Senin, 25 Oktober 2021

Nasyiruddin At-Tusi Sang Filosof Muslim Abad 13


Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Muhammad al-Hasan Nashir al-Din al-Thusi al-Muhaqqiq. Lahir pada 18 Pebruari 1201 M/597 H di Thus, sebuah kota di Khurasan, tempat ia menerima pendidikannya yang pertama dari Muhammad ibn Hasan. Gurunya yang lain adalah Mahdar Farid al-Din Damad dalam bidang fiqih, ushul, hikmah, dan ilmu kalam, Muhammad Hasib dalam bidang Matematika di Naishapur. Kemudian ia pergi ke Baghdad untuk belajar pengobatan dan filsafat pada Qutb al-Din dan matematika pada Kamalal-Din ibn Yunus, sedangkan fiqih dan ushul pada Salim ibn Badran. Kemasyhurannya sebagai sarjana berpengetahuan luas tersiar ke berbagai wilayah Persia, lalu ia diculik oleh Nashir al-Din Abd al-Rahman ibn Ali Mansur, Gubernur kaum Ismaili di Kohistan, yang mengutusnya ke Alamut. Thusi berada di Alamut sampai ditaklukan Hulagu.

Nasiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai  “ Ilmuan serba bisa “ (Multi talented). Julukan (laqob) itu rasanya amat pantas disandangnya karena sumbangannya bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu, seperti astronomi, biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hinga ilmu agama islam.
       
Sarjana Muslim yang kemansyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah gereja seperti Thomas Aquinas, memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan  Nasiruddin Ath-Thusi. Ia lahir pada tanggal 18 Februari tahun 1201 M / 597 H, di kota Thus yang terletak di dekat Mashed, disebelah timur lautan Iran. Sebagai seorang Ilmuan yang amat kondang pada zamannya, Nasiruddin memiliki banyak nama antara lain, Muhaqqiq, Ath-Thusi, Khuwaja Thusi, dan Khuwaja Nasir.
       
Nasiruddin lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia islam telah mengalami masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvensi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan E.F.Robertson, bahwa pada masa itu, dunia diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil, Nasiruddin digembleng ilmu oleh ayahnya yang beprofesi sebagai ahli hukum di sekolah Imam Kedua Belas.
       
Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, Ath-Thusi mempelajari Fiqih, Ushul, Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya Ibnu Sina, dari Mahdar Fariduddin Damad,dan Matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Dia kemudian pergi ke Baghdad di sana, dia mempelajari ilmu pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin,dan juga Matematika dari Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan.
       
Pada tahun 1220 M, invasi militer Mongol telah mencapai Thus dan kota kelahiran Nasiruddin pun dihancurkan. Ketika situasi keamanan tak menentu, penguasa Islamiyah ‘Abdurahim mengajak sang ilmuwan untuk bergabung. Tawaran itu tidak disia-siakannya, Nasiruddin pun bergabung menjadi salah seorang pejabat istana Islamiyah. Selama mengabdi di istana itu, Nasiruddin mengisi waktunya untuk menulis beragam karyanya yang penting tentang logika, filsafat, matematika, serta astronomi. Karya pertamanya adalah kitab Akhlaq-I Nasiri yang ditulisnya pada tahun 1232 M.
       
Pasukan Mangol yang dipimpin Hulagu Khan – cucu Chinggis Khan pada tahun 1251 M akhirnya menguasai Istana Alamut dan meluluhlantakkannya. Nyawa Nasiruddin selamat karena Hulagu ternyata sangat menaruh minat terhadap ilmu pengetahuan. Hulagu yang dikenal bengis dan kejam, tapi Nasiruddin diperlakukan dengan penuh hormat. Dia pun diangkat Hulagu menjadi panesehat dibidang Ilmu Pengetahuan. Meskipun telah m,enjadi panesehat pasukan Mangol, Nasiruddin tidak mampu menghentikan ulah dan kebiadapan Hulagu  Khan yang membumi hanguskan kota metropolis intelektual dunia yaitu kota Baghdad, pada tahun 1258 M. terlebih disaat itu, dinasti Abbasiyah berada dalam kekuasaan Khalifah Al-Musta’sim yang lemah. Terbukti pada militer Abbasiyah tak mampu membendung gempuran pasukan Mongol.
       
Meskipun tak mampu mencegah terjadinya serangan bangsa Mongol, paling tidak Nasiruddin bisa menyelamatkan diri dan masih berkesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. “Hulagu sangat bangga sekali karena berhasil menakhlukkan Baghdad dan lebih bangga lagi karena ilmuan terkemuka seperti Ath-Thusi bisa bergabung bersamanya” paparan O’Connor dan Robertson dalam tulisan nya tentang Sejarah Nasiruddin sebagaimana dalam tulisan Heri Ruslan.
       
Hulagu sangat senang sekali ketika Nasiruddin mengungkapkan rencananya untuk membangun Observatorium di Maragha. Saat itu, Hulagu telah menjadikan wilayah Malagha yang berada wilayah Azerbaijan sebagai ibu kota pemerintahannya. Pada tahun 1259 M. Nasiruddin pun mulai membangun Observatorium yang megah. Jejak dan bekas bangunan observatorium itu masih ada dan dapat kita jumpai sampai sekarang ini.  Observatorium Maragha mulai beroperasi pada tahun 1262 M. pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan serjana dari Persia dibantu astronom dari Cina. Teknologi yang digunakan di observatorium itu terbilang canggih pada zamannya. Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di observatorium itu ternyata merupakan penemuan dari Nasiruddin, yang salah satunya yaitu Kuadran Azimuth. Selain itu juga, dia membangun perpustakaan di observatorium itu, koleksi buku-bukunya terbilang lengkapyakni terdiri dari beragam Ilmu-ilmu pengetahuan. Ditempat itu, Nasiruddin tak Cuma mengembangkan bidang astronomi saja. Dia pun turut mengembangkan filsafat dan matematika
       
Di observatorium yang dipimpinnya itu, Nasiruddin Ath-Thusi berhasil membuat table pergerakan planet yang akurat. Kontribusi lainnya yang amat penting bagi perkembangan astronomi adalah kitab Zij-Ilkhani yang ditulis dalam bahasa Persia dan lalu diterjemahkan kedalam bahasa arab. Kitab itu disusun stelah 12 tahun memimpin observatorium Maragha. Selain itu Nasiruddin juga berhasil menulis kitab terkemuka lainnya yang berjudul At-Tadhkira fi’ilm Al-hay’a ( Memoar Astronomi ). Nasiruddin mampu memodifikasi model semesta apisiklus Ptolomeus  dengan prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit. Nasiruddin meningal dunia pada tahun 672 H / 1274 M dikota Baghdad, yang pada saat itu dibawah pemrintahan Abaqa ( Pengganti Hulagu ) yang masih mendapat dukungan sampai akhir hayatnya.

Integralitas Pemikiran‎
Abad 13 adalah masa kritis “kekhalifahan” Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir politik yang orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi kita mengenal Nasiruddin Al Tusi, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Beliau mempelajari filsafat Yunani dan filsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, Al Farabi, Ibn Sina dan sebagainya. Beliau juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nisapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban berpengaruh.

Beliau juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Nizari-Islamiliyah. Menurut Antony Black, At Thusi tidak pernah menjadi pengikut Islamiliyah, kendati ide-ide Ismailiyah muncul dalam karyanya, yang kelihatannya telah diedit sebagian dikemudian hari. Bisa jadi at-Thusi juga menulis sebuah ringkasan tentang ajaran-ajaran Nizari Islamiliyah yang berjudul ‘Rawdhah alTaslim’ atau Tashawurat.

Dalam pemikiran agama, al-Tusi mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sina dan Suhrawardi, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai Filsuf. Akan tetapi, berbeda dari Ibn Sina, ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus filsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.

Dalam pemikiran politik, al Tusi cenderung menyintesiskan ide-ide Arsatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre Nasehat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etika-nya disajikan sebagai sebuah karya filsafat praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarga, dan komunitas kota, provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sina, dan bagian III menggunakan pemikiran Al Farabi.

Nasiruddin Al Tusi bermaksud menyatukan filsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk 1). Individu, 2). Keluarga, dan 3). Penduduk desa atau kota. Menurutnya filsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti.  Beliau menafsirkan Negara atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismailiyah, hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fuquha dan juga para imam. Sehingga at-Tusi menganggap syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.

Krya-karya Nasiruddin Ath-Thusi

Benar kalau dikatakan bahwa Ath-Thusi adalah seorang ulama yang menguasai berbagai bidang Ilmu, bukan hanya seorang filsuf semata. Hal itu terlihat dari berbagai disiplin keilmuan yang ditulisnya dalam bentuk buku atau kitab.
       
Meskipun Ath-Thusi pandai dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan namun ia bukan seorang ilmuwan / filsuf yang kreatif sebagaimana filsuf yang ada ditimur yang memuat sebelumnya. Ia bukan termaksuk ahli fikir yang kreatif yang memberikan gagasan-gagasan murni yang cemerlang. Hal ini tampak pada kedudukan ia sebagai pengajur gerakan kebangktan kembali dan dalam karya-karyanya kebanyakan bersifat eklektis yakni bersifat memilih dari berbagai sumber. Tetapi meskipun demikian, ia tetap memiliki cirri khas tersendiri dalam menyajikan bahan tulisannya. Kepandaiannya yang beragam sungguh mengagumkan. Minatnya yang banyak dan berjenis-jenis mencakup filsafat, matematika, astronomi, fisika, ilmu pengobatan, mineralogy, music, sejarah , kesusastraan dan dogmatik.

Adapun karya-karya Nasiruddin Ath-Thusi sebagi berikut.

1.      Karya dibidang logika diantaranya:
a.       Asas Al-Iqtibas
b.      At-Tajrid fi Al-Mantiq,
c.       Syarh-I Mantiq Al-Isyarat
d.      Ta’dil Al-MI\i’yar
2.      Di bidang metafisika meliputi :
a.       Risalah dar Ithbat-I Wajib,
b.      Itsar-I Jauhar Al-Mufariq,
c.       Risalah dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad,
d.      Risalah dar Itsbat-I ‘Aqi-I Fa’al,
e.       Risalah Darurat-I Marg,
f.       Risalah Sudur Kharat Az Wahdat,
g.      Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul,
h.      Tashawwurat,
i.        Talkis Al-Muhassal dan
j.        Hall-I Musykilat Al-Asyraf.
3.      Di bidang etika meliputi :
a.       Akhlak-I Nashiri,
b.      Ausaf Al-Asyarf.
4.      Sementara di bidang dogmatik adalah :
a.       Tajrid Al’Aqa’id,
b.      Qawa’id Al-‘Aqa’id,
c.       Risalah-I I’tiqodat.

5.      Di samping itu, beberapa karyanya dalam bidang astronomi terangkum pada :
a.       Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a,: buku suntingan dari sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table ( penyempurnaan Planetary Tables )
b.      Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a; buku ini terdiri dari atas empat bab 
( I ) pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti, gerak-gerik sederhan, dan kompleks. 
( II ) pengertian-pengertian astronomikal secara umum, perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh Carr De Vaux penuh dengan kritikyang tajam atas Almagest karya Ptolemy. Kritikan ini merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasan-pembiasan pada bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet.
( III ) bumi dan pengaruh benda-benda angkasa atasnya, termaksuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta bagaimana hal ini terjadi. 
( IV ) besar dan jarak antar planet.
c.       Zubdat Al-Hai’a 9 yang terbaik dari astronomi),
d.      Al-Tahsil fil An-Nujum,
e.       Tahzir Al-Majisti,
f.       Mukhtasar fial-ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin ( ringkasan astrologi dan penanggalan),
g.      Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam  An-Nujum ( buku terunggul tentang Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman ).

6.      Di bidang arritmatika, geometri, dan trogonometri adalah :
a.       Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-Turab ( ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan bumi ),
b.      Al-Jabr wa Al-Muqabala ( risalah tetang Al-Jabar )
c.       Al-Ushul Al-Maudua ( risalah mengenai Euclidas Postulate ),
d.      Qawa’id Al-Handasa ( kaidah-kaidah geometri ),
e.       Tahrir al-Ushul,
f.       Kitab Shakl Al-Qatta ( risalah tentang Trilateral ), sebuah karya dengan keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang abad pertengahan. Buku tersebut sanagat berpengaruh di Timur dan di Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian trigonometri.

7.      Di bidang optic, ia tuangkan keilmuannya tersebut dalam
a.       Tahrir Kitab Al-Manazir,
b.      Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in Itaafiha ( penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).
8.      ‎Di bidang seni ( syair ) meskipuntidak sekeliber Omar Khayam atau pun Jalaluddin Rumi, ia juga mampu menghasilkan karya yang diabadikan dalam buku yang berjudul Kitab fi Ilm Al-Mau-Siqi dan Kanz At-Tuhaf.

9.      Karya di bidang medical adalah kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-peraturan kesehatan dan hubungan seksual.

Beberapa pikiran lainnya dapat dikemukaakn di sini tentang kajian perbandingan dan pembagiannya. Thusi dengan jelas menyatakan bahwa setiap perbandingan suatu besaran, apakah sepadan atau tidak dapat dikatakan sebagai bilangan, suatu pernyataan Newton yang membantu menegaskannya kembali dalam Universitas Arithemetic pada tahun 1707.

Filsafat Nasiruddin Ath-Thusi‎

a.       Sosial-Politik
Nasiruddin at-Tusi adalah seorang pemikir politik prolifik. Dengan keahliaannya yang sangat komplit, at-Tusi mampu menyuguhkan sebuah pemikiran idealis tentang politik. Hal ini dapat dilihat ketika Tusi, pertama-tama mengkaji tentang kemanusiaan sebagai tahap awal munculnya politik dalam diri manusia, kemudian Ia juga membahas bagaimana fitrah manusia sebenarnya. Kedua adalah tentang masyarakat politik, beliau menjelaskan elemen-elemen masyarakat politik, seperti adanya kerja sama dalam bidang ekonomi, elemen keadilan, dan bahkan elemen cinta. Untuk itulah akan kita lihat pemikiran sosio-politiknya yang khas. Kemudian setelah terbentuk masyarakat politik, Tusi juga menjelaskan adanya kelompok masyarakat dengan status yang berbeda berdasarkan kemampuan dan usaha mereka masing-masing. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles. Dan kesemuanya itu akan sangat jelas dan khas dalam pandangannya tentang Negara aktual yang bercorak Nasihat kepada Raja atau pemimpin, yang mengisyaratkan adanya sebuah “persatuan spiritual” dalam mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan.

Di dalam menjelaskan adanya kerja sama dan organisasi sosial yang beliau sebut sebagai masyarakat politik, sebuah masyarakat yang tercipta karena secara fitrah manusia adalah makhluk sosial dan mempunyai kebebasan dalam berpikir. Disnini Nasiruddin at-Tusi membaginya kedalam tiga elemen dasar terciptanya masyarakat politik tersebut.

Elemen pertama adalah bidang ekonomi politik, khususnya ketrampilan. Kebutuhan hidup manusia disediakan oleh ‘pengaturan teknik (tadbir al-shna’i) seperti penanaman bibit, panen, membersihkan, menumbuk dan memasak’. Menurutnya, untuk alasan ini Kebijaksanaan Tuhan meniscayakan perbedaan hasrat dan pendapat manusia, sehingga setiap manusia menghasratkan pekerjaan yang berbeda-beda, ada yang menginginkan pekerjaan mulia, ada yang hina, dan kenyataanya kedua-duanya sama-sama merasa gembira dan puas.

Kemudian yang menarik disini ketika Tusi berpendapat bahwa  ketrampilan ini sangat bergantung pada uang. Menurutnya “uang” merupakan sebuah “instrumen keadilan”. Uang adalah hukum yang lebih rendah, mediator yang adil antara manusia dalam berhubungan ekonomi,  bahkan dapat dikatakan juga bahwa uang adalah merupakan “keadilan yang diam”. Selain uang, ketrampilan pun bergantung pada oraganisasi sosial. Menurutnya, karena manusia harus bekerja sama, maka spesies manusia pada hakikatnya membutuhkan perpaduan, yakni terbentuknya kehidupan sipil atau tamaddun. Karena itu manusia pada dasarnya adalah penduduk kota atau warga Negara.

Selanjutnya yang dibutuhkan sebuah warga Negara adalah suatu manajemen khusus, yaitu syiasah atau pemerintahan. Pemerintahan dibutuhkan karena pertukaran moneter antar manusia kadang-kadang membutuhkan arbitase. Maka menururtnya elemen kedua dalam masyarakat politik adalah “keadilan”. Dalam hal ini at-Tusi sangat terpengaruh oleh Plato yang memandang keadilan sebagai inti kebajikan, harmoni keberagamaan. Kemudian ia melanjutkan bahwa keadialan di kalangan manusia tidak dapat dijalankan tanpa tiga hal; perintah Tuhan (numus-I ilahi), seorang pemberi keputusan diantara manusia (hakim) dan uang.

Elemen terakhir yang mungkin paling unik adalah penjelasannya tentang asosiasi manusia dengan “cinta”, yang menurutnya memainkan peran lebih sentral dari pada teori sosial Islam lainnya. “Cinta” melahirkan kehidupan yang beradap (tamadun) dan persatuan sosial. Baginya cinta merupakan “penghubung semua masyarakat”. Cinta mengalir dari fitrah manusia itu sendiri (Mungkin ini dambil dari gagasan neo-Platonis). Menurutnya semakin kita tersucikan, semakin kita menjadi subtansi-subtansi sederhana yang mengetahui bahwa “tidak ada perbedaan antara memaknai atau mengabaikan sifat fisik” dan bahkan mencapai “kesatuan batin” melalui cinta satu sama lain. Sebagai contoh, At-Tusi memandang umat Islam terdiri atas asosiasi tunggal, sebagaimana pengertian Aristoteles. Sikap saling membantu dan mencintai serta kerja sama membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan. Hal ini secara tidak langsung melahirkan kemanuggalan semua orang pada Manusia Sempurna, sebagaimana diajarkan dalam doktrin Syiah Ismailiyah. Disini dapat kita lihat sepertinya Al Tusi telah berhasil mengintegrasikan pemikiran Aristoteles dan Syiah secara lebih mendalam.

Secara lebih khusus, Al Tusi seperti pemikir muslim lainnya memandang pemerintahan atau syiasah dalam kaitannya dengan perhatian pada karakter dan hak-hak istimewa pemimpin, yang beliau sebut sebagai raja (Malik). Beliau sangat rinci didalam menjelaskan adanya empat tipe pemerintah dari pemikiran filsafat Aristoteles, yaitu; pemerintahan yang mementingkan keagungan raja, kekuasaan, kemuliaan dan komunitas. Al Tusi hendak mengatakan bahwa keempat aspek itu sama-sama terdapat dalam sebuah pemerintahan; raja adalah sebuah “pemerintahan dari berbagai pemerintahan” yang berfungsi untuk mengorganisasikan ketiga aspek lainnya.

Disini at-Tusi tampaknya mengaitkan pandangannya dengan pemerintahan  yang bernuansa keagamaan. Pemerintahan umat berurusan dengan peraturan-peraturan keagamaan dan dengan keputusan-keputusan intlektual. Walaupun at-Tusi barangkali merujuk pada “pemerintahan oleh rakyat untuk kebaikan bersama (politea), beliau tidak menfsirkannya dalam pengertian pemerintahan oleh rakyat, sebagaimana demokrasi. Namun, menurutnya pemerintahan seperti itu harus dipimpin oleh seorang istimewa yang ditunjuk oleh Tuhan dan agar rakyat mengikutinya. Dimana menurut pandanganYunani kuno disebut sebagai “pemilik Hukum” dan kaum Muslim menyebutnya dengan Syariat. Disini beliau menjadi sedikit berbeda dengan Al Farabi, dan menganggap bahwa pemerintahan “oleh rakyat” adalah bentuk pemerintahan yang baik. Dan mungkin kalau ditarik lebih jauh lagi pada masa sekarang, konsep sederhana Tusi tentang pemerintahannya ini sebagai awal perkembangan Syiah Imamiyah dan bahkan yang melahirkan Republik Islam yang pertama di Iran oleh Imam Khomeini.

b.      Terbentuknya Kelompok-kelompok Politik

Sebagaimana Al Farabi yang mencoba mengklasifikaskan manusia berdasarkan pembagian kerja dan kecenderungan individu dalam pemenuhan kebutuhannya, Nasiruddin al Tusi juga membagi komunitas manusia kedalam ; 1) keluarga, 2) Kedaerahan, 3) kota, 4) Komunitas besar, umam-I kabir, sebuah bangsa, dan 5) penduduk dunia. Yang menjadi menarik disini adalah bagaimana menghubungkan komunitas-komunitas tersebut? Al Tusi mengajukan sebuah pengajaran filsafat yang tercipta pada konsep tentang kepemimpinan (rais). Walaupun setiap kelompok mempunyai pemimpin masing-masing, kepala keluarga adalah bawahan dari kepala daerah, dan seterusnya, dan semuanya merupakan bawahan dari pemimpin dunia, sang pemimpin Mutlak bagi kehidupan politik manusia. Kelangsungan dan kesempurnaan setiap individu sangat tergantung pada komunitas yang terakhir ini.

Komunitas universal ini kemudian bergantung pada ilmu politik (hikmat-i al-madani) “kecakapan tertinggi” yang mengungguli seluruh kecakapan lainnya, yang menjadi “kajian hukum universal/Qawanin, yang menghasilkan manfaat terbaik bagi mayoritas, karena mereka diarahkan, melalui kerjasama, menuju kesempurnaan sejati. Menurutnya pengetahuan tertinggi mengenai hikmah merupakan fondasi keteraturan sosial.

Lebih rinci lagi, dan mungkin ini yang membedakannya dengan Al Farabi tentang pembagian kelas sosial, nampak At-Tusi sangat kontekstual terutama pada ranah hidupnya, yaitu khas Iran-Islam. Pengelompokan itu meliputi; 1). “ahli pena” yaitu orang-orang yang pakar dalam ilmu pengetahuan, yang meliputi  fikih, dokter, penyair, ahli geometri, astronom, dan keberadaan dunia sangat bergantung kepadanya. 2). “ahli pedang” yaitu para tentara dan prajurit. 3). “ahli bisnis” termasuk diantaranya para pedagang, pekerja terampil, dll. Dan 4). Petani.

Disini kita melihat bahwa tujuan ilmu politik adalah menciptakan keseimbangan diantara berbagai lapisan komunitas, baik secara vertikal maupun horisontal. Sebuah keadilan yang tercipta antara pemimpin utama, dibawahnya, dan seterusnya, dan juga keadilan dalam suatu lapisan masyarakat. Dari tujuan ini, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah mempelajari ilmu politik itu diwajibkan bagi setiap orang? Itu juga yang menjadi pertanyaan At-Tusi. Mungkin dalam hal ini kita bisa setujui Antony Black yang berpendapat bahwa disinilah muncul sebuah sentiment egalitarian, yang mungkin lebih dekat dengan keilmuan Sunni dari pada Syiah. Sejauh pembacaan terhadap pemikiran politik at-Tusi, mengisyaratkan akan adanya pembelajaran tentang ilmu politik bagi semua orang. Tetapi  bagaimanapun juga, tujuan politik adalah kebajikan, dan bahwa setiap orang harus belajar untuk mencapai kesempurnaan ini.

Menjadi menarik pula ketika at-Tusi menyebut asosiasi seluruh dunia dibawah “pimpinan imam”, sebagai “Kota Utama”. Selain mirip dengan pemikiran Al Farabi, hal ini mengisyaratkan pandangannya tentang komunitas Syiah (mungkin imamiyah) sebagai kota Utama yang ia maksudkan. Menurutnya, Kota Utama digambarkan sebagai komunitas orang-orang yang selaras dalam pandangan dan perbuatan, sebuah komunitas spiritual yang saling berhubungan satu sama lain. Penduduk Kota Utama, kendati beragam di seluruh dunia, namun dalam realitas mereka saling bersepakat dalam jalinan kasih sayang, sehingga keseluruhan tampak satu.

Sebagai wujud kekhasan teori sosio-politiknya, Al Tusi membahas lebih dalam sebuah Negara aktual yang dipimpin seorang raja “agung” (Badshah) dalam wacana Nasihat kepada Raja. Mungkin bahasan ini hampir sama dengan bahasan mengenai Kota Ideal, tetapi ini berbeda dalam cara pencapaiannya. Menurut At-Tusi, jika kerajaan ingin mencapai kesuksesan, ia harus mempunyai “persatuan spiritual”. Pandangan ini sangat jelas terlihat dalam konsepnya tentang elemen cinta, bahwa sesungguhnya ketika seluruh penduduk sudah menyadari akan kesatuan seabgai satu tubuh, maka kerja sama dan saling tolong menolong akan tercipta dengan sendirinya. Semua ini ia ibaratkan seperti kerjasama organ dalam tubuh manusia. Tingkat persatuan spiritual semacam itu menentukan kemajuan dan kemunduran Negara.

Di Negara-negara aktual, kewajiban pemimpin adalah memikirkan keadaan rakyatnya dan mengabdikan dirinya untuk menjaga keadilan. Artinya, secara khusus tugas kepala Negara adalah menjaga keseimbangan antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga pemimpin harus menghindarkan diri dari dominasi kelompok. Maka secara tidak langsung, jelas terlihat pemikiran sosio-politik Nasruddin At-Tusi ketika menjadikan status, atau kelas sebagai perhatian utama pemerintah.

c.       Kemanusiaan

Pemikiran politik al Tusi didasarkan  atas pandangan tentang kemanusiaan sebagai jalan tengah antara tingkatan intelektual dan spiritual yang lebih tinggi dengan tingkatan lahir yang fana. Pendapat ini mirip dengan pemikiran Al Farabi, bahwa setiap orang mampu mencapai kebahagiaan abadi, tergantung pada upaya masing-masing. Pandangan tentang kebebasan manusia ini berjalan seiring dengan pandangan keluhuran fitrah manusia. Menurutnya, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling mulia, akan tetapi kesempurnaanya menjadi tanggung jwab penalarannya sendiri yang merdeka.

Mengenai kecenderungan moral manusia, at-Tusi menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”. (Akhlaqi Nasiri. hal 210). Beliau menyimpulkan bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan; pertama, pengaturan dunia materi oleh akal, melalui seni dan ketrampilan. Kedua, membutuhkan pendidikan, disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya diadaptasikan pada dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktur.

d.      Filsafat Jiwa

Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dank arena itu tidak memerlukan bukti lain. Lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. Dalam masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakn suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argument mensyaratkan adanya seorang ahli argument dan sebuah masalah untuk diargumentasi, sedangkan dalam hal ini keduanya sama yaitu jiwa.
       
Jiwa merupan subtansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasaan, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tidak dapat dibagi, kemampuanya untuk membuat bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan bentuk-bentuknya yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi rasa.
       
Thusi menambahkan menambahkan dua argumentasinya sendiri. Penilaian atas logika, fisika, matematika, teologi, dan sebagainya, semuanya ada di dalam satu jiwa tanpa bercampur baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada di dalam suatu subtansi material. Oleh karena itu, jiwa merupakn suatu subtansi immaterial. Lagi pula, akomodasi fisik itu terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan di dalam sebuah tempatyang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan dan konsep objek yang dikenalnya kedalam banyak ruang agar setiap waktu diperlukan. Ini juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang sederhana dan immaterial.
       
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,”  kata “ku” menunjukkan induvidualitas  ( huwiyyah ) jiwa, yang memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan jasmaniyah. Memang, jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurna dirinya, tetapi ia tidak begitu, dikarenakan pemilikannya akan tubuh.
       
Ath-Thusi menambahkan jiwa imajinatif yang menempati posisi tengah diantara jiwa hewan dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal ( nutq ) yang menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis yaitu akal teoritis dan akal praktis, sebagaiman yang dikemukan oleh Aristoteles. Dengan mengikuti pendapat Al-Kindi, Ath-Thusi beranggapan bahawa akal teoritis merupakan suatu potensialita, yang perwujudannya mencangkup empat tingkatan, yaitu akal material ( Aql-I Hayulani ), akal malaikat ( Aql-I malaki ), akal aktif ( ‘Aql-I bi al-Fi’il ), dan akal yang diperoleh (‘Aql-I Mustafad ). Pada tingkatan akal yang diperoleh setiap bentuk konseptual yang terdapat didalam jiawa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada didalam kaca yang dapat dilihat oleh orang tersebut. Di pihak lain, akal praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan yang tidak sengaja dan sengaja. Oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan lewat tindakan tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis.
       
Jiwa imajinatif berkenaan dengan presepsi-presepsi rasa dari satu pihak, dan dengan abstraksi-abstraksi rasional dari pihak lain, sehingga jika ia disatuakan dengan jiwa hewani, ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira dan bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dan tubuh, suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hokum atau perhargaan jiwa manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini ( hai’at ) yang dikenal atau dilakukan oleh jiwa imajinatif di dunia ini.
       
Imajinasi  sensitive dan kalkualtif Aristoteles jelas merupakn struktur jiwa imajinasi Thusi, tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukum dan penghargaan yang berbelit-belit diakhirat, ini merupakan gagasan-gagasannya sendiri. Adapun mengenai tradisi yang diterimannya dari Ibnu Sina dan Al-Ghazali, Ath-Thusi mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan akal sehat ( Hiss-I Mushtarak ) dalam ruangan otak yang pertama, persepsi ( Mushawwirah ) di awal bagian pertama ruang otak yang kedua, imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan ingatan dibagian belakang otak.

e.      Metafisika
       
Menurut Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan ( ‘Ilm-I Ilahi ) dan filsafat pertama ( Falsafah-I Ula ) pengetahuan tentang tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu ketuhan dan pengetahuan mengenai alam semesta dan hal-hal yang berhubunga dengan alam semesta merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok ketunggalan dan kemejemukan, kepastian dan kemungkinan, esensi, dan eksistensi kekekalan dan ketidak kekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut.
       
Diantara cabang (furu’) metafisika itu termaksuk pengetahuan kenabian ( Nubuwwat ), kepemimpinan spiritual ( Imamat ) dan hari pengedalin (Qiyamat ). Jelajah subjek itu menunjukan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.

f.       Logika
       
Mengenai logika, karya-karyanya meliputi Asas Al-Iqtibas, Syarh-I Mantiq Al-Isyarat, Ta’adil Al-Mi’yar dan Tajrid fi Al-Mantiq. Karya yang disebut pertama memberikan penjelasan yang gambalang mengenai masalah itu dalam bahasa Persia atas dasar logika Ibnu sina dalam Asy-Syifa.
      
Ath-Thusi menganggap logika sebagai suatu ilmu dan suatu alat ilmu. Sebagai ilmu, ia bertujuan memahami makna-makna dan sifat dari makna-makna yang dipahami itu. Adapun sebagai alat, aia menjadi kunci unutuk memehami berbagai ilmu. Kalau pengetahuan tentang makan dan sifat dari makna-makna itu menjadi sedemikan berurat akar di dalam pikiran sehingga tidak diperlukan lagi pemikiran refleksi, ilmu logika menjadi suatu seni yang bermanfaat ( san’at ) yang membebaskan pikiran dari kesalahan pengertian di suatu pihak, dan kekacauan di lain pihak.
       
Setelah mendefenisikan logika Ath-Thusi, sebagaimana Ibnu Sina memulai dengan pembahasan pendek mengenai teori pengetahuan. Semua pengetahuan adalah konsep ( Tashawwur ) atau penilaian ( Tashdiq ) ; yang pertama bias didapat lewat defenisi dan yang kedua lewat silogisme. Dengan begitu, defenisi dan silogisme merupak dua alat untuk mencapai pengetahuan.
       
Tidak seperti Aristoteles, Ibnu Sina membagi semua silogisme menjadi silogisme kopulatif ( Iqtirani ) dan silogisme ekseptif ( Is-Titsna’I ). Tusi mengikuti pembagian ini dan mengabungkannya dengan caranya sendiri. Karya-karyanya dibidang logika secara garis besar bercorak logika Aristoteles, tetapi ia tidak menyebutkan tiga silogisme , melainkan empat sumber dan sumber dari bentuk keempat ini terdapat pada Orgonon-nya Aristoteles ataupun karaya-karya logika Ibnu Sina.

g.      Kenabian
       
Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh. Thusi selalu menetapkan perluya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebsan induvidu mengakibatkan tercerai berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci dari tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada diluar jangkauan indra , oleh karena itu, dia mengutus para nabi untuk membantu orang-orang. Pada gilirannya, ini memerlukan pranata kepemimpinan spiritual setelah para nabi untuk menerapkan Aturn suci tersebut.

h.      Tuhan
       
Setelah menyangkal kemungkinan logis eteisme dan adanya dualitas pokok, Thusi tidak seperti Farabi, Ibnu Miskawaih, dan Ibnu Sina, mengemukakan bahwa logika dan metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai penyebab utama bagi adanya bukti-bukti dan kerenanya merupakan dasar dari semua logika dan metafisika. Dia sendiri tiadak bergantung pada bukti-bukti logis, sebagaiman hokum-hukum dasar logika formal, ia tidak memerlukan dan memberikan kemungkinan untuk pembuktian. Ia adalah prinsip logika kosmik yang bersifat a priori, mendasar, perlu dan membuktikan diri. Eksistensinya harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Dari studi kehidupan moral pun, Thusi sampai pada kesimpulan yang sama dan seperti Kant pada zaman modern, dia beranggapan bahwa eksistensi Tuhan merupakan suatu postulat pokok etika.
       
Selanjudnya Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan. Dan karena mustahil bagi manusia yang terbatas untuk memahami Tuhan dalam keseluruhan-Nya, dan mustahil pula bagi manusia untuk membuktikan eksistensi-Nya.
       
Masalah mengenai apakah dunia ini kekal (qodim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan ( hadis ) merupakan salah satu masalah yang sangat membingungkan dalam filsafat muslim. Aristotelis mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan gerakan pada penciptaan Tuhan, sang penggerak utama. Ibnu Miskawaih setuju dengan Aristoteles yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan; tetapi tidak seperti filusuf Yunani itu, dia mengemukakan bahwa dunia ini, baik dalam bentik meterinya diciptakan Tuhan dari ketidakadaan. Adapun Thusi dalam karyanya Tashawwurat ( yang ditulis pada masa pemerintahanIslamailiah) melakukan suatu upaya perujukan, secara setengah hati antara Aritoteles dan Ibnu Maiskawaih. Dia mulai dengan mengecam doktrin creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika didunia ini belummaujud dan kemudian tuhan menciptakannya dari ketiadaan, secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah penciptaan sebelum adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat potensial yang kemudia hari batu diwujudkan, dan ini merupakan sangkalan atas daya penciptaan yang kekal. Oleh sebab itu logisnya, Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada diri-Nya. Dunia ini, dengan kata lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan tuhan. Disini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya meskipun dalam hak dan kekuatannya sendiri, ia tercipta ( muhdats ).
       
Dalam karyanya Fushul ( risalah yang terkenal dan paling banyak diulas ), Thusi meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai creation ex nihilo. Dengan menggolongkan Dzat menjadi yang pasti dan mungkin, dia mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti, dan karena ia maujud akibat dari sesuatu yang laindari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan yang pasti itu, menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu di sebut yang tercipta ( muhdats ).
       
Dalam kitab Tashawwurat, Thusi setuju dengan Ibnu Sina yang berpendapat bahwa dari suatu ketaiadaan dapat satu, dan dengan mengikuti prinsip ini, dia menerangkan asal ( shudur ) dunia ini dari kemaujudan yang pasti itu dengan gaya Neo-Platonik. Dalam karyanya Risalah-I ‘Aql, Risalah-I ‘Hal wa Ma’lu-lat, dan Syarh-Hsyarat juga dia mendukung baik secara logis maupun matematis, penjamakan dalam proses penciptaan sebagai suatu keseluruhan. Akan tetapi dalam karyanya berikut, Qawa’id al-‘Aqa-id, Tarjid al-‘Aqa-id, dan Fushul, dia secara jelas menyerang dan menumbangkan dasar paling penting dari prinsip ini, yang sebelumnya amat dipercayai,. Refleksi akal pertama dikatakannya sebagai telah menciptakan akal, jiwa dan tubuh lingkungan pertama. Dikemukakannya bahwa sikap ini jelas mengisyaratkan kemejemukan pada yang tercipta oleh akal pertama, yang bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul satu. Adapun mengenai sumber kemejemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa kemajemukan bisa maujud melalui wawenamg Tuhan  dan bisa pula tanpa wawenang Tuhan. Jika ia maujud, karena wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia dating dari Tuhan. Dipihak lain jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu bererti adanya tuhan selain Allah.
       
Hal itu diungkapkan kembali dalam Tashawwurat. Thusi berpandangan bahwa refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Di situ dia menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori penciptaan karena desakan. Jika tuhan menciptakan karena dia butuh mencipta, Thusi mengemukakan berarti tindakan-tindakanya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu jika suatu bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi Tiada, karena penyebab keberadaan itu ditentukan oleh ketiadaan satu bagian dari penyebabnya. Hal itu selanjudnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian lain dari penyebabnya dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung perunya Tuhan, ketidakadaan mereka akhirnya menjadi ketidaan Tuhan sendiri.

Imam Abu Bakar Al-Bazzar


Kalau tak bisa menjadi rembulan untuk membahagiakan, cukup jadilah kunang-kunang dengan kesahajaan. Memang tidak semua orang bisa menjadi rembulan, dengan sinarnya ia bisa menyinari banyak orang. Tapi Jadilah seperti kunang-kunang, walau hanya cahaya yang kelap-kelip di kegelapan malam, tapi dengan melihatnya bisa memberi satu senyum dan kebahagian.

Nama beliau adalah imam Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Amru bin Abdul Kholiq bin Kholad bin Ubaidillah  al-‘atiki albisri yang terkenal dengan nama Bazzar.

Kelahiran beliau

Beliau lahir sekitar  tahun 210 H di kota Basrah Iraq.

Pertumbuhan beliau

Beliau tumbuh di masa keemasan ilmu tadwinul hadist, yaitu di masa Ali bin Al Madini, Yahya bin Mu’in dan Ahmad bin Muhammad bin Hambal, Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Abdullah bin Abdurrohman Ad Darimi, Abi Zur’ah Arroziyin, Abi Dawud As Sijistani, Muhammad bin Isa at Tirmidzi, Abi Abdurrahman An Nasai, Muhammad bin Yazid bin Majah, dan selainnya.dari para ulama’ hadist yang terkenal bersungguh sungguh dalam “membantu” sunah nabi yaitu menjaga dan melestarikan hadist.

Imam Hafidz Al Bazar tumbuh di dalam biah atau lingkungan yang ilmiyah yaitu di kota Basrah yang tekenal dengan keilmuaanya. Dan Imam Bazar kecil mulai belajar dengan cara mengahadiri majlis-majlis ulama’ untuk memperdalam ilmunya, kemudian beliau mengambil hadist dari Adam bin Abi Iyyas yang wafat pada tahun 221 H, kemudian beliau menuntut ilmu kepada para ulama’ dan syaikh-syaikh pengarang enam buku induk dalam pembahasan hadist.

Imam Hafidz Al Bazar terkenal dengan kerajinan beliau dalam mempelajari hadist dan ilmu-ilmu tentang hadist, dan perhatian beliau ke dua hal itu sangatlah besar di bandingkan dengan perhatian beliau kepada ilmu yang lainnya. Oleh sebab itulah akhirnya beliau menjadi seorang imam hadist dan faqih tentang ilmu tentang hadist.

Syaikh-syaikh beliau :

Ada lebih dari tiga puluh ulama tempat beliau belajar dan mengambil hadist, di antaranya:
Adam bin Abi Iyyas Abdurrohman, Abu Hasan (wafat : 221 H)
Ibrohim bin Sa’id, Abu Ishaq al Baghdadi Al Jauhary (wafat : 250 H)
Ibrohim bin Abdullah bin Junaid, Abu Ishaq Al Khuttaly (wafat : 270 H)
Ibrahim bin Haniy An Naisabury (wafat : 265 H)
Ibrahim bin Yusuf As Shoirify (wafat : 249 H)
Ahmad bin Ishaq Al Ahwaziy ( wafat : 250 H)
Ahmad bin Bakr (wafat : 244 H)
Ahmad bin Sinan (wafat : 259 H)
Ahmad bin Ubdah Adz Dzobiy Al Bisry (wafat : 245 H)
Ahmad bin Mansur bin Sayyar Ar Romadiy (wafat : 258 H)
Ahmad bin Yahya bin Zakarya Al Awadi (wafat : 264 H)
Basyar bin Kholid Al Askariy ( wafat : 255 H)
Basyar bin Mu’adz bin Al ‘Aqdiy Al Bisri (wafat : sekitar 240 H)
Al Jarah bin Mukhollid Al ‘Ajliy Al Bisri (wafat : 250 H)
Al Hasan bin Kholaf Al Waasiti (wafat : 246 H)
Al hasan bin Arofah, Abu Ali Al Baghdadi (wafat : 257 H)
Zuhair bin Muhammad bin Qomair Al Maruzi (wafat : 258 H)
Salamah bin Syubaib An Naisaburi (wafat : 247 H)
Al Abbas bin Ja’far bin Abdullah al Baghdadi (wafat : 258 H)
Abdullah bin Sa’id Al Kandi, Abu Sa’id Al Asaj Al Kufi (wafat : 257 H)
Abdullah bin Wadzoh Al Kufi (wafat : 250 H)
Abdul Wahid bin Ghiyas Al Bisri (wafat : 240 H)
Umar bin Khattab As Sijistani (wafat : 264 H)
Amru bin Ali, Abu Hafidz Al Fallas Al Bisri (wafat 249 H)
Al Fadzl bin Sahl Al A’raj Al Baghdadi ( wafat : 255 H)
Muhammad bin Basyar ( wafat : 252 H)
Muhammad bin Al ‘Ala, Abu Kuraib Al Kufi ( wafat : 248 H)
Muhammad bin Mutsanna bin Ubaid, Abu Musa Al Bisri ( wafat : 252 H)
Muhammad bin Mu’ammar Al Qoisi Al Bisri ( wafat : 250 H)
Hadbah bin Kholid bin Al Aswad, Abu Kholid Al Bisri ( wafat : 230 H)

Dan masih banyak lagi para syaikh yang akan terlalu banyak untuk di sebutkan.

Murid-murid beliau :

Murid murid beliau juga sangat banyak, di antaranya adalah:
Ahmad bin Ibrahim Adz Dzoriri
Ahmad bin Ja’far bin Salam Al Fursani
Ahmad bin Ja’far bin Muhammad, Abu Bakr Al Khutali ( wafat : 365 H )
Ahmad bin Ja’far Mu’bad As Samsari ( wafat : 246 H)
Ahmad bin Al Hasan bin Ayyub At Tamimi.
Al Hasan bin Rosiq, Abu Muhammad Asyari al Misri ( wafat : 370 H)
Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub, Abu Al Qosim At Thabrani ( wafat 460 H)
Abdul Baqi bin Qoni’ bin Marzuq, Abul Husain Al Qodzi (350 H)
Abdurrohman bin Muhammad bin Ja’far Al Kasaiy
Adurrohman bin Muhammad Sayyah
Abdullah bin Ja’far bin Ahmad bin Faris Al Asbahani (wafat 346 H)
Abdullah bin Kholid bin Muhammad bin Rustum Ar Rarani.
Abdullah bin Muhammad bin Hayyan, Abu Syaikh Al Asbahani. (wafat 369 H)
Abdullah bin Muhammad bin Atho’ Al Qobab (wafat 370 H)
Ali bin Muhammad, Abu Hasan Al Misri (wafat 338 H)
Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim Al Asal Al Asbahani (wafat 349 H)
Muhammad bin Ahmad bin Al Hasan Ats Tsaqofi
Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub (wafat 331 H)
 Muhammad bin Ishaq bin Ayyub (wafat 354 H)
Muhammad bin Ayyub bin Habib Ar Raqi As Shomut (wafat 341 H)
Muhammad bin Abbas bin Najih Al Baghdadi (wafat 345 H)
Muhammad bin Abdullah bin Haiwiyah An Naisaburi.
Muhammad bin Fadzl bin Al Hasib, Abu Bakr.
Muhammad bin Abdullah Mumsadz Al Qori.
Ya’qub bin Ishaq, Abu Awanah Al Harjani (wafat 316 H)

Kitab-kitab yang Beliau Tulis.

Ada beberapa karya monumental beliau
1.      kitab As Sholat ‘Ala Nabi sholallahu alihi wa salam.
2.      kitab Al Asribah wa Tahrimu al muskir.
3.      Musnad As Shoghir Alladzi hadatsa bihi bi Asbihan.

Pujian para ulama’ kepada beliau
            
Berkata Abu Syaikh :” beliau (imam Bazar) adalah salah satu orang yang paling jenius, tidak ada yang lebih mahir tentang hadis setelah wafatnya ali bin Al Madani selain beliau. Para hufadz kota Baghdad berbondong-bondong mendatangi beliau untuk mencari barakah ilmu beliau dan menulis hadist dari beliau.”
            
Berkata Abu Yusuf Ya’qub bin Al Mubarak :”aku tidak pernah melihat orang yang lebih jenius dari pada beliau imam Al Bazar.”
            
Berkata Al Khotib Al Baghdadi : “ beliau adalah hafidz yang tsiqoh, beliau menulis musnad dan bebicara panjang lebar tentang hadist dan menjelaskan cacat-cacatnya.”
            
Berkata Adz Dzahabi : “ beliau adalah orang yang terkenal dengan kejujurannya”
Dan masih banyak sekali pujian-pujian ulama’ kepada beliau.

Wafat beliau
            
Bahwasanya beliau imam Al Bazar, telah mengembara dalam rangka mencari hadist dari ulama satu kepada ulama’ lainnya. Beliau telah mengembara sampai ke beberapa tempat seperti Asbahani, Syam dan juga Mesir. Akhirnya beliau berpulang ke haribaan Robbnya di kota Ramlah yang jauh dari tempat asalnya yaitu Basrah. Beliau wafat pada bulan Rabiul Awal tahun 292 H.
            
Berkata ibnu Qoni’ berkata : anaknya beliau mengabarkan kepadaku bahwa Imam Al Bazar wafat di kota Ramlah pada tahun 291 H. Semoga Allah mengasihi beliau dan membalas beliau dengan Jannah-Nya. Amiin

Imam Ibnu Abi Dunya Rh


Al-Hafidz Abu Bakar Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan bin Qais al-Baghdadi al-Umawi al-Qurasyi(bahasa Arab: الحافظ أبو بكر، عبد الله بن محمد بن عبيد بن سفيان بن قيس البغدادي الأموي القرشي) (lahir823 di Bagdad, meninggal 894 di Bagdad) atau lebih dikenal dengan Ibnu Abi ad-Dunya adalah seorang ulama dibidang ‎hadis dan fikih.

Dia lahir di Baghdad pada tahun 208 H, permulaan abad ke-3 H. Belajar dari ulama setingkat Abu Dawud, Imam Bukhari, Abu Hatim, Ahmad bin Ibrahim ad-Dauraqi ‎(pengarang "Musnad Abubakr"), dan ‎Ahmad bin Hanbal. Dikenal menghasilkan karya yang sangat banyak, sehingga dikenali bahwa dia membuat karya hingga 200 buku.

Beliau hidup pada masa kekhalifahan Abbasyiah dan mengajarkan etika kepada khalifah Al-Mutawakkil. Ibnu abi Ad-Dunya adalah salah satu ulama salaf yang mengumpulkan berbagai hadits yang terkait dengan ajaran islam mengenai moralitas, sehingga beliau menulis sebuah kitab yang bertitel Makarimal-Akhlak. Ibnu Abi Ad-Dunya dikenal sebagai pakar hadits pada zamannya, disamping sebagai pakar hadits ia juga dikenal sebagai seorang pemberi petuah ulung. Pada saaat memberikan petuahnya ia bisa membuat pendengarnya tertawa, tetapi sebaliknya juga membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu. Intlektual kelahiran Baghdad yang satu ini, sungguh luar biasa produktivitasnya dalam menulis. Setidaknya ada sekitar 164 karya yang berhasil diselesaikan, diantaranya adalah kitab Makarimal Akhlak. Kitab Makarimal-Akhlak setebal 305 halaman yang ditulis Ibnu Abi A-Dunya memuat kurang lebih 487 petuah-petuah moral, baik yang dinukil dari Nabi maupun para sahabat, dan disertai dengan menyebutkan transmisinya (sanad). Semua petuah etis tersebut dibagi menjadi 10 bab, diantaranya adalah bab tentang akhlak atau etika yang baik, tentang malu, kejujuran, menyambung tali silaturrahmi, amanah dan dermawan. Uniknya lagi dalam kitab ini tidak ada satu pun pembahasan secara filosofis tentang etika,menurut hemat penulis inilah salah satu ciri-ciri mendasar  mengapa Ibnu Abi Ad-Dunya dikelompokkan dalam aliran etika islam tradisionalis, dimana kitab yang ia tulis tidak sama sekali membicarakan konsep etika secara filosofis atau menafsirkan dalil-dalil naqli (hadits) yang terdapat dalam kitabnya dengan menggunakan penalaran atau akal (rasional) sebagaimana aliran etika islam objektiv rasional yang dikembangkan oleh kaum muktazilah.

Kondisi social, politik dan pemikiran  pada masa Ibnu Abi Ad-Dunya hidup

Uraian pada sub bab ini penulis maksudkan untuk mengetahui kondisi social, politik dan corak pemikiran yang berkembang pada saat Ibnu Abi Ad-dunya hidup, dengan demikian sedikit tidak kita akan mengetahui dan melacak mengapa Ibnu Abi Ad-Dunya memilih aliran etika islam tradisionalis, sebab seorang tokoh akan banyak terpengaruh oleh kondisi social politik dan corak pemikiran yang sedang berkembang pada saat ia hidup.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya lahir pada tahun 201 H/823 M dan meninggal pada tahun 281 H/894 M, hal ini berarti ia hidup, dari lahir sampai meninggal pada periode awal dan periode lanjutan Bani Abbasyiah. Dalam buku “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam seri Khilafah” dijelaskan bahwa Bani Abbasyiah dibagi dalam tiga periode yaitu periode awal, periode lanjutan dan periode akhir, Bani Abbasyiah periode awal berakhir pada 847 M pada pemerintahan khalifah Al-wasik. Kalau dilihat tahun lahir Ibnu Abi Ad-Dunya yaitu tahun 823 M maka ia menghabiskan masa kecilnya sampai remaja pada masa khalifah Al-wasik.

Musrifah Sunanto dalam bukunya “Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam” menggambarkan kondisi social, politik dan corak pemikiran pada masa Bani Abbasyiah periode awal, ia menjelaskan bahwa :

Dari segi politik kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh khalifah yang mempertahankan keturunan Arab murni dibanti oleh wazir, menteri, gubernur, dan panglima beserta pegawai-pegawai yang berasal dari berbagai bangsa dan masa ini yang sedang banyak diangkat dari golongan golongan mawali keturunan Persia
Kota bagdad sebagai ibu kota Negara, menjadi pusat kegiatan politik, sosisal dan kebudayaan, dijadikan kota intenasional yang terbuka untuk segala bangsa dan keyakinan sehingga terkumpullah di sana bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Qibthi, Hindi, Barbari, Kurdi dan sebagainya.

Ilmu pengetahuan dipandang sebagai sebagai sesuatu yang sangat penting dan mulia. Para khalifah dan pembesar lainnya membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah sendiri pada umumnya adalah ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan memuliakan pujangga.

Kebebasan berfikir diakui sepenuhnya. Pada waktu itu akal dan fikiran dibebaskan benar-benar dari belunggu taklid, kondisi yang menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala bidang aqidah, filsafat, ibadah, dan sebagainya.
Para menteri turunan Persia diberi hak penuh dalam menjalankan pemerintahan sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina tamadun islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan kekayaannya untuk meningkatkan kecerdasan rakyat dan memajukan ilmu pengetahuan.

Kalau kita analisa dari gambaran kondisi social, politik dan corak pemikiran pada masa awal menjelang akhir Bani Abbasyiah satu, atau menjelang berakhirnya periode awal Bani Abbasyiah, maka pada masa-masa inilah Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa kecilnya sampai masa remaja dimana, kota Baghdad sebagai tempat kelahiran Ibnu Abi Ad-Dunya adalah kota pusat pemerintahan, pusat perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, masa Abbasyiah periode awal ini adalah masa keemasan islam. Kondisi inilah yang membentuk kepribadian Ibnu Abi Ad-Dunya, dimana ia sebagai salah seorang masyarakat penduduk Baghdad terpengaruh dengan kecintaan masyarakat dan dukungan khalifah akan ilmu pengetahuan. Jadi tidak mengherankan apabila Ibnu Abi-Adunya banyak belajar ilmu pengetahuan di kota ini, terutama ilmu-ilmu agama, seperti ilmu hadits, ilmu al-Quran dan ilmu-ilmu alat lainnya. Yang menarik adalah pada masa ini corak berfikir atau kebebasan berfikir sangat dibebaskan, artinya penggunaan akal rasio dalam pengembangan ilmu pengetahuan tidak terkecuali ilmu-ilmu agama dan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya dikembangkan dengan sentuhan akal. Dapat disimpulkan bahwa Ibnu Abi Ad-Dunya kecil, belum terpengaruh secara corak pemikiran yang mengedepankan akal. Lebih jauh lagi penulis dapat menyimpulkan bahwa menjelang akhir Bani Abbasyiah periode awal, umur Ibnu Abi Ad-Dunya genap berusia 24 tahun, jadi pada masa ini Ibnu Abi Ad-Dunya benar-benar hanya mengalami perkembangan intelektualnya saja (masa menimba ilmu), belum mempunyai “mazhab” aliran tertentu terutama mazhab etika islam tradisionalis.

Pada masa remaja Ibnu Abi Ad_Dunya atau  menjelang ia dewasa, ada dua periode kekhalifahan yaitu khalifah Al-ma’mun (813-833 M) dan Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M) kedua khalifah ini banyak terpengaruh oleh filosof muslim pertama yaitu A-Kindi, dalam hal ini Musyrifah Sunanto menjelaskan

“Setelah dewasa ia (Al-Kindi) pergi ke Baghdad dan mendapat lindungan dari khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan khalifah Al-mu’tasim (833-842 M). Al-Kindi menganut aliran Muktazilah  dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan Al-Kindi kelihatannya turut juga aktif dalam gerakan penerjemahan ini tetapi usahanya lebih banyak dalam memberikan kesimpulan daripada menerjemahkan karena sebagai orang yang berada, ia dapat membayar orang untuk menerjemahkan buku-buku yang diinginkannya. A-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari Al-Ma’mun, Al-Mu’tasim, dan anaknya yaitu Ahmad bahkan menjadi gurunya”

Sejarah mencatat bahwa aliran muktazilah yang telah terpengaruh oleh fikiran-fkiran Yunani selanjutnya mendapat tempat yang subur pada kekhalifan Al-Ma’mun (813-833 M) dan kesuburan aliran mu’tazilah berakhir pada kekhalifahan Al-mu’tasim (833-842 M), lebih tegas lagi A. Syilabi dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Islam 3” ia menjelaskan

“Khalifah Al-Ma’mun yang telah menjadikan muktazilah sebagai “mazhab” dalam menjalankan pemerintahannya telah campur tangan secara keras dan menggunakan kekuasaannya untuk memaksa rakyat (terutama ahlus-Sunnah dan dan ulama-ulama hadits) berpegang kepada pendapat muktazilah bahwa al-qur’an itu makhluk”

Senada dengan pernyataan A. Syilabi di atas, Harun Nasutian dalam bukunya “Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan” ia menjelaskan :

“Mulai tahun 100 H atau 718 M, kaum muktazilah dengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman khalifah-khalifah bani abbasyiah Al-Ma’mun, Al-Muktasim dan A-Wasik (813-847), apalagi setelah Al-Ma’mun di tahun 827 M mengakui aliran muktazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara”

Dari penjelasan di atas telah cukup jelas menggambarkan kondisi social politik dan corak perkembangan pemikiran yang berkembang pada saat itu, yang dimana Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa remajanya. Yang cukup menarik pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun adalah bagaimana ia menjadikan mazhab muktazilah yang telah tereduksi dengan pemikiran-pemikiran Yunani sebagai mazhab wajib dalam menjalankan roda pemerintahannya, ditambah lagi dengan pertemuan Al-Kindi dengan khalifah Al-Makmun dan mempengaruhi khalifah dengan ilmu filsafat Al-Kindi yang banyak mengambil kaidah-kaidah kefilsafatan Yunani.

Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam kerena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis itu. Alasan lain adalah kaum Mu’tazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW. dan para shahabatnya. Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas, terutama dikalangan intelektual, pada masa pemerintahan khlalifah al-Ma’mun, penguasa Abbasyiah periode 198-218 H./813-833 M. kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah al- Ma’mun menyatakannya sebagai madzhab resmi negara. Hal ini desebabkan karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.

Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalqu al-Qur’an. Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makhuk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim.  Jika al Qur an itu dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah dan ini hukumnya musyrik. Khalifah Al-Ma’mun menginstruksikan supaya dilaksanakan pengujian—Fit and and Proper Test terhadap aparat pemerintahan tentang keyakinan mereka akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting didalam pemerintahan, terutama dalam jabatan Qadli. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemeritahan yang disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah. Peristiwa ini sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil berkuasa pada masa 232-247 H./846-861 M. menggantikan al-Wasiq, Khalifah pada masa 228-232 H./843-846 M. Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah al-Mutawakil membatalkan mazhab Mu’tazilah sebagi mazhab resmi negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah. Selama berabad-abad kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlussunnah wal Jama’ah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini adalah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam. Sebaliknya, pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya didapati pada buku-buku lawannya, seperti buku-buku yang ditulis oleh pemuka asy’ariyah.

Kalau dianalisa dari sisi sejarah, sebetulnya aliran etika obyektivitisme yang digawangi oleh kaum muktazilah dan aliran etika subyektivisme (etika islam tradisional) yang digawangai oleh asy’ariyah atau para ulama salaf berawal dari persoalan-persoalan teologi yang memazhabkan ummat islam sejak zamannya Ali Bin Abi tholib ra. Seiring perjalanan sejarah, ummat islam sampai ke bani Abbasyiah persoalan-persoalan teologi tersebut merembet ke berbagai persoalan lainnya termasuk diskursus tentang etika. Hal ini dapat kita lihat dari paham-paham muktazilah pada persoalan “adil”. Mustofa Muhammad Asy syak’Ah dalam bukunya “Islam Tidak Bermazhab”

“kaum muktazilah berpandangan bahwa, adil artinya Allah Maha adil, dan keadilanNya itu mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sedangkan Allah tidaklah menciptakan perbuatannya sendiri, sehingga karena manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri, maka manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, baik yang berupa perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jika manusia melakukan perbuatan baik, maka ia mendapat pahala, dan sebaliknya bila manusia melakukan perbuatan buruk, maka ia akan menerima siksa”.

Dari pandangan ini sudah jelas bahwa aliran muktazilah yang selanjutnya membuat aliran “etika obyektivisme”, mengukur perbuatan baik dan buruk dari kekuatan penalaran atau akal atau rasio. Dalil-dalil naqli yang terdapat pada Al-quran dan Sunnah haruslah membutuhkan akal untuk menafsirkan dalil-dalil tersebut, dan perbedaan mendasar antara mazhab etika islam tradisonal (etika subyektivisme) dengan aliran etika obyektivisme adalah intensitas penggunaan akal dalam menelaah norma-norma etika yang terdapat dalam al-qur’an dan hadits. Sekarang marilah kita bandingkan dengan aliran Asy’ariyah. Ahmad Hanafi dalam bukunya “ Pengantar Theology Islam” menjelaskan pandangan kaum Asy’ariah tentang kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia :

“pendapat al-asy’ari dalam soal ini (kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia) juga tengah-tengah antara aliran jabariah dan aliran muktazilah. Menurut aliran muktazilah, manusia itulah yang melakukan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan/menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu, bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah asy’ari untuk mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan”.

Senada dengan hal di atas artikel yang ditulis Zuli Qodir yang terangkum dalam buku “Sejarah, Teologi dan Etika Agama-Agama” ia menjelaskan

“dalam konteks perbuatan manusia, semakin “bebas” perbuatan manusia maka semakin tinggi tingkat pertanggungjawabannya terhadap orang lain, termasuk pada Tuhan. Sementara semakin “terpaksa”, maka semakin ringan tingkat pertanggungjawabannya atas perbuatan yang dilakukannya itu. Bagi penganut Jabariyah/Asy’ariyah, manusia ibarat anak kecil, atau wayang yang harus dituntun segala perbuatannya. Dia tidak bisa berbuat dan mengetahui sendiri mana yang baik dan mana yang buruk”.

Dari uraian diatas maka sudah terlihat dengan jelas letak perbedaan anatara aliran etika islam tradisionalis (etika islam subyektivisme) dengan aliran etika obyektivisme. Perbedaan yang paling mendasar adalah terletak pada intensitas penggunaan akal dalam “menafsirkan” norma-norma etika yang terdapat dalam nash al-qur’an dan al-hadits, aliran etika islam tradisionalis menempatkan akal setelah nash/teks dalam mengukur benar atau buruknya suatu perbuatan sedangkan aliran etika islam obyektif sebaliknya. Aliran etika islam yang pertama inilah yang dianut oleh Ibnu Abi Ad-Dunya. Untuk itu marilah kita sekali lagi menyelidikinya dari konteks sejarah.

Sebagaimana di sebutkan dalam pembahasan sebelumnya Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa kecil sampai remajanya pada masa khalifah Al-makmun dan khalifah al-Wasik. Mazhab Negara yang dipakai pada waktu kedua khalifah ini memerintah adalah mazhab muktazilah yang notabene adalah aliran yang menggunakan akal fikiran sebagai yang utama, dan selanjutnya merembet pada persoalan etika “bagaimana mengukur yang baik dan yang buruk”. Pada saat kedua khalifah tersebut memerintah secara otomatis aliran etika tradisionalis tidak mendapat tempat di pemerintahan. Masa inilah Ibnu Abi Ad-Dunya menghabiskan masa kecil sampai masa remajanya. Baru sampai ke pemerintahan khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) aliran muktazilah sudah tidak terpakai lagi, dan kembali ke mazhab sebelumnya, mazhab kebanyakan masyarakat Baghdad atau aliran yang sering disebut “ahlussunnah waljama’ah” yang lebih dekat dengan aliran Asy’ariyah.

Menurut asumsi sementara penulis, momentum inilah yang selanjutnya menjadi ruang beberapa tokoh muslim termasuk Ibnu Abi Ad-Dunya untuk lebih leluasa menekspresikan pemikiran mereka. Sampai kepada penulisan kitab Makarimal-Akhlak oleh Ibnu abi Ad-Dunya, bahkan menurut sebuah artikel Ibnu Abi ad-Dunya sempat mengajarkan ajaran-ajaran etika kepada anak khalifah Al-Mutawakkil. Asumsi lain yang penulis yakini bahwa kecendrungan di dalam suatu pemerintahan jika menganut suatu macam ideology maka rakyatnya atau masyarakat umum akan mengikuti ideology yang pemerintah itu akui, terlepas dari suka atau tidak sukanya masyarakat terhadap ideology tersebut. Asumsi ini, penulis perkuat dengan pernyataan Ahmad Hanafi dalam bukunya “Pengantar Teologi Islam” ia menjelaskan

“sejak masa Al-Mutawakkil (232 H), pemerintah (khalifah-khalifah) telah meninggalkan aliran muktazilah. Kebanyakan orang, dimanapun juga, selalu mengikuti sikap pemerintahnya dan takut memeluk sesuatu yang tidak disukai oleh pemerintah itu. Oleh karena itu aliran muktazilah mereka tinggalkan dan mereka lebih senang menggabungkan diri kepada orang-orang atau aliran yang menentangnya”

Maka kalau disimpulkan bahwa, bisa jadi para tokoh dan ulama termasuk Ibnu Abi Ad-Dunya pada masa khalifah Al-Mutawakkil menggunakan kesempatan tersebut untuk secara frontal mengekspresikan aliran dan pemahaman mereka, termasuk oleh Ibnu Abi Ad-Dunya membuat karyanya yaitu kitab Makarimal Akhlak.

Alasan lain mengapa penulisan kitab Makarimal Akhlak ditulis oleh Ibnu abi Ad-Dunya dan sempat diajarkan kepada anak khalifah al-Mutawakkil adalah bisa jadi Ibnu Abi Ad-Dunya melihat pada waktu benih-benih kemunduran dari segi moral telah mulai menggejala, anggapan ini penulis perkuat dengan pernyataan Dedi Supriyadi dalam bukunya “Sejarah Peradaban Islam” ia menjelaskan

“salah satu penyebab kemunduran bani abbasyiah diakhir periode awal dan menjelang periode lanjutan adalah hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini. Penyebab lain adalah pola hidup bermewah-mewahan yang berlebihan yang menggejala dilingkungan pemerintahan khalifah”.

Demikianlah, beberapa gambaran, ulasan dan pemaparan tentang term etika islam tradisional(Islamic ethics traditional) mulai dari 

pertama, bagaimana mendudukkan term etika islam tradisional pada kedudukan yang tepat dan proporsional-objektif.

Kedua, bagaimana term etika islam tradisional dengan pergumulannya dalam pentas sejarah islam klasik. 

Ketiga, bagaimana posisi seorang tokoh muslim Ibnu Abi Ad-Dunya dengan karyanya kitab Makarimal Akhlak, sebagai bentuk  manifestasi dari aliran yang dia anut yaitu etika islam tradisional.

Guru

Berikut ini beberapa guru Ibnu Abi ad-Dunya:

Abu Dunya Muhammad bin Ubaid, ayahnya
Ahmad bin Ibrahim al-Maushuli
Ahmad bin Ibrahim ad-Durqi
Ali bin al-Ja'd
Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami
Khalaf bin Hisyam al-Bazzar
Zuhair bin Harb
Abdullah bin Aun al-Kharraz
Suraij bin Yunus
Sa'id bin Sulaiman al-Wasithi
Kanil bin Thalhah al-Jahdari
Manshur bin Abi Muzahim
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam
Abu al-Ahwash Muhammad bin Hayyan al-Baghawi
Muhammad bin Sa'ad, Sekretaris al-Waqidi
Daud bin Rasyid
al-Hasan bin Hammad Sajjadah
Bukhari
Abu Dawud

Murid

Berikut ini beberapa murid Ibnu Abi ad-Dunya

Ibnu Majah
Ibrahim bin al-Junaid
Al-Harits bin Abi Usamah
Abdurrahman bin Abi Hatim
Abu Ali bin Khuzaimah
Abu al-Abbas bin 'Uqdah
Abdullah bin Ismail bin Buraih al-Hasyimi
Abu Basyar ad-Dulabi
Muhammad bin Khalaf Waki'
Abu Ja'far bin al-Bakhtari
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Khunais
Abu Sahl bin Ziyad al-Qathan
Muhammad bin Yahya bin Sulaiman al-Marwazi
Abu Bakar Ahmad bin Marwan ad-Dainuri
Ali bin al-Faraj bin Abi Rauh al-'Akbari
Abu Bakar an-Najjad
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Ibrahim asy-Syafi'i

Karya tulis

Al-Mausu'ah
Al-Adab
Akhbar Dhaigham
Al-Anwar
Akhbar al-Muluk
Al-Alhan
Akhbar ats-Tsauri
Al-Alawiyyah
Akhbar Uwais
Akhbar Mu'awiyyah
Akhbar al-A'rab
Al-Adhhiyyah
Inzal al-Hajjah Billah
Akhbar Quraisy
A'lam an-Nubuwwah
I'tha` as-Sa`il
Inqilab az-Zaman
At-Tasyamus
A'qab as-Surur wa al-Ahzan wa al-Baka`
At-Ta'azi
Al-Jihad
Tarikh al-Khulafa`
Al-Jafa` `inda al-Maut
At-Tarikh
Al-Jiran
Taghayyur al-Ikhwan
Al-Hadzar wa asy-Syafaqah
Taghayyur az-Zaman
Hilmu al-Hukama`
Ar-Ru`ya
Huruf Halaf
Al-Khulafa`
Al-Khafiqin
Al-Khabaz
Al-Khatim
Ad-Din wa al-Wafa`
Dzammu al-Hasad
Dzammu adh-Dhahik
Dzammu al-Faqr
Dzammu ar-Riya`
Adz-Dzikr
Ar-Ruhban
Ar-Raha`in
Ar-Rahn
Ar-Ramy
Az-Zuhd
Az-Zafir
As-Sunnah
As-Sakha`
Ash-Shadaqah
Syaraf al-Faqr
Ash-Shalatu 'ala an-Nabi 
Ath-Thabaqat
Shifatu an-Nabi '
Al-'Azza
Al-'Abbad
Al-'Ilm
Al-'Audz
Asyura`
Al-'Idain
Al-'Afwu
Atha`u as-Sa`il
Fadhlu al-'Asyr
Fadhlu al-'Abbas
Al-Fatawa
Fadhlu Lailaahaillallah
Fadhlu 'Ali
Fadha`ilu al-Qur'an
Al-Fawa`id
Al-Qishash
Maqtal Utsman
Maqtal al-Husain
Maqtal Ibnu az-Zubair
Maqtal Thalhah
Al-Majus
Al-Mamlukin
Al-Muntazhim
Al-Maghazi
Al-Manasik
An-Nawadir
Al-Ma'isyah
Al-Hadaya
Al-Washaya
Al-Waqf wa al-Ibtida`


Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam kitabnya yang berjudul " Qimatuz zamaan 'indal Ulamaa' ", Hal. 87. Menuturkan tentang jumlah kitab karya daripada Imam Ibnu Abi Dunya, Imam Ibnu Asakir, dan Imam Ibnu Syahin Al-Andalusy, sebagai berikut..

كثيرة تآليف ابن ابي دنيا وابن عساكر وابن شاهين.

وترك ابن ابي دنيا الف تأليف، وابن عساكر الف تاريخه في ثمانين مجلدا، وقال السيوطي ؛ منتهى التصانيف في الكثرة ابن شاهين، صنف ثلاث مئة وثلاثين مصنفا، منها التفسير في الف جزء، والمسند خمسة عشر مئة— اى الف خمس مئة جزء— قال السيوطي : وهذا من بركات طي الزمان والمكان، من ورثة الاسراء وليلة القدر. نقله في المنح البادية..

" Imam Ibnu Abi Dunya ketika wafat mewariskan 1000 karangan kitab. Imam Ibnu 'Asakir mengarang kitab At-Tarikh dalam jumlah 80 jilid. Imam As-Suyuthi berpendapat, bahwa Imam Ibnu Syahin Al Andalusy ( Spanyol ) adalah Ulama yang mempunyai karangan terbanyak, karangan beliau ( Ibnu Syahin ) tidak kurang dari 330 kitab yang diantaranya berupa Tafsir sebanyak 1000 juz dan Al Musnad sebanyak 1500 juz.

Imam As-Suyuthi menambahkan, bahwa " ini semua BAROKAH dari Isro' mi'roj dan lailatul Qodar ( yang disediakan Alloh bagi Ummat Rosululloh SAW ), sebagaimana jarak jauh yang dapat ditempuh dalam waktu sekejap, begitu pula pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dalam waktu yang panjang bisa dituntaskan dalam waktu relatif singkat , sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Minahul Baadiyah ".

NB :  sekedar tambahan dari saya diluar konteks kitab " Qimatuz Zaman Indal Ulama ", bahwa didalam kitab "SHIFATUL AULIYA' "  Karya Imam Abi Bakr 'Abdulloh Muhammad ibn 'Ubaid ibn Sufyan Al-Qurosyi, atau yang mashur dijuluki dengan nama Imam Ibnu Abi Dunya, yang ditahqiq oleh Syaikh Abu Hajir Muhammad dan Syaikh As- Said bin Basyuni Zaghlul, pada Halaman 6, menukil pernyataan Imam Adz-Dzahabi pada kitabnya Tadzkirotul Huffadz, mengatakan ;

وقال الذهبي في تذكرة الحفاظ ؛ كان صدوقا اديبا اخباريا كثير العلم- حديثه في غاية العلو، لابن البخاري بينه وبينه اربعة انفس.

Berkata Adz-Dzahabi dalam kitabnya Tadzkirotul Huffadz atas komentarnya terhadap sosok Imam Ibnu Abi Dunya, bahwa sesungguhnya beliau ( Ibnu Abi Dunya ) orang yang terpercaya kata-katanya, tulus, sopan, pengarang handal, dan sumber referensi. Perkataannya menunjukkan puncak dari ketinggian ilmunya, antara dia dan Ibnu Al Bukhori perbedaannya ( keilmuannya ) hanya 4 tarikan nafas.

Meninggal

Al-Qadhi Abu Hasan mendatangi Ishaq bin Ibrahim al-Qadhi tatkala meninggalnya Ibnu Abid-Dunya, seraya berkata, "Semoga Allah Memuliakan dia. [Tatkala dia meninggal,] telah turut pula terkubur perbendaharaan ilmu yang sangat banyak." Jenazahnya dishalati Yusuf bin Ya'qub di asy-Syauniziyyah. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dia meninggal di Baghdad pada tahun 281 H pada bulan Jumadil Ula. Dia dishalati oleh salah seorang muridnya, dan dikuburkan di Syauniziyyah, di sisi kota Baghdad.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...