Senin, 25 Oktober 2021

Imam Abu Zur'ah Al-Razi Rh Yang Akhir Kalamnya Kalimah Tauhid


Abu Zur'ah ar-Razi dikenal juga sebagai Abu Zur’ah al-Kabir (Abu Zur'ah yang besar) (815/816 atau 809/810 – 878 M) ialah seorang ahli hadis Sunni dari abad ke-3 Hijriah. Nama lengkapnya ialah Ubaidulah bin Abdul Karim bin Yazid bin Faruh. Ia berasal, tinggal dan wafat di kota Ray, Persia. Ia merupakan saudara dari ahli hadits terkenal lainnya yang bernama Abu Hatim ar-Razi dan anaknya Ibnu Abi Hatim. Bedakan dia dengan tokoh Syiah Abu Zur’ah Ahmad bin Husain ar-Razi (yang dikenal sebagai Abu Zur'ah al-Razi al-Mutawassit (pertengahan) atau al-Saghir(yang kecil)).

Siapakah anak muda itu?

Siapakah dia yang membuat seorang Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah rela meninggalkan shalat-shalat sunnah dan hanya melaksanakan shalat wajib demi ber-mudzakarah (mengulangi hafalan) dengan anak muda itu?

Siapakah anak muda itu?

Siapakah dia yang saat berpamit kepada gurunya di Mesir, Yahya bin Abdillah bin Bukair, untuk kembali ke negeri asalnya, membuat sang guru bersedih dan merasa kehilangan? Sampai-sampai sang guru mengucapkan kata-kata yang begitu menyentuh hati, “Semoga saja Allah menggantikan dengan kebaikan untuk kami (yang engkau tinggalkan).”

Siapakah anak muda itu?

Siapakah dia yang membuat Ar Rabi’ bin Sulaiman, murid terdekat Imam Syafi’irahimahullah mengatakan, “Tidak ada ulama yang pernah kami temui semacam dia.”

Siapakah anak muda itu?

Siapakah dia yang disebut-sebut dalam pujian setinggi langit oleh seorang ulama besar di masanya, Yunus bin Abdul A’larahimahullah, “Terkenal di dunia melebihi dunia itu sendiri”?

Ya, dialah Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullah.

DISTRIK RAYY

Khurasan adalah wilayah Islam yang sangat luas. Batas wilayahnya sampai di perbatasan India dan dimulai dari Irak. Khurasan terdiri dari banyak distrik yang nama-namanya sangat tersohor dalam dunia Islam seperti Naisabur, Baihaq, Marwa, Sijistan, Haarah, Balkha, Sarakhsa, Nasa’ dan lain-lainnya. Ulama dan panglima Islam banyak yang berasal dari wilayah-wilayah tersebut.

Rayy termasuk dalam distrik-distrik di Khurasan tersebut. Letaknya hanya kurang lebih lima mil dari kota Teheran (Iran). Pada masa dahulu, Rayy terhitung sebagai kota termegah kedua setelah Baghdad. Dinding-dinding kotanya sangat kuat. Tanahnya yang subur menjadikan Rayy sebagai daerah penghasil macam-macam buah. Populasi penduduknya pun tergolong tinggi.

Dalam peta Islam, Rayy berada pada posisi strategis sehingga kaum muslimin yang hendak berhaji dari wilayah-wilayah gunung memilih Rayy sebagai salah satu titik persinggahan. Menurut sejarah gemilang Islam, kota Rayy berhasil ditaklukkan kaum muslimin dari Imperium Persia pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththabradhiyallahu ‘anhu sekitar tahun 19 atau 20 H. Sejak itulah, Rayy menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan pendidikan.

Sejumlah ulama besar Islam tercatat pernah mengunjungi Rayy untuk menimba ilmu dari ulama-ulama di sana. Sebut saja nama Sa’id bin Jubair, As Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Muhammad bin Ishaq bin Yasar, Al Kisa’i, dan Abdullah bin Al Mubarak. Sementara ulama-ulama Islam yang berasal dari Rayy pun cukup banyak, semisal Az Zubair bin Adi, Anbasah bin Sa’id Al Asadi, Syu’aib bin Khalid Ar Razi, Jarir bin Abdul Hamid, Hisyam bin Ubaidullah Ar Razi, dan Ibrahim bin Musa Ar Razi (Ar-Razi adalah nisbat kepada tempat ini).

KELUARGA BERPAYUNG ILMU DARI RAYY

Di distrik Rayy itulah terlahir sang pemuda yang namanya mengharumwangikan dunia dengan ilmunya. Nama lengkapnya adalah Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Farrukh. Beliau lebih akrab dan lebih dikenal dengan sebutan Abu Zur’ah Ar Razi. Begitu melekatnya sebutan itu, sampai-sampai di kalangan ulama Islam jika disebut nama Abu Zur’ah (tanpa ada tambahan apa pun) maka yang dimaksud adalah beliau. Padahal setidaknya ada 50 orang ulama yang menggunakan sebutan Abu Zur’ah.

Tahun kelahiran Abu Zur’ah menjadi bahan perdebatan di antara ulama sejarah. Sedikitnya ada empat pendapat dalam hal ini. Dari beberapa analisis tersebut, Imam Al Hakim menguatkan pendapat yang menyebutkan bahwa Abu Zur’ah lahir pada tahun 194 H. Wallahu a’lam.

Mendalami ilmu agama khususnya bidang hadits menjadi salah satu ciri khas yang dijaga secara turun temurun di dalam keluarga Abu Zur’ah. Ayah beliau, Abdul Karim bin Yazid juga termasuk alim ulama kota Rayy. Mencintai dan menggandrungi ilmu hadits sangat kuat ditanamkan oleh ayahnya kepada Abu Zur’ah. Maka tak heran jika sejak kecil Abu Zur’ah sering dibawa serta oleh ayahnya untuk menghadiri majelis-majelis tahdits (pembacaan riwayat hadits) di seputaran distrik Rayy.

FIRASAT SEORANG ULAMA BESAR

Dalam sebuah kesempatan, sang ayah mengajak Abu Zur’ah yang masih kecil ke majelis Imam Abdurrahman bin Abdillah Ad Dusytaki. Menyaksikan wibawa Ad Dusytaki, Abu Zur’ah kecil tidak berani mendekat. Hanya ayahnya saja yang kemudian menemui Ad Dusytaki. Setelah mengucapkan salam, ayah Abu Zur’ah mengambil posisi duduk di samping Ad Dusytaki. Sementara Abu Zur’ah hanya mencuri-curi pandang ke arah Ad Dusytaki.

“Siapakah anak kecil itu?” Ad Dusytaki bertanya kepada ayahnya.

Ayahnya menjawab, “Dia anakku.”

“Coba panggil dia kemari.” Pinta Ad Dusytaki.

Dengan rasa malu bercampur segan, Abu Zur’ah berangsur mendekat ke arah Ad Dusytaki. Sampai akhirnya Abu Zur’ah dipangku oleh Ad Dusytaki.

“Sungguh, putramu ini kelak akan menjadi orang besar, hafizhul Quran, menguasai ilmu, dan banyak hal.” Ujar Ad Dusytaki setelah memerhatikan Abu Zur’ah dengan saksama.

Subhanallah!

Firasat Ad Dusytaki benar-benar terwujud. Sejak kecil Abu Zur’ah telah tenggelam di dalam lautan ilmu. Tidak ada satu pun ulama di distrik Rayy melainkan telah didatangi oleh Abu Zur’ah kecil. Kecerdasan dan kekuatan hafalan Abu Zur’ah sangat membantu sehingga setiap ulama di Rayy berusaha mewariskan ilmunya kepada Abu Zur’ah.

Guru pertama beliau di dalam meriwayatkan hadits adalah Ibrahim bin Musa Ar Razi. Dari gurunya ini, Abu Zur’ah mencatat riwayat hadits dengan sanad hingga mencapai 100.000 riwayat. Padahal waktu itu usia Abu Zur’ah masih sangat belia.

Setelah menimba ilmu dari alim ulama distrik Rayy, tibalah saatnya Abu Zur’ah remaja menempa diri dalam sebuah tugas suci bertacuk rihlah thalabul ilmi. Tugas suci “rihlah” adalah sebuah proses yang harus ditempuh oleh setiap pemuda yang bercita-cita mulia menjadi seorang hamba kecintaan Allah dengan meninggalkan kampung halaman, menjelajah berbagai negeri demi menghimpun ilmu dan pengalaman sebanyak-banyaknya.

Keutamaan dan janji-janji pahala besar melalui wahyu langit untuk seorang ulama memotivasi kaum muda Islam di masa itu untuk berlomba-lomba rihlah thalabul ilmi, tak terkecuali Abu Zur’ah. Banyak riwayat menyebutkan bahwa rihlah pertama yang dijalani oleh Abu Zur’ah adalah perjalanannya ke kota Kufah. Di sana Abu Zur’ah menetap selama sepuluh bulan. Tahukan Anda berapa umur Abu Zur’ah ketika itu? Tiga belas tahun.

Silakan berdecak kagum. Silakan Anda menjawab pertanyaan ini, “Apa yang Anda lakukan pada saat Anda berusia tiga belas tahun?”

BERKELILING DUNIA

Pantas saja juka Abu Zur’ah dimasukkan dalam deretan ulama ar rahhalah al jawwaliin (sering rihlah dan banyak menjelajah). Tak terhitung lagi telah berapa kota dan negeri yang didatangi olehnya dalam proses rihlah. Qazwain, Naisabur, Baghdad, Kufah, Basrah, Wasith, Damaskus, ‘Asqalan, Beirut, dan Mesir hanyalah sebagian saja dari negeri-negeri yang pernah beliau jelajahi.

Perjuangan dan pengorbanan beliau di dalam rihlah tidak usahlah dibayangkan. Sebab, tidak semua orang langsung bisa membayangkannya. Panasnya siang semakin terasa berat jika diiringi oleh malam yang dingin. Ribuan bahkan puluhan ribu kilometer perjalanan dengan kaki ditempuh. Ancaman gangguan dari perampok dan penyamun dihadapi dengan tabah dan tawakal. Rindu kepada keluarga bagi beliau justru menjadi bumbu penyedap tugasrihlah.

Cobalah saja merenungi salah satu episoderihlah beliau!

Abu Zur’ah rahimahullah bercerita, “Aku menghabiskan waktu selama empat tahun lebih enam bulan dalam rihlah keduaku ke Syam, Irak, dan Mesir. Selama itu aku tidak pernah memasak barang seperiuk pun dengan tanganku sendiri.”

Masya Allah! Inilah ulama-ulama dunia yang dipilih Allah untuk menjaga kemurnian agama-Nya. Tugas yang berat nan suci membuat mereka bertekad untuk mengusir godaan-godaan dunia sejauh mungkin. Sebab dunia dan ilmu agama sulit dipersatukan.

TOKOH-TOKOH BESAR DI BALIK ABU ZUR’AH

Untuk memastikan bilangan dari jumlah ulama yang beliau pilih sebagai guru memang cukup sulit. Wajar saja hal ini sulit dilakukan jika membayangkan semangat dan kesungguhan beliau untuk menuntut ilmu. Sebagian guru, beliau ceritakan. Sebagian yang lain tidak dapat kita ketahui. Sejumlah pencatat sejarah menyebutkan ada 500 lebih guru beliau yang riwayatnya disampaikan kepada umat.

Berikut ini beberapa nama besar dalam kalangan ulama Islam yang menjadi guru Abu Zur’ah: Muhammad bin Sabiq, Abu Nu’aim, Ahmad bin Hanbal, Qurrah bin Habib, Al Qa’nabi, Khallad bin Yahya, ‘Amr bin Hasyim, Isa bin Mina Qalun, Ishaq bin Muhammad Al Farawi, Abdul Aziz bin Abdullah Al Uwaisi, Yahya bin Bukair, Abdul Hamid bin Bakkar, Shafwan bin Shalih, dan lain-lain.

KEAJAIBAN HAFALAN

Imam Ahmad terhitung sebagai guru terdekat Abu Zur’ah. Seorang guru tentu sangat memahami keistimewaan dan kelebihan murid-muridnya. Inilah salah satu pengakuan Imam Ahmad kepada muridnya Abu Zur’ah.

Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Hadits shahih jumlahnya ada 700.000 lebih. Sementara pemuda ini –yaitu Abu Zur’ah- telah menghafal 600.000 hadits.”

Tidak perlu heran! Jangan terkejut! 600.000 hadits bukanlah sesuatu yang sulit bagi Abu Zur’ah untuk menghafalnya. Cobalah simak penuturan Abu Zur’ah berikut ini.

“Setiap kali telingaku mendengar ilmu, hatiku pasti langsung mengukirkannya dengan kuat. Seringkali aku harus menutup kedua telingaku jika melewati pasar kota Baghdad karena melintas di depan toko-toko yang memperdengarkan suara kaum perempuan yang menyanyi. Aku khawatir jika aku mendengarnya, hatiku pun langsung mengukirkannya dengan kuat.”

Subhanallah!

Silakan juga Anda menakar diri dengan kisah Abu Zur’ah yang lain.

Abu Zur’ah rahimahullah bercerita, “Sungguh, di dalam rumahku ada beberapa buah kitab yang aku tulis sejak lima puluh tahun yang lalu. Hingga hari ini tidak pernah sekali pun aku membukanya kembali. Meskipun demikian aku mampu mengingat (tulisan itu) berada pada kitab yang mana, pada kertas ke berapa, halaman berapa, dan baris yang ke berapa.”

Luar biasa bukan? Demikianlah Allah menjaga kemurnian Islam dengan membangkitkan kaum ulama yang mempunyai banyak keajaiban. Simak juga sebuah pengakuan dari Abu Zur’ah berikut ini.

Abu Zur’ah rahimahullah mengatakan, “Aku hafal 600.000 hadits shahih, 14.000 sanad khusus dalam bidang tafsir dan qira’ah, dan 10.000 hadits yang dipalsukan.” Ada yang bertanya, “Apa manfaatnya Anda menghafal hadits-hadits palsu?” “Jika suatu saat aku menemukannya, aku akan segera mengetahuinya.”

PENGAKUAN KAUM ALIM ULAMA

Pengakuan ulama atas keilmuan dan kehebatan Abu Zur’ah tentu menjadi sesuatu yang bersifat niscaya. Untuk menukil pujian dan sanjungan ulama terhadap beliau tentulah tidak cukup jika hanya dalam beberapa halaman saja. Namun berikut ini sekelumit dari sanjungan ulama sengaja penulis pilihkan untuk pembaca agar bersam kita mengakui kedudukan beliau di dalam Islam.

Ahmad bin Hanbal memuji, “Tidak pernah ada seorang pun yang pernah melintasi Jisr(jembatan penghubung antara Irak dan Khurasan) lebih fakih dibandingkan Ishaq dan lebih hafizh dibandingkan Abu Zur’ah.”

“Aku tidak pernah menyaksikan orang sehebat dia.” Demikian Abu Mush’ab menyanjung Abu Zur’ah.

Ar Rabi’ bin Sulaiman menyatakan, “Abu Zur’ah termasuk tanda-tanda kebesaran Allah.”

Simak juga pengakuan seorang ulama besar bernama Ishaq bin Rahawaih tentang keilmuan Abu Zur’ah, “Sebuah hadits yang tidak diketahui oleh Abu Zur’ah, maka hadits tersebut pasti tidak memiliki dasar riwayat.”

Salah seorang muridnya yang bernama Abu Ya’la Al Maushili bercerita, “Setiap kali kami mendengar kehebatan seseorang di dalam kekuatan hafalan, pasti hanya lebih besar ceritanya daripada yang sesungguhnya. Kecuali Abu Zur’ah. Sungguh, bisa melihatnya saja lebih berharga dari sekadar mendengar namanya.”

Kawan akrabnya di dalam rihlah thalabul ilmi, Abu Hatim Ar Razi menegaskan, “Jika engkau melihat seseorang dari penduduk Rayy atau dari tempat lain membenci Abu Zur’ah, maka yakinlah bahwa orang itu adalah seorang ahli bid’ah.”

Imam Ahmad pernah berdoa dengan mengangkat kedua tangannya. Di dalam doa tersebut Imam Ahmad mendoakan kebaikan untuk Abu Zur’ah. “Ya Allah tolonglah dirinya dari setiap orang yang hendak berbuat jahat kepadanya. Ya Allah berikanlah‘afiyah untuk dirinya. Ya Allah jauhkanlah bala dari dirinya.” Dan masih banyak lagi doa yang diucapkan Imam Ahmad untuk Abu Zur’ah.

Salah seorang murid Imam Ahmad yang mendengarkan doa tersebut lalu menceritakannya kepada Abu Zur’ah saat tiba di Rayy.

“Setiap kali ditimpa cobaan, aku selalu mengingat doa Imam Ahmad. Dan aku selalu berprasangka baik. Bahkan dengan sebab doa Imam Ahmad, Allah pun memberikan jalan keluar untukku dari cobaan tersebut.”

Sebagian ulama Salaf menyatakan, “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu seringkali disebut sebagai orang yang paling mirip dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akhlak dan perilaku. Abdullah (Ibnu Mas’ud) sendiri menilai bahwa orang yang paling mirip dengannya dalam hal akhlak dan perilaku adalah ‘Alqamah. Yang dinilai ‘Alqamah sebagai orang yang paling mirip dengannya adalah Ibrahim An Nakha’i. Kemudian begitu seterusnya, dari Ibrahim An Nakha’i kemudian Manshur bin Al Mu’tamir lalu Sufyan At Tsauri kemudian Waki’ bin Al Jarrah lalu Ahmad bin Hanbal kemudian Abu Zur’ah Ar Razi. Sementara Abu Zur’ah menilai Abdurrahman bin Abi Hatim sebagai orang yang paling mirip dengannya.”

Abdullah bin Ahmad berkata :
“Tatkala Abu Zur’ah datang ke tempat kami, ayahku (Imam Ahmad) berkata padaku : “Wahai anakku, saya mengganti amalan sunnahku dengan saling menghafal hadits dengan syaikh ini (Abu Zur’ah)”.‎

Shalih bin Muhammad Jazrah berkata :
“Saya mendengar Abu Zur’ah berkata : Aku meriwayatkan hadits dari Ibrahim bin Musa ar-Razi seratus ribu hadits, dan dari Abu Bakar bin Abi Syaibah seratus ribu hadits”. Aku bertanya padanya : “Telah sampai padaku bahwasanya engkau hafal seratus ribu hadits, apakah engkau sanggup mendiktekan untukku seribu hadits yang engkau hafal? Abu Zur’ah menjawab : “Tidak, akan tetapi jika disampaikan kepadaku (hadits) aku hafal riwayatnya”.
Abdurrahman bin Abi Hatim berkata :
“Aku berkata kepada Abu Zur’ah : Apakah boleh aku menulis seratus ribu hadits yang diriwayatkan Ibrahim bin Musa?” ia menjawab : “Seratus ribu itu banyak”. Aku bertanya lagi : “Kalau lima puluh ribu?” ia menjawab : Ya, enam puluh ribu dan tujuh puluh ribu”.‎

Abu al-Abbas Muhammad bin Ja’far bin Hamkawaihberkata :
Abu Zur’ah pernah ditanya tentang seorang yang bersumpah untuk bercerai bahwa Abu Zur’ah hafal dua ratus ribu hadits, apakah ia boleh melanggar sumpah? Lalu Abu Zur’ah menjawab : “Saya hafal dua ratus ribu hadits, sebagaimana kalian hafal surat al-Ikhlas. Dan setelah mengulangi pelajaran saya mampu hafal tiga ratus ribu hadits”.‎

Ibnu Abi Hatim berkata :‎

Abu Zur’ah berkata : “Saya heran terhadap orang yang berfatwa dalam masalah talak dan ia hanya hafal kurang dari seratus ribu hadits.”‎

Ibnu Abi Syaibah berkata :‎

“Saya tidak pernah melihat seorang yang lebih hafal daripada Abu Zur’ah”.‎

Muhammad bin Muslim bin Warah berkata :‎

Saya pernah berada di kota Naisabur ( ( نيسابور di tempat Ishaq, lalu ada seseorang dari Irak berkata : “Saya mendengar Ahmad bin Hanbal berkata : Hadits yang shahih adalah tujuh ratus ribu dan lebih, dan pemuda ini – yang dimaksud olehnya adalah Abu Zur’ah – telah hafal enam ratus ribu hadits”.‎

Muhammad bin Ishaq as-Shaghani berkata :
Abu Zur’ah menyerupai Ahmad bin Hanbal.”


Ali bin al-Husein bin al-Junaid berkata :
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui hadits riwayat Malik bin Anas dari Abu Zur’ah, demikian pula seluruh ilmu.”‎

Ibnu Jausa berkata :‎

Saya mendengar Abu Ishak al-Jauzajani berkata : Kami pernah berada di tempat Sulaiman bin Abdurrahman, dan ia tidak mengizinkan kami menemuinya selama beberapa hari, setelah itu kami menemuinya. Kemudia ia berkata : Telah sampai berita kepadaku datangnya pemuda ini yaitu Abu Zur’ah, maka akupun mempelajari tiga ratus ribu hadits untuk bersiap-siap menemuinya”.
Seorang ulama yang paling kuat hafalannya‎

Ditanyakan kepada Abu Bakar bin Abi Syaibah :

“Siapa orang yang paling hafal (hadits) yang pernah engkau lihat?” ia menjawab : “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih hafal (hadits) daripada Abu Zur’ah ar-Razi.‎

Ibnu Abi Hatim berkata :‎

Ayahku pernah ditanya tentang Abu Zur’ah. Lalu ia menjawab : “Abu Zur’ah adalah seorang Imam.”‎

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata :
Saya mendengar ayahku berkata : “Tidak ada seoranpun yang lebih alim dalam masalah fikih daripada Ishak bin Rahawaih, dan tidak ada seorangpun yang lebih hafal dari Abu Zur’ah.”
Abu Ya’la al-Mushili berkata :
“Aku tidak pernah mendengar seorangpun namanya terkenal lantaran hafalannya, melainkan namanya lebih besar dari sosoknya tatkala dilihat, kecuali Abu Zur’ah ar-Razi, sesungguhnya sosoknya lebih agung daripada namanya, ia telah menghafal bab-bab, para periwayat hadits, dan tafsir. Kami telah menulis enam ribu hadits pilihannya.”‎

Ishaq bin Rahawaih berkata :‎

“Setiap hadits yang tidak diketahui Abu Zur’ah ar-Razi maka hadits itu tidak berdasar.”‎

Abu al-Abbas ats-Tsaqafi berkata :
Tatkala Qutaibah bin Said pergi ke kota Roi, penduduknya meminta kepadanya untuk membacakan hadist yang ia hafal (agar mereka dapat meriwayatkan hadits darinya, namun Qutaibah tidak melakukannya), ia berkata : Saya akan mengajarkan hadits kepada kalian setelah kalian belajar hadits dalam majelis Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in, Ibnu al-Madini, dan Abu Bakar bin Abi Syaibah, (Abu Qaitsamah}? Merekapun berkata padanya : “Sesungguhnya di kota kami ada seorang pemuda yang mampu meriwayatkan hadits dari mereka, (lalu mereka menyuruh Abu Zur’ah untuk membaca hadits yang ia hafal dari para ulama hadits tersebut) : Bangunlah Abu Zur’ah, bacakan hadits yang engkau hafal!”. Kemudian setelah itu Qutaibah mengajarkan kepada mereka hadits.‎

Abu Ali Jazarah berkata : Abu Zur’ah berkata padaku :‎

“Mari kita pergi ke Sulaiman asy-Syadzakuuni untuk belajar hadits. Lalu kamipun pergi. Maka Abu Zur’ah belajar kepada asy-Syadzakuuni hingga asy-Syadzakuuni kelelahan dari hafalannya, tatkala Abu Zur’ah memayahkannya, asy-Syadzakuuni menyebutkan hadits yang diriwayatkan para periwayat hadits dari kota ar-Roi, dan Abu Zur’ah tidak mengetahui riwayat hadits ini. Lalu Sulaiman asy-Syadzakuuni berkata padanya : Subhanallah, engkau tidak mengetahui hadits yang diriwayatkan periwayat hadits kotamu, hadits ini diriwayatkan dari kotamu? Abu Zur’ah terdiam {dan asy-Syadzakuuni membuatnya malu} dan memperlihatkan pada yang hadir bahwa Abu Zur’ah tidak mampu meriwayatkan hadits itu. Tatkala kami telah keluar, saya melihat Abu Zur’ah bersedih, dan berkata : “Mengapa saya tidak tahu hadits itu riwayat siapa”. Lalu aku katakan padanya : ” asy-Syadzakuuni menyebutkan hadits itu agar engkau tidak mampu dan malu (setelah melihat hafalan Abu Zur’ah sangat kuat). Abu Zur’ah berkata : “Jadi begitu”. Aku menjawab : Ya. Mendengar hal ini kesedihannya hilang.

WARISAN MURID DAN KARYA TULIS

Ketenaran Abu Zur’ah di dalam ilmu hadits telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Tak heran, ribuan para penuntut ilmu sengaja datang ke Rayy untuk menimba ilmu secara langsung dari beliau. Tidak sedikit pula murid-murid beliau yang akhirnya menjadi ulama besar seperti sang gururahimahullah.

Dari deretan murid-murid beliau tercatat nama Imam Muslim, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ishaq bin Musa, Abu Hatim, Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Ibrahim Al Harbi, Muhammad bin ‘Auf, Sa’id bin ‘Amr Al Adzru’i, Shalih Jazarah, Abdurrahman bin Abi Hatim, Abu ‘Awanah, dan lain-lain.

Keilmuan Abu Zur’ah benar-benar diakui oleh ulama Islam. Sebagai buktinya adalah beberapa guru beliau juga meriwayatkan hadits dari Abu Zur’ah semisal Ar Rabi’ bin Sulaiman, Harmalah bin Yahya, Muhammad bin Humaid Ar Razi, ‘Amr bin Ali, dan Yunus bin Abdul A’la.

Adapun warisan ilmu dari Abu Zur’ah dalam bentuk karya tulis sangat banyak. Al Hafizh Al Khalili menggambarkannya dengan kata-kata indah, “Kelebihan Abu Zur’ah terlalu banyak untuk dihitung. Karya-karya yang dihasilkanya tidak ada yang mampu menyainginya.”

Karya-karya beliau antara lain: Fawaid Ar Raziyin, Al Fawaid, Al Fadhail, Dalail Nubuwwah, As Siyar, Al Mukhtashar, Az Zuhd, Al Ath’imah, Al Faraidh, As Shaum, Al Adab, Al Wudhu’, As Syuf’ah, Al Afrad, Al ‘Ilal, Al Jarh wat Ta’dil, At Tafsir, As Shahabah, Al Musnad, dan lain-lain

USIA MANUSIA ADA BATASNYA

Hari-hari di dunia memang terasa sangat pendek jika kita memandangnya jauh ke belakang. Namun bagi para perindu surga, hari-hari di dunia amatlah terasa panjang. Apalagi mereka yang sangat-sangat merindukan perjumpaan dengan Allah.

Tahukah Anda bagaimana keadaan Abu Zur’ah kala menghadapi kematian?

Lisannya terus menerus berdzikir kepada Allah. Begitu tenangnya beliau menghadapi kematian. Nampak sekali kerinduannya untuk segera berjumpa dengan Allah. Abu Zur’ah mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya hamba Mu ini sangat rindu untuk memandang Mu. Jika Allah bertanya kepadaku, ‘Amalan apa yang engkau punya hingga merindukan diri Ku?’ ‘Dengan mengharap akan rahmat Mu.’ Demikian akan aku jawab.”

Subhanallah!

Seperti itulah seorang hamba yang mukmin. Saat ajal datang adalah saat yang menentukan. Semua amal usaha seorang hamba sepanjang hidupnya akan terlihat jelas saat nafas terakhir berhembus.

Ya. Abu Zur’ah menghadapi kematian dengan husnuzhan! Beliau meninggal dunia dalam keadaan menderita sakit perut. Dan kening beliau dibasahi oleh keringat-keringat dingin. Ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu riwayat Tirmidzi:
مَوۡتُ الۡمُؤۡمِنِ بِعَرَقِ الۡجَبِينِ
“Kematian seorang mukmin itu diiringi oleh keringat di kening.”

Sejumlah ulama besar turut berkumpul di kediaman Abu Zur’ah pada detik-detik menjelang wafatnya. Di hadapan Abu Zur’ah mereka teringat hadits Rasulullah yang menganjurkan agar mentalqinkan kalimat syahadat untuk seseorang yang akan meninggal dunia. Namun mereka segan untuk melakukannya kepada Abu Zur’ah. Bagaimana tidak? Abu Zur’ah adalah seorang ulama besar!

Akhirnya, mereka yang hadir menggunakan sebuah cara yang dipandang halus. Ada yang mengatakan, “Marilah kita membaca hadits tentang keutamaan kalimat syahadat.”

Namun, setiap orang yang membaca sanad hadits tersebut selalu terhenti dan tidak mampu untuk melanjutkannya sampai selesai.

Pada saat itulah Abu Zur’ah membaca haditsMu’adz bin Jabal dengan sanad yang lengkap sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
مَنۡ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الۡجَنَّةَ
“Siapa saja yang ucapan terakhirnya adalah “Laa Ilaaha Illallah”, maka ia akan masuk surga.” [H.R. Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah].

Setelah selesai membaca hadits tersebut. Abu Zur’ah pun meninggal dunia. Seketika itu juga!

Duhai manis dan indahnya kehidupan beliau! Hari-hari dihiasi dengan ilmu dan ibadah. Kemudian pada saat nafas terakhir berhembus, hadits tentang keutamaan kalimat syahadat yang beliau ucapkan!

Ah, bagaimana dengan kita nantinya? Ya Allah, karuniakanlah husnul khatimah untuk kami. Ya Allah kami berlindung kepada Mu dari su’ul khatimah. Amin yaa Arhamar Raahimiin.

Ya Allah….. jadikanlah akhir ucapan kami, laa ilaaha illallah.

عَلَيْكَ بِأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ فَإِنَّهُمْ

خِيَارُ عِبَادِ اللهِ فِي كُلِّ مَحْفِل

وَلاَ تَعْدُوَن عَيْنَاكَ عَنْهُمْ فَإِنَّهُمْ

نُجُوْمُ الْهُدَى فِي أَعْيُنِ الْمُتَأَمِّل

جَهَابَذَة شَمِّ سُرَاة فَمَنْ أَتَى

إِلَى حَيِّهِمْ يَوْمًا فَبِالنُّوْرِ يَمْتَلِي

لَقَدْ شَرَقَتْ شَمْسُ الْهُدَى فِي وُجُوْهِهِمْ

وَقَدْرُهُمْ فِي النَّاسِ لاَ زَالَ يَعْتَلِي

فَلِلَّهِ مَحْيَاهُمْ مَعًا وَمَمَاتُهُمْ

لَقَدْ ظَفَرُوْا إِدْرَاكَ مَجْدِ مُؤَثَّل

وَقَالَ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيُّ مَقَالَةً

غَدَتْ مِنْهُمْ فَخْرًا لِكُلِّ محصل

أَرَى الْمَرْءَ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيْثِ كَأَنَّهُ

رَأَى الْمَرْءَ مِنْ صَحْبِ النَّبِيِّ الفَضْل

عَلَيْهِ صَلاَةُ اللهِ مَا ذَرَّ شَارِق

وَآلِ لَهُ وَالصَّحْبِ أََهْْلِ التَّفَضّل


Hendaknya engkau mengikuti petunjuk ahli hadits‎
Karena mereka adalah hamba Allah pilihan‎
Janganlah engkau palingkan kedua matamu dari mereka‎
Karena mereka laksana bintang-bintang yang memberi petunjuk pada setiap orang yang memperhatikan‎‎
Mereka adalah para ahli peneliti‎
Barangsiapa suatu hari dapat berjumpa dengan mereka, maka iaakan diterangi dengan cahaya‎‎
Matahari petunjuk telah menyinari wajah-wajah mereka‎
Sedangkan kedudukan mereka senantiasa mulia di tengah-tengah masyarakat‎
Kehidupan dan kematian mereka untuk Allah‎
Dan mereka telah sukses memperoleh kemuliaan yang sebenarnya‎

Al-Imam Syafii mengatakan dalam suatu ucapan‎
Yang menjadi kebanggaan bagi orang yang mencapainya‎
Jika aku melihat ahli hadits seolah-olah‎
Melihat sahabat Nabi yang mulia‎
Shalawat Allah untuk Nabi, keluarga dan sahabat beliau yang mulia‎
Selama matahari terbit‎

Al-Imam Ibnu Abi Hatim Ar-Razi Sang Kritikus Hadits


Secara kasat mata, aktivitas kritik Hadis senantiasa diarahkan kepada kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad diarahkan pada penilaian kualitas para perawi dan metode yang digunakannya. Kritik sanad bertujuan untuk melihat apakah kredibilitas para perawi diakui dan apakah instrumen penerimaan dan pemberian Hadis menunjukan otentisitas Hadis Nabi. 
Disebabkan kritik sanad bertujuan memberikan penilaian terhadap kualitas para perawi, maka diperlukan seperangkat aturan dan kaidah dalam menilai kualitas para perawi. Dalam terminologi ilmu Hadis, hal-ihwal yang berkaitan dengan aktivitas memberi penilaian terhadap perawi ataupun melakukan kritik sanad populer dengan sebutan ilmu al-jar wa ta'dil. 
Muhammad 'Ajjaj Al-Khatib, sebagai misal, mendefinisikan ilmu al-jar wa takdil sebagai ilmu yang membahas para perawi dari segi diterima atau tidaknya periwayatan para erawi tersebut. Membicarakan ilmu al-jarh wa takdil tentu tidak luput dari membicarakan sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi. Karena Ibn Abi Hatim, menurut penilaian ulama, dikenal sebagai salah seorang yang peletak dasar bagi disiplin keilmuan yang berkaitan dengan diri para perawi tersebut. 
Tulisan  ini mencoba membahas sekilas tentang pemikiran Hadis Ibn Abi Hatim Al-Razi. Mengikuti pendapat Ali Syariati, sebagaimana yang dikutip Mukti Ali, untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang seorang tokoh, hal yang tidak boleh luput dari sorotan adalah membaca pikiran-pikiran sang tokoh berupa karya-karyanya atau karya-karya orang lain tentangnya dan meneliti biografi sang tokoh. Tak terkecuali sosok Ibn Abi Hatim Al-Razi. 

Beliau adalah seorang Hafidz, kritikus, muhadits, ahli tafsir, Al ‘Allamah Al Imam Abi Hatim ar-Razi merupakan seorang ulama besar, terutama dalam bidang tafsir.

Nama lengkap beliau adalah al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim bin Idris bin al-Mundzir al-Handzali ar-Razi. lebih dikenal dengan panggilan Abi Hatim ar-Razi. Dilahirkan di kota Handzalah ar-Razi pada tahun 240 H/ 854 M, dan wafat pada tahun 327 H/ 937 M, dalam usia mencapai 90 tahun.

Hikmah terbesar bagi kita dari sosok Alim Hafizh seperti Ibnu Abi Hatim adalah penuturan beliau yang berkaitan dengan pentingnya tarbiyah pendidikan anak. Pendidikan yang harus dimulai dengan sesuatu yang paling penting yaitu menghafal, mempelajar al-Qur-an. Hal ini sebagaimana penuturan beliau:

لَمْ يَدَعْنِى أَبيِ أَشْتَـغِلُ فِي الحَدِيثِ حَتّىَ قَرَأتُ الْقُرْآنَ عَلَى الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانِ الرّازِي ثُمّ كَتَبْتُ الحَدِيثَ

Ibnu Abi Hatim berkata, "Aku tidak dibiarkan oleh Bapakku untuk sibuk dalam mempelajari hadits sampai aku selesai mempelajar Qur-an dari Al-Fadl bin Syadzani ar-Razi baru kemudian aku (diperbolehkan) menulis hadits." (Lihat Thobaqat asy-Syafiíyah al-Kubro oleh As-Subki 3/325 )

Setelah itu beliau langsung belajar kepada ayahnya Imam Abu Hatim Ar Rozi dan Imam Abu Zur’ah serta selain keduanya yang termasuk muhaddits negeri Ray.

Beliau berkata tentang dirinya , “Aku pernah rihlah bersama ayahku di tahun 255 Hijriyah. Sebelumnya aku belum pernah ‘mimpi’. Ketika sampai di Dzul Hulaifah, aku ‘bermimpi’, maka ayahku gembira karena aku telah mendapatkan hujjah Islam. (Baligh -red)”. Beliau berkata lagi, “Kami berada di Mesir 7 bulan, tidak pernah makan kuah. Siangnya kami mengunjungi para syaikh. 

Malamnya kami mencatat dan berdiskusi. Pada suatu hari aku dan temanku mendatangi seorang Syaikh. Di perjalanan aku melihat ikan. Ikan itu membuat aku kagum. Maka kami beli. Ketika sampai di rumah, tiba waktu kami mengunjungi majelis sebahagian Syaikh. Maka kami berangkat meninggalkan ikan tesebut demikian sampai 3 hari. Ketika kami memakannya, beliau berkata: Ilmu tidak didapat dengan badan yang santai”
Imam Abi Hatim ar-Razi memulai karir intelektualnya dengan pengembaraan ke berbagai negeri dalam rangka menuntut ilmu dan mencari sanad-sanad sumber hadits yang lebih dekat dengan sumber periwayatan hadits dari para Shahabat Nabi Saw. Bertahun-tahun beliau melakukan pencarian dan penelitian terhadap sanad-sanad hadits tersebut hingga akhirnya dia menemukan dari berbagai sumber periwayatan yang diterimanya dari para gurunya.

Diantara guru-guru yang menjadi sumber periwayatan hadits nya adalah Abi Sa'id al-Asybah, 'Ali bin al-Mundzir at-Thariqi dan Abi Zar'ah. menurut riwayat dari Abu Ya'la, Abi Hatim juga menerima periwayatan hadits dari ayahnya sendiri.

Bagi imam Abi Hatim ar-Razi, ayahnya bukan hanya sekedar orang tua kandungnya, melainkan juga seorang guru yang sangat di hormatinya. ayahnya selalu membimbing dan mendidiknya dengan membekalinya ilmu-ilmu agama dan suri tauladan yang baik, bahkan selama masa hidupnya, ayah Abi Hatim ar-Razi sering menemani perjalanan ilmiah anaknya untuk mencari sanad-sanad hadits.

Abi Hatim ar-razi berada dalam bimbingan dan kawalan ayahnya selama kurang lebih 20 tahun. setelah itu dia melanjutkan perjalanan ilmiahnya untuk mencari ilmu dan sanad hadits tanpa ditemani oleh ayahnya. beliau melakukan perjalanan ilmiah ke beberapa negara, diantaranya Syam, Mesir dan Ashfahani.

‎Pada tahun 262 H/875 M, Ibn Abi Hatim melakukan perjalanan ilmiah lagi. Perjalanan kedua ini dilakukannya tanpa ditemani sang ayah karena ia telah sewasa dan telah memiliki pengetahuan di bidang keagamaan, termasuk Hadis. Tujuannya adalah mengunjungi Mesir dan Syria. Di Mesir ia mengunjungi beberapa ulama terkemuka di Fustal dan Aleksandria. Salah seorang ulama yang didatangi Ibn Abi Hatim adalah Al-Rabi' ibn Sulaiman, salah seorang ulama garda depan yang bermastautin di Fustal dan penyebar pandangan-pandangan Imam Syafii. Guru Ibn Abi Hatim yang bernama Abu Zur'ah juga pernah belajar kepada Al-Rabi' ibn Sulaiman untuk menyalin karya-karya Imam Syafii yang dimiliki Al-Rabi'. 
Selain Al-Rabi', di Mesir Ibn Abi Hatim juga berguru kepada dua orang kakak beradik, yaitu ahli fikih Muhammad ibn Abdullah ibn Al-Hakam dan sejarawan Abdurrahman ibn Abdullah ibn Al-Hakam. Keduanya adalah putra yuris Islam terkemuka di Mesir, yaitu Abdullah ibn Al-Hakam (155-214 H/772-829 M). Kemudian, Ibn Abi Hatim melanjutkan perjalanan ke Beirut dan mengambil jalan melingkar melalui Bagdad untuk menuju kota kelahirannya, Rayy.
Perjalanan ilmiah terakhir Ibn Abi Hatim dilakukannya pada tahun 264 H/877 M. Kali ini yang menjadi tujuannya adalah Kota Isfahan. Di kota ini, Ibn Abi Hatim mengunjungi Salih, salah seorang dari putra Ahmad ibn Hanbal yang menjadi qadi di Isfahan. Laiknya anak Ahmad ibn Hanbal lainnya, yaitu Abdullah yang ditemuinya ketika melakukan perjalanan ilmiah yang pertama bersama ayahnya ke Bagdad, Salih juga berperan penting dalam mewarisi ajaran-ajaran dan menyebarkan secara luas pandangan-pandangan keagamaan ayahnya, Ahmad ibn Hanbal. Dari Salih, Ibn Abi Hatim belajar dan beroleh tentang pandangan-pandangan kritik Ibn Al-Madini. Yunus ibn Hahbib Al-Isfahani dan Usayd ibn 'Ashim adalah di antara ulama lain yang dikunjungi Ibn Abi Hatim di Isfahan. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Ibn Abi Hatim kembali ke Rayy dan di sana hingga wafatnya pada bulan Muharam tahun 327 H/938 M. 
Menurut Abu Ya'la al-Khalili, Imam Abi Hatim ar-Razi adalah seorang ulama yang sangat mendalam dalam ilmu agama, khususnya dalam bidang Rijal al-Hadits, sejarah para Shahabat dan Tabi'in bahkan juga dalam bidang Fiqh. sehingga tidak mengherankan jika beliau banyak menghasilkan kitab-kitab yang sangat bermutu baik dalam bidang Tafsir al-Qur'an maupun Ilmu Hadits.

Murid-Murid Beliau

Sebagai seorang Ulama besar, Imam Abi Hatim ar-Razi juga berhasil mencetak murid-murid yang kemudian juga menjadi ulama besar. diantara murid-murid beliau adalah :

1. Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Basati (wafat tahun 354 H).
2. Abdullah bin 'Adi al-jurjani (wafat tahun 365 H)
3. Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Hibban (wafat tahun 369 H)
4. al-Qadhi Yusuf bin al-Qasim al-Mayanaji (wafat tahun 375 H)
5. Muhammad bin Ishaq an-Naisaburi, dikenal sebagai al-Hakim al-Kabir (wafat tahun 378 H)
6. Muhammad bin Ishak bin Mundah (wafat tahun 395 H)

Imam Abi Hatim ar-Razi menghasilkan banyak karya berupa kitab yang masih terdokumentasi sampai sekarang, diantaranya :

1. Adab al-Imam as-Syafi'i wa manaqibuhu
2. Bayan Khatha Muhammad bin Isma'il al-Bukhari fi Tarikhihi
3. al-Ma'rifat
4. Zuhdat Tsamaniyah min at-tabi'in
5. Ushulussunnah wa I'tiqad ad-Din
6. Fadlailal-Imam Ahmad
7. Fawaid ahli ar-Ra'yi
8. al-Jahr wat Ta'dil (9 jilid) ‎Adz Dzahabi berkata tentangnya, ”Beliau dianggap kuat dalam hafalan.”
9. Kitab at-Tafsir (4 jilid) 
10. ar-Radd 'ala Jahmiyah
11. 'Ilal al-Hadits
12. al-Marasil
13. Zuh at-Tsamaniyah min at-Tabi'in.

Adapun karya beliau dalam bidang tafsir al-Qur'an adalah kitab Tafsir al-Qur'an al 'Azhim dikenal juga dengan nama Tafsir Ibn Abi Hatim ar-Razi Musnadan 'an ar-Rasul Saw wa as-Shahabah wa at-Tabi'in sebanyak 2 jilid. Kitab ini merupakan kitab tafsir bil ma'tsur yang paling banyak di rujuk oleh para mufassir dari kalangan ahlussunnah wal jama'ah, diantaranya oleh Ibnu Katsir dengan kitabnya Tafsir Ibn Katsir, Imam as-Suyuti dengan kitab Tafsir ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir bi al-Mansur dan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab al-Fathu wa al-Badru fi 'Umdatul Qari.

Sebagai salah seorang ulama terkemuka di bidang Hadis dan pandangan-pandangannya sangat berpengaruh hingga saat ini, Ibn Abi Hatim terkenal sebagai salah seorang yang ulama produktif menulis. Mengikuti temuan Eerick Dickinson, karya-karya ulama hadis ini dapat dikatupkan ke dalam tiga kategori. Pertama, karya-karya dalam kritisisme Hadis. Di antara karya Ibn Abi Hatim di bidang ini adalah Bayan Khata' Muhammad ibn Ismail Al-Bukhari fi Al-Tarikh, 'Ilal Al-Hadits, Kitab Al-Jarh wa al-Ta'dil, dan Taqdimah Al-Makrifah li Kitab Al-Jarh wa Al-Ta'dil. 
Kedua, karya-karya yang berkaitan dengan teologi dan persoalan-persoalan keagamaan. Asl Al-Sunnah wa Al-'I'tiqad Al-Din, Fada'il Ahl Al-Bayt, Fawaid Al-Raziyyin, dan Fawaid Al-Kabir adalah di antara karyanya yang termasuk dalam kategori ini. Karya-karya lainnya adalah Al-Musnad, Al-Radd 'ala Al-Jahmiyyah, Kitab Al-Tafsir, Tsawab Al'Amal, dan Zuhd Al-Tsamaniyah min Al-Tabi'in. 
Ketiga, karya di bidang biografi dan sejarah. Karya-karya Ibn Abi Hatim dalam kategori ini adalah Adab Al-Syafii wa Manaqibuhu, Kitab Makkah, dan Manaqib Ahmad. 
Menurut sejumlah ahli, kitab Al-Jarh wa Al-T'a'dil adalah karya monumental Ibn Abi Hatim. Selain pandangan-pandangannya di bidang Hadis, di dalam kitab yang terdiri dari 4 juz ini juga terdapat sekitar 18050 biografi perawi Hadis. Setiap perawi dan penilaian di atasnya disebutkan berdasarkan sanad yang sahih. Nama perawi ditulis secara alfabetis dan dilengkapi dengan nama ayah dan gelarnya. Seperti tersurat dari nama kitabnya, yang menonjol dari kitab tersebut adalah memberikan penilaian terhadap kualitas para perawinya. 
Layaknya sebuah karya, selain banyak mendapat apresiasi, karya Ibn Abi Hatim ini juga mendapat kritik dari para pengamat. Di antaranya yang menjadi sorotan adalah perihal data tentang perawi yang dinilai tidak dilengkapi dengan biografi yang memadai, penisbatan penilaian kepada kritikus sebelumnya, bahkan yang bukan semasa, tanpa menjelaskan rangkaian persambungan periwayatannya, memberikan penilaian tanpa memberikan argumen yang jelas, dan lain sebagainya. 

Latar Kemunculan Kitab Al-Jarh wa Ta'dil

Ibn Hatim Al-Razi, sang pengarang Kitab Al-Jarh wa Takdil, hidup pada masa Bani Abbasiyah. Pendirinya adalah Abdullah ibn Abbas Al-Safah ibn Muhmmad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Penamaannya dikaitkan dengan nenek moyang mereka yang bernama Abbas, salah seorang paman Nabi yang sangat peduli dengan Rasulullah Saw. Pemerintahan ini berkuasa dalam rentang waktu yang panjang, yaitu sejak tahun 750-1258 M/132-656 H. 
Ibn Hatim Al-Razy hidup pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, ketika dinasti ini berada di bawah dominasi kekuasaan bangsa Turki yang terkenal kejam dan bengis. Pada periode sebelumnya, yakni periode pertama Dinasti Abbasiyah, adalah periode keemasan dinasti yang beribukota di Baghdad tersebut. Harun Ar-Rasyid, khalifah kelima, dan Al-Makmun, khalifah ketujuh, adalah di antara para penguasa Dinasti Abbasiyah periode pertama. Yang pertama populer sebagai khalifah yang peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat, seperti membangun rumah sakit, lembaga kedokteran, farmasi, dan kesehatan masyarakat. Sedangkan yang disebut terakhir terkenal sebagai seorang khalifah yang hirau terhadap ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahannya berdiri Baitul Hikmah, tempat para pelajar dan mahasiswa mempelajari berbagai disiplin keilmuan dan para penerjemah memperoleh gaji yang setimpal. 
Pada periode ini aliran teologi Muktazilah berkembang dengan begitu suburnya dan bahkan dijadikan mazhab resmi negara. Stabilitas politik yang kondusif dan ditunjang oleh perekonomian yang relatif baik menjadi landasan yang kokoh bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apalagi, pada masa tersebut urusan negara lebih ditekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan ketimbang melakukan ekspansi dan perluasan wilayah kekuasaan.
Latar yang seperti itu tidak mengherankan berhasil memunculkan para ulama dan cendekiawan terkemuka dalam berbagai disiplin keilmuan. Dintaranya adalah Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Ahmad ibn Hanbal di bidang hukum, Washil ibn 'Atha', Abu Huzail, Al-Juba'i, Al-'Asyari, dan Al-Maturidi di bidang teologi, Zunnun Al-Misri, Abu Yazid Al-Bustani, dan Al-Hallaj di bidang tasauf, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina, dan Miskawaih di bidang filsafat, serta Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i dalam bidang Hadis. 
Sementara pada periode kedua Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Ibn Hatim Al-Razy hidup, merupakan periode mulai surutnya pamor Dinasti Abbasiyah yang disebabkan oleh beberapa faktor. Dua yang signifikan di antaranya adalah bentrokan antargolongan mazhab fikih dan mazhab ilmu kalam. Pada masa ini, para ulama Hadis mengalami tantangan yang hebat dari golongan ulama fikih yang fanatik. Selain itu, ulama Hadis juga mendapat serangan dari kaum ilmu kalam, terutama kaum Muktazilah. 
Namun, ketika Al-Mutawakil naik tahta, khalifah Dinasti Abbasiyah kesebelas, pamor Muktazilah mulai surut. Sebaliknya, ulama Hadis justeru mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Bahkan belakangan, paham ahli Hadis dijadikan paham resmi negara. Kondisi ini sangat mendukung bagi perkembangan Hadis dan mulai tersebar ke berbagai wilayah. Pada periode kedua ini, yaitu pada masa hidup Ibn Abi Hatim Al-Razy, merupakan periode penyempurnaan dan pemilahan terhjadap persoalan Hadis yang belum tersentuh pada masa sebelumnya, seperti al-jarh wa takdil, persambungan sanad, kritik matan, dan pemisahan antara Hadis Nabi dan fatwa Sahabat. Dengan latar yang demikian, tidak mengherankan bila kemudian Ibn Abi Hatim Al-Razy mencoba menyempurnakan apa yang belum terselesaikan pada masa sebelumnya. Dan, ia bertepatan hati memilih untuk intens dalam bidang al-jarh wa takdil, meskipun ia juga tidak menafikan aspek yang lainnya. 

Pandangan Hadis Ibn Abi Hatim 

Di sini, pandangan Hadis Ibn Abi Hatim, dititikberatkan atas pandangan Hadisnya dan pendapatnya tentang keadilan sahabat. Konsepsinya tentang yang pertama, sedikit banyaknya, berimplikasi pada pandangannya terhadap yang kedua. Dengan lain perkataan, pendapatnya tentang Hadis ikut berpengaruh pada pendapatnya tentang sahabat. 
Menurut Ibn Abi Hatim, Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dan segala sesuatu yang berasal dari para sahabat. Dengan demikian, bagi Ibn Abi Hatim, ruang lingkup amat luas yang tidak semata-mata bersumber dari Nabi tapi juga yang bersumber dari sahabat Nabi. 
Selain itu, sahabat Nabi memperoleh tempat yang istimewa dan karena itu mendapat perhatian khusus dari Ibn Abi Hatim. Bahkan, Ibn Abi Hatim disebut-sebut sebagai orang yang melahirkan konsep kullu al-sahabah 'udul, semua sahabat bersifat adil. Baginya, generasi sahabat Nabi mendapat tempat yang istimewa disebabkan mereka menyaksikan secara langsung pewahyuan al-Qur'an, mengerti tafsir, dan memahami takwilnya. Ibn Abi Hatim menyandarkan pendapatnya ini pada ayat al-Qur'an yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 143. 
Menurut Ibn Abi Hatim, kata wasatah yang terdapat dalam ayat tersebut telah ditafsirkan Nabi dengan makna adil. Sehingga, menurutnya, ummatan wasatah dapat ditafsirkan sebagai 'udul al-ummah yang berkoreferensi dengan generasi awal umat Islam, yani para sahabat Nabi. 
Lebih dari itu, bagi Ibn Abi Hatim, konsep kullu al-sahabah 'udul tidak hanya khusus untuk para sahabat Nabi, tapi juga mencakup generasi setelahnya, yakni para tabi'in. Baginya, generasi tabi'in merupakan generasi yang mulia karena juga mendapat jaminan dari Allah dalam surat At-Taubah ayat 100. Kata wallazinat thaba'u bi ihsanin dalam ayat ini dipahami sebagai generasi tabi'in. 

Bercermin dari biografi dan perjalanan intelektual Ibn Abi Hatim, terlihat bahwa pemikiran Ibn Hatim bukan berasal dari ruang yang hampa, melainkan sangat erat kaitannya dengan pelbagai persoalan politik yang pikuk pada saat itu. Pandangan Ibn Abi Hatim tentang Hadis yang tidak semata-mata segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, tapi juga segala sesuatu yang berasal dari sahabat, sebagai misal, merupakan upaya pembelaan Ibn Abi Hatim terhadap eksistensi Hadis dan keberadaan para sahabat yang dipertanyakan orang pada saat itu. 
Perdebatan hebat antara kaum tradisionalis yang diwakili oleh ahl al-hadits di satu sisi dengan kaum rasionalis yang diwakili oleh ahl al-ra'yi di sisi yang lain juga berpengaruh pada Ibn Abi Hatim. Meskipun terlihat lebih berpihak pada ahl al-hadits, Ibn Abi Hatim berupaya keluar dari dua kutub tersebut, dengan memilih gagasan kritisisme. Salah satu buktinya yang paling otentik, meskipun mendapat sorotan dari berbagai kalangan, adalah karya monumentalnya Kitab Al-Jarh wa Ta'dil.‎‎

Imam Ibnu Qutaibah Al-Dainuri Sang Muallif


Nama lengkap Ibnu Qutaibah adalah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri al-Marwazi. Ia dinisbatkan pada al-Dainuri, yaitu suatu daerah di mana ia pernah menjadi hakim di sana. Sebagian ulama berpendapat, Ibnu Qutaibah juga dinisbatkan pada al-Marwazi yang merupakan tempat kelahiran ayahnya.

Dalam beberapa literatur, ia terkadang dikenal dengan sebutan al-Qutba atau al-Qutaibah yang merupakan bentuk tashghir (memiliki arti kecil) dari kata Qutbah dan bentuk tunggal dari kata aqtab yang mempunyai arti jeroan binatang ternak. Tidak diketahui dengan jelas mengapa ia dinisbatkan pada kata tersebut.
Ibnu Qutaibah dilahirkan pada tahun 213 H/ 828 M di Baghdad, dan ada yang mengatakan di Kufah. Namun, para sejarawan berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya. Menurut Ibnu Khalikan, dia lahir di Baghdad, sedangkan menurut An-Nadim dan Ibnu al-Anbar dia lahir di Kufah pada awal Rajab Tahun 313 H.Salah satu karya Ibnu Qutaibah yang terkenal adalah Kitab Al Ma'arif (setebal empat jilid) yang merupakan ensiklopedia pertama berbahasa Arab. 

Pada masa itu Baghdad merupakan ibu kota negara yang berada di dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon. Jadi dapat dikatakan bahwa pusat pemerintahan dinasti Abbasyiah berada di tengah-tengah bangsa Persia. Sejak saat itu Baghdad tidak pernah sepi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan kemunculan ulama, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibnu Qutaibah untuk menyerap ilmu dari beberapa ulama setempat.

Tidak puas dengan apa yang didapatkan di Bahgdad, Ibnu Qutaibah pun mulai gemar melakukan perlawatan dari satu daerah ke daerah yang lain untuk memperoleh ilmu, sebagaimana yang dilakukan para ulama pada waktu itu. Ia mengunjungi Bashrah, Makkah, Naisabur dan tempat-tempat lain untuk belajar berbagai macam disiplin ilmu dari para ulama yang ada di sana. Ibnu Qutaibah belajar hadis pada Ishaq bin Rahawaih, Abu Ishaq Ibrahim bin Sulaiman al-Ziyadi, Muhammad bin Ziyad bin ‘Ubaidillah al-Ziyadi, Ziyad bin Yahya al-Hassani, Abu Hatim al-Sijistani dan para ulama yang semasa dengan mereka.

Selain mempelajari ilmu-ilmu agama, Ibnu Qutaibah juga haus akan pengetahuan yang berkembang pesat pada waktu itu. Semangatnya yang tinggi dalam mencari ilmu semakin membara ketika menyaksikan berbagai macam pemikiran yang meracuni sebagian besar umat Islam, sehingga pada akhirnya Ibnu Qutaibah tumbuh berkembang menjadi seorang ulama yang berwawasan luas, kritis terhadap permasalahan-permasalahan sosial dan mampu mewarnai corak pemikiran keilmuan yang berkembang pada saat itu. Ibnu Qutaibah juga mampu memberikan solusi terhadap problem keagamaan khususnya permasalahan yang sedang diperdebatkan oleh ulama Kalam, dengan uraian yang ilmiah dan bisa diterima oleh berbagai kalangan, yang sebelumnya memperbincang-kan sekitar permasalahan tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian ulama Salaf khususnya golongan Ahl al-Sunnah.

Selain itu, Ibnu Qutaibah juga mampu menempatkan dirinya sejajar dengan tokoh-tokoh ensiklopedik besar, sehingga tidak heran jika Ibnu Qutaibah menjadi rujukan bagi Ibnu Atsir dalam mengupas lafazh-lafazh hadis yang janggal dan sulit dipahami dalam karyanya al-Nihayah fi Ghorib al-Hadits dan ulama lain dalam permasalahan yang sama.

Dalam bidang fikih, Ibnu Qutaibah senantiasa berada di barisan madzhab-madzhab ulama yang teguh memegang sunnah yang berkembang pada waktu itu, meskipun secara pribadi dia mengikuti madzhab Imam Ahmad dan Imam Ishaq.

Ibnu Qutaibah adalah salah seorang ulama yang gemar menulis. Hasil karyanya tidak kurang dari 300 buah. Ibnu Qutaibah banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama lainnya. Bahkan penduduk kota Maghrib memberikan penghargaan yang tinggi kepadanya seraya mengatakan,
“Barang siapa sengaja menentang Ibnu Qutaibah maka dicurigai sebagai seorang zindiq (atheis).” Mereka juga mengelu-elukan Ibnu Qutaibah dengan mengatakan, “Setiap rumah yang tidak terdapat karya Ibnu Qutaibah, maka tidak ada kebaikan di dalamnya.”

Di antara karya-karya Ibnu Qutaibah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan adalah: 

(1) Al-Ibil, 
(2) Adab al-Qadli, 
(3) Adab al-Katib, 
(4) Al-Isytiqaq, 
(5) Al-Asyribah,
(6) Ishlah al-Ghalath, 
(7) I’rab al-Qur'an, 
(8) A’lam al-Nubuwwah, 
(9) Al-Alfazh al-Muqribah bi al-Alqab al-Mu’ribah, 
(10) AlImamah wa al-Siyasah, 
(11) Al-Anwa', 
(12) Al-Taswiyah bain al-‘Arab wa al‘Ajam, 
(13) Jami’ al-Nahwi, 
(14) Al-Ru'ya, 
(15) Al-Rajul wa al-Manzil,
(16) Al-Rad ala al-Syu’ubiyah, 
(17) Al-Rad ‘ala Man Yaqulu bi Khalq al-Qur'an, 
(18) Al-Syi’ru wa al-Syu’ara,
(19) Al-Shiyam, 
(20) Thabaqat al-Syu’ara, 
(21) Al-Arab wa ‘Ulumuha,‎
(22) ‘Uyun al-Akhbar, 
(23) Gharib al-Hadits, 
(24) Gharib al-Qur'an, 
(25) Al-Faras, 
(26) Fadllu al-‘Arab ‘ala al-Ajam, 
(27) Al-Fiqh, 
(28) Al-Qira'at, 
(29) Al-Masa'il wa al-Ajwibah, 
(30) Al-Musytabih min al-Hadits wa al-Qur'an, 
(31) Musykil al-Hadits, 
(32) Al-Ma’arif, 
(33) Ma’ani al-Syir, 
(34) Al-Nabat, 
(35) Al-Hajwu, 
dan karya-karya yang lain.

Seluruh hasil karya tersebut Ibnu Qutaibah ajarkan di kota kelahirannya, Baghdad. Di antara para muridnya yang mampu menyerap pengetahuan yang diajarkan oleh Ibnu Qutaibah adalah anaknya sendiri, Abu Ja’far bin Abdillah yang pernah menjabat sebagai Qadli di Mesir sekitar tahun 320 H.

Pada usia 63 tahun bulan Rajab tahun 276 H/889 M Ibnu Qutaibah dipanggil oleh Allah swt. Seluruh dipergunakan untuk mengembangkan pemikiran keislaman serta memajukan bidang pendidikan dan kebudayaan. Tetapi perhatian yang lebih besar ditujukan untuk membela sunnah dan ulama ahli hadits di hadapan musuh-musuh Islam.

Beliau Adalah Seorang Pakar Nahwu 

(Gramatikal Bahasa Arab) Sosok Imam Ibnu Qutaibah Seorang Imam yang sangat alim, yang mulia Abu Muhammad bin Muslim bin Qutaibah al-Dainuri. Beliau adalah seorang pakar nahwu (gramatikal bahasa Arab), pengarang dalam tafsir, Hadist dan lainnya. Lahir pada tahun 213 H. beliau tinggal di Bagdad, mengambil riwayat dari Ibnu Rawaihi, dan beliau juga belajar dari ulama-ulama yang terkenal seperti ayahnya yang bernama Ibnu Qutaibah, juga dari al-Qadhi Yahya bin Aktsam, Abu Hatim al-Sajistani, Syababah bin Siwar dan al-Jahizh. Banyak ulama yang mengambil riwayat dari beliau seperti anaknya yang bernama Ahmad, dan yang lain seperti Ibnu Durustuwaihi, dan lain-lainnya. Yang belajar kepada beliau sangat banyak, diantaranya ulama-ulama terkenal, seperti Ahmad bin Marwan al-Maliki, Qasim bin Ishba’ al-Andarsi, Abu Qasim Abdullah bin Muhammad al-Azadi dan yang lainnya.

Karya-karya Imam Ibnu Qutaibah

Ibnu Qutaibah memegang kekuasaan di Dainur. Hal ini menunjukkan keluasan ilmu dan kebesaran kemuliaannya, beliau mencurahkan waktu demi menuntut ilmu, belajar dan mengumpulkan maklumat, kemudian beliau melakukan praktik dalam mengarang buku hingga kedudukannya yang tinggi dan tampak kemuliaannya. 

Beliau salah satu pembesar ulama, di antara karangan beliau yang terkenal adalah: Adab al-Katib, ‘Uyun al-akhbar, Ta’wil al-Hadis, Ta’wil Musykilat Al-Qur’an, Gharib Al-Qur’an, Al-Ma’arif, Al-Syi’ir wa al-Syu’ara, Al-Ikhtilaf fi al-Lafdz wa al-Rad ‘ala al-Jahamiyah. Yang ingin kita bahas di karangan beliau adalah yang berhubungan dengan tafsir dan ilmu-ilmu Al-Qur’an yang menunjukkan usaha beliau terhadap Al-Qur’an. Metode beliau dalam membahas ilmu Al-Qur’an sangat sesuai, tidak salah serta memberikan manfaat yang sangat banyak. Contoh berikut adalah kutipan dari perkataan beliau dalam kitabnya ‎Ta’wil Musykilat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut: “Segala puji bagi Allah subhaanahu wa ta’ala yang menunjukkan kita kepada jalan yang benar, yang memberi hidayah dengan cahaya Al-Qur’an, sebuah kitab yang tidak ada kebengkokan di dalamnya bahkan membimbing ke jalan yang lurus, dan menjelaskan dengan sejelas-jelasnya. Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Tuhan) Yang Maha Bijaksanan lagi Maha Terpuji.” (QS.Fushshilat:42)

Kitab Al-Qur’an yang diagungkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala, juga dimuliakan dan ditinggikan, sebuah kitab yang menjadi rahmat, penyembuh, pemberi hidayah dan pemberi cahaya terang. Penegasan ayatnya melemahkan bagi mereka yang menentang. Kitab yang jelas dengan susunan ayat dan mengagumkan bagi seluruh generasi.

Kitab yang selalu dibaca dan tidak membosankan, yang didengar dan tidak menggangu telinga, kitab yang selalu menakjubkan dan memberikan faedah yang tiada hentinya. Kitab yang telah menasakh kitab-kitab terdahulu, kitab yang berisikan makna luas dengan ungkapan yang singkat, seperti yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jawami al-Kalim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku telah diberikan jawami’ al-kalim (kumpulan kata-kata) –atau Al-Qur’an.” Apabila Anda ingin melihat contohnya maka bacalah ayat 19 surah Al-A’raf ini, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpaling daripada orang-orang yang bodoh.” (QS.Al-A’raf:19) Perhatikan bagaimana kalimat ini dikumpulkan yang menunjukkan kemulian akhlak, karena pemaaf adalah sifat penghubung silaturahmi kepada yang memutuskannya, penyapa kepada mereka yang menzalimi dan memberikan sesuatu kepada mereka yang kikir. Maksud dari yang ma’ruf adalah takwa, silaturahmi, menjaga lidah dari berdusta, menahan anggota dari berbuat yang diharamkan.

Semua sifat baik seperti ini dikatakan ma’ruf, karena diri dan jiwa teah mengenalnya dan setiap hati pasti tenteram dengankebaikan tersebut. berpaling dari orang-orang yang bodoh itu adalah sifat sabar, pemurah, pembersih diri dari lorong kebodohan dan menghindarkan diri dari kekerasan. Contoh lain yang membuktikan logisnya Al-Qur’an, dengan ungkapan yang ringkas dan makna yang padat seperti pada ayat: “Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tekda mengerti (tidak berakal) –dan diantara mereka ada orang yang melihat kepadamu, apakah kamu dapat memberikan petunjuk kepada orang-orang yang buta, walaupun mereka tidak dapat memperhatikan.” (QS.Yunus:42-43) Perhatikanlah bagaimana jelasnya ungkapan diatas, yaitu melebihkan pendengaran dari pada penglihatan, karena mengungkapkan tuli dengan dua kekurangan, yaitu tuli tidak dapat mendengar dan tidak berakal, dan mengungkapkan buta dengan hanya satu kekurangan saja, yaitu kekurangan penglihatan.

Model Penafsiran Al-Qur’an Imam Ibnu Qutaibah adalah salah seorang peneliti bahasa Arab, yang menyikap rahasia-rahasianya dan yang menjelaskan keistimewaannya. Beliau juga berbicara tentang kaum Arab yang diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala keistimewaan bahasa, seperti ‘Arudh (ilmu tentang timbangan nada dan irama syair) dan bayan. Beliau mengetahui keutamaan Al-Qur’an disebabkan karena sering meneliti dan memahami bahasa Arab menurut mazhab yang bermacam-macam, juga sering meneliti keistimewaan-keistimewaan bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Tidak ada bahasa lain yang mempunyai ilmu ‘arudh dan bayan.

Ini merupakan kelebihan yang diberkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala karena ingin memberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah mu’jizat sebagai dalil kebenaran risalah yang dibawanya. Maka Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah kitab dan menjadikannya ilmu pengetahuan, sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan kitab kepada Rasul-Rasul yang lain, tetapi hanya sekadar masa di mana Rasul tersebut diutus. Seandainya kita diberi contoh yang dibuat beliau maka pembicaraan kita akan makin panjang, dan sekiranya kita cukupkan sampai disini dengan perkataan beliau: “Seandainya ada yang berkata hadza qatilu akhi dengan beridhafah, maka kata dengan tanwin maksudnya adalah ‘pembunuh itu saudaraku’. Dan kata dengan idhafah berarti ‘itu adalah pembunuh saudaraku.” Ibnu Qutaibah juga membantah beberapa ayat yang susah dipahami oleh orang banyak dan mereka mengira bahwa ayat-ayat tersebut tidak rasional atau tidak masuk akal.

Di antara contoh terbaik yang diungkapkan Ibnu Qutaibah, yaitu tentang ayat-ayat yang terulang-ulang dan ayat-ayat tambahan, seperti perkataan beliau: “Adapun pengulangan ayat tentang kisah para Nabi dan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan ayat secara berangsur-angsur: potongan-potongan yang terpisah dalam waktu dua puluh tiga tahun. Berangsur-angsur menurunkan satu kewajiban setelah kewajiban yang lain agar memudahkan umat untuk menerimanya, bertahap dalam menyempurnakan agama, nasihat setelah nasihat yang lain agar menjdai peringatan bagi mereka dan mengasah setiap nasihat yang baru datang, dan sebagian menjadi ayat nasakh terhadap hukum yang di mansukh, agar umat selalu taat beribadah dengan cobaan yang Allah subhaanahu wa ta’ala berikan kepada mereka. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman: berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?” :demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS.Al-Furqan:3) Ayat tersebut diturunkan denganmengkhitab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang dimaksud dengan tatsbit adalah untuk memperkuat hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang beriman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan para sahahabatnya waktu kosong, tidak selalu diisi dengan nasihat terus-menerus yang bisa menyebabkan kebosanan, dan beliau hanya mengingatkan mereka ketika terlupa atsu terhapus dalam hati. Sekiranya Nabi mendatangkan Al-Qur’an sekaligus kepada mereka niscaya sebab-sebab turun ayat telah terjadi sebelumnya, dan umat islam saat itu mendapat kesusahan dengan kewajiban-kewajiban yang diturunkan sekaligus. Kesusahan juga dirasakan bagi mereka yang ingin masuk islam.

Seandainya demikian maka tidak ada kata peringatan dan nasakh. Karena mansukh adalah hukum yang sudah dipakai kemudian dihapus dengan adanya ayat nasakh yang datang berikutnya. Bagaimana mungkin Al-Qur’an turun sekaligus, dengan menyuruh untuk meninggalkan dan mengerjakan hal yang sama. Allah subhaanahu wa ta’ala tidak mewajibkan hamba-Nya untuk menghafal keseluruhan Al-Qur’an, juga tidak mewajibkan untuk mempelajari seluru isi kandungan Al-Qur’an. Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an dengan penuh hikmah yang harus dipelajari, diimani, harus dilaksanakan perintah-Nya, dan yang harus meninggalkan semua larangan-Nya. Juga Allah subhaanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur’an untuk memudahkan hamba-Nya dalam menghafal, yaitu kemampuan membacanya di dalam sembahyang dengan ayat-ayat yang mudah.

Para sahahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lentera penerang bumi, pemimpin umat manusia dalam ilmu pengetahuan. Diantara mereka ada yang hanya membaca tiga atau empat surah, sebagian yang lain hanya beberapa baris saja, hanya sebagian mereka saja yang diberikan Allah subhaanahu wa ta’ala kemampuan dalam membaca dan menghafal keseluruhan Al-Qur’an. Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima tamu dari luar arab, dan beliau membacakan kepada mereka beberapa kutipan ayat saja yang dianggap cukup bagi mereka. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus para shahabatnya ke negeri-negeri lain, dengan membekali kepada mereka bagian-bagian Al-Qur’an yang berbeda, atau surah-surah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Sekiranya ayat yang membicarakan tentang Nabi-Nabi lain hanya satu bagian saja. niscaya satu kaum hanya mendapatkan satu kisah saja, seperti satu kaum hanya menerima kisah Nabi Musa a.s saja, kaum yang lain menerima kisah Nabi Isa a.s kaum yang lain menerima kisah Nabi Nuh a.s dan seterusnya.

Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, Allah subhaanahu wa ta’ala menghendaki kemasyuran kisah Nabi-Nabi terdahulu kepada seluruh umat di muka bumi ini, dan mereka menerimanya dengan menganggap sebuah kisah yang terkenal atau masyhur, setiap orang mendengar dan menerima ke dalam hatinya, serta dapat lebih memahaminya. Kisah-kisah Nabi terdahulu bukanlah merupakan sebuah kewajiban yang dituntut oleh Allah subhaanahu wa ta’ala seperti sembahyang yang sempurna dengan rukun dan jumlah rakaatnya, zakat dan sunnah-sunnahnya, puasa dan haji.

Akan tetapi, ini hanyalah sebuah kisah yang tidak dituntut untuk diperlakukan seperti itu dan caranya pun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut. kita tidak dituntut untuk melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Musa a.s, Isa a.s, Nuh a.s dan semua para Nabi yang disebutkan kisahnya di dalam Al-Qur’an. Ayat tentang kisah ini pun dirurunkan pada awal islam sebelum agama ini sempurna. Ketika agama islam sudah tersebar di segala penjuru di muka bumi, dan mereka yang lebih tahu telah mengajrkan kepada yang lain, dan Al-Qur’an telah terkodifikasi, maka terhapuslah makna seperti ini. Seluruh kisah tersebut dikumpulkan dan disatukan untuk setiap umat. Inilah sekilas tentang pemikiran Ibnu Qutaibah yang berhubungan dengan Al-Qur’an.

Setiap ungkapan yang datang dari beliau merupakan ide yang cemerlang dan permikiran yang sangat luas, sesuai denga juwa ilmiah yang menghilangkan keraguan dan kebatilan, dan juga menjelaskan sisi yang benar terhadap lontaran yang beredar. Ibnu Qutaibah sangat berjasa dalam usahanya untuk membanta mereka yang melontarkan keraguan terhadap nash-nash agama, terutama dari golongan Mu’tazilah.

Beliau mengungkapkan itu semua dengan metode ilmiah. Dengan usahanya itu pantaslah beliau untuk mendapatkan pujian dari para ulama. Ibnu Khalkan berkata: “Ibnu Qutaibah adalah seorang yang mulia dan tsiqah (terpercaya). Beliau tinggal di Bagdad. Beliau mengambil riwayat dari Ishak bin Rawaihi, Abu Ibrahim bin Sufyan bin Sulaiman dan Abu Hatim al-Sajistani. Semua kedudukan dan semua karangan beliau sangat bermamfaat.” Al-Dzahabi berkata dalam al-Mughni tentang Ibnu Qutaibah: “Beliau adalah ulama yang sangat jujur dan benar.” Al-Khatib berkata: “Ibnu Qutaibah adalah ulama yang terpercaya (tsiqah).” Beliau meninggal dalam keadaan mendadak, yaitu ketika memakan grees (makanan yang terbuat dari adonan tepung campur bubur daging) lalu beliau tiba-tiba diserang demam panas kemudian beliau berteriak dengan sangat nyaring. Setelah itu diserang penyakit gila babi lalu meninggal dunia dalam keadaan mengucap dua khalimat syahadat, yaitu tahun 276 H. semoga Allah subhaanahu wa ta’ala memberikan rahmat-Nya kepada beliau dan menjadikan ilmu beliau bermanfaat.

Konsep Pemikiran Ibnu Qutaibah

Ibnu Qutaibah hidup semasa dengan Al-Jahith, seorang teolog terkemuka dari kalangan Muktazilah.Kendatipun demikian, dia berseberangan dengan al-Jahith, sebab dia bukanlah seseorang yang berpaham Muktazilah melainkan pengikut paham Ahli Sunnah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.

1.Konsep tentang Qadha

Menurut Ibnu Qutaibah, qadha ialah hukum, ciptaan, kepastian, dan penjelasan. Asal maknanya adalah memutuskan, memisahkan, menentukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankaannya, dan menyelesaikannya.Qadha terbagi menjadi dua, yakni qadha mahtum (definitif)dan qadha ghairu mahtum (tidak definitif). 
Qadha mahtum adalah sebuah takdir pasti yang tidak bisa dirubah, Allah bukan tidak bisa merubahnya melainkan itu memang suatu kebijakan yang telah ditentukan-Nya.Hal ini misalnya disebutkan dalam Surat Al Kahfi ayat 29: Allah menciptakan manusia sebagaimakhluk yang bebas dalam bertindak dan menetukan nasibnya sendiri. Kemudian qadha ghairu mahtum adalah sebuah ketentuan yang masih bisa berubah karena bersifat tidak pasti, tetapi hal ini tidak bisa dilakukan secara instan karena Allah akan merubah takdir seseorang jika terpenuhinya syarat-syarat tertentu.

2.Konsep Ibadah

Ibnu Qutaibah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, tetapi pembahasannya juga sampai kepada pluralitas jalan menuju Allah. Baginya, jalan menuju Allah tidak tunggal dan kebaikan bukan hanya sebatas shalat malam, puasa terus menerus, mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, tetapi jalan menuju Allah adalah sangat banyak dan pintu kebaikan terbuka lebar-lebar. Kemaslahatan agama terkait dengan kemaslahatan zaman, kemaslahatan zaman terkait dengan kemasalahatan yang disertai bimbingan dan pengajaran yang baik.

Sehingga menurut Ibnu Qutaibah, ibadah kepada Allah bukan hanya sebatas shalat, puasa, dan zakat, tetapi berperilaku yang baik kepada sesama juga termasuk jalan menuju Allah. Dengan kata lain, etika yang baik adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan ini dan merupakan kebaikan yang bisa menghantarkan kita wushul ilallah (sampai kepada Allah).

3.Konsep Al-Iktiwa

Al Iktiwa adalah memanaskan besi dengan menggunakan api dengan tujuan pengobatan. Menurutnya iktiwa itu terbagi dalam dua macam. Pertama, iktiwa pada anggota tubuh yang sehat di mana seseorang berharap bagian tersebut tidak mengalami sakit. Dia mengungkapkan bahwa hal semacam ini tidak diperbolehkan karena keadaannya tidak sakit melainkan sehat. Kedua, iktiwa yang dilakukan pada anggota tubuh yang mengalami pembusukan atau kerusakan, maupun anggota tubuh yang terpotong.

Hal inilah yang memperbolehkan dilakukannya iktiwa.Apabila iktiwa dilaksanakan hanya sebagai rekaan belaka, maka itu bertolak belakang terhadap hal yang utama, di mana menggunakan api untuk pengobatan pada anggota tubuh yang belum jelas sakitnya.

4.Konsep Penafsiran AlQuran

Ibnu Qutaibah telah menjelaskan dalam kitabnya Takwil Musykilu AlQur’an tentang penafsiran AlQuran menggunakan rasio. Ada hadits Nabi yang menerangkan bahwa penafsiran dengan menggunakan rasio adalah perbuatan yang dilarang.Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa sahabat dan para pembesar ulama’ tabiin sangat takut untuk menafsirkan Al-Qur’an sembarangan, padahal mereka adalah orang-orang yang kadar keilmuwan dan ketaqwaannya sudah tinggi. Lantas kenapa kita harus masuk kubangan masalah tersebut jika orang-orang dahulu telah meninggalkannya dan justru takut untuk memasukinya.‎ 

Imam Al-Hafizh Asy-Syahrastani Dalam Pemikiran Teologi


Abu al-Fath Abdul Karim bin Abi Bakr Ahmad asy-Syahrastani (bahasa Arab: أبو الفتح عبد الكريم بن أبي بكر أحمد الشهرستاني), atau lebih dikenal sebagai Asy-Syahrastani adalah seorang ulama dibidang ilmu kalam, tafsir dan sejarah. Nisbat asy-Syahrastani kembali kepada Syahrastan yang merupakan bagian dari Khurasan, yang saat ini masuk kedalam wilayah negara Iran. Para penulis biografi sepakat bahwa asy-Syahrastani bukan merupakan orang Arab, ayahnya dan kakeknya berasal dari kota Syahrastan.

Kelahiran
Para peneliti telah sepakat tempat kelahiran dan kematian asy-Syahrastani, namun berbeda pendapat mengenai waktunya. Perbedaan pendapat terhadap waktu kelahirannya lebih besar daripada perbedaan pendapat waktu kematiannya. Mereka bersepakat asy-Syahrastani lahir di kota Syahrastan. Terdapat 3 pendapat ulama mengenai tahun kelahiran asy-Syahrastani, yaitu:

Tahun 476 H
Tahun 469 H
Tahun 479 H

Kematian
Para peneliti telah sepakat bahwa tempat kematian asy-Syahrastani terletak di kota Syahrastan juga, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai tahun kematiannya, adapun pendapat yang paling kuat adalah pada tahun 548 H.

Kehidupan ilmiah
Asy-Syahrastani telah menuntut ilmu sejak masih kecil, adapun ilmu yang pertama kali ia pelajari adalah ilmu syari'at, seperti al-Qur'an, tafsir,hadis, fikih. Adapun yang paling pertama adalah al-Qur'an dan tafsirnya, kemudian pada usia lima belas tahun ia mempelajari hadis dari Abu al-Hasan al-Madini, di Naisabur, yang letaknya diluar Syahrastan.

Asy-Syahrastani adalah seorang tokoh pemikir muslim yang memiliki nama asli Muhammad ibn Ahmad Abu al-Fatah Asy-Syahrastani Asy-Syafi’i lahir di kota Syahrastan provinsi Khurasan di Persia tahun 474 H/1076 M dan meninggal tahun 548 H/1153 M. Beliau menuntut ilmu pengetahuan kepada para ulama’ di zamannya, seperti Ahmad al-Khawafi, Abu al-Qosim al-Anshari dan lain-lain. Sejak kecil beliau gemar belajar dan mengadakan penelitian, terlebih lagi didukung oleh kedewasaannya. Dalam menyimpulkan suatu pendapat beliau selalu moderat dan tidak emosional, pendapatnya selalu disertai dengan argumentasi yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memang menguasai masalah yang ditelitinya.

Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya.

Sifat dan akhlaknya
Ia dikenal dengan sebagai pribadi yang lemah lembut, memiliki sifat yang baik, baik dalam pergaulan, beradab dalam berdialog, baik dalam berbicara dan menulis, dapat dilihat dari karya-karyanya. Diceritakan ketika ia berdialog dan berdebat, maka ia tidak berperilaku buruk terhadap lawannya, meskipun ia mengkritisi pemikirian lawannya, ia tetap menjawabnya dengan cara yang baik dan dengan cara yang dapat diterima.

Mengajar murid-muridnya
Ketika ia mengajar dan menasehati murid-muridnya, ia menggunakan istilah yang ringan dan cara yang mudah, sehingga dapat diterima dan diakui secara umum oleh masyarakat, dan inilah menggambarkan karyanya yang digunakan dan berkualitas.

Asy-Syahrastani dan Penguasa
Asy-Syahrastani diterima oleh para sultan, penguasa, menteri dan pembesar. Ia dekat dengan Sultan Sanjar bin Mulkasyah, dan juga dekat dengan Menteri Abu al-Qasim Mahmud bin al-Muzhaffar al-Marwazi.

Kedudukan ilmiah
Keilmuannya yang tinggi diantara para ulama menjadikannya memiliki banyak gelar, antara lain:

Al-Faqih, ahli fikih
Al-Mutakallim, ahli ilmu kalam
Al-Ushuli, ahli ushul fiqh
Al-Muhaddits, ahli hadis
Al-Mufassir, ahli tafsir
Ar-Riyadhi, ahli matematika
Al-Failusuf, ahli filsafat
Shahibu at-Tashanif, penulis yang produktif
Al-'Allamah, gelar ini diberikan oleh ‎al-Hafidz adz-Dzahabi
Bahasa yang dikuasai
Bukan hanya menguasai ilmu syari'ah, ia juga menguasai bahasa Arab danbahasa Persia.

Perjalanan ilmiah
Dalam menuntut ilmu, ketia ia masih berusia lima belas tahun, ia pergi menuju kota-kota di Khurasan,Khawarizm, Mekkah dan Bagdad.

Guru-gurunya
Asy-Syahrastani memiliki banyak guru, diantaranya:

Abu al-Qasim al-Anshari, dalam ilmu tafsir dan ilmu kalam
Abu al-Hasan al-Madini, dalam ilmu hadis
Abu al-Muzhaffar al-Khawafi, dalam ilmu fikih
Abu Nashr al-Qusyairi, dalam ilmu fikih, ushul fikih dan ilmu kalam

Karya tulis
Asy-Syahrastani terkenal sebagai pribadi yang produktif dalam menulis, ia menulis dalam berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, fikih, ilmu kalam, filsafat, sejarah, perbandingan firqah dan perbandingan agama. Karya tulisnya mencapai dua puluh buah, diantaranya:

Al-Milal wa an-Nihal, merupakan kitabnya yang paling terkenal.
Nihayatu al-Iqdam fi Ilmi Kalam, kitab yang membahas tentang larangan terlalu menggeluti ilmu kalam dan filsafat.
Mushara'ah al-Falasifah, bantahan terhadap filsafat.
Majlis fi al-khalaq wa al-amr, dalam bahasa Persia.
Bahts fi al-Jauhar al-Fard, penelitian filsafat.
Syubuhat Aristhu wa Baraqls wa Ibnu Sina, bantahan terhadap filsafat.

Mazhab fikihnya
Asy-Syahrastani bermazhab fikih syafi'i, karena guru-gurunya merupakan orang-orang ta'ashub (yang sangat kuat berpegang teguh) terhadap mazhab syafi'i, as-Subki telah memasukkan asy-Syahrastani didalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra, dan juga al-Isnawi telah memasukkannya didalam kitabnya Thabaqat asy-Syafi'iyyah.

POKOK-POKOK PEMIKIRAN ASY-SYAHRASTANI.

Al-Shahrastānī (wafat 548 H / 1153 M) adalah seorang sejarawan dan filosof yang memeliki latar belang agama yang kuat berpengaruh agama dan heresiographer. Dia adalah salah satu pelopor dalam mengembangkan pendekatan ilmiah untuk mempelajari agama. Al-Shahrastānī ‘membedakan dirinya dengan keinginannya untuk menjelaskan dengan cara yang paling objektif sejarah agama universal kemanusiaan. Kekayaan dan orisinalitas al-Shahrastani’s filosofis dan pemikiran teologis diwujudkan dalam karya-karya besar. Kitab al-Milal wa al-Nihal (The Book of Sekte dan Kredo), merupakan sebuah karya monumental Syahrastani, menyajikan sudut pandang doktrin dari semua agama dan filsafat yang pernah ada hingga zaman ketika ia hidup.

Seperti halnya ulama’-ulama’ lainnya beliau gemar mengadakan pengemberaan dari suatu daerah ke daerah lain seperti Hawarizmi dan Khurasan. Ketika usia 30 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian menetap di kota Baghdad selama 3 tahun. Di sana beliau sempat memberikan kuliah di Universitas Nizamiyah.

Yang mengagumkan dari al-Syahrastani adalah kejeniusannya dalam mencerna argument-argumen filosofis dan teologis yang kompleks dan rumit ke dalam bahasa yang sederhana dan kuat. Yang juga menarik adalah bahwa pemaparan sejarah pemikiran umat manusia ini selalu dikaitkan dengan teks-teks Al-Qur’an. Al-Syahrastani menggarisbawahi kecemerlangan ide-ide filosofis dan hikmah-hikmah kehidupan serta mengkritisi argumentasi rasio yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam dengan mengutip dan mendasarkan diri dengan ayat-ayat Al-Qur’an tentang tema-tema terkait. Buku ini telah terbukti sebagai sebuah karya klasik nan abadi, yang menawarkan kearifan dan pencerahan bagi para pembacanya.

Kaum muslimin pada zamannya lebih cenderung mempelajari ajaran agama dan kepercayaan untuk keperluan pribadi yang mereka pergunakan untuk membuktikan kebathilan agama dan kepercayaan lain. Sedangkan asy-Syahrastani lebih cenderung menulis buku yang berbentuk ensiklopedi ringkas tentang agama, kepercayaan, sekte dan pandangan filosof yang erat kaitannya dengan metafisika yang dikenal pada masanya. Asy-Syahrastani mempunyai beberapa buah kerya tulis diantaranya adalah: Al-Milal wa Al-Nihal, Al-Mushara’ah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’ibad, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham.

Jika dipandang dari segi pikiran dan kepercayaan, menurut Asy-Syahrastani manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat kepercayaan. Pemeluk agama Majusi, Nashrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan seperti Filosof, Dahriyah, Sabiah dan Barahman. Setiap kelompok terpecah lagi menjadi sekte, misalnya penganut Majusi terpecah menjadi 70 sekte, Nashrani terpecah menjadi 71 sekte, Yahudi terpecah menjadi 72 sekte, dan Islam terpecah menjadi 73 sekte. Dan menurutnya lagi bahwa yang selamat di antara sekian banyak sekte itu hanya satu, karena kebenaran itu hanya satu.

Asy-Syahrastani berpendapat bahwa faktor yang mendorong lahirnya sekte-sekte tersebut antara lain adalah; Pertama, masalah sifat dan keesaaan Allah. Kedua, Masalah Qada’ Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang berada di luar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas (badihiyah). Ketiga, masalah wa’ad (janji), wa’id (ancaman), dan Asma Allah. Keempat, Masalah wahyu, akal, kenabian (nubuwwah), kehendak Allah mengenai yang baik dan yang lebih baik, imamah, kebaikan dan keburukan, kasih saying Allah, kesucaian para nabi dan syarat-syarat imamah. Menurutnya ada empat madzhab di kalangan ummat Muslim, yaitu Syi’ah, Qadariyah, Shifatiyah dan Khawarij. Setiap madzhab bercabang menjadi sekian banyak sekte hingga mencapai 73 sekte.

Dalam Bukunya Al-Milal wa Al-Nihal, Syahrastani juga memaparkan dengan panjang lebar tentang kepercayaan dan secara umum mengklasifikasikan kepercayaan kepada beberapa kelompok sebagai berikut; Pertama, Mereka yang tidak mengakui adanya sesuatu selain yang dapat dijangkau oleh indera dan akal, mereka ini disebut kelompok Stoa. Kedua, Mereka yang hanya mengakui sesuatu yang dapat ditangkap oleh organ inderawi dan tidak mengakui sesuatu yang hanya dapat dijangkau oleh akal, mereka ini disebut kelompok materialis. Ketiga, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai melalui indera dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman, mereka ini disebut kelompok filosof athies. Keempat, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai oleh organ inderawi dan akal, namun mereka tidak mempunyai hukum dan hukuman juga tidak mengakui agama Islam, mereka ini disebut kelompok Ash-Shabiah. Kelima, Mereka yang mengakui adanya sesuatu yang dapat dicapai indera dan akal dan mempunyai syariat, namun mereka tidak mengakui syariat Muhammad, mereka ini kelompok Majusi, Yahudi dan Nasrani (Kristen). Dan yang Keenam, Mereka yang mengakui semua yang disebut diatas, dan mengakui kenabian Muhammad, mereka itu disebut kelompok Muslim.

Asyahrastani dalam al-Milal wa an-Nihal, banyak merekam sejarah panjang pemikiran para filosof, teolog, dan ahli hikmah termasyhur dari berbagai penjuru dunia, yang membentang luas sejak ribuan tahun lalu; mulai dari pra Sokrates ( Thales dan Phitagoras ), Plato, Aristoteles, Porphyry, hingga Ibnu Sina dan al-Farabi, dan dari tradisi pemikiran kuno hingga ke aliran Reingkarnasi dan spiritualisme.

Kajian Syahrastani banyak diarahkan pada tema-tema besar kemanusiaan yang berhubungan dengan ruh, emosi, akal, libido, ego, malaikat, dan tuhan yang menjadi kajian teologi, filsafat, psikologi, dan spiritual. Hal ini tergambar dalam pokok-pokok bahasan beliau dalam kitab al-Milal wa an-Nihal, yakni; 
1. Pluralitas agama dan kepercayaan ummat manusia. 
2. Faktor pendorong lahirnya berbagai sekte di kalangan ummat Islam. 
3. kesamaran pemikiran yang terjadi di kalangan ummat manusia, baik sumber maupun akibatnya.
4. perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam latar belakang sebab dan akibatnya. Tema-tema tersebut diulas secara apik dengan argumentasi filosofis dan teologis dalam bahasa sederhana dan relatif mudah untuk dicerna.

Syahrastani dalam kajiannya, “menggarisbawahi” kecemerlangan ide- ide filosofis dan hikmah-hikmah kehidupan, serta mengkritisi argumentasi rasional yang dianggap menyimpang dari dari akidah Islam dengan mengutip dan mendasarkan diri pada ayat-ayat al-qur’an tentang tema-tema terkait.

1.Pluralitas agama dan kepercayaan ummat manusia.

Menurut Syahrastani, Ummat manusia terbagi menjadi pemeluk agama-agama dan penghayat berbagai kepercayaan. Pemeluk agama,diantaranya Pemeluk agama majusi, Nasrani, Yahudi dan Islam. Penghayat kepercayaan terbagi dalam sekian banyak aliran, seperti filosof, Dahriyah, Sabiyah, dan Brahmana.

Penganut agama majusi, Yahudi, Nasrani, masing-masing terpecah menjadi tujuh puluh sekte, dan penganut agama Islam terpecah menjadi tujuh puluh tiga sekte, dan yang selamat hanya satu karena kebenaran itu hanya satu. Dalam menyikapi pluralitas agama dan kepercayaan umat manusia, Syahrastani membangun argumen dasar bahwa;dua buah proposisi yang kontradiktif tidak mungkin benar keduanya. Demikian pula dalam ajaran agama; dua ajaran agama yang bertentangan tentu salah satunya ada yang benar dan yang lain pasti sesat.

2. Faktor pendorong lahirnya berbagai mazhab di kalangan ummat Islam.

Asy-syhrastani memandang bahwa faktor pendorong lahirnya berbagai sekte pemikiran dalam Islam, terdiri dari : 
a. faktor politik, terkait dengan imamah ( Khalifah ) yang menggantikan posisi rasulullah sebagai pemimpin ummat dalam hal kenegaraan dan kemasyarakatan.
b. faktor teologi, terkait dengan empat masalah dasar yakni : pertama, masalah sifat dan keesaan Allah, kedua, Qadha, Qadar dan keadilan Allah, jabar dan kasab, keinginan berbuat baik dan jahat, masalah yang diluar kemampuan manusia dan masalah yang diketahui dengan jelas,ketiga, masalah wa’ad ( Janji), wa’id (ancaman), dan asma Allah, keempat, masalah wahyu, akal, kenabian, kebaikan dan keburukan kasih sayang Allah, kesucian para nabi, dan syarat-syarat imamah.

3. kesamaran pemikiran yang terjadi di kalangan ummat manusia, baik sumber maupun akibatnya.

Kekeliruan pertama yang terjadi di kalangan mahluk Allah adalah kekeliruan yang dilakukan oleh Iblis. Sumber kekeliruan ini adalah karena Iblis dikuasai oleh nafsu martabat asal kejadiannya. 

Dalam hal mengkritisi kemahakuasaan Allah, Iblis mengajukan tujuh pertanyaan.

1. Dia maha tahu segenap yang akan aku perbuat dan akibatnya sebelum dia menciptakan aku, tapi mengapa dia masih menciptakan aku?

2. Allah menciptakan diriku dengan kehendak dan kekuasaannya, mengapa aku masih diperintahkan untuk mengenal dan mentaatinya, padahal ketaatan itu sedikitpun tidak meringankan kemaksiatanku bagi Allah.

3. Karena Allah telah menciptakan diriku dan memerintahkan aku mentaatinya, maka aku telah memenuhi perintahnya. Tapi mengapa aku diperintahkan lagi bersujud pada adam? Maka apa hikmahnya perintah khusus ini dia tahu tidak ada gunanya pengenalanku dan ketaatanku kepadanya.

4. Allah menciptakan dan memerintahkanku secara umum, kenapa aku dibebani perintah husus dan kalau aku tidak bersujud kepada adam kenapa aku dikutuk dan dikeluarkan dari surga, apa hikmahnya sedang aku tak pernah berbuat jahat kecuali aku hanya mengatakan tidaka akan sujud melainkan kepada Allah semata.

5. Allah telah menciptakan diriku, kenapa aku dikutuk dan tidak diberi kesempatan seperti yang diberikan kepada adam masuk ke dalam surga untuk kedua kali, aku akan memperdayanya seperti aku telah berhasil mempedayanya dengan memakan buah kayu yang terlarang dan dikeluarkan dari surga bersama dengan aku. Apa hikmahnya aku dilarang masuk surga sehingga Adam terhindar dari gangguanku dan kekal di dalam surga.

6. Allah telah menciptakan diriku, mengutuk dan mengeluarkan aku dari surga karenanya terjadi permusuhan antara aku dan adam, kenapa kepadaku diberi kekuasaan, untuk mengganggunya, sehingga aku melihatnya dan dia tidak dapat melihatku, aku dapat memperdayinya dan dia tak dapat memperdayai aku. Apa hikmahnya mereka diciptakan dalam keadaan suci dan mereka hidup suci, menaati Allah dan sangat berhati-hati padahal aku lebih layak menerima semua itu.

7. Aku menerima semua itu, Allah menciptakan diriku dan kalau aku tidak menaatinya aku dikutuk dan diusir, karena itu berikan kesempatan kepadaku untuk masuk surga, tetapi kalau aku mengerjakan sesuatu kesalahan maka aku dikeluarkan dari surga dan dibangkitkan permusuhan abadi dengan manusia. Apa hikmahnya aku dikutuk dan adam hidup tenang, apakah keberadaanku menjadi bencana bagi alam semesta? Apakah hukum alam berlaku atas kebaikan dan kejahatan.

Kekeliruan Iblis tersebut dalam pandangan Syahrastani, kemudian menjadi pangkal dari segenap kerancuan pemikiran manusia yang mengadopsi cara Iblis mengkritisi eksistensi tuhan. 

Dengan argumen ini Syahrastani mengkritisi pandangan mazhab teologi seperti Qadariyah,dan Jabariyah, sebagai mazhab teologi yang bermanhaj Iblis. Mu’tazilah dalam pandangannya menyamakan Allah dengan manusia dari aspek perbuatan, sementara golongan musyabahah menyamakan Allah dengan manusia dari aspek sifat. Kedua mazhab tersebut menurutnya tercela. Mazhab Mu’tazilah berlebihan di dalam bidang tauhid, sehingga meniadakan sifat Allah. Mazhab Masyabahah terlalu picik sehingga memberikan sifat yang ada pada khalik sama dengan sifat yang ada pada semua benda. Sedang Rafidhah terlalu berlebihan dalam teori nubuwah dan imamah yang sampai pada Hulul dan mazhab Khawarij lebih sempit lagi sampai menolak kepemimpinan manusia.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...