. Ki Muaji
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Timur di tengah sawah, berbatasan dengan Desa Bojongkulon.
4. Ki Gagarsari
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Timur di pinggir jalan beberapa meter dari makam Ki Muaji.
5. Ki Mertabumi
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Utara di tengah sawah.
6. Ki Gede Bajangan
Makamnya terletak di Desa Kejiwan bagian Barat Laut, beberapa meter dari makam Ki Mertabumi kearah barat
7. Ki Gede Sikepel
Makamnya terletak di Desa Kejiwan blok Sikepel sebelah selatan dari rumah Bapak Rasmin
8. Ki Gede Singkil
Makamnya terletak di Desa Kejiwan blok Karanganyar, sebelah timur Kalen Gotroks, atau dari rumah Bapak H.Muqit ke arah utara.
9. Ki Gede Kirawuh
Makamnya terletak di Desa Kejiwan blok Ki Rawuh.
10. Ki Wiyasih
Makamnya berada di blok 5, berbatasan dengan Desa Kedongdong, tepatnya sebelah barat Kalen Sendok.
11. Ki Suwala
Makamnya berada di Kejiwan bagian Tenggara tepatnya dari rumah Bapak Umar Kearah tenggara (Ngetan-Ngidul).
12. Ki Rengon
Makamnya berdekatan dengan makam Ki Suwala.
13. Ki Gede Cilunglung
Makamnya berada di pusat Desa Kejiwan (Lebuh).
14. Nyi Tosa (Nyi Gede Susukan)
Makamnya berada di pinggir sawah sebelah timur rumah Bapak Jimong, di Kejiwan bagian Utara.‎

Candi Jiwa Karawang Lebih Tua Dari Borobudur

 

Karawang sebagai salah satu kota di pesisir utara Jawa Barat selama bertahun-tahun telah dikenal sebagai lumbung beras nasional, Namun sebenarnya prestasi kota ini tidak sekadar sebagai penghasil beras semata. Pada zaman perang kemerdekaan, kota ini mengukir sejarah ketika sekelompok pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dengan membawa Soekarno Ke Rengas Dengklok. Dan hasilnya, sehari setelah peristiwa tersebut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kini rumah ketika Soekarno pernah diungsikan tersebut masih dapat ditemukan tidak jauh dari pasar Rengas Dengklok. Dalam perkembangannya ternyata Karawang juga menyimpan potensi sumberdaya arkeologi yang sangat besar sejak masa prasejarah, klasik sampai masa Islam tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Dua situs dari masa klasik yakni Batujaya dan Cibuaya, sampai saat ini setidaknya memiliki 30 buah lokasi yang diduga merupakan bangunan candi dari masa Kerajaan Tarumanagara sampai Sunda. Satu jumlah yang berlum tertandingi oleh daerah lain di Jawa Barat dan tentu tidak berlebihan jika Karawang mendapat julukan sebagai Lumbung Candi di Jawa Barat.
‎‎
Masyarakat di daerah ini pada umumnya hidup dari bercocok tanam. Oleh karena itu, sebagian besar lahan di daerah Batujaya digunakan untuk areal persawahan irigasi. Pola tanam padi sebanyak dua kali setahun dan pola tata air yang baik menyebabkan daerah ini subur dan menjadi tulang punggung bagi penyediaan beras. Tak heran jika wilayah Karawang yang mempunyai luas wilayah sekitar 3120 Km ini dikenal sebagai lumbung padi nasional.

Di samping bercocok tanam, masyarakat yang tinggal di daerah pantai umumnya hidup sebagai nelayan tradisional. Tampaknya dua jenis pekerjaan ini merupakan keahlian yang telah dilakukan secara turun temurun dari leluhur mereka. Hal ini dapat diketahui dari hasil penelitian arkeologi di Komplek Percandian Batujaya yang menemukan bandul jaring dan sisa-sisa kulit kerang pada bata - bata candi.

Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684 M daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 M atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan. Artinya, sejak runtuhnya Komplek Percandian Kegiatan menanam padi dengan latar belakang candi Blandongan Batujaya, daerah ini menjadi tidak berarti dan baru mendapat perhatian kembali pada akhir abad ke-17 M.

Lokasi Situs

Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (pantai Ujung Karawang).Batujaya kurang lebih terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum. Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang karena tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau pun pada musim hujan.

Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar 50km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.
Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2, Telagajaya 1, dan seterusnya.

Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah dipugar dan sedang dipugar. Walaupun belum didapatkan data mengenai kapan dan oleh siapa candi-candi di Batujaya dibangun, namun para pakar arkeologi menduga bahwa candi-candi tersebut merupakan yang tertua di Jawa, yang dibangun pada masa Kerajaan Tarumanegara (Abad ke-5 sampai ke-6 M). Sampai tahun 1997 sudah 24 situs candi yang ditemukan di Batujaya dan baru 6 di antaranya, umumnya merupakan hanya sisa bangunan, yang sudah diteliti. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masih ada lagi candi-candi lain di Batujaya yang belum ditemukan. Yang menarik, semua bangunan candi menghadap ke arah yang sama, yaitu 50 derajat dari arah utara. Juru kunci situs batujaya ini yang sekaligus menjadi pengurus bernama Pak Kaisin Kasin.

Candi Jiwa
Candi Jiwa yang dikenal sebagai Unur Jiwa, terletak di tengah areal persawahan berupa gundukan tanah yang berbentuk oval setinggi 4 meter dari permukaan tanah. Bangunan yang berukuran 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter ini tidak mempunyai tangga masuk dan di bagian permukaan atas terdapat susunan bata yang melingkar dengan garis tengah sekitar 6 meter yang diduga merupakan susunan dari bentuk stupa. Nama Candi Jiwa diberikan penduduk karena setiap kali mereka menambatkan kambing gembalaannya di atas reruntuhan candi tersebut, ternak tersebut mati. Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Ketika umat Budha melakukan ritual ditempat ini mereka mengitari candi jiwa seturut dengan perputaran arah jarum jam.‎

Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata. Pada masa lampau, masyarakat membuat batu bata dengan menggunakan kayu sebagai media bakarnya, itulah yang membedakan batu bata pada masa lampau yang lebih terlihat gosong ‎dibandingkan dengan batu batu masa sekarang yang dibakar menggunakan oven, walaupun suhu bakaran kedua-duanya berkisar 45 derajat celcius. Dan yang menjadi keunikan, batu bata didaerah batujaya itu berukuran sangat besar dibandingkan dengan ukuran batu bata di daerah Jakarta dan sekitarnya. 
Candi Blandongan

Candi Blandongan adalah candi yang termasuk kedalam Situs Batujaya. Secara administratif candi ini terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Beberapa orang yang berkunjung ke tempat ini, sering menyebut sebagai situs percandian.

Hal ini karena situs Candi Blandongan terdiri dari berbagai candi yang tersebar di berbagai tempat dan titik. Lokasi percandian ini adalah danau yang dimana candi dibangun di berbagai tepi danau. Hal tersebut beralasan adanya nama desa yang ada, yaitu Segaran dan Telagajaya. Arti dari kedua kata tersebut adalah laut atau kolam, seperti halnya danau dalam bahasa Sanskerta.

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan di situs, berbagai macam benda purbakala terdapat di sekitar gundukan yang ada di tengah sawah. Sejak awal penelitian sampai tahun 2013, ditemukan setidaknya 39 sisa bangunan purbakala yang merupakan bagian dari struktur candi. Sisa bangunan tersebut dibangun menjadi dua kelompok sesuai tempatnya, yakni di Desa Segaran dan Desa Telagajaya.

Informasi Mengenai Candi Blandongan Karawang

Situs Batujaya diteliti oleh tim arkeologi dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1984. Pada tahun 1989, Ditlinbinjarah dengan Badan Koordinasi Survei, Pemetaan Nasional, Fakultas Geografi dari Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Tarumanegara melakukan penelitian ditempat ini.

Sedangkan pada tahun 1992, Bidang Arkeometri Pusat Penelitian Arkeologi Nasional meneliti Batujaya untuk mengetahui lingkungan geologis, arkeologis, geomorfologis, dan hidrologis yang ada didalamnya. Pada Bulan September 1992, Bidang Arkeologi Klasik Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan penelitian untuk mempelajari pola sebaran situs.‎

Sementara itu, situs Segaran V atau ‎Candi Blandongan, secara khusus diteliti tahun 1993. Ekskavasi tersebut dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang berhasil menampakkan kaki bangunan di barat laut. Tahun 1995, penelitian dilanjutkan dengan hasil menampakkan struktur bangunan yang sepanjang 21,6 m dengan 9 anak tangga.

Karena luas dan banyaknya situs Batujaya, membuatnya dijadikan lahan okupasi penelitian, baik dari peneliti dalam maupun luar negeri. Sedangkan tahun 2004, penelitian yang dilakukan bersama Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional dan  Ecole Francaise d’Extreme-Orient di situs Batujaya.

Candi Blandongan adalah bangunan yang paling lengkap untuk menyimpan berbagai situs purbakala. Teknologi dan arsitektural yang ada di candi ini lebih rumit dari yang lainnya. Di keempat sisi candi tersebut, terdapat pintu masuk tangga dengan 8 anak tangga.

Penemuan Penting di Candi Blandongan Karawang

Pemugaran di Candi Blandongan terjadi pada tahun 1999/2000 hingga tahun 2010. Di Candi Blandongan ditemukan amulet dan materai (votive tablet). Amulet adalah salah satu atribut dalam agama Buddha. Amulet digunakan sebagai aktivitas ziarah. Hasil analisis morfologis berpendapat bahwa amulet Candi Blandongan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu amulet 6 arca tanpa tulisan, serta amulet 6 arca dengan tulisan. Dalam kepercayaan agama Buddha, cerita tersebut menggambarkan tentang sravasvat.

Temuan lain yang tidak kalah penting adalah prasasti yang berupa lempengan logam mulia. Lempengan yang ditemukan di selasar tangga dan satu lempengan yang ditemukan di sisi luar candi. Kemudian ada tiga fragmen kaki arca yang merupakan fragmen kaki arca Budha dari bahan tembaga.
Di barat daya Candi Blandongan ada lapisan tanah di bawah pondasi candi. Ditemukan rangka manusia dengan posisi tegak lurus dengan bangunan candi. Di dekat temuan rangka manusia inilah ada lapisan tanah yang sama. Temuan gerabah adalah salah satunya. Untuk sementara diduga adalah benda magis yang digunakan sebagai alat upacara dan bekal kubur. Gerabah Batujaya adalah gerabah yang secara khusus ditemukan di Candi Blandongan.

Temuan lain yang sangat unik di Candi Blandongan adalah gerabah Arikamedu yang dipercAya dari abad keempat. Gerabah Arikamedu memiliki berbentuk seperti wadah uang terdapat slip merah sebagai hiasan motifnya. Diantaranya ada ragam hias garis-garis vertical dan lingkaran yang tersusun secara teratur, seperti menyerupai pola hias rolet.

Keberadaan temuan dari masa prasejarah yang ada di Candi Blandongan adalah bukti adanya keterkaitan budaya dari masa prasejarah hingga pengaruh Hindu-Budha terjadi.

Itulah tadi wisata sejarah Candi Blandong di Karawang yang wajib anda kunjungi. Selamat berwisata di Karawang dan terimakasih sudah berkunjung.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...