Rabu, 27 Oktober 2021

Banyaknya Kaum Wanita Daripada Pria Diakhir Zaman


Telah banyak tanda-tanda kiamat yang umat islam ketahui bersama seperti perubahan iklim, perubahan akhlak menuju keburukan dan yang lainnya. Namun selain itu ternyata ada satu tanda lagi yang tidak disadari oleh manusia, yakni bertambahnya jumlah wanita dan menurunnya jumlah pria. Mengapa bisa terjadi hal yang demikian?

Berkurangnya jumlah pria di muka bumi boleh jadi disebabkan banyaknya fitnah dan malapetaka yang ditimpakan kepada para pria. Sehingga mereka pun harus turun ke medan peperangan dibandingkan dengan peran perempuan yang lebih banyak tidak ikut berperang.

Selain itu bertambahnya jumlah wanita adalah dikarenakan sejumlah penaklukan terhadap berbagai wilayah yang terjadi di muka bumi. Sehingga para tawanan wanita menjadi lebih banyak dan akhirnya para pria memiliki lebih dari satu budak wanita.

Sementara Ibnu Hajar mengatakan bahwa jumlah laki-laki memang sengaja dikurangi oleh Allah jumlah kelahirannya.

Benar bahwasannya salah satu tanda kecil hari kiamat adalah banyaknya kaum wanita dibandingkan kaum laki-laki. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ اْلعِلْمُ وَيَظْهَرَ الجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثرَ النِّسَاءُ وَيَقلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونُ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً القَيِّمُ اْلوَاحِدُ

“Di antara tanda-tanda dekatnya hari Kiamat adalah sedikitnya ilmu (tentang Ad-Dien), merajalelanya kebodohan dan perzinahan, dan sedikitnya kaum laki-laki, sehingga lima puluh orang wanita hanya terdapat satu orang pengurus (laki-laki) saja” [HR. Al-Bukhari no. 81, Muslim no. 2671, dan At-Tirmidzi no. 2205].

Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :

والظاهر أنها علامة محضة لا لسبب آخر بل يقدر الله في آخر الزمان أن يقل من يولد من الذكور ويكثر من يولد من الإناث وكون كثرة النساء من العلامات مناسبة لظهور الجهل ورفع العلم

“Menurut dhahirnya, hal ini merupakan pertanda semata-mata, bukan karena sebab lain. Bahkan Allah mentaqdirkan bahwa akhir jaman nanti sedikit sekali orang yang melahirkan anak laki-laki dan banyak melahirkan anak perempuan. Dan banyaknya kaum wanita yang merupakan salah satu pertanda telah datangnya hari kiamat itu sangat relevan dengan merajalelanya kebodohan dan dihilangkannya ilmu (tentang Ad-Dien)” [lihat Fathul-Bari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar 1/179 – penjelasan hadits no. 81].

Selain dari faktor sedikitnya jumlah kelahiran laki-laki dibandingkan wanita, hal itu juga disebabkan karena banyaknya fitnah yang terjadi di akhir jaman seperti banyaknya peperangan. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan satu hadits yang menunjukkan bahwa banyaknya kaum wanita dan sedikitnya kaum laki-laki itu disebabkan perginya kaum laki-laki dan tetap tinggalnya kaum wanita, yaitu kaum laki-laki pergi berperang dan kaum wanita tinggal di rumah. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

......وَيَذهَبُ الرجَالُ وَتَبْقَى النِّسَاءُ حَتَّى يَكونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةًً قَيِّمٌ وَاحِدٌ

”....dan pergilah kaum laki-laki dan tinggallah kaum wanita, sehingga lima puluh orang wanita hanya terdapat satu orang pengurus (laki-laki) saja”.

Kata-kata “lima puluh” ini bukanlah sebagai pembatas, namun sebagai bentuk majaz saja yang mengandung pengertian “banyak”. Dalam hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhu disebutkan :

وَيُرَى الرَّجُلُ اْلوَاحِدُ يَتْبَعُهُ أَربَعُونَ امْرَأَة يَلِذْنَ بِهِ مِنْ قِلَّةِ الرِّجَالِ وَكَثْرَةِ النِّسَاءِ

“Dan seorang laki-laki akan diikuti oleh empat puluh orang wanita, yang mereka ingin bersenang-senang dengannya” [HR. Muslim no. 1012].
Kondisi mendekati hari kiamat kelak, karena banyaknya fitnah, peperangan, pembunuhan dan timbangan berkurang. Maksud dari timbangan berkurang adalah perbandingan antara wanita dan pria tidak seimbang.

Jika banyak cobaan dan peperangan yang dilakukan manusia, timbangan itu tentunya berkurang. Banyak laki laki terbunuh sehingga yang tersisa banyak wanita karena laki laki memang ditugaskan untuk berperang. Dengan demikian yang terbunuh kebanyakan adalah kaum laki laki, bukan wanita.Para wanita tidak ikut serta dalam banyak peperangan sehingga para wanita itu  mendatangi laki laki yang masih tersisa. Tidak ada seorangpun saat itu yang dapat mencegahnya dengan agama dan budi pekerti. Dikatakan bahwa pada saat itu, satu laki laki berbanding empat puluh hingga lima puluh wanita. Setiap kali para wanita itu menjumpai laki laki , mereka akan mengatakan, “Nikahilah aku, nikahilah aku !”

صحيح البخاري ١٣٢٥: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ بُرَيْدٍ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَطُوفُ الرَّجُلُ فِيهِ بِالصَّدَقَةِ مِنْ الذَّهَبِ ثُمَّ لَا يَجِدُ أَحَدًا يَأْخُذُهَا مِنْهُ وَيُرَى الرَّجُلُ الْوَاحِدُ يَتْبَعُهُ أَرْبَعُونَ امْرَأَةً يَلُذْنَ بِهِ مِنْ قِلَّةِ الرِّجَالِ وَكَثْرَةِ النِّسَاءِ

Shahih Bukhari : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al ‘Alaa’ telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu Musa radliallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Pasti akan datang pada manusia suatu zaman yang ketika seseorang berkeliling membawa shadaqah emas, lalu ia tidak mendapati seseorang yang mau menerimanya lagi. Lalu akan terlihat satu orang laki-laki akan diikuti oleh empat puluh orang wanita, yang mereka mencari kepuasan dengannya karena sedikitnya jumlah laki-laki dan banyaknya wanita.”

Pengetahuan tetap ada pada Allah SWT – Mungkin kondisi ini tidak akan terjadi dalam satu waktu atau satu zaman, tetapi bersambung hingga mendekati tanda tanda besar menjelang kiamat . Tanda tandanya adalah banyak perzinaan, yang juga merupakan tanda tanda kiamat. Sedangkan, perzinaan itu tidak akan terjadi kecuali jumlah wanita lebih banyak dibanding lelaki. Akhirnya , setiap laki laki memiliki empat puluh – lima puluh wanita sebagaimana disebutkan dalam hadis tersebut.

Bagaimana dengan kondisi laki-laki dan perempuan sekarang ini?

Saat ini mungkin jumlah laki-laki belum bisa dikatakan lebih sedikit dari perempuan. Namun kenyataannya, laki-laki yang benar-benar normal dan siap bertanggung jawab terhadap wanita (menikah) hanyalah sedikit. 

Banyak faktor yang membuat lelaki enggan menikah, diantaranya : belum mapan, tuntutan wanita yang terlalu tinggi, tanggung jawab yang besar setelah menikah, banyaknya lelaki yang memiliki kelainan s*ks (g*y), kurangnya pengetahuan agama, dan lain sebagainya.
Selain itu, saat ini terlalu banyak kenikmatan yang ditawarkan setan melalui wanita sehingga sebagian laki-laki lebih memilih menunda prosesi sakral yang juga merupakan ladang ibadah kepada Allah (menikah). 

Lihatlah diluar sana, betapa mudahnya kita menikmati lekuk tubuh wanita. Betapa banyak tempat-tempat yang menawarkan kenikmatan wanita, dari mulai harga mahal maupun murah. Sungguh miris, wanita yang seharusnya diagungkan dan dimuliakan justru menjadi barang yang diperjualbelikan bahkan adapula yang digratiskan.
Sebaliknya laki-laki, betapa mahalnya dia. 

Salah satu contoh nyata adalah ketika ada artis laki-laki tampan yang didatangkan ke Indonesia. Siapakah yang menjadi pemujanya? Tidak hanya remaja, ibu-ibu dan anak-anak perempuan di bawah usiapun ikut mengelu-elukannya. Padahal, pada artis perempuan tidak seheboh itu khan? Tidak banyak fans laki-laki yang mengejar apalagi mengelu-elukannya, karena di sekitar mereka sudah banyak wanita cantik yang bisa dinikmati dengan mudah.

Bahkan ada salah satu lagu yang cukup provokatif untuk mempengaruhi laki-laki, yakni :

Mendhing tuku sate, timbang tuku wedhuse (Lebih baik membeli sate daripada beli kambing)
Mendhing genda’an timbang dadi bojone, (lebih baik pacaran daripada menjadi suami)
Mangan sate, ora mikir mburine (makan sate tidak perlu mikir belakangnya (resiko))
Ngingu wedhus dadak mikir sukete (Memelihara kambing harus memikirkan makanannya)

Lagu diatas dapat diartikan bahwa membeli sate lebih enak dibandingkan beli kambing, karena kenikmatan tetap didapatkan tanpa harus memikirkan resiko. Sedangkan jika membeli kambing (menikahi wanita), laki-laki harus memikirkan nafkah ini itu. 

Bagi laki-laki yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, lagu tersebut tentu akan mudah diabaikan. Tapi bagaimana bagi laki-laki yang pengetahuan agamanya kurang? Apakah tidak mungkin mereka akan membenarkannya? Apakah tidak mungkin jika impian wanita untuk dinikahi laki-laki akan terlalu sulit diwujudkan? Wallahu alam, semoga semakin banyak lelaki yang pengetahuan agamanya baik sehingga mau menghormati dan memuliakan wanita. amiin YRA.

Takhtimah
Banyaknya kaum wanita dibanding kaum laki-laki merupakan tanda-tanda dekatnya hari Kiamat berdasarkan nash yang shahih dari Sunnah Nabawiyyah. 

Seorang Kholifah (Pemimpin) Harus Melindungi Apa Yang Dipimpinnya


Kehidupan kaum muslimin saat ini bagaikan anak ayam kehilangan induknya, besar jumlahnya namun tercerai berai, hingga dilecehkan kehormatannya oleh kaum yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya, dibantai dan diusir dari tanah kelahirannya oleh kaum kafir tiran seperti yang terjadi pada kaum muslimin di Palestina, Myanmar, Suriah dan belahan bumi lainnya, fakta yang tak bisa dipungkiri oleh mereka yang masih memiliki kejelian mata dan berfungsi kepekaan hatinya.

Tidaklah itu semua mengingatkan saya, kecuali kepada pujian yang dituturkan yang mulia Rasulullah –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam- terhadap sosok penguasa yang dibai’at kaum muslimin untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta, kehormatan dan darah kaum muslimin, ialah al-Imam yakni al-Khalifah, berdasarkan sabdanya -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- yang mulia; dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-. bahwa Nabi Muhammad -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-bersabda:‎‎

إنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ، فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ، وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ

”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)

Periwayatan Hadits
Imam Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharâj dari Abu Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-.
Imam Al-Bukhari (w. 256 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ), hadits no. 2797.‎
Imam Muslim (w. 261 H) dalam Shahîh-nya dalam Bab (الإمام جنة), hadits no. 4800.‎
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnad-nya, Bab. (مسند أبي هريرة –رضي الله عنه-), hadits no. 10777, dari jalur Abdul Malik bin Amru, Al-Mughirah‎, dari Abi al-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abi Hurairah –radhiyaLlâhu ’anhu-.‎ Syu’aib al-Arna’uth mengatakan bahwa hadits ini shahih, sanadnya kuat.
Imam Abû Dawud dalam Sunan-nya dalam Bab (الإِمَامِ يُسْتَجَنُّ بِهِ فِى الْعُهُودِ), dalam riwayat Abu Dawud redaksinya lebih ringkas: (إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ بِهِ)‎
Imam al-Nasa’i (w. 303 H) dalam Sunan-nya dalam Subbab (ذِكْرُ مَا يَجِبُ لِلْإِمَامِ وَمَا يَجِبُ عَلَيْهِ), hadits no. 4207.‎
Imam Abu Ya’la al-Moushuli (w. 307 H) dalam Musnad-nya, hadits no. 6325.
Imam al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Kubrâ’, Bab (مُهَادَنَةِ الْأَئِمَّةِ بَعْدَ رَسُولِ رَبِّ الْعِزَّةِ إِذَا نَزَلَتْ بِالْمُسْلِمِينَ نَازِلَةٌ) hingga redaksi yuqâtalu bihi.
Abu ’Awanah al-Isfaraini (w. 316 H) dalam Musnad-nya, Bab (كتاب الأمراء), hadits no. 7125.‎
Abu Nu’aim al-Ashbahani (w. 430 H) mengetengahkan hadits ini dalam Fadhîlat al-’ Âdilayn Min al-Wulât.
Al-Muhallab bin Ahmad al-Mariyiyyu (w. 435 H) dalam Al-Mukhtashar al-Nashîh fî Tahdzîb al-Kitâb al-Jâmi’ al-Shahîh, Bab (بَاب يُقَاتَلُ مِنْ وَرَاءِ الْإِمَامِ وَيُتَّقَى بِهِ) hadits no. 1071.‎
Al-Thabrani (w. 360 H) dalam Musnad al-Syâmiyyîn, hadits no. 3255.

Faidah Hadits Ini dalam Penjelasan Para Ulama Mu’tabar

Pertama, Makna Kata (الإمام)

Kata ini mengandung konotasi al-Khalifah atau al-Imam al-A’zham yang mengurusi urusan manusia. Imam al-Mala al-Qari (w. 1041 H) secara gamblang menyatakan:
(فَإِنَّمَا الْإِمَامُ) أَيِ الْخَلِيفَةُ أَوْ أَمِيرُهُ     
”Makna kalimat (إنما الإمام) yakni al-Khalifah atau Amirnya.”‎
            ‎
Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H) pun menegaskan bahwa al-Imam dalam hadits ini yakni al-Imam al-A’zham, istilah yang sama diungkapkan oleh ulama mujtahid penulis kitab Subul al-Salâm, Imam al-Shan’ani (w. 1182 H), dimana para ulama ketika menyebut al-Imâm al-A’zham berkonotasi Imâm al-Muslimîn, dan Imâm al-Muslimîn adalah al-Khalifah, sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) dalam Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, dan sistem pemerintahan yang dipimpin oleh al-Khalifah adalah al-Khilâfah yang disebut para ulama sebagai al-Imâmah al-Kubrâ’ (kepemimpinan agung):

الخليفة؛ من ولي الإمامة العامة للمسلمين: الرئيس الاعلى للدولة الاسلامية

”Al-Khalifah; seseorang yang memegang tampuk kepemimpinan umum bagi kaum muslimin: pemimpin tertinggi bagi Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).”

Dr. Mushthafa Dib al-Bugha menjelaskan bahwa makna al-imâm adalah penguasa tertinggi yang bertanggungjawab mengurusi urusan umat. ‎Ahli bahasa, Imam Ibnu Faris (w. 395 H) pun menjelaskan:

وَالْإِمَامُ: كُلُّ مَنِ اقْتُدِيَ بِهِ وَقُدِّمَ فِي الْأُمُورِ. وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِمَامُ الْأَئِمَّةِ، وَالْخَلِيفَةُ إِمَامُ الرَّعِيَّةِ، وَالْقُرْآنُ إِمَامُ الْمُسْلِمِينَ  

”Al-Imam: siapa saja yang diikuti perintahnya dan dikedepankan dalam memutuskan berbagai perkara, dan Nabi -shallaLlâhu ’alayh wa sallam- adalah pemimpin para pemimpin, dan Khalifah adalah pemimpin rakyatnya, dan al-Qur’an adalah pemimpin kaum muslimin.”
            ‎
Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) pun mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dari al-Imam dalam hadits ini adalah al-Khalifah, ia menjelaskan di antara penakwilan (يقاتل من ورائه) yakni dengan al-Imam yang adil khususnya, dan siapa saja yang memberontak al-Imam (al-Khalifah) maka seluruh kaum muslimin wajib memeranginya bersama al-Imam al-’Adl (al-Khalifah)‎
            ‎
Penjelasan serupa diungkapkan oleh al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh Muslim, dan bahwa rakyat wajib berperang bersama imamnya, mendukung dan memberikan pertolongan kepadanya memerangi mereka yang bughat.

Sebagian ulama menjelaskan makna al-Imâm dalam hadits ini yakni setiap orang yang mengurusi urusan manusia (كلّ قائم بأمور الناس) ‎yakni penguasa, yang tentunya penguasa yang diangkat sah secara syar’i. Karena hukum memerangi bughat berlaku dalam konteks pembangkangan atau pemberontakan atas penguasa yang sah secara syar’i dibai’at oleh kaum muslimin, yakni al-Khalifah. Hal itu pun dipertegas penjelasan para ulama lainnya.

Kedua, Kedudukan Al-Imam (Al-Khalifah) Berdasarkan Hadits Ini

Frase (الإمام جنة) merupakan bentuk ‎tasybîh, penyerupaan antara kedudukan al-Imam dengan junnah (perisai), dimana Imam al-Mala al-Qari menyebutkan sebagai bentuktasybîh balîgh (penyerupaan yang kuat mendalam).‎

Imam al-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) dalam al-Mufradât menegaskan bahwa asal kata ‎junnah seakar kata dengan kata al-jin, yakni sesuatu yang terhalang dari pandangan mata manusia. Sedangkan junnah ialah suatu penghalang. ‎Imam Ibnu Bathal pun menukil penjelasan dalam Kitâb al-’Ayn:

الجنة: الدرع، وسمى المجن: مجنًا؛ لأنه يستتر به عند القتال.

”Al-Junnah: yakni al-Dir’u, dan dinamakan ‎al-majn: majn[an]: karena seseorang berlindung dengannya dalam peperangan.”

Karena sebagaimana penjelasan al-Hafizh al-Qurthubi, kata al-mijann, al-junnah, al-jân, al-jannah, al-jinnah semuanya kembali kepada makna al-sitr (penutup). Dimana sifat junnah dalam hadits ini, berkonotasi sebagai pelindung dari kezhaliman dan penangkal dari keburukan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H). 

Dimana para ulama pun merinci penjelasan atas kedudukan al-Imam, dan apa yang diungkap dalam hadits yang agung ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata, seperti penegasan Imam al-Mala al-Qari:

(وَيُتَّقَى بِهِ) بَيَانٌ لِكَوْنِهِ جُنَّةً أَيْ يَكُونُ الْأَمِيرُ فِي الْحَرْبِ قُدَّامَ الْقَوْمِ لِيَسْتَظْهِرُوا بِهِ وَيُقَاتِلُوا بِقُوَّتِهِ كَالتُّرْسِ لِلْمُتَتَرِّسِ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُحْمَلَ عَلَى جَمِيعِ الْأَحْوَالِ ; لِأَنَّ الْإِمَامَ يَكُونُ مَلْجَأً لِلْمُسْلِمِينَ فِي حَوَائِجِهِمْ دَائِمًا

”Frase (وَيُتَّقَى بِهِ) sebagai penjelasan dari kedudukan al-Imam sebagai junnah (perisai) yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan berperang dengan kekuatannya seperti keberadaan tameng bagi orang yang dilindunginya, dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan; karena seorang al-Imam menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya secara berkelanjutan.".‎

:: Khalifah: Pelindung dari Gempuran Musuh, Pencegah Kezhaliman & Pemelihara Kemurnian Ajaran Islam
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Zakariya bin Syarf al-Nawawi (w. 676 H) dalam kitab syarh-nya atas ‎Shahîh Muslim:

قوله صلى الله عليه وسلم: (الإمام جنة) أي: كالستر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين، ويمنع الناس بعضهم من بعض، ويحمي بيضة الإسلام، ويتقيه الناس ويخافون سطوته 

”Sabda Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”‎

Penjelasan hampir serupa disebutkan Imam al-Thibi (w. 743 H) dalam syarh-nya atas ‎Misykât al-Mashâbîh, Imam Syamsuddin al-Kirmani (w. 786 H) dalam syarh-nya atas Shahîh al-Bukhârî, Imam Shadruddin al-Munawi (w. 803 H)‎, Imam Ibnu al-Mulqan (w. 804 H) dalam syarh-nya atas al-Jâmi’ al-Shaghîr, ‎al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) dalam syarh-nya atas ‎Shahîh Muslim, dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) dalam kitab syarh-nya atas Shahîh al-Bukhârî yang menjelaskan sifat al-Imam sebagai junnah yakni pelindung dari kejahatan musuh dan perbuatan saling menzhalimi.

Imam Badruddin al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan makna (يتقى به) yakni berlindung dengan al-Imam dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman, dan bagaimana tidak seperti itu? Sesungguhnya ia melindungi kaum muslimin dari tangan-tangan musuh dan melindungi kemurnian ajaran Islam. ‎Imam al-Manawi al-Qahiri (w. 1031 H) menegaskan bahwa kata ‎ junnah bermakna ‎wiqâyah (pencegah), sâtir (pelindung) dan turs (tameng), (al-Imam) yakni tameng yang memelihara kemurnian ajaran Islam, dan dengannya menolak berbagai kezhaliman, dan umat manusia akan meminta perlindungannya dalam berbagai keadaan genting.‎

Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menjelaskan fungsi al-Imam sebagai wiqâyah (pencegah), sâtir (pelindung) dan turs (tameng) yang memelihara kemurnian ajaran Islam. ‎Hal itu bisa terwujud ketika al-Imam (al-Khalifah) menegakkan hukum-hukum Islam ‎kâffah, menegakkan sanksi atas pelaku kemungkaran dan melarang aliran-aliran sesat menyesatkan.

Al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) pun merinci penjelasannya bahwa makna (يقاتل من ورائه) yakni: kaum kafir, pemberontak, khawarij dan seluruh kelompok-kelompok pembuat kerusakan dan kezhaliman akan diperangi bersamanya secara mutlak.

Al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil penjelasan al-Hafizh al-Nawawi di atas dalam Hâsyiyyat al-Sindi, dan merinci dalam kitabnya yang lain:

يُقَاتل من وَرَائه أَي يُقَاتل مَعَه الْكفَّار والبغاة والخوارج وَسَائِر أهل الْفساد ويتقى بِهِ أَي شَرّ الْعَدو وَأهل الْفساد وَالظُّلم 

“Kalimat ( يُقَاتل من وَرَائه) Yakni kaum kuffar, para pemberontak, khawarij dan seluruh pembuat kerusakan diperangi bersamanya dan makna (يتقى بِهِ) yakni dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kezhaliman.”

Memerangi mereka dengan kekuasaannya, kekuatannya dan pengaruh wibawa al-Imam, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Shan’ani.

Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menegaskan bahwa (الإمام جنة) itu sebagai pelindung interaksi manusia satu sama lain, karena dengan fungsi penguasa, Allah melindungi kaum yang lemah di antara manusia yakni pelindung bagi mereka, menjaga harta dan kehormatan-kehormatan orang-orang beriman.

Imam al-Khaththabi (w. 388 H) pun menjelaskan besarnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam melindungi umat dari serangan kaum kuffar dalam perkataannya:

ومعنى الجنة العصمة والوقاية، وليس لغير الإمام أن يجعل لأمة بأسرها من الكفار أمانًا

“Dan makna al-junnah yakni pencegah dan pelindung, dan tidak ada bagi selain sosok al-Imam yang mampu mewujudkan keamanan bagi umatnya dari serangan orang-orang kafir.”
            
Penjelasan al-Khaththabi di atas pun dinukil oleh Al-Muhaddits al-Imam Abu Abdurrahman Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi. Dan tak sedikit para ulama lainnya yang menjadikan hadits ini sebagai dalil yang menegaskan pentingnya kedudukan al-Imam (al-Khalifah) dalam komando jihad fî sabîliLlâh.

:: Khalifah: Pemberi Keputusan & Pandangan atas Berbagai Perkara Krusial & Ancaman Berbahaya

Al-Imam atau al-Khalifah sebagai junnah(perisai) adalah sebagai pemberi keputusan yang wajib dita’ati dalam kebenaran.

Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) dalam syarh-nya atas Shahîh Muslim menjelaskan bahwa fungsi al-Imam sebagai junnah yakni seperti al-sâtir (pelindung), al-turs (tameng) karena mencegah dan melindungi kemurnian kaum muslimin dan memproteksi mereka dengan kedudukan dan pandangannya dari musuh mereka. ‎Dikatakan pula bahwa kembali kepadanya berbagai hal, dan ia sebagai perisai di antara manusia dari saling menzhalimi baik dalam masalah harta maupun jiwa.

Al-Muhaddits Syarf al-Haq al-‘Azhim al-Abadi menuturkan bahwa kata (به) dalam frase (يتقى به) yakni dengan pandangan dan perintahnya. A‎l-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) pun menukil al-Hafizh al-Qurthubi dalam penjelasannya:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ أَيْ كَالتُّرْسِ قَالَ الْقُرْطُبِيُّ أَيْ يُقْتَدَى بِرَأْيِهِ وَنَظَرِهِ فِي الْأُمُورِ الْعِظَامِ وَالْوَقَائِعِ الْخَطِرَةِ وَلَا يُتَقَدَّمُ عَلَى رَأْيِهِ وَلَا يُنْفَرَدُ دُونَهُ بِأَمْرٍ مُهِمٍّ         

“Kalimat (إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ) yakni seperti tameng, al-Hafizh al-Qurthubi mengatakan yakni diikuti pendapat dan pandangan al-Imam atas berbagai perkara krusial dan ancaman berbahaya, dan pendapatnya tidak boleh didahului (pendapat lain) dan tidak boleh diputuskan sendiri tanpa keputusannya dalam perkara penting apapun.”‎

Imam Ibnu Bathal (w. 449 H) menjelaskan bahwa makna kalimat (يتقى به) yakni harus dikembalikan kepadanya pandangan, pelaksanaan dan lain sebagainya dari hal-hal yang tidak diputuskan kecuali berdasarkan pandangan dan keputusan hukum al-Imam (al-Khalifah), dan makna (يتقى به) yakni mencegah kesalahan beragama dan beramal dari berbagai syubhat dan selainnya.”

Penjelasan serupa dipaparkan al-Muhaddits al-Syaikh ’Ali bin Adam al-Ityubi al-Wallawi dalam syarh-nya atas Sunan al-Nassa’i, dan menegaskan bahwa al-Imam yang menetapkan keputusan dalam hal-hal tersebut.

:: Khalifah Pelindung dalam Peperangan & Hal-Hal yang Menyeret Ke dalam Kebinasaan Siksa Neraka
Imam al-Baghawi al-Syafi’i (w. 516 H) ketika menjelaskan (الإِمَامُ جُنَّةٌ), dikatakan bahwa yang dimaksud darinya kaum itu berlindung dengannya dalam peperangan, dikatakan pula bahwa hal itu karena seorang al-Imam melindungi kaumnya dari hal-hal yang menyeretnya ke dalam siksa api (neraka). ‎Dimana hal tersebut terwujud ketika al-Khalifah menegakkan hukum-hukum Islam kâffah (totalitas) dalam pengaturan kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat tercegah dari perbuatan kezhaliman, kemaksiatan atau kemungkaran.

Imam Ibnu Hubairah (w. 560 H) pun menjelaskannya bahwa jika seorang mujahid berjihad di bawah bendera al-Imam, maka keterlibatannya dengan al-Imam sebagai junnah (perisai) dari siksa api neraka dan berlindung dengannya dari kemurkaan Allah ’Azza wa Jalla.‎ Dimana seorang mujahid mena’ati perintah Allah dan Rasul-Nya dengan berjihad dan ditambah ganjaran mena’ati perintah al-Khalifah dengan komando untuk berjihad di bawah panjinya.
            
Dari penjelasan itu semua kita memahami besarnya kedudukan al-Imam (khalifah) dan pentingnya keberadaannya dalam melindungi rakyatnya dari ancaman kaum perusak. Maka tidak mengherankan jika hadits ini pun menjadi dalil qarînah (indikasi) atas perintah kewajiban mengangkat al-Imam (al-Khalifah) dan menegakkan al-Imâmah (al-Khilafah) dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ‎Ajhizât fî Dawlat al-Khilâfah.

:: Khalifah Sebagai Pemersatu & Simbol Kesatuan Kaum Muslimin
Hal ini diungkapkan oleh Imam Waliyullah al-Dahwali (w. 1176 H):‎

أَقُول إِنَّمَا جعله بِمَنْزِلَة الْجنَّة لِأَنَّهُ سَبَب اجْتِمَاع كلمة الْمُسلمين والذب عَنْهُم. 

”Aku katakan sesungguhnya Rasulullah -shallaLlâhu ’alayh wa sallam-memposisikannya pada kedudukan sebagaijunnah (perisai) karena ia adalah sebab kesatuan kalimat kaum muslimin dan melindungi mereka.”
            ‎
Hal ini pun bisa kita pahami dimana al-Khalifah merupakan simbol kesatuan kaum muslimin dalam satu pedoman (al-Qur’an dan al-Sunnah), satu bendera al-liwâ’, satu panji jihad al-râyah, dalam satu negara besar (al-Dawlah al-Islâmiyyah), dimana para ulama pun menetapkan kaidah, sebagaimana disebutkan oleh al-Qadhi al-Nabhani dalam banyak kutubnya:

أمر الإمام يرفع الخلاف

”Perintah al-Imam (al-Khalifah) mengatasi perselisihan.”

Imam Abu Zahrah, juga menjelaskan hal yang sama, bahwa Imâmah dan Khilâfah, begitu juga Imâm dan Khalîfah itu sama:

«اَلْمَذَاهِبُ السِّيَاسِيَّةُ كُلُّهَا تَدُوْرُ حَوْلَ الْخِلاَفَةِ وَهِيَ الإِمَامَةُ الْكُبْرَى، وَسُمِيَتْ خِلاَفَةً لأنَّ الَّذِيْ يَتَوَلاَّهَا وَيَكُوْنُ الْحَاكِمُ الأعْظَمُ لِلْمُسْلِمِيْنَ يَخْلُفُ النَّبِيَّ ﷺ (فِيْ إِدَارَةِ شُؤُوْنِهِمْ، وَتُسَمَّى إِمَامَةً: لأنَّ الْخَلِيْفَةَ كَانَ يُسَمَّى إِمَامًا، وَلأنَّ طَاعَتَهُ وَاجِبَةٌ، وَلأنَّ النَّاسَ كَانُوْا يَسِيْرُوْنَ وَرَاءَهُ كَمَا يُصَلُّوْنَ وَرَاءَ مَنْ يَؤُمُّهُمُ الصَّلاَةَ».

“Semua mazhab politik berkisar tentang Khilâfah, yaitu Imâmah Kubrâ. Ia disebut Khilâfah, karena yang mengurus dan menjadi penguasa tertinggi bagi kaum Muslim itu menggantikan Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama dalam mengurus urusan mereka. Ia juga disebut Imâmah, karena Khalîfah biasa dipanggil dengan sebutan Imâm. Karena mentaatinya hukumnya wajib, karena masyarakat berjalan di belakangnya, sebagaimana orang yang berada di belakang orang yang menjadi imam shalat mereka.”

Karena itu, jelas, bahwa yang dimaksud dengan Imâm di dalam hadits Bukhari dan Muslim di atas, tak lain adalah Khalîfah. Konotasi makna Imâm di sini adalah Khalifah bisa dijelaskan dengan shighat Hashr [bentuk pembatasan, dengan konotasi “hanya”], Innamâ, yang artinya, “Sesungguhnya [imam] itu tak lain..”, sebagaimana dalam beberapa nash syara’ yang lain, seperti:

«إِنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ»

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu tak lain adalah bersaudara.” [Q.s. al-Hujurat: 10]

Artinya, mereka tak lain adalah bersaudara, bukan musuh. Karena itu, ketika mereka bermusuhan, diperintahkan, “Fa ashlihu..” [damaikanlah], maksudnya agar tetap bersaudara, dan permusuhan di antara mereka pun sirna.

Ini dari aspek bahasa. Dari aspek fakta, baik historis maupun empiris, jelas bahwa konotasi makna lafadz, Imâm di sini tak lain adalah Khalîfah [kepala negara] yang memangku Khilâfah [Negara Islam]. Konotasi ini dijelaskan oleh lanjutan frasa berikutnya:

«جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

“[Imam/Khalifah itu tak lain] laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Makna, al-Imâm Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dijelaskan oleh Imam an-Nawawi:

أَيْ: كَالسَّتْرِ؛ لأَنَّهُ يَمْنَعُ اْلعَدُوَّ مِنْ أَذَى المُسْلِمِيْنَ، وَيَمْنَعُ النَّاسَ بَعْضَهُمْ مِنْ بَعْضٍ، وَيَحْمِي بَيْضَةَ الإِسْلاَمَ، وَيَتَّقِيْهِ النَّاسُ وَيَخَافُوْنَ سَطْوَتَهُ.

“Maksudnya, ibarat tameng. Karena dia mencegah musuh menyerang [menyakiti] kaum Muslim. Mencegah masyarakat, satu dengan yang lain dari serangan. Melindungi keutuhan Islam, dia disegani masyarakat, dan mereka pun takut terhadap kekutannya.”
Begitu juga frasa berikutnya, “Yuqâtalu min warâ’ihi, wa yuttaqâ bihi” [Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng]:

أَيْ: يُقَاتَلُ مَعَهُ الْكُفَّارُ وَالْبُغَاةُ وَالْخَوَارِجُ وَسَائِرُ أَهْلِ الْفَسَادِ وَالظُّلْمِ مُطْلَقًا، وَالتَّاءُ فِي (يُتَّقَى) مُبْدِلَةٌ مِنَ الْوَاوِ لأنَّ أَصْلَهَا مِنَ الْوِقَايَةِ.

“Maksudnya, bersamanya [Imam/Khalifah] kaum Kafir, Bughat, Khawarij, para pelaku kerusakan dan kezaliman, secara mutlak, akan diperangi. Huruf “Ta’” di dalam lafadz, “Yuttaqa” [dijadikan perisai] merupakan pengganti dari huruf, “Wau”, karena asalnya dari lafadz, “Wiqâyah” [perisai].”

Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain:

«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ».

“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Menjadi Junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama dan para Khalifah setelahnya, sebagaimana tampak pada surat Khalid bin al-Walid:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، مِنْ خَالِدٍ بْنِ الْوَلِيْدِ إِلَى مُلُوْكِ فَارِسٍ، فَالْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ حَلَّ نِظَامَكُمْ وَوَهَّنَ كَيْدَكُمْ، وَفَرَّقَ كَلِمَتَكُمْ... فَأَسْلِمُوْا وَإِلاَّ فَأَدُّوْا الْجِزْيَةَ وَإِلاَّ فَقَدْ جِئْتُكُمْ بِقَوْمٍ يُحِبُّوْنَ المَوْتَ كَمَا تُحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ

“Dengan menyebut asma Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala puji hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipu daya kalian, dan memecahbelah kesatuan kata kalian.. Maka, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, maka aku akan datangkan kepada kalian, kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”

Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah [perisai] bagi Islam dan kaum Muslim. Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai].

Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.

Sebaliknya, meski kini kaum Muslim mempunyai banyak penguasa, tetapi mereka bukanlah Imâm yang dimaksud oleh hadits tersebut. Apa buktinya?

Karena Imâm di dalam hadits tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Karenanya, bukan hanya agama, kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Karena tak ada satu pun yang berani macam-macam. Bandingkan dengan saat ini, ketika al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara Kafir penjajah, jangankan mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani. Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara Kafir, sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang non-Muslim menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela, justru penyerangnya malah diundang ke istana.

Karena itu, makna hadits di atas dengan jelas dan tegas menyatakan, bahwa Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka. Karena itu, hadits di atas sekaligus meniscayakan adanya Khilafah.

Mungkinkah Manusia Menikah Dengan Bangsa Jin??


Akal sehat melarang kita untuk menikah dengan bangsa jin. Sebagaimana diketahui bahwa jin tidaklah dapat dinikahi kecuali jika ia menjelma menjadi sosok manusia juga. Jadi, wujud penjelmaan manusia itu bukanlah wujud aslinya, sebab wujud asli jin tidak dapat dilihat oleh manusia. Ini merupakan satu bentuk penipuan. Di lain sisi, bagaimana bisa seorang laki-laki – misalnya – bisa membedakan penjelmaan jin satu dengan yang lainnya, karena barangkali ada jin perempuan lain yang bisa menjelma dalam wujud manusia seperti penjelmaan jin perempuan istrinya; yang dengan itu dua jin perempuan itu bersekutu dalam hubungannya dengan si suami. Jelas ini merupakan perzinahan yang diharankan dalam Islam.

Allah telah memberikan kita nikmat dengan menciptakan wanita dari jenis kita sendiri, yaitu manusia. Sehingga seorang laki-laki datang tenang hidup dengannya dan terwujud kasih sayang di antara mereka berdua dan agar bumi ini dapat dikelola dengan keturunan mereka.

Allah Ta'ala berfirman,

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً  (سورة النحل: 72)

"Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu" (QS. An-Nahl: 72)

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة الروم: 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum: 21)

Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata; 'Firman Allah Ta'aa; "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu" (QS. An-Nahl: 72)

Dalam ayat tersebut Allah memberikan nikmat kepada anak Adam dengan menjadikan bagi mereka isteri-isteri dari jenis mereka sendiri. Seandainya pasangannya terdiri dari jenis lain, tidak akan terjadi kesatuan, cinta dan kasih saying. Akan tetapi dengan rahmat-Nya, Dia menjadikan di antara anak Adam laki-laki dan wanita. Lalu menjadikan kaum wanita isteri bagi kaum laki-laki. Ini merupakan nikmat yang paling besar, sebagaimana dia merupakan tanda paling agung yang menunjukkan bahwa hanya Allah Jalla wa Alaa saja yang berhak disembah.  

Dia juga menjelaskan di tempat lain bahwa hal ini merupakan nikmat yang sangat agung dan bahwa dia merupakan tanda kebesaran Allah Ta'ala. Sebagaimana firman-Nya,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (سورة الروم: 21)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (QS. Ar-Rum: 21)

Allah Ta'ala juga berfirman,

أَيَحْسَبُ الأِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدىً أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنْثَى

"Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? Bukankah Dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan." (QS. Al-Qiyamah: 36-39)

Firman Allah Ta'ala;

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا (سورة الأعراف: 189)

"Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya." (QS. Al-A'raf: 189)

Adapun tentang hukum pernikahan antara jin dan manusia, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama: Haram. Ini adalah pendapat Imam Ahmad.

Pendapat kedua. Makruh. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malik, Hakam bin Utaibah, Qatadah, Hasan, Uqbah Al-Asham, Hajjab bin Arthah, Ishaq bin Rahawaih. Boleh jadi makna makruh menurut sebagian ulama adalah mengharamkan. Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, rahimahullah berkata, "Mayoritas ulama menyatakan makruh pernikahan manusia dengan jin." (Majmu' Fatawa, 19/40).

Imam Malik rahimahullah pernah mengatakan,

لا يوجد دليل ينهى عن مناكحة الجن غير أني لا أستحبه، لأني أكره إذا وجدت امرأة حامل فقيل: من زوجك؟ قالت: من الجن، فيكثر الفساد

“Tidak terdapat dalil yang melarang menikah dengan jin. Hanya saja, aku tidak menyukainya. Karena saya membenci ketika ada wanita hamil, kemudian ketika ditanya, siapa suamimu? Dia akan menjawab: ‘Dari jin’. Sehingga akan terjadi banyak kerusakan.” (Akaam al-Mirjan, Hal. 67).

Pendapat ketiga, boleh. Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Syafi'i.

Syekh Muhammad Amin Asy-Syinqithy rahimahullah berkata, "Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan pernikahan antara anak adam dan jin. Sejumlah ulama melarangnya, namun sebagian lainnya membolehkannya. 

Al-Manawy dalam kitab Syarh Al-Jami Ash-Shagir berkata, "Disebutkan dalam kitab Al-Fatawa As-Sirajiah dari kalangan Hanafi, 'Tidak boleh terjadi pernikahan antara manusia dengan jin, atau dengan manusia air. Karena perbedaan jenis'. Sedangkan dalam Fatawa Al-Barizi dari kalangan Syafi'I dikatakan, 'Tidak boleh terjadi pernikahan antara keduanya, namun Ibnu Ammad menguatkan pendapat yang membolehkannya.' Al-Mawardi berkata, 'Perkara ini tertolak secara logika, karena berbedanya kedua jenis dan tabiat. Anak adam adalah dunia fisik, sedangkan jin adalah dunia ruhani. Yang satu terbuat dari tanah, sedang yang satunya terbuat dari api. Perpaduan dengan perbedaan seperti itu pasti tertolak, dan tidak mungkin terjadi keturunan dengan perbedaan tersebut."

Ibnu Al-Araby, dari mazhab Maliki berkata, "Pernikahan mereka dibolehkan secara logika, jika ternyata disahkan berdasarkan syariat, maka dia lebih baik."

Pencatatnya berkata, "Tidak aku ketahui dalam Kitabullah dan juga dalam sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam nash yang menunjukkan dibolehkannya pernikahan antara manusia dengan jin. Bahkan yang tampak dari zahir ayat-ayat yang ada adalah tidak dibolehkan. Firman Allah Ta'ala dalam ayat ini,

والله جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً (سورة النحل: 72)

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri" (QS. An-Nahl: 72)

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia telah memberi nikmat kepada Bani Adam berupa isteri-isteri yang terdiri dari jenis mereka sendiri. Maka dipahami dari ayat tersebut bahwa Dia tidak memberikan isteri dari jenis yang berbeda, seperti perbedaan antara manusia dengan jin. Itu sangat tampak.
Terlarangnya pernikahan antara manusia dengan jin merupakan madzhab jumhur ulama.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وكره أكثر العلماء مناكحة الجن

”Kebanyakan ulama membenci pernikahan dengan jin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 19/39-40].

Al-Haafidh Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

وقد تكلم في نكاح الجن للإنس الإمام أحمد وغيره، والكلام فيه في أمرين: في وقوعه وحكمه.
فأما حكمه فمنع منه أحمد، ذكره القاضي أبو يعلى

”Al-Imam Ahmad dan yang lainnya telah membicarakan/membahas pernikahan manusia dengan jin. Pembicaraan itu ada dua perkara, yaitu (1) kemungkinan terjadinya, dan (2) hukumnya. Adapun hukum pernikahan tersebut, maka Ahmad telah melarangnya, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaadliy Abu Ya’laa” [Tahdziibus-Sunan, 10/14].

Dan Al-Haafidh As-Suyuthiy rahimahullah mempunyai perkataan menarik tentang hal ini :

ويقويه أيضا أنه نهى عن إنزاء الحمر على الخيل، وعلة ذلك اختلاف الجنس، وكون المتولد منها يخرج عن جنس الخيل، فيلزم منه قلتها... وإذا تقرر المنع فالمنع من نكاح الجني الإنسية أولى وأحرى

”(Larangan pernikahan antara manusia dengan jin) dikuatkan juga bahwasannya beliaushallallaahu ’alaihi wa sallam melarang mengawinkan keledai dengan kuda. Alasannya adalah perbedaan jenis. Juga karena akan yang dilahirkan nanti bukan dari jenis kuda, sehingga berkonsekuensi menurunkan populasi kuda..... Jika larangan ini berlaku, maka larangan menikahnya jin dengan manusia lebih kuat dan lebih pantas” [Al-Asybah wan-Nadhaair, hal. 257].

Apakah dimungkinkan pernikahan antara jin dengan manusia ?. Jawabnya : Mungkin, dan itu telah terjadi. Di sini saya tidak akan mengutip dari buku-buku atau majalah-majalah ‘alam ghaib’ kontemporer. Tanpa berpanjang lebar kata, berikut perkataan para ulama kita :

Penulis kitab Tafsiir Hadaaiqur-Ruuh war-Raihaan (15/302) berkata :

ومن هنا أخذ بعض العلماء أن يمتنع أن يتزوج المرء امرأة من الجن، إذ لا مجانسة بينهما فلا مناكحة، وأكثرهم على إمكانه

“Dari sini, sebagian ulama menolak pernikahan seorang laki-laki dengan wanita dari kalangan jin, karena tidak sejenis sehingga tidak (mungkin) terjadi pernikahan keduanya. Namun kebanyakan ulama berpendapat mungkinnya pernikahan tersebut” [selesai].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

وَصَرْعُهُمْ لِلْإِنْسِ قَدْ يَكُونُ عَنْ شَهْوَةٍ وَهَوًى وَعِشْقٍ كَمَا يَتَّفِقُ لِلْإِنْسِ مَعَ الْإِنْسِ وَقَدْ يَتَنَاكَحُ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ وَيُولَدُ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ وَهَذَا كَثِيرٌ مَعْرُوفٌ وَقَدْ ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ ذَلِكَ وَتَكَلَّمُوا عَلَيْهِ وَكَرِهَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ منُاَكَحَةَ الْجِنِّ

“Bahwa merasukinya jin pada manusia bisa jadi karena dorongan syahwat, hawa nafsu, atau jatuh cinta sebagaimana yang terjadi antara manusia dengan manusia lainnya. Dan terkadang antara manusia dengan jin terjadi pernikahan sampai melahirkan anak. Hal ini banyak terjadi dan sudah diketahui secara umum. Sungguh, para ulama telah menyebutkan hal tersebut dan membicarakannya. Dan mayoritas ulama memakruhkan pernikahan (manusia) dengan jin” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatwa, Mesir-Dar al-Wafa` juz, 19, h. 39)

Asy-Syibliy rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Ahkaamul-Marjaan fii Ahkaamil-Jaann(hal. 67) berkata : Dan telah berkata Ahmad bin Sulaimaan An-Najjaad ‎dalam kitab Amaaliy-nya :

حدثنا علي بن الحسن بن سليمان أبو الشعثاء الحضرمي أحد شيوخ مسلم حدثنا أبو معاوية قال سمعت الأعمش يقول: تزوج إلينا جني، فقلت له: ما أحب الطعام إليكم؟ قال: الأرز... القصة.

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Abusy-Sya’tsaa’ Al-Hadlramiy – salah seorang guru dari (Al-Imam) Muslim – : Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’aawiyyah‎, ia berkata : Aku mendengar Al-A’masy berkata : Seorang jin telah menikah dengan kami (manusia). Lalu aku katakan padanya (jin) : “Makanan apa yang paling kalian sukai ?”. Ia berkata : “Beras/nasi......dst.” [hasan].

Asy-Syibliy rahimahullah berkata :

قال شيخنا الحافظ أبو الحجاج المزي تغمده الله برحمته: هذا إسناد صحيح إلى الأعمش

“Telah berkata syaikh kami Al-Haafidh Abul-Hajjaaj Al-Miziiy  - semoga Allah memperbaiki keadaannya dengan rahmat-Nya – : ‘Sanad riwayat ini shahih sampai pada Al-A’masy”.

Adz-Dzahabiy rahimahullah :

ونقل رفيقنا أبو الفتح اليعمري وكان متثبثاً قال سمعت الإمام تقي الدين ابن دقيق العيد يقول: سمعت شيخنا أبا محمد بن عبد السلام السلمي يقول: وجرى ذكر أبي عبد الله بن العربي الطائي فقال: هو شيعي سوء كذاب، فقلت له: وكذاب أيضا؟ قال: نعم تذاكرنا بدمشق التزويج بالجن فقال: هذا محال لأن الإنس جسم كثيف والجن روح لطيف، ولن يعلق الجسم الكثيف الروح اللطيف، ثم بعد قليل رأيته وبه شجة فقال: تزوجت جنية فرزقت منها ثلاثة أولاد فاتفق يوما أن أغضبتها فضربتني بعظم حصلت منه هذه الشجة وانصرفت فلم أرها بعد هذا، أو معناه.

”Teman kami Abul-Fath Al-Ya’muriy – ia seorang yang kuat hapalannya – menukil, ia berkata : Aku mendengar Al-Imam Taqiyyuddin bin Daqiiqil-’Ied berkata : Aku mendengar syaikh kami Abu Muhammad bin ’Abdis-Salaam As-Sulamiy berkata bahwa ia pernah terlibat pembicaraan tentang diri Abu ’Abdillah bin Al-’Arabiy Ath-Thaa’iy, lalu berkata : ’Ia seorang Syi’iy (penganut Syi’ah) yang jelek lagi pendusta’. Aku (Ibnu Daqiiqil-’Ied) berkata kepadanya : ’Pendusta jugakah ia ?’. Ia menjawab : ’Benar. Kami pernah berdiskusi di Damaskus sekitar permasalahan pernikahan dengan jin. Lalu ia berkata : ’Ini sesuatu yang mustahil, karena manusia adalah jasmani yang padat, sedangkan jin adalah ruh yang halus. Jasmani yang padat dengan ruh yang halus tidak dapat berhubungan’. Setelah itu, tiba-tiba aku melihatnya terluka. Ia berkata : ’Aku pernah menikah dengan jin perempuan hingga dikaruniai tiga orang anak. Hingga satu hari aku membuatnya marah, sehingga ia memukulku dengan tulang sampai membekas luka ini. Lalu jin perempuan itu kabur dan aku tidak pernah melihatnya lagi setelah itu’. Atau ucapan yang semakna dengan ini” [Miizaanul-I’tidaal, 3/659].

Dusta dari Ath-Thaa’iy adalah karena ia sebelumnya mengatakan tidak mungkinnya pernikahan antara jin dengan manusia, namun ternyata ia sendiri mengakui telah melakukannya.

As-Suyuthiy dalam kitab Laqthul-Marjaan (hal. 64-65) berkata :

وحدثنا قاضي القضاة جلال الدين أحمد بن قاضي القضاة حسام الدين الرازي الحنفي قال: سفرني والدي لإحضار أهله من المشرق فلما جزت البيرة إلى أن نمنا في مغارة وكنت في جماعة، فبينا أنا نائم إذا بشيء يوقظني فانتبهت فإذا بامرأة وسط من النساء لها عين واحدة مشقوقة بالطول فارتعبت فقالت: ما عليك فإنما أتيتك لتتزوج ابنة كالقمر فقلت لخوفي منها: على خيرة الله ثم نظرت فإذا برجال قد أقبلوا فإذا هم كهيئة المرأة عيونهم مشقوقة بالطول في هيئة قاض وشهود فتخطى القاضي وعقد فقبلت ثم نهضوا وعادت المرأة ومعها جارية حسناء إلا أن عينها مثل عين أمها، وتركتها عندي وانصرفت، فزاد خوفي واستيحاشي وبقيت أرمي من كان عندي بالحجارة حتى يستيقظوا فما انتبه منهم أحد، فأقبلت على الدعاء والتضرع، ثم آن الرحيل فرحلنا وتلك الشابة لا تفارقني، فذهب على هذا ثلاثة أيام فلما كان اليوم الرابع أتتني المرأة التي جاءتني أولا وقالت: كأن هذه الشابة ما أعجبتك وكأنك تحب فراقها. فقلت: أي والله قالت: فطلقها فانصرفت ثم لم أرها بعد.

”Telah menceritakan kepada kami Qaadliy Al-Qudlaat Jalaaluddiin Ahmad bin Qaadliy Al-Qudlaat Hisaamuddiin Ar-Raaziy Al-Hanafiy, ia berkata : Ayahku memerintahkakku untuk melakukan safar untuk menjemput keluarganya dari daerah timur. Ketika aku sampai di padang tandus, kami bermalam di sebuah gua. Waktu itu kami berombongan. Maka, saat aku tertidur, ada sesuatu yang membuat aku bangun. Ternyata, ada seorang wanita setengah baya yang mempunyai satu mata melintang vertikal. Ia berkata : ”Ada apa denganmu ? Aku mendatangimu agar engkau mau menikahi anak perempuanku yang (wajahnya) seperti bulan (cantik). Karena takut, aku berkata : ”Aku hanya mau sesuai dengan pilihan Allah”. Kemudian aku lihat beberapa orang laki-laki datang. Wajah mereka sama seperti wanita tadi yang hanya punya satu mata melintang vertikal. Penampilan mereka seperti hakim dan saksi-saksi. Lalu si hakim melangkah dan mengadakan aqad. Aku menerimanya. Setelah selesai, mereka kemudian bangkit pergi. Wanita itu kembali bersama anak perempuannya yang cantik. Namun, matanya seperti mata ibunya. Ia meninggalkan anak perempuannya itu di sisiku, lalu pergi. Rasa takutku bertambah. Aku melempar orang-orang di sekitarku dengan kerikil agar bangun, namun ternyata tidak seorang pun yang bangun. Lalu aku berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah. Tibalah waktu melanjutkan perjalanan, sementara perempuan itu selalu bersamaku. Hal itu berlangsung selama tiga hari. Ketika menginjak hari keempat, si wanita setengah baya yang menemuiku sebelumnya kembali datang. Ia berkata : ”Sepertinya anak perempuan ini tidak lagi menyukaimu. Dan sepertinya engkau juga ingin menceraikannya”. Aku berkata ”Ya benar, demi Allah”. Ia berkata ”Ceraikanlah ia”. Setelah aku ceraikan, maka mereka pergi dan kemudian aku tidak pernah melihatnya kembali setelah itu” [selesai].

Golongan Golongan Yang Menghilangkan Islam


Telah nampak banyak kerusakan di muka bumi ini, terutama kerusakan dalam sisi akhlak dan moral. Dan yang lebih membahayakan lagi adalah terkikisnya iman seseorang yang dilatar belakangi cinta kepada dunia.

Sementara sifat munafik dan meremehkan urusan agama masih menjadi penyakit yang terus menggerogoti iman kaum muslim dari dahulu sampai sekarang. Tetapi ironisnya, dengan keadaan seperti itu mereka masih tetap berbangga diri mengaku sebagai orang Islam, baik dengan ucapan, perbuatan maupun almamater yang mereka kenakan. Yang mana mereka lebih akrab dikenal dengan istilah Islam KTP.

Dengan kata lain, telah banyak kuantitas umat Islam, tetapi dalam segi kualitas, mereka semakin jauh dari nilai Islam itu sendiri. Begitu banyak ulama yang menjualbelikan agamanya dengan dunia, dan mereka dikenal dengan istilah Ulama Su’ atau Syarrul Ulama’.

Dan sepertinya keadaan tersebut, telah banyak dijumpai dalam kehidupan sekarang ini. Sementara Rasulullah Saw sendiri telah memberi informasi jauh sebelumnya tentang hal itu dalam sebuah hadits :
فروى الحاكم في التاريخ من حديث عبدالله بن عمر قال : قال رسول الله صل الله عليه وسلم سيأتي على الناس زمان ما يبقى من القران إلارسمه ولا من الإسلام إلا إسمه، يتسمون به وهم أبعد الناس منه مساجدهم عامرة وهي خراب من الهدى فقهاء ذلك الزمان شر فقهاء تحت ظل السماء منهم خرجت الفتنة وإليهم تعود
Dalam kitab Tarikh, Imam Al Hakim menceritakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar. Beliau mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Akan datang suatu zaman, di mana tidak ada lagi Al Qur’an melainkan hanya tulisannya saja, dan tidak pula agama Islam, melainkan hanya namanya saja. Masjid-masjidnya ramai, tetapi hampa dari petunjuk ulama. Pada zaman itu banyak ulama’-ulama’ buruk (perilakunya) tersebar di bawah langit. Dari mereka menucullah fitnah, dan kepada mereka pula fitnah itu kembali.”‎

Dengan semakin banyaknya bentuk kemunafikan yang terjadi, serta nilai-nilai luhur Islam yang sudah tidak lagi diperhatikan, maka lambat laun iman seorang mukmin dengan tanpa disadari akan terkikis habis. Sehingga dikhawatirkan predikat iman pada dirinya juga akan terlepas. Dan mereka sudah tidak lagi temasuk dalam katergori mukminin.
Imam Ad Dailimi meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Umar, beliau mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda :‎

سيأتي على الناس زمان يصلى في المسجد منهم ألف رجل أو زيادة لا يكون فيهم مؤمن
“Akan datang suatu zaman, di mana ada ribuan manusia atau lebih, mereka sama melaksanakan shalat di sebuah masjid, melainkan tiada satupun dari mereka yang mukmin.”

Imam Thabrani dan Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, yang mengatakan bahwasanya Rasululah Saw bersabda :
يؤذن المؤذن ويقيم الصلاة قوم وما هم بمؤمنين
“Mu’adzin suatu kaum mengumandangkan adzan dan iqomat untuk melaksanakan shalat, melainkan mereka tidaklah beriman.”

Imam Hakim menyebutkan sebuah hadits dalam kitab Mustadrok yang diriwayatkan dari Sufyan, dari A’masy, dari Khoitsamah dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan :
يأتي على الناس زمان يجتمعون في المساجد ليس فيهم مؤمن‎

“Akan datang suatu zaman, di mana manusia sama berkumpul di dalam masjid, tetapi mereka tidaklah beriman.”

Abu Syuaib Al Haroni, juga meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Fawaid, melalui sanad Imam Fudlail bin ‘Iyadl dari A’masy dengan sanadnya, beliau mengatakan :‎

يأتي على الناس زمان يحجون ويصلون ويصومون وما فيهم مؤمن
“Akan datang suatu zaman di mana manusia sama naik haji, melaksanakan shalat dan berpuasa, tetapi tidaklah mereka beriman.”

Maka dari keterangan hadits-hadits di atas, secara tidak langsung telah banyak umat Islam yang telah berbondong-bondong lari meninggalkan Islam, dengan melepas baju kebesaran iman. Yaitu dengan berlomba-lomba mencari dunia, dan menghabiskan waktunya hanya untuk urusan dunia. Sebagaimana yang disinyalir dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam kitab musnadnya dari shahabat Jabir bin Abdullah, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda :
إن الناس دخلوا في دين الله أفواجا وسيخرجون أفواجا
“Sesungguhnya manusia masuk agama Islam secara berbondong-bondong, dan mereka juga akan keluar dari agama Isalm secara berbondong-bondong.”
Al-Imaam Ibnul-Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata :
وقال محمد بن الفضل الصوفي الزاهد ذهاب الاسلام على يدي اربعة اصناف من الناس صنف لا يعملون بما يعلمون وصنف يعملون بما لا يعلمون وصنف لا يعملون ولا يعلمون وصنف يمنعون الناس من التعلم قلت الصنف الاول من له علم بلا عمل فهو اضر شيء على العامة فإنه حجة لهم في كل نقيصة ومنحسة والصنف الثاني العابد الجاهل فإن الناس يحسنون الظن به لعبادته وصلاحه فيقتدون به على جهله وهذان الصنفان هما اللذان ذكرهما بعض السلف في قوله احذروا فتنة العالم الفاجر والعابد الجاهل فإن فتنتهما فتنة لكل مفتون فان الناس إنما يقتدون بعلمائهم وعبادهم فإذا كان العلماء فجرة والعباد جهلة عمت المصيبة بهما وعظمت الفتنة على الخاصة والعامة والصنف الثالث الذين لا علم لهم ولا عملوإنما هم كالانعام السائمة والصنف الرابع نواب ابليس في الارض وهم الذي يثبطون الناس عن طلب العلم والتفقه في الدين فهؤلاء اضر عليهم من شياطين الجن فانهم يحولون بين القلوب وبين هدى الله وطريقه فهؤلاء الاربعة اصناف هم الذين ذكرهم هذا العارف رحمة الله عليه وهؤلاء كلهم على شفا جرف هار وعلى سبيل الهلكة وما يلقى العالم الداعي الى الله ورسوله ما يلقاه من الاذى والمحاربة الا على ايديهم والله يستعمل من يشاء في سخطه كما يستعمل من يحب في مرضاته إنه بعباده خبير بصير ولا ينكشف سر هذه الطوائف وطريقتهم إلا بالعلم فعاد الخير بحذافيره الى العلم وموجبه والشر بحذافيره الى الجهل وموجبه

“Telah berkata Muhammad bin Al-Fadhl Ash-Shuufy Az-Zaahid : Hilangnya Islam itu disebabkan oleh empat golongan manusia :

1. Orang yang tidak beramal dengan apa-apa yang ia ketahui.

2. Orang yang beramal dengan apa apa-apa yang tidak ia ketahui (beramal tanpa ilmu).

3. Orang yang tidak beramal dan juga tidak berilmu.

4. Orang yang menghalangi manusia untuk belajar menuntut ilmu.

Aku (Ibnul-Qayyim) berkata :

Golongan Pertama, adalah orang yang mempunyai ilmu namun tidak mau beramal. Mereka ini lebih berbahaya terhadap masyarakat, sebab ia menjadi hujjah bagi mereka dalam setiap kekurangan dan kesulitan.

Golongan Kedua, adalah ahli ibadah namun bodoh (jahil). Manusia berprasangka baik dengannya karena ibadah dan kebaikan yang dilakukannya. Maka mereka pun mengikutinya disebabkan atas dasar kejahilan yang dilakukan oleh orang tersebut.

Kedua golongan di atas telah disebutkan oleh sebagian ulama salaf dengan perkataan mereka : ”Hati-hatilah terhadap seorang ’alim yang fajir dan seorang ahli ibadah yang jahil, karena fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah”. Sesungguhnya manusia itu akan mengikuti ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka. Apabila ulama itu adalah seorang yang fajir (senang bermaksiat) dan ahli ibadah itu adalah seorang yang jahil, maka meratalah musibah (bagi manusia) akibat keduanya. Menjadi besarlah fitnah, baik bagi kalangan tertentu dan juga masyarakat awam.

Golongan Ketiga, adalah orang yang tidak berilmu lagi tidak beramal yang mereka ini seperti binatang ternak.

Golongan Keempat, adalah para utusan Iblis di muka bumi yang (bertugas) melemahkan semangat manusia dalam menuntut ilmu dan ber-tafaqquh fid-diin (mendalami ilmu agama). Mereka ini lebih berbahaya dibandingkan syaithan-syaithan dari golongan jin. Mereka senantiasa memberikan tipu muslihat antara hati-hati manusia dan petunjuk/jalan Allah (yang lurus).

Keempat golongan yang disebutkan oleh Muhammad bin Al-Fadhl – rahmatullaahi ’alaih–, kesemuanya berada pada tepi jurang dan di atas jalan kebinasaan. Dan tidaklah akan ditemui suatu bahaya dan permusuhan yang menimpa seorang yang ’alim yang menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali disebabkan oleh (kejahatan) tangan-tangan mereka. Allah akan menjadikan siapapun yang dikehendaki-Nya (untuk beramal dengan amalan) yang menjadi sebab kebencian mereka terhadapnya sebagaimana Dia akan menjadikan orang yang Dia cintai untuk beramal dengan apa-apa yang menjadi keridlaan-Nya. (Allah ta’ala telah berfirman : ) ”Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-Nya lagi Maha Melihat” (QS. Asy-Syuuraa : 27). Tidak ada yang dapat menyingkap rahasia dan thariqahgolongan-golongan ini kecuali dengan ilmu. (Dengan hal itu), maka kembalilah kebaikan dengan segala unsurnya kepada ilmu dan segala pendorongnya; dan kembalilah kejelekan dengan segala unsurnya kepada kebodohan dengan segala pendorongnya pula”.

[Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1/160-161; Daarul-Kutub-Bairut]‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...