Senin, 25 Oktober 2021

Imam Abul Hasan Al-Mawardi Ahli Hukum Tatanegara


Khazanah intelektual Islam era kekhalifahan Abbasiyah pernah mengukir sejarah emas dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan pemikiran keagamaan. Salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan Abbasiyah itu adalah Al Mawardi. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Nama lengkap ilmuwan Islam ini adalah Abu al Hasan Ali bin Habib al Mawardi. Alboacen. Begitu peradaban Barat biasa menyebut pemikir dan pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah ini. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafi’i yang terkenal. Pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra. Di mata raja-raja Bani Buwaih, Al-Mawardi mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Ia hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (381-422 H) dan Al-Qa’imu Billah (422-467 H). Wafat pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.

Imam Al-Mawardi adalah seorang ilmuwan Islam yang mempunyai nama lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Basri asy-Syafi'ie. Beliau dilahirkan di kota Basrah Irak pada tahun 386 H/975 M, ketika kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya ditangan para Khalifah Daulah Abbasiyah.

Beliau lahir dalam salah satu keluarga arab yang membuat dan mendagangkan air mawar, karena itu beliau mendapat julukan Al-Mawardi yang berasal dari kata Al-Wardu (mawar)

Imam al-Mawardi ikut terlibat secara langsung dalam politik yang ril yang tentu mempengaruhi proses pemikiran beliau dalam menentukan suatu sikap dan kebijaksanaan dalam memahami dan mengambil sikap terhadap pemerintah. 

Kota kedua tempat Al-Mawardi belajar, setelah Basrah adalah Bagdad. Disinilah Seorang anak penyuling dan penjual air mawar ini belajar hadits dan fiqh pada Al-Hasan bin Ali Bin Muhammad Al-Jabali seorang pakar hadits di zamannya dan Abi Al-Gasim, seonmg hakim di Basrah saat itu, kemudian beliau melanjutkan studinya ke kota Bagdad di kampus "Al-Zafami". Di kota peradaban ini, Al-Mawardi menajamkan disiplin ilmunya di bidang hadits dan fiqih pada seorang guru yang bernama Abu Hamid Ahmad bin Tahir bin Al-Isfirayini (wafat pada 406 H).

Abu Ali Hasan Ibn Daud menceriterakan bahwa penduduk Basrah selalu membanggakan tiga orang ilmuan negeri mereka dan karya-karyanya yaitu Syaikh Khalid Ibn Ahmad (wafat 174 H) dengan karyanya kitab Al-Amin, Syaikh Sibawaih (wafat 180 H) dengan karyanya kitab Al-Nahw, dan Al-Jahiz (wafat 225 H) dengan karyanya Al- Bayan, dari tiga orang ini masih bisa ditambah nama keempat yaitu Imam Al-Mawardi, seorang penasehat hukum yang terpelajar dan ahli politik ekonomi dari basrah

Pandangan Politik

Sebagai seorang penasihat politik, syaikh Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Beliau diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh madzhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi al-Kabir, yang dipakai sebagai kitab rujukan tentang hukum mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari. Kitab ini terdiri 8.000 halaman, diringkas oleh Al Mawardi dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.

Kalau anda ingin Menelaah pemikiran Al Mawardi di bidang politik, cukup dengan membaca karyanya, Al Ahkaam Al Shulthaniyah (Hukum-hukum Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya beliau. Meskipun beliau juga menulis kitab - kitab lainnya, namun dalam kitab Al Ahkaam Al Shultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.

Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam buku itu dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.

Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.

Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. 

Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model Al Ikhtiar. 

Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar Ash Shiddiq.

Guru-guru Imam Al-Mawardi

Beliau belajar hadis di Baghdad pada:
Al-hasan bin Ali bin Muhammad Al-Jabali (sahabat Abu Hanifah Al-Jumahi)
Muhammad bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri.
Muhammad bin Al-Ma’alli Al-Azdi
Ja’far bin Muhammad bin Al-fadhl Al-Baghdadi.
Abu Al-Qasim Al-Qushairi.
Beliau belajar fiqh pada:
Abu Al-Qasim Ash-Shumairi di Basrah.
Ali Abu Al-Asfarayni (Imam madzhab Syafi’I di Baghdad, dan lain - lain.
Gurunya yang terakhir ini amat berpengaruh pada diri Al-Imam Al-Mawardi. Pada gurunya itulah ia mendalami mazhab Syafi‟i dalam kuliah rutin yang diadakan disebuah masjid yang terkenal dengan masjid Abdullah ibnu al-Mubarok, di Baghdad.‎

Dari sinilah Al Mawardi dikenal sebagai seorang ahli hukum Islam dari kalangan madzhab Syafi’i.

Berkat keluasan ilmunya, salahsatu tokoh besar mazhab Syafi’i ini dipercaya memangku jabatan Qadhi (hakim) di berbagai negeri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi kembali ke kota Baghdad untuk beberapa waktu, kemudian diangkat sebagai hakim agung pada masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.

Sekalipun hidup di masa dunia Islam terbagi ke dalam tiga dinasti yang saling bermusuhan, yaitu dinasti Taimiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi di mata para penguasa di masanya, bahkan para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan musuh-musuhnya.

Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawar ditetap aktif mengajar dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu Izza Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi

Murid-murid al-Mawardi
 
Diantaranya adalah:
Imam besar, Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi.
Abu Al-Izzi Ahmad bin kadasy.
Karya - Karya al-Mawardi

Al-Mawardi termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, mulai dari ilmu bahasa sampai tafsir, fiqh dan ketatanegaraan.  

A. Bidang Fiqh
Al-Hawi Al-Kabir
Al-Iqna’
Dalam ilmu fiqih, inilah Al-Imam Al-Mawardi, menunjukkan suatu ‎pemikarannya yang merujuk pada Al-Imam Al-Syafi‟i, atau condong pada pemikiran-pemikiran ulama‟ Syafi‟iyah, seperti dalam kitabnya, Al-hawi Alkabir.

Buku ini ditulis oleh Al-Imam Ali bin Muhammad bin Habib Al- Imam Al-Mawardi ( w 450 H) yang merupakan ‎syarah dari kitab Mukhtashar al-Muzani karya Al-Imam Al-Muzani. Buku ini merupakan syarah Al-Mukhtashar yang sangat panjang.  Di dalamnya dikemukakan pendapat-pendapat Al-Imam Al-Syafi‟i, juga pendapat ashshab Imam Syafi‟i berikut dalil-dalilnya serta dibandingkan dengan madzhab fiqhlainnya semisal dengan madzhab Malikiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah. Di akhir pembahasan, semua persoalan “dimenangkan” oleh madzhab Syafi‟iyah.
B. Bidang politik 
Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah
Siyasatu Al-Wizarati wa Siyasatu Al-Malik
Tashilu An-Nadzari wa Ta’jilu Adz-Dzafari fi Akhlaqi Al-Malik wa Siyasatu Al-Malik
Siyasatu Al-Maliki
Nashihatu Al-Muluk
C. Dalam Tafsir 
Tafsir Al-Qur’anul Karim
An-Nukatu wa Al-Uyunu
Al-Amtsal wa Al-Hikam
D. Bidang Sastra
Adabu Ad-Dunya wa Ad-Din

E. Bidang Aqidah
A’lamu An-Nubuwah

Sejarah Penulisan Tafsir ‎
Mengenai latar belakang penulisan kitab ini, kami melihatnya dalam muqaddimah yang ditulis al-Mawardi,

وجعل ما استودعه على نوعين: ظاهراً جلياً وغامضاً خفياً يشترك الناس في علم جلية ويختص العلماء بتأويل خفية حتى يعم الإعجاز، ثم يحصل التفاضل والامتياز.ولما كان ظاهر الجلي مفهوما بالتلاوة، وكان الغامض الخفي لا يعلم إلا من وجهين: نقل واجتهاد جعلت كتابي هذا مقصورا على تأويل ما خفي علمه، وتفسير ما غمض تصوره وفهمه،

Yakni berawal dari fakta bahwa tidak semuaayat dapat difahami dengan mudah maknanya. Kemudian ia membagi ayat al-Qur’an menjadi dua jenis, yaitu ada ayat yang dzahir dan jelas (sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam), dan ada juga ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya. Inilah yang menjadi peran khusus para ulama untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut. Lalu, al-Mawardi mengambil inisiatif untuk ikut berkontribusi dengan menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan ‎ta’wil dan ‎tafsir terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.

Metode Penafsiran

Menurut bentuk atau sumbernya, buku tafsir Imam al-Mawardi adalah termasuk ke dalam golongan tafsir bil bi al-ma’tsur, yaitu sesuatu yang bersumber dari nash al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasul, para sahabat, dan para tabi’in. Semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.Jadi itu adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik nash al-Qur’an, sunnah Rasul, pendapat sahabat, ataupun perkataan tabi’in.

Sedangkan metode yang dipakai oleh Imam al-Mawardi dalam tafsirnya mengambil metode secara tahlili atau analisis, yaitu metode yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufassir yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam Mushaf. Biasanya yang dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosakata ayat, hubungan ayat dengan ayat sebelumnya, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghadirkan aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambahkan uraian tentang aneka Qira’at, I’rab ayat-ayat yang ditafsirkan, serta keistemawaan susunan kata-katanya. Yakni metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan urutan bacaan yang terdapat dalam mushaf Utsmani yaitu dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Naas.

Corak

Penafsiran kitab Tafsir al-Mawardi bercorak hukmi, dilihat dari kondisi sosial Imam al-Mawardi yang terpengaruh terhadap permasalahan fiqih pada waktu itu; atau karena keahliannya dalam bidang fiqih (kami melihat dari hasil-hasil karyanya yang kebanyakan adalah bidang fiqih) sehingga ia dipercaya memangku jabatan atau kedudukan sebagai Qadhi ini berpengaruh pada karya tafsirnya “al-Nukat wa al-‘Uyun”.

Dalam permasalahan teologis juga ada, yaitu tentang ayat al-Sifah, disini al-Mawardi juga berpendirian seperti dalam bidang hukum, yaitu tidak terikat pada salah satu faham, bahkan ada kecenderungan untuk membiarkan paham berkeliaran dalam kitabnya.

Kelebihan dan Kekurangan

Beberapa kelebihanTafsir al-Mawardi diantaranya :
1.         Terhimpun di dalamnya perkataan-perkataan ulama terdahulu yang berkenaan dengan tafsiran ayat.
2.         Pemahaman bahasa yang dalam dan teliti di setiap mufradat-mufradat ayat.
3.         Memiliki manhaj yang dalam dalam menghimpun perkataan-perkataan ulama terdahulu.
4.         Beliau tidak hanya menggunakan metode bi al-ma’tsur saja, tetapi di dalamnya juga terkumpul qira’at-qira’at, hukum-hukum fiqh yang ma’tsur.
5.         Dianggap kitab yang paling agung, paling shahih dan paling lengkap pada urutan kedua setelah Tafsir ath-Thabari, ini karena kebanyakan penafsiran al-Mawardi merujuk pada kitab atau penafsiran dari ath-Thabari.
Adapun salahsatu kekurangan kitab tafsir al-Mawardi ini adalah
1.    Imam al-Mawardi telah memasukkan hadits-hadits yang lemah dalam kitabnya. Ada beberapa yang berkualitas dha’if, di antaranya:
a)    Hadits dalam penafsiran terhadap alif lam mim pada QS. al-Baqarah:

عن الكلبي , عن أبي صالح , عن ابن عباس وجابر بن عبد الله , قال: مَرَّ أبو ياسر بن أخطب برسول الله صلى الله عليه وسلم وهو يتلو فاتحة الكتاب وسورة البقرة: {الم. ذلِكَ الكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ}.

Hadits di atas, para ulama’ sepakat kedha’ifannya. Seperti al-Suyuthi dalam “al-Dur al-Mantsur”, al-Syaukani dalam “Fath al-Qadir”, Ibnu Katsir dan Ahmad Syakir. Akan tetapi al-Mawardi tampak sengaja membiarkan hadits ini apa adanya tanpa menjelaskan kedha’ifan hadits tersebut dalam kitabnya.

Tafsir yang disajikan dengan metode tahlily kebanyakaan bertele-tele dalam penjelasannya, dirasakan juga adanya semacam “Belenggu yang mengikat generasi masa sesudahnya”, karena tidak jarang para mufassirnya menghidangkan pendapat secara teoritis dan mengesankan bahwa itulah pesan al-Qur’an yang harus diindahkan setiap waktu dan tempat. Dan yang terpenting adalah kurangnya rambu-rambu metodologis yang diindahkan oleh mufassir, ketika menarik makna dan pesan ayat-ayat al-Qur’an, bahkan ketika menyodorkan penafsirannya.

Pujian Para Ulama Terhadapnya

Sejarawan Ibnu Al-Atsir berkata: “ Al-Imam Al-Mawardi adalah seorang Al-Imam.Abu Fadhl ibnu Khairun Al-Hafidz berkata: Al-Imam Al- Mawardi adalah orang hebat. Ia mendapatkan kedudukan tinggi dimata sulthan. Ia adalah salah seorang imam, dan mempunyai karya tulis bermutu dalam berbagai disiplin Ilmu. Al-Khatib Al-Baghdadi berkata: Al-Imam Al- Mawardi termasuk tokoh ahli fiqh madzhab Al-Imam Al-Syafi‟i. Aku menulis darinya dan ia adalah orang yang berintegritas tinggi.

Ada diantara para Ulama diantaranya adalah Al-Imam Ad-Dzahabi yang menuduhnya sebagai Mu‟tazili, tetapi oleh para ulama yang lain diantaranya Ibnu Al-Subki, dan Ibnu Hajr menyangkal hal itu. Walaupun memang benar bahwa ada sebagian pendapat-pendapatnya yang sejalan dengan pendapat sekte Mu‟tazilah, diantaranya adalah pertama, pendapatnya berkaitan tentang kewajiban hukum dan pengamalannya apakah hal tersebut berdasarkan syariat atau akal? Al-Imam Al-Mawardi berpendapat bahwa hal tersebut berdasarkan akal. Kedua, pendapatnya tentang penafsiran satu ayat Al – A‟raaf, ia berkata : “ Allah tidak menghendaki penyembahan berhala-berhala.

Menurut beberapa muridnya, menjelang wafat Al-Imam Al-Mawardi pernah mengatakan:
 “Buku-buku saya ada di si Fulan. Saya tidak akan mengeluarkannya, karena saya .khawatir saya tidak ikhlas . jika saya mati tolong pegang tangan saya. jika tangan saya bisa menggenggam, maka tulisan saya hanya sedikit yang dapat diterima, maka tolong ambil tulisan-tulisan saya lalu buang ke suangai Trigis. Akan tetapi jika tangan saya terbuka, maka itu berarti diterima Allah”.

Si murid mengatakan:
 “Kemudian saya laksanakan pesannya begitu beliau meninggal. Ternyata tangan beliau terbuka. Maka saya tahu karangankarangannya diterima di sisi Allah. Lalu saya publikasikan”.
Wafat Beliau ‎

Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al Mawardi pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.

Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir, mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih mazhab Syafi’i.

Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al-Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Iqna’.

Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.

Imam Abu Ali Muhammad Asy-Syaukani


Beliau adalah al Imam al Qadhi Abu Ali Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdullah asy-Syaukani, ash-Shan’ani. Julukannya adalah Imam Asy-Syaukani yang dinisbahkan k‎epada wilayah Hijratusy Syaukan, yang berada di luar kota Shan'a.

Kelahiran Beliau‎

Beliau dilahirkan pada tengah hari Senin 28 Dzulqa’dah  172 H di Hijratu Syaukan, Yaman. Kemudian ia besar di Shan'a, Yaman.

Pertumbuhan Beliau

Beliau tumbuh di bawah asuhan ayahandanya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi dan kesucian jiwa. Beliau belajar al-Qur’an di bawah asuhan beberapa guru dan dikhatamkan di hadapan al-Faqih Hasan bin Abdullah al Habi dan beliau perdalam kepada para masyayikh al-Qur’an di Shan’a. Kemudian beliau menghafal berbagai matan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti: al Azhar oleh al Imam al Mahdi, Mukhtashar Faraidh oleh al Ushaifiri, Malhatul Harm, al Kafiyah asy Syafiyah oleh Ibnul Hajib, at-Tahdzib oleh at-Tifazani, at-Talkhish fi Ulumil Balaghah oleh al Qazwaini, al Ghayah oleh Ibnul Imam, Mamhumah al Jazarifil Qira’ah, Mamhumah al Jazzar fil ‘Arudh, Adabul Bahts wal Munazharah oleh al Imam al-‘ Adhud.

Pada awal belajarnya beliau banyak menelaah kitab-kitab tarikh dan adab. Kemudian beliau menempuh perjalanan mencari riwayat hadits dengan sama dan talaqqi kepada para masyayikh hadits hingga beliau mencapai derajat imamah dalam ilmu hadits. Beliau senantiasa menggeluti ilmu hingga berpisah dari dunia dan bertemu Rabbnya.

Guru-guru Beliau

Di antara guru-guru beliau ialah:

Ayahanda beliau yang kepadanya beliau belajar Syarah al-Azhar dan Syarah Mukhtashar al-Hariri.
As Sayyid al Allamah Abdurrahman bin Qasim al Madaini, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar.
Al Allamah Ahmad bin Amir al Hadai, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar.
Al Allamah Ahmad bin Muhammad al-Harazi, beliau berguru kepadanya selama 13 tahun, mengambil ilmu fiqih, mengulang-ulang Syarah al Azhar dan hasyiyahnya, serta belajar bayan Ibnu Muzhaffar dan Syarah an-Nazhiri dan hasyiyahnya.
As Sayyid al Allamah Isma’il bin Hasan, beliau belajar kepadanya al-Malhah dan Syarahnya.
Al Allamah Abdullah bin Isma’il as-Sahmi, beliau belajar kepadanya Qawaidul I’rab dan Syarahnya serta Syarah al Khubaishi ‘alal Kafiyah dan Syarahnya.
Al Allamah al Qasim bin Yahya al-Khaulani, beliau belajar kepadanya Syarh as Sayyid al-Mufti ‘alal Kafiyah, Syarah asy-Syafiyah li Luthfillah al Dhiyats, dan Syarah ar-Ridha ‘alal Kafiyah.
As Sayyid al Allamah Abdullah bin Husain, beliau belajar kepadanya Syarah al fami ‘alal Kafiyah.
Al Allamah Hasan bin Isma’il al Maghribi, beliau belajar kepadanya Syarah asy- Syamsiyyah oleh al Quthb dan Syarah al- ‘Adhud ‘alal Mukhtashar serta mendengarkan darinya Sunan Abu Dawud dan Ma’alimus Sunan.
As Sayyid al Imam Abdul Qadir bin Ahmad, beliau belajar kepadanya Syarah Jam’ul Jawami’ lil Muhalli dan Bahruz Zakhkhar serta mendengarkan darinya Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, dan Syifa’ Qadhi ‘lyadh.
Al Allamah Hadi bin Husain al-Qarani, beliau belajar kepadanya Syarah al-Jazariyyah.
Al Allamah Abdurrahman bin Hasan al Akwa, beliau belajar kepadanya Syifa al Amir Husain.
Al Allamah Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin Amir, beliau mendengarkan darinya Shahih Bukhari dari awal hingga akhir.
Murid-murid Beliau

Di antara murid-murid beliau ialah: kedua putra beliau yakni al Allamah Ali bin Muhammad asy Syaukani dan al Qadhi Ahmad bin Muhammad asy Syaukani, al Allamah Husain bin Muhasin as-Sab’i al Anshari al Yamani, al Allamah Muhammad bin Hasan asy Syajni adz Dzammari, al Allamah Abdul Haq bin Fadhl al-Hindi, asy-Syarif al Imam Muhammad bin Nashir al Hazimi, Ahmad bin Abdullah al Amri, as Sayyid Ahmad bin Ali, dan masih banyak lagi.

Kehidupan llmiah Beliau

Beliau belajar fiqih atas madzhab al Imam Zaid sehingga mumpuni. Beliau menulis dan berfatwa sehingga menjadi pakar dalam madzhab tersebut. Kemudian beliau belajar ilmu hadits sehingga melampaui para ulama di zamannya. Kemudian beliau melepaskan diri dari ikatan taklid kepada madzhab Zaidiyyah dan mencapai tingkat ijtihad.

Beliau menulis kitab Hadaiqil Azhar al-Mutadaffiq ‘ala Hadaiqil Azhar. Dalam kitab tersebut beliau mengkritik beberapa permasalahan dalam kitab Hadaiqil Azhar yang merupakan rujukan utama madzhab Zaidiyyah dan meluruskan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab tersebut. Maka bergeraklah para muqallidin (orang yang selalu taklid, mengikuti pendapat orang lain tanpa berusaha mencari ilmunya red.) membela kitab tersebut sehingga terjadilah perdebatan yang panjang.

Tidak henti-hentinya beliau mengingatkan umat dari taklid yang tercela dan mengajak umat agar ittiba kepada dalil. Beliau menulis risalah dalam hal tersebut yang berjudul al Qaulul Mufiid fi Hukmi Taqlid.

Aqidah Beliau

Aqidah beliau adalah aqidah salaf yang menetapkan sifat-sifat Alloh yang datang dalam Kitab dan Sunnah shahihah tanpa mentakwil dan mentahrif. Beliau menulis risalah dalam aqidah yang berjudul at Tuhaf bi Madzhabis Salaf.

Beliau gigih mendakwahi umat kepada aqidah salafiyyah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Demikian juga, beliau selalu berusaha mensucikan aqidah dari kotoran-kotoran kesyirikan.

Beliau Menjabat Sebagai Qadhi Negeri Yaman

Pada tahun 209 H meninggallah Qadhi Yaman, Syaikh Yahya bin Shalih asy Syajari as Sahuli. Maka Khalifah al Manshur meminta kepada al Imam asy Syaukani agar menggantikan Syaikh Yahya sebagai qadhi negeri Yaman.

Pada awalnya beliau menolak jabatan tersebut karena takut akan disibukkan dengan jabatan tersebut dari ilmu. Maka datanglah para ulama Shan’a kepada beliau meminta agar beliau menerima jabatan tersebut, karena jabatan tersebut adalah rujukan syar’i bagi para penduduk negeri Yaman yang dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang yang tidak amanah dalam agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima jabatan tersebut. Beliau menjabat sebagai Qadhi Yaman hingga beliau wafat pada masa pemerintahan tiga khalifah: al Manshur, al Mutawakkil, dan al Mahdi. Ketika beliau menjabat sebagai qadhi maka keadilan ditegakkan, kezhaliman diberi pelajaran, penyuapan dijauhkan, fanatik buta dihilangkan, dan beliau selalu mengajak umat kepada ittiba terhadap Kitab dan Sunnah.

Tulisan-tulisan Beliau

Di antara tulisan-tulisan beliau ialah:

Adabu Thalib wa Muntahal Arib.
Tuhfatu Dzakirin.
Irsyadu Tsiqat ila Ittifaqi Syarai’ ‘ala Tauhid wal Ma’ad wan Nubuwat.
Ath Thaudul Muniffil Intishaf lis Sad minasy Syarif.
Syifaul ilal fi Hukmu Ziyadah fi Tsaman li Mujarradil Ajal.
Syarhu Shudur fi Tahrimi Raf’il Qubur.
Thibu Nasyr fi Masailil Asyr.
Shawarimul Hindiyyah al Maslulah ‘alar Riyadhan Nadiyyah.
Al Qaulush Shadiq fi Hukmil Imamil Fasiq.
Risalah fi Haddi Safar Aladzi Yajibu Ma’ahu Qashru Shalat.
Tasynifu Sam’i bi Ibthali Adillatil Jam’i.
Risalah al Mukammilah fi Adillatil Basamalah.
Iththila’u Arbabil Kamal ‘ala Ma fi Risalatil Jalal fil Hilal minal Ikhtilal.
Tanbih Dzawil Hija ‘ala Hukmi Bai’ir Riba.
Al Qaulul Muharrar fi Hukmi Lubsil Mu’ashfar wa Sairi Anwa’il Ahmar.
Uqudul Zabarjad fi Jayyidi Masaili Alamati Dhamad.
Ibthali Da’wal Ijma ‘ala Tahrimis Sama’.
Zahrun Nasrain fi Haditsil Mu’ammarin.
Ittihaful Maharah fil Kalam’ala Hadits: “La ‘Adwa wa La Thiyarah.”
Uqudul Juman fi Bayani Hududil Buldan.
Hallul Isykal fi Ijbaril Yahud ‘ala Iltiqathil Azbal.
Al Bughyah fi Mas’alati Ru’yah.
Irsyadul Ghabi ila Madzhabi Ahlil Bait fi Shabin Nabi.
Raf’ul Junah an Nafil Mubah.
Qaulul Maqbul fi Raddi Khabaril Majhul min Ghairi Shahabatir Rasul.
Amniyyatul Mutasyawwiq ila Ma’rifati Hukmi ‘Ilmil Manthiq.
Irsyadul Mustafid ila Daf’i Kalami Ibnu Daqiqil ‘Id fil Ithlaq wa Taqyid.
Bahtsul Musfir an Tahrimi Kulli Muskir.
Dawa’ul Ajil li Daf’il Aduwwi Shail.
Durru Nadhid fi Ikhlashi Kalimati Tauhid.
Risalah fi Wujubi Tauhidillah.
Nailul Author Syarh Muntaqal Akhbar.
Maqalah Fakhirah fi Ittifaqi Syarai’ ‘ala Itsbati Daril Akhirah.
Nuzhatul Ahdaq fi Ilmil Isytiqaq.
Raf’u Ribah fi Ma Yajuzu wa Ma La Yajuzu minal Ghibah.
Tahrirud Dalail ‘ala Miqdari Ma Yajuzu bainal Imam wal Mu’tamm minal Irtifa’ wal Inkhifadh wal Bu’du wal Hail.
Kasyful Astar fi Hukmi Syuf’ati bil Jiwar.
Wasyyul Marqum fi Tahrimi Tahalli bidz Dzahab lir Rijal minal Umum.
Kasyful Astar fi Ibthalil Qaul bi Fanain Nar.
Shawarimul Haddad al Qathi’ah li ‘Alaqi Maqali Ahlil Ilhad.
Isyraqu Nirain fi Bayanil Hukmi Idza Takhallafa ‘anil Wa’di Ahadul Khashmain.
Hukmu Tas’ir.
Natsrul Jauhar fi Syarhi Hadits Abi Dzar.
Minhatul Mannan fi Ujratil Qadhi was Sajjan.
Risalah fi Hukmil ‘Aul.
Tanbihul Amtsal ‘ala Jawazil Isti’anah min Khalishil Mal.
Qathrul Wali fi Ma’rifatil Wali.
Taudhih fi Tawaturi Ma Ja’a fil Mahdil Muntazhar wad Dajjal wal Masih.
Hukmul Ittishal bis Salathin.
Jayyidu Naqd fi ‘Ibaratil Kasysyaf was Sa’d.
Bughyatul Mustafid fi Raddi ‘ ala Man Ankaral Ijtihad min Ahli Taqlid.
Radhul Wasi’ fid Dalil Mani’ ‘ala Adami Inhishari Ilmil Badi’.
Fathul Khallaq fi Jawabi Masail Abdirrazaq.
Wafat Beliau

Al-Imam asy-Syaukani wafat pada malam Rabu 27 Jumada Tsaniyyah 250 H di Shan’a. Semoga Alloh meridhai beliau dan menempatkan beliau dalam keluasan jannah-Nya. Amiin ‎

Sulthonul Ulama' Syaikh Izzuddin Bin Abdissalam


Jika selama ini kita telah mengenal juluk Sulthonul Auliya', Syekh Abd. Qodir al-Jailani, Seorang hamba Alloh yang dikarunia derajat wilayah (kewalian) yang juga menjadi pembesar (raja para wali) Alloh, maka ada seseorang yang berjuluk Sulthonul Ulama (Rajanya para Ulama). Beliau adalah al-Imam 'Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam. Siapa beliau?... Bagaimana sejarah beliau?... Setinggi apa kapasitas keilmuan beliau?. Kali ini kami akan mencoba mengurai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Semoga bermanfaat Diiinan, wa Dunyan wa Ukhron. Amien…. 

Tokoh kita kali ini adalah seorang alim yang mumpuni keilmuannya. Ia memang tidak setenar Imam mazhab empat, Imam Nawawi, Imam Ghazali, atau Imam Ibnu Taimiyah. Namun kontribusinya terhadap dakwah, ilmu, dan jihad tercatat dengan tinta emas sejarah Islam.  Ia adalah Abdul Aziz bin Abdissalam bin Abi Al-Qasim bin Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab, bergelar Izzuddin (kemuliaan agama).Masyarakat pada masa itu memanggilnya dengan Abu Muhammad.

Nama, Nasab dan Nisbat 

Abu Muhammad, Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qosim bin Al-Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As-Sulmi Al-Maghrobi Ad-Damasyqi Al-Mishri Asy-Syafi’i, begitulah nama, nasab dan nisbat beliau. 

Nama asli Imam Izzuddin adalah Abdul Aziz, Abu Muhammad adalah kunyah beliau, sedangkan “izzuddin”, yang artinya “kebanggaan agama” adalah laqob (julukan/gelar) beliau. Pemberian gelar dengan tambahan “ad-din” (agama) sedang masyhur dikala itu, banyak para ulama’ dan para pemimpin menambahkan kata tersebut dalam gelar mereka, sebut saja semisal Sholahuddin Yusuf, Ruknuddin Adzdzohir Beibres, Tajuddin Abdul Wahab bin Bintul Al’A’azz, dan lainnya. Namun biasanya penyebutan nama beliau disingkat dengan “Al-‘Izz bin Abdussalam”.

Selain gelar izzuddin, beliau juga diberi gelar “Sulthonul Ulama’” yang artinya sultan/raja  dari para ulama’, gelar ini dipopulerkan oleh murid beliau, Imam Ibnu Daqiq Al-’Id. Kemungkinan gelar ini disematkan pada nama beliau lantaran beliau dikenal sebagai seorang ulama’ yang berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan ajaran agama, dan mendatangi para penguasa untuk menyampaikan hujah-hujah beliau dihadapan mereka.

Adapun nisbat As-Sulmi (huruf sin-nya dibaca dhommah, sebagaimana yang tertera pada lampiran pertama naskah kitab tafsir brliau, dan juga sebagaimana dikemukakan dalam beberapa sumber yang menjelaskan biografi beliau) mengarah pada satu kabi;lah yang bernama Bani Sulaim, salah satu kabilah yang masih dari kabilah-kabilah Mudhor.

Daerah asal nenek moyang beliau adalah daerah Maghrib (Maroko) karena itu terdapat kata “Al-Maghrobi” pada nisbat beliau. Lalu nenek moyang beliau pindah ke Damaskus, dan disitulah beliau dilahirkan, makanya beliau diberi nisbat “Ad-Damasyqi”. Sedangkan nisbat “Al-Mishri” dicantumkan dalam nama beliau sebab beliau pindah ke Negara mesir dan menetap disana. Adapun nisbat “Asy-Syafi’i” sudah maklum kiranya sebab beliau merupakan pengikut madzhab Syafi’i meskipun dalam beberapa hal beliau memiliki pendapat yang berseberangan dengan madzhab syafi’i.

Kelahiran dan Perkembangan 

Semua sumber sejarah yang mencantumkan biografi beliau sepakat bahwa beliau dilahirkan di Damaskus, Syiria, hanya saja terdapat dua pendapat berbeda mengenai tahun kelahiran beliau, ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 577 H. dan ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 578 H.

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam dilahirkan dari keluarga miskin dan dari keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang didapat mengenai kehidupan masa kecil beliau dan sejarah nenek moyang beliau, karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang terpandang, atau pemimpin pemeritahan. Syaikh Ibnu As-Subki mengisahkan, bahwa pada masa awal hidupnya Imam Izzuddin sangat faqir, karena itulah beliau baru mulai menuntut ilmu pada usiau tua. 

Masa-Masa Menuntut Ilmu 

Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun beliau sangat bersemangat menghafalkan kitab dan giat belajar, dan secara berkala mengaji pada para ulama’ besar pada masa beliau, semua itu beliau lakukan untuk menebus masa kecil beliau yang tak sempat mengenyam pendidikan karena keadan keluarga beliau yang miskin.

Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa kita lihat dari sikap beliau yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum menyelesaikannya. Dikisahkan bahwa suatu ketika guru beliau berkata; “Engkau sudah tidak membutuhkan apa-apa dariku lagi”, namun Imam Izzuddin tetap saja mengaji dengan tekun kepada sang guru dan mengikuti pelajaran sang guru hingga selesai kajian kitab yang diajarkan.

Ketekunan beliau juga dituunjukkan dengan jarangnya tidur pada malam hari, beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun beliau tidak tidur sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu lingkunagn dimana beliau tinggal, yaitu Damaskus pada waktu itu adalah kawasannya para ulama’, daerah yang dipenuhi ulama’-ulama’ yang masyhur dalam berbagai ilmu.

Guru - Guru Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam

1. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani
Al-Qodhi Abdus Shomad bin Muhammad bin Ali bin Abdul Wahid bin Al-Harostani Al-Anshori Al-Khozroji Al-Ubadi As-Sa’di Ad-Damasyqi  merupakan seorang qodhi (hakim) yang dikenal adil, zuhud dan wira’i, beliau merupakan salah satu pembesar fuqoha’ madzhab syafi’i, imam izzuddin menceritakan bahwa gurunya ini hafal kitab “Al-Wasith” karya imam ghozali. Tak heran jika Imam Izzuddin begitu kagum pada gurunya tersebut, Imam Izzuddin sampai mengatakan; “Tak pernah aku melihat orang yang ahli fiqih seperti beliau”.

Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani dikenal sebagai seorang hakim yang sangat berani dan tegas dalam memberikan keputusan hukum, Dikisahkan suatu ketika ada dua orang yang mengadukan permasalahan yang menimbulkan pertikaian diantara keduanya, salah satu diantara mereka membawa surat dari sang raja yang ditujukan kepada sang qodhi yang berisi wasiat kepada qodhi, namun ketika beliau menerima surat itu, beliau tidak membukanya, setelah mendengarkan keterangan dari kedua orang tersebut beliau memberikan keputusan bahwa orang yang membawa surat dari raja itulah yang benar. Setelah memberikan keputusan, sang qodhi baru membuka surat tersebut, lalu membacanya dan mengembalikannya kepada orang yang membawa surat tersebut, seraya berkata; “Kitabulloh (al-qur’an) telah telah memberikan keputusan pada kitab (surat) ini”. Apa yang beliau lakukan akhirnya sampai kepada raja, lalu sang raja berkata; “Dia benar, kitabulloh lebih utama dari kitabku”.

Keberanian gurunya inilah yang sangat membekas dan berpengaruh pada keperibadian imam izzuddin, ini nampak ketika kelak beliau mulai memberikan fatwa, seringkali fatwa beliau berseberangan dengan apa yang dikehendaki oleh para pemimpin-pemimpin daulah Mamalik (Mamluk) di Mesir. Imam Izzuddin juga memiliki pendapat yang berseberangan dengan raja Najmuddin Ayyub hingga membuat sang raja marah besar.

2. Syaikh Saifuddin Al-Amidi
Dalam bidang ushul (ilmu tauhid), Imam Izzuddin belajar pada Syaikh Saifuddin Al-Amidi, seorang ulama’ yang dikenal sangat pandai dalam bidang ushul dan diskusi (munadhoroh). Imam Izzuddin sangat terpengaruh dengan Syaikh Al-‘Amidi dan mengagumi gurunya itu, Imam Izzuddin mengatakan; “Tak pernah aku mendengar orang yang menyampaikan pelajaran sebagus beliau”,  Imam Izzuddin juga pernah berkata; “Aku tidak mengetahui kaidah-kaidah berdiskusi kecuali dari beliau”.

3. Imam Fakhruddin bin ‘Asakir
Abu Manshur Abdurrohman bin Muhammad bin Al-Hasan bin Hibatulloh bin Abdulloh bin Al-Husain Ad-Damasyqi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Asakir merupakan guru imam izzuddin dalam bidang hadits dan fiqih madzhab syafi’i, seorang ulama’ yang dikenal wira’i dan zuhud. Beliau juga dikenal sebagai ulama’ yang sangat berani dalam memberikan fatwa dan tak perduli meskipun keputusannya itu bertentangan dengan keputusan yang dikeluarkan oleh raja, jika memang menurut beliau keputusan itu salah dan melanggar agama.. Beliau menolak dijadikan sebagai hakim ketika diminta oleh raja, dan mengatakan kepada sang raja; “Cari saja orang lain”.

Ketiga  ulama’ inilah guru-guru yang berpengaruh besar pada akhlak dan pola pemikiran beliau kelak. Selain ketiga ulama’ tersebut, Imam izzuddin juga belajar kepada beberapa ulama’ lainnya, diantaranya ;

4. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir 
Beliau adalah Al-Hafidh Baha’uddin Abu Muhammad Al-Qosim bin Al-hafidh Al-Kabir Abul Qosim bin Asakir.

5. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syiuyukh
Beliau adalah Abul Hasan Dhiya’uddin Abdullathif bin Isma’il bin Syaikhus Suyukh Abu Sa’d Al-Baghdadi. Beliau merupakan guru imam izzuddin dalam bidang hadits.

6. Syaikh Al-Khusyu’i
Beliau adalah Abu Thohir Barokat bin Ibrohim bin Thohir Al-Khusyu’i. Beliau merupakan guru imam izzuddin dalam bidang hadits.

7. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
Beliau adalah Abu ‘Ali Hambal bin Abdulloh bin Al-Faroj bin Sa’adah. Beliau merupakan guru imam izzuddin dalam bidang hadits.

8. Syaikh Umar bin Thobarzad
Beliau adalah Abu Hafsh Umar bin Muhammad bin Yahya, yang lebih dikenal dengan Ibnu Thobarzad Ad-Darqozi.

Karir Intelektual Imam Izzuddin

Setelah imam izzuddin belajar kepada guru-guru tersebut, beliau mulai kehidupan intelektual beliau dengan mengajar, berfatwa dan menjadi khothib. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci kegiatan-kegiatan beliau tersebut.

Pertama;  Mengajar

Selama beliau tinggal di Damaskus, beliau mengajar dibeberapa madrasah, diantaranya :

1. Madrasah Al-‘Aziziyah
Imam Izzuddin ditetapkan sebagai staf pengajar dimadrasah ini, yang juga merupakan tempat mengajar guru beliau, Imam Saifuddin Al-Amidi, beliau sudah mulai mengajar ditempat ini saat guru beliau itu juga masih mengajar disana.

2.  Zawiyah Al-Ghozaliyah
Zawiyah Al-Ghozaliyah adalah sebuah tempat kecil yang berada disalah satu sudut masjid jami’ al-umawi (zawiyah artinya pojokan). Tempat ini dinamakan zawiyah al-ghozaliyah karena sering dipakai oleh imam Ghozali sebagai tempat i’tikaf dan juga mengajar murid-muridnya. Tempat ini merupakan tempat yang digunakan sebagai tempat mengajar oleh beberapa ulama’ besar pada masa itu. Imam Izzuddin ditetapkan oleh Sultan Al-Kamil sebagai pengajar ditempat itu menggantikan Syaikh Jamaluddin bin Muhammad Ad-Daula’i  yang telah wafat.

Kedua; Berfatwa

Pada masa beliau memberikan fatwa bukanlah tugas resmi dimana pemerintah menetapkan seseorang menjadi mufti yang memiliki tugas khusus untuk memberikan fatwa, Berfatwa adalah tanggung jawab moral yang dijalankan oleh seorang ulama’ yang sudah ahli, wira’i dan bertakwa. Jika ada orang yang sudah memenuhi kriteria tersebut maka masyarakat dengan sendirinya akan mendatangi orang tersebut untuk dimintai fatwa mengenai satu permasalahan. Jadi pada masa beliau berfatwa bukanlah tugas dari pemerintah namun murni karena Allah semata.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, imam izzuddin sangat terpengaruh dengan ketegasan guru-gurunya dalam berfatwa dan tak memperdulikan jika pendapat beliau bertentangan dengan penguasa.

Dikisahkan bahwa beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan Sultan Al-Asraf mengenai masalah hakikat al-qur’an, yang pada kurun itu merupakan salah satu masalah yang menyebabkan fitnah yang sangat besar dikalangan kaum muslimin. Beberapa orang yang mengetahui bahwa pendapat beliau berbeda dengan sultan sengaja mengajukan pertanyaan tersebut kepada imam izzuddin, dan nanti jawaban itu akan disampaikan kepada sang raja. Saat orang-orang itu menghadap beliau berkata; “permintaan untuk menulis fatwa mengenai masalah ini adalah ujian bagiku, demi Allah aku hanya akan menulis pendapat yang haq”. 

Lalu beliau menulis kitab beliau yang masyhur “Milhatul I’tiqod”. Ketika kitab itu dibaca oleh Sultan Asyraf, ia marah dan menuliskan jawaban dari kitab fatwa tersebut, setelah sampai pada imam izzuddin, jawaban sang raja diminta untuk dikembalikan lagi. Hal ini membuat sultan marah besar lalu mengutus perdana menterinya yang bernama Al-Ghoroz untuk mendatangi imam izzuddin dan memberitahukan 3 keputusan yang diberlakukan bagi beliau, yaitu; larangan memberikan fatwa, tidak boleh bertemu dengan siapapun dan tidak boleh keluar rumah.

Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Al-Ghoroz, imam izzuddin berkata : “Wahai Ghoroz, 3 ketetapan itu adalah nikmat yang sangat besar dari Allah kepadaku, yang wajib disyukuri selamanya. Aku memberikan fatwa secara suka rela dan sebenarnya aku tidak menyukainya karena aku berkeyakinan bahwa seorang mufti berada ditepi neraka jahannam, jika saja bukan karena aku meyakini bahwa tugas ini merupakan kewajiban dari Allah yang harus aku emban dimasa ini tentu aku tak akan mengerjakannya, dan sekarang aku telah memiliki udzur untuk tidak melaksanakan tugas tersebut dan aku terbebas dari tanggunganku, jadi aku patut berucap Alhamdulillah.

Wahai Ghoroz, ketetapan agar aku tetap dirumah merupakan suatu keberuntungan bagiku, karena keadaan itu adalah kesempatan bagiku untuk menghabiskan waktu beribadah kepada Allah, karena orang yang beruntung adalah orang yang tetap tinggal didalam rumah,  menangisi segala kesalahan yang telah diperbuat dan menyibukkan diri beribadah kepada Allah. Sultan member keputusan itu karena marah sedangkan aku yang menerimanya malah senang. 

Demi Allah, wahai Ghoroz, andai saja aku memiliki mahkota yang pantas untukmu akan aku lepas dan kuberikan padamu sebagai imbalan surat yang berisi kabar gembira dari sang raja, ambillah sajadah ini dan pakailah untuk sholat. Setelah beliau menyerahkan sajadah itu Ghoroz kembali keistana untuk menghadap sultan dan menyampaikan semua yang dikatakan imam izzuddin. Mendengar cerita itu sang raja berkata kepada orang-orang yang hadir disityu; “Coba katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan kepada dia, lelaki ini menganggap hukuman sebagai nikmat”.

Keadaan imam izzuddin yang dilarang berfatwa, tidak boleh bertemu siapa siapa dan keluar dari rumah berlangsung selama 3 hari, hingga akhirnya Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Hushoiri, seorang ulama’ pembesar madzhab Hanafi dimasa itu menghadap kepada sultan Al-Asyraf. Syaikh Jamaluddin berkata pada sultan; “Apa yang terjadi antara anda dan Ibnu Abdissalam, orang ini adalah seorang lelaki yang jika saja ia berada di negeri india atau berada diujung dunia, sudah sepantasnya bagi seorang sultan untuk pergi menghadap kepadanya, dan memintanya untuk tinggal dinegerinya agar negerinya bertambah berkah, dan agar negerinya berbangga karena ada seorang ulama’ besar yang tinggal dinegeri itu”.

Sultan berkata; “Saya memiliki tulisan fatwanya mengenai masalah aqidah, juga satu tulisan lagi yang ditulis sebagai jawaban atas satu pertanyaan”. Lalu sang sultan memperlihatkan kedua tulisan tersebut dan membacanya dari awal sampai akhir, setelah membacanya Syaikh Jamaluddin berkata; “Ini adalah i’tiqod dan keyakinan semua orang islam dan merupakan syi’ar orang-orang sholih, semua yang tertulis disitu adalah benar”.

Mendengar pernyataan dari Syaikh Jamaluddin sang sultan mengakui kesalahannya lalu berucap; “Kami memohon ampun pada Allah atas segala yang telah terjadi dan kami akan membayar kesalahan kami dengan memberikan hak beliau”. Setelah kejadian itu sultan meminta maaf kepada beliau Imam izzuddin. Semenjak saat itu sang sultan menuruti semua fatwa beliau dan meminta pertimbangan beliau sebelum mengambil keputusan.

Pada saat sang sultan sakit parah dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, sultan memanggil imam izzuddin untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat kepada sang imam dan meminta beliau untuk memberikan nasehat. Memenuhi permintaan sultan, imam izzuddin memberikan nasehat untuk membatalkan pengiriman bala tentara yang telah disiapkan untuk memerangi saudara sultan Al-Asyraf yaitu sultan Al-Kamil yang berkuasa di Mesir, dan mengalihkan tentara tersebut untuk memerangi tentara Tartar yang menjadi musuh bersama, kala itu tentara Tartar sudah mulai mulai menguasai bagian timur Negara-negara islam. Sultan Asyraf mematuhi nasehat dan saran dari imam Izzuddin lalu mengirimkan pasukan untuk memerai tentara tartar.

Selain itu imam izzuddin memberikan nasehat kepada sultan agar menindak tegas para pegawainya yang berzina, suka mabuk-mabukan, meminta pungutan liar dari kaum muslimin dan bersikap dholim pada warga, beliau meminta sultan untuk memberantas semua itu. Beliau juga bercerita pada sultan bahwa sebagian dari hal-hal tersebut telah mampu beliau hilangkan dengan usahanya.

Setelah mendengar semua nasehat dari sang imam, sultan Asyraf berkata; “Semoga Allah membalas atas jasa anda pada agama dan atas semua nasehat yang telah anda berikan, dan semoga Allah mengumpulkan aku dengan anda kelak disurga”, lalu sang sultan memberikan uang 1000 dinan mesir namun beliau menolaknya seraya berkata ; “Pertemuan kita ini adalah murni karena Allah, karena itu aku tak akan mengotorinya dengan urusan dunia”.

Setelah meninggalnya Sultan Asyraf, kepemimpinan beralih kepada wakilnya yaitu Sultan Ismail. Maka Sultan Isma’il yang pada akhirnya menjalankan nasehat dari Imam Izzuddin untuk menindak pegawai-pegawai pemerintah yang suka melakukan kemungkaran.

Ketegasan imam izzuddin dalam memberikan fatwa juga ditampakkan pada masa pemerintahan Sultan Isma’il, beliau menentang kebijakan Sultan isma’il yang bersekongkol dengan tentara salib dan meminta bantuan mereka untuk berperang melawan Sultan Najmuddin Ayyub bin Kamil yang berkuasa di Mesir, tentu saja bantuan dari tentara salib itu tidak diberikan dengan cuma-cuma, Sultan Isma’il menyerahkan beberapa benteng yang sebelumnya dikuasai kaum muslimin kepada tentara salib.

Selain itu tentara salib diperkenankan masuk ke Damaskus untuk membeli alat-alat perang yang akan digunakan untuk berperang menyerang mesir. Para pembuat persenjataan perang dan penjualnya datang kepada Imam Izzuddin untuk menanyakan hukum membuat dan menjual alat-alat perang kepada tentara salib yang bersekongkol dengan Sultan Isma’il. Maka Imam Izzuddin memberikan fatwa bahwa hal tersebut dilarang, beliau berkata; “Diharamkan bagi kalian menjual pedang alat-alat perang kepada mereka, sebab kalian telah yakin bahwa mereka akan menggunakannya untuk memerangi saudara-saudara kalian sendiri yang sama-sama beragama Islam”. Fatwa inilah yang membuat sang raja marah besar pada beliau, namun Imam Izzuddin tak memperdulikan hal tersebut, karena bagi beliau memang fatwa itulah yang seharusnya diberikan.

Keahlian dan ketegasan beliau dalam berfatwa itulah yang membuat nama beliau dikenal dimana-mana, sampai sampai beberapa orang sengaja datang jauh-jauh menghadap beliau hanya untuk meminta fatwa. Kemasyhuran beliau juga sampai ke Negeri Mesir sebelum akhirnya beliau pindah kesana, ini terbukti ketika beliau pindah ke Mesir, ulama’ yang menjadi mufti disana, yaitu Al-Hafidh Al-Mundhiri sudah tak mau lagi memberikan fatwa, Imam Al-Mundhiri memberikan alasan; “Aku memberikan fatwa sebelum Syaikh Izzuddin datang, jika beliau telah datang maka beliau yang lebih pantas untuk menjadi mufti”.

Ketiga; Menjadi Khothib

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam menjadi khothib di masjid jami’ Al-Umawi pada masa pemerintahan Sultan isma’il, beliau mulai ditetapkan sebagai khothib pada bulan robi’ul awwal tahun 637 H. Pada saat menjadi khothib beliau menghilangkan beberapa hal yang beliau anggap sebagai perbuatan bid’ah, seperti mengetokkan pedang kemimbar, memakai pakaian hitam, menggunakan kalimat-kalimat yang diperindah yang terlalu dipaksakan dan pujian kepada para sultan. Pujian-pujian kepada sultan yang biasanya diucapkan ketika khutbah beliau ganti dengan do’a untuk mereka.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam Izzuddin menentang keras kebijakan sultan yang akan memerangi saudaranya sendiri, penguasa mesir dengan meminta bantuan tentara salib, dan beliau memberikan fatwa agar para penjual perlengkapan perang tidak menjualnya kepada tentara salib. Selain memberikan fatwa yang sangat berani, dalam khutbahnya beliau menyindir sang sultan dalam khutbah yang beliau sampaikan di Masjid jami’ Umayyah. Beliau mengucapkan do’a tidak seperti biasanya, beliau berdo’a;

اللهم أبرم لهذه الأمة أمرا رشدا تعز فيه وليك وتذل به عدوك ويعمل فيه بطاعتك وينهى فيه عن معصيتك

“Ya Allah, kuatkanlah umat ini dengan aturan yang benar, yang akan memuliakan kekasihMu dan merendahkan musuhMu, mengamalkan ketaatan kepadaMu dan mencegah berbuat maksiat kepadaMU”.

Ketika beliau menyampaikan khutbah itu sang sultan sedang berada diluar Damaskus, lalu setelah  Sang Sultan diberikan kabar akan hal itu ia semakin marah karena do’a itu jelas jelas menyindirnya, karena itulah ia mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan imam izzuddin sebagai khotib dan menghukum beliau dengan hukuman tahanan. Namun setelah sultan kembali ke Damaskus atas berbagai pertimbangan ia memutuskan untuk melepaskan imam izzuddin. Dan setelah imam izzuddin keluar dari tahanan beliau pergi ke Baitul Maqdis dan berencana untuk pindah ke Mesir.

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
                ‎
Tajudin As-Subki menyebutnya sebagai Syaikhul Islam wal Muslimin, salah satu imam terkemuka, sultanul ulama, imam pada masanya yang tidak ada duanya, penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah kemungkaran, orang yang memahami hakikat, rahasia, dan maqasid (tujuan) syariat.
                ‎
Ibnu Katsir menulis dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, “Al-Izzu adalah mahaguru mazhab dan pemberi mamfaat pada kelompoknya. Ia memiliki karya-karya yang fenomenal, menguasai mazhab, menghimpun banyak ilmu, memberi kontribusi yang berarti bagi murid-muridnya, aktif mengajar di madrasah-madrasah, berhenti kepadanya tongkat kepemimpinan As-Syafi’iyah, dan ia dimintai fatwa di berbagai daerah. Ia adalah orang yang lemah lembut, rupawan serta banyak mengutip syair.”
             ‎‎
Salah satu muridnya, Syaikh Sihabuddin Abu Syamah mengatakan,”Ia adalah orang yang lebih layak menyampaikan khutbah dan memimpin shalat. Ia telah menghilangkan bid’ah yang dilakukan oleh para khatib, seperti mengetukkan pedang pada mimpar. Ia juga mencegah orang-orang melakukan shalat Raghaib dan Nisfu Sya’ban.”
          
Ulama yang Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara tugas ulama yang paling utama adalah beramar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hal ini, Imam Al-Izzu berada di garda terdepan dalam mengaplikasikan tugas tersebut. Setiap kali melihat perbuatan ma’ruf ditinggalkan, ia menyeru umat untuk mengerjakannya. Sebaliknya bila perbuatan mungkar merajalela, ia tak segan-segan turun tangan mencegahnya.
                ‎
Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa sebaik-baik jihad adalah mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim. Bagi seorang Al-Izzu, hadits tersebut sebagai pelecut semangat. Sehingga tidak jarang ia harus mendatangi para penguasa untuk sekedar menyampaikan nasihat dan kritikan di depan mereka secara langsung.
 
Pernah suatu ketika Imam Izzuddin Ibnu Abdus Salam menemui Sultan Najamudin Ayyub yang tengah duduk dalam istananya. Pada saat itu istananya yang megah tengah ramai. Imam Al-Izzu berkata,”Hai Ayyub, apa hujjahmu di depan Allah bila Dia bertanya padamu,’bukankah Aku telah memberikanmu kekuasaan di Mesir, lalu kenapa kamu menjual Khamar.’” 
Sultan menjawab,”Apa itu benar terjadi?”
“Benar, seorang wanita menjual khamer di kedainya sedang engkau asyik-asyik duduk di istanamu!” Jawab sang Imam.
“Tuanku, itu adalah kebijakan sultan sebelumnya yaitu ayahku.” Sultan membela diri.
“Berarti engkau termasuk di antara mereka yang mengatakan ‘inna wajadna aba’ana ala ummah’ (Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk mereka).” Beliau lalu meminta sultan menutup kedai itu.
 
Imam Al-Izzu ditanya apa ia tidak takut saat mengeritik sultan di majelis yang penuh dengan orang-orang yang culas. Beliau menjawab,”Anakku, aku menghadirkan ketakutan pada Allah, serta merta sultan bagaikan kucing di hadapanku.” Sultan akhirnya menutup kedai yang dimaksud dan sejak saat itu ia berkomitmen tidak akan membiarkan setiap kemunkaran yang ada.
 
Ulama yang Mujahid

Tatkala tentara musyrik Tartar memasuki kota Baghdad, ibu kota daulah Abbasiah, mereka berhasil melengserkan kekuasaan kaum muslimin yang sudah rapuh saat itu. Mulailah mereka membantai kaum Muslimin tanpa ampun, menodai kehormatan Muslimah, serta membakar jutaan lembar buku-buku Islam dan sains. Selanjutnya mereka mengincar negeri Islam lain seperti Mesir dan Syam.
                 ‎
Di tengah kondisi genting, penguasa Syam dan Mesir sepakat berdamai. Sebelumnya mereka nyaris berperang untuk berebut pengaruh seiring melemahnya kekuatan Pemerintahan Baghdad. Maka para umara dan ulama melakukan rapat merembukkan langkah-langkah penting yang hendak dipersiapkan. Selain persoalan militer, persoalan yang dibahas adalah pendanaan jihad mengingat kas Negara nyaris ludes.
 
Majulah Imam Al-Izzu, dengan lantang beliau berkata, “Jika dana baitul mal nyaris habis, emas dan perak (bahan dasar mata uang dinar dan dirham) juga begitu, sedangkan kondisi para pejabat sama dengan kondisi rakyatnya, maka tidak masalah menarik pajak. Sebab pajak itu untuk melawan musuh, rakyat wajib memberikan hartanya, bahkan jiwanya.” Seketika mantaplah tekad para umara dan umara untuk memobilisasi kekuatan, baik harta dan pasukan. ‎

Imam Al-Izzu turut serta menghadang tentara Tartar bersama kaum Muslimin. Bahkan, beliaulah tokoh intlektual di balik aksi jihad itu. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 5 Ramadhan 658 H (1260 M) kaum Muslimin berhasil mematahkan serangan tentara Tartar di Ain Jaluth. Padahal pada masa itu, bangsa Tartar terkenal sebagai imperium yang begitu mendominasi. Namun, berkat persatuan dan semangat jihad yang digalang oleh Imam Al-Izzu, kaum Muslimin berjaya, bahkan berhasil merebut Irak, Uzbekistan, dan lain-lain.

Karya-karyanya
                ‎
Izzuddin Al-Husaini menilai Imam Al-Izzu sebagai tokoh sentral ilmu pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Adapun menurut ulama lainnya, Imam Al-Izzu adalah Sultanul Ulama dan Syaikhul Ulama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan. Ia termasuk orang yang disebut “ilmunya lebih banyak daripada karyanya”. Di antara karya-karya beliau adalah:

Al-Qawaid Al-Kubro
Al-Qawaid As-Shughra
Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
Al-Fatawa Al-Misriyah
Al-Fatawa Al-Maushuliyah
Majaz Al-Qur’an
Syajarah Al-Ma’arif
At-Tafsir
Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
Mukhtasar Shahih Muslim dan lain-lain
Semoga Allah mensucikan ruhnya dan memberikan pahala yang sempurna kepada beliau atas amal dan jihadnya. Semoga kaum Muslimin memperoleh keberkahan ilmunya demi kejayaan Islam dan Muslimin.
 
Akhir Hayat Syekh Izzuddin

Ketika beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai Qadli, sang raja mengharapkan agar beliau berkenan menduduki jabatan itu lagi. Lalu beliau menerimanya dan meminta dengan sangat untuk dibebaskan dari jabatan sebagai qadli, lalu beliau diangkat sebagai guru di madrasah yang terkenal dengan nama Madrasah Shalihiyyah. Imam Suyuthi mengatakan bahwa karomah Imam Ibnu Abdissalam sangat banyak. Beliau memakai pakaian tasawuf dari al-Syihab al-Sahrawarai sebagaimana beliau menghadiri majlis Syaikh Abu al-Hasan al -Syadili. Syaikh Abu Hasan mengatakan tidak ada di muka bumi ini suatu majlis fikih yang lebih utama dibandingkan majlisnya Syaikh Izzuddin bin Abdissalam. 
Imam Sya’roni memberikan penjelasan yang beliau nuqil dari Syaikh Izzuddin Ibn Abdis ‎Salam “Karomah (khowariqul Adah) merupakan salah satu bukti kongkrit bahwasannya ‎para sufi menjalani prinsip dasar agama secara optimal yang mana hal ini tidak terjadi pada ‎fuqoha’ (ahli fiqih) kecuali jika mau menempuh jalan yang telah dilalui oleh para sufi”. ‎Statement ini beliau (Syaikh Izzuddin Ibn Abdis Salam) nyatakan setelah beliau berguru ‎pada Syaikh Abu Hasan As Syadzily.‎

Sebelum menjadi murid Syaikh Abu Hasan As Syadzily, beliau mengingkari jalan yang ‎ditempuh oleh para sufi sembari berkomentar “Apakah wusul (sampai) kepada Allah SWT ‎bisa ditempuh dengan selain Al Qur’an dan As Sunnah”. Namun setelah beliau ‎merasakan apa yang telah di alami oleh para sufi dan beliau mampu mematahkan rantai ‎yang terbuat dari besi dengan hanya menggunakan secarik kertas dimana ini merupakan ‎salah satu karamah yang di anugerahkan oleh Allah SWT kepadanya, maka barulah beliau ‎membenarkan dan memuji para sufi setinggi langit.‎
Walaupun beliau sangat keras, beliau menghadiri majlis dzikir ahli tasawwuf dan berjoget bersama mereka. Muridnya al-Qadli Ibnu Daqiq al-Id mengatakan: “Syaikh Izzuddin bin Abdissalam adalah salah satu raja para ulama. Beliau wafat di Mesir pada tahun 660 dan dimakamkan di pekuburan al-Qarrafah al-Kubra.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...