Senin, 25 Oktober 2021

Keteladanan Dari Sultan Nuruddin Zanki


Pada era Perang Salib, Sulthan Shalahuddin Al-Ayyubi merupakan sosok yang paling dikenal dalam sejarah, baik dalam sejarah didunia Islam maupun dunia Barat. Selain itu, pada era Perang Salib II, dunia Islam juga memiliki sosok pejuang dan pemimpin yang juga terkenal dengan kehebatannya sebagai pembela Islam, yaitu Nuruddin Zanki (Nuruddin Zengi).

Nama lengkapnya adalah Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin 'Imaduddin Zengi  adalah anggota dari dinasti Zengi yang menguasai Libya dari tahun 1146 sampai tahun 1174. Nuruddin Zanki dilahirkan pada hari Ahad 17 Syawwal 511 H yang bertepatan dengan bulan Februari tahun 1118. 

Ia bercita-cita untuk menyatukan pasukan Muslim dari Efrat sampai Mesir. Ia juga memimpin pasukan melawan tentara salib. Sejarawan menyatakan bahwa Sulthan Nuruddin Zanki merupakan pemimpin yang lurus dan tegas dalam hal keadilan setelah Khulafaur Rasyidin dan Umar bin Abdul 'Aziz. Ia sukses menghidupkan kembali nilai-nilai Islam di negerinya. 

Sebagian umat Islam hanya mengenal beliau sebagai pejuang Islam yang melawan pasukan Salib yang dikagum-kagumi namun enggan menteladani pribadinya dan mencontoh amaliyahnya. Sultan Nuruddin Zanki sejatinya merupakan sosok pemimpin yang sangat senang dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw sebagaimana kebiasaan umat Islam di masa sekarang, khususnya di Indonesia.

Walaupun Nuruddin mempunyai tahta kerajaan, ia adalah orang yang dikenal wara' dan zuhud. Beliau merupakan sosok pemimpin yang rajin solat berjama'ah, mendirikan solat malam, dan rajin membaca Al-Qur'an serta berpuasa. Nuruddin juga dikenal dengan ketinggian ilmu Diin, selain itu ia juga dekat dengan para ulama.

Umat non-muslim di al-Quds menilai sosok Nuruddin sebagai seseorang yang memiliki sirr rahasia dengan Allah. Selain demikian, Nuruddin bukan merupakan sosok pemimpin yang gila akan pujian. Pernah ketika seorang ulama yang khawatir jika Nuruddin meninggal ketika berperang.

Nuruddin dengan segala kerendahannya hanya menjawab, "Siapa Nuruddin itu? Sehingga ia dikatakan demikian. Mudah-mudahan karena kematianku Allah memelihara negeri ini dan Islam. Itulah Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah dengan hak melainkan Dia".

Juga dengan persoalan makanan yang dimakan Nuruddin yang notabene adalah seorang yang sekelas presiden. Ketika itu istri Sultan Nuruddin mengeluh dengan kesusahan hidup yang dikondisikan oleh suaminya. Hal itu membuat seseorang ingin sekali membantu perekonomian keluarga Sultan Nuruddin. Orang itupun memberikan tiga toko pribadinya.

Nuruddin pun menolaknya dengan cara halus. berkata ia, "Itu semua yang aku miliki (engkau berikan). Dan jangan berharap kepadaku untuk meletakkan jariku pada uang umat yang diamanatkan kepadaku. Saya tidak akan mengkhianatinya. Dan saya tidak mau menceburkan diri dalam siksa Allah hanya karena diriimu".
Pada masa Sulthan Nuruddin Zanki, hidup sosok ulama bernama Syaikh Umar al-Mulla (w 570 H), seorang yang shaleh dan zuhud yang setiap tahunnya menggelar peringatan Maulid Nabi. Peringatan tersebut dihadiri oleh para ulama, umara', para penyair dan Sulthan Nuruddin Zanki yang beraqidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja).

Imam Abu Syamah (guru Imam Nawawi) didalam Ar-Roudhatain fii Akhbar ad-Daulatain pada fashal (bab) : Hawadits (peristiwa) tahun 566 H menjelaskan sebagai berikut :

قال العماد: وكان بالموصل رجل صالح يعرف بعمر الملاَّ، سمى بذلك لأنه كان يملأ تنانير الجص بأجرة يتقوَّت بها، وكل ما عليه من قميص ورداء، وكسوة وكساء، قد ملكه سواه واستعاره، فلا يملك ثوبه ولا إزاره. وكن له شئ فوهبه لأحد مريديه، وهو يتجر لنفسه فيه، فإذا جاءه ضيف قراه ذلك المريد. وكان ذا معرفة بأحكام القرآن والأحاديث النبوية.كان العلماء والفقهاء، والملوك والأمراء، يزورونه في زاويته، ويتبركون بهمته، ويتيمنَّون ببركته. وله كل سنة دعوة يحتفل بها في أيام مولد رسول الله صلى الله عليه وسلم يحضره فيها صاحب الموصل، ويحضر الشعراء وينشدون مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم في المحفل. وكان نور الدين من أخص محبيه يستشيرونه في حضوره، ويكاتبه في مصالح أموره

“al-‘Ammad mengatakan , "Di Mosol ada seorang yang shalih yang dikenal dengan sebutan Umar al-Mulla, disebut dengan al-Mulla sebab konon beliau suka memenuhi (mala-a) ongkos para pembuat dapur api sebagai biaya makan sehari-harinya, dan semua apa yang ia miliki berupa gamis, selendang, pakaian, selimut, sudah dimiliki dan dipinjam oleh orang lain, maka beliau sama sekali tidak pakaian dan sarungnya. Jika beliau memiliki sesuatu, maka beliau memberikannya kepada salah satu muridnya, dan beliau menyewa sesuatu itu untuknya, maka jika ada tamu yang datang, murid itulah yang menjamunya. Beliau seorang yang memiliki pengetahuan tentang hokum-hukum al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Para ulama, ahli fiqih, raja dan penguasa sering menziarahi beliau di padepokannya, mengambil berkah dengan sifat kesemangatannya, mengharap keberkahan dengannya. Dan beliau setiap tahunnya mengadakan peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang dihadiri juga oleh raja Mosol. Para penyair pun juga datang menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di perayaan tersebut. Shulthan Nuruddin adalah salah seorang pecintanya yang merasa senang dan bahagia dengan menghadiri perayaan maulid tersebut dan selalu berkorespondesi dalam kemaslahatan setiap urusannya".

Al-Hafidz Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala (20/532) mengatakan :

وكان ذلك تحت إمرة الملك العادل السُّنِّيِّ نور الدين محمود زنْكِي الذي أجمع المؤرخون على ديانته وحسن سيرته، وهو الذي أباد الفاطميين بمصر واستأصلهم وقهر الدولة الرافضية بها وأظهر السنة وبني المدارس بحلب وحمص ودمشق وبعلبك وبنى المساجد والجوامع ودار الحديث

“Beliau (syaikh Umar) di bawah kekuasaan raja yang adil yang sunni yaitu Nuruddin Mahmud Zanki, yang para sejarawan telah ijma’ (konsesus/sepakat) atas kebaikan agama dan kehidupannya. Beliaulah yang telah memusnahkan dinasti Fathimiyyun di Mesir sampai ke akar-akarnya, menghancurkan kekuasaan Rafidhah. Menampakkan (menzahirkan) sunnah, membangun madrasah-madrasah di Halb, Hamsh, Damasqus dan Ba’labak, juga membangun masjid-masjid Jami’ dan pesantren hadits.

Sultan Nuruddin wafat pada hari Rabu, 11 Syawal 569 H dan dimakamkan di Damaskus. Disamping kuburan beliau didirikan sebuah mesjid yang kemudian dinamakan dengan namanya. Mesjid yang sampai kini lantunan zikir dan gema shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih terdengar disana.
 ‎
Itulah Nuruddin Zanki Rahimahullah. Sosok yang luar biasa dalam sejarah Islam. Masih banyak kisah heroik dan teladan beliau yang tidak sempat kami tuangkan disini. Umat Islam patut berbangga pernah memiliki pemimpin adil nan alim dalam sosok Nuruddin Zanki. Dan patut bersedih juga karena hari ini umat Islam miskin pemimpin-pemimpin seperti beliau.‎

Ketika Mata Melihat Akal Akan Mentafsirkan

 

“Bukankah kita bersama telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa itu.” Begitu kata Shalahuddin al Ayyubi, saat al Qadhil Fadhil hendak melanjutkan penulisan sejarah perjalanan kepemimpinannya beserta beragam penaklukan-penaklukannya.
Tapi Hakim yang juga juru tulis di zaman Shalahuddin Al Ayyubi itu justru menyahut dengan ungkapan yang menakjubkan. “Sebagian telah aku saksikan, sebagian lagi tidak,” begitu mula penjelasannya. Lalu ia lebih menegaskan lagi, “Dan juga, banyak orang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu.”

“Jika masing-masing orang menceritakannya, hasilnya akan berbeda. Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan. Tapi sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, akan dicerna oleh hati dan diolah dalam pikiran.” Pungkasnya memberikan alasan yang sekaligus hikmah pengajaran akan nilai sebuah periwayatan sejarah.

Begitulah Abdurrahim al Qadhil Fadhil, pemimpin Diwan Insya’ ash Shalahi. Yaitu Majelis Penulis, Pengarang, dan Sastrawan. Tugasnya menggandakan naskah, surat, kitab dan lainnya dengan tulisan manual.

Banyak orang yang memiliki peranan besar dalam sejarah, tetapi kisah mereka cenderung terlupakan. Di antara orang-orang semacam ini adalah seorang negarawan bernama Abu Ali Abdurrahim bin Ali bin al Hasan al Asqolani al-Basyani (1131-1199/1200), atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Qadhi al-Fadhil.

Saat membahas tentang Shalahuddin dan keberhasilannya dalam Perang Salib, banyak yang lupa bahwa sebenarnya ada banyak orang di sekitar Shalahuddin yang memiliki peranan sangat besar dalam perjalanan karirnya serta pencapaian keberhasilannya.

Di antara orang-orang itu, al-Qadhi al-Fadhil termasuk yang berada di posisi teratas. Al-Qadhi al-Fadhil dilahirkan di Kota Ascalon (Asqalan) di tengah pergolakan konflik dan Perang Salib di wilayah itu. Ia pindah ke Kairo beberapa waktu sebelum Ascalon jatuh ke tangan pasukan salib pada pertengahan tahun 1153. Tubuh al-Qadhi al-Fadhil memiliki cacat, yaitu tulang punggungnya bongkok (humpback), sehingga ia terpaksa menutupinya dengan sejenis kain penutup yang terjulur dari kepala hingga melewati punggungnya (kain taylasan).

Kekurangannya ini kadang menjadi sumber celaan orang lain serta menjadikannya seorang yang sangat sensitif. Ia juga digambarkan oleh orang-orang yang hidup pada masanya sebagai seorang yang berwajah buruk.

Seorang penyair dari Maroko pernah menulis kepada temannya seperti ini:

”Saya berada di pemandian umum al-Fayyum dan tiba-tiba saya melihat … seseorang yang sangat aneh muncul (dan ia) tidak memiliki kepala ataupun leher. Wajahnya tenggelam ke dalam dadanya dan jenggotnya berada di perutnya. Dia tampak seperti seseorang yang kita kenal.”

Yang ia maksud dengan kalimat terakhir adalah al-Qadhi al-Fadhil. Pernah suatu kali al-Qadhi al-Fadhil diutus ke Mosul. Ketika buah-buahan dihidangkan, beberapa penguasa menyindirnya dengan mengatakan, ”Buah mentimunmu bengkok.” Al-Qadi al-Fadhil segera menjawabnya dengan mengatakan, ”Kubis kami lebih baik dari buah mentimunmu.”

Terlepas dari itu semua semua ia tidak pernah berputus asa dalam menjalani hidupnya dan tidak mundur dalam meraih kecemerlangan. Ia bahkan mencapai sebuah keberhasilan yang tidak mampu diraih oleh kebanyakan orang yang memiliki kesempurnaan wajah dan tubuh.

Al-Qadhi al-Fadhil memiliki kemauan yang kuat serta karir yang sangat menonjol. Ia merupakan seorang yang shalih, taat beribadah, memiliki ilmu agama yang mendalam, serta menguasai seni menulis yang sangat indah. Kehebatannya dalam menulis dan menggunakan bahasa yang indah diakui oleh banyak sejarawan.

Al-Dzahabi di dalam Siyar A’lam Nubala menyatakan, ”Kelihaian seni menulis surat dan keindahan menyusun redaksi telah terhenti pada al-Qadhi al-Fadhil.”

Ia bekerja pada pemerintahan Dinasti Fatimiyah di Kairo. Ia meniti karir di kerajaan itu hingga ia memegang kedudukan sebagai pemimpin administrasi kerajaan. Karena ketika itu Dinasti Fatimiyah sedang berada dalam pergolakan internal yang parah dan terancam oleh invasi pasukan Salib, al-Qadhi al-Fadhil, atas persetujuan dan perintah Khalifah Fathimiyah, berperan dalam membangun komunikasi serta surat menyurat dengan Khalifah Abbasiyah di Baghdad dan Nuruddin Zanki di Suriah.

Hal ini berdampak pada masuknya pasukan Suriah dibawah kepemimpinan Shirkuh dan Shalahuddin ke Mesir serta penguasaan atas negeri itu pada tahun 1169. Ketika Shalahuddin ditetapkan sebagai wazir di Mesir, ia menghadapi tantangan yang serius dalam upaya mengubah Dinasti Fatimiyah yang berhaluan Syiah menjadi Sunni serta dalam mengalihkan loyalitasnya ke Baghdad.

Ia tidak bisa serta merta mengubah haluan negeri itu, karena masih banyaknya pendukung Ismailiyah yang berada di pemerintahan Mesir. Namun berkat bantuan dan nasihat al-Qadhi al-Fadhil, proses perubahan itu bisa dilakukan dalam waktu kurang dari tiga tahun. Setelah beberapa pemberontakan kecil yang dapat segera diketahui dan ditindak, pada tahun 1171 doa shalat Jum’at di Mesir dibacakan untuk Khalifah Abbasiyah. Pada waktu yang bersamaan, khalifah terakhir Fatimiyah meninggal dunia.

Tentang ini, Shalahuddin berkomentar dengan nada simpati, ”Kalau saja kami mengetahui bahwa ia akan meninggal pada hari Jum’at ini (10 Muharram 567H; 1171), kami tidak akan membuatnya sedih dengan menghapuskan namanya pada khutbah Jum’at.”

Al-Qadhi al-Fadhil langsung meresponsnya dengan kata-kata berikut, ”Tetapi kalau ia mengetahui Anda tidak menghapus namanya dari khutbah Jum’at, mungkin dia tidak akan (jadi) meninggal dunia.”

Hadia Ragheb Dajani-Shakeel dalam disertasinya, Al-Qadi al-Fadil: His Life and Political Career, menyebutkan bahwa proses eliminasi kerajaan Fatimyah dan peralihannya menjadi sebuah kesultanan Sunni dilakukan dalam tiga tahap:

Pertama, membersihkan administrasi pemerintahan serta kekuatan militer Mesir dari para pendukung Ismailiyah.

Kedua, mempersiapkan masyarakat melalui propaganda dan pendidikan yang mengkritisi keyakinan dan kebijakan Fatimiyah.

Ketiga, membangun dan mengokohkan administrasi serta militer yang mendukung kepemimpinan Shalahuddin.

Semua itu tidak mungkin dijalankan Shalahuddin tanpa adanya bantuan orang dalam di pemerintahan Mesir, dalam hal ini al-Qadhi al-Fadhil. Karena itu tidak salah jika seorang penulis, Muhammad al-Abdah, menyebutnya sebagai “among those who revived the Sunnah.”

Sejak masa itu, al-Qadhi al-Fadhil menjadi orang kepercayaan Shalahuddin al-Ayyubi.

Nasihatnya selalu didengar oleh sang Sultan, baik dalam masalah administrasi pemerintahan, ekonomi, maupun militer. Ia juga menjadi penasihat yang baik bagi Shalahuddin dan mengingatkannya terhadap hal-hal yang dituntun dalam agama. Ketika Shalahuddin sibuk berperang dan berusaha mengambil alih wilayah Mosul, sebuah kota Muslim di Irak yang belum mau tunduk pada kekuasaannya, ia tiba-tiba jatuh sakit.

Al-Qadhi al-Fadhil kemudian menasihatinya agar fokus dalam memerangi pasukan Salib. “Anda sebaiknya tidak lagi memerangi sesama Muslim setelah Allah memberikan kesembuhan,” katanya kepada Shalahuddin. “Anda sekarang mesti mengarahkan seluruh perhatian untuk memerangi pasukan salib.” Shalahuddin menerima nasihatnya itu.

Kedudukannya pada kesultanan yang dipimpin oleh Shalahuddin digambarkan dengan sangat baik oleh seorang penulis:

Al-Qadhi al-Fadhil, semoga Allah merahmatinya, merupakan (seorang petinggi) kesultanan Shalahuddin (al-dawla al-Shalahiyya). Ia merupakan sekretarisnya, wazirnya, tuannya, penasihatnya, serta penyuplai tentaranya. Ia menanggung seluruh bebannya, memerintah seluruh wilayahnya … ketika sang Sultan sedang pergi (dari Mesir atau dari Suriah), ia memerintah sebagai wakilnya, atau membantu deputinya, baik deputinya itu merupakan salah satu adik atau anak Sultan.

Ia menerima kepercayaan itu hingga Shalahuddin meninggal dunia pada tahun 1193. Setelah itu, ia menarik diri dari dunia politik hingga ia meninggal dunia sekitar enam tahun kemudian. Kelihatannya, ia tidak merasa cocok dengan situasi politik selepas wafatnya Shalahuddin al-Ayyubi.

Di samping peranan politik, al-Qadhi al-Fadhil mempunyai banyak peranan penting lainnya. Ia mencatat berbagai peristiwa yang terjadi pada masa ia menjabat di pemerintahan dan catatannya itu berjumlah banyak dan menjadi rujukan bagi para sejarawan yang hidup setelahnya. Ia juga dikatakan mendirikan sebuah perguruan tinggi, Darb al-Mulukhiyah, di Kairo, dan tampaknya Abul Qasim al-Shatibi, seorang qari terkenal, menjadi salah satu pengajar utama di lembaga pendidikannya itu. Selain itu ia juga menerjuni bidang bisnis dan memiliki perniagaan di Hindia dan Maroko.

Hakim yang mulia, dengan segenap hikmah yang ia miliki dan ia bagikan kepada setiap yang berinteraksi dengannya. Ia sangat mendalami unsur-unsur ekstrinsik dan intrinsik dari setiap ungkapan. Ialah sang ahli makna-makna inovatif. Selalu ada makna baru dari ungkapannya, dan selalu ada ungkapan baru untuk setiap pemaknaannya.

“Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan.” Ini adalah salah satu ungkapan indah darinya, dengan makna yang begitu dalam; disampaikan kepada pemimpin besar bernama Shalahuddin al Ayyubi. Rasanya, kita perlu berulang menyeksamai ungkapan ini; Mata Melihat, Akal Menafsirkan.

Sosok yang sangat menggemari tulis-menulis dan buku-buku itu, sebagaimana dikatakan al Muwaffaq Abdul Lathif, sungguh tak jemu-jemu menghampiri Shalahuddin al Ayyubi untuk menuliskan sejarah pemerintahannya langsung dari lisan Shalahuddin al Ayyubi. Sepertinya ia paham betul untuk menghadirkan keutuhan Sejarah perlu menyatukan teks dan konteks. Maka sejarah perjalanan Shalahuddin, harus keluar dari lisan Shalahuddin sendiri.

Sungguh, ini adalah bentuk ketawadhu’an al Qadhil Fadhil. Sebab ia sejatinya bisa saja menuliskannya sendiri. Toh, ia memiliki kecakapan menulis dan kekuatan merekam setiap kejadian. Bahkan, sejatinya ialah yang telah menjadi penasehat bagi Shalahuddin al Ayyubi; yang karenanya sebagian besar konteks kebijakan Shalahuddin telah ia pahami juga. Atau, sebagian besar kebijakan-kebijakan itu lahir dari pendapatnya.

Sebagaimana Abu Syaamah berkomentar tentangnya dalam kitab Ar Raudhatain, “Ia memiliki pendapat yang bagus dan pemikiran cerdas, dihormati di mata Sultan Shalahuddin yang selalu merujuk pendapatnya dan meminta nasehatnya dalam menghadapi berbagai masalah berat. Sultan cenderung patuh kepadanya. Tidaklah Sultan menaklukkan berbagai wilayah, melainkan setelah mengikuti pendapat-pendapatnya.”

Toh, ia pula yang telah mendampingi seluruh perjalanan kepemimpinan Shalahuddin al Ayyubi. Ia telah mendampingi Shalahuddin dalam banyak hal; sebagai administrator angkatan bersenjata melawan pasukan Eropa, membentuk pasukan Ayyubiyah dan menyiapkan sistem administrasinya, menjadi bagian kementerian pemerintahan Sholahuddin, membungkam perlawanan Dinasti Ubaidiyah, menata administrasi Mesir agar bersatu di bawah kekhilafahan, menjadi juru bicara Shalahuddin di banyak diplomasi dan berperan di beragam medan Jihad Shalahuddin. Lalu, apa lagi yang belum ia ketahui dari perjalanan Shalahuddin?

Maka, tak heran bila Shalahuddin meresponnya dengan berkata, “Bukankah kita bersama telah menyaksikan peristiwa demi peristiwa itu.”

Namun sekali lagi, jawaban indah nan hikmah al Qadhil Fadhil telah memberikan banyak pengajaran. “Sebagian telah aku saksikan, sebagian lagi tidak. Dan juga, banyak orang menyaksikan peristiwa-peristiwa itu. Jika masing-masing orang menceritakannya, hasilnya akan berbeda. Mata bisa melihat, akal yang menafsirkan. Tapi sesuatu yang tak terlihat, tak terdengar, akan dicerna oleh hati dan diolah dalam pikiran.”

Ungkapan al Qadhil Fadhil ini setidaknya memahamkan kita pada 3 pelajaran:

Pertama; Urgensi sejarah itu, bukan semata tentang apa yang kita saksikan. Sebab bila hanya berdasar kesaksian, berapa banyak yang telah menyaksikan sejarah. Namun urgensi sejarah itu, terkait tafsir akan peristiwa-peristiwanya.

Kedua; Urgensi menulis sejarah, bukan semata tentang cerita-cerita yang kita kumpulkan. Sebab bila hanya berdasar kumpulan-kumpulan cerita, berapa banyak yang akan bebas menuliskannya dengan hasil yang berbeda-beda bahkan simpulan yang berbeda-beda. Namun urgensi menulis sejarah, terkait periwayatan sejarah hingga tersambung pada orang pertama yang memahami konteksnya.

Ketiga; Urgensi sejarah dan urgensi menuliskannya tersebut, pada akhirnya untuk menyelamatkan segenap manusia dari korban perasaannya sendiri. Sebab bagi yang tak melihat dan tak mendengar suatu peristiwa, cenderung akan mencerna dengan segenap perasaan hatinya yang kemudian menjadi nutrisi bagi alam pikirannya. Tentu perasaan yang dominan, seringkali menghambat seseorang dalam mengoptimalkan akal guna mendapatkan hikmah dari sesuatu hal. Maka, sejarah yang tertulis beserta tafsir dari pelakunya, akan meminimalisir dominasi perasaan karena ketidak-pahaman.‎

Imam Ibnu Jama'ah Al-Kinany Asy-Syafi'i


Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa Mesir pada malam Sabtu tanggal 4 Rabi’ul Akhir 639 H/1241 M dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H/1333 M dan dimakamkan di Qirafah Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. 

Pendidikan awal yang diperoleh Ibn Jama’ah berasal dari ayahnya sendiri yaitu Ibrahim Sa’ad Allah ibn Jama’ah (596-675 H),seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama’ah juga berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada Syaikh as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika ia di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik, Rasyid at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Abi Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa, Al-Bazaraiy dan lain-lain.‎

Berkat didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibnu Jama;ah kemudian menjadi seorang yang ahli hukum, pendidikan, juru da’wah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits, dan lain-lain. Akan tetapi beliau lebih dikenal sebagai orang yang ahli hukum, yakni sebagai hakim.

Pada masa Ibnu Jama’ah, kondisi struktur sosial keagamaan sedang memasuki masa-masa penurunan. Baghdad sebagai simbol peradaban Islam sudah hancur yang kemudian berakibat pada pelarangan terhadap kajian-kajian filsafat dan kalam, bahkan terhadap ilmu non-agama. Pelarangan ini didukung oleh sebagian ulama dan mendapat pengakuan dari penguasa. Dengan demikian Ibnu Jama’ah dibesarkan dalam tradisi sunni yang kontra dengan rasionalis serta kurang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan non-agama.
Ibn Jama’ah  berada diantara para ulama Fikih dan Pendikan yang mempunyai karya besar seperti; Al-Zarnudji (w.571 H/ 1175 M), Al-Thusy (w.673 H/ 1273 M), Ibn Jama’ah (w.773 H/ 1381 M), Al-Subky (771 H/ 1369 M). Kemudian setelah itu Zainuddin Al-Syamy (966 H/ 1558 M) yang dijuluki al-Syahid Al-Tsani (Al-Syahid yang kedua).

Ibn Jama’ah termasuk ulama yang pakar dalam bidang pendidikan. Namun demikian ia tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan Mesir. Sedangkan propesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang cukup lama.

Ibn Jama’ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi menggantikan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. Dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama dalm bidang fiqh Syafi’iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah paham Syi’ah.

Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga pendidikan. Diantaranya adalah: (1) Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar yang dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis. (2)Pendidikan istana, yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada kemampuan anak didik dan kehendak orang tua anak. (3)Kedai atau toko kitab yang fungsinya sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi diantara pelajar. (4) Rumah para ulama, yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa. (5) Rumah sakit yang di kembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat pengobatan. (6) Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian. Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah. (7) Masjid yang berfungsi selain tempat melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan social. Selain itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Stanton, Madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nizham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa madrasah yang pertama kali dibangun adalah Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. Bahkan menurut Bullet ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian, pada masa Ibn Jama’ah lembaga pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibn Jama’ah menjadi seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan.

Karya Tulis Ibn Jama’ah

Karya-karya Ibn Jama’ah pada garis besarnya terbagi kepada masalah pendidikan, astronomi, ulumul hadits, ulum at-tafsir, Ilmu fiqh dan Ushul al-Fiqh. Kitab Tadzkirat as-Sami’wa al-Mutakallimin fi Adab al-Alim wa al-Muta’ilim merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab Usthurulahmerupakan kitab yang membahas masalah astrologi. Kitab al-Munhil al-Rawy fi Ulum al-Hadits al-Nabawy merupakan ringkasan dari kitab ilmu hadits yang ditulis Ibn as-Shalah. Dalam kitab ini, Ibn Jama’ah menambahkan beberapa cacatan dan mengurutkan beberapa pembahasan. Kitab ini selesai ditulis pada bulan Sya’ban tahun 687 H. Di Damaskus. 

Selain kitab-kitab di atas, Ibnu Jama’ah juga menulis beberapa kitab lainnya, yaitu Idlah ad-Dalil fi Qath’I Hujaj ahl-Ta’wil, at-Tibyan li Muhhimat Al-Qur’an, Tajnid al-Ajnad wa Jihat al-Jihad, Tahrir al-Ahkam fi Tadhir Jasys al-Islam, al-Tanzih fi Ibthal al-Hujaj at-Tasybih, Tanqih al-Munazharat fi Tashhih al-Mukhabarah, Hujai as-Suluk fi Muhadat al-Muluk, at-Tha’ah fi Fadhilat as-Shalat al-Jama’ah, Ghurr at-Tibyan fi Tafsir A-Qur’an, al-Fawaid al-Ghazirat al-Mustanbihat min Ahadits Barirah, al-Fawaid al-Laihat min Surat Al-Fatihah, Kasyf al-Ghimmat fi Ahkam Ahl ad-Dimmah, kasyf al-Ma’any an al-Mutasyabih min al-Matsany, Mustamid al-Ajnad fi Alat al-Jihad, ar-Radd ‘ala al-Musyabbahah fi Qaulih Ta’ala ar-Rahman ‘ala al-Arsy Istawa’ al-Masalik fi ilmu al-Manasik, al-Mukhtashar fi Ulum al-Hadits, al- Muqradh fi Fawaid Takrir al- Qashash, dan lain-lain.

Corak pemikiran Ibnu Jama’ah

Corak pemikiran pendidikan Ibn Jama’ah dalam karyanya dapat digolongkan pada corak pendidikan Akhlak dan Fikih. Yaitu dengan mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Pemikiran ini merupakan wacana umum bagi literature-literature kitab kuning yang tidak bisa dihindari dari persoalan sufistik, yang secara umum merupakan bentuk replikasi atas prinsip-prinsip sufisme al-Ghozali. Terbukti bahwa konsep Ibn jama’ah ternyata banyak kesamaan dengan konsep al-Ghozali.

Konsep Pendidikan Ibnu Jama’ah

Konsep pendidikan yang dikemukakan Ibnu Jama’ah secara keseluruhan dituangkan dalam karyanya Tadzkirat as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Dalam buku tersebut beliau mengemukakan tentang keutamaan ilmu pengetahuan dan orang yang mencarinya. Keseluruhan konsep pendidikan Ibnu Jama’ah ini dapat dikamukakan sebagai berikut:

Keutamaan Ilmu, Guru, Proses Belajar-Mengajar.

Menurut Ibn Jama’ah ilmu lebih utama dari ibadah sunah seperti salat, puasa, doa dan lainnya. Karena menurutnya keutamaan ilmu lebih umum daripada ibadah sunah.

إن الإشتغال بالعلم لله أفضل من نوافل العبادات البدنية من صيام وصلاة وتسبيح ودعاء ونحو ذلك. لأن منافع العلم تعم صاحبه والناس, ومنافع النوافل البدنية مقصورة على صاحبها.

“sesungguhnya menyibukkan diri dengan ilmu karena Allah, lebih utama dari ibadah sunah yang menggerakan badan (Badaniyah) seperti puasa, shalat, tasbih, doa dan lainnya. Karena sesungguhnya manfaat ilmu meliputi pemiliknya dan manusia, sedangkan manfaat perkara sunah hanya terbatas bagi pemiliknya saja”. Beliau berdalil bahwa ilmu yang akan memperbaiki ibadah.

Karena ilmu sangatlah utama begitu juga dengan yang mengajarkan dan mempelajarinya. Namun menurut Ibn Jama’ah bahwa tidak semua ilmu, pengajar dan pelajar bisa mendapatkan keutamaan tersebut. Kecuali jika semua itu dihadapkan hanya kepada Allah swt. Beliau sebut sebagai;

الأبرار المتقين الذين قصدون به وجه الله

“orang-orang saleh, bertakwa yang hanya mengharapkan ridla Allah.”

Beliau memberikan nasehat bahwa ilmu akann tetap kekal walau ditinggal mati pemiliknya, dia senantiasa menjaga dan menghidupkan syariat.
Konsep Guru

Menurut Ibn Jama’ah, guru itu harus mempunyai adab, sifat-sifat terpuji.Dia membagi adab guru menjadi tiga;a. Adab guru terhadap profesinya. Adab guru dalam kelompok belajar. Adab guru bersama Muridnya.

Adab guru terhadap profesinya

Mengingat profesi guru sangatlah mulia sebagai penentu dalam sukses tidaknya proses belajar-mengajar serta pencapaian anak didik terhadap ilmu. Maka, tentu guru harus memiliki karakteristik yang membentuk pribadinya, diantaranya:

Pertama,Kemuliaan Akhlak. Ia menjadi sifat yang harus dimiliki oleh setiap guru. Seorang guru, menurut Ibn Jama’ah harus memiliki wibawa, khusyu’, patuh kepada Allah, dan senantiasa merasa berada dalam pengawasan Allah, dan tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.

Katagori yang terakhir disebut, menarik untuk dikaji mendalam. Ibn Jama’ah menuturkan;

ثم يجب أن لايذهب المعلم إلى السلاطين أو الملوك من غير ضرورة أو حاجة.

“kemudian wajib bagi seorang guru untuk tidak mendatangi  para pemerintah dan raja tanpa sesuatu yang mendesak dan kebutuhan (yang dibenarkan).

Ibn Jama’ah mensyaratkan dua hal bagi guru yang akan menghadap Raja; sesuatu yang mendesak dan kebutuhan yang dibenarkan oleh syariat. Hal itu untuk menjunjung tinggi kemuliaan ilmu. Karena Ilmu mepunyai derajat yang begitu tinggi. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Ibn Jama’ah berpendapat bahwa, metode yang dapat membantu guru untuk memperoleh sifat mulia tersebut adalah zuhud dan rasa puas terhadap pemberian Allah swt. Zuhud merupakan kewajiban bagi guru. Guru hanya diperbolehkan mengambil upah sekedar kebutuhan pokoknya saja.

Kedua,Karakteristik keagamaan yang kuat. Seperti; menjaga kewajiban dalam ibadah. Menjaga perkara sunah dengan lisan maupun sikap seperti; membaca Al-Qur’an, dzikir kepada Allah dengan hati dan lidah, dan senantiasa mengagungkan nama nabi setiap kali disebutkan. Tentu hal tersebut juga diwujudkan dalam pergaulan baik antar sesama. Penekanan tehadap aspek akhlak dan ibadah yang dilakukan oleh Ibn Jama’ah sepertinya karena ia sangat terpengaruh kepada kitab Harits Al-Muhasiby “Al-Ri’ayah”.

Menurut Ibn Jama’ah, semua karakeristik yang sangat ketat tersebut disebabkan oleh kredibilitas seorang guru yang harus dijaga dan teladan yang harus dicontohkan. Beliau menuturkan;

لأن زلة المعلم كبيرة, ثم لكونه القدوة للناس ولطلابه, وبالتالي فلا بد من أن يتمتع بطلاقة الوجه, وبالقدرة على كظم الغيظ, وعلى الإيثار, وعلى التلطف وعلى الأمر بالمعروف.

“karena sesungguhnya kesalahan guru akan berdampak sangat besar, juga karena dia menjadi teladan bagi manusia dan muridnya. Dari itu, ia harus senantiasa menampakan wajah berseri-seri, mampu menahan amarah, empati, lemah lembut, serta menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

Ketiga,Karakteristik profesi guru. Ibn Jama’ah memandang bahwa guru harus memilki keahlian mengemban profesinya. Karena tidak mungkin proses belajar-mengajar akan berjalan maksimal, jika guru tidak memiliki keahlian tersebut. Skiil tersebut akan didapat dan senantiasa terjaga oleh guru jika dilatih dengan menetapi dzikir, Muthala’ah dan merenung, menghafal, mengarang dan meneliti. Ibn Jama’ah mengingatkan bahwa guru harus selalu menyibukan diri dengan ilmu, dan melakukan hal lain sekedar hanya memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, minum, tidur, istirahat, menunaikan hak isteri dan lainnya. Hal itu disebabkan;

لأن درجة العلم هي درجة وراثة الأنبياء, فلا تنال إلا بشق الأنفس.

“karena ilmu merupakan derajat pewaris para nabi, maka ia tidak akan diperoleh kecuali dengan payah dan lelah.”

Bagi Ibn Jama’ah guru adalah profesi yang sangat mulia, pewaris para nabi. Maka sudah selayaknya ia mencurahkan segala waktu, tenaga, daya upayanya untuk kepentingan ilmu tersebut. Secara umum kriteria-kriteria tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.
Adab guru dalam kelas.

Sebelum memulai peralaran hendaknya guru mempersiapkan dirinya. Dan boleh begegas jika materi pelajaran sudah selesai dan murid sudah beranjak beranjak pulang. Persiapan yang harus dilakukan meliputi dzahir dan batin; Pertama,Persiapan memulai materi pelajaran. Sebelum beranjak ketempat mengajar, hendaknya guru berpakaian rapi, berhias dan memakai minyak wangi. Ibn Jama’ah mengikuti cara Imam Malik ketika mengajar.

Sebelum keluar dari rumah guru membaca doa. Guru juga harus memperhatikan cara duduk yang baik, menghadap kiblat, menampakan wibawa dan ketenangan, khusyu’, tidak bergurau, langkah kaki yang teratur, dan tangannya senantiasa tergenggam. Ketika masuk ke tempat mengajar, guru memulainya dengan doa dan bacaan Al-Qur’an serta menutup majlis dengan cara yang sama.

Kedua, Kaidah dasar dalam mengajar. Menurut Ibn Jama’ah, Guru harus bertahap memberikan materi pelajaran dan menetapkan skala prioritas dalam memulainya. Dia merumuskan tahapan materi tersebut; Al-Qur’an, Hadits, Tauhid, Ushul Fiqih, Al-Khilaf (Fiqih dan perbedaan ulama’ didalamnya), kemudian ilmu Nahwu dan dialog (Jadl). Guru juga harus menjawab pertanyaan dengan cepat agar murid tidak menganggapnya malas atau tidak bisa menjawab. Guru juga memperhatikan suaranya, kapan harus tinggi dan datar disesuaikan dengan kondisi. Yang penting semua murid dapat mendengarnya dengan jelas.

Agar proses mengajar berjalan kondusif, guru juga harus menjaga ketenangan majlis, menegur keras murid yang bertingkah buruk, dan meminta tolong terhadap murid yang cerdasan untuk dan pandai agar ikut serta dalam suksesi pengajaran seperti penertiban kelas dan lainnya.

Adab guru kepada murid

Ulama pendidikanTerdapat beberapa poin yang menjadi prinsip dasar bagi guru dalam menjalin hubungan erat antara guru dan murid;
1.      Tujuaannya hanya mengharapkan ridla Allah.
2.      Guru harus melatih dan membiasakan murid untuk ikhlas dalam niat secara bertahap.
3.      Memotivasi murid dalam mencari dan mengamakan ilmu. Juga mengingatkan bahwa tidak terpengaruh dengan dunia adalah keharusan untuk mendapatkan ilmu.
4.      Guru menghormati pribadi dan menjaga perasaan siswa dengan tidak menampakan kesalahannya terhadap yang lain.
5.      Mempermudah pelajaran bagi murid yang sulit memahami, dan mendidik murid yang cerdas dan pandai dengan sangat baik.
6.      Memahamkan pelajaran sesuai dengan kadar kemampuan siswa. Tidak membenaninya dengan tugas yang tidak dapat diemban olehnya.
7.      Memberlakukan Reward dan Punishman.
8.      Memperlakukan murid dengan setara. Namun Ibn Jama’ah melihat bahwa harus ada perhatian khusus dari guru terhadap murid yang mempunyai kecerdasan diatas rata-rata. Dengan syarat guru menjelaskan alasan tersebut terhadap murid lainnya.
9.      Bersikap rendah hati, menampakan perhatiannya kepada muridnya. Misalnya dengan memanggilnya namanya, nama ayahnya atau nama yang dapat membuat hatinya senang. Bahkan hendaknya guru ;

يسألهم عن أحوالهم وأحوال من يتعلق بهم.

“guru menanyakan keadaan muridnya dan orang yangmempunyai hubungan dengannya.”

Peserta Didik

Peserta didik yang dimaksudkan Ibn Jama’ah adalah yang telah telah beranjak dewasa dan mempunyai kecerdasan dan kemampuan untuk melakukan tindakan belajar secara mandiri dalam hal yang berkaitan dengan fisik, pikiran dan sikap dan perbuatan. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peserta didik telah melewati masa kanak-kanak yang dalam tradisi pendidikan islam biasanya belajar di kuttab.   

Untuk dapat menggapai cita-citanya, murid yang telah duduk kelas atas harus memenuhi adab berikut; 1. Adab dengan statusnya. 2. Adab dalam pelajarannya. 3. Adab kepada gurunya. Adab-adab tersebut akan dicapai jika syarat-syaratnya terpenuhi.

Adab dengan statusnya

Sepeti halnya guru, muridpun juga harus beradab dengan statusnya sebagai pelajar. Karena ia adalah penuntut ilmu yang akan mendapatkan keagungan dan kemuliaan dari Allah.

Adapun syarat-syaratnya adalah; 
1)Pembersihan hati. Hati yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu. Menurut Ibn Jama’ah, keharusan untuk membersihkan hati, seperti keharusan dalam membersihkan anggota badan dari hadats ketika hendak sholat. Ilmu seperti shalat yang menuntut kebersihan.‎

2) niat yang baik sebagai syarat, merupakan kesepakatan para ulama pendidikan. Karena ia yang akan menentukan tujuan usaha yang dilakukan. 

3) memanfaatkan usia produktif untuk mendapatkan ilmu. Para pakar pendidikan sepakat bahwa usia muda adalah usia produktif untuk mencari menghasilkan ilmu sebanyak mungkin. Selain karena pada usia ini, murid dapat fokus untuk menggapai tujuan, tanpa disibukkan oleh apapun kecuali ilmu, juga karena kekuatan fisik yang mendukung. Berbeda dengan usia senja yang sudah banyak kesibukan dan tanggung jawab. Waktu tersebut, menurut Ibn Jama’ah harus dimanfaatkan secara maksimal;

فإن كل ساعة تمضى من عمره لا بديل له, ولا عوض عنها.

”karena sesungguhnya setiap waktu yang terlewat dari usia manusia, tidak akan pernah kembali dan diganti.

4) menjauh dari kesibukan dunia. 
5)mengurarngi makan. Karena sebab pendukung untuk menggapai tujuan ilmu adalah memakan sekedarnya dari makanan halal. 
6) memanfaatkan waktu-waktu penting dalam belajar. Menurut Ibn Jama’ah waktu yang sangat tepat untuk menghafal, mengulang pelajaran dan sebagainya adalah mala hari. 
7) nasehat untuk istirahat dan tidur.  Guru harus selalu menasehati muridnya agar menunaikan hak fisiknya seperti istirahat dan tidur. Namun menurut Ibn Jama’ah istirahat dan tidur bagi seorang pelajar hanya pada waktu 1/3 malam saja. 

8) ‎memilih teman yang baik. Teman yang baik akan membantu murid menjadi baik begitu sebaliknya. Ibn Jama’ah menetapkan beberapa kriteria sahabat yang baik seperti sifat keagamaan berupa wara’, takwa,  dan mempunyai akhlak yang baik.‎
Adab murid terhadap gurunya.

Setelah diuraikan diatas keutamaan dan peran seorang guru, maka sudah sepatutnya murid memahami denngan baik adab kepada gurunya. Menurut Ibn Jama’ah, murid kepada gurunya ibarat seorang yang sakit terhadap dokter yang pandai. Ketaatan merupakan kata kunci dalam adab tersebut.

ينبغى على الطالب أن يكون مع المعلم كما يكون المريض مع الطبيب الماهر.

Artinya; sudah sepatutnya, murid harus menempatkan dirinya terhadapa gurunya, seperti orang sakit bersama dokter yang ahli.

Ketaatan yang diamksud Ibn Jama’ah bukanlah totalitas ketaatan tanpa barometer yang jelas. Tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan guru. Karena beliau sangat paham bahwa ketaatan kepada makhluk jika tidak menyalahi aturan Tuhan. Hal itu terungkap dari bahasa “dokter yang ahli” diatas. Karena dokter yang ahli pasti mempunyai dasar yang jelas dalam prakteknya begitu juga seorang guru yang telah melewati seleksi ketat diatas.

Materi Pelajaran/Kurikulum

Corak pendidikan yang dikemukaka Ibn Jama’ah adalah Fiqih-Sufistik. Pendidikan yang dia maksud adalah pendidikan keagamaan. Sejalan dengan itu, materi dan kurikulum pelajarannya pun bersifat keagamaan. Menurut beliau pelajaran yang harus diutamkan adalah; Al-Quran, Tafsir, Hadits, Ulum Al-Hadits, Ushul Al-Fiqh, Nahwu dan Shorof. Setelah itu dilanjutkan dengan pengembangan-pengembangan bidang lain dengan tetap mengacu kepada kurikulum diatas. Seperti ilmu-ilmu tentang perbedaan madzhab-dalam Fikih-, ilmu aqliyat (kalam) dan al-Sam’iyat (Tasawuf) dan lainnya. Ibn Jama’ah tidak berbicara tentang klasifikasi ilmu kepada Syar’i atau   Ghairu Syar’imaupun yang Fardlu ‘Ain atau Fardlu Kifayah, namun dari pemaparan diatas dapat kita pahami bahwa ilmu yang dimaksudkan adalah ilmu agama.

Ibnu Jama’ah memprioritaskan Al-Qur’an daripada yang lainya. Karena menurutnya ia merupakan induk ilmu (Ummu Al-Ulum). Sebagaimana pendapat Muhammad Faisal Ali Sa’ud, kurikulum Al-Qur’an merupakan cirri yang membedakan antara kurikulum pendidikan Islam dengan pendidikan lainya. Ditambah dengan Al-Hadits untuk melengkapinya dengan terlebih dahulu menghapal hadits-hadits yang prinsipil.

Metode Pembelajaran

Konsep Ibnu Jama’ah tentang metode pembelajaran hafalan dan pentuan skala prioritas (Tadarruj). Pelajar harus terlebih dahulu menentukan pelajaran yang mendasar, karena akan membuatnya mudah menghafal dan memahami. Misalnya ketika mempelajari ilmu Hadits, pelajar hendaknya menghafal hadits-hadits Shahih terlebih dahulu dan begitu seterusnya. Memulai belajar dalam materi yang tidak prinsipil tanpa penentuan skala prioritas hanya akan membuat pelajar kebingungan dan tidak focus yang akhirnya hasilnya tidak akan maksimal.    

Lingkungan Pendidikan

Para ahli pendidikan sosial umumnya berpendapat bahwa perbaikan lingkungan merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Sejalan dengan hal diatas Ibnu Jama’ah memberikan perhatian yang besar terhadap lingkungan. Menurutnya bahwa lingkungan yang baik adalah lingkungan yang didalamnya mengandung pergaulan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etis. Pergaulan yang ada bukanlah pergaulan bebas, tetapi pergaulan yang ada batas-batasnya. Lingkungan memiliki peranan dalam pembentukan keberhasilan pendidikan. Keduanya menginginkan adanya lingkungan yang kondusif untuk kegiatan belajar mengajar, yaitu kondisi lingkungan yang mencerminkan nuansa etis dan agamis.

Perhitungan Dalam Perkawinan,Pindah Rumah, Pertanian


Dalam melakukan hajat perkawinan, mendirikan rumah, bepergian dan sebagainya. Kebanyakan orang jawa dahulu, mendasarkan atas hari yang berjumlah 7(senin-minggu) dan pasaran yang jumlahnya ada 5, tiap hari tentu ada rangkapannya pasaran, jelasnya : tiap hari tentu jatuh pada pasaran tertentu.

Masing-masing hari dan pasaran mempunyai ”neptu ”, yaitu ”nilai” dengan angkanya sendiri-sendiri sebagai berikut :

Nama hari = Neptu

1. Ahad = 5
2. Senen = 4
3. Selasa = 3
4. Rabu = 7
5. Kamis = 8
6. Jum’at = 6
7. Sabtu = 9

Nama Pasaran Neptu

1. Legi = 5
2. Paing = 9
3. Pon = 7
4. Wage = 4
5. Kliwon = 8

Neptu hari atau pasaran kelahiran untuk perkawinan
Hari dan pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak lelaki masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing masing dibuang (dikurangi) sembilan.
Misalnya :
Kelahiran anak perempuan adalah hari Jumat (neptu 6) wage (neptu 4) jumlah 10, dibuang 9 sisa 1
Sedangkan kelahiran anak laki-laki ahad (neptu 5) legi (neptu 5) jumlah 10 dikurangi 9 sisa 1.

Menurut perhitungan dan berdasarkan sisa diatas maka perhitungan seperti dibawah ini:
Apabila sisa:
1 dan 4 : banyak celakanya
1 dan 5 :bisa
1 dan 6 : jauh sandang pangannya
1 dan 7 : banyak musuh
1 dan 8 : sengsara
1 dan 9 : menjadi perlindungan
2 dan 2 : selamat, banyak rejekinya
2 dan 3 : salah seorang cepat wafat
2 dan 4 : banyak godanya
2 dan 5 : banyak celakanya
2 dan 6 : cepat kaya
2 dan 7 : anaknya banyak yang mati
2 dan 8 : dekat rejekinya
2 dan 9 : banyak rejekinya
3 dan 3 : melarat
3 dan 4 : banyak celakanya
3 dan 5 : cepat berpisah
3 dan 6 : mandapat kebahagiaan
3 dan 7 : banyak celakanya
3 dan 8 : salah seorang cepat wafat
3 dan 9 : banyak rejeki
4 dan 4 : sering sakit
4 dan 5 : banyak godanya
4 dan 6 : banyak rejekinya
4 dan 7 : melarat
4 dan 8 : banyak halangannya
4 dan 9 : salah seorang kalah
5 dan 5 : tulus kebahagiaannya
5 dan 6 : dekat rejekinya
5 dan 7 : tulus sandang pangannya
5 dan 8 : banyak bahayanya
5 dan 9 : dekat sandang pangannya
6 dan 6 : besar celakanya
6 dan 7 : rukun
6 dan 8 : banyak musuh
6 dan 9 : sengsara
7 dan 7 : dihukum oleh istrinya
7 dan 8 : celaka karena diri sendiri
7 dan 9 : tulus perkawinannya
8 dan 8 : dikasihi orang
8 dan 9 : banyak celakanya
9 dan 9 : liar rejekinya

Neptu hari dan pasaran dari kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan, ditambah neptu pasaran hari perkawinan dan tanggal (bulan Jawa) semuanya dijumlahkan kemudian dikurangi/ dibuang masing tiga, apabila masih sisa :
1 = berarti tidak baik, lekas berpisah hidup atau mati
2 = berarti baik, hidup rukun, sentosa dan dihormati
3 = berarti tidak baik, rumah tangganya hancur berantakan dan kedua-duanya bisa mati.

Neptu hari dan pasaran dari kelahiran calon mempelai laki-laki dan perempuan, dijumlah kemudian dikurangi / dibuang empat-empat apabila sisanya :
1 = Getho, jarang anaknya,
2 = Gembi, banyak anak,
3 = Sri banyak rejeki,
4 = Punggel, salah satu akan mati

Hari kelahiran mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :
Ahad dan Ahad, sering sakit
Ahad dan Senin, banyak sakit
Ahad dan Selasa, miskin
Ahad dan Rebo, selamat
Ahad dan Kamis, cekcok
Ahad dan Jumat, selama
Ahad dan Sabtu, miskin
Senen dan Senen, tidak baik
Senen dan Selasa, selamat
Senen dan Rebo, anaknya perempuan
Senen dan Kamis, disayangi
Senen dan Jumat, selamat
Senen dan Sabtu, direstui
Selasa dan Selasa, tidak baik
Selasa dan Rebo, kaya
Selasa dan Kamis, kaya
Selasa dan Jumat, bercerai
Selasa dan Sabtu, sering sakit
Rebo dan Rebo, tidak baik
Rebo dan Kamis, selamat
Rebo dan Jumat, selamat
Rebo dan Sabtu, baik
Kamis dan Kamis, selamat
Kamis dan Jumat, selamat
Kamis dan Sabtu, celaka
Jumat dan Jumat, miskin
Jumat dan Sabtu celaka
Sabtu dan Sabtu, tidak baik

Memilih Saat Ijab, Ijab kabul yang unik
Dalam perkawinan Dra. Pharmasi Endang Ontorini Udaya dengan Sutrisno Sukro di Sala, ayah penggantin putri Bpk. Samsuharya Udaya telah memilih saat ijab kabul secara unik, yaitu pada malam Ahad Legi (27 Mei 73) jam 2.30 pagi.

Ketetapan itu didasarkan saat lahirnya temanten putri. Segala waktunya berjalan baik, lancar dan selamat.
Mungkin hal tersebut suatu ajaran : kalau tidak memakai perhitungan, pakailah hari kelahiran untuk hal-hal yang penting pindah rumah dsb.
Hari yang membawa kelahirannya selamat, demikian pulalah untuk hal lain-lain dalam hidupnya.

HARI-HARI UNTUK MANTU DAN IJAB PENGANTIN

(baik buruknya bulan untuk mantu):
1. Bulan Jw. Suro : Bertengkar dan menemui kerusakan (jangan dipakai)
2. Bulan Jw. Sapar : kekurangan, banyak hutang (boleh dipakai)
3. Bulan Jw Mulud : lemah, mati salah seorang (jangan dipakai)
4. Bulan jw. Bakdamulud : diomongkan jelek (boleh dipakai)
5. Bulan Jw. Bakdajumadilawal : sering kehilangan, banyak musuh (boleh dipakai)
6. Bulan Jw. Jumadilakhir : kaya akan mas dan perak
7. Bulan Rejeb : banyak kawan selamat
8. Bulan Jw. Ruwah : selamat
9. Bulan puasa : banyak bencananya (jangan dipakai)
10. Bulan Jw. Syawal : sedikit rejekinya, banyak hutang (boleh dipakai)
11. Bulan Jw. Dulkaidah : kekurangan, sakit-sakitan, bertengkar dengan teman (jangan dipakai)
12. Bulan Jw. Besar : senang dan selamat

BULAN TANPA ANGGARA KASIH

Hari anggara kasih adalah selasa kliwon, disebut hari angker sebab hari itu adalah permulaan masa wuku. Menurut adat Jawa malamnya (senin malam menghadap) anggara kasih orang bersemedi, mengumpulkna kekuatan batin untuk kesaktian dan kejayaan. Siang harinya (selasa kliwon) memelihara, membersihkan pusaka wesi aji, empu mulai membikin keris dalam majemur wayang.
Bulan – bulan anggoro kasih tidak digunakan untuk mati, hajat-hajat lainnya dan apa saja yang diangggap penting.

Adapun bulan-bulan tanpa anggara kasih adalah:
1. dalam tahun Alib bulan 2 : Jumadilakhir dan besar
2. dalam tahun ehe bulanl 2 dan : jumadilakhir
3. dalam tahun jimawal bulan 2 : Suro dan rejeb
4. dalam tahun Je bulan 2 : Sapar
5. dalam tahun Dal bulan 2 : yaitu sapar dan puasa
6. dalam tahun Be bulan 2 : mulud dan syawan
7. dalam tahun wawu bulan 2 : Bakdomulud/syawal
8. dalam tahuin Jimakir bulan 2 : Jumadilawal dan Dulkaidkah

SAAT TATAL

Saat tatal dibawah ini untuk memilih waktu yang baik untuk mantu juga untuk pindah rumah, berpergian jauh dan memulai apa saja yang dianggap penting.
Kerentuan saat itu jatuh pada pasaran (tidak pada harinya ) :
1. pasaran legi : mulai jam 06.00 nasehet.mulai jam 08.24 Rejeki : mulai jam 25.36 rejeki mulai dri jam 10 48 selamat, mulai jam 13.12 pangkalan atau (halangan) mulai jam 15.36 pacak wesi
2. pasaran pahing : mulai jam 06.00 rejeki, jam 08.24 selamat, jam 10.48 pangkalan, jam 13.12 pacak wesi, jam 15.36 nasehat.
3. pasaran pon : mulai jam 06.00 selamat, jam 08.24 pangkalan, jam 10.48 pacak wesi, jam 13.12 nasehat, jam 15.36 rejeki
4. pasaran wage mulai jam 06.00 pangkalan, jam 08.24 pacak wesi, jam 13.12 nasehat jam 15.36 selamat.
5. pasaran kliwon, mulai jam 06.00 pacak wesi, jam 08.24 nasehat, jam 10.48 rejeki, jam 13-12 selamat jam 13.36 pangkalan.

HARI PASARAN UNTUK PERKAWINAN

Neptu dan hari pasaran dijumlah kemudian dikurangi/dibuang enam-enam apabila tersisa:
1 jatuh, mati, (tidak baik) asalnya bumi
2 jatuh, jodoh (baik) asalnya jodoh dengan langit
3 jatuh , selamat atau baik asalnya barat
4 jatuh, cerai atau tidak baik asalnya timur
5 jatuh, prihatin (tidak baik) asalnya selatan
6 jatuh, mati besan (tidak baik) asalnya utara

Perhitungan mendirikan / pindahan rumah

A. Pertama-tama yg diperhitungakan adalah Bulan Jawa, yaitu :

1. Bulan Sura = tidak baik
2. Bulan Sapar = tidak baik
3. Bulan Mulud (Rabingulawal) = tidak baik
4. Bulan Bakdamulud (Rabingulakir) = baik
5. Bulan Jumadilawal = tidak baik
6. Bulan Jumadilakir = kurang baik
7. Bulan Rejeb = tidak baik
8. Bulan Ruwah (Sakban) = baik
9. Bulan Pasa (Ramelan) = tidak baik
10. Bulan Sawal = sangat tidak baik
11. Bulan Dulkaidah = cukup baik
12. Besar = sangat baik
Berdasarkan perhitungan diatas, bulan yg baik adalah : Bakdamulud, Ruwah, Dulkaidah, dan Besar.

B. Langkah kedua yaitu menghitung jumlah hari dan pasaran dari suami serta istri.

1. Suami = 29 Agustus 1973
– Rabu = 7
– Kliwon = 8
– Neptu (Total) = 15
– Tahun Jawa = 29 Rejeb 1905 TAhun WAWU Windu ADI
– Tahun Hijriah = 30 Rajab 1393 H
2. Istri = 21 Desember 1976
– Selasa = 3
– Kliwon = 8
– Neptu (Total) = 11
– Tahun Jawa = 28 Besar 1908 Tahun EHE Windu KUNTARA
– Tahun Hijriah = 29 Dzulhijah 1396 H
Jumlah Neptu Suami + Istri = 15 + 11 = 36

C. Langkah ketiga, menghitung Pancasuda.

Jumlah ((Neptu suami + Neptu Istri + Hari Pindahan/Pendirian Rumah) : 5). Bila selisihnya 3, 2, atau 1 itu sangat baik. Cara ini disebut PANCASUDA.

PANCASUDA :
1. Sri = Rejeki Melimpah
2. Lungguh = Mendapat Derajat
3. Gedhong = Kaya Harta Benda
4. Lara = Sakit-Sakitan
5. Pati = Mati dalam arti Luas

Lalu mengurutkan angka hari pasaran mulai dari jumlah yang paling kecil yaitu (selasa (3) + wage (4) = 7), hingga sampai jumlah yang paling besar yaitu (Sabtu (9) + Pahing (9) = 18.
7 + 36 = 43 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
8 + 36 = 44 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
9 + 36 = 45 : 5 sisa 5 (yg habis dibagi 5 dianggap sisa 5) = Jelek Sekali
10 + 36 = 46 : 5 sisa 1 = Baik Sekali
11 + 36 = 47 : 5 sisa 2 = Baik
12 + 36 = 48 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
13 + 36 = 49 : 5 sisa 4 = Tidak Baik
14 + 36 = 50 : 5 sisa 5 = Jelek Sekali
15 + 36 = 51 : 5 sisa 1 = Baik Sekali
16 + 36 = 52 : 5 sisa 2 = Baik
17 + 36 = 53 : 5 sisa 3 = Cukup Baik
18 + 36 = 54 : 5 sisa 4 = Tidak Baik

Dari paparan tersebut diketahui hari baik untuk mendirikan rumah tinggal, khusus bagi pasangan suami–istri yang hari-pasaran-lahir keduanya berjumlah 36 adalah :

Terbaik 1 :
a. hari-pasaran berjumlah 10 ( Selasa Pon, Jumat Wage dan Minggu Legi)
b. hari-pasaran berjumlah 15 (Rabu Kliwon, Kamis Pon dan Jumat Pahing)

Terbaik 2 :
a. hari-pasaran berjumlah 11 (Senin Pon, Selasa Kliwon, Rabu Wage dan Jumat legi)
b. hari-pasaran berjumlah 16 (Rabu Pahing, Kamis Kliwon dan Sabtu Pon)

Terbaik 3 :
a. hari-pasaran berjumlah 7 (Selasa Wage)
b. hari-pasaran berjumlah 12 (Senin Kliwon, Selasa Pahing, Rabu Legi, Kamis Wage dan Minggu Pon)
c. hari-pasaran berjumlah 17 (Kamis Pahing dan Sabtu Kliwon)

D. Selanjutnya pilih salah satu dari 21 hari baik yang berada dalam bulan Bulan Bakdamulud, Bulan Ruwah, Bulan Dulkaidah dan Bulan Besar,
yaitu:

1. Bulan Bakdamulud (Rabingulakir)
Bulan baik untuk mendirikan sesuatu termasuk rumah tinggal. Keluarga yang bersangkutan mendapat wahyu keberuntungan, apa yang diinginkan terlaksana, cita-citanya tercapai, selalu menang dalam menghadapi perkara, berhasil dalam bercocok-tanam, berkelimpahan emas dan uang, mendapat doa restu Nabi, dan lindungan dari Allah.

2. Bulan Ruwah (Sakban)
Bulan baik untuk mendirikan rumah tinggal. Rejeki melimpah dan halal, disegani, dihormati dan disenangi orang banyak, mendapat doa Rasul.

3. Bulan Dulkaidah
Cukup baik, dicintai anak istri, para orang tua, saudara, dan handaitaulan. Dalam hal bercocok-tanam lumayan hasilnya. Banyak rejeki dan cukup uang. Keadaan keluarga harmonis, tentram, damai dan mendapatkan doa dari Rasul.

4. Bulan Besar.
Baik, banyak mendapat rejeki, berkelimpahan harta-benda dan uang. Anggota keluarga yang berdiam di areal rumah-tinggalnya yang dibangun pada bulan Besar merasakan ketentraman lair batin, serta dihormati.

Terbaik 1 :
1. Selasa Pon,
2. Jumat Wage,
3. Minggu Legi,
4. Rabu Kliwon,
5. Kamis Pon,
6. Jumat Pahing,

Terbaik 2 :
7. Senin Pon,
8. Selasa Kliwon,
9. Rabu Wage,
10. Jumat legi,
11. Rabu Pahing,
12. Kamis Kliwon,
13. Sabtu Pon,

Terbaik 3 :
14. Selasa Wage,
15. Senin Kliwon,
16. Selasa Pahing,
17. Rabu Legi,
18. Kamis Wage,
19. Minggu Pon,
20. Kamis Pahing,
21. Sabtu Kliwon,

Bagi orang jawa yang masih menggunakan perhitungan jawa . Menanam segala jenis tanaman tidak hanya sekedar menanam , tetapi di cari hari baiknya. Oleh karena itu para penanam sering mencari orang pintar untuk menentukan hari dan tanaman apa yang ditanam. 

Ini semua ditujukan agar hasil tanaman nantinya tumbuh baik dan beroleh hasil yang berlimpah.

Dan berdasarkan perhitungan Neptu hari dan pasaran menanam dlm pertanian tidaklah sembarangan pada setiap harinya ada perhitungan masing-masing untuk penanaman jenis yang berbeda.

Berikut perhitungan mengenai masalah tersebut;

Setan. Roban. Sengkan. Turunan

Setan; untuk menanam cabe dan sejenisnya 

Roban; untuk menanam sesuatu yang dimanfaatkan daunnya seperti Tembakau dan sejenisnya 

Sengkan; untuk menanam pohon yang merambat seperti lada dan sejenisnya 

Turunan; untuk menanam pohon yang beranak seperti pisang dan sejenisnya 

Oyot. Godhong. Wit. Woh.

Oyot; untuk menanam jenis umbi-umbian seperti kentang. Tales. Bawang dan sejenisnya 

Godhong; untuk menanam sayuran seperti Kol. Lobak. Dan sejenisnya 

Wit; untuk menanam sesuatu yang di manfaatkan kayanya seperti pohon mahoni dan lainnya 

Woh; untuk menanam pepohonan yang di manfaatkan buahnya seperti kelapa. Sawo. Durian dan sejenisnya 

Untuk membeli alat pertanian; Tai. Wesi. Wojo. Landep.

Untuk panen; Suku. Watu. Gajah. Buto.

Untuk berembug; Cuntheng. Clureng. Lego. Wewehan.

Untuk membangun; Candi. Rogoh. Gedhong. Sempoyong.

Untuk mengawali sesuatu; Gugur. Gunung. Segoro. Asat.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...