Senin, 25 Oktober 2021

Adab, Doa Dan Waktu Terbaik Dalam Jima'


Islam adalah agama yang mulia dan memuliakan. Ia menjunjung tinggi akhlak dan etika. Setiap perbuatan baik di dalam Islam, pastilah ada tuntunan adabnya. Demikian pula dengan jima'.

Bahwa bagi suami istri berjimak adalah sebuah kebutuhan yang mendasar. Sebagai sebuah kebutuhan yang mendasar maka terdapat beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan baik sebelum melakukannya, sedang maupun sesudahnya. Sedang mengenai waktu berjimak, karenan keterbatasan yang ada kami hanya menjelaskan secara singkat. Dan insya Allah akan kami jelaskan lebih detail lagi pada kesempatan yang lain.       

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’”

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Jika kalian ingin mendatangi istrinya, kemudian membaca,

بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

’Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau berikan kepada kami.’

Jika ditakdirkan terwujud anak dari hubungan itu, maka setan tidak akan mengganggunya selamanya. (HR. Bukhari 5165, Muslim 1434, dan yang lainnya).

Zahir hadis menunjukkan bahwa yang dianjurkan membaca doa sebelum jima adalah suami. Dan ini merupakan pendapat sebagian ulama hambali. Ulama lainnya menegaskan bahwa anjuran ini berlaku untuk suami & istri. Karena tidak ada beda antara lelaki dan wanita, keduanya sama-sama dianjurkan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Sehingga istri juga dianjurkan yang sama,

Al-Mardawi mengatakan,

وقال القاضي محب الدين ابن نصر الله: هل التسمية مختصة بالرجل أم لا؟ لم أجده، والأظهر عدم الاختصاص بل تقوله المرأة أيضاً

Al-Qodhi Muhibuddin Ibnu Nashrullah menjelaskan, ’Apakah membaca doa sebelum jima khusus bagi lelaki ataukah tidak?’ Saya tidak menjumpai keterangan bahwa itu khusus bagi lelaki. Yang zahir, tidak ada pengkhususan, namun juga dibaca oleh si wanita.

Kemudian dikomentari oleh al-Mardawi,

هو كالمصرح به في الصحيحين أن القائل هو الرجل وهو ظاهر كلام الأصحاب، والذي يظهر أن المرأة تقوله أيضاً

Ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa yang membaca hanya suami, dan ini pendapat yang zahir dalam madzhab hambali. Dan yang dzahir, wanita juga disyariatkan untuk membacanya. (al-Inshaf, 8/357).

Amalan yang sebaiknya dilakukan sebelum memulai jimak adalah sebagai berikut:

Disunnahkan untuk membaca bismillah
Membaca surat Al-Ikhlash
Membaca takbir dan tahlil (Allohu akbar, Laailaha illalloh)
Membaca doa: Bismillahil-‘aliyy al-azhim. Allahumma ij`alhâ dzurriyatan thayyibah, in kunta qaddarta an tukhrija dzâlika min shulbi. Allahumma jannibni asy-syaithân wa jannib asy-syaithân mâ razaqtanâ. (Redaksi Arabnya seperti dalam penjelasan al-Ghaali di bawah)
Memakai penutup atau selimut, dan jangan melakukan jimak dengan telanjang bulat
Memulai dengan cumbu-rayu dan ciuman
 ‎
Amalan ketika sedang jimak:‎

Hindari untuk mengadap kearah kiblat
Hindari terlalu banyak pembicaraan
Ketika istri menjelang orgasme, maka suami mengatakan dalam hati: Alhamdulillahil-ladzi khalaqa minal-mâ` basyara faja’alahu nasaban wa shahra wa kana rabbuka qodîra.
Usahakan untuk keluar bersama-sama, karenanya pihak lelaki jangan terburu-buru untuk segera mentuntaskan permainan sebelum pihak perempuan mencapai orgasme.
Dan jika ingin mengulangi jimak yang kedua maka sebaiknya membersihkan atau mencuci terlebih dahulu kemaluannya.
Demikian itu sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin:

 وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَبْدَأَ بِاسْمِ اللهِ تَعَالَى وَيَقْرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَوَّلاً وَيُكَبِّرَ وَيُهَلِّلَ وَيَقُولَ بِسْمِ اللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا ذُرِّيَةً طَيِّبَةً إِنْ كُنْتَ قَدَّرْتَ أَنْ تُخْرِجَ ذَلِكَ مِنْ صُلْبِي وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ وَإِذَا قَرُبَتْ مِنَ الإِنْزَالِ فَقُلْ فِي نَفْسِكَ وَلَا تُحَرِّكْ شَفَتَيْكَ: اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا، وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِ الحَدِيثِ يُكَبِّرُ حَتَّى يَسْمَعَ أَهْلُ الدَّارِ صَوْتَهُ ثُمَّ يَنْحَرِفُ عَنِ القَبْلَةِ وَلَا يَسْتَقْبِلُ القِبْلَةَ بِالوَقَاعِ إِكْرَاماً لِلْقِبْلَةِ وَلْيُغَطِّ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ بِثَوْبٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغَطِّي رَأْسَهُ وَيَغُضُّ صَوْتَهُ وَيَقُولُ لِلْمَرْأَةِ عَلَيِكِ بِالسَّكِينَةِ وَفِي الخَبَرِ إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلَا يَتَجَرَّدَانِ تَجَرُّدَ العَيْرَيْنِ أَيْ اَلْحِمَارَيْنِ وَلْيُقَدِّم التَّلَطُّفَ بِالكَلَامِ وَالتَّقْبِيلِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقَعَنَّ أَحَدُكُمْ عَلَى امْرَأَتِهِ كَمَا تَقَعُ البَهِيمَةُ وَلْيَكُنْ بَيْنَهُمَا رَسُولٌ قِيلَ وَمَا الرَّسُولُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ القُبْلَةُ وَالكَلَامُ.... ثُمَّ إِذَا قَضَى وَطَرَهُ فَلْيَتَمَهَّلْ عَلَى أَهْلِهِ حَتَّى تَقْضِيَ هِيَ أَيْضاً نَهْمَتَهَا (ابو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، مصر-مصطفى البابي الحلبي، 1385 هـ/1936، ج، 2، ص. 51، 52

“Dan disunnahkan memulai dengan membaca bismillah. Selanjutnya diawali dengan membaca Qul huwallahu ahad, membaca takbir, lalu membaca doa: Bismillah al-‘aliy al-‘azhîm allahumma ij’alha dzurriyatan thayyibah in kunta qaddarta an tukhrija dzalika min shulbi. Rasulullah saw bersabda, jika salah satu di antara kalian mendatangi isterimu maka berdoalah, allahumma jannibnisy-syaithân wa jannibisy-syaithân ma razaqtana, karena apabila (hubungan badan) di antara keduanya menghasilkan anak maka syaitan tidak akan menggangunya. Dan apabila si istri menjelang orgasme, maka bacalah dalam hatimu dan jangan gerakkan kedua bibirmu: Alhamdulillahil ladzi khalaqa minal-mâ`i basyaran fa ja’alahu nasaban wa shahran wa kâna rabbuka qadîran. Dan sebagian ashab al-hadîts bertakbir sampai seiisi rumah mendengarnya. Kemudian berpaling dari kiblat dan tidak menghadap kiblat ketika jimak karena untuk memuliakan kiblat. Dan hendaknya (suami) menutupi dirinya dan istrinya dengan kain (tsaub). Rasulullah saw menutupi kepalanya dan memelankan suaranya sembari berkata kepada istrinya, tenanglah. Bila salah satu dari kalian berhubungan badan dengan istrinya maka jangan keduanya bertelanjang bulat seperti halnya dua keledai. Dan (sebelum berhubungan badan) hendaknya didahului dengan cumbu-rayu dan ciuman. Rasulullah saw bersabda: Janganlah salah satu di antara kalian menyetubuhi isitrinya sebagaimana persetubuhan hewan, dan hendaknya di antara keduanya ada perantara. Lantas ditanyakan (kepada beliau), apa itu perantara wahai Rasulullah saw, beliau-pun menjawab, ciuman dan cumbu-rayu….kemudian ketika suami mengalami orgasme maka hantarkan sang istri secara perlahan-lahan sampai ia juga mengalami orgasme. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz, 2, h. 51, 52)        

Lebih lanjut menurut Imam al-Ghazali, jika ingin mengulangi jimak yang kedua maka sebaiknya membersihkan atau mencuci terlebih dahulu kemaluannya. Setelah berjimak segeralah mandi junub, namun apabila ingin langsung tidur atau makan maka lakukan wudlu terlebih dahulu. (Abu Hamid al-Ghazali Ihya` ‘Ulumiddin, juz, 2, h. 52)
Selanjutnya mengenai waktu yang pas untuk berjimak, menurut Imam al-Ghazali, sebaiknya jimak dilakukan setiap empat hari sekali, atau tergantung kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mensunnahkan pada hari Jum’at. Dan dimakruhkan berjimak pada awal bulan, tengah, dan akhir bulan. Bagitu juga dimakruhkan berjimak pada awal malam.  Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Imam al-Ghazali:

  وَيَنْبَغِي أَنْ يَأْتِيَهَا فِي كُلِّ أَرْبَعِ لَيَالٍ مَرَّةً فَهُوَ أَعْدَلُ إِذْ عَدَدُ النِّسَاءِ أَرْبَعَةٌ فَجَازَ التَّأْخِيرُ إِلَى هَذَا الحَدِّ نَعَمْ يَنْبَغِي أَنْ يَزِيدَ أَوْ يَنْقُصَ بِحَسْبِ حَاجَتِهَا فِي التَّحْصِينِ…. وَيُكْرَهُ لَهُ الجِمَاعُ فِي ثَلَاثِ لَيَالٍ مِنَ الشَّهْرِ الأَوَّلِ وَالآخِرِ وَالنِّصْفِ يُقَالُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ الجِمَاعَ فِي هَذِهِ الْلَيَالِي… وَمِنَ العُلَمَاءِ مَنْ اسْتَحَبَّ الجِمَاعَ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَلَيْلَتَهُ تَحْقِيقاً لِأَحَدِ التَّأْوِيلَيْنِ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللهُ مَنْ غَسَلَ وَاغْتَسَلَ..... وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُجَامِعَ ثَانِياً بَعْدَ أُخْرَى فَلْيَغْسِلْ فَرْجَهُ ....وَيُكْرَهُ الجِمَاعُ فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ حَتَّى لَا يَنَامَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَإِنَ أَرَادَ النَّوْمَ أَوْ الأَكْلَ فَلْيَتَوَضَّأ أَوَّلًا وُضُوءَ الصَّلَاةِ فَذَلِكَ سُنَّةٌ (ابو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، مصر-مصطفى البابي الحلبي، 1385 هـ/1936، ج، 2، ص. 52)

“Dan sebaiknya suami mendatangi istirinya empat hari sekali. Dan ini adalah yang paling ideal karena jumlah maksimal perempuan (yang boleh dinikahi) itu empat. Selanjutnya boleh juga mengakhirkan sampai batas ini, bisa sebaiknya menambah atau mengurangi sesuai dengan kebutuhan istri dalam tahshîn….dan dimakruhkan bagi suami untuk berjimak pada tiga malam dari satu bulan yaitu pada awal bulan, akhir, dan tengah bulan. Dikatakan: Sesungguhnya syaitan akan menghadiri jimak yang dilakukan pada malam-malam ini…Sebagian ulama ada yang mensunnahkan jimak pada hari dan malam jumat sebagai hasil tahqiq terhadap salah satu dari dua ta’wil dari sabda Rasulullah saw: Allah akan merahmati orang mencuci dan mandi (pada hari jumat)….Dan jika suami ingin berhubungan badan dengan istrinya untuk yang kedua kali maka hendaknya ia mencuci kemaluannya….dan dimakruhkan berjimak pada awal malam sampai ia tidak tidur kecuali dalam kondisi tidak suci, maka jika ingin tidur atau makan hendaknya ia melakukan wudlu sebagaimana wudlu untuk shalat. Demikian ini hukumnya sunnah. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz, 2, h. 51, 52)

Penjelasan Lain

Pertama, ada keadaan dimana seorang suami dianjurkan untuk mendatangi istrinya. Keadaan itu adalah ketika suami tidak sengaja melihat wanita dan dia terpikat dengannya. Anjuran ini berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ، أَقْبَلَتْ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

Wanita itu, ketika dilihat seperti setan (punya kekuatan menggoda). Karena itu, jika ada lelaki melihat wanita yang membuatnya terpikat, hendaknya dia segera mendatangi istrinya. Karena apa yang ada pada istrinya juga ada pada wanita itu. (HR. Turmudzi 1158, Ibnu Hibban 5572, ad-Darimi dalam Sunannya 2261, dan yang lainnya. Sanad hadis ini dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain di shahih Muslim, dari sahabat Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِذَا أَحَدُكُمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَةُ، فَوَقَعَتْ فِي قَلْبِهِ، فَلْيَعْمِدْ إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

”Jika ada lelaki yang terpikat dengan seorang wanita, hingga membuat dia jatuh cinta, hendaknya dia segera mendatangi istrinya dan melakukan hubungan dengannya. Dengan ini akan menghilangkan perasaan cinta dalam hatinya.” (HR. Muslim 1403).

An-Nawawi mengatakan,

ومعنى الحديث أنه يستحب لمن رأى امرأة فتحركت شهوته أن يأتي امرأته أو جاريته إن كانت له فليواقعها ليدفع شهوته وتسكن نفسه ويجمع قلبه على ما هو بصدده

Makna hadis, bahwa dianjurkan bagi lelaki yang melihat wanita, kemudian syahwatnya naik, agar dia segera mendatangi istrinya atau budaknya, jika dia punya budak, hingga dia melakukan hubungan badan dengannya. Agar bisa menahan syahwatnya dan jiwanya menjadi tenang, sehingga hatinya bisa kembali konsentrasi dengan tugasnya. (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 9/178)

Kedua, mengenai waktu khusus yang berisi anjuran untuk melakukan hubungan badan, kami tidak menjumpai adanya dalil yang menjelaskan hal ini. Namun terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bagaimana kebiasaan orang soleh masa silam dalam memilih waktu untuk melakukan hubungan badan.

Berikut diantaranya,

1. Tiga waktu aurat

Yang dimaksud tiga waktu aurat adalah sebelum subuh, siang hari waktu dzuhur, dan setelah isya.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu dzuhur dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. (QS. An-Nur: 58).

Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayan, beliau menceritakan sebab turunnya ayat ini,

Ada pasangan suami istri di kalangan anshar, yang dia sering membuatkan makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika budaknya masuk ke kamar menemui mereka tanpa izin di waktu yang mereka tidak sukai untuk ditemui. Sang istripun melaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يا رسول الله، ما أقبح هذا! إنه ليدخل على المرأة وزوجها وهما في ثوب واحد

”Wahai Rasulullah, betapa buruknya sikap orang ini. Dia menemui seorang wanita ketika dia sedang berduaan bersama suaminya dalam satu selimut.” Kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).

Allah menurunkan syariat agar anak yang belum baligh, atau budak yang tinggal bersama tuannya, untuk tidak masuk ke kamar pribadi orang tuanya atau kamar tuannya pada tiga waktu khusus tanpa izin. Tiga waktu itu Allah sebut sebagai waktu aurat, karena umumnya, mereka sedang membuka aurat di tiga waktu itu.

Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari as-Sudi,

كان أناس من الصحابة، رضي الله عنهم، يحبون أن يُوَاقعوا نساءهم في هذه الساعات ليغتسلوا ثم يخرجوا إلى الصلاة، فأمرهم الله أن يأمروا المملوكين والغلمان ألا يدخلوا عليهم في تلك الساعات إلا بإذن

”Dulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka terbiasa melakukan hubungan badan dengan istri mereka di tiga waktu tersebut. Kemudian mereka mandi dan berangkat shalat. Kemudian Allah perintahkan agar mereka mendidik para budak dan anak yang belum baligh, untuk tidak masuk ke kamar pribadi mereka di tiga waktu tersebut, tanpa izin. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).

2. Setelah Tahajud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan tidur di awal malam, untuk bisa bangun di pertengahan atau sepertiga malam terakhir, melakukan shalat tahajud. Aisyah menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati istrinya setelah tahajud. Dari al-Aswad bin Yazid, bahwa beliau pernah bertanya kepada A’isyah radhiyallahu ‘anha tentang kebiasaan shalat malamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ يَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ، فَإِذَا كَانَ مِنَ السَّحَرِ أَوْتَرَ، ثُمَّ أَتَى فِرَاشَهُ، فَإِذَا كَانَ لَهُ حَاجَةٌ أَلَمَّ بِأَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ وَثَبَ، فَإِنْ كَانَ جُنُبًا أَفَاضَ عَلَيْهِ مِنَ الْمَاءِ، وَإِلَّا تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu sahur, beliau shalat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah. (HR. an-Nasai 1680 dan dishahihkan al-Albani)

Berdasarkan keterangan A’isyah di atas, sebagian ulama lebih menganjurkan agar hubungan badan dilakukan di akhir malam, setelah tahajud, dengan pertimbangan,

Mendahulukan hak Allah, dengan beribadah kepadanya dalam kondisi masih kuat.
Menghindari tidur ketika junub, karena bisa langsung mandi untuk shalat subuh.
Di awal malam umumnya pikiran penuh, dan di akhir malam umumnya pikiran dalam keadaan kosong.
Ketika menjelaskan hadis ini, Mula Ali Qori mengutip keterangn Ibnu Hajar yang menjelaskan,

تأخير الوطء إلى آخر الليل أولى؛ لأن أول الليل قد يكون ممتلئا ، والجماع على الامتلاء مضر بالإجماع على أنه قد لا يتيسر له الغسل فينام على جنابة وهو مكروه

Mengakhirkan hubungan badan hingga akhir malam itu lebih baik. Karena di awal malam terkadang pikiran orang itu penuh. Dan melakukan jima di saat pikiran penuh, bisa jadi membahayakan dengan sepakat para ahli, karena bisa jadi dia tidak bisa mandi, sehingga dia tidur dalam kondisi junub, dan itu hukumnya makruh. (Mirqah al-Mashabih, 4/345).

Semua keterangan di atas hanya menyebutkan kebiasaan mereka. Dan semata tradisi yang terkait adat atau kebutuhan fisik seseorang, tidak bisa dijadikan acuan bahwa itu sunah atau dianjurkan. Karena itu, pertimbangan yang disebutkan oleh Ibnu Hajar hanya pertimbangan terkait dampak baik ketika hubungan badan diakhirkan hingga mendekati sahur. Dengan demikian, kesimpulan yang bisa kita berikan, bahwa dalam masalah ini tidak ada acuan baku, sehingga dikembalikan kepada kebutuhan dan kebiasaan masyarakat.

Berdoa Bersama Setelah Sholat Dan Mengaminkan Doa


Menyangkut masalah furu’ (cabang) yang telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama. Berdo’a bersama setelah sholat bukan hanya terjadi di Indonesia saja, di negara-negara Arab pun juga terdapat fenomena seperti itu. Bahkan sudah terjadi sejak zaman dahulu

Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).

Menurut al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43), kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman tentang kisahNabi Musa AS:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).

Sebagaimana terdapat didalam Kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah sebagai berikut:

الموسوعة الفقهية الكويتية – (1 / 116)

التَّأْمِينُ عَلَى الدُّعَاءِ دُبُرَ الصَّلاَةِ .

18 – لَمْ أَجِدْ مَنْ يَقُول بِالتَّأْمِينِ عَلَى دُعَاءِ الإِْمَامِ بَعْدَ الصَّلاَةِ إِلاَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ . وَمِمَّنْ قَال بِجَوَازِهِ ابْنُ عَرَفَةَ ، وَأَنْكَرَ الْخِلاَفَ فِي كَرَاهِيَتِهِ . وَفِي جَوَابِ الْفَقِيهِ الْعَلاَّمَةِ أَبِي مَهْدِيٍّ الْغُبْرِينِيُّ مَا نَصُّهُ : ” وَنُقَرِّرُ أَوَّلاً أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِي الْمِلَّةِ نَهْيٌ عَنْ الدُّعَاءِ دُبُرَ الصَّلاَةِ ، عَلَى مَاجَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ الْيَوْمَ مِنَ الاِجْتِمَاعِ ، بَل جَاءَ التَّرْغِيبُ فِيهِ عَلَى الْجُمْلَةِ . ” فَذَكَرَ أَدِلَّةً كَثِيرَةً ثُمَّ قَال : ” فَتَحَصَّل بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنَ الْمَجْمُوعِ أَنَّ عَمَل الأَْئِمَّةِ مُنْذُ الأَْزْمِنَةِ الْمُتَقَادِمَةِ مُسْتَمِرٌّ فِي مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ ، وَهُيَ مَسَاجِدُ الْجَوَامِعِ ، وَفِي مَسَاجِدِ الْقَبَائِل ، وَهِيَ مَسَاجِدُ الأَْرْبَاضِ وَالرَّوَابِطِ ، عَلَى الْجَهْرِ بِالدُّعَاءِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَوَاتِ ، عَلَى الْهَيْئَةِ الْمُتَعَارَفَةِ الآْنَ ، مِنْ تَشْرِيكِ الْحَاضِرِينَ ، وَتَأْمِينِ السَّامِعِينَ ، وَبَسْطِ الأَْيْدِي وَمَدِّهَا عِنْدَ السُّؤَال وَالتَّضَرُّعِ وَالاِبْتِهَال مِنْ غَيْرِ مُنَازِعٍ . “

وَكَرِهَهُ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ غَيْرُهُ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ ، لِمَا يَقَعُ فِي نَفْسِ الإِْمَامِ مِنَ التَّعَاظُمِ . وَبَقِيَّةُ الْقَائِلِينَ بِالدُّعَاءِ عَقِبَ الصَّلاَةِ يُسِرُّونَ بِهِ نَدْبًا ، عَلَى تَفْصِيلٍ . (1) ( ر : دُعَاءٌ ) .

MENG”AMINKAN’ DOA SETELAH SHALAT

Saya tidak temukan pendapat  yang membolehkan mengaminkan doa setelah shalat kecuali pendapat beberapa orang pengikut mazhab Maliki . Diantara yang membolehkan itu adalah Ibnu Arafah, dia bahkan mengingkari adanya perbedaan pendapat tentang makruhnya hal ini.

Berikut ini nash ( tex ) jawaban dari alfaqih al’allamah ( Ahli fiqih yg sangat alim ) Abi Mahdi AlGhubriny dalam masalah ini : (( Pertama kita pastikan tidak ada dalam agama larangan berdoa secara berjamaah  setelah shalat sebagaimana kebiasaan yang terjadi sekarang , bahkan secara umum itu dianjurkan. – kemudian dia menyebutkan beberapa dalil, lalu meneruskan – jadi bisa disimpulkan bahwa apa yang dilakukan para imam sejak masa-masa dulu terus berlanjut di masjid-masjid raya,  masjid-masjid kampung, masjid-masjid sekolah, yaitu mengeraskan suara saat berdoa setelah shalat seperti cara yang dikenal sekarang, mengikut-sertakan hadirin ( jama’ah ),  mereka mengaminkannya, menadahkan tangan saat berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah, yang mana hal tersebut tidak ada yang mengingkarinya )) .  

Imam Malik tidak menyukai hal tersebut  juga sekelompok lain dari Mazhab Maliki, karena bisa menimbulkan perasaan diri hebat pada diri seorang imam.

Sebagian berpendapat doa setelah shalat disunnatkan dengan tidak mengeraskan suara, dengan beberapa rincian dalam pendapat mereka.

Didalam masalah ini pendapat para  ulama terbagi menjadi  dua  yaitu

Sebagian ulama tidak menyukainya,  karena berdasarkan keterangan bahwa Rasulullah dan para sahabat tidak melakukan do’a bersama setelah melakukan shalat fardhu.
Sebagian ulama membolehkannnya bahkan sebagian menganjurkannya karena dianggap baik.
Dalil dari ulama yang tidak menyukainya sudah jelas dan sangat sederhana yaitu karena tidak ada contoh dari Rasulullah dan para sahabat oleh karena itu tidak perlu dikerjakan bahkan bisa jadi terlarang.

Yang perlu dipahami adalah pendapat ulama yang membolehkan atau menganjurkan. Mereka membagi persoalan tersebut menjadi dua bagian kemudian disimpulkan menjadi satu kesatuan. Yaitu

Hukum berdo’a setelah shalat

Berdo’a setelah shalat adalah merupakan anjuran dari Rasulullah dan tidak ada ulama yang berbeda pandangan, karena dasarnya yang besumber dari hadis shahih sangat banyak diantaranya adalah

سنن أبى داود – (4 / 318)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“ Sesungguhnya Rasulullah saw pernah memegang tanganku dan berkata :” Yaa Muadz , sesungguhnya Demi Allah aku mencintai Mu., Demi Allah aku mencintaiMu . aku berpesan kepadamu Yaa Muadz “ jangan sekali-kali engkau meninggalkan do’a setiap selesai  shalat dengan do’a sebagai berikut: ‘ Yaa Allah tolonglah aku agar dapat selalu mengingatMu, dapat mensyukuri nikmatMu dan dapat beribadah kepadaMu dengan sebaik-baiknya”

 Hukum mengaminkan do’a orang lain

Mengaminkan do’a adalah juga  adalah sesuatu yang disyariatkan, dan juga tidak ada perbedaan pandangan diantara para ulama,  sebagaimana sabda-sabda Rasulullah sebagai berikut:

الأدب المفرد – (1 / 342)

عن عائشة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما حسدكم اليهود على شيء ما حسدوكم على السلام والتأمين

Dari Aisyah r.a. dari Rasulullah s.a.w, bersabda: “Tidak ada hal yang paling dirikan oleh orang Yahudi kepada dirimu kecuali ucapan salam dan perkataan amiin. (Hadis Riwayat Bukhari didalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Albani)

جامع الأحاديث – (17 / 36)

لا يجتمع ملأ فيدعو بعضهم ويؤمن بعضهم إلا أجابهم الله (الطبرانى ، والحاكم ، والبيهقى(

Rasulullah bersabda: “Tidaklah sekelompok orang berdo’a kemudian saling mengaminkan, maka do’anya akan dikabulkan oleh Allah (Hadis Riwayat Thabarani, Al Hakim dan Baihaqi, dikutip dari Kitab Jami’ul Ahadis)
Malaikat mengaminkan do’a yang orang mendo’akan saudara muslim lainnya, sebagaimana tersebut dalam hadis berikut:
جامع الأحاديث – (3 / 144)

إذا دعا المرءُ لأخيه بظهر الغيبِ قالت الملائكةُ آمين ولك مثلُه (البزار عن أنس) [المناوى]

أخرجه البزار كما فى مجمع الزوائد (10/152) قال الهيثمى : رجاله ثقات

Rasulullah bersabda: “apabila seseorang mendo’akan saudaranya yang tidak berada disisinya maka para malaikat mengucapkan amiin dan bagi yang berdo’a akan memperoleh  yang sama (hadis riwayat al Bazar dalam Kitab Al Manawi dan Majmu’ zawaid, dikutip dari Kitab Jami’ul Ahadis, perawinya dapat dipercaya)

Berdasarkan hadis-hadis diatas, sebagian ulama membolehkan, setelah shalat  imam membaca do’a dan diaminkan oleh para makmun.

Namun kiranya perlu diperhatikan pendapat para ulama salaf  bahwa berdo’a secara berjama’ah setelah sholat adalah bukan membuat hukum baru dalam artian bahwa apabila tidak berdo’a secara berjamaah ada keburukan disana atau sebaliknya..

Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم
 “Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)

Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم
“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)
 
Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:‎

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري


“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)

Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.

 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306
“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)

Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut ini:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani)

Dalam Al Qur’an dikabarkan ketika Nabi Musa berdoa:

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ

“Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”” (QS. Yunus: 88)

Namun perhatikan apa firman AllahTa’ala setelahnya:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”” (QS. Yunus: 89)

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan: “firman Allah ini khitab (lawan bicara) nya adalah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam padahal yang berdoa hanya Nabi Musa seorang. Namun ketika Nabi Musa berdoa, Nabi Harun mengamini doa beliau. Dan orang yang mengamini doa dianggap sebagai orang mengucapkan doa” (Sifat Shalat Nabi, 92).


Dalam sebuah hadits :

إِذَا أَمَّنَ القَارِئُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّ المَلاَئِكَةَ تُؤَمِّنُ، فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (مسلم)

Apabila yang membaca (doa) mengucapkan Amin, maka ucapkanlah Amin, karena malaikat mengaminkan, dan barangsiapa ucapan Amin nya bersamaan dengan Amin nya malaikat niscaya diampunia dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu (HSR Muslim)

Selain Muslim hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam shahihnya 8:85; Ahmad dalam musnadnya 12:187; Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya 2:187; Ibnu Majah  dalam sunannya 1:277; Nasaa`i dalam sunannya 2:143; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1:286; Thabrani dalam Mu`jamul Aushat 9:7 dan Baihaqi dalam sunan kubra 2:80.

Lafazh “alqaari`” pada hadits di atas arti harfiahnya adalah “yang membaca”, termasuk dalam pengertiannya yang membaca doa, maka itu dulu kami menyimpulkan baha apabila yang berdoa mengucap Amin, maka yang mendengar wajib mengucap Amin.

Belakangan terungkap bahwa sebenarnya yang dimaksud hadits di atas adalah apabila imam dalam shalat mengucap Amin, maka ma`mum di belakangnya wajib juga mengucap Amin. Jadi lafazh “alqaari`” itu maksudnya “al-imam” sebagaimana hadits sebagai berikut:

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ، فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (البخاري)

Apabila imam (dalam shalat) mengucap Amin, maka ucapkanlah Amin, karena se sungguhnya barangsiapa ucapan Amin nya bersamaan dengan ucapan Amin para malaikat niscaya akan diampuni dosa-dosa (kecilnya) yang telah lalu (HSR Bukhari)

Selain Bukhari, hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwath-tha` 2:119; Syafi`i dalam musnadnya 1:82; Muslim dalam shahihnya 1:306; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1:286; Abu Awanah dalam mustakhrajnya 1:455; Abu Dawud dalam sunannya 1:246; Tirmi dzi dalam sunannya 1:332; Nasaa`i dalam sunannya 2:144 dan Baihaqi dalam sunan kubra 2:79.

Lalu sekarang bagaimana hukum sebenarnya mengaminkan doa seorang khatib atau doa seseorang yang kita dengar ? Untuk itu kita meruju` pada sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى المِنبر فَلما رَقَى الدَّرجة الأُولى قَالَ: (آمِين) ثُم رَقى الثَانية فَقال: (آمِينَ) ثُم رَقى الثَالثة فَقال: (آمِينَ) فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ سَمعنَاك تَقولُ: (آمينَ) ثَلاث مَرات؟ قَالَ: (لَما رَقيتُ الدَّرجةَ الأُولى جَاءِني جِبريلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقال: شَقي عَبدٌ أَدركَ رمضانَ فانسَلخَ مِنهُ ولَم يُغفَر لَه فَقلتُ: آمِينَ، ثُم قَال شَقي عَبدٌ أَدرك والدَيهِ أَو أَحدَهُما فَلم يُدخِلاهُ الجنَّةَ. فَقلتُ: آمينَ. ثُم قَال شَقي عَبدٌ ذُكرتَ عِندهُ ولَم يُصلِ عَليك. فَقلتُ: آمينَ) رواه البخاري في الأدب المفرد 1:337

Bahwasanya suatu hari Nabi saw naik ke mimbar, ketika beliau menaiki tangga per tama beliau mengucapkan Amin, ketika menaiki tangga kedua beliau juga mengucapkan Amin, dan begitupula ketika menaiki tangga ketiga beliau mengucapkan Amin. Para sahabat kemudian bertanya: Ya Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Amin sebanyak tiga kali, (apakah gerangan yang terjadi ) ? Beliau lalu bersabda: Ketika saya menaiki tangga yang pertama Jibril as datang lalu berkata: Semoga kecelakaan menimpa seorang hamba yang menjumpai dan melewati bulan Ramadhan namun dia tidak diam puni, saya pun mengatakan Amin, Kemudian dia berkata: semoga kecelakaan menimpa seorang hamba yang sempat menjmpai kedua orang tuanya atau salah satu dari padanya (dalam keadaan masih hidup), namun keduanya tidak memasukkannya ke sorga (karena ia durhaka kepada nya), maka saya menjawab: Amin. Kemudian berkata: Semoga kecela kaan menimpa seorang hamba yang tidak mengucapkan shalawat kepadamu, ketika nama mu disebutkan di hadapannya, maka saya pun mengucapkan Amin (Bukhari dalam al-Ada bul Mufrad)

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad 1:237 dengan status Shahih Lighairihi (artinya shahih karena terangkat riwayat lain)

Riwayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa Nabi saw mengucap Amin ketika mendengar Jibril as berdoa, ini artinya pengaminan doa itu adalah sesuatu yang masyru` (di syari`atkan) berarti kita boleh mengamalkannya. Dan oleh karena dalam hal ini Nabi saw tidak memerintahkan pengaminan tersebut, maka status hukumnya adalah sunnah, sebab semata mata perbuatan Nabi saw apabila tidak diiringi dengan perintah maka hukumnya adalah sunnah.

Penjelasan Hukum Membaca Amiin Setelah Fatihah


Sholat merupakan rukun islam yang kedua, sebagaimana terdapat dalam hadits Jibril 'alaihissalam,

يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً

“Wahai Muhammad beritahukanlah aku apa itu Islam?” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tiada sesembahan yang benar disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah,engkau mengerjakan sholat, engkau menunaikan zakat (wajib bagimu‎), engkau berpuasa pada Bulan Romadhon, engkau melaksanakan haji ke Mekkah jika engkau mampu".‎

Bahkan Sholat merupakan pembeda orang kafir dan orang muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam,

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

“Sesungguhnya (pemisah) bagi seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat".

Shalat merupakan ibadah teragung dan menjadi standar dalam hisab bani Adam di akherat kelak. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pertama yang dihisab pada hamba di hari kiamat dari amalannya adalah shalat nya. Apabila bagus maka ia beruntung dan selamat dan bila rusak maka celaka dan merugi. Apabila kurang sempurna dari yang wajib maka Allâh berfirman: Lihatlah apakah hambaKu ini memiliki shalat sunnah guna menyempurnakan kekurangan yang wajib kemudian baru dihisab amaan-amalan lainnya. [HR. Tirmidzi]

Oleh karena itu, setiap muslim berkewajiban untuk memberikan perhatian serius dan menganggapnya sebagai urusan terpenting dalam hidupnya. Juga berusaha melaksanakannya sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah yang ditekankan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُوْا بِيْ وَلِتَعْلَمُوْا صَلاَتِي

Aku berbuat demikian semata untuk kalian ikuti dan supaya kalian mengetahui shalat ku.

Juga sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي

Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.

Diantara amalan dalam shalat yang perlu diperhatikan dan sering dianggap remeh oleh sebagian kaum Muslimin yaitu mengucapkan kata “amien” dalam shalat . Tentang urgensitas ucapan “amîn” ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Mengucapkan “amien” (ta’mîn) adalah perhiasan shalat seperti mengangkat kedua tangan yang merupakan perhiasan shalat. Juga termasuk mengikuti sunnah dan mengagungkan perintah Allâh.”

MAKNA TA’MIN
Ta’mien adalah bahasa arab yang bermakna mengucapkan kata “Amîn” (آمين) setelah selesai membaca al-Fâtihah dan ketika mendengar do’a orang lain. Menurut kebanyakan para ulama, kata “Amîn” (آمين) itu sendiri bermakna Ya Allâh kabulkanlah ! Imam Ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, “Menurut para ulama, kata “amîn” itu bermakna Ya Allâh kabulkanlah doa-doa kami. ‎

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Maknanya menurut mayoritas ulama adalah ya Allâh kabulkanlah dan ada yang menyatakan lain namun masih kembali semuanya kepada makna ini.

KEUTAMAAN TA’MIN (MENGUCAPKAN AMIN DALAM SHALAT DAN DOA).
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa ta’mîn adalah do’a (permohonan) dari orang yang mendengar do’a orang lain agar do’a itu dikabulkan oleh Allâh Azza wa Jalla. Namun tidak sebatas sebagai do’a, ta’mîn juga memiliki keutamaan yang banyak, diantaranya :

1. Menjadi sebab terampuninya dosa apabila ucapan amin itu bersamaan dengan aminnya para malaikat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya bersamaan dengan ucapan âmîn para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

2. Menjadi penebab terkabulnya do’a, seperti yang dijelaskan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ

Apabila kalian shalat maka luruskanlah shaf (barisan) kalian kemudian hendaknya salah seorang diantara kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL MAGHDHÛB BI’ALAIHIM WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya.

3. Yahudi iri dengan adanya ta’mîn pada kaum Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْيَهُوْدَ قَوْمٌ حَسَدٌ وَ إِنَّهُمْ لاَ يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى شَيْءٍ كَمَا يَحْسِدُوْنَنَا عَلَى السَّلاَمِ وَ عَلَى (آمِيْنَ )

Sesungguhnya yahudi adalah kaum yang penuh hasad dan mereka tidak hasad kepada kami tentang sesuatu yang melebihi hasadnya mereka kepada kita dalam salam dan ucapan âmîn.

SHIGHAT TA’MIN (BENTUK LAFAZH AMIN).
Para Ulama berbeda pendapat tentang lafazh âmîn yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kesimpulannya adalah :

1. Lafazh yang disepakati kebolehannya dan sesuai dengan sunnah yaitu mengucapkan âmîn dengan dua lafazh; Pertama, âmîn (آمِيْن) dengan memanjang huruf hamzah; dan kedua, amîn (أَمِيْن) dengan tanpa memanjang huruf hamzah.

2. Lafazh yang dianggap sama dengan yang lafazh yang diperbolehkan yaitu: âmîn (آمِيْن) dengan memanjangkan hamzah ataupun tidak dengan disertai imâlah.

3. Lafazh yang diperselisihkan kebolehannya dan membatalkan shalat. Ini ada dua lafazh: Pertama, Aammin (آمِّيْن) dengan memanjang suara hamzah disertai tasydîd pada huruf mim. Yang rajah, lafazh ini membatalkan shalat. Kedua, Aamin (آمِن) dengan memanjang suara hamzah disertai membuang huruf Ya’. Yang rajah, lafazh ini terlarang dan membatalkan shalat.

4. Lafazh yang disepakati tidak boleh, namun masih diperselisihkan, apakah membatalkan shalat ? Yaitu Ammîn (أَمِّيْن) dengan tidak memanjangkan suara hamzah disertai tasydiid pada huruf Mim.

5. Lafazh yang disepakati membatalkan shalat adalah aammin (آمِّن) dengan memanjangkan bacaan Hamzah lalu tasydid pada huruf Mim dan menghapus huruf Ya’ dan ammin (أَمِّن) dengan tanpa memanjangkan bacaan hamzah lalu tasydid pada huruf Mim serta menghapus huruf Ya’ serta amin (أَمِن) dengan tanpa memanjangkan huruf Hamzah, tanpa tasydid pada huruf Mim dan menghapus huruf Ya’.

TAMBAHAN KATA PADA PENGUCAPAN LAFAZH AMIN
Terkadang ada yang menambah ucapan âmîn dengan lafazh YA RABBAL ALAMÎN setelah selesai membaca al-Fâtihah. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, namun yang râjih adalah pendapat yang menyatakan tidak disunnahkan menambah dengan kata atau lafazh lainnya, dengan alasan :

1. Cukup dengan ucapan âmîn adalah suatu yang sudah sesuai dengan ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menambahkan satu katapun. Tindakan ini merupakan realisasi ittiba’ kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

2. Tidak ada satu hadits shahih pun yang menetapkan adanya tambahan tersebut. Dan ini juga tidak dilakukan oleh para sahabat semasa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal shalat dilakukan berulang kali, baik yang fardhu ataupun yang sunnah. Dan yang terbaik bagi kita yaitu menyesuaikan dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

3. Orang yang hanya mencukupkan diri dengan membaca âmîn tidak ada yang mencela dan tidak yang menilainya meninggalkan sunnah. Ini berbeda dengan orang yang menambah, maka mungkin ada orang yang menilainya tidak mengamalkan sunnah.

4. Sedangkan dalil yang dijadikan landasan pendapat orang yang membolehkan menambah lafazh dalam âmîn dan menganggapnya sebagai tambahan yang baik, seperti hadits Rifâ’ah bin Râfi’ Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ مِنْ الرَّكْعَةِ وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ الْمُتَكَلِّمُ آنِفًا فَقَالَ الرَّجُلُ أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهُنَّ أَوَّلُ

Pada suatu hari, Kami shalat dibelakang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kepalanya dari ruku’, dan membaca, “SAMI’ALLÂHU LIMAN HAMIDAH” maka ada seorang dibelakang beliau membaca, “RABBANÂ WALAKAL HAMDU HAMDAN KATSÎRAN THAYYIBAN MUBÂRAKAN FÎHI”. Ketika selesai shalat, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah yang berbicara tadi ?” Orang itu menjawab, “Aku, wahai Rasûlullâh!” Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku melihat lebih dari tiga puluh malaikat berlomba-lomba menjadi penulisnya pertama kali.”

Imam ibnu Abdilbarr rahimahullah menyatakan, “Semua dzikir berupa tahmîd, tahlîl dan takbîr diperbolehkan dalam shalat dan bukan ucapan yang membatalkan shalat, bahkan ia terpuji dan pelakunya disanjung berdasarkan dalil hadits ini.

Ini memang termasuk hal-hal yang sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebolehan menambah lafazh dzikir. Namun masalah ta’min adalah masalah khusus yang tidak ada dalil yang menjelaskan bolehnya menambahkan sesuatu padanya. Wallâhu a’lam.

HUKUM MEMBACA AMIN SETELAH AL-FAATIHAH
Membaca al-Fâtihah ada kalanya dalam shalat dan adakalanya diluar shalat. Dengan demikian maka hukum membaca âmîn setelah membaca al-Fâtihah dibagi dalam dua hukum, yaitu hukum membacanya diluar shalat dan didalam shalat.

1. Hukum Membaca Amîn Setelah Al-Fâtihah Diluar Shalat
Orang yang membaca surat al-Fâtihah disyari’atkan membaca âmîn setelahnya. Ibnu al-Humaam menyatakan, “Pensyari’atan mengucapkan âmîn setelah membaca al-Fâtihah. Ketahuilah bahwa sunnah yang shahih dan mutawatir dengan tegas menunjukkan hal tersebut.‎

Adapun dasarnya :
• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ : ( غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ ) فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ .

Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca : GHAIRIL MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan memanjangkan suaranya.

Nampak dalam hadits ini adanya pensyariatan ucapan âmîn setelah membaca al-Faatihah secara mutlak baik didalam shalat maupun diluarnya. Oleh karenanya imam ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Sahabat-sahabat kami (ulama madzhab Syafi’iyyah (pen)) dan selain mereka menyatakan bahwa disunnahkan hal itu pada orang yang membacanya diluar shalat dan lebih ditekankan lagi pada diri orang yang shalat, baik sendirian, sebagai imam ataupun sebagai makmum dan dalam segalakeadaan.

• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mengucapkan âmîn dan malaikat di langit juga mengucapkan âmîn lalu saling berbarengan maka diampuni dosanya yang telah lalu. [Muttafaqun ‘alaihi].

2. Hukum Membaca Âmîn Setelah Al-Faatihah Didalam Shalat
Sedangkan hukum membaca âmîn dalam shalat dapat di kategorikan dalam tiga sub pembahasan.

1. Ucapan Amîn Bagi Imam
Dalam masalah ini para Ulama memiliki dua pendapat. Mayoritas para Ulama memandang imam disyari’atkan membaca âmîn berbeda dengan imam Abu Hanîfah rahimahullah yang memandang imam disyari’atkan membacanya bahkan menurut beliau rahimahullah yang disyariatkan adalah makmum.

Yang râjih –insya Allâh- adalah pendapat mayoritas para Ulama dengan argument sebagai berikut :

• Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan amiin para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. An Nasa’i, no. 928; Ibnu Majah, no. 852. Al Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ berkata,
التَّأْمِينُ سُنَّةٌ لِكُلِّ مُصَلٍّ فَرَغَ مِنْ الْفَاتِحَةِ سَوَاءٌ الإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ , وَالْمُنْفَرِدُ , وَالرَّجُلُ وَالْمَرْأَةُ وَالصَّبِيُّ , وَالْقَائِمُ وَالْقَاعِدُ وَالْمُضْطَجِعُ ( أي لعذرٍ ) وَالْمُفْتَرِضُ وَالْمُتَنَفِّلُ فِي الصَّلاةِ السِّرِّيَّةِ وَالْجَهْرِيَّةِ وَلا خِلافَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا عِنْدَ أَصْحَابِنَا اهـ .
“Membaca aamiin disunnahkan bagi setiap orang yang shalat setelah membaca Al-Fatihah. Ini berlaku bagi imam, makmum, orang yang shalat sendirian, berlaku pula bagi laki-laki, perempuan dan anak-anak. Sama halnya pula berlaku bagi orang yang shalat sambil berdiri, sambil duduk, atau sambil berbaring karena adanya uzur. Membaca aamiin juga berlaku bagi orang yang melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah baik shalatnya sirr (bacaannya lirih) maupun shalat jaher (bacaannya keras). Yang disebutkan tadi tetap berlaku sama menurut ulama madzhab Syafi’i.” (Al-Majmu’, 3: 371)
Setelah menyampaikan hadits ini, Imam Ibnu Syihâb az-Zuhri rahimahullah menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengucapkan âmîn.

• Hadits Wâ’il bin Hujr Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقْرَأُ : ( غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ ) فَقَالَ : آمِيْنَ مَدَّ بِهَا صَوْتَهُ .

Aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca GHAIRIL MAGHDHÛBI ‘ALAIHIM WALADH-DHÂLÎN lalu beliau mengucapkan : âmîn dengan memanjangkan suaranya.

2. Pensyariatannya Bagi Makmum
Dalam masalah ini ada lima pendapat Ulama, yaitu :

• Pendapat mayoritas Ulama yang memandang makmum disyari’atkan mengucapkan âmîn secara mutlak baik dalam shalat siriyah maupun jahriyah

• Pendapat Imam Mâlik rahimahullah yang memandang makmum disyariatkan mengucapkan âmîn dalam shalat sirriyah dan dalam shalat jahriyah apabila mendengar imamnya membaca (وَلاَ الضَّالِّيْنَ).

• Pendapat sekelompok Ulama yang memandang tidak disyariatkan secara mutlak.

• Pendapat Imam Syâfi’i rahimahullah dalam al-qaulul jadîd (pendapat beliau rahimahullah setelah berada di mesir) yang memandang makmum tidak disyariatkan mengucapkan âmîn apabila imam telah mengucapkannya dengan jelas.

• Pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah yang memandang tidak disyariatkan dalam shalat sirriyah walaupun makmum mendengar imam mengucapkan amin.

Dari kelima pendapat ini, yang rajih adalah pendapat mayoritas Ulama karena dalil mereka kuat. Diantaranya hadits-hadits yang memerintahkan makmum mengucapkan âmîn , seperti dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Apabila imam mengucapkan ‘âmîn’ maka ucapkanlah ‘âmîn’, karena siapa yang ucapan âmînnya berbarengan dengan ucapan ‘âmîn para malaikat maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Juga sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَالَ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ. يُجِبْكُمُ اللَّهُ

Apabila kalian shalat maka luruskanlah barisan kalian kemudian hendaknya salah seorang kalian menjadi imam. Apabila imam bertakbir maka kalian bertakbir dan bila imam mengucapkan “GHAIRIL MAGHDHÛB BI’ALAIHIM WALAADH-DHÂLÎN” maka ucapkanlah: âmîn, niscaya Allâh mengabulkannya.

3. Pensyariatannya Bagi Orang Yang Shalat Sendirian.
Dalam masalah ini pun para Ulama berselisih dalam dua pendapat, yaitu:

• Mayoritas Ulama mensyariatkan orang yang shalat sendiri mengucapkan amin .
• Imam Malik rahimahullah dalam salah satu riwayatnya memandang tidak disyariatkannya dalam shalat sendirian.

Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat mayoritas Ulama karena kuatnya dalil mereka, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ أَحَدُكُمْ آمِينَ وَقَالَتْ الْمَلَائِكَةُ فِي السَّمَاءِ آمِينَ فَوَافَقَتْ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian mengucapkan âmîn dan malaikat di langit juga mengucapkan âmîn lalu saling berbarengan maka diampuni dosanya yang telah lalu. [Muttafaqun ‘alaihi]

Hadits ini bersifat umum, juga mencakup orang yang shalat sendirian. Wallahu a’lam.

Apakah Perempuan Juga Mengeraskan Suara Amin?

Kenapa hal ini ditanyakan, karena saat menegur imam yang keliru, laki-laki mengucapkan ‘subhanallah’, sedangkan perempuan menepuk punggung telapak tangan. Ini menunjukkan bahwa suara wanita tidak dianjurkan dalam hal itu.
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
“Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR. Bukhari, no. 7190; Muslim no. 421)
Bagaimana dengan mengucapkan aamiin jika perempuan ikut dalam shalat berjamaah?
Ibnu Hajar berkata,
وكان منع النساء من التسبيح لأنها مأمورة بخفض صوتها في الصلاة مطلقا لما يخشى من الافتتان ومنع الرجال من التصفيق لأنه من شأن النساء اهـ
“Wanita tidak diperkenankan mengucapkan ‘subhanallah’ ketika ingin mengingatkan imam, wanita diperintahkan untuk memelankan suaranya dalam shalat. Hal ini dikarenakan takut menimbulkan godaan. Sedangkan laki-laki dilarang menepuk punggung telapak tangan karena yang diperintahkan adalah perempuan.” (Fath Al-Bari, 3: 77)
Imam Nawawi berkata,
Menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah, untuk wanita saat ia shalat sendirian atau ia shalat bersama wanita lainnya atau ada laki-laki mahram bersamanya, maka ia mengeraskan bacaan. Hal tadi berlaku jika ia shalat sendirian atau bersama wanita lainnya.
Adapun jika ia shalat dan hadir di situ laki-laki asing (bukan mahram), ia melirihkan bacaan. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Al-Qadhi Abu Ath-Thayyib mengatakan bahwa dalam masalah mengeraskan atau melirihkan ucapan takbir sama dengan pembahasan hukum mengeraskan atau melirihkan bacaan surat dalam shalat. (Al-Majmu’,: 3: 390)
Kesimpulannya, boleh bagi wanita mengeraskan bacaan surat dan aamiin dalam shalat kecuali jika ia shalat sendirian dan di situ ada laki-laki asing (bukan mahram).
Dalil-dalil yang ada, tidak membedakan antara makmum perempuan dan lelaki. Demikian juga tidak ada larangan membaca keras bagi makmum perempuan, apalagi bila ia bermakmum kepada suaminya yang sudah barang tentu tidak ada kekhawatiran akan menimbulkan fitnah.
Sebagian pendapat mungkin melarang kaum perempuan membaca keras aamiin ketika berjamaah, ini semata untuk berhati-hati dan menghindarkan fitnah, misalnya akibat suara perempuan yang keras tersebut sehingga membuyarkan konsentrasi makmum lelaki yang di  dekatnya.
Demikian ringkasan dari pendapat para Ulama seputar hukum membaca amin setelah bacaan al-Faatihah, semoga bermanfaat.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...