Senin, 25 Oktober 2021

pelajaran Dari Kisah Taubatnya Imam Ibnu Aqil Rh


Nama lengkap beliau adalah Abu Al Wafa‘ Ali bin Aqil bin Muhammad Al Baghdadi Al Hanbali, Dia adalah seorang imam, ulama yang ilmunya diibaratkan seperti laut. Dia kelahiran Aleppo pada tahun 698 dan wafat pada tahun 769 H dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir. Karya tulisnya banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah.

Mengenal Silsilah Ibnu Aqil
                
Dalam biografinya, Ibnu Aqil mengungkapkan sebuah kisah tentang keluarganya. Selain karena memang sejak dini diajarkan tentang segala ilmu pengetahuan dan keterampilan, ia dikelilingi oleh orang-orang yang berpengetahuan luas dengan kecakapan yang sangat baik. Menurut Ibnu Aqil, dari keluarga ayah, semuanya dikenal sebagai tokoh di dunia penulisan. Baik dalam bidang kesekretariatan, penulisan puisi, dan kajian sastra. Ia mencontohkan kakeknya yang bernama Muhammad Ibnu Aqil. Ibnu Aqil menyatakan, Muhammad Ibnu Aqil, merupakan sekretaris Baha al Dawlah yang berkuasa pada 998 hingga 1012 Masehi. Dialah satu-satunya orang yang membuat dekrit atau surat keputusan yang memerintahkan pemakzulan khalifah Al Thai , yang berkuasa pada 974-991 Masehi. 
           ‎ 
Kemudian, Muhammad Ibnu Aqil ini juga menasbihkan Al-Qadir sebagai seorang khalifah. Sedangkan ayah Ibnu Aqil, dikenal sebagai seorang ahli debat yang paling terampil dan paling baik dalam mengucapkan dan mempertahankan argumen–argumen hukum fikih. Selain itu, ayah Ibnu Aqil dikenal pula sebagai sosok yang berpengetahuan luas soal agama. Sedangkan dari garis ibu, Idnu Aqil merupakan keturunan Al zuhri, seorang ahli ilmu kalam dan ulama fiqih yang bermazhab Hanafi. Berada dalam lingkungan seperti itu, membuat Ibnu Aqil sejak belia telah mendapatkan akses pendidikan. Pengetahuan tentang hukum dan ilmu kalam juga akhirnya menarik minat Ibnu Aqil. Termasuk, kepandaiannya dalam berceramah.

Keluasan Ilmu Ibnu Aqil
            
Sejak belia sudah akrab dengan ilmu. Di kemudian hari, dengan berkah kecerdasannya, lelaki kelahiran Baghdad, Irak, ini menjadi cendekiawan mumpuni. Ia pun menguasai kajian sastra dan memiliki kefasihan berbicara. Ia merupakan seorang yang andal dalam berceramah. Dari tangannya sejumlah karya, terutama mengenai hukum dengan madzhab hambali. Namun, pada masa selanjutnya, pemikiran dan pandangannya lebih cenderung rasional. Ini menyebabkan sejumlah kalangan menolaknya. Sebab, pada masa itu kelompok tradisional lebih dominan. Misalnya, pada 1066 Masehi, ia diangkat sebagai professor di Masjid Al-Mansur, Baghdad. Namun, banyak kalangan tradisionalis yang menentang dan menuntutnya mundur. Untuk mencegah terjadinya pertentangan yang tak berkesudahan, ia pun memutuskan mundur. George A Makdisi dalam karyanya, Ibnu Aqil: Religion and Culture in Classical Islam, menyebutkan, ada sejumlah karya yang ditulis oleh Ibnu Aqil dalam bidang kajian huku. Di antaranya adalah Kitab Al Jadal ala Tariqat Al Fuqaha. 
           ‎ 
Dalam beberapa catatan biografinya, Ibnu Aqil menyebutkan, sejumlah subjek telah ia pelajari dari para gurunya sejak ia masih belia. Di antaranya, ilmu Alquran, Hadis, waris, fiqih, kalam, tata bahasa, tasawuf, syair, ilmu persuratan, seni dakwah, dan seni berdebat. Dia belajar fikih dari Al Qadhi Abu Ya’la, belajar qira‘ah sepuluh dari Abu Al Fath bin Syaitha, belajar bahasa Arab dari Abu Al Qasim bin Barhan, dan belajar ilmu logika dari dua syaikh Muktazilah Abu Ali bin Al Walid dan Abu Al Qasim bin At-Tabban keduanya adalah sahabat Abu Al Husain Al Bashri hingga dia keluar dari sunnah.
            
Dia seorang yang cerdas, lautan ilmu dan penuh kemuliaan. Pada zamannya, dia tidak ada tandingannya. Dia menulis komentar terhadap kitab Al Funun lebih dari empat ratus jilid. Di dalam komentarnya itu, dia menekankan kejadian yang dia alami bersama orang-orang mulia, murid-muridnya, kejadian-kejadian kecil dan penuh teka-teki dan keajaiban yang dia dengar.

Komentar Ulama Atas Ibnu Aqil
            
Dari Hammad Al Harrani mendengar dari As-Silafi, ia berkata, “Aku belum pernah melihat orang seperti Abu Al Wafa` bin Aqil Al Faqih. Tak seorangpun mampu berbicara di hadapannya karena ilmunya luas, kata-katanya jelas, perkataannya bermakna dan argumennya kuat. Pada suatu hari Ibnu Aqil berbicara dengan syaikh Ilkiya Abu Al Hasan. Ilkiya berkata kepadanya, “ini bukan madzhabmu.” Ibnu Aqil berkata, “Aku seperti Abu Ali Al Juba`i, fulan dan fulan. Apakah aku tak tahu sesuatu? Aku berijtihad ketika musuh meminta argumenku. Aku punya sesuatu yang aku pertahankan dan aku jadikan argumen.” Ilkiya berkata, “Demikianlah pendapatku tentangmu.”
               ‎ 
Ibnu Aqil berkata, “Allah telah menjagaku pada masa remaja dari berbagai hal; menjagaku dari kekeliruan dan menjagaku untuk selalu cinta dengan ilmu. Aku tidak pernah bergaul dengan orang yang suka bermain. Aku hanya bergaul dengan para penuntut ilmu sepertiku. Pada waktu aku umur delapan puluhan kecintaanku terhadap ilmu lebih besar daripada ketika aku berumur dua puluh tahun. Aku baligh pada umur dua belas tahun. dan sekarang aku tidak menemukan kekurangan dalam benak, pikiran, hafalan dan ketajaman mataku dalam melihat bulan yang samar kecuali ketika kekuatanku melemah.”

Ibnu Al Jauzi berkata, “Ibnu Aqil adalah orang yang taat beragama dan menjaga batasan-batasan agama. Ketika dua anaknya meninggal, tampak dari dirinya kesabaran yang luar biasa. Dia orang yang mulia yang selalu menginfakkan apa yang dia punya. Ketika wafat dia hanya meninggalkan buku-buku dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Dia wafat pada tahun 513 H. Banyak orang yang melawatnya. Syaikh Ibnu Nashir berkata, “Kira-kira berjumlah tiga ribu orang.” Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini yang mengarang lebih besar dari kitab tersebut. Orang yang pernah melihatnya pernah menyebutkan padaku bahwa jilid sekian setelah jilid 400-an. Ibnu Rojab berkata, “Sebagian orang mengatakan jumlahnya 800 jilid”.

Karya Monumental Syarah Alfiyyah
            
Syarah alfiyyah Ibnu Aqil Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyah Ibn Malik . Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan oleh Ibn Malik pada umumnya. Kitab ini juga paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia. Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya. Antara lain hasyiyah ibn al-mayyit, hasyiyah athiyyah al-ajhuri, hasyiyah assujai, dan hasyiyah khudari.

Kisah Taubatnya Imam Ibnu Aqil Rh

Ini adalah salah satu dari beberapa catatan langka dari risalah “Tahriimun Nazhar Fii Kutubil Kalaam” karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah. Semoga Allah menjadikannya bermanfaat dan memberi kita hidayah kepada jalan yang lurus.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah berkata:

((أما بعد، فإنني وقفت على فضيحة ابن عقيل التى سماها نصيحة، وتأملت ما اشتملت عليه من البدع القبيحة، والشناعة على سالكى الطريق الواضحة الصحيحة، فوجدتها قضيحة لقائلها قد هتك الله تعالى بها ستره، وأبدى بها عورته ولو لا أنه قد تاب إلى الله عز وجل منها وتنصل ورجع عنها واستغفر الله تعالى من جميع ما تكلم به من البدع أو كتبه بخطه أو صنفه أو نسب إليه لعددناه فى جملة الزنادقة، فألحقناه بالمبتدعة المارقة))

“Amma ba’du: sesungguhnya saya mendapati kesalahan Ibnu Aqil yang dia namakan sebagai nasehat, dan saya memperhatikan dengan seksama bahwa padanya beriisi berbagai bid’ah yang buruk serta celaan terhadap orang-orang yang menempuh jalan yang jelas dan benar. Maka saya mendapatinya sebagai aib bagi yang mengucapkannya yang dengannya Allah telah membongkar tabir yang selama ini menutupinya dan dengannya dia telah menampakkan aibnya. Dan seandainya bukan karena dia telah bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dari kesalahan itu, meninggalkannya, kembali kepada kebenaran serta memohon ampun kepada Allah Ta’ala atas semua yang pernah dia katakan berupa berbagai bid’ah atau apa yang pernah dia tulis atau apa yang pernah dia susun atau yang disandarkan kepadanya, tentu kami akan menganggapnya termasuk orang-orang zindiq lalu kami gabungkan dia dengan para mubtadi’ yang keluar dari agama ini.”

Dengan kalimat-kalimat yang baik dan bermanfaat setelah khutbatul hajah ini, Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisy rahimahullah membuka risalahnya dalam membantah Ibnu Aqil agar waspada dan mengingatkan berbagai kilah dari kata-kata dan makna-makna yang disusupkan yang digunakan oleh para dai penyeru kesesatan untuk menipu manusia dalam rangka menebarkan kebathilan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ.

“Dan dia (Iblis) pun bersumpah kepada keduanya (Adam dan Hawa): “Sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang menginginkan kebaikan untuk kalian berdua.” (QS. Al-A’raf: 21)

Dan anda melihat termasuk bentuk menghiasi kebathilan dan melarikan manusia dari kebenaran adalah kesalahan besar ini yang dinamakan oleh penulisnya sebagai nasehat. Penulisnya mensifati ittiba’ (sikap mengikuti kebenaran) sebagai taklid (membebek), sikap mengikuti bimbingan ulama menurutnya dia anggap sebagai bentuk ketertipuan, menyelisihi kebenaran dia anggap sebagai ijtihad, bersandar pada pendapat pribadi dia anggap sebagai dalil, menerima berita yang hanya dibawa oleh satu orang dia anggap sebagai sikap mendiamkan (tidak kritis) terhadap yang mengatakannya, dan berbagai kedustaan nyata lainnya yang merupakan ciri-ciri para dai penyeru kesesatan yang bermacam-macam bahasanya dan berbeda-beda tempat tinggal dan zaman mereka.

Demikianlah, dan pemilik kesalahan besar tersebut (Ibnu Aqil –pent) telah mempersaksikan bahwa nasehatnya hakekatnya merupakan kesalahan besar dan dia telah mencabut kesalahan besarnya tersebut serta mengakui bid’ah, penyimpangan dan kesesatannya. Dan Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah telah menyebutkan taubat Ibnu Aqil di awal tulisan beliau, kemudian beliau mulai membantah ucapan-ucapannya yang salah yang telah lalu.

MAKA KITA PADA KESEMPATAN INI INGIN MEMPERHATIKAN DENGAN SEKSAMA TAUBAT IBNU AQIL, MAKA BERHENTILAH DAN PERHATIKAN DENGAN TELITI SERTA BANDINGKANLAH ANTARA KEMARIN DAN HARI INI!! Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi siapa saja yang memiliki hati yang hidup atau menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan…

Penulis (Ibnu Qudamah) berkata:

(وها أنا أذكر توبته وصفتها بالإسناد ليعلم أن ما وجد من تصانيفه مخالفا للسنة فهو مما تاب منه فلا يغتر به مغتر ولا يأخذ به أحد فيضل ويكون الأخذ به كحاله قبل توبته في زندقته وحل دمــه)

“Dan ini saya akan menyebutkan taubatnya dan saya jelaskan dengan diperkuat oleh sanad, agar diketahui bahwa apa yang terdapat di berbagai tulisannya benar-benar menyelisihi As-Sunnah sehingga benar-benar terbukti bahwa itu memang termasuk kesalahan-kesalahan yang dia bertaubat darinya, agar tidak ada orang yang tertipu dengannya dan agar tidak ada seorang pun mengambilnya yang bisa menyebabkannya tersesat dan menjadikannya seperti keadaannya sebelum dia bertaubat dalam keadaan zindiq dan halal darahnya.”

Kemudian beliau menyebutkan sanad beliau yang menceritakan taubat Ibnu Aqil yang itu terjadi di masjid Abus Syarif bin Ja’far dan dihadiri oleh sekian banyak manusia. Dan diantara yang disebutkan dalam pernyataan taubat tersebut adalah:

Ibnu Aqil berkata:

(إنني أبرأ إلى الله تعالى من مذاهب المبتدعة الإعتزال وغيره ومن صحبة أربابه وتعظيم أصحابه والترحم على أسلافهم والتكثر بأخلاقهم، وما كنت علقته ووجد بخطي من مذاهبهم وضلالاتهم فأنا تائب إلى الله سبحانه وتعالى من كتابته وقراءته وإنه لا يحل لي كتابته ولا قراءته ولا اعتقاده…)

“Sesungguhnya saya berlepas diri kepada Allah Ta’ala dari berbagai madzhab bid’ah seperti Mu’tazilah dan selainnya, dari pertemanan dengan para tokohnya, dari memuliakan orang-orang yang meyakininya, dari mendoakan rahmat bagi pendahulu mereka dan dari membicarakan akhlak mereka. Dan apa saja yang saya komentari dan dijumpai dengan tulisan saya pada berbagai madzhab dan kesesatan mereka, maka saya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari penulisan dan membacanya, dan sesungguhnya tidak halal bagiku untuk menulisnya, membacanya dan tidak pula untuk meyakininya…”

Ibnu Aqil juga berkata:

(فإني استغفر الله وأتوب إليه من مخالطة المبتدعة: المعتزلة وغيرهم ومكاثرتهم والترحم عليهم والتعظيم لهم فإن ذلك كله حرام ولا يحل لمسلم فعله…)

“Maka sesungguhnya saya memohon ampun kepada Allah dan saya bertaubat kepadanya dari bergaul dengan para ahli bid’ah seperti Mu’tazilah dan selain mereka, dari memperbesar jumlah mereka, dari mendoakan rahmat untuk mereka serta dari memuliakan mereka, karena itu semua haram dan tidak halal bagi seorang muslim pun untuk melakukannya…”

Ibnu Aqil juga berkata:

(وقد كان سيدنا الشريف أبو جعفر -أدام الله علوه وحرس على كافتنا ظله ومن معه من الشيوخ والأتباع- سادتي وإخواني -أحسن الله عن الدين والمروءة جزاءهم- مصيبين في الأنكار علي لما شاهدوه بخطى في الكتب التي أبرأ إلى الله تعالى منها، وأتحقق أنني كنت مخطأ غير مصيب)

“Dan sungguh pemimpin kami yang mulia yaitu Abu Ja’far –semoga Allah senantiasa meninggikan kedudukannya dan menjaga beliau serta para masayikh dan orang-orang yang mengikuti mereka– yang mana mereka adalah para pemimpin dan saudara-saudara saya –semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada mereka atas usaha menjaga agama dan kehormatan– mereka adalah orang-orang yang benar dalam mengingkari kesalahan saya, karena mereka benar-benar menyaksikan tulisan tangan saya di kitab-kitab tersebut yang saya berlepas diri kepada Allah darinya, dan telah terbukti bahwa saya dahulu benar-benar salah dan tidak benar.”

Ibnu Aqil juga berkata:

(واعتقدت في الحلاج أنه من أهل الدين والزهد والكرامات، ونصرت ذلك في جزء عملته، وأنا تائب إلى الله تعالى منه، وأنه قتل بإجماع علماء عصره وأصابوا في ذلك وأخطأ هو)

“Dan saya pernah meyakini bahwa Al-Hallaj termasuk orang yang baik agamanya, zuhud dan memiliki karamah, saya telah membelanya dengan menulis satu juz kitab yang benar-benar telah saya lakukan, dan saya bertaubat kepada Allah Ta’ala dari perbuatan tersebut dan saya meyakini bahwa dia dibunuh berdasarkan ijma’ para ulama di masanya, dan para ulama tersebut telah benar dan yang salah adalah dia.” (Al-Bidaayah wan Nihaayah, 12/105)

Ibnu Aqil juga berkata:

(ومتى حفظ على ما ينافي هذا الخط وهذا الإقرار فلإمام المسلمين أعز الله سلطانه مكافاتي علي ذلك بما يوجبه الشرع من ردع ونكال وإبعاد وغير ذلك وأشهدت الله تعالى وملائكته وأولى العلم على جميع ذلك غير مجبر ولا مكره، وباطني وظاهري في ذلك سواء قال الله تعالى: (ومن عاد فينتقم الله منه والله عزيز ذو انتقام…)

“Dan kapan saja dicatat yang bertentangan berupa hal-hal yang menyelisihi tulisan dan pernyataan saya ini, maka pemerintah kaum Muslimin –semoga Allah memuliakan kekuasaannya– berhak untuk menghukum saya sesuai dengan tuntutan syariat berupa pencekalan, hukuman, pengusiran dan yang lainnya. Dan saya mempersaksikan kepada Allah, para malaikatnya serta para ulama atas semua itu tanpa ditekan dan tanpa dipaksa, dan lahir batin saya sama dalam hal itu. Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللهُ مِنْهُ وَاللهُ عَزِيْزٌ ذُوْ انْتِقَامٍ.

“Dan siapa yang kembali mengulangi perbuatan dosa, maka Allah akan menimpakan hukuman kepadanya, dan Allah Maha Mulia dan mampu menimpakan hukuman.” (QS. Al-Maidah: 95)

Demikian redaksi taubatnya, kemudian dia menyebutkan para saksi dan berikut ini bunyi naskah pernyataannya:

أشهدني المقر علي إقراره بجميع ما تضمنه هذا الكتاب وكتب. عبد الله بن رضوان في المحرم سنة خمس وستين وأربعمائة. بمثل ذلك:

أشهدني وكتب محمد عبدالرزاق بن أحمد بن السني .

أشهدني المقر علي إقراره بجميع ما تضمنه هذا الكتاب وكتب. الحسن بن عبدالملك بن محمد بن يوسف بخطه .

سمعت إقرار المقر بذلك وكتب محمد بن أحمد بن الحسن

“Telah hadir sebagai saksi atas saya sebagai pihak yang menyatakan pengakuannya terhadap semua yang tertuang dalam kitab ini pada bulan Muharram tahun 465 H:

Tertanda:

Abdullah bin Ridhwan

Muhammad Abdur Razzaq bin Ahmad As-Sunny

Telah hadir sebagai saksi atas saya sebagai pihak yang menyatakan pengakuannya terhadap semua yang tertuang dalam kitab ini.

Tertanda: Al-Hasan bin Abdul Malik bin Muhammad bin Yusuf, dengan tulisan tangannya sendiri.

Saya telah mendengar pengakuan orang yang menyatakannya.

Tertanda: Muhammad bin Ahmad bin Al-Hasan.

Saksi-saksi lain atas taubatnya dari kebathilannya masih banyak.

Lihat kitab Thariimun Nazhar Fii Kutubil Kalaam hal. 33-34.
Catatan Pertama: Hal-hal yang perlu diperhatikan pada taubat Ibnu Aqil rahimahullah:

1. Kehadirannya kepada para ulama di zamannya dengan penuh tawadhu’ tanpa menyombongkan diri.

2. Tujuan kehadirannya adalah untuk mengumumkan berlepas dirinya dari bid’ah yang dahulu dia lakukan tanpa berusaha mencari-cari alasan untuk membela diri.

3. Berlepas dirinya dari kesalahan dia mengandung pengakuan terhadap kebathilannya tanpa bersilat lidah dan tanpa ngeyel hingga pada tahap mengajak pihak lain yang benar untuk saling melaknat.

4. Dia membedakan antara bara’ah dengan tabri’ah, bara’ah adalah mengakui kebathilannya yang dituduhkan kepadanya yang memang dia pernah melakukannya sebelum itu dan dia bertaubat setelah itu, sedangkan tabri’ah adalah menyangkal hal-hal yang dituduhkan kepadanya berupa kebathilan dan memastikan bahwa dia di atas kebenaran sebelum dan setelahnya.

5. Dia memulai perkataannya dengan bara’ah yang pasti dan jelas dari berbagai madzhab yang bathil dan selainnya yang pernah dia yakini.

6. Berlepas diri yang jelas dan nyata dari pertemanan dan dari pergaulan serta dari sikap memuliakan para ahli bid’ah.

7. Pengakuannya bahwa dia pernah membela berbagai madzhab bid’ah dengan tulisan, kitab, membaca dan meyakininya, seperti pengakuan seorang penjahat atas kejahtannya tanpa bersilat lidah dan berkilah.

8. Vonisnya terhadap berbagai madzhab bid’ah sebagai kesesatan tanpa ragu-ragu.

9. Pernyataannya yang jelas di dalam mengungkapkan taubatnya dengan mengatakan: “Saya bertaubat” tanpa mengaitkannya dengan:

Ucapan “insya Allah” yang mengandung makna benar-benar terjadi dan bisa juga belum tentu.
Fi’il (kata kerja) mudhari’ yang mengandung makna pada waktu sekarang dan yang akan datang.
Ucapan “Si fulan atau alan juga bertaubat dari kesalahannya” karena dia benar-benar orang yang berbuat dosa yang mengakui kesalahannya.
10. Berlepas diri dari menulis dan membaca untuk membela bid’ah dan ahli bid’ah setelah secara jelas mengakuinya.

11. Memastikan bahwa tidak halal untuk membaca dan menulis serta meyakini kebathilan yang dahulu dia namakan dengan nasehat.

12. Istighfarnya atas kebathilannya dan pengumuman taubatnya di hadapan orang banyak dengan ketundukan tanpa menyombongkan diri.

13. Mengulang-ulang pengakuannya terhadap kebathilan yang pernah dia lakukan, karena pengakuan yang disertai dengan taubat merupakan keutamaan yang diketahui oleh orang-orang yang memiliki ilmu dan keutamaan.

14. Mengulang-ulang sikap berlepas dirinya dari kebathilan semuanya tanpa perkecualian.

15. Memastikan bahwa apa yang dahulu dia lakukan adalah haram dan bathil.

16. Memastikan bahwa tidak halal bagi seorang muslim pun untuk melakukan apa yang pernah dia lakukan, sehingga dia tidak mencari-cari alasan dan tidak menghiasi kesalahannya untuk orang lain dengan dalih-dalih yang lemah.

17. Memastikan dengan jelas bahwa memuliakan ahli bid’ah akan membantu menghancurkan Islam, jadi dia tidak membuat-buat kaidah atau prinsip untuk membela mereka.

18. Memuji pihak-pihak yang menjadi sebab kembalinya kepada kebenaran dan mengakui keutamaan mereka tanpa mencela mereka.
19. Pengakuannya bahwa dia pernah meyakini salah seorang tokoh bid’ah dan kesesatan di zamannya sebagai orang yang memiliki agama yang lurus dan memiliki karamah, tanpa membawa ucapannya yang global kepada makna ucapannya yang terperinci dan tanpa menggunakan kaidah muwazanah yang rusak.

20. Pengakuannya bahwa dia pernah membela salah seorang tokoh mubtadi’ pada sebuah juz dari kitab-kitabnya dan menghiasinya dengan membuat-buat teori-teori yang rusak dan kaidah-kaidah yang bathil, jadi mengakui keburukan pada peletakan kaidah dan pada penerapannya. Maka dia pun bertaubat dari itu semua.

21. Pengakuannya bahwa para ulama di masanya mereka di atas kebenaran yang nyata, mereka mengatakan perkataan yang terpercaya, dan bahwasanya yang selama ini dia yakini, dia ucapkan dan dia lakukan adalah bentuk permusuhan terhadap kebenaran yang nyata.

22. Pengakuannya terhadap benarnya pihak-pihak yang mengingkarinya dari para masayikh, para ulama serta orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka. Dengan pengakuannya ini dia telah menampar wajah semua pihak yang selama ini membelanya dan mendukung kebathilannya atau mencela para Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka.

23. Penetapannya terhadap perbedaan antara para Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka dalam hal kedudukan, ilmu dan keutamaan.

24. Pengakuannya dan pujiannya bahwa orang-orang yang mengikuti bimbingan para ulama mereka adalah orang-orang yang mengikuti bimbingan Masayikh Kibar dan mereka bukan orang-orang yang taklid.

25. Dia bisa membedakan antara iitiba’ dan taklid setelah sekian lama dalam kebingungan, serta bisa membedakan antara menerima kebenaran dengan mengambil pendapat yang bodoh.

26. Pengakuannya bahwa pengingkaran para Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka terhadapnya adalah karena mereka benar-benar mengetahui keadaannya dan menyaksikan kitab-kitabnya.

27. Pengakuannya bahwa pengingkaran mereka terhadapnya bukan merupakan upaya untuk membawa ucapannya kepada makna yang tidak semestinya, atau karena kepentingan pribadi, atau karena ingin terkenal, atau karena berpegang dengan kata-kata yang bisa menimbulkan salah paham, tidak jelas dan bersifat global.

28. Mengulang-ulang pujian kepada Masayikh dan orang-orang yang mengikuti bimbingan mereka, yaitu para ulama dan pengikut mereka di zamannya, padahal mereka telah menghancurkan kehormatannya (dengan membantahnya –pent), walaupun demikian dia tidak mensifati mereka dengan sifat keras dan tidak pula menjuluki mereka sebagai orang-orang yang keras, melampaui batas dan curang.

29. Dia mengetahui bahwa kerasnya pengingkaran mereka terhadapnya adalah sikap yang benar dan wajib terhadapnya, jadi itu adalah sikap keras dalam kebenaran dan bukan sikap keras pada akhlak.

30. Pengakuannya bahwa mereka memiliki kepemimpinan dan senang dengan persaudaraan, tanpa ada kegoncangan (keraguan) dan tanpa catatan.

31. Pemilihannya terhadap kata-kata yang indah dan ungkapan yang bagus serta adab yang tinggi, yaitu dengan mensifati mereka dengan kepemimpinan. Jadi mereka adalah para pemimpinnya dalam hal ilmu dan adab, dan dia mengumumkan taubatnya di sisi mereka agar persaksian mereka bagi taubatnya menjadi keutamaan baginya.

32. Mendoakan mereka dengan kebaikan, memuji mereka dan mengakui keutamaan mereka tanpa mencela dan tanpa menghina mereka baik dengan ucapan, perbuatan maupun isyarat.

33. Pengakuannya yang berulang-ulang bahwa dia pernah membela kebathilan dengan tulisan, membaca dan meyakini, dan bahwasanya dia bertaubat dari itu semua tanpa membela diri dengan menyatakan bahwa maksudnya baik, dan tidak pula dengan menyatakan: “Si fulan sebelumku telah meyakini seperti ini.”

34. Dia memastikan dengan jelas bahwa dahulu dia berada di atas kesesatan dan bid’ah tanpa ragu dan tidak tertipu dengan orang-orang yang selama ini membelanya.

35. Dia menyerahkan urusannya kepada pemerintah Muslimin jika yang dicatat darinya selain hal-hal tersebut.

36. Pengakuannya bahwa kebathilannya yang pernah dia yakini mengharuskan untuk mencekal, menghukum dan mengusirnya.

37. Mempersaksikan kepada Allah Ta’ala, para malaikat-Nya serta para ulama atas semua yang dia sebutkan.

38. Dia melakukan semua itu tanpa tekanan dan tanpa paksaan.

39. Dia menyatakan bahwa lahir dan batinnya pada semua itu adalah sama tanpa berganti-ganti warna dengan berbagai kilah.

40. Mempersaksikan kepada para saksi atas pengakuannya terhadap semua yang terkandung pada pernyataan taubatnya.

41. Semua itu dia lakukan di masjid di hadapan orang banyak.

Jadi, seseorang terlebih lagi para pengemban ilmu dan para penuntutnya hendaknya mereka mengetahui mana taubat yang benar dan mana taubat yang dusta. Dan hendaknya mereka mengetahui macam-macam taubat sehingga tidak tertipu atau dirancukan dalam membedakan satu jenis taubat dengan taubat yang lain.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(وفرقنا بين التوبة التي تدرأ العذاب والتوبة التي تنفع في المآب)

“Dan kita harus bisa membedakan antara taubat yang tujuannya untuk menghindarkan dari hukuman dengan taubat yang akan bermanfaat pada hari kiamat nanti.”(Ash-Sharimul Maslul hal. 397)

Juga hendaknya diketahui perbedaan antara taubat orang yang menentang yang suka berkilah dan bersilat lidah dengan taubat orang yang mengakui kesalahan, serta perbedaan antara bara’ah dengan tabri’ah, bara’ah adalah mengakui kebathilannya yang dituduhkan kepadanya yang memang dia pernah melakukannya sebelum itu dan dia bertaubat setelah itu, sedangkan tabri’ah adalah menyangkal hal-hal yang dituduhkan kepadanya berupa kebathilan dan memastikan bahwa dia di atas kebenaran sebelum dan setelahnya.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(ولهذا الحديث قال الإمام أحمد في الرجل يشهد عليه بالبدعة فيجحد: ليست له توبة إنما التوبة لمن اعترف فأما من جحد فلا توبة له)

“Dan berdasarkan hadits ini, Al-Imam Ahmad berkata tentang seseorang yang dipersaksikan melakukan sebuah bid’ah namun dia mengingkari: ”Dia tidak bertaubat, taubat itu hanya bagi orang yang mengakui. Adapun orang yang menentang maka tidak benar taubatnya.” (Ash-Sharimul Maslul hal. 361)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

(وأما من تاب عن ذنب أو كفر ثم رجع إلى ما تاب إليه عنه، فإنه إن كانت توبته تلك وهو معتقد للعودة فهو عابث، مستهزئ مخادع لله تعالى)

“Adapun siapa saja yang bertaubat dari sebuah dosa atau dari kekafiran, lalu dia kembali mengulangi hal-hal yang dia pernah bertaubat darinya, jika taubatnya itu dia lakukan dalam keadaan berniat untuk mengulanginya, maka dia adalah orang yang main-main, mengolok-olok dan menipu Allah Ta’ala.” (Al-Fashl Fil Milal wal Ahwa’, 7/107)

Juga hendaknya mengetahui kapankah lahiriah seseorang menjadi bukti yang benar.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(لأن الظاهر إنما يكون دليلا صحيحا معتمدا إذا لم يثبت أن الباطل خلافه، فإذا قام دليل على الباطن لم يلتفت إلى ظاهر قد علم أن الباطن خلافه)

“Karena sesungguhnya lahiriah seseorang hanyalah menjadi bukti yang benar dengan dijadikan sandaran jika tidak terbukti bahwa ada kebathilan yang menyelisihinya. Maka jika terdapat bukti yang menunjukkan apa yang ada di dalam bathin, tidak boleh menoleh kepada lahiriah yang telah diketahui bahwa bathinnya menyelisihinya.” (Ash-Sharimul Maslul hal. 343)

Abu Muhammad (Ibnu Hazm –pent) berkata:

(ولا تكون التوبة إلا بالندم والإستغفار وترك المعاودة، والعزيمة على ذلك، والخروج من مظلمة إن تاب عنها إلى صاحبها بتحلل أو إنصاف، ورأيت لأبي بكر أحمد بن علي بن يفجور المعروف بابن الأخشيد وهو أحد أركان المعتزلة… وكان أبو بكر ابنه يتفقه للشافعي فرأيت له في بعض كتبه يقول: (إن التوبة هي الندم فقط وإن لم ينو مع ذلك ترك المراجعة لتلك الكبيرة…) قال أبو محمد: (هذا أشنع ما يكون من قول المرجئة لأن كل معتقد للإسلام فبلا شك ندرى أنه نادم على كل ذنب يعمله عالما بأنه مسيء فيه مستغفر منه، ومن كان بخلاف هذه الصفة وكان مستحسنا لما فعل غير نادم عليه فليس مسلما، فكل صاحب كبيرة فهو على قول ابن الأخشيد غير مؤاخذ بها لأنه تائب منها، وهذا خلاف الوعيد)

“Taubat tidaklah terwujud kecuali dengan penyesalan, istighfar, tidak mengulangi kesalahan dan bertekat kuat atas hal itu serta keluar dari kezhaliman jika dia benar-benar bertaubat darinya dengan cara minta dihalalkan (minta maaf) kepada pihak yang dizhaliminya atau mengembalikannya. Dan saya telah melihat tulisan Abu Bakr Ahmad bin Ali bin Yafjur yang terkenal dengan Ibnul Akhsyid yang mana dia merupakan salah satu tokoh Mu’tazilah… dan Abu Bakr ini dia belajar kepada Asy-Syafi’iy, maka saya melihatnya mengatakan di sebagian kitabnya dia berkata: ‘Sesungguhnya taubat hanyalah penyesalan saja walaupun tidak disertai niat untuk tidak mengulangi dosa besar tersebut…” Abu Muhammad berkata: “Ini termasuk keyakinan Murji’ah yang paling buruk, karena semua orang yang meyakini Islam tanpa diragukan lagi kita mengetahui bahwa dia menyesali semua dosa yang dia lakukan dan mengetahui bahwa dia berbuat buruk serta meminta ampunan darinya, dan siapa yang sifatnya berbeda dengan hal ini dan dia menganggap baik apa yang dia lakukan tanpa merasa menyesal, maka dia bukan seorang muslim. Jadi semua pelaku dosa besar berdasarkan keyakinan Ibnul Akhsyid ini dia tidak boleh dihukum karena dia telah bertaubat darinya, dan ini tentu menyelisihi ancaman (dari Allah –pent).” (Al-Fashl Fil Milal wal Ahwa’ 4/156)

Jadi hal yang aneh adalah orang yang menjadikan taubat yang dibesar-besarkan dan sah hanya dengan penyesalan, dan yang lebih aneh lagi adalah orang yang mengajak pihak lain untuk saling melaknat karena meyakini hal itu.

Dan hendaknya diketahui bahwa sumpah-sumpah terkadang merupakan bukti atas kedustaan orang yang mengucapkannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِيْنَ.

“Dan dia (Iblis) pun bersumpah kepada keduanya (Adam dan Hawa): “Sesungguhnya aku benar-benar termasuk orang yang menginginkan kebaikan untuk kalian berdua.” (QS. Al-A’raf: 21)

Juga firman-Nya:

يَحْلِفُوْنَ بِاللهِ لَكُمْ لِيُرْضُوكُمْ.

“Mereka bersumpah kepada kalian dengan nama Allah agar bisa membuat kalian ridha.” (QS. At-Taubah: 62)

Juga firman-Nya:

يَحْلِفُوْنَ بِاللهِ مَا قَالُوْا.

“Mereka bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengucapkan ucapan kekafiran.” (QS. At-Taubah: 74)

Juga firman-Nya:

يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ.

“Mereka bersumpah kepada kalian agar kalian ridha terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 96

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(دلت هذه الآيات كلها على أن المنافقين كانوا يرضون المؤمنين بالأيمان الكاذبة وينكرون أنهم كفروا ويحلفون أنهم لم يتكلموا بكلمة الكفر، وذلك دليل على أنهم يقتلون إذا ثبت عليهم بالبينة لوجوه:

 “Ayat-ayat ini semuanya menunjukkan bahwa orang-orang munafik berusaha membuat ridha orang-orang yang beriman dengan cara melakukan sumpah-sumpah dusta dan mereka mengingkari bahwa mereka kafir serta bersumpah bahwa mereka tidak mengucapkan ucapan kekafiran. Dan hal itu merupakan bukti yang menujukkan bahwa mereka akan dibunuh jika ada bukti nyata, hal ini berdasarkan beberapa sisi:

إحداهما: أنهم لو كانوا إذا أظهروا التوبة قبل ذلك منهم لم يحتاجوا إلى الحلف والإنكار ولكانوا يقولون: قلنا وقد تبنا، فعلم أنهم كانوا يخافون إذا ظهر ذلك عليهم أنهم يعاقبون من غير استتابة.

Pertama: Seandainya ketika mereka menampakkan taubat, hal itu diterima dari mereka, tentu mereka tidak perlu untuk bersumpah dan mengingkari dan niscaya mereka akan mengatakan: “Kami telah mengucapkan ucapan kekafiran itu dan kami telah bertaubat darinya.” Maka diketahuilah bahwasanya jika ucapan kekafiran itu terbukti mereka ucapkan, mereka takut akan langsung dihukum tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat terlebih dahulu.

الثاني: أنه قال تعالى: ((اتخذوا أيمانهم جنة)) واليمين إنما تكون جنة إذا لم تأت بينة عادلة تكذبها، فإذا كذبتها بينة عادلة انحرفت الجنة، فجاز قتلهم ولا يمكنه أن يجن بعد ذلك بجنة إلا بجنة من جنس الأولى، وتلك جنة مخروقة…)

Kedua: Allah Ta’ala berfirman:

اتَّخَذُوْا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً.

“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai tameng.” (QS. Al-Munaafiqun: 2)

Sumpah itu hanyalah menjadi tameng jika tidak ada bukti terpercaya yang mendustakannya, jadi jika sumpah itu didustakan oleh bukti yang terpercaya maka hilanglah fungsinya sebagai tameng, sehingga ketika itu boleh untuk membunuh mereka dan setelah itu tidak bisa bertameng lagi kecuali dengan tameng yang lebih kuat, sedangkan sumpah-sumpah itu telah menjadi tameng yang terbakar…” (Ash-Sharimul Maslul hal. 509)

Dan hendaknya diketahui pentingnya kaitan kesalehan dengan taubat.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

(وأنه لا بد من إصلاح العمل مع التوبة، وعلى هذا فقد قيل يعتبر مضي مدة يعتبر بها صدق توبته وصلاح نيته وليست مقدرة بمدة معلومة لأن التوقيت يفتقر إلى توقيف. ويترجح أن يعتبر مضي سنة كما نص عليه الإمام أحمد في توبة الداعي إلى البدعة أنه يتعين فيه مضي سنة، اتباعا لما أمر به عمر بن الخطاب رضي الله عنه في قضية صبيغ بن عسل فإنه تاب عنده ثم نفاه إلى البصرة، وأمر المسلمين بهجره، فلما حال الحول ولم يظهر منه إلا خير أمر المسلمين بكلامه، وهذه قضية مشهورة بين الصحابة وهذه طريقة أكثر أصحابنا)

“Dan sesungguhnya harus ada usaha memperbaiki perbuatan yang menyertai taubat. Dan atas dasar inilah maka ada yang mengatakan bahwa berlalunya masa tertentu dijadikan parameter yang menunjukkan kejujuran taubat seseorang dan benarnya niatnya, dan tidak ditetapkan dengan jangka waktu sekian, karena menentukan waktu membutuhkan dalil. Dan pendapat yang kuat adalah menilai dengan berlalunya satu tahun, sebagaimana pernyataan jelas dari Al-Imam Ahmad berkaitan tentang taubat seorang yang menyeru kepada bid’ah bahwa yang jelas padanya adalah berlalunya satu tahun. Ini karena mencontoh perintah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu pada kasus Shabigh bin Asal yang bertaubat di sisi beliau, kemudian beliau mengusirnya ke Bashrah dan memerintahkan kaum Muslimin untuk tidak mengajaknya bicara sama sekali. Maka tatkala telah berlalu satu tahun penuh dan tidak nampak darinya kecuali kebaikan, beliau pun membolehkan kaum Muslimin untuk berbicara dengannya. Dan ini adalah kasus yang terkenal diantara para shahabat dan ini merupakan jalan yang ditempuh oleh mayoritas shahabat kami.” (Ash-Sharimul Maslul hal. 510)

Dan sesungguhnya diantara tanda baiknya taubat seseorang adalah dengan menjelaskan kebathilan yang pernah dia yakini dan memusuhi para pengusung kebathilan tersebut serta menjelaskan keadaan mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam Ahmad berkaitan dengan kasus seseorang yang bertaubat dari bid’ah:

(ومن علامات توبته أن يجتنب من كان يواليه من أهل البدع ويوالي من كان يعاديه من أهل السنة)

“Dan termasuk tanda kebenaran taubatnya adalah dengan menjauhi siapa saja dari ahli bid’ah yang dia pernah berloyalitas kepadanya dan sebaliknya dia berloyalitas kepada Ahlus Sunnah yang dahulu dia musuhi.”

Juga seperti yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah:

(وأما البدعة فالتوبة منها بالإعتراف بها والرجوع عنها واعتقاد ضد ما كان يعتقد…)

“Adapun bid’ah maka taubat darinya adalah dengan mengakuinya dan meninggalkannya serta meyakini keyakinan yang merupakan lawannya…” (QS. Al-Mughny 9/203)

Juga sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَأَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللهِ وَأَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلَّهِ فَأُوْلَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَ.

“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan memperbaiki diri serta berpegang teguh dengan agama Allah dan ikhlash dalam menjalankan agama mereka semata-mata karena Allah, maka mereka itu akan Allah gabungkan bersama orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 146)

Jadi alangkah baiknya bagi para pengemban ilmu dan para penuntutnya untuk mempelajari macam-macam taubat dengan metode Salafiyah yang jelas sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama yang mulia di dalam kitab-kitab mereka, dan hendaknya mereka memahami dengan baik perbedaan antara taubat yang benar dengan taubat yang rusak, karena apa yang dikutip ini hanyalah isyarat yang menunjukkan betapa pentingnya tema ini.

Kemudian –semoga Allah menjagamu– hendaknya engkau mengetahui perbedaan antara taubat Ibnu Aqil rahimahullah dengan taubat sebagian dai penyeru kesesatan di zaman kita ini. Di samping mereka melakukan tipu daya ketika menyebarkan kebathilan, mereka juga melakukan tipu daya ketika menyatakan taubat mereka, dan dengan pernyataan taubat mereka itu mereka berhasil mengelabui sebagian pihak sebagaimana mereka telah berhasil mengelabui sebagian yang lain dengan kebathilan mereka.

Saya akhiri pembahasan kali ini dengan perkataan Ibnu Qudamah rahimahullah:

وما عادتي ذكر معائب أصحابنا، وإنني لأحب ستر عوراتهم، ولكن وجب بيان حال هذا الرجل حين اغتر بمقالته قوم، واقتدى ببدعته طائفة من أصحابنا وشككهم في اعتقادهم حسن ظنهم فيه واعتقادهم أنه من جملة دعاة السنة فوجب حينئذ كشف حاله وإزالة حسن ظنهم فيه ليزول عنهم اغترارهم بقوله وينحسم الداء بحسم سببه، فإن الشيء يزول من حيث نبت… وبالله التوفيق والمعونة، ونسأل الله أن يثبتنا على الإسلام والسنة

“Bukanlah kebiasaanku senang untuk menyebutkan aib-aib para shahabat kami dan sungguh saya senang untuk menutupi aib-aib mereka. Hanya saja wajib untuk menjelaskan keadaan orang ini ketika ada kaum yang tertipu dengan ucapannya dan sekelompok orang dari para shahabat kami ada yang mengikuti bid’ahnya serta menjadikan ragu terhadap akidah mereka dan baik sangka mereka terhadapnya serta keyakinan mereka bahwa dia termasuk para dai penyeru As-Sunnah. Jadi ketika itu wajib untuk menyingkap keadaannya dan melenyapkan baik sangka mereka terhadapnya agar hilang ketertipuan mereka dengan ucapannya, dan penyakit itu akan hilang dengan menghancurkan sebabnya, karena sesuatu akan hilang dari arah kemunculannya… dan taufik serta pertolongan hanya berasal dari Allah saja, dan kita memohon kepada Allah agar mengokohkan kita di atas Islam dan Sunnah.”‎

Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah pernah mengatakan:

(إذا رأيت رجلا من أصحاب الحديث فكأني رأيت رجلا من أصحاب رسول الله r)

“Jika aku melihat salah seorang ahli hadits, maka seakan-akan aku melihat salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu alaihi was sallam.” (Al-Amru bil Ittiba’ karya As-Suyuthy)

Ayyub (As-Sakhthiyany) rahimahullah mengatakan:

(إن من سعادة الحدث والأعجمي أن يوفقهما الله لعالم من أهل السنة)

“Sesungguhnya termasuk kebahagiaan seseorang yang baru belajar dan orang selain Arab adalah dengan Allah memberikan taufik bagi keduanya untuk dibimbing oleh salah seorang ulama Ahlus Sunnah.”(idem)

Ibnu Syaudzab rahimahullah berkata:

(إن من نعمة الله على الشاب إذا نسك أن يؤاخي صاحب سنة يحمله عليها)

“Sesungguhnya termasuk kenikmatan dari Allah atas seorang pemuda jika dia semangat beribadah, dengan Allah mempersaudarakannya dengan seorang Ahlus Sunnah yang membimbingnya.” (idem)

Ibnul Asbath rahimahullah berkata:

(كان أبى قدريا، وأخوالي روافض فأنقذني الله بسفيان)

“Ayahku seorang pengikut Qadariyah, sedangkan paman-pamanku dari pihak ibuku adalah para pengikut Rafidhah, lalu Allah menyelamatkan diriku (dari kesesatan) melalui bimbingan Sufyan (Ats-Tsaury –pent)".

Imam Zainuddin Al-'Iraqi Pentarjih Kitab Ihya'


Al-Imam Al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl Abdurrahim bin Al-Husain bin Abdurrahman bin Abi Bakr bin Ibrahim al-Iraqi asy-Syafi'i Al-Mishri Syaikh al-Hadits (Bahasa Arab:الإمام الحافظ زين الدين أبو الفضل عبد الرحيم بن الحسين بن عبدالرحمن بن أبي بكر بن إبراهيم العراقي الشافعي المصري شيخ الحديث) atau yang biasa disebut dengan nama Al-Iraqi saja (lahir: Mehran, pinggir sungai Nil, Mesir, 5 Mei 1325 /21 Jumadal Ula 725 H – wafat: 24 Februari 1404/ 8 Sya'ban 806 H).
Biografi
Beliau Dilahirkan pada hari ke dua puluh satu dari bulan Jumada al-Ula tahun 725 H. Dari sumber-sumber sejarah menerangkan bahwa pada hari Rabu tanggal 9 Sya’ban tahun 806 H ruh al-Hafizh al-‘Iraqi meninggalkan jasadnya (beliau wafat), setelah beliau keluar dari kamar mandi. Beliau wafat pada umur 81 tahun, jenazah beliau masyhur dan beliau dishalati oleh Syaikh Syihabuddin adz-Dzahabi, dan beliau dimakamkan di luar kota Kairo.‎

Masa menuntut Ilmu Zainuddin (al-‘Iraqi) telah hafal al-Qur’an, kitab at-Tanbih dan al-Hawi (kitab fiqh madzhab Syafi’i karangan Imam al-Mawardi) ketika umur beliau depan tahun. Lalu beliau menyibukkan diri memulai menuntut ilmu dalam ilmu qira’at (ilmu tentang riwayat-riwayat bacaan al-Qur’an). Lalu beliau memulai menuntut ilmu, beliau mendengarkan riwayat hadits dari ‘Abdurrahim bin Syahid al-Jaisy dan Ibnu ‘Abdil Hadi. Beliau membaca hadits di hadapan Syaikh Syihabudiin bin al-Baba. Kemudian mengalihkan semangatnya untuk belajar ilmu takhrij, dan beliau sangat tekun dalam mentakhrij kitab ”al-Ihyaa’” (Ihyaa ‘Ulumuddin).

Al-Hafiz al-Iraqi pada awal menuntut ilmu, memulainya dengan mendalami ilmu bahasanya khusunya pada struktur (nahwu sharaf) bahasa Arab, kemudian beliau melanjutkan dengan mendengarkan riwayat hadits dari ‘Abdurrahim bin Syahid al-Jaisy dan Ibnu ‘Abdil Hadi. Beliau membaca hadits di hadapan Syaikh Syihabudiin bin al-Baba. Kemudian mengalihkan semangatnya untuk belajar ilmu takhrij, dan beliau sangat tekun dalam mempelajari tentang takhrij al ahadits. Saat umur beliau dua puluh tahun, beliau melakukan rihlah (pengembaraan) untuk menuntut ilmu ke sebagian besar kota di negeri Syam. 

Beliau mengajar di banyak Madrasah (sekolah) di negeri Mesir dan Kairo, seperti: Darul Hadits, al-Kamilah, azh-Zhairiyyah al-Qadimah, al-Qaransiqriyah, Jami’ Ibnu Thulun, dan al-Fadhilah. Beliau juga pernah tinggal di dekat al-Haramain dalam beberapa waktu, sebagaimana beliau pernah menjabat sebagai hakim di Madinah an-Nabawiyah, berkhutbah dan menjadi Imam di sana.
Guru-gurunya

Al-Muqri' Muhammad bin Abi al-Hasan bin Abdul Malik bin Sam'un
Al-Ushuli Muhammad bin Ishaq bin Muhammad al-Balbisi
Al-Ushuli Abdurrahim bin al-Hasan bin 'Ali al-Isnawi
Al-Ushuli Muhammad bin Ahmad bin Abdul Mu'min al-Mishri, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Lubban
Al-Muhaddits Abdurrahim bin Abdullah bin Yusuf, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syahid al-Jaisy
Al-Muhaddits Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Maidumi
Al-Muhaddits Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Sayyid an-Nas
Al-Muhaddits Muhammad bin Ismail bin Abdul Aziz
Al-Amir Sanjar bin Abdullah Al-Jawali
Al-Faqih Ali bin Ahmad bin Abdul Muhsin Ibnu ar-Rif'ah
Al-Muhaddits Abdurrahman bin Muhammad bin Abdul Hadi al-Maqdisi
Al-Muhaddits Ali bin Abdul Kafi As-Subuki
Al-Muhaddits Khalil bin Kaikaldi al-'Alai
Al-Muhaddits Abdullah bin Ahmad bin Muhammad ath-Thabari
Al-Muhaddits Yahya bin Abdullah bin Marwan al-Fariqi
Al-Muhaddits Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Mardawi
Murid-muridnya‎
Anaknya, Abu Zur'ah Ahmad bin Abdurrahim al-Iraqi
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani
Al-Hafidz Ali bin Abu Bakar Al-Haitsami
Al-Faqih Muhammad bin Musa Ad-Dumairi
Al-Muhaddits Ibrahim bin Hajjaj al-Abnasi
Al-'Allamah Ali bin Ahmad bin Ismail Al-Qalqasyandi
Al-'Allamah Muhammad bin Zhahirah asy-Syafi'i
Al-Muhaddits Ibrahim bin Muhammad bin Khalil
Karya-karyanya‎

Takhrij Hadits Ihya Ulumuddin, yang dinamakan Ikhbar al-Ahya bi Akhbar al-Ihya, dan mukhtasarnya Al-Mughni 'an Hamli al-Asfar fi Takhrij Ma Fi al-Ihya min al-Akhbar 
(Imam al-Iraqi mengatakan dalam takhrij kitab Ihyanya :

 إنه من أجل كتب الإسلام في معرفة الحلال والحرام، جمع فيه بين ظواهر الأحكام، ونزع إلى سرائر دقت عن الأفهام، لم يقتصر فيه على مجرد الفروع والمسائل، ولم يتبحر في اللجة بحيث يتعذر الرجوع إلى الساحل، بل مزج فيه علمي الظاهر والباطن، ومرج معانيها في أحسن المواطن، وسبك فيه نفائس اللفظ وضبطه، وسلك فيه من النمط أوسطه، مقتدياً بقول علي كرم الله وجهه: خير هذه الأمة النمط الأوسط يلحق بهم التالي ويرجع إليهم الغالي

“ Kitab Ihya Ulumuddin adalah termasuk kitab Islam paling agung dalam mengetahui halal dan haram, menghimpun hukum hakam zahir, dan mencabutnya kepada rahasia-rahasia yang sangat dalam pemahamannya. Tidak cukup hanya masalah furu’ dan persoalannya, dan tidak pula membiarkan mengarungi lebih dalam ke dasar samudera sehingga tidak mampu kembali ke tepian, akan tetapi beliau mengumpulkan antara ilmu zahir dan ilmu bathin, menghiasai makna-maknanya dengan sebaik-baik tempatnya. Menuturkan mutiara-mutiara lafaz dan dhabtntya. Menggunakan manhaj tengah-tengah (adil) karena mengikuti ucapan imam Ali, “ Sebaik-baik urusna umat ini adalah  yang tengah-tengah, yang diikuti generasi selanjutnya dan orang yang berlebihan kembali padanya “.(Ta’rif al-Ahya bi Fadhail al-Ihya : 9)
Membuat syair dan syarh ilmu hadits dari Ibnu Shalah
Kitab al-Marasil
Taqrib al-Isnad
At-Tabshirah wa at-Tadzkirah
Naktu Manhaj al-Baidhawi (dalam ilmu ushul fikih)
At-Tahrir fi Ushuli al-Fiqh
Nazhmu ad-Durar as-Sunniyah (Alfiyah as-Siyar an-Nabawiyyah)
Al-Alfiyah fi Gharib al-Qur'an
At-Tafsir wa al-Idhah fi Mushthalah al-Hadits
Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Tatsrib
Syarh at-Tirmidzi
Kitab al Tabshirah wa al Tadzkirah dan Pemikiran al-Iraqi dalam Bidang Hadis.

Sejauh penelusuran, penulis mendapat banyak kesulitan dalam mengkaji pemikiran al Iraqi, salah satunya kurang sumber yang bisa dijadikan rujukan dalam menelaah pemikiran beliau terkait dalam bidang ulumul hadis, dan kurangnya penelitian tentang karya-karya beliau, berbeda halnya dengan buku-buku ulumul hadis ulama sebelum dan setelah beliau seperti: Al Ramahurmuzy, Ibn Shalah, Ibn Hajar, dll.

Perlu diketahui bahwa buku Al-Tabshirah Wa Al-Tadzkirah mempunyai banyak nama atau julukan, kitab tersebut juga dikenal dengan sebutan alfiyah al-Iraqi fi ulum al-Hadits, juga dikenal dengan nama Nadham al durar fi ‘ilmi al-asrar. Dan kitab ini sebenarnya adalah sebuah ulasan ulang atau ringkasan dari apa yang telah dipaparkan oleh Ibn Shalah sebelumnya yang kemudian oleh Al-Iraqi disajikan dalam bentuk nadham. Di dalamnya, al-Iraqi juga banyak menambahkan pendapat beliau. Seperti pengakuan al-Iraqi sendiri dalam Al-Tabshirah Wa Al-Tadzkirah:
لَخَّصْتُ فيهَا ابْنَ الصَّلاحِ أَجْمَعَهْ     وَزِدْتُهَا عِلْماً تَرَاهُ مَوْضِعَهْ

Dr. Mahir Yasin Fahl, pen-tahqiq dan pen-syarah kitab Al-Tabshirah Wa Al-Tadzkirah setidaknya telah memberikan sedikit gambaran metode penulisan buku Alfiyah Al-Iraqi,‎serta pemikiran beliau tentang ulum hadis:
a.      Al-‘Iraqi memulai metode pembahasaanya dengan menjelaskan kosakata bahasa yang jelas dan dapat dimengerti dengan bentuk nadham.

نَظَمْتُهَا تَبْصِرَةً لِلمُبتَدِيْ     تَذْكِرَةً لِلْمُنْتَهِيْ وَالْمُسْنِدِ

b.     Sangat Memperhatikan tatanan bahasa Arab yang benar, dengan meletakan susunan bait-baitpantun/nadham dengan kehati-hatian. Karenadengan adanya perubahan tiap letaknya ataupun adanya perubahan secara ‘irabi, akan merubah harakatnya.
c.      Menindak lanjuti sebagian pendapat Ulama-ulama, dengan menguatkan pendapat tersebut atau menambahkan dengan pendapatnya sendiri, serta mengkritiknya jika hal tersebut dianggapnya keliru.
d.     Adapun dari  segi alpahabet atau huruf  dari kutipan yang dinukilnya, Al-Iraqi terkadang menghapus atau menambahkan harf. Jika dianggap perlu. Jadi tidak ada aturan khusus mengenai tatanan harf atau huruf-hurufnya dari kitab yg dinukilnya.
e.      Al-hafid Al-’Iraqi tidak meninggalkan suatu pembahasaan tanpa adanya dalil atau alasan yang tepat. Dan beliau adalah seorang yang cakap dalam membahas atau menjelaskan suatu makna dengan kepiawaiannya.

Dari beberapa penjelasan Mahir Yasin Fahl diatas, maka penulis kembali melihat background pendidikan al-Iraqi yang memulainya dengan mendalami ilmu kebahasaan, maka tidak salah bahwa al-Iraqi menggunakan ilmunya dalam menyusun kitab hadis dalam bentuk nadham-nadham atau pantun, beliau meramunya kedalam nadham-nadham yang indah didengar dan mudah dipahami, al-Iraqi menyusun ulum al hadits kedalam kurang  lebih 1000 bait nadham atau pantun.‎

Dalam menyusun kitabnya, Al-’Iraqi sangat memperhatikan sekali faidah atau nilai yang dapat diambil oleh para pembacanya. Sebagaimana Ia, ingin menjelaskannya dengan penjelasan yang sangat luas namun dapat diringkas secara tepat tanpa adanya perpanjangan kata yang tidak berfaidah. Kefahamannya yang sangat dalam ketika men-syarh kitab Ibnu Sholah. Serta menambahkan hal hal yang baru dalam keilmuwan. Yang memberikan kontribusi yang besar bagi khazanah kekayaan keilmuwan dengan kitabnya tersebut.

Penulis melihat bahwa syekh Zainuddin al Iraqi adalah seorang ulama yang ulung dalambidang ulum hadis khusunya dalam bidang takhrij al hadis, itu dapat dilihat  dalam kitab “al-Tabshirah wa al-Tadzkirah”. Dimana Al Iraqi lebih menekankan pada hal-hal yang terkait diri seorang perawi (al-tajrih wa al-ta’dil)nya daripada pembahasan defenisi hadis itu sendiri, seperti pada kitab Ibn Shalah, al-Hafiz al-Iraqi merangkum apa yang dibahas oleh Ibn Shalah dan ulama-ulama lain al-Turmudzi, al-Nawawi, al-Ramahurmuzy, Ibn Abi Hatim. Seperti pembahasan tentang tawarikh al ruwat wa al wafiyat (تَوَارِيْخُ الرُّوَاةِ وَالوَفَيَاتِ), authan al ruwat wa buldanuhum (أَوْطَانُ الرُّوَاةِ وَبُلْدَانُهُمْ), ma’rifah man ikhtalatha min al tsiqah  (مَعْرِفَةُ مَنِ اخْتَلَطَ مِنَ الثِّقَاتِ), yang juga telah dibahas oleh Ibn Shalah. Kemudianmaratib al-ta’dil (مراتبِ التعديلِ), maratib al-jarh (مراتب التجريح), yang juga telah dibahas oleh Ibn Abi Hatim. Dan lain-lain

Kritikan al-Hafiz al-Iraqi terhadap ulama hadis sebelumnya

Hasil penilaian kritikus atas setiap unit hadis amat strategis, karena padanya bertumpu kemantapan pakai oleh setiap pelaku ijtihad. Cukup beralasan apabila kegiatan kritik hadis dipandang mencerminkan ijtihad. Secara eksplisit Imam al-Hakim (w.405) dalam kitab al-Ma’rifah dan al-Madkhal menetapkan prinsip ijtihad dalam menentukan maqbul dan mardud-nya suatu hadis.

Untuk generasi setelah masa atau priode tokoh-tokoh kolektor hadis terkemuka yang telah memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengaplikasikan kaidah seleksi mutu hadis, muncul fatwa pelarangan dilakukan kritik hadis. Diantara ulama yang tegas menyatakan pelarangan dimaksud adalah syekh Taqiyuddin Abu Amr bin Shalah al-Syahrazuri (w.643) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Shalah.

Fatwa Ibnu Shalah tentang pelarangan dilakukan kritik hadis oleh siapapun selepas kodivikasi oleh kolektor yang kredibel, agaknya sejalan dengan fatwa beliau yang menegaskan bahwa pintu ijtihad di bidang fiqhi telah tertutup pada akhir abad keempat hijriah.

Fatwa pelarangan kritik hadis sesudah masa kolektor hadis standar sangat tepat, setidaknya sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan dilakukan oleh orang-orang yang tidak beri’tikad baik, indikasi tidak menguasai seluk-beluk hadis dan sistem pembinaan syariat, atau berspekulasi dengan penerapan kaidah kritik rsional (naqd ‘aqly) yang tidak dikenal oleh tradis muhaddisin masa lalu.

Terhadap fatwa Ibnu Shalah. Muncul keberatan dari kalangan ulama generasi sesudahnya, dan yang masyhur dari kritikan itu datang dari al-Hafiz al-Iraqi. Diantara alasan beliau aas keberatan terhadap fatwa Ibnu Shalah adalah bahawa volume perbendaharaan hadis yang telah terseleksi matannya teramat kecil bila dibandingkan dengan jumlah cadangan hadis yang beredar luas dikalangan muhaddisin.

Jadi, apabila fatwa Ibnu Shalah itu disikapi dengan harga mati, akan berakibat pada tersia-siakannya sejumlah besar perbendaharaan sumber ajaran Islam yang amat potensial bagi kelengkapan doktrinalnya.

Oleh sebab itu, Zainuddin al-Iraqi serta ulama yang sependapat dengan beliau berpendapat bahwa pintu ijtihad terbuka bagi orang yang kapasitas wawasan pengetahuannya dalm bidang hadis cukup memadai, dan benar-benar menempuh langkah metodologis penelitian sanad serta pengujian gejala ‘illat hadis, untuk menganalisa hadis sehingga pengambilan keputusan shahih-dha’if-nya.‎

Imam Ibnu Rojab Al-Hanbali Dan Pandangan Beliau Tentang Bid'ah Hasanah


Nama beliau adalah Al Imam, Al Hafizh, dan Al `Alim, Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Abdurrahman bin Al-Hasan bin Muhammad bin Abu Al Barkat Mas`ud As Salami Al Baghdadi Ad Dimasyqi Al Hanbali dan terkenal dengan nama Ibnu Rajab. Rajab adalah gelar kakeknya yang bernama Abdurrahman. Dalam kitab Ad Durrarul Kaminah 2/107 yang memuat biografi Ibnu Rajab, menyebutkan bahwa beliau diberi gelar Rajab karena beliau lahir pada bulan itu.

Semua literatur yang membahas biografi Ibnu Rajab sepakat bahwa ia lahir di Baghdad pada tahun 736 H delapan puluh tahun setelah jatuhnya ibu kota ilmu, Baghdad, ke tangan Mongol.

Ibnu Rajab bernasabkan kepada keluarga mulia dalam ilmu, keutamaan, dan kebaikan. Kakeknya, Abdurrahman bin Al Hasan, mempunyai majlis ilmu di Baghdad di mana hadits dibacakan kepadanya di dalam rumah tersebut. Ibnu Rajab menghadiri majlis ilmu tersebut tidak hanya sekali ketika ia masih berumur tiga, empat, atau lima tahun. Ayah Ibnu Rajab ialah syaikh dan pakar hadits Syihabuddin Ahmad yang lahir di Baghdad pada tahun 706 H. Ibnu Rajab besar di Baghdad, mendengar hadits dari para suyukh di Baghdad, dan membaca riwayat-riwayat. Ia pegi ke Damasyqus pada tahun 744 H dan mendengar hadits di sana, kemudian di Hijaz dan Al Quds. Ia duduk untuk pembacaan hadits di Damasyqus dan mengambil manfaatnya. Ibnu Rajab mempunyai semacam kamus khusus tentang para suyukhnya yang dinukil darinya oleh Ibnu Hajar dalam Ad Durarul Kaminah di banyak tempat.

Imam Suyuthi berkata:

ابن رجب : هو الإمام الحافظ المحدث الفقيه الواعظ زين الدين عبد الرحمن بن أحمد ابن رجب بن الحسن بن محمد بن مسعود السلامي البغدادي ثم الدمشقي الحنبلي … كان بارعاً في التفسير يحفظ المتون ويعرف أسماء الرجال ويشارك في العربية كثير الإقبال على الاشتغال والمطالعة لا يمل مشهوراً بقوة الحفظ وعدم النسيان والقيام بالأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وكانت له سمعة وصيت.

Ibnu Rajab adalah Imam Hâfizd Muhaddits Wâidz (pemberi wejangan); Zainuddîn Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab bin Hasan bin Muhammad bin Mas’ûd as Salami al Baghdâdi (tinggal di kota Baghdad) kemudian berpindah ke Damaskus. Beliau bermazhab Hanbali. … Beliau mahir/hebat dalam ilmu tafsir. Beliau menghafal banyak teks dan mengenal nama-nama para perawi dan juga berkiprah dalam dunia bahasa. Ia sangat rajin menimba ilmu tanpa mengenal rasa bosan. Beliau dikenal kuat hafalannya dan tidak pelupa. Beliau getol menegakkan amr ma’ruf dan nahi munkar. Beliau tersohor dan harum namanya!

(lebih lanjut baca Thabaqât al Huffât:114 tentang para ulama tinggat/generasi 23)

PERKEMBANGANNYA DALAM MENUNTUT ILMU

Sang ayahanda begitu antusias untuk memperdengarkan hadis kepada putranya dari para syaikh yang tsiqah lagi tenar dalam periwayatan hadis. Memotivasinya untuk menimba ilmu hadis dari ulama-ulama pakar hadis di berbagai penjuru negeri. Di Baghdad, beliau menimba ilmu hadis dengan pengawasan langsung dari sang ayah. Lebih dari itu beliau juga menimba perbendaharaan hadis dan mendapat ijazah (izin dan rekomendasi dari seorang syaikh kepada muridnya untuk meriwayat hadis-hadisnya atau karya tulisnya) dari para ulama di Damaskus, Mesir dan yang lainnya.

Ibnu Rajab beserta dengan ayahnya datang ke Kota Damaskus pada tahun 744 H. Keduanya datang dengan misi untuk mendapatkan sanad hadis yang lebih tinggi dari para muhaddits (ahlul hadis) di masanya. Selain itu mereka juga ingin meriwayatkan secara langsung dari para ulama besar di kota tersebut. Karena saat itu Damaskus merupakan salah satu pusat pengkajian ilmu agama yang sangat penting dalam dunia Islam. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk menuntut ilmu di kota tersebut.

Di antara ulama Damaskus yang pernah menjadi gurunya adalah Abul Abbas Ahmad bin Hasan yang terkenal dengan nama Ibnu Qadhil Jabal. Syihabbuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdurrahman, ‘Izzuddin Abu Ya’la Hamzah bin Musa dan masih banyak ulama Damaskus yang lainnya. Kemudian safari ilmiah beliau berlanjut di Mesir pada tahun 754 H. Di sana beliau mendengarkan hadis dari nama-nama besar seperti Nashiruddin Muhammad bin Ismail Al-Ayyubi, Abul Fath Al-Maidumi, ‘Izzuddin Qadhinya Mesir dan masih banyak yang lainnya. Sungguh sangat banyak guru-guru beliau yang tersebar di berbagai penjuru negeri. Karena safari beliau masih berlanjut ke Quds, Mekkah, Madinah dan yang lainnya. Sehingga tidak mungkin untuk menyebutkan guru-guru beliau secara terperinci di kota-kota itu. Kiranya ini sudah cukup menggambarkan kepada kita betapa banyak guru-guru beliau.

Setelah meninggalnya ayahanda beliau pada tahun 774 H, maka sejak saat itulah beliau menghentikan tour ilmiah beliau dan fokus dalam berdakwah. Beliau menghabiskan waktu untuk menelaah kitab, menulis, mengajar, dan berfatwa. Dalam sejarah tercatat beliau pernah mengajar di Madrasah Hanbaliyah yang populer dengan sebutan Madrasah Kubra. Bahkan tatkala ayahnya masih hidup, Ibnu Rajab telah mengajar di Jami’ Bani Umayah Al-Kabir. Sebuah majelis yang sangat istimewa, karena dihadiri oleh murid-murid senior Imam Ahmad. Ibnu Rajab juga sangat ahli dan menonjol dalam menyampaikan nasihat. Tatkala beliau berceramah, para hadirin senantiasa terkesima mendengarnya dan terbakar semangatnya. Dengan seizin Allah, beliau mampu membuat manusia mudah memahami berbagai permasalahan agama.

Beliau telah dianugrahi ilmu yang bermanfaat, metode yang indah dalam mengajar, kalbu yang khusyuk dan niat yang benar. Hal ini membuat beliau disukai dan dicintai oleh kaum muslimin saat itu. Sumbang sih beliau yang sangat besar dalam memberikan faedah ilmiah dan fatwa dalam majelis ilmu membuat daya tarik sendiri bagi para penuntut ilmu. Sehingga mereka pun berdatangan untuk menimba ilmu secara langsung dari beliau dan meriwayatkan hadis. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yang akhirnya menjadi ulama besar nan terpercaya. Di antara murid beliau adalah Ahmad bin Abu Bakr Ibnu Rasam, Ahmad bin Nashrullah Al-Baghdadi, Abdurrahman bin Ahmad Az-Zarkasyi, Ali bin Muhammad Ibnu Liham, Al-Mizzi, Ibnu Muflih, dan masih banyak yang lainnya.

Suyukh Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam mendapatkan ijazah

1.      Zainab binti Ahmad bin Abdurrahim Al Maqdisiyah (w. 740 H).
2.      Shafiyuddin Abul Fadhail Abdul Mukmin bin Abdul Haq bin Abdullah Al Baghdadi (w. 739 H).
3.      Abdurrahim bin Abdullah Az Zuraiti (w. 741 H).
4.      Abu Ar Rabi`Ali bin Abdushshamad bin Ahmad Al Baghdadi Al Hanbali (w. 742 H).
5.      Al Hafizh Al Qasim bin Muhammad Al Barzali (w. 739 H).
6.      Muhammad bin Ahmad bin Al Hasan At Tali Ad Dimasyqi (w. 741 H).

Pada tahun 744 H ayahnya membawa Ibnu Rajab ke Damasyqus untuk melanjutkan studinya di sana dan di kota selain Damasyqus.
Di sana beliau mendengar hadits dari beberapa suyukh, di antaranya:

1.      Hakim Agung Abu Al `Abbas Ahmad bin Al Hasan bin Abdullah (w. 771 H).
2.      Syihabuddin Abu Al `Abbas Ahmad bin Abdurrahman Al Hariri Al Maqdisi Ash Shalihi (w. 758 H).
3.      Imaduddin Abu Al `Abbas Ahmad bin Abdul Hadi bin Yusuf bin Muhammad bin Qudamah Al Maqdisi (w. 761 H).
4.      Imam Izzuddin Abu Ya`la Hamzah bin Musa Ahmad bin Badran (w. 769 H).
5.      Taqiyuddin Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim bin Nashr bin Fahd yang terkenal dengan Ibnu Qayyim Adh-Dhiyaiyyah (w. 761 H).
6.      Alauddin Ali bin Zainuddin Al Manja (w. 750 H).
7.      Syamsuddin Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Salim Ad Dimasyqi Al Anshari Al Ubadi.
8.      Umar bin Hasan bin Farid bin Umailah Al Maraghi Al Halabi Ad Dimasyqi (w. 778 H).

Setelah itu, Ibnu Rajab berangkat ke Mesir sebelum tahun 754 H. Di sana, Ibnu Rajab mendengar hadits dari sejumlah suyukh, di antaranya:

1.      Nashiruddin Muhammad bin Ismail bin Abdul Aziz bin Isa bin Abu Bakr Al Ayyubi (w. 756 H).
2.      Shadruddin Abu Al Fath Muhammad bin Muhammad bin Ibrahim Al Maidumi (w. 754 H).
3.      Fathuddin Abu Al Haram Muhammad bin Muhammad Al Qalansi Al Hanbali (w. 765 H).
4.      Izzuddin Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa`dullah bin Jama`ah (w. 767 H).

Pada tahun 748 H Ibnu Rajab pernah kembali ke Baghdad setelah beliau meninggalkan kota itu pada tahun 744 H dan mendengarkan di sana dari:
1.      Jamaluddin Abu Al `Abbas Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Al Babashiri Al Baghdadi (w. 750 H).
2.      Shafiyuddin Abu Abdullah Al Husain bin Badran Al Bashri Al Baghadadi (w. 749 H).
3.      Abu Al `Abbas Ahmad bin Muhammad bin Sulaiman Al Hanbali Al Baghdadi.
4.      Di Al Quds, Ibnu Rajab mendengar hadits dari Al Hafizh Shalahuddin Abu Sa`id Khalil bin Kaikalidi Al Ala'I (w. 761 H).
5.      Di Mekkah, Ibnu Rajab mendengar hadits dari Fakhruddinn Utsman bin Yusuf bin Abu Bakr An Nuwairi Al Maliki (w. 756 H).
6.      Di Madinah, Ibnu Rajab mendengar hadits dari Al Hafizh Afifuddin Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Muhammad Al Khazraji Al Ubadi Al Mathari (w. 765 H).
Dan masih banyak lagi para guru beliau yang lain.

Kepada guru-gurunya tersebut, Ibnu Rajab selalu menuliskan riwayat-riwayat hadis dalam buku catatannya. Ini merupakan kebiasaan Ibnu Rajab setiap kali berjumpa dengan seoarang alim. Setiap usai menghadiri majelis para masyayikh, Ibnu Rajab muraja’ah terhadap hadis-hadis yang telah dibaca gurunya. Ia kemudian meneliti hadis itu, sampai ia puas menentukan kedudukan hadis tersebut. Di malam hari ia sibuk menulis dan meneliti hadis.

Di Damaskus, Ibnu Rajab mengajar di beberapa madrasah. Di antaranya Madrasah al-Hanabilah, Madrasah al-Kubra – yaitu madrasah terbesar di Damaskus pada waktu itu. Dari madrasah ini, madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menjadi terkenal dan meluas. Terutama setelah madrasah dipegang oleh seorang Syaikh terkenal, Abdul Wahid ayah Syarafatul Islam. Sebelumnya, madzhab Ahmad bin Hanbal belum dikenal di Palestina dan negeri Syam.

Selain itu, Ibnu Rajab memiliki majelis ilmu di Masjid Umayyah. Halaqoh tersebut diperuntukkan bagi tokoh-tokoh madzab Imaam Ahmad.  Ibnu Rajab menjadi terkenal setelah mengajar di madrasah-madrasah tersebut dan di halaqah Masjid. Ia seorang ahli fikih dan hadis yang zuhud. Menjadi orang yang paling ahli tentang cacat hadits dan jalur-jalurnya.

Al-Syihab bin Hija memberikan komentar kepada Ibnu Rajab akan kelebihan ilmunya: “Ia terbukti memiliki pengetahuan yang menonjol tentang macam-macam hadits. Ia lebih banyak menekankan waktunya untuk menelaah illat-illat hadits dan jalan-jalannya. Mayoritas ulama Hanabilah yang seangkatan dengan kami adalah murid-muridnya”.

Setelah ia mencatat dan meneliti hadis dari para guru-gurunya, ia kemudian konsentrasi mengajar dan menulis kitab. Diantara karya-karyanya adalahSyarah Jami’ut Tirmidzi dan satu juz dari Shahih Bukhari. Ia memberi judul syarahnya untuk Shahih Bukhari dengan Fathul Bari. Syarah itu belum sempurna. Syarah ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hajar sampai tuntas.

Kitab al-Latha’if fi Wadhifil Ayyam dengan ungkapan nasihat memuat faedah-faedah fiqih,Syarah al-Ar’bain karya imam an Nawawi yang memuat empat puluh dua hadits, kemudian ditambahkan delapan hadits. Syarah ini telah terbit dengan judul Jami’ul Ulum wal Hukmu Syarbi Khasmina Haditsan min Jawami’il Kalim pada tahun 1346 H oleh penerbit Mustafa al-Babi al-Hallabi, Mesir. Syarah yang khusus memuat hadits adalah Ma Dza’nani Ja’i’ani Arsalan fi Ghanam dan seterusnya dan Risalah Fadhlu Ilmis Salafi ‘alal Khalilfi.

Disamping itu, ia juga menimba ilmu dari murid-murid Syaikhul Islam atau melalui karya-karyanya atau sama sekali ia tidak belajar kepada mereka. Akan tetapi, ia telah menyatu daya rasa dan pemikirannya dengan mereka. Ia layak dianggap menyandang predikat murid-murid Ibnu Taimiyah, dan termasuk diantara para alumni madrasahnya.

Murid-murid beliau

Ibnu Rajab Al Hanbali banyak sekali memiliki para murid yang tersebar di setiapkota. Murid-murid beliau di kemudian hari banyak yang menjadi ulama terpercaya, meraih kedudukan tinggi, dan meninggalkan peninggalan ilmiyah yang bermanfaat. Di antara murid-murid beliau:
1.      Hakim Agung Syihabuddin Abu Al `Abbas Ahmad bin Abu Bakr bin Ahmad bin Ali Al Hanbali yang dikenal dengan Ibnu Ar Rassam (w. 844 H).
2.      Muhibuddin Abu Al Fadhl Ahmad bin Nashrullah bin Ahmad bin Muhammad bin Umar Al Baghdadi Al Mishri seorang mufti Mesir (w. 844 H).
3.      Daud bin Sulaiman bin Abdullah Az Zain Al Maushili Ad Dimasyqi Al Hanbali (w. 844 H).
4.      Abdurrahman bin Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Yusuf Ad Dimasyqi Al Makki Asy Syafi`I (w. 853 H).
5.      Imam Zainuddin Abdurrahman bin Sulaiman bin Abu Alkaram Ad Dimasyqi Ash Shalihi yang dikenal dengan nama Ibnu Syi`r (w. 844 H).

Karya tulis Beliau

Ibnu Rajab Al Hanbali adalah ulama yang tergolong hebat pada zamannya dalam menulis karya/kitab. Ia banyak menulis kitab yang bermanfaat dan memuaskan dalam bidang tafsir, hadits, fiqh, dan sejarah. Itu menunjukkan keluasan ilmunya, potensi dirinya yang luar biasa, keikhlasan dan kezuhudan beliau.

1.      Karya beliau dalam ilmu-ilmu Al Qur`an:

a.      Tafsir surat An Nashr
b.      Tafsir surat Al Ikhlas
c.       Tafsir surat Al Fatihah
d.      I`rabu Basmalah
e.       I`rabu Ummil Kitab
f.        Al Istighna' bil Qur`an

2.      Karya beliau dalam bidang hadits:

a.       Fathul Baari bi Syarhi Shahih Al Bukhari. Beliau menulisnya sampai kitab Jenazah. Kitab tersebut disadur oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam syarahnya terhadap shahih Bukhari.
b.      Syarhu Jami` At Tirmidzi.
Para ulama berkata bahwa kitab tersebut mencapai dua pulih jilid, tetapi semuanya hilang bersamaan dengan hilangnya literatur Islam pada masa pendudukan Tartar pada tahun 803 H, kecuali beberapa halaman dari kitab Al Libaas yang ada pada perpustakaan Azh Zhahiriyah.
c.       Al Hikamul Jadirah bil Idza`ah.
d.      Jami`ul `Ulum wal Hikam.
e.       Syarh hadits Ka`ab bin Malik, dari Nabi Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda, "Dua serigala yang lapar yang dikirim kepada seekor kambing tidak lebih merusak daripada kerusakan pada agama seseorang akibat kerakusan seseorang terhadap harta dan kehormatan."
f.       Al Kalam `ala Kalimatil Ikhlas wa Tahqiquha.
g.      Bayaanu Fadhli Ilmis Salam `alal Khalaf.
h.      Ikhtisharul Ula fi Syarhi Ikhtishomil Mala'ilil A`la.
i.        Ghayatun Naf`I fi Syarhi Haditsi Tamtsili Mukmin bi Khamatiz Zar`i.
j.        Nurul Iqtibas fi Misykati Washiyyatin Nabi li Ibni Abbas.
k.      Kasyful Kurbati fi Washfi Haali Ahlil Ghurbati.
Dan masih banyak lagi karya beliau dalam bidang hadits dalam bentuk risalah baik kecil maupun besar.

3.      Karya beliau dalam bidang fiqh:

a.       Al Qawa`id Al Fiqhiyyah.
b.      Al Istikhraj fi Ahkamil Kharaj.
c.       Kitabu Ahkamil Khawatim wama Yata`allaqu biha.
d.      Izaalatusy Syan`ati anish Shalati ba`da Nida'I Yaumal Jum`ati.
e.       Ta`liquth Thalaqi bil Wiladati.
f.       Nuzhatul Asma'I fi Mas`atis Sima'I.
g.      Musykilu Ahaditsil Waridati fi annath Thalaqats Tsalatsati wahidah.

4.      Karya beliau dalam bidang sejarah:

a.       Adz Dzailu `ala Thabaqatil Hanabilah
Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama diterbitkan di Damaskus pada tahun 1950 H dengan pengawasan Sami Ad Dahan dan Henry Laust. Kemudian kedua-duanya diterbitkan di Kairo oleh Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi. Kitab tersebut sangat bermutu dan membahas tokoh-tokoh madzhab Hanbali. Kitab tersebut adalah catatan kaki buku Thabaqatul Hanabilah karya Ibnu Abu Ya`la.
b.      Mukhtasharu Sirati Umar bin Abdul Aziz. Kitab tersebut telah diterbitkan.
c.       Siratu Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz. Kitab tersebut telah diterbitkan.
d.      Masyikhatu Ibnu Rajab.
e.       Waq`atu Badri.

5.      Karya beliau dalam bidang nasehat dan akhlak:

a.       Lathaiful Ma`arif lil Mawasimil Am minal Wadzaifi. Kitab tersebut telah diterbitkan.
b.      Fadhlu Ilmis Salaf ala Ilmil Khalaf. Kitab tersebut telah diterbitkan.
c.       At Takhwifu minan Naari wat Ta`rifu bi Hali Daaril Bawaar. Kitab tersebut telah diterbitkan.
d.      Ahwalu Yaumil Akhirat. Kitab tersebut telah diterbitkan.
e.       Ahwaalu Qubur. Kitab tersebut telah diterbitkan.
f.       Al Farqu bainan Nasihati wat Ta`yir. Kitab tersebut telah diterbitkan.
g.      Adz Dzullu wal Inkisaru lil Azizil Jabbar. Kitab tersebut telah diterbitkan dengan judul Al Khusyu` fis Shalat.
h.      Fadhailusy Syam.
i.        Istinsyaqu Nasimil Unsi min Nafahati Riyadhil Qudsi. Kitab tersebut telah diterbitkan.
j.        Al Ilmamu fi Fadhaili Baitillahil Haram.
k.      Al Istithanu fiimaa Ya`tashimu bihil Abdu minasy Syaithan.
l.        Dzammul Khamri.

Wafat beliau

Al Hafizh Ibnu Rajab Al Hanbali wafat pada tahun 795 H di Damaskus dan dimakamkan di kuburan Al Baab Ash Shaghir di samping kuburan Syaikh Al Faraj Abdul Wahid bin Muhammad Asy Syairazi Al Maqdisi Ad Dimasyqi yang wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 486 H. Ibnu Rajab inilah yang menyebarkan madzhab Imam Ahmad di Baitul Maqdis dan Damaskus.

Ibnu Nashiruddin berkata dalam bukunya Ar Raddul Wafir hal. 178 bahwa orang yang menggali lahad untuk Ibnu Rajab berkata kepadaku bahwa Ibnu Rajab datang kepadanya beberapa hari sebelum kewafatannya dan berkata, "Galilah lahad untukku di sini –sambil menunjuk ke salah satu tempat di Mekkah, di dalamnya sesudah itu dia dimakamkan." Penggali lahad tersebut berkata, "Aku menggali lahad untuknya. Ketika aku selesai menggali lahad tersebut, Ibnu Rajab turun ke dalamnya dan berbaring di dalamnya. Aku kaget atas tindakan Ibnu Rajab tersebut. Ibnu Rajab berkata, 'Lahad ini bagus.' Usai berkata seperti itu, Ibnu Rajab pulang." Penggali lahad berkata lagi, "Demi Allah, beberapa hari kemudian, aku tidak merasakan apa-apa, ternyata Ibnu Rajab didatangkan ke lahad tersebut dalam keadaan telah meninggal dunia dan diusung di atas peti mayat. Aku meletakkannya di dalam lahad tersebut dan menguruk tanah ke dalamnya. Semoga Allah merahmatinya.

PUJIAN-PUJIAN PARA ULAMA TERHADAP BELIAU

Berbagai pujian dan gelar kehormatan telah disandangkan oleh para ulama terhadap beliau.

1.      Qadhi Alauddin bin Al Lahham berkata seperti dinukil darinya Yusuf bin Abdul Hadi, "Ibnu Rajab adalah syaikh kami, imam, orang alim, ulama paling istimewa, hafizh hadits, syaikhul Islam, penerang bagi hal yang gelap, dan penjelas segala yang tidak jelas.
Juga dinukil dari Qadhi Alauddin yang berkata, "Pada suatu ketika, Syaikh Ibnu Rajab menyebutkan salah satu masalah kepada kami dan menjelaskannya dengan panjang lebar. Kami kagum akan hal tersebut dan ketelitiannya. Setelah itu, masalah tersebut terangkat pada pembahasan para pengikut madzhab dan lain-lain, namun Ibnu Rajab tidak berkata sepatah katu pun. Ketika dia berdiri, aku bertanya kepadanya, 'Bukankah engkau telah membahas masalah tersebut sebelumnya?' Ibnu Rajab menjawab, 'Aku mengatakan sesuatu yang aku harapkan pahalanya dan aku takut berbicara di tempat ini."

2.      Hafizh Syam dan sejarawan Islam, Syihabuddin Ahmad bin Hijji berkata sebagaimana yang dinukil darinya oleh Ibnu Hajar, "Ibnu Rajab hebat dalam banyak disiplin ilmu dan menjadi orang yang paling ahli tentang cacat hadits dan jalur-jalurnya. Sebagian besar sahabat-sahabat kami pengikut madzhab Hanbali adalah murid-muridnya."

3.      Ibnu Nashiruddin Ad Dimasyqi berkata, "Ibnu Rajab Al Hanbali adalah Syaikhul Islam, imam, ulama` hebat, ahli zuhud, panutan, penuh berkah, hafizh hadits, narasumber, orang terpercaya, hujjah, orator terhebat yang dimiliki oleh kaum muslimin, pakar hadits, seorang imam yang zuhud dan ulama` yang ahli ibadah."

4.      Ibnu Imad berkata, "Ibnu Rajab adalah syaikh, imam, orang alim, ulama`, ahli zuhud, panutan, penuh keberkahan, hafizh hadits, narasumber, orang terpercaya, dan hujjahnya kaum muslimin."

5.      An Nu`aimi berkata, "Ibnu Rajab adalah syaikh, ulama`, hafizh hadits, ahli zuhud, dan syaikh para pengikut madzhab Hanbali."

Dan masih banyak pujian ulama` kepada beliau. Semoga Allah merahmatinya dan mensucikan ruhnya, dan menjadikan kita termasuk orang yang mengikuti keshalihan dan melanjutkan keilmuaannya. Amiin

Pendapat Imam Ibnu Rojab Terhadap Penyimpangan Imam Ibnu Taimiyah 

Tidak sedikit di antara para imam agung Ahlusunnah wal Jama’ah yang menyaksikan penyimpangan akidah Ibnu Taimiyah, khususnya yang terkait dengan tajsîm dan tasybîh, serta tema-tema lainnya. Kerenanya kemudian para ulama memintanya untuk bertaubat dari keyakinan-keyakinan sesatnya… Setelah berbelit-belit dan terbukti enggan meninggalkan keyankinan sesatnya tentang sifat-sifat Allah SWT, maka tidak sedikit di antara para imam dan ulama Ahlusunnah segera mengeluarkan fatwa bahwa Ibnu Taimyah adalah hamba sesat dan menyesatkan, dhâllun mudhillun! Bahkan tidak sedikit yang menvonisnya telah kafir!

Di antara para imam agung Ahlusunnah yang mengafirkan Ibnu Taimiyah (yang diagungkan dan dijadikan rujukan utama kaum Wahhâbi Salafi) adalah Imam Ibnu Rajab al Hanbali dan Imam as Subki!

Penegasan pengafiran mereka terhadap Ibnu Taimiyah telah disebutkan oleh Imam al Hishni ad Dimasyqi dalam kitabnya Daf’u Syubah Man Syabbaha wa Tamarrada:180. Beliau berkata:

 وكان الشيخ زين الدين بن رجب الحنبلي ممن يعتقد كفر ابن تيمية ، وله عليه الرد ، وكان يقول بأعلى صوته في بعض المجالس ، معذور السبكي . يعني في تكفيره

“Dan adalah Syeikh Zainuddin bin Rajab al Hanbali termasuk di antara para ulama yang mengkafirkan Ibnu Taimyah. Ia punya karangan yang membantah Ibnu Taimiyah. Ia berkata dengan suara lantang dalam sebagian majlis (pelajarannya), “Subki tidak salah! (maksudnya ketika ia mengkafirkan Ibnu Taimiyah).”

AL-Hafidz Imam Ibnu Rajab Membenarkan Adanya Bid'ah Hasanah

Dalam Sebuah Hadits Diriwayatkan


من أحدث في أمرنا ماليس منه فهو رد الحديث رواه شيخان

” barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan kami ini yg bukan dari kami maka dia tertolak “( H.R. Bukhari & muslim )

“berkata al-hafidz ibnu rajab ” rahimahullah :hadist di atas dalam manthuqnya menunjukan bahwa : setiap perbuatan yg tdk masuk dalam urusan syari’at maka tertolak, akan tetapi dalam mafhum nya menunjukan bhwa : setiap perbuatan yg masih dalam urusan syari’at maka ia di terima dalam artian tdk tertolak “

“ وقال الإمام العلامة عبد الله الغماري : إن هذا الحديث مخصص لحديث ( كل بدعة ضلالة) إذ لوكانت البدعة ضلالة بدون استثناء لقال الحديث : : من أحدث في أمرنا هذا شيئا فهو رد . لكن لما قال ( من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد ) أفاد المحدث نوعان :

“berkata imam al-allamah abdullah al-ghamari “hadist di atas ( man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun ) adalah sebgai hadist mukhassis (memperkhusus ) daripada sebuah hadist ” kullu bid’atin dholalah “sebab jikalau semua perbuatan bid’ah di anggap sesat, tanpa terkecuali, maka tentu kalimat hadist di atas berbunyi ( man ahdatsa fi amrina hadza sya’ian fahuwa roddun : tidak ada kalimat ” ma laisa minhu “nya ) akan tetapi ketika hadist di atas berbunyi : man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fahuwa raddun ) maka hadist tersebut memberikan dua pengertian :

1. ماليس من الدين : بأن كان مخالفا لقواعده ودلائله .فهو مردود :وهو البدعة الضلال.

Perbuatan baru yg bukan dari agama , yaitu perbuatan-perbuatan baru yang menyalahi kaidah-kaidah agama dan dalil-dalilnya : ini adalah tertolak dan bid’ah semacam inilah yg sesat ,

2. وماهو من الدين: بأن شهد له أصل أو أيده دليل :فهو صحيح مقبول . وهو البدعة الحسنة.

Perbuatan-perbuatan yg dari agama, yaitu perbuatan baru yg mempunyai standard ukuran hukum asal, atau di dukung oleh dalil-dalil yg menguatkan, perbuatan bid’ah semcam ini di terima dan tidak tertolak, inilah yg di sebut ” bid’ah hasanah “

, ويؤيد حديث جرير عند مسلم ( من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيئ ،

hal tersebut di dukung oleh hadist jarir menurut imam muslim :

“ barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg baik maka ia mendapat pahala serta mendapat pahala orang-orang yg mengamalkan setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “

ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئ

” barang siapa memberikan contoh dalam islam dengan contoh perilaku yg buruk, maka ia akan mendapat dosa serta mendapat dosa dari orang-orang yg melakukan setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun ” (H.R.muslim)

وكذا حديث ابن مسعود عند مسلم من دل على خير فله أجر فاعله

“begitupun juga hadist ibnu mas’ud menjelaskan “ barang siapa yg memberikan petunjuk terhadap kebaikan maka ia mendapat pahala sebagaimana pahala orang-orang yg mengerjakanya “( H.R. Muslim )

وحديث أبي هريرة عند مسلم : من دعى إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لاينقص من أجورهم شيئ، ومن دعى إلى ضلالة كان عليه من الأثم مثل إثم من تبعه لا ينقص من إثمهم شيئ

” serta hadist abi hurairah “ barang siapa yg mengajak kepada petunjuk maka ia mendapat pahala sebgaimana pahala orang yg mengikuti petunjuk tsbt , tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun “dan barang siapa yg mengajak kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa-dosa orang yg mengikuti kesesatan tersebut, tanpa mengurangi dari dosa-dosa mereka sedikitpun ” ( H.R. Muslim )

Inilah faham ahlussunnah wal jama'ah yg mengikuti pendapat ulama'2 yg diakui keilmuannya dan karya2nya telah menjadi rujukan dunia Islam sampai sekarang, yg menolak bid'ah hasanah sama juga menolak pendapat al-hafidz Ibnu Rojab, yg menyesatkan bid'ah hasanah sama juga menyesatkan Ulama' yg sholeh al-Hafidz Ibnu Rojab.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...