Minggu, 24 Oktober 2021

Kyai Ageng Pemanahan Perintis Kesultanan Mataram


Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa. Berdirinya kerajaan ini tak bisa dilepaskan dari sosok Ki Ageng Pemanahan.
Selain Ki Ageng Pemanahan, tokoh utama perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Juru Martani dan Ki Penjawi. Mereka dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". ‎

Asal-usul Kesultanan Mataram adalah suatu kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya.

Trio tokoh sela, Pemanahan, Penjawi, Juru Mertani, memegang peran penting dalam percaturan politik dari tiga kerajaan: Demak, Pajang, dan Mataram. Mereka berasal dari sela (Grobongan yang ter letak di dekat tempat yang secara tradisi dicari sebagai tempat Kerajaan Mataram Kuno. Dari garis lagi, mereka adalah turun Majapahit (Brawijaya V –Bondang Kejawan Getas pandawa), dan garis ibu turun dewa (Nawangwulan – Nawangsih – Getas pandawa). Putra tertua Getas Pandawa, KI Ageng Sela (Bagus sogom, sagam?) mempunyai 6 putri dan 1 putra, Ki Ageng Enis (ragil). Ki Ageng Enis mempunyai seorang anak, Pemanahan dan memungut anak angkat, penjawi (keponakan misan), sedangkan Juru Mertani  adalah anak keponakan dan kakak menantunya. Ayah Juru Mertani, KI Ageng Saba, menikah dengan kakak KI Ageng Enis, sedangkan adiknya menikah dengan Pemanahan.

Konon Ki Ageng Sela dapat menangkap petir sewaktu diadakan pemilihan raja baru, penganti pati unus. Saat disambar petir, KI Ageng sela  tidak cidra, malah dapat menangkap dan menyerahkan kepada para wali. Ki Ageng Sela tersohor sebagai seorang yang mempuni, cendekiawan, guru, dalang, seniman, tani gede (kaya), tani mukmin (saleh). Serat suluk pepali Ki Ageng Sela (dalam bentuk tembang Macapat), berisi ajaran pandangan hidup Kejawen, merupakan hasil karya sastra yang berharga. ‎Namun, perkembangan ini hendaknya tidak melenakan, bahwa di sisi lain ada hal urgen yang mutlak diperhatikan. Yaitu, keabadian sejarah dan konsistensi mengamalkan Serat Pepali Ki Ageng Selo, yang merupakan pengejawantahan ajaran Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Ki Ageng Pamanahan (sebutan lainnya: Ki Gede Pamanahan atau Kyai Gede Mataram) adalah tokoh yang dianggap menurunkan raja-raja dinasti Mataram (Islam) adalah pendiri desa Mataram tahun 1556, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Mataram di bawah pimpinan putranya, yang bergelar Panembahan Senapati.
Asal usul
Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).
Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang yang juga murid Ki Ageng Sela. Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.
Peran awal
Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami perpecahan akibat perebutan takhta. Putra Sultan yang naik takhta bergelar Sunan Prawata tewas dibunuh sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang.
Arya Penangsang yang didukung Sunan Kudus juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung Danaraja menunggu kematian Arya Penangsang bupati Jipang.
Arya Penangsang ganti mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tapi gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya datang ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya dari kursi jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.
Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan. 
(Dalam Sebuah riwayat disebutkan cincin tersebut menyimpan Wahyu Kraton).
Ki Ageng Pemanahan sebagai Perintis Kesultanan Mataram
Perkembangan sejarah masuknya Agama Islam di Surakarta, tidak dapat dipisahkan dengan sejarah Ki Ageng Henis. Mulanya Laweyan merupakan perkampungan masyarakat yang beragama Hindu Jawa. Ki Ageng Beluk, sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat Laweyan saat itu. Ia menganut agama Hindu, tetapi karena dakwah yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis, Ki Ageng Beluk menjadi masuk Islam. Ki Ageng Beluk kemudian menyerahkan bangunan pura Hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi Masjid Laweyan.
Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram". Disamping itu banyak perintis lainnya yang dianggap berjasa besar terhadap terbentuknya Kesultanan Mataram seperti : Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lainnya dari keturunanan masing-masing. Mereka berperan sebagai leluhur Raja-raja Mataram yang mewarisi nama besar keluarga keturunan Brawijaya majapahit yang keturunannya menduduki tempat terhormat dimata masyarakat dengan menyandang nama Ki, Ki Gede, Ki Ageng' Nyai Gede, Nyai Ageng yang memiliki arti : tokoh besar keagamaan dan pemerintahan yang dihormati yang memiliki kelebihan, kemampuan dan sifat-sifat kepemimpinan masyarakat.
Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :
·         Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliki pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas;

·         Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren;

·         Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Seikh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.

·         Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Surasoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fafta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syeikh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimate atau Pengesahan" dari Mekah dan Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Seikh dan para Wali.
Melawan Arya Penangsang
Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah Mataram dan Pati.
Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya, bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.
Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.
Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.
Membuka Mataram
Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.
Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.
Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Sunan Kalijaga kemudian memberikan fatwa tuntutan Pemanahan tidak salah. Seorang raja harus konsisten dengan ucapannya. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, sabda seorang raja tidak boleh mencla-mencle. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.Sunan Kalijaga juga menasihati agar Pemanahan menepati janjinya untuk tidak memberontak kepada Pajang. Atas jasa dari Sunan Kalijaga, tanah Mataram diserahkan Sultan Hadiwijaya kepada Pemanahan pada 1556. 
Sebenarnya Sultan Pajang memberikan alternatif tanah lain selain Mataram. Namun, karena raja telah bersabda demikian, implikasinya ia tidak bisa menarik kembali ucapannya.

Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap saja.
Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pamanahan selaku leluhur raja-rajaMataram. Konon, sesudah membuka desa Mataram, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.
Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja pulau Jawa.
Meski demikian, Ki Ageng Giring menyampaikan keinginan kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunannya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram.

Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh.

Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584.Usahanya kemudian dilanjutkan oleh sang anak yaitu Danang Sutawijaya. Ia terkenal sebagai seorang ahli strategi perang dan dikenal dengan nama Senopati ing Alaga.. Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan nama Panembahan Senopati.

Ki Ageng Pamanahan, isteri dan putranya setelah wafat dimakamkan di kompleks Pemakaman Kotagede yang berada di selatan Masjid Kota gede.‎

Masjid Lawean Sebagai Jejak Sejarah Perkembangan Islam Di Pajang


Saat ini sangat jarang generasi muda kita mengenal tokoh bernama Ki Ageng Enis ini. Bahkan masyarakat di mana beliau pernah hidup ,banyak yang tidak paham di mana letak makam beliau. Jika diberikan petunjuk makam yang terletak di Masjid Laweyan ( Ada yang menyebut Langgar Merdeka ? ) Masjid tertua di Kota Solo, orang masih mengernyitkan dahi karena Masjid tertua itupun tidak dikenal oleh sebagian masyarakat Solo. Padahal sejarah Kerajaan Mataram Islam yang menjadi cikal “Tree Kingdom” yaitu Kasunan, Mangkunegaran, dan Ngayogyakarto Hadiningrat bermula dari Ki Ageng Enis (Henis).

Masjid Laweyan merupakan masjid tertua yang berada di Kota Solo atau Surakarta. Masjid yang berusia hampir lima abad ini, terletak di Dusun Belukan RT 4 RW 4, Kelurahan Pajang Kecamatan Laweyan, Solo. Bangunan utamanya hanya 162 meter persegi. Masjid ini memiliki sejarah yang sangat panjang dan memiliki kontribusi besar dalam penyebaran agama Islam di wilayah Karesidenan Surakarta.‎

Ki Ageng Henis,seorang adipati kerajaan Pajang masa pemerintahan Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya .Ki Ageng Henis anak Ki Ageng Sela keturunan Brawijaya V raja kerajaan Majapahit dan Ki Ageng Henis adalah ayah dari Ki Ageng Pemanahan dan cucu Ki Ageng Henis tak lain Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati ,sang pendiri kesultanan Mataram Islam.‎
Ki Ageng Henis terkenal sakti mandraguna dan ilmu kesaktiannya diturunkan pada sang anak Ki Ageng Pemanahan serta sang cucu Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati Raja Mataram Islam pertama, ketika kecil hidup di Laweyan yaitu di Kampung Lor Pasar sehingga beliau sering disebut dengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Lalu apakah Panembahan Senopati dan Ki Ageng Enis hidup dalam jaman yang sama? Jawabannya adalah benar, karena Panembahan Senopati adalah Putra dari Ki Ageng Pemanahan  dan cucu dari Ki Ageng Enis. Konon kesaktian dan ilmu agama Panembahan Senopati atau Danang Sutowijoyo adalah hasil dari didikan Ki Ageng Enis yang karena kesaktiannya mendapat julukan Ki Ageng Luwih. Luwih dalam hal ini bermakna linuwih atau sangat sakti. Ki Ageng Enis sangat dihormati oleh masyarakatnya karena selain mempunyai kesaktian tinggi juga dikenal sebagai ulama yang alim. Masa hidupnya dihabiskan di masjid untuk beribadah.

Desa Laweyan tempat awal bagi Ki Ageng Henis untuk mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan ketika itu masyarakat Laweyan beragama hindu jawa dan ki Ageng Beluk , seorang tokoh masyarakat Laweyan juga beragama hindu,namun pendekatan bersifat arif dan bijaksana yang dilakukan oleh Ki Ageng Henis mendorong ki Ageng Beluk masuk Islam kemudian ki Ageng Beluk menyerahkan bangunan pura hindu miliknya kepada Ki Ageng Henis agar direnovasi menjadi Musola Laweyan pada masa itu .
Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh  Ki Ageng Henis yang bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu (bhiksu). Masjid Laweyan ada sebelum Kota Solo terbentuk pada 1745. Masjid Laweyan dibangun pada tahun 1546, saat Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) berkuasa di Kerajaan Pajang. Masjid Laweyan ini merupakan masjid pertama di Kerajaan Pajang, hal itu membuktikan bahwa masjid ini lebih tua dari Masjid Agung Solo yang baru dibangun pada tahun 1763. Awalnya Masjid Laweyan merupakan pura agama Hindu milik Ki Beluk. Ki Beluk memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga. Dengan pendekatan damai, karena kemuliaan sifat Ki Ageng Henis, Ki Beluk memeluk Islam. Sanggar milik Ki Beluk pun kemudian dirubah menjadi langgar ‎(mushala), seiring dengan banyaknya rakyat yang mulai memeluk agama Islam, bangunan dirubah fungsinya menjadi masjid.‎
Bersamaan dengan itu, tumbuh sebuah pesantren dengan jumlah pengikut yang lumayan banyak. Konon karena banyaknya santri, pesantren ini tidak pernah berhenti menanak nasi untuk makan para santri sehingga selalu keluar asap dari dapur pesantren dan disebutlah wilayah ini sebagai Kampung Belukan (beluk = asap). Pemilik masjid ini adalah Kyai Ageng Henis (sesepuh  dari Susuhunan Paku Buwono II). Seperti layaknya sebuah masjid, Kompleks Masjid Laweyan berfungsi sebagai tempat untuk nikah, talak, rujuk, musyawarah, dan makam.

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Pengaruh Hindu-Jawa sangat melekat dalam arsitektur Masjid Laweyan. Tampak dari penataan ruang dan sisa ornamen yang masih dapat ditemukan di sekitar masjid hingga saat ini. Letak masjid berada di atas bahu jalan merupakan salah satu ciri dari pura Hindu. Tak hanya fungsi, bentuk bangunannya pun mengalami perubahan sebelum fisiknya yang sekarang. Pura yang beralih menjadi masjid semula berbentuk rumah panggung bertingkat dari kayu. Pengaruh Hindu terlihat dari posisi masjid yang lebih tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini, sejumlah ornamen Hindu memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti hiasan ukiran batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.

Terdapat tiga buah gapura di bagian depan Masjid Laweyan, satu yang besar ada tepat di tengah, dan masing-masing satu gapura kecil di sayap kiri kanan tembok depan. Hanya sepasang menara kecil di gapura utama yang juga berfungsi sebagai lampu penerang ketika malam tiba. Ketiga gapura adalah perlambang tiga jalan hidup: Islam, Iman dan Ihsan.

Lubang hawa pada tembok depan bentuknya sederhana saja, sementara atap masjid bagian serambi berbentuk limasan terpancung, menyerupai atap kelenteng. Atap di atas ruang utama yang berbentuk tumpang tidak terlihat dari jalan.

Menara sederhana yang tingginya hampir sama dengan atap masjid berada terpisah di sebelah kanan. Empat pengeras suara diletakkan di puncak menara, mengarah ke empat penjuru angin. Sebuah tengara papan nama dan alamat masjid berada di halaman sisi sebelah kanan.‎

Bedug besar dengan bentuk unik, serta sebuah kentongan panjang berada di bagian serambi Masjid Laweyan. Langit-langit serambi bermotif kotak, dan tidak ada ukiran pada tiang-tiang penyangga. Warna dominan di Masjid Laweyan adalah hijau dan putih.

Ruang utama Masjid Laweyan yang atapnya ditopang oleh empat saka guru. Model atap tumpang khas masjid di Jawa memberi sumber pencahayaan, meski agak temaram, dan memberi sirkulasi udara di ruangan yang mencukupi.

Selain mimbar ukir dan tulisan Arab “Muhammad” dan “Allah” pada dinding mihrab, tidak ada ornamen lain yang menarik di ruang utama Masjid Laweyan ini. Berbeda dengan kebanyakan masjid yang bagian mihrabnya menonjol ke luar, mihrab Masjid Laweyan justru menonjol ke dalam ruang utama karena dinding mihrab sebaris dengan dinding tembok kiri-kanannya.‎

Tata ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yakni Ruang Induk ‎(Utama) dan Serambi yang dibagi menjadi Serambi Kanan dan Serambi Kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri atas pendapa atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan kiri. Serambi kanan menjadi tempat khusus putri atau keputren, sedangkan Serambi Kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.

Ciri arsitektur Jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa, bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas dua bagian yang bersusun. Pada dinding masjid yang terbuat dari susunan batu bata dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan masjid, sebagian menggunakan kayu.

Kompleks Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Kraton Pajang, Kartasura dan Kasunanan Surakarta.

Ketika terjadi pemberontakan Raden Mas Garendi terhadap Pakubuwono II, Masjid Laweyan menjadi tempat pelarian Pakubuwono II dan sekaligus menjadi tempat tirakat beliau memohon kepada Allah SWT untuk dapat merebut Kartosuro kembali. Ketika pemberontakan bisa dipadamkan, Pakubuwono II membuat gerbang khusus untuk dilalui beliau jika akan berziarah ke Makam Ki Ageng Enis. Namun gerbang ini hanya dipakai satu kali karena satu tahun setelah pembuatannya Pakubuwono II meninggal. Jenazahnya dimakamkan di komplek makam Ki Ageng Enis maka komplek makam ini sering disebut dengan Astana Laweyan. Beberapa waktu kemudian makam Pakubuwono II dipindahkan di Pajimatan Makam Raja Mataram Imogiri.

Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya:
Kyai Ageng Henis merupakan penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng (Bondan Kejawan)-Ki Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis saat ini menjadi raja-raja di Kraton Kasunanan dan Mataram.
Kyai Ageng Beluk sahabat Ki Ageng Henis, adalah tokoh masyarakat beliau adalah seorang resi/pandhita yang memiliki hubungan dekat dengan Ki Ageng Henis yang merupakan sahabat dari Sunan Kalijaga.
Susuhunan Paku Buwono II yang memindahkan Kraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Kraton Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Kraton Kasunanan Surakarta dari serangan musuh.
Permaisuri Paku Buwono V
Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai Pujangga Dalem Paku Buwono II - Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya Kraton dari Kartasura ke Surakarta.
Nyai Ageng Pati
Nyai Pandanaran
Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono IX.
Dalang Kraton Kasunanan Surakarta yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di Laut Selatan.
Kyai Ageng Proboyekso, yang menurut legenda merupakan Jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.

Di makam ini terdapat tumbuhan langka pohon nagasari yang berusia lebih dari 500 tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul. Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Batari Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi Kraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan Kraton Kartasura.

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Kraton Kasunanan Surakarta paska runtuhnya Kraton Pajang, saat ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya kraton juga jarang digelar di Masjid Laweyan.
Makam yang bersebelahan langsung dengan makam Ki Ageng Enis adalah Nyi Ageng Pandanaran dan Nyi Ageng Pati.Ki Ageng Enis diperkirakan berdakwah pada sekitar Tahun 1550 M sampai dengan Tahun 1600-an masehi. Beliau masih keturunan dari Brawijaya V Raja Majapahit terakhir. Dalam cerita rakyat setempat konon kerangka dan mahkota Brawijaya V ikut dikuburkan dalam satu liang di Makam Ki Ageng Enis.

Sejarah Masjid Tiban Wonokerso Wonogiri


Siapa sangka, di balik rimbunnya perbukitan hijau di wilayah Kota Gaplek Wonogiri, tersimpan sebuah bukti kuno tentang penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Bukti tersebut berupa sebuah masjid tiban yang disebut-sebut lebih tua dibandingkan Masjid Agung Demak. Masyarakat sekitar, menyebutnya Masjid Tiban Wonokerso.
Berbicara tentang Walisongo atau Sembilan Wali, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan Islam di Tanah Air, khususnya pulau Jawa. Bukti dari sepak terjang Walisongo tersebut, masih bisa disaksikan hingga saat ini, mulai dari masjid, makam, hingga petilasan lainnya.

Dusun Wonokerso, Desa Sendangrejo, Kecamatan Baturetno, terletak sekitar 40 kilometer arah selatan Kota Wonogiri. Di dusun ini terdapat sebuah bangunan masjid yang seluruhnya terbuat dari kayu jati kuno. Oleh masyarakat sekitar, masjid ini disebut Masjid Tiban, karena memang tidak diketahui kapan dan siapa yang membangunnya.‎

Meski demikian, dari tanda berupa bentuk penyu di bagian atas masjid, dapat diartikan sebagai angka 1401 Saka atau sama dengan 1479 Masehi. Tahun ini pula yang diyakini sebagai awal dibuatnya masjid yang konon dibuat oleh para wali saat mencari kayu jati untuk membuat Masjid Agung Demak. Tak jelas siapa wali-wali itu karena tak ada bukti tertulis yang ditinggalkan. Namun besar dugaan Sunan Kalijaga dan beberapa wali lain.‎

Dari bangunan berukuran 7x7 meter ini, menumpang di atas balok-balok batu besar, tidak menapak langsung di atas tanah. Bagian dalam masjid, satu mimbar yang biasa digunakan imam saat berkhotbah masih dalam keadaan utuh. Hingga kini tak satu pun yang berani mengubah bentuk dasar masjid kecuali hanya merenovasi. Atap masjid yang tadinya berupa sirap, diganti dengan genting oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah (BPP) 2002 lalu.
Masjid ini justru terlihat sebagai bangunan kuno jika dilihat dari bagian belakang, pasalnya jika dilihat dari depan, bangunan tambahan yang dibuat Pemkab pada 1982 lalu menutup bagian depan masjid.‎

Salah satu dari bukti sepak terjang tersebut, ada di wilayah Wonogiri. Tepatnya di Dusun Wonokerso Desa Sumberejo Kecamatan Baturetno. Peninggalan berupa masjid tiban bernama masjid Taqwa, penduduk sekitar menyebutnya sebagai Masjid Tiban Wonokerso.  Lokasinya berada di dekat perbukitan tanaman jati. Dihitung dari Kota Wonogiri, setidaknya berjarak 40 kilometer.
Menurut petugas Dinas Kepurbakalaan Jawa Tengah sekaligus Takmir Masjid Tiban Wonokerso, Warto, berdirinya masjid berawal dari perjalanan Walisongo. Kala itu,  ada rencana pembangunan Masjid Agung di Demak. 

Ditugaskanlah Walisongo oleh penguasa saat itu untuk mencari kayu jati pilihan terbaik di hutan Wonogiri untuk kerangka masjid Demak.
Masjid Taqwa Wonokerso disebut tiban, sebab dianggap muncul secara tiba-tiba. Konon dalam mendirikannya, Walisongo tidak sampai memakan waktu sehari. Sehingga masyarakat ketika itu merasa kaget dengan telah berdirinya sebuah masjid yang hadir seolah-olah mendadak.

Penuh Keunikan‎

Secara fisik, Masjid Tiban Wonokerso sebenarnya berukuran tidak besar. Cuma sekitar 10×10 meter. Namun, ada sejumlah keunikan di antaranya atap masjid atau kubah yang dihiasi sebuah mahkota. Mahkota yang terbuat dari tanah liat itu, berbentuk seperti mahkota raja-raja Jawa. Dan dari awal diletakkan hingga sekarang tidak mengalami kerusakan apapun.
Keunikan lainnya adalah pintu masuk masjid yang hanya berupa lubang berukuran 120×120 sentimeter. Hal ini membuat jemaah maupun pengunjung masjid harus membungkuk untuk masuk. “Mungkin sebagai simbol, untuk menghadap Allah itu harus menundukkan diri,”.
Empat buah ompak atau yoni sebagai landasan tiang penyangga utama, tidak pula luput dari keunikan. Keempatnya memiliki desain dan ukuran yang berbeda, meski terbuat dari bahan yang sama, kayu jati.‎

“Lantai masjid dibuat dari papan kayu jati dan masih asli dari dulu. Mimbar yang digunakan untuk khotbah juga asli, di dalam masjid dijumpai banyak ukiran berbentuk bintang oktagon atau segi delapan.

Hingga sekarang, Masjid Tiban Wonokerso masih digunakan warga sekitar untuk beribadah. Pun saat puasa seperti saat ini, jemaah memenuhi masjid dan bangunan serambinya untuk menunaikan salat berjamaah. Malah sejumlah jamaah ada yang sampai melaksanakan salat di halaman masjid.

Dari kisah turun-temurun, saat itu para wali hendak membuat Masjid Agung Demak. Akhirnya para wali mencari ke arah selatan, yaitu ke Wonogiri yang diyakini memiliki kayu jati kualitas terbaik. 
Tempat yang mereka tuju sebenarnya adalah tempat yang sekarang diberi nama Hutan Donoloyo yang ada di Kecamatan Slogohimo. Kebetulan wilayah Wonokerso dulunya banyak ditumbuhi pohon jati. Diduga salah arah, para wali pun sembari mencari hutan yang tepat akhirnya membangun masjid ini untuk tempat beribadah sekaligus untuk beristirahat sementara waktu. Saat itu belum ada dusun apalagi desa.

Berdirinya Masjid Agung Demak oleh walisongo tidak terlepas dari peran Hutan Donoloyo sebagai pemasok bahan utamanya yaitu kayu jati tua. Konon disepanjang pegunungan Kedeng tidak ditemukan pohon jati yang layak untuk pembangunan masjid tersebut.
Musyawarah pun digelar oleh walisongo untuk mencari keberadaan kayu jati tua yang dimaksud. Atas ketajaman batin Kanjeng Sunan Kalijaga, didapatlah petunjuk bahwa keberadaan kayu jati tua tidak lain ada di Hutan Donoloyo. Dari sinilah awal kisah berdirinya Masjid Tiban Wonokerso.
Ketika itu para wali yang hendak mencari kayu jati di Hutan Donoloyo, tetapi mereka  masuk di Hutan Wonokerto. Meskipun bukan hutan yang dimaksud, Hal itu tidak menyurutkan semangat para wali. Bahkan mereka akhirnya mendirikan pondok untuk tempat beribadah dan beristirahat. Pondok itulah yang kemudian dikenal sebagai Masjid Tiban Wonokerso.
Masjid yang diyakini sebagai masjid tertua di Jawa, berdiri kokoh di Dusun Wonokerso, Kelurahan Sendangrejo, Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Masjid dengan bentuk limasan dan berlantai panggung ini hampir semua bangunannya terbuat dari kayu jati tua.
Menurut warto, juru rawat masjid. Atap masjid dulunya juga terbuat dari kayu, namun karena banyak yang hilang akhirnya diganti dengan genteng. Hilangnya atap kayu tersebut tidak ada yang tahu, kalaupun rapuh atau jatuh juga tidak ada bekasnya.

Masjid Tiban Wonokerso memiliki kubah yang bentuknya mirip sebuah mahkota yang terbuat dari tanah. Meskipun terbilang sangat tua kubah itu tidak rusak dimakan usia. Di dalam masjid terdapat empat Sakaguru (tiang utama) sebagai penyangganya dengan empat Umpak (tumpuan tiang) yang bentuknya berbeda satu dengan lainnya. Bentuk Umpak yang tidak sama ini diperkirakan si pembuatnya lebih dari seorang. mungkin sama dengan jumlah Umpaknya, juga ada perbedaan karakter si pembuatnya.

Bagi masyarakat setempat keberadaan masjid tersebut juga terkait erat dengan cerita yang sudah turun-temurun, tentang Ki Ageng Tuhu Wono (Tugu Wono) bersama pengikutnya yang sedang babat alas (membuka hutan) untuk  pemukiman yang menjadi bagian dari siar Islamnya. Ditengah hutan mereka mendapati sebuah pondok yang bentuknya seperti masjid, temuan itu sempat membuat Ki Ageng Tohu Wono dan pengikutnya bertanya-tanya, gerangan yang mendirikan pondok itu. Namun, akhirnya dapat diketahui pendiri pondok tersebut tidak lain adalah Kanjeng Sunan Kalijaga dengan para wali yang ketika itu sedang mengemban tugas mencari kayu jati tua ke hutan donoloyo tetapi masuk di hutan Wonokerso lalu mendirikan pondok disana untuk beribadah dan beristirahat sebelum melanjutkan ke hutan Donoloyo.
Kisah Ki Ageng Tuhu Wono (Tugu Wono) dengan masjid tibannya sangat melekat di masyarakat Wonokerso. Tempat yang diyakini sebagai pusat penyebaran Islam pertama kali di Wonogiri. Kini Masjid Tiban Wonokerso dibawah pengawasan Balai Pelestari Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, dan dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya yang diperkirakan didirikan tahun 1479 masehi. 

Kisah Penemuan Masjid 

Diceritakan, masjid ini erat kaitannya dengan pendiri Wonogiri yakni Pangeran Sambernyawa atau Mangkunegara I  yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati Mangkunegara I.
Penemuan masjid ini pun kabarnya tanpa disengaja,dimana saat Pangeran Sambernyawa dan pasukannya terdesak dimedan pertempuran melawan tentara Belanda dan juga prajurit Kasunanan. Perang gerilya ini terjadi sekitar tahun 1741 hingga 1746 Masehi.

Dahulu wilayah itu merupakan hutan lebat yang dipenuhi pohon jati.Lantaran terdesak,pasukan Pangeran Sambernyawa masuklah ke dalam hutan itu. Kemudian di tengah hutan, Pangeran Sambernyawa menemukan sebuah masjid yang telah lama ditinggalkan.

Takpikir panjang,seluruh balapasukan Pangeran Sambernyawa diajak masuk ke masjid tersebut,untuk melepas lelah sekaligus melakukan ibadah shalat.

Namun tanpa disadari ada sebuah keajaiban,ketika tentara Belanda dan prajurit Kasunanan tiba ditengah hutan jati,mereka tak bisa melihat keberadaan masjid tersebut. Dan akhirnya Pangeran Sambernyawa dan wadya balanya lolos dari marabahaya.

Setelah kejadian tersebut, Pangeran Sambernyawa memerintahkan kepada anak buah Ki Ageng Ari Mayasto bernama Anjali, Karnafi dan Tuhuwono untuk membuka hutan jati ini yang kemudian diberi nama Wonokerso. Disamping itu, ketiganya diberi amanah untuk menjaga kelestarian Masjid yang kemudian diberi nama Masjid Tiban Wonokerso.

“Pemerintah telah menetapkan Masjid Tiban Wonokerso sebagai benda Cagar Budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang,” ujarnya.

Bahkan sampai saat ini masjid tersebut masih banyak dikunjungi para pemburu situs Islam.Terlebih di malam tertentu masih banyak para peziarah yang melakukan iktikaf di Masjid Tiban Wonokerso ini.‎

Sekilas Sejarah Masjid Bayan Beleq


Kabupaten Lombok Utara yang dimekarkan beberapa tahun lalu, ternyata bukan saja kaya dari sisi budaya dan pariwisata, namun juga memiliki situs sejarah yang masih berdiri tegak hingga sekarang. Situs yang dimaksud adalah Masjid Kuno Bayan Beleq, Desa Bayan Kecamatan Bayan, sebagai saksi bisu masuknya agama Islam di Pulau Lombok. 

‎Sejarah mencatat bahwa agama Islam mulai masuk ke Pulau Lombok pada abada ke-16. Setelah raja Lombok (yang berkedudukan di Teluk Lombok) menerima Islam sebagai agama kerajaan, Islam dikembangkan ke seluruh wilayah kerajaan tetangga seperti Pejanggik, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong, dan Sasak.‎

Salah seorang pengikut Sunan Kalijaga, datang ke Lombok pada 1640 untuk menyiarkan agama Islam ini. Ia lalu menikahi anak dari kerajaan Parwa sehingga menimbulkan kekecewaan bagi raja Goa. Selanjutnya, raja Goa menduduki Lombok pada 1640. Di Bayan, Sunan Pengging yang juga dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi mengembangkan ajarannya--kelak menjadi pusat kekuatan aliran ”Waktu Telu”.‎

Desa Bayan dengan luas wilayah 8.700 ha merupakan daerah perbukitan dengan latar kaki gunung Rinjani disebelah selatan. Di sini, terdapat peninggalan penting yang dapat dijadikan bukti dan bahan kajian tentang masa awal berkembangnya ajaran Islam di Pulau Lombok, yaitu Masjid Bayan Beleq.‎

Masjid yang berdiri disebuah bukit dan dikelilingi beberapa cungkup makam para penyebar agama Islam ini, diperkirakan dibangun ratusan tahun lalu, oleh seorang muballigh. Namun hingga saat ini belum ditemukan sumber tertulis siapa pendirinya dan pada tahun berapa didirikan. Yang jelas usia masjid yang kini dijadikan sebagai ikon pariwisata budaya ini sudah cukup tua.

Masjid kuno Bayan Beleq berukuran 9 X 9 meter persegi, dengan dinding rendah dari anyaman bambu. Sementara atapnya berbentuk tumpang yang tersusun rapi dari bilah bambu atau dikenal dengan bahasa Dayan Gunung atap santek dengan lantai tanah yang dasarnya dari susunan batu kali.

Masjid kuno ini selain sebagai ikon wisata, juga diabadikan dalam lambang daerah kabupaten Lombok Utara. Masjid Kuno Bayan Beleq digambarkan dalam bentuk siluet bewarna merah sebagai integritas peradaban masyarakat Lombok Utara. Disebutkan, bangunan Masjid Kuno Bayan menggambarkan tonggak peradaban masyarakat Lombok Utara yang dibangun berdasarkan kesadaran kosmos, kesadaran sejarah, kesadaran adat dan kesadaran spiritual. 

Masjid Kuno Bayan, merupakan salah satu warisan budaya yang harus dipelihara sebagai situs cagar budaya yang berkontribusi dalam National Heritages. Warna merah pada stilisasi bangunan masjid kuno Bayan menunjukkan keberanian untuk menegakkan jati diri sebagai masyarakat budaya yang dibangun berdasarkan religiusitas yang kuat.Konstruksi Masjid Kuno Bayan memiliki filosofis tersendiri, yang terdiri dari kepala, badan dan kaki, menggambarkan dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah yang merupakan satu kesatuan dalam entitas kosmos masyarakat Lombok Utara.

Bila dilihat dari jarak dekat, Masjid Kuno Bayan Beleq tak ubahnya rumah-rumah di desa Bayan, yang bentuk bangunannya serupa dengan bentuk bangunan rumah-rumah tradisional asli masyarakat Bayan. Saat pertama kali melihatnya, Anda mungkin tidak akan mengira bahwa bangunannya merupakan sebuah masjid. 
Di dalam masjid juga terdapat sebuah bedug dari kayu yang digantung di tiang atap masjid serta makam beleq (makam besar) dari salah seorang penyebar agama Islam pertama di kawasan ini, yaitu Gaus Abdul Rozak. Di belakang kanan dan depan kiri masjid terdapat dua gubuk kecil yang di dalamnya terdapat makam tokoh-tokoh agama yang turut membangun dan mengurus masjid ini sejak dari awal. 

Denah masjid berbentuk bujur sangkar, panjang sisinya 8,90 m. Di topang 4 Soko Guru (tiang utama) yang dibuat dari kayu nangka, berbentuk bulat (silinder) dengan garis tengah 23 cm, tinggi 4,60 m. Keempat tiang tersebut berasal dari empat desa (dusun) yaitu : Tiang sebelah Tenggara, dari desa Bilok Petung Lombok Timur. Tiang sebelah Timur laut, dari desa Terengan. Tiang sebelah Barat laut, dari desa Senaru, Tiang sebelah Barat Daya, dari Dusun Semokon Desa Sukadana.

Pakaian yang dikenakan para kiyai dan imam Masjid Kuno Bayan juga memiliki arti tersendiri, karena yang boleh masuk adalah keturunan dari para penghulu atau kyai yang menyebarkan agama Islam terdahulu. Satu contoh warna putih yang digunakanpara kiyai melambangkan arti kesucian, sedangkan kain panjang (dodot) berwarna merah memberi arti jiwa kepemimpinan, dilengkapi dengan sapuq atau bongot (ikat kepala) yang juga sudah menjadi tradisi tersendiri. 

Tidak diperkenankan menggunakan celana dalam bentuk apapun. Untuk kaum perempuan cukup menggunakan kemben, yakni kain yang hanya sebatas dada. Hal tersebut dilakukan karena dikhawatirkan pakaian yang biasanya digunakan, telah terkotori oleh berbagai macam jenis kotoran (najis).

Masjid Kuno Bayan dikelilingi oleh makam para kyai yang membawa Islam pada zaman dahulu. Selain itu, juga terdapat beberapa cungkup makam. Tercatat beberapa nama di makam tersebut, antara lain: Pawelangan, Titi Mas Puluh, Sesait dan Karem Saleh. Mereka adalah tokoh-tokoh yang menyebarkan Islam di Lombok. Makam tersebut dibuat seperti rumah dari bedek (dinding dari bambu).

Salah satu makam yang diperlakukan beda adalah makam Sesait. Konon, makam ini tidak pernah diperhatikan ahli keluarganya hingga timbul mitos yang terjadi yaitu bencana kematian akan datang bagi anak cucu keturunan Sesait. Namun, mitos ini sepertinya tidak terbukti, karena sampai sekarang keturunan Sesait masih bisa kita temukan di Desa Bayan. 

Di sekitar Masjid juga bisa kita temukan ‎Makam Reak, yakni makam Syekh Abdul Razak yang menyiarkan agama Islam secara luas sampai ke belahan negara yang lain pada abad ke 16/17 M. Namun, di setiap daerah dakwahnya Syekh Gauz Abdul Razak selalu berganti nama, oleh karena itu beliau tidak terlalu dikenal.

Bagi anda yang mau berkunjung ke Masjid kuno Bayan Belek, tak terlalu sulit, karena sarana transfortasi baik dari ibu kota provinsi NTB (Mataram) maupun dari timur Labuhan Lombok cukup lancar. Memang masjid ini dari tepi jalan lingkar Pulau Lombok tak begitu tampak , yang kelihatan hanya pagar tembok dengan dua rumah kecil di kedua sisi gerbang yaitu kantor tempat pendaftaran pengunjung dan rumah penjaga situs. Sementara di sebelahnya terdapat sebuah berugak tempat beristirahat bagi para pengunjung. Bangunan masjid ini baru kelihatan setelah memasuki pagar beberapa belas meter di tengah rindangnya pepohonan seperti sebuah gubuk di puncak bukit kecil.

Sejarah Masjid Bayan Beleq, Pulau Lombok

Masjid Bayan Beleq diperkirakan dibangun pada abad ke 17 masehi, meskipun tak ada angka tahun yang pasti. Namun Pengulu Adat Bayan berkeyakinan bahwa Masjid Bayan Beleq dibangun bersamaan dengan masuknya Islam ke pulau Lombok di Abad ke sebelas atau sekitar tahun 1020 masehi. Bila hal ini benar maka akan mengubah sejarah masuknya Islam ke Indonesia yang selama ini selalu disebutkan masuk dan berkembang di Indonesia sekitar abad ke 13 Masehi.

Walaupun nampak sederhana, Masjid Bayan Beleq merupakan masjid pertama yang berdiri di Pulau Lombok dan kecamatan Bayan sendiri memang terkenal sebagai salah satu pintu gerbang masuk nya ajaran Islam ke Pulau Lombok. Masjid Bayan Beleq telah menjadi salah satu situs bersejarah yang ada di Indonesia. Dikarenakan usianya yang lebih dari 300 tahun.

Arsitektur Masjid Bayan Beleq, Lombok

Bentuk bangunan Masjid Bayan Belek di pulau Lombok ini serupa dengan bentuk bangunan rumah rumah tradisional asli masyarakat Bayan. Saat pertama kali melihatnya, Anda mungkin tidak akan mengira bahwa bangunannya merupakan sebuah masjid. Ukurannya relatif kecil sekitar 9 x 9 meter, berdinding anyaman bambu, beralaskan tanah liat yang dikeraskan dan dilapis dengan anyaman tikar bambu. Atap tumpangnya dibuat dari bilah bilah bambu. Pondasi masjid menggunakan batu kali tanpa semen.

Di dalam masjid juga terdapat sebuah bedug dari kayu yang digantung di tiang atap masjid serta beleq (makam besar) dari salah seorang penyebar agama Islam pertama di kawasan ini, yaitu Gaus Abdul Rozak. Di belakang kanan dan depan kiri masjid terdapat dua gubuk kecil yang di dalamnya terdapat makam tokoh-tokoh agama yang turut membangun dan mengurus masjid ini sejak dari awal. 

Denah masjid berbentuk bujur sangkar, panjang sisinya 8,90 m.  Di topang 4 Soko Guru (tiang utama) yang dibuat dari kayu nangka, berbentuk bulat (silinder) dengan garis tengah 23 cm, tinggi 4,60 m. Keempat tiang tersebut berasal dari empat desa (dusun) yaitu : Tiang sebelah Tenggara, dari desa Sagang Sembilok. Tiang sebelah Timur laut, dari desa Tereng. Tiang sebelah Barat laut, dari desa Senaru, Tiang sebelah Barat Daya, dari desa Semokon.

Menurut keterangan para Pemangku Adat, tiang utama ini diperuntukkan bagi para Pemangku Masjid yaitu : Tiang sebelah tenggara untuk Khatib. Tiang sebelah timur laut untuk Lebai. Tiang sebelah barat laut untuk Mangku Bayan Timur. Dan tiang sebelah barat daya untuk Penghulu.

Tiang keliling berjumlah 28 buah, termasuk dua buah tiang Mihrab. Tinggi tiang keliling rata-rata 1,25 m, dan tiang Mihrab 80 cm. Tiang-tiang ini selain berfungsi sebagai penahan atap pertama, juga berfungsi sebagai tempat menempelkan dinding terbuat dari bambu yang dibelah dengan cara ditumbuk, disebut “pagar rancak”. Khusus dinding bagian Mihrab terbuat dari 18 bilah papan kayu suren. Perbedaan bahan dinding ini bermakna simbolis, bahwa tempat kedudukan “imam” (pemimpin) tidak sama dengan “makmum” (pengikut atau rakyat). Perbedaan tempat menunjukkan perbedaan kedudukannya.

Atap berbentuk tumpang, terbuat dari bambu (disebut “santek”). Pada bagian puncaknya terdapat hiasan “mahkota”. Ukuran tinggi dinding bangunan yang hanya 125 cm, jauh dibawah ukuran tinggi rata-rata manusia normal. Dengan demikian, setiap orang yang hendak masuk ke dalam masjid tidak mungkin berjalan dengan langkah tegap, tetap harus menunduk. Hal ini pun mengandung makna penghormatan.

Pada bagian “blandar” atas terdapat sebuah “jait” yaitu tempat untuk manaruh hiasan-hiasan terbuat dari kayu berbentuk ikan dan burung. Ikan ialah binatang air, melambangkan dunia bawah maksudnya kehidupan duniawi. Sedangkan burung sebagai binatang yang terbang di udara, melambangkan dunia “atas” maksudnya kehidupan di alam sesudah mati (akhirat). Makna perlambang yang ada di balik itu ialah, manusia hendaknya selalu menjaga keseimbangan antara tujuan hidup di dunia akhirat.

Pada bagian atas mimbar, terdapat hiasan berbentuk naga. Pada bagian “badan naga” terdapat hiasan (gambar) tiga buah binatang, masing-masing bersegi 12, 8, dan 7. Hiasan ini melambangkan jumlah bilangan bulan (12), windu (8), dan banyaknya hari (7). Disamping itu juga terdapat hiasan berbentuk pohon, ayam, telur, dan rusa. Di dalam seni rupa Islam pada umumnya, hampir tidak pernah ditemukan motif atau ragam hias makhluk hidup yang digambarkan secara jelas. Adanya ragam hias dengan motif makhluk hidup pada mimbar masjid di Bayan Beleq menunjukkan betapa kuatnya pengaruh tradisi pra Islam yang masih mewarnainya.‎

Keramat Makam Selaparang


Di dalam kitab Negarakertagama, pupuh 14, disebutkan bahwa “Lombok Mirah” dan “Sasak” menjadi daerah kekuasaan Majapahit. Sekalipun para ahli berbeda pendapat mengenai penafsiran kata Lombok Mirah dan Sasak, sehingga melahirkan beberapa argumen yang berbeda. Namun para ahli ini sepakat bahwa lokasi yang dimaksud adalah pulau Lombok. Bahkan sebelum dapat dipastikan, apakah pada waktu itu sudah ada kerajaan Selaparang.

Selain sumber-sumber lokal, nama Selaparang juga terdapat dalam sumber-sumber Bali, Sumbawa, Makasar, Hikayat Banjar, dan dokumen yang di ambil pada masa kolonial belanda. Dari data masa Belanda, kerajaan Selaparang sangat identik dengan pulau lombok yang ketika itu dikuasai oleh kerajaan-kerajaan beragama Hindu. Fakta tersebut telah diterima karena adanya objek sejarah yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang di ungkapkan dari dokumen yang dimiliki Belanda.

Pada mulanya Selaparang merupakan salah satu dari kerajaan-kerajaan kecil yang ada di pulau Lombok. Masa itu, di Jawa timur salah satu kerajaan terbesar di nusantara mengalami keruntuhan. Kerajaan itu adalah Majapahit. Kemudian untuk mempertahankan kekuasaannya Majapahit melakukan perluasan wilayah dengan ekspedisi menuju daerah timur yaitu Bali sekitar tahun 1343M kemudian diteruskan ke Lombok di bawah pimpinan Empu Nala untuk menaklukkan Selaparang yang mulai gencar memamerkan kekuatan kerajaannya.

Sumber lain menyebutkan bahwa setelah kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspatih melarikan diri ke dalam hutan, sekembalinya dari persembunyian, beliau mendirikan kerajaan baru di Patu Parang yang dinamakan Selaparang.

Tata Letak Kerajaan  Selaparang

Lokasi tempat berdirinya Kerajaan Selaparang sangatlah tandus dan berbatu. Sehingga patutlah kerajaan ini dinamakan Selaparang, sela artinya batu, sedangkan parang artinya karang, jika disatukan menjadi batu karang. Selain memiliki arti simbolis yang berarti kuat dan teguh, nama Selaparang juga menggambarkan daerah kerajaan yang memang banyak terdapat batu-batuan.

Daerah yang sangat berbatu ini juga mempengaruhi desain pagar dan bangunan rumah yang digunakan penduduk yang bermukim di sana hingga saat ini, ditambah pula dengan tempatnya yang terpencil. Kami menafsirkan, daerah yang tandus,biasanya menghasilkan karakter masyarakatnya yang keras dan sukarserta memiliki postur kekar. Akan tetapi masyarakatnya tetap dapat hidup makmur dengan berkebun sebagai mata pencaharian terbesar mereka. Seiring perjalanan dan sepak terjangnya, Selaparang dalam mencitrakan dirinya sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan terbesar di Lombok, mendapat banyak bantuan dan kerjasama dari kerajaan lain sekitar Lombok, termasuk kerajaan Goa.
  
Dengan menilik sejarah yang lalu, kamijuga menemukan alasan mengapa Kerajaan Selaparang memilih Pringgabaya sebagai tempat membangun istana yang baru. Kemungkinan besar hal ini untuk menghindar dari musuh yang mulai memperhitungkan ancaman dari perkembangan kerajaan Selaparang yang pesat. Daerah yang terpencil akan mempermudah Selaparang dalam melindungi dirinya dari serangan musuh.‎

Sekarang ini satu-satunya peninggalan kerajaan selaparang yang masih dapat kita saksikan adalah makam selaparang yang diyakini merupakan makam-makam para rajanya yang pada saat itu telah menganut agama islam salah satunya adalah makam Ki Gading atau Penghulu Gading. Pada batu nisannya bertuliskan huruf arab dan huruf-huruf yang merupakan peralihan huruf jawa kuno ke huruf bali yang terdiri atas lima baris dan terpahat dalam bentuk relief timbul.yang berbunyi :

1.La ilaha ilallah
2.Wa muhammadun rasul
3.Ulla (dan) maesan
4.gagawean
5.parayuga‎

Setiap lokasi wisata religi biasanya punya mitos yang dipercaya oleh pengunjung. Begitu juga yang terjadi di Makam Selaparang. Masyarakat setempat percaya bahwa jika kita yang masih lajang berkunjung ke sini niscaya kita akan cepat mendapatkan jodoh. Tertarik ingin membuktikannya?

Keberadaan Makam Selaparang sangat lekat dengan keberadaan Kerajaan Selaparang di abad 13 dan 16 lalu. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam. Dalam sejarah, Kerajaan Selaparang tergolong kerajaan yang tangguh, baik armada laut dan daratnya. Laskar lautnya bahkan pernah mengusir Belanda yang hendak memasuki wilayah tersebut sekitar tahun 1667-1668 Masehi. Kerajaan Selaparang pernah dua kali terlibat dalam pertempuran sengit melawan Kerajaan Gelgel, yakni sekitar tahun 1616 dan 1624 Masehi.

Makam Selaparang berada di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, tepatnya di kecamatan Swela sekitar 65 km dari kota Mataram. Jika Anda menyewa mobil, perjalanan akan memakan waktu sekitar 1 jam. Selama perjalanan, kita akan disuguhi banyak sekali pemandangan indah termasuk pegunungan Rinjani yang memesona. Untuk masuk ke lokasi makam, kita harus membayar tiket seharga Rp. 5 ribu per orang. Kita juga harus mentaati segala peraturan di lokasi ini, yakni dilarang memotret, harus mengenakan baju yang sopan, melepas alas kaki dan bagi yang sedang menstruasi tidak boleh masuk ke area makam. Komples Makam Selaparang ramai dikunjungi peziarah pada waktu-waktu tertentu seperti menjelang musim keberangkatan jamaan haji dan beberapa waktu khusus lainnya. Tradisi ziarah ke Makam Selaparang masih lestari hingga sekarang. Ada tiga makam yang banyak dikunjungi di kompleks Makam Selaparang yakni makam Raja Selaparang, makam orang tua Raja Selaparang dan makam panglima Gajah Mada. Di ketiga makam ini, pengunjung sering menaburkan bunga dan membasuh muka dengan air yang telah seediakan. Dengan membasuh muka ini diyakini bagi yang masih lajang akan cepat mendapat jodoh. Jejak-jejak keislaman di makam ini adalah di nisan salah satu makam bertuliskan huruf Arab dan huruf yang merupakan peralihan huruf Jawa kuno ke huruf Bali yang terdiri atas lima baris dan terpahat dalam bentuk relief timbul yang berbunyi “La ilaha ilallah, wa muhammadun radul, ulla, maesan, gegawean dan parayuga”.

Pada mulanya makam ini dibangun ketika salah satu raja atau wali Selaparang diburu oleh Belanda. Ketika itu raja tersebut menerobos dinding masjid yang berada di samping makam dan menghilang disana. Atas dasar itulah makam ini kemudian dibangun. Di kompleks ini dulunya terdapat perpustakaan, namun oleh Belanda buku-bukunya dimusnahkan. Di perpustakaan inilah terdapat sejarah Kerajaan Selaparang saat itu.

Jika ingin mengetahui lebih banyak tentang sejarah Kerajaan Selaparang, Anda bisa sekali ke Desa Ketangga yang masih berada di Kecamatan Swela. Desa itu termasuk desa tertua dan menyimpan benda-benda pusaka Kerajaan Selaparang. Desa ini menyimpan misteri dan memiliki cagar budaya yang cukup banyak, seperti masjid pusaka Selaparang, batu dari Irak (Baghdad) dan sabuk yang bertuliskan sejarah manusia sejak lahir hingga masuk alam akhirat. Tidak itu saja, pengunjung juga bisa menemukan Al Quran bertulis tangan, perisai yang terbuat dari kulit, keris dan masih banyak yang lain.

Di dalam kompleks Makam Keramat Selaparang itu juga ada sebuah batu nisan bertuliskan huruf Arab dan huruf-huruf lain yang merupakan peralihan dari huruf Jawa kuno ke huruf Bali. Inskripsi tersebut terdiri dari lima baris yang terpahat di batu nisan makam dalam bentuk relief timbul berbunyi ; La Ilaha Ilallah (baris pertama), Wa Muhammadun Rasul (baris kedua), Ulla Maesan (baris ketiga), Gagawean (baris keempat), dan Para Yuga (baris kelima).‎

Kalau di lihat dari tipologinya, bagian terbesar dari batu nisan di Makam Selaparang itu hampir sama dengan bentuk-bentuk makam yang ada di daerah Aceh, Banten, dan Madura yang berasal dari abad 16 dan 17 Masehi.
Dengan demikian, dari sudut arkeologi peninggalan Islam, makam di Desa Selaparang ini termasuk peninggalan yang sudah tua. Bahkan mungkin sekali dugaan Nieuwenhuizen (sarjana barat) tentang munculnya Kerajaan Selaparang, dan pendapat H.J. de Graaf (sarjana barat) tentang masuknya agama Islam di Lombok yang di bawa oleh Sunan Prapen, bisa jadi ada benarnya.‎

Namun selama bukti-bukti secara ilmiah belum ada, maka pendapat tersebut tetap saja merupakan dugaan belaka. “Itulah misterinya, mengapa Makam Selaparang banyak menarik minat para wisatawan berkunjung, termasuk menantang para peneliti yang merasa penasaran untuk mengungkap kebenarannya,” harap Ari.‎

Bagi para wisatawan yang berkunjung ke Lombok, keberadaan destinasi wisata sejarah seperti Makam Selaparang ini tentu dapat menjadi alternatif pilihan berwisata. “Kita harus bersyukur, karena Lombok selain dikaruniai berbagai keindahan alam dan aneka seni budaya yang unik, juga kaya dengan peninggalan bersejarah.‎

Sejarah Gunung Pujut


Jika berbicara tentang cara masuknya islam ke indonesia tentu saja setiap tempat memiliki cerita yang berbeda-beda, mungkin ada yang dibawa oleh para pedagang, dibawakan oleh para alim ulama yang syiar kemana-mana, ada pula yang mengenal islam dari peperangan yang terjadi di daerahnya. Negara kita Indonesia merupakan salah satu negara dengan penduduk yang memeluk agama islam terbanyak di dunia. Maka dari itu pasti banyak cerita dibalik itu semua. Di masa lalu lombok ada cerita mengenai Masjid Kuno Gunung Pujut ini sangat berkaitan dengan sajarah islam di lombok, dan sekarang masjid ini sudah menjadi wisata religi.Masjid ini sudah berdiri sejak tahun 1008 Hijriyah. Masjid Kuno Gunung Pujut terletak di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. 

Pujut adalah nama salah satu kecamatan di bagian selatan Kabupaten Lombok Tengah Provinsi NTB, walaupun memiliki alam yang kering namun kecamatan pujut memberikan harta kekayaan yang memberikan kontribusi besar bagi kabupaten ini. Harta kekayaan tersebut antaranya andalah Bandara International Lombok (BIL), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Resort dan Pelabuhan Ikan International Awang. Selain kekayaan tersebut Pujut juga memberikan kekayaan budaya dan religi yang sangat eksotis seperti upacara adat Bau Nyale (legenda Mandalika Nyale), kampung tradisional Sade, Makam Wali Yatok dan Masjid Kuno Pujut & Rembitan yang menjadi bukti sejarah bahwa di tanah Pujut ini dulu berkembang ajaran islam yang mengajarkan ilmu-ilmu makrifat. Ilmu makrifat oleh para waliyullah diajarkan dalam bentuk Paosan yaitu mempelajari ajaran makrifat dalam tembang-tembang mancapat yang tertulis pada kitab daun lontar.

Beberaoa kitab-kitab ajaran makrifat yang diajarkan oleh para waliyullah antaranya adalah Jatisware, Brambang Wulung, Langit Gite, Wirid Widayat Jati, Jimat Kalimosodo, Indarjaya, dll. Penyampaian ajaran makrifat ini dalam bentuk tembang baik menggunakan tembang Sinom, Maskumambang, Dandang Gendis, Pangkur, dan Durme. Budaya Paosan ini sampai sekarang tetap dilestarikan oleh paguyuban-paguyuban Paosan seperti, Pembasak Kabupaten Lombok Tengah, Paguyuban Pangeran Sangupati Desa Batujai, Paguyuban Kise Jati Desa Gapura, Paguyuban Puji Bakti Desa Sengkol, dll.

Mengenai Masjid Kuno Gunung Pujut, tidak banyak buku-buku sejarah yang menulisnya termasuk kurangnya tokoh masyarakat yang mengetahui sejarah Gunung Pujut itu sendiri. Dari narasumber beberapa tokoh Pujut penulis mencoba menggali kembali sejarah Gunung Pujut termasuk Masjid Kuno Gunung Pujut dan menuliskannya agar dapat memperkaya khasanah kita akan peninggalan sejarah Pujut.

Sejarah Pujut

Pujut merupakan wilayah kedatuan (kerajaan kecil) yang diperkirakan berdiri pada tahun caka 1255 atau 1355 M, perkiraan tahun berdirinya kedatuan pujut ini diambil dari sumber lontar yang berbahasa sasak berbunyi “Kengkang Pelapak Gedang Lembah Gunung Pujut dait Gunung Tengak dait Pelembah Polak Due”. Kengkang melambangkan angka 1, Pelepak Gedang Polak melambangkan angka 2, Gunung Pujut melambangkan angka 5 dan Gunung Tengak melambangkan angka 5,  sehingga jika angka ini digabungkan akan membentuk angka caka 1255.

Kedatuan pujut didirikan oleh seorang bangsawan Majapahit yang bernama Ame Mas Meraje Mulie dan menikah dengan puteri kerajaan Kelungkung Bali. Setelah melangsungkan pernikahan oleh mertuanya ‎Ame Mas Meraje Mulie disuruh oleh mertuanya untuk bersemedi di sebuah pulai ditimur Bali, pulau itu sekarang di sebut Nusa Penide (Penida berasal dari kata Penede artinya tempat memohon kepada Tuhan YME). Dalam semedinya beliau mendapat wangsit untuk berlayar ketimur dan apabila dalam pelayaran tersebut melihat cahaya di daratan maka disanalah tempat tinggalnya. Berdasarkan wangsit tersebut akhirnya bersama istri dan pengiringnya melakukan peleyaran ke arah timur dan akhirnya menemukan tanah petunjuk tersebut yaitu disebuah Bukit didataran bagian selatan Lombok yang kita kenal sekarang sebagai Gunung Pujut.

Ame Mas Meraje Mulie menganut paham Shiwa-Budha yang menjadi agama resmi di Majapahit, dengan demikian maka setibanya di Gunung Pujut ia mendirikan tempat pemujaan Shiwa-Budha yaitu Diwe Dapur, Diwe Pujut, Diwe Peringge dan Diwe Jomang dan membuat kampung bernama Tuban untuk mengenang asalnya dari Kadipaten Tuban Wilayah Kerajaan Majapahit. Kalau memang betul Ame Mas Meraje Mulie berasal dari Kadipaten Tuban maka dapat dipastikan bahwa ia masih merupakan keturunan Raja Daha Kediri dari garis keturunan Airlangga pendiri kerajaan Kediri.

Dari hasil pernikahannya dengan Puteri Kelungkung Ame Mas Meraje Mulie memiliki satu orang putra yaittu Ame Mas Mayang. Ame Mas Mayang memiliki empat orang putra/putri yaitu Sri Meraje Tinauran, Meraje Gune, Meraje Pati dan Meraje Tinolo. Meraje Gune memiliki seorang putra yaitu Meraje Galungan dan Meraje Pati memiliki seorang putra bernama Meraje Olem. Meraje Olem inilah yang menjadi Datu Pujut yang ke empat. Meraje Olem memiliki dua orang putra/puteri yaituSri Mas Jaye Diguna atau biasa disebut Balok Gare dan Sri Mas Jaye Wire Sentane atau biasa disebut Balok Pait.

Berdirinya Masjid Gunung Pujut 

Pada masa pemerintahan Meraje Olem agama Islam sudah berkembang dengan pesat di seluruh Nusantara termasuk pulau Lombok yang dibawa oleh para Waliyullah dari tanah Jawa atau biasa dikenal dengan nama Wali Songo. Meraje Olem suatu ketika berangkat ke tanah Jawa untuk mengunjungi tanah leluhurnya dan disana Meraje Olem sangat tertarik dengan agama Islam sehingga ia memeluk agama Islam dan belajar kepada Wali Songo. Setelah mempelajari Islam Meraje Olem kembali ke Pujut dan mengajarkan ajaran Islam kepada rakyatnya. Dibantu oleh Wali Yatok ia menyebarkan agama Islam tidak saja kepada masyarakat Pujut tetapi juga kepada kedatuan-kedatuan disekitarnya.

Sebagai tempat ibadah maka pada tahun caka 1509 atau 1587 M atau 1008 H Meraje Olem mendirikan Masjid di puncak Gunung Pujut (pada ketinggian 400 mdpl). Masjid Gunung Pujut sendiri memiliki desain arsitektur yang unik dan dapat ditandai dari bentuk atap 2 cungkup seperti masjid demak, bangunan masjid tidak memiliki jendela dengan satu pintu kayu didepan dan berdinding sangat pendek yaitu 1,5 meter sehingga untuk memasuki masjid maka harus menundukkan kepala. Bentuk arsitektur yang seperti ini barangkali memiliki makna-makna makrifat yang perlu untuk dikaji lebih dalam. Masjid Gunung Pujut memiliki ukuran 9 x 9 meter dengan empat buah tinga besar (agung) didalamnya yang menyokong kuncup atap atas.

Tahun meninggalnya meraje olem tidak banyak diketahui oleh masyarakat, tetapi setelah meninggal Meraje Olem dimakamkan di sebelah utara Gunung Pujut yang biasa disebut sebagai Makam Sempane. Untuk menandakan bahwa Meraje Olem telah memeluk agama Islam maka diatas makamnya ditanami oleh 9 buah pohon Kamboja yang sampai sekarang masih tumbuh dengan baik.

Masih banyak sejarah yang dapat digali terkait dengan Masjid Kuno Gunung Pujut antaranya adalah makna/simbol makrifat dalam arsitektur Masjid, kitab-kitab makrifat dalam bentuk daun Lontar, dan peran tokoh-tokoh Pujut dalam penyebaran ajaran Islam seperti Balok Gare, Balok Tui, Balok Senggal Jepun, Balok Serte, Balok Suralangu, dll.‎

Sejarah Wali Nyantoq Di Pulau Lombok


Wisata religi memang selalu menarik untuk ditelusuri. Seperti halnya yang terjadi di makam Wali Nyatoq yang berada di Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah atau 49 km dari kota Mataram. Menurut masyarakat setempat Wali Nyatoq merupakan seorang wali yang melegenda di kawasan Lombok Barat. Mereka yakin bahwa Wali Nyatoq memang benar adanya yang bisa memperlihatkan tanda-tanda kewaliannya. Sesuai dengan namanya “Nyatoq” yang berarti “nyata”. Konon katanya Wali Nyatoq adalah keturunan bangsa Arab terlihat dari postur tubuhnya.

Wali Nyatoq mempunyai 33 nama, salah satunya adalah Sayyid Abdullah yang banyak dikenal oleh masyarakat luas. Karena diyakini menjadi salah satu tokoh yang menyebarkan ajaran Islam, kini makam tersebut menjadi jujugan warga yang sedang melakukan ritual agama seperti berdoa. Doa yang sering dilantunkan oleh para peziarah adalah doa keselamatan. Selain itu mereka yang datang biasanya juga berdoa agar diberi kesembuhan dari penyakit yang sedang diderita.
 ‎
Kepercayaan bahwa berdoa di lokasi ini membuat permintaan cepat terkabul tidak hanya diyakini oleh masyarakat setempat namun juga oleh warga di luar Lombok. Beberapa peziarah di makam Wali Nyatoq ini ada yang berasal dari pulau Jawa. Kepercayaan bahwa lokasi ini menjadi tempat yang mujarab sudah menyebar dari mulut ke mulut sehingga mengundang penasaran beberapa wisatawan dari luar pulau.

Kebanyakan peziarah datang ke makam Wali Nyatoq pada hari Rabu. Konon katanya, pada hari inilah Wali Nyatoq mencurahkan berkah sepenuhnya kepada para pengunjung yang datang ke tempat ini. Tidak itu saja, pengunjung juga percaya bahwa beragam masalah yang mendera mereka akan tuntas dan mendapatkan jalan keluar saat berziarah ke makam Wali Nyatoq. Untuk orang yang melakukan kesalahan tetapi tak mau mengatakan maka orang ini akan dibawa menuju makam tersebut demi bersumpah dan selanjutnya disuruh meminum air tanah yang berasal dari tanah makam tersebut. Barang siapa yang bersalah, maka setelah meminum air tersebut akan mengalami hal-hal yang buruk. Oya, karena keberadaan makam tersebut sangat bermakna bagi warga setempat maka mereka tidak mentoleransi usaha-usaha perusakan sekecil apapun.

Air makam Wali Nyatok pun dikeramatkan, sehingga acapkali dipakai sebagai sarana untuk mengungkap suatu kasus meresahkan yang terjadi di desa itu. Misalnya saja jika ada warga yang kecurian, kemudian ada seseorang yang dicurigai, orang itu langsung digelandang ke makam Wali Nyatoq untuk disumpah. Di sana, di hadapan warga, orang itu akan diminta meminum air tanah tersebut. Mereka yang merasa mencuri, tidak akan bersedia meminumnya karena akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya.
Bisa dibilang, makam Wali Nyatoq sangat diistimewakan masyarakat setempat. Seperti Yang Biasa Aku Liat makam tersebut identik dengan keberadaan masjid tua Rembitan -- yang usianya diduga mirip dengan masjid tua Bayan dan masjid tua Pujut. Fondasi bangunan masjid dari tanah. Namun gambaran yang khas dari masjid itu adalah tali-temalinya menggunakan bahan ijuk dan tali saot -- sejenis akar gantung pada tumbuhan hutan. Sedangkan tali pengikat atap alang-alang disebut male.
Abad Ke-16

Masjid tua Rembitan dengan bentuk atap tumpang dan tanpa serambi itu diperkirakan dibangun pada abad ke-16. Babad Lombok menyebutkan bahwa agama Islam masuk ke Lombok dibawa Sunan Prapen, putra Sunan Giri dari Gresik. Dibangunnya Masjid Rembitan itu sering dihubungkan dengan tokoh penyebar agama Islam di daerah Rembitan Wali Nyatoq.

Wali Nyatoq merupakan penyebar Islam yang masuk ke kawasan selatan Lombok Tengah di mana masyarakat semula merupakan pemeluk animisme. Dalam menyebarkan Islam, Wali Nyatok pun mengimplementasikannya dalam kegiatan sehari-hari lewat tingkah laku yang baik.

Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut, pada saat Wali Nyatoq meninggal dunia, jenazahnya ditandu. Konon begitu akan dikuburkan, jasadnya menghilang. Yang tinggal hanya kain kafan dan keranda yang kemudian dimakamkan. Begitu kuatnya keterikatan masyarakat dengan tokohnya itu membuat hubungan masyarakat dengan makam tersebut tidak bisa dipisahkan. Karena itu, tidak ada seorang pun yang berani menggugat keberadaan makam itu.‎

Perihal  kedatangan  ke  Pulau  Lombok  tidak  jelas.  

Berdasarkan  penuturan  TGH Najamuddin  Ma’mun  (Pengasuh  PP  Darul  Muhajirin,  Praya,  Lombok  Tengah) menuliskan dalam bahasa sasak tulisan Arab Melayu. Wali Nyatoq datang dari arah barat dan menamakan dirinya Raden Datang. Kisah Raden Datang seringkali dikaitkan dengan cerita Mamiq  Butuh  dan  Inaq  Butuh  alias Amaq  Bangkol  dan  Inaq  Bangkol. Sekitar tahun  1800-an  di  zaman  kerajaan Karangasem  yang  dipimpin  oleh Anak Agung Gede Djelantik  dan masih menguasai Lombok. Disebutkan  sebuah  cerita  tentang  kedatangan Raden Datang  yang mampir  ke  Pondok Mamiq Butuh  yang  tinggal  di  desa Rembitan, Pujut Lombok Tengah. Mamiq Butuh adalah seorang penggembala kerbau.

Kedatangan Raden Nyatoq secara  tiba-tiba  yang  sebelumnya  didahului  oleh kedatangan Raden Farnas. Ketika itu, Mamiq Butuh sangat bersedih dengan linangan air mata karena ditinggalkan pergi oleh Raden  farnas. Raden  farnas adalah anak angkatnya dan tinggal bersamanya selama 8 tahun, akan tetapi kemudian Raden Farnas secara tiba-tiba menghilang. Di tengah kesedihan Mamiq Butuh, tiba-tiba datanglah seorang pemuda yang  sebelumnya  dianggap  Raden  Farnas.  Tetapi  sebenarnya  adalah  Raden  Datang. Setelah lama bercerita Raden Datang diperkenankan untuk tinggal bersama Mamiq Butuh dan  diangkat  menjadi anak  angkat.  Selang  beberapa  waktu  kemudian  Raden  Farnas akhirnya kembali pulang. Mamiq Butuh sangat senang dan sangat terhibur hatinya berarti kini  ia  telah  mempunyai  dua  anak  angkat  untuk  membantu  menggembalakan kerbaunya.

Hubungan  Raden  Farnas  dan  Raden  Datang  sangat  dekat  layaknya  seorang saudara kandung. Mamiq Butuh sangat berbahagia meskipun ia tidak memiliki keturunan tetapi Allah SWT mengkaruniakannya dua orang pemuda. Kasih sayang yang diberikan kepada kedua pemuda  itu  layaknya seperti anak kandungnya sendiri. Keduanya  terkenal sangat  ulet  dan  rajin. Ketekunan  dan  kerajinan Raden  Farnas  dan  raden Datang  dalam menggembalakan  kerbau  menjadi  buah  bibir  masyarakat  di  desa  Rembitan.  Kedua pemuda itu sedikitpun tidak pernah mengeluh, teman-teman sesama penggembala sangat senang  berkawan  dengan  keduanya.  Raden  farnas  dan  Raden  Datang  pun  sangat menghargai  teman-temannya,  sikap  dan  tutur  katanya  selalu  dijaga  agar  tidak menyinggung perasaan orang lain.
Setelah  tujuh  tahun  bersama  Mamiq  Butuh,  Raden  Datang  mengajukan permintaan  kepada  ayah  angkatnya.  Ia  meminta  untuk  dikhitan.  Permintaan  tersebut disambut gembira. Bukan hanya Raden Datang yang dikhitan  tetapi Raden Farnas  juga ikut dikhitan. Pada hari Kamis,  tganggal 12  (tidak disebutkan  tahunnya) dilangsungkan acara khitanan yang sangat meriah. Berbagai acara hiburan didatangkan untuk menghibur para  tamu  undangan  yang  datang.  Suguhan  berbagai  macam  makanan  serta  suara tetabuhan  gendang  beleq,  rebana  terdengar  bertalu-talu  mengiringi  kebahagiaan masyarakat Rembitan pada waktu itu. Banyak kemudian masyarakat setempat mengikuti tatacara upacara seperti yang dilakukan Mamiq Butuh.

Masuknya  ajaran  agama  Islam  yang  mereka  terima  hanya  sebatas  keimanan, ajaran  itupun belum  terlalu sempurna, mereka menganut ajaran kepercayaan   Wetu Telu dan  pengaruh  budaya  animisme  dan  dinamisme  yang masih  kental. Adapun  kemudian yang mengikuti acara khitanan seperti  itu adalah Aman, Dona, Demin, Leman, Brahim, Samaq, Beruraq, Bika, dan Lembain. Mereka adalah teman dekat Raden Datang sesama penggembala kerbau. Tahun-tahun berikutnya banyak yang mengikuti tradisi tersebut.

Lima  tahun  setelah  dikhitan,  tepatnya  pada  hari Kamis  tanggal  13  bulan Rajab. Raden farnas dan Raden Datang mengajak teman-teman untuk bermain layang-layang di sebuah padang yaitu Lendang Batu Beleq yaitu di sebelah selatan desa Rembitan. Ketika layang-layang  naik  dengan  kencang  Raden  Datang  menyuruh  Raden  Farnas  untuk memegang  tali  layang-layang,  seketika  itu  juga Raden  Farnas melesat  ke  atas  bersama layang-layang.  Ketika  di  atas  Raden  Farnas  melihat  sekumpulan  orang  mengelilingi kotak  hitam  dan  mengelilinginya.  Akhirnya  dijawab  oleh  Raden  Datang  bahwa  yang dilihat itu adalah Ka’bah dan orang yang keliling itu adalah sedang bertawaf mengelilingi Ka’bah.  Kejadian  inipun  disaksikan  secara  nyata  oleh  teman-temannya  dan  apa  yang dilihat adalah sama seperti yang dilihat oleh raden Farnas.

Kejadian  ganjil  berikutnya  adalah  Raden  datang menyruh  Raden  Farnas  untuk menunggu kerbaunya sementara ia mau pergi shalat Jum’at di Makkah dan berjanji akan membawakan teman-temannya Bagek Mekah (kurma). Tiga jam kemudian Raden Datang kembali  dengan  membawa  sekarung  kurma  yang  dijanjikan  kepada  teman-temannya. Para sahabatnya kembali terheran-heran dan menanyakan tentang Makkah, shalat Jum’at, akan tetapi Raden Datang kemudian menjelaskan secara rinci. Berita ini kemudian tersiar sampai  ke  pelosok  desa  dan  kampung.  Berita  tentang  karomah  dan  kewalian  Raden Datang membuat masyarakat Rembitan terkagum-kagum dan mereka mulai mempercayai bahwa Raden Datang benar-benar seorang Waliyullah.

Semenjak  peristiwa  itu, masyarakat  desa Rembitan  semakin  tunduk  serta  yakin  dengan keshalehan Raden Datang. Sebagai seorang wali beliau memiliki kharomah yang tinggi,  kekaroimahan  yang  sulit  ditunjukkan  dengan  pikiran  waras.  Kelebihan  yang diberikan  oleh  sang  pencipta menembus  batas  akal  pikiran  sehat,  logika  . masyarakat mulai mengikuti sikap dan prilaku Raden Datang yang biasa shalat Jum’at. Raden Datang kemudian mengajak masyarakat  untuk membangun masjid.  (Masjid  tersebut  terletak  di sebuah Gunung di desa Rembitan).
Setelah sekian lama bersama Mamiq Butuh kesedihanpun mulai menimpa Raden Datang.  Mamiq  Butuh  sakit-sakitan  kemudian  meninggal  dunia.  Selang  tujuh  tahun kemudian  Inaq  Butuhpun  meninggal  dunia.  Belum  kering  air  mata  kesedihan  Raden Datang, tujuh tahun kemudian Raden Farnas menyusul. Hari-hari dilaui seperti biasanya menggembala  kerbau  bersama  teman-temannya. 

Pada  suatu  ketika  Raden  Datang menunjukkan gelagat yang aneh. Ia menggali lubang. Prilaku ini menimbulkan keheranan bagi  teman-temannya.  Ia berpesan “lakukanlah apa yang menjadi pekerjaan kalian. Aku hanya ingin istirahat dalam lubang tanah ini”. Iapun masuk ke dalam lubang, sampai tiga kali  teman-temannya  memeriksanya  tetapi  ia  masih  terlihat  sedang  tertidur.  Tetapi keempat  kalinya  setelah  waktu  Isya.  Raden  datang  menghilang  dari  tempat pembaringannya.  Masyarakat  Rembitan  sangat  sedih  dengan  berita  menghilangnya Raden  Datang.  Karomah  dan  kewaliannya  betul-betul  nyata  sehingga  disebut  “Wali Nyatoq”.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...