Senin, 25 Oktober 2021

Imam Nashiruddin Al-Baidhowi Dan Penafsiran Al-Qur'an

  

Dalam studi Al-Qur’an, nama al-Baidhawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat popular baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam. Populeritas kitab Tafsir al-Baidhawi di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir al-Baidhawi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata.
Dan atas karunia Allah SWT, kitab ini diterima dengan baik dikalangan jumhur. Diantara meraka ada yang menjadikannya sebagai pijakan dengan melakukan kajian kritis, ada mengerumuninya untuk mengkaji dan membuat hasyiyah (komentar) terhadapnya. Ada yang membuat hasyiyah secara lengkap, ada yang membuatnya untuk sebagian dari kitab tafsir tersebut. Para ulama memberikan perhatian yang besar terhadap tafsir ini. Sehingga banyak sekali hasyiyah dari para ulama yang datang setelahnya. Kalau Al-Dzahabi memperkirakan jumlah komentar terhadap kitab tafsir al-Baidhawi itu sekitar empat puluhan, Edwin Calverley menyebutkan sekitar delapan puluhan, dan ada juga yang menyebutkan lebih dari 120, maka penelitian yang dilakukan oleh Al-Majma’ Al-Malaki telah menemukan lebih dari tiga ratus hasyiyah mendasarkan komentarnya pada tafsir al-Baidhawi. Di Indonesia pun, kitab tafsir ini juga digunakan oleh berbagai Pesantren. Isinya yang cenderung mendukung pandangan-pandangan Asy’ariyah dan juga Sunniy tampaknya yang membuat kitab tafsir ini diterima dengan baik oleh kalangan Pesantren.
Biografi Imam Baidhowi
Al-Imam al-Qadhi al-Mufassir Nashiruddin Abu Sa`id Abu al-Khair Abdullah bin Abi al-Qasim Umar bin Muhammad bin Abi al-Hasan Ali al-Baidlawi asy-Syirazi asy-Syafi`i (bahasa Arab:

 الإمام القاضي المفسر ناصر الدين أبو سعيد أو أبو الخير عبد الله بن أبي القاسم عمر بن محمد بن أبي الحسن علي البيضاوي الشيرازي الشافعي)

 lahir di al-Baidha', Persia pada awal abad ke-7 Hwafat di Tabriz pada tahun 685 H/1292, namun sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 691 H, adalah seorang ulama di bidang Fikih, Ushul Fiqih,Ilmu Kalam, Hadits, Tafsir dan Nahwu. Karena ia lahir di kota al-Baidla` maka ia dinisbatkan sebagai al-Baidlawi (Orang al-Baidla').
Imam al-Baidlawi memiliki banyak guru, di antaranya:
Ayahnya, Al-Imam Abu al-Qasim Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidlawi (Wafat pada tahun 672 H), ia mempelajari darinya fikih mazhab syafi'i, ayahnya adalah seorang Qadhi di Syiraz dan terkenal atas keilmuan dan ketakwaannya, ayahnya sangat memberikan pengaruh terhadap al-Baidlawi, dan ia menulis perkataan-perkataan ayahnya di dalam karya-karyanya.
Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Kahta'i ash-Shufi, Sahabat al-Baidlawi, ia belajar darinya tentang zuhud dan ibadah.
Asy-Syaikh Syarafuddin Umar al-Busykani az-Zaki (wafat pada tahun 680H), merupakan salah satu ulama besar.
Imam al-Baidlawi memiliki banyak murid, di antaranya:
Asy-Syaikh al-Imam Fakhruddin Abu al-Makarim Ahmad bin al-Hasan al-Jarbardi (Wafat pada tahun 746 H
Asy-Syaikh Jamaluddin Muhammad bin Abi Bakr bin Muhammad al-Muqri'
Asy-Syaikh Ruhuddin bin asy-Syaikh Jalaluddin ath-Thayyar
Al-Qadhi Zainuddin Ali bin Ruzbiha bin Muhammad al-Khanaji (Wafat pada tahun 707 H
Al-Qadhi Ruhuddin Abu al-Ma`ali (Wafat pada tahun 735 H
Tajuddin al-Hanaki
al-Baidawi adalah seorang ulama multidisipliner dalam  ilmu pengetahuan, yaitu ahli dalam bidang tafsir, bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, teologi, dan mantiq. Iapun merupakan sosok yang pandai berdebat dan sangat menguasai etika berdiskusi, sehingga pantaslah ia mendapatkan gelar nazzar atau mutabahhir fi maida fursan al-kalam. Al-Baidhawi merupakan salah satu pengikut madzhab syafi’iyah dalam bidang fiqh dan ushul fiqh serta menganut konsep teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Sesuai dengan jabatan dan keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan, al-Baidawi dapat disebut sebagai sosok yang unggul dalam masyarakatnya. Salah satu bukti kepandaiannya adalah pujian yang diteriama beliau, yaitu Nasir al-Din (penolong agama). Al-Baidawi hidup dalam keadaan politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk kekuasaan pada saat itu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun juga sikap hedonis dan boros dari para pejabat yang berkuasa. Nampaknya hal inilah yang melatarbelakangi pengunduran diri al-Baidawi dari jabatan hakim agung. Intervensi dari penguasa terhadap lembaga peradilan yang begitu kuat membuat kekhawatiran tersendiri bagi banyak fuqaha’, termasuk al-Baidawi. Mereka khawatir jika diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Keputusan al-Baidawi ini juga dipengaruhi oleh nasihat yang diberikan oleh pembimbing spiritualnya, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Khata’i agar al-Baidawi tidak lagi bersentuhan dengan lembaga hukum.
Setelah melepaskan jabatannya sebagai hakim di daerah Syiraz, al-Baidawi mengembara ke Tabriz dan berguru pada ulama setempat. Ia singgah di sebuah majlis dars bagi para pembesar setempat. Karena kehebatan beliau, banyak diantara pembesar setempat memujinya. Dikota inilah beliau mengarang kitab tafsir yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Beliau menetap di kota ini hingga ajal menjemputnya. Ada perbedaan diantara ulama tentang tahun wafat beliau, antara lain al-Subki dan Asnawi menyatakan bahwa al-Baidawi wafat pada tahun 691 M, sedangkan Ibnu Kasir menyatakan bahwa beliau wafat tahun 685 M.
Sebagai seorang ulama yang terkemuka, al-Baidawi telah menghasilkan banyak karya tulis diberbagai bidang keilmuan. Karya-karya tesebut antara lain:
Tafsir yang bernama Anwar at-Tanzir wa Asrar at-Ta'wil, Tafsir ini dikenal dengan nama Tafsir al-Baidlawi
Minhaj al-Wushul ila Ilmi al-Ushul, dalam bidang ushul fiqih
Thawali` al-Anwar fi Ushuliddin), dalam bidang ilmu kalam
Al-Ghayatu al-Qashwa fi Dirayati al-Fatwa `ala Madzhab asy-Syafi`iyyah
Syarh al-Mahshul fi Ushul al-Fiqh ar-Razi, dalam bidang ushul fiqih‎
Mirshad al-Afham ila Mabadi' al-Ahkam, Syarh Mukhtashar Ibnu al-Hajib, dalam bidang ushul fiqih
Syarh at-Tanbih Abu Ishaq asy-Syirazi, dalam bidang fikih, kitab ini terdiri dari 4 jilid
Syarh al-Muntakhab fi Ushul al-Fiqh al-Imam Fakhruddin ar-Razi
Lubb al-Lubab fi 'ilmi al-I`rab merupakan ringkasan Kafiyah Ibnu al-Hajib
Al-Adzkiya
Mishbah al-Arwah fi al-Kalam
Muntaha al-Muna fi Syarhi al-Asma' al-Husna
Tuhfatu al-Abrar fi Syarhi Mashabih as-Sunnah al-Baghawi
Risalah fi Maudhu`at al-`Ulum wa Ta`arifuha
Nizhamu at-Tawarikh, menceritakan sejarah negeri Persia dan ia tulis dalam bahasa Persia
Tasbi` al-Burdah yang dinamakan Al-Kawakib ad-Dariyyah Tasbi` al-Burdah al-Bushairiyyah fi Madhi Khairi al-Bariyyah
Wafatnya Sang Imam
Ia wafat pada tahun 685 H/1292, dan ada sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 691 H. Quthbuddin asy-Syirazi mewasiatkan agar al-Baidlawi dimakamkan disebelahnya, maka ia dimakamkan di sebelahnya di Kharandab,Tabriz.
Seputar Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil
a.      Latar Belakang Penulisan
Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”. Alasan al-Baidawi menulis kitab ini adalah sebagaimana yang beliau tuliskan dalam muqaddimah kitab bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya. Tafsir merupakan pemimpin, fondasi, dan dasar bagi ilmu-ilmu agama yang lainnya.
b.     Bentuk dan Sistematika Penafsiran
Kitab tafsir al-Baidawi ini merupakan salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan penafsiran bi al-ma’sur dengan bi al-ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, al-Baidawi tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi yang menjadi ciri khas penafsiran bi al-ma’sur, tapi juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya ataupun argumentasinya. Model seperti ini dinilai dapat mempermudah pemahaman dan pengamalan akan petunjuk kitab suci tersebut, karena mufasir tidak hanya mengutip pendapat ulama terdahulu, melainkan juga menggunakan tinjauan dari pengetahuannya sendiri.
Kitab ini, sebagaimana yang dipaparkan al-Zahabi, merupakan kitab hasil ringkasan dari tafsir al-Kasysyaf dengan meninggalkan unsur-unsur kemu’tazilahan yang terdapat dalam kitab al-Kasysyaf. Namun, terkadang beliau juga mengambil pendapat dari Shahib al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari. Selain bertolak pada kitab ini, al-Baidawi juga menggunakan kitab tafsir al-Razy dan juga al-Ashfahani. Terlepas dari pendapat al-Zahabi dan Haji Khalifah tersebut, dalam muqadimahnya, al-Baidawi menyebutkan bahwa ada dua macam sumber yang dijadikan rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama, berdasarkan qaul para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama salaf. Kedua, qaul yang terdapat kitab tafsir sebelumnya. Beliau menerapkan hal ini memang  sebagai salah satu upaya untuk mensarikan pendapat ulama-ulama sebelumnya. Disamping itu, beliau juga memberikan pandangannya sendiri dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sehingga pantaslah beliau menyatakan bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbat yang beliau lakukan sendiri.
Dari segi sistematika penyusunannya, kitab tafsir ini diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentang kemu’jizatan al-Qur’an, signifikasi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian uraian penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan metode al-Baidawi tersendiri. Di akhir kitabnya, al-Baidhawi menjelaskan tentang keunggulan kitab karyanya, mengungkapkan harapan agar kitab ini bisa dimanfaatkan oleh pelajar. Bacaan ‎tahmid dan shalawat menjadi penutup dari kitab ini.
c.       Metode Penafsiran
Tafsir al-Baidhawi ini menggunakan metodologi tahlili (analitis), berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari al-Fatihah sampai al-Nas. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau menggunakan berbagai sumber, antara lain ayat al-Qur’an, hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Selain itu, penggunaan tata bahasa dan qira’at juga menjadi suplemen utama guna penguatan analisis dan penafsiran al-Baidawi. Keberadaan cerita-cerita israiliyat dapat ditemukan walau penggunaanya diminimalisir oleh al-Baidawi.
Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. 
Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ زماناً غير مديد يريد به الدلالة على سرعة رجوعه خوفاً منه، وقرأ عاصم بفتح الكاف. فَقالَ أَحَطْتُ بِما لَمْ تُحِطْ بِهِ يعني حال سبأ، وفي مخاطبته إياه بذلك تنبيه له على أن في أدنى خلق الله تعالى من أحاط علماً بما لم يحط به لتتحاقر إليه نفسه ويتصاغر لديه علمه، وقرئ بإدغام الطاء في التاء بإطباق وبغير إطباق. وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ وقرأ ابن كثير برواية البزي وأبو عمرو وغير مصروف على تأويل القبيلة أو البلدة والقواس بهمزة ساكنة. بِنَبَإٍ يَقِينٍ بخبر متحقق
روي أنه عليه الصلاة والسلام لما أتم بناء بيت المقدس تجهز للحج فوافى الحرم وأقام بها ما شاء، ثم توجه إلى اليمن فخرج من مكة صباحاً فوافى صنعاء ظهيرة فأعجبته نزاهة أرضها فنزل بها ثم لم يجد الماء. وكان الهدهد رائده لأنه يحسن طلب الماء.
فتفقده لذلك فلم يجده إذ حلق حين نزل سليمان فرأى هدهداً واقعاً فانحط إليه فتواصفا وطار معه لينظر ما وصف له، ثم رجع بعد العصر وحكى ما حكى، ولعل في عجائب قدرة الله وما خص به خاصة عباده أشياء أعظم من ذلك يستكبرها من يعرفها ويستنكرها من ينكرها.

"Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya.
Adapun langkah operasional penafsiran al-Baidhawi dalam kitabnya ialah mula-mula al-Baidhawi menyebutkan tempat turun surat (Makki atau Madani) beserta jumlah ayat yang menjadi obyek. Penjelasan makna ayat baik menggunakan analisis kebahasaan, hadis nabi, maupun qira’ah menjadi langkah selanjutnya yang diterapkan al-Baidhawi. Pada bagian akhir surat, beliau menyertakan hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan surat yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut, al-Baidawi juga menggunakan metode munasabah ayat antara suatu ayat dengan ayat lain.
d.     Corak Penafsiran
Sebagaimana yang al-Zahabi kutip dari shahib al-kasyf al-Zunun, bahwa al-Baidawi dalam menulis tafsirnya merujuk pada al-Zamakhsyari dalam hal I’rab, Ma’ani, dan Bayan, al-Razy dalam hal filsafat dan kalam, jugapada al-Ashfahani dalam hal asal-usul kata.
Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya.Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.
Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah: 275;

الَّذِينَ يَأْكُلوُنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ

Kadang pula, beliau mengemukakan pandangan kaum muktazilah, namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan madzhab ahlus-sunnah. Seperti halnya ketika beliau menafsirkan surat Al-Baqarah:2-3:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ{2} الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3}

Sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka”.
Setelah memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba untuk mengemukakan makna ”iman” dan ”munafik” menurut pandangan madzhab ahlus-sunnah, mu’tazilah, dan khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih pandangan masdzhab Ahlus-sunnah.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.
Di samping itu, al-Baidhawi memberikan perhatian terhadap ayat-ayat alam semesta (ayat al-kauniyyah). Ketika menjumpai ayat-ayat semacam itu, beliau tidak sampai membiarkannya tanpa memberikan penjelasan yang panjang lebar untuk menerangkan hal-hal yang menyangkut alam semesta dan ilmu-ilmu kealaman. Hal inilah yang menguatkan perkiraan al-Dzahabi bahwa dalam hal seperti ini al-Baidhawi terpengaruh oleh penafsiran Fakhruddin ar-Raziy. Sebagai contoh ketika beliau menafsirkan Qs. Al-Shaffat: 10;
فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ{10} ”

Maka ia diburu oleh bola api yang menyala-nyala serta menyilaukan”
Dalam hal ini beliau memberikan penjelasan tentang apa yang disebut dengan syihab (bola api) dalam ayat tersebut. Al-Baidhawi menyebutkan bahwa ”Dikatakan bahwa bola api itu adalah uap yang menguap kemudian menyala.
Dari segi sistematika penyusunan, kitab tafsir yang terdiri dari jilid ini, diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentnag kemukjizatan Al-Qur’an, signifikansi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian diuraikan penafsirannya terhadap Al-Qur’an. Di akhir kitab tafsirnya, al-Baidhawi berupaya untuk ”mempromosikan” keunggulan dan kehebatan tafsirnya yang dikemas dengan menggunakan bahasa yang singkat dan praktis dengan harapan agar dapat dikonsumsi secara mudah oleh para pemabaca. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup kitab tafsir ini. Tafsir ini memperlihatkan kepenguasaan dan kedalaman ilmu pengarangnya, tetapi juga bercorak ringkas. Beliau tidak mencantumkan satu kata pun jika tanpa adanya pertimbangan. Karena itu banyak ditulis catatan pinggir (hasyiyah) untuk menerangkan kepelikan-kepelikannya dan menguraikan rumusan-rumusannya. Diantara catatan-catatan pinggir tersebut adalah catatan pinggir Imam Syihab al-Khalaji, hasyiyah Zadah, dan hasyiyah Al-Nawawi. Banyaknya hasyiyah ini mengindikasikan sangat ringkasnya kitab tafsir al-Baidhawi ini.
Kitab tafsir ini dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar) terhadapnya.
Isinya dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i.
Metode penafsirannya dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.

Penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi, al-Baidhawi meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut adz-Dzahabi. Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik Ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.


Antara Jenggot Dan Kecerdasan


Dewasa ini banyak muncul tulisan (terutama kalangan Salafi-Wahabi) yang membahas tentang kewajiban memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya. Sebenarnya isi tulisan tersebut tidak perlu dipersoalkan selama masih dalam koridor ijtihad masing-masing umat Islam dan itu didukung oleh argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun kita tidak sependapat dengan kesimpulan argumentasi yang dikemukakannya. Namun ini menjadi masalah ketika orang yang berpendapat wajib  memelihara jenggot dan menganggap haram dan bid’ah mencukurnya mengklaim bahwa pendapat tersebut merupakan ijmak ulama, dimana konsekwensinya, maka barangsiapa yang menyalahinya, maka ia telah menyalahi ijmak, pelaku bid’ah dan kemungkaran yang wajib dicegah serta merupakan pendapat sesat dan menyesatkan. Ini tentu sangat berbahaya bagi akidah umat Islam, karena itu, melalui tulisan ini penulis mencoba menempatkan masalah ini (hukum memelihara dan mencukur jenggot) pada posisi yang sebenarnya dengan mengutip pendapat ulama-ulama mazhab dan ahli ilmu. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi bermanfaat bagi kita semuanya, Amin ..!

Yang lagi ramai di bicarakan Antara Jenggot Dan Kecerdasan 

ومن علامات لا تخطئ طول اللحية, فان صاحبها لا يخلو من الحمق

Termasuk setengah dari tanda-tanda yang tidak mungkin salah adalah panjangnya jenggot, Maka sesunggungya orang yang memiliki jenggot yang panjang, adalah pasti seorang yang tolol (pandir).

وقد روي أنه مكتوب في التورة: ان اللحية مخرجها من الدماغ, فمن أفرط عليه طولها في قل دماغه, ومن قل دماغه قل عقله, ومن قل عقله كان أحمق

Sungguh telah diriwayatkan bahwasanya tertulis di dalam kitab Taurat: “Sesungguhnya jenggot, tempat keluarnya adalah otak, barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya, maka sedikit otaknya, barangsiapa yang sedikit otaknya, sedikit kecerdasannya, dan barangsiapa yang sedikit kecerdasannya, maka orang tersebut adalah orang yang tolol (pandir)”.

قال بعض الحكماء: الحمق سماد اللحية, فمن طالت لحيته كثر حمقه

Sebagian ulama ahli hikmah menyatakan: Ketololan adalah pupuk bagi jenggot, barangsiapa yang panjang jenggotnya maka banyak ketololannya.

قال بعض الشعراء
Sebagian penyair menyampaikan:
اذا عرضت للفتى لحية ** وطالت وصارت الى سرته


فنقصان عقل الفتى عندنا ** بمقدار ما زاد في لحيته

Jika jenggot tampak pada seorang pemuda ** dan jenggot tersebut panjang dan sampai pada pusarnya
Maka (hal tersebut) menunjukkan sedikitnya kecerdasan pemuda tersebut menurut kami ** Seukuran dengan apa yang tambah dari panjang jenggotnya.

Dinukil dari keterangan yang disampaikan oleh al-Imam al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi al-Baghdadi di dalam kitabnya Akhbar al-Khumqo wa al-Mughoffalin. Oleh karena itu, maka jagalah jenggotmu

Salah pemahaman bisa radikal, apalagi bacanya tidak sambil di kaji.
Jenggot dan Kumis‎

Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia menfatwakan haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga panjang secara alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram, sementara masalah ini termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu.

Berikut ini kita tampilkan hadis dan atsar dalam masalah ini: 

جَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوْا اللُّحَى خَالِفُوْا الْمَجُوْسَ
(أخرجه مسلم رقم 260 عن أبى هريرة)

“Cukurlah kumis kalian dan biarkan jenggot kalian. Berbedalah dengan Majusi” (HR Muslim No 26o dari Abu Hurairah) 

أَعْفُوْا اللُّحَى وَجَزُّوْا الشَّوَارِبَ وَغَيِّرُوْا شَيْبَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى
(أخرجه أحمد رقم 8657 والبيهقى رقم 673 عن أبى هريرة ، قال المناوى : بإسناد جيد)

“Biarkan jenggot kalian, potong kumis kalian, rubahlah uban kalian dan janganlah kalian menyamai dengan Yahudi dan Nashrani” (HR Ahmad No 8657 dan Baihaqi No 673 dari Abu Hurairah, sanadnya jayid) 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
(رواه البخاري رقم 5892 ومسلم رقم 259) 

“Berbedalah kalian semua dengan Musyrikin. rawatlah jenggot kalian dan cukurlah kumis kalian” (HR Bukhari No 5892 dan Muslim No 259 dari Ibnu Umar)
Dalam riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas: 

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
(رواه البخاري رقم 5892)

“Ibnu Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi (genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 5892) 

al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain: 

وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ : عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه
(فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)

“Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)

Dalam riwayat berbeda dinyatakan:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ
(ابو داود . إسناده حسن اهـ فتح الباري 350/10)

Dari Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)

Ahli hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata: 

وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُك
(عون المعبود ج 9 / ص 246)

“Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)

Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.

Imam an-Nawawi berkata: 

( وَفِّرُوا اللِّحَى ) 
فَحَصَلَ خَمْس رِوَايَات : أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا ، وَمَعْنَاهَا كُلّهَا : تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا . هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه ، وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا ، وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن 
(شرح النووي على مسلم - ج 1 / ص 418)

“Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus” (Syarah Muslim 1/418)

Dengan demikian, dapat disimpulkan: 

«حَلْقُ اللِّحْيَةِ» ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا ...... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ : أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ 
(الموسوعة الفقهية ج 2 / ص 12894)

“Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah, Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapa yang lebih unggul dalam madzhab Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)
Sayidina Umar Berkumis 

عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضَبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح خلا عبد الله بن أحمد وهو ثقة مأمون إلا أن عامر بن عبد الله بن الزبير لم يدرك عمر اهـ
(مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 200)

“Diriwayatkan dari Amir bin Abdillah bin Zubair bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya dan meniup” (Riwayat Thabrani, para perawinya sahih, selain Abdullah bin Ahmad, ia terpercaya dan dipercaya. Hanya saja Amin bin Abdullah bin Zubair tidak menjumpai Umar)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: 
وَقَدْ رَوَى مَالِك عَنْ زَيْد بْن أَسْلَمَ " أَنَّ عُمَر كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبه " فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرهُ . وَحَكَى اِبْن دَقِيق الْعِيد عَنْ بَعْض الْحَنَفِيَّة أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْس بِإِبْقَاءِ الشَّوَارِب فِي الْحَرْب إِرْهَابًا لِلْعَدُوِّ وَزَيَّفَهُ 
(فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 479)
“Malik benar-benar telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya. Ini menunjukkan bahwa Umar memanjangkan kumisnya. Ibnu Daqiq al-Iid mengutip dari sebagian ulama Hanafiyah, bahwa: Tidak apa-apa merawat kumis saat perang, untuk menakuti musuh” (Fath al-Baarii 16/479)

PERBEDAAN MADZHAB SYAFI’I VERSI SYAFI’IYAH DENGAN MADZHAB SYAFI’I VERSI WAHABI TENTANG JENGGOT
“Merupakan perkara yang aneh adalah semangatnya sebagian ustadz dan kiyai (yang mengaku bermadzhab syafi'iyah) untuk memangkas habis jenggot mereka…, bahkan sebagian mereka mencela orang yang memanjangkan jenggotnya, atau mengecapnya sebagai teroris. Padahal Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah mengharamkan mencukur habis jenggot.”

“Mencukur habis jenggot itu hukumnya dipersesihkan oleh para ulama, antara yang mengatakan makruh dan yang mengatakan haram. Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i sendiri adalah makruh, bukan haram.”

“Ibnu Hazm azh-Zhohiri -rohimahulloh-:
اتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا يجوز

Para ulama telah sepakat, bahwa sesungguhnya menggundul jenggot termasuk tindakan mutslah, itu tidak diperbolehkan. (Marotibul Ijma’ 157)”

“Alasan bahwa menggundul jenggot itu makruh bukan karena tindakan mutslah, tetapi karena agar mukholafah/berbeda dengan kaum Majusi. Sedangkan alasan mutslah itu pendapat Ibnu Hazm sendiri. Dalam hadits-hadits shahih diterangkan, bahwa alasan melarang menggundul jenggot itu karena agar mukholafah dengan kaum Majusi. Karena itu, memberikan ‘illat mutslah dalam masalah ini sangatlah tidak tepat, karena sdh ada nash dari Syari’ dalam hadits-hadits shahih.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rohimahulloh-:

يحرم حلق اللحية للأحاديث الصحيحة ولم يبحه أحد

Menggundul jenggot itu diharamkan, karena adanya hadits-hadits shohih (tentang itu), dan tidak ada seorang pun yang membolehkannya. (Ushulul Ahkam 1/37, Ikhtiyarot Syaikhil Islam Ibni Taimiyah 19)”.

“Informasi dari Syaikh Ibnu Taimiyah masih perlu dikaji. Beliau pengikut madzhab Hanbali. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal sendiri, masih memakruhkan menggundul habis jenggot, bukan mengharamkan. Dalam hal ini, al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah, guru Syaikh Ibnu Taimiyah, dan rujukan kaum Hanabilah berkata:
فَأَمَّا حَفُّ الْوَجْهِ فَقَالَ : مُهَنَّا سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَنِ الْحَفِّ فَقَالَ : لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ.

“Adapun menghilangkan rambut dari wajah, maka Muhannad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang menghilangkan rambut dari wajah, maka beliau berkata: “Tidak ada-apa bagi kaum wanita dan aku memakruhkannya bagi kaum laki-laki.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 1 hal. 105).

Dari kutipan di atas, sepertinya Syaikh Ibnu Taimiyah lupa atau memang tidak tahu terhadap hukum menggundul jenggot menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi. Karenanya, ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang membolehkan atau tidak mengharamkan. Padahal Imam Ahmad sendiri dan Ibnu Qudamah memakruhkan.”

Abul Hasan al-Qoththon al-Maliki -rohimahulloh-:

واتفقوا على أن حلق اللحية مثلة لا تجوز

Para ulama sepakat bahwa sesungguhnya menggundul jenggot, termasuk tindakan mutslah yang tidak diperbolehkan. (al-Iqna’ fi Masailil Ijma’ 2/3953)”.

“Pernyataan tersebut sepertinya mengutip dari Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’. Dan kesepakatan di sini masih kontroversi, mengingat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan makruh dalam riwayat di atas.”
“Imam Asy-Syafi’i -rohimahulloh- mengatakan:
ولا يأخذ من شعر رأسه ولا لحيته شيئا لان ذلك إنما يؤخذ زينة أو نسكا

“Ia (orang yang memandikan mayat) tidak boleh memangkas rambut kepala maupun jenggotnya si mayat, karena kedua rambut itu hanya boleh diambil untuk menghias diri dan ketika ibadah manasik saja”. (al-Umm 2/640)”.

“Tidak ada pengikut madzhab Syafi’i yang berbuat apa pun kepada mayat seperti menggundul rambut kepalanya, apalagi jenggotnya. Bahkan pengikut madzhab Syafi’i sangat taat terhadap Imam Syafi’i yang menganjurkan membaca al-Qur’an di kuburan. Ibnu Qayyimil Jauziyyah, murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah,  berkata dalam al-Ruh:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوْا أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ يُرْوَى أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُوْرَةُ الْبَقَرَةِ وَمِمَّنْ رَأَى ذَلِكَ الْمُعَلَّى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِيْ الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِىْ عَلِى بْنِ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقاً قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ وَمُحَمَّد بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِىِّ فِيْ جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنِ قُدَامَةَ لأَحْمَدِ بْنِ حَنْبَلٍ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِيْ مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيِّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِيْ مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاَءِ اللَّجْلاَجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِيْ بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ. وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَاحِ الزَّعْفَرَانِيُّ سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا وَذَكَرَ الْخَلاَّلُ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ كَانَتِ اْلأَنْصَارُ إِذَا مَاتَ لَهُمُ الْمَيِّتُ اخْتَلَفُوْا إِلَى قَبْرِهِ يَقْرَءُوْنَ عِنْدَهُ الْقُرْآنَ. (ابن قيم الجوزية، الروح، ص/١٨٦-١٨٧).

“Telah disebutkan dari sekelompok ulama salaf, bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an di sisi makam mereka ketika pemakaman. Imam Abdul Haqq berkata, diriwayatkan dari Ibn Umar bahwa beliau berwasiat agar dibacakan surat al-Baqarah di sisi makamnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman. Al-Khallal berkata, “al-Hasan bin Ahmad al-Warraq mengabarkan kepadaku, “Ali bin Musa al-Haddad mengabarkan kepadaku, dan dia seorang yang dipercaya. Ia berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari, ketika mengantar jenazah. Setelah mayit dimakamkan, seorang laki-laki tuna netra membaca al-Qur’an di samping makam itu. Lalu Ahmad berkata kepadanya, “Hai laki-laki, sesungguhnya membaca al-Qur’an di samping makam itu bid’ah.” Setelah kami keluar dari makam, Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat Anda tentang Mubasysyir al-Halabi?” Ia menjawab, “Dia perawi yang tsiqah (dapat dipercaya)”. Muhammad bin Qudamah berkata, “Anda menulis riwayat darinya?” Ahmad menjawab, “Ya.” Muhammad bin Qudamah berkata, “Mubasysyir mengabarkan kepadaku, dari Abdurrahman bin al-‘Ala’ al-Lajlaj, dari ayahnya, bahwasanya ia berwasiat, apabila ia dimakamkan, agar dibacakan permulaan dan penutup surat al-Baqarah di sebelah kepalanya. Ia berkata, “Aku mendengar Ibn Umar berwasiat demikian.” Lalu Ahmad berkata kepada Muhammad bin Qudamah, “Kembalilah, dan katakan kepada laki-laki tadi, agar membaca al-Qur’an di samping makam itu.” Al-Hasan bin al-Shabah al-Za’farani berkata, “Aku bertanya kepada al-Syafi’i tentang membaca al-Qur’an di samping kuburan, lalu ia menjawab, tidak apa-apa.” Al-Khallal meriwayatkan dari al-Sya’bi yang berkata, “Kaum Anshar apabila keluarga mereka ada yang meninggal, maka mereka selalu mendatangi makamnya untuk membacakan al-Qur’an di sampingnya.” (Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, al-Ruh, hal. 186-187).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga menyampaikan beberapa riwayat dalam kitabnya Ahkam Tamanni al-Maut berikut ini:‎

وَأَخْرَجَ سَعْدٌ الزَّنْجَانِيُّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَأَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، ثُمَّ قَالَ: إِنِّيْ جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ لأَهْلِ الْمَقَابِرِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ إِلَى اللهِ تَعَالَى. وَأَخْرَجَ عَبْدُ الْعَزِيْزِ صَاحِبُ الْخَلاَّلِ بِسَنَدِهِ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوْعًا: مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ، فَقَرَأَ سُوْرَةَ يس، خَفَّفَ اللهُ عَنْهُمْ، وَكَانَ لَهُ بِعَدَدِ مَنْ فِيْهَا حَسَناَتٌ. (الشيخ محمد بن عبد الوهاب النجدي، أحكام تمني الموت (ص/٧٥).

“Sa’ad al-Zanjani meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di kuburan ini,” maka mereka akan menjadi penolongnya kepada Allah.” Abdul Aziz –murid al-Imam al-Khallal–, meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada di kuburan itu.” (Muhammad bin Abdul Wahhab, Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).

Dalam kutipan di atas jelas sekali, anjuran membaca al-Qur’an di kuburan dari kaum Salaf, Imam al-Syafi’i, Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Tetapi kaum Wahabi seperti Ustadz Firanda justru membid’ahkan dan mensyirikkan.”

“Imam Syafi’i -rohimahulloh- juga mengatakan :
والحِلاق ليس بجناية لان فيه نسكا في الرأس وليس فيه كثير ألم، وهو -وإن كان في اللحية لا يجوز- فليس كثير ألم ولا ذهاب شعر، لانه يستخلف، ولو استخلف الشعر ناقصا أو لم يستخلف كانت فيه حكومة

“Menggundul rambut bukanlah kejahatan, karena adanya ibadah dengan menggundul kepala, juga karena tidak adanya rasa sakit yang berlebihan padanya. Tindakan menggundul itu, meski tidak diperbolehkan pada jenggot, namun tidak ada rasa sakit yang berlebihan padanya, juga tidak menyebabkan hilangnya rambut, karena ia tetap akan tumbuh lagi. Seandainya setelah digundul, ternyata rambut yang tumbuh kurang, atau tidak tumbuh lagi, maka ada hukumah (semacam denda/sangsi, silahkan lihat makan al-hukuumah di Al-Haawi al-Kabiir 12/301)". (al-Umm 7/203)

Para ulama syafi'iyah telah memahami bahwa perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menggunduli janggut. Diantara para ulama tersebut adalah :
Ibnu Rif'ah :‎

قال ابن رفعة: إِنَّ الشَّافِعِي قد نص في الأم على تحريم حلق اللحية

Ibnu Rif’ah -rohimahulloh- mengatakan: Sungguh Imam Syafi’i telah menegaskan dalam kitabnya Al-Umm, tentang haramnya menggundul jenggot. (Hasyiatul Abbadi ala Tuhfatil Muhtaj 9/376)”.
“Sebagian ulama Syafi’iyah, yaitu Imam Ibnu al-Rif’ah memang memahami bahwa Imam al-Syafi’i menghukum haram menggundul habis jenggot. Tetapi pendapat yang mu’tamad dalam madzhab al-Syafi’i adalah makruh.”

Al-Halimi (wafat 403 H), beliau berkata dalam kitab beliau Al-Minhaaj Fi Syu'abil Iimaan:
لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه, وإن كان له أن يحلق سباله, لأن لحلقه فائدة, وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره, بخلاف حلق اللحية, فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء, فهو كجب الذكر

"Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan" (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”

“Ustadz Firanda sepertinya tidak membaca Kitab al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin secara langsung, tetapi hanya hasil copas dari karya atau tulisan orang lain. Karena tulisan di atas tidak mengutip pernyataan kitab al-I’lam secara utuh, yang akhirnya menyimpulkan makruh menurut madzhab al-Syafi’i. Selengkapnya Ibnul Mulaqqin berkata demikian:
وقال الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه، وإن كان له أن يحلق سباله، لأن لحلقه فائدة، وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره، بخلاف حلق اللحية، فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء، فهو كجب الذكر، وما ذكره في حق اللحية حسن وإن كان المعروف في المذهب الكراهة.

"Al-Halimi berkata dalam Minhaj-nya: “Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan". Apa yang disebutkan oleh al-Halimi tentang jenggot itu bagus, meskipun yang diketahui dalam madzhab al-Syafi’i hukumnya makruh.” (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”

Coba Anda perhatikan, ternyata Ibnul Mulaqqin, mengomentari pernyataan al-Halimi memberikan penjelasan, bahwa hukum menggundul jenggot menurut madzhab Syafi’i yang populer adalah makruh, bukan haram. Komentar tersebut ternyata tidak disampaikan oleh si Wahabi.”

Abu Hamid Al-Gozzali rahimahullah (wafat tahun 505 H0, beliau berkata :‎

وأما نتفها في أول النبات تشبها بالمرد فمن المنكرات الكبار فإن اللحية زينة الرجال

"Adapun mencabuti jenggot di awal munculnya, agar menyerupai orang yang tidak punya jenggot, maka ini termasuk kemungkaran yang besar, karena jenggot adalah penghias bagi laki-laki" (Ihya’ Ulumiddin 1/280)

Akan tetapi al-Gozali memberi keringanan jika jenggot yang panjangnya lebih dari satu genggam boleh untuk dipotong, dengan syarat tidak sampai mencukur gundul jenggot tersebut. Beliau rahimahullah berkata :
والأمر في هذا قريب إن لم ينته إلى تقصيص اللحية

"Perkaranya dalam masalah ini adalah mendekati, jika tidak sampai mencukur habis jenggot" (Ihyaa Uluumiddin 1/277)”.

“Kalau kutipan di atas adalah murni kutipan Ustadz Firanda dari kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Hujjatul Islam al-Ghazali, alangkah tercelanya beliau. Mengutip pernyataan Imam al-Ghazali hanya sepotong. Tapi kalau Ustadz Firanda mengutip dari gurunya, maka alangkah tercelanya sang guru yang tidak jujur tersebut. Karena kutipan sepotong di atas bersifat khusus, yaitu ketika mencukur jenggot karena bertujuan menyerupai murdi/amrad, dan hukumnya makruh bukan haram. Sedangkan al-Ghazali sendiri, sebelumnya telah menegaskan begini:‎

وَفِي اللِّحْيَةِ عَشْرُ خِصَالٍ مَكْرُوْهَةٍ وَبَعْضُهَا أَشَدُّ كَرَاهَةً مِنْ بَعْضٍ خِضَابُهَا بِالسَّوَادِ وَتَبْيِيْضُهَا بِالْكِبْرِيْتِ وَنَتْفُهَا وَنَتْفُ الشَّيْبِ مِنْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا

“Mengenai jenggot terdapat sepuluh perkara yang makruh, sebagian lebih kuat kemakruhannya dari pada yang lain. Yaitu menyemirnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang, mencabutnya, mencabut ubannya saja dan mengurangi sebagiannya.” (Hujjatul Islam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1 hal, 277).

Ahmad Zainuddin Al-Malibaari Al-Fannaani (wafat tahun 1310 H), ia berkata :
وَيَحْرُمُ حلقُ لِحْيَةٍ

"Dan diharamkan menggundul jenggot"

(Fathul Mu'iin Bi Syarh Qurrotil 'Ain Bi Muhimmaatid diin, hal 305, terbitan Daar Ibnu Hazm)

Tentunya tidak dipungkiri bahwa sebagian ulama madzhab Syafi'iyah memandang mencukur habis jenggot hanyalah makruh dan tidak haram. Akan tetapi meskipun makruh namun ia merupakan perkara yang dibenci dan hendaknya ditinggalkan.”

“Menggundul Jenggot menurut pendapat mu’tamad dan populer madzhab al-Syafi’i adalah makruh. Perkara makruh memang dibenci, tetapi masih lebih dibenci sikap sebagian Wahabi yang curang dalam mengutip pendapat ulama. Curang dalam mengutip pendapat ulama itu termasuk kebohongan yang jelas-jelas tidak terpuji dan termasuk dosa besar.” Wallahu a’lam.

Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:

لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا يُغْزِرُهَا كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ

Artinya: “Saya tidak mengetahui ada orang yang memahami perintah Nabi dalam sabda beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan memberikantreatment tertentu agar jenggot tersebut tumbuh lebat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])

Jadi, bagi yang memang dari sononya tidak punya jenggot, tidak usah sedih, dan tidak usah juga membeli penumbuh jenggot berharga mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini. Perintah memelihara jenggot ini hanya untuk yang dikaruniai jenggot oleh Allah ta’ala.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...