Senin, 25 Oktober 2021

Imam Abu Ja'far At-Thohawi Dan Penjelasan Kitab Akidah-nya


Imam Ath-Thahawi (239-321 H) adalah Imam, pakar penghafal hadits dari Mazhab Hanafi. Penulis kitab akidah "Al-Aqidah Ath-Thahawiyah" yang diakui dan digunakan seluruh mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.‎

Nama dan Nasabnya

Dia adalah Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Abdil Malik al-Azdy al-Mishri ath-Thahawi Al-Hanafi. Al-Azdy adalah qabilah terbesar Arab, Dia adalah Al-Qahthani dari sisi bapaknya dan Al-Adnani dari sisi ibunya karena ibunya seorang Muzainah, yakni saudara al-Imam Al-Muzanni sahabat Imam Syafi’i. Dan Ath-Thahawi dinasabkan pada Thaha sebuat desa di Sha’id, Al-Mishr.

Lahir Dan Zamannya

Imam Thahawi lahir tahun 239 H. Imam ath-Thahawi adalah sezaman dengan para imam ahli Huffazh para pengarang/penyusun enam buku induk hadits (Kutubus Sittah), dan bersama-sama dengan mereka dalam riwayat hadits. Umur dia ketika imam Bukhari wafat adalah 17 tahun, ketika imam Muslim wafat ia berumur 22 tahun, ketika imam Abu Dawud wafat ia berumur 36 tahun, ketika imam Tirmidzi wafat berumur 40 tahun dan ketika Nasa’i wafat ia berumur 64 tahun, dan ketika imam Ibnu Majah wafat ia berumur 34 tahun. Imam Ath-Thahawi wafat pada bulan Dzul-Qa'idah tahun 321 H, dalam usia delapan puluh tahun lebih.

Bapaknya, Muhammad bin Salaamah adalah seorang cendekiawan ilmu dan bashar dalam syi’ir dan periwayatannya. Sedangkan ibunya termasuk dalam Ash-haab asy-Syafi’i yang aktif dalam majlisnya. Kemudian pamannya adalah Imam Al-Muzanni, salah seorang yang paling faqih dari Ash-haab asy-Syafi’i yang banyak menyebarkan ilmunya.

Sebagian besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-‘Ash. Menghafal al-Qur’an dari Syeikhnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad bin ‘Amrus, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya –al-Muzanni, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar pada ilmu Syafi’i dan makna-makna perkataannya. Dan dia adalah orang pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits, dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syafi’i tahun 252 H. Dia juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzanni. Pernah bertamu dengan Yunas bin Abdul A’la (264 H), Bahra bin Nashrin (267 H), Isa bin Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn Uyainah dari kalangan ahlu Thabaqat.

Pindah mazhab dari Syafi’i ke Hanafi

Al-Imam ath-Thahawi belajar pada pamannya sendiri Al-Muzanni dan mendengar periwayatan pamannya dari Al-Imam Asy-Syafi'i. Tatkala dia menginjak usia 20 tahun, dia meninggalkan madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i, dan beralih ke Imam Abu Hanifah, disebabkan beberapa faktor:

Karena dia menyaksikan bahwa pamannya banyak menelaah kitab-kitab Abi Hanifah.

Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang banyak disimak para tokoh madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi.

Tashnifat (karangan-karangan) yang banyak dikarang oleh kedua madzhab itu yang berisi perdebatan antara kedua madzhab itu dalam beberapa masalah. Seperti karangan al-Muzanni dengan kitabnya al-Mukhtashar yang berisi bantahan-bantahan terhadap Abi Hanifah dalam beberapa masalah.

Banyaknya halaqah ilmu yang ada di masjid Amr bin al-‘Ash tetangganya mengkondisikan dia untuk memanfaatkannya dimana di sana banyak munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para pesertanya.

Banyak syeikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abi Hanifah, baik dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadli, seperti al-Qadli Bakar bin Qutaibah dan Ibnu Abi Imran serta Abi Khazim.

Akan tetapi perlu diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah bertujuan untuk mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan, karena hal ini banyak terjadi di kalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya tanpa meningkari madzhab sebelumnya. Bahkan pengikut Syafi’i yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang yang bermadzhab Maliki, dan di antara mereka ada yang menjadi syeikhnya (gurunya) ath-Thahawi. Tidak ada tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme) atau taklid, tetapi yang dicari adalah dalil, kemantapan, dan hujjah yang lebih mendekati kebenaran.

Di antaraguru-guru dia selain pamannya, Al-Muzanni, juga Al-Qadhi Abu Ja'far Ahmad bin Imran Al-Baghdadi, Al-Qadhi Abu Khazim Abdul Hamid bin Abdul 'Aziz al-Baghdadi, Yunus bin Abdul 'Ala Al-Mishri dan lain-lain.

Di antaramurid-murid dia: Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Manshur, Ahmad bin Al-Qasim bin Abdillah Al-Baghdadi yang dikenal dengan Ibnul Khasysyab Al-Hafizh, Abul Hasan Ali bin Ahmad Ath-Thahawi dan lain-lain.

Al-Imam Ath-Thahawi adalah orang berilmu yang memiliki keutamaan. Dia menguasai sekaligus Ilmu Fikih dan Hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Baliau menjadi wakil dari Al-Qadhi Abu Abdillah Muhammad bin 'Abdah, seorang qadhi di Mesir.

Ibnu Yunus memberi pernyataan tentang dia: Dia orang yang bagus hafalannya dan terpercaya, alim, jenius dan tak ada yang menggantikan dia. Ibnul Jauzi dalam Al-Muntazham menyatakan: seorang penghafal yang terpercaya, bagus pemahamannya, alim dan jenius. Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Al-Bidayah wa Nihayah: Dia adalah seorang penghafal yang terpercaya sekaligus pakar penghafal hadits.

Kitab-Kitab Karyanya

Ath-Thahawi telah menyusun berbagai macam dan jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir, hadits, fiqih, dan tarikh. Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih dari tiga puluh kitab. Diantaranya sebagai berikut: 1. Syarh Ma’ani al-Atsar 2. Ikhtilaaf al-Fiqhiyah. 3. Mukhatashar ath-Thahawi. 4. Sunan asy-Syafi’i. 5. Al-Aqidah ath-Thahawiyah, kitabnya yang terbaik.. 6. Naqdlu kitab al-Mudallisin li Faqih Baghdad al-Husain bin Ali bin Yazid al-Karabisi. 7. Taswiyatu baina Hadtsana wa Akhabarana. 8. Asy-Syurut ash-Shaqhir. 9. Asy-Syurut al-Ausath. 10. Asy-Syurut al-Kabir. 11. At-Tarikh al-Kabir. 12. Ahkamul Qur’an 13. Nawadirul Fiqhiyah. 14. An-Nawadir Wal Hikayaat. 15. Juz-un fi hukmi ardli Makkah. 16. Juz-un fi qismi al-fay`i wal Ghanaa-`im 17. Ar-Raddu ‘ala Isa bin Abbaan fi Kitaabihi alladzi sammaahu Khatha’u al-Kutub. 18. Al-Raddu ‘ala Abi Ubaid fiima Akhtha a fiihi fi Kitaabi an-Nasab. 19. Ikhtilaaf ar-Riwayaat ‘ala Madzhab al-Kuufiyiin. 20. Syarh al-Jami’ al-Kabir lil imam Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani. 21. Kitab al-Mahadlir wa as-Sijillaat. 22. Akhbar Abi Hanifah wa ash-haabuhu. 23. Kitab Aal-Washaya wal Faraidl. 24. Dan lain-lain.

Penjelasan Kitab Aqidah Thohawiyah

Salah satu kitab Imam ath-Tahawi yang terkenal sampai sekarang adalah Aqidah Thahawiyah, sebuah kitab yang berisi aqidah berdasarkan pemahaman Ahlus sunnah wal Jamaah. Kitab aqidah Thahawi ini berisi beberapa poin aqidah. Isi kitab Aqidah Thahawiyah sebenarnya sejalan dengan Aqidah Imam Abu Hanifah bahkan beliau sendiri membangsakan dirinya kepada aqidah Abu Hanifah, sama dengan Aqidah Maturidiyah yang juga merupakan pengembangan dari Aqidah Abu Hanifah.

Di antara yang mensyarah kitab Aqidah Thahawiyah ini adalah :

Akmaluddin al-Babari (w. 786 H)
Muhammad Ali Syaukani (1250 H)
Hibatullah bin Ahmad at-Turkistani (w. 733 H)
Ali bin Muhammad al-‘Izz al-Hanafi (w. 746 H)
Muhammad bin Ahmad alQanuni (w. 771 H)
Umar bin Ishaq al-Marginani al-Hanafi (w. 773 H)
Muhammad bn Abi Bakar al-Ghazi al-Hanafi (w.881 H)
Abi Hafash Umar bin Ishaq al-Ghaznawi
Mahmud bin Muhammad al-Qasthanthini al-Hanafi (w. 916 H)
Syeikh Zadah ar-Rumi (w.944 H)
Abdul Ghani al-Ganimi al-Hanafi (w. 1298 H)
Imam Sayuthi
Dll

‘AQIDAH ATH-THAHAWIYAH: MATAN DAN TERJEMAH

قَالَ الْعَلاَّمَةُ حُجَّةُ الْإِسْلَامِ أَبُو جَعْفَرٍ الْوَرَّاقِ الْطَّحَاوِيّ بِمِصْرَ رَحِمَهُ اللَّهُ:
هَذا ذِكْرُ بَيَانِ عَقِيْدَةِ أَهْلِ الْسُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ عَلَى مَذْهَبِ فُقَهَاءِ المَّلَّةِ: أَبِي حَنِيفَةَ الْنُّعْمَانِ بْنِ ثَابِتٍ الْكُوفِي، وَأَبِي يُوسُفَ يَعْقُوبَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ الأنَّصَارِيّ، وَأَبِي عَبْدِ اللّهِ مُحْمَّدٍ بْنِ الْحَسَنِ الْشَّيبَانِي رِضْوَانُ اللّهِ عَلْيهِمْ أَجْمَعِينَ، وَمَا يَعْتَقِدُونَ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَيَدِينُونَ بِهِ رَبَّ الْعَالَمِينَ 

Al-‘Allamah Hujjatul Islam Abu Ja’far al-Warraq ath-Thahawi rahimahullah di Mesir berkata:
Inilah penjelasan tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah menurut madzhab ahli fiqih agama ini, yaitu Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al-Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari, dan Abu‘Abdillah Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani—semoga Allah meridhai mereka semuanya—dan apa yang mereka yakini tentang dasar-dasar agama yang dengannya mereka beragama kepada Rabb Semesta Alam.

نَقُولُ في تَوحِيدِ اللّهِ مُعْتَقِدِينَ بِتَوفِيقِ اللّهِ: إنَّ اللّهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ

[1] Kami berkata tentang Tauhidullah dengan taufik dari Allah meyakini bahwa: Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya.

وَلَا شَيءَ مِثْلُهُ

[2] Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.

وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ

[3] Tidak ada sesuatu pun yang bisa melemahkan-Nya.

وَلَا إِلَهَ غَيْرُهُ

[4] Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain-Nya.

قَدِيمٌ بِلاَ اِبتِدَاءٍ، دَائٍمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ

[5] Maha Terdahulu tanpa permulan, Maha Abadi tanpa akhir.


لا يَفنَى وَلَا يَبِيْدُ

[6] Dia tidak akan fana dan tidak akan binasa.

وَلاَ يَكُونُ إِلَّا مَا يُرِيدُ

[7] Tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia kehendaki.

لَا تَبلُغُهُ الْأَوْهَامُ، وَلَا تُدْرِكُهُ الْأَفْهَامُ

[8] Allah tidak bisa dijangkau oleh angan-angan dan tidak bisa dijangkau nalar pikiran.

وَلَا يُشْبِهُ الأنَامُ

[9] Tidak ada makhluk yang serupa dengan-Nya.

حَيٌّ لَا يَمُوتُ، قَيُّومٌ لَا يَنَامُ

[10] Dia Maha Hidup tidak akan mati, Maha Berdiri (mengurus makhluk-Nya terus menerus) tidak pernah tidur.

خَاِلقٌ بِلاَ حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلاَ مُؤْنَةٍ

[11] Dia Maha Pencipta tanpa membutuhkan (ciptaan-Nya), Maha Pemberi rezeki tanpa berkurang (kerajaan-Nya).

مُمِيتٌ بِلَا مَخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلاَ مَشَقَّةٍ

[12] Dia Maha Mematikan tanpa takut, Maha Membangkitkan tanpa rasa berat.

مَا زَالَ بِصِفَاتِهِ قَدِيماً قَبْلَ خَلْقِهِ، لَمْ يَزْدَدْ بِكَوْنِهِم شَيْئاً لَمْ يَكُنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ، وَكَمَا كاَنَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِيًّا، كَذَلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّا

[13] Dia telah memiliki sifat-sifat itu semenjak dahulu, sebelum makhluk-Nya. Dengan terciptanya para makhluk, tak bertambah sedikitpun sifat-sifat-Nya. Sebagaimana sifat-sifat-Nya azali (ada sebelum selainnya ada), begitu pula Dia abadi selama-lamanya.

ليسَ مُنْذُ خَلَقَ الخَلْقَ اسْتَفَادَ اسْمَ ”الخَالِقٍ“، وَلاَ بِإِحْدَاثِ البَرِيَّةِ اسْتَفَادَ اسْمَ ”البَارِي“

[14] Bukan semenjak Dia menciptkan para makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Khaliq (Pencipta) dan bukan karena baru menciptakan makhluk disandangkan pada-Nya nama al-Bari (Pencipta).

لَهُ مَعْنَى الرُّبُوبِيَّةِ وَلَا مَرْبُوبٍ، وَمَعْنَى الخَالِقٍ وَلَا مَخْلُوقٍ

[15] Dia memiliki sifat Rububiyah (Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemberi rezeki) bukan marbub (Yang dikenai rububiyah), dan juga memiliki sifat al-Khaliq bukan makhluk.

وَكَمَا أَنَّهُ مُحْيِ المَوْتَى بَعْدَما أَحْيَا، اسْتَحَقَّ هَذَا الاسْمَ قَبْلَ إِحْيَائِهم، كَذلِكَ استَحَقَّ اسْمَ الخَالِق قبْلَ إنْشَائِهِمْ

[16] Sebagaimana Dia yang menghidupkan segala yang mati (Al-Muhyi) setelah menghidupkannya, Dia-pun berhak atas sebutan itu sebelum menghidupkan mereka, demikian juga Dia berhak menyandang sebutan Al-Khaliq sebelum menciptakan mereka.

ذَلِكَ بِأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَيهِ فَقِيرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِيرٌ  لاَ يَحْتَاجُ إِلَى شَيْءٍ، ﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ﴾

[17] Hal itu karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu itu sangat butuh kepada-Nya. Segala urusan bagi-Nya mudah dan Dia tidak membutuhkan sesuatu.“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS. Asy-Syura [42]: 11)

خَلَقَ الخَلْقَ بعِلْمِهِ

[18] Dia menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya.

وَقَدَّرَ لَهُمْ أَقْدَارًا

[19] Dan menentukan takdir-takdir mereka.

وَضَرَبَ لَهُمْ آجَالاً

[20] Dan menentukan ajal-ajal mereka.

وَلَمْ يَخْفَ عَلَيهِ شَيْءٌ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَهُم، وَعَلِمَ مَا هُمْ عَامِلُونَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَهُم

[21] Tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Bahkan Dia mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, sebelum menciptakan mereka.

وَأَمَرَهُم بِطَاعَتِهِ، ونَهَاهُمْ عَنْ مَعْصِيَتِهِ

[22] Dia memerintahkan mereka melaksanakan ketaatan dan melarang mereka melaksanakan maksiat.

وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بِتقْديرِهِ ومَشيئتِهِ، وَمَشِيئَتُهُ تَنْفُذُ، لاَ مَشِيئَةَ لِلْعِبَادِ إِلَّا مَا شَاءَ لَهُمْ، فَمَا شَاءَ لَهُمْ كَانَ، وَمَا لَمْ يَشَأْ لَمْ يَكُنْ

[23] Dan segala sesuatu berjalan dengan takdir dan kehendak-Nya. Kehendaknya pasti terjadi. Tidak ada kehendak bagi para hamba kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Maka, apa yang Dia kehendaki bagi mereka akan terjadi dan apa yang tidak Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.

يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ، وَيَعْصِمُ ويُعَافِي فَضْلاً، ويُضِلُّ مَنْ يَشاءُ ويَخْذَلُ وَيَبْتَلِي عَدْلاً

[24] Dia memberi petunjuk siapa saja yang Dia kehendaki, juga melindungi dan menjaganya dengan keutamaan-Nya. Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, menghinakan, dan mengujinya berdasarkan keadilan-Nya.

وَكُلُّهُم يَتَقَلَّبُونَ فِي مَشِيئَتِهِ بَيْنَ فَضْلِهِ وَعَدْلِهِ

[25] Seluruh makhluk berada di bawah kendali kehendak-Nya di antara karunia dan keadilan-Nya.

وَهُوَ مُتَعَالٍ عَنِ الْأَضْدَادِ وَالْأَنْدَادِ

[26] Dia mengungguli musuh-musuh-Nya dantandingan-tandingan-Nya.

لَا رَادَّ لِقَضَائِهِ، وَلَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلاَ غَالِبَ لِأَمْرِهِ

[27] Tak seorang pun mampu menolak takdir-Nya, menolak ketetapan hukum-Nya, ataumengungguli urusan-Nya.

آمَنَّا بِذَلِكَ كُلِّهِ، وأَيْقَنَّا أنَّ كُلاًّ مِنْ عِنْدِهِ

[28] Kita mengimani semua itu, dan kita pun meyakini bahwa segalanya datang dari-Nya.

وأنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ الْمُصْطَفَى، وَنَبِيُّهُ الْمُجْتَبَى، وَرَسُولُهُ المُرْتَضَى

[29] Sesungguhnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba-Nya yang terpilih, Nabi-Nya yang terpandang, dan Rasul-Nya yang diridhai.

وَأَنَّهُ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ، وَإِمَامُ الأَتْقِيَاءِ، وَسَيِّدُ الْمُرْسَلِينَ، وَحَبِيبُ رَبِّ الْعَالَمِينَ

[30] Sesungguhnya beliau adalah penutup para Nabi ‘alaihimus sallam, imam orang-orang bertakwa, penghulu para rasul, dan kekasih Rabb semesta alam.

وَكُلُّ دَعْوَى النُّبُوَّةِ بَعْدَهُ فَغَيٌّ وَهَوًى

[31] Segala pengakuan sebagai Nabi sesudah beliau adalah kesesatan dan hawa nafsu.

وَهُوَ الْمَبْعُوثُ إِلَى عَامَّةِ الجِنِّ وَكَافَّةِ الْوَرَى بِالْحَقِّ وَالْهُدَى، وَبِالنُّورِ وَالضِّيَاءِ

[32] Beliau diutus kepada seluruh jin dan seluruh manusia dengan membawa kebenaran petunjuk,cahaya dan kemilau.

وَأَنَّ الْقُرآنَ كَلاَمُ اللّهِ، منْهُ بَدَأَ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ قَوْلاً، وَأَنْزَلَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَحْياً، وَصَدَّقَهُ الْمُؤمِنُونَ عَلَى ذَلِكَ حَقًّا، وأَيْقَنُوا أَنَّهُ كَلاَمُ اللَّهِ تَعَالَى بِالحَقِيقَةِ، لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ كَكَلاَمِ الْبَرِيَّةِ، فَمَنْ سَمِعَهُ فَزَعَمَ أَنَّهُ كَلاَمُ الْبَشَرِ، فَقَدْ كَفَرَ، وَقَدْ ذَمَّهُ اللّهُ وَعَابَهُ وَأَوْعَدَهُ بِسَقَرٍ، حَيْثُ قَالَ تَعَالَى: ﴿ سَأُصْلِيهِ سَقَرَ﴾، فَلَمَّا أَوْعَدَ اللّهُ بِسَقَرٍ لِمَنْ قَالَ: ﴿إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ﴾، عَلِمْنَا وأَيْقَنَّا أَنَّهُ قَوْلُ خَالِقِ الْبَشرِ، وَلَا يُشْبِهُ قَوْلُ الْبَشَرِ

[33] Dan sesungguhnya al-Qur’an adalah Kalamullah. Dari-Nya ia bermula tanpa mepertanyakan bagaimana hakikatnya. Dan Dia menurunkannya kepada Rasul-Nya sebagai wahyu, dan orang-orang Mukmin membenarkannya dengan sebenarnya dan mereka menyakini bahwa itu adalah Kalamullahsecara hakikat, bukan makhluk seperti ucapan makhluk. Barangsiapa yang mendengarnya lalu menyangka bahwa itu adalah ucapan makhluk, maka sungguh dia telah kafir. Sungguh, Allah telah mencela, mengecam, dan mengancam orang tersebut dengan Neraka Saqar, yaitu firman-Nya, “Kelak Aku akan memasukkannya ke Neraka Saqar.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 26)
Ketika Allah  mengancam dengan Neraka Saqar seseorang yang mengatakan, “Al-Qur`an ini tidak lain adalah ucapan manusia.” (QS. Al-Muddatstsir [74]: 25) Maka kami mengetahui dan meyakini bahwa al-Qur`an adalah ucapan Pencipta makhluk dan tidak ada ucapan makhluk yang serupa dengannya.

وَمَنْ وَصَفَ اللّهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي الْبَشَرِ، فَقَدْ كَفَرَ، فَمَنْ أَبْصَرَ هَذَا اعْتَبَرَ، وَعَنْ مِثْلِ قَوْلِ الْكُفَّارِ انْزَجَرَ، وَعَلِمَ أَنَّهُ بِصِفَاتِهِ لَيسَ كَالْبَشَرِ

[34] Dan barangsiapa yang mensifati Allah dengan salah satu dari sifat-sifat makhluk, maka dia telah kafir. Maka, siapa yang memperhatikan ini akan mengerti, dan ia akan menahan diri darimenyerupai ucapan orang kafir. Dan dia mengetahui bahwa Allah dengan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan makhluk.

والرؤْيةُ حقٌّ لِأَهْلِ الْجَنَّةِ، بِغَيْرِ إحَاطَةٍ ولَا كَيْفِيَّةٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُ رَبِّنَا: ﴿وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ * إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ﴾، وتَفْسِيرُهُ عَلَى مَا أَرَادَهُ اللّهُ تَعَالَى وَعَلِمَهُ، وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ كَمَا قَالَ، وَمَعْنَاهُ عَلَى مَا أَرَادَ، لَا نَدْخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا، وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهْوَائِنَا، فَإِنَّهُ مَا سَلِمَ فِي دِيْنِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وردَّ علْمَ ما اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إلى عَالِمِهِ

[35] Ar-Ru`yah (melihat Allah di Akhirat) benar adanya bagi penduduk Surga, tanpa meliputi dan membagaimanakan (difahami apa adanya), sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Kitab Rabb kita, “Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabblah mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23) Tafsirnya adalah sebagaimana yang Allah kehendaki dan ketahui. Setiap hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtentang hal itu adalah sebagaimana yang beliau sabdakan dan maknanya sebagaimana yang beliau kehendaki. Kita tidak boleh masuk ke dalam permasalahan itu dengan mentakwilnya menggunakan akal-akal kita dan tidak pula mereka-reka menggunakan hawa nafsu kita. Sebab, sesungguhnya tidak ada yang selamat dalam agamanya kecuali orang yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengembalikan ilmu yang belum jelas baginya kepada yang mengetahuinya.

وَلَا تَثْبُتُ قَدَمُ الْإِسْلَامِ إِلَّا عَلَى ظَهْرِ التَّسْلِيمِ وَالِاسْتِسْلَامِ،  فَمَنْ رَامَ عِلْمَ مَا حُظِرَ عَنْهُ عِلْمُهُ، وَلَمْ يَقْنَعْ بِالتَّسْلِيمِ فَهْمُهُ، حَجَبَهُ مَرَامُهُ عَنْ خَالِصِ التَّوْحِيدِ، وَصَافِي الْمَعْرِفَةِ، وَصَحِيحِ الْإِيمَانِ، فَيَتَذَبْذَبُ بَيْنَ الْكُفْرِ وَالْإِيمَانِ، وَالتَّصْدِيقِ وَالتَّكْذِيبِ، وَالْإِقْرَارِ وَالْإِنْكَارِ، مُوَسْوِسًا تَائِهًا، شَاكًّا، لَا مُؤْمِنًا مُصَدِّقًا، وَلَا جَاحِدًا مُكَذِّبًا

[36] Pijakan Islam seseorang tidak akan kokoh kecuali di atas taslim (pasrah) dan istislam (tunduk). Siapa yang menerka suatu ilmu yang ilmu tersebut tersembunyi baginya dan pemahamannya tidak merasa puas dengantaslim, maka terkaannya itu akan menghalanginya dari kemurnian Tauhid, kejernihan makrifat (mengenal Allah), dan kebenaran iman. Ia akan terkena keraguan antara kafir dan iman, membenarkan dan mendustakan, menetapkan dan mengingkari, selalu was-was, ragu, menyimpang, bukan mukmin yang membenarkan juga bukan penentang yang mendustakan.

وَلَا يَصِحُّ الْإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ لِأَهْلِ دَارِ السَّلَامِ لِمَنِ اعْتَبَرَهَا مِنْهُمْ بِوَهْمٍ، أَوْ تَأَوَّلَهَا بِفَهْمٍ، إِذْ كَانَ تَأْوِيلُ الرُّؤْيَةِ، وَتَأْوِيلُ كُلِّ مَعْنًى يُضَافُ إِلَى الرُّبُوبِيَّةِ بِتَرْكِ التَّأْوِيلِ، وَلُزُومَ التَّسْلِيمِ، وَعَلَيْهِ دِينُ الْمُسْلِمِينَ، وَمَنْ لَمْ يَتَوَقَّ النَّفْيَ وَالتَّشْبِيهَ، زَلَّ وَلَمْ يُصِبِ التَّنْزِيهَ، فَإِنَّ رَبَّنَا جَلَّ وَعَلَا مَوْصُوفٌ بِصِفَاتِ الْوَحْدَانِيَّةِ، مَنْعُوتٌ بِنُعُوتِ الْفَرْدَانِيَّةِ، لَيْسَ فِي مَعْنَاهُ أَحَدٌ مِنَ الْبَرِيَّةِ

[37] Tidak sah keimanan rukyah ‘melihat Allah’ bagi penghuni Darus Salam bagi yang suka membayangkannya dengan keraguan atau mentakwilnya dengan akal. Karena penafsiran ‎rukyah dan juga penafsiran segala pengertian yang disandarkan kepada Rabb adalah dengan tanpa mentakwilkannya dan dengan kepasrahan diri. Itulah agama kaum Muslimin. Barangsiapa yang tidak menghindari penafian dan tasybih (menyerupakan-Nya dengan makhluk), dia akan tergelincir dan tak akan dapat memelihara kesucian diri. Sebab, Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia, tersifati dengan sifat Wahdaniyah (Maha Tunggal), tersifati dengan sifat Fardaniyah (ke-Maha Esa-an). Tak seorangpun dari hamba-Nya yang menyamai sifat-sifat tersebut.

وَتَعَالَى عَنِ الْحُدُودِ وَالْغَايَاتِ، وَالْأَرْكَانِ وَالْأَعْضَاءِ وَالْأَدَوَاتِ، لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ

[38] Maha tinggi diri-Nya dari batas-batas, arah-arah, anggota tubuh, anggota badan, dan perangkat-perangkat. Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya.

[Ucapan “Dia tidak terkungkungi oleh enam penjuru arah sebagaimana semua makhluk-Nya” maksudnya adalah Allah tidak sebagaimana makhluk-Nya yang membutuhkan arah. Ini benar dan Imam ath-Thahawi beraqidah Ahlus Sunnah yang lurus dan berusaha dengan ungkapannya ini membantah kaum Musyabbihat (kaum yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk). Akan tetapi ungkapan ini tidak dikenal di kalangan Ahlus Sunnah dan ayat “Tidak ada yang serupa dengan-Nya” sudah mencukupi untuk membantah kaum Musyabbihat.]

وَالْمِعْرَاجُ حَقٌّ، وَقَدْ أُسْرِيَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُرِجَ بِشَخْصِهِ فِي الْيَقَظَةِ، إِلَى السَّمَاءِ. ثُمَّ إِلَى حَيْثُ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الْعُلَا وَأَكْرَمَهُ اللَّهُ بِمَا شَاءَ، وَأَوْحَى إِلَيْهِ مَا أَوْحَى، مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى. فَصَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ وَالْأُولَى

[39] Mi’raj (naiknya Nabi ke  Sidratul Muntaha—tempat tertinggi di langit, pent) adalah benar adanya. Beliau telah diperjalankan dan dinaikan (ke langit) dengan tubuh jasmani dalam keadaan sadar, dan juga ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah di atas ketinggian. Allah memuliakan beliau sesuai kehendak-Nya dan mewahyukan kepadanya apa yang hendak Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang dilihatnya. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam atas diri beliau di dunia dan di akhirat.

وَالْحَوْضُ الَّذِي أَكْرَمَهُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ غِيَاثًا لِأُمَّتِهِ حَقٌّ

[40] Haudh (telaga) yang dijadikan Allah kemuliaan baginya sebagai  pertolongan bagiumatnya benar adanya.

وَالشَّفَاعَةُ الَّتِي ادَّخَرَهَا لَهُمْ حَقٌّ، كَمَا رُوِيَ فِي الْأَخْبَارِ

[41] Syafa’at yang disimpan beliau untuk mereka adalah benar adanya sebagaimana diriwayatkan dalam banyak hadits.

وَالْمِيثَاقُ الَّذِي أَخَذَهُ اللَّهُ تَعَالَى مِنْ آدَمَ وَذُرِّيَّتِهِ حَقٌّ

[42] Perjanjian yang diambil Allah atas diri Adam dan anak cucunya (sebelum mereka dilahirkan)benar adanya.

وَقَدْ عَلِمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيمَا لَمْ يَزَلْ عَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، وَعَدَدَ مَنْ يَدْخُلُ النَّارَ، جُمْلَةً وَاحِدَةً، فَلَا يُزَادُ فِي ذَلِكَ الْعَدَدِ وَلَا يُنْقَصُ مِنْهُ.

[43] Semenjak zaman azali, Allah telah mengetahui jumlah hamba-Nya yang akan masuk Surga dan jumlah yang akan masuk Neraka secara keseluruhan. Jumlah itu tak akan ditambah dan dikurangi.

وَكَذَلِكَ أَفْعَالُهُمْ فِيمَا عَلِمَ مِنْهُمْ أَنْ يَفْعَلُوهُ، وَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ، وَالْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ، وَالسَّعِيدُ مَنْ سَعِدَ بِقَضَاءِ اللَّهِ، والشَّقِيُّ مَنْ شَقِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ

[44] Demikian juga halnya perbuatan-perbuatan mereka yang telah Allah ketahui apa yang akan mereka perbuat itu (juga tak akan berubah). Setiap pribadi akan dimudahkan menjalani apa yang sudah menjadi takdirnya, sedangkan amalan-amalan itu (dinilai) bagaimana akhirnya. Orang yang bahagia adalah orang yang bahagia karena ketetapan Allah dan orang yang sengsara adalah orang yang sengsara karena ketetapan Allah.

وَأَصْلُ الْقَدَرِ سِرُّ اللَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ، لَمْ يَطَّلِعْ عَلَى ذَلِكَ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ، وَلَا نَبِيٌّ مُرْسَلٌ، وَالتَّعَمُّقُ وَالنَّظَرُ فِي ذَلِكَ ذَرِيعَةُ الْخِذْلَانِ، وسُلم الْحِرْمَانِ، وَدَرَجَةُ الطُّغْيَانِ، فَالْحَذَرَ كُلَّ الْحَذَرِ مِنْ ذَلِكَ نَظَرًا وَفِكْرًا وَوَسْوَسَةً، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى طَوَى عِلْمَ الْقَدَرِ عَنْ أَنَامِهِ، وَنَهَاهُمْ عَنْ مَرَامِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ: ﴿لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ﴾ فَمَنْ سَأَلَ: لِمَ فَعَلَ؟ فَقَدْ رَدَّ حُكْمَ الْكِتَابِ، وَمَنْ رَدَّ حُكْمَ الْكِتَابِ، كَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

[45] Asal dari takdir adalah rahasia Allah bagi hamba-hamba-Nya. Tak dapat diselidiki baik oleh malaikat yang dekat  dengan-Nya, ataupun Nabi yang diutus-Nya. Memberat-beratkan diri menyelidiki hal itu adalah sarana menuju kehinaan, tangga keharaman, dan mempercepat penyelewengan. Waspadai dengan kesungguhan dari seluruh pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran, dan bisikan-bisikan tentang takdir tersebut karena Allah menutupi ilmu tentang takdir-Nya agar tidak diketahui makhluk-Nya dan melarang mereka untuk mencoba menggapainya. Sebagaimana yang difirmankan-Nya: “Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya tetapi manusialah yang akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya).” (QS. Al-Anbiya [21]: 23) Barangsiapa yang bertanya: “Kenapa Allah berbuat demikan?”, berarti ia menolak hukum al-Qur`an. Barangsiapa menolak hukum al-Qur`an, berarti ia termasuk orang-orang kafir.

فَهَذَا جُمْلَةُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ مَنْ هُوَ مُنَوَّرٌ قَلْبُهُ مِنْ أَوْلِيَاءِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهِيَ دَرَجَةُ الرَّاسِخِينَ فِي الْعِلْمِ؛ لِأَنَّ الْعِلْمَ عِلْمَانِ: عِلْمٌ فِي الْخَلْقِ مَوْجُودٌ، وَعِلْمٌ فِي الْخَلْقِ مَفْقُودٌ، فَإِنْكَارُ الْعِلْمِ الْمَوْجُودِ كُفْرٌ، وَادِّعَاءُ الْعِلْمِ الْمَفْقُودِ كُفْرٌ، وَلَا يَثْبُتُ الْإِيمَانُ إِلَّا بِقَبُولِ الْعِلْمِ الْمَوْجُودِ، وَتَرْكِ طَلَبِ الْعِلْمِ الْمَفْقُودِ

[46] Inilah sejumlah persoalan yang dibutuhkan oleh orang-orang yang terang hatinya dari kalangan para wali Allah. Itulah derajat orang-orang yang sudah mendalam ilmunya. Sebab, ilmu itu ada dua macam, yaitu: ilmu yang dapat digapai makhluk (ilmu maujud/agama) dan ilmu yang tersembunyi baginya (ilmu mafqud/ghaib). Mengingkari ilmu yang pertama adalah kekufuran. Dan mengaku-aku memiliki ilmu yang kedua juga kekufuran. Keimanan tidak akan sempurna kecuali dengan menerima ilmu yang harus digapai manusia, dan menghindarkan diri dari mencari ilmu yang tersembunyi.

وَنُؤْمِنُ بِاللَّوْحِ وَالْقَلَمِ، وَبِجَمِيعِ مَا فِيهِ قَدْ رُقِمَ،  فَلَوِ اجْتَمَعَ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ عَلَى شَيْءٍ كَتَبَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَّهُ كَائِنٌ، لِيَجْعَلُوهُ غَيْرَ كَائِنٍ - لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. وَلَوِ اجْتَمَعُوا كُلُّهُمْ عَلَى شَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ، لِيَجْعَلُوهُ كَائِنًا - لَمْ يَقْدِرُوا عَلَيْهِ. جَفَّ الْقَلَمُ بِمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَا أَخْطَأَ الْعَبْدَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ، وَمَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ

[47] Kita juga mengimani adanya  al-Lauh al-Mahfudz, al-Qalam (pena), dan segala yang tercatat di dalamnya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan akan terjadi untuk dibatalkannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Seandainya seluruh makhluk bersepakat terhadap suatu urusan yang telah Allah tetapkan tidak akan terjadi untuk direalisasikannya, maka mereka tak akan mampu melakukannya. Pena untuk mencatat apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat telah kering. Apa yang tidak menjadi takdir seorang hamba, tidak akan menimpanya dan apa yang menjadi takdirnya, tidak akan meleset.

وَعَلَى الْعَبْدِ أَنْ يَعْلَمَ أَنَّ اللَّهَ قَدْ سَبَقَ عِلْمُهُ فِي كُلِّ كَائِنٍ مِنْ خَلْقِهِ، فَقَدَّرَ ذَلِكَ تَقْدِيرًا مُحْكَمًا مُبْرَمًا، لَيْسَ فِيهِ نَاقِضٌ، وَلَا مُعَقِّبٌ وَلَا مُزِيلٌ وَلَا مُغَيِّرٌ، وَلَا نَاقِصٌ وَلَا زَائِدٌ مِنْ خَلْقِهِ فِي سَمَاوَاتِهِ وَأَرْضِهِ
وَذَلِكَ مِنْ عَقْدِ الْإِيمَانِ وَأُصُولِ الْمَعْرِفَةِ وَالِاعْتِرَافِ بِتَوْحِيدِ اللَّهِ تَعَالَى وَرُبُوبِيَّتِهِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ: ﴿وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا﴾ وَقَالَ تَعَالَى: ﴿وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا﴾، فَوَيْلٌ لِمَنْ صَارَ قَلْبُهُ فِي الْقَدَرِ قَلْبًا سَقِيمًا، لَقَدِ الْتَمَسَ بِوَهْمِهِ فِي فَحْصِ الْغَيْبِ سِرًّا كَتِيمًا، وَعَادَ بِمَا قَالَ فِيهِ أَفَّاكًا أَثِيْمًا

[48] Wajib bagi setiap hamba mengetahui bahwa ilmu Allah telah mendahului segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk-Nya. Dia telah menentukan takdir yang baku yang tak bisa berubah. Tak ada seorang makhluk pun baik di langit maupun di bumi yang dapat membatalkan, meralatnya, menghilangkannya, mengubahnya, mengurangi, ataupun menambahnya.
Itulah ikatan keimanan dan dasar-dasar ma’rifat dan pengakuan terhadap ke-Esa-an Allah dan rububiyyah-Nya, sebagaimana yang difirmankan dalam al-Qur`an:  “ Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2)Dan firman-Nya: “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab [33]: 38) Maka celakalah orang yang betul-betul menjadi musuh Allah dalam persoalan takdir-Nya. Dan mengikutsertakan hatinya yang sakit untuk membahasnya. Karena lewat praduganya ia telah mencari-cari dan menyelidiki ilmu ghaib yang merupakan rahasia tersembunyi. Akhirnya, karena perkataannya tentang takdir itu, ia kembali dengan membawa kedustaan dan dosa.

وَالْعَرْشُ وَالْكُرْسِيُّ حَقٌّ

[49] ‘Arsy dan Kursi-Nya adalah benar adanya.

وهُوَ مُسْتَغْنٍ عَنِ العَرْشِ وَمَا دُوْنَهُ

[50] Dia tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan apa yang ada di bawahnya.

مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وفَوْقَهُ، وقَدْ أعْجَزَ عَنِ الإحَاطَةِ خَلْقَهُ

[51] Dia menguasai segala sesuatu dan apa-apa yang ada di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk menguasai segala sesuatu.

وَنَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا، إِيمَانًا وَتَصْدِيقًا وَتَسْلِيمًا

[52] Kita juga menyatakan dengan sepenuh iman, membenarkan, dan pasrah bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam sebagai kekasih-Nya, dan mengajak Nabi Musa  ‘alaihis salam untuk berbicara dengan sebenar-benarnya.

وَنُؤْمِنُ بِالْمَلَائِكَةِ وَالنَّبِيِّينَ، وَالْكُتُبِ الْمُنَزَّلَةِ عَلَى الْمُرْسَلِينَ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُمْ كَانُوا عَلَى الْحَقِّ الْمُبِينِ

[53] Kita mengimani para Malaikat, para Nabi, dan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Rasul. Kita pun bersaksi, bahwa mereka berada di atas kebenaran yang nyata.

وَنُسَمِّي أَهْلَ قِبْلَتِنَا مُسْلِمِينَ مُؤْمِنِينَ، مَا دَامُوا بِمَا جَاءَ بِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَرِفِينَ، وَلَهُ بِكُلِّ مَا قَالَهُ وَأَخْبَرَ مُصَدِّقِينَ

[54] Kita menyebut mereka yang (shalat) menghadap kiblat kita dengan (sebutan) kaum Muslimin dan kaum Mukminin selama mereka mengakui apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenarkan segala apa yang beliau ucapkan dan beritakan.

وَلَا نَخُوضُ فِي اللَّهِ، وَلَا نُمَارِي فِي دِينِ اللَّهِ

[55] Kita tidak mengolok Allah dan tidak membantah (debat kusir) dalam masalah agama Allah.

وَلَا نُجَادِلُ فِي الْقُرْآنِ، وَنَشْهَدُ أَنَّهُ كَلَامُ رَبِّ الْعَالَمِينَ، نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ، فَعَلَّمَهُ سَيِّدَ الْمُرْسَلِينَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ تَعَالَى، لَا يُسَاوِيهِ شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ الْمَخْلُوقِينَ، وَلَا نَقُولُ بِخَلْقِهِ، وَلَا نُخَالِفُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ

[56] Kita tidak menyanggah Al-Qur’an, dan kitabersaksi bahwa ia adalah Kalam Rabbul ‘Alamin, diturunkan dengan perantaraan Ruhul Amin (Malaikat Jibril), lalu diajarkan kepada Penghulu para Nabi yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa ‘ala alaihi ajma’in. Ia adalah Kalamullah yang tak akan dapat disamakan dengan ucapan makhluk-makhluk-Nya. Kita pun tidak mengatakannya sebagai makhluk dan (dengan itu) kita tidak akan menyelisihi Jama’ah kaum Muslimin.

وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ، مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ

[57] Kita tidak mengafirkan Ahli Kiblat (kaum Muslimin) hanya karena suatu dosa, selama dia tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang dihalalkan.

وَلَا نَقُولُ لَا يَضُرُّ مَعَ الْإِيمَانِ ذَنْبٌ لِمَنْ عَمِلَهُ

[58] Namun kita juga tidak mengatakan bahwa dosa itu sama sekali tidak berbahaya bagi orang yang melakukannya selama ia masih beriman.

وَنَرْجُو لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، وَلَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لهم بالجنة، ونستغفر لمسيئهم، وَنَخَافُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ

[59] Kita berharap orang-orang baik dari kaum Mukminin diampuni dan dimasukkan Surga dengan rahmat-Nya, tidak menganggap mereka aman dan memvonis mereka dengan Surga. Kita juga berharap orang-orang yang berbuat fajir (kemaksiatan) dari kalangan Mukminin diampuni dosa-dosa mereka, mengkhawatirkan mereka dan tidak menjadikan mereka berputus asa (dari rahmat Allah).

وَالْأَمْنُ وَالْإِيَاسُ يَنْقُلَانِ عَنْ مِلَّةِ الْإِسْلَامِ، وَسَبِيلُ الْحَقِّ بَيْنَهُمَا لِأَهْلِ الْقِبْلَةِ

[60] Merasa aman (dari siksa) dan putus asa (dari ampunan Allah), keduanya dapat mengeluarkan dari Islam. Jalan yang benar bagi orang Islam adalah antara keduanya.

وَلَا يَخْرُجُ الْعَبْدُ مِنَ الْإِيمَانِ إِلَّا بِجُحُودِ مَا أَدْخَلَهُ فِيهِ

[61] Seorang hamba hanya akan keluar dari keimanannya kalau ia mengingkari apa yang telah ia imani.

وَالْإِيمَانُ: هُوَ الْإِقْرَارُ بِاللِّسَانِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالْجَنَانِ

[62] Iman adalah [pembenaran dalam hati], pengakuan dengan lidah, dan pembuktian dengan anggota badan.

وَجَمِيعُ مَا صَحَّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّرْعِ وَالْبَيَانِ كُلُّهُ حَقٌّ

[63] Seluruh yang diriwayatkan dengan shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa syari’at dan bayan (ilmu) adalah benar adanya.

وَالْإِيمَانُ وَاحِدٌ، وَأَهْلُهُ فِي أَصْلِهِ سَوَاءٌ، وَالتَّفَاضُلُ بَيْنَهُمْ بِالْخَشْيَةِ وَالتُّقَى، وَمُخَالِفَةِ الْهَوَى، وَمُلَازِمَةِ الْأَوْلَى

[64] Iman itu satu bentuk. Pemilik keimanan tersebut dilihat dari asal imannya adalah sama.Keutamaan di antara mereka diukur dengan ketakwaan, rasa takut kepada Allah, menghindari hawa nafsu, dan melakukan sesuatu yang lebih utama.

وَالْمُؤْمِنُونَ كُلُّهُمْ أَوْلِيَاءُ الرَّحْمَنِ، وَأَكْرَمُهُمْ عِنْدَ الله أَطْوَعُهُمْ وَأَتْبَعُهُمْ لِلْقُرْآنِ

[65] Kaum Mukminin seluruhnya adalah wali-wali Ar-Rahman. Yang paling mulia di antara mereka adalah yang paling taat dan paling ittiba’ dengan ajaran Al-Qur’an.

وَالْإِيمَانُ: هُوَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِه، وَكُتُبِه، وَرُسُلِه، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَالْقَدَرِ، خَيْرِه وَشَرِّه، وَحُلْوِه وَمُرِّه، مِنَ اللَّهِ تَعَالَى

[66] Pengertian Iman adalah beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Takdir: baik maupun buruk, manis maupun pahit, semuanya berasal dari Allah.

وَنَحْنُ مُؤْمِنُونَ بِذَلِكَ كُلِّهِ، لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِه، وَنُصَدِّقُهُمْ كُلَّهُمْ عَلَى مَا جَاءُوا بِهِ

[67] Kita mengimani semua itu. Kita tidak membeda-bedakan seorang pun di antara para Rasul. Kita membenarkan mereka semua beserta apa yang mereka bawa.

وَأَهْلُ الْكَبَائِرِ [مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] فِي النَّارِ لَا يُخَلَّدُونَ، إِذَا مَاتُوا وَهُمْ مُوَحِّدُونَ وَإِنْ لَمْ يَكُونُوا تَائِبِينَ بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللَّهَ عَارِفِينَ. وَهُمْ فِي مَشِيئَتِه وَحُكْمِه، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ وَعَفَا عَنْهُمْ بِفَضْلِه، كَمَا ذَكَرَ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِه: ﴿وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ﴾، وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ فِي النَّارِ بِعَدْلِه، ثُمَّ يُخْرِجُهُمْ مِنْهَا بِرَحْمَتِه وَشَفَاعَة الشَّافِعِينَ مِنْ أَهْلِ طَاعَتِه، ثُمَّ يَبْعَثُهُمْ إِلَى جَنَّتِه. وَذَلِكَ بِأَنَّ الله تعالى مَوَلَّى أَهْلَ مَعْرِفَتِه، وَلَمْ يَجْعَلْهُمْ فِي الدَّارَيْنِ كَأَهْلِ نَكَرَتِه، الَّذِينَ خَابُوا مِنْ هِدَايَتِه، وَلَمْ يَنَالُوا مِنْ وِلَايَتِه. اللَّهُمَّ يَا وَلِي الْإِسْلَامِ وَأَهْلِه، ثَبِّتْنَا عَلَى الْإِسْلَامِ حَتَّى نَلْقَاكَ بِهِ

[68] Para pelaku dosa besar [di kalangan umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam] (bisa) masuk Neraka, namun mereka tak akan kekal di dalamnya asal mereka mati dalam keadaan bertauhid. Meskipun mereka belum bertaubat namun mereka menemui Allah (mati) dengan menyadari dosa mereka. Mereka diserahkan kepada kehendak dan keputusan Allah. Kalau Dia menghendaki, maka mereka dapat diampuni dan dimaafkan dosa-dosa mereka dengan keutamaan-Nya, sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla: “Dan Dia mengampuni dosa(yang tingkatannya) di bawah (dosa) syirik bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nisa’ [4]: 48 &116). Dan jika Dia menghendaki, mereka diadzab-Nya di Neraka dengan keadilan-Nya, lalu Allah akan mengeluarkan mereka dari dalamnya dengan rahmat-Nya dan syafa’at orang yang berhak memberi syafa’at di kalangan hamba-Nya yang ta’at. Lalu mereka pun diangkat ke Surga-Nya. Hal itu karena Allah adalah Wali bagi siapa yang berma’rifah kepada-Nya, maka Dia pun tidak menjadikan keadaan mereka di dunia dan di akhirat sama seperti mereka yang tidak berma’rifah kepada-Nya. Yaitu mereka yang luput, tak mendapatkan petunjuk-Nya, dan tidak dapat memperoleh hak kewalian-Nya. Wahai Dzat yang menjadi Wali bagi Islam dan pemeluknya, teguhkanlah kami di atas Islam sampai bertemu dengan-Mu.

[Dalam tanda kurung-tutup tidak terdapat dalam sebagian cetakan lainnya dan ini yang benar karena dalil yang ada tidak mengkhususkan hanya umat Nabi Muhammad saja. Umat manapun yang bertauhid tidak akan kekal di Neraka.]

وَنَرَى الصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَة، وَعَلَى مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ

[69] Kami menganggap sah shalat (jama’ah) di belakang Imam, baik yang shalih maupun yang fasik dari kalangan Ahli Kiblat dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka.

وَلَا نُنْزِلُ أَحَدًا مِنْهُمْ جَنَّة وَلَا نَارًا، وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ، مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى

[70] Kita tak boleh memastikan mereka masuk Surga atau Neraka. Kita juga tidak boleh bersaksi bahwa mereka itu kafir, musyrik, atau munafik, selama semua itu tidak tampak nyata dari diri mereka. Kita menyerahkan rahasia hati mereka kepada Allah Ta’ala.

وَلَا نَرَى السَّيْفَ عَلَى أَحَدٍ مِنْ أُمَّة مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مَنْ وَجَبَ عَلَيْهِ السَّيْفُ

[71] Kita tidak boleh memerangi seorang pun dari ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali terhadap mereka yang wajib diperangi.

وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاة أُمُورِنَا، وَإِنْ جَارُوا، وَلَا نَدْعُو عَلَيْهِمْ، وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَة اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرِيضَة، مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَة، وَنَدْعُوا لَهُمْ بِالصَّلَاحِ وَالْمُعَافَاة

[72] Kita tidak boleh memberontak pemimpin-pemimpin kita dan Ulul ‘Amri kita, meskipun mereka berbuat zhalim. Kita tidak mendoakan keburukan bagi mereka dan tidak berlepas diridengan tidak taat kepada mereka. Kita berkeyakinan bahwa mentaati mereka sepanjang dalam ketaatan kepada Allah adalah wajib, selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kita tetap mendoakan kebaikan untuk merekaberupa kebaikan jiwa dan kesehatan.

وَنَتَّبِعُ السنة وَالْجَمَاعَة، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلَافَ وَالْفُرْقَة

[73] Kita tetap mengikuti As-Sunnah dan Al-Jama’ah, menghindari sesuatu yang aneh, perselisihan, dan perpecahan.

وَنُحِبُّ أَهْلَ العَدْلِ والأمَانَةِ، ونَبْغَضُ أَهْلَ الجَوْرِ والخِيَانَةِ

[74] Kita mencintai orang yang adil dan menjaga amanah serta membenci orang yang zhalim dan khianat.

وَنَقُولُ: اللَّهُ أَعْلَمُ، فِيمَا اشْتَبَه عَلَيْنَا عِلْمُه

[75] Kita mengucapkan Allahu A’lam terhadap sesuatu yang masih samar ilmunya bagi kita.

وَنَرَى المَسْحَ عَلى الخُفَّيْنِ، في السَّفَرِ والحَضَرِ، كَما جَاءَ في الأَثَرِ

[76] Kita berpendapat disyari’atkannya mengusap khuff (sepatu) baik di waktu mukim maupun safar (bepergian), sebagaimana dijelaskan dalam beberapa riwayat.

وَالْحَجُّ وَالْجِهَادُ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي الْأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ، إِلَى قِيَامِ السَّاعَة، لَا يُبْطِلُهُمَا شَيْءٌ وَلَا يَنْقُضُهُمَا

[77] Jihad dan ibadah haji dilakukan bersama Ulul ‘Amri dari kaum Muslimin, baik yang shalih maupun yang fasik, hingga hari kiamat. Keduanya tak dapat dibatalkan dan dirusak oleh segala sesuatu.

وَنُؤْمِنُ بِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ، فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ جَعَلَهُمْ عَلَيْنَا حَافِظِينَ

[78] Kita mengimani para Malaikat yang Mulia, pencatat amal manusia. Sesungguhnya Allah telah menjadikan mereka sebagai pengawas bagi kita.

وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ الْمَوْتِ، الْمُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ الْعَالَمِينَ

[79] Kita juga mengimani Malaikat Maut yang diberi tugas mencabut nyawa para makhluk hidup.

وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلًا، وَسُؤَالِ مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ فِي قَبْرِه عَنْ رَبِّه وَدِينِه وَنَبِيِّه، عَلَى مَا جَاءَتْ بِهِ الْأَخْبَارُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَعَنِ الصَّحَابَة رِضْوَانُ الله عَلَيْهِمْ

[80] Kita pun mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya dan juga pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di dalam kuburnya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Rasul-Nya berdasarkan riwayat-riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat  ridwanullahu ‘alaihim ajma’in.

وَالقَبْرُ رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجنَّةِ، أَوْ حُفْرَةٌ مِنْ حُفَرِ النِّيرَانِ

[81] Alam kubur adalah taman-taman Surga atau kubangan-kubangan Neraka.

وَنُؤْمِنُ بِالبَعْثِ وَجَزَاءِ الأعْمَالِ يَوْمَ القِيَامَةِ، والعَرْضِ والحِسَابِ، وقِرَاءَةِ الكِتَابِ، والثَّوابِ والعِقَابِ، والصِّرَاطِ والميزَانِ

[82] Kita juga mengimani Hari Ba’ats(kebangkitan) dan balasan amal perbuatan pada hari Kiamat, kita juga mengimani ‘ard (ditampakkannya amal perbuatan) dan hisab, pembacaan catatan amal, pahala dan siksa, shirat (jembatan yang membentang di punggung Neraka menuju Surga), dan al-mizan (timbangan).

وَالْجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ، لَا تَفْنَيَانِ أَبَدًا وَلَا تَبِيدَانِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ الْجَنَّةَ وَالنَّارَ قَبْلَ الْخَلْقِ، وَخَلَقَ لَهُمَا أَهْلًا، فَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ فَضْلًا مِنْهُ، وَمَنْ شَاءَ مِنْهُمْ إِلَى النَّارِ عَدْلًا مِنْهُ، وَكُلٌّ يَعْمَلُ لِمَا قَدْ فُرِغَ لَهُ، وَصَائِرٌ إِلَى مَا خُلِقَ لَهُ

[83] Surga dan Neraka adalah dua makhluk yangtidak akan lenyap selamanya dan tidak akanbinasa. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum penciptaan makhluk lain dan Allah-pun menciptakan penghuni bagi keduanya. Siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Surga maka itu karunia dari-Nya dan siapa dari mereka yang dikehendaki-Nya masuk Neraka maka itu keadilan dari-Nya. Masing-masing manusia beramal sesuai takdirnya dan menjadi sesuai untuk apa penciptaannya.

وَالْخَيْرُ وَالشَّرُّ مُقَدَّرَانِ عَلَى الْعِبَادِ

[84] Kebaikan dan keburukan seluruhnya telah ditakdirkan atas para hamba.

وَالِاسْتِطَاعَةُ الَّتِي يَجِبُ بِهَا الْفِعْلُ، مِنْ نَحْوِ التَّوْفِيقِ الَّذِي لا يجوز أن يُوصَفُ الْمَخْلُوقُ بِهِ - تَكُونُ مَعَ الْفِعْلِ. وَأَمَّا الِاسْتِطَاعَةُ مِنْ جِهَةِ الصِّحَّةِ وَالْوُسْعِ، وَالتَّمْكِينِ وَسَلَامَةِ الْآلَاتِ - فَهِيَ قَبْلَ الْفِعْلِ، وَبِهَا يَتَعَلَّقُ الْخِطَابُ، وَهُوَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: ﴿لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾

[85] Kemampuan, yang dengan wujudnya datang kewajiban amal adalah semacam taufik yang bukan merupakan kriteria mahkluk. Adapun kemampuan dalam arti kesehatan tubuh, potensi, kekuatan, dan selamatnya diri dari bermacam musibah, adalah persiapan sebelum melakukan amalan. Dengan itulah hukum tersebut digantungkan, sebagaimana yang difirmankan Allah: “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sebatas kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah: 286)

وَأَفْعَالُ الْعِبَادِ خَلْقُ اللَّهِ وَكَسْبٌ مِنَ الْعِبَادِ

[86] Perbuatan-perbuatan para hamba adalah makhluk Allah dan usaha dari para hamba.

وَلَمْ يُكَلِّفْهُمُ اللَّهُ تَعَالَى إِلَّا مَا يُطِيقُونَ، وَلَا يُطِيقُونَ إِلَّا مَا كَلَّفَهُمْ. وَهُوَ تَفْسِيرُ"لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ"، نَقُولُ: لَا حِيلَةَ لِأَحَدٍ، وَلَا تَحَوُّلَ لِأَحَدٍ، وَلَا حَرَكَةَ لِأَحَدٍ عَنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، إِلَّا بِمَعُونَةِ اللَّهِ، وَلَا قُوَّةَ لِأَحَدٍ عَلَى إِقَامَةِ طَاعَةِ اللَّهِ وَالثَّبَاتِ عَلَيْهَا إِلَّا بِتَوْفِيقِ اللَّهِ

[87] Allah hanya membebani mereka sebatas yang mereka mampu. Dan mereka pun memang tidak akan mampu melainkan sebatas apa yang dibebankan Allah atas mereka. Itulah pengertian kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kita mengatakan: tidak ada upaya bagi seorang pun,dan tidak ada gerakan bagi seorang pun, juga tidak ada daya bagi seorang pun dari (menjauhi) maksiat melainkan dengan pertolongan Allah. Dan tidak ada kekuatan bagi seorang pun untuk melaksanakan dan bertahan dalam ketaatan kepada Allah melainkan dengan taufik Allah.

وَكُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي بمَشِيئَةِ الله تعالَى وَعِلْمِهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ  غَلَبَتْ مَشيئتُهُ المَشِيئَاتِ كُلَّهَا، وَغَلَبَ قَضَاؤُهُ الْحِيَلَ كُلَّهَا. يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ، وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ أَبَدًا، تَقَدَّسَ عَنْ كُلِّ سُوْءٍ وَحِينٍ، وتَنَـزَّهَ عَن كلِّ عَيْبٍ وَشَيْنٍ: ﴿لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ﴾

[88] Segala sesuatu berlaku menurut kehendakAllah, ilmu-Nya, keputusan-Nya, dan takdir-Nya.Kehendak-Nya mengalahkan seluruh kehendak. Takdirnya mengalahkan seluruh upaya. Dia berbuat sekehendak-Nya tanpa zhalim selama-lamanya. Dia tersucikan dari semua keburukan dan kejatahan, dan tersucikan dari segala aib dan kekurangan. “Tidaklah Dia ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka perbuat).” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 23)

وفي دُعَاءِ الأَحْياءِ وَصَدَقَاتِهم مَنْفَعَةٌ لِلأَمْوَات

[89] Do’a dan sedekah orang yang hidup dapat bermanfaat bagi mereka yang sudah mati.

وَاللَّهُ تَعَالَى يَسْتَجِيبُ الدَّعَوَاتِ، وَيَقْضِي الْحَاجَاتِ

[90] Allah Ta’ala mengabulkan segala do’a dan memenuhi segala kebutuhan hamba-Nya.

وَيَمْلِكُ كُلَّ شَيْءٍ، وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ. وَلَا غِنَى عَنِ اللَّهِ تَعَالَى طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنِ اللَّهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ، فَقَدْ كَفَرَ وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الْحَيْنِ

‎[91] Dia memiliki segala sesuatu namun tidak dimiliki oleh sesuatu. Tidak sekejap pun (hamba-hamba-Nya) lepas dari rasa butuh kepada-nya. Barangsiapa yang merasa tak butuh kepada Allah sekejap pun, dia telah kafir dan termasuk orang yang binasa.

واللَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى، لاَ كَأَحَدٍ مِنَ الوَرَى

[92] Allah (bisa) benci dan ridha tetapi tidak seperti satu pun dari makhluk.

وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا نُفَرِّطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ، وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ. وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ، وَبِغَيْرِ الْخَيْرِ يَذْكُرُهُمْ. وَلَا نَذْكُرُهُمْ إِلَّا بِخَيْرٍ. وَحُبُّهُمْ دِينٌ وَإِيمَانٌ وَإِحْسَانٌ، وَبُغْضُهُمْ كُفْرٌ وَنِفَاقٌ وَطُغْيَانٌ

[93] Kita mencintai para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antaranya. Tidak juga kita bersikap meremehkan terhadap seorang pun dari mereka. Kita membenci siapa-siapa yang membenci mereka dan siapa-siapa yang menyebutkan mereka dengan kejelekan. Kita pun hanya menyebut mereka dalam kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, keimanan, dan ihsan, sementara membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan melampaui batas.

وَنُثْبِتُ الْخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، تَفْضِيلًا لَهُ وَتَقْدِيمًا عَلَى جَمِيعِ الْأُمَّةِ، ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، ثُم لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، ثُمَّ لِعَلِيٍّ بن أبي طَالبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُمُ الخُلَفَاءُ الرَّاشدُونَ والأئِمَّةُ المُهْتَدُون

[94] Kita mengakui kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang pertama adalah Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu karena keutamannya dan keterdahuluannya atas semua umat Islam. Kemudian ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Kemudian ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Merekalah yang disebut dengan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun dan para imam yang mendapat petunjuk.

وَأَنَّ الْعَشَرَةَ الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَشَّرَهُمْ بِالْجَنَّةِ، نَشْهَدُ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ، عَلَى مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَقَوْلُهُ الْحَقُّ، وَهُمْ. أَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَسَعْدٌ، وَسَعِيدٌ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ

[95] Sepuluh orang sahabat yang disebut-sebut Nabi dan diberi kabar gembira sebagai penghuni Surga, kita akui sebagai penghuni Surga berdasarkan persaksian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan beliau adalah benar. Mereka adalah: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah [bin ‘Ubaidillah], Az-Zubeir [bin Al-Awwam], Sa’ad [bin Abi Waqqas], Sa’id [bin Zaid], Abdurrahman bin ‘Auf, dan Abu ‘Ubaidah Al-Jarrah sebagai orang terpercaya umat ini radhiyallahu ‘anhum.

وَمَنْ أَحْسَنَ الْقَوْلَ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ، وَذُرِّيَّاتِهِ الْمُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ، فَقَدَ بَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ

[96] Barangsiapa yang membaguskan ucapannya terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau yang bersih dari segala noda serta anak cucu beliau yang suci dari segala najis, maka orang itu telah selamat dari kemunafikan.

وَعُلَمَاءُ السَّلَفِ مِنَ السَّابِقِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنَ التَّابِعِينَ - أَهْلِ الْخَيْرِ وَالْأَثَرِ، وَأَهْلِ الْفِقْهِ وَالنَّظَرِ - لَا يُذْكَرُونَ إِلَّا بِالْجَمِيلِ، وَمَنْ ذَكَرَهُمْ بِسُوءٍ فَهُوَ عَلَى غَيْرِ السَّبِيلِ

[97] Para ‘ulama As-Salaf terdahulu [para sahabat] dan yang sesudah mereka dari kalangan Tabi’in adalah pelaku kebaikan dan ahli hadits, ahli fiqih, dan ahli ushul. Mereka semuanya harus disebutkan kebaikannya. Barangsiapa yang menjelek-jelekkan mereka, maka dia tidak berada di atas jalan mereka (para sahabat).

وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الْأَوْلِيَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ، وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أَفْضَلُ مِنْ جَمِيعِ الْأَوْلِيَاءِ

[98] Kita tidak mengutamakan salah seorang pun di antara para wali Allah di atas seorang dari para Nabi ‘Alaihimus Sallam. Bahkan kita mengatakan bahwa seorang saja dari para Nabi itu lebih utama dibanding seluruh para wali.

وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِم، وَصَحَّ عَنِ الثِّقَاتِ مِنْ رِوَايَاتِهِم

[99] Kita mengimani adanya karomah-karomahmereka dan segala riwayat tentang mereka yang dinukil dari para perawi yang tepercaya.

 وَنُؤْمِنُ بِأَشْرَاطِ السَّاعَةِ: مِنْ خُرُوجِ الدَّجَّال، ونُزُولِ عِيسَى بنِ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلامُ مِنَ السَّماءِ، وَنُؤْمِنُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا، وَخُرُوجِ دَابَّةِ الأرْضِ مِنْ مَوْضِعِهَا

[100] Kita juga mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat berupa keluarnya Ad-Dajjal dan turunnya Nabi ‘Isa ‘Alaihis Sallam dari langit. Kita juga mengimani terbitnya matahari dari barat dan keluarnya Ad-Dabbah [binatang yang dapat berbicara seperti manusia] dari kediamannya.

 وَلاَ نُصَدِّقُ كَاهِناً وَلاَ عَرَّافاً، وَلاَ مَنْ يَدَّعِي شَيْئاً يُخَالِفُ الكِتَابَ والسُّنَّةَ وإجْمَاعَ الأُمَّةِ

[101] Kita tidak mempercayai (ucapan) dukun maupun peramal, demikian juga setiap orang yang mengakui sesuatu yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah serta Ijma’ kaum Muslimin.

 وَنَرَى الجَمَاعَةَ حَقًّا وَصَوَاباً، والفُرْقَةَ زَيْغاً وَعَذَاباً

[102] Kita meyakini bahwa Al-Jama’ah adalah haq dan kebenaran, sementara pepecahan adalah penyimpangan dan siksaan.

 وَدِينُ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ وَاحِدٌ، وَهُوَ دِينُ الْإِسْلَامِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ﴾، وقال تعالى ﴿وَرَضِيتُ لَكُمْ الْإِسْلَامَ دِينًا﴾

[103] Agama Allah di langit dan di bumi hanyalah satu, yaitu agama Islam, Allah berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 19) Dia juga berfirman: “Dan telah Aku ridlai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

 وَهُو بَيْنَ الغُلُوِّ والتَّقْصِيرِ، وَبَيْنَ التَّشْبِيهِ والتَّعْطِيلِ، وَبَيْنَ الجَبْرِ وَالقَدَرِ، وَبَيْنَ الأَمْنِ وَالإيَاسِ

[104] Dan Islam itu berada di antara sikap berlebih-lebihan (guluw) dan sikap meremehkan(taqshir), antara tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan ta’thil (menafikkan/meniadakan makna/lafazh sifat-sifat itu), antara Jabariyah (kaum yangberanggapan manusia dipaksa takdir) dan Al-Qadariyah (kaum yang beranggapan keburukan bukan takdir), dan antara yang merasa aman dari siksa Allah dan yang putus asa dari rahmat Allah.

فَهَذَا دِينُنَا وَاعْتِقَادُنَا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَنَحْنُ بُرَآءُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنْ كُلِّ مَنْ خَالَفَ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ وَبَيَّنَّاهُ، وَنَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى أَنْ يُثَبِّتَنَا عَلَى الْإِيمَانِ، وَيَخْتِمَ لَنَا بِهِ، وَيَعْصِمَنَا مِنَ الْأَهْوَاءِ الْمُخْتَلِفَةِ، وَالْآرَاءِ الْمُتَفَرِّقَةِ، وَالْمَذَاهِبِ الرَّدِيَّةِ، مِثْلِ الْمُشَبِّهَةِ، وَالْمُعْتَزِلَةِ، وَالْجَهْمِيَّةِ، وَالْجَبْرِيَّةِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَغَيْرِهِا، مِنَ الَّذِينَ خَالَفُوا السُّنَّةَ والْجَمَاعَةَ، وَحَالَفُوا الضَّلَالَةَ، وَنَحْنُ مِنْهُمْ بُرَآءُ، وَهُمْ عِنْدَنَا ضُلَّالٌ وَأَرْدِيَاءُ. وَبِاللَّهِ الْعِصْمَةُ وَالتَّوْفِيقُ

[105] Inilah agama dan keyakinan kami lahir maupun batin. Kami berlepas diri dengan kembali kepada Allah dari setiap yang menyelisihi apa yang kami sebutkan dan kami jelaskan. Kita memohon kepada Allah untuk menetapkan dirikita di atas keimanan, mematikan kita dengan keyakinan itu, memelihara kita dari pengaruh hawa nafsu yang bermacam-macam, dan dari pendapat-pendapat yang beraneka ragam, dan mahdzab-mahdzab yang jelek, seperti: Mu’tazilah, Al-Jahmiyyah, Al-Jabriyyah, Al-Qadariyyah,dan lain-lain, dari kalangan mereka yang menyelisihi Al-Jama’ah dan bersanding dengan kesesatan. Kita berlepas diri dari mereka. Dan mereka menurut kami adalah orang-orang sesat dan jahat. Hanya dengan Allah-lah penjangaan dan taufiq.

Imam Al-Muzani Sang Penolong Madzhab Syafi'i


Imam Abu Ibrahim, Ismail bin Yahya bin Isma’il al-Mishri al-Muzani (175-246H), yang terkenal dengan gelaran Imam al-Muzani. Beliau merupakan murid dan sahabat utama kepada Imam al-Syafi’i ketika di Mesir. Beliau terkenal sebagai seorang yang warak, zuhud, menjauhi keduniaan dan seorang yang mustajab doanya. Beliau hidup selama 89 tahun. Pada masa kehidupan beliau hiduplah 11 penguasa al-Abbasiyah. Di antaranya Harun ar-Rasyid (193 H), Muhammad al-Amin (198 H), al-Ma’mun (218 H)-awal pemerintah fitnahkhuluqul qur’an- bermula, al-Mu’tashim (227), al-Watsiq (232 H), al-Mutawakkil (247 H)-penguasa yang mulai menghidupkan Sunnah-.

Beliau diberi gelar “Nashir al-Mazhab”(Penolong Mazhab) dan “Badr al-Mazhab”(Bulan Purnama Mazhab). Gelaran beliau itu berdasarkan pengakuan Imam al-Syafi‘i yang berkata: “الْمُزَنِى نَاصِرُ مَذْهَبِى - al-Muzani adalah penolong mazhabku ”. Beliau salah seorang murid Imam al-Syafi‘i  yang disebut sebagai gunung ilmu, banyak menulis, menyebarkan ilmu di bumi Mesir dan tidak pernah pergi ke mana-mana tempat lain sehinggalah meninggal. Ini bertepatan dengan kata-kata Imam al-Syafi‘i kepada al-Muzani semasa hidupnya; “Adapun engkau wahai Muzani akan tetap tinggal di Mesir ini.” Sesuai dengan gelaran Penolong Mazhab Syafi‘i, al-Muzani mewariskan banyak kitab mazhab ini.  Antara lain al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Mukhtashar, al-Mantsur, al-Masa’il al-Mu‘tabarah, al-Targhib fi al-‘Ilm, Kitab al-Watsa’iq, Kitab al-‘Aqarib, dan Kitab Nihayah al-Ikhtishar.

Pujian Ulama terhadap Beliau

Al-Imam Ibnu Abdil Bar (salah seorang Ulama’ Malikiyyah) menyatakan: Beliau adalah Sahabat asy-Syafi’i yang paling berilmu, kecerdasan dan pemahamannya sangat detail, kitab-kitab dan ringkasan-ringkasan karyanya tersebar di seluruh penjuru bumi baik di timur maupun barat. Beliau adalah seorang yang bertaqwa, wara’, dan (menjaga) agama. Sangat penyabar dalam (menyikapi) keadaan yang sedikit dan kekurangan.

Al-Imam Ibnul Jauzi (salah seorang Ulama’ al-Hanabilah) menyatakan: Beliau adalah Sahabat asy-Syafi’i–semoga Allah merahmatinya-. Beliau adalah seorang yang faqih (paham permasalahan agama) lagi cerdas. Terpercaya dalam hadits. Beliau memiliki (semangat) beribadah dan keutamaan. Beliau termasuk makhluk Allah Azza Wa Jalla yang terbaik. Senantiasa melakukan ribath (berjaga di perbatasan kaum muslimin)

Al-Imam adz-Dzahaby (salah seorang Ulama’ Syafi’iyyah) menyatakan: Beliau adalah Imam yang sangat berilmu. Orang yang faqih dalam agama ini. 

Guru-guru Beliau

Beliau mengambil ilmu dari beberapa Ulama’, di antaranya:

Muhammad bin Idris asy-Syafi’i
Ali bin Ma’bad bin Syaddad al-Bashri
Nu’aim bin Hammad, Ulama’ yang pertama kali menyusun kitab al-Musnad.
Ashbagh bin Nafi’
Murid-murid Beliau

Di antara murid beliau yang terkenal adalah :

Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (dikenal dengan Ibnu Khuzaimah), salah seorang guru alBukhari dan Muslim (selain periwayatan hadits dalam Shahihnya) serta Ibnu Hibban al-Bustiy (Ibnu Hibban adalah guru al-Hakim).‎
Abu Ja’far at-Thohawy, penulis kitabAkidah at-Thohawiyah. At-Thohawy menyatakan: Orang pertama yang aku tulis hadits (Nabi) darinya adalah al-Muzani. Al-Muzani adalah paman at-Thohawy dari jalur ibu.
Abdurrahman bin Abi Hatim ar-Raziy, penulis kitab tafsir berdasarkan atsar, yang dikenal dengan Tafsir Ibn Abi Hatim. al-Imam Ibnu Katsir banyak mengambil rujukan dari kitab tersebut dalam tafsirnya.
Penolong Madzhab asy-Syafi’i

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan tentang al-Muzani:

الْمُزَنِى نَاصِرُ مَذْهَبِى

Al-Muzani adalah penolong madzhabku (Siyar A’lamin Nubalaa’ karya adz-Dzahaby (12/493), Thobaqot asy-Syafiiyyah al-Kubro karya Tajuddin as-Subkiy (2/94))

Asy-Syafi’i-lah yang mengarahkan al-Muzani untuk menekuni ilmu fiqh. Suatu hari Asy-Syafi’i menyatakan kepada al-Muzani:

فَهَلْ لَكَ فِى عِلْمٍ إِنْ أَصَبْتَ فِيْهِ أُجِرْتَ وَإِنْ أَخْطَأْتَ لَمْ تَأْثَمْ

Apakah tidak sebaiknya kau mempelajari ilmu yang jika engkau benar engkau mendapat pahala, dan jika salah (dalam berijtihad) engkau tidak berdosa?

Al-Muzani berkata: Ilmu apa itu? Asy-Syafi’i menyatakan: ilmu fiqh. Sejak saat itu al-Muzani berguru fiqh secara intensif kepada asy-Syafi’i (Thobaqoot asy-Syafiiyyah al-Kubro karya Tajuddin as-Subkiy (2/98))

Kecerdasan dan Kekuatan Hujjahnya dalam Berdebat

Al-Imam asy-Syafi’i pernah berkata dengan menunjuk pada al-Muzani:

هذَا لَوْ نَاظَرَ الشَّيْطَانَ قَطَعَهُ أَوْ جَدَلَهُ

(Anak) ini kalau (seandainya) mendebat syaithan, niscaya akan mengalahkannya (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nuaim (9/139)).

Imam Al-Muzani pernah bersyair:
الضرب بالطارات في ليلة
والرقص والتصفيق فعل السفيه

هذا ابتداع وضلال الورى
وليس في التنزيل ما يقتضيه

ولا حديث عن نبي الهدى
ولا صحابي ولا تابعيه

بل جاهل يلعب في دينه
قد ضيع العمر يلهو وتيه

MEMUKUL REBANA pada waktu malam, Dan MENARI dan BERTEPUK TANGANadalah perbuatan orang yang BODOH;

Ini merupakan REKAAN BARU dan KESESATAN makhluk,
Tiada di dalam Al-Qur'an yang menunjukkan kepadanya

Begitu juga, tiada hadis daripada Nabi yang membawa petunjuk (shallallahu alaihi wa sallam),
Tiada juga nukilan daripada sahabat dan tabiin;

Tetapi daripada ORANG JAHIL yang BERMAIN-MAIN dengan agamanya,
Yang MENSIA-SIAKAN umurnya dengan hiburan yang menyesatkan.

Kekuatannya dalam Beribadah

Umar bin Utsman al-Makkiy menyatakan:Saya tidak pernah melihat seseorang yang… (kekuatan) ibadahnya dan keistiqomahan ibadahnya seperti al-Muzani (Wafayaat al-A’yan (2/352)

Abu Sa’id bin as-Sukkary menyatakan : Aku pernah melihat al-Muzani, aku tidak melihat orang yang lebih (kuat) beribadah kepada Allah (selain dia)(Wafayaat al-A’yan (2/351).

Yusuf bin Abdil Ahad al-Qummy menyatakan: “Saya pernah menemani al-Muzani pada suatu malam, matanya sedang sakit. Dia selalu memperbarui wudhu’ kemudian berdoa. Ketika merasa mengantuk, ia berwudhu’, kemudian berdoa, demikian dilakukan hingga 17 kali” (Manaqib asy-Syafi’i karya al-Baihaqy (2/350).

Senang Memandikan Jenazah

Al-Muzani sangat bersemangat untuk ikut serta memandikan jenazah, sebagai bentuk ibadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.

Adz-Dzahaby menyatakan : Beliau (al-Muzani) suka memandikan jenazah sebagai bentuk ibadah dan mengharapkan pahala (dari Allah), al-Muzani menyatakan: Aku berusaha untuk (selalu) ikut memandikan jenazah untuk melembutkan hatiku, sehingga kegiatan itu kemudian menjadi kebiasaanku (Siyaar A’laamin Nubalaa’ (12/495) ‎

Bahkan beliaulah yang memandikan jenazah al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah bersama arRabi’ bin Sulaiman al-Muroodiy (Wafayaat al-A’yaan (1/218) ‎

Catatan :

Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مُسْلِمًا فَكَتَمَ عَلَيْهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ أَرْبَعِينَ مَرَّةً ، وَمَنْ حَفَرَ لَهُ فَأَجَنَّهُ أُجْرِىَ عَلَيْهِ كَأَجْرِ مَسْكَنٍ أَسْكَنَهُ إِيَّاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ، وَمَنْ كَفَنَّهُ كَسَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سُنْدُسِ وَإِسْتَبْرَقِ الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang memandikan seorang muslim kemudian menyembunyikan (aibnya), Allah akan ampuni untuknya 40 kali. Barangsiapa yang menggalikan kubur untuknya kemudian menguburkannya, akan dialirkan pahala seperti pahala memberikan tempat tinggal hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mengkafaninya, Allah akan memberikan pakaian untuknya pada hari kiamat sutera halus dan sutera tebal dari surga (H.R alBaihaqy, atThobarony, dishahihkan oleh al-Hakim dan al-Albany)

Karya-karya al-Muzani

Semasa hidupnya, al-Muzani telah menghasilkan beberapa karya tulis yang bermanfaat, di antaranya:

Ahkaamul Qur’aan
Ifsaadut Taqliid (kerusakan perbuatan taqlid). Az-Zarkasyi kadang menyebut kitab ini dengan sebutan Fasaadut taqliid,kadang disebut Dzammut Taqliid
Al-Amru wan Nahyu ala Ma’na asy-Syafi’i
atTarghiib fil ‘ilmi
al-Jaami’ul Kabiir
al-Jaami’us Shoghiir
ad-Daqoo-iq wal ‘Aqoorib
Syarhus Sunnah, karya beliau yang kita kaji dalam buku ini.
al-Mabsuuth fil furuu’.
10. Al-Mukhtasharul Kabiir.

11. Mukhtasharul mukhtashar, yang dikenal dengan mukhtashar al-Muzani

Abul Abbas as-Suraij menyatakan tentang mukhtashar al-Muzani : Kitab ini adalah pondasi/ induk dari kitab-kitab bermadzhab asy-Syafi’i. Terhadap permisalan-nya mereka mengurutkan, ucapannya mereka jelaskan (al-Waafiy bil wafayaat (9/238) ‎

Al-Baihaqy menyatakan : Aku tidak mengetahui adanya suatu kitab yang ditulis dalam Islam yang lebih besar manfaatnya, lebih luas keberkahannya, lebih banyak buahnya. Bagaimana tidak, (hal itu didukung oleh) akidahnya (yang benar) dalam agama Allah, dan ibadahnya kepada Allah, kemudian (kesungguhannya) dalam menyusun kitab ini (Manaqib asy-Syafi’i (2/328) melalui Isma’il bin Yahya al-Muzani wa risaalatuhu syarhus sunnah hal 44).

Al-Muzani menyatakan dalam pembukaan pada Mukhtashar al-Muzani: Aku ringkaskan dalam kitab ini (suatu pengetahuan) yang berasal dari ilmu Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah dan dari makna ucapan-ucapannya. Untuk mendekatkan (pemahaman) kepada yang menginginkannya.Disertai dengan penjelasan larangan untuk bersikap taqlid (fanatisme membabi buta) terhadap beliau (asy-Syafi’i) ataupun selainnya. Untuk dilihat hal itu dalam agamanya, dan agar dijaga untuk dirinya (Mukhtashar al-Muzani fii furuu’isy syaafiiyyah hal 7 cetakan Daarul Kutub al-Ilmiyyah Beirut Lebanon) 

12.  Al-Masaa-ilul Mu’tabaroh
13.  Akidah Ahmad bin Hanbal
14.  Al-Mantsuuroot
15.  Nihaayatul Ikhtishar
16.  Al-Watsaa-iq
17.  Al-Wasaa-il 
LATAR BELAKANG PENULISAN Syarhus Sunnah lil Muzani

Hal yang melatarbelakangi penulisan kitab Syarhus Sunnah karya al-Muzani itu adalah sebagai berikut:

Sekelompok orang berkumpul dan membicarakan tentang Ulama’-Ulama’ Ahlussunnah di antaranya Malik, asy-Syafi’i, Sufyan ats-Tsaury, dan lain-lain hingga menyinggung tentang al-Muzani. Salah seorang menyangkal bahwa al-Muzani adalah termasuk Ulama’ (Ahlussunnah), karena (menurut dia) al-Muzani memiliki pemahaman yang menyimpang tentang taqdir dan bahwasanya al-Muzani suka berdebat dengan menggunakan qiyas. Maka salah seorang yang hadir di majelis tersebut kemudian mengirim surat kepada al-Muzani agar dituliskan tentang akidahnya. Al-Muzani kemudian membalas surat itu dengan risalah Syarhus Sunnah ini.‎

KALIMAT PEMBUKA (MUQODDIMAH)

بسم الله الرحمن الرحيم 

 عَصَمَنَا اللهُ وَإِياَّكُمْ بِالتَّقْوَى وَوَفَّقَنَا وَإِياَّكُمْ لِمُوَافَقَةِ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّكَ أَصْلَحَكَ اللهُ سَأَلْتَنِي أَنْ أُوْضِحَ لَكَ مِنَ السُّنَّةِ أَمْرًا تُصَبِّرُ نَفْسَكَ عَلَى التَّمَسُّكِ بِهِ وَتَدْرَأُ بِهِ عَنْكَ شُبَهَ اْلأَقَاوِيْلِ وَزَيْغَ مُحْدَثاَتِ الضَّالِّيْنَ وَقَدْ شَرَحْتُ لَكَ مِنْهَاجًا مُوْضِحًا مُنِيْرًا لَمْ آلُ نَفْسِيْ وَإِياَّكَ فِيْهِ نُصْحًا بَدَأْتُ فِيْهِ بِحَمْدِ اللهِ ذِي الرُّشْدِ وَالتَّسْدِيْدِ

Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Semoga Allah menjaga kita dengan taqwa dan memberikan taufiq kepada kita untuk (berjalan) sesuai petunjuk. Amma Ba’du. Sesungguhnya anda  -semoga Allah memperbaiki keadaan anda- meminta kepada saya untuk menjelaskan as-Sunnah  dengan penjelasan yang membuat jiwa anda bisa bersabar dalam berpegang teguh kepadanya, dan dengan penjelasan itu bisa menolak ucapan-ucapan yang mengandung syubhat (kerancuan), dan penyimpangan orang-orang yang mengada-ada lagi sesat. Saya akan jelaskan (sebentar lagi) manhaj (metode) yang jelas terang benderang dengan sepenuh jiwa pemberian nasehat untuk diri saya maupun anda. Saya mulai dengan memuji Allah yang memiliki petunjuk dan pengokohan (di atas kebenaran)

PENJELASAN:

Al-Muzani memulai tulisannya dengan basmalah (Bismillahirrohmaanir rohiim). Hal itu adalah sesuai dengan Sunnah Nabi ‎shollallahu alaihi wasallam. Tulisan-tulisan dari Nabi yang dikirim kepada para pembesar-pembesar di negeri lain, sebagai dakwah kepada Islam, selalu diawali dengan ‎Bismillahirrohmaanir rohiim.

Contohnya adalah surat yang dikirim oleh Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam kepada Hiraqla pembesar Romawi:‎

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ وَأَسْلِمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ { يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ }

Bismillahirrohmaanirrohiim. Dari Muhammad Rasulullah kepada Hiraqla pembesar Romawi. Semoga keselamatan untuk (orang-orang) yang mengikuti petunjuk. Amma Ba’du. Sesungguhnya aku mengajakmu dengan ajakan Islam. Masuk Islamlah, niscaya engkau selamat. Allah akan memberikan pahala dua kali kepadamu. Jika engkau berpaling, engkau juga akan menanggung dosa al-Arisiyyin (rakyat jelata yang mengikutimu). Wahai Ahlul Kitab, marilah kita bersatu pada kalimat yang sama di antara kita, yaitu agar kita tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah dan kita tidak mensekutukanNya dengan suatu apapun, dan janganlah kita menjadikan orang di antara kita sebagai Tuhan selain Allah. Jika kalian berpaling, ucapkanlah: persaksikanlah bahwa kami adalah kaum muslimin (H.R al-Bukhari no 4188 dan Muslim no 3322).

Pada muqoddimah ini juga al-Muzani mendoakan agar Allah menjaga beliau dan orang yang membaca risalah beliau tersebut dengan ketaqwaan dan agar semuanya mendapatkan hidayah Allah. Ini adalah salah satu kebiasaan Ulama’ Ahlussunnah yang menunjukkan kasih sayang mereka kepada kaum muslimin. Mereka mendoakan dan memberikan pengajaran yang benar kepada umat.

Beliau menyatakan :

وَقَدْ شَرَحْتُ لَكَ

Kalimat ini bisa mengandung 2 penafsiran, yaitu:

‘Aku telah menjelaskannya kepadamu’. Jika ini yang dimaksud, berarti beliau telah menulis semua isi risalah dan memberi muqoddimah setelahnya.
‘Aku akan menjelaskan kepadamu sebentar lagi’.
Kata ‘qod’ dalam bahasa Arab jika diikuti kata kerja lampau (fi’il madhi) kebanyakan memang berarti ‘telah’/ sudah’, namun kadangkala juga bermakna akan mengerjakan perbuatan dalam waktu dekat. Seperti ucapan seseorang yang mengumandangkan iqoomah sebelum sholat: ‎Qod qoomatis sholaah, yang artinya: sholat akan ditegakkan sebentar lagi.

Penjelasan yang Terang Benderang

Al-Muzani menyatakan: Saya akan jelaskan (sebentar lagi) manhaj (metode) yang jelas terang benderang…

Para Ulama’lah yang menjelaskan ajaran Islam dengan jelas dan terang benderang. Membersihkan dan memurnikannya dari berbagai pemikiran yang menyimpang.

يَحْمِلُ هذَا الْعِلْمَ مِنْ كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يُنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ

Ilmu ini dibawa oleh orang-orang yang adil (para Ulama’) pada setiap generasi. Mereka menghilangkan penyimpangan makna (alQuran dan hadits) yang dilakukan oleh para Ahlul Bid’ah, pengakuan dari para penolak (agama), dan penafsiran (menyimpang) dari orang-orang yang bodoh (H.R al-Baihaqy dan lainnya, dishahihkan oleh Imam Ahmad dalam al-Ilal karya al-Khollal–Tadriibur Rowi (1/303))

Sesungguhnya ajaran yang disampaikan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam adalah ajaran yang telah terang benderang. Kemudian datang para penyimpang, namun pada setiap waktu akan selalu ada para Ulama’ yang membersihkan kekotoran-kekotoran tersebut hingga ajaran itu kembali menjadi terang benderang.

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ

Aku telah tinggalkan untuk kalian (ajaran yang jelas) yang putih (bersinar), malamnya bagaikan siangnya. Tidaklah ada yang menyimpang sepeninggalku kecuali ia akan binasa (H.R Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dinyatakan bahwa sanadnya hasan oleh al-Mundziri, dan dishahihkan al-Albany).

Sikap anNashiihah terhadap Kaum Muslimin

Al-Muzani menyampaikan bahwa dalam menulis risalah ini ia sampaikan dengan sepenuh hati pemberian an-nashiihah (nasehat). Beliau menyatakan: Saya akan jelaskan (sebentar lagi) manhaj (metode) yang jelas terang benderang dengan sepenuh jiwa pemberian nasehat untuk diri saya maupun anda

Sikap anNashiihah adalah ketulusan; keikhlasan untuk memberikan yang terbaik, tidak ada niatan (buruk) lain di baliknya.

عَنْ جَرِيرٍ قَالَ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Jarir radhiyallahu anhu ia berkata: Aku berbaiat (bersumpah setia) kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk menegakkan sholat,menunaikan zakat, dan bersikap an-nashiihah kepada seluruh muslim (H.R alBukhari no 2514 dan Muslim no 83).

Selanjutnya, Al-Muzani dalam muqoddimah ini menyatakan :

بَدَأْتُ فِيْهِ بِحَمْدِ اللهِ ذِي الرُّشْدِ وَالتَّسْدِيْدِ

Saya mulai dengan memuji Allah yang memiliki petunjuk dan pengokohan (di atas kebenaran)

Beliau mulai pujian kepada Allah. Sebagaimana Nabi shollallahu alaihi wasallam selalu memulai khutbah atau ceramah beliau dengan memuji Allah terlebih dahulu.‎

Imam Ibnu Abdil Bar Al-Andalusi

 

Sesungguhnya para ulama memiliki kedudukan yang tinggi dan martabat yang luhur di dalam agama ini. Mereka adalah pewaris para nabi dan mereka pulalah yang memiliki amanah untuk menjaga warisan yang ditinggalkan oleh para nabi tersebut. Keberadaan mereka ditengah kaum muslimin laksana bulan yang menerangi kegelapan pada malam hari. Dan merekalah yang sebenarnya pahlawan yang harus kita hargai setiap jerih payahnya, kita jaga dan lindungi kehormatannya,serta kita jadikan idola dalam kehidupan kita. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, begitu pula umat yang besar ialah umat yang selalu mengingat dan menghargai jasa ulamanya.

Pada tulisan kali ini, akan dijelaskan secara singkat biografi seorang ulama besar yang hidup pada abad ke-4 Hijriah. Seorang ulama yang dijuluki sebagai Hafiz Al-Maghrib. Beliau adalah Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah.

Nama dan nasabnya

Ibnu Abdul Barr (bahasa Arab: ابن عبدالبر) adalah ulama Ahlussunnah terkenal, ahli hadits, ahli fikih, ahli genealogi dan sejarah dari mazhab Maliki yang berasal dari Spanyol Islam. Ia menjabat sebagai hakim kota Lisbon dan Santarém (sekarang di Portugal). Ibnu Abdul Barr yang secara lengkap bernama Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul-Barr al-Namari al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki dilahirkan pada tahun 978 M di Cordoba d‎an wafat pada 2 Desember 1071(umur 93) di Xàtiva, Al-Andalus. Meskipun pada awalnya ia merupakan pengikut mazhab fikih Zahiri, Ibnu Abdul Barr kemudian beralih ke mazhab Maliki, yang merupakan mazhab yang dipakai secara resmi oleh dinasti Umayyah, tempat dimana dia tinggal.

Kelahirannya
Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal lima bulan Rabiulakhir tahun 368 H ketika imam jumat sedang berkhutbah. Beliau tumbuh dan berkembang di kota Cordova yang merupakan ibu kota negara Spanyol pada waktu itu. Kota yang dikenal sebagai kota ilmu pada zaman tersebut. Kota yang juga dikenal sebagai tempat tinggal muslim Ahlussunnah waljamaah. Di kota ini pulalah beliau belajar ilmu agama, belajar ilmu fikih dari para ulama ternama pada waktu itu, dan meriwayatkan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga beliau menjadi seorang ulama besar sampai-sampai beliau diberi julukan Hafiz Al-Maghrib. Beliau juga berasal dari keluarga yang dikenal sebagai keluarga yang memiliki banyak keutamaan. Keluarga yang terkenal akan keilmuan dan kezuhudannya. Kakek dan ayah beliau adalah ulama yang sangat rajin beribadah dan sangat terkenal dengan kezuhudan mereka terhadap dunia. Maka dari keluarga yang penuh berkah inilah Ibnu Abdil Bar belajar ilmu agama dan menjadi seorang ulama besar kaum muslimin. Yang mana karya-karyanya turut menghiasi khazanah perpustakaan Islam.

Guru-gurunya
Beliau tidaklah melakukan perjalanan yang sangat jauh dalam menuntut ilmu. Beliau mencukupkan diri untuk menuntut ilmu di negara asalnya Spanyol. Akan tetapi beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain yang berada di negeri Spanyol, baik kota yang ada di barat negeri tersebut hingga yang berada di timurnya. Guru-guru beliau sangatlah banyak, hingga mencapai seratus orang lebih. Dan semuanya merupakan ulama yang pakar dalam bidangnya, diantara mereka ada yang ahli hadis dan ahli fikih. Dan diantara para ulama yang menjadi guru-guru beliau adalah:

Abdul Waris bin Sufyan.
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Mukmin, beliau adalah seorang pakar hadis yang besar pada zamannya.
Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Asad Al-Juhani.
Muhammad bin Abdul Malik Ar-Rosofi.‎
Al-Hafiz Abu Ustman Said bin Nashr bin Khalaf Al-Andalusi.
Abul Fadhl Ahmad bin Qosim bin Abdurrahman Al-Bazzar.
Ulama-ulama diatas termasuk guru-guru beliau yang beliau banyak meriwayatkan hadis dari mereka. Adapun guru-guru beliau yang lain adalah Ahmad bin Abdil Malik bin Hasyim, Ahmad bin Muhammad Al-Muqri’, Ismail bin Abdurrahman, Abul Qurasyi Al-‘Amiri, Abdul Aziz bin Ahmad An-Nahwi, Abul Asbagh Al-Akhfasy, Abul Walid Al-Qurtubi Al-Qodhi, Muhammad bin Khalifah Al-Imam dan masih banyak lagi guru-guru beliau yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam tulisan ini karena akan menjadi sangat panjang.

Murid-muridnya
Murid-murid beliau sangatlah banyak untuk disebutkan satu persatu, akan tetapi akan disebutkan sebagian saja dari murid-murid beliau yang terkenal banyak meriwayatkan dari beliau.

Abu Ali Al-Ghossani.
Abdurrahman bin Muhammad Al-Qurtubi.
Al-Hafiz Abul Hasan Tohir bin Mufawwiz As-Syatibi.
Abu Bahr Sufyan bin Al-Ash.
Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm yang terkenal dengan kunyah beliau Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Beliau merupakan imam yang sangat terkenal. Karya tulis beliau pun sangat banyak dan bermanfaat. Beliau juga pembesar mazhab Zhahiri.
Al-Hafiz Abu Abdillah Al-Humaidi, dan masih banyak lagi selain mereka.
Pujian para ulama terhadap beliau
Imam Ibnu Abdil Bar telah banyak memperoleh pujian dari para ulama, baik dari teman-teman yang semasa dengan beliau, murid-murid beliau, hingga ulama-ulama yang datang setelah beliau. Hal tersebut beliau dapatkan karena tingginya kedudukan beliau dimata kaum muslimin, kekuatan hafalannya, banyaknya disiplin ilmu yang beliau kuasai, dan karya-karya tulis beliau yang menjadi bukti akan luasnya ilmu yang beliau miliki.

Al-Humaidi berkata, “Abu Umar adalah seorang fakih, hafiz, dan banyak meriwayatkan hadis. Beliau adalah seorang pakar dalam ilmu qiraah dan sangat mengetahui perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama. Beliau juga seorang yang pakar dalam ilmu hadis dan ilmu rijal (ilmu tentang keadaan para perawi hadis).”

Abul Qosim bin Basykuwal berkata, “Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdil Bar bin Ashim An-Namari adalah seorang imam pada masanya dan alim yang unggul pada zamannya.” (As-Shilah hal. 973)

Abul Walid Al-Baji berkata, “Tidak ada di negeri Spanyol yang menyamai Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam ilmu hadis.” (As-Shilah hal. 973)

Imam Ibnu Hazm berkata, “Aku tidak mengetahui ada orang yang semisal dengan Ibnu Abdil Bar dalam fikih hadis, apalagi orang yang lebih baik dari beliau.” (As-Shilah hal. 974)

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah seorang imam yang baik agamanya, seorang yang terpercaya dan profesional, pandai lagi luas ilmunya, dan sangat berpegang teguh dengan sunnah. Dahulu beliau bermazhab Zhahiri, kemudian beliau menjadi seorang yang bermazhab Maliki, meskipun banyak pendapat beliau yang cenderung kepada mazhab Syafi’i. Dan hal tersebut tidak boleh diingkari, karena beliau termasuk orang yang telah mencapai derajat imam mujtahid. Barang siapa yang membaca karya-karya tulis beliau, maka akan tampaklah baginya keutamaan beliau. Mulai dari luasnya ilmu beliau, kekuatan pemahaman beliau, hingga kecerdasan otak beliau.” (Siyar a’lamin nubala juz.18 hal.157)

Akidah dan mazhab fikihnya
Akidah Imam Ibnu Abdil Bar adalah akidah yang bersih. Akidah yang tidak ternodai oleh ilmu kalam atau pun filsafat yunani. Akidah beliau adalah akidah yang sama dengan yang diyakini oleh para salaf.

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dan beliau dalam permasalahan usuluddin mengikuti mazhab salaf, tidak pernah beliau masuk dalam ilmu kalam, bahkan beliau hanya mengikuti atsar dari guru-guru beliau rahimahumullah.”

Adapun mazhab beliau di dalam ilmu fikih, maka beliau dikenal sebagai penganut mazhab Maliki, yaitu mazhab Imam Malik bin Anas. Meskipun begitu, banyak pendapat-pendapat beliau yang justru cenderung kepada mazhab Imam Syafi’i.

Abu Abdillah bin Abi Al-Fath berkata, “Dahulu beliau pernah bermazhab Zhahiri (mazhab fikih yang mengingkari kias) dalam waktu yang cukup lama, kemudian beliau kembali kepada pendapat yang menggunakan kias dan tidak bertaklid kepada seorang pun. Akan tetapi beliau banyak cenderung kepada pendapat Syafi’i.”

Imam Adz-Dzahabi menambahkan perkataan Abu Abdillah diatas dengan mengatakan, “Itulah yang beliau katakan, akan tetapi yang masyhur adalah bahwasanya beliau bermazhab Maliki.”

Karya tulis beliau
Beliau termasuk ulama yang sangat produktif dalam menghasilkan karya tulis. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya buku-buku yang beliau karang. Dan karangan beliau tidak hanya terbatas pada satu disiplin ilmu saja, akan tetapi hampir di setiap disiplin ilmu beliau memiliki karangan dalam ilmu tersebut.

Imam Ibnu Hazm berkata, “Dan sahabat kami Ibnu Abdil Bar memiliki buku-buku karangan yang tidak ada tandingannya.”

Berikut akan disebutkan karya-karya beliau yang jumlahnya sangatlah banyak, karena sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa beliau mengarang hampir di setiap disiplin ilmu, mulai dari ilmu qiraah, fikih, hadis, akidah, sejarah, hingga syair-syair.

Karangan beliau dalam ilmu qiraat
Al-Madkhol fil qiraat.
Al-Iktifa’ fi qiraat Nafi’ wa Abi Amr bin Al-‘Ala.
At-Tajwid wal madkhol ila ilmil quran bit-tahdid.
Al-Bayan fi tilawatil quran.
Karangan beliau dalam ilmu hadis
At-Tamhid fil muwatto’ minal ma’ani wal asanid.
At-Taqoshi lihadisil muwatto’ wa syuyukhi Malik.
Al-Istidzkar.
Ketiga kitab di atas telah dicetak dan diterbitkan, adapun karangan beliau yang masih berbentuk manuskrip, maka sangatlah banyak. Di antaranya:

Ikhtishar kitab at-tahrir.
Ikhtishar kitab at-tamyiz.
Hadis Malik kharij al-muwatto’.
As-Syawahid fi itsbati khobari al-wahid.
‘Awaliy Ibnu Abdil Bar fi al-hadis.
Manzhumatun fi as-sunnah.
Musnad Ibnu Abdil Bar.
Karangan beliau dalam ilmu fikih
Al-Kafi fi furu’ al-Malikiyyah.
Al-Inshof fiima baina al-mukhtalifin fi fatihatil kitab.
Karangan beliau dalam ilmu tarikh
Al-Isti’ab fi ma’rifatil ashab.
Al-Intifa’ fi fadho’il ats-tsalatsatil fuqoha’.
Ad-Duror fi ikhtishar al-maghozi wa as-siyar.
Al-Qosdu wa al-umam fi makrifati ansabi al-Arab wa al-‘ajam.
Karangan beliau dalam ilmu akidah
A’lam an-nubuwwah.
Al-Inshof fi asma’ Allah.
Karangan beliau dalam ilmu adab dan akhlak
Jami’ bayani al-ilmi wa fadhlihi.
Al-Jami’.
Adabul mujalasah wa hamdu al-lisan.
Al-Bustan fil ikhwan.
Ar-Roqo’iq.
Itulah sebagian karya tulis beliau yang tentunya memiliki faedah dan manfaat yang sangat besar bagi kaum muslimin. Dan masih banyak lagi karangan beliau yang diperkirakan hilang dan belum ditemukan hingga sekarang.

Wafat beliau
Beliau wafat di kota Syatibah pada malam Jumat, tepatnya pada bulan Rabiulakhir tahun 463 H di usia beliau yang ke-95, dan dimakamkan di kota yang sama. Akhir kata semoga Allah Ta’ala m‎erahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan memasukkan beliau ke dalam surga-Nya. Amiin.‎‎

Al-Qodhi Abu Bakar Al-Baqilani Sang Pedang Al-Sunnah


Nama aslinya al-Qadhi Abu Bakar Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn al-Qasim al-Baqillani. Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Oleh karena ia hidup bertepatan dengan masa pemerintahan ‘Adud al-Daulat al-Buwaihi (w. 372), maka diperkirakan ia lahir setelah paroh kedua abad keempat Hijriyah. dan ia sempat hidup di abad ke-5 hanya 3 tahun saja. Ia tinggal di Baghdad dan ia belajar hadits kepada Abu Bakar bin Malik al-Qathi’i, Abu Muhammad bin Musa, dan Abu Ahmad Husein an-Naisaburi. Kemudian belajar ilmu fiqh kepada Abu Bakar al-Abhuri sedangkan ilmu kalam ia belajar langsung kepada abu Abdullah Bakar bin Mujahid ( al-Bashri ath-tha’i ) dan kepada Abu Hasan al-Bahili. Keduanya adalah murit dari Abu Hasan al-Asy’ari. Dia bermazhabkan Maliki.
            
Al-Baqilani mengajar di Baghdad dan memiliki halakah yang besar yang dikunjungi oleh banyak murit. Dia itu sangat menentang sekali firqah syi’ah dan mu’tazilah. Dia memiliki ilmu yang sangat luas dan memiliki karangan atau tulisan-tulisan yang sangat banyak.  
            
Al Baqilani menjadi seorang Qadhi disebuah mahkamah akan tetapi tidaklah diketahui di daerah mana ia menjadi qadhi tersebut. Al Baqilani adalah seorang yang mengerti betul tentang masalah-masalah khilafiyah pada  zamannya seperti pada bidang aqidah Kristen. Dia juga pernah bermunazarah dengan tokoh agama Kristen mengenai mukjiazat nabi tentang membelah bulan, mengenai posisi Isa (apakah anak Allah atau hamba Allah) dan mengenai mukjizat Isa.

Sebahagian karangan al Baqilani :
-          I`jazul Qur’an (Tersimpan di museum Inggris. Kitab tersebut juga diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Misriyyat, Kairo, sebanyak dua kali, dan pernah juga diterbitkan di Berlin pada bulan Oktober 1436).
-.   Al-Tahmid
Tersimpan di Ayashofia Istambul dan museum Paris.
-          At Tauhid fi Raddi `ala Mulhatil Muthala`ah war – Rafidhah wal Khawarij wal Mu`tazila (sebuah buku yang bertujuan untuk menolak firqah Syi’ah Rafidhah, Khawarij dan Mu`tazilah).
-          Al – Inshaf fi Asbabil Khilaf (menyatakan sebab-sebab timbulnya berbagai pertentangan dalam islam).
-          Hadiyatul Mustarsyidin (ushuluddin).
-          Manaqibih al A`immah (biografi ulama-ulama salaf).
-          Al-Bayan `anil firaq (meneguhkan mukjizat dan keramat wali)

Sebagaimana diketahui bahwa firqah Asy ‘ariyah merupakan nisbah kepada Abu Hasan Asy`ari. Hingga hari ini pengikutnya masih mengikuti apa yang telah di teorikannya. Setelah datang Al-Baqilani yaitu seorang tokoh besar dalah firqah ini maka teologi Asy`ariah semakin berkembang dari aspek metodologinya dan topic yang di bahasnya. Berkata Ibnu Khaldun kebanyakan mereka mengikut kepada Abu Hasan Asy`ari dan berhenti dengan metode yang telah dikemukannya seperti Ibnu Mujaahid dan lain-lainnya. Sedangkan Al-Qhadi Abu Bakar A-Baqilani mengambil kalam dari mereka semua (murid-murid Abu Hasan Asy`ari) namun Al-Baqilani melahirkan suatu metode baru yang berdasarkan logika yang tersusun yang lebih sistematis tentang dalil mengenai jauhar Al-fard (teori atom) dan khalq. Sehingga ilmuwan berhenti dengan apa yang diteorikannya itu. Salah satu konsepnya bahwa `ard tidak diciptakan oleh `ard yang lain. `Ard itu tidak kekal pada satu zaman, kemudian dia berhenti pada teori ini. Para mutakallim tidak mengambil hujjah sebagai dalil untuk keimanan akan tetapi para filosoflah yang membesarkan faham atau teori ini.

Siapa yang tidak mengenal Imam Al Baqillani, seorang ulama terkemuka dalam madzhab al-Maliki al-Asy’ari, penyandang julukan Saif al-Sunnah (Sang Pedang al-Sunnah) dan lisan al-ummah (Sang Jurubicara Ummat).

Imam Abu Bakar al-Khuwarizmi pernah berkata : "Setiap pengarang kitab di Baghdad, biasanya mengakses dari kitab-kitab karangan orang lain kedalam kitabnya, kecuali al-Baqillani yang tidak pernah mengakses dari kitab orang lain dalam menyusun karangannya, karena dadanya telah merekam ilmunya sendiri dan ilmu-ilmu orang lain".

Ali bin Mahmud al-Harbi berkata : "Semua perbedaan pendapat yang telah disebutkan oleh al-Baqillani dalam karya-karyanya, itu diaksesnya dari hafalannya. Tak seorangpun yang mengarang perbedaan pendapat, kecuali butuh untuk menelaah kitab-kitab yang ditulis pihak lawan, kecuali al-Baqillani.”

Imam al-Baqillani, juga seorang ulama yang sangat wara', zuhud, religius dan selalu menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela. Abu Hatim al-Qozwini pun pernah berkata, bahwa sifat waro , zuhud religius dan kepribadian al-Baqillani dalam menjaga diri yang disembunyikan dari orang lain, lebih besar daripada yang ditampakkannya. Pujian terhadap al-Baqillani tidak hanya mengalir dari pengikut madzhab al-Syafi’i dan Maliki, sebagai mayoritas pengikut madzhab Al-Asy’ari. Bahkan pujian terhadapnya juga mengalir dari tokoh-tokoh pengikut madzhab Hanbali, seperti: Abu al-Hasan al-Tamimi al-Hanbali yang berkata kepada murid-murid al-Baqillani, “Ikutilah laki-laki ini karena sunnah pasti membutuhkan ilmunya”.

Namun, Imam Al Baqillani tidak luput dari cacian dan hinaan ulama Wahhabi yang datang belakangan ini. Tidak hanya Imam Al Baqillani, sesungguhnya banyak ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang menjadi korban caci-maki para ulama wahhabi.

Al-Baqilani Tentang Keberadaan Alloh

Semua pribadi punya hak untuk berpendapat, seperti hal nya Salafi Wahabi, mereka pun boleh-boleh saja berpendapat yang bahkan sangat berbeda dan terasing dari pendapat mayoritas, mereka juga punya Ulama rujukan sendiri, mereka punya ahli Hadits sendiri walaupun belum sampai pada tingkat Muhaddits terdahulu dan bahkan sangat jauh di bawah nya, mereka juga punya Mujtahid sendiri walau pun sangat tidak mencukupi syarat-syarat Ijtihad, tidak mengapa karena itu hak mereka, namun ketika pemahaman mereka menyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan mereka masih mendakwahkan kesesatan mereka atas nama Islam, dan celaka nya lagi mereka menjarah atribut-atribut Salaf dan ‎bendera-bendera Tauhid untuk menaungi dan menyembunyikan sekaligus melegalisasi kesesatan dan kekeliruan mereka, maka kewajiban atas semua muslim untuk meluruskan pemahaman mereka dan mengajak mereka kembali ke jalan nya para Ulama selaku pewaris Nabi, dan jauh lebih mengerti tentang Al-Quran dan As-Sunnah.

Kesalah-pahaman mereka dalam menyikapi Manhaj Salaf atau memang sebuah kesengajaan, akibatnya mereka terjerumus dalam kesesatan-kesesatan yang mereka agung-agungkan, gegabah dalam menentukan sikap justru menjadi musibah dan bahaya besar dalam akidah mereka sendiri, Salaf yang mereka bela mati-matian ternyata bukan Salaf yang Ahlus Sunnah, tapi mereka meneruskan akidah Musyabbihah Salaf yakni orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk, dan akibat kesalahan besar ini, mereka mengkafirkan Manhaj Asy’ari dan Maturidi yang mereka nilai telah menyalahi ‎Manhaj Salaf, sementara mereka melupakan akidah mereka sendiri yang ternyata jauh telah menyimpang dari akidah Salaf, salah satu bukti bahwa akidah Salafi Wahabi adalah termasuk dalam kategori akidah Musyabbihah [menyerupakan Allah dengan makhluk] adalah sebagaimana dituliskan oleh Imam al-Baqilani dalam Kitab al-Inshaf – halaman 39-40, namun sebelumnya perlu diketahui bahwa Imam al-Baqilani yang bernama lengkap Muhammad ibn al-Tayyib ibn Muhammad Abu Bakr al-Baqilani, beliau wafat tanggal 23 Zul Qa’dah 403 H/ 1013 M di Baghdad, beliau hidup jauh sebelum munculnya dakwah Salafi Wahabi, bahkan jauh sebelum Syaikh Ibnu Taymiyah, maka apa yang dituliskan oleh Imam al-Baqilani tidak ada unsur kebencian atau lain sebagainya.

Imam al-Baqilani menuliskan :

ويجب أن يُعلـم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرَّبُّ تعالى يتقدّس عنه ، فمن ذلك : أنه تعالى متقدّسٌ عن الاختصاص بالجهات ، والاتصاف بصفاتالـمحدثات ، وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ، ولا القيام ولا القعود ، لقوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى/ 11] ، وقوله : { وَلـم يَكُن لَّهُ كُفُواًأَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4] ، ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث والله تعالى يتقدّس عن ذلك

“Dan wajib diketahui bahwa setiap sesuatu yang menunjuki kepada baharu [huduts] atau menunjuki atastanda kekurangan, maka Allah ta’ala maha suci dari demikian, maka karena itu, sesungguhnya Allah ta’ala itumaha suci dari terkhusus dengan arah [jihat], dan maha suci dari bersifat dengan sifat yang baharu [sifatmakhluk], dan demikian juga Allah tidak disifatkan dengan berubah dan berpindah, dan tidak dengan berdiridan tidak dengan duduk, karena firman Allah ta’ala “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” [QS as-Syura : 11], dan firman-Nya “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlash :4], dankarena sifat-sifat ini menunjuki atas baharu [huduts], sedangkan Allah ta’ala maha suci dari pada demikian.[Lihat Kitab al-Inshaf – halaman 39-40].

Keterangan :
ويجب أن يُعلـم أن كل ما يدل على الحدوث أو على سمة النقص فالرَّبُّ تعالى يتقدّس عنه

“Dan wajib diketahui bahwa setiap sesuatu yang menunjuki kepada baharu [huduts] atau menunjuki atastanda kekurangan, maka Allah ta’ala maha suci dari demikian”

Maksudnya : Wajib diketahui oleh semua orang agar ia tidak salah sangka terhadap Allah dan sifat-sifat Nya, bahwa apapun yang menunjuki atau berujung pada baharu dan kekurangan, maka itu tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, karena Allah maha suci dari baharu dan kekurangan, baik pada zat atau sifat-Nya, Allah maha sempurna sifat dan zat-Nya sejak azali sebelum ada apapun, maka segala yang datang setelah nya tidak boleh dinisbahkan bagi-Nya, karena itu semua adalah menjadi kebaharuan bagi keazalian-Nya dan kekurangan bagi kesempurnaan-Nya.

فمن ذلك : أنه تعالى متقدّسٌ عن الاختصاص بالجهات ، والاتصاف بصفات الـمحدثات

“maka karena itu, sesungguhnya Allah ta’ala itu maha suci dari terkhusus dengan arah [jihat], dan maha sucidari bersifat dengan sifat yang baharu [sifat makhluk]”

Maksudnya : karena itu, Allah tidak berada di salah satu arah pun, tidak boleh dikatakan Allah berada di atas ‘Arasy atau di atas langit, dan tidak boleh dikatakan di arah lain nya, apalagi mengatakan zat Allah berada di semua arah atau dimana-mana, dan tidak bersifat dengan sifat makhluk, sifat makhluk juga makhluk, semua sifat-sifat tersebut bila disifatkan kepada Allah ta’ala, maka akan menunjuki dan melazimi kepada baharu dan kekurangan bagi Allah. Sedangkan sifat-sifat Allah yang datang dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang secara terjemahan nya menunjuki kepada baharu dan kekurangan bagi Allah, maka wajib dita’wilkan kepada makna lain yang sesuai dengan keazalian dan kesempurnaan Allah ta’ala, baik dengan Ta’wil Ijmali sebagaimana jalan nya kebanyakan Ulama Salaf atau denganTa’wil Tafshili sebagaimana jalan nya kebanyakan Ulama Khalaf.

وكذلك لا يوصف بالتحول والانتقال ، ولا القيام ولا القعود

“dan demikian juga Allah tidak disifatkan dengan berubah dan berpindah, dan tidak dengan berdiri dan tidakdengan duduk”

Maksudnya : Allah juga tidak boleh dikatakan bersifat dengan berubah dari sebelum adanya ‘Arasy misalnya, atauberpindah setelah ada langit misalnya, atau dengan sifat berdiri atau duduk, karena itu semua adalah sifat-sifat makhluk yang baru ada sejak diciptakan nya makhluk, adanya makhluk tidak berpengaruh apapun terhadap Allah, Allah ta’ala dan sifat-Nya ada sebelum adanya makhluk, dan Allah ta’ala tetap atas sifat kesempurnaan dan keazalian-Nya setelah adanya makhluk.

لقوله تعالى : { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ } [سورة الشورى/ 11] ، وقوله : { وَلـم يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ } [سورة الإخلاص/ 4]

“karena firman Allah ta’ala “tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” [QS asy-Syura : 11], dan firman-Nya “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya” [QS al-Ikhlash :4]”

Maksudnya : semua yang telah disampaikan oleh Imam al-Baqilani bukan atas dasar analogi semata atau ilmu kalam yang bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi semua itu berdasarkan naqli firman Allah Surat asy-Syura  ayat 11 dan Surat al-Ikhlash ayat 4, dari dua ayat inilah Imam al-Baqilani menjelaskan bahwa Allah tidak bersifat dengan berubah, berpindah, berarah, duduk dan sebagainya, karena sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat makhluk.

ولأن هذه الصفات تدل على الحدوث والله تعالى يتقدّس عن ذلك

“dan karena sifat-sifat ini menunjuki atas baharu [huduts], sedangkan Allah ta’ala maha suci dari padademikian”

Maksudnya : Dalil aqli nya adalah karena sifat tersebut menunjukkan atas baharu, sedangkan Allah maha suci dari sifat yang baharu, menetapkan sifat baharu bagi Allah, maka Allah akan ikut baharu dari keazalian dan kesempurnaan-Nya, maha suci Allah dari segala sifat makhluk.

Dari penjelasan Imam al-Baqilani dapatlah dilihat dengan nyata kesesatan dan kesalah-pahaman Salafi Wahabi, sungguh pada sifat-sifat yang diyakini oleh Salafi Wahabi terdapat Tasybih Allah dengan makhluk-Nya, Salafi Wahabi telah nyata-nyata mensifatkan Allah dengan sifat makhluk atau menetapkan makhluk pada zat Allah, dan itulah Tasybih yang dilarang dalam Al-Quran di surat yang tersebut di atas.

Itulah dasar Tauhid yang hendaknya dipegang erat-erat oleh siapa pun yang ingin mempelajari Tauhid, agar tidak tidak mudah goyah ketika diterpa syubhat-syubhat Tauhid, dan agar tidak salah sangka dalam memahami sifat-sifat Allah yang tidak serupa dengan sesuatu pun, tanpa dasar Tauhid yang kokoh, maka siapa pun akan mudah tergoda dan terpana dengan aliran-aliran sesat yang memakai atribut-atribut Tauhid dan bendera dua kalimat syahadat.

As-Syaikh Abu Nashr Muhammad Al-Farabi Sang Maha Guru Filsafat Serta Musik

 

Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi (محمد فارابی ) dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi atau yang biasa ddi dunia barat sebagai ‎Alpharabius, Al Farabi, Farabi, dan Abunasir lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di kota Farab, Propinsi Transoxiana, Turkestan, sekitar tahun 890. 

Dia berasal dari keluarga bangsawan-militer Turki.Al-Farabi melewatkan masa remajanya di Farab. Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah inilah al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. Dia digambarkan “sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari.” Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmetika dasar.Setelah menyelesaikan studi dasarnya,

al-Farabi pindah ke Bukhara untuk menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu-ilmu lanjut lainnya. Pada saat itu, Bukhara merupakan ibu kota dan pusat intelektual serta religius dinasti Samaniyah yang menganggap dirinya sebagai bangsa Persia. Pada saat al-Farabi di Bukhara, Dinasti Samaniyah di bawah pemerintahan Nashr ibn Ahmad (874-892). Munculnya Dinasti ini menandai munculnya budaya Persia dalam Islam. Pada masa inilah al-Farabi mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat Persia. Juga di Bukhara inilah al-Farabi pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran al-Farabi di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad ibn al-Qasim, Wazir Khalifah al-Radhi tahun 936.Sebelum dia tenggelam dalam karir filsafatnya, terlebih dahulu dia menjadi seorang qadhi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, al-Farabi kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat. Guru utama al-Farabi adalah Yuhanna ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, al-Farabi membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica Posteriora yang belum pernah dipelajari seorang Muslim pun sebelumnya di bawah bimbingan guru khusus. Dari fakta ini diyakini bahwa al-Farabi telah menguasai bahasa Siria dan Yunani ketika belajar kitab-kitab Aristoteles tersebut karena kitab tersebut baru diterjemah ke dalam bahasa Arab pada tahun-tahun setelah al-Farabi mempelajarinya dalam bahsa aslinya.

Setelah dari Merv, bersama gurunya ia berangkat ke Bagdad sekitar tahun 900. Pada masa kekhalifahan al-Muqtadir (908-932), bersama gurunya ia berangkat ke Konstantinopel untuk lebih memperdalam filsafat. Tapi, sebelumnya ia sempat singgah beberapa waktu lamanya di Harran. Pada rentang tahun 910-920 ia kembali ke Bagdad dan di sana ia menemui Matta ibn Yunus, seorang filosof Nestorian, telah memiki reputasi yang tinggi dalam bidang filsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya tentang logika Aristotelian. Segera ia bergabung menjadi murid Matta. Akan tetapi, kecemerlangan al-Farabi dengan singkat mampu mengatasi reputasi gurunya dalam bidang logika.

Pada akhir tahun 942, ia pindah ke Damaskus karena situasi politik Bagdad yang memburuk. Dia sempat tinggal di sana selama dua tahun dimana waktunya siang hari digunakan untuk bekerja sebagai penjaga kebun dan malam hari dihabiskan untuk membaca dan menulis karya-karya filsafat. Dengan alasan yang sama, ia pindah ke Mesir untuk pada akhirnya kembali lagi ke Damaskus pada tahun 949. Selama masa tinggal di Damaskus yang kedua ini al-Farabi mendapat perlindungan dari putra mahkota penguasa baru Siria, Saif al-Daulah (w. 967). Dalam perjumpaan pertamanya, Saif al-Daulah sangat terkesan dengan al-Farabi karena kemampuannya dalam bidang filsafat, bakat musiknya serta penguasaannya atas berbagai bahasa. Kehidupan sufi asketik yang dijalaninya membuatnya ia tetap berkehidupan sederhana dengan pikiran dan waktu yang tetap tercurah untuk karir filsafatnya. Akhirnya, pada bulan Desember 950, ia meninggal dunia di tempat ini (Damaskus) pada usia delapan puluh tahun.

Karya Dan Pemikiran Al-Farabi

Penulis biografinya paling awal bernama Said Ibn Said Al-Andalusi (w. 1070) menitikberatkan kontribusi Al-Farabi dalam bidang logika. Setelah belajar logika kepada Yuhanna Ibn Haylan, ia segera melampaui semua Muslim di bidang tersebut. Dia menjelaskan bagian-bagian samar dari (ilmu itu) dan berhasil mengungkapkan rahasia dalam buku-buku karyanya dengan ekspresi dan isyarat yang menarik perhatian. 

Karyanya yang berjudul The Enumeration of the Sciences (Ihsa al-Ulum) banyak dipuji ilmuwan sebagai ‘risalah tak tertandingi’ dan risalah-risalah yang sama mengagumkan tentang Philosophy of Plato and Aristotle pada metafisika dan politik, Civil Polity (al-Siyasah al-Madaniyah) dan Virtuous Regime (al-Sirah al-Fadilah). Risalah Al-Farabi yang paling terkenal berjudul The Virtuous City (Al-Madinah al-Fadilah). Menurut Said, risalah ini mewujudkan prinsip-prinsip dasar filsafat Aristoteles, fondasi bagi enam prinsip spiritual, dan bagaimana cara substansi jasmaniah berasal dari enam prinsip spiritual tersebut‎;  sebuah referensi yang hampir mirip dengan skema emanasi dari Plotinus (d. 270 ).

Informasi ini dilengkapi sumber-sumber referensi ketika Al-Farabi datang ke Damaskus, di sana ia bekerja sebagai penjaga kebun. Tak lama di situ, ia pindah ke Baghdad mengabdikan diri untuk mempelajari bahasa Arab yang tidak diketahuinya, walaupun ia fasih bahasa Turki serta banyak bahasa lainnya.

Di dalam karyanya yang berjudul On the Rise of Philosophy kita diberi tahu bahwa setibanya di Baghdad ia segera berkenalan dengan ahli logika terkemuka bernama Abu Bishr Matta (w. 911) dan ahli logika yang kurang dikenal bernama Yuhanna Ibn Haylan. Selain perjalanannya ke Mesir dan Ascalon, peristiwa yang paling berkesan dalam hidupnya adalah hubungannya dengan Saif Al-Daulah (w. 967) seorang penguasa Hamdani di Aleppo yang mencintai seni dan kaligrafi. Saif Al-Daulah menjunjung tinggi makna filosofis dari kebiasaan hemat dan sikap pertapa serta pada musik. Selain karya besar berjudul Musical Treatise (Kitab al-Musiqa al-Kabir), ditambah dengan karyanya mengenai ‎Melody (fi al-Iqa’) dan Transition to Melody (al-Nuqlah ila al-Iqa’) dan karya-karya musik lainnya. Al-Farabi dilaporkan menjadi musisi terampil. Ia bermain begitu mengesankan di hadapan Saif Al-Daulah yang menyebabkan pendengarnya tergerak untuk mengalirkan air mata. Tetapi ketika ia berubah lagu, mereka tertawa dan akhirnya jatuh tertidur, sehingga ketika ia pergi mereka tidak menyadarinya‎. Setelah kunjungannya ke Mesir pada tahun 949, ia kembali ke Damaskus sampai meninggal pada tahun 950.‎

Di dalam karyanya yang hilang berjudul Rise of Philosophy berisi informasi otobiografi tambahan. Setelah meninjau tahap filsafat Yunani melewati periode Klasik ke periode Alexandria, ia menjelaskan bagaimana pengajaran logika berpindah dari Alexandria ke Baghdad, di mana terdapat guru-guru terkenal seperti Ibrahim Al-Marwazi, Abu Bishr Matta dan Yuhanna Ibnu Haylan. Pengajaran logika telah dibatasi sampai dengan ‘akhir suasana hati eksistensial’ karena dianggap banyak mengancam keimanan. Al-Farabi muncul sebagai orang pertama yang melanggar tradisi logika dan melanjutkan bagian pertama dari Organon untuk studi Analytica Posteriora (‎Kitab al-Burhan)‎. Studi tentang logika Aristoteles sebenarnya telah dibahas dalam seminar-seminar Nestorian dan Jakobite di Suriah dan Irak mengenai empat bagian pertama dari logika itu; yaitu Isagogedari Porphyry, Categories, Interpretation (Peri Hermeneias) dan Analytica Priora yang dikenal dalam sumber-sumber Arab sebagai Kitab al-Qiyas.

Kesaksian penulis biografinya sendiri sangat konklusif dalam menyoroti peran Al-Farabi sebagai ahli logika besar pertama yang melampaui ilmuwan Muslim pendahulunya dan sarjana Kristen sezamannya seperti Yuhanna Ibn Haylan dan Abu Bishr Matta sebagai gurunya sendiri dalam logika.

Kesaksian ini diperoleh dari luasnya karya Al-Farabi dalam bidang logika. Karyanya mencakup serangkaian komentar besar (shuruh) pada Analytica Posteriora, Analytica Priora, Categories, Isagoge,Rhetorica dan On Interpretation (Syarh Kitab al-Ibarah) merupakan satu-satunya komentar yang masih bertahan‎. Harus ditambahkan pula karyanya dalam bentuk parafrase dari Analytica Posteriora,Analytica Priora, Topica, Isagoge, dan Sophistica, serta karyanya dalam Conditions of Certainty (Sharait al-Yaqin)‎. Namun, tulisan paling asli mengenai logika terdiri dari serangkaian risalah analitis yang dimaksudkan sebagai pengantar untuk mempelajari logika dengan pengecualian pada Isagoge karya Porphyry dan pendahuluan pada Categories yang tidak paralel dengan sejarah kuno atau abad pertengahan. Termasuk di dalamnya Introductory Treatise (Risalah fi al-Tawti’ah), Five Sections (al-Fusul al-Khamsah), Terms Used in Logic (al-Alfaz al-Musta’malah fi al-Mantiq) dan Book of Letters (Kitab al-Huruf).

Tulisan-tulisan Al-Farabi mengenai fisika dan meteorologi di antaranya Physics (al-Sama’ al-Tabi’i) mreupakan kitab yang dikenal dalam bahasa Arab, risalah mengenai Changing Entities (Fi al-Mawjudat al-Mutaghayrah), Heavens and the World (al-Sama wa al-Alam), Meteorology (al-Athar al-Ulawiyah), serta risalah mengenai Perpetuity of Motion dan Essence of the Soul (Fi Mahiyat al-Nafs). Adapula karya-karyanya dalam bidang alkimia dan astrologi, risalah yang paling penting mengenai On Valid and Invalid Astrological Inferences (Fi ma Yasuh wa la Yasuh min ‘Ilm Ahkam al-Nujum) yang mampu bertahan sampai sekarang. Ia juga menulis komentar yang dikenal dalam bahasa Arab sebagai al-Majasti karya dari Ptolemeus berjudul Almagest.

Karya-karya Al-Farabi mengenai metafisik dan metodologinya adalah Treatise on Metaphysics (Fi al-‘Ilm al-Ilahi), Harmony of the Opinions of Plato and Aristotle (Fi Ittifaq wa Ara Aflatun wa Aristutalis juga dikenal sebagai al-Jam Bain Ra’yai al-Hakimain),Name of Philosophy (Fi Ism al-Falsafah), Philosophy and its Genesis (Fi al-Falsafah wa sabab Zuburiha) dan puncak karyanya berjudul Enumeration of the Science (Ihsa al-Ulum)‎

Dalam bidang etika dan politik, sosok Al-Farabi juga memiliki keunggulan. Sejumlah karya telah dihasilkan berdasarkan sumber-sumber kuno. Daftar karyanya ini dimulai dengan Opinions of the Inhabitants of the Virtuous City (Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah), Civil Polity (al-Siyasah al-Madaniyah), Epitome of Plato’s Laws (Kitab al-Nawamis), Select Sections (Fusul Murtaza’ah min Aqawil al-Qudama’), Attainment of Happiness (Tahsil al-Sa’adah) dan risalah pendek berjudul Admonitionto Seek the Path of Happiness (al-Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah). Karyanya yang hilang berupa komentar mengenai Opening Parts of Aristotle’s Ethics (Syarah Shadr Kitab al-Akhlaq li-Aristutalis).‎

Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan  potensial  untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri.

Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.

Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial  menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect.

Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya.

Akhirnya, Al-Farabi juga cemerlang dalam teori dan praktek musik. Karyanya yang paling terkenal dan sampai kepada kita dalam bidang ini berjudul Large Music (Kitab al-Musiqa al-Kabir), ia juga menulis risalah pendek mengenai Melody (Fi al-Iqa’),Transition to Melody (al-Nuqlah ila al-Iqa’), dan A Short Discourse on Melody (Kalam fi al-Iqa’ Mukhtashar) yang tidak sudah tidak ada lagi.

Kata gitar atau guitar - dalam bahasa Inggris - diambil dari nama alat musik petik klasik Timur Tengah, abad ke-9 Masehi. Alat musik itu dikenal dengan sebutan siter atau sehtar yang menggunakan tiga dawai atau senar. Pada badan siter yang terbuat dari buah gourd yang dikeringkan terdapat rongga atau ruang resonansi.

Yang pertama kali menemukan alat musik petik itu adalah Al Farabi. Raksasa ilmu dan filsafat itu seorang sufi. Al-Farabi bernama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn al-Farakh al-Farabi. Lahir di Farab, Turki, tahun 870. Selain sebagai sufi dan filsuf, ia juga dikenal sebagai pakar musik. Al Farabi penemu not musik. Temuan itu ditulisnya dalam kitab ‘al-Musiqa al-Kabir’ (Buku Besar tentang Musik).

Buku yang membahas ilmu dasar musik itu telah menjadi rujukan penting bagi perkembangan musik klasik Barat. Dalam bukunya, Al Farabi memperkenalkan berbagai sistem pitch. Pengaruh karya Al Farabi berlangssung hingga abad 16. Kitab ‘al-Musiqa al-Kabir’ karya Al Farabi kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani oleh Ibn Aqnin (1160-1226). Adapun terjemahan kitab ‘al-Musica al-Kabir’ ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis dan De Ortu Scientiarum.

Dalam karya fenomenal itu, Al Farabi menulis bahwa musik dapat menciptakan perasaan tenang dan damai. Musik, juga mampu mengendalikan emosi, mengembangkan spiritualitas, dan menyembuhkan penyakit seperti gangguan psikosomatik. Di tangan Al Farabi, musik dapat menjadi alat terapi. Kitab lain buah karya Al Farabi di bidang musik adalah kitab ‘Fi al-Iqa’ dan ‘al-Nuqlah ila al-Iqa’. Al Farabi juga penemu alat musik bernama rababah (rebab) cikal bakal biola.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...