Senin, 25 Oktober 2021

Imam Taqiyyuddin Al-Hishni Asy-Syafi'i


Di kalangan santri pondok pesantren salafiyah, nama Syekh Taqiyuddin al-Hishni asy-Syafii sudah tak asing lagi. Namanya begitu terkenal berkat salah satu karyanya yang senantiasa dipelajari para santri, yakni Kifayah al-Akhyar fi Hall Ghayah al-Ikhtishar. Kitab ini merupakan salah satu kitab pokok yang dipelajari di pesantren salaf, bahkan kitab seakan menjadi kitab wajib di pesantren.

Syaikh Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad al-Hishni al-Husaini, atau biasa disebut Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, terkenal di kalangan pesantren tradisional. Kitabnya berjudul Kifayatu al-Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtisharmenjadi kitab yang wajib dipelajari di pesantren tradisional sebagai rujukan fikih Imam Syafi’i. Beliau bukan hanya ahli fikih, namun juga tersohor ahli ilmu tasawwuf. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW.

Sebutan al-Hishni adalah nisbat kepada daerah asalnya “Hishni”, sebuah wilayah di desa Hauran, Damaskus. Taqiyuddin merupakan gelar keilmuan Syaikh al-Hishni karena kepakarannya dalam fikih madzhab Syafi’i.

Nama lengkapnya adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu'min bin Hariz bin Mualla bin Musa bin Hariz bin Sa`id bin Dawud bin Qasim bin Ali bin Alawi bin Naasyib bin Jawhar bin Ali bin Abi al-Qasim bin Saalim bin Abdullah bin Umar bin Musa bin Yahya bin Ali al-Ashghar bin Muhammad at-Taqiy bin Hasan al-Askari bin Ali al-Askari bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadhzim bin Ja'far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Tholib at-Taqiy al-Husaini al-Hishni.

Beliau yang lebih dikenali sebagai Imam at-Taqiy. Imam Taqiyuddin al-Hishni adalah seorang ulama besar dan ahli sufi bermazhab Syafi`i serta berpegang dengan i'tiqad Imam Abul Hasan 'Ali al-Asy'ari. Seorang yang zahid dan sentiasa menyeru ke arah ma'ruf dan mencegah kemungkaran tanpa takutkan sesiapa hatta para pemerintah dan penguasa.

Beliau dilahirkan dalam tahun 752H di Kota al-Hishn dalam negeri Syam kemudian berpindah ke Kota Dimasq di mana beliau meneruskan pengajiannya. ‎
Dalam pengembaraan intektualnya ia banyak belajar pelbagai disiplin ilmu agama kepada para ulama besar yang ada pada saat itu. ‎

Di antara guru-gurunya ialah:-
Syaikh Abul 'Abbas Najmuddin Ahmad bin 'Utsman bin 'Isa al-Jaabi;
Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Sulaiman ash-Sharkhadi;
Syaikh Syarafuddin Mahmud bin Muhammad bin Ahmad al-Bakri;
Syaikh Syihaabuddin Ahmad bin Sholeh az-Zuhri;
Syaikh Badruddin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa;
Syaikh Syarafuddin 'Isa bin 'Utsman bin 'Isa al-Ghazi;
Syaikh Shadruddin Sulaiman bin Yusuf al-Yaasufi.
Akhlak dan perilakunya yang tawadhu dan luhur menjadi tanda pengenal dia. Ia seorang sufi, berakhlak mulia, dan tidak sombong. Ia terbiasa keluar bersama muridnya, berkumpul dan bahkan bermain. Namun dengan tetap menjaga kehormatannya sebagai guru. Ketika dia masih hidup, wilayah Damaskus pernah mendapat cobaan berat. Diserang oleh tentara Tamarlenk, keturunan Jengis Khan. Tentara ini sangat tamak, sebagaimana Jengis Khan, menumpahkan darah siapa saja yang menghalangi dan berambisi menegakkan kerajaan dunia di bawah pimpinannya. Namun, ia gagal. Mujahidin menghalau dia.

Kondisi ini tidak menghalangi Syaikh Abu Bakar al-Hishni untuk belajar dan mengajar. Setelah fitnah bangsa Tar Tar berhasil dipadamkan, Syaikh al-Hishni menjadi pusat perhatian penuntut ilmu. Namanya masyhur di negeri Syam. Di saat ini, Syaikh al-Hishni membatasi berbicara kepada orang. Kecuali terbatas pada tujuan ilmu. Namun, ia terbuka untuk menasihati kepada para Qadhi – Hakim – dan para pejabat kenegaraan. Ia dikenal zuhud, menjauhi duniawi.

Sepanjang hidupnya, Syekh Taqiyuddin al-Hishni banyak menulis kitab besar dan bernilai tinggi. Dalam berbagai lapangan. Antaranya:-
Daf'u Syubahi Man Syabbaha Wa Tamarrada Wa Nasaba Dzalika Ila asy-Sayyid al-Jalil al-Imam Ahmad;
Syarah Asmaullah al-Husna;
At-Tafsir;
Syarah Shohih Muslim (3 jilid);
Syarah al-Arbain an-Nawawi;
Ta'liq Ahadits al-Ihya;
Syarah Tanbih (5 jilid);
Kifayatul Akhyar;
Syarah an-Nihayah;
Talkhish al-Muhimmaat (2 jilid);
Syarah al-Hidayah;
Adab al-Akl wa asy-Syarab;
Kitab al-Qawaa`id;
Tanbihus Saalik;
Qami`un Nufuus;
Siyarus Saalik;
Siyarush Sholihaat;
Al-Asbaabul Muhlikaat;
Ahwal al-Qubur;
al-Mawlid.
Beliau terkenal bukan sahaja kerana ketinggian ilmunya, bahkan kerana kewaliannya. Berbagai karamah telah berlaku ke atas beliau. Antaranya pernah diceritakan bahawa sewaktu para mujahidin berperang di Cyprus, maka beliau telah dilihat berjuang bersama-sama para mujahid tersebut sehingga mereka memperolehi kemenangan. Apabila para pejuang tersebut menceritakan hal tersebut kepada murid-murid beliau, maka murid-murid tersebut menyatakan bahawa beliau sentiasa bersama mereka di Dimasq dan tidak pergi ke mana-mana. Begitu juga beliau sering dijumpai berada di Makkah dan Madinah mengerjakan haji sedangkan pada masa yang sama beliau tetap berada di Dimasqh. Beberapa keramatnya telah disebut oleh Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam "Jaami` Karaamaatil Awliya`" juz 1 halaman 621- 622.

Karomah
Seabrek karyanya itu, menunjukkan kedalaman dan keluasan ilmu yang dimiliki oleh Syekh Taqiyuddin al-Hishni. Namun demikian, sebagian ulama juga mendapati kekaromahan atau tingkat kewalian dari pengarang kitab Kifayah al-Akhyar ini.

Sebagaimana disebutkan oleh Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dalam kitabnya Jaami` Karaamaatil Awliya` juz 1 halaman 621- 622, Syekh Taqiyuddin merupakan seorang ulama yang memiliki kemuliaan tinggi. Ia menyebutkan, sewaktu para mujahidin berperang di Cyprus, maka banyak diantara mereka yang melihatnya ikut membantu perjuangan umat Islam di Cyrus, sehingga akhirnya mereka memperoleh kemenangan. Ketika mereka menceritakan hal itu kepada murid-muridnya di Damaskus, para muridnya menyatakan, bahwa Syekh Taqiyuddin tidak pergi kemana-mana dan senantiasa mengajarkan ilmu di Damaskus.

Dalam suatu kesempatan, Syekh Taqiyuddin juga terlihat berada di makkah dan madinah mengerjakan ibadah haji bersama umat Islam lainnya. Namun, di waktu yang sama, murid-muridnya sedang bersama Syekh Taqiyuddin belajar ilmu agama.

Beliau wafat pada tahun 829H dan dikebumikan di Dimasq. Mudah-mudahan Allah sentiasa mencucurkan rahmatNya dan kasih-sayangNya kepada beliau yang telah menghabiskan umurnya untuk mengabdi kepadaNya serta menyebar luas ilmu agama. 

Imam Abu Ya'qub As-Sijistani


‎The name of Hazrat Abu Yaqub as-Sijistani is placed among the names of those well known preachers of "Ismaili religion" who made fruitful efforts to combine religion and philosophy and used the latter as a weapon and source to contradict or to bring down the critics of religion and to prove the truthfulness of religion.

His full name was Ishaq Bin Ahmad and his surname was Bandana. According to Professor, W. Ivanow, this surname is used in place of Bandanai or Bandani, probably due to his belonging to Bandan a district in the Northern part of Sijistan (or Sistan). But usually he is known as Sijistani (or Sijzi, or Sigzi).

Birth And Education: Like other famous Ismaili preachers, the details of his life history are not available. From some notes on his life found in history books, we come to know that he was born about 271 A.H. in Bandan a district in the north of Sijistan. Sijistan is situated in the south of Khurasan, which is the birth place of the famous Iranian wrestler Rustam. Some people say that Hazrat Sijistani's family was also a member of the same race, but some others say that he belonged to the Arab race; his grandfather had settled in Khurasan after migrating from Kufa.

As far as his education is concerned, we know nothing about his early religious education and his secular education. But it is said that he gained his knowledge of preaching and philosophy in schools devoted to Ismaili preaching in Yaman. During his studies he proved to be very intelligent and a genius and very soon he was known as a great philosopher. He had a golden opportunity to gain some knowledge of preaching and philosophy from Hazrat Abu Abd Allah (or Abu'l Hasan) Muhammad Bin Ahmad Nasafi, (or Nakhshabi), a great philosopher and preacher. Hazrat Sijistani was much influenced by Hazrat Nasafi's views and was a great supporter of these views. Therefore, when Hazrat Abu Hatim ar Razi wrote the book "Kitab al-Islah" for the correction of a few points of views of Hazrat Nasafi, presented in the latter's book "al-Mahsul", Hazrat Sijistani wrote the book "Kitab an Nusra" in support of Hazrat Nasafi's views.

Preaching: After completing his studies, he was appointed as a preacher in Eastern countries like Khurasan and others along with Hazrat Nasafi.That period when Hazrat Sijistani was preaching is known as Golden Age in the history of preaching of Ismaili religion, because by that time, Hazrat Imam Mahdi had appeared in the West according to the following Hadith "The sun will rise in the West after three hundred years after Hijrat," and Ismaili preachers were spreading the Ismaili views all over the world.

Although, in the light of the good speeches of the preachers well documented with knowledge and logic, the preaching was successful everywhere yet. at the same time the opposition was also increasing. Especially in Eastern countries like Khurasan, to rouse the people towards the Ismaili religion was considered just as to jump in the well of death. It was due to the fact that the ruler of that part of the world, being under the influence of Abbasid Caliphs, were the greatest enemies of Ismailis. Therefore, due to this religious opposition, Hazrat Husayn Bin Ali al-Maruzi, a teacher of Hazrat Nasafi was killed by Nasar Bin Ahmad Samani. Although Hazrat Nasafi and Hazrat Sijistani were well aware of this danger, still they worked in this area with great boldness and stability. They preached in such a logical way that not only the courtiers and friends of the king- adopted the Ismaili faith, but the King Nasar Bin Ahmad Samani himself adopted this religion willingly. The king not only believed in the religion but he also sent 1,19,000 dinars to Hazrat Imam Mahdi as a compensation for the death of Husayn Bin Ali al-Maruzi. Thus these two learned preachers and scholars met with great success in spreading the true religion in the East.

Abbasi Caliphs did not like Ismaili teachings to spread and they tried to stop it by any means. Therefore, in the year 331 Hijri or 942 C.E. with the help of Nuh Bin Nasar son of Nasar Bin Ahmad, and his commander-in-chief, they made a plan against the Ismailis and jailed Nasar Bin Ahmad. Then they started the cruel mass murder of Ismailis.

In Ismaili History this mass murder is referred to as the Great Trial. In this mass murder Hazrat Nasafi was killed along with many other preachers. According to Abdul Qahir at Baghdadi (429 A.H.) Hazrat Sijistani was also killed. But according to recent research and also to the books written by Hazrat Sijistani himself and by other authors, the date given by Baghdadi is wrong, Sijistani had escaped this mass murder. His own book Kitab al-lftikhar proves he was alive till 361 Hijri (972 C.E.) and according to the book a]-Mabda' wal-Ma'ad he was alive till 386 Hijri (996 C.E.).

After escaping from the mass murder of 942 C.E. (331 Hijri). it seemed likely that he worked in Bukhara This is also supported by Arif Tamir who writes that the Hazrat was preaching in the period of Hazrat Imam al-Muizz (365 Hijri). However, Ibn Nadim writes in his book al-Fihrist (completed in 377 Hijri) that Sijistani was appointed as a preacher in Ray. In this book he writes that Ismaili preachers were Mooslis and they were preaching in AI-Jazair (Algeria) under the order of Caliph Abu Yaqub. who was staying in Ray at that time. Most probably Caliph Abu Yaqub was referred as Hazrat Abu Yaqub as Sijistani by Ibn Nadim.

Besides, Dr. Mustafa Ghalib writes, with reference to "the secret Ismaili documents" that Hazrat Sijistani was the head of all the preaching institutions in Persia.

Moreover, according to the research of Professor Stern (details are given in the following pages) it does not seem impossible that he was still alive in the era of Hazrat Imam ai-Hakim bi-amri'il-lah (Peace be upon him) (386 - 411 Hijri).

Thus, in the light of history we come to know that his efforts to preach Ismailism were not discontinued in 331 Hijri, but he continued his services for Ismaili religion for more than half a century. Thus, in this way he had a golden opportunity to spread Ismailism from the period of Hazrat Imam Mahdi to the period of Hazrat Imam ai-Hakim bi-amri'l-lah (peace be upon him) i.e. for a period of six caliphs.

HAZRAT SIJISTANI AS A SCHOLAR:

Hazrat Sijistani has a great value both as a Muslim philosopher and as a preacher of Ismailism.

As has already been stated. Hazrat Sijistani is regarded as one of those greatest Muslim philosophers and scholars who have contributed a lot to combine Islamic way of life with logic and to develop Muslim philosophy.

The period in which Hazrat Sijistani was preaching was considered as the golden age of the history of Muslim knowledge and thinking due to the development of Islamic literature and to the publication of translated version of Greek philosophical books. Unfortunately, besides this development, Muslims suffered from a confusion in their thinking and a troubled soul due to some extremist scholars; that is, some narrow minded philosophers gave preference to philosophy over Shariat (religious law) refusing to believe in Holy Prophets and neglecting the logic and knowledge of some people praising superficiality, although knowing that knowledge and logic offer a great reward according to the Holy Quran. These philosophies issued a judicial decree of infidelity against the people who studied these thoughts. All this created such a big gap between religious law and logic that it was very difficult to bridge that shiism. It was a challenge for the neutral Muslim scholars and philosophers to prove the reality and truthfulness of Islam by logic and shariat (religious laws) both. Therefore. at this critical stage, Ismaili preachers were the first to come forward to fulfil their duty and they did it with a great success.

Hazrat Abu Hatim ar-Razi (322 Hijri) discussed the matter with Abu Bakr Muhammad Bin Zakariva Razi (313 Hijri) a famous Physician and philosopher and the head of the group of people not believing in the prophets after the last Prophet. Hazrat Abu Hatim ar-Razi also wrote a book A'lam an-Nubuwwat refuting Abu Bakr Muhammad Bin Zakariya ar-Razi. In this book he has proved the necessity for prophets after the last Prophet by logical and illogical arguments and with reference to the books of different religions. Although, many Muslim scholars and learned men like Abu Nasr Farabi (339 Hijri) and Ibn Hazam Zahni from Spain (456 Hijri) have written many books against Abu Bakr Razi, yet there is no doubt that the first one was written by Hazrat Abu Hatim ar-Razi.

Hazrat Sijistani continued the mission started by preceding scholars and preachers. He wrote a valuable book "Ithbatu'n Nubuwwat" on the problem of necessity for Prophets after the Last Prophet. This problem had attracted the attention of all Islamic circles of knowledge and thought at that time. In his book he proved the existence of prophets by arguments from all religions and soul of man and the physical state of nature. He had also admitted his belief in the Last Prophet (Peace be upon him). Besides this, Hazrat Sijistani has written many other valuable books on Muslim philosophy in which he has combined Shariat (religious law) with logic and has shown that actually these two are not contradictory to each other but they point towards a single one object.

In recognition to his services in the field of knowledge, researchers who have worked on his books and his philosophy, place him among those greatest philosophers and scholars who have contributed immensely to the development of Muslim thinking. Dr. Hasan Ibrahim Hasan wrote that Hazrat Abu Ya'qub as-Sijistani has compiled many books that had a profound impact on development of Islamic thinking and the development of philosophy of Ismaili religion.

Dr. Taha Ahmad Sharif writes about Ismaili preachers that Hazrat Nasafi and Hazrat Sijistani and other Ismaili preachers were along the great philosophers and they made valuable discussions with contemporary philosophers.

Dr. Hussayn Hamdani writes that Hazrat Sijistani is another Ismaili preacher and protector of Islam who used philosophy itself as a weapon against opponents of religion, and he is one of those very early philosophers and thinkers who have contributed a large part in the development of Ismaili philosophy.

Professor Stern writes that a thorough study of the writings of Hazrat Sijistani is very necessary. This is because his writings are our greatest proof about the believer of the philosophical branch of Ismailism in 4th century Hijri and 10th century milad.

Finally to realise Sijistani's greatness as a scholar, it is enough to know that Hazrat Hamid ad-din Kirmani, a great Ismaili philosopher, who was also a student of the former and he gained his knowledge of Ismaili philosophy from Hazrat Sijistani and carried it to its peak. Secondly, he removed all small differences in Ismaili beliefs which existed among the preachers before him. He constructed the building of Ismaili philosophy on such a solid foundation that there has never been even a minor difference among his succeeding preachers.

DEATH:

Even today some historians and biographers believe in the date quoted by Abd al-Qadir al Baghdadi (Hijri : 429) that Hazrat Sijistani was killed in the mass murder of 331 Hijri/942 C.E., along with Hazrat Nasafi and other Ismailis. But according to the recent research of Professor. W. lvanow and Professor Stern based on Sijistani's own books and other history books, this date is proved to be wrong.

In the 9th Chapter of his book "ai-iftikhar", Hazrat Sijistani writes that at the time of writing this book, a period of more than 350 years had elapsed since the death of the Holy Prophet.

Another similar statement comes in the 13th Chapter of the same book under the heading of "Knowledge of Ablution and Neatness." Since the Holy Prophet died in 1 1 Hijri, therefore, Hazrat Sijistani was alive till at least 361 Hijri/972 C.E.

Besides, Professor W. lvanow quotes from Hazrat Sijistani's book "al-Mabda', Wa'l ma'ad" that in the preface of this book Hazrat Sijistani has recognised Maulana at-Hakim bi Amri-i-lah as "Imam-e-Zamana" (Caliph or leader of the world at that time.) The latter was a Caliph in the year 386 Hijri/996 C.E. Accordingly, Sijistani was alive till at least 386 Hijri 996 C.E.

Besides, Arif Tamir writes in the preface of his book "AI-Riaz" that Hazrat Sijistani was appointed as a preacher in Bukhara by the order of Caliph Hazrat al Mu'izz who was a Caliph from 341 Hijri - 365 Hijri. In this respect he was a contemporary of the Magistrate Hazrat an-Nu'man (362H) and Hazrat Ja'far Bin Mansur from Yaman (365 Hijri).

Also, Professor Stern quoted from Rashid ad-din (Jami'at Tawarikh. i.e. Complete Histories - a book from the British Museum, No. 7628) that "after the death of Hazrat Nasafi who was sentenced to death in Bukhara (331 H/942 C.E.), Hazrat Ishaq al-Sijzi was captured by Amir Khalf Bin Ahmad al-Sijzi (the latter was a ruler from another safary family who ruled from 349 Hijri to 399 Hijri. From the above statement, probably he means that Hazrat Sijistani was killed by Amir Khalf." From this statement we infer that he did not die before 349 Hijri. Therefore, the date of his death as given by Baghdadi proves to be incorrect, and from these historical evidence we conclude that he passed away like his forefathers in the path of religion; but this death did not occur in 331 Hijri, instead it probably occurred between 386 Hijri - 399 Hijri in the era of Amir Khalf Bin Ishaq (read Ahmed in the place of Ishaq since Ishaq is incorrect although it is given thus in history books).

May Allah shower his blessings on the Holy People who gave their lives only for Allah.

WORKS:

Sayyidna Sijistani was a great author. He has produced books on different subjects concerning Muslim philosophy and Ismaili Da'wat (propagation). Value of these books can be well ascertained from the undermentioned titles selected from the index of AI-Majdu'a as well as 'Ismaili Literature' of Prof. W. Ivanow.

1. lthbatu'n-Nubuwwat' It is his greatest and remarkable work. In it he has communicated different religions such as Daysanites, Marcionites, Sanavi (of China). Mazdakites, Zorastrian. etc. It has seven parts and each part depends upon 12 chapters. In these parts clarification on variation in the Universe. proof of the Creator of the Universe, Apostles' discord in exoteric matters and accord in esoteric matters, prophets' epochs, presence of wondrous subjects and solid proofs of the Apostle's prophethood in holy Quran and Shariat, etc., have taken place subjectwise.

2. Kitabul Yanabi'. It has been created on 40 sources. Yanbu' means spring or source; Yanabi' is its plural. In it clarification of the meaning of Yambu', balance between spiritual and physical sources, reality of the universe, concern of two letters, i.e. 'Kun' with God's ordinance. world of wisdom and impulses, firmaments, primitive condition of human being. angles, non-existence of evil in creation, reward, meaning of heaven and hell, parity between bed reading and martyrdom. position of the Lord of the Day of Judgment, singularity and plurality, finality, condition of securing spiritual aid in physical world. etc., subjects have been discussed. Prof. Henry Corbin has translated this book into French and has published it in 1961 from Tehran and Paris.

3. Kitabul Mawazin. It depends on 19 chapters. In it reputation of opposition of truth and its follies; amenities for ac)provers of truth and detrimental results. for its disapprovers; mystique of the Creator; ordinance, prayer and its mystique; mystique of wisdom and its qualities; two main (wisdom and impulse) and three subordinates (jad, victory and idea) : Natiqs, Asas and Imams' mystique Hujjat and Da'is, ever living and his importance; benediction for Virtuous and conviction for wrong doers; knowledge and spiritual aid (gain of which is eternal repose and its loss ever lasting): etc., have been explained with evidence.

4. Tuhfat al-multajib or mustajibin. In it God's ordinance, Kalima, wisdom, sabik. void, hayala, impulse, lawh, firmament. thani, tali. appreciation, complexion. sun, moon. 2 main, jad, victory, idea meaning of 7 spiritual letters, etc., have been clarified.

5. Kitab al-lftikhar' It has been composed in 17 chapters, in which unity, ordinance, wisdom, and impulse; jad, victory. idea; 7 spiritual letters; prophethood, visazat, Imamate, dooms day, baas, benediction and conviction deep meaning of holy Quran, as well as arkan (foundation) and secret of Shariah, etc., have been dealt with.

6. al-Mabda' wa'l-ma'ad: It is a booklet, in which unity of God, lauh, Mabda and Ma'ad of Nafs Natiqu have been discussed. According to W. lvanow, in the introduction of this booklet Imam Hakim bi Amrillah. has been referred to as ]mam. No mention is made in the index of Fihrist ai-Majdu' about this booklet, which is to be found in a private collection.

7. Sullam an-Najat: It has been written subjectivise. In it Quranic conception of faith termed as 'a I Imam billahi wa Malaikatihi wa kutubihi wa rusoolihi wal yawmil aakhiri wal baasi baadal maut wal janatu wan-naar', etc., have been discussed. Moreover, in this book mention is also made of Sanavi, Daysanite, Sabean Majusi, etc.

8. Kitab an-Nusra fi sharh ma qala-hu'sh-Shaykh al-hamid fi kitab al-Mahsul: It is a refutation, by Sayyidna Sijistani, of criticisms on 'ai-Mahsul' of Sayyidna Nasafim made by Sayyidna Hatim ar-Razi in his book ai-Islah.

9. al-Maqalid al-Malakutiyya. It has been reproduced in 'Kiatbul Azhar'.

10. Musliyat al-ahzan. It has been written on greatness of patience in sufferings and in difficulties.

11. Kitab al-wa'iz. It has been written on the regulations of righteousness.

12. ar-Risalat al-Bahira' It has been written on omniscience of God, mention of which has been made by Pir Nasir Khusraw in his book 'Zadul Musafarin'.

13. al-Radd 'ala man waqaf 'inda'l-falak al-muhit mina'l-falasifa' It has been dealt with world constitution and astronomy.

14. Kitab al-Bisharat' It has been communicated in another book of Sayyidna Sijistani.

15. Asas ad-Da'wat' 16. Kashf al-Asrar' Mention of these books has been made on page 283 of 'alFarqu Bainui Farq' by Baghdadi. Besides this, nothing could be known about these from other books.

17. Ta'wil ash-shara'i. It has been also described in 'al-Farq' by Baghdadi, besides in the index

of 'Majdua'. In it facts and secrets of shari'at as well as deep understanding of Quranic verses, besides many other subjects have been discussed.

18. Sus al-baqa or usus an-ni'am. It has been mentioned only in 'Zadul Musafarin' by Nasir Khusraw.

19. Sara'ir al-ma'ad wa'l-ma'ash. As it is mentioned in the index of 'ai-Majdua', some find it to have been written by Sayyidna Abu Katim Razi.

20. al-Kitab al-Gharib fi ma'na'l-Iksir. It has been written on chemical science, to be found in private library.

21. Mu'nis al-qulub' 22. Risalat fi Ta'lif al-Arwah


23. Risalat al-Amn mina'al-hayrat. All these three books are to be found in a private library.

24. Khazinat al-adillat: It is dependent on 28 treasures concerning Ismaili concepts. Most probably it has been considered among 13 Risalas by Hamid ad-Din ai-Kirmani. In the index of 'ai-Majdua', it is described as a work of unknown individuals.

25. Kashf al-Mahjub. It is in Persian language, description of which has been made on page 422 of 'Zadul Musafarin' by Nasir Khusraw, printed in Berlin, in Khwanul Ikhwan page 1 1 7 printed in Cairo, page 1 39 printed in Teheran, as well as on pa-e 32 prin+ed in Laipaza and page 48 printed in Deccan, of 'Malil Hind'. According to some, it is a translation of 'Kitab al-Asrar'. It has been published by Professor Henry Corbin in French language with an introduction, in 1949 from Teheran and Paris.‎

Imam Ja'far As-Shodiq Guru Semua Madzhab


Di dalam kitab Tahdzib al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104, tatkala Imam Malik menceritakan kepribadian Imam Ja'far as-Shadiq r.a, Ia berkata:
" Aku sering mengunjungi as-Shadiq. Aku tidak pernah menemui beliau kecuali dalam tiga keadaan ini: 1) shalat, 2) puasa, 3) membaca kitab suci al-Qur'an. Aku tidak pernah melihat beliau meriwayatkan sebuah hadist ‎Nabi saw kecuali ia dalam keadaan berwudhu’ (suci) . Beliau adalah seorang yang paling bertaqwa, wara’, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad saw”.

As-Syaikh Muhammad Abdul Karim al-Syahrastani, penulis kitab al-Milal Wa al-Nihal juga memuji pribadi imam Ja’far, ia berkata: "ia adalah seorang yang pakar dalam urusan agama, memiliki budi pekerti yang sempurna dalam dalam hal hikmah, sangat zuhud dalam urusan dunia serta kewaraan yang sempurna dari hal-hal yang menyenangkan  (yang dapat menjerumuskannya ke api neraka”.
 
Dan banyak lagi pernyataan ulama tentang pribadi Ja”far as-Shadiq, sebagai salah satu keturunan Nabi saw, yang memiliki dua kemuliaan sekaligus, yaitu kemulian ilmu dan nasab (garis keturunan), hal ini sebagaimana pernyataan al-Bushiri dalam qasidah Burdah

وانسب إلى ذاته ما شئت من شرف () وانسب إلى قدره ما شئت من عظم

Sandarkanlah kepada beliau saw, siapa saja yang engkau kehendaki (yang memiliki garis keturunan, bersambung ke beliau saw)
Dan sandarkanlah kepada kadar kualitas beliau sebagai seorang Nabi, siapa saja yang memiliki kebesaran berupa ilmu

Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih). Beliau adalah guru dari Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi), Imam Malik (pendiri mazhab Maliki), Jabir bin Hayyan (Kimiawan) dan Wasil bin Atta (pendiri mazhab Muta'zilah). Keilmuannya mencakup esoteris dan juga eksoteris, ilmu Isyarah dan juga ilmu Ibarah, ilmu kalam dan ilmu hadis, sunnah, ilmu alam dan ilmu-ilmu sejarah.

Dia adalah al-Hakim, orang bijaksana sejati sesuai Alquran, seorang alim yang lengkap yang mengerti bahwa Syariah diterapkan tidak hanya untuk dunia manusia tetapi juga untuk dunia semesta alam. Beliau menerapkan pengetahuan yang tajam untuk menciptakan pola Ilahi di dunia manusia melalui Fiqh, tetapi beliau juga melihat pola-pola di alam dan dalam sejarah dan beliau mengajarkannya kepada murid-muridnya. Beliau adalah pewaris dua rahasia, satu dari Abu Bakar as Siddiq, dan yang lain dari Ali bin Abi Thalib.‎

BIOGRAFI IMAM JA'FAR SHADIQ 

Imam Ja'far bin Muhammad lahir di Madinah pada tahun 82 H, pada masa pemerintahan Abd Al-Malik ibn Marwan. 

Imam Ja'far Ash-Shadiq adalah keturunan kelima Rasulullah SAW melalui Sayyidah Fatimah Az-Zahra, yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ayahnya, Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Ummu Farwah, yang nama aslinya Qaribah atau Fatimah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shidiq. Dengan nasab yang luar biasa tersebut, lmam Ja'far mewarisi darah beberapa tokoh paling utama di bumi sekaligus : Fatimah binti Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shiddiq. 

Sedangkan nenek dari ibunya adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena nasab kakek-nenek dari pihak ibunya bermuara kepada Abu Bakar Shiddiq, Imam Ja'far Ash-Shadiqpun mengatakan, 'Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali.'(Siyar 'A'lam An Nubala : 259). 

Karena ikatan darah yang sangat kuat itulah, lmam Ja'far Ash-Shadiq sangat mencintai datuk-datuknya, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, serta orang-orang yang mereka sayangi, seperti Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Aisyah binti Abu Bakar, dan lain-lain. Dalam berbagai literatur sejarah pun diceritakan Imam Ja'far membenci orang-orang yang membenci sahabat-sahabat Nabi tersebut, juga orang-orang yang menetapkannya sebagai imam yang ma'sum. 

Selama 15 tahun lmam Ja'far tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin, keturunan Rasulullah yang selamat dari pembantaian di Karbala. Setelah lmam Zainal Abidin wafat, barulah beliau diasuh oleh ayahnya, Muhammad Al-Baqir, selama 19 tahun. 

Beliau sempat menyaksikan kekejaman Al-Hajjaj, gubernur Madinah, pemberontakan Zaid ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut keturunan Nabi. Beliau juga menyaksikan naiknya Al-Saffah menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang semula mendukung kaum Alawiyyin tapi belakangan berbalik memusuhi. Dalam suasana seperti itulah, lmam Ja'far tumbuh, belajar, dan berdakwah untuk menyebarkan sunnah Rasulullah dan akhlaq kaum muslim.
Kepribadian

Dia dikenal memiliki sifat kedermawanan dan kemurahan hatinya yang begitu besar. Seakan merupakan cerminan dari tradisi keluarganya, sebagai kebiasaan yang berasal dari keturunan orang-orang dermawan. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling murah hati.

Dalam hal kedermawanan ini, ia seakan meneruskan kebiasaan kakeknya, Zainal 'Abidin, yaitu bersedekah dengan sembunyi-sembunyi. Pada malam hari yang gelap, ia memanggul sekarung gandum, daging dan membawa uang dirham di atas pundaknya, dan dibagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya dari kalangan orang-orang fakir di Madinah, tanpa diketahui jati dirinya. Ketika beliau telah wafat, mereka merasa kehilangan orang yang selama ini telah memberikan kepada mereka bantuan.

Dengan sifat kedermawanannya pula, ia melarang terjadinya permusuhan. Dia rela menanggung kerugian yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan, untuk mewujudkan perdamaian antara kaum Muslimin.‎

Kehidupan awal‎

Sejak kecil hingga berusia sembilan belas tahun, ia dididik langsung oleh ayahnya. Setelah kepergian ayahnya yang syahid pada tahun 114 H, ia menggantikan posisi ayahnya sebagai Imam bagi kalangan Muslim Syi'ah.

Pada masa remajanya, Ja'far ash-Shadiq, turut menyaksikan kejahatan dinasti Bani Umayyah seperti Al-Walid I (86-89 H) dan Sulaiman (96-99 H). Kedua-dua bersaudara inilah yang terlibat dalam konspirasi untuk meracuni Ali Zainal Abidin, pada tahun 95 Hijriyah. Saat itu Ja'far ash-Shadiq baru berusia kira-kira 12 tahun. Ia juga dapat menyaksikan keadilan Umar II (99-101 H). Pada masa remajanya Ja'far ash-Shadiq menyaksikan puncak kekuasaan dan kejatuhan dari Bani Umayyah.
Perjalanan keilmuan

Imam Ja'far ash Shadiq, menempuh perjalanan ilmiyahnya bersama dengan ulama-ulama besar. Ia sempat menjumpaisahabat-sahabat Nabi yang berumur panjang, misalnya Sahl bin Sa'id as Sa'idi dan Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhum. Dia juga berguru kepada Sayyidu Tabi'in 'Atha` bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab az Zuhri, 'Urwah bin az Zubair, Muhammad bin al Munkadir dan 'Abdullah bin Abi Rafi' serta 'Ikrimah maula Ibnu 'Abbas. Dia pun meriwayatkan dari kakeknya, al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr.

Mayoritas ulama yang ia ambil ilmunya berasal dari Madinah. Mereka t adalah ulama-ulama kesohor, tsiqah, memiliki ketinggian dalam amanah dan kejujuran.

Sedangkan murid-muridnya yang paling terkenal, yaitu Yahya bin Sa'id al Anshari, Aban bin Taghlib, Ayyub as Sakhtayani, Ibnu Juraij dan Abu 'Amr bin al 'Ala`. Juga Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas al Ashbahi,Sufyan ats Tsauri, Syu'bah bin al Hajjaj,Sufyan bin 'Uyainah, Muhammad bin Tsabit al Bunani, Abu Hanifah dan masih banyak lagi.

Para imam hadits -kecuali al Bukhari- meriwayatkan hadits-haditsnya pada kitab-kitab mereka. Sementara Imam al Bukharimeriwayatkan haditsnya di kitab lainnya, bukan di ash Shahih.

Berkat keilmuan dan kefaqihannya, sanjungan para ulama pun mengarah kepada Imam Ja'far ash Shadiq.

Abu Hanifah berkata,"Tidak ada orang yang lebih faqih dari Ja'far bin Muhammad."

Abu Hatim ar Razi di dalam al Jarh wa at Ta'dil (2/487) berkata,"(Dia) tsiqah, tidak perlu dipertanyakan orang sekaliber dia."

Ibnu Hibban berkomentar: "Dia termasuk tokoh dari kalangan Ahli Bait, ahli ibadah dari kalangan atba' Tabi'in dan ulama Madinah".

Imam Ja'afar as Sadiq menjauhkan diri dari ketegangan politik pada masanya, dan berfokus pada mengajar dan mendidik masyarakat. Pilihan ini merupakan keuntungan besar bagi peradaban Islam. Ada kebijaksanaan dalam strategi ini. Sejarah berhutang budi kepada Imam   Ja'afar as Sadiq atas dedikasi beliau bagi pengetahuan dan pengajaran yang menghasilkan tokoh-tokoh besar di bidang fikih, tasawuf, sains dan matematika.

Di bawah penguasa Umayyah, Ja'far as Sadiq dianggap oleh banyak pengikut Syiah sebagai imam Syi'ah keenam, dan bagaimanapun, Syiah dianggap bid'ah dan pemberontak oleh para khalifah Umayyah. Banyak kerabat Ja'far as Shadiq telah tewas di tangan Umayyah. Tak lama setelah kematian ayahnya, paman Ja'far as Sadiq, Zaid bin Ali memimpin pemberontakan melawan Bani Umayyah. Ja'far as Sadiq tidak berpartisipasi, tetapi banyak dari sanak saudaranya, termasuk pamannya tewas, dan lainnya dihukum oleh Khalifah Umayyah. Ada pemberontakan lain selama tahun-tahun terakhir dari Bani Umayyah, sebelum Bani Abbasiyah berhasil merebut kekhalifahan dan mendirikan dinasti Abbasiyah pada tahun 750 Masehi, ketika Ja'far as Shadiq berusia 48 tahun.‎

Wafatnya Ja'far ash-Shadiq

Ja'far bin Muhammad bin 'Ali Zainal 'Abidin bin al Husain bin 'Ali bin Abi Thalib ‎meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah / 13 Desember 765 M.  Beliau dimakamkan di Pekuburan Baqi'.

Hingga saat ini, dalam khazanah keberagaman kaum Ahlussunnah wal Jama'ah, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, secara berturut-turut dianggap sebagai 4 madzhab fikih mu'tabar yang masih ada hingga saat ini. Madzhab-madzhab tersebut terus bertahan dan mendunia karena berbagai faktor, di antaranya dukungan penguasa. 

Madzhab Hanafi misalnya, mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah : Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid. 

Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan Al-Manshur, di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia, dan di Afrika oleh Al-Mu'iz yang mewajibkan seluruh penduduk mengikuti madzhab Maliki.

Madzhab Syafi'i juga membesar di Mesir ketika Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai negeri itu.

Dan madzhab Hambali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyyah. Waktu itu Al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal. 

Padahal dalam perjalanan tarikh tasyri' (sejarah perkembangan ilmu fiqih), selain 4 madzhab tersebut, pernah muncul banyak ahli fiqih yang mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih secara kontinyu dan terstruktur yang membuat mereka layak dianggap sebagai imam-imam madzhab. 

Ahli fikih pertama yang ijtihad dan fatwa-fatwa fikihnya cukup populer adalah Sayyidina Umar bin Khaththab, khalifah kedua setelah Sayyida Abu Bakar Shiddiq. Beberapa ijtihadnya belakangan dibukukan dengan judul Fikih Umar.

Setelah Umar, semakin banyak ulama dari generasi sesudahnya yang dikenal sebagai mujtahid dan fatwanya dianggap sebagai madzhab tersendiri. 

Diantara mereka terdapat nama-nama besar seperti : 
-Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir (82-148 H), 
-Abu Abdullah Sufyan bin Masruq Ats-Tsauri (65-161 H), 
-Abu Amr Abdurrahman bin Amr Al-Auza'i (88-157 H), 
-Abul Harits Al-Laits bin Sa'ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94-175 H), 
-Abu Muhammad Sufyan ibn 'Uyaiynah (wafat 198 H), 
-Abu Sulayman Dawud ibn 'Ali Azh-Zhahiri (202-270 H), dan 
-Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari (224-310 H). 

DIIKUTI SUNNI DAN SYI'I 

Meskipun saat ini madzhab Ja'fari diklaim sebagai madzhabnya kaum Syi'ah, pada awalnya fikih Ja'fari tidak berafiliasi ke aliran aqidah manapun. Dengan kedalaman ilmunya dan kemuliaan yang ada pada dirinya, lmam Ja'far di masa hidupnya memang menjadi media bertemunya berbagai faham dan golongan pada kaum muslimin.

Berbagai madzhab syari'at dan tarekat merujukkan ajaran-ajarannya kepada lmam Ja'far. 
Bahkan bisa dibilang, lmam Ja'far adalah guru utama bagi sebagian besar ahli fiqih yang belakangan menyusun madzhab. Sebut saja lmam Sufyan Ats-Tsauri, lmam Sufyan bin Uyainah, lmam Abu Hanifah, lmam Malik, Yahya bin Sa'id Al-Anshary, Ibnu Jarih, Al-Qaththan, Muhammad bin lshar bin Yassar, Syu'bah bin Al-Hajjaj, dan Abu Ayyub As-Sijistaniy, yang tercatat pernah berguru kepada lmam Ja'far. 

Sementara dalam ranah kesufian, nama lmam Ja'far Shadiq tercatat dalam berbagai mata rantai silsilah thariqat shufiyyah, seperti Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Alawiyyah, dan lain-lain. 
Fakta-fakta tersebut tentu menguatkan bukti sebenarnya sang imam adalah tokoh Ahlussunnah. Sebab, jika bukan, pasti kaum Sunni tidak akan menjadikannya sebagai salah satu rujukan. 

Meski begitu, seiring perjalanan waktu, madzhab Ja'fari yang dikembangkan oleh ulama sesudahnya semakin kental bernuansa Syi'ah. Karena itu, jika mengkaji madzhab Ja'fari di zaman modern ini, mau tidak mau kita akan bertemu dengan tradisi madzhab Ja'fari ala kaum Syi'ah. Sebab hanya sumber-sumber itu yang hingga kini masih bisa ditemui. ‎

Imam Ja'far termasuk ulama yang tidak setuju dengan penggunaan logika (ra'yu) dalam beragama. Diceritakan, suatu ketika lbnu Abi Layla, salah seorang murid Imam Ja'far, mengajak dua orang temannya, yaitu Abu Hanifah dan lbn Syabramah, menghadap gurunya. 
lmam Ja'far bertanya kepada Ibn Abi Layla tentang kawannya (Abu Hanifah). 
Sang murid menjawab, 'Dia orang pintar dan mengetahui agama.' 
'Bukankah dia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?' tanya lmam Ja'far. 
'Benar.' 
lmam Ja'far lalu bertanya kepada Abu Hanifah, 'Siapa namamu?' 
'Nu'man,' jawab Abu Hanifah. 
Imam Ja'far berkata, 'Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi SAW bersabda, 'Orang yang pertama kali menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam dia berdalih, 'Aku lebih baik dari dia, karena aku KAU buat dari api dan dia KAU buat dari tanah.'' 
Lebih lanjut lmam Ja'far bertanya, 'Manakah yang lebih besar dosanya, membunuh atau berzina?' 
'Membunuh,' jawab lmam Abu Hanifah. 
'Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang saksi untuk zina?' 
Imam Abu Hanifah terdiam. 
'Mana yang lebih besar kewajibannya, shalat atau shaum?' 
'Shalat,' jawab lmam Abu Hanifah. 
'Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha puasanya tetapi tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah, dan jangan melakukan qiyas dalam agama.' 
Karena keluasan dan kedalaman ilmunya itulah, lmam Ja'far juga digelari Al-lmam oleh kaum Ahlussunnah wal Jama'ah. ‎
Betapa tidak luas, tak kurang 15 tahun beliau dididik langsung oleh kakeknya, lmam Zainal Abidin, seorang ahli ibadah, ulama besar, dan pemimpin ahlul bayt yang paling dihormati seluruh lapisan umat lslam pada zamannya. 

Selain kepada ayah dan kakeknya, lmam Ja'far juga menimba ilmu dari para sahabat besar, seperti Sahl bin
Sa'ad As-Sa'idi dan Anas bin Malik, serta dari ulama dari generasi tabi'in, seperti Atha' bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Urwah bin Az-Zubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi', dan Ikrimah Mawla bin Al-Abbas. 

Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al-Abbas Al-Hamdzani, Ja'far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, lalu berkata, 'Sesungguhnya kalian (insya Allah) termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku ini, 'Barangsiapa mengira aku adalah imam ma'shum yang wajib ditaati, aku benar-benar tidak ada sangkut paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, aku berlepas diri dari orang itu.'' (Syiar 'A'lam An Nubala : 259).

Muhammad bin Fudhail menceritakan dari Salim bin Abu Hafshah, 'Aku bertanya kepada Abu Ja'far (lmam Muhammad Al-Baqir) dan putranya, Ja'far, tentang Abu Bakar dan Umar. Beliau (lmam Muhammad) berkata, 'Hai Salim, cintailah keduanya dan berlepas diri musuh-musuhnya karena keduanya adalah imam al-huda (pemimpin yang mendapat petunjuk).'

Kemudian Ja'far berkata, 'Hai Salim, apakah ada orang yang mencela kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapat syafaat Muhammad SAW pada hari qiamat jika aku tidak mencintai keduanya dan memusuhi musuh-musuhnya.''
Ucapan Imam Ash-Shadiq seperti ini beliau ucapkan di hadapan ayahnya, lmam Muhammad Al-Baqir, dan ia tidak mengingkarinya (Tarikh Al-lslam 6/46).

Hafsh bin Ghayats, murid Ash-Shadiq, berkata, 'Saya mendengar Ja'far bin Muhammad berkata, 'Aku tidak mengharapkan syafaat untukku sedikit pun melainkan aku berharap syafaat Abu Bakar semisalnya. Sungguh dia telah melahirkanku dua kali.'' 

Murid lmam Ja'far yang lain, Amr bin Qais al-Mulai, mengatakan, 'Saya mendengar lbnu Muhammad yakni Ja'far Ash-Shadiq berkata, 'Allah Ta'ala berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar.''(Siyar Alam An Nubala :260). 

Zuhair bin Mu'awiyah berkata, 'Bapaknya berkata kepada lmam Ja'far bin Muhammad, 'Sesungguhnya saya memiliki tetangga yang mengira engkau berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar.' 

lmam Ja'far pun menjawab, 'Semoga Allah berlepas diri dari tetanggamu itu. Demi Allah, sesungguhnya saya berharap mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepadaku karena kekerabatanku dengan Abu Bakar. Sungguh aku telah mengadukan (rasa sakit), maka aku berwasiat kepada pamanku (dari ibu), Abdurrahman bin Al-Qasim.'' (At Taqrib, lbnu Hajar, dan Tarikh Al-lslam, Adz Dzahabi. 

Imam Ja'far wafat pada 25 Syawal 148 H (ada juga yang yang mengatakan pada bulan Rajab) dalam usia 68 tahun di kota kelahirannya, Madinah. Sang imam meninggalkan tujuh putra, yang belakangan juga dikenal sebagai permata-permata ilmu. Yaitu lsmail, Abdullah, Musa Al-Kazhim, lshaq, Muhammad, Ali, dan Fathimah.

Kisah Imam Abu Bakar Asy-Syibli


Dalam dunia tasawuf (sufi), dikenal seorang yang bernama As Syibli. Lengkapnya Abu Bakar Dalf bin Jahdar as-Syibli. Orang menyebutnya majnun, alias gila, sinting, nyeleneh. 

Dia pernah memakai celak mata yang dicampur dengan garam, supaya ia tidak tertidur di waktu malam. Dengan begitu, ia bisa menghidupkan malam dengan shalat-shalat sunnat.

Ia pernah menjadi gubernur. Demi mencari kebenaran Ilahiah, ia rela meninggalkan jabatan, lalu jadi pengemis, dan sempat kelaparan.

Nama Abu Bakar Asy-Syibli banyak menghiasi berbagai kitab tentang sufi. Ulama besar ini tidak hanya dikenal dengan konsepnya tentang bagaimana menempuh jalan kerohanian, tapi juga terkenal karena kehidupannya yang unik. Harta berlimpah dan jabatan tinggi ditinggalkannya, demi memburu hakikat hidup dalam ritus sufisme yang mendalam. Tak pelak kehidupannya yang unik memberikan inspirasi para peminat tasawuf bagi generasi-generasi berikutnya.

Nama aslinya adalah Abu Bakar bin Dulaf ibnu Juhdar Asy-Syibly. Nama Asy-Syibli dinisbatkan kepadanya karena ia dibesarkan di Kota Syibli di wilayah Khurasan, Persia. Ia dilahirkan pada 247 H di Baghdad atau Samarra dari keluarga yang cukup terhormat. Mendapat pendidikan di lingkungan yang taat beragama dan berkecukupan harta, ia berkembang menjadi seorang yang cerdas.

Di Baghdad ia bergabung dengan kelompok Junaid. Ia menjadi sosok terkemuka dalam sejarah Al-Hallaj yang menghebohkan. Ia dikenal karena perilakunya yang eksentrik, yang menyebabkan akhirnya menyeret dia ke rumah sakit jiwa. Ia meninggal dunia pada 334 H / 846 M dalam usia 87 tahun.

Mula-mula ia menempuh pendidikan agama dengan belajar fikih Mazhab Maliki dan ilmu hadits selama hampir 12 tahun. Kecerdasan dan keluasannya dalam ilmu agama membawanya masuk dalam lingkungan kekuasaan, sehingga sempat menyandang berbagai jabatan. Karirnya melesat, ia menduduki beberapa jabatan penting selama bertahun-tahun. Ia, antara lain, menjabat sebagai Gubernur di Provinsi Dermavend.

“BERSAMA DENGAN SEORANG PEJABAT BARU, ABU BAKAR ASY-SYIBLI DILANTIK OLEH KHALIFAH DAN SECARA RESMI DIKENAKAN SEPERANGKAT JUBAH PADA DIRINYA. SETELAH PULANG, DI TENGAH JALAN PEJABAT BARU ITU BERSIN DAN BATUK-BATUK SERAYA MENGUSAPKAN JUBAH BARU ITU KE HIDUNG DAN MULUTNYA. PERBUATAN PEJABAT TERSEBUT DILAPORKAN KEPADA KHALIFAH. DAN KHALIFAH PUN MEMECAT SERTA MENGHUKUMNYA.”

Asy-Syibli pun terheran-heran, mengapa hanya karena jubah seseorang bisa diberhentikan dari jabatannya dan dihukum. Tak ayal, peristiwa ini membuatnya merenung selama berhari-hari. Ia kemudian menghadap Khalifah dan berkata:

“WAHAI KHALIFAH, ENGKAU SEBAGAI MANUSIA TIDAK SUKA BILA JUBAH JABATAN DIPERLAKUKAN SECARA TIDAK WAJAR. SEMUA ORANG MENGETAHUI BETAPA TINGGI NILAI JUBAH ITU. SANG MAHARAJA ALAM SEMESTA TELAH MENGANUGERAHKAN JUBAH KEPADAKU DI SAMPING CINTA DAN PENGETAHUAN. BAGAIMANA DIA AKAN SUKA KEPADAKU JIKA AKU MENGGUNAKANNYA SEBAGAI SAPU TANGAN DALAM PENGABDIANKU PADA MANUSIA?”

Sejak itu ia meninggalkan karir dan jabatanya, dan ingin bertobat. Kisah pertobatannya menyentuh kalbu. Asy-Syibli mulai mengarungi dunia tasawuf. Ia berguru kepada sejumlah ulama sebagai pembimbing spritualnya. Antara lain ia juga masuk ke dalam kelompok spritual Khairal Nassaj. Belakangan ia juga berguru kepada beberapa sufi terkenal, seperti Junaid Al-Baghdadi – yang sangat mempengaruhi perkembangan kerohaniannya. Sufi masyhur yang cemerlang dalam berbagai gagasan tasawuf ini memang punya banyak pengikut.

Pertemuannya dengan Junaid Al-Baghdadi digambarkan oleh Fariduddin Aththar dalam kitab Tadzkirul Awliya. “Engkau dikatakan sebagai penjual mutiara, maka berilah aku satu atau juallah kepadaku sebutir,” kata Asy-Syibli kepada Junaid.

Maka Junaid pun menjawab:

“Jika kujual kepadamu, engkau tidak sanggup membelinya, jika kuberikan kepadamu secara cuma-cuma, karena begitu mudah mendapatkannya engkau tidak akan menyadari betapa tinggi nilainya. Lakukanlah apa yang aku lakukan, benamkanlah dulu kepalamu di lautan, apabila engkau dapat dapat menunggu dengan sabar, niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu sendiri.”

Lalu kata Asy-Syibli, ”Jadi apakah yang harus kulakukan sekarang?”

Jawab Junaid, “Hendaklah engkau berjualan belerang selama setahun.”

Maka Asy-Syibli berjualan belerang selama setahun. Lorong-lorong Kota Baghdad dilaluinya tanpa seorangpun yang mengenalnya. Setelah setahun lewat, ia kembali kepada Junaid. Maka ujar Junaid:

“Sekarang sadarilah nilaimu! Kamu tidak ada artinya dalam pandangan orang lain. Janganlah engkau membenci mereka dan janganlah engkau segan. Untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi bendahara, dan untuk beberapa lamanya engkau pernah menjadi Gubernur. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu dan berilah imbalan kepada orang-orang yang pernah engkau rugikan.”

Maka ia pun kembali ke Kota Demavend. Rumah demi rumah disinggahinya untuk menyampaikan imbalan kepada orang-orang yang pernah dirugikannya. Akhirnya masih tersisa satu orang, tapi ia tidak tahu kemana dia pergi. Ia lalu berkata, “Aku telah membagi-bagikan 1000 dirham, tapi batinku tetap tidak menemukan kedamaian.” Setelah empat tahun berlalu, ia pun kembali menemui Junaid. Perintah Junaid, “Masih ada sisa-sisa keangkuhan dalam dirimu. Mengemislah selama setahun!”

Tanpa banyak bicara, ia pun segera melaksanakan perintah sang guru.“Setiap kali aku mengemis, semua yang kuperoleh kuserahkan kepada Junaid. Dan Junaid membagi-bagikan kepada orang-orang miskin, sementara pada malam hari aku dibiarkan kelaparan,” kenang Asy-Syibli.

Setahun kemudian Junaid berkata, “Kini kuterima engkau sebagai sahabatku, tapi dengan satu syarat, engkau terus jadi pelayan sahabat-sahabatku.”

Setelah ia melaksanakan perintah sang guru, Junaid berkata lagi, “Hai Abu Bakar, bagaimanakah pandanganmu sekarang terhadap dirimu sendiri?” Jawab Asy-Syibli, “Aku memandang diriku sendiri sebagai orang yang terhina di antara semua makhluk Allah.”

Junaid menimpali, “Sekarang sadarilah nilai dirimu, engkau tidak ada nilainya di mata sesamamu. Jangan pautkan hatimu pada mereka, dan janganlah sibuk dengan mereka.” Junaid pun tersenyum, sembari berkata, “Kini sempurnalah keyakinanmu.”

Banyak hikmah dan karomah di sekitar sufi besar ini. Dalam kitab Tadzkirul Awliya diceritakan, selama beberapa hari Syibli menari-nari di bawah sebatang pohon sambil berteriak-teriak, “Hu, Hu, Hu!”

Para sahabatnya bertanya-tanya, “Apakah arti semua ini?” beberapa hari kemudian Syibli menjawab, “Merpati hutan di pohon itu meneriakkan “Ku, Ku”, maka aku pun mengirinya dengan “Hu, Hu”, burung itu tidak berhenti bernyanyi sebelum aku berhenti meneriakkan Hu, Hu,” begitulah!”

Membakar Surga

Di lain hari orang menyaksikan Syibli berlari-lari sambil membawa obor. “Hendak kemanakah engkau?” tanya orang-orang itu. “Aku hendak membakar Ka’bah, sehingga orang-orang hanya mengabdi kepada yang memiliki Ka’bah,” jawab Syibli.

Di lain waktu, tampak Syibli membawa sepotong kayu yang terbakar di kedua ujungnya, “Aku hendak membakar neraka dengan api di satu ujung kayu ini dan membakar surga dengan api di ujung lainnya, sehingga manusia hanya mengabdi karena Allah.

Setelah mengalami kemajuan spiritual sampai pada suatu titik di mana ia dapat memenuhi sakunya dengan gula-gula, dan pada setiap bocah yang ia temui, ia akan berkata, “Katakanlah, Allah!” lalu ia akan memberikan gula-gula. Setelah itu ia akan memenuhi saku bajunya dengan uang dirham dan dinar. Ika berkata, “Siapa saja yang berkata Allah sekali saja, aku akan penuhi mulutnya dengan emas.”

Setelah itu semangat kecemburuan berkobar dalam dirinya, dengan menghunus pedang, sambil berkata, “Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan ku tebas kepalanya dengan pedang ini,” pekiknya.

Orang-orang berkata, “Sebelumnya engkau biasa memberikan gula-gula dan emas, namun mengapa sekarang engkau mengancam mereka dengan pedang?”

Ia menjelaskan, “Sebelum ini aku kira mereka menyebut nama-Nya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tidak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.”

Setelah itu di setiap tempat yang ia temui, ia menuliskan nama Allah. Tiba-tiba sebuah suara berkata padanya: “Sampai kapan engkau akan terus berkutat dengan nama itu? Jika engkau merupakan seorang pencari sejati, carilah pemiliknya!”

Kata-kata ini begitu menyentak As-Syibli. Tak ada lagi ketenangan dan kedamaian yang ia rasakan. Betapa kuatnya cinta menguasainya, begitu sempurnanya ia diliputi oleh gonjang-ganjing mistis, sampai-sampai ia menceburkan diri ke Sungai Tigris.

Gelombang sungai membawanya kembali ke tepi. Kemudian ia menghempaskan dirinya ke dalam kobaran api, namun api itu kehilangan daya untuk membakarnya. Ia mencari tempat di mana sekelompok singa berkumpul lalu berdiam diri di sana, namun singa-singa itu malah melarikan diri menghindarinya. Ia terjun bebas dari puncak gunung, namun angin mencengkram dan menurunkannya ke tanah dengan selamat. Kegelisahannya semakin memuncak beribu-ribu kali lipat.

Ia memekik, “Terkutuklah ia, yang tidak diterima oleh air maupun api, yang ditolak oleh binatang buas dan pengunungan!” Lalu terdengarlah sebuah suara, “Ia yang diterima oleh Allah, tidak diterima oleh yang lain.”

Kemudian orang-orang membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Mereka berkata, “Orang ini sudah gila.”

Ia menjawab, “Di mata kalian aku ini gila dan kalian waras. Semoga Allah menambah kegilaanku dan kewarasan kalian. Kalian dihempaskan semakin jauh dan jauh lagi!”

Khalifah lalu menyuruh seseorang untuk merawatnya. Orang itu datang dan menjejalkan obat secara paksa ke mulut As-Syibli.

“Jangan persulit dirimu,” pekik As-Syibli. “Penyakit ini bukanlah jenis penyakit yang dapat disembuhkan dengan obat-obatan seperti itu.”

Saat As-Syibli tengah dikurung dan di belenggu di rumah sakit jiwa, beberapa orang sahabatnya datang menjenguk.

“Siapa kalian?” pekiknya.

“Sahabat-sahabatmu,” jawab mereka.

Tiba-tiba ia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka lari menghindar.

Ia berteriak, “Dasar pembohong! Apakah seorang sahabat lari dari sahabatnya hanya karena beberapa bongkah batu? Ini membuktikan bahwa kalian sebenarnya adalah sahabat bagi diri kalian sendiri, bukan sahabatku!”

DIRIWAYATKAN bahwa ketika As-Syibli mulai mempraktikkan penyangkalan diri, selama bertahun-tahun ia biasa mengurapi matanya dengan garam agar ia tetap terjaga. Ia telah menghabiskan 260 kilogram untuk itu.

Ia kerap berujar, “Allah Yang Maha Kuasa selalu memperhatikanku.”

“Orang yang tidur itu lalai, dan orang lalai itu terhijabi,” tambahnya.

Suatu hari Junaid mengunjungi As-Syibli dan melihat sedang menahan kelopak matanya dengan jepitan.

“Mengapa engkau melakukan ini?” tanya Junaid.

“Kebenaran telah menjadi nyata, namun aku tak tahan melihatnya,” jawab As-Syibli. “Aku menjepit kelopak mataku karena siapa tahu Dia berkenan menganugerahkanku satu pandangan saja.”

As-Syibli biasa pergi ke sebuah gua dengan membawa seikat tongkat kayu. Kapan saja hatinya lalai, ia akan memukul dirinya sendiri dengan tongkat-tongkat itu.

Akhirnya ia kehabisan tongkat, semuanya telah patah. Maka ia pun membentur-benturkan kedua tangan dan kakinya ke dinding gua.

As-Syibli selalu mengatakan kalimat: “Allah…, Allah…,” salah seorang muridnya yang setia bertanya kepadanya, “Mengapa Guru tidak berkata, “Tiada Tuhan selain Allah.”

As-Syibli menghela nafas dan menjelaskan, “Aku takut ketika aku mengucapkan “Tiada Tuhan” nafasku terhenti sebelum sempat mengatakan “Selain Allah.” Jika begitu, aku akan benar-benar hancur.

Kata-kata ini benar-benar menggetarkan dan menghancurkan hati sang murid, hingga ia tersungkur dan akhirnya meninggal dunia.

Teman-teman si murid itu datang dan menyeret As-Syibli ke hadapan Khalifah. As-Syibli, tetap dalam gejolak ekstasinya, berjalan seperti orang mabuk. Mereka menuduh As-Syibli telah melakukan pembunuhan.

“As-Syibli, apa pembelaanmu?” tanya Khalifah.

As-Syibli menjawab, “Jiwanya, yang terbakar sempurna oleh kobaran api cinta, tak sabar menghadap keagungan Allah. Jiwanya, yang keras disiplinnya, telah terbebas dari keburukan badaniah. Jiwanya, yang telah sampai pada batas kesabarannya sehingga tak mampu menahan lebih lama lagi, dikunjungi secara berturut-turut oleh para utusan Tuhannya yang mendesak. Kilatan cahaya keindahan dari kunjungan ini menembus inti jiwanya. Jiwanya, seperti burung, terbang keluar sangkarnya, keluar tubuhnya. Apa salah As-Syibli dalam hal ini?

“Segera kembalikan As-Syibli ke rumahnya,” perintah Khalifah. “Kata-katanya telah membuat batinku terguncang sedemikian rupa hingga aku bisa terjatuh dari singgasanaku ini!”

Ketika ajalnya hampir tiba, pandangan matanya tampak murung. Ia minta segenggam abu, kemudian ditaburkannya di kepalanya. Ia gelisah.

“Mengapa engkau gelisah?” tanya salah seorang sahabatnya. Maka jawab Syibli:

“AKU IRI KEPADA IBLIS. DI SINI AKU DUDUK DALAM DAHAGA, TAPI DIA MEMBERI NIKMAT KEPADA YANG LAIN. ALLAH TELAH BERFIRMAN: “SESUNGGUHNYA LAKNAT-KU KEPADAMU HINGGA HARI KIAMAT (QS, 38:78). AKU IRI KARENA IBLISLAH YANG MENDAPATKAN KUTUKAN ALLAH ITU. MESKIPUN BERUPA KUTUKAN, BUKANLAH KUTUKAN ITU DARI DIA DAN DARI KEKUASAAN-NYA?”

Apakah yang diketahui oleh si laknat mengenai nilai kutukan itu? Mengapa Allah tidak mengutuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin dengan membuat mereka menginjak mahkota di singgasana-Nya? Hanya ahli permatalah yang mengetahui nilai permata. Jika seorang Raja mengenakan gelang manik dari kristal, itu akan tampak seperti permata. Tapi jika pedagang sayur mengenakan cincin setempel dari permata, cincin itu akan tampak sebagai manik dari kaca.”

Setelah beberapa saat tenang, Syibli kembali gelisah. “Mengapa engkau gelisah lagi?” tanya sahabatnya.

Maka jawabnya, “Angin sedang berembus dari dua arah. Yang satu angin kasih sayang, yang lain angin kemurkaan. Siapa saja yang ingin terhembus oleh angin kasih sayang, tercapailah harapannya. Dan siapa yang terembus angin kemurkaan, tertutuplah penglihatannya. Kepada siapakah angin bertiup? Bila angin kasih sayang berembus ke arahku karena akan tercapai harapan itu, aku dapat menanggung segala penderitaan dan jerih payah. Jika angin kemurkaan berembus ke arahku, penderitaan ini tidak ada artinya dibanding bencana yang akan menimpaku. Tidak ada yang lebih berat dalam batinku daripada uang satu dirham yang kuambil dari seseorang secara aniaya. Walaupun untuk itu aku telah menyedekahkan 1000 dirham, batinku tidak memperoleh ketenangan. Berikan air kepadaku untuk bersuci!”

Maka para sahabatnya pun mengambil air untuknya. Usai bersuci, Asy-Syibli pun wafat dengan tenang.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...