Senin, 25 Oktober 2021

Imam Abu Bakar Ibn Al-Arobi Al-Maliki Al-Andalusi


Nama lengkap beliau adalah Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad Abdullah bin Ahmad bin al-‘Arabi al-Isbili al-Maliki, tapi beliau lebih dikenal sebagai Abu Bakar. Ayahnya adalah seorang ulama fiqh yang terkenal dan begitu pula paman dari ibunya, Abu al-Qasim al-Hasan bin Abi Hafs juga seorang ulama’.

 Ibnu Al Arabi adalah seorang imam sunni, qadi dari mazhab Maliki pada masa Spanyol Islam. Ia dilahirkan di Sevilla pada tahun 1076 M dan meninggal di Fez, Maroko pada 1148 M. Ayahnya yang bernama Abu Muhammand ibn al-'Arabi merupakan pejabat tinggi untuk Khalifah Taifa di Sevilla. Ayahnya juga merupakan salah seorang murid dari Ibnu Hazm. Saat ia berusia 9 tahun, ia dan ayahnya terpaksa bermigrasi ke luar negeri pada tahun 1901 untuk menghindari kekacauan politik ketika Andalusia dikuasai oleh dinasti Al-Murabithun. Keduanya naik kapal laut ke Mesir lalu menuju Yerusalem dan menetap di sana sepanjang 1093-1096. Kemudian keduanya pindah ke Damaskus dan Baghdad untuk menuntut ilmu agama (rihlah) yang mana Ibnul Arabi sempat belajar kepada Imam Ghazali. Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1099 di umur 57 tahun, Ibnul Arabi yang telah berumur 26 tahun kembali ke Sevilla untuk mulai mengajar sehingga kemudian menjadi ulama yang terpandang di sana.

Ibnu al-Arabi memiliki kesamaan gelar dengan Ibnu Arabi yaitu” al–Sufi”, namun begitu mereka berdua dapat dibedakan dengan alif dan lam. Ibnu al-Arabi mempunyai alif dan lam yang dikenali sebagai ahli tafsir sedangkan Ibnu Arabi tanpa alif dan lam dikenal sebagai ahli sufi.

Ibnu al-Arabi lahir di Sevilla (Isybilia) hari kamis 22 Sya’ban 468 Hijriah dan besar di Andalusia ditengah keluarga yang yang memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu pengetahuan dan dibesarkan dalam suasana keilmuan, oleh karena itu, tidaklah heran kalau beliau mempunyai keperibadian yang mulia serta pengetahuan yang tinggi sehingga menjadi salah seorang ulama besar di zamannya. Beliau merupakan seorang yang senang dengan ilmu, beliau belajar ke  Mesir, Yerusalem, Damaskus, dan Baghdad, dan Kudus. Diantara bidang ilmu yang beliau tekuni antara lain; ilmu fiqh, usul fiqh, tafsir, qiro’ah sab’ah, hadits, bahasa Arab dan sebagainya dan beliau bermazhab Maliki.

Guru- Guru Beliau
Beliau belajar kepada banyak guru di antara guru-guru beliau adalah
1.      Abu Bakar Turtus
2.      Abu Abdullah Alkala’i
3.       Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Thabit alhadadi Khawlani seorang qori’
4.       Abu Abdullah Muhammad bin Ali al mazari Tamimi
5.       Abu al-Hasan ibn Sharif
6.       Abu al-Hasan bin Dawud dariPersia
7.      Abul Fateh Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi
8.       Al-Hafidz Abu Muhammad ‎hayatulloh bin Ahmed Alkafani Anshari dari Damaskus
9.      dan Abou El Fadl Ahmed bin Ali bin Efrat
10.   Abu Hussein Mubarak bin Abdul-Jabbar Serafi dikenal sebagai Ibnu Taiora
11.  Abu Hassan Ali bin Hussein bin Ali bin Ayyub Bazzaz
12.  Abu Bakar Muhammad bin Ahmed bin Al-Hussein Bin Omar Shaashi Shafei
13.   Abu Hamid al-Ghazali dan banyak lainnya.

Murid- Murid Beliau
a)       Hakim Ayyad bin Musa
b)      Muhammad bin Ayyad
c)      Imam Zahid Abid Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Mujahid Al-Isbiliy
d)      Abu al-Qasim Abdul Rahman bin Mohammed bin Hubaish
e)      Abu al-Hasan Ali bin Atiq Qurtubi
f)       Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdul Rahman al-Azdi Kharrat
g)      Abu Muhasan Yusuf bin Abdullah bin Ayyad dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kara-Karya beliau:
‘Aridhotul Ahwadzi fie Syarh ath-thirmidzi
Ahkamul Qur’an: sebuah kitab tafsir Al-Qur'an, yang juga memuat fikih dari ‎mazhab Maliki.
Al-qobas fie syarh mautho’ ibnu anas
An-naskh wal mansukh
Al- inshofu fil masaail khilaf, 20 jilid
A’yanil I’yaan
Al-mahshuul, fie ushulil fiqhi
Kitaabul mutakalim
Qonuunun ta’wiil
Mulja’atun mutafaqhina ila ma’rufah ghowamid an-nahwiyin.
Al-'Awashim min al-Qawashim; sebuah buku sejarah yang menjadi terkenal karena bantahannya yang keras terhadap Syi'ah.
Pengenalan Kitab Ahkam Al-Quran
Kitab Ahkam al-Quran ini merupakan salah satu kitab yang dikarang oleh Ibnu al-Arabi, kitab ini merupakan kitab tafsir ayat-ayat hukum yang dijadikan rujukan dalam mazhab Maliki . Dalam kitab tersebut membahaskan penafsiran dengan mengupas semua surah-surah yang terdapat dalam al-Quran akan tetapi hanya menerangkan secara terperinci ayat-ayat hukum saja.

Kaedah yang digunakan adalah dengan menyebut nama surah, kemudian menyebutkan jumlah ayat yang mengandungi ayat hukum dan seterusnya menerangkannya satu persatu, sebagai contoh: dalam penafsiran surah al-Fatihah ayat pertama terdapat dua masalah hukum, pertama yaitu firman Allah Bismillah… kemudian menyebutkan pendapat ulama dan dalil-dalil mereka kedua: menerangkan hadis-hadis nabi yang berkaitan dengan Bismillah. Ayat kedua ada 5 masalah hukum dan seterusnya sampai selesai tafsiran semua ayat-ayat dalam suatu surah .

Metode Ibnu Al-Arabi Dalam Kitabnya “Ahkam Al-Quran”

Metode Penggunaan Atau Pengaruh Mazhab
Pengaruh mazhab dalam proses penafsiran ayat-ayat hukum merupakan salah satu perkara yang perlu diperhatikan karena itu melibatkan permasalahan hukum dan perbedaan pendapat antara empat mazhab yang masyhur. Tulisan ini akan menjelaskan mazhab yang digunakan oleh Ibnu al-Arabi ketika menyusun penafsiran tentang ayat-ayat hukum dan sejauh manakah pengaruh beliau terhadap mazhab Maliki dalam penafsiran ayat-ayat hukum.

Penelitian dan kajian telah dibuat terhadap kitab Ahkam al-Quran dan penulis mendapati bahwa Ibnu al-Arabi telah berpegang teguh dengan mazhab Maliki secara jelas dan terang, ketika menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Terdapat beberapa petunjuk yang menunjukkan beliau banyak terpengaruh dan berpegang dengan mazhabnya yang dapat ditemukan dalam kitab tafsirnya, contoh masalah tersebut dapat dilihat dalam kitabnya mengenai hukum membaca Bismillah dalam solat, beliau memilih mazhab Maliki yang mengatakan bacaan Bismillah dalam solat tidak wajib, kemudian memberikan argument yang menguatkan pendapat tersebut . Di samping itu juga, banyak pendapat-pendapat beliau yang mempertahankan dan mendukung mazhabnya secara terang-terang atau secara sindiran baik dalam aspek ilmu, fiqh, dan sebagainya. Beliau juga akan memilih pendapat mazhabnya sekiranya terdapat perselisihan pendapat diantara ulama tentang suatu masalah .

Namun begitu, beliau tidak sampai ke tahap yang melampaui batas atau fanatik yang terlalu tinggi dari kalangan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid mazhab Maliki. terkadang beliau juga menerima pendapat yang bertentangan dengan mazhabnya sekiranya pendapat itu lebih tepat dan sesuai diamalkan serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang empiris dari nas al-Quran atau Sunnah, contohnya pembacaan Amiin bagi ma’mum dalam solat yang imamnya tidak terdengar bacaan Amiinnya, dalam masalah ini beliau berbeda dengan pendapat Imam Malik .

Kesimpulannya, tidak ditemukan secara khusus yang memastikan kefanatikanan Ibnu al-Arabi terhadap mazhabnya dalam kitab tafsirnya secara jelas, begitu juga dari segi kecenderungan beliau dalam menerima pendapat mazhab-mazhab yang lain. Apa yang dapat diketaui adalah, Ibnu al-Arabi sangat terpengaruh dengan mazhabnya dalam penafsirannya terhadap ayat-ayat hukum, tetapi ada kalanya beliau menerima pendapat mazhab lain yang dianggap lebih tepat dan sesuai untuk diamalkan.

Bid'ah Menurut Ulama' Salaf Madzhab Maliki


Hujjah Imam Ahli Hadits Ahli Tafsir ber-Madzhab Maliki dalam 5 macam hukum hukum bid'ah;
W A R N I N G !!! Kaum yang tidak bermadzhab pasti dia anti bid'ah hasanah..
Berikut ini saya lampirkan penjelasan 5 bid'ah dari 8 Imam besar pakar ahli hadits ahli fiqih ahli tafsir terkemuka bermadzhab Maliki;‎

1. Al Imam al Hafizh Muhammad bin Ahmad al Qurthubi
Al Imam Al Hafidz Al Qurthubi berkata menanggapi ucapan ucapan Imam Syafi’i tentang pembagian bidah:‎

قُلْتُ: وَهُوَ مَعْنَى قَوْلِهِ صلى الله عليه وسلم فِي خُطْبَتِهِ: (وَشَرُّ اْلاُمُورِ مُحْدَثَاتُهاَ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) يُرِيدُ مَا لَمْ يُوَافِقْ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً، أَوْ عَمَلَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَقَدْبَيَّنَ هذَا بِقَوْلِهِ: (مَنْ سَنَّ فِي اْلاِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلاِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ). وَهذَا إِشَارَةٌ إِلَى مَا ابْتُدِعَ مِنْ قَبِيحٍ وَحَسَنٍ، وَهُوَ أَصْلُ هذَا اْلبَابِ، وَبِاللهِ اْلعِصْمَةُ وَالتَّوْفِيقُ، لاَ رَبَّ غَيْرُهُ

“Saya katakan bahwa makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi: "Seburuk-buruk perkara adalah hal yang baru. Semua hal yang baru adalah Bidah, dan semua Bid’ah adalah sesat, maksudnya hal-hal yang tidak sejalan dengan al Qur an, Sunnah Rasul SAW dan perbuatan Sahabat Rasul SAW". Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh Hadits lainnya, yaitu: “Barang siapa membuat-buat satu gagasan yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari pahalanya. Dan barang siapa membuat gagasan yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”. 
Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada:
"Bid’ah yang baik dan Bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam al Qurthubi 2/87)‎

2. Al Imam Al Hafidz Muhammad az Zarqoni al Maliki 
Al Imam Al Hafidz Az Zarqoni dalam kitabnya, Syarah Muwatho (1/238) menjelaskan ucapan sayidina Umar:‎

البدعة في المذهب المالكي: قال محمد الزرقاني المالكي في شرحه للموطأ (ج 1/238) عند شرحه لقول عمر بن الخطاب رضي اللّه عنه: "نعمت البدعة هذه" فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى

"Beliau (Sayidina Umar) menamakan tarawih (20 rakaat dengan 1 imam) dengan bid’ah karena tidak pernah dibuat di zaman Nabi SAW dan Sayidina Abu Bakar ra. Adapun bid’ah secara bahasa : perkara baru yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Bid’ah menurut istilah syariat adalah lawan dari sunnah, yaitu yang tidak ada di zaman Nabi SAW, kemudian bid’ah itu terbagi menjadi hukum yang lima (wajib, sunnah, makruh, haram dan mubah).‎

3. Al Imam Al Hafidz Imam al Qarafi al Maliki
Dalam Kitab Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq (popular disebut al-Furuq), Al Imam Al Hafidz Qarafi membagi bid’ah menjadi lima, disertai dengan standar dan contoh 

وَالْحَقُّ التَّفْصِيلُ، وَأَنَّهَا خَمْسَةُأَقْسَامٍ) قِسْمٌ) وَاجِبٌ، وَهُوَ مَا تَتَنَاوَلُهُ قَوَاعِدُ الْوُجُوبِ وَأَدِلَّتُهُمِنْ الشَّرْعِ كَتَدْوِينِ الْقُرْآنِ وَالشَّرَائِعِ إذَا خِيفَ عَلَيْهَا الضَّيَاعُ )الْقِسْمُ الثَّانِي) : مُحَرَّمٌ، وَهُوَ بِدْعَةٌ تَنَاوَلَتْهَا قَوَاعِدُ التَّحْرِيمِ وَأَدِلَّتُهُ مِنْ الشَّرِيعَةِ كَالْمُكُوسِ… وَتَوْلِيَةِالْمَنَاصِبِ الشَّرْعِيَّةِ مَنْ لَا يَصْلُحُ لَهَا بِطَرِيقِ التَّوَارُثِ)الْقِسْمُ الثَّالِثُ) مِنْ الْبِدَعِ مَنْدُوبٌ إلَيْهِ، وَهُوَ مَا تَنَاوَلَتْهُ قَوَاعِدُ النَّدْبِ وَأَدِلَّتُهُ مِنْ الشَّرِيعَةِ كَصَلَاةِ التَّرَاوِيحِ)الْقِسْمُ الرَّابِعُ) بِدَعٌ مَكْرُوهَةٌ، وَهِيَ مَا تَنَاوَلَتْهُ أَدِلَّةُ الْكَرَاهَةِ مِنْ الشَّرِيعَةِ وَقَوَاعِدُهَا كَتَخْصِيصِ الْأَيَّامِ الْفَاضِلَةِ أَوْغَيْرِهَا بِنَوْعٍ مِنْ الْعِبَادَاتِ)الْقِسْمُ الْخَامِسُ) الْبِدَعُ الْمُبَاحَةُ، وَهِيَ مَا تَنَاوَلْته أَدِلَّةُ الْإِبَاحَةِ وَقَوَاعِدُهَا مِنْ الشَّرِيعَةِ كَاِتِّخَاذِ الْمَنَاخِلِ لِلدَّقِيقِالقرافي, الفروق )أنوار البروق في أنواء الفروق( 4/202-204 

Yang benar ada perincian (dalam masalah bid’ah). Bid’ah terbagi menjadi lima jenis: 
*. Jenis yang wajib yaitu yang masuk dalam kaidah wajib dan dalil wajib dari syariat seperti penyusunan al Quran dan hukum-hukum syariat ketika dikhawatirkan akan terbengkalai. 
*. Jenis yang haram yakni bid’ah berada dalam naungan kaidah haram dan dalil keharaman dari syariat seperti cukai, memberikan jabatan syariat melalui jalur turun temurun kepada orang yang tidak layak. 
*. Jenis ketiga bid’ah yang sunah, yaitu yang berada dalam naungan kaidah-kaidah sunah dan dalil-dalilnya dari syariat seperti shalat tarawih (berjamaah dalam satu imam).
*. Jenis keempat bid’ah makruh yakni yang tercakup dalam dalil-dalil makruh dari syariat dan kaidah-kaidahnya seperti mengkhususkan hari-hari utama atau lainnya dengan satu jenis ibadah. 
*. Jenis yang mubah, yakni yang di cakup dalil-dalil mubah dan kaidah-kaidahnya dari syariat seperti membuat ayakan tepung. (Kitab al Buruq fianwa`il Furuq, 4/202-204)
4. Al Imam Al Hafidz Ibnu `Asyur ‎
Ahli Tafsir Al Imam Ibnu Asyur al Maliki dalam tafsirnya menjelaskan ketika menerangkan ayat: ‎

وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَاعَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَاالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌمِنْهُمْ فَاسِقُونَ 

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.” (QS al Hadid: 27) ‎

وَفِيهَا حُجَّةٌ لِانْقِسَامِ اْلبِدْعَةِ إِلى مَحْمُودَةٍ وَمَذْمُومَةٍ بِحَسَبِ انْدِرَاجِهَا تَحْتَ نَوْعٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْمَشْرُوعِيَّة فَتَعْتَرِيهَا اْلأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ كَمَا حَقَّقَهُ الشِّهَابُ الْقَرَافِي وَحُذَّاقُ اْلعُلَمَاءِ . وَأَمَّا الَّذِينَ حَاوَلُوا حَصْرَهَا فِي الذَّمِّ فّلّمْ يَجِدُوا مَصْرفاً . وَقَدْ قَالَ عُمَرُ لَمَّا جَمَعَ النَّاسَ عَلَى قَارِىءٍ وَاحِدٍ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ (نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ) . 

Dalam ayat ini terdapat dalil atas terbaginya bid’ah kepada yang baik dan yang tercela sesuai dengan tercakupnya ia di bawah naungan jenis-jenis perbuatan yang disyariatkan. Maka bid’ah diliputi oleh hukum yang lima sebagaimana telah ditahqiq oleh As Syihab al Qorofi dan para ulama yang cerdas. Adapun orang-orang yang berusaha membatasi bid’ah pada yang tercela saja mereka tidak menemukan jalan keluar. Sungguh Sayidina Umar telah berkata ketika mengumpulkan manusia dalam satu imam saat tarawih “Inilah sebaik-baiknya bidah.” (Tafsir At Tahrir wat Tanwir hal 4318)‎

5. Al Imam Al Hafidz Ibnu Abdil Barr 
Imam Abu Umar Yusuf bin Abdil Barr an Namiri al Andalusi, ahli hadits dan ahli fiqih bermadzhab Maliki. Beliau membagi bid’ah menjadi dua. Hal ini dapat kita lihat dengan memperhatikan pernyataan beliau: 

وَأَماَّ قَوْلُ عُمَر َ :نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ فيِ ْ لِسَانِ الْعَرَبِ اِخْتِرَاعُ مَا لَمْ يَكُنْ وَابْتِدَاؤُهُ فَمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ فِي الدِّيْنِ خِلاَفاً لِلسُّنَّةِ الَّتِيْ مَضَى عَلَيْهَا الْعَمَلُ فَتِلْكَ بِدْعَةٌ لاَ خَيْرَ فِيْهَا وَوَاجِبٌ ذَمُّهَا وَالنَّهْيُ عَنْهَا وَاْلأَمْرُ بِاجْتِنَابِهَا وَهِجْرَانُ مُبْتَدِعِهَا إِذَا تَبَيَّنَ لَهُ سُوْءُ مَذْهَبِهِ وَمَا كَانَ مِنْ بِدْعَةٍ لاَ تُخَالِفُ أَصْلَ الشَّرِيْعَةِ وَالسُّنَّةِ فَتِلْكَ نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ

“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bidah, maka bid’ah dalam bahasa Arab adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Apabila bid’ah tersebut dalam agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi dasar syariat dan sunnah, maka itu sebaik-baik bidah.” (Al Istidzkar, 5/152).

6. Imam Ibnu al Haj al Maliki
Dalam kitab al Madkhal, Ibnul Haj al Maliki mengatakan:

إنَّ الْبِدَعَ قَدْ قَسَّمَهَا الْعُلَمَاءُ عَلَى خَمْسَةِ أَقْسَامٍ : بِدْعَةٌ وَاجِبَةٌ وَهِيَ مِثْلُ كَتْبِ الْعِلْمِ فَإِنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ فِعْلِ مَنْ مَضَى لِأَنَّ الْعِلْمَ كَانَ فِي صُدُورِهِمْ وَكَشَكْلِ الْمُصْحَفِ وَنَقْطِهِ . الْبِدْعَةُ الثَّانِيَةُ : بِدْعَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ قَالُوا : مِثْلُ بِنَاءِ الْقَنَاطِرِ وَتَنْظِيفِ الطُّرُقِ لِسُلُوكِهَا وَتَهْيِئِ الْجُسُورِ وَبِنَاءِ الْمَدَارِسِ وَالرُّبُطِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ .الْبِدْعَةُ الثَّالِثَةُ : وَهِيَ الْمُبَاحَةُ كَالْمُنْخُلِ وَالْأشْنَانِ وَمَا شَاكَلَهُمَا .الْبِدْعَةُ الرَّابِعَةُ : وَهِيَ الْمَكْرُوهَةُ مِثْلُ الْأَكْل عَلَى الْخوَانِ وَمَا أَشْبَهَ .الْبِدْعَةُ الْخَامِسَةُ : وَهِيَ الْمُحَرَّمَةُ وَهِيَ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ تَنْحَصِرَ .

Sesungguhnya bid’ah telah dibagi oleh ulama kepada lima jenis:

Bid’ah yang wajib seperti menyusun fan-fan ilmu, karena itu tidak termasuk perbuatan orang terdahulu, sebab ilmu mereka terjaga dalam dada mereka. Termasuk dalam hal ini, mengharokati dan memberi titik dalam al Quran.
Bid’ah yang sunnah, mereka mengatakan seperti membangun benteng-benteng, membersihkan jalan-jalan, membuat jembatan, membangun sekolah dan pesantren dan yang serupa dengannya.
Bid’ah ketiga yang mubah seperti membuat ayakan, asynan (semacam pembersih) dan yang serupa dengannya.
Bid’ah keempat yang makruh seperti makan di atas meja dan semisalnya.
Bid’ah kelima yang haram dan itu terlalu banyak untuk disebutkan. (Al Madkhal juz 2/257)

7. Syaikh Ahmad Bin Yahya al Wansyarisi al Maliki
Al Wansyarisi dalam kitabnya al-Mi’yar al Muarrob juz 1 hal 357-358 menyatakan:

“وَأَصْحَابُنَا وَإِنِ اتَّفَقُوا عَلى إِنْكَارِ اْلِبدَعِ فِي الْجُمْلَةِ فَالتَّحْقِيقُ الْحـَقُّ عِنْدَهُمْ أَنَّهَا خَمْسَةُ أَقْسَامٍ”، ثُمَّ ذَكَرَ اْلأَقْسَامَ الْخَمْسَةَ وَأَمْثِلَةً عَلَى كُلِّ قِسْمٍ ثُمَّ قَالَ: “فَاْلحَقُّ فيِ اْلبِدْعَةِ إِذَا عُرِضَتْ أَنْ تُعْرَضَ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرْعِ فَأَيُّ اْلقَوَاعِدِ اقْتَضَتْهَا أُلْحِقَتْ بِـهَا، وَبَعْدَ وُقُوفِكَ عَلىَ هذَا التَّحْصِيلِ وَالتَّأْصِيلِ لاَ تَشُكَّ أَنَّ قَوْلَهُ صلى الله عليه وسلم:” كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ”، ِمنَ اْلعَامِّ الْمَخْصُوصِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ اْلأَئِمَّةُ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ”.اهـ

Sahabat-sahabat kami walaupun mereka sepakat mengingkari bid’ah secara global namun mereka mentahqiq pembagiannya. Kemudian beliau menyebutkan lima bagian dan contoh di setiap bagian dan berkata : “Sejatinya dalam hal bid’ah apabila disandingkan dengan kaidah syariat maka mana saja kaidah yang cocok dengannya maka akan dihukumi dengan kaedah tersebut. Setelah engkau mengetahui kesimpulan dan hukum asalnya maka jangan ragu lagi bahwasanya sabda Nabi SAW “Kullu bid’atin dhalalah” termasuk kata “umum yang dikhususkan” seperti yang dijelaskan oleh para imam radhiyallahu anhum.

8. ‎Al Hafizh Ibnul Arabi al Maliki.
Imam al Qadhi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi al Maliki, seorang ahli hadits, pakar tafsir dan ahli fiqih madzhab Maliki, juga membagi bid’ah menjadi dua bagian. Dalam kitabnya ‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’ at Tirmidzi, 10/146-147, beliau berkata:

اِعْلَمُوا عَلَّمَكُمُ اللهُ أَنَّ اْلمُحْدَثَاتِ عَلىَ قِسْمَيْنِ : مُحْدَثٍ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ إِلاَّ الشَّهْوَةَ وَاْلعَمَلَ بِمُقْتَضَى اْلإِرَادَةِ ، فَهَذَا بَاطِلٌ قَطْعًا. وَمُحْدَثٍ بِحَمْلِ النَّظِيرِ عَلَى النَّظِيرِ، فَهذِهِ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ ، وَاْلأَئِمَّةِ الْفُضَلاَءِ، وَلَيْسَ اْلمُحْدَثُ وَاْلبِدْعَةُ مَذْمُومًا لِلَفْظ مُحْدَثٍ وَبِدْعَةٍ وَلاَ لِمَعْنَاهَا، فَقَدْ قَالَ تَعَالَى ) مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ ( وَقَالَ عُمَرُ:نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هَذِهِ وَإِنَّمَا يُذَمُّ مِنَ اْلبِدْعَةِ مَا خَالَفَ السُّنَّةَ ، وَيُذَمُّ مِنَ اْلمُحْدَثَاتِ مَا دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ وَمُخَالَفَةِ السُّنَّةِ وَأَمَّا مَا كَانَ مَرْدُودًا إِلَى قَوَاعِدِ اْلأُصُولِ وَمَبْنِيًّا عَلَيْهَا فَلَيْسَ بِدْعَةً وَلاَ ضَلاَلَةً

“Ketahuilah, semoga Allah memberikan pengajaran kepada kalian, bahwa Bid’ah (al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati, ini adalah batil secara pasti. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan dengan apa yang sudah disepakati, ini (bukan batil melainkan adalah)  jalan para Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar.

Hal baru (muhdats) dan bid’ah tidak tercela hanya karena ia bernama ‘hal baru’ atau bid’ah bukan pula karena maknanya. Allah SWT berfirman:

مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka” (QS. al-Anbiya`: 2).

Dan perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid’ah ini!” Yang tercela dari bid’ah hanya yang bertentangan dengan sunah. Dan hal baru yang tercela adalah yang mengajak kepada kesesatan dan menentang sunah. Adapun apa yang ada dalam naungan kaidah-kaidah ushul dan didasari padanya maka itu bukanlah bid’ah dan bukan pula termasuk kesesatan.
Imam Syihabuddin Abul Abbas Ahmad Bin Idris Al-Qarafi Al-Maliki adalah ahli fikih dalam madzhab Maliki, di tahun 684 H di Mesir. Beliau disebut al-Qarafi karena selama mencari ilmu ia menetap di Qarafah (pekuburan). Di masa itu Tahlilan sudah populer dengan istilah fidyah:

قَالَ الرَّهُونِيُّ وَالتَّهْلِيلُ الَّذِي قَالَ فِيهِ الْقَرَافِيُّ يَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ هُوَ فِدْيَةُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفِ مَرَّةٍ حَسْبَمَا ذَكَرَهُ السَّنُوسِيُّ وَغَيْرُهُ هَذَا الَّذِي فَهِمَهُ مِنْهُ الْأَئِمَّةُ (أنوار البروق في أنواع الفروق - ج 6 / ص 105)
“ar-Rahuni berkata: Tahlil yang dikatakan oleh al-Qarafi yang dianjurkan untuk diamalkan adalah doa fidyah La ilaha illa Allahu, sebanyak 70.000 kali. Terlebih disebutkan oleh as-Sanusi dan lainnya. Inilah yang difahami oleh para imam” (Anwar al-Buruq 6/105)

Masih dalam kitab yang sama, juga dijelaskan tentang Tahlil:
لَكِنَّ الَّذِي يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ لَا يُهْمِلَ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ فَلَعَلَّ الْحَقَّ هُوَ الْوُصُولُ إلَى الْمَوْتَى فَإِنَّ هَذِهِ أُمُورٌ مَغِيبَةٌ عَنَّا ، وَلَيْسَ فِيهَا اخْتِلَافٌ فِي حُكْمٍ شَرْعِيٍّ وَإِنَّمَا هُوَ فِي أَمْرٍ وَاقِعٍ هَلْ هُوَ كَذَلِكَ أَمْ لَا ، وَكَذَلِكَ التَّهْلِيلُ الَّذِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ يَعْمَلُونَهُ الْيَوْمَ يَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ ، وَيُعْتَمَدُ فِي ذَلِكَ عَلَى فَضْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَمَا يُيَسِّرُهُ وَيُلْتَمَسُ فَضْلُ اللَّهِ بِكُلِّ سَبَبٍ مُمْكِنٍ وَمِنْ اللَّهِ الْجُودُ وَالْإِحْسَانُ ا هـ (أنوار البروق في أنواع الفروق - ج 6 / ص 104)

“Tetapi yang dianjurkan oleh seseorang adalah agar tidak meninggalkan masalah ini (baca al-Quran di kuburan). Semoga pendapat yang benar adalah sampainya pahala kepada orang yang telah wafat. Sebab ini adalah masalah yang tak terlihat bagi kita. Dalam masalah ini tidak ada perselisihan tentang hukum syariatnya, hanya dalam masalah realitasnya seperti itu atau tidak. Demikian halnya dengan TAHLILAN yang sudah menjadi TRADISI manusia saat ini yang mereka amalkan. Hal ini dianjurkan untuk diamalkan dan diteguhkan atas karunia Allah, kemudahan yang diberikannya....” (Anwar al-Buruq 6/105)
 
Riwayat dari Imam al-Qarafi diatas juga menguatkan fatwa Imam Ibnu Taimiyah Al-Hanbali yang memang hidup 1 masa dengan beliau:
 ‎
 مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 5 / ص 471)
وَسُئِلَ عَمَّنْ " هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ " حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ .
الْجَوَابُ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .

“(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang orang yang bertahlil 70.000 kali dan menghadiahkannya kepada mayyit, supaya memberikan keringan kepada mayyit dari api neraka, haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah seseorang manusia yang bertahlil dan menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyit  ataukah tidak ?

Jawab : Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang demikian  ; 70.000 kali atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu dan menghadiahkannya kepada mayyit niscaya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mayyit dengan hal tersebut, dan  tidaklah hadits ini shahih dan tidak pula dlaif. Wallahu A’lam”. 

مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 5 / ص 472)
وَسُئِلَ عَنْ قِرَاءَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ تَصِلُ إلَيْهِ ؟ وَالتَّسْبِيحُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ وَالتَّكْبِيرُ إذَا أَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهَا أَمْ لَا ؟ .
الْجَوَابُ فَأَجَابَ : يَصِلُ إلَى الْمَيِّتِ قِرَاءَةُ أَهْلِهِ وَتَسْبِيحُهُمْ وَتَكْبِيرُهُمْ وَسَائِرُ ذِكْرِهِمْ لِلَّهِ تَعَالَى إذَا أَهْدَوْهُ إلَى الْمَيِّتِ وَصَلَ إلَيْهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
 
"(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang keluarga al-Marhum yang membaca al-Qur’an yang disampaikan kepada mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila menghadiahkannya kepada mayyit, apakah pahalanya sampai kepada mayyit ataukah tidak ?

Jawab : Pembacaaan al-Qur’an oleh keluarga almarhum sampai kepada mayyit, dan tasbih mereka, takbir dan seluruh dziki-dzikir karena Allah Ta’alaa apabila menghadiahkannya kepada mayyit, maka sampai kepada mayyit. Wallahu A’lam.

Al-Habib Umar Bin Ahmad Baraja' Sang Pendidik Akhlaq


Hampir semua santri di pesantren pernah mempelajari buku-buku karya Syaikh Umar Baraja dari Surabaya. Sudah sekitar 11 judul buku yang diterbitkan, seperti Al - Akhlaq lil Banin, Al - Akhlak lil Banat,  kitab Sullam Fiqih, kitab 17 Jauharah, dan kitab Ad’iyah Ramadhan. Semuanya terbit dalam bahasa Arab, sejak 1950 telah digunakan sebagai buku kurikulum di seluruh pondok pesantren di Indonesia. Ya, secara tidak langsung Syaikh Umar Baraja ikut mengukir akhlaq para santri di Indonesia.

Buku-buku tersebut pernah dicetak Kairo, Mesir, pada 1969 atas biaya Syeikh Siraj Ka’ki, dermawan Mekkah, yang di bagikan secara cuma-cuma ke seluruh dunia Islam. Syukur alhamdulillah, atas ridha dan niatnya agar buku-buku ini menjadi jariyah dan bermanfaat luas, pada 1992 telah di terbitkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa Indonesia, Jawa, Madura, dan Sunda.‎

Selain menulis buku pelajaran , Syaikh Umar juga menulis syair-syairnya dalam bahasa Arab dengan sastranya yang tinggi. Menurut ustadz Ahmad bin Umar, putra tertuanya, cukup banyak dan belum sempat dibukukan. Selain itu, masih banyak karya lain, seperti masalah keagamaan, yang masih bertuliskan tangan dan tersimpan rapi dalam perpustakaan keluarga.

Kepandaiannya dalam karya tulis, disebabkan dia menguasai bahasa Arab dan sastranya, ilmu tafsir dan Hadits, ilmu fiqih dan tasawuf, ilmu sirah dan tarikh. Ditambah, penguasaan bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Selalu Berharap

Syaikh Umar bin Achmad Baraja lahir di kampung Ampel Maghfur, pada 10 Jumadil Akhir 1331 H/17 Mei 1913 M. Sejak kecil dia diasuh dan dididik kakeknya dari pihak ibu, Syaikh Hasan bin Muhammad Baradja, seoarang ulama ahli nahwu dan fiqih.

Nasab Baraja berasal dari (dan berpusat di) Seiwun, Hadramaut, Yaman. Sebagai nama nenek moyangnya yang ke-18, Syaikh Sa’ad, laqab (julukannya) Abi Raja’ (yang selalu berharap). Mata rantai keturunan tersebut bertemu pada kakek Nabi Muhammad SAW yang kelima , bernama Kilab bin Murrah.

Pada masa mudanya, Umar Baraja menuntut ilmu agama dan bahasa Arab dengan tekun, sehingga dia menguasai dan memahaminya. Berbagai ilmu agama dan bahasa Arab dia dapatkan dari ulama, ustadz, syaikh, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui surat. Para alim ulama dan orang-orang shalih telah menyaksikan ketaqwaan dan kedudukannya sebagai ulama yang ‘amil. Ulama yang mengamalkan ilmunya.

Dia adalah salah seorang alumnus yang berhasil, didikan madrasah Al-Khairiyah di kampung Ampel, Surabaya, yang didirikan dan dibina Al-habib Al-Imam Muhammad bin Achmad Al-Muhdhar pada 1895. Sekolah yang berasaskan Ahlussunnah wal Jama’ah dan bermadzhab Syafi’i.

Guru-guru Syaikh Umar Baraja, antara lain, Al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad bil Faqih (Malang), Al-Habib Muhammad bin Husein Ba’bud (Lawang), Al-Habib Abdul Qodir bin Hadi Assegaf, Al-Habib Muhammad bin Ahmad Assegaf (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Abdullah Assegaf (Solo), Al-Habib Ahmad bin Alwi Al-Jufri (Pekalongan), Al-Habib Ali bin Husein Bin Syahab, Al-Habib Zein bin Abdullah Alkaf (Gresik), Al-Habib Ahmad bin Ghalib Al-Hamid (Surabaya), Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhar (Bondowoso), Al-Habib Abdullah bin Hasa Maulachela, Al-Habib Hamid bin Muhammad As-Sery(Malang), Syaikh Robaah Hassunah Al-Kholili (Palestina), Syaikh Muhammad Mursyid (Mesir) – keduanya tugas mengajar di Indonesia.

Guru-gurunya yang berada di luar negeri diantaranya, Al-Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, As-Sayyid Muhammad bin Ami n Al-Quthbi, As-Syaikh Muhmmad Seif Nur, As-Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath, Al-Habib Alwi bin Salim Alkaff, As-Syaikh Muhammad Said Al-Hadrawi Al-Makky (Mekkah), Al-Habib Muhammad bin Hady Assegaf (Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Ahmad Al-Haddar, Al-Habib Hadi bin Ahmad Al-Haddar (‘inat, Hadramaut, Yaman) , Al-habib Abdullah bin Thahir Al-Haddad (Geidun, Hadaramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Umar Asy-Syatiri (Tarim, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Hasan bin Ismail Bin Syeikh Abu Bakar (‘inat, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Ali bin Zein Al-Hadi, Al-Habib Alwi bin Abdullah Bin Syahab (Tarim, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Abdullah bin Hamid Assegaf (Seiwun, Hadramaut, Yaman), Al-Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar (Al-Baidhaa, Yaman) , Al-Habib Ali bin Zein Bilfagih (Abu Dhabi, Uni Emirat Arab), As-Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthii’i (Mesir), Sayyidi Muhammad Al-Fatih Al-Kattani (Faaz, Maroko), Sayyidi Muhammad Al-Munthashir Al-Kattani (Marakisy, Maroko) , Al-Habib Alwi bin Thohir Al-Haddad (Johor, Malaysia), Syeikh Abdul ‘Aliim As-Shiddiqi (India), Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf (Mesir), Al-Habib Abdul Qodir bin Achmad Assegaf (Jeddah, Arab Saudi).

Kiprah Dakwah

Syaikh Umar mengawali kariernya mengajar di Madrasah Al-Khairiyah Surabaya tahun 1935-1945, yang berhasil menelurkan beberapa ulama dan asatidz yang telah menyebar ke berbagai pelosok tanah air. Di Jawa Timur antara lain, almarhum al-ustadz Achmad bin Hasan Assegaf, almarhum Al-Habib Umar bin Idrus Al-Masyhur, almarhum al-ustadz Achmad bin Ali Babgei, Al-habib Idrus bin Hud Assegaf, Al-habib Hasan bin Hasyim Al-Habsyi, Al-habib Hasan bin Abdul Qodir Assegaf, Al-Ustadz Ahmad Zaki Ghufron, dan Al-Ustadz Dja’far bin Agil Assegaf.

Kemudian, dia pindah mengajar di Madrasah Al-Khairiyah, Bondowoso. Berlanjut mengajar di Madrasah Al-Husainiyah, Gresik tahun 1945-1947. Lalu mengajar di Rabithah Al-Alawiyyah, Solo, tahun 1947-1950. Mengajar di Al-Arabiyah Al-Islamiyah, Gresik tahun 1950-1951. Setelah itu, tahun 1951-1957, bersama Al-habib Zein bin Abdullah Al-kaff, memperluas serta membangun lahan baru, karena sempitnya gedung lama, sehingga terwujudlah gedung yayasan badan wakaf yang di beri nama Yayasan Perguruan Islam Malik Ibrahim.

Selain mengajar di lembaga pendidikan, Syaikh Umar juga mengajar di rumah pribadinya, pagi hari dan sore hari, serta majelis ta’lim atau pengajian rutin malam hari. Karena sempitnya tempat dan banyaknya murid, dia berusaha mengembangkan pendidikan itu dengan mendirikan Yayasan Perguruan Islam atas namanya, Al-Ustadz Umar Baradja. Ini sebagai perwujudan hasil pendidikan dan pengalamannya selama 50 tahun. Hingga kini masih berjalan, dibawah asuhan putranya, Al-Utadz Achmad bin Umar Baradja.

Amal ibadahnya meluas ke bidang lain, sehingga memerlukan dana yang cukup besar, dia juga menggalang dana untuk kebutuhan para janda, fakir miskin, dan yatim piatu khususnya para santrinya, agar mereka lebih berkonsentrasi dalam menimba ilmu. Menjodohkan wanita-wanita muslimah dengan pria muslim yang baik menurut pandangannya, sekaligus mengusahakan biaya perkawinannya dengan dukungan dana dari Al-habib Idrus bin Umar Alaydrus.

Salah satu karya monumentanya adalah membangun Masjid Al-Khair (danakarya I-48/50, Surabaya) pada tahun 1971, bersama KH. Adnan Chamim, setelah mendapat petunjuk dari Al-Habib Sholeh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul) dan Al-habib Zein bin Abdullah Al-Kaff (Gresik). Masjid ini sekarang digunakan untuk berbagai kepentingan dakwah masyarakat Surabaya.

Penamplan Syeikh Umar sangat bersahaja, tetapi dihiasi sifat-sifat ketulusan niat yang disertai keikhlasan dalam segala amal perbuatan duniawi dan ukhrawi. Dia juga mejabarkan akhlaq ahlul bait, keluarga Nabi dan para sahabat, yang mencontoh baginda Nabi Muhammad SAW. Dia tidak suka membangga-banggakan diri, baik tentang ilmu, amal, maupun ibadah. Ini karena sifat tawadhu’ dan rendah hatinya sangat tinggi.

Dalam beribadah, dia selalu istiamah baik sholat fardhu maupun sholat sunnah qabliyah dan ba’diyah. Sholat dhuha dan tahajud hampir tidak pernah dia tnggalkan walaupun dalam bepergian. Kehidupannya dia usahakan untuk benar-benar sesuai dengan yang digariskan agama.

Cintanya kepada keluarga Nabi SAW dan dzurriyyah atau keturunannya, sangat kenal tak tergoyahkan. Juga kepada para sahabat anak didik Rasulullah SAW. Itulah pertanda keimanan yang teguh dan sempurna.

Dalam buku Kunjungan Habib Alwi Solo kepada Habib Abubakar Gresik,Catatan Habib AbdulKadir bin Hussein Assegaf (Penerbit Putra Riyadi : 2003), disebutkan,”… kami (rombongan Habib Alwi bin Alwi Al-Habsyi) berkunjung ke rumah Syaikh Umar bin Ahmad Baradja (di Surabaya). Kami dengar saking senangnya, ia sujud syukur di kamar khususnya. Ia meminta Sayyidi Alwi untuk membacakan doa dan Fatihah.”(hlm.93).

Sifat wara’-nya sangat tinggi. Perkara yang meragukan dan syubhat dia tinggalkan, sebagaimana meninggalkan perkara-perkara yang haram. Dia juga selalu berusaha berpenampilan sederhana. Sifat Ghirah Islamiyah (semangat membela Islam) dan iri dalam beragama sangat kuat dalam jiwanya. Konsistensinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, misalnya dalam menutup aurat, khususnya aurat wanita, dia sangat keras dan tak kenal kompromi. Dalam membina anak didiknya, pergaulan bebas laki-perempuan dia tolak keras. Juga bercampurnya murid laki-dan perempuan dalam satu kelas.

Pada saat sebelum mendekati ajalnya, Syaikh umar sempat berwasiat kepada putra-putra dan anak didiknya agar selalu berpegang teguh pada ajaran assalaf asshalih. Yaitu ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, yang dianut mayoritas kaum muslim di Indonesia dan Thariqah ‘Alawiyyah, dan bermata rantai sampai kepada ahlul bait Nabi, para sahabat, yang semuanya bersumber dari Rasulullah SAW.

Syaikh Umar memanfaatkan ilmu, waktu, umur, dan membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai akhir hayatnya. Ia memenuhi panggilan Rabb-nya pada hari Sabtu malam Ahad tanggal 16 Rabiuts Tsani 1411 H/3 November 1990 M pukul 23.10 WIB di Rumah Sakit Islam Surabaya, dalam usia 77 Tahun.

Keesokan harinya Ahad ba’da Ashar, ia dimakamkan, setelah dishalatkan di Masjid Agung Sunan Ampel, diimami putranya sendiri yang menjadi khalifah (penggantinya), Al-Ustadz Ahmad bin Umar Baradja. Jasad mulia itu dikuburkan di makam Islam Pegirian Surabaya. Prosesi pemakamannya dihadiri ribuan orang.

Sekilas Tentang Kitab Akhlak Lil Banin

Ada beberapa nilai-nilai pendidikan karakter dalam Kitab Al-Akhlāq lil Banīn jilid 1 Yaitu:‎
1.      Religius
a.    Akhlaq Kepada Allah
Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ telah menjelaskan cara seorang siswa dalam berakhlaq kepada Allah. Penjelasan tersebut terdapat dalam kutipan:

فَيَجِبُ عَلَيْكَ اَنْ تُعَظِّمَ رَبَّكَ وَتُحِبَّهُ , وَتَشْكُرَهُ عَلَى نِعَمِهِ بِأَنْ تَمْتَثِلَ اَوَامِرَهُ, وَتَجْتَنِبَ نَوَاهِيْهِ, وَاَنْ تُعَظِّمَ جَمِيْعَ مَلَائِكَتَهُ, وَرُسُلَهُ, وَاَنْبِيَائَهُ, وَالصَّالِحِيْنَ مِنْ عِبَادِهِ, وَتُحِبَّهُمْ لِاَنَّهُ تَعَالَى يُحِبُّهُمْ.
اِذَا اَحْبَبْتَ رَبَّكَ , وَامْتَثَلْتَ اَوَامِرَهُ, وَاجْتَنَبْتَ نَوَاهِيَهُ, زَادَكَ مِنْ نِعَمِهِ, وَجَعَلَكَ مَحْبُوْبًا بَيْنَ النَّاسِ, وَحَفِظَكَ مِنْ كُلِّ اَذًى وَاَعْطَاكَ كُلُّ مَا تُرِيْدُ: مِنَ الرِّزْقِ وَغَيْرِه.

Dari kutipan di atas, telah nampak bahwa Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ telah memberikan nasihat kepada siswa untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah, bahkan beliau berkata hal ini adalah wajib.
b.    Akhlaq kepada Rasulullah
Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskannya dalam kutipan‎:

اِذَا اَحْبَبْتَ نَبِيَّكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَاتْبَعْهُ فِي سِيْرَتِهِ, وَاعْمَلْ بِنَصَائِحِهِ, لِتَنَالَ مَحَبَّةَ اللهِ وَرِضَاهُ
Melalui kutipan tersebut, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menyampaikan pesannya agar semua siswa selain bertaqwa terhadap Allah, juga taat kepada Rasulullah. Karena selain taat kepada Rasulullah ini termasuk kedalam Rukun Iman, Allah juga sangat menganjurkan untuk mentaati dan mencintai rasul-Nya.
c.    Amanah (dapat dipercaya).
 Penjelasan beliau tentang karakter amanah adalah seperti pada kutipan berikut:

مُحَمَّدٌ وَلَدٌ اَمِيْنٌ, يَخَافُ اللهَ وَيَمْتَثِلَ اَمْرَهُ, وَذَاتَ يَومٍ قَالَتْ لَهُ اُخْتُهُ, سُعَادٌ: يَااَخِى, اِنَّ اَبَانَا قَدْ خَرَجَ مِنَ الْبَيْتِ, فَهَلٌمَّ بِنَا نَفْتَحُ خِزَانَةَ الطَّعَامِ لِنَأْكُلَ مَافِيْهَا مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ الَّلذِيْذَةِ فَاَبُوْنَا لَايَنْظُرُ اِلَيْنَا
فَاَجَبَهَا مُحَمَّدٌ: حَقِيْقَةً يَا اُخْتِيْ, اِنَّ اَبَانَا لَايَنْظُرُ اِلَيْنَا, وَلَكِنْ اَمَّا تَعْمَلِيْنَ: اِنَّ اللهَ هُوَالَّذِى يَنْظُرُ اِلَيْنَا.
Disini digambarkan bahwa Muhammad adalah seorang anak yang dapat dipercaya. Ia memiliki karakter yang kuat. Meskipun orang tuanya tidak ada ia tetap tidak mau melakukan hal-hal yang tercela (memakan semua makanan yang ada), karena merasa selalu diawasi oleh Allah.
2.    Disiplin
Dalam kitabnya, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menceritakan tentang kedisiplinan, yang terdapat dalam kutipan:

حَسَنٌ وَلَدٌ مُطِيْعٌ: يُصَلِّي كُلَّ يَوْمٍ, الصَّلَوَاتُ الْخَمْسِ فِيْ اَوْقَاتِهَا وَيُوَاظِبُ عَلَى الحُضُوْرِ فِي الْمَدْرَسَةِ وَعَلَى قِرَأَةِ الْقُرْاَنِ وَمُطَالَعَةِ الدُّرُوْسِ فِى الْبَيْتِ.
Melalui kutipan tersebut, tersirat bahwa Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ memberikan contoh seorang siswa harus mempunyai jadwal kegiatannya sendiri di setiap hari dan melakukan kegiatannya tersebut dengan tepat waktu.
3.    Menepati   janji
Dalam Kitab Al-Akhlāq lil Banīn jilid 1 Karakter menepati janji tersirat dalam Kutipan‎;

وَبَعْدَ مُدَّةٍ تَعَافَى الْوَلَدُ, فَتَابَ مِنْ عَادَتِهِ الْقَبِيْحَةِ .وَعَاهَدَا اَبَاهُ. عَلَى اَنْ يَعْمَلَ دَائِمًا بِنَصَائِحِهِ .
Melalui  kutipan kalimat diatas ‎Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ bermaksud untuk memeberi nasehat kepada para siswa agar selalu menepati janji. Seseorang yang berjanji kepada ayahnya untuk selalu mengamalkan nasihatnya dalam segala hal.‎

4.         Peduli lingkungan
Dalam kitabnya, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ juga menjelaskan tentang keharusan untuk peduli terhadap lingkungan;

وَاَنْ يُحَافِظَ عَلَى اَدَوَاتِ الْمَنْزِلِ : فَلَايَكْسُرُ الْاَوَانِي وَلَايُغَيِّرُ الْاَبْوَابُ وَلَايُفْسِدُالْاَشْجَارُ, وَاِذَاكَانَ عِنْدَهُ هِرٌّ اَوْدُجَاجٌ يُقَدِّمُ لَهُ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ وَلَايُؤْذِيْهِ
Nilai pendidikan karakter berupa peduli lingkungan dapat terlihat pada kalimat yang menjelaskan tentang larangan-larangan seorang siswa dalam melakukan sesuatu. Dalam hal ini Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ berpesan agar seorang siswa selalu menjaga semua perabot dan barang yang ada dirumahnya, tidak memecahkan tempat makan atau minum atau wadah lainnya, tidak merusak pintu rumah, tidak merusak pohon-pohon yang ada disekitar rumah, dan jika dirumah mempunyai hewan peliharaan seperti kucing atau ayam, maka harus selalu dirawat dengan tak lupa memberi makanan dan minuman serta tidak menyakitinya.
5.    Cinta kebersihan
Kebersihan adalah sebagian dari iman. Itulah slogan yang sudah familiar ditelinga kita. Dalam hal ini, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskan:
وَاَنْ يَبْتَعِدَ عَنِ الْوَحْلِ وَالْاَوْسَاخِ  , لِكَيْلَا يَسْقُطَ اَوْيَتَوَسَّخَ ثَوْبُهُ
 Melalui kutiban tersebut diatas, tersirat bahwa seorang siswa yang hendak pergi ke sekolah ketika berjalan, dilarang melewati  jalan yang becek ataupun kotor, karena dikhawatirkan jatuh sehingga menyebabkan baju kotor. Dengan baju yang kotor, maka kondisi belajar siswa tidak akan efektif sehingga menjadikan pelajaran tidak bisa diterima dengan baik. 

6.         Peduli sosial
Karakter Peduli sosial Menurut penjelasan Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’, yang dituangkan dalam kitabnya adalah meliputi:
a.        Sopan santun
Nilai sopan santun dalam kitab ini tersirat pada kutipan:

يَجِبُ عَلَى الْوَلَدِ اَنْ يُرَاعِيَ الْاَدَبَ فِى مَنْزِلِهِ. بِاَنْ يَحْتَرِمَ وَالِدَيْهِ وَاِخْوَانِهِ وَاَخَوَاتِهِ. وَكُلُّ مَنْ فِى اْلمَنْزِلِ, وَلَايَعْمَلُ شَيْئًا يُغَضِّبَ اَحَدًا مِنْهُمْ, وَلَايُعَانِدَ اَخَاهُ الْكَبِيْرُ وَلَايُخَاصِمَ اَخَاهُ الصَّغِيْرُ وَلَايُؤْذِى الْخَادِمُ, وَاِذَا لَعِبَ لَعِبَ بِنِظَامٍ, بِغَيْرِ صِيَاحٍ.
Melalui kutipan tersebut, bisa diketahui bahwa Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ ingin berpesan kepada semua siswa agar menjaga akhlaknya ketika dirumah. Bersikap sopan santuk terhadap semua orang dirumah, yakni bapak, ibu, kakak, adik, bahkan pembantu. Beliau berpesan agar seorang siswa tidak mudah marah jika terdapat sesuatu yang seharusnya membuatnya marah, tidak membantah jika disuruh oleh orang tuanya, selalu menghormati saudara yang lebih tua dan menyayangi saudara yang lebih muda.
b.        Menghormati orang lain.
Sikap menghormati, sangat erat kaitannya dengan sopan santun. Dalam hal ini Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskan :

وَكَانَ عَبْدُاللهِ يُصَافِحُ وَالِدَيْهِ, وَاِخْوَانِهِ وَاِخْوَاتِهِ كُلَّ صَبَاحٍ وَمَسَاءٍ وَلَايَدْخُلُ غُرْفَةَ اَحَدٍ مِنْ غَيْرِ اسْتِئْذَانٍ
Dalam kutipan diatas tersirat perintah atau anjuran yang ditujukan kepada semua siswa untuk selalu menghormati semua anggota keluarga dirumah. Sikap menghormati ini bisa dilakukan dengan cara bersalaman dengan orang tua dan saudara-saudaranya setiap akan berangkat sekolah, selalu meminta ijin jika ingin keluar rumah, dan tidak masuk kamar ayah , ibu, atau saudaranya kecuali tanpa ijin.
c.         Akhlaq kepada orang tua
Berikut ini adalah penjelasannya tentang akhlaq siswa terhadap orang tua:
1)   Akhlaq kepada Ibu
Dalam menjelaskan tentang akhlaq yang baik terhadap ibu, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ memaparkannya dalam satu sub bab tersendiri.

اَدَابُ الْوَلَدِ مَعَ اُمُّهُ
اَنْ تَمْتَثِلَ اَوَامِرَهَا مَعَ الْمَحَبَّةِ وَالْاِحْتِرَامِ, وَتَعْمَلَ كُلَّ شَيْئٍ يُفَرِّحُ قَلْبَهَا وَتَبْتَسِمَ اَمَامَهَا دَائِمًا وَتَصَافَحَهَا كُلَّ يَوْمٍ وَتَدْعُوْا لَهَا بِطُوْلِ الْعُمُرِ فِي صِحَّةٍ وَعَافِيَةٍ.
وَاَنْ تَحْذَرَ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ يُؤْذِى قَلْبَهَا, فَلَا تَعْبِسْ بِوَجْهِكَ اِذَااَمَرَتْكَ بِشَيْئٍ اَوْ غَضِبَتْ عَلَيْكَ وَلَاتَكْذِبْ عَلَيْهَا اَوْتَشْتِمَهَا, اَوْتَتَكَلَّمَ اَمَامَهَا بِكَلَامٍ قَبِيْحٍ اَوْتَنْظُرَ اِلَيْهَا بِعَيْنٍ حَادَّةٍ , وَلَاتَرْفَعْ صَوْتَكَ فَوْقَ صَوْتَهَا, وَاِذَا طَلَبْتَ مِنْ اُمِّكَ شَيْئًا فَلَاتَطْلُبْهُ اَمَامَ الضَّيْفِ , وَاِذَامَنَعَتْكَ فَاسْكُتْ وَلَا تَغْضَبْ اَوْتَبْكِ اَوْتُهَمْهِمْ عَلَيْهَا
Dalam kutipan tersebut diatas, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ memberikan nasihat kepada siswa agar memiliki karakter kepedulian sosial (terutama kepada ibunya) dengan cara taat dan patuh terhadap ibu, selalu membuat hati ibu senang, selalu tersenyum dihadapannya, meminta izin dengan cara salaman setiap akan keluar rumah, mendoakan dengan umur yang panjang serta sehat wal afiyat".

Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ juga menjelaskan bahwa seorang siswa tidak boleh melakukan segala sesuatu yang menyakitkan hati ibunya, tidak marah ketika disuruh melakukan sesuatu, tidak berbohong dan tidak berkata jelek kepada ibu, tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan ibu, tidak meminta sesuatu kepada ibu dihadapan tamu, dan ketika seorang  ibu melarang dari sesuatu yang menarik bagi anak maka anak tidak boleh  marah , menangis, atau berburuk sangka  kepadanya.
Sedangkan akhlaq terhadap ayah adalah sebagai berikut:
2). Akhlaq kepada ayah
اَدَابُ الْوَلَدِ مَعَ اَبِيْهِ
اَنْ تَمْتَثِلَ اَوَامِرَهُ وَتَسْمَعَ نَصَائِحَهُ لِاَنَّهُ لَايَأْمُرُكَ اِلَّا بِشَيْئٍ يَنْفَعُكَ وَلَا يَنْهَاكَ اِلَّاعَنْ شَيْئٍ يَضُرُّكَ.
وَاَنْ تَطْلُبَ دَائِمًارِضَاهُ : بِاَنْ تُحَافِظَ عَلَى كُتُبِكَ وَمَلَابِسِكَ وَجَمِيْعَ اَدَوَاتِكَ وَتُرَتِّبَهَا فِي مَوْضِعِهَا, وَلَا تُضَيِّعْ شَيْئًا مِنْهَا, وَاَنْ تَجْتَهِدَ فِي مُطَالَعَةِ دُرُوْسِكَ وَتَعْمَلَ فِى الْمَنْزِلِ وَخَارِجِهِ كُلَّ شَيْئٍ يُفَرِّحَ قَلْبَهُ, وَاَنْ لَاتُكَلِّفَ اَبَاكَ اَنْ يَشْتَرِيْ لَكَ شَيْئًا مِنَ الْاَشْيَاءِ وَلَاتُؤْذِىْ اَحَدًا مِنْ اِخْوَانِكَ وَاِخْوَاتِكَ.
Dalam kutipan ini, perhatian Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ terhadap karakter peduli sosial (akhlaq terhadap ayah) sudah tergambarkan dengan jelas. Tetapi di dalamnya juga terdapat beberapa nilai karakter yang lain yakni, kepedulian terhadap lingkungan, kerja keras, dan cinta damai.
d.        Akhlaq terhadap saudara
Selain harus berakhlak yang baik terhadap ayah dan ibu, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ juga memberikan nasihatnya kepada siswa untuk berakhlak yang baik terhadap saudaranya.

عَلِيٌّ وَاَحْمَدٌ اِخْوَانٌ مُتَحَبَّانِ : يَذْهَبَانِ اِلَى اْلمَدْرَسَةِ مَعًا وَيَرْجِعَانِ مِنْهَا سَوِيًّا , وَيَتَعَاوَنَانِ عَلَى اَدَاءٍ وَاجِبَاتِهِمَا , فَيَطَالِعَانِ دُرُوْسَهُمَا فِى الْمَنْزِلِ وَفِي الْمَدْرَسَةِ وَيَلْعَبَانِ وَقْتَ الَّلعْبِ مَعًا
وَفِي يَوْمٍ مِنَ الْاَيَّامِ اِشْتَرَى عَلِيٌّ نُسْخَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ الْاَخْلَاقٍ لِلْبَنِيْنَ, فَسَأَلَ اَبَاهُ قَائِلًا: يَا اَبِي تَفَضَّلْ اَخْبِرْنِيْ اَيْنَ اَخِى اَحْمَدُ فَاِنِّيْ اُرِيْدُ اَنْ اُهْدِيَ اِلَيْهِ نُسْخَةً مِنْ هذَالْكِتَابِ فَفَرِحَ اَبُوْهُ جِدًّا وَاَخْبِرْهُ بِاَنْ اَخَاهُ فِى حُجْرَةِ الْمُطَالَعَةِ

Dari sini, tersirat makna bahwa Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ ingin menyampaikan nasihatnya kepada seorang siswa hendaknya selalu berbuat baik terhadap saudaranya. Saudara-saudara adalah orang terdekat setelah orangtua kita. Jika kita ingin membahagiakan orangtua, maka hendaknya menghoramati saudara yang lebih tua, menyayangi sudara yang lebih muda, memperlakukan mereka dengan penuh kasih sayang, serta mengikuti nasihatnya selama nasihatnya itu untuk kebaikan. Tidak boleh menyakiti mereka dengan memukul atau berkata jelek, tidak boleh bertengkar, karena jika hal itu terjadi, akan membuat orang tua marah.
e.         Akhaq kepada kerabat
Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ juga menjelaskan kepada siswa agar berbuat baik terhadap kerabatnya, yakni;

اَدَابُ الْوَلَدِ مَعَ اَقَارِبَهُ
ذَاتَ يَوْمٍ رَاَى مُصْطَفَى قَرِيْبُهُ يَحْيَ, وَهُوَ ابْنُ عَمِّهِ يَلْبَسُ ثَوْبًا مُمَزَّقًا , فَرَقَّ لَهُ قَلْبُهُ, وَذَهَبَ مُسْرِعًا اِلَى مَنْزِلِهِ وَاَخَذَ مِنْهُ ثَوْبًا جَدِيْدًا فَسَلَّمَهُ اِلَى يَدَهُ قَائِلًا : تَفَضَّلُ يَا ابْنَ عَمِّي الْمَحْبُوْبِ, اَقْبِلْ مِنِّي هَدِيَّةً, فَقَبِلَهَا وَعَيْنَاهُ مَمْلُوْءَتَانِ بِالدُّمُوْعِ فَرًحًا وَسُرُوْرًا وَشَكَرَهُ كَثِيْرًا عَلَى اِحْسَانِهِ.
Melalui kutipan tersebut diatas,Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ingin menyampaikan nasihatnya kepada seorang siswa hendaknya seorang siswa itu selalu berbuat beik terhadap kerabatnya dengan cara membantu kerabat yang sedang membutuhkan. Karena dengan berlaku baik terhadap kerabat, maka ia akan merasakan senang. Sehingga tidak ada perbedaan status sosial antara orang yang berpunya dengan orang yang tidak mampu, karena saling membutuhkan apa yang dibutuhkan masing-masing.
f.         Akhlaq kepada pembantu
Tidak hanya kepada keluarga dan kerabat, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ juga menjelaskan kepada siswa untuk selalu berbuat baik kepada pembantu. Penjelasan  tersebut adalah:

كَانَ لِاَحَدِ الاَغْنِيَأِ وَلَدٌ شَرِسُ الاَخْلَاقِ . فَخُوْرٌ بِنَفْسِهِ مَوْلَعٌ بِاِيْذَاءِ غَيْرِهِ وَلَاسِيّمَا الخَدَمُ.
وَكَمْ نَصَحَهُ اَبُوْهُ, وَلَكِنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ نَصِيْحَتَهُ, وَذَاتَ مَرَّةٍ قَالَ لَهُ اَبُوْهْ : اِسْمَعْ يَا بُنَيَّ , كَمَا لاَ تُحِبُّ اَنْ يُؤْذِيَكَ اَحَدٌ فَلاَ تُؤْذِيْ غَيْرَكَ لاِنَّ الاِيْذَأّ قَبِيْحٌ جِدًّا, وَيَدُلُّ عَلىَ سُوْءِ التَّرْبِيَةِ وَاخْذَرْ كُلَّ الحَذَرِ اَنْ تُهَيِّنَ الاَخْدَامَ, وَتَتَكَبَّرَ عَلَيْهِمْ, فَهُمْ بَشَرٌ مِثْلُنَا وَيَشْعُرُوْنَ مِثْلض شُعُوْرِنَا.

Melalui kutipan tersebut, tersirat makna bahwa Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ ingin menyampaikan nasihatnya kepada para siswa untuk tidak bersikap jelek terhadap orang lain apalagi pembantu. Pembantu adalah seseorang yang sangat berjasa dalam rumah. Oleh karena itu wajib bagi setiap orang untuk selalu berbuat baik kepada mereka. Ketika menginginkan sesuatu dari mereka maka hendaklah meminta dengan ucapan yang baik dan halus, jangan menyakiti atau bersombong diri dihadapannya.

g.        Akhlaq  kepada tetangga
Akhlaq kepada tetangga, telah dijelaskan pada kutipan:
فَتَأَ دَّ بَ اَيُّهَا الْوَلَدُ مَعَ جِيْرَانِكَ وَفَرِّحْ قُلُوْبَهُمْ بِأَنْ تُحِبَّ اَوْلَادَهُمْ وَتَبْتَسِمَ اَمَامَ وُجُوْهَهُمْ وَتَلْعَبَ مَعَهُمْ بِأَدَبٍ وَاخْذَرْ اَنْ تَتَخَاصَمَ مَعَهُمْ اَوْ تَأْخُذَ لُعَبَهُمْ بِغَيْرِ اِذْنٍ مِنْهُمْ اَوْ تَفْتَخِرَ عَلَيْهِمْ بِمَلَابِسِكَ اَوْ دَرَاهِمِكَ, وَاِذَا اَعْطَتْكَ اُمُّكَ طَعَامًا اَوْ فَاكِهَةً فَلَا تَأْكُلْ ذلِكَ وَحْدَكَ, وَاَوْلَادُ جِيْرَانَكَ يَنْظُرُوْنَ اِلَيْكَ.
Sikap yang baik terhadap tetangga dijelaskan oleh Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ dengan memberikan nasihatnya kepada para siswa. Sikap baik terhadap tetangga bisa dilakukan dengan cara membahagiakannya dengan menyayangi anak-anaknya, bermain dengan anaknya dengan tidak berebut mainan, tidak bertengkar, tidak menyombongkan diri atas harta dan kekayaan diri kepada mereka serta berbagi dengan mereka.
h.        Akhlaq  kepada Guru
Guru adalah orang tua Ruh bagi seorang siswa. Oleh karena itu hendaknya memiliki akhlaq yang baik terhadap mereka. Dalam hal ini, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ ‎menjelaskan tentang akhlaq yang baik terhadap Guru:
 فَاحْتَرِمْ اُسْتَاذَكَ كَمَا تَحْتَرِمُ وَالِدَيْكَ : بِأَنْ تَجْلِسَ اَمَامَهُ بِأَدَبٍ وَتَتَكَلَّمَ مَعَهُ بِأَدَبٍ , وَاِذَا تَكَلَّمَ فَلَا تَقْطَعْ كَلَامَهُ وَلَكِنْ اِنْتَظِرْ اِلَى اَنْ يَفْرُغَ مِنْهُ , وَاسْتَمِعْ اِلَى مَا يُلْقِيْهِ مِنَ الدُّرُوْسِ وَاِذَا لَمْ تَفْهَمْ شَيْأً مِنْ دُرُوْسِكَ ,  فَا سْأَلْهُ بِلُطْفٍ وَاحْتِرَامٍ . بِاَنْ تَرْفَعَ اُصْبُعُكَ اَوَّلًا حَتَّى يَأْذَنُ لَكَ فِى السُّؤَالِ , وَاِذَا سَأَلَكَ عَنْ شَيْئٍ فَقُمْ وَاَجِبْ عَلَى سُؤَالِهِ بِجَوَابٍ حَسَنٍ , وَلَا يَجُوْزُ اَنْ تُجِيْبَ اِذَا سَأَلَ غَيْرَكَ , فَهَذَا لَيْسَ مِنَ الْاَدَبِ.
Disini, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskan tentang Akhlaq yang baik, yang harus dilakukan seorang siswa kepada gurunya secara detail yakni sebagai siswa harus menghromati gurunya sepeti halnya menghormati kedua orang tua, duduk dan berbicara dengannya dengan sopan, tidak memotong pembiacaraannya, bertanya tentang pelajaran dengan cara yang baik yaitu mengangkat tangan terlebih dahulu dan bertanya setelah guru mempersilahkan, dan menjawab pertanyaannya dengan baik.
i.        Akhlaq  kepada teman.
Kehidupan seorang siswa tak pernah lepas dari teman yang selalu bersama pada waktu-waktu tertentu. Dalam hal ini, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskan tentang akhlaq yang baik terhadap teman, yaitu:
اِذَا اَرَدْتَ اَنْ تَكُوْنَ مَحْبُوْبًا بَيْنَ زُمَلَائِكَ فَلَا تَبْخَلْ عَلَيْهِمْ اِذَااسْتَعَارُوْا مِنْكَ شَيْأً , لِاَنَّ الْبُخْلَ قَبِيْحٌ جِدًّا وَلَا تَتَكَبَّرْ عَلَيْهِمْ اِذَا كُنْتَ ذَكِيًّا اَوْمُجْتَهِدًا اَوْغَنِيًّا, لِاَنَّ الْكِبْرَ لَيْسَ مِنْ اَخْلَاقِ الْاَوْلَادِ الطَّيِّبِيْنَ وَلَكِنْ اِذَا رَاَيْتَ تِلْمِيْذًا كَسْلَانًا فَانْصَحَهُ لِيَجْتَهِدَ وَيَتْرُكَ الْكَسَلَ , اَوْبَلِيْدًا فَسَاعِدْهُ عَلَى فَهْمِ دُرُوْسِهِ, اَوْ فَقِيْرًا فَارْحَمْهُ , وَسَاعِدْهُ بِمَا قُدِّرَتْ مِنَ الْمُسَاعَدَةِ.
Melalui beberapa paragraf tersebut diatas, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ ingin menyampaikan nasihatnya tentang peduli sosial yang bagian akhlaq yang baik dilakukan untuk teman. Menurut beliau akhlaq yang baik terhadap teman bisa dilakukan dengan berbuat baik terhadap teman adalah jika seseorang ingin disayangi oleh teman maka tidak boleh pelit, sombong karena pintar, rajin atau kaya, karena sesungguhnya sombong itu bukanlah akhlaq seorang siswa yang baik. jika seorang siswa melihat ada temannya yang suka bermalas-malasan, maka jangan dibiarkan, tetapi dinasihati untuk bersungguh-sungguh dan tidak lagi bermals-malasan. Jika melihat teman yang agak telat dalam menerima pelajran maka bantulah ia memahami pelajran tersebut. Jika melihat teman yang membutuhkan, maka bantulah sesuai kemampuan.
j.        Akhlaq  dalam  berjalan
Disini Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ juga menjelaskan tentang adab seorang siswa ketika berjalan. Beliau menjelaskan‎:‎
يَنْبَغِى لِلتِّلْمِيْذِ اَنْ يَمْشِيَ مُسْتَقِيْمًا : لاَيَلْتَفِتُ يَمِيْنًا وَلاَشِمَالاً بِغَيْرِ حَاجَةٍ , وَلاَيَتَحَرَّكُ بِحَرَكَةٍ لاَتَلِيْقُ بِهِ , وَلَا يُسْرِعُ جِدًّا فِى مَشْيِهِ وَلَا يُبْطِئُ , وَلَا يَأْكُلُ اَوْ يُغَنِّى , اَوْ يَقْرَأُ كِتَابَهُ وَهُوَ يَمْشِى .
Dalam kutipan diatas, nampak bahwa seorang siswa yang berjalan ketika berangkat sekolah, atau pulang sekolah juga ada atauran-aturannya. Dianatara aturan / akhlaq yang baik yang harus dilakukan oleh seorang siswa ketika dijalan adalah tidak menoleh kanan kiri tanpa ada perlunya, tidak melakukan perbuatan yang tidak pantas dilakukan, tidak berjalan dengan terlalu cepata atau terlalu lambat, tidak berjalan sambil makan, bernyanyi atau membaca kitab.
k.      Akhlaq  siswa di Sekolah
Dalam hal ini, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskannya dalam kutipan dibawah ini:
اِذَا وَصَلَ التِّلْمِيْذُ مَدْرَسَتَهُ يَمْسَحُ خِذَاءَهُ بِالْمِمِسَحَةِ ثُمَّ يَذْ هَبُ اِلَى قِسْمِهِ فَيَفْتَحُ بَابَهُ بِلُطْفٍ . وَيَدْخُلُ بِأَدَبٍ وَيُسَلِّمُ عَلَى زُمَلَائِهِ وَيُصَافِحُهُمْ , وَهُوَ مُبْتَسِمٌ قَائِلًا : صَبَاحُ الْخَيْرِ وَالسُّرُوْرِ . ثُمَّ يَضَعُ مِحْفَظَتَهُ فِى دُرْجِ مَقْعَدِهِ , وَاِذَا جَاءَ اُسْتَاذُهُ يَقُوْمُ مِنْ مَحَلِّهِ , وَيَسْتَقْبِلُهُ بِكُلِّ اَدَبٍ وَاحْتِرَامٍ , وَيُصَافِحُهُ.

Melalui beberapa kutipan tersebut, telah dijelaskan bahwa seorang siswa juga mempunyai beberapa hal yang harus dilakukan ketika berada di dalam kelas. Ketika sampai di kelas, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan sepatu dengan cara mengusapkannya ke keset, kemudia masuk, membuka pintu dengan halus dan mengucapkan salam, menyapa sambil tersenyum dan berjabat tangan dengan teman-temnnya. Ketika guru memasuki kelas, sebagai penghormatan, yang harus dilakukan adalah berdiri ditempat kemudian menghadapnya dengan penuh hormat, serta berjabat tangan dengannya.
7.    Toleransi
Dalam hal ini, Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ menjelaskan kepada para siswa untuk selalu mempunyai sikap toleransi, yang bisa ditemukan dalam kutipan ;
وَاخْذَرْ اَيْضًا اَنْ تَسْتَهْزِئَ بِجِيْرَانِكَ اَوْتَرْفَعَ صَوْتَكَ وَقْتَ نَوْمِهِمْ , اَوْتَرْمِيَ بُيُوْتَهُمْ , اَوْتُوَسِّخَ جُدْرَانَهَا وَسَاحَتَهَا اَوْ تَنْظُرَ اِلَيْهِمْ مِنْ ثُقُوْبِ الْجِدْرَانِ وَاْلاَبْوَابِ .
Nilai karakter toleransi, bisa dilihat melalui kutipan diatas. Disini, penjelasan mengenai toleransi, dititik beratkan pada toleransi dengan tetangga, dan keluarga. Pesan yang ingin disampaikan oleh Al-Ustāż ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ kepada seorang siswa adalah bersikap toleransi dengan tetangganya dengan cara tidak mengeraskan suara ketika mereka sedang tidur, melempari rumahnya dengan batu, mengotori tembok atau halaman rumahnya, atau mengintipnya dari lubang tembok atau pintu.
Mengenai relevansi nilai-nilai tersebut terhadap siswa MI saat ini, maka perlu adanya melihat kondisi karakter siswa MI saat ini. Pada umumnya, kondisi karakter anak usia MI saat ini sedikit menurun kualitasnya dibanding dengan pada zaman ketika penulis sendiri berusia MI. Hal ini nampak pada karakter yang dipunyai oleh seorang  siswa yang belum bisa dikatakan baik secara menyeluruh. Seperti perbuatan mencontek yang kini semakin menjadi biasa dilakukan. Siswa zaman sekarang ketika ujian sedang berlangsung, mencontek itu hal yang biasa dilakukan tanpa ada rasa takut terhadap pengawasnya atau gurunya.
Tetapi meskipun demikian,  terkait dengan itu semua, sebenarnya pada anak usia MI saat ini, nilai-nilai karakter itu sudah ada dalam dirinya sebagai akibat dari pengajaran dan pelatihan oleh gurunya, meskipun dalam ukuran yang masih sedikit. Seperti nilai Religius, siswa di MI sudah terbiasa melakukan sholat Dhuha secara mandiri setelah dilatih oleh gurunya pada beberapa waktu awal mereka sekolah. Nilai karakter disiplin sudah ada pada diri anak MI, karena mereka terbiasa berangkat pagi, bahkan gerbang sekolah belum dibuka sudah ada siswa yang berangkat. Namun, belum semua nilai-nilai karakter ada pada diri seorang anak MI. Dan nilai-nilai tersebut belum tertanam dalam jiwa mereka, hanya baru menjadi kebiasaan yang baik saja. Karena sebenarnya hatinya seorang anak itu kosong dan belum tertanami apa-apa. Jika mereka berbuat baik akibat dari pengamalan karakter-karakter, itu hanyalah kebiasaan saja karena sosok figur yang dilihat adalah seperti apa yang ia lakukan tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang terdapat pada kitabAl-Akhlāq lil Banīn tersebut sebagian sudah sesuai dengan kondisi (karakter) anak usia MI saat ini. Yaitu seperti karakter religius, toleransi, disiplin, menepati janji, peduli sosial.
Semua karakter yang dipunyai oleh anak usia MI saat ini secara tidak langsung merupakan pengaplikasian dari sebagian nilai-nilai karakter yang ada di Kitab Al-Akhlāq lil Banīn jilid 1. Betapa detailnya penjelasan Al-Ustādz ‘Umar Bin Aḥmad Bārajā’ dalam menjelaskan tentang karakter yang harus dipunyai oleh seorang siswa. Mulai  dari hal terkecil seperti kebersihan menjaga pakaian, sampai akhlaq kepada Allah, orang tua, guru, dan lain sebgainya, dan karakter yang paling banyak dijelaskan oleh beliau adalah karakter peduli sosial.

Dengan demikian, sebenarnya KitabAl-Akhlāq lil Banīn jilid 1 ini sangat cocok untuk digunakan sebagai refernsi dalam mengajarkan pendidikan karakter saat ini. Khususnya pengajaran pendidikan karakter yang dilakukan di sekolah-sekolah di pesantren atau di desa. Mengingat karakter-karakter peduli sosial yang lebih mudah diterapkan di pesantren dan di desa, dari pada di kota yang hidupnya serba individualis dan egoistis. Meskipun sebenarnya Kitab Al-Akhlāq lil Banīn jilid 1 juga bisa digunakan sebagai rujukan dalam pengajaran pendidikan karakter di s

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...