Senin, 25 Oktober 2021

Belajarlah Pada Sifat Anjing


‎Allah swt. berkali-kali menegaskan di dalam al-Qur’an al-Karim pada beberapa ayat-Nya, bahwa tidak satupun ciptaan-Nya yang mengandung kesia-siaan. Tidak satupun yang diciptakan Tuhan yang tidak mengandung manfaat dan kegunaan. 

Begitulah yang ditegaskan dalam ayat-ayat berikut, seperti surat al-Anbiya’ [21]: 16‎

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ

Artinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”‎

Begitu juga dalam surat ad-Dukhan [44]: 38‎

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ

Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.”
Selanjutnya dalam surat al-Baqarah [2]: 26, Allah juga menekankan hal yang senada, dengan firman-Nya‎

إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”
Anjing adalah salah satu di antara makhluk Allah yang juga diciptakan-Nya untuk maksud dan kegunaan yang besar. Sekalipun ia dipandang sebagai makhluk yang haram, hina dan menjijikan, namun di balik itu semua terkandung maksud, manfaat serta kegunaan yang teramat besar. Manfaat dan kegunaan dari penciptaan anjing tersebut, tentulah ditujukan untuk manusia sebagai khalifah dan wakil Allah di muka bumi. 
Manfaat dan kegunaan yang dimaksud, tentu bukan hanya sekedar untuk dinikmati oleh indrawi manusia sebagai suatu kebutuhan, seperti untuk dimakan, dinikmati mata, telinga atau kulit dan sebagainya. Akan tetapi, manfaat dalam bentuk pelajaran (i’tibar) tentu tidak kalah jauh lebih penting dan agungnya bagi manusia. Bukankah salah satu ciri manusia yang paling tinggi kualitas kecerdasannya (ulul al-bab), adalah manusia yang merenungi penciptaan Allah, lalu mengambil pelajaran dari padanya sambil berkata,”Ya Tuhan! Tidaklah ada ciptaan Engkau yang sia-sia” Begitulah yang disebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3]: 191
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ 

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Berikut, kita akan mencoba melihat beberapa sikap terpuji sekaligus sikap tercela yang dimiliki makhluk yang disebut anjing untuk kemudian kita jadikan pelajaran dalam kehidupan ini. Sikap yang terpuji mestilah dimiliki dan diikuti oleh mansuia, sementara sikap tercela janganlah ditiru dan hendaklah dijauhi. 
Adapaun sikap terpuji anjing adalah;
1. Gemar mengosongkan perut serta tidak suka makan berlebihan.
Kita bisa melihat ketika seekor anjing memakan satu tumpuk makanan. Ia tidak akan memakan makanan itu sampai perutnya penuh (gendut). Sekelipun makanan itu banyak, ia hanya mengisi perutnya dalam ukuran yang sederhana. Sehingga, sulit bagi kita membedakan antara anjing yang sudah makan dengan yang belum, karena ukuran perutnya yang relatif sama. Berbeda halnya dengan binatang ternak seperti sapi, kerbau dan lain-lain yang suka makan berlebihan sampai perutnya “buncit” dan “gendut”, dan kemudian tidur sambil memamah makanan itu kembali. 

Begitulah yang digambarkan Allah di dalam al-Qur’an tentang salah satu sikap hidup orang kafir. Seperti yang terdapat dalam surat Muhammad [47]: 12
…وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ

Artinya: “…Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” 
Itulah sikap hidup yang mesti dimiliki oleh setiap manusia khususnya seorang mukmin. Janganlah mengisi perut secara berlebihan dengan makan dan minum. Sebab, mengisi perut secara berlebihan dengan makan dan minum bukan hanya berdampak buruk secara jasmani, namun juga akan merusak rohani. Secara jasmani, orang yang makan secara berlebihan akan sangat rentan dengan berbagai macam penyakit. Karena, sebagian besar penyakit bersumber dari persoalan perut (makan dan minum). Secara rohani, orang yang makan berlebihan cenderung menjadi orang yang pemalas. Sebab, setelah perut diisi dengan penuh dan berlebihan, bisanya seseorang akan diserang rasa kantuk yang hebat untuk kemudian tidur. Rasa kantuk yang disebabkan kekenyangan inilah yang membuat manusia menjadi malas bergerak, termasuk juga malas melaksanakan ibadah, bahkan malas itu akan berujung pada meninggalkan kewajiban.
 
Begitulah gambaran Rasulullah saw. dalam salah satu haditsnya tentang akibat makan dan minum secara berlebihan.
إياكم والبطنة في الطعام والشراب فانها مفسدة للجسم وتورث السقم عن الصلاة 

Artinya: “Jauhilah olehmu mengisi perut dengan penuh terhadap makanan dan minuman, sebab mengisi perut dengan penuh akan membahayakan tubuh dan menyebabkan malas shalat.” (H.R. Bukhari) 
Begitu juga yang diperingatkan Allah tentang ketidaksenangan-Nya kepada orang yang melampaui batas, termasuk makan dan minum. Seperti disebutkan dalam surat al-A’raf [7]: 31
يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” 
2. Tidak tidur di malam hari, kecuali sangat sedikit

Adalah sudah menjadi kebiasan seekor anjing untuk sedikit tidur di malam hari. Agaknya, karena sebab itulah manusia menjadikannya sebagai makhluk penjaga rumah atau penjaga bagi para musafir di padang pasir ketika berkemah di malam hari. Ia adalah salah satu dari makhluk Allah yang tidak pernah tidur dengan pulas, apalagi sampai hilang kesadaran di malam hari. Kalaupun seekor anjing tidur maka tidurnya sangatlah tipis, sehingga hentakan kaki manusia dari jarak jauhpun bisa didengarnya di saat tidur.
 
Inilah sikap hidup yang semestinya juga dimiliki oleh setiap mukmin. Tidur di malam hari adalah suatu kemestian, bahkan adalah bagian dari kewajiban untuk memenuhi hak jasmani. Adalah menzhalimi diri sendiri, jika manusia tidak menggunakan malam hari untuk waktu tidur. Sebab, Allah swt. mendatangkan malam adalah untuk tujuan agar manusia beristirahat dari kelelahan dan kesibukanya di siang hari. Namun demikian, hendaklah seseorang tidak tidur nyenyak sampai pagi, tanpa terbangun dari tidurnya dan beribadah kepada Allah. Begitulah yang dipesankan Allah dalam surat adz-Dzariyat [51]: 14-18
ذُوقُوا فِتْنَتَكُمْ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ(14)إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ(15)ءَاخِذِينَ مَا ءَاتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ(16)كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ(17)وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ(18)

Artinya: “(Dikatakan kepada mereka): "Rasakanlah azabmu itu. Inilah azab yang dahulu kamu minta supaya disegerakan (14). Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air (15). Sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik (16). Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam (17) Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah) (18).”

Begitu juga dalam surat al-Isra’ [17]: 79
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Artinya: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”
3. Istiqamah dalam bertuan dan tetap setia dalam kondisi apapun.
Jika seekor anjing sudah memiliki tuan dan diberi makan setiap hari, bagaimanapun tuannya mengusir dan menghardiknya bahkan dipukul sekalipun, ia akan tetap setia dan tidak akan pergi meninggalkan tuannya. Bagaiamanpun tuannya memarahi bahkan memukulnya, ia tidak akan marah, melawan apalagi mendendam dan berbuaut sesuatu yang bisa mencelakakan tuannya. Jika pun dia pergi ketika dihardik dan diusir, namun beberapa saat kemudian ia akan kembali kepada tuannya dan tetap memperlihatkan kesetiaannya.
Begitulah sikap yang mesti ditunjukan seorang mukim kepada Tuhannya. Janganglah seorang mukmin hanya setia, tunduk, patuh atau memuji Allah, jika diberi nikmat dan kesenangan. Sementara, jika Allah memberikan suatu kesulitan kepadanya atau hal yang tidak menyenangkan menurut ukurannya, dia langsung mengumpat dan mencela Allah kemudian berpaling dan meninggalkan-Nya. Dan memang begitulah salah satu sikap manusia yang dicela oleh Allah swt. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Fajr [89]: 15-16‎

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ(15)وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ(16) 

Artinya: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: "Tuhanku telah memuliakanku (15). Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku (16).”
Allah swt. adalah Dzat Yang Maha Penyayang yang tidak boleh dinisbahkan kepada-Nya sikap marah, benci dan sebagainya. Kalaupun Allah memberikan kepada hamba-Nya sesuatu yang menurut pandangan manusia menyakitkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, itu tetap dalam kerangka kasih sayang-Nya. Tidak lantas kemudian manusia memvonis bahwa Tuhan telah membenci dan memarahinya. 

Kalaupun manusia tidak mampu memahaminya, hal itu semata dikarenakan keterbatasan manusia dalam memandang Allah secara utuh dan menyeluruh. Oleh Karena itulah, Allah memuji dan berjanji akan selalu melimpahkan petunjuknya bagi yang berteguh hati kepada-Nya di saat ditimpakan suatu musibah dan kesulitan. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 155-157‎

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ(155)الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ(156)أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ(157) 

Artinya: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (155). (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun"(156). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (157).”
4. Tidak suka mempertahankan status quo
Adalah kebiasan seekor anjing, jika ia tidur pada suatu tempat kemudian meninggalkannya untuk beberapa saat, lalu datang anjing lain dan menempati tempat itu, ia tidak pernah marah apalagi mengusir anjing yang sudah menempati tempatnya. Seekor anjing tidak akan berkelahi dengan saudaranya yang mengambil posisinya apalagi yang telah ditinggalkan. Ia akan dengan senang hati berpindah dan mencari tempat lain untuk ditempati.

Begitulah sikap yang mesti ditunjukan oleh seorang mukmin terhadap saudaranya. Dia tidak marah jika ada saudaranya yang menduduki suatu jabatan, posisi apalagi posisi yang pernah ditinggalkannya. Janganlah seorang mukmin iri, dengki, atau marah kepada saudaranya yang menempati jabatan dan kedudukannya. Karena tanpa jabatan dan posisi itu, bukankah dia masih bisa melanjutkan eksistensinya atau bahkan mencari posisi dan kedudukan yang mungkin lebih baik dari yang ditempati saudaranya di tempat lain atau di waktu yang lain. 

Bukankah bumi Allah sangat luas, di manapun manusia berada dia pasti akan mendapatkan Tuhan dan rahmat-Nya di sana. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 148
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Begitu juga dalam surat an-Nisa’ [4]: 97

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
 
Selanjutnya dalam surat al-‘Ankabut [29]: 56‎

يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ

Artinya: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.”
Begitu juga dalam surat az-Zumar [39]:10
قُلْ يَاعِبَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Artinya: “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”

5. Bersifat qana’ah dan berpuas hati dengan suatu pemberian

Anjing adalah makhluk yang memiliki sifat qana’ah yang tinggi terhadap pemberian tuannya. Ia akan sangat senang dan memperlihatkan penghargaan yang tinggi kepada tuannnya atas suatu pemberian, sekecil apapun dan serendah apapun kualitasnya. Jika seekor anjing diberi oleh tuannya sepotong daging, ia akan menerima dan memakannya dengan lahapnya. Jika diberikan nasi yang sudah menjadi sisa tuannya, ia juga akan menikmati pemberian itu dengan lahapnya sama seperti menikmati sepotong daging. Bahkan, jia tuannya memberikan kotorannya sekalipun, ia dengan senang hati menikmatinya sama halnya seperti ia menikmati sepotong daging. Begitulah qana’ahnya seekor anjing terhadap pemberian tuannya.

Itulah sikap yang semestinya dimiliki setiap mukmin terhadap pemberian Allah. Apapun yang diberikan Allah kepadanya dan sekecil apapun nilainya, dia tetap bersyukur dan menerimanya sebagai suatu pemberian yang besar. Bahkan, rasa syukurnya tidak kurang hebatnya ketika dia mensyukuri suatu pemberian bernilai besar. Sebab, betapapun miskin dan jeleknya keadaan dan kondisi manusia di dunia ini, tetap saja bahwa nikmat Allah sungguh sangatlah banyak terhadap dirinya. Bahkan, jika saja manusia mencoba menghitungnya, dia tidak akan mampu. Begitulah yang ditegaskan Allah dalam surat an-Nahl [16]: 18
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Artinya: “Dan jika kamu menghitung-hitung ni`mat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

6. Bersikap sederhana dan jauh dari gaya hidup mewah

Seekor anjing senantiasa menikmati keadaannya, sekalipun ia tidur di atas alas kaki manusia atau potongan kain kumuh dan lusuh. Dia tidak membutuhkan kandang bagus, kasur empuk atau selimut tebal. Seekor anjing bisa tidur dengan tenang, sekalipun di sebidang tanah, di atas rumput, di atas batu dan sebagainya, asalkan ia terlindung dari hujan dan panas. Begitulah keserdahanaan seekor anjing dalam hidupnya, yang tidak terlalu sibuk dan berambisi dengan kemewahan dan kemegahan hidup.
 
Begitulah sikap seorang mukmin hendaknya, yang lebih memilih hidup sederhana, bersahaja serta tidak sibuk dan terlalu silau dengan kemegahan serta kemewahan duniawi. Kebahagian bukanlah ditentukan oleh rumah bertingkat dan mewah, mobil yang bagus serta fasilitas duniawi memukau lainnya. Namun, kebahagian ditentukan oleh ketenangan dan kepuasan hati. Banyak tokoh sufi yang pada mulanya tinggal di istana atau hidup dengan kemewahan, namun mereka tidak memperoleh kebahagiaan kecuali setelah melepaskan ikatan gemerlapan duniawi itu. Karena dunia dan gemerlapannya tidak lain hanyalah sebuah permainan dan senda gurau. Kalaupun kelihatan menyenangkan, itu hanyalah sesat dan bersifat semu. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat al-‘Ankabut [29]: 64
 
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”‎

7. Memiliki sikap tawakkal yang tinggi

Bila seekor anjing sedang makan, kemudian tuannya datang dan membawanya pergi ke suatu tempat, maka ia tidak akan pernah membawa bekal atau membawa makanan yang masih tersisa. Sebab, ia yakin bahwa di tempat yang baru, rezikinya pun sudah ada dan tersedia. Lihat bedanya dengan seekor monyet yang jika dibawa pergi oleh tuannya ketika sedang makan, maka makanan itu akan dibawanya dengan kedua tangannya, setelah sebelumnya mengisi penuh kedua tempat makanan yang ada di mulutnya. 

Begitulah sikap yang mesti dimiliki oleh setiap mukmin, bahwa hendaklah dia memiliki sikap tawakkal kepada Allah. Seseorang tidak perlu takut tidak akan mendapatkan rezeki ke manapun dia pergi atau di manapun dia berada. Bukankah Allah meliputi langit dan bumi? Oleh karena itu, cukuplah manusia menjadikan Allah sebaik-baik Pelindung dan tempat berserah diri. Begitulah di antara pesan Allah dalam surat ‘Ali ‘Imran [3]: 173‎

...حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Artinya: “…Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung."
 
8. Penuh harap terhadap suatu pemberian 

Adalah tabi’at seekor anjing, jika melihat tuannya atau siapapun yang lewat di hadapannya membawa suatu jenis makanan, ia akan terus menatap dan mengharap diberi makanan. Seekor anjing baru akan selesai memandang pemilik makanan itu, sampai dilemparkan makanan tersebut kepadanya. 

Begitulah seharusnya sikap seorang mukmin terhadap nikmat dan karunia Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Kaya dan Pemilik segalanya. Lalu kenapa manusia tidak mau meminta karunia-Nya itu? Bukankah Allah menjanjikan pengabulan akan setiap permohonan yang diajukan kepada-Nya? Begitulah yang ditegaskan Allah dalam al-Qur’an. Seperti disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 186
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Begitu juga dalam surat al-Mu’min [40]: 60
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.”

Adapun sifat tercela seekor anjing adalah
1. Susah merobah dan meniggalkan kebiasaan yang buruk.‎

Anjing adalah salah satu jenis binatang yang suka memakan makanan yang berbau busuk dan menjijikan, seperti kotoran dan bangkai. Walau bagaimanapun tuannya mengurung dan mengikatnya agar tidak bebas berkeliaran di luar, kemudian memandikannya dengan sabun, diberi farfum ditidurkan di atas kasur empuk, diberi selimut dan seterusnya. Akan tetapi, jika nanti ia sempat lepas dari ikatan atau kurungannya, ia tetap akan kembali mencari kotoran atau bangkai untuk dinikmati. 
Begitulah sifat tercela seekor anjing yang semestinya tidak dimiliki manusia. Manusia sebagai makhluk yang sempurna, tentulah tidak akan terlalu sulit untuk meninggalkan segala kebiasaan buruknya, apalagi kalau sudah melalui serangkaian latihan. Kebiasaan meninggalkan yang buruk dan merobah diri ke arah yang lebih baik, tentu akan bisa dilakukan jika saja hal itu muncul dari dalam diri manusia itu sendiri. Seekor anjing tidak pernah bisa meninggalkan kebiasaan buruknya, Karena yang menginginkan ia baik bukanlah dirinya sendiri, namun adalah keinginan tuan sang pemiliknya. Mungkin itulah yang diisyaratkan Allah dalam surat ar-Ra’d [13]: 11 
….إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ…
Artinya: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” ‎

2. Selalu mengeluh dan merasa kepayahan

Seekor anjing dalam kondisi apapun lidahnya selalu dijulurkannya. Saat dia berlari, berjalan, berdiri, atau bahkan sedang tidur sekalipun lidahnya tetap dijulurkan. Sepertinya ia selalu berada dalam kepayahan, kesulitan, atau habis memikul beban yang berat. Begitulah yang disebutkan Allah dalam surat al-A’raf [7]: 176 


وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ….
Artinya: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga)…”‎

Itulah sikap hidup yang semestinya dijauhi manusia, yaitu mengeluh dan merasa susah setiap saat. Orang yang seperti ini, cenderung tidak pernah bersyukur terhadap nikmat apapun yang diterimanya. Hendaklah seseorang menyadari bahwa betapapun buruk kondisi dan keadanya, bila dia membandingkan dengan yang lain, pastilah dia akan menemukan betapa banyak kelebihan yang diperolehnya. ‎

3. Selalu ribut, bertengkar dan berkelahi karena persoalan betina

Seringkali sekelompok anjing terlibat baku hantam, pertengkaran dan berujung pada perkelahian, hanya disebabkan persoalan betina. Jika masa kawin seekor anjing betina sudah tiba, maka beberapa anjing jantan akan mendekatinya, dan masing-masing saling berebut untuk mendapatkan betina itu. Sehingga, terjadilah perkelahian hebat antara sesama anjing jantan, sampai ada yang menjadi pemenang dan akhirnya mendapat yang betina. 
Itulah sikap yang semestinya tidak terdapat dalam diri setiap mukmin. Janganlah sesama mukmin bertengkar dan berkelahi memperebutkan satu wanita. Bukankah wanita tidak satu di muka bumi ini? Lalu kenapa harus memperebutkan satu wanita? Oleh karena itulah, dalam aturan Islam seseorang tidak boleh meminang di atas pinangan orang lain, atau tidak boleh meminang perempuan yang sudah dipinang orang lain. Karena itu, bisa menyebabkan keretakan hubungan antara sesama atau bahkan akan menyulut perpecahan dan pertikaian. 
4. Salah satu binatang yang menyebarkan penyakit berbahya dan mematikan.
Anjing adalah salah satu jenis binatang yang mulut dan ludahnya mengandung bisa. Ia juga salah satu jenis binatang yang efektif sebagai penyebar bibit penyakit dan virus. Bahkan, di mulut anjing terdapat satu jenis bibit penyakit mematikan “rabies”, yang jika seorang manusia atau mungkin binatang lain digigitnya, akan mengalami kegilaan. Oleh Karena itulah, anjing termasuk bintang yang ditakuti oleh manusia.
Itulah salah satu hal yang semestinya tidak dimiliki seorang mukmin, di mana jangalah kita menjadi penyebab tersebarnya “penyakit” di tengah masyarakat. Janganlah seorang mukmin menjadi penyebab terjadinya kerusuhan dan kekacauan di tengah masyarakatnya. Jangan sampai orang lain takut, menghindar dan menjauhkan diri, karena takut akan tertular sikap dan perangai buruk kita. Hendaklah kita menjadi rahmat bagi siapapun dan di manapun kita berada. Kehadiran kita hendaknya menjadi harapan dan dambaan setiap orang. Sebab, umat Islam selalu ditunut oleh Allah untuk menjadi panutan, teladan dan patron bagi umat lainnya. Seperti yang disebutkan dalam surat al-Baqarah [2]: 143‎

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ…
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (teladan/patron) atas seluruh manusia…” ‎

5. Sedikit malu (suka mengubar seksual dan mempertontonkan kemalunnya)

Anjing adalah di antara makhluk yang paling tidak punya malu. Beberapa jenis binatang tertentu, cenderung memilih tempat yang tersembunyi untuk melakukan hubungan seksual. Sementara sepasang anjing, seringkali mempertontonkan hubungan seksual mereka kepada siapapun dan di manapun, termasuk di tengah kerumunan manusia sekalipun. Bahkan, kondisi perkawianannya yang “berbeda” dengan makhluk lain itupun, dipertontonkannya tanpa rasa segan dan malu. Dan khusus bagi yang jantan, di saat buang air kecil dia akan mengangkat sebelah kakinya dan memperlihatkan kemaluannya kepada siapaun. Bahkan, tempat buang air kecilnya seringkali dipilih tempat di mana manusia sedang ramai, sehingga kemaluannya diperlihatkan kepada banyak orang. 
Inilah sikap yang tidak boleh dimiliki oleh manusia, apalagi seorang mukmin. Potensi untuk melakukan hubungan seksual adalah suatu karunia Allah kepada setiap manusia, namun tentu manusia memiliki cara dan aturan yang membedakannya dengan binatang. Manusia sebagai makhluk paling sempurna dan dibekali separangkat aturan termasuk atauran hubungan seksual yang diikat melalui tali perkawinan. Dan hubungan seksual untuk sepasang suami isteripun bukan untuk dijadikan konsumsi umum atau sebagai bahan cerita. Seksual adalah suatu yang mesti ditutupi dan hanya diketahui oleh sepasang suami isteri saja. Bahkan, dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. melakukan hubungan dengan isterinya tanpa saling melihat kemaluan yang lain.‎

Akan tetapi, hari ini kita sudah dihinggapi penyakit hilangnya rasa malu seperti yang dimiliki sepasang anjing. Sepasang manusia, bahkan yang tidak memiliki hubungan perkawinan melakukan hubungan seksual dan mempertontonkannya kepada khalayak ramai. Dengan bangga sang pelaku menyebarkan video rekaman hubungan seksulnya kepada orang lain. Sehingga, kemaluannya pun ikut menjadi tontonan manusia lain. Untuk mendapatkan popularitas dan ketenaran, manusia tidak peduli lagi dengan namanya rasa malu, termasuk untuk melakukan hubungan seksual demi dijadikan tontonan umum sekalipun.‎

Begitu juga, kemaluan adalah suatu yang mesti ditutupi, bukan untuk dipertontonkan kepada orang lain. Bahkan, termasuk saat buag air kecil sekalipun. Oleh karena itulah, dalam aturan Islam buang air kecil tidak boleh berdiri jika ditempat terbuka. Hendaklah dia mencari penutup atau tembok yang bisa mengalangi pandangan orang lain saat buang air kecil apalagi buang air besar. Terlebih lagi, jika itu adalah hubungan seksual yang melibatkan dua jenis manusia yang berlainan. Alangkah besar aibnya jika dipertontonkan kepada manusia lain.
6. Buang kotoran di tempat terhormat
Anjing adalah jenis binatang yang bukan hanya suka sesuatu yang kotor dan menjijikan, namun juga suka membuang kotoran dan mengotori tempat yang baik dan terhormat. Seekor anjing jika buang air kecil, ia akan memilih tempat seperti tembok atau pagar rumah dan tempat-tempat yang dilalui manusia. Jika ia buang kotorannya, seringkali tempat yang dipilihnya adalah lapangan tempat manusia bermain, atau jalan tempat manusia lewat. Sehingga, tidak jarang manusia menginjak tahinya di saat berjalan. 
Begitulah sikap yang mestinya dijauhi setiap mukmin, bahwa janganlah membuang “kotoran” yang akan membuat manusia lain merasa terganggu. Apakah kotoran itu dalam pengertian yang berbentuk fisik (hakiki) atau prilaku yang menyebabkan orang lain terusik dan terganggu. 
7. Mudah dihasut dan dipropokasi‎

Anjing adalah binatang yang paling banyak dipergunakan manusia untuk pekerjaan berburu. Hal itu disebabkan karena anjing adalah binatang yang paling mudah dihasut dan dipropokasi. Dengan teriakan “hayo, hayo” dari tuannya, ia akan dengan cepat mengejar dan memburu makhluk yang menjadi suruhan tuannya. Tanpa ia pernah berfikir apakah makhluk lain itu punya ikatan atau tidak dengannya, apakah dari jenisnya sendiri atau jenis lainnya, apakah ia sanggup menghadapinya atau tidak. Yang penting begitu dihasut, ia akan langsung menerkam dan memburu tanpa mempertimbangkan akibat di belakangnya. Sehingga, tidak jarang seekor anjing menjadi mangsa makhluk lain yang diburunya, karena lebih kuat diri dirinya. ‎

Itulah sifat yang tidak boleh dimiliki oleh setiap mukmin. Janganlah mudah dihasut dan propokasi. Hendaklah sebelum bertindak dan berbuat, mengkaji segala kemungkinan dan dampak yang akan ditimbulkannya. Janganlah manusia gegabah dalam bertindak dan berbuat. Kalaupun diberitahukan suatu informasi dan berita, maka telitilah terlebih dahulu sebelum memutuskan dan mengambil tindakan. Jika tidak demikian, penyesalan akan datang di kemudian hari, atau akan menimpakan petaka kepada orang yang tidak bersalah. Begitulah di antara peringatan Allah dalam surat al-Hujurat [49]: 6

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
8. Makhluk yang tidak bisa menjaga persatuan
Adalah sudah menjadi kebiasaan anjing, bahwa mereka bersatu ketika berburu suatu target atau msuh. Saat berburu, mereka memiliki niat dan maksud yang sama, yaitu membunuh buruan. Begitu kokohnya persatuan mereka, sehingga binatang besar dan kuat bisa mereka taklukan. Akan tetapi, ketika buruan telah roboh, mereka mulai bertengkar untuk memperebutkan dagingnya. Sehingga, seringkali terjadi perkelahian hebat dan pembunuhan karena memperebutkan daging buruan mereka. Alangkah lebih baiknya, jika saja mereka sama-sama berbagi dan menikmati hasil buruan itu. Namun, sikap rakus telah mengalahkan diri mereka, sehingga masing-masing ingin menguasai buruan itu secara utuh. Sehingga, mereka lupa akan tujuan bersama yaitu sama-sama menikmati makanaan. 

Begitulah sikap hidup yang tidak boleh hinggap dalam diri setiap mukmin. Persatuan yang sudah dibentuk hendaklah selalu dijaga dan dipertahankan. Janganlah persatuan dicabik-cabik oleh perebutan hal-hal rendah dan kecil yang lebih dimotifasi oleh ambisi pribadi atau kelompok. Memang, sudah menjadi pengalaman sejarah umat manusia, bahwa ketika melawan musuh bersama semua kelompok masyarakat bersatu padu. 

Namun, ketika sudah memperebutkan kekuasaan, masing-masing kelompok merasa paling berhak, sehingga terjadilah perpecahan yang hebat. Begitulah yang pernah dialami banyak bangsa di dunia mungkin termasuk Indonesia. Di mana, ketika menghadapi penjajah misalnya, kita semua bersatu padu, namun ketika membagi kekuasaan mulailah terjadi perpecahan sesama tokoh dan kelompok para pejuang sendiri. Begitu juga, ketika melawan orde baru semua faksi bersatu, namun ketika menentukan penguasa yang baru, partai yang tadinya bersatu kembali berpecah dan saling sikut, saling hantam untuk memenuhi ambisi kelompoknya masing-masing. Sehingga, potensi dan kemampuan yang besar habis hanya untuk bertengkar dan berebut kekuasaan, sementara tujuan yang paling utama yaitu kemakmuran dan kesejahteraan bersama menjadi terabaikan.
Imam Muhammad Nawawi Al-Bantani, menyebutkan dalam Syarhu Kaasyifatus Saja ’alaa Safiinatin Najaa Fii Ushuuulid Dinii Walfiqhi, halaman 42 sebagai berikut:

فى الكلب عشر حصال محمودة ينبغى للمؤمن ان لا يخلومنها:
اولها : لايزال جائعا. وهده صفات الصالحين.
الثانية : لاينام من الليل الا قليلا. وهده من صفات المتهجدين.
الثالثة : لو طرد فى اليوم الف مرة ما برح عن باب سيده. وهده من علامات الصادقين.
الرابعة : ادا مات لم يخلف ميراثا. وهده من علامات الزاهدين.
الخامسة : ان يقنع من الارض بادنى موضع. وهده من علامات الراضين.
السادسة : ان ينظر الى كل من يرى حتى يطرح له لقمة. وهده من اخلاق المساكين.
السابعة : انه لو طرد وحثى عليه التراب فلا يغضب ولايحقد. وهده من اخلاق العاشقين.
الثامنة : ادا غلب على موضعه يتركه ويدهب الى غيره. وهده من افعال الحامدين.
التاسعة : ادا اجدى له اى اعطي له لقمة اكلها وبات عليها. وهده من علامات القانعين.
العاشرة : انه ادا سافرمن بلد الى غيرها لم يتزود. وهده من علامات المتوكلين.

Artinya:

Di dalam diri seekor anjing terdapat sepuluh sifat yang terpuji. Seyogyanya orang-orang yang beriman tidak sepi (kosong) dari sepuluh sifat ini, yakni :

Pertama : Gemar mengosongkan perut. Ini adalah sifat para sholiihin (orang-orang yang sholeh).

Kedua : Tidak tidur malam hari kecuali sedikit saja. Hal ini menjadi salah satu sifat dari orang-orang ahli Tahajud.

Ketiga : Kalupun sehari ia diusir seribu kali, ia tak akan hengkang dari pintu rumah tuannya. Ini adalah salah satu sifat dari orang-orang sidik (jujur/benar).

Keempat : Bila ia mati, ia pantang meninggalkan warisan. Ini adalah termasuk ciri-ciri orang-orang yang Zuhud.

Kelima : Selalu merasa puas meski menempati bumi di tempat yang paling hina sekalipun. Inilah salah satu tanda dari orang-orang yang ridho (terhadap ketentuan Allah).

Keenam : Memandangi setiap orang yang memandanginya sampai dilemparkan kepadanya sesuap makanan. Ini adalah sifat orang -orang yang sabar.

Ketujuh : Kalaupun diusir dan ditaburi debu, ia tak akan marah dan mendendam tuannya. Inilah salah satu akhlak orang-orang yang 'asyiq (rindu bertemu Tuhan).

Kedelapan : Jika tempatnya ditempati oleh orang lain, ia rela menyingkir ke tempat yang lain. Inilai sebagian tindakan orang-orang memuji.(haamidiin)
Kesembilan : Apabila diberi makanan sebesar apapun, ia rela menerimanya. Inilah salah satu akhlak orang-orang yang Qona’ah.

Kesepuluh : Apabila bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, ia tidak pernah membawa bekal yang diada-adakan, melainkan menurut kemampuannya. Inilah ciri-ciri orang yang tawakal kepada Allah.

Bahkan ada beberapa hewan yang masuk kedalam Surga, yang salahsatunya adalah anjingnya Ashabul Kahfi, sebagaimana diterangkan dallam Kitab tanwirul adzhan min tafsir ruhil bayan  Syaikh Ismail Haqqi al-Barousawi al-Istambuli al-Hanafi al-Khaluti :

‎- روى - انه يدخل الجنة مع المؤمنين على ما قال مقاتل عشرة من الحيونات تدخل الجنة نقاة صالح وعجل ابراهيم وكبش اسماعيل وبقرة موسى وحوت يونس وحمار عزير ونملة سليمان وهدهد بلقيس وكلب اصحاب الكهف وناقة محمد صلى اللـه عليه وسلم .

Diriwayatkan bahwasannya akan masuk kedalam surga bersama orang beriman sebagaimana yang disebutkan muqatil 10 hewan:.
1. unta Nabi Sholeh
2.anak sapi Nabi Ibrahim
3. domba Nabi Ismail
4.sapi Nabi Musa
5. ikan paus Nabi Yunus
6. keledainya Uzair as.
7.semut Nabi Sulaiman
8. burung Hud-Hud ratu Balqis
9. anjing Ashabul kahfi
10. untanya Nabi Muhammad saw
Kami belum menemukan keterangan ulama hadits, apakah hadits ini shahih atau tidak, namun dilihat dari sisi hadits ini disebutkan dengan kata-kata : “ruwiya”(diriwayatkan), maka dhahirnya adalah dha’if.

Metode Imam Ibnu Katsir Dalam Penulisan Tafsir


Al-Qur’an adalah sumber hukum pertama umat Islam. Kebahagiaan mereka bergantung pada kemampuan memahami maknanya, pengetauan rahasia-rahasianya dan pengalaman yang terkandung didalamnya. Kemampuan setiap orang dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu berbeda, padahal penjelasan ayat-ayatnya begitu jelas. Perbedaan daya nalar diantara mereka ini adalah sesutau yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna lahirnya dan bersifat global. Sedangkan kalangan cendikiawan dan terpelajar akan dapat memahami dan menyingkap makna-maknanya secara menarik. Didalam kedua kelompok inipun terdapat aneka ragam dan tingat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Al-Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya  melaluai pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata yang asing atau dalam mena’wilkan suatu  redaksi kalimat.

Umat Islam memiliki banyak sekali ahli tafsir, diantara mereka  ada dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in bahkan ada juga dari ulama zaman ini yang mencoba untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Dalam tulisan yang singkat ini kami akan menganalisa bagaimana Ibnu Katsir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.

‎Al-Qur’an merupakan Mu’jizat Islam yang abadi, dimana semakin maju  ilmu pengetahuan, semakin jelas kemu’jizatannya. Allah swt. Menurunkannya kepada nabi Muhammad saw. Demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka kejalan yang lurus. Rasulallah menyampaikannya kependuduk asli Arab yang  sudah tentu dapat memahami tabiat mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakan kepada Rasulallah saw..

Dalam ilmu tafsir Al-Qur’an banyak sekali ulama yang mencoba menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Dalam penafsirannya para mufassirin dibagi kedalam dua kelompok, yaitu mufassir yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode bil ma’tsur dan para mufassirin yang menafsirkan ayat dengan menggunakan metode bir Ra’yi. Metode bil ma’tsur yaitu menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan sunnah, ayat dengan perkataan shahabat atau ayat dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi’in. Sedangkan   metode bir ra’yi yaitu menafsirkan ayat dengan pemahaman mufassir sendiri.‎

Ibnu Katsir adalah seorang yang ahli tentang ilmu-ilmu al-Qur'an dan as-Sunnah, sejarah umat-umat terdahulu dan yang akan datang. Allah memberinya karunia berupa pandangan yang tajam dan mendalam tentang sunnatullah yang terjadi berkaitan dengan kemaslahatan, kerusakan, kemajuan, kemunduran serta kehancuran umat ini. Kitabnya, Tafsir Ibnu Katsir, merupakan kitab paling penting yang ditulis dalam masalah tafsir al-Qur'anul 'Adziim, paling agung, paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat ini.

Beliau adalah Imam yang mulia Abul Fida' 'Imaduddin Isma'il bin Syeh Abi Haffsh Syihabuddin "umar bih Katsir al-Quraasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi As-Syafi'i yang berasal dari kota Bashrah, Irak, kemudian menetap, belajar dan mengajar di Damaskus. Dilahirkan di Mijdal, sebuah tempat di kota Bashrah pda tahun 701 H (1302 M). Ayahnya berasal dari Bashrah, sementara ibunya berasal dari Mijdal. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Hafsh Umar ibn Katsir. Ia adalah ulama yang faqih serta berpengaruh di daerahnya. Ia juga terkenal dengan ahli ceramah. Hal ini sebagaimana di ungkapkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya (al-Bidâyah wa al-Nihâyah). Ayahnya lahir sekitar tahun 640 H, dan ia wafat pada bulan Jumadil ‘Ula 703 H. di daerah Mijdal, ketika Ibnu Katsir berusia tiga tahun, dan dikuburkan di sana.

Ibnu Katsir adalah anak yang paling kecil di keluarganya. Hal ini sebagaimana yang ia utarakan;  “ Anak yang paling besar di keluarganya laki-laki, yang bernama Isma’il, sedangkan yang paling kecil adalah saya “. Kakak laki-laki yang paling besar bernama Ismail dan yang paling kecilpun Ismail.

Sosok ayah memang sangat berpengaruh dalam keluarga. Kebesaran serta tauladan ayahnyalah pribadi Ibnu Katsir mampu menandingi kebesaran ayahnya, bahkan melebihi keluasan ilmu ayahnya. Dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, serta senantiasa menjunjung nilai-nilai keilmuan, mampu melahirkan sosok anak saleh dan bersemangat dalam mencari mutiara-mutiara ilmu yang berharga dimanapun. Dengan modal usaha dan kerja keras Ibnu Katsir menjadi sosok ulama yang diperhitungkan dalam percaturan keilmuan.

Ibnu Katsir mulai sedari kecil mencari ilmu. Semenjak ayahnya wafat kala itu Ibnu Katsir baru berumur tiga tahun, selanjutnya kakaknya bernama Abdul Wahab yang mendidik dan mengayomi Ibnu Katsir kecil. Ketika genap usia sebelas tahun, Ia selesai menghafalkan al-Qur`an.

Ayah beliau adalah seorang khatib di kota itu. Ayahnya meninggal ketika beliau baru berusia 4 tahun. Kemudian beliau diasuh oleh kakaknya, Syaikh 'Abdul Wahhab dan dialah yang mendidik beliau di usia dininya. Kemudian beliau pindah ke Damaskus, negeri Syam yang dijaga pada tahun 706 H, ketika beliau berusia 5 tahun.

Riwayat Pendidikan 

Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Di sana, beliau banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth'im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, al-Hafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya. 
Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana. 

Prestasi Keilmuan 

Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur'an al-'Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thabari. 

Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik- baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan al-Qur'an dengan al- Qur'an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur'an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih (pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in), kemudian dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.

Guru-Guru Imam Ibnu Katsir

Syaikh Burhanuddin Ibrahim bin'Abdirrahman al-Fazari (Ibnul Farkah), wafat 729 H.
Isa bin al-Muth'im 
Ahmad bin Abi Thalib, (Ibnusy Syahnah)
Ibnul Hajjar (wafat 730 H.)
Bahauddin al-Qasim bin Muzhaffar ibnu 'Asakir, muhaddits Syam, wafat 723 H.
Ibnu Asy-Syirazi
Ishaq bin Yahya al-Amidi 'Afifuddin, ulama Ahafiriyyah, wafat 725 H.
Muhammad Ibnu Zarrad
Menyertai Syaikh Jamaluddin Yusuf bin az-Zaki al-Mizzi, wafat 742 H, Ibnu Katsir mendapat banyak faedah dan menimba ilmu darinya dan akhirnya menikahi puterinya.
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ahmad bin 'Abdil Halim bin 'Abdis Salam bin Taimiyyah yang wafat pada 728 H.
Syaikh al-hafidz, seorang ahli tarikh (sejarah), Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin 'Utsman bin Qayimaz adz-Dzahabi, wafat 728 H.
Dan ulama Mesir yang memberi beliau ijazah adalah Abu Musa al-Qarafi, Abul Fath ad-Dabbusi, 'Ali bin 'Umar as-Sawani dan lain-lain.

Komentar Para Ulama Mengenai Imam Ibnu Katsir

Adz-Dzahabi: "Beliau adalah seorang Imam lagi pemberi fatwa, muhaddits yang pakar, faqih (ahli fikih) yang berwawasan luas, mufassir (ahli tafsir) dan memiliki banyak tulissan yang bermanfaat."(dalam al-Mu'jami al-Mukhashsh).

Ibnu Hajar al-Atsqalani:" Beliau selalu menyibukkan diri dengan hadits, menelaan matandan rijal hadits, beliau adalah orang yang memilikihafalan yang banyak, kecerdasan yang bagus, memiliki banyak karya tulis semasa hidupnya dan telah memberikan manfaat yang sangat banyak kepada orang-orang sepeninggal beliau." (dalam ad-Duraar al-Kaaminah).

Abul Mahasin Jamaluddin Yusuf Ibnu Saifuddi (Ahli sejarah): "Beliau ulama yang banyak berkarya, terus bekerja, meraup ilmu dan menulis, pakar dalam bidang fikih, tafsir dan hadits. Beliau mengumpulkan, mengarang, mengajar, menyampaikan hadits dan melulis. Beliau memiliki penelaahan yang luas dalam ilmu hadits, tafsir, fikih, Bahasa Arab dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau mengeluarkan fatwa dan mengajar hingga beliau wafat, Beliau memiliki hafalan yang kuat dan tulisan yang bagus, ia telah mencapai puncak dalam ilmu sejarah, hadits dan tafsir.

Murid-Murid Imam Ibnu Katsir

Ibnu Haji. Ia adalah seorang yang memiliki hafalan paling kuat terhadap matan-matan hadits. paling tahu tentang cacat-cacat hadits, perawi-perawinya,shahih dan dha'ifnya.
Al-Hafidz al-Kabir 'Imaduddin, hafalannya banyak dan jarang lupa, pemahamannya baik, ilmu bahasa arabnya tinggi. Ia dikenal dengan kekuatan hafalan dan keelokan karangannya.
Dan masih banyak lagi.

Karya-Karya Imam Ibnu Katsir

1. Kitab Tafsir al-Qur'an. Kitab ini adalah sebaik-baik kitab tafsir dengan riwayat, telah diterbitkan berulang kali dan telah diringkas oleh banyak ulama.
2. Al-Bidaayah wan-Nihaayah (kitab sejarah-14 jilid), Di dalamnya disebutkan tentang kisah para Nabidan umat-umat terdahulu, sirah Nabawiyyah, sejarah Islam hingga jamannya, ditambah denan pembahasan tentang fitnah dan tanda-tanda hari Kiamat serta keadaan pada hari akhir dan al-Malaahim (pertumpahan darah) dan telah ditahqiq oleh banyak ulama.
3. At-Takmiil fii Ma'rifatits Tsiqaat wadh Dhu'afaa' wal Majaahil. Di dalamnya terangkum dua kitab dari tulisan guru beliau, al-Mizzi dan adz-Dzahabi,dengan disertai bebeapa tambahan yang bermanfaat dalam masalah al-Jarb wat ta'diil.
4. Al-Hadyu was Sunan fii Ahaadiitsil Masaaniid was Sunan yang dikenal dengan nama Jaami' al-masaaniid. Di dalamnya merangkum Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, al-Bazzaar, Abu Ya'la al-Mushili, Ibnu Abi Syaibah, beserta Kutubus-Sittah, yaitu Shahih Bukhari dan Shahih Muslim serta Kitab sunan yang empat.Beliau menyusunnya berdasarkan bab-bab fikih, dan baru-baru ini telah dicetak beberapa juz darinya.
5. Thabaaqat asy-Syfi'iyyah dengan ukuran sedang disertai biografi Imam Syafi'i.
6. Beliau mentakhrij hadits-hadits yang digunakan sebagai dalil dalam kitab at-Tanbiih fii Fiqh asy-Syafi'i.
7. Memulai penulisan Syarah Shahih al-Bukhari dan belum sempat menyelesaikannya.
8. Beliau menulis kitab bersar dalam masalah-masalah hukum tapi belum sempat menyelesaikannya, tulisannya sudah sampai pada bab haji.
9. Ringkasan kitab al-Madkhal, karya al-Baihaqi, dan sebagian belum diterbitkan.
10. Meringkas kitab 'Uluumul Hadits karya Abu 'Amr bin ash-Shalah yang beliau beri judul "Mukhtashar 'Ulumil Hadits."
11. As-Siiraah an-Nabawiyyah yang panjang (bagian dari kitab al-Bidaayah)
12. Risalah dalam masalah jihad yang diberi judul al-Ijtihaad fii Thalabil Jihaad, yang telah dicetak ulang beberapa kali.
‎13.  Syarhu at-Tanbih.
14.  Al-Bulghah wa al-‘Iqna’ fi Halli Syubhati Masalati al-Sima’. Yaitu kitab tentang lagu dan musik.
15.  Al-Fushul fi Ikhtishari Sirati ar-Rasul.
16.  At-Takmil fi Ma’rifati al-Tsiqaat wa ad-Dhu’afa’ wa al-Majaahil. Sedang Haji Khalifah pengarang kitab “Kasyfu az-Dzunun”, menyebut kitab Ibnu katsir ini dengan nama: “At-Takmilah fi Asmai at-Tsiqat wa ad-Dhu’afa”.
17.   Thabawatu al-Fuqaha as-Syafi’iyyah. Haji Khalifah menamanakan kitab ini dengan sebutan: “Thabaqatu ‘Imaaduddin”, sedang al-baghdadi menyebut kitab ini dengan nama: “Hadiyyatul al-’Arifin”.
18.  Al-Wadhih an-Nafiis fi Manaqibi al-Imaami Muhammad bin Idris.
19.  Nihaayatul Bidaayah wa Nihaayah, yang merupakan kitab penyempurnaan dari kitab sejarahnya di atas, Dalam kitab ini Ibnu katsir menuliskan tentang Fitnah, pertempuran dan kisah akhir zaman.
20.   Al-Kawaakib ad-Daraarii, yang juga kitab sejarah.‎

Wafatnya Imam Ibnu Katsir

Ibnu Hajar al-Atsqalani berkata: "Beliau kehilangan penglihatan di akhir hayatnya dan wafat di Damaskus Suriah pada tahun 774 H/1373 M. Semoga Allah mencurahkan rahmat seluas-luasnya kepda beliau dan menempatkan beliau di surga-Nya yang luas, amin.....

Sekilas Tentang Kitab Tafsir Ibnu Katsir 

Latar Belakang Penulisan

Firman Alloh Subhanahu Wata'ala 

وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”(QS. Ali Imran 187)

Dengan firman Allah di atas, maka menurut Ibnu Katsir wajib bagi ulama untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman Allah dan tafsirya.

Bentuk fisik tafsir Ibnu Katsir

Pada mulanya  buku ini ditulis dengan sepuluh jilid, tapi  kemudian dicetak dengan empat jilid dengan jilidan yang sangat tebal. Pada terbitan Daarul Jiil, Beirut, tahun 1991, kalasifikasinya seperti berikut :

Jilid I, dari surat al-Fatihah sampai surat an-Nisaa. Tebal : 552 halaman
Jilid II, dari surat al-Maidah sampai surat an-Nahl. Tebal : 573 halaman
Jilid III, dari surat al-Israa samapai surat Yaasiin.    Tebal : 558 halaman
Jilid IV, dari surat as-Shaafat sampai surat an-Naas. Tebal :580 halaman

Metodologi  Tafsir ibnu Katsir

Sebelum kita mengambil beberapa penafsiran dari ayat Al-Qur’an yang telah ditafsiran Ibnu Katsir, alangkah lebih baiknya kita mengenal latar belakang keilmuan dan kondisi yang terjadi pada masa Ibnu Katsir, sehingga kita mengetahui bagaimana relevansi kondisi itu denan peafsiran ayat Al-Qur’an.

Karakater karya seseorang tidak akan bisa dilepaskan dari kecondongan minat orang tersebut, kira-kira seperti itu jugalah tafsir ibnu  katsir. Sosok Ibnu Katsir yang condong kepada keabsahan turats telah ikut mewarnai karyanya. Begitu juga hal ini tidak bisa lepas dari kondisi jaman saat itu, perhelatan aliran pemikiran pada abad ke 7/8 H memang sudah kompleks. Artinya telah banyak aliran pemikiran yang telah ikut mewarnai karakter seseorang.

Pemahaman yang orisinil untuk mempertahankan keauntetikan Qur`an dan sunnah terus dijaga.  Inilah sebagian pewarnaan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Selain itu, kelompok-kelompok yang mengagungkan akal secara berlebihan dan thariqah-thariqah shufiyah telah beredar luas kala itu. Islam telah berkembang pesat dan banyak ‘agamawan’ yang masuk ke dalam Islam. Hal ini ikut pula mempengaruhi sekaligus mewarnai perkembangan wawasan pemikiran.

Ibnu Katsir yang telah ter-sibghah dengan pola pikir gurunya (Ibnu Taymiyah) sangat terwarnai dalam metode karya-karyanya. Sehingga dengan jujur Ia berkata, bahwa metode tafsir yang ia gunakan persis sealur dan sejalur dengan gurunnya Ibnu Taymiyyah. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa tafsir ibnu katsir telah menjadi rujukan kategori tafsir bil-ma’tsur. Yang tentunya hal ini tidak bisa dipisahkan dari metode beliau dalam karyanya.

Untuk lebih jelasnya mari kita analisa beberapa ayat berikut :

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 47 juz 1

يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ

“ Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya aku telah melebihkan kamu atas segala umat.”

Allah mengingatkan Bani Israil akan nikmat yang dulu diberikan kepada nenek moyang dan pendahulu mereka. Yaitu nikmat keungulan mereka berupa pengangkatan sebagian mereka menjadi rasul, penurunanan Al-Kitab, dan mengunggulkan mereka atas umat lain pada zamannya, sebagaimana Allah berfirman , “ Dan sesunguhnya telah kami pilih mereka dengan pengetahuan (kami) atas bangsa-bangsa.’ ( Ad-Dukhan : 32). Abul Aliyah berkata, “ mereka mendapat keunggulan melalui kerajaan, pra rasul, da kitab-kitab, atas umat lain pada zamannya. Karena pada setiap zaman ada umat yang unggul.

Diriwayatkan dari mujahid dan dari yang lainnya bahwa ayat di atas harus ditafsirkan seperti itu, karena umat ini, yakni umat islam, lebih unggul dari bani israil, berdasarkan firman Alah tenang umat ini, “ Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf  dan menceah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman , tentulah itu lebih baik bagi mereka.” ( Ali-Imran :110), maka ayat diatas tidak boleh dibelokan unuk mengunggulkan Bnai Israil atas umat-umat yang lain, baik yang sebelum taupun ssesudahnya. Ibrahim yang ada sebelum mereka adalah lebih unggul dar segenap nabi  terdahulu. tetapi Muhamad saw. Yang lahir setelah mereka adalah orang yang paling unggul atas semua mahluk, junjungan umat manusia, baik didunia aupun di akhirat. Shalawat, salam dan erkah Allah semoga terlimpah atasnya.

Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 210 juz 2

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ وَقُضِيَ الأمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ

“ Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan Malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.”

Allah Swt. mengancam orang-orang kafir melalui Nabi Muhammad Saw. Untuk itu Dia berfirman:Tiada yang mereka nanti-nantikan (pada hari kiamat) melainkan datangnya (siksa) Allah dalam naungan awan dan malaikat. (Al-Baqarah: 210) Yakni pada hari kiamat nanti di saat diputuskan semua perkara seluruh umat manusia dari awal sampai akhirnya, lalu setiap orang yang beramal mendapat balasan yang setimpal dari amal perbuatannya. Jika amalnya baik, maka balasannya baik pula; jika amalnya buruk, maka balasannya buruk pula. Karena itulah dalam ayat berikutnya Allah Swt. berfirman: dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan. (Al-Baqarah: 210)
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:

كَلَّا إِذا دُكَّتِ الْأَرْضُ دَكًّا دَكًّا. وَجاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا. وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرى

Jangan (berbuat demikian). Apabila bumi diguncangkan berturut-turut, dan datanglah Tuhanmu, sedangkan malaikat berbaris-baris, dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, tetapi tidak berguna lagi mengingat itu baginya. (Al-Fajr: 21-23)

Dan firman Allah Swt.:
‎ 
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ تَأْتِيَهُمُ الْمَلائِكَةُ أَوْ يَأْتِيَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِيَ بَعْضُ آياتِ رَبِّكَ

Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan (siksa) Tuhanmu, atau kedatangan beberapa ayat Tuhanmu. (Al-An'am: 158), hingga akhir ayat.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir dalam bab ini menuturkan sebuah hadis mengenai As-sur (sangkakala) yang cukup panjang mulai dari permulaannya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw. Hadis ini cukup terkenal dan diketengahkan oleh banyak pemilik kitab musnad dan lain-lainnya. Antara lain di dalamnya disebutkan seperti berikut:

Bahwa umat manusia di saat mengalami kesusahan di padang mahsyar, mereka meminta syafaat kepada Tuhannya melalui para nabi seorang demi seorang, mulai dari Nabi Adam sampai nabi-nabi yang sesudahnya. Tetapi nabi-nabi itu mengelakkan dirinya dari memohon syafaat tersebut, hingga sampailah mereka kepada Nabi Muhammad Saw. Ketika mereka datang kepadanya, maka beliau Saw. bersabda: Akulah orangnya, akulah orangnya yang dapat memohonkan syafaat. Lalu Nabi Saw. berangkat dan bersujud kepada Allah di bawah Arasy, dan beliau meminta syafaat dari sisi Allah agar Dia berkenan datang untuk memutuskan peradilan di antara semua hamba-Nya. Maka Allah memberi izin kepadanya untuk memberi syafaat. Lalu Allah datang dalam naungan awan sesudah langit dunia terbelah dan semua malaikat yang ada padanya turun; kemudian langit kedua, dan langit ketiga hingga langit ketujuh terbelah pula. Para malaikat penyangga Arasy dan malaikat Karubiyyun turun. Kemudian Allah Yang Mahaperkasa turun dalam naungan awan dan para malaikat yang terdengar gemuruh suara tasbih mereka seraya mengucapkan, "Mahasuci Allah yang mempunyai kerajaan dunia dan kerajaan langit. Mahasuci Allah yang memiliki segala keagungan dan keperkasaan. Mahasuci Allah Yang Mahahidup dan tak pernah mati. Mahasuci Allah yang mematikan semua makhluk, sedangkan Dia tidak mati. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan para malaikat dan roh. Mahasuci lagi Mahakudus Tuhan kami Yang Mahatinggi. Mahasuci Tuhan yang memiliki kekuasaan dan keagungan. Mahasuci Allah selama-lamanya."

‎Al-Hafiz Abu Bakar ibnu Murdawaih dalam bab ini mengetengahkan banyak hadis yang di dalamnya terkandung hal-hal yang aneh. Antara lain ialah apa yang diriwayatkannya melalui hadis Al-Minhal ibnu Amr, dari Abu Ubaidah ibnu Abdullah ibnu Maisarah, dari Masruq, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi Saw. yang telah bersabda:

"يَجْمَعُ اللَّهُ الْأَوَّلِينَ وَالْآخَرِينَ لِمِيقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُومٍ، قِيَامًا شَاخِصَةً أَبْصَارُهُمْ إِلَى السَّمَاءِ، يَنْتَظِرُونَ فَصْل الْقَضَاءِ، وَيَنْزِلُ اللَّهُ فِي ظُلَل مِنَ الْغَمَامِ مِنَ الْعَرْشِ إِلَى الْكُرْسِيِّ"

Allah menghimpunkan orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir di suatu tempat pada hari yang telah dimaklumi, semua orang mengarahkan pandangannya ke langit menunggu-nunggu keputusan peradilan. Lalu Allah turun dalam naungan awan dari Arasy sampai ke Al-Kursi.


Al-Qur’an surat  an-Naba ayat 31-36 juz 30

‎إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا (31) حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا (32) وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا (33) وَكَأْسًا دِهَاقًا (34) لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلَا كِذَّابًا (35) جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا (36)

31. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan, 32. (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur, 33. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya, 34. Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). 35. Di dalamnya mereka tidak mendengar Perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) Perkataan dusta. 36. Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak,

Allah Swt. berfirman, menceritakan keadaan orang-orang yang berbahagia dan pahala apa yang telah disediakan oleh Allah Swt. bagi mereka berupa kehormatan dan kenikmatan yang abadi; untuk itu Allah Swt. berfirman:

{إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا}

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan. (An-Naba: 31)

Ibnu Abbas dan Ad-Dahhak mengatakan, maknamafazan ialah tempat untuk berekreasi. Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa mereka beroleh kemenangan, maka mereka selamat dari neraka. Tetapi pendapat yang jelas dalam hal ini adalah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, karena dalam firman berikutnya disebutkan:

{حَدَائِقَ}

(yaitu) kebun-kebun. (An-Naba: 32)
Maksudnya, taman-taman yang dipenuhi dengan pohon-pohon kurma dan lain-lainnya.

{وَأَعْنَابًا وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا}

dan buah anggur, dan gadis-gadis remaja yang sebaya. (An-Naba: 32-33)

Yaitu bidadari-bidadari yang sebaya usianya. Ibnu Abbas dan Mujahid serta selain keduanya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa maknakawa'ib ialah nawahid, yakni bidadari-bidadari yang dadanya montok lagi kencang tidak bergayut, karena mereka masih gadis Iagi berusia remaja semuanya, sebagaimana yang telah disebutkan di dalam surat Al-Waqi'ah.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّشْتَكِيُّ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ بْنِ تَيْمٍ الْيَشْكُرِيِّ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ سُلَيْمَانَ أَبُو الْغَيْثِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَاسِمِ بْنِ أَبِي الْقَاسِمِ الدِّمَشْقِيِّ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ: أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ قُمُص أَهْلِ الْجَنَّةِ لِتَبْدُوَ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، وَإِنَّ السَّحَابَةَ لَتَمُرُّ بِهِمْ فَتُنَادِيهِمْ: يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ، مَاذَا تُرِيدُونَ أَنْ أُمْطِرَكُمْ؟ حَتَّى إِنَّهَا لَتُمْطِرُهُمُ الْكَوَاعِبَ الْأَتْرَابَ"

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Abdur Rahman Ad-Dustuki, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Abu Sufyan alias Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Tayyim, telah menceritakan kepada kami Atiyyah ibnu Sulaiman alias Abul Gais, dari Abu Abdur Rahman Al-Qasim ibnu Abul Qasim Ad-Dimasyqi, dari Abu Umamah, bahwa ia pernah mendengarnya menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Sesungguhnya baju-baju gamis ahli surga benar-benar menampilkan keridaan Allah (kepada mereka), dan sesungguhnya awan benar-benar melewati mereka, lalu berseru kepada mereka, "Hai Ahli Surga, apakah yang ingin aku turunkan kepada kalian?” Sehingga sesungguhnya awan surga itu benar-benar menghujani mereka dengan gadis-gadis remaja yang sebaya usianya.

Allah Swt. berfirman:

{وَكَأْسًا دِهَاقًا}

dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). (An-Naba: 34)

Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah yang penuh-penuh lagi berturut-turut. Menurut ikrimah, makna yang dimaksud ialah yang jernih minumannya.

Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: yang penuh (berisi minuman). (An-Naba: 34) Yakni penuh berisi minuman lagi menyenangkan. Mujahid dan Sa'id ibnu Jubair mengatakan berturut-turut.
Firman Allah Swt.:

{لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا كِذَّابًا}

Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. (An-Naba: 35)
Semakna dengan firman-Nya:

لَا لَغْوٌ فِيها وَلا تَأْثِيمٌ

Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa. (Al-Waqi'ah: 25)

Yaitu di dalam surga tidak terdapat perkataan yang sia-sia tiada faedahnya, tidak pula perkataan yang berdosa (yakni dusta), bahkan surga adalah negeri kesejahteraan, dan semua yang ada di dalamnya bebas dari segala bentuk kekurangan.
Firman Allah Swt.:

{جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا}

Sebagai balasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak. (An-Naba: 36)

Semua yang telah disebutkan di atas merupakan balasan dari Allah yang diberikan-Nya kepada mereka sebagai karunia, kebaikan, dan rahmat-Nya kepada mereka.

{عَطَاءً حِسَابًا}

dan pemberian yang cukup banyak. (An-Naba: 36)

Yakni yang cukup, sesuai, utuh, lagi banyak. Orang Arab mengatakan A'tanifa-ahsabani, yakni dia memberiku dengan pemberian yang cukup banyak. Dan termasuk ke dalam pengertian ini ucapan Hasbiyallah, yang artinya 'cukuplah Allah sebagai Pelindungku'.

Dari penafsiran diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa metode yang digunakan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Menafsirkan Al-Qur`an dengan Al-Qur`an. Pendeknya, Ia menjelaskan satu ayat dengan ayat yang lain, karena dalam satu ayat di ungkapkan dengan abstrak (mutlak) maka pada ayat yang lain akan ada pengikatnya (muqayyad). Atau pada suatu ayat bertemakan umum (’âm) maka pada ayat yang lain di khususkan (khâsh). Ibnu Katsir menjadikan rujukan ini berdasarkan sebuah ungkapan, “bahwa cara yang paling baik dalam penafsiran, adalah menafsirkan ayat dengan ayat yang lain”. Pada contoh diatas yaitu surat al-Baqarah ayat 47, al-Baqaah ayat 210 serta an-Naba ayat 35, Ibnu Katsir menyitir ayat al-Qur’an ang lain untuk lebih jelas menafsirkannya.

Menafsirkan al-Qur`an dengan Sunnah (Hadits).  Ibnu Katsir menjadikan Sunnah sebagai referensi kedua dalam penafsirannya. Bahkan dalam hal ini, Ibnu Katsir tidak tanggung-tanggung untuk menafsirkan suatu ayat dengan berpuluh-puluh hadits –bahkan mencapai 50 hadits – kasus ini bisa dilihat ketika menafsirkan surat al-Isrâ. Adapun pada contoh diatas terdapat pada surat al-Baqarah ayat 210.

Tafsir Qur`an dengan perkataan sahabat. Ibnu Katsir berkata, jika kamu tidak mendapati tafsir dari suatu ayat dari al-Qur`an dan Sunnah, maka jadikanlah para sahabat sebagai rujukannya, karena para sahabat adalah orang yang adil dan mereka sangat mengetahui kondisi serta keadaan turunnya wahyu. Ia menjadikan konsep ini berdasarkan beberapa riwayat, di antaranya atas perkataan Ibnu Mas’ud: “demi Allah tidak suatu ayat itu turun kecuali aku tahu bagi siapa ayat itu turun dan di mana turunnya. Dan jika ada seseorang yang lebih mengetahui dariku mengenai kitab Allah, pastilah aku akan mendatanginya“. Juga riwayat yang lain mengenai didoakannya Ibnu Abbas oleh Rasululllah saw, “ya Allah fahamkanlah Ibnu Abbas dalam agama serta ajarkanlah ta’wil kepadanya“. Kita dapat melihat pada surat an-Naba ayat 31 beliau menukil perkataan Ibnu Abbas.

Menafsirkan dengan perkataan tabi’in. Cara ini adalah cara yang paling akhir dalam cara menafsirkan Al-Qur`an dalam metode bil-ma`tsur. Ibnu Katsir merujuk akan metode ini, karena banyak para ulama tafsir yang melakukannya, artinya, banyak ulama tabi’in yg dijadikan rujukan dalam tafsir. Seperti perkataan ibnu Ishaq yang telah menukil dari Mujahid, bahwa beliau memperlihatkan mushaf beberapa kali kepada Ibnu Abbas, dan ia menyetujuinya. Sufyan al-Tsauri berkata, “jika Mujahid menafsirkan ayat cukuplah ia bagimu”. Selain Mujahid, di antara ulama tabi’in adalah Sa’id bin Jabir, Ikrimah, Atha’ bin Rabah, Hasan al-Bashri, Masruq bin al-Ajdi, Sa’id bin Musayyab, Abu al-’aliyah, Rabi’ bin Anas, Qatadah, al-Dahhaak bin Muzaahim Radliyallahu ‘anhum‎. Kita dapat melihat pada surat al-Baqarah ayat 47 beliau menukil perkataan Mujahid.
Sikapnya terhadap Israiliyat

Sikap Ibnu Katsir dalam israiliyat sama dengan gurunya Ibnu Taymiyyah, akan tetapi dia lebih tegas sikapnya dalam menghadapi masalah ini. Sebagaimana ulama yang lain, Ibnu Katsir mengklasifikasikan israiliyat ke dalam tiga jenis.Pertama, riwayat yang shahih dan kita harus meyakininya. Pendeknya, riwayat israiliyat tersebut sesuai (baca: ada) dengan apa yang di ajarkan oleh syari’at Islam. Kedua, riwayat yang bersebrangan dengan Islam, berarti kewajiban untuk ditolak, karena riwayat ini adalah riwayat dusta. Ketiga, riwayat yang ‎tawaquf ditangguhkan. Hal ini menuntut sikap untuk tidak meyakini 100 % dan menolak 100%. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “kabarkanlah oleh kamu tentang bani Israil karena hal itu tidak mengapa bagi kamu…“. Dan hadits lain, “janganlah kamu sekalian membenarkan mereka, juga jangan mendustakan mereka”. Untuk point pertama dan kedua ibnu Katsir sepakat dengan ulama yang lain tapi untuk point ketiga Ibnu Katsir kurang sepakat dalam tatanan realitanya. hal ini bisa kita cermati, ketika beliau banyak mengedepankan tentang larangan periwatan israiliyat yang Ia suguhkan dalam metode tafsirnya.

Begitu pula, Ia banyak melontarkan kritik terhadap riwayat israiliyat, karena riwayat ini kurang mempunyai faidah baik itu dalam permasalah keduniaan maupun problematika keagamaan. Berbagai trik Ia gunakan dalam menghadapi riwayat ini. Seperti, tidak menyebutkan riwayat ini atau, kalaupun ia ungkapkan ia sandarkan kepada orang yang mengatakannya. Lalu ia diskusikan dan menjelaskan kelemahan serta sisi kekurangan riwayat ini

Referensi tafsirnya

Setelah diteliti oleh muhaqqiq dalam bidang tafsir dan hadits, tafsir Ibnu Katsir sangat ilmiah dan kaya dengan referensi yang sulit di dapat. Bahkan sekarang ada beberapa jenis referensi yang sudah tidak ada dan sangat sulit dicari. Betapa karya ini kaya dengan ilmu yang menyimpan mutiara-mutiara berharga, karena Ibnu Katsir menjadikan referensi karyanya yang diambil dari berbagai disiplin ilmu, Baik itu tafsir, ilmu tafsir, hadits, ilmu-ilmu hadits, lughah, sejarah, fiqh, ushul fiqh, bahkan geografi. Dari hasil penelitian, tafsir ibn katsir menjadikan rujukannya tidak kurang dari 241 referensi yang terkumpul dari berbagai disiplin ilmu. Dari jumlah itu bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

Kutub al-muqaddasah; al-qur`an, at-taurat dan injil.
Tafsir dan ilmunya, tidak kurang dari 36 judul buku dari berbagai pengarang.
Hadits, syarh hadits dan ilmu-ilmunya terdiri dari 71 judul buku dari berbagai pengarang.
Fiqh dan ilmu ushul fiqh yang terhipun dari 32 judul buku.
Sejarah tidak kurang dari 25 judul buku.
Bahasa dan disiplin ilmunya 4 judul buku.
Kategori berbagai disiplin ilmu terdiri dari 44 judul buku.
Kategori karya umum: 7 judul buku.
Naql langsung dari guru-guru ibn katsir.
Kategori umum yang tidak bisa dilacak kurang lebih 13 jenis.

Komentar para ulama

Dalam hal ini Rasyid Ridha berkomentar “ Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberian perhatian besar pada riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan mana-mana ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassirin, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”‎. Imam  Suyuthi (w.911) berkata mengenai tafsir ibnu katsir, “lam yu-laf ‘alâ namthihi mitsluhu“( belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya).

Keistimewaan metodologi Tafsir Ibnu Katsir

Keistimewaan tafsir Ibnu Katsir ini bisa kita jabarkan ke dalam beberap point; 
Pertama, nilai (isi) tafsir tersebut tidak hanya tafsir atsari saja (bilma’tsur), yang menghimpun riwayat serta khabar. Tapi beliau juga menghimpun referensi yang lain. 
Kedua,menghimpun ayat-ayat yang serupa dengan menjelaskan rahasia yang dalam dengan keserasiannya, keselarasan lafadnya, kesimetrisan uslubnya serta keagungan maknanya. 
Ketiga, menghimpun hadits dan khabar baik itu perkataan sahabat dan tabi’in. Dengan menjelaskan derajat hadits atau riwayat tersebut dari shahih dan dla’if, dengan mengemukakan sanad serta mata rantai rawi dan matannya atas dasar ilmu jarh wa ta’dîl. Pada kebiasaannya dia rajihkan aqwal yang shahih dan menda’ifkan riwayat yang lain. 
Keempat, keterkaitan tafsir ini dengan pengarangnya yang mempunyai kafabilitas mumpuni dalam bidangnya. Ibnu Katsir ahli tafsir, tapi diakui juga sebagai muhaddits, sehingga dia sangat mengetahui sanad suatu hadits. 
Oleh karenanya, ia menyelaraskan suatu riwayat dengannaql yang shahih dan akal sehat. Serta menolak riwayat yang munkar dan riwayat yang dusta, yang tidak bisa dijadikan hujjah baik itu di dunia ataupun di akhirat kelak.

Kelima, jika ada riwayat israiliyat Ia mendiskusikannya serta menjelaskan kepalsuannya, juga menyangkal kebohongannya dengan menggunakan konsep jarh wa ta’dil. Keenam, mengekspresikan manhaj al-salâfu al-shaleh dalam metode dan cara pandang, sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Kelemahan-kesalahan Wajar dalam Tafsir Ibnu Katsir

Dari analisa di atas, menurut saya  terdapat beberapa kekurangan dalam penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan Ibnu Katsir, yaitu diantaranya kurang membahas masalah I’rab dan ketatabahasaan dalam menafsirkan aat-ayat dalam Al-Qur’an. Dari hasil penelitian yang dilakukan para peneliti dari ualama al-Azhar terdapat beberapa catatan yang mengungkapkan adanya kesamaran dalam karyanya yaitu

Memang catatan yang ditujukan kepada tafsir ini tidak mengurangi keilmiahan dan nilai tafsir ini -insya Allah-. Dalam hal ini, catatan tersebut di uraikan sebagai berikut:

Kesalahan dalam penyandaran. Contohnya, dalam tafsir surat Âli ‘Imrân:169. Ia menyebutkan riwayat Ahmad; tsana Abdul Samad, tsana Hamâd, tsana Tsabit, ‘an Anas marfû’an, “mâ min nafsin tamûtu laha…” al-hadits. Ibn katsir berkata, “tafarrada bihi muslim min tharîq Hamâd“. Hadits ini dikeluarkan oleh imam Muslim dari jalan Humed dan Qatadah dari Anas. Imam Muslim tidak mengeluarkan hadits ini dari Tsabit melalui jalur Anas. Sebenarnya yang meyendiri itu adalah riwayat Ahmad, “tafarrada bihi ahmad min tharîq Hamâd“.

Kesalahan dalam nama sahabat yang meriwayatkan hadits, atau penyandaran hadits kepada sahabat, padahal tidak terdapat hadits sahabat tersebut dalam bab ini. Seperti, tafsir surat yusûf:5. Dalam penafsiran surat ini, Ia mengungkapkan hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan sebagian Ahli Sunan dari Muawiyyah ibn Haydah al-Qusyayrî sesungguhnya dia berkata, Rasulullah bersabda, “al-Ru`ya ‘alâ rajuli thâ`ir mâ lam tu’bar…..“. Seperti inilah yang tertera dalam musnad Muawiyyah ibn Haydah yang diriwayatkan oleh imam Ahmad. Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Ibn Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadits dari Abi Rizin al-’Uqayli. Padahal hadits ini tidak diriwayatkan dari Muawiyyah, melainkan dari Abi Rizin al-’Uqayli.

Kesalahan dalam mata rantai sanad. Contoh, tafsir surat al-An’am:59 dari ibn Abi Hâtim dengan sanadnya kepada malik ibn Sa’îr, tsnâ al-A’mas, dari Yazid ibn Abi Ziyad dari Abdullah ibn al-Harits dia berkata, “mâ fî al-ardli min syajaratin….“. ibn Katsir berkata, seperti inilah ibn Jarir meriwayatkan (11/13308), Ziyad ibn Yahya al-Hasani Abu al-Khathab. Sementara dalam tafsir ibn katsir di dapati bahwa yang meriwayatkan itu, Ziyad ibn Abdullah al-Hasani abu al-Khatab. Ini jelas keliru, karena riwayat yang sebenarnya ialah Malik ibn Sa’ir melalui jalan Ziyad ibn Yahya al-Hasani abu al-Khatab dari Ziyad.

Kurang menyentuh dalam menyandarkan riwayat. Contoh, sebagaimana yang Ia ungkapkan dalam menafsirkan surat Âli ‘Imrân:180. Ia mengemukakan hadits, “lâ ya`ti al-rajulu mawlâhu fayas`aluhu…“. Ibn Katsir merasa cukup menyandarkan dalam periwayatannya kepada ibn Jarir dan Ibn Mardaweh. Padahal, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, Nasâ`i dan yang lainnya, yang lebih utama untuk di sandarkan.

Lupa dalam menukil beberapa perkataan ulama. Contonya, tafsir surat al-A’raf:8. Ia menyebutkan hadits riwayat imam Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengomentari hadits ini dengan ungkapan, “rawâhu tirmidzi wa shahhahahu“. Padahal yang sebenarnya ialah, “rawahu tirmidzi wa qâla, hadza al-hadîts hasan gharîb“.
Ibnu Katsir sebagai sosok ulama yang saleh telah meninggalkan karya yang sangat bermanfaat sekali. lontaran keilmuan yang ia lontarkan, merupakan gayung bersambut dari amanah yang telah diembankan kepada ummat. Itulah salah satu tanggung jawab yang ia kontribusikan kepada kita. Metode serta cara berpikirnya telah memperlihatkan dan mempersembahkan metode yang dijadikan standar dalam penelitian, dan senantiasa dijadikan tolak ukur.

Dalam penelitian yang sederhana ini kami dapat menyimpulkan bahwa  tafsir Ibnu Katsir merupakan tafsir yang menggunakan metodologi bil ma’tsur, bahkan merupakan tafsir bil ma’tsur yang mendapatkan predikat termasyhur kedua setelah tafsir at- Thabari.

Tafsir ini memiliki banyak keunggulan diantaranya yaitu kehati-hatian Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, terlebih kaitannya dengan Hadits atau Khabar yang kurang tsiqah. Beliau mencoba sejauh mungkin untuk menghindarinya. Begitupun dengan Israilliyat.

Tidak ada gading yang tidak retak, begitupun dalam tafsir ini. Sebagai buah karya dari manusia biasa, tentu saja dalam tafsir ini ada kekurangannya yaitu kurangnya pembahasan mengenai i’rab dan tatabahasa dalam penafsiran ayat, dan disamping ada beberapa kekeliruan diatas. Tetapi ini tidak mengurangi kualitas tafsir ini.

Akhirnya semoga apa yang telah saya usahakan dapat bermanfaat bagi kita semua, dan dapat memotivasi kita untuk lebih mentadaburi Al-Qur’an. Atas kekurangannya saya mohon maaf.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...