Senin, 25 Oktober 2021

Imam Ibnu Ma'in Sang Penulis Sejuta Hadits


Al-Imam Al-Hafidz ‎Yahya bin Ma'in atau Ibnu Ma'in (bahasa Arab: يحيى بن معين) adalah seorang imam ahlussunnah seorang pakar hadis (Muhaddits) dan ahli Ilmu rijal (analisis kritis terhadap para perawi hadis). Ia merupakan salah satu guru dari Imam Bukhari juga banyak pakar hadis lainnya. Dia juga merupakan Imam yang paling senior di antara ulama seangkatannya, semisal Imam Ali al-Madini, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawaih dan Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah.

Nama lengkap beliau adalah Yahya bin Ma`in bin `Aun bin Ziyad bin Bistham Al-Ghatfan Al-Baghdadi. Ayah beliau termasuk orang penting di negerinya, sehingga ketika ayahnya meninggal, beliau mendapatkan jatah warisan sebanyak satu juta dirham, dan beliau menggunakannya sebagai bekal mencari hadis. Beliau dilahirkan pada tahun 158 H, dimasa kekhilafahan Daulah Abbasiyah. Ayahnya merupakan orang penting di negerinya yang meninggalkan warisan sebanyak satu juta dirham, harta tersebut digunakannya sebagai bekal mencari hadis.‎ Kun-yahnya adalah Abu Zakariya namun lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Ma'in. Ia wafat pada bulan Dzulhijjah 233 H di Madinah, ketika sedang melaksanakan ibadah haji.
Semasa hidupnya ia banyak melakukan perjalanan mencari ilmu sehingga memiliki guru yang banyak dari berbagai negeri Islam. Di antara gurunya adalah Abdullah bin Mubarak, Sufyan bin Uyainah, Waqi', Abdurrahman bin Mahdi, d‎an banyak ulama lainnya dari negeri Irak, Hijaz, Al-Jazirah, Syam, dan Mesir.

Sementara, di antara murid seniornya adalah Imam Ahmad bin Hambal, Bukhari,Muslim, Abu Daud, Abu Zur'ah ar-Razi dan Abu Hatim ar-Razi, Ibrahim bin Abdillah Al-Junaid, Ahmad bin Ali Al-Marwazi, Ibrahim bin Ya’qub Al-Juzajani dan lainnya. Di antarakarya-tulisnya yang terkenal adalah At-Tarikh wa Al-Ilal dan Ma`rifah Ar-Rijal. Yahya bin Ma'in mengatakan, “Saya telah menulis dengan tanganku sebanyak satu juta hadis.”.‎
Kemahirannya Dalam Memahami Kesalahan Hadits
Diantara contoh yang menunjukkan kemahiran beliau dalam memahami kesalahan hadits adalah:

Abbas Ad-uri berkata, “Yahya bin Ma’in memberitahukan kepada kami bahwa ketika dia datang ke Mesir, ia menghadiri pengajian Nu’aim bin Hammad. Dalam kesempatan itu Abu Nu’aim membaca kitab karyanya, dia berkata, ‘Ibnul Mubarak memberikan hadits kepada kami dari Ibnu Aun sampai akhirnya menyebut beberapa hadits’.

Kemudian aku katakan kepadanya, ‘Hadits itu bukan dari Ibnul Mubarak’. Mendengar perkataanku ini, dia lalu marah dan berkata, ‘Kamu membantahku!’ Aku menjawab, “Demi Allah aku ingin membenarkan hadits yang kamu sampaikan.” Namun dia tetap tidak terima karena marah dan tidak ingin mengoreksi ulang.

Ketika aku melihat dia masih bersikukuh dengan apa yang telah dibaca, maka aku ulangi lagi perkataanku sehingga dia semakin marah, begitu pula jamaah yang hadir disitu pada memarahiku.

Akhirnya, dia berdiri masuk untuk mengambil lembaran-lembaran catatan haditsnya. Sambil tangannya memegangi lembaran itu, dia berkata, “Dimanakah orang-orang yang tadi mengatakan bahwa Yahya bin Ma’in bukan Amirul Mukminin dalam bidang hadits? Wahai abu Zakaria, kamu benar dan aku salah. Memang hadits tersebut bukan riwayat Ibnul Mubarak dari Ibnu aun.”

Dari Ibnu Ar-Rumi, dia berkata, “Ketika aku berada bersama Imam Ahmad, tiba-tiba seseorang datang dan bertanya kepada Imam Ahmad bin hambal, ‘Wahai Abu Abdillah, lihatlah hadits ini! Sesungguhnya hadits ini ada kesalahan’. Lalu Imam Ahmad menjawab, ‘Kamu harus ke tempat Abu Zakaria, sesungguhnya dia yang tahu tentang kesalahan hadits’.”

Abu Muqathil Sulaiman bin Abdillah berkata, “Aku pernah mendengar Ahmad bin Hambal berkata, ‘Di sini ada seseorang yang telah Allah ciptakan untuk memperjelas kebohongan orang yang suka berbohong. Orang itu adalah Yahya bin Ma’in’.”

Wafat Beliau

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari berkata, “Ibnu ma’in keluar dengan tergesa-gesa sambil makan, maka aku diberitahu oleh Abul Abbas Ahmad bin Syah bahwasanya dia bersama teman-temannya. Ketika rombongan datang, maka mereka memberikan hadiah –berupa makanan- yang belum matang kepada Yahya. Lalu kami berpesan kepada Yahya agar tidaka memakan makanan tersebut. akan tetapi, Yahya tidak menghiraukan pesan kami.

Belum lama dari memakan makanan tersebut, tiba-tiba dia merasa sakit perut, sehingga kami mempercepat jalan agar secepatnya sampai Madinah. Dia tidak bisa bangkit, akibatnya kami bergantian menjaganya. Sementara kami belum bisa sampai ke maqam Ibrahim ‘alaihis salam untuk menunaikan rukun haji. Sedangkan kami juga tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu meringankan sakit yahya.

Akhirnya, sebagian dari kami berniat membatalkan melaksanakan haji. Belum lagi tiba waktu subuh, dia berwasiat dan meninggal dunia. Lalu kami memandikan, mengkafani dan memakamkannya.”

Abu Hisan Ibnu Muhaib bin Sulaim Al-Bukhari berkata, “Aku mendengar Yusuf Al-Bukhari, ayah Abu Dzar berkata, ‘Aku adalah teman Yahya bin Ma’in ketika dalam perjalanan haji. Ketika kami masuk Madinah pada malam jum’at, dimana dia meninggal, di pagi harinya banyak orang mendengar berita kedatangan Yahya dan kematiannya.

Akibatnya, banyak orang kumpul sampai Bani Hasyim datang dan berkata,“Kita keluarkan di Al-A’wad tempat dimandikannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,“ Namun kebanyakan yang hadir kurang menyetujuinya.

Keadaan yang demikian itu akhirnya menjadikan suasana semakin gaduh. Lalu, orang-orang dari Bani Hasyim datang dan berkata, “Kedudukan kami dalam hal ini dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih mulia daripada kalian semua. Yahya berhak untuk dimandikan di sana.

Akhirnya Al-A’wad pun dikeluarkan, dan jasadnya dimandikan di sana. Dia di makamkan pada hari Jum’at bulan Dzulqa’dah tahun 233 H. Abu Hisan berkata, “Tahun Yahya meninggal itu adalah tahun kelahiranku.”

Ja’far bin Muhammad bin Kazal berkata, “Aku berada bersama Yahya bin Ma’in di Madinah. Waktu itu dia menderita sakit yang menyebabkannya meninggal. Dia meninggal di Madinah dan diusung di atas ranjang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan seseorang berbicara di depan iringan jenazahnya, “Ini adalah orang yang menolak orang-orang yang berberdusta atas Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”‎
Pengakuan para ulama tentangnya‎

Imam Ibnu Ma'in termasuk dalam jajaran ulama besar dalam bidang hadis, tidak hanya di antara ulama yang semasa dengannya namun juga bagi zaman setelahnya. Di antarapujian para ulama terhadap dia adalah:

An-Nasa'i mengatakan, “Abu Zakariya berstatus tsiqah dan amanah, serta termasuk salah satu pakar dalam hadis.”
Ali al-Madini mengatakan, “Saya tidak pernah melihat, sejak zaman Adam, ada orang yang menulis hadis yang lebih bagus daripada tulisan Yahya bin Ma`in.”
Yahya Al-Qaththan mengatakan, “Belum pernah ada orang yang mendatangi kami, seperti dua orang ini: Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma`in.”
Imam Ahmad mengatakan, “Yahya bin Ma`in adalah orang yang paling mengerti tentang ‘ilmu rijal‘.”
Ibnu Hajar al-Asqalani menyebut dia dengan “Imam Al-Jarh wa At-Ta'dil” (pemimpin dalam masalah jarh wa ta`dil).

Al Hafidz Adz Dzahabi dalam kitabnya Siyaru A'lam an Nubala, Jilid 11,Hal. 71 menuturkan tentang profil Imam Yahya bin Ma'in ;
هو الامام الحافظ، الجهبذ ،سيد الحفاظ ، وملك الحفاظ ،شيخ المحدثين ابو زكريا يحي بن معين بن عون بن زياد بن بسطام ، ولم يكن من العرب وانما والي بعض بني مرّ منهم فقيل له : المري ولاء ، البغدادي ولادة ومنشئا ،احد اعلام المحدثين الكبار. ولد في بغداد سنة ثمان وخمسين ومئة من الهجرة، ونشأ في بغداز وكتب العلم وهو ابن عشر سنين ، وكان ابوه معين من نبلاء الكتاب لعبد الله بن مالك علي خراج الري ، فخلّف له الف الف درهم ، فانفقها كلها علي تحصيل الحديث حتى لم يبق له نعل يلبسه. 
سمع الحديث من عبد الله بن المبارك ،وهشيم بن بشير ، واسماعيل بن عياش ، وسفيان بن عيينة ، وعبد الرزاق الصنعانى باليمن ، ووكيع بن الجرح ، ويحي بن سعيد القطان ، وعبد الرحمن بن مهد وخلق كثير سواهم ، بالعراق والشام والجزيرة ومصر والحجاز. 
وروي عنه الامام احمد بن حنبل ، والبخاري ، ومسلم، وابو داود ، وعباس الدوري البغدادي وهو رواية علمه ، وابو زرعة الرازي ، وابو حاتم الرازي ، وعثمان بن سعيد الدارمي ، وابو يعلى الموصلي ، وخلائق لا يخصون كثرة.

Beliau adalah imam yang cerdas, ahli hafal, berguru pada ahli hadist,  Abu Zakariya Yahya bin Ma'in ( Mu'in ) bin 'Aun bin Ziyad bin Bistham.  Beliau bukan dari keturunan Arab tapi pernah menjadi pemimpin bani Murr. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 158 H,dan dibesarkan disana. Beliau mulai menulis apa yang beliau dengar dari para ulama sejak usia 10 tahun. Ayahnya merupakan salah seorang penulis yang handal, yang bekerja pada Abdulloh bin Malik. Sewaktu ayah beliau meninggal, beliau ( Yahya bin Ma'in ) mendapatkan warisan 1 juta Dirham, dan beliau gunakan semuanya untuk menuntut ilmu hadist sampai tidak tersisa sedikitpun, dan bahkan sandal pun beliau tak punya. ‎

Beliau meriwayatkan hadist dari Abdulloh bin Al Mubarok, Husyaim bin Basyir, Isma'il bin 'Iyas, Sufyan bin Uyainah, Abdul Rozak Ash-Shon'ani di Yaman, Waki' bin Jarroh, Yahya bin Sa'id Al Qotthon, Abdurrohman bin Mahdi serta banyak lagi yang lainnya baik di Irak, Syam, Al Jazair, Mesir dan Hijaz. 
Yang meriwayatkan hadist dari beliau antara lain Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Al Bukhori,  Imam Muslim, Abu Dawud, Abbas ad Duriy, Al Baghdady, ( beliau adalah penerus dan penyambung ilmu Imam Yahya bin Ma'in ) Abu Zar'ah Ar Rozi, Utsman bin Said Ad Darimy, Abu Ya'la al Maushiliy dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Akan halnya kehebatan Imam Yahya bin Ma'in ini, di dalam kitab " Qimatuz Zaman ' Indal Ulama, Karya Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Hal. 35 menuturkan pernyataan Imam Ali bin Al-Madiniy yang mengatakan ;

انتهى علم الناس الي يحي بن معين

" Ilmu manusia telah habis oleh Yahya bin Ma'in "

Dan berkata Abdul Kholiq bin Manshur ;

قلت لعبد الله بن الرومي : سمعت بعض اصحاب الحديث يحدِّث باحاديث يحي بن معين، ويقول : حدثني من لم تطلع الشمس على اكبر منه , فقال ابن الرومي : وما تعجب ؟ سمعت علي بن المديني يقول : ما رايت في الناس مثله ، وما نعلم احدا من لدن آدم كتب من الحديث ما يحي بن معين. قال محمد بن نصر المروزي : سمعت يحي بن معين يقول : كتبت بيدي ألف ألف حديث (¹). قال الذهبي ; يعني بهذا العدد المكرر من الحديث الواحد ، الا تراه قال ; لو لم نكتب الحديث خمسين مرة ما عرفناه.

" Aku berkata kepada Abdulloh Ar Rumi, " Saya sering mendengar para perawi hadist ketika meriwayatkan hadist-hadist Yahya bin Ma'in, berkata " Telah meriwayatkan kepadaku orang yang dimana matahari tak akan pernah lagi memunculkan orang besar ( melebihi ) kebesaran Yahya bin Ma'in ".
Jangan heran, Ibnu Ar Rumi sendiri pernah mendengar Ali ibnu Al Madiniy mengatakan ;
" Saya belum pernah melihat orang seperti Yahya bin Ma'in, dan saya belum mendapatkan sejak Nabi Adam hingga saat ini orang yang menulis hadist sebanyak Yahya bin Ma'in ".

Muhammad bin Nasr Al Marwazi mendengar Yahya bin Ma'in berkata ;
" Saya telah menulis tidak kurang dari 1 juta hadist ". ( Para ahli hadist mengkatagorikan semua khobar atau kalimat dari ucapan Rosululloh SAW, ucapan sahabat, tabi'in dan tafsiran makna yang sulit ataupun redaksi yang kabur maknanya atau semisalnya, sebagai hadist. Apabila diriwayatkan dengan sanad, maka yang dimaksud dengan lafadz hadist diatas adalah dalam bentuk yang lain ).

Imam Syamsuddin Adz Dzahabi menjelaskan bahwa jumlah tersebut termasuk hadist-hadist yang terulang. Bukankan engkau pernah mendengar bahwa Yahya bin Ma'in berkata ;

لو لم نكتب الحديث خمسين مرة ما عرفناه

" Kalau saya belum menulis satu hadist sampai 50 kali, berarti saya belum mengetahuinya ".

Imam Ahmad bin Hanbal berkata ;

كل حديث لا يعرفه يحي بن معين فليس بحديث ، يحي بن معين رجل خلقه الله لهذا الشأن ، يظهر كذب الكذابين.

" Semua hadist yang tidak diketahui oleh Yahya bin Ma'in, berarti bukan hadist, beliau adalah orang yang diciptakan oleh Alloh hanya untuk tujuan membersihkan hadist dan menjaga keotentikan hadist dari kebohongan dan kepalsuan "

Oleh karena inilah Abu Hatim Ar Rozi sampai berkata ;

اذا رايت البغدادي يحب احمد بن حنبل فاعلم انه صاحب سنة، واذا رايته يبغض يحي بن معين فاعلم انه كذاب.

" Apabila engkau melihat penduduk Baghdad mencintai Ahmad bin Hanbal, maka ketahuilah bahwa dia pecinta sunnah. Dan apabila engkau melihat Ahmad bin Hanbal membenci Yahya bin Ma'in, maka ketahuilah bahwa dia seorang pendusta ".

As Sayyid Murtadho Az Zabidi dalam kitab Ithaf as Sadaat al Muttaqin bi Syarhil Ihya' Ulumiddin, Jilid 1,Hal 359, menuturkan ;

قال صالح بن احمد الحافظ ; سمعت ابا عبد الله محمد بن عبد الله قال ، سمعت ابي يقول : خلّف يحي بن معين من الكتب مئة قمطر ، واربعة عشر قمَطرا. واربعة حباب شرابية مملوءة كتبا.

" Sholih bin Ahmad Al Hafidz mendengar dari Abu Abdillah Muhammad bin Abdulloh bahwa dia mendengar ayahnya berkata ," Yahya bin Ma'in ketika wafat meninggalkan kitab karyanya sebanyak 114 rak dan 4 peti penuh ".

Benar-benar luar biasa produktifitas Ulama-ulama kita ini.

Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh


Pada kesempatan kali ini, kita akan sejenak mengenal sosok Ibnu Shalah, yang disebut-sebut sebagai perintis disiplin ilmu musthalah hadits sehingga menjadi disiplin ilmu yang mandiri, yang menyempurnakan kitab-kitab ilmu hadis terdahulu.

Nama Beliau

Ibnu Shalah bernama Taqiyyuddîn Abu ‘Amr Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa bin Abi Nashr An-Nashri al-Kurdi Asy-Syarakhani‎ al-Syahrazuri.  Pemilik kunyah Abu Amr ini dijuluki Taqiyuddin, ketakwaan dalam agama. Ia adalah seorang ulama bermazhab Syafi’i yang sangat terkenal di masanya.

Kelahiran Beliau

Ibnu Shalah dilahirkan lebih dari delapan abad yang lalu, tepatnya pada tahun 577 H, di wilayah kota Arbil, salah satu kota besar di negeri Irak bagian utara yang didominasi oleh suku Kurdi. Tepatnya di desa Shahrazur, daerah Sheikhan, Ibnu Shalah kecil dilahirkan.  Beliau lahir di tengah-tengah keluarga keturunan Kurdi yang bermazhab Syafi’i.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Guru pertama Ibnu Shalah adalah ayahnya sendiri, Abdurrahman, seorang ulama pakar disiplin ilmu fikih bermazhab Syafi’i. Dari ayahnya yang berjuluk Shalahuddin inilah, Ibnu Shalah kecil memulai langkahnya sebagai penuntut ilmu. Ayahnya yang memiliki kunyah Abul Qasim ini mendidik Ibnu Shalah dengan sangat baik sedari beliau masih kecil. Di masa kanak-kanaknya, Ibnu Shalah kecil telah menyerap berbagai macam pelajaran berupa prinsip-prinsip ilmu dasar, dari sang ayahanda. Dikisahkan bahwa Ibnu Shalah mengulang bacaan kitab Muhadzdzab di hadapan ayahnya sekian kali padahal kala itu kumisnya belum tumbuh.

Setelah menyadari bahwa anaknya tidak bisa belajar kepada banyak guru dan tidak mampu berkembang jika hanya menuntut ilmu di desa, maka sang ayah pun memutuskan untuk mengirim Ibnu Shalah kecil ke Mosul, ibu kota wilayah Niwana, yang dekat dengan sungai Tigris. Di Mosul inilah, Ibnu Shalah belajar berbagai disiplin ilmu agama yang lebih banyak lagi. Ia mempelajari ilmu tafsir, hadis, dan selainnya.

Dikisahkan bahwa semenjak itu Ibnu Shalah sering pindah ke berbagai kota di berbagai belahan dunia guna menghilangkan dahaganya terhadap ilmu agama yang begitu agung ini. Beliau pernah mengunjungi Bagdad, Damaskus, Nishapur, Haran, Hamadan, Mary di Turkmenistan, dan kota lainnya yang teramat jauh dari kampung halamannya. Ia berguru dengan sekian banyak ulama yang ia jumpai di penjuru dunia.

Diceritakan ketika Ibnu Shalah tiba di Damaskus, kota terbesar di Suriah, ia ber-mulazamah bersama Imam Iraqi. Bersama beliaulah, ia mendalami fikih mazhab Syafi’i. Ia menimba ilmu darinya dengan sangat tekun, sehingga Imam Iraqi pun tak jarang memuji beliau.

Ibnu Shalah tidak lupa untuk mengunjungi tanah suci dalam rangka menunaikan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji, sebelum dan sesudah ia kelak menetap di Damaskus. Sebagaimana biasanya, ia tidak menjadikan suatu perjalanannya melainkan untuk menambah khazanah ilmunya.

Ibnu Shalah terus menuntut ilmu dari berbagai ulama di berbagai belahan dunia, menyimak periwayatan banyak hadis, dan memperdalami beberapa cabang ilmu agama lainnya, hingga akhirnya Allah mendudukkannya di atas singgasana keilmuan yang sangat tinggi, sebuah kedudukan yang amat mulia.

Guru-Guru Beliau
Di Shahrazur: Abdurrahman bin Utsman, ayahnya sendiri, dll.
Di Mosul:
Ubaidillah bin as-Samin, termasuk guru pertama Ibnu Shalah
Nashr bin Salamah al-Hiti
Mahmud bin Ali al-Maushili
Abul Muzhaffar bin al-Barni
Abdulmuhsin bin ath-Thusi, dll
Di Bagdad:
Abu Ahmad bin Sukainah, ulama besar di tanah Bagdad
Abu Hafsh bin Thabarzadza, dll
Di tanah Persia:  
Abul Qasim Abdulkarim bin Abul Fadhl ar-Rafi’i, imam besar mazhab Syafi’i, dll
Di Hamadan: Abul Fadhl bin al-Mu’azzam, dll
Di Nishapur:
Abul Fath Manshur bin Abdulmun’im bin al-Furawi
Al-Muayyad bin Muhammad bin Ali ath-Thusi
Zainab binti Abul Qasim asy-Sya’riyyah
Al-Qasim bin Abu Sa’d ash-Shaffar
Muhammad bin al-Hasan ash-Sharram
Abul Ma’ali bin Nashir al-Anshari
Abu an-Najib Isma’il al-Qari, dll
Di Mary: Abul Muzhaffar bin as-Sam’ani, dll
Di Aleppo: Abu Muhammad bin al-Ustadz, dll
Di Damaskus:
Fakhruddin Ibnu Asakir, ulama besar mazhab Syafi’i
Muffaquddin Ibnu Qudamah, ulama besar di masanya
Al-Qadhi Abul Qasim Abdushshomad bin Muhammad bin al-Harastani
Di Haran: Al-Hafizh Abdulqadir ar-Ruhawi, dll
Dakwahnya

Setelah perjalanannya yang teramat panjang dalam rangka menempuh salah satu jalan surga, yaitu menuntut ilmu, Ibnu Shalah menetap di Yerusalem. Di sana, ia mengajar sebagai guru di madrasah Shalahiyyah, atau juga biasa disebut Nashiriyyah, yang didirikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Kemudian beliau kembali ke Damaskus ketika tembok kota Yerusalem diultimatum hendak diruntuhkan.

Di Damaskus, Ibnu Shalah mengajar di madrasah ar-Rahawiyyah. Beliau adalah pengajar pertama di madrasah yang dibangun oleh Ibnu Rahawah tersebut. Saat raja Asyraf mendirikan Darul Hadits al-Asyrafiyyah, ialah yang ditunjuk untuk mengurusi lembaga tersebut dan mengajar di sana. Lalu Ibnu Shalah meminta ayahnya pindah untuk mengajar di madrasah Assadiyyah, tepatnya di Aleppo, Suriah. Di sinilah kemudian ayahnya wafat, tepat pada bulan Zulkaidah, tahun 618 H. Ibnu Shalah juga pernah mengajar di madrasah Sittu asy-Syam Zamrad Khatun atau yang dinamakan pula asy-Syamiyyah al-Jawwaniyyah, atau asy-Syamiyyah ash-Shugra.

Di Damaskus inilah, Ibnu Shalah menjadi ulama yang sangat besar. Berbagai penuntut ilmu dari sekian negeri berbondong-bondong ingin duduk di majelisnya, mengambil saripati ilmu yang beliau sampaikan, dan menyerap ilmu hadis yang beliau ajarkan. Jika dahulu beliau adalah murid dari sekian banyak guru, kini beliau berevolusi menjadi guru dari sekian banyak murid. Ia sibuk berdakwah, mengajari murid-muridnya, menjadi mufti dan rujukan dalam berbagai permasalahan, serta menulis berbagai karya. Beliau menuai berbagai macam pujian dari para muridnya dan ulama yang semasa dengannya maupun setelahnya. Subhanallah, inilah buah dari ilmu, mengangkat derajat seseorang di dunia, sebelum kelak di surga.

Kepribadian Beliau

Ibnu Shalah adalah imam yang cerdas, tajam pemikirannya, bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan menuntut ilmu. Tak hanya itu, ilmu yang beliau memiliki berbuah manis sehingga beliau pun bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ilmunya, menegakkan ketaatan dan beribadah kepada Allah.

Beliau menguasai banyak disiplin ilmu agama, semisal tafsir, hadis, fikih, usul fikih, hadis, nama-nama perawi, bahasa, dan selainnya.

Jika kita menukil pujian-pujian berbagai ulama, maka kita akan dapati nukilan yang sangat banyak. Imam Dzahabi menggelari beliau dengan sebutan, “Ia adalah imam, hafizh, allamah, syaikhul Islam…”  Begitu pula sanjungan yang dilontarkan Ibnu Katsir, as-Subki, as-Suyuthi, dan selain mereka.

Ibnu Shalah disifati sebagai ulama yang wara’, menjaga diri dari hal-hal yang Allah haramkan, dan bersikap zuhud, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk urusan akhirat. Beliau pula digambarkan sebagai sosok yang berakidah lurus, meniti jejak salafus saleh.

Kitab Muqaddimah Ibnu Shalah

Titik awal sempurnya penyusunan ilmu hadis berasal dari kitab beliau, Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih populer dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah. Tak heran jika beliau dianggap pionir dalam penyusunan metodologi kritis hadis. Kitab ini disebut-sebut merupakan salah satu karya terbesar dalam bidang ilmu hadis, sekaligus muara kematangan penyusunan literatur bidang ilmu hadis. Ibnu Shalah mengajarkan kitab ini di Damaskus kepada murid-muridnya. Selain itu, kitab ini pula merupakan sumbangsih beliau terhadap fukaha yang hendak mempelajari ilmu hadis. Keistimewaan karya ini adalah banyaknya para ulama yang menjelaskan kitab ini di dalam karya-karya mereka dan ada pula yang meringkasnya.

Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya.
Secara metodologis juga materi pembahasan, karya-karya yang muncul belakangan tidak bisa melepaskan diri untuk selalu mengacu pada kitab ini. Popularitas kitab ini disebabkan karena ketercakupan bahasannya yang mampu mengapresiasi semua pembahasan ilmu Hadis. Bahkan keunggulan kitab ini telah menarik para ulama, khususnya yang datang sesudahnya, untuk memberikan komentar kitab tersebut. Tidak kurang dari 33 kitab telah membahas kitab Ibnu al-Shalah itu, baik berupa ikhtishar (ringkasan), syarh (ulasan), nazhm (puisi, syair), dan mu’radhah (perbandingan).
Dalam bentuk ulasan (syarh), muncul beberapa kitab yang sangat detail memberikan ulasannya.Misalnya:

1. Al-Taqyid wa al-Idhah lima Athlaqa wa Aghlaqa min Kitab Ibn al-Shalah karya al-Iraqi (w. 608 H),
2. Al-Ifshah an Nuqat Ibn al-Shalah karya al-Asqalani (w. 852 H), dan karya‎ Al-Badar Al-Zarkasyi (w. 794 H) yang belum diketahui judulnya.
Sedang dalam bentuk ringkasan (ikhtisar), antara lain memunculkan kitab:

Mahasin al-Ishthilah wa Tadlmin Kitab Ibn al-Shalah karya al-Bulqini. Kitab ini meski berupa ringkasan, namun banyak memberikan ulasan penting, catatan, dan beberapa penjelasan tambahan.
Al-Irsyad yang kemudian diringkas lagi oleh penulisnya sendiri, Imam al-Nawawi (w. 676 H), dengan judul Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa al-Nadzir. Anehnya, kitab yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab sebelumnya, kemudian diberikan syarh oleh al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab yang diberinya judul Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Al-Suyuti juga menulis kitab Al-Tadznib fi al-Zaid ala al-Taqrib yang menambal di sana-sini kekurangan kitab al-Nawawi.
Badr Al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah Al-Kannani (w. 733 H), misalnya, menulis kitab Al-Minhal al-Rawi fi al-Hadis al-Nabawi, yang kemudian diberikan syarh oleh Izz al-Din Muhammad bin Abi Bakar bin Jama’ah dengan judul Al-Manhaj Al-Sawi fi Syarh al-Minhal al-Rawi.
Abu al-Fida’ Imad al-Din Ismail bin Katsir (w. 774 H) juga tidak ketinggalan. Ia menulis ikhtisar terhadap karya Ibn al-Shalah itu ke dalam satu kitab yang diberinya judul Al-Ba’is al-Hasis.
Ala’ al-Din al-Mardini, Baha’ al-Din al-Andalusi, dan beberapa ulama lainnya.
Selain dalam bentuk syarh dan ikhtisar, karya Ibn al-Shalah ini juga mendorong para ulama untuk menuliskan bait-bait syair yang berisi kaidah-kaidah pokok ilmu Hadis sesuai yang tercantum dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Shalah. Upaya ini dikenal dengan nama nazham yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh al-Zain al-Iraqi Abd al-Rahim bin al-Husain (806 H). Bahkan ia menulis hingga seribu-an (alfiyah) bait-bait itu dalam Nazhm al-Durar fi Ilm al-Atsar yang lebih mashur dengan julukan Alfiyah al-Iraqi.
Entah mengapa al-Iraqi kemudian juga memberikan syarh terhadap bait-baitnya sendiri. Ada dua syarh yang ditulis oleh al-Iraqi. Syarh yang ringkas dan yang panjang lebar. Syarh yang ringkas diberinya judul Fath al-Mughis bi Syarh Alfiyah al-Hadis,sedang yang panjang belum diketahui judulnya.

Di samping itu, bait-bait yang diciptakan al-Iraqi itu juga memacu para ulama untuk memberikan syarh terhadap syair gubahan al-Iraqi itu. Ada banyak ahli Hadis yang menulis sebuah karya khusus mengomentari bait-bait itu, seakan tak henti-hentinya menguras energi ide para ulama.

Di antara sekian banyak karya itu, karya al-Sakhawi yang diberi judul sama dengan syarh yang ditulis al-Iraqi, Fath al-Mughis fi Syarh Alfiyah al-Hadis,merupakan karya yang paling cukup dikenal.
Mungkin melihat popularitas Alfiyah al-Iraqi yang sedimikian hebat, al-Suyuti—ulama yang dikenal rival ilmiah al-Sakhawi—lalu menulis kitab alfiyah tentang ilmu Hadis yang berisi beberapa tambahan penjelasan penting terhadap materi dalam Alfiyah al-Iraqi.

Al-Suyuti juga memberikan syarh sendiri terhadap bait-bait yang dibuatnya itu. Namun, syarh yang diberinya judul Al-Bahr al-Ladzi Zakhar fi Syarh Alfiyah al-Atsar, tak selesai ia rampungan secara keseluruhan.

Belakangan hari, karya itu dilengkapi oleh ulama Indonesia asli, Syekh Mahfuz al-Tirmasi. Ulama kelahiran Tremas, dekat Ngawi, menulis sebuah syarh yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nadhar fi Syarh Mandhumat Ilm al-Atsar, yang hingga kini masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi di TimurTengah.‎
Murid-Murid Beliau

Murid beliau dalam ilmu fikih:

Syamsuddin Ibnu Khallikhan, seorang hakim, pengarang kitab Wifayat Al-A’yan
Syamsuddin Ibnu Nuh al-Maqdisi, murid yang terkenal dalam fikih mazhab Syafi’i
Imam Kamaluddin Sallar, guru Imam Nawawi
Imam Kamaluddin Ishaq, juga murid dari Ibnu Asakir, dimakamkan di samping kuburan Ibnu Shalah
Al-Qadhi Taqiyyuddin Ibnu Razin, dll
Murid beliau dalam ilmu hadis:

Tajuddin Abdurrahman‎
Majduddin Ibnul Muhtar
Fakhruddin Umar al-Karaji
Al-Qadhi Syihabuddin Ibnu al-Khuwayyi
Al-Muhaddits Abdullah bin Yahya al-Jazairi
Al-Mufti Jamaluddin Muhammad bin Ahmad asy-Syarisyi
Al-Mufti Fakhruddin Abdurrahman bin Yusuf al-Ba’labaki
Nashiruddin Muhammad bin Arabsyah
Muhammad bin Abu adz-Dzikr
Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman asy-Syahruzuri an-Nasikh
Kamaluddin Ahmad bin Abul Fath asy-Syaibani
Asy-Syihab Muhammad bin Musyarrif
Ash-Shadr Muhammad bin Hasan al-Urmawi
Asy-Syaraf Muhammad bin Khathib Bait al-Abbar
Nashiruddin Muhammad bin al-Majd bin al-Muhtar
Al-Qadhi Ahmad bin Ali al-Jili
Asy-Syihab Ahmad bin al-Afif al-Hanafi, dll
Karya Beliau
Ahadits fi Fadhli al-Iskandariyyah wa Asqalan
Al-Ahadits al-Kuliyyah
Adab al-Mufti wa al-Mustafti
Al-Amali
Hadits ar-Rahmah
Hukmu Shalati al-Raghaib
Hilyah al-Imam asy-Syafi’i
Syarh Ma’rifah Ulum al-Hadits milik al-Hakim an-Naisaburi
Syarh al-Waraqat milik Imam al-Haramain fi Ushul al-Fiqh
Shilah an-Nasik fi Shifah al-Munasik
Shiyanah Shahih Muslim min al-Ikhlal wa al-Ghalath wa Himayatuhu min al-Isqath wa as-Saqth
Thabaqat Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah
Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadits, kitab inilah yang lebih populer dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah
Al-Fatawa
Fawaid ar-Rihlah
Mukhtashar fi Ahadits al-Ahkam
Musykil al-Wasith
Musykilat al-Bukhari
Al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf fi Asma’ ar-Rijal
An-Naktu ‘ala al-Muhadzdzab
Washlu Balaghah al-Muwaththa’‎
Waqfu Dar al-Hadits al-Asyrafiyyah
Wafatnya‎
Setiap yang berjiwa pasti akan mati. Itu adalah kepastian yang tak terbantahkan. Nabi, ulama, siapa pun akan meninggalkan dunia, tempat singgah yang sementara. Tanpa terkecuali Ibnu Shalah. Setelah berumur lebih dari 60 tahun, ia jatuh sakit. Ia kemudian wafat menjelang Subuh, pada hari Rabu, tanggal 25 bulan Rabiulakhir 643 H, di kota Damaskus, Suriah. Lalu disalatkan di masjid besar Damaskus selepas salat Zuhur. Semoga Allah merahmatinya.

Kisah Sapi Dan Srigala Yang Bisa Bicara Sebagai Pelajaran


Ini adalah berita dari orang yang jujur dan dipercaya, yang tidak berbicara dari hawa nafsu tentang sebuah perkara yang unik dikarenakan ia menyelisihi kebiasaan manusia.

Nabi kita menyampaikan tentang seekor sapi yang berbicara pada penunggang nya dan serigala yang berbicara kepada penggembala yang mengambil seekor domba darinya ketika ia hampir memangsanya.

Percaya kepada berita seperti ini adalah wajib, karena ia termasuk iman kepada yang ghaib di mana orang-orangnya dipuji oleh Allah. “Dan orang-orang yang beriman kepada yang ghaib.”(Al-Baqarah: 3). Dan yang dimaksud dengan perkara ghaib adalah perkara ghaib yang disampaikan oleh dalil sharih dari Allah dan rasul-Nya.

Namun sebenarnya Allah terkadang memberikan kemampuan kepada sebagian hewan untuk dapat berbicara, karena ada suatu hikmah di balik hal itu.

Ada sebuah kisah nyata terjadi di zaman kenabian, hewan dapat berbicara untuk menyadarkan kepada manusia tentang kebenaran seorang rasul yang diutus ketika itu, yaitu Rasul kita, Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-.

Kejadian dan kisah ini diceritakan diceritakan oleh seorang sahabat yang mulia, ‎Abu Sa’id  Al-Khudriy radhiyallahu anhu-,

عَدَا الذِّئْبُ عَلَى شَاةٍ ، فَأَخَذَهَا فَطَلَبَهُ الرَّاعِي ، فَانْتَزَعَهَا مِنْهُ ، فَأَقْعَى الذِّئْبُ عَلَى ذَنَبِهِ ، قَالَ : أَلاَ تَتَّقِي اللَّهَ ، تَنْزِعُ مِنِّي رِزْقًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيَّ ، فَقَالَ : يَا عَجَبِي ذِئْبٌ مُقْعٍ عَلَى ذَنَبِهِ ، يُكَلِّمُنِي كَلاَمَ الإِِنْسِ ، فَقَالَ الذِّئْبُ : أَلاَ أُخْبِرُكَ بِأَعْجَبَ مِنْ ذَلِكَ ؟ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَثْرِبَ يُخْبِرُ النَّاسَ بِأَنْبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ ، قَالَ : فَأَقْبَلَ الرَّاعِي يَسُوقُ غَنَمَهُ ، حَتَّى دَخَلَ الْمَدِينَةَ ، فَزَوَاهَا إِلَى زَاوِيَةٍ مِنْ زَوَايَاهَا ، ثُمَّ أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ ، فَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنُودِيَ الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ، ثُمَّ خَرَجَ ، فَقَالَ لِلرَّاعِي : أَخْبِرْهُمْ فَأَخْبَرَهُمْ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صَدَقَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُكَلِّمَ السِّبَاعُ الإِِنْسَ ، وَيُكَلِّمَ الرَّجُلَ عَذَبَةُ سَوْطِهِ ، وَشِرَاكُ نَعْلِهِ ، وَيُخْبِرَهُ فَخِذُهُ بِمَا أَحْدَثَ أَهْلُهُ بَعْدَهُ.
“Pernah ada seekor serigala menerkam seekor kambing. Serigala itu pun menangkapnya. Akhirnya, si pengembala mencarinya dan merampas kembali kambing itu dari sang serigala.

Serigala itu pun duduk di atas ekornya seraya berkata, “Tidakkah anda bertaqwa kepada Allah; engkau telah merampas dariku suatu rezki (pemberian) yang Allah bawakan kepadaku?”

Si pengembala berkata, “Oh, alangkah anehnya!! Ada serigala yang duduk di atas ekornya. Ia dapat berbicara kepadaku seperti manusia berbicara”.

Serigala berkata, “Tidakkah kamu mau aku akan kabarkan kepadamu tentang sesuatu yang lebih mengherankan daripada hal itu? Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- yang ada di Makkah mengabari manusia tentang berita-berita perkara yang telah berlalu?”

Dia (Abu Sa’id Al-Khudriy) berkata, “Kemudian si pengembala pergi menggiring kambingnya sampai ia memasuki kota Madinah. Ia pun mengumpulkan kambing-kambingnya di salah satu sudut diantara sudut-sudut kota Madinah.

Lalu ia mendatangi Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- seraya mengabarinya tentang kejadian itu. Karenanya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- memerintahkan (agar sholat ditegakkan); maka dikumadangkan sholat jama’ah. Kemudian beliau keluar (dari rumahnya menuju masjid) seraya berkata kepada si pengembala, “Kabarilah mereka (tentang kejadian itu)”. Lalu ia pun mengabarkannya.

Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

“Dia (si pengembala) ini telah benar. Demi Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, kiamat tak akan terjadi sampai hewan-hewan buas akan berbicara dengan manusia. Orang-orang akan diajak bicara oleh ujung cambuknya dan tali sandalnya. Pahanya akan mengabarinya tentang sesuatu dilakukan oleh keluarganya setelah (kepergian)nya”. 

[Ahmad dalam Al-Musnad (3/84) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok ala Ash-Shohihain (no. 8444), Abu Nu’aim Al-Ashbahaniy dalam Dala’il An-Nubuwwah (116 & 234) dan Al-Baihaqiy dalam Dala’il An-Nubuwwah (6/41-43) dan lainnya].‎‎

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ ذِئْبٌ إِلَى رَاعِى غَنَمٍ فَأَخَذَ مِنْهَا شَاةً فَطَلَبَهُ الرَّاعِى حَتَّى انْتَزَعَهَا مِنْهُ - قَالَ - فَصَعِدَ الذِّئْبُ عَلَى تَلٍّ فَأَقْعَى وَاسْتَذْفَرَ فَقَالَ عَمَدْتَ إِلَى رِزْقٍ رَزَقَنِيهِ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ انْتَزَعْتَهُ مِنِّى فَقَالَ الرَّجُلُ تَاللَّهِ إِنْ رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ ذِئْباً يَتَكَلَّمُ. قَالَ الذِّئْبُ أَعْجَبُ مِنْ هَذَا رَجُلٌ فِى النَّخَلاَتِ بَيْنَ الْحَرَّتَيْنِ يُخْبِرُكُمْ بِمَا مَضَى وَبِمَا هَوُ كَائِنٌ بَعْدَكُمْ وَكَانَ الرَّجُلُ يَهُودِيًّا فَجَاءَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْلَمَ وَخَبَّرَهُ فَصَدَّقَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّهَا أَمَارَةٌ مِنْ أَمَارَاتٍ بَيْنَ يَدَىِ السَّاعَةِ قَدْ أَوْشَكَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ فَلاَ يَرْجِعَ حَتَّى تُحَدِّثَهُ نَعْلاَهُ وَسَوْطُهُ مَا أَحْدَثَ أَهْلُهُ بَعْدَهُ ».
Dari Abu Hurairah RA, Ada seekor serigala datang kepada seorang gembala kambing. Kemudian serigala itu terus menerkam seekor kambing pengembala tersebut. Pengembala itu berusaha merebutnya dari serigala tersebut, hingga berhasil menyelamatkan kambing tersebut. Serigala itu segera ke bukit dan berkata ; Aku berhasil menerkam mangsaku yang diberikan oleh Allah. Patutkah engkau merampasnya dariku ?
Pengembala yang dalam kehairanan itu berkata ; "Demi Allah Aku tidak pernah melihat seekor serigala berbicara seperti yang kulihat pada hari ini". Serigala itu berkata : "Bahkan yang lebih hairan lagi adalah jika kamu tidak percaya pada seseorang yang berada di Madinah yang memberitahu kepada kamu tentang apa yang telah terjadi dan akan terjadi".
Pengembala itu adalah seorang Yahudi. Kemudian ia datang memberitahu kepada Rasulullah SAW kisah yang telah dialami dan terus memeluk Islam.
Nabi membenarkan apa yang diceritakan oleh si pengembala tersebut dan baginda berkata ; Itu adalah sebahagian drp tanda-tanda hari kiamat, kelak akan datang pula tanda-tanda yang lain, iaitu seseorang akan keluar dan apabila dia balik akan diberitahu oleh kasutnya atau cemetinya tentang apa yang telah terjadi kepada keluarganya sepenajang sepeninggalannya. (Musnad Ahmad bin Hanbal, Syarah Sunnah dan Jami` al-Kabiir Lis Syayuti)
Kisah ini berlaku di zaman Rasulullah SAW.  Kisah ini menceritakan bagaimana seekor serigala yang telah berbicara dengan seorang manusia. Sungguh ajaib. Bagaimana seorang Yahudi pengembala kambing mendapat hidayah Islam kerana seekor serigala. Menurut Abu Nuaim dalam kitab Dalail Nubuwah, kisah di atas berlaku kepada Uhban bin Aus. Ajaibnya, kisah ini turut membenarkan tanda-tanda hari kiamat seperti yang telah disebut oleh Rasulullah SAW iaitu apabila binatang buas berbicara dengan manusia.....
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW telah menceritakan kisah seekor serigala dan seekor lembu yang berbicara dengan manusia. Kisah ini terjadi di zaman umat terdahulu, Bani Israil...
Kisahnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim...
عن  أَبي سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « بَيْنَمَا رَاعٍ فِى غَنَمِهِ عَدَا عَلَيْهِ الذِّئْبُ ، فَأَخَذَ مِنْهَا شَاةً ، فَطَلَبَهُ الرَّاعِى ، فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ الذِّئْبُ فَقَالَ مَنْ لَهَا يَوْمَ السَّبُعِ ، يَوْمَ لَيْسَ لَهَا رَاعٍ غَيْرِى ، وَبَيْنَا رَجُلٌ يَسُوقُ بَقَرَةً قَدْ حَمَلَ عَلَيْهَا ، فَالْتَفَتَتْ إِلَيْهِ فَكَلَّمَتْهُ فَقَالَتْ إِنِّى لَمْ أُخْلَقْ لِهَذَا ، وَلَكِنِّى خُلِقْتُ لِلْحَرْثِ » . قَالَ النَّاسُ سُبْحَانَ اللَّهِ . قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « فَإِنِّى أُومِنُ بِذَلِكَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رضى الله عنهما »
Dari Abu Salmah bin Abdul Rahman bahawa Abu Hurairah RA berkata bahawa dia mendengar Rasulullah SAW berkata : Ketika seorang pengembala sedang mengembala kambingnya, tiba-tiba datang seekor serigala lalu menerkam kambingnya. Pengembala itu mengejarnya untuk menyelamatkan kambingnya. Lalu serigala itu berkata kepada pengembala tadi.. Kamu menyelamatkannya dari aku, siapakah yang dapat menyelamatkannya pada hari datangnya binatang buas, pada hari itu tiada pengembala kecuali aku. Dan seorang lelaki yang menuntun seekor lembu, kemudian dia menaikinya dan memukulnya. Lalu lembu tersebut berkata ; Kami tidak dijadikan untuk ini, Kami dijadikan untuk membajak. Lalu orang ramaipun berkata ; Subhanallah. Nabi bersabda ; Sessungguhnya aku beriman kepadanya, begitu juga Abu Bakar dan Umar al-Khattab RA.Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dalam lafaz yang berbeza.
Betapa peliknya kisah di atas, sehingga para sahabat mengucap Subhanallah ! Mereka menganggap kisah tersebut amat ajaib dan pelik... dua ekor binatang boleh berbicara dengan bahasa manusia !!! Belum pernah terjadi... apa yang dikhabarkan oleh al-Quran tentang kisah nabi Sulaiman dengan semut (ayat 18-19 surah al-Naml)... adalah berbeza.. nabi Sulaiman mendengar dan faham bahasa yang digunakan oleh semut... sedangkan semut berbicara sesama semut dengan bahasa binatang, bukannya dengan bahasa manusia.. begitu juga kisah nabi Sulaiman dengan burung hudhud (ayat 22-23 surah al-Naml) burung hudhud berbicara dengan nabi Sulaiman dengan bahasanya (bahasa binatang) dan nabi Sulaiman faham dan mengerti bahasa tersebut dan berbicara dengannya denagan bahasa binatang.
Begitulah kisah pelik dan ajaib yang berlaku, binatang boleh berbicara dengan manusia dan difahami, dengan menggunakan bahasa manusia... Apabila Allah SWT menghendakinya. tiada apa yang mustahil... Begitulah tanda-tanda kiamat yang telah terjadi....‎

Demikianlah halnya jika Allah menghendaki sesuatu pada makhluk-Nya; sesuatu yang tak dapat berbicara, dengan kehendak-Nya hewan bisu dapat berbicara layaknya manusia.

Tak heran bila di hari kiamat nanti, anggota badan kita akan ikut bersaksi dan berbicara tentang diri kita.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللَّهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ (19) حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (20) وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (21) وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ (22) وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ (23) [فصلت/19-23]

Dan (Ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan semuanya, sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan.  Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berbicara telah menjadikan kami pandai (pula) berbicara, dan Dia-lah yang menciptakan kalian pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kalian dikembalikan”. Kalian sekali-sekali tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu kepadamu, bahkan kalian mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kalian sangka kepada Tuhanmu. Dia telah membinasakan kalian. Karenanya,  jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi.(QS. Fushshilat : 19-23)
Manusia berbuat dosa dengan terang-terangan ketika di dunia, karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka!!

Ayat-ayat yang mulia ini dan juga hadits di atas menunjukkan bahwa sebagian makhluk yang layaknya tak mampu berbicara, namun ia kadang dapat berbicara seperti manusia yang berbicara dengan fasih. Ini merupakan sanggahan tegas dan gamblang bagi orang-orang kafir dan atheis yang menyatakan bahwa yang mampu berbicara hanyalah makhluk yang memiliki kecerdasan tinggi, karena akal yang ia miliki. Adapun hewan yang tak dapat berpikir, karena tak diberikan akal, maka ia tak dapat berbicara!!!

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubiy -rahimahullah- berkata dalam membantah golongan sesat ini,

“Di dalam hadits ini terdapat suatu dalil yang membantah kaum medis kafir dan munafiq atheis dan menunjukkan bahwa ucapan tidaklah berkaitan dengan rasa takut dan kelemahan akal. Sang Pencipta (Allah) yang maha hebat kemampuannya, Dia menciptakan kalam (ucapan) kapan saja yang Dia kehendaki, pada apa saja yang Dia kehendaki, baik itu berupa benda mati, maupun hewan berdasarkan sesuatu yang ditetapkan oleh Allah Yang Maha Pencipta lagi Pengasih. Dahulu bebatuan dan pepohonan memberikan salam kepada beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- seperti salamnya makhluk yang dapat berbicara. Hal itu telah nyata dalam beberapa hadits. Hal itu adalah pernyataan para ahli ushuluddin, baik dulu, maupun sekarang. Hal itu tsabit (benar) dengan adanya kesepakatan hadits tentang sapi dan serigala dan bahwa keduanya telah berbicara sebagaimana yang dikabarkan oleh beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam kitab Ash-Shohihain. Inilah yang dinyatakan oleh Ibnu Dihyah”. [Lihat At-Tadzkiroh fi Ahwal Al-Mautaa wa Umur Al-Akhiroh (2/305)]

Apa yang dinyatakan oleh Al-Imam Al-Qurthubiy adalah benar sekali. Hal ini dikuatkan oleh banyak hadits. Diantaranya Jassasah dan Dajjal yang masyhur.

Dari Fathimah bintu Qois -radhiyallahu anha-, ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلَّاهُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ فَلَعِبَ بِهِمْ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ ثُمَّ أَرْفَئُوا إِلَى جَزِيرَةٍ فِي الْبَحْرِ حَتَّى مَغْرِبِ الشَّمْسِ فَجَلَسُوا فِي أَقْرُبْ السَّفِينَةِ فَدَخَلُوا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْهُمْ دَابَّةٌ أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لَا يَدْرُونَ مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقَالُوا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا الْجَسَّاسَةُ قَالُوا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ أَيُّهَا الْقَوْمُ انْطَلِقُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ قَالَ لَمَّا سَمَّتْ لَنَا رَجُلًا فَرِقْنَا مِنْهَا أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً قَالَ فَانْطَلَقْنَا سِرَاعًا حَتَّى دَخَلْنَا الدَّيْرَ فَإِذَا فِيهِ أَعْظَمُ إِنْسَانٍ رَأَيْنَاهُ قَطُّ خَلْقًا وَأَشَدُّهُ وِثَاقًا مَجْمُوعَةٌ يَدَاهُ إِلَى عُنُقِهِ مَا بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى كَعْبَيْهِ بِالْحَدِيدِ قُلْنَا وَيْلَكَ مَا أَنْتَ قَالَ قَدْ قَدَرْتُمْ عَلَى خَبَرِي فَأَخْبِرُونِي مَا أَنْتُمْ قَالُوا نَحْنُ أُنَاسٌ مِنْ الْعَرَبِ رَكِبْنَا فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ فَصَادَفْنَا الْبَحْرَ حِينَ اغْتَلَمَ فَلَعِبَ بِنَا الْمَوْجُ شَهْرًا ثُمَّ أَرْفَأْنَا إِلَى جَزِيرَتِكَ هَذِهِ فَجَلَسْنَا فِي أَقْرُبِهَا فَدَخَلْنَا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْنَا دَابَّةٌ أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لَا يُدْرَى مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقُلْنَا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا الْجَسَّاسَةُ قُلْنَا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ اعْمِدُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ فَأَقْبَلْنَا إِلَيْكَ سِرَاعًا وَفَزِعْنَا مِنْهَا وَلَمْ نَأْمَنْ أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً فَقَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَخْلِ بَيْسَانَ قُلْنَا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ أَسْأَلُكُمْ عَنْ نَخْلِهَا هَلْ يُثْمِرُ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّهُ يُوشِكُ أَنْ لَا تُثْمِرَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ بُحَيْرَةِ الطَّبَرِيَّةِ قُلْنَا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِيهَا مَاءٌ قَالُوا هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ قَالَ أَمَا إِنَّ مَاءَهَا يُوشِكُ أَنْ يَذْهَبَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ عَيْنِ زُغَرَ قَالُوا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِي الْعَيْنِ مَاءٌ وَهَلْ يَزْرَعُ أَهْلُهَا بِمَاءِ الْعَيْنِ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ وَأَهْلُهَا يَزْرَعُونَ مِنْ مَائِهَا قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَبِيِّ الْأُمِّيِّينَ مَا فَعَلَ قَالُوا قَدْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ وَنَزَلَ يَثْرِبَ قَالَ أَقَاتَلَهُ الْعَرَبُ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ كَيْفَ صَنَعَ بِهِمْ فَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّهُ قَدْ ظَهَرَ عَلَى مَنْ يَلِيهِ مِنْ الْعَرَبِ وَأَطَاعُوهُ قَالَ لَهُمْ قَدْ كَانَ ذَلِكَ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّ ذَاكَ خَيْرٌ لَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ وَإِنِّي مُخْبِرُكُمْ عَنِّي إِنِّي أَنَا الْمَسِيحُ وَإِنِّي أُوشِكُ أَنْ يُؤْذَنَ لِي فِي الْخُرُوجِ فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِي الْأَرْضِ فَلَا أَدَعَ قَرْيَةً إِلَّا هَبَطْتُهَا فِي أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَيَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِي مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِي عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نَقْبٍ مِنْهَا مَلَائِكَةً يَحْرُسُونَهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَعَنَ بِمِخْصَرَتِهِ فِي الْمِنْبَرِ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ يَعْنِي الْمَدِينَةَ أَلَا هَلْ كُنْتُ حَدَّثْتُكُمْ ذَلِكَ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ
“Aku pernah sholat bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Aku berada di shaff wanita yang berada dekat dengan punggung kaum lelaki. Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menyelesaikan sholatnya, maka beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Kemudian beliau bersabda,“Hendaknya setiap orang melazimi tempatnya”, lalu bersabda lagi, “Tahukah kalian kenapa aku kumpulkan kalian?”
“Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”, kata mereka.

Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidaklah mengumpulkan kalian karena keinginan (dalam membagi ghonimah, –pent.) dan tidak pula karena takut (terhadap musuh, –pent.). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamim Ad-Dariy dahulu seorang yang beragama Nasrani. Kemudian ia datang berbai’at dan masuk Islam. Dia telah menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai dengan kisah yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masih Ad-Dajjal. Dia telah menceritakan kepadaku bahwa telah berlayar dalam sebuah perahu besar bersama 30 orang lelaki dari Suku Lakhm dan Judzam. Mereka dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan. Kemudian mereka berlabuh pada sebuah pulau di tengah lautan ketika terbenamnya matahari. Mereka pun duduk di perahu kecil, lalu memasuki pulau itu.

Mereka dijumpai oleh binatang yang lebat bulunya; mereka tak tahu mana depan dan belakangnya karena banyak bulunya. Mereka berkata (kepada binatang itu), “Celaka engkau, siapakah engkau?” Binatang itu menjawab, “Aku adalah Jassasah (tukang cari berita)”. Mereka bilang, “Apa itu Jassasah?” Binatang itu berkata, “Wahai kaum, pergilah engkau kepada laki-laki ini di dalam istana itu. Karena ia amat rindu dengan berita kalian”.

Dia (Tamim) berkata, “Tatkala ia (si binatang) menyebutkan seorang lelaki kepada kami, maka kami khawatir jangan sampai binatang itu adalah setan perempuan”. Tamim berkata, “Kami pun pergi dengan  cepat sampai kami memasuki istana tersebut. Tiba-tiba di dalamnya terdapat orang yang paling besar  kami  lihat dan paling kuat ikatannya dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu ke lehernya antara kedua lututnya sampai kedua mata kakinya dengan besi”. Kami katakan, “Celaka anda, siapakah anda?” Dia (Dajjal) menjawab, “Sungguh kalian telah tahu beritaku. Kabarkanlah kepadaku siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Arab. Kami telah berlayar dalam sebuah perahu besar. Kami pun mengarungi lautan saat berombak besar. Akhirnya, ombak mempermainkan kami selama sebulan. Kemudian kami berlabuh di pulau anda ini. Kami pun duduk-duduk di perahu kecil, lalu masuk pulau. Tiba-tiba kami dijumpai oleh binatang yang lebat bulunya; mereka tak tahu mana depan dan belakangnya karena banyak bulunya. kami berkata (kepada binatang itu), “Celaka engkau, siapakah engkau?” Binatang itu menjawab, “Aku adalah Jassasah (tukang cari berita)”. Kami bilang, “Apa itu Jassasah?” Binatang itu berkata, “Pergilah engkau kepada laki-laki ini di dalam istana. Karena ia amat rindu dengan berita kalian”. Lalu kami menghadap kepadamu dengan cepat, kami takut kepadanya dan tak merasa aman jika ia adalah setan perempuan”. Dia (Dajjal) berkata, “Kabarilah aku tentang pohon-pohon korma Baisan (nama tempat di Yordania, –pent.)!!”. Kami bertanya, “Engkau tanya tentang apanya?”. Dajjal berkata, “Aku tanyakan kepada kalian tentang pohon-pohon kurmanya, apakah masih berbuah?”. Kami jawab, “Ya”. Dajjal berkata, “Ingatlah bahwa hampir-hampir ia tak akan berbuah lagi”. Dajjal berkata, “Kabarilah aku tentang Danau Thobariyyah!!”. Kami katakan, “Apanya yang kau tanyakan?” Dajjal berkata, “Apakah di dalamnya masih ada air?” Mereka menjawab, “Danau itu masih banyak airnya”. Dajjal berkata, “Ingatlah, sesungguhnya airnya hampir-hampir akan habis”. Dajjal bertanya lagi, “Kabarilah aku tentang mata air Zughor!!” Mereka bertanya, “Apanya yang kau tanyakan?” Dajjal berkata, “Apakah di dalam mata air itu masih ada air? Apakah penduduknya masih menanam dengan memakai air dari mata air itu?” Kami jawab, “Ya, mata air itu masih banyak airnya dan penduduknya masih bercocok tanam dari airnya”. Dajjal berkata lagi, “Kabarilah aku tentang Nabinya orang-orang Ummi (ummi : buta huruf, yakni orang-orang Quraisy), apa yang ia lakukan? Mereka berkata, “Dia telah keluar dari Kota Makah dan bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah)”. Dajjal bertanya, “Apakah ia diperangi oleh orang-orang Arab?” Kami katakan, “Ya”. Dajjal bertanya, “Apa yang ia lakukan pada mereka?” Lalu mereka kabari Dajjal bahwa sungguh ia (Nabi itu, yakni Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) telah berkuasa atas orang-orang yang ada di sekitarnya dari kalangan Arab dan mereka menaatinya”. Dajjal berkata kepada mereka, “Apakah hal itu sudah terjadi?” Kami jawab, “Ya”.

Dajjal berkata, “Ingatlah bahwa hal itu lebih baik bagi mereka untuk menaatinya. Sekarang aku kabari kalian bahwa aku adalah Al-Masih (yakni, Al-Masih Ad-Dajjal). Sungguh aku hampir diberi izin untuk keluar. Aku akan keluar, lalu berjalan di bumi. Aku tak akan membiarkan suatu negeri, kecuali aku injak dalam waktu 40 malam, selain Makkah danThoibah (nama lain bagi kota Madinah, –pent.).Kedua kota ini diharamkan bagiku.

Setiap kali aku hendak memasuki salah satunya diantaranya, maka aku dihadang oleh seorang malaikat, di tangannya terdapat pedang terhunus yang akan menghalangiku darinya. Sesungguhnya pada setiap jalan-jalan masuk padanya ada malaikat-malaikat yang menjaganya”

Dia (Fathimah bintu Qois) berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda seraya menusuk-nusukkan tongkatnya pada mimbar, “Inilah Thoibah, Inilah Thoibah, Inilah Thoibah, yakni kotaMadinah. Ingatlah, apakah aku telah menceritakan hal itu kepada kalian?”

Orang-orang pun berkata, “Ya”.

[HR. Muslim dalam Kitab Asyroot As-Saa’ah, bab :Qishshoh Al-Jassasah (no. 2942), Abu Dawud dalam Kitab Al-Malaahim (4326), At-Tirmidziy dalam Kitab Al-Fitan (2253) dan Ibnu Majah Kitab Al-Fitan (4074)]

Hadits lain yang menunjukkan hal itu, sebuah hadits dari Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.

Karenanya, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

أَفَلَا تَتَّقِى اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَ اللهُ إِيَّاهَا
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan(1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1)].‎‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...