Senin, 25 Oktober 2021

Imam Abu Ishaq Asy-Syairozi Mualif Kitab Al-Muhadzab


Imam Abu Ishaq Jamaluddin  Ibrohim bin Ali bin Yusuf Al Fairuzzabadi  Asy-Syairozi‎

Kelahiran

Imam As Syairoziy lahir pada tahun 393 H/ 1003 M di sebuah desa kecil di Iran, tepatnya di Fairuzzabad Kota Jur sekitar 115 Km kearah selatan Syiroz, dari nama kota inilah nisbat As Syairoziy berasal. Sejak kecil beliau telah bergelut dengan dunia keilmuan, Guru pertamanya adalah Syeikh Abu Abdillah bin Umar As Syairozi sebagaimana yang telah disebutkan beliau dalam kitab Thobaqohnya.

Rihlah Ilmiah

Pada usia 17 tahun (470 H) beliau memulai rihlah ilmiahnya, di awali dengan rihlah ke Syiroz untuk memperdalam ilmu fiqih kemudian berlanjut ke Bashrah. Dari Bashrah melanjutkan rihlah ke Baghdad (415 H) untuk belajar ilmu Ushul Fiqh dan Hadits, di kota Bagdad ini pula beliau lama bermukim sehingga sempat mengajar di sebuah masjid dan di bangunkan sebuah Universitas “Nidzomiyyah” dengan beliau sebagai Rektornya oleh seorang menteri Dinasti Abbasiyah di kota Bagdad.  Universitas ini selesai di bangun pada tahun 459 H.

Atas permintaan Amirul Mukminin Al Muqtadee Bi Amrillah beliau lalu pergi ke Naisabur untuk menemui seorang pejabat. Ceritanya, Abu Al Fatah bin Abi Laits, pejabat yang dimaksud telah menciptakan situasi yang tidak komdusif, lantas Amirul Mukminin memanggil As Syairozi untuk diajak mendiskusikan masalah tersebut, akhirnya beliau menemui Abu Al Fatah bin Abi Laits menyelesaikan masalah itu. Dan beliau juga mengembangkan misi lain, yaitu merayu Sultan Maliksyah agar bersedia menikahkan putrinya dengan Amirul Mukminin.

Di kota Naisabur ini beliau disambut oleh seluruh penduduk, laki-laki, perempuan, tua, muda, semua ingin ber-tabaruk kepada beliau, sampai-sampai bekas pijakan beliau ditanah, diambil oleh orang-orang untuk dijadikan obat. Yang lebih menajubkan, penyambutan ini dipimpin langsung oleh Imam Haramain yang notabennya adalah guru besar Universitas Nidzomiyah cabang Naisabur, perlu diingat Imam Haromain adalah guru Hujatul Islam Al Ghozali. Pada pertemuan ini kedua maestro sempat berdebat tentang masalah khilafiyah, perdebatan ini dimenangkan oleh As Syirozi karena didukung oleh argument yang kuat dan bahwa As Syairozi telah hafal benar masalah-masalah khilafiyah seperti halnya kita hafal Al Fatihah. Di akhir perdebatan, Imam Haromain mengadakan jumpa pers dan mengatakan “ Engkau- wahai Imam As Syirozi- tidak mengalahkanku kecuali sebab kesalehanmu” mendengar komentar itu Imam As Syairozi menimpali “ aku telah pergi ke Khurasan, dan setiap daerah yang kulalui, para Mufti, Qodli dan Khotibnya semuanya adalah muridku”.

Setelah segala urusan selesai, beliau kembali ke Baghdad mengajar di Universitas Nidzomiyah sampai beliau wafat pada hari Ahad, tanggal 21 Jumadal Akhir 476 H. Beliau disholati di gerbang Firdaus Istana Kholifah langsung oleh Amirul Mukminin Al Muqtadee Bi Amrillah. Sepeniggalan beliau Universitas Nidzomiyah dipegang oleh Ibnu Shobaqh setelah dipimpin As Syairozi selama 17 tahun.

Ulama-ulama mutaakhir sependapat, bahwa Imam As Syairozi adalah seorang zahid, menjauhi dunia menuju akhirat, beliau hanya memakai imamah kecil, baju dari kain katun yang kasar, bahkan kefakiran beliau sampai pada batas dimana beliau kesulitan mendapatkan makanan dan minuman. Sebab ini pula beliau tidak pernah menunaikan ibadah haji.

Guru-guru

Abu ‘Abdillah bin Umar As Syairozi dari Syiroz (bidang fiqih)
Ali Abi Abdillah Al Baidlowi wafat 424 H (bidang fiqih)
Abi Ahmad Abdul Wahab bin Muhammad bin Roomin Al Baghdadi wafat 430 H
Al Qhodli Abil Faraj Al Faamy As Syairozi (Imam Madzhab Dawud Adz Dzohiri)
Ali Khotibussyiroz
Al Qhodli Abi Abdillah Al Jalabi (Fiqih, Munadhoroh Jadal, Lughot)
Al Faqih Al Khursiy wafat 415 H (Fiqih)
Syaikh Abi Hatim Mahmud bin Al Hasan At Thobari “Al Kuzwaini” wafat 440 H (Ushul)
Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Gholib Al Khawarizmi “ Al Barqoni” wafat 425 H (Hadits)
Abi Ali bin Syadzan
Abul faraj al khorjusiy
Al Qodli Al Imam Abu Thoyib Thohir bin Abdillah bin Thohir At Thobari wafat 450 H.
 Murid-murid

Fakhrul Islam Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Husain bin Umar Asy Syasyi wafat 507 H
Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ibrohim bin Aly bin Barhun Al-Faroqi wafat 528 H
Abu Hasan Muhammad bin Hasan bin Aly bin Umar Al-Wasithy wafat 498 H
Abu Sa’d Isma’il bin Ahmad bin Abu Abdul An Naisabury wafat 532 H
Abu Fadlol Muhammad bin Qinan bin Hamid Al-Ambary wafat 503 H
Dan masih banyak lagi yang lainnya. Semuanya menjadi pembesar dalam keilmuan.
Mu’allafat

Al-Muhazzab – Menjelaskan madzhab Imam Safi’i
Kitab At-Tanbih – mejelaskan  tentang Fiqih
Kitab An-Nukat – menjelaskan tentang perbedaan pendapat As-Syafi’I dan Abu Hanifah
Al-Luma’ – menjelaskan tentang Usul Fiqih
At-Tabshiroh – menjelaskan tentang Usul Fiqih
Kitab Thobaqotul Fuqoha’ – menjelaskan tentang biografi ulama’
Kitab Syarh Lumma’ – penjelasan kitab Al-Luma’
Kitab At-Talkhis – tentang Usul Fiqih
Kitab Ma’munah Fi Al-Jadal
Kitab Nushi Ahli Ilmi
Kitab ‘Aqidatussalaf
Kitab Mukhlis – menjelaskan tentang Hadist
Kitab Talkhish ‘Illalil Fiqih
Kitab Al-Isyaroh Ila Madzhabi Ahlil Haq
Kitabul Qiyas
Tentang Kitab Al-Muhadzzab

Gambaran Umum

Dalam khazanah fiqih Syafi’I kitab Al-Muhadzzab merupakan  salah satu diantara sekian banyak kitab-kitab Safi’iyyah yang menjadi induk setelah kitab yang ditulis oleh para perawi Imam Syafi’i ( Imam Rabi’, Imam Muzzani, Imam Buwaithi dan Imam Harmalah).

Kitab ini menyampaikan qaul-qaul imam Syafi’i yang diriwayatkan keempat imam murid beliau, sehingga dapat dijumpai beberapa versi qaul Syafi’i yang berbeda sesuai dengan riwayat yang disampaikan oleh keempat imam, misalnya dalam Bab Thoharoh tentang barang suci yang bisa merusak kemutlakan air dan yang tidak, Imam Buwaithi mengatakan bahwa air tersebut tidak dapat digunakan untuk berwudlu, seperti air yang tercampur minyak za’faron, sementara Imam Muzani memperbolehkan wudlu dengan air itu, karena perubahan air itu sebab berdampingan saja (tidak bercampur) beliau meng-ilhaq-kannya dengan air yang berubah sebab berdekatan dengan bangkai.

Dalam bagian lain, juga akan dijumpai periwayatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah madzhab dan ushul, dalam kasus ini biasanya oleh mushonnif dijelaskan bahwa qoul ini adalah khotho’, gholath, naql sayyi’. Laisa bi syai’, atau syadz wa dloif.Perbedaan-perbadaan semacam ini bukanlah hal yang mengherankan, sebagaimana para shahabat berbeda pula dalam menyampaikan dari Rosulullah SAW.

 Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan kitab ini seperti kitab – kitab fiqh pada umumnya, ringkasnya sebagai berikut:

Ubudiyah : Thoharaoh, Sholat, Jenazah, Zakat, Puasa, I’tikaf, Haji.
Muamalat : Buyu’, Gadai, Shuluh, Hiwalah, Dolman, Syirkah, Wakalah, Wadli’ah, ‘Ariyah, Ghoshob, Syuf’ah, Qirodl, Musaqoh, Ijaroh, Perlombaan, Ihyaul Mawat, Luqhathah, Laqith, Wakaf, Hibah, Wasiat, Perbudakan, Mukatab, Ummul Walad, Faroidl, Nikah, Mahar, Khulu’, Tholaq, Ila’, Dzihar, Li’an, Sumpah, Iddah, Penyusuan, Nafkah.
Jinayat : Diyat, Pemberontak, Peperangan, Hudud, Qodlo’, Persaksian, Iqrar.
Ciri Khos
Beberapa karakteristik kitab ini antara lain:

Perkataan mushonnif (قال في الحرملة / قال في البويطي) maksudnya Imam Buwaithi meriwayatkan qoulnya Imam Syafii dalam Kitab Buwaithi.
Assyairozi selalu menggabungkan  dalil naqli bersama dalil aqli, gaya ini sebagai ciri khas madzhab Syafii yang terkenal dengan Madzhab yang menggabungkan metode ahlurro’yi danahlul hadits.
Kelebihan

Menyebutkan dalil naqli dan aqli sekaligus.
Setiap selesai menulis satu fasal As Syairozi selalu menunaikan sholat sunnah mutlaq
Setiap permasalahan yang perlu ilhaq dalam kitab ini, oleh As Syairozi di ilhaq-kan sampai seribu kali untuk mendapatkan hasil yang benar-benar benar.‎‎

Jangan Mengikuti Madzhab Dzohiri Dalam Hal Nikah


Umat Islam umumnya mengenal 4 Imam Madzhab yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Keempatnya merupakan pengasas dari yang sekarang dikenal sebagai 4 madzhab (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah). Semuanya adalah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja). 

Akan tetapi, para imam tidak hanya mereka, melainkan banyak, salah satunya adalah adalah Imam Abu Daud Ad-Dhahiri. Beliau juga termasuk salah satu pembesar Ahlussunnah wal Jama'ah. 

Didalam kitab Al-Farqu Bainal Firoq, hal: 47 diterangkan :

ودخل في هذه الجملة ( أى أهل السنة والجماعة ) جمهور الأمة وسوادها الأعظم من أصحاب مالك والشافعي وأبى حنيفة والأوزاعى والثورى وأهل الظاهر

"Dan masuk dalam golongan ini (Ahlussunnah wal Jama'ah) adalah : pembesar-pembesar imam dan kelompok-kelompok mereka yang mayoritas, dari beberapa sahabat/santrinya Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Auza'i, Sufyan Ats-Tsauri dan Ahli Ad-Dhahiriyah (Dawud Al-Dzohiriyah)".

Meskipun termasuk Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan berarti madzhab Dhahiri boleh diikuti, sebab madzhab tersebut tidak terkodifisikasi dengan baik, tidak seperti 4 madzhab yang eksis hingga kini. Sehingga pendapat yang dinisbatkan kepada pengasasnya tidak bisa dipertanggung jawabkan.‎

Apabila ada sepasang muda-mudi melakukan nikah ala Madzhab Dawud Ad-dzohiri,. Kemudian selah beberapa waktu di lanjut dgn ala madzhab Hanafi kemudian suatu hari mereka meresmikan dgn ala madzhab Syafii

Pertanyaan
1.Bagaimana hukum sistem nikah di atas?
2. Mana hukum pernikahan yg berlaku bagi mereka?

Dawud ad dzohiri itu memperbolehkan nikah tanpa wali dan saksi... lha ini jawabanya... 
Hukum pembalik menyatakan.. apakah nilai wali dalam nikah tersebut perlu tau tidak dalam pernikahan.. lha ini jawabanya... lihat juz 4 bab nikah... nak sampean rumahnya dekat sama saya tak pinjamkan KITABNYA... 

( والنكاح بلا ولي ولا شهود ) أي في الثيب دون البكر فإنه لا يصح عند الجمهور خلافا لداود الظاهري حيث قال
بحله وصحته فإذا وطىء امرأة بهذا الطريق لم يحد للشبهة >> الفوائد الجنية ص 
   
Menurut keterangan yang kami temukan dalam kitab al-Fawaidu al-Janiyah karya Syekh Yasin bin Isa al-Padang al-Makky (Juz 2 hal. 409, Dar Fikr ) di jelaskan bahwa seorang wanita janda (tsayyib) yang proses pernikahannya tanpa seorang wali dan juga tanpa kesaksian dari saksi maka menurut jumhur ulama' tidak disahkan. 

Namun, menurut Imam Daud adh-Dhahiri praktek pernikahan seperti diatas sah-sah saja.

Fatawa ibnu hajar alhaitsami
لا يجوز تقليد داود في النكاح بلا ولي ولا شهود، ومن وطىء في نكاح خال عنهما وجب عليه حد الزنا على المنقول المعتمد

Nikah dengan tanpa wali tanpa saksi dengan taqlid kepada fiqih madzhab dawud azh-zhohiri hukumnya tidak boleh, bahkan termasuk zina‎

Alasan dlorurot diatas tdk kuat/tdk dpt dikatakan dlorurot.
Pula mrk tdk tersesat.

Andaikata tersesat dihutan blantara&mmg tdk dpt/sngt sulit mnemukan jalan keluar bru blh dikatakan DLORUROT.

Hasil Bahtsul Masail NU Jatim 1979
Apakah imam Daud al-Dzohiri termasuk ahli sunnah wal jama’ah? Jika termasuk ahli sunah wal jama’ah, bolehkah bagi kita megamalkan madzabnya dalam nikah tanpa wali dan saksi? Apakah wajib had terhadapap orang yang melakukan bersetubuh dengan cara nikah menurut madzab Daud tersebut?

Jawab:

Imam Daud Dzohiri termasuk ahli sunnah waljama’ah. Adapun nikah mengikuti madzabnya dengan tanpa wali dan saksi hukumnya tidak boleh.

Dasar Pengambilan:

Al-Farqu Baina Al-Firoq, Hlm. 47.

وَدَخَلَ فِي هَذِهِ الْجُمْلَةِ ( أَىْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ) جُمْهُوْرُ الْأُمَّةِ وَسَوَادُهَا اْلأَعْظَمُ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِي وَأَبِى حَنِيْفَةَ وَالْأَوْزَاعِى وَالثَّوْرِى وَأَهْلِ الظَّاهِرِ.

Masuk dalam golongan ini (ahli sunnah waljama’ah) ialah: pembesar-pembesar imam, dan kelompok-kelompok mereka yang mayoritas, dari beberapa shabat/santrinya imam Malik, imam Syafi’i, imam Auza’i, Sufyan Atsauri dam Ahli Al-Dzohiriyah (Dawud Al-Dzohiriyah).

Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 8

(مَسْأَلَةُ ش) نَقَلَ ابْنُ الصَّلَاحِ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهُ لَايَجُوْزُ تَقْلِيْدُ غَيْرِ اْلأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَىْ حَتَّى الْعَمَلَ لِنَفْسِهِ فَضْلًا عَنِ الْقَضَاءِ وَالْفَتْوَى لِعَدَمِ الثِّقَةِ بِنِسْبَتِهَا لِأَرْبَابِهَا بِأَسَانِيْدَ تَمْنَعُ التَّحْرِيْفَ وَالتَبْدِيْلَ كَمَذْهَبِ الزَّيْدِيَّةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ اِلَى الْإِمَامِ زَيْدِ بْنِ عَلِىّ بْنِ الْحُسَيْنِ السَّبْطِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ الخ.

(Masalah syin) imam ibnu sholah manukil ijma’ sesungguhnya tidak boleh taqlid/mengikuti selain kepada imam empat artinya sampai amal untuk dirinyapun tidak boleh. Apalagi untuk menghukumi, menfatwakan, karena tidak dapat dipertanggung jawabkan nisbatnya pada pemiliknya, dengan jalan yang mencegah, merubah dan mengganti, seperti madzab Zaidiyah yang dinisbatkan kepada imam Zaid bin Ali bin Husain yang jadi cucu Rasul ra.

Tuhfatu al-Murid Syarah Jauharu at-Tauhid, Hlm. 90

وَلاَ يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ غَيْرِهِمْ أَىِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ وَلَوْ كَانَ مِنْ أَكَابِرِ الصَّحَابَةِ ِلأَنَّ مَذَاهِبَهُمْ لَمْ تُدَوَّنْ وَلَمْ تُضْبَطْ كَمَذَاهِبِ هَؤُلآَءِ لَكِنْ جَوَّزَ بَعْضُهُمْ ذَلِكَ فِي غَيْرِ اْلإِفْتَاءِ.

Tidak boleh taqlid kepada selain mereka yaitu imam-imam empat meskipun dari pembesar-pembesar sahabat Rasul. Karena madzab mereka tidak dikodifikasikan (tidak dikukuhkan) dan tidak dibuat pedoman seperti madzab-madzab mereka (imam empat); namun sebagian ulama’ ada yang memperbolehkan asal tidak untuk difatwakan.

Mizan al-Kubro, Juz I, Hlm. 50
Al-Fawaidu al-Janiyah, Juz II, Hlm. 204
Fiqhu al-Islam oleh Syekh al-Khatib
Tanwiru al-Qulub Hlm. 408

Adapun orang yang bersetubuh dari nikah ala madzab Daud al-Dzohiri tersebut menurut qoul mu’tamad wajib di-had (mendapat hukuman).

Dasar Pengambilan:

Fatawi Kubro, Juz VI, Hlm. 107

(وَسُئِلَ) هَلْ يَجُوْزُ عَقْدُ النِّكَاحِ تَقْلِيْدًا لِمَذْهَبِ دَاوُدَ مِنْ غَيْرِ وَلِىًّ وَلاَ شُهُوْدٍ أَوْ لاَ، وَإِذَا وَطِئَ فَهَلْ يُحَدُّ أَوْ لاَ ... إِلَى أَنْ قَالَ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ لاَ يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ دَاوُدَ فِى النِّكَاحِ بِلاَ وَلِىٍّ وَلاَ شُهُوْدٍ. وَمَنْ وَطِئَ فِى نِكَاحٍ خَالٍ عَنْهُمَا وَجَبَ عَلَيْهِ حَدُّ الزِّنَا عَلَى الْمَنْقُوْلِ الْمُعْتَمَدِ...الخ

(ibnu Hajar ditanya) apakah boleh aqad nikah dengan tanpa wali dan saksi, mengikuti pendapat Dawud al-Dzohiri? Dan ketika dia wati’ (hubungan badan) apakah terkena hukum had atau tidak? dst. S/d…. ibnu hajar menjawab: tidak boleh mengikuti pendapat Dawud al-Dzohiri dalam nikah tanpa wali dan saksi, barang siapa wati’ (berhubungan badan) atas nikah tanpa wali dan saksi wajib baginya mendapatkan had (hukuman) seperti hukuman bagi pelaku zina sesuai pendapat yang mu’tamad.

Sebetulnya taqlid pada salah satu madhab, baik dari madhab arba’ah atau yang lain dalam beberapa mas’alah boleh menurut beberapa ulama’ selama : - Terjaga madzhabnya (tidak syadz) - Terbukukan, karena dengan dibukukannya sebuah madzhab akan tertera syarat yang harus diikuti muqollid - namun khusus dalam mas’alah ini menurut beberapa Ulama’ di antaranya Imam syabromallisi harom taqlid pada pendapat Imam Daud al-dhohiri, karena لعدم استيفاء الشروط كلها 

Referensi Muqoddimatu al–Aziz Hal. 72 Fiqhul Islami Juz. 01 Hal. 28 Tobaqoti as-Syafi’iyah Juz. 01 Hal. 77 Mu’jamul Muallifin Juz. 04 Hal. 139  Tarajimu Syu'ara al-Mausu'ah Juz. 01 Hal. 730 Fatawa al-Kubro Juz. 04 Hal. 105 Hawasyi al-Syarwany Juz. 07 Hal. 238 Tanwirul al-Qulub Hal. 400 Hasyiyatu al-'Athar 04 Juz. Hal. 462

 مقدمة العزيز صـ 72 سادسا: التعريف به: هو الإمام أبو سليمان داود بن علي الأصفهاني المشهور بداود الظاهري مولده: ولد رضي الله عنه سنة مائتين بالكوفة. مكانته: يعتبر الإمام داود الظاهري من أئمة المسلمين و علَما من أعلام الدين ورعا حافظا ثقة اشتهر مذهبه في بغداد والأندلس وكان له أتباع كثيرون غير أنهم انقرضوا بعد القرن الخامس الهجري وكان داود الظاهري متعصبا للمذهب الشافعي غير أنه كان يرى أن القياس لا يعتبر مصدرا تشريعيا مطلقا كما اشتهر عنه الأخذ بظاهر الكتاب والسنة و أن عمومات الكتاب والسنة تفي بكل أحكام الشريعة و تكوّن له بمجموع هذه الآراء و غيرها ما يعرف بمذهب أهل الظاهر وفاته : توفي داود الظاهري رحمه الله ببغداد سنة سبعين ومائتين هجرية اهـ

طبقات الفقهاء جـ 1 صـ 92 أبو سليمان داود بن علي بن خلف الأصفهاني : ولد سنة اثنتين ومائتين ومات سنة سبعين ومائتين وأخذ العلم عن إسحاق بن راهويه وأبي ثور وكان زاهداً متقللاً. قال أبو العباس أحمد بن يحيى ثعلب: كان داود عقله أكثر من علمه. وقيل أنه كان في مجلسه أربعمائة صاحب طيلسان أخضر وكان من المتعصبين للشافعي وصنف كتابين في فضائله والثناء عليه وانتهت إليه رياسة العلم ببغداد، وأصله من أصفهان ومولده بالكوفة، ومنشؤه ببغداد، وقبره بها في الشونيزية اهـ

حاشية العطار على شرح المحلي على جمع الجوامع جـ 4 صـ 462 وقال في الأشباه والنظائر وقفت على مصنـف لداود نفسه وهو رسالة أرسلها الى المزني ليس فيها الا الاستدلال على نفي القياس ثم حرصتُ كل الحرص على أن أبصر فيها تفرقة بين الجلي والخفي أو تصريحه بعدم التفرقة فلم أجد ما يدل على واحد منهما وهذه الرسالة عندي بخط قديم مكتوب قبل الثلاثمائة وقد قرأت منها على الوالد رحمه الله كثيرا في سنة ست وأربعين وسبعمائة أو قبلـها أو بعدها بيسير ثم الآن في الأقيسة الجليـة منها "الاستنباط" فلعل هذا مأخذ الوالد رحمه الله فيما كان ينقله عنه اهـ

الفتاوى الفقهية الكبرى جـ 4 صـ 105 وسئل هل يجوز عقد النكاح تقليدا لمذهب داود من غير ولي ولا شهود أو لا وإذا وطئ هل يحد أو لا ففي نفائس الأزرقي ما صورته إذا نكح بلا ولي تقليدا لأبي حنيفة أو بلا شهود تقليدا لمالك ووطئ فإنه لا يحد فلو نكح بلا ولي ولا شهود أيضا حد كما قاله الرافعي لأن الإمامين اتفقا على بطلانه قلت ولا يخلو من نظر فإن ظاهر كلام التنبيه أنه لا يحد وأيضا فقد حكى النووي في شرح مسلم أن نكاح المتعة لا ولي فيه ولا شهود على ما دل عليه الحديث فإذا كان كذلك فلا حد وقد رأيت جوابا منسوبا إلى الفقيه الصالح محمد بن عمرو أنه لا يحد في النكاح بلا ولي ولا شهود على الصحيح ويؤيده ما حكيناه عن النووي في شرح مسلم اهـ فبينوا لنا حكم هذه المسألة بيانا شافيا فأجاب بقوله لا يجوز تقليد داود في النكاح بلا ولي ولا شهود ومن وطئ في نكاح خال عنهما وجب عليه حد الزنا على المنقول المعتمد فقد قال الزركشي في تكملته عبارة المحرر كالنكاح بلا ولي ولا شهود ومراده النكاح بلا ولي فقط أو النكاح بلا شهود فقط لا المجموع أي الخالي عنهما ويرشد إليه جعله مثالا للمختلف فيه فإن فاقد كل منهما مجمع على تحريمه لكن فيه إيهام فلذا عدل عنه المنهاج إلى أحدهما قال وما ذكرناه عند فقد كل منهما خصه القاضي حسين بالشريفة فأما الدنية فلا حد لخلاف مالك فيه ا هـ

حواشي الشرواني جـ 7 صـ 238 قوله ( كما مر ) أي في مبحث نكاح الشغار قول المتن ( بلا ولي ) أو بولي بلا شهود أما الوطء في نكاح بلا ولي ولا شهود فإنه يوجب الحد جزما لانتفاء شبهة اختلاف العلماء اهـ مغني خلافا للنهاية عبارتها أما الوطء في نكاح بلا ولي ولا شهود فلا حد فيه كما أفتى به الوالد رحمه الله تعالى وسيأتي مبسوطا في باب الزنى اهـ قال ع ش قوله فلا حد الخ أي ويأثم وقوله كما أفتى به الوالد الخ أي لقول داود بصحته وإن حرم تقليده لعدم العلم بشرطه عنده اهـ الفتاوى الكبرى جـ 4 صـ 117


وسئل رحمه الله تعالى هل يجوز تقليد الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أم لا فما الدليل عليه فأجاب نفعنا الله تعالى بعلومه بقوله نقل إمام الحرمين عن المحققين امتناعه على العوام لارتفاع الثقة بمذاهبهم إذ لم تدون وتحرر وجزم به ابن الصلاح وألحق بالصحابة التابعين وغيرهما ممن لم يدون مذهبه وبأن التقليد متعين للأئمة الأربعة فقط قال لأن مذاهبهم انتشرت حتى ظهر تقييد مطلقها وتخصيص عامها بخلاف غيرهم ففيه فتاوى مجردة لعل لها مكملا أو مقيدا لو انبسط كلامه فيها لظهر خلاف ما يبدو منه فامتنع التقليد إذا لتعذر الوقوف على حقيقة مذاهبهم اهـ والقول الثاني جواز تقليدهم كسائر المجتهدين قال ابن السبكي وهو الصحيح عندي غير أني أقول لاخلاف في الحقيقة بل إن تحقق مذهب لهم جاز وفاقا وإلا فلا اهـ ويؤيده ما نقله الزركشي عن جمع من العلماء المحققين أنهم ذهبوا إلى جواز تقليدهم واستدل له ثم قال وهذا هو الصحيح إن علم دليله وصح طريقه ولهذا قال ابن عبد السلام في فتاويه إذا صح عن صحابي ثبوت مذهب جاز تقليده وفاقا وإلا فلا لا لكونه لا يقلد بل لأن مذهبه لم يثبت كل الثبوت اهـ كلام الزركشي فتأمله مع قول ابن عبد السلام وفاقا يتضح لك اعتماد ما ذكره ابن السبكي ومقتضى قول المجموع فعلى هذا أي وجوب التمذهب بمذهب معين يلزم أن يجتهد في إثبات مذهب إلى أن قال وليس له التمذهب بمذهب أحد من الصحابة رضي الله تعالى عنهم وبسط دليله وبين أن مذهب الشافعي رضي الله تعالى عنه أقوم المذاهب إن ذلك مفرع على القول الضعيف ويدل له قول ابن برهان تقليد الصحابة مبني على جواز الانتقال في المذاهب فمن منعه منع تقليدهم لأن فتاويهم لا يقدر على استحضارها في كل واقعة حتى يمكن الاكتـفاء بها فيؤدي إلى الانتقال ومذاهب المتأخرين تمهدت فيكفي المذهب الواحد المكافئ طول عمره اهـ وهو حسن بالغ وبه يعلم جوازتقليدهم في مسائل إذ لا يجب التمذهب بمذهب معين خلافا للحنفية اهـ

حواشي الشرواني على التحفة جـ 9 صـ 156 وعبارة شيخنا وكما لو نكح امرأة بلا ولي ولا شهود فإن ذلك يقول بحله داود ولا يجوز تقليده إلا للضرورة لكن إذا وطئ امرأة بهذه الطريق لم يحد للشبهة اه وعبارة المغني ويجب في الوطئ في نكاح بلا ولي ولا شهود قال القاضي إلا في الثيبة فلا حد فيها لخلاف مالك فيه اهـ ولعل صوابه لخلاف داود عبارة البجيرمي وكذا بلا ولي ولا شهود وهو مذهب داود وهذا في الثيب خلافا للشارح يعني شيخ الاسلام حلبي وسلطان اه قوله: (على أن الواو فيها بمعنى أو إلخ) ما المانع من بقائها بمعناها ويكون ما فيها إشارة إلى مراعاة خلاف داود القائل بصحته بلا ولي ولا شهود بناء على الاعتداد بخلافه كما قاله التاج السبكي: وإن نقل عن باب اللباس من شرح مسلم خلافه وقد أفتى شيخنا الشهاب الرملي بعدم الحد مراعاة لنحو خلاف داود والشارح ماش على وجوب الحد كما ترى اهـ سم قوله: (حكم انتفائه إلخ) أي حكم خلو النكاح عن الولي من عدم وجوب الحد وقوله حكم انتفائه عن الشهود أي والولي جميعا من وجوبه قوله: (أو بلا ولي) إلى قوله وما قيل في المغني والنهاية إلا قوله ولو لغير مضطر قوله: (أو بلا ولي) وقوله أو مع التأقيت معطوفان على بلا شهود قوله (بخلافه بلا ولي وشهود) مرما فيه من الخلاف أو مع انتفاء أحدهما الخ عبارة المغني محل الخلاف في النكاح المذكور كما قاله الماوردي : أن لا يقارنه حكم فإن حكم شافعي ببطلانه حد قطعا أو حنفي أو مالكي بصحته لم يحد قطعا اهـ 

طبقات الشافعية جـ 2 صـ 289 ذكر اختلاف العلماء فى أن داود وأصحابه هل يعتد بخلافهم فى الفروع الذى تحصل لى فيه من كلام العلماء ثلاثة أقوال أحدها اعتباره مطلقا وهو ما ذكر الأستاذ أبو منصور البغدادى أنه الصحيح من مذهبنا وقال ابن الصلاح إنه الذى استقر عليه الأمر آخرا والثانى عدم اعتباره مطلقا وهو رأى الأستاذ أبى إسحاق الإسفراينى ونقله عن الجمهور حيث قال قال الجمهور إنهم يعنى نفاة القياس لا يبلغون رتبة الاجتهاد ولا يجوز تقليدهم القضاء وإن ابن أبى هريرة وغيره من الشافعيين لا يعتدون بخلافهم فى الفروع وهذا هو اختيار إمام الحرمين وعزاه إلى أهل التحقيق فقال والمحققون من علماء الشريعة لا يقيمون لأهل الظاهر وزنا وقال فى كتاب أدب القضاء من النهاية كل مسلك يختص به أصحاب الظاهرعن القياسيين فالحكم بحسنه منصوص قال وبحق قال حبر الأصول القاضى أبو بكر إنى لا أعدهم من علماء الأمة ولا أبالى بخلافهم ولا وفاقهم وقال فى باب قطع اليد والرجل فى السرقة كررنا فى مواضع فى الأصول والفروع أن أصحاب الظاهر ليسوا من علماء الشريعة وإنما هم نقلة إن ظهرت الثقة انتهى والثالث أن قولهم معتبر إلا فيما خالف القياس الجلى قلت وهو رأى الشيخ أبى عمرو بن الصلاح وسماعى من الشيخ الإمام الوالد رحمه الله أن الذى صح عنده عن داود أنه لا ينكر القياس الجلى وإن نقل إنكاره عنه ناقلون قال وإنما ينكر الخفى فقط قال ومنكر القياس مطلقا جليه وخفيه طائفة من أصحابه زعيمهم ابن حزم اهـ

تنوير القلوب صـ 400 (ومنها) مانسب الى داود الظاهري من جواز النكاح بلا ولي ولا شهود فلاتغتر بما ذكره بعضهم في جواز تقليده فيه وممن صرح بحرمة تقليده في هذا القول العلامة الشبراملسي في حواشي النهاية

 Dalam dokumen terdapat ibaroh dari Al-Jamal IV / 245 yang menjelaskan bahwa hukumnya hilaf, namun menurut jumhur ulama bahwa nikah ke dua tidak merusak nikah awal, artinya hukumnya tetap memakai nikah awal. .... Yang di Al-Jamal itu sudah shorih‎

Imam Al-Auza'i Ad-Dimiasqi


Nama beliau adalah Abu Amru Abdurrahman bin Amru bin Muhammad al-Auza’i ad-Dimasyqi adalah ulama dari Syam yang kemudian berpindah ke ke Beirut sampai wafatnya, yang mendapat julukan Syaikhul Islam.

Beliau dikenal dengan nama nisbahnya, Al-Auza’i, nisbah ke daerah Al-Auza’, salah satu wilayah di Damaskus. Beliau dilahirkan pada tahun 88 H  tatkala sebagian para sahabat Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau mengalami masa kanak-kanak dalam keadaan yatim.  

Imam auza’I masih ada jalur kekerabatan dengan imam yahya bin amar Asy-Syaibani, Imam Auza’i pada imam yahya masih supupunya. Ada pendapat yang tidak sama dengan pendapatnya abu zur’ah, pendapat itu menyatakan bahwa imam auza’I itu lahir di desa ba’labak dan tumbuh hidup dimasa kecilnya di desa baqo’ dalam keadaan ditingga oleh ayahnya dan menyandang yatim di pangkuan sang ibu. Berpindah dari satu Negara ke Negara yang lain selalu dilakukan oleh ibunya imam auza’I dengan selalu membawa auza’I kecil dan juga ibunya sendiri yang mendidik auza’I kecil hingga beranjak dewasa.
                
Kehidupan sang Imam auza’I tidak ada dalam naungan kerajaan, kholifah, penguasa, pedagang, dan yang lain yang tidak lebih masuk akal. Tidak ada yang tidak lebih wara’, tidak lebih tahu, tidak lebih fasih, tidak lebih bagus bacaannya, tidak lebih aris , tidak lebih banyak diamnya dari pada  imam Auza’I. dan juga imam Auza’I tidak akan berkata satu kalimat pun kecuali kalimat itu tertentu pada orang yang akan mendengarkan dari imam Auza’I. dan imam Auza’I juga penolong surat-surat dan tulisan.‎

Masa Muda Al-Auza’i

Pengembaraan:  
                
Imam Auza’I penah menulis tentang perjalanannya menuju ke kota yamamah karena dia diutus, di tempat itu Imam Auza’I mendengarkan hadits dari yahya bin abi katsi, namun hal ini t idak terjadi lama terputus di tengah jalan. Kemudian kerena khawatir Imam auza’I kecewa, sang guru memberi petunjuk kepada Imam auza’I untuk pergi ke kota bashroh, supaya Imam auza’I dapat mendengarkan hadits dari dua guru besar hadits yaitu imam ibnu sirin dan hasan.
                
Atas perintah dari sang guru, Imam auza’I segera melaksanakan dengan penuh khidmah, dia pergi ke kota bashroh. Namun sesampainya Imam auza’I kekota bashroh, Imam auza’I mendapat berita bahwa imam hasan telah wafat dua bulan yang lalu. Sedangkan imam ibnu sirin sendiri dalam keadaan sakit. Imam auza’I menjadi bingung mendengarkan ini semua.
                
Sekian lama Imam auza’I menungngu akan kesembuhan imam ibnu sirin hasilnya nihil, malah sakit yang di derita oleh imam ibnu sirin tambah parah, sehingga selang beberapa hari imam ibnu sirin menginggal dunia. Dan Imam auza’I tidak satu pun hadits yang dia dengar dari imam ibnu sirin.  Jadi dari kedua ulama’ besar hadits hasilnya bagi Imam Auza’I adalah nihil.
                
Atas kejadian ini semua, Imam auza’I pergi ke kota damaskus dan Imam auza’I menetap disana yang merupakan daerah yang ada di perbatasan paradis.
                
Imam auza’I pada masanya, menjadi pembesar dalam penduduknya dan Negara-negara yang lain dalam bidang fiqih, hadits, peperangan dan lain sebagain dari beberapa ilmuan islam. Dan ada dari sebagian tabi’in yang menutu masa dari Imam auza’I. sedangkan para pembesar ulama’ islam yang meriwayatkan hadits dari Imam auza’I itu sangat banyak, seperti imam malik bin anas, imam tsauri dan imam zuhri. Akan hal ini tidak sedikit ulama’ yang memuji pada kehebatan Imam auza’I.
                
Umat islam sepakat akan keadilan dan ke imamannya Imam auza’I. diantara meraka banyak yang berkomentar, seperti imam malik” Imam auza’I itu adalah imam yang patut diikuti” dan juga komentar dari imam sufyan bin unayyah “Imam auza’I adalah imam dimasanya”.

Imam auza’I dan imam malik sering bertukar pikiran dan hafalan di kota madinah. Imam auza’I dan imam malik memulai takror dari waktu sholat dhuhur sampai waktu sholat ashar, dari waktu sholat ashar hingga waktu maghrib.

Pernah suatu ketika Imam auza’I bertukar pemikiran dan pendapat dengan imam tsauri di masjid khif, dalam masalah mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal. Imam auza’I berargumen tentang mengangkat tangan dengan hadits yang di riwayatkan dari zuhri, dari salim, dari ayahnya “ bahwa nabi Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam, mengangkat tangan saat beliau ruku’ dan I’tidal”.

Imam tsauri tidak mau kalah, dia juga mengeluarkan argumennya akan hal yang sama. Namum dengan hadits yang diriwayatkan dari yazid bin abi ziyad.

Imam auza’I marah besar dengan apa yang telah di argumankan oleh imam tsauri, lantas Imam auza’I berkata “ hadits yang di lontarkn kamu itu bertentangan dengan hadits yan diriwayatkan dari imam zuhri. Sedangkan hadits kamu yang di riwayatkan dari yazid bin abi ziyad itu adalah orang lelaki yang dalam periwayatan hadits lemah”.
                
Wajah imam tsauri menjadi merah merona dan merunduk karena malu atas apa yang telah di kemukakan oleh Imam Auza’I.
                
Selain terkenal akan keluasan ilmu keislaman, Imam Auza’I juga terkenal dalam kata-katnya yang sangat bijak. Tidak sedikit ulama’ yang meriwayatkan akan kata-kata bijak Imam Auza’i. diantara ulama’ yang meriwayatkannya adalah ulama’ yang terkenal dengan karyanya yang sangat di kenal dan di pakai di santero bumi, yaitu imam ghozali dengan ihya ulumuddin yang dia karang.
                
Dalam kitab tersebut tertulis akan kata Imam Auza’I yang diantaranya adalah : “ tiada sesuatu yang lebih dibenci oleh allah melainkan orang alim yang berkunjung ke penguasa/pegawai”. 

Al-Abbas bin al-Walid bercerita bahwa guru-gurunya berkata, bahwa al-Auza’i bercerita, “Ayahku meninggal ketika aku masih kecil. Pada suatu hari aku bermain-main dengan anak-anak sebayaku, maka lewatlah seseorang (dikenal sebagai seorang syaikh yang mulia dari Arab), lalu anak-anak lari ketika melihatnya, sedangkan aku tetap di tempat. Lantas Syaikh tersebut bertanya kepadaku, “Kamu anak siapa?”; maka saya menjawabnya. Kemudian dia berkata lagi, “Wahai anak saudaraku, semoga Allah merahmati ayahmu.” Lalu dia mengajakku kerumahnya, dan tinggal bersamanya sehingga aku baligh. Dia mengikutsertakan aku dalam dewan (kantor/mahkamah pengadilan) untuk bermusyawarah dan juga ketika pergi bersama rombongan ke Yamamah. Tatkala aku sampai di Yamamah, aku masuk ke dalam masjid jami’. Pada waktu keluar masjid ada seorang temanku berkata kepadaku, “Saya melihat Yahya bin Abi Katsir (salah seorang ulama Yamamah) kagum kepadamu; dan dia mengatakan, ‘Tidaklah saya melihat di antara para utusan itu ada yang lebih mendapatkan petunjuk daripada pemuda itu!’” Al-Auza’i berkata, “Kemudian aku bermajelis dengannya dan menulis ilmu darinya hingga 14 atau 13 buku, kemudian terbakar semuanya.” Beliau adalah orang yang pertama kali menulis buku ilmu di Syam.

Beliau adalah orang yang menghidupkan malamnya dengan shalat lail, membaca al-Qur’an dan menangis. Bahkan sebagian penduduk kota Beirut bercerita bahwa pada suatu hari ibunya memasuki rumah al-Auza’i dan memasuki kamar shalatnya, maka dia mendapati tempat shalatnya basah karena air mata tangisan malam harinya.
Guru dan murid Al-Auza’i

Beliau mengambil hadis dari Atha’ bin Abi Rabah, Qasim bin Makhimarah, Syaddad bin Abu Ammar, Rabi’ah bin Yazid, Az-Zuhri, Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, Yahya bin Abi Katsir, dan sejumlah ulama besar dari kalangan tabiin lainnya. Diceritakan juga bahwa beliau sempat mengambil hadis dari Muhammad bin Sirin di waktu Muhammad bin Sirin sakit.

Sementara, daftar para ulama yang menjadi murid beliau antara lain: Syu’bah, Ibnu Mubarak, Walid bin Muslim, Al-Haql bin Ziyad, Yahya bin Hamzah, Yahya Al-Qaththan, Muhammad bin Yusuf, Al-Faryabi, Abu Al-Mughirah, dan sejumlah ulama lainnya.
Pujian-pujian untuk Al-Auza’i

Selama hidupnya, Imam Al-Auza’i lebih banyak disibukkan dengan berdakwah dan mengajarkan ilmu. Abu Zur’ah mengatakan, “Pekerjaan beliau adalah menulis dan membuat risalah. Risalah-risalah beliau sangat menyentuh.”

Walid bin Mazid mengatakan, “Saya belum pernah melihat beliau tertawa terbahak-bahak. Apabila beliau menyampaikan kajian yang mengingatkan akhirat, hampir tidak dijumpai hati yang tidak menangis.” Beliau juga mengatakan, “Saya belum pernah melihat orang yang lebih rajin beribadah melebihi Al-Auza’i.”

Al-Haql mengatakan, “Al-Auza’i telah menjawab dan menjelaskan 70.000 permasalahan.” Sementara, Al-Kharibi mengatakan, “Al-Auza’i adalah manusia terbaik di zamannya. Beliau layak untuk mendapat jabatan khilafah.” Bisyr bin Mundzir mengatakan, “Saya melihat Al-Auza’i seperti orang buta, karena khusyuknya.” Disebutkan bahwa beliau menghidupkan malamnya dengan salat dan membaca Alquran sambil menangis.
Diantara ungkapan kata-kata mutiara beliau:

مَنْ أَطَال قِيَامَ اللَّيْلِ هَوَّنَ اللهُ عَلَيْهِ، وُقُوفَ يَوْمِ القِيَامَةِ

“Barangsiapa memperlama qiyamullail niscaya Allah akan meringankannya saat berdiri di hari kiamat.”

إِنَّ المُؤْمِنَ يَقُوْلُ قَلِيْلاً، وَيَعمَلُ كَثِيْراً، وَإِنَّ المُنَافِقَ يَتَكَلَّمُ كَثِيْراً، وَيَعْمَلُ قَلِيْلاً

“Sesungguhnya orang mukmin itu sedikit berkata-kata dan banyak beramal, dan orang munafik banyak berkata-kata dan sedikit beramal.” (Siyar A’lamun Nubala 6/549)
Nasihat-nasihat Al-Auza’i
Beliau pernah mengatakan kepada Walid bin Mazid, “Apabila Allah menghendaki keburukan untuk suatu kaum, Allah membuka pintu ‘suka berdebat’ dan Allah sulitkan mereka untuk beramal.”
Beliau juga menjelaskan akidah ahlus sunnah, sebagaimana yang diceritakan oleh Muhammad bin Katsir Al-Mashishi, bahwa beliau mendengar Al-Auza’i mengatakan, “Kami dan para tabiin, semuanya, berpendapat bahwa Allah berada di atas Arsy, dan kami beriman terhadap semua keterangan tentang Allah yang terdapat dalam sunah.”
Beliau menasihatkan agar manusia senantiasa berpegang dengan sabdaNabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diriwayatkan Amir bin Yasaf, bahwa beliau mendengar Al-Auza’i mengatakan, “Apabila kamu mendengar hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah kamu mengambil pendapat orang lain, karena beliau adalah mubalig (penyampai berita) dari Allah.”
Beliau juga menasihatkan, “Tidaklah seseorang berbuat bid’ah kecuali pasti akan dicabut sifat wara’-nya”.
Dari Abu Ishaq Al-Fazari, bahwa Al-Auza’i menasihatkan, “Ada lima hal yang dipegangi para sahabat dan tabiin: berpegang teguh dengan jamaah (pemerintah), mengikuti sunah, memakmurkan masjid (rajin shalat berjamaah), membaca Alquran, dan berjihad.”
Ibnu Syabur mengatakan bahwa Al-Auza’i pernah menasihatkan, “Barang siapa yang mencari-cari pendapat-pendapat aneh yang menyimpang dari para ulama, niscaya dia akan keluar dari Islam.”
Walid bin Mazid menceritakan bahwa Al-Auza’i mengatakan, “Celakalah orang yang mendalami ilmu untuk masalah selain ibadah dan orang yang berusaha menghalalkan hal yang haram dengan syubhat.”
Beliau juga pernah berpesan dengan satu perkataan yang indah dan cukup terkenal, sebagaimana diriwayatkan oleh Walid bin Mazid; beliau mendengar Al-Auza’i mengatakan,
عَلَيكَ بِآثَارِ مَن سَلَفَ وَإِن رَفَضَكَ النّاسُ وَإِيّاكَ ورَأيَ الرِّجَال
وَإِن زَخْرَفُوهُ بِالقَولِ فَإِنَّ الأَمرَ يَنجَلِي وَأَنتَ عَلَى طَرِيقٍ مُستَقِيم

“Berpegang-teguhlah dengan atsar (riwayat) para ulama salaf, meskipun masyarakat menolakmu.
Jangan mengikuti pemikiran manusia, meskipun mereka menghiasi ucapannya.
Sesungguhnya, semua perkara akan tampak dalam keadaan engkau berada di jalan yang lurus.”
Wafatnya Al-Auza’i

Muhammad bin Ubaid sedang bersama Sufyan ats-Tsauri ketika datang seorang laki-laki, dia berkata, “Saya bermimpi raihanah (tumbuhan berbau harum) yang berasal dari daerah Maghrib diangkat” Mendengar hal itu Sufyan ats-Tsauri menimpali, “Jika mimpimu benar maka sungguh al-Auza’i telah wafat.” Maka mereka menulis surat menanyakan hal itu, dan ternyata memang benar demikian.

Sebab kematiannya, bahwa setelah beliau menyelesaikan pekerjaannya mengecat sesuatu dengan cat berwarna, kemudian masuk kamar mandi yang ada di rumahnya; sementara istrinya masuk bersamanya dengan membawa tabung yang berisi arang agar beliau tidak kedinginan di dalamnya. Istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut. Ketika asap arang itu menyebar, beliau menjadi lemas. Beliau berusaha membuka pintu, tetapi tidak bisa. Kemudian beliau terjatuh, dan kami menemukannya dalam keadaan tangan menghitam dan menghadap ke arah kiblat.

Abu Mushir berkata tentang kematian al-Auza’i, bahwa ketika dia berada dikamar mandi, istrinya menutup pintu kamar mandi tersebut tanpa sengaja, sehingga hal itulah yang menjadi penyebab kematiannya. Karenanya Sa’id bin Abdul Aziz memerintahkan istri al-Auza’i untuk membebaskan seorang budak.

Beliau sangat dimuliakan oleh Khalifah Al-Manshur. Khalifah sangat memerhatikan nasihat-nasihat Al-Auza’i. Sampai akhirnya, beliau pernah ditawari untuk menjadi hakim oleh Khalifah, namun beliau menolaknya. Di akhir hayatnya, beliau berangkat ke Beirut dan melaksanakan tugas ribath (menjaga daerah perbatasan) dan meninggal dunia di sana. Warisan yang beliau tinggalkan ketika beliau wafat hanya enam dinar, dan itu merupakan sisa dari sedekah yang dia berikan. Beliau meninggal pada tahun 153 H, dan kebanyakan ulama berkata bahwa beliau meninggal pada tahun 157 H di bulan Shafar.‎

Sejarah Madzhab Dzahiriyah Yang Pernah Ada


Segala Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan maunahNya kepada kita sekalian.Shalawat dan Salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang membawa kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang yakni ajaran agama Islam. Dalam ilmu ushul fiqh dikenal para ulama-ulama yang berjtihad  dalam merumuskan hukum-hukum fiqh, berikut ini Madzhab-madzhab Ahli Sunnah yang masih berkembang, diantaranya adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal. Dan kita juga perlu untuk mngetahui Madzhab-madzhab Sunni yang telah lenyap diantaranya adalah Madzhab Al- Auza’i, Madzhab Ats- Tsauri, Madzhab Al- Laits, Madzhab Adh- Dhahiri dan Madzhab Ath- Thabari. Dan kita harus mengerti ijtihad apa yang telah mereka lakukan? Dan landasan dasar apa yang mereka gunakan, sehingga kita mengetahui hukum-hukum itu diambil. 

Pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan metode ijtihad dari Madzhab-madzhab Sunni yang telah lenyap yaitu dari Madzhab Adh- Dhahiri beliau merupakan salah satu diantara mazhab fiqih kalangan ahlusunnah wal jamaah, dan beliau juga  banyak menghafal hadits-hadits dan merupakan seorang faqih mujtahid atas sebuah mazhab yang berdiri sendiri di luar mazhab empat yang terkenal setelah sebelumnya beliau menjadi mengikut mazhab Asy-Syafi’iyah.

Mazhab Zahiriyyah adalah sebuah mazhab yang membangun fahamnya dengan memahami sumber ajaran Islam secara tekstual. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu mazhab fikih yang pertama kali muncul di Spanyol dan Afrika Utara. Selain nama Zahiriyyah, aliran ini juga dikenal dengan nama mazhab ad-Daudi. Para pengikut mazhab ini disebut dengan az-Zahiriyyah (Penganut ajaran lahiriyah). Hingga sekarang, pemikiran-pemikiran aliran ini masih bisa ditemukan, bahkan sering menjadi bahan perbandingan ketika melakukan pembahasan-pembahasan kontemporer. Mazhab ini berkembang sejak abad ke-3 hingga ke-8 hijriyah. Mazhab ini pertamakali dibangun oleh tokoh fikih terkenal bernama Daud bin Ali bin Khalaf al-Isfahani (202-270 H) yang berjuluk Abu Sulaiman. Sebagai salah satu aliran yang cukup besar, adalah sangat menarik untuk mengkajinya. Mazhab Zahiriyyah merupakan salah satu hasil dinamika perkembangan pemikiran ummat Islam.
Pembangun Madzhab ini, ialah Abu Sulaiman Daud ibn Ali Al Asfahani yang kemudian dikenalkan dengan nama Daud Ad Dhahiri. Beliau dilahirkan di Kufah dalam tahun 202 H, dibesarkan di Bagdad dan wafat di sana dalam tahun 270 H. Mula-mula beliau bermadzhab Syafi’i, dan amat teguh memegang hadits. Beliau pernah belajar pada Ishaq ibn Rahawaih, salah seorang fuqoha’ madrasah Al Hadits, pada tahun 233 H.
            
Walaupun beliau ini mempelajari madzhab Asy Syafi’i secara mendalam, sedang ayahnya bermadzhab Hanafi, namun pada kemudiannya beliau menentang madzhab Asy Syafi’i, lantaran Asy Syafi’i mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber hukum. Oleh karenanyalah fuqoha’-fuqoha’ Syafi’iyah menentangnya. Daud pernah berkata : “Saya telah mempelajari dalil-dalil yang dipergunakan oleh Asy Syafi’i untuk menentang istihsan. Maka saya mendapati bahwa dalil-dalil itu juga membatalkan qiyas.” Daud berpendapat bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh Ahlurra’yi dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum, adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari Kitabullah atau Sunnatur Rasul, dan beliau berpendapat bahwa apabila kita tidak memperoleh nash dari Al-Quran dan As-Sunnah, maka hendaklah kita memusyawaratkan hal itu dengan para Ulama, bukan kita berpegang kepada pendapat ijtihad sendiri.
Madzhab beliau ini dikenal dengan nama madzhab Dhahiri, karena beliau berpegang kepada dhahir Al-Quran dan As-Sunnah, tidak menerima adanya ijma’ terkecuali ijma’ yang diakui oleh semua ulama. Madzhab ini diikuti oleh banyak ulama. Diantaranya, ialah anaknya sendiri Muhammad ibn Daud, wafat tahun 297 H. dan Ibnul Mukhallis yang wafat dalam tahun 324 H.

Madzhab ini berkembang di Andalusia hingga abad ke-5 H. kemudian berangsur-angsur mundur, hingga lenyap sama sekali, di abad ke-8.

Pandangan Ulama Dzahiri tentang Ar ra’yu dan sumber hukum lainnya
Mengenai ra’yu dalam hal ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak ada ra’yu dalam agama. Seseorang tidak berhak berijtihad dengannya dan tidak sah mengistimbatkan hukum dengannya. Karena nash adalah hukum Allah Swt, sedangkan apa yang dihasilkan oleh ra’yu berarti telah membuat hukum sendiri dan bukan hukum Allah SWT. seseorang juga tidak berhak berpendapat dengan membawa nama Allah kecuali hanya Rasul-Nya. Barang siapa yang berbicara dengan ra’yunya dalam agama sungguh dia telah mengada-ada dan berbohong kepada Allah Swt.
Adapaun dalil-dalil yang digunakan sebagai rujukan yaitu :
1.      Dalil dari nash
Firman Allah SWT.
ما فرطنا فى الكتاب من شىء( الأنعام
Artinya : “Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam kitab”. (al An’am: 38)
Dalil ini menunjukkan bahwa al Quran adalah penjelas bagi syariah secara mutlak, dan seseorang tidak berhak menambah-nambahkan hukum di dalamnya. Dan juga firman Allah Swt:
يا أيها الذين أمنوا أطيع الله وأطيع الرسول وأولى الأمرمنكم فان تنازعتم فى شىء فردوه الى الله والرسول انكنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر (النساء
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan ta’atilah Rasul-(Nya), dal ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (an Nisa: 59)
Ayat ini secara jelas membatasi hukum-hukum syariah itu hanya kepada al Quran, Hadits dan ijma’ saja. Maka ketika ditemukan perselisihan seharusnya dikembalikan kepada keduanya, dan tidak berhak merujuk kepada yang lain. Sekiranya ra’yu itu adalah tempat untuk diizinkan atau diperbolehkan pastilah akan ada nash yang menyinggung hal itu”.
Firman Allah Swt:
ان يتبعون الا الظن وان الظن لا يغني من الحق شيئا(النجم
Artinya : “Mereka tidak lain hanya mengikuti prasangka sedang sesungguhnya prasangka itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (an Najm: 28)
Ibnu Hazm mengambil ayat ini sebagai dasar peniadaannya terhadap hukum yang berlandaskan dugaan. Beliau berkata: “Tidak sah pengambilan hukum yang berlandaskan dugaan secara mutlak”.
Firman Allah Swt:
اليوم اكملت لكم دينكم (المائدة
Artinya : “Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu”. (al Maidah: 3)
Ibnu Hazm berkata: Inilah agama tidak ada agama selain ini. Adapun ra,yu dan qiyas adalah dugaan dan dugaan itu adalah batil”.
2.      Perkataan Shahabat
Kita dapat menjumpai perkataan sahabat mengenai hal ini, seperti perkataan Umar Ra: (“Hindarilah penggunaan ra’yu kalian dalam agama”). (“Berhati-hatilah kalian terhadap orang yang menggunakan ra’yunya karena sesungguhnya mereka adalah musuh Hadits”). (“Wahai manusia sesungguhnya ra’yu yang benar itu hanya ada pada Rasulullah Saw karena Allah Swt sendiri yang langsung memberitahukannya. Adapun yang ada pada kita hanyalah dugaan dan afektasi semata”). Abu Bakar juga berkomentar: (“Bumi yang mana yang kujumpai dan langit yang mana yang kutempati bernaung, jika aku pernah berpendapat dalam kitab Allah Swt dengan ra’yuku atau terhadap apa yang aku tidak ketahui”).
Mengenai perangkat hukum lainnya yang disepakati jumhur Ulama seperti qiyas dan yang juga menjadi perselisihan Ulama seperti: istihsan, Istishab, Maslah al Mursalah, Urf dan lain-lain, maka mazhab ini tidak memasukkannya sebagai sumber hukum bahkan tidak membolehkan untuk mengambilnya. Kita dapat mengetahui hal ini sebagaimana telah disebutkan bahwa mazhab ini sangat anti terhadap ra’yu dan hanya mengambil hukum dari zhahir nash saja. Sedangkan perangkat-perangkat hukum di atas sangat erat kaitannnya dengan ra’yu.

Sumber-sumber hukum Madzhab Dhahiri
Beliau menerangkan bahwasannya sumber-sumber hukum yang diambil yaitu :
1.      Al Quran
2.      As Sunnah
3.      Ijma’
4.      Dalil
Adapun uraiannya adalah sebagai berikut :
a.       Al Quran
Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain pun merujuk padanya. Adapun kedudukan al Quran adakala sudah dipahami dari konteks kalimatnya sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari Hadits, dan adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari Hadits. Seperti penjelasan ayat yang mujmal yang membutuhkan perincian, semisal ayat tentang shalat, puasa, zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadits. Dan penjelasan al Quran ini kadangkala jelas bisa langsung difahami dan adapula yang tidak langsung bisa memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal tersebut.
Firman Allah SWT. :
فسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون (النحل: 43,الأنبيا:7
Artinya : ” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui ” (an Nahl: 43 dan al Anbiya: 7).

Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan al Quran ini. “penjelasan terhadap al Quran ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan yang lain akan samar yang menyebabkan seeorang cepat memahami dan sebagian yang lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang menjelaskannya. Dari hal inilah akan muncul perbedaan pemahaman”. Ibnu Hazm juga mengingkari adanya kontraversi antara ayat-ayat al Quran dengan berkata: “Sungguh benar tidak ada kontraversi dan perselisihan dalam al Quran. Bukti terhadap hal itu adanya al Quran sebagai wahyu, sekiranya kita jumpai kontraversi dalam al Quran berarti kita juga akan menjumpai perselisihan, sedangkan Allah Swt telah menafikan perselisihan di dalamnya melalui firman-Nya:

ولو كان من عندغيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا(النساء:82)
Artinya : “Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an Nisa: 82).
b.      As Sunnah
Yaitu rujukan kedua yang mendasar dalam syariah. Ibnu Hazm mengartikan dengan menaati apa yang diperintahkan Rasulullah Saw,sebagaimana firman Allah Swt:
وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحي يوحى (النجم: 3-4)
Artinya : ” Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Quran) menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (an Najm: 3-4)

Ibnu Hazm mengkategorikan nash hanya dari al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum pokok, juga mensejajarkan kedudukan al Quran dengan Hadits. Beliau berkata:”perintah Allah dan Rasulnya semuanya fardhu, dan semua larangan Allah dan Rasulnya hukumnya haram. Seseorang tidak pantas berkomentar persolaan ini sunnah atau makruh, keculi dengan nash yang shahih yang menerangkan hal tersebut atau ijma”.

Ibnua Hazm tidak mengkategorikan perbuatan Nabi sebagai hujjah, kecuali sejalan dengan sabda Nabi. Adapun perkataan dan taqrir Nabi beliau memasukkannya secara langsung sebagai hujjah.Contoh sabda Rasulullah Saw:

عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليهوسلم كان اذا افتتح الصلاة رفع يديه حذو منكبيه واذارفع رأسه من الركوع رفعهما كذالك أيضا وقال: سمعالله لمن حمده ربنا ولك الحمد, وكان لا يفعل ذالك فىالسجود  (  رواه البخارى

Artinya : “Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah Saw apabila hendak memulai salat mengangkat tangannya sejajar dengan bahunya, dan apabila ingin bangkit dari ruku’ beliau juga mengangkatnya seperti itu dan berkata: Allah mendengar terhadap orang yang memujinya, Ya Allah segala puji hanyalah untuk-Mu dan Rasulullah Saw tidak melakukan hal demikian di saat bangun dari sujud”. (HR. Bukhari)
c.       Ijma’
Ijma, yang dimaksudkan Ibnu Hazm di sini yaitu terkhusus ijma’ para sahabat. Karena mereka menyaksikan langsung turunnya wahyu. Ibnu Hazm juga mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas Ulama, yaitu tidak ada perbedaan pendapat dalam dalam ijma. Sebaaimana terdahulu beliau tidak mengkategorikan ijma’ secara umum yang meliputi ijma’ para Ulama melainkan hanya terkhusus ijma’ para sahabat saja yang hidup di awal Islam bersama Nabi. Ijma’ inilah yang beliau maksudkan dengan firman Allah Swt:

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا (ال عمران: 103)
Artinya : “Berpegang tegulah kalian semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai” (al Imran: 103).  Dan firman Allah Swt. :
ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم (الأنفال: 46)
Artinya : “Dan jangnlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”(al Anfal:46).

Dari hal ini apabila didapati dalam agama ada kesepakatan dan perselisihan, maka Allah Swt sungguh telah mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa perselisihan bukanlah dari sisinya. Allah Swt berfirman:

ولو كان من عند غيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا(النسا: 82)
Artinya : Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka akan mendapati perentangan yang banyak dalamnya”.(anNisa:82).
Para mujtahid telah sepakat dari semua mazhab bahwa tidak ada ikhtilaf dalam mengambil perkataan sahabat yang tidak ada lapangan pemikiran dan ijtihad di dalamnya, karena kedudukannya merupakan khabar taukifi dari pembawa risalah. Begitu juga tidak ada perbedaan pendapat apa yang telah disepakati oleh para sahabat secara jelas, atau terhadap apa yang kita ketahui meskipun secara tidak sharih tapi mereka tidak berselisih pendapat di dalamnya. Seperti bagian seperenam dari warisan untuk kakek.
d.      Dalil
Sumber hukum keempat yang dijadikan istimbat hukum oleh Ibnu Hazm az Zhahiri yaitu: “Dalil”. Beliau memaksudkan dalil di sini adalah setiap perkara yang diambil dari ijma’ atau nash yang dapat dipahami maknanya secara langsung dari lafaznya dan bukan membawa keduanya kepada makna lain karena adanya illat. Hal ini berbeda dengan qiyas yang tidak disetujuinya. Karena qiyas mengelurkan illat dan nash kemudian memberikan hukum asal yang sama kepada setiap perkara yang masuk di dalamnya (baca illat). Adapun dalil yang dipakai Ibnu Hazm, yaitu apa yang bersandar kepada nash itu sendiri dan tidak mengeluarkannya kepada proses qiyas. Kalau kita memperhatikan dngan seksama kita dapat mengatakan bahwa dalil yang dipergunakan oleh Ibnu Hazm az Zhahiri sebagai sumber hukum keempat ini, tidak ada bedanya dengan sumber hukum ketiga sebelumnya, hanya saja penyebutan dalil ini merupakan ringkasan dari sumber hukum ketiga sebelumnya.

Metode ijtihad Madzhab Adh Dhahiri

Madzhab Adh Dhahiri yang kelahirannya dibidaniDawud bin Khalaf al-Isbahani, dikenal literalis, dan menentang keras liberalisme dalam berijtihad. Pengangum berat Imam Syafi`i  yang dianggapnya sangat kuat berpegang kepada nash Al-Quran dan Al-Sunnah ini, masyhur dengan predikat "kaku" dan "tidak adaptif terhadap perubahan zaman". Prinsip literal yang dipeganginya membuahkan kritikan keras terhadap metode qiyas karena menurutnya sudah keluar dari nash. Baginya Syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia sudah sempurna, tidak perlu lagi ada penambahan, dan seakan akal sama sekali tidak diberikan porsi dalam berijtihad, misalnya terlihat pada penolakan penggunaan metode ijtihad bi al-ra`yi seperti qiyas, istihsan dan maslahah mursalah. 
Belakangan, ditemukan bahwa dibalik kesan kekakuan mazhab ini ditemukan potensi keluwesan dan progresvitas dalam berijtihad. Metode ijtihad yang kemudian dinamakan "al-Dalid" oleh muridnya, Ibn Hazm Al-Andalusi ini, ternyata berpotensi untuk dikembangkan sebagai metode ijtihad alternatif dalam menjawab tantangan modernitas. Ibnu hazm dalam semua tulisannya menempuh jalan polemik, dia membantah pendapat-pendapat orang dengan disebut dalilnya satu persatu, kemudian didiskusikannya, dan menampakkan kekeliruan-kekeliruan paham itu sambil diterangkan alasan-alasan yang membenarkan pendapatnya dan menyalahkan pendapat orang lain. Kemudian dia berpindah pada Martabat jidal yang kedua yaitu menyalahkan pendapat orang lain dengan perkataan-perkataan mereka sendiri. Ia menempuh jalan ilzam dan ifham sesudah menempuh hujjah dan burhan.‎
            
Sebagian ulama’ membedakan jadal dan ‎munadharah jidal, ialah perdebatan untuk mengalahkan lawan dan memperoleh kemenangan, bukan semata-mata mencari kebenaran. Ia mempergunakan kata jadal untuk perdebatan, perdebatan itu guna mencari kebenaran atau guna mengaburkan kebenaran. Karenanya ia membagikan jidal pada dua bagian :
a.       Jidal yang dipuji, wajib dilakukan untuk menegakkan kebenaran oleh yang sanggup melaksanakannya.
b.      Jidal yang tercela yaitu perdebatan yang tidak berdasarkan pengetahuan atau terus berdebat walaupun kebenaran telah nyata.

Perkembangan Madzhab Dzohiriyah

Pada masa terbaiknya pengikut mazhab ini terdiri dari mayoritas Muslim yang tinggal di kawasan Mesopotamia, Iran bagian selatan, Semenanjung Iberia, Kepulauan Balears dan Afrika bagian Utara. Madzhab ini awalnya memiliki pengaruh pada lembaga peradilan di Irak. Para ulama dari mazhab Zhahiri ditunjuk menjadi hakim kota oleh pemerintahan Baghdad, Syiraz,Isfahan, Firuzabad, Ramlah, Damaskus,Sindh dan Fustat. ‎Di wilayah timur yang dikuasai dinasti Abbasiyah, Mazhab Zhahiri harus bersaing dengan mazhab yang lain, namun karena kurang memiliki kedekatan secara personal dan politik dengan pemerintahan mengakibatkan Mazhab Zahiri kurang populer. Pada masa itu empat mazhab fikih yang besar adalah Hanafi, Maliki, Zhahiri, dan Syafi'i, sedangkan mazhab Hanbali belum dianggap sebagai mazhab fikih tersendiri.

Dengan berbagai sebab seperti politik, dukungan resmi pemerintah atas mazhab lain, mazhab Zhahiri perlahan kehilangan dominasinya di seluruh kawasan Irak dan Persia. Mazhab Zahiri masih berpengaruh di Syam hingga tahun 788 M, juga memegang pengaruh yang kuat di Mesir untuk waktu yang lebih lama, namun pada perkembangannya mereka kehilangan sebagian besar pendukung di timur secara keseluruhan. Meskipun ajaran Zahiri terus bertahan terutama dikalangan ulama dan ahli hadits, masyarakat mulai jarang mengikut mazhab ini sehingga banyak ahli sejarah mulai menyatakannya telah punah. Saat ini, mazhab ini masih diikuti oleh komunitas-komunitas kecil di Maroko dan Pakistan. Banyak ahli hadis di era belakangan yang memiliki kecenderungan untuk mengikuti sebagian metode yang digunakan mazhab Zhahiri yakni tidak secara keseluruhan dan ketat.

Adapun yang mendukung penyebaran mazhab Zahiriyyah antara lain adalah:

Daud az-Zahir menulis pendapatnya dengan dalil-dalil yang cukup kuat.

Murid-muridnya berfungsi sebagai penyebar dan penerus ajarannya, antara lain: Ibnu Hazm (putra Daud az-Zahiri), Abu Yahya Zakaria bin Yahya bin Abdullah Saji’ (w. 307 H), Ibrahim bin Naftawaih (244-323 H) dan Abu Hasan Abdullah bin Ahmad bin al-Mugallas (w. 324).

Dari pengikut aliran Zahiriyyah, terdapat orang-orang yang berpengaruh pada pemerintahan Bani Umayyah seperti qadi Abu al-Qasim Ubadilillah bin Ali an-Nakha’i yang membawahi wilayah kehakiman Khurasan dan Iran. Pada abad ke-empat hijriyah, aliran ini tidak hanya berkembang di Irak dan Iran tapi juga meluas hingga ke Oman dan Sind.

Di dunia Timur, mazhab Zahiriyyah masih memiliki penganut hingga pertengahan abad ke-lima hijriyah. Pada saat itu muncul Muhammad bin Husain bin Muhammad Abu Ya’la al-Farra’ al-Hanbali (w. 458 H), beliau adalah seorang tokoh dari aliran Hanbali, menguasai ushul fikih, mendalami Alquran al-Karim dam Hadis. Beliau juga merupakan seorang qadi, dalam kapasitasnya sebagai qadi, ia berhasil mengeser posisi mazhab Zahiriyyah dan sejak itu pamornya menurun dan digantikan oleh mazhab Hambali.

Pada abad ke-lima yakni di saat mazhab Zahiriyyah mulai mundur di belahan dunia timur, akan tetapi sebaliknya di belahan dunia barat, tepatnya di Spanyol justeru muncul Ibnu Hazm yang menyebarkan dan membangun mazhab Zahiriyyah, sehingga mazhab Zahiriyyah menjadi besar dan mempunyai pengikut yang banyak.

Munculnya Ibnu Hazm di Barat bukan berarti mazhab Zahiriyyah baru dikenal di Spanyol pada priode Ibnu Hazm tersebut. pada akir abad ke-tiga Baqi bin Bukhalat (200-276 H), Ibnu Waddah (w. 286 H) dan Qasim bin Asbagh (w. 340 H) ketiganya ahli fikih dari Spanyol, sekembalinya menuntut ilmu dari dunia timur, mereka membawa ajaran mazhab Zahiriyyah ke Spanyol. Bahkan terdapat ulama fikih dari Iraq yang berkunjung ke Spanyol dengan membawa mazhab Zahiriyyah tersebut.

Mereka yang dimaksud antara lain: Abdullah bin Qasim bin Qasim as-Sayyar (w. 272 H) dan Mundzir bin Sa’id al-Balluti (273-335 H). Setelah priode Mundzir bin Sa’id, tampil pula Mas’ud bin Sulaiman bin Muflih Abu al-Khayyar (w. 426 H). Tokoh yang disebut terakhir ini merupakan seorang mujtahid yang memiliki kebebesan berfikir dan yang menjadi guru utama Ibnu Hazm dalam mempelajari dan mendalami ajaran mazhab Zahiriyyah.[6]

Ibnu Hazm merupakan tokoh yang menjadikan mazhab Zahiriyyah berkembang pesat di dunia Barat. Ibnu Hazam menulis berbagai karya dan mengkader beberapa orang muridnya sebagai upaya mengembangkan dan memperjuangkan mazhab Zahiriyyah, sehingga menurut penilaian Muhammad Abu Zahrah (w. 1394 H) seorang fakih kontemporer Mesir, tidak terdapat tokoh di Spanyol yang tidak memiliki tokoh yang bermazhab Zahiriyyah, dan tidak ada di pelosok Spanyol yang tidak menganut mazhab Zahiriyyah.

Daerah-daerah, selain Spanyol yang sempat dijangkau oleh murid-murid Ibnu Hazm dalam rangka mengembangkan dan mengajarkan mazhab Zahiriyyah antara lain adalah:

Maroko atau Maghribi. Di daerah ini yang berperan menyebarkan dan mengembangkan mazhab Zahiriyyah adalah Muhammad bin Suraih (392-476 H) di Maroko, pada waktu itu dikenal adanya kelompok al-Hazmiyyah, yaitu sekelopok ulama fikih yang menganut secara sungguh-sungguh ajaran Ibnu Hazm. Mazhab Zahiriyyah pernah menjadi mazhab resmi rakyat Maroko, yaitu pada masa pemerintahan Abu Yusuf Ya’qub, al-Manshur (seorang sultan dinasti Muwahhidun) yang memerintah pada tahun 580-595 H.

Baghdad. Di sini, mazhab Zahiriyyah tumbuh dan dikembangkan oleh Muhammad bin Nashr Futuh bin Abdullah al-Asadi al-Humaidi (420-488 H) ahli dalam bidang sejarah dan periwayatan hadis dan diteruskan oleh Abu al-Fadhl Muhammad bin Tahir al-Makdisi (488-507 H).

Iskadariyah. Di daerah ini mazhab Zahiriyyah dilanjutkan dan dikembangkan oleh Muhammad bin al-Walid al-Fikhri (w. 502 H). Sementara itu di Spanyol sendiri sepeninggal Ibnu Hazm, mazhab Zahiriyyah dikembangkan dan diteruskan oleh Abu Rafi’ bin Fadhal bin Ali bin Sa’id bin Hazim atau salah seorang putera Ibnu Hazm yang tidak diketahui kelahiran dan tahun wafatnya, Abdul Baqi bin Muhammad bin Sa’id bin Biryal al-Anshari (416-502 H).

Perkembangan mazhab Zahiriyyah di Syuriah tidak hanya terbatas pada sisi ajaran keagamaan saja, tetapi juga dalam masalah politik praktis. Pada tahun 788 H, sebagian dari tokoh mazhab ini dibawah pimpinan Syihabuddin Abu Hasyim Ahmad bin Muhammad bin Isma’il bin Abdurrahman bin Yusuf (704-792 H) melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Mamluk yang berkuasa saat itu, tetapi pemberontakan itu dapat digagalkan oleh pemerintah yang berkuasa dan pelaku. Akan tetapi tidak semua tokoh mazhab Zahiriyyah ikut dalam pemberontakan tersebut, di antaranya adalah Musa bin Amir Syafaruddin az-Zanji (w. 788 H) dan Ahmad bin Muhammad bin Manshur bin Abdullah Syihabuddin al-Asymuni (w. 809 H).

Pada akhir abad ke-8 awal abad ke-9 H, mazhab Zahiriyyah mengalami kemerosotan jumlah pengikut. Penyebab kemerosotan ini antara lain munculnya buku al-Khuttat (catatan-catatan sejarah yang memuat informasi negatif tentang mazhab Zahiriyyah), buku itu ditulis oleh Ahmad bin Ali bin Abdulkadir Abul Abbas al-Husain al-Ubaidi Taqiyuddin al-Makrizi (w. 845 H) ahli Sejarah dari Persia.

Kedudukan mazhab Zhahiri di dalam Sunni‎

Seringkali mazhab Zhahiri mendapat kritik dari mazhab-mazhab yang lain dalam pengambilan hukum yang mengharuskan mengambil makna literal dari setiap nash yang ada. Kritik keras kebanyakan datang dari ulama mazhab Maliki dan Syafi'i. Imam Abu Bakr Ibnul Arabi, yang ayahnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri menganggap beberapa kaidah hukum mazhab Zhahiri sebagai hal yang tidak dapat diterima. Imam Ibnu Abdil Barr yang awalnya adalah seorang pengikut mazhab Zahiri bahkan tidak memasukkan Dawud az-Zahiri dalam daftarnya mengenai para ahli fikih Sunni terbesar. Imam Nawawi ‎dikatakan menyalahkan metode mereka secara keseluruhan. Imam Adz-Dzahabi  ‎dan Ibnu ash-Shalah meski tidak setuju dengan metode Zhahiri namun mereka tetap membela legitimasi Zhahiri sebagai mazhab yang memiliki landasan ilmiah dalam menetapkan hukum sebagaimana mazhab-mazhab yang lain. Dari kalangan ulama mazhab Hanbali, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah ‎meski juga memiliki kritik terhadap mazhab Zhahiri, ia tetap membela legitimasi mazhab tersebut, dengan menyatakan sebuah retorika bahwa satu-satunya "dosa" mereka adalah "Mengikuti kitab Tuhan mereka dan meneladani Nabinya". Hubungan yang paling pelik adalah antara Zahiri dengan Sufi (Tasawuf), sepanjang sejarahnya, pengikut Zhahiri terus mengkritik dengan keras terhadap ajaran Tasawuf maupun para penganutnya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...