Senin, 25 Oktober 2021

Imam Abu Bakr Ahmad Bin Ali Ar-Rozi Al-Jashsosh


‎Nama lengkap beliau adalah Abu Bakar, Ahmad bin Ali al-Razi, terkenal dengan panggilan al-Jashash (Tukang Kapur) , lahir dikota Baghdad pada ahun 305 H dan wafat masih dikota yang sama pada tahun 370 H .

Al-Jaṣaṣ merupakan nama Laqab beliau yang dinisbatkan kepada pekerjaan beliau sebagai tukang plester(campuran semen, pasir, kapur, untuk melekatkan batu bata). Dalam kamus Lisān al-‘Arab kata al-Jaṣaṣ maknanya adalah kapur atau tukang kapur. Kadang beliau juga di panggil dengan panggilan Jaṣaṣ al-Ḥanafi, al-Razi al-Jaṣaṣ , Ahmad ibn ‘Ali, Abu Bakar, dll. Sedangkan untuk panggilan Abu Bakar adalah Kunyah beliau.

Beliau adalah imam yang ternama dimasanya, luas dalam thalab ilmunya, beliau berguru kepada Abu Suhail al-Zujaj, Abu al-Hasan al-Kurkhi dan kepada yang lainnya diantara ‘ulama fiqih pada jamannya dan menghabiskan studinya di kota Baghdad. Beliau mengambil manhaj zuhud dari gurunya imam al-Kurkhi. Dari sikap zuhudnya itu sampai-sampai ada tawaran beberapa kali kepada beliau menjadi qodli atau hakim, namun beliau menolaknya. 

Beliau meriwayatkan hadis dari Abdul Baqi bin Qani’. Kemudian, atas saran gurunya, al-Karakhi, ia merantau ke Naisabur berguru kepada Hakim an-Naisaburi lalu kembali ke Baghdad pada tahun 344 H. Mulai saat itu, ia menetap dan mengajar di Irak. Suatu ketika ia ditawari menjadi Qadhi, namun ia menolak. Kegiatannya dalam pendidikan memberikan hasil nyata. Berkat bimbingannya, lahir pakar-pakar fiqh antara lain Muhammad Yahya al-Jurjani dan Abu Hasan az-Za’farani.

Al-Manshur Billah memasukkannya ke dalam golongan Mu’tazilah, sebagaimana banyak terlihat dalam penjelasan tafsirnya.

Daftar Karya

Karyanya yang paling penting adalah tafsir ‎Ahkam al-Qur’an. Selain itu, beliau juga melahirkan beberapa karya, antara lain :

1.      Syarh Mukhtashar al-Karakhi

2.      Syarh Mukhtashar at-Thahawi

3.      Syarh al-Jami’ li Muhammad ibn al-Hasan

4.      Syarh al-Asma’ al-Husna

5.      Adab al-Qadha

6.      Ushul Fiqh (dituangkan dalam muqaddimah tafsirnya).

(Keterangan ini merujuk pada kitab “Al-Tafsir wa al-Mufassirun” karya Muhammad Husain adz-Dzahaby, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Kairo, 1961, kitab Terjemahnya tentang ”Al-Fawaid al-Bahiyyah” dalam “Tarajum al-Hanafiah”, dan kitab “Syarh al-Azhar”).

Adapun hasil dari buah karya baliau sangatlah banyak dan dianggap yang paling aadalah kitab Ahkam al-Quran. Beliau membuat karya berupa syarah Mukhtashar imam al-Kurkhi, mukhtashar imam al-Thohawi dan syarah al-Jami’ al-Kabir karya imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Selain kitab-kitab tersebut, beliau juga membuat karya kitab ushul fiqih dan adab al-qodlo. Maka dari hasil karya-karya beliau ulama pada masanya memndang beliau sebagai khoirotul ‘ulamau al-a’lam (sebaik-baik ulama dunia-terkenal-) beliau menjadi salah satu sandaran pembelaan terhadap madzhab hanafiah. Beliau mendapat gelar al-manshuru billah (penolong Allah) pada thobaqoh mu’tazilah.
Guru-Guru al-Jaṣaṣ

Al-Jaṣaṣ memiliki guru yang masing-masing guru tersebut mempunyai disiplin ilmu tersendiri, di antaranya yaitu:

-          Abi al-Hasan al-Karahy. Dari Abi al-Hasan al-Karahy-lah beliau mendapat ilmu zuhud.
-          Aby Ali al-Farisy dan Aby Amr Ghulam Tsa’lab tentang ilmu lughat
-          Aby Sahl al- Zarjaji tentang ilmu fiqh
-          Al- Hakim al-Naysaburi tentang hadits.

Sekilas Tentang Kitab  Ahkamul Qur'an

Karangan yang paling monumentalnya ialah Tafsir Ahkam Al-Qur’an atau yang dikenal dengan tafsir al-Jaṣhaṣ. Syarh Mukhtashar al-Karahy, Syarh mukhtashar al-Thahawy, Syarh al-Jami’ al-kabirnya imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Beberapa kitab ushul fiqh, dan kitab adab al-qada’ itu semua merupakan karangan-karangan beliau.
SEKILAS KITAB TAFSĪR AHKĀM AL-QUR’AN

Kitab Tafsīr Ahkām Al-Qur’an adalah kitab tafsir yang dikarang oleh Ahmad ibn ‘Ali al-Razy. Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang dijadikan rujukan oleh ulama’-ulama’ Hanafi tentang fikih, karena tafsir Ahkam al-Qur’an ini adalah kitab Tafsir yang isinya atau tafsirannya mengarah kepada permasalahan fikih atau bisa dibilang kitab ini adalah kitab fikih. Khususnya fikih Hanafi.

Kitab Tafsīr Ahkām Al-Qur’an merupakan kitab tafsir yang istimewa, karena penafsirannya menggunakan metode bil Ma’thūr, sedangkan biasanya orang yang bermazhab hanafi lebih condong kepada ra’yi dari pada riwayat. Al-Jaṣaṣ adalah penganut aliran ahlu as-Sunnah wal Jama’ah tetapi ada sebagian orang yang memandang beliau sebagai penganut aliran muktazilah, dengan dalil dalam tafsirannya beliau ada tafsiran yang mengarah pada aliran muktazilah. ‎Contoh:

Dalam surat al-An’am ayat 103:

لاتدركه الابصر

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata

Makna ayat ini adalah: dia tidak dilihat oleh penglihatan mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata, seperti firman Allah yang lain “.... tidak mengantuk dan tidak tidur...” (al-Baqarah: 255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji diri-Nya dengan peniadaan penglihatan dengan mata terhadap-Nya, maka menetapkan kebalikannya yaitu tidak diperkenankan dilihat, karena yang demikian itu berarti menetapkan sifat aib dan kurang (bagi-Nya).

Dari contoh di atas bahwa Allah itu tidak bisa dilihat dengan menggunakan mata, berarti penafsirannya mengarah pada aliran muktazilah. Karena menurut aliran muktazilah Allah tidak bisa dilihat dengan menggunkan mata.

Nama kitab Ahkām Al-Qur’an ternyata tidak hanya milik al-Jaṣaṣ seorang, tapi juga ada yang lain, seperti tafsir Ahkām Al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi dan Ahkām Al-Qur’an karya Kiyā al-Harasi. Dari ketiga pengarang kitab tafsir di atas memiliki kesamaan dan juga perbedaan. kesamaannya adalah sama-sama menafsirkan al-Qur’an yang mengarah kepada permasalahan fikih, sedangkan perbedaannya adalah mereka bertiga berbeda pada madzhab yang dianut. al-Jaṣaṣ adalah penganut madzab imam hanafi, Ibnu ‘Arabi adalah penganut imam maliki, dan Kiyā al-Harasi adalah penganut imam syafi’i.‎

Metode Penafsiran Ahkām Al-Qur’an

Metode yang digunakan al-Jaṣaṣ dalam menafsirkan al-Qur`an adalah metode tahlili. Metode tahlili adalah suatu metode tafsir yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya, dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf. Dari pengertian ini penulis menyimpulkan bahwa metode yang digunakan al-Jaṣaṣ adalah metode tahlili, dengan bukti bahwa dalam penafsiran lafal basmalah di tafsirkan dari berbagai segi, mulai dari segi nahwu, keutamaan basmalah, dan hukum membaca basamalah, dll.‎

Tafsir al-Jaṣaṣ selain dikatakan tafsirannya menggunakan metode tahlili bisa juga tafsirannya dikatakan menggunakan metode maudu’i, dengan bukti pengklasifikasian penafsirannya diletakkan dengan sebuah bab-bab tersendiri dan juga tidak melebar pada pembahasan yang lain, seperti bab Qaul fī Bismillahi al-Rahmān al-Rahīm, bab Ahkāmu al-Bismillah, bab Julūdu al-maitāh, dll.
Karakteristik penulisan Ahkām Al-Qur’an

Tafsir al-Jaṣaṣ ini di cetak kedalam beberapa jilid, yang penulis temukan dalam bentuk file PDF ada 5 jilid yang di terbitkan oleh Dār al-Ḥiya` Bairut, Lebanon tahun 1992. Mungkin dalam terbitan atau cetakan lain bisa hanya 3 jilid atau yang lainnya.

Al-Jaṣaṣ tidak hanya menafsirkan al-Qur`an saja tetapi juga mengkritik aliran-aliran lain yang tidak sependapat dengan beliau. Bahasa yang digunakan oleh al-Jaṣaṣ dalam mengkritik aliran-aliran lain cukup keras dan pedas. Runtutan penafsirannya al-Jaṣaṣ adalah pertama beliau menafsiri ayat dengan ayat, kedua dengan hadis atau perkataan sahabat atau tabi’in, dan yang terakhir adalah dengan ra’yi.

Dalam pembagian pembahasan, al-Jaṣaṣ membaginya kedalam bab-bab tertentu, seperti layaknya pada kitab-kitab fikih.
Karakter Kitab

Kitab tafsir Ahkām Al-Qur’an ini mempunyai beberapa karakter, diantaranya adalah:

Pembahasannya hanya mencakup permasalahan fikih.
Penafsirannya menggunakan dua metode yang digabungkan, antara bil ma’thur dan bil ra’yi.
Pemaparannya tidak pernah menggunakan nomor ayat yang hendak di tafsirkan, sehingga bagi orang yang ingin mencari penafsiran ayat-ayat tertentu agak sulit.
Penafsirannya terlalu fanatik kepada madzhab yang di ikutinya, yaitu madzhab hanafi.

Contoh-Contoh Penafsiran

1.      Al-Baqarah ayat 25

وَبَشِّرِ الَّذِين آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ
قال أصحابنا فيمن قال أي عبد بشرني بولادة فلانة فهو حر فبشروه جماعة واحدا بعد واحد أن الأول يعتق دون غيرها 

Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.
Sahabat kami berkata Jika ada orang yang mengatakan, budak mana yang membahagiakan saya dengan melahirkan seseorang perempuan maka akan bebas. Maka ada satu persatu yang membuat bahagia, maka yang pertamalah yang bebas, tidak yang lain

2.      Al-Baqarah ayat 190

قال الله تعالى وَقَاتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبِّ الْمُعْتَدِينَ {البقرة/190
قال أبو بكر لم تختلف الأمة أن القتال كان محظورا قبل الهجرة بقوله ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ {فصلت/34} وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ {فصلت/35}وقوله فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {المائدة/13{ وقولهوَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ {النحل/125} وقوله فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاَغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ {الرعد/40}وقوله وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا {الفرقان/63}

Dan Perangilah  di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Abu Bakr berkata : umat tidak berselisih tentang peperangan itu dilakukan sebelum hijrah dengan firman Allah : Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali  kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.

3.      Surat Al-Baqarah ayat 158

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ اللّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ {البقرة/158}
روي عن ابن عيينة عن الزهري عن عروة قال قرأت عند عائشة رضي الله تعالى عنها إن الصفا والمروة من شعائر الله فقلت لا أبالي أن لا أفعل قالت بئسما قلت يا ابن أختي قد طاف رسول الله ص - وطاف المسلمون فكانت سنة
وروي عن عكرمة عن ابن عباس في قوله تعالى إن الصفا والمروة من شعائر الله قال كان على الصفا تماثيل وأصنام وكان المسلمون لا يطوفون عليها لأجل الأصنام والتماثيل فأنزل الله تعالى فلا جناح عليه أن يطوف بهما

Diriwayatkan dari  Ibni uyainah dari al-Zuhri dari Urwah berkata di samping Aisyah dibacakan ayat 
إن الصفا والمروة من شعائر الله 

maka saya berkata, saya tidak peduli, saya tidak melakukannya.  Aisyah berkata bagaimana kau berkatabegitu wahai sepupu lelakiku, Rasulullah melakukan thawaf, orang-orang Islampun juga, maka thawaf tersebut sunnah.
Dan diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas di dalam
 .. إن الصفا والمروة من شعائر الله ,
Ibnu Abbas berkata di shafa terdapat patung-patung dan berhala-berhala, maka orang-orang muslim tidak thawaf ke shafa karena patung-patung dan berhala-berhala tersebut maka turunlah ayat 

إن الصفا والمروة من شعائر الله.

فروى هشام بن عروة عن أبيه وأيوب عن ابن أبي مليكة جميعا عن عائشة قالت ما أتم رسول الله ص - لامرئ حجة ولا عمرة مالم يطف بين الصفا والمروة وذكر أبو الطفيل عن ابن عباس أن السعي بينهما سنة وأن النبي ص – فعله

Diriwayatkan Hisyam bin urwah dari bapaknya dan Ayyub Putranya Abi Malikah  semuanya dari Aisyah, berkata  Rasulullah tidak menganggap sempurna orang yang haji dan tidak  umrah  selagi tidak thawaf  di antara Shafa dan Marwah, Abu Thufail menuturkan  dari ibnu Abbas berkata sa’i di antara Shafa dan Marwah itu  sunnah dan Nabi melakukannya.

وقد اختلف فقهاء الأمصار في ذلك فقال أصحابنا والثوري ومالك أنه واجب في الحج والعمرة وتركه يجزي عنه الدم وقال الشافعي لا يجزي عنه الدم إذا تركه وعليه أن يرجع فيطوف

Beberapa ulama Fiqh berbeda pendapat tentang Thawaf tersebut, Sahabat kita, al-Tsauri dan Malik menyatakan Thawaf wajib di dalam haji dan umrah dan jika meninggalkannya maka membayar dam, dan Imam Syafii berkata, tidak mencukupi dan baginya kembali mengerjakan thawaf.

Kita tahu bahwa ada beberapa bagian yntuk mengetahui metode sang penafsir dalam mentafsiri Al Quran. Yaitu: sumber tafsir, cara penjelasan, keluasan penjelasan, sasaran atau objek yang ditafsirkan, dan terakir kecenderungan sng mufasir.

Sedangkan kitab Al Jasas ini,diihat dari sumber penafsiran dan cara mufasir menafsirkan ayat, maka tafsir Ini termasuk yang bersumber ra’yi. Dikatakan ro’yi disisni karana mufasir lebih mngedepankan arro’yi ata pemikiran. Beliau selalu menggunakan kemampuannya sesuai disiplin ilmunya mengeksplor kandungan Alqur’an . Dalam tafsirnya beliau cenderung lebih banyak mengutip pendapat imam Hanafi dan lebih mengutamakan akal sehingga tafsirnya dikategorikan sebagai tafsir Hanafi Mu’tazili.

Sedangkan dari cara penjelasan tafir ini dapat dikategorikan menggunakan bayani. Bayani disini berarti mengambarkan dengan gamblang. Sedangkan diliat dari keluasan penjelasan tafsir Al Jashaas ii termasuk yang ihnabi atau rinci.

Sedangkan dilihat dari objek yang ditafsirkan, tafsir Al Jashas ini menggunakan tahlili. Yaitu penafsir lebih mencoba menganalisa setiap ayat sesuai urutan ayat. Tetapi jika dicermati ternyata tafsir ini juga menggunakan metode maudhu’I, karena dalam setiap surat yang dditafsirkan selalu ada bab tentang masalah tersendiri.

Setiap tafsir pasti mempunyai kekhassan sendiri-senriri. Begitu juga dengan Al Jasas ini. Kitab ini lebih bercorak hukum atau fikih.. Hal ini dikarenakan sang penulis dalam hal ini Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Razi.dalam memahami Alqur’an lebih menghubungkan teks ayat dengan hukum-hukum yang dalam hal ini lebih ccenderung mengikuti madzhab Hanafi. Sehingga sag penafsir dijuluki Imam Hanafi pada waktunya. Semua itu tidak lepas dari pribadi Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Razi.yang merupakan ulama yang getol mnyarakan tentang hukum-hukum fiqih sebagaimna Imam Hanafi.

Terapan

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { وَإِذَا طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ } الْآيَةَ .

قَوْله تَعَالَى : { فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ } الْمُرَادُ حَقِيقَةُ الْبُلُوغِ بِانْقِضَاءِ الْعِدَّةِ .

وَالْعَضْلُ يَعْتَوِرُهُ مَعْنَيَانِ : أَحَدُهُمَا : الْمَنْعُ ، وَالْآخَرُ الضِّيقُ ؛ يُقَالُ : ( عَضَلَ الْفَضَاءُ بِالْجَيْشِ ) إذَا ضَاقَ بِهِمْ ، وَالْأَمْرُ الْمُعْضِلُ هُوَ الْمُمْتَنِعُ ، وَدَاءٌ عُضَالٌ : مُمْتَنِعٌ .

وَفِي التَّضْيِيقِ يُقَالُ : ( عَضَلْت عَلَيْهِمْ الْأَمْرَ ) إذَا ضَيَّقْت ، و ( عَضَلَتْ الْمَرْأَةُ بِوَلَدِهَا ) إذَا عَسَرَ وِلَادُهَا ، وَأَعْضَلَتْ ؛ وَالْمَعْنَيَانِ مُتَقَارِبَانِ ؛ لِأَنَّ الْأَمْرَ الْمُمْتَنِعَ يَضِيقُ فِعْلُهُ وَزَوَالُهُ وَالضِّيقُ مُمْتَنِعُ أَيْضًا .

وَرُوِيَ أَنَّ الشَّعْبِيَّ سُئِلَ عَنْ مَسْأَلَةٍ صَعْبَةٍ فَقَالَ : ( زَبَّاءُ ذَاتُ وَبَرٍ لَا تَنْسَابُ وَلَا تَنْقَادُ ، وَلَوْ نَزَلَتْ بِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ لَأَعْضَلَتْ بِهِمْ ) .

وقَوْله تَعَالَى : { فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ } مَعْنَاهُ : لَا تَمْنَعُوهُنَّ أَوْ لَا تُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ فِي التَّزْوِيجِ .

وَقَدْ دَلَّتْ هَذِهِ الْآيَةُ مِنْ وُجُوهٍ عَلَى جَوَازِ النِّكَاحِ إذَا عَقَدَتْ عَلَى نَفْسِهَا بِغَيْرِ وَلِيِّ وَلَا إذْنِ وَلِيِّهَا : أَحَدُهَا إضَافَةُ الْعَقْدِ إلَيْهَا مِنْ غَيْرِ شَرْطِ إذْنِ الْوَلِيِّ .


Dari sedikit penafsiran diatas dapat diimpulkan bahwa Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Razi lebih menggunakan madzhabnya yaitu Hanafi, dan jarang melibatkan pendapat dari lintas madzhab.

Dari beberapa pembahasan‎ tentang Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Razi dan karyanya Al Jashas dapat disimpulkan bahwa:

Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Razi merupakan ulama’, yang lebih menekankan aspek hukum. Beliau ada;lah pemuka Madzhab Hanafi yang mampu melahirkan banyak ulama’ yang mumpuni. Dan dilihat dari cara berfikirnya beliao digolongkan Mu’tazili.
Beliau dalam menafsiri Al-quran menggunakan metode tahlili maudhu’i, suatau metode gabungan antara thlili dan maudhui. Ini merupakan suatu kekhasan dari tafsir Al Jashas yang belum tentu diketemukan dalam tafsir lain. edangkan sumber yang digunakan adala ra’yi dengan menggunakana penjelasan secara bayani dn keluasan penjelasan secara ithnabi dan nazh’ahnya fiqih.‎

Manaqib Imam Al-Haromain Al-Juwaini


Imam Al-Haramain adalah salah seorang ulama fikih, ahli ushul fikih, ilmuwan, agamawan, pemuka masyarakat, dan teolog muslim yang seringkali membahas persoalan-persoalan teologis secara mendalam, seperti persoalan fungsi akal dan wahyu, surga dan neraka, perbuatan manusia, dan lain-lain. Dia dikenal sebagai pengikut aliran Sunni, dan uniknya, dalam komentar-komentarnya justru mengacu juga pada pemikiran-pemikiran Mu'tazilah. Karena itulah dia disebut tokoh kontroversial yang membuat para intelektual berbeda mengenai paham teologis yang dianutnya; sebagian menyebut dia berpaham Ahlussunnah wal Jama'ah  sebagian ulama menyebutnya berpaham Mu'tazilah; dan sebagian yang lain menyebutkan bahwa dia meniti jalan tengah antara paham Ahlussunnah wal Jama'ah dan Mu'tazilah, khususnya dalam konteks perbuatan manusia, atau jalan tengah antara paham Jabariyah dan Qadariyah.

Imam Al-Haramain Al-Juwaini merupakan salah seorang Guru Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Qusyairi, terutama ketika mereka masih kuliah di Universitas Nizamiyah, Baghdad, perguruan tinggi yang saat itu sangat terkenal karena melahirkan sejumlah Ulama besar. Imam Al-Haramain Al-Juwaini memang tidak terkenal sebagai Sufi, tapi beliau mampu memberikan inspirasi bagi anak didiknya untuk menjadi sufi. Beliau juga dikenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab-kitabnya dikaji oleh kaum muslimin di seluruh dunia, menjadi rujukan wajib bagi mereka yang mendalami agama.

Imam Al-Haramain Al-Juwaini juga seorang Fuqaha yang masyhur. Nama aslinya Abu Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Haywih As-Sinsibi Al-Juwaini.Beliau lahir di Bustanikan. Nishabur, Persia ( Iran ) pada tahun 419 H / 1028 M dan wafat pada tahun 478 H / 1085 M. teolog kaum Suni yang sangat menguasai mazhab Syafi'i ini juga di kenal sebagai Imam Al-Haramain, yaitu Imam dua masjid suci : Masjidilharam di Mekah dan masjid Nabawi di Madinah.

Seperti layaknya ulama besar, masa kecilnya sangat ketat dalam pendidikan agama; dan seperti biasa beliau juga mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya. Setelah dewasa beliau berguru kepada beberapa ulama, diantaranya Abu Al-Qasim iskaf Al-Asfaranidalam ilmu fiqih dan ushul fiqih. Kemudian beliau memperdalam bahasa arab kepada Abu Abdillah Al-Bukhari dan Abu Al-Hasan Ali bin Fadhal bin Ali Al-Majassy'i , beliau juga belajar ilmu hadits kepada sejumlah ulama seperti Abu Sa'ad bin Malik, Abi Hasan Muhammad bin Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa'ad bin Nadraw, Manshur bin Ramisyi, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Al-Haris Al-Ashabani Al-Tamimidan Abu Sa'ad bin Hamdan Al-Naishabur.

Seperti lazimnya para santri kala itu, beliau juga menjelajah beberapa kota untuk menuntut ilmu. Berulang kali beliau mengunjungi Baghdad ( Irak ) dan Isfahan ( Persia ), kemudian ke Hijaz ( Arab Saudi ) dan tinggal di Mekah dan Madinah selama enam tahun sebagai ulama yang bertanggung jawab atas fatwa dan Imam Al-Haramain.

Kehidupan Beliau 
Kondisi Politik, Sosial, dan Keagamaan
Khurasan dengan ibukota Naisabur, tempat kelahiran Imam Al-Haramain, tercatat sebagai salah satu wilayah yang mengalami kekacauan, sebagaimana wilayah-wilayah Islam pada umumnya waktu itu: kekacauan dalam bidang politik, sosial, dan keagamaan. ‎Karena wilayahnya yang subur, Khurasan menjadi rebutan beberapa dinasti; mulai dari dinasti ‎Safariyah yang sempat menguasainya sejak tahun 254 hingga jatuhnya wilayah tersebut ke dalam kekuasaan dinasti ‎Samaniyah pada tahun 290. ‎Selain itu ada pula dinasti Ghaznawiyah, Buwaihiyah, dan Saljukiyah, semuanya menguasai daerah tersebut secara bergantian. ‎Ironisnya, pergantian penguasa meniscayakan pergantian ideologi.‎

Nama, Kelahiran dan Keluarga
Bernama lengkap Abul Ma'ali 'Abdul Malik bin 'Abdillah bin Yusuf bin Muhammad bin 'Abdillah bin Hayyuwiyah Al-Juwaini An-Naisaburi. Ada perbedaan pendapat di kalangan sejarawan mengenai waktu lahirnya: menurut Ibnul Atsir, Ibnul Jauzi, dan Ibnu Taghri Bardi dia lahir pada tahun 417 H. ‎Sedangkan mayoritas sejarawan menyebutkan bahwa kelahirannya terjadi pada tanggal 18 Muharram tahun 419, atau yang bertepatan dengan tanggal 22 tahun 1028 M.‎

Ayahnya bernama Abu Muhammad 'Abdullah bin Yusuf bin 'Abdillah bin Yusuf Al-Juwaini, seorang ulama besar pada masanya, imam dalam bidang tafsir, fikih,adab, dan bahasa Arab. ‎ Lahir di desaJuwain, tumbuh dan berkembang di sana. ‎Belajar adab dari ayahnya sendiri dan Abu Ya'qub; belajar fikih dari Abu Thayyib Ash-Sha'luki; belajar hadits pada Al-Qaffal Al-Marwazi; dan lain-lain. ‎Banyak ulama besar yang berguru padanya, antara lain, anaknya sendiri, Imam Al-Haramain. ‎Selain itu menulis banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan: tafsir, fikih, dan sebagainya, sebelum kemudian meninggal dunia pada bulan Dzul Qa'dah tahun 438H. ‎Sedangkan ibunya adalah seorang budak yang salihah yang baik hati, yang dibeli oleh sang ayah dari uang halal hasil kerja kerasnya.‎

Selain memilik ayah dan ibu yang dikenal dengan kepribadiaannya yang luhur dan pengetahuan agamanya yang luas, Imam Al-Hramain juga memiliki paman yang tidak kalah penting, yaitu Syaikh Abul Hasan 'Ali bin Yusuf bin 'Abdillah bin Yusuf, salah seorang ulama besar di masanya dan dikenal sebagai Syaikh Hijaz. ‎Berguru kepada sauadaranya sendiri, Abu Muhammad Al-Juwaini, Abu Nu'aim, Abu 'Abdurrahman As-Sulami, Ibnu Syadzan, dan lain-lain; sedangkan yang beguru padanya, antara lain Imam Muhammad bin Fadlal Al-Furawi dan Zahir; dia wafat pada bulan Dzul Qa'dah tahun 463 H. ‎Pamannya yang lain adalah, Abu Sa'id 'Abdush Shamad Al-Juwaini, seorang ulama yang wara', rajin tahajjud dan rajin baca Al-Qur'an. ‎Di samping itu dia juga memiliki soerang putra yang kelak terkenal pula dengan integritas diri dan keilmuannya yang luas, yaitu Syaikh Abul Qasim Mudhaffar bin Imam Al-Haramain 'Abdul Malik Al-Juwaini; seorang ulama yang tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tuanya, belajar berbagai cabang ilmu pengetahuan dari para ulama di masanya. ‎Wafat pada bulan Sya'ban tahun 493 H. karena diracun.‎

Pendidikan dan Perjalanan Intelektual
Imam Al-Haramain hidup di bawah asuhan dan pendidikan keluarganya, terutama sang ayah, Abu Muhammad Al-Juwaini, juga hidup di bawah asuhan para ulama besar di zamannya, di Naisabur. Dari sang ayah dan ulama lainnya Imam Al-Juwaini belajar tentang banyak hal, terutama hal-hal yang berhubungan dengan ilmu agama; misal, belajar Al-Qur'an, selain pada sang ayah, dia juga belajar dari Syaikh Abi 'Abdillah; belajar hadits dari Abu Hassan bin Muhammad, Abu Sa'd 'Abdurrahman bin Hamdan An-Nadlrawi, Mansyur bin Ramisy dan lain-lain. ‎Selain itu juga belajar tentang ilmu teologi; belajar fikih, bahasa dan sebagainya. ‎Dan, ketika sang ayah wafat pada tahun 438 H., Imam Al-Haramain, - yang ketika itu umurnya belum genap 20 tahun, - menggantikan posisinya untuk mengajar di majlis ilmiahnya, tanpa membuatnya berhenti untuk terus menggali ilmu dari para ulama saat itu.‎ Setelah mengajar dia pergi ke sekolah Imam Al-Baihaqi di Naisabur untuk belajar fikih ‎Syafi'iyah dan hadits; di masa yang sama menghadiri majlis Al-Kabbadzi untuk belajar ilmu Al-Qur'an dan lain-lain.‎

Demikian kegiatan ilmiah yang dilakukan Imam Al-Haramain selama di Naisabur, sebelum kemudian dia memutuskan keluar meninggalkan tanah airnya untuk beberapa lama (7 atau 11 tahun).

Keluar dan Kembalinya ke Naisabur

Imam Al-Haramain meninggalkan Naisabur ‎sekitar tahun 443-447 H. yaitu saat terjadinya fitnah Al-Kunduri (Pada masa pemerintahan bani Saljuk yang dipgang oleh oleh Tughril Bek sekitar tahun 443 H. Timbul suatu fitnah yang kemudian di kenal sebagai fitnah Al-Khunduri. Amid al-malik al-Khunduri seorang wazir Thugril bek mengumumkan bahwa pemerintah menentang gerakan ahl-al-bid’ah yang di bawa oleh al- asyari’ah seperti juga pemerintah menentang gerakan rafidah. Pemerinta h mencela dan melarang mereka berceramah di atas ‎mimbar. Lebih jauh pemerintah menyeru orang orang agar membenci mereka dan menganggapnya sebagai orang yang telah keluar dari ajaran islam. Menurut Hodgson, Al khunduri ‎menyerukan mu’tazilah dan semua ajaran teologi lainnya unutk menghentikan ajaran-ajarannya.) ‎ ‎Imam Haromain pergi ke ‎Mu'askar, Baghdad, Isfahan, Mekkah dan Madinah. ‎Di Baghdad dia belajar kepada Abu Muhamamd Al-Jauhari, di samping banyak menelaah buku karya Al-Baqillani tentang teologi; di Isfahan belajar pada Abu Nu'aim Al-Isfahani, penulis kitab terkenal, Hilyatul Auliya' ; Sekitar tahun 450H. atau yang bertepatan dengan 1058 M. dia pergi ke Hijaz dan menetap Mekkah dan Madinah selama kurang lebih 4-5 tahun.‎ Pada tahun 455 H. atau yang bertepatan dengan tahun 1063 M. dia memutuskan untuk kembali lagi ke Naisabur, yang pada saat itu keadaan tanah airnya sudah mulai stabil; sesampainya, dia pun diangkat menjadi tenaga pengajar di Madrasah An-Nidhamiyah, Naisabur. ‎Tugas tersebut diembannya hingga akhir hayatnya.‎

Guru – Guru Imam Haromain

Imam Haromain mempelajari berbagai cabang ilmu dari beberapa guru dan para masyayikh yang hidup dimasa itu. Guru – guru utama beliau adalah sebagai berikut :

1. Ayah beliau sendiri, Syaikh Abu Muhammad, Abdulloh bin Yusuf Al-Juwaini, seorang ulama’ ahli dalam bidang ilmu fiqih, ushul dan tafsir. Diantara kitab – kitab karyanya yang terpenting adalah; Syarah kitab Ar-risalah karya Imam Syafi’I, Tafsir Al-Kabir, At-tabshiroh Wat-Tadzkiroh, Al-Furuq, as-Silsilah, Mauqiful Imam Wal Ma’mum dan Mukhtashorul Muhtashor. Syaikh Abdulloh al-Juwaini wafat pada tahun 438 H.

2. Syaikh Abul Qosim Al-Isfaroyini Al-Iskaf, Abdul Jabbar bin Ali bin Muhammad bin Haskan, ulama’ ahli ilmu fiqih, ushul dan ilmu kalam, beliau belajar pada Syaikh Abu Ishaq Al-isfaroyini dan Syaikh Abdulloh bin Yusuf Al-Ashfihani, beliau wafat pada tahun 452 H. Syaikh Abul Qosim Al-Isfaroyini merupakan guru utama Imam Haromain dalam ilmu kalam, 

3. Syaikh Abu Abdulloh Al-Khobbazi, Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Hasan, seorang ulama’ utama yang ahli dalam ilmu qiro’ah (bacaan) al-qur’an di kota Naisabur, beliau dilahirkan pada tahun 372 H. dan wafat pada tahun 449 H. Imam Haromain belajar al-qur’an pada beliau diwaktu pagi hari sebelum mengajar.

4. Al-Imam Az-Zahid Asy-Syaikh Fadhlulloh bin Ahmad bin Muhammad Al-Maihani, beliau wafat pada tahun 440 H.

5. Al-Qodhi Asy-Syaikh Abu Ali, Husain bin Muhammad bin Ahmad Al-Marudzi, ulama’ yang menjadi guru utama dalam fiqih madzhab Imam Syafi’i. Dalam kitab – kitab fiqih madzhab syafi’I nama beliau bisa disebut dengan “Qodhi Husain”, beliau mendapat julukan “Habrul Ummat” (Ahli/pakarnya umat islam), diantara kitab karya beliau adalah ‘At-Ta’liqoh Al-Kubro’ dan ‘Al-Fatawi’. Beliau wafat pada tahun 462 H.

6. Al-hafidh Abu Na’im Al-Ashfihani, Ahmad bin Abdulloh bin Ahmad bin Ishaq, penulis kitab yang terkenal; “Hilyatul Ulama’. Salah seorang pembesar ulama’ – ulama’ ahli hadits, beliau wafat pada tahun 430 H.

7. Abul Qosim Al-Furoni Al-Maruzi Asy-Syafi’i, Abdurrohman bin Muhammad bin Ahmad bin Furon, ulama’ ahli ilmu fiqih madzhab syafi’I yang menjadi pemimpin ulama’ – ulama’ ahli fiqih didaerah Marwa, beliau banyak menulis kitab tentang ushul, fiqih dan khilaf ulama’, diantara karya beliau adalah kitab “Al-ibanah”, beliau wafat pada tahun 463 H.

8. Imam Baihaqi, Abu Bakar, Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqi An-Naisaburi, salah seorang ulama’ pembesar ilmu hadits dan fiqih madzhab syafi’i. Setelah belajar pada beliau, Imam Haromain juga ikut mengajar dimadrasah Imam Baihaqi> Imam Haromain sangat mengagumi gurunya ini, sampai – sampai beliau mengatakan; “Semua orang yang mengikuti madzhab syafi’I memiliki hutang budi kepada Imam Syafi’I, kecuali Imam Baihaqi, sebaliknya Imam Syafi’I mempunyai hutang budi pada beliau karena kitab – kitab karya beliau yang ditulis untuk membela pendapat –pendapat Imam Syafi’I dan madzhabnya”. Diantara kitab karya beliau adalah “As-Sunan Al-Kubro”, “Ma’rifatus Sunan Wal Atsar” dan Al-Mabsuth”. Beliau wafat pada tahun 458 H.

Murid – Murid Imam Haromain

Imam Haromain banyak menelurkan ulama’ – ulama’ yang sangat terkenal di zamannya, Syaikh Ibnul Jauzi bercerita; “setiap hari tak kurang dari 300 orang yang menghadiri majlis beliau untuk belajar, dan banyak dari mereka yang menjadi ulama’ – ulama’ besar, bahkan sebagian dari mereka sudah mengajar disaat beliau masih hidup”. 

Diantara murid – murid beliau yang terkenal adalah :

1. Imam Ghozali, Syaikh Abu Hamid, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At-Thusi Al-Ghozali, penulis kitab – kitab terkenal seperti “Ihya’ ulumiddin”, “Al-Mankhul”, “Al-Mustashfa” dan lainnya, beliau wafat pada tahun 505 H.

2. Imam Ilkiya Al-Harrosi, Syaikh Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali Ath-thobari, seorang ahli fiqih madzhab syafi’i, ushul dan hadits yang mendapat gelar “Imaduddin” (Tiang agama). Diantara kitab karya utama beliau adalah ‘Syifa’ul Mustarsyidin” dan “Ahkamul Qur’an”. Beliau wafat pada tahun 504 H.

3. Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Al-Mudhoffar An-Naisaburi, ulama’ ahli fiqih madzhab syafi’i yang menjadi salah satu murid andalan Imam Haromain, beliau wafat pada tahun 500 H.

4. Al-Ustadz Abu Nashr, Abdurrohim bin Abdul Karim bin Hawazin, putra dari Imam Abul Qosim Al-Qusyairi, penggemar kitab tafsir, fiqih dan ilmu kalam, diantara kitab karya beliau adalah “Al-Maqomat” dan “Al-Adab”, beliau wafat pada tahun 554 H.
Gelar Beliau
Sebagai seorang ulama besar yang diakui keilmuannya secara luas, ada beberapa gelar kehormatan yang diberikan oleh para ulama kepadanya, di antaranya: pertama, karena integritasnya yang tinggi, kepribadiannya yang luhur, dan keilmuannya yang luas, dia diberi gelar Abul Ma'ali; kedua, karena pada bagian perjalanan hidupnya dia mengajar, memberi fatwa dan berkarya di Mekkah ‎dan Madinah selama 4 tahun dan menjadi imam masjid di sana, karena itulah kemudian diberi gelar Imam Al-Haramain, yang berarti imam dua tanah suci; ketiga, karena sosoknya yang dibanggakan oleh semua umat Islam, yang sekaligus dinilai sebagai kebaggaan bagi Islam, dia diberi gelar Fakhrul Islam, yang berarti kebanggaan Islam; dan lain-lain.

Wafat Sang Imam
Setelah sekitar 23 tahun mengajar di Madrasah An-Nidhamiyah, Naisabur, kesehatan Imam Al-Haramain mulai menurun; beberapa kali dia jatuh sakit dan pada akhirnya dia diboyong ke Busytanikan, desa tempat kelahirannya, dan tidak lama kemudian dia menghembuskan nafasnya yang terakhir, tepatnya pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Rabi'ul Akhir 478 H. bertepatan dengan 20 Agustus 1085 M. 

Kontribusi Keilmuan

Imam Al-Haramain adalah sosok yang produktif; dia menulis banyak karya dalam beragam bidang keilmuan, di antaranya:

Dalam Bidang Akidah,Ushuluddin, atau Ilmu Kalam
Al-Irsyad ila Qawa'idil Adillah fi Ushulil I'tiqad;
Asy-Syamil fi Ushuliddin;
Al-'Aqidatun Nidhamiyah;
Kitabu Asma'illahil Husna;
Risalah fi Ushuliddin;
Syifa'ul Ghalil;
Al-Karamat;
Mukhtasharul Isrsyad; dan lain-lain.
Dalam Bidang Ushul Fikih
Al-Irsyad fi Ushulil Fiqh;
Al-Waraqat fi Ushulil Fiqh;
Kitabul Mujtahidin;
Risalatun fit-Taqlid wal Ijtihad;
At-Tuhfah.
Dalam Bidang Fikih
Nihayatul Mathlab fi Dirasatil Madzhab;
As-Silsilah fi Ma;rifatil Qaulain wal Wajhain 'ala Madzhabisy Syafi'i;
Risalatun fil Fiqh;
Mukhtasharun Nihayah; dan lain-lain.
Dalam Bidang Perbandingan Madzhab
Ad-Durratul Madliyah fima Waqa'a min Khilafin bainasy Syafi'iyah wal Hanafiyah;
Mughitsul Khalq fi Tarjihil Qaulil Haq;
Al-Asalibu fil Khilafiyat;
Ghanyatul Mustarsyidin fil Khilaf; dan lain-lain.
Dalam Bidang Keilmuan Lain
Kitabun fin Nafs;
Kitabul Arba'in fil Hadits; dan lain-lain.
Di samping itu beliau juga membahas persoalan ijtihad ( usaha yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan hokum islam mengenai kasus penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur'an dan Sunah ) dan Taqlid ( keyakinan pada suatu paham ahli hukum yang sudah-sudah tanpa mengetahui dasarnya ) dalam kitab Talkhis al-Taqrib.

Bukan hanya masalah agama, beragam persoalan kemasyarakatan jiga dibahas oleh Imam Al-Juwaini dengan terperinci. Dalam kitabGhiyas al-Umam fi Iltiyaz al-Zulam, secara khusus ia membahas persoalan politik dan pemerintahan. Tapi, kitab yang terpenting di antara semua karyanya ialah Al-Burhan fi al-Ushul al-Fiqih, sebagai kitab standar dalam studi Madzhab Syafi'i setelah kitab Mustamad fi al-Ushul al-Fiqih karya Abu Husein bin Muhammad bin Ali Al-Basri dan kitab Al-Musttasfa min 'Ilm al-Ushul karya Imam Ghazali.
Kitab Al-Burhan sangat istimewa, karena merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqih. Kitab ini memuat berbagai pendapat ulama tentang pokok-pokok ilmu fiqih yang hidup sebelum Imam Juwaini. Misalnya, mengenai pokok-pokok pikiran Imam Abu Bakar Muhammad Al-Baqilani, Ulama Madzhab Maliki, dalam kitab Al-Irsyad wa Taqrib, Ushul al-Kabir, Ushul Al-Shagir, Muqni fi al-Ushul al-Fiqh dan Masail al-Usuliyah. Juga pendapat Ibnu Faruq dalam kitab Al-Majmu'ah, pendapat vAbdul Jabar Al-Mutazil dalam kita Al-'Amad dan pendapat Abu Ali Al-Jubai dalam kitab Al-Abwab.

Pemikiran  Imam Haromain ‎
Sebagai salah seorang tokoh Muslim, Imam Al-Haramain dikenal memiliki beberapa pemikiran yang menarik perhatian para pengkaji Islam untuk ditelusuri lebih jauh; termasuk kaitannya dengna posisinya dalam dunia teologi: apakah dia penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah/Sunni, ataukah yang lainnya. ‎Berikut sebagian pemikirannya yang melahirkan sikap kontroversial tersebut:

Filsafat Alam, Firman dan Soal Melihat Tuhan
Mengenai alam, Imam Al-Haramain memiliki pandangan bahwa ia bersifat nisbi, yang berarti bahwa keberadaannya tergantung pada keberadaan Tuhan; sebuah pandangan yang tidak beda jauh pandangan beberapa ulama Mu'tazilah, ‎'Abdul Jabbar dan Abul Huzail. ‎Mengenai firman Tuhan, Imam Al-Haramain sependapat dengan pendapat Abul Hasan Al-Asy'ari, salah seorang tokoh Ahlussunnah wal Jama'ah/Sunni. ‎Begitu pula mengenai konsep melihat Tuhan, Imam Al-Haramain memiliki pandangan dengan Abul Hasan Al-Asy'ari bahwa Tuhan bisa dilihat pada hari kiamat, dan bahwasanya melihat Tuhan merupakan kenikmatan yang paling besar.‎

Perbuatan Manusia
Mengenai perbuatan manusia, Imam Al-Haramain menyatakan bahwa pada dasarnya manusia hanya memiliki kebebasan mengarahkan daya yang diberikan Tuhan kepadanya sesuai dengan kehendak dan kemauannya; dan bahwasanya secara hakikat manusia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya daya Tuhan.

Keadilan Tuhan
Menurut Imam Al-Haramain, keadilan Tuhan adalah kebijaksanaannya untuk menyiksa orang-orang yang berdosa.[1]Dalam konteks ini, berarti Imam Al-Haramain memiliki konsep yang berbeda dengan Mu'tazilah yang menegaskan bahwa keadilan Tuhan adalah perbuatan-peruatan-Nya yang bertujuan untuk kepentingan dan kebaikan manusia; sekaligus juga berbeda dengan Ahlussunnah wal Jama'ah yang menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan adil adalah bahwa Tuhan boleh melakukan apapun sekehandak-Nya karena kehendak-Nya adalah mutlak.

Imam Abu Manshur Al-Maturidi Al-Hanafi


Nama lengkapnya Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi Al-Hanafi, nisbah kepada Maturid, nama distrik di Samarkand, negeri yang terletak di seberang sungai Amu Dariya (seberang sungai Jihun), daratan Transoxiana.
                 
Tidak ada data sejarah yang menginformasikan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi menurut dugaan kuat, dia dilahirkan pada masa khalifah al-Mutawakkil (205-247 H/820-861 M), Khalifah ke-10 dari dinasti Abbasiyah. Diperkirakan al-Maturidi lahir sekitar 20 tahun sebelum lahirnya al-Imam al-Asy’ari.
                 
Secara geneologis, nasah Abu Manshur al- Maturidi masih bersambung dengan sahabat Rasulullah dari kaum Anshar, yaitu Abu Ayyub al-Anshari (w. 52 H/672 M). hal ini menjadi bukti bahwa al-Maturidi lahir dari keluarga terhormat dan terpandang di kalangan masyarakat, karena ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah,beliau singgah dan tinggal di rumah ‎Abu Ayyub al-Anshari, sahabat yang menjadi saksi hidup peristiwa Bai’at al-‘Aqabah, dan mengikuti peperangan Badar, Uhud, Khandaq dan lain-lain.
               
Al-Maturidi lahir dari lingkungan keluarga ulama yang sudah barang tentu mencintai ilmu Agama. Sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi perkembangan intelektual Al-Maturidi yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mencintai ilmu agama sejak usia dini. Selain ditopang dengan kecerdasannya yang luar biasa,  Al-Maturidi juga seorang pelajar yang tekun dan gigih dalam menuntut ilmu, sehingga pada akhirnya mengantar reputasi intelektual Al-Maturidi ke puncak kecemerlangan dengan menyandang beberapa gelar seperti, Imam al-Huda (pemimpin kebenaran), Qudwat Ahl al –Sunnah wa al-Ihtida’ (panutan pengikut sunnah dan petunjuk), Rafi’ ‘Alam al-Sunnah wa al-Jama’ah (pengibar bendera sunnah dan jama’ah), Qali’ Adhalil al-Fitnah wa al-Bid’ah (pencabut kesesatan fitnah dan bid’ah), Imam al-Mutakallimin (penghulu para teolog) dan Mushahhih ‘Aqa’id al-Muslimin (korektor akidah kaum muslimin). Gelar-gelar tersebut membuktikan posisi intelektual Al-Maturidi yang sangat istimewa dalam pandangan murid-muridnya.

Background Sosial, Politik dan Pemikiran Al-Maturidi
                
Al-Maturidi hidup di negeri samarkand, Uzbekistan. Kehidupannya berkisar antara paruh kedua abad ketiga Hijriah dan paruh pertama abad keempat Hijriah. Dalam catatan sejarah, Samarkand pada mulanya di masuki dan di taklukan oleh pasukan kaum Muslimin pada tahun 55 H/675 M dibawah kepemimpinan panglima Sa’id bin Utsman , ketika menjabat sebagai gubernur Khurasan pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sa’id bin Utsman menyeberangi sungai Amu Daria dan melakukan pengepungan terhadap negeri Samarkand, tetapi kemudian meninggalkannya. Pada tahun 78 H/697 M, panglima Qutaibah bin Muslim bersama pasukannya untuk pertama kalinya menyeberangi sungai Amu Daria dan memerangi negeri Bukhara, Syas dan singgah di Samarkand. Setelah itu,Qutaibah bin Muslim melakukan penyerangan terhadap negeri-negeri seberang sungai Amu Daria selama tujuh tahun.
            ‎
Pada masa Al-Maturidi, kerajaan Samarkand dikuasai oleh dinasti Saman, dinasti yang berasal dari sebuah desa di Samarkand,yang bernama desa Saman. Dinasti ini tercatat sebagai dinasti terbaik yang memerintah Samarkand. Mereka sangat menghormati dan memuliakan ilmu agama dan kalangan ulama. Dinasti Saman ini berhasil menguasai Khurasan dan negeri-negeri seberang sungai Amu Daria sejak tahun 261 H/875 M sampai tahun 389 H/999 M. dinasti ini di pimpim oleh Asad bin Saman dan diteruskan oleh keempat anaknya yang menjadi pembantu Khalifah al-Makmun sekaligus sebagai penguasa otonom di Khurasan dan Samarkand.
            
Situasi politik dan pemikiran yang berkembang pada masa Al-Maturidi,berkaitan erat dengan situasi politik dan pemikiran yang sedang berkembang di dunia islam pada umumnya. Di mana pada saat itu, negara islam pada paruh kedua abad ketiga dan abad keempat menyaksikan berbagai disintregasi politik yang sangat kritis,yang sudah barang tentu membawa pada terpecah belahnya negara dalam beberapa daerah kekuasaan dan pengaruh. Negeri Andalusia di kuasai oleh dinasti Umawi, Maroko dikuasai dinasti Idrisi, Moushul dan Aleppo dikuasai dinasti Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai dinasti Thulun dan Akshyid, Irak dikuasai dinasti Turki dengan mengatasnamakan Khalifah Abbasi. Sedangkan Persia menjadi beberapa dinasti yang sangat berpengaruh. Dinasti Dulafiyah menguasai Kurdistan, dinasti Shafariyah menguasai Paris, dinasti Saman menguasai  Persia dan negeri seberang sungai Amu Daria, dinasti Ziyadiyah menguasai Jurjan, dinasti Hasnawiyah menguasai Kurdistan,dinasti Buwaihiyah menguasai Persia bagian selatan, dan dinasti Ghaznawiyah menguasai India dan Afganistan. Disintregasi negara islam yang terpecah belah menjadi beberapa daerah otonom ini, juga disokong oleh lemahnya otoritas Khalifah Abbasi di Baghdad, dan tampilnya ras Turki dan Persia yang berupaya menjadikan Khalifah sebagai boneka. Jabatan Khalifah hanya sebatas simbol belaka, sedangkan penguasa yang sesungguhnya adalah orang-orang Turkmen dan Persia.

Guru-guru Al-Maturidi

Beliau mula-mula menuntut ilmu daripada Abu Nasr al Iadhi, dan pernah berguru dengan silsilah ulama’ yang bersambung sehingga Imam Abu Hanifah RA. Selain itu beliau pernah belajar dengan Muhammad bin Maqatil ar Razi dan Abu Bakr Ahmad al-Jawzajani. Bapanya juga seorang ulama yang pernah berguru dengan Abu Ahmad al Iadhi, dan Abu Bakar al Iadhi.

Dalam kitab Miftah Assa`adah Wa Mishbah Assiyadah, Syeikh Tasy Kauthari Zadah berkata :‎

اعْلَمْ أَنَّ رَئِيْسَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فِى عِلْمِ الْكَلاَمِ رَجُلاَنِ : أَحَدُهُمَا حَنَفِيٌّ وَالآخَرُ شَافِعِيٌّ ، أَمَّا الْحَنَفِيُّ فَهُوَ أَبُو مَنْصُورِ مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمُودِ الْمَاتُرِيْدِيُّ ، إِمَامُ الْهُدَى ... وَأَمَّا الآَخَرُ الشَّافِعِيُّ فَهُوَ شَيْخُ السُّنَّةِ وَرَئِيْسُ الْجَمَاعَةِ إِمَامُ الْمُتَكَلِّمِيْنَ وَنَاصِرُ سُنَّةِ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَالذَّابُ عَنْ الدِّيْنَ وَالسَّاعِي فِي حِفْظِ عَقَائِدِ الْمُسْلِمِيْنَ أَبُو الْحَسَنِ الأَشْعَرِيُّ البَصْرِيُّ

Ketahuilah bahawa ketua Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam bidang Ilmu Kalam ialah dua orang : Seorang daripadanya ialah bermazhab Hanafi, dan seorang lagi bermazhab Syafie. Orang yang bermazhab Hanafi itu ialah Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al Maturidi, penghulu bagi petunjuk. Manakala seorang lagi yang bermazhab Syafie ialah Syeikh as Sunnah, dan ketua al Jamaah, Imam bagi ulama Ilmu Kalam, pendukung sunnah Penghulu bagi rasul-rasul (Nabi Muhammad SAW), pengukuh Agama, dan penyelusur di dunia memelihara Akidah Muslim, dia ialah Abu Hassan al Asy’ari.

Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi adalah deklarator madzhab Maturidi, aliran pemikiran dan teologis besar yang merupakan cabang kedua dalam pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dia berguru kepada para ulama terkemuka bermadzhab Hanafi, yang diakui kedalamannya dalam bidang fiqih dan teologi, yang mereka peroleh dari sumber yang tak pernah kering,yaitu kitab-kitab al-Iman Abu Hanifah yang telah memberikan kesegaran, penjelasan dan analisa terhadap generasi demi generasi. al-Maturidi sendiri menyatakan,telah mempelajari kitab-kitab Abu Hanifah tersebut, yaitu al-Fiqh al-Absath, al-Risalah, al-‘Alim wa al-Muta’allim dan al-Washiyyah kepada guru-gurunya seperti Abu Nashr al-‘Iyadhi, al-Juzajani dan al-Balkhi. Ketiga guru tersebut berguru kepada al-Imam Abu Sulaiman al-Jazujani, murid al-Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.  Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan di kemukakan beberapa nama guru-guru al-Maturidi
Ø  Abu Nashr al-‘Iyadhi
Ø  Abu Bakar Ahmad bin Ishaq al-Jazujani
Ø  Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H/863 M)
Ø  Muhammad bin Muqatil al-Razi (w. 248 H/863 M)

Karya-Karya al-Maturidi

Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi  telah menulis banyak karangan,yang membuktikan kedalaman,kesuburan dan ilmu pengetahuannya  yang beragam dalam berbagai bidang, mencakup ilmu tafsir, fiqih, ushul fiqih, teologi, bantahan terhadap orang Qaramithah, Rafidhah (Syi’ah), Mu’tazilah dan ateis. Ilmu pengetahuan yang dikuasai  Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi secara mendalam dan komprehensif meliputi berbagai ilmu keislaman dan filsafat yang dia tuangkan dalam bentuk karangan karangan.
             
Terdapat sekitar 17 judul karya al-Maturidi, diantaranya yaitu kitab al-Tauhid, kitab al-Muqalat, al-Radd ‘Ala a-Qaramithah, Bayan Wahn al-Mu’tazilah, Radd al-Ushul al-Khamsah, Radd kitab Wa’id al-Fussaq, Radd Awa’il al-Adillah, Radd tahdzid al-Jadal, Syarh al-Fiqh al-Akbar dan lain-lain. Namun sayang sekali, dari sekian banyak karya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi, hanya sedikit yang informasinya sampai kepada generasi sekarang, diantaranya adalah 
:
v  Ta’wilat Ahl al-Sunnah
v  Ma’khadz al-Syara’i dan kitab al-Jadal
v  Kitab al-Tauhid
Imam Ahlussunnah Wal Jama’ah, al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi (w 333 H) dalam karyanya; Kitâb at-Tauhîd menuliskan:

"إن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال والاستحالة"

“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Tampat adalah makhluk memiliki permulaan dan bisa diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang setelah menciptakan tempat Dia sebagaimana sifat-Nya yang Azali; ada tanpa tempat. Dia maha suci (artinya mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain” (Kitâb at-Tauhîd, h. 69)

Al-Imâm Muhammad ibn Muhammad yang dikenal dengan nama Abu Manshur al-Maturidi adalah salah seorang salaf terkemuka di kalangan Ahlussunnah, bahkan merupakan pimpinan bagi kaum ini. Dikenal sebagai seorang yang teguh membela akidah Rasulullah, beliau adalah salah seorang ulama Salaf yang telah memberikan kontribusi besar dalam membukukan akidah Ahlussunnah. Dalam metode penjelasan akidah tersebut beliau atukan antara dalil-dalil naqliy (al-Qur’an dan hadits) dengan argumen-erguman rasional. Ditambah dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai kesesatan dari kelompok-kelompok di luar Ahlussunnah, seperti Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij dan lainnya. Kegigihan beliau dalam membela akidah Ahlussunnah dan menghidupkan syari’at menjadikan beliau sebagai kampium hingga digelari dengan Imam Ahlussunnah.

Masih dalam kitab karyanya di atas, al-Imâm  Abu Manshur al-Maturidi juga menuliskan sebagai berikut:

"فإن قيل: كيف يرى؟ قيل: بلا كيف، إذ الكيفية تكون لذي صورة، بل يرى بلا وصف قيام وقعود واتكاء وتعلق، واتصال وانفصال، ومقابلة ومدابرة، وقصير وطويل، ونور وظلمة، وساكن ومتحرك، ومماس ومباين، وخارج وداخل، ولا معنى يـأخذه الوهم أو يقدره العقل لتعاليه عن ذلك "

“Jika ada yang berkata: Bagaimanakah Allah nanti dilihat? Jawab: Dia dilihat dengan tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah). Karena Kayfiyyah itu hanya terjadi pada sesuatu yang memiliki bentuk. Allah dilihat bukan dalam sifat berdiri, duduk, bersandar atau bergantung. Tanpa adanya sifat menempel, terpisah, berhadap-hadapan, atau membelakangi. Tanpa pada sifat pendek, panjang, sinar, gelap, diam, gerak, dekat, jauh, di luar atau di dalam. Hal ini tidak boleh dikhayalkan dengan prakiraan-prakiraan atau dipikirkan oleh akal, karena Allah maha suci dari itu semua” (Kitâb at-Tauhîd, h. 85)

 Tulisan al-Imâm al-Maturidi ini sangat jelas dalam mensucikan Allah dari arah dan tempat. Perkataan beliau ini sekaligus dapat kita jadikan bantahan terhadap kaum Mujassimah, termasuk Kaum Tanpa Madzhab sekarang; yang mengatakan bahwa para ulama Salaf telah menetapkan adanya arah bagi Allah. Kita katakan: al-Maturidi adalah salah seorang ulama Salaf, ia dengan sangat jelas telah menafikan apa yang kalian yakini.

 Masih dalam Kitâb at-Tauhîd, al-Imâm al-Maturidi menuliskan sebagai berikut:

"وأما رفع الأيدي إلى السماء فعلى العبادة، ولله أن يتعبد عباده بما شاء، ويوجههم إلى حيث شاء، وإن ظن من يظن أن رفع الأبصار إلى السماء لأن الله من ذلك الوجه إنما هو كظن من يزعم أنه إلى جهة أسفل الأرض بما يضع عليها وجهه متوجها في الصلاة ونحوها، وكظن من يزعم أنه في شرق الأرض وغربها بما يتوجه إلى ذلك في الصلاة، أو نحو مكة لخروجه إلى الحج، جل الله عن ذلك"
“Adapun mengangkat tangan ke arah langit dalam berdo’a maka hal itu sebagai salah satu bentuk ibadah kepada-Nya (bukan berarti Allah di dalam langit). Allah berhak memilih cara apapun untuk dijadikan praktek ibadah para hamba kepada-Nya, juga Allah berhak menyuruh mereka untuk menghadap ke arah manapun sebagai praktek ibadah mereka kepada-Nya. Jika seseorang menyangka atau berkeyakinan bahwa mengangkat tangan dalam berdoa ke arah langit karena Allah berada di arah sana, maka ia sama saja dengan orang yang berkeyakinan bahwa Allah berada di arah bawah karena di dalam di dalam shalat wajah seseorang dihadapkan ke arah bumi untuk menyembah Allah, atau sama saja dengan orang yang berkeyakinan bahwa Allah ada di arah barat atau di arah timur sesuai arah kiblatnya masing-masing dalam shalat saat beribadah Allah, atau juga sama saja orang tersebut dengan yang berkeyakinan bahwa Allah berada di arah Mekah, karena orang-orang dari berbagai penjuru yang handak melaksanakan haji untuk beribadah kepada-Nya menuju arah Mekah tersebut. Allah maha suci dari pada keyakinan semacam ini semua” (Kitâb at-Tauhîd, h. 75-76)

Wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi

Ada perbedaan ringan di kalangan sejarawan tentang tahun wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi , hal ini berbeda dengan tahun kelahirannya, yang tidak ada informasi sama sekali di kalangan mereka. Mayoritas literatur sejarah hampir sepakat bahwa Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat pada tahun 333 H/944 M. akan tetapi Thasy Kubri Zadah dalam kitab Miftah al-Sa’adah dan Ibn Kamal Basya dalam kitab Thabaqat al-Hanafiyyah menyebutkan bahwa ada riwayat lemah yang mengatakan Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat tahun 336 H. sementara Abu al-Hasan al-Nadwi ulama kontemporer berkebangsaan India menyebutkan bahwa Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat tahun 332 H. barangkali al-Nadwi mengambil informasi tersebut dari kitab Syarh al-Fiqih al-Akbar yang oleh pakar masih diragukan autentisifikasinya sebagai karya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi . boleh jadi,al-Nadwi mengambilnya dari al-Bayadhi dalam  kitab Isyarat al-Maram. Namun riwayat yang paling kuat tentang wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi adalah tahun 333 H/944 M, karena mayoritas literatur biografi ulama madzhab Hanafi menyepakatinya. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...