Senin, 25 Oktober 2021

Keilmuan Imam Sa'id Bin Musyayib Al-Madani


Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi al-Quraisy (bahasa Arab: سعيد بن المسيب بن حزن بن أبي وهب المخزومي القرشي, lahir 15 H/636, wafat 94 H/715 M; umur 79 tahun) adalah salah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih dari ‎Madinah. ‎Ia termasuk golongan tabi'in, dan merupakan salah seorang dari Tujuh Fuqaha Madinah. ‎Di antara ketujuh tokoh Madinah tersebut, Said sering dianggap sebagai yang paling berpengaruh.

Ayahnya Musayyib bin Hazn Al-Makhzumi dan kakeknya Hazn Al-Makhzumi adalah dua orang sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang berhijrah ke kota Madinah.

Kakeknya Hazn Al-Makhzumi gugur sebagai syahid dalam pasukan Khalid bin Walid Al-Makhzumi saat memerangi nabi palsu Musailamah Al-Kadzab dan pengikutnya di wilayah Yamamah pada tahun 12 H.

Beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib bin Hazn bin Abu Wahab bin Amru bin ‘Aidz bin Imran bin Makhzum al-Qurasy al-Makhzumi al-Madani, mendapat panggilan Abu Muhammad al-Madani dan beliau merupakan salah satu pembesar para tabi’in pada masanya, faham akan hadits, ilmu fikih, dan seorang yang zuhud, taat beribadah, dan sangan wara’ terhadap suatu hal. Beliau bertemu dengan banyak dari sahabat ‎Radhiyallahu ‘anhum  dan banyak mendengar hadits dari mereka, dan juga menemui para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam lalu mengambil hadits dari mereka, namun  beliau lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah ‎Radhiyallahu ‘anhu serta menjadi  menantu bagi Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Beliau dilahirkan dua tahun setelah berjalannya kekhilafahan Umar bin al-Khattab, Ibnu Abi Hatim berkata telah bercerita kepadaku Ali bin Hasan dari Ahmad bin Hanbal dari Sufyan dari Yahya, aku mendengar Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Aku dilahirkan dua tahun setelah berjalannya khilafah Umar.”

Sebelum wafat beliau mengalami sakit yang sangat keras, sebagai mana yang disebutkan oleh Abdurrahman bin Harmalah, “Aku menemui Sa’id bin al-Musayyib tatkala beliau sakit keras dan ternyata beliau sedang melaksanakan salat Dzuhur, aku mendengar beliau membaca surah asy-Syams.”

Setelah menjalani masa sakitnya, akhirnya beliau wafat pada tahun 94 Hijriyah di Madinah, tepatnya pada masa pemerintahan al-Walid bin Abdul Malik dari Bani Umayyah. Ini sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Hakim bin Abdullah bin Abi Farwah, “Aku melihat  Sa’id bin al-Musayyib pada hari wafatnya beliau yakni pada tahun 94, dan tahun diwaktu beliau wafat dinamakan dengan sannah al-fuqaha’ dikarenakan pada tahun itu banyak ahli fiqih yang meninggal dunia.

Adapun umur beliau ketika wafat adalah berumur 79 tahun lebih namun belum mencapai 80 tahun, Ibnu Hajar berpendapat apabila kelahirannya adalah pada tahun kedua setelah berjalannya pemerintahan Umar sedangkan hadits yang menerangkan tentang ini sanadnya adalah sahih, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur beliau dapat diperkirakan kurang dari 80 tahun.

Keilmuannya

Sa’id bin Musayyib adalah tokoh yang terkemuka di Madinah dan termasuk yang sangat dihormati dalam bidang fatwa. Ada yang mengatakan bahwa dia adalah imam para ulama’fiqih.

Qudamah bin Musa berkata, “Ibnu al-Musayyib mengeluarkan fatwa sedangkan para sahabat masih hidup”. Qatadah mengutarakan bahwa apabila al-Hasan mendapat suatu kesulitan maka ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib, dan Sa’id merupakan seorang yang sangat bersegera terhadap ilmu dan amal, serta kami mendapati pada beberapa keluarganya hadits-hadits beliau.”‎

Muhammad bin Yahya bin Habban berkata, “Adalah yang diutamakan fatwanya pada masa beliau adalah Sa’id bin al-Musayyib, dan dikatakan bahwa ia adalah yang paling faqih dari para fuqaha’ .“

Ja’far bin Burqan mengatakan bahwa Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendatangi Madinah, lalu aku bertanya kepada penduduknya tentang siapakah yang paling faqih di Madinah, lalu aku ditunjukkan kepada Sa’id bin al-Musayyib.”
Ma’n bin Isa dari Malik ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz tidak mau memberikan keputusan suatu hukum sedang ia menjabat sebagai khalifah, sampai ia bertanya kepada Sa’id bin al-Musayyib.”

Ibadahnya

Beliau adalah seorang yang rajin dan tidak pernah meninggalkan salat jamaah, Maimun bin Mihran berkata, “Aku mendapati bahwa Sa’id bin al-Musayyib selama empat puluh tahun tidak menghadiri masjid dan mendapati para jamaah telah selesai melaksanakan salat”, dengan kata lain bahwa Sa’id tidak pernah tertinggal salat berjamaah selama empat puluh tahun.

Manna’ al-Qattan menyebutkan bahwa  Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang yang tekun beribadah, ia berhaji sebanyak empat puluh kali, dan beliau sangat bersegera menuju masjid guna melaksanakan salat secara berjamaah.

Sa’id sendiri pernah berkata bahwa ia tidak pernah tertinggal dari takbir yang pertama selama lima puluh tahun, dan ia berkata, “Aku memuliakan ibadah dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan aku tidak menghinakannya dengan bermaksiat kepada Allah.”

Ibnu Hiban berkata, “Tidaklah dikumandangkan adzan selama empat puluh tahun kecuali Sa’id sudah berada di dalam masjid.”

Al-‘Attaf bin Khalid dari Abi Harmalah bahwa Ibnu Musayyib berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan salat berjamaah selama empat puluh tahun.”

Sufyan ats-Tsauri dari  Utsman bin Hakim aku mendengar Sa’id berkata, “Tidaklah muadzin mengumandangkan adzan selama tiga puluh tahun, kecuali aku sudah berada di masjid.” Sanad ini kuat.

Hammad bin Zaid dari Yazid bin Hazim berkata, “Sesungguhnya Sa’id senantiasa melakukan shaum.”

Dari Abdurrahman bin Harmalah ia berkata, “Aku mendengar Ibnu al-Musayyib mengatakan, ‘Aku telah berhaji sebanyak empat puluh kali.”‎

Said dikenal sangat tekun beribadah, telah melakukan haji lebih dari tiga puluh kali, dan selama empat puluh tahun tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di baris (shaf) pertama di masjid. ‎Imam Ahmad merawikan dari 'Imran al-Jauni bahwa "Sa'id bin al-Musayyib tidak pernah ketinggalan salat (berjamaah) dalam semua salatnya selama 40 tahun, dan tidak pula melihat tengkuk para jamaah (karena berada di shaf pertama), dan para jamaah juga tidak pernah mendapatinya keluar dari masjid (karena ia pulang paling terakhir)." Abu Sahal Utsman bin Hakim berkata, "Aku mendengar Sa'id bin al-Musayyib berkata, 'Sejak 30 tahun yang lalu, setiap kali mu'adzin mengumandangkan adzan, aku pasti sudah berada di masjid.'"‎

Said adalah orang yang paling hapal atas berbagai hukum dan keputusan yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, sehingga mendapat julukan ‎Rawiyatul Umar (periwayat Umar). ‎Hadits ‎mursal yang berasal dari Said bin al-Musayyib dianggap hasan oleh Imam Syafi'i. ‎Walau demikian, Imam Ahmad juga selainnya berkata, "Mursalat (kumpulan hadits mursal) yang diriwayatkannya adalah shahih kesemuanya."‎

Said bermata-pencaharian sebagai sebagai penjual minyak, dan ia tidak pernah mau menerima berbagai pemberian. Ia menikah dengan anak perempuan dari Abu Hurairah. Ia mempunyai seorang putri bernama Ribab, yang meskipun dilamar oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan bagi anaknya Al-Walid, namun dinikahkannya dengan muridnya Abdullah bin al-Wada'ah.
Untuk menjelaskan luasnya wawasan dan ilmu pengetahuannya, cukuplah dengan sebuah kisah tentang Ibnu Umar yang pernah bertanya kepada Said tentang satu keputusan yang telah dikeluarkan ayahnya Umar bin Al-Khathab karena Said adalah orang yang paling tahu tentang keputusan-keputusan yang telah diambil Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab dan Utsman bin Affan Ridhwanullah Alaihim Ajma’in.
Dia juga seorang perawi yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah sehingga Abu Hurairah pun menikahkan Said dengan puterinya.

Dia tidak pernah ketinggalan shalat berjamaah selama 40 atau 50 tahun, juga tidak pernah melihat punggung orang-orang yang sedang shalat karena dia selalu di barisan terdepan.

Dari Amr bin Dinar, dia berkata, “Ketika Zaid bin Tsabit meninggal dunia, Ibnu Abbas berkata, “Beginilah hilangnya ilmu pengetahuan.” Mendengar itu, Said berkata, “Begitu juga dengan meninggalnya Ibnu Abbas.” Mendengar itu, Ibnu Abbas mengatakan, “Begitu juga dengan meninggalnya Said bin Al-Musayyib.”

Dalam kitab, Ats-Tsiqat-nya, Ibnu Hibban mengatakan, “Dia termasuk pembesar tabi’in karena kefakihan, kewara’an, ibadah dan kemuliaannya. Dia merupakan ulama fikih paling terkenal di negeri Hijaz dan yang paling bisa diterima pendapatnya oleh khalayak umum. Selama 40 tahun, dia selalu menunggu datangnya panggilan adzan di masjid untuk melakukan shalat berjamaah.”‎

Disamping terkenal tegas dan tidak mudah tunduk pada kemauan para penguasa, dia adalah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan dengan sesama, apalagi dengan orang-orang yang saleh dan bertakwa.

Dia tidak mau keluar dari masjid jika hanya untuk memenuhi panggilan Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang ingin berbincang dengannya, begitu juga kepada puteranya, Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik. Bahkan, Said menolak lamaran Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk puteranya Al Walid, sehingga Said pun menerima hukuman dan siksaan. Dia menikahkan putrinya dengan salah satu muridnya yang bernama Ibnu Wada’ah dengan maskawin uang dua atau tiga dirham.

Selain itu dia juga menolak untuk membaiat (menyatakan ketaatan dan kesetiaannya) kepada kedua putera Abdul Malik yaitu Al-Walid dan Sulaiman bin Abdul Malik menjadi putera mahkota untuk menggantikannya kelak. Semoga Allah ta’ala memberikan rahmat yang luas kepadanya dan memberikan tempat di surga-Nya yang paling tinggi.

Guru-guru Beliau

Dikarenakan beliau adalah salah satu dari Kibarut tabi’in, maka tidak heran apabila beliau banyak berguru dengan pembesar-pembesar sahabat dan mendengarkan ilmu darinya, diantara guru-gurunya  adalah: Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Shafyan, Abu Darda’, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Musa al-Asy’ari, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Musayyib bin Hazn (bapaknya), Ubai bin Ka’ab, Anas bin Malik, Bilal, Zaid bin Tsabit, Sarakah bin Malik, Abi Tsa’labah al-Husni Radhiallahu ‘anhum,  dan masih banyak lagi. Disamping itu beliau juga berguru atau mengambil hadits kepada istri nabi, seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah ‎Radhiallahu ‘anhuma.
Murid-murid Beliau

Sedangkan untuk murid, beliau memiliki banyak sekali, dan di sini kami hanya akan menyebutkan sebagiannya saja. Diantaranya : Muhammad (anaknya), Salim bin Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Ibrahim, Dawud bin Abi Hind, Zaid bin Aslam, Shafwan bin Salim, Thariq bin Abdurrahman, Basir bin Muharrar, Idris bin Shahib al-Auda, Usamah bin Zaid al-Laisi, Ismail bin Umayah, Abdullah bin Muhammad bin Uqail, Abdullah bin Qayyis at-Tajibi, Shafwan bin Salim, dan masih banyak lagi murid-murid beliau yang tidak kami sebutkan di sini.

Suatu tahun, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan berhasrat untuk menunaikan haji ke Baitullah al-Haram dan berziarah ke Haramain yang mulia dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.‎‎

Sampailah bulan Dzulqa’dah, beliau berangkat menuju ke bumi Hijaz disertai tokoh-tokoh Bani Umayah, para gubernurnya, pejabat pemerintah, dan sebagian anaknya. Rombongan bertolak dari Damaskus ke Madinah al-Munawarah tanpa tergesa-gesa. Setiap kali singgah di suatu tempat atau wilayah, mereka beristirahat sambil mengadakan majelis ilmu dan saling memberikan peringatan agar bertambah pengetahuannya tentang agama dan mengisi jiwa dengan mutiara hikmah dan nasihat yang baik.

Sampailah rombongan tersebut di Madinah al-Munawarah, Amirul Mukminin menuju tempat suci untuk memberi salam kepada penghuninya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau melakukan shalat di Raadhah asy-Syarifah. Beliau merasakan kesejukan, ketenangan, dan ketentraman jiwa yang belum pernah beliau rasakan sebelumnya. Ingin rasanya beliau memperpanjang waktu kunjungannya di kota Rasulullah itu seandainya ada waktu luang.

Pemandangan yang paling mengesankan dan menarik perhatiannya di Madinah al-Munawarah itu adalah banyaknya halaqah ilmu yang memakmurkan masjid Nabawi. Di sana berkumpul para ulama besar dan tokoh-tokoh tabi’in bagaikan bintang-bintang bercahaya di ufuk langit. Ada halaqah Urwah bin Zubair, ada halaqah Sa’id bin Musayyab, dan ada halaqah Abdullah bin Utbah.

Suatu hari Amirul Mukminin terbangun dari tidur siangnya dengan tiba-tiba, tidak seperti biasanya. Lalu dipanggilnya penjaga, “Wahai Maisarah!” Maisarah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin.” Beliau berkata, “Pergilah ke Masjid Nabawi dan undanglah salah satu ulama yang berada di sana untuk memberikan peringatan kepada kita.”

Maisarah bersegera menuju Masjid. Dia melihat seluruh sudut-sudut masjid namun tidak melihat kecuali satu halaqah yang dipimpin oleh seorang syaikh yang telah tua. Usianya tampak sudah lebih dari 60 tahun, wajahnya kelihatan memancarkan kewibawaan seorang ulama. Orang-orang nampak menaruh hormat dan takjub kepadanya.

Maisarah menghampirinya hingga dekat dengan halaqah tersebut lalu menunjukkan jarinya kepada syaikh tersebut. Akan tetapi orang itu menghiraukannya, sehingga akhirnya Maisarah mendekat dan berkata, “Tidakkah Anda melihat bahwa saya menunjuk Anda?”

Sa’id: “Anda menunjuk saya?”

Maisarah: “Benar.”

Sa’id: “Apa keperluan Anda?”

Maisarah: “Amirul Mukminin terbangun dari tidur lalu berkata kepadaku. ‘Pergilah ke Masjid Nawabi dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari’.”

Sa’id: “Aku bukanlah orang yang beliau maksud.”

Maisarah: “Tetapi beliau menginginkan seseorang untuk diajak bicara.”

Sa’id: “Barangsiapa menghendaki sesuatu, seharusnya dialah yang datang. Di masjid ini ada ruangan yang luas jika dia menginginkan hal itu. Lagipula hadis lebih layak untuk didatangi, akan tetapi dia tidak mau mendatangi.”

Utusan itu kembali dan melapor kepada amirul mukminin, “Saya tidak menemukan kecuali seorang syaikh tua. Saya menunjuk kepadanya, tapi dia tak mau berdiri. Saya mendekatinya dan berkata, “Amirul Mukminin terbangun dan lihatlah kalau-kalau ada seseorang yang bisa menyampaikan hadis untukku, bawalah kemari.” Tetapi dia menjawab dengan tenang dan tegas, “Aku bukan yang dia maksud dan masjid ini cukup luas kalau dia menginginkan hadis.”

Abdul Malik menghela nafas panjang. Dia bangkit lalu masuk ke rumah sambil bergumam, “Pasti dia adalah Sa’id bin Musayyab. Kalau saja engkau tadi tidak menghampiri dan mengajaknya bicara…”

Ketika Abdul Malik telah meninggalkan majlis dan masuk kamar, putranya yang bungsu bertanya kepada kakaknya, “Siapakah orang yang berani menentang Amirul Mukminin dan menolak untuk menghadap itu, sedangkan dunia tunduk kepadanya dan raja-raja Romawi gentar oleh wibawanya?”

Maka berkatalah saudaranya yang paling besar, “Dia adalah orang yang putrinya pernah dipinang oleh ayah untuk saudara kita, al-Walid, tetapi dia menolak menikahkannya.”

Adiknya berkata heran, “Benarkah ia tidak mau menikahkan putrinya dengan al-Walid bin Abdul Malik? Apakah dia mendapatkan pasangan untuk putrinya yang lebih layak dari calon pengganti Amirul mukminin dan khalifah? Atau dia seperti orang-orang yang menghalangi putrinya untuk menikah dan tinggal menganggur di dalam rumah?”

Berkatalah sang kakak, “Sebenarnya aku tidak mengetahui berita tentang mereka.” Seorang dari pengasuh mereka, yang berasal dari Madinah berkata, “Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah itu.”

“Gadis itu telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada’ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat kami.  Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis seperti yang diceritakan Abu Wada’ah sendiri kepada saya.” Orang-oarng berkata, “Ceritakanlah kepada kami.”

SAID BIN MUSAYYAB MENIKAHKAN PUTRINYA DENGAN ABU WADA’AH

Diapun berkata, “Abu Wada’ah bercerita kepada saya, ‘Sebagaimana Anda ketahui, aku adalah seorang yang tekun hadir di Masjid Nawabi untuk menuntut ilmu. Aku paling sering menghadiri halaqah Sa’id bin Musayyab dan suka mendesak orang-orang dengan siku bila mereka saling berdesakan dalam majelis itu. Namun pernah berhari-hari saya tidak menghadiri majelis tersebut. Beliau menduga saya sedang sakit atau ada yang menghalangiku untuk hadir. Beliau bertanya kepada beberapa orang di sekitarnya namun tidak pula mendapat berita tentang diriku.

Beberapa hari kemudian aku menghadiri majelis beliau kembali. Beliau segera memberi salam lalu bertanya,

Sa’id: “Kemana saja engkau, wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Istriku meninggal sehingga aku sibuk mengurusnya.”

Sa’id: “Kalau saja engkau memberi tahu aku wahai Abu Wada’ah, tentulah aku akan takziyah, menghadiri jenazahnya dan membantu segala kesulitanmu.

Aku: “Jazakallahu khairan, semoga Allah membalas kebaikan Anda.”

Aku bermaksud pulang, namun beliau memintaku untuk menunggu sampai semua orang di majelis itu pulang, lalu beliau berkata,

Sa’id: “Apakah engkau saudah berfikir untuk menikah lagi wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Semoga Allah merahmati Anda, siapa gerangan yang mau menikahkan putrinya dengan aku, sedang aku hanyalah seorang pemuda yang lahir dalam keadaan yatim dan hidup dalam keadaan fakir. Harta yang kumiliki tak lebih dari dua atau tiga dirham saja.

Sa’id: “Aku akan menikahkan engkau dengan putriku.”

Aku: (terkejut dan terheran-heran) “Anda wahai Syaikh? Anda akan menikahkan putri Anda denganku padahal Anda telah mengetahui keadaanku seperti ini?”

Sa’id: “Ya, benar. Bila seseorang datang kepada kami dan kami suka kepada agama serta akhlaknya, maka akan kami nikahkan. Sedangkan engkau di mata kami termasuk orang yang kami sukai agama dan akhlaknya.

Lalu beliau menoleh kepada orang yang berdekatan dengan kami berdua, dan beliau memanggilnya. Begitu mereka datang dan berkumpul di sekeliling kami, beliau bertahmid dan bershalawat, lalu menikahkan aku dengan putrinya, maharnya uang dua dirham saja.

Aku berdiri dan tak mampu berkata-kata lantaran heran bercampur gembira, lalu akupun bergegas untuk pulang. Saat itu aku sedang shaum hingga aku lupa akan shaumku. Kukatakan pada diriku sendiri: “Celaka wahai Abu Wada’ah, apa yang telah kau perbuat atas dirimu? Kepada siapa engkau akan meminjam uang untuk keperluanmua? Kepada siapa engkau akan meminta uang itu?”

Aku sibuk memikirkan hal itu hingga Maghrib tiba. Setelah ku tunaikan kewajibanku, aku duduk untuk menyantap makanan berbuka berupa roti dan zaitun. Selagi saya mendapatkan satu atau dua suapan, mendadak terdengar olehku ketukan pintu. Aku bertanya dari dalam, “Siapa?” Dia menjawab, “Sa’id.”

Demi Allah, ketika itu terlintas di benakku setiap nama Sa’id yang kukenal kecuali Sa’id bin Musayyab, sebab selama 20 tahun beliau tidak pernah terlihat kecuali di tempat antara rumahnya sampai dengan Masjid Nabawi.

Aku membuka pintu, ternyata yang berdiri di depanku adalah Imam asy-Syaikh Ibnu Musayyab. Aku menduga bahwa beliau mungkin menyesal karena tergesa-gesa dalam menikahkan purtinya lalu datang untuk membicarakannya denganku. Oleh sebab itu aku segera berkata:

Aku, “Wahai Abu Muhammad, mengapa Anda tidak menyuruh seseorang untuk memanggilku agar aku menghadap Anda?”

Sa’id: “Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi.”

Aku: “Silakan masuk!”

Sa’id: “Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan.”

Aku: “Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda?”

Sa’id: “Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala sejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang.”

Aku: “Aduh, Anda sudah membawanya kemari?”

Sa’id: “Benar.”

Aku melihat ternyata istriku berdiri di belakangnya. Syaikh menoleh kepadanya lalu berkata, “Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan berkah-Nya!”

Pada saat istriku hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan aku hanya bisa terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, segera akan aku ambil piring berisi roti dan zaitun, kugeser ke belakang lampu agar dia tidak melihatnya.

Selanjutnya aku naik jendela atas rumah untuk memanggil para tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, “Ada apa wahai Abu Wada’ah?” Aku bertanya, “Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Sa’id bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini.”

Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, “Sadarkah engkau dengan apa yang engkau ucapkan? Mana mungkin Sa’id bin Musayyab menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan al-Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak.”

Aku katakan, “Benar, Engkau akan melihatnya di rumahku. Datanglah dan buktikan.”

Beberapa tetanggaku berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur istriku itu. Tak lama kemudian ibuku datang. Setelah melihat istriku, dia berpaling kepadaku seraya berkata, “Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat.”

Aku katakan, “Terserah ibu.”

Istriku dibawa oleh ibuku. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadaku. Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah, juga paham akan hak-hak suami.

Sejak saat itu dia tinggal bersamaku. Selama beberapa hari ayah maupun keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam. Setelah majelis sepi, tinggal kami berdua, beliau bertanya,

Sa’id: “Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wada’ah?”

Aku: “Dia dalam keadaan disukai oleh kawan dan dibenci oleh musuh.”

Sa’id: “Alhamdulillah.”

Sesudah kembali ke rumah, kudapati beliau telah mengirim banyak uang untuk membantu kehidupan kami…”

Mendengar kisah itu, putra-putra Abdul Malik berkomentar, “Sungguh mengherankan orang itu.” Orang yang bercerita itu berkata, “Apa yang mengherankan wahai tuan? Dia memang manusia yang menjadikan dunianya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhiratnya. Dia membeli untuk diri dan keluarganya, akhirat dengan dunianya. Demi Allah, bukan karena beliau bakhil terhadap putra Amirul Mukminin dan bukannya beliau memandang bahwa al-Walid tidak sebanding dengan putrinya itu. Hanya saja beliau khawatir putrinya akan terpengaruh oleh fitnah dunia ini.

Beliau pernah ditanya oleh seorang kawannya, “Mengapakah Anda menolak pinangan Amirul Mukminin lalu kau nikahkan putrimu dengan orang awam?” Syaikh yang teguh itu menjawab, “Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan keselamatan dirinya.”

Beliau ditanya, “Apa maksud Anda wahai Syaikh?”

Beliau berkata, “Bagaimana pandangan kalian bila misalnya dia pindah ke istana Bani Umayah lalu bergelimang di antara ranjang dan perabotnya? Para pembantu dan dayang mengelilingi di sisi kanan dan kirinya dan dia mendapati dirinya sebagai istri khalifah. Bagaimana kira-kira keteguhan agamanya nanti?”

Ketika itu ada seseorang dari Syam berkomentar, “Tampaknya kawan kalian itu benar-benar lain dari yang lain.” Lalu laki-laki itu berkata, “Sungguh aku mengatakan yang sebenarnya. Beliau suka shaum di siang hari dan shalat di malam hari. Sudah hampir 40 kali beliau melaksanakan haji dan tak pernah ketinggalan melakukan takbir pertama di masjid Nabawi sejak 40 tahun yang silam. Juga tak pernah melihat punggung orang dalam shalatnya selama itu, karena selalu menjaga shaf pertama.

Kendati ada peluang bagi beliau untuk memilih istri dari golongan Quraisy, tetapi beliau lebih mengutamakan putri Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu daripada wanita lain. Karena kedudukannya di sisi Rasulullah dan memiliki kekayaan mengenai riwayat hadis, yang beliau ingin juga mengambilnya. Sejak kecil beliau telah bernadzar untuk mencari ilmu.

Beliau mendatangi rumah istri-istri Rasulullah untuk memperolah ilmu dan berguru pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas. Beliau mendengar hadis dari Utsman, Ali, Suhaib dan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang lain. Beliau berakhlak dengan akhlak mereka dan berperilaku seperti mereka. Beliau selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari: “Tiada yang lebih menjadikan hamba berwibawa selain taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada yang lebih membuat hina seorang hamba dari bermaksiat kepada-Nya.”‎

Ibnu Syihab Az-Zuhri Imam Tabi'in


Beliau adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab  bin Abdullah  Ibn Harits Ibn Zahrah Ibn kilab Ibn Marrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib al-Quraisy Az-Zuhri, termasuk shighar at-tabi’in (tabi’in junior) lahir pada tahun 50 atau 51 H. Dia adalah seorang Imam yang luas ilmunya, al-Hafizh di zamannya, Abu Bakar  Al-Qurasy Az-Zuhri  al-Madani. Dia bertempat tinggal di Syam.‎

Biografi

Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab bin Abdullah   dilahirkan di tahun 58 Hijriah, di akhir kepemimpinan Muawiyah. Pada tahun itu juga terjadi kejadian wafatnya Aisyah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah SAW. Ibnu Syihab az-Zuhri tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam, reputasinya menyebar sehingga ia menjadi tempat berpaling bagi para ulama Hijaz dan Syam. Selama delapan tahun Ibnu Syihab az-Zuhri ia tinggal bersama Sa’id bin Al-Musayyab di sebua desa bernama Sya’bad di pinggir Syam. Disana pula ia wafat.

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah Syihab, sedangkan Az-Zuhri adalah nama panggilan yang disematkan oleh para ulama ahli hadits. Selain Az-Zuhri, dalam beberapa literatur beliau juga disebut dengan nama panggilan Abu Bakar Al-Madani.

Az-Zuhri tumbuh menjadi seorang remaja di sebuah kota kecil di antara hijaz dan syam, bernama Ailah. Dan menghabiskan waktu senjanya di Sya’bad hingga beliau wafat di tahun 124 Hijriah dan dimakamkan disana.
Beliau adalah seorang yang kaya lagi dermawan. Beliau memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Daulah Bani Umayyah. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan kepada beliau kecerdasan yang tinggi dan kekuatan hafal yang mengagumkan, dengan itu semua beliau mendapat kedudukan tinggi terutama dalam bidang ilmu hadis, dan kepada beliau bermuaralah ilmu hadis. Beliaulah orang pertama yang membukukan ilmu hadis atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Lebih dari 2200 hadits berhasil dihafal oleh Az-Zuhri, dan beberapa diantaranya tertulis dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih muslim. Beberapa ulama pun memujinya dengan pujian bahwa sanad hadits terkuat adalah yang berasal dari jalur Az-Zuhri dari Salim dari Bapaknya.‎

Abu Bakar al-Hudzali mengatakan, “Aku telah duduk bermajelis kepada Hasan al-Bashri dan Ibu Sirin, namun aku tidak melihat seorang pun yang semisal dengan Imam Az-Zuhri.”

Bila dibandingkan beliau, maka Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin jauh di atas beliau karena mereka adalah termasuk para tabi’in senior, tetapi ilmu adaah semata-mata anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniakan keutamaan dan rahmat-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Guru-guru beliau

Beliau banyak mengambil ilmu dari para tabi’in senior seperti kepada Sayyidut Tabi’in Sa’id bin Musayyib (Said bin Musayyab), Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad, Anas bin malik, Aban bin utsman bin affan, Ibrahim bin Abdurrahman bin auf, dan Nafi’ Mula Ibnu Umar.
Murid-murid beliau
Sementara itu, beberapa murid ternama beliau antara lain: Imam Malik bin Anas“Imam Daril Hijrah”, Al-Laits, Zaid bin Aslam,  Sufyan bin Uyainah, Umar bin Abdul Aziz, dan Muhammad bin Al-Munkadir.‎

Periwayat Hadits

Az-Zuhri meriwayatkan hadits bersumber dari Abdullah bin Umar, Abdullah bin Ja’far, Shal bin Sa’ad, Urwah bin az-Zubair, Atha’ bin Abi Rabah. Ia juga mempunyai riwayat riwayat yang berasal dari Ubadah bin as-Shamit, Abu Hurairah, Rafi’ bin Khudaij, dan beberapa lainnya.

Imam bukhari berpendapat bahwa sanad az-Zuhri yang paling shahih adalah az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya. Sedangkan Abu Bakar bin Abi Syaibah menyatakan bahwa sanadnya yang paling shahih adalah az-Zuhri, dari Ali bin Husain, dari bapaknya dari kakeknya (Ali bin Abi Thalib)”.

Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah wafat di Sya’bad pada tahun 123 H, ada yang mengatakan ia wafat tahun 125 H.
PUJIAN ULAMA KEPADA BELIAU

Amr bin Dinar mengatakan, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengetahui tentang hadis dibandingkan Ibnu Syihab (Imam Az-Zuhri).”

Ahmad bin Hambal berkata, “Az-Zuhri adalah manusia yang terbaik hadisnya dan terbagus jalan sanadnya.”

Al-Laits menyatakan, “Aku tidak melihat seorang alim pun yang lebih luas ilmunya dibandingkan Imam Az-Zuhri. Tatkala beliau berbicara tentang targhib (nasihat dan anjuran), engkau akan katakan: ‘Tidak ada yang terbaik kecuali beliau’, bila beliau berbicara tentang hari-hari Arab dan penyebutan nasab, engkau akan katakan: ‘Tidak ada penyebutan nasab, engkau akan katakan: ‘Tidak ada yang terbaik kecuali beliau’, dan bila beliau sedang berbicara tentang Alquran dan hadis, engkau pun akan mengatakan yang semisal.”

Imam Makhul pernah ditanya, “Siapa orang yang paling alim yang pernah engkau jumpai?” Ia menjawab, “Ibnu Syihab.” Lalu ditanyakan, “Siapa lagi?” Beliau menjawab, “Ibnu Syihab.” “Dan siapa lagi?” Beliau tetap menjawab, “Ibnu Syihab.”

FAKTOR PENDUKUNG KEUNGGULAN BELIAU

Tak ada seorang pun yang terlahir ke alam dunia ini dalam keadaan berilmu, telah hafal Alquran dan hadis, memiliki pemahaman yang benar dari pemahaman yang menyimpang; tentu tidak ada. Seluruhnya sama, namun yang membedakan adalah bekal yang cukup dan ketinggian semangat. Tentunya hal itu tidak terlepas dari rahmat dan fahdilah (keutamaan) dari AllahSubhanahu wa Ta’ala. Syaikhul Islam tidaklah beliau menjadi Syaikhul Islam kecuali setelah melakukan upaya yang tidak dilakukan oleh selainnya, demikian juga Az-Zuhri tidaklah beliau menjadi Imam Az-Zuhri melainkan karena beliau memiliki beberapa faktor pendukung yang tidak dimiliki oleh yang selainnya. Di antara sebab-sebab dan faktor pendukung beliau adalah:

1. Dalam Kekuatan Hafalan
Kekuatan hafalan beliau menjadi ayat yang nyataa kan keutamaan beliau.

Imam adz-Dzahabi berkata, “Di antara yang menunjukkan kekuatan hafalan Imam Az-Zuhri adalah beliau mampu hafal Alquran hanya dalam waktu 8 hari, sebagaimana hal itu diriwayatkan oleh putra saudara beliau, Muhammad bin Abdillah.”

Imam Az-Zuhri pernah mengatakan, “Aku tidak pernah melakukan persiapan dalam menyampaikan hadis, dan aku tidak pernah ragu tentang hafalanku kecuali satu hadis, lalu aku tanyakan kepada saudaraku, ternyata itu pun sama dengan yang aku hafal.”

Al-Laits berkata, “Ibnu Syihab pernah mengatakan, ‘Tidaklah sedikit pun sesuatu yang telah aku hafal lalu aku lupa setelahnya’.”
 2. Beliau menulis seluruh yang ia dengar
Dari Abdurrahman bin Abi Zinad dari ayahnya ia berkata, “Aku pernah berthawaf bersama Ibnu Syihab, dan ia membawa lembaran-lembaran dan buku tulis sampai kami menertawakannya.” Dalam riwayat lain, “Kami menulis perkara halal dan haram sedangkan Ibnu Syihab menulis semua yang ia dengar, ketika kami merasa butuh dengan beliau, barulah kami tahu bahwa beliau manusia yang paling mengetahui.”

3. Keuletan dalam menuntut ilmu dan mudzakarah
Beliau mengatakan, “Aku pernah mengikuti guruku Sa’id bin Musyayyib dalam rangka mencari hadis selama tiga hari.”

Beliau juga mengatakan, “Lututku selalu menempel pada lutut Sa’id bin Musayyib selama delapan tahun.”

Artinya, beliau selalu bermajelis menuntut ilmu kepada Sa’id bin Musayyib, dekat dengan beliau dan tidak melalaikan bahkan terkadang mereka pergi meninggalkan kampungnya karena untuk mencari sebuah hadis.

Selain kepada Sa’id bin Musayyib beliau juga menimba ilmu kepada Urwah bin Zubair. Suatu hari ia menemui budak wanita beliau, sedang ia tengah tertidur, lalu ia membangunkannya seraya mengatakan, “Fulan dari fulan dan dari fulan telah menceritakan hadis kepadaku…” Lalu budak wanita tersebut berkomentar, “Apa peduliku dengan itu semua.” Az-Zuhri menjawab, “Aku tahu engkau tidak akan mengerti dengan ini semua, hanya saja tiba-tiba aku teringat dengan satu hadis dan aku ingin mengulang-ulanginya.”

Beliau juga mengatakan, “Penyebab hilangnya ilmu itu karena lupa dan tidak diulang-ulang (muraja’ah).”
4. Memuliakan ilmu dan ahli ilmu
Imam Az-Zuhri pernah bercerita, “Aku pernah datang ke rumah Urwah bin Zubair, di depan pintu aku berhenti hingga akhirnya aku pergi dan tidak jadi masuk, seandainya aku pergi dan tidak jadi masuk, itu tidak aku lakukan yang demikian karena memuliakan beliau.”

Dari Sufyan ia mengatakan, “Aku mendengar Az-Zuhri mengatakan, ‘Si fulan telah menceritakan hadis kepadaku dan beliau adalah lautan ilmu’, tidak hanya sekadar mengatakan ‘beliau adalah seorang yang alim’.”

Beliau lakukan itu karena memuliakan ilmu dan ahli ilmu. Beliau sangat menghormati gurunya, memuliakannya, karena merekalah orang-orang yang banyak memberi manfaat dan kebaikan, dan demikianlah para salah mengajarkan kepada kita.

5. Mengambil sebab untuk membantu kuatnya hafalan
Imam Az-Zuhri pernah mengatakan, “Barangsiapa yang senang menghafal hadis hendaklah ia memakan kismis/anggur kering.” Al-Hakim mengomentari, “Karena kismis/anggur keringnya negeri Hijaz hangat, manis dan lembut, terlihat kering, dan dapat mencegah lendir.”

Al-Laits mengatakan, Imam Az-Zuhri sering meminum madu seperti minumnya seorang terhadap minumannya, beliau mengatakan, ‘Beri kami minum madu dan ceritakanlah hadis kepadaku.’ Dan beliau sangat sering minum madu, dan tidak makan apel sedikit pun.”

Beliau (Al-Laits) juga mengatakan, “Az-Zuhri pernah mengatakan, ‘Tidaklah sesuatu yang telah melekat di hatiku lalu lupa di kemudian hari.’ Beliau membenci makan apel, namun beliau senang meminum madu. Katanya, ‘Madu itu dapat mempertajam ingatan’.”

BEBERAPA PERKATAAN MUTIARA BELIAU

Beliau pernah mengatakan, “Perbanyaklah melakukan sesuatu yang tidak akan disentuh api neraka.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah itu?” Beliau menjawab, “Perbuatan baik.”

Beliau mengatakan, “Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu diibadahi dengan sesuatu yang lebih afdhal dibanding dengan ilmu.”

Beliau mengatakan, “Para ulama sebelum kita berkata, ‘Berpegang teguh dengan sunah adalah keselamatan, sedang ilmu dicabut dengan begitu cepatnya. Dengan kemuliaan ilmu tegaklah agama dan dunia, dan dengan hilangnya ilmu hilang pula agama dan dunia.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Imam Az-Zuhri, meridhainya, dan menempatkan beliau di tempat yang agung di sisi-Nya. Amin.

MUTIARA TELADAN

Sangat banyak sekali catatan penting dari perjalanan hidup beliau yang hendaknya menjadi qudwah (panutan) bagi kita, di antaranya:

1. Menulis adalah sebuah keharusan terutama bagi seorang penuntut ilmu syar’i karena mereka tidak akan lepas dari pena dan kertas. Tulisan akan memperkuat ingatan. Dengan tulisan akan terikat seluruh ilmu dan faidah yang telah ia dapatkan. Karena ilmu ibaratnya sebuah buruan, sedangkan tulisan adalah pengikatnya.

Imam Syafi’I pernah mengatakan,

“Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah pengikatnya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Merupakan kedunguan bila engkau telah berburu kijang. Lalu kau biarkan ia terlepas di hadapan manusia.”

2. Hendaklah setiap hamba berusaha dalam mencari sebab untuk sesuatu yang ia harapkan. Islam tidak pernah mengajari kita untuk berpangku tangan dan pasrah dengan takdir. Namun, berusahalah; dan masing-masing akan dimudahkan kepada jalannya. Bagi mereka yang menginginkan menjadi seorang yang alim, maka belajarlah, ikat semua ilmu yang telah didapatkan, dan sebanyak mungkin lakukan muraja’ah terhadap ilmu tersebut. Setelah itu, banyaklah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Dia menjadikannya termasuk ahli imu yang mengamalkan ilmunya.

3. Merupakan adab bagi penuntut ilmu adalah hendaknya dia memuliakan ilmu dan ahli ilmu karena ilmu yang sesungguhnya akan menjadikan kita untuk tawadhu (rendah hati). Adapun orang pertama yang akan dia hormati adalah orang-orang yang telah mengajarkan ilmu kepadanya. Ilmu tidak mengajarkan kepada kita agar menjadi semakin sombong dan merendahkan orang lain, tetapi justru semakin dia bertambah ilmunya, maka akan semakin tinggi tawadhu’-nya, sebagaimana padi –makin berisi makin menunduk.‎

Ibnu Hisyam Al-Himyari Sang Penulis Sirah


Pada masa sahabat, kajian Sirah Nabawiyah diambil dari riwayat-riwayat yang disampaikan secara turun-temurun tanpa ada yang berusaha menyusunnya dalam satu buku khusus, kendati sudah ada beberapa orang yang memperhatikan secara khusus Sirah Nabawiyah dengan rincian-rinciannya.

Baru pada periode berikutnya, yaitu periode tabi’in, beberapa tabi’in mencoba menyusun buku Sirah Nabawiyah. Di antara narna-nama tabi’in yang bisa dicatat dalam hal ini ialah Urwah bin Az-Zubair yang meninggal dunia pada tahun 93 H, Aban bin Utsman bin Affan yang meninggal dunia pada tahun 105 H, Wahb bin Munabbih yang meninggal dunia pada tahun 110 H, Syurahbil bin Sa’ad yang meninggal dunia pada tahun 123 H, Ibnu Syihab Az-Zuhri yang meninggal dunia pada tahun 124 H, dan Abdullah bin Abu Bakr bin Hazm yang meninggal dunia pada tahun 135 H.

Namun sangat disayangkan, Sirah Nabawiyah yang pernah mereka tulis itu lenyap, dan tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan Imam Ath-Thabari.

Kemudian muncullah generasi penulis Sirah Nabawiyah pada era berikutnya, seperti Ma’mar bin Rasyid yang meninggal dunia pada tahun 150 H, Muhammad bin Ishaq yang meninggal dunia pada tahun 151 H, dan Ziyad bin Abdullah Al-Bakkai yang meninggal pada tahun 183 H.

Kemudian disusul generasi penyusun Sirah Nabawiyah berikutnya seperti Al-Waqidi yang meninggal dunia pada tahun 207 H, Ibnu Hisyam yang meninggal dunia pada tahum 213 H, dan Muhammad bin Sa’ad penulis buku  Ath- Thabaqaat yang meninggal pada tahun 230 H.

Para ulama sepakat bahwa apa yang ditulis Muhammad bin Ishaq adalah data yang paling tepercaya tentang Sirah Nabawiyah; Tapi sangat disayangkan bahwa bukunya yang berjudul Al-Maghazi termasuk buku yang musnah pada masa itu.

Tetapi alhamdulillah, sesudah periode Muhammad bin Ishaq muncullah Abu Muhammad Abdul Malik yang terkenal dengan nama Ibnu Hisyam. la riwayatkan Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq dengan berbagai penyempurnaan setengah abad sesudah penyusunan Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Ishaq.

Jadi pada hakikatnya Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam adalah duplikat dari Al-Maghazi lbnu Ishaq dengan berbagai tambahan dan penyempurnaan oleh Ibnu Hisyam. Oleh karena itu, tidak usah heran jika membaca Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam ini banyak sekali menemukan kata-kata, “Ibnu Ishaq berkata ,… ” karena Ibnu Hisyam mengambil dari buku Ibnu Ishaq yang berjudul Al-Maghazi dan As-Siyar.

Ibnu Khalqan berkata, “Ibnu Hisyam adalah orang yang menghimpun Sirah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari buku Al-Maghazi dan buku As-Siyar karangan Ibnu Ishaq. Ibnu Hisyam menyempurnakan kedua buku tersebut dan meringkasnya. Buku itulah yang ada sekarang, dan yang lebih terkenal dengan nama Sirah Ibnu Hisyam.

Selanjutnya, muncullah buku-buku Sirah Nabawiyah lain; sebagiannya menyajikan Sirah Nabawiyah secara menyeluruh, dan sebagiannya memperhatikan segi-segi tertentu, seperti Al-Ashfahani dalam bukunya Dala’ilu An-Nubuwwah, At-Tirmidzi dalam bukunya Asy-Syamail, dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah dalam bukunya Zaad Al-Ma’ad.

Biografi Ibnu Hisyam

Untuk menambah wawasan kita tentang sosok Ibnu Hisyam, berikut ini kami paparkan data singkat Ibnu Hisyam:

Nama Ibnu Hisyam

Nama lengkap Ibnu Hisyam ialah Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al-Himyari Al-Muafiri Al-Basri.

Tempat  Kelahiran Ibnu Hisyam

Ibnu Hisyam dilahirkan di Basrah (tanggal kelahirannya tidak diketahui),dan mencari ilmu di sana. Ketika dewasa, ia pergi ke Mesir, dan menetap di sana.

Kepakaran Ibnu Hisyam

Ibnu Hisyam adalah ulama pengemban ilmu. Ia pakar tentang nasab, dan nahwu gramatika bahasa Arab). Ia mempunyai buku tentang nasab orang-orang Himyar dan raja-raja yang bernama At-wan. Buku tersebut ia riwayatkan dari Wahb bin Munabbih.

Wafatnya Ibnu Hisyam

Ibnu Hisyam meninggal dunia di Al-Fusthath Mesir pada tahun 213 H. Abu Sa’id Abdurrahman bin Ahmad bin Yunus berkata, “Ibnu I-Iisyam meninggal dunia pada tanggal 13 Rabiul Awal tahun 218 H (Mei 834 M).”‎

Ibnu Khalikan Sang Penulis Biografi


Ibnu Khalikan adalah seorang sejarawan Arab Muslim dari keluarga terhormat, keturunan Barmak (Baramikah). Nama lengkapnya adalah abu Abbas Syamsuddin ‎ Ahmad bin Muhammmad bin Ibrahim ‎bin Khalikan‎ al-Barmaki al- Irbili al-Syafi’i . Lahir pada hari kamis 11 Rabi’al-Tsani 608 H/23 September 1211M di Irbil, Irak dan wafat di Damaskus, Suriah 16 Rajab 681H/ 21 Oktober 1282M. Ayahnya bernama Shihabuddin Muhammad, ia adalah seorang guru di Madrasah al-Muzaffariyyah yang didirikan oleh Muzaffaruddin Gokburi (saudara ipar Sultan Saladin, Pendiri Dinasti Ayubiyah [1174-1252]. Ibunya bernama Umm Aminah seorang wanita yang hebat karena berhasil melahirkan tokoh sejarah terkemuka. Di usia dua tahun ayahnya telah meninggal dunia, sebagai pengganti ayah dan gurunya, ia dibimbing oleh Syarifuddin al-Irbili.

Ibnu Khalikan digambarkan sebagai orang shaleh, baik, dan terpalajar, ahli hukum, fiqh, sastra dan ilmu nahwu Perangainya menyenangkan, pembicaraannya serius dan penuh dengan petunjuk. Postur tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya bersahabat. Ibnu Khalikan merupakan seorang intelektual yang mempunyai pikiran yang tajam, peneliti yang cerdas, adil dalam segala masalah hukum, bersifat sosial. Dia juga menyenangi puisi, khususnya diwan karya Muntanabbi: (penyair berbahasa Arab 915 M-965 M). Oleh sebab itu, dia banyak berteman dengan budayawan dan sastrawan Mesir.

Dalam thabaqat-nya al-Subki al-Syafi’i menguraikan biografi Ibnu Khalikan secara panjang lebar yang semuanya berisi pujian. Demikian juga al-Suyuthi dalam Husn al-Muhadharah fi Akhbar Mishr wa al-Qahairah. Menurutnya, Ibnu Khilikan lahir sekitar tahun 600 H atau delapan tahun sebelum kelahirannya. Ia juga menegaskan bahwa al-Muayyid al-Thusi memberikan sertifikasi kepada Ibnu Khalikan, berguru pada Ibn Yunus; Ibn Syadad; berjumpa dengan para Ulama’ pada zaman itu, menetap di Mesir sekaligus menjadi qadhi> di sana dan akhirnya menjadi qadhi> di Syam. Ibnu Khaldun juga menegaskan bahwa Ibnu Khilikan adalah sosok yang kaya, cerdas, eksentrik, berwawasan luas dan banyak mengetahui sejarah para tokoh. 
Ketika usianya mencapai delapan belas tahun Ibnu Khilikan mulai menuntut ilmu di Mosul Aleppo, 626 H/1229 M ia dibimbing oleh Ulama’ terkenal semisal ‘Izz Ibn Athir ( ahli sejarah), Baha’ Ibn Syaddad (ahli sejarah, fiqh dan hadith) dan Ibnu Ya’isy. Ibnu Khilikan belajar berbagai macam ilmu di antaranya; ilmu hukum, fiqh, hadith, ilmu bahasa, nahwu dan syair . Selanjutnya ia meneruskan studinya di Damaskus di bawah bimbingan Ibnu al-Shalah (ahli fiqh, tafsir, dan hadith). Setelah itu, Ibnu Khilikan mengajar di Halaba, Damaskus Syiria hingga ia merantau ke Mesir pada tahun 636H/1239 M.
 
Kemudian di tahun 646 H/1249 M ia diangkat menjadi wakil (naib) Qadhi al-Qudhat Mesir pada usia 29 tahun . Pada waktu itu ketua pengadilan dijabat oleh Badruddin Yusuf bin Hasan al-Bukhari al-Sinja>ri> atau qadhi> Sinjar. Ibnu Khilikan menikah pada tahun 1252 M di Mesir. Karirnya di bidang hukum berlanjut di Damaskus, di sini ia dipercaya menjadi Qadhi al-Qudhat oleh Sultan Baybars (penguasa dinasti Mamluk) pada tahun 659 H/1261 M. Dalam kedudukannya sebagai qadhi al-Qudhat, ia juga membawahi seluruh pengadilan yang berada di wilayah Suriah. Selama menjabat sebagai ketua pengadilan ia menerapkan madhab Syafi’i. Hakim yang bermadhab Maliki, Hanafi dan Hambali menjadi wakilnya. Kemudian hakim tersebut atas perintah Baybars, pada tahun 664 H/1266 M dipromosikan menjadi ketua pengadilan.

Setelah kurang lebih 10 tahun menjalankan tugasnya di Damaskus, Ibnu Khilikan melepaskan semua jabatannya dan mengajar di Madrasah al-Fakhriyyah Kairo selama tujuh tahun. Kemudian ia ditunjuk lagi menjadi qadhi Syiria pada tahun 676 H/1277 M setelah Baybars meninggal dunia. Untuk kedua kalinya ia melepaskan jabatan tersebut pada tahun 680 H. Setahun kemudian Ibnu Khilikan wafat. Menjelang akhir hayatnya ia mengajar di Madrasah al-Aminiyah.

Ketika gubernur Damaskus, Sunqur al-Asyqar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun (sultan Dinasti Mamluk), Ibnu Khilikan dituduh mengeluarkan fatwa yang membenarkan pemberontakan tersebut, sehingga ia dipenjara. Setelah pasukan Sunqur dapat dikalahkan oleh Qalawun (Safar 679 H/1280 M) dan tentara Qalawun dapat memasuki kota Damaskus, Ibnu Khilikan dibebaskan atas perintah langsung dari Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun.

Peradilan di Masa Ibnu Khillikan
1. Kondisi Sosial Politik di Masa Ibnu Khillikan.
Ibnu Khillikan hidup pada masa Dinasti Mamluk yaitu sebuah Dinasti Arab terakhir pada abad pertengahan. Dinasti Mamluk sebagaimana namanya, merupakan dinasti para budak yang berasal dari berbagai suku dan bangsa dan menciptakan suatu tatanan oligarki militer di wilayah asing. Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi Suriah dan Mesir, yang sebelumya dikuasai oleh tentara salib. Selama beberapa waktu mereka berhasil menahan laju serangan tentara Mongol pimpinan Hulagu Khan dan Timurlenk. Berkat kegigihan mereka Mesir dapat bertahan dan tetap bisa menyaksikan kesinambungan budaya dan institusi politis mereka.  
Sekitar dua dan tiga perempat abad (1250-1517 M) dinasti Mamluk menguasai Mesir dan Suriah dan dapat memelihara keutuhan daerah ini, meskipun mereka terdiri dari berbagai ras yang berbeda-beda.
Fondasi kekuasaan Mamluk diletakkan oleh Syajar al-Durr, janda Malik al-Shalih (w. 1249 M) salah satu penguasa dari Dinasti Ayyubiyah. Ia adalah seorang budak dari Turki atau Armenia. Pada awalnya ia adalah seorang pengurus rumah tangga dan salah satu harem khalifah al-Musta’shim. Kemudian ia mengabdi pada Malik al-Shalih, ketika ia melahirkan seorang anak laki-laki, khalifah kemudian membebaskannya. Alasan pengangkatan Syanjar al-Durr sebagai sulthanah pertama di mesir adalah adanya persaingan dari kalangan kaum Mamluk itu sendiri. Sebenarnya terdapat beberapa orang yang yang sangat berambisi menduduki jabatan Sultan, seperti Aybak, Baybars dan Qutus. Disamping alasan tersebut, posisi Syanjar al-Durr adalah istri penguasa Dinasti Ayyubiyah.‎

Setelah menjabat sebagai Sulthanah selama kurang lebih delapan puluh hari, posisi Syanjar al-Durr atas kesepakatan para amir digantikan oleh panglima utama kerajaan (atabeg al-‘askar) ‘Izzuddin Aybak. Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, Aybak berusaha menghabiskan sisa-sisa legitimasi Ayyubiyah dengan memecat raja kecil al-Asyraf. Dan melakukan konsolidasi dari seluruh wilayah kekuasaannya, disamping itu dia juga menjaga wilayah perbatasan dari serangan musuh. ‎

Setelah pemerintahan Aybak berakhir (647-655 H/1250-1257 M). Dinasti Mamlukiyah diperintah oleh anak laki-laki Aybak, Sultan Nur al-Din Ali selama dua tahun (655-657H/1257-1259 M). Kemudian digantikan oleh Qutus yang berkuasa pada tahun 657-658 H/ 1259-1260 M). Prestasi terbesar yang diraih Qutus adalah kemenangannya melawan pasukan Tartar Hulagu yang dipimpin oleh Kitbugha dalam pertempuran di Ain Jalut pada tanggal 13 September tahun 1260 M. Dalam pertempuran ini Baybars memimpin barisan depan, dan menetpakan dirinya sebagai panglima perang meskipun demikian kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Qutus. Karena prestasi yang diraih Baybars menharapkan kota Aleppo sebagai hadiah, dan tanda pengakuan atas gerakan militernya. Namun Sultan tidak mengabulkan permintaan tersebut sehingga dalam perjalanan pulang melalui Suriah Qutus di bunuh oleh Baybars. Dengan meninggalnya Qutus jabatan Sultan di gantikan oleh Baybars. 
Baybars menjadi Mamluk agung yang pertama, penguasa dan pendiri sejati kekuasaan Mamluk. Kemenangan pertamanya ia dapatkan dalam peperangan melawan Mongol di Ain Jalut; tetapi puncak ketenarannya ia dapatkan berkat perjuangan gigihnya melawan Tentara salib. Perlawanan itulah yang menghancurkan inti pertahanan pasukan Franka, dan memungkinkan terwujudnya kemenangan terakhir yang diraih oleh oleh para penerusnya, yaitu Qalawun dan al-Asyraf. 
Kemajuan pesat yang dicapai oleh Baybars meliputi berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial , hukum maupun angkatan perang. Baybars berhasil mengorganisir angkatan perangnya, membangun kembali angkatan laut, dan memperkuat benteng Suriah. Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulago di Baghdad, berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya. Ia juga berhasil menggali sejumlah kanal, memperbaiki pelabuhan, serta menghubungkan Kairo dan Damaskus dengan layanan burung pos, yang hanya membutuhkan waktu empat hari. Baybar juga membangun sarana umum, mempercantik masjid, menetapkan pajak untuk negara, zakat dan sedekah. Di antara beberapa monumen arsitektur; yaitu masjid agung di Kairo dan Damaskus, dan sekolah yang menyandang namanya yang masih ada hingga sekarang. ‎

2. Sistem Peradilan di Masa Ibnu Khillikan‎

Sejarah mencatat pada masa akhir Daulah Abbasiyah, keadaan pemerintah telah mengalami kemunduran, demikian halnya dalam masalah peradilan tidak luput dari kerusakan. Hal-hal yang dipentingkan dalam peradilan, yaitu kecakapan hakim dan kebaikan budi pekertinya sudah tidak diperhatikan lagi (seorang hakim yang di angkat adalah mereka yang telah terpilih dan dipandang mempunyai kemampuan yang sempurna dalam ilmu hukum). Orang-orang yang diangkat untuk menjadi hakim, diharuskan membanyar sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap-tiap tahun.  
Dengan lemahnya pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur sempitnya daerah hukum yang menjadi wewenang hakim. Hingga kekuasaan kehakiman yang pada awalnya mempunyai kekuasaan yang penuh, pada masa ini hanya mempunyai kewenangan dalam wilayah ahwal al-Shahsiyah (hukum keluarga) saja .
Disamping itu hakim yang terpilih di ambil dari para hakim yang hanya bertaqlid pada suatu madhab. Pihak penguasa atau masyarakat setempat yang menentukan wewenang akan madhab yang dipakai dalam memutuskan suatu kasus. Di Iraq hakim memutuskan perkara dengan madhab Hanafi. Di Syam dan Maghribi, hakim memutuskan perkara dengan madhab Malik dan di Mesir, hakim memutuskan perkara dengan Madhab Syafi’i. 
  
Lain halnya dengan Dinasti Mamluk. Sistem peradilan pada masa Dinasti Mamluk mengalami kemajuan yang cukup berarti bagi sistem peradilan Islam. Baybars merupakan Sultan pertama di Mesir yang mengangkat empat orang hakim mewakili empat madhab yang berkembang pada wilayah kekuasaannya. Keempat hakim tersebut diketuai oleh seorang Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat). Adapun madhab yang dianut adalah madhab Syafi’i, hal ini dikarenakan mayoritas penduduk wilayah Mesir, Suriah dan Damaskus pada waktu itu menganut madhab Syafi’i. Inilah yang penulis sebut sebagai sebuah terobosan baru di bidang peradilan. Baybars mengangkat Ibnu Khillikan sebagai Qadhi al-Qudhat pada bulan Dhu al-Qa’dah tahun 659 H/1261 M menggantikan Najmuddin bin Shadruddin (615-679 H). Dalam kedudukannya sebagai Qadhi al-Qudhat, ia juga membawahi seluruh pengadilan yang berada di wilayah Suriah. Adapun hakim dari madhab lain adalah; Syamsuddin Abdullah bin Muhammad ‘Atha’ untuk madhab Hanafi, Zainuddin Abd Salam al-zawawi untuk madhab Maliki dan Syamsuddin Abd Rahman ibn al-Syaikh Abi Umar untuk madhab Hanbali.  ‎

Sebagai hakim agung Ibnu Khillikan berusaha seadil mungkin dalam memutuskan perkara. Kehati-hatian beliau dapat terlihat ketika menangani kasus penduduk yang bermadhab selain Syafi’i. Ibnu Khillikan memberi wewenang penuh kepada wakilnya untuk memutuskan perkara berdasarkan madhab yang dianutnya. Dalam memutuskan perkara sedapat mungkin diputuskan atas kesepakatan bersama. Hal ini yang dianut dalam sistem pengadilan kita yaitu dalam tiap perkara ada satu hakim yang menjabat sebagai ketua dan dua hakim sebagai wakilnya.
Setelah menjabat sebagai Qadhi al-Qudhat Ibnu Khillikan menghabiskan sebagian waktunya untuk belajar ilmu hukum, menjadi imam masjid, berdiskusi dengan ulama’-ulama’ setempat tentang masalah hukum, dan undang-undang, sehingga diperoleh manfaat dari diskusi tersebut.
Karena keadilan dan kepandaiannya dalam berbagai ilmu, Ibnu Khillikan dikenal oleh masyarakat luas, khususnya wilayah Damaskus, Mesir dan Suriah. Setelah menjabat hakim agung selama sepuluh tahun, Ibnu Khillikan di berhentikan oleh Sultan Baybars. Dijelaskan bahwa alasan diberhentikannya Ibnu Khillikan adalah adanya kekhawatiran salah satu menteri dan sahabat Baybars, yaitu Baha’uddin bin Hana. Baha’uddin menginginkan jabatan Ibnu Khillikan sebagai hakim agung. Maka berbagai cara ia gunakan untuk menyingkirkan Ibnu Khillikan sehingga ia berhasil termasuk mempengaruhi Sultan untuk memecatnya.  
Setelah Baha’uddin bin Hana menggantikan posisinya sebagai hakim, masyarakat merasa tidak puas dengan putusan-putusan yang diambil Baha’uddin, selain itu mereka juga tidak menyukai tingkah laku Baha’uddin yang telah menyingkirkan Ibnu Khillikan. Hampi tiap hari sahabat-sahabat Ibnu Khillikan mendatangi rumahnya untuk memberi dukungan supaya ia mau menjabat hakim lagi. Kemudian ia ditunjuk lagi menjadi qadhi Syiria pada tahun 676 H/1277 M setelah Baybars meninggal dunia.

Karya-Karya Ibnu Khilikan
a. Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman ( kematian orang terkenal dan sejarah para pelopor zaman)‎

Ibnu Khilikan mulai menulis karyanya yang paling penting Wafayat al-A’yan wa Anba’ Abna’ al-Zaman ( kematian orang terkenal dan sejarah para pelopor zaman) ketika menetap di Kairo tahun 654 H pada usia 46 tahun. Penulisan ini sempat terhenti ketika sampai pada artikel tentang Yahya bin Khalid bin Barmak. Hal ini dikarenakan beliau menjabat sebagai qadhi di Damaskus. Baru pada tanggal 12 Jumadi al-Akhir 672 H/4 Januari 1274 M, beliau melanjutkan kembali tulisannya yang sempat tertunda sekaligus merevisinya.‎

Sebelum muncul Ibnu Khilikan sejarah Islam sempat kehilangan kaya-karya penting tentang biografi para tokoh populer di bidang pemikiran dan karya ilmiyah. Dari sini Wafayat al-A’yan karya Ibnu Khilikan menjadi populer dan dianggap penting sebagai sumber primer catatan biografi dan sejarah sastra. Buku ini dibuat dengan cara mengumpulkan bahan dari berbagai sumber dan disusun berdasarkan urutan abjad. Penggunaan urutan huruf abjad dimaksudkan untuk mempermudah pembacanya. Contoh: Ibnu Khilikan menulis nama orang yang awal hurufnya hamzah kemudian huruf keduanya hamzah juga, selain itu ia juga lebih mendahulukan nama Ibrahim dari pada Ahmad, alasannya huruf ba’ lebih dekan dengan hamzah dari pada ha. Jika ada dua tokoh yang sama namanya, tetapi berbeda keahliannya, maka kedua-duanya ditulis karena menurutnya itu membawa maslahah .‎

Adapun sumber rujukan yang dijadikan dasar penulisan buku ini banyak sekali antara lain: 
1. ‘Izz Ibn Athir. Mukhtasar al-ansab au al-Lubab fi Tahdib al-Ansa
2. Bayasi. Al-I’lam bi al-Hurub al-Waqi’ah fi sadri al-Islam 
3. Azadi. Badai al-Bidayah
4. Ibnu Yunus. Tarikh misra
5. Ibnu Abi al-Tuya. Al-Tarikh al-Kubra
6. Ibnu Khatib al- Baghdadi. Tarikh Baghdadi. dst
Isi buku Wafayat al-A’yan membicarakan (800) tokoh terkemuka kalangan satrawan, penyair, politikus, penguasa dan fuqaha’ yang memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai bidang pemikiran. Tokoh yang dimasukkan, Khalikan tidak memasukkan biografi para sahabat Nabi SAW, generasi kedua Islam atau tabi’in dengan sedikit pengecualian, dan semua khalifah. Ini dilakukan karena menurutnya informasi tentang mereka mudah didapat dalam karya biografi dan sejarah lainnya.‎

Wafayat al-A’yan dimaksudkan sebagai ikhtisar sejarah dan merupakan sumber informasi, khususnya tentang peristiwa pada masanya atau hampir semasa dengannnya. Semasa hidupnya Ibnu Khilikan berusaha meningkatkan kualitas buku ini. Hal ini terlihat dari autobiografinya yang penuh dengan perbaikan dan catatan pinggir. Menurut Phillip K. Hitti kitab Wafayat al-A’yan adalah koleksi akurat dan penting yang menghimpun 685 biografi tokoh Islam terkemuka. Karya ini menjadi kamus biografi nasional pertama yang berbahasa Arab. Menurutnya Ibnu Khilikan telah bersusah payah menuliskan dengan baik ejaan nama-nama, menyajikan data yang akurat jejak-jejak genealogi, fakta-fakta aktual, menunjukkan karakteristik individu, menggambarkan beberapa peristiwa penting, seta diperkaya dengan puisi dan anekdot. Hasilnya karya ini merupakan biografi umum terbaik yang pernah ditulis. 
 
Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai ba hasa antara lain : ‎
1. Wustanfeld telah mempublikasikan buku ini di Gotenjen sekitar tahun 1835 dan 1843 M.
2. Mac Guckin de Slane menterjemahkannya ke bahasa Prancis dan Inggris lebih dari 2700 halaman (4 jilid) dan terbit di Paris dan Leiden sekitar tahun 1843-1871 M. dengan judul Ibn Khaallikans Biographical Dictionary. 
3. Muhammad Ibn Shakir (w. 1362 M) telah memplubikasikannya dalam edisi Mesir dan diterbitkan oleh Bulaq antara tahun 1275 H/1858 M dan 1299 H/ 1882 M.
4. Di Teheran Iran telah diterbitkan oleh percetakan Hajariyah pada tahun 1284 H/ 1867 M. 5. 
5. Lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki di Istambul pada tahun 1280 H/ 1863 M. 
6. Di Amsterdam lebih dari tiga belas biografi dari manuskrip diplubikasikan oleh Pijnappel pada tahun 1845 M
Kegunaan kitab ini adalah jelas nyata, menurut pendapat sarjana oriental Mr. Brockelmann- " Ini adalah salah satu bantuan yang paling utama kepada studi tentang sejarah berkaitan kesusasteraan dan biografis." Oleh karena itu, mempunyai suatu kepentingan yang besar bagi sipil dan sejarah Orang-Orang Islam berkaitan kesusasteraan. Dari penampilan yang pertamanya hingga sekarang reputasinya telah melanjut dan tidak berkurang. Buku ini juga sebagai materi pelengkap para siswa riset Islam seperti halnya para guru dan sejarawan. 

b. al- Tarikh al- Akbar fi Thabaqat al- ‘Ulama wa akhbarihim.
Selain Wafayat al-A’yan wa Anba’ al-Zaman Ibnu Khalikan juga memiliki karya lain yaitu al- Tarikh al- Akbar fi Thabaqat al- ‘Ulama wa akhbarihim. Namun kitab ini sepertinya bukan karya Ibnu Kalikan , tetapi milik Muhammad Baha’uddin, saudaranya yang menjadi qadhi di Ba’labak Libanon.  ‎

c. Karya-karya lain berupa catatan syair-syair yang merefleksi sosok utuh dirinya berikut kondisi sosial politik budaya yang melingkupinya pada saat itu.
 
Salah satu bukti tentang kemasyhuran Ibnu Khilikan, adalah ketika beliau menjabat kembali sebagai qadhi di Syiria, setelah tujuh tahun ditinggalkan dan digantikan oleh Ibnu al-Sha’igh. Kembalinya Ibnu Khilikan sebagai qadhi menjadi hari yang sangat populer. Saat itu koleganya dari kalangan penyair seperti Nuruddin bin Mush’ab dan Rasyiduddin al-Faruqi berdatangan memberi ucapan selamat dan berbagai pujian. Mereka menggambarkan bahwa kembalinya Ibnu Khalikan menjadi qadhi Syam ibarat hari-hari ketika Nabi Yusuf berkuasa di Mesir. Laksana tujuh tahun diliputi krisis berkepanjangan lalu tiba masa subur yang menggembirakan. Tampaknya ini merupakan kritik terhadap kepemimpinan Ibnu al-Sha’igh dan penghormatan terhadap Ibnu Khilikan.
  
Ibnu Khilikan juga memiliki kedekatan dengan beberapa anak penguasa, dan menulis syair yang indah tentang mereka. Diceritakan suatu ketika ketika salah satu dari mereka datang berkunjung ke rumah Ibnu Khilikan, ia menggelar sorbannya sebagai suatu penghormatan, akan tetapi ketika hal tersebut diketahui keluarganya, maka keluarganya melarang tamu tersebut menginjak sorban tersebut. Ibnu Khilikan sangat terpukul dan sangat sedih sehingga ia melantunkan syair yang isinya permohonan agar tidak dilarang bertemu dengan “pujaannya”. Al-Tabrizi mengatakan bahwa pujaan yang dimaksud adalah raja muda al-Mas’ud bin al-Zahir (penguasa Hamata Syiria). 
  
Tuduhan miring lainnya yang ditujukan kepada Ibnu Khilikan dilontarkan warga Damaskus yang menduga ia memalsukan sisilah pribadi, mengonsumsi mariyuana (hasyis), dan menyukai anak laki-laki. Menanggapi hal ini Ibnu Khilikan menolak tuduhan pertama dan kedua akan tetapi ia tidak merespon tuduhan ketiga. Meskipun demikian, hal- hal tersebut tidak mengurangi penghormatan kita terhadap kontribusi beliau di bidang sejarah.
  
Menurut Shalahuddin al-Safadi dalam al-Wafaya>t bi al-Wafaya>t, Ibnu Khalikan meninggal saat masih menjabat qadhi> wilayah Ba’labak Libanon tahun 683 H. Namun ia sama sekali tidak menerima atau meminta baik gaji ataupun tunjangan apapun selain untuk makan sehari-hari. Ibnu Khilikan wafat dalam keadaan miskin dan terlupakan, bahkan masih terlilit hutang yang dilunasi lewat hasil penjualan karya-karyanya. Beliau dimakamkan di sebelah makam seorang zahid bernama Abdullah al-Yunaini. ‎

Imam Ibnu Hisyam Al-Anshori


Nama lengkap beliau adalah Jamaludin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam Al-Anshari Al-Kazraji. Awalnya Beliau penganut Madzhab Syafi'i, tetapi kemudian pindah madzhab Hambali. Ibnu Hisyam lahir di Kairo pada tahun 708  Hijriyah dan wafat pada bulan Dzulqa'dah tahun 761 Hijriyah.

Beliau pernah mendengar Diwan Zuhair bin Abi Sulma dari Abu Hayan. Diantara puisi terkenalnya"

ومن يصطبر بالعلم يظفر بنيله                      ومن يخطب الحسناء يصبرعلى البذل
ومن لم يذلّ النّفس فى طلب العلم                       يسيرا يعش دهراطويلاأخا ذل
     
Siapa yang bersabar dalam mencari ilmu, maka ia akan memperoleh apa yang dicitakan. Siapa yang meminang perempuan cantik, maka bersabarlah atas pemberian.
Siapa yang tidak merendahkan hati sebentar saja dalam mencari kemuliaan, maka ia hidup dalam waktu lama bersama teman kehinaan.

Diantara kitabnya yang terkenal adalah Mughni Al-Labib; Awdhah Al-Masalik 'ala Alfiyah Ibnu Malik; dan Qathr An-Nada'.

Sifat dan Keilmuannya

Ibnu Hisyam menonjol dengan dikaruniai kecerdasan yang luar biasa dan hafalan yang kuat. Beliau sanggup melampaui kawan-kawannya pada banyak ilmu, seperti nahwu, fiqh, adab, tafsir dan lughat, bahkan beliau melampaui para syaikh pada masanya itu. Beliau menghafal Mukhtashar al-Kharaqi dalam tempo kurang dari 4 bulan.

Adapun dalam aspek ilmu bahasa Arab, Ibnu Hisyam adalah seorang sastrawan, hanya saja beliau banyak berbeda dengan Abu Hayyan, salah seorang ahli nahwu pada masanya.

Dalam segi akhlaq, beliau dikenal tawadhu’, berbakti, penyayang, santun dan halus budi bahasanya, menjaga diri, bagus perjalanan hidupnya, istiqamah dan sabar dalam menuntut ilmu.

Para Guru dan Muridnya

Ibnu Hisyam belajar kepada para ulama pada masanya dalam ilmu bahasa Arab, fiqh, hadits, tafsir dan qiraat. Diantara guru-gurunya adalah:
1.    Syaikh Syihabuddin Abdul Lathif bin al-Murahhal, kunyahnya adalah Abu Faraj (Ibnu Hisyam melaziminya dalam ilmu nahwu).
2.    Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Numair, yang dikenal dengan Ibnu as-Siraj (Ibnu Hisyam belajar ilmu qiraah darinya).
3.    Syaikh Tajuddin Ali bin Abdullah at-Tibrizi.
4.    Syaikh Tajuddin Umar bin Ali al-Fakihani. (Ibnu Hisyam mempelajari syarah al-Isyarah darinya, satu kitab yang membahas ilmu nahwu).
5.    Imam Ibnu Jama’ah, salah seorang ahli hadits pada masanya. (Ibnu Hisyam belajar ilmu hadits darinya).
6.    Imam Abu Hayyan an-Nahwi, seorang ahli nahwu yang unggul pada masanya.

Adapun murid-murid Ibnu Hisyam diantaranya adalah:
1.    Muhibbuddin Muhammad, putra Ibnu Hisyam.
2.    Syaikh Jamaluddin Ibrahim bin Muhammad al-Lakhami.
3.    Sirajudin Umar bin Ali.
4.    Ibrahim bin Muhammad an-Nahwi.

Ibnu Hisyam memiliki banyak murid, hanya saja kebanyakan dari mereka tidak dikenal dalam sejarah.

Madzhab Ibnu Hisyam

Ibnu Hisyam adalah seorang yang alim dan wara’. Beliau tidak tercela aqidahnya, agamanya dan suluknya. Dahulu beliau bermadzhab Syafi’i, kemudian beralih ke madzhab Hanbali. Ada yang berpendapat lain, seperti Syaikh Yusuf bin Taghri Bardi: “Ibnu Hisyam pada awalnya seorang Hanafi, kemudian beralih menjadi Hanbali.”‎

Statement Para Ulama Tentang Ibnu Hisyam

Imam as-Subki berkata: “Ibnu Hisyam adalah ahli nahwu zamannya.” Sedangkan Syaikh ad-Damamini berkata kepada putra Ibnu Hisyam: “Andai saja Imam Sibawaih masih hidup, pastilah ia akan berguru kepada ayahmu dan membaca kepadanya.”

Ibnu Khaldun berkata: “Kami di Negeri Maroko, senantiasa mendengar kabar bahwa di Mesir ada seseorang bernama Ibnu Hisyam yang alim dalam ilmu bahasa Arab, yang lebih pakar dalam bidang nahwu melebihi Imam Sibawaih.”

Metodologinya dalam Bidang Nahwu

Para pakar yang meneliti kitab-kitab karya Ibnu Hisyam mendapati bahwa manhaj/metodologinya dalam ilmu nahwu dibangun atas asas-asas berikut:

1.    Menjadikan al-Quran sebagai sumber pertama serta asas dalam membangun kaidah nahwu, dan mentashih uslub-uslub bahasa Arab.

2.    Bersandar pada sebagian qiraat untuk membangun sebagian kaidah nahwu.

3.    Berdalil dengan hadits-hadits Nabi Saw. yang mulia.

4.    Berdalil dengan syair-syair Arab. Catatan: di kalangan spesialis nahwu ada beberapa syair  yang tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun Ibnu Hisyam terkadang membawakan beberapa syair semacam ini untuk menjelaskan kekeliruan struktur kebahasaan dalam syair tersebut.
5.    Beliau tidak terikat dengan madzhab nahwu tertentu. Dalam bidang nahwu dikenal madzhab besar; Bashrah dan Kuffah, serta ada beberapa madzhab lainnya. Secara umum beliau banyak bersandar pada madzhab Bashrah, hanya saja beliau juga mengambil madzhab Kuffah, atau bahkan madzhab-madzhab lainnya manakala beliau memandang dalil-dalil mereka lebih kuat dari dalil-dalil ulama-ulama madzhab Bashrah.

Kitab-kitab Ibnu Hisyam 

Beliau menulis sekitar 50-an kitab. Sebagian hanya dikenal namanya karena hilang dalam proses peradaban sehingga tidak sampai ke tangan kita, sebagiannya lagi masih eksis dan sudah diterbitkan. Karya-karya beliau adalah : 

1) Syuzur z-Zahab fi Ma’rifah Kalam al-‘Arab, sebuah risalah lebih panjang tentang ilmu nahwu. 
2) Kitab Syarh tentang risalah tersebut, dicetak di Bulaq tahun 1282 H dan Cairo pada tahun 1253 H dan 1305 H; 
3) Qatr an-Nada wa Ball as-Sada, sebuah risalah pendek tentang ilmu nahwu, diterbitkan beberapa kali; 
4) Kitab Syarh (penjelasan atau penafsiran) atas kitab tersebut di atas, terbit di Tunisia pada 1281 H dan di Cairo pada 1274 H; 
5) Al-I’rab ‘an Qawaid al-I’rab, sebuah risalah singkat, dicetak di Constatinopel (kini Istanbul) tahun 1298 H; 
6) Mugni al-Labib ‘an Kutub al-A’arib, kitab nahwu yang membahas secara terinci makna huruf dan keadaan kalimat, dicetk di Teheran tahun 1274 H dan di Cairo tahun 1305 H, 1307 H, dan 1317 H; 
7) Muqid al-Ahzan wa Muqiz al-Wasnan, kitab tentang beberpa kemusykilan ilmu nahwu; 
8) Al-Alqaz, kitab tentang beberapa masalah ilmu nahwu yang ditulis untuk keperlun Sultan Malik Kamil, dicetak di Cairo tahun 1304 H; 
9) Ar- Raudah al-Adabiyah fi Syawahid Ulum al-‘Arabiyah, buku penjelasan tentang syair-syair krya Ibnu Jinni dalam kitabnya al-Lam’; 
10) Al-Jami’ as-Saghir fi an-Nahw, semacam kamus kecil Ilmu Nahwu; 11) Makalah tentang ‘Irab kata-kata luqatan, fadlan, khilafan, aidan, dan lain-lain dipublikasikan dalam kitab as-Suyuti yang berjudul al-Asybah wa an-Naza’ir fi an-Nahw; 
12) Makalah kecil tentang penggunaan al-munada (kata panggilan, seperti, “Ya, Ahmad”) dalam sembilan ayat Al-Qur’an; 
13) Mas’alah I’tirad asy-Syart ‘ala asy-Syart, juga dimuat dalam kitab as-Suyuti tersebut; 
14) Fauh asy-Syaza fi Mas’alah Kaza, dimuat dalam kitab as-Suyuti tersebut; 
15) Syarh al-Wasidah al-Lugawiyyah fi al-Masa’il an-Nahwiyah, juga dimuat dalam kitab as-Suyuti tersebut; 16) Audah al-Masalik ila Alfiyah ibn Malik, diterbitkan di Cairo dengan judul at-Tawdih tahun 1304 H dan 1316 H, serta di Calcuta tahun 1832; 
17) Syarh Banat Su’ad, penjelasan tentang kasidah (syair-syair) pujian-pujian Ka’ab bin Zuhair kepada Rasulullah SAW, diterbitkan di Cairo pada tahun 1304 H dan 1307 H; 
18) Syawrid al-Milh wa Mawarid al-Manh, sebuah tulian tentang kebahagiaan manusia; 
19) Mukhtasar al-Intisaf min al-Kasysyaf, ringkasan buku al-Intisaf min al-Kasyasyaf karya Ibnu Munir yang merupakan bantahan terhadap pendapat-pendapat *Muktazilah dalam kitab al-kasyaf karya az-*Zamakhsyari; 
20) Beberapa tulisan lain tentang ilmu Nahwu, termuat dalam kitab as-Suyuti tersebut di atas.  

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...