Minggu, 24 Oktober 2021

Keteladanan Umul-Mukminin Zainab Binti Khuzaimah Ra


Generasi sahabat adalah generasi terbaik, tidak bisa dibandingi apalagi dikalahkan. Generasi sekarang tidak akan mungkin bisa menyamai mereka. Namun pribadi-pribadi umat Islam masih memiliki kesempatan untuk meneladani dan menyamai kemuliaan pribadi-pribadi para sahabat. Pribadi, bukan generasi.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas pribadi salah seorang istri Rasulullah saw., yaitu Zainab binti Khuzaimah ra. yang dikenal sebagai Ibundanya Orang-orang Miskin.

Nasab

Nama lengkap beliau adalah Zainab binti Khuzaimah ra. bin Al-Harits bin Abdullah bin Amr bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’ah Al-Hilaliyah.

Ibu beliau bernama Hindun binti ‘Auf bin Al-Harits bin Hamathah. Di zaman jahiliyah, beliau dikenal dengan nama Ummul Masakin (ibunda orang-orang miskin).

Ibnu Sa’ad berkata, “Zainab binti Khuzaimah ra. bin Al-Harits bin Abdullah bin ‘Amr bin Abdu Manaf bin Hilal bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, beliau  dikenal dengan gelar Ummul Masakin di zaman jahiliyah.

Berdasarkan asal-usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaimali bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah adalah Ummul-Masakin. Gclar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah. Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun di terangkan bahwa Rasulullah. menikahinya sebelum beliau menikah dengan Maimunah, dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat kemurah-hatiannya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanarn dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.

Keislaman dan Pernikahannya

Zainab binti Khuzaimah. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah.

Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. 

Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah. Untuk mernuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul-Muththalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut.

Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah . menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena beliau ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati beliau menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal dengan kelemah- lembutannya terhadap orang-orang miskin. Scbagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, beliau rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Beiau senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orangorang miskin.

Meskipun Nabi. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul-masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah.

Kenapa Dikenal dengan Ummul Masakin?

Al-Balazary berkata, “Ummul Masakin adalah kun-yah bagi Zainab ra. di masa jahiliyah.” Al-Asqalany berkata, “Zainab memang dipanggil dengan sebutan Ummul Masakin di masa jahiliyah.”

Dalam sebuah riwayat Ath-Thabrany, beliau mengatakan, “Rasulullah saw. menikahi Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaliyah ra., atau sering disebut dengan sebutan Ummul Masakin. Dikenal dengan sebutan itu, karena beliau banyak memberi makan orang-orang miskin.

Ibnu Katsir juga berkata, “Zainablah yang sering dikenal dengan sebutan Ummul Masakin. Itu karena beliau banyak bersedekah, dan berbuat baik kepada orang-orang miskin.”

Pernikahan Pertama

Zainab binti Khuzaimah ra. awalnya adalah isteri Ath-Thufail bin Al-Harits. Namun beliau menceraikannya. Kemudian beliau dinikahi saudara Ath-Thufail yang bernama Ubaidah bin Al-Harits ra., yang mati syahid di perang Badar.

Ubaidah bin Al-Harits ra. termasuk sahabat yang sangat pemberani. Beliau adalah salah satu dari tiga orang yang menantang pasukan Quraisy untuk adu satu lawan satu. Mereka bertiga adalah Hamzah bin Abdul Muthalib ra., Ali bin Abi Thalib ra., dan Ubaidah bin Al-Harits ra.

Dalam perang Badar, beliau terluka parah, hingga akhirnya mendapatkan kesyahidannya. Sepeninggal suaminya, Zainab ra. hidup sendiri di Madinah Al-Munawwarah. Tidak ada keluarga yang menafkahi beliau, atau saudara yang menanggung kebutuhan beliau. Hanya Allah swt yang menolongnya.

Kebahagiaan Saat Rasulullah saw. Menikahinya

Pada saat itu, memang terbukti bahwa Zainab ra. adalah orang yang sangat penyabar. Beliau tidak pernah mengeluh, padahal kesedihan bertubi-tubi menimpanya. Pertama, beliau diceraikan oleh suami pertamanya. Kedua, beliau ditinggalkan oleh suami keduanya, karena gugur sebagai syahid dalam perang Badar.

Sejak itulah beliau hidup dengan penuh kesabaran, sembari mengharap imbalannya di sisi Allah swt. Karena itulah Allah swt. membalas kesabarannya dengan kebaikan yang sangat besar. Hati Rasulullah saw. tersentuh dengan kondisi Zainab ra. yang selalu dirundung musibah dan kesedihan.

–           Diceraikan suami pertamanya
–           Suami keduanya pun meninggal dunia dengan syahid

–           Beliau mandul, tidak mempunyai anak
–           Tidak termasuk wanita cantik
–           Tidak ada seorang sahabat pun yang melamar beliau, atau berusaha menghiburnya.

Sungguh banyak kesedihan yang menumpuk di hatinya. Tapi ternyata beliau tetap sabar, dan hanya mengharap balasan yang baik di sisi Allah swt. Beliau sama sekali tidak terpikir bahwa Rasulullah saw. akan mempersuntingnya.

Demikianlah, ternyata Rasulullah saw. menikahi beliau, bahkan mahar yang dibayar sebanyak 400 Dirham. Beliau juga dibangunkan rumah/kamar di sisi kamar Aisyah binti Abi Bakar Ash-Shidiq ra. dan Hafshah binti Umar bin Khattab ra. Hal itu Rasulullah saw. adalah seorang suami yang sangat penyayang. Beliau memberikan segenap kasih sayangnya kepada wanita yang selalu hidup menderita ini.

Para ulama berselisih pendapat tentang lama waktu kebersamaan Zainab ra. dan Rasulullah saw. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau hidup bersama Rasulullah saw. hanya dua atau tiga bulan, karena tak lama kemudian beliau meninggal dunia.

Beliau adalah satu-satunya isteri Rasulullah saw. yang meninggal di masa hidup Rasulullah saw. selain Ibunda Khadijah ra. Tak lama beliau hidup bersama Rasulullah saw. Dan karena pendeknya waktu itu, beliau tidak meriwayatkan sebuah hadits pun dari Rasulullah saw.
Imam Adz-Dzahaby mengatakan, “Tidak ada hadits yang beliau riwayatkan.”

Sedangkan Ath-Thabrany mengatakan, “Ummul Masakin meninggal dunia saat Rasulullah saw. masih hidup. Beliau hanya sebentar hidup bersama Rasulullah saw. Beliau meninggal dunia pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 4 Hijriah, di Madinah.

Beliau meninggal dunia di usia yang masih sangat muda. Sebagian referensi mengatakan bahwa umur beliau saat itu sekitar 30 tahun.

Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa beliau adalah isteri Rasulullah saw. yang pertama kali meninggal dunia di Madinah. Sebelumnya, lebih dahulu meninggal Khadijah ra. di Mekah.

Al-Baladzary mengatakan, “Rasulullah saw. menguburkannya di Baqi’, beliau jugalah yang mengimami shalat jenazahnya.”  Semoga Allah swt. melimpahkan keridhaan-Nya dan menempatkannya di surga yang sangat lapang.

Kira-kira apa yang akan dikatakan oleh musuh-musuh Islam ketika mengetahui perihal pernikahan Rasulullah saw. kali ini? Rasulullah saw. menikahi wanita ini dengan sebuah tujuan yang sangat mulia. Kalau bukan karena itu, mengapa beliau menikahi seorang wanita yang sebelumnya sudah dua kali menikah, dan beliau menjadi orang yang ketiga? Apalagi beliau bukanlah termasuk wanita yang cantik.

Apa kira-kira yang akan dikatakan oleh kaum orientalis dan orang-orang yang sepaham dengan mereka? Apakah pada pernikahan beliau ini mereka mendapatkan celah untuk menjelek-jelek Rasulullah saw.? Apakah kali ini mereka bisa mengatakan bahwa sebab Rasulullah saw. banyak menikah karena syahwat beliau?

Yang terbukti adalah sebaliknya. Rasulullah saw. menikah karena beliau memiliki sikap mulia, kebersihan hati, kasih sayang, kebaikan, dan keutamaan. Beliau adalah utusan Allah swt. yang didatangkan untuk membawa rahmat bagi sekalian alam. Beliau adalah cahaya bagi seluruh manusia.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al-Anbiya: 107)

Namun seringkali kaum orientalis tidak bersikap obyektif. Kebanyakan mereka tidak menghormati integritas keilmuan. Demi agenda-agenda terselubung, mereka dengan mudah mengkhianati keilmuan mereka. Tujuan mereka datang ke dunia timur, dan mempelajari ilmu-ilmu ketimuran, benar-benar untuk merusak dan mencitrakan Islam dengan buruk. Termasuk di dalamnya, membuat buruk nama dan citra kepribadian Rasulullah saw.

Syukurlah, karena ternyata apa yang mereka kehendaki tidak terjadi, dan keinginan mereka tidak tercapai. Karena Rasulullah saw. demikan agung untuk mereka jelek-jelekkan. Orang yang yakin dengan keagungan beliau tidak akan percaya dengan apa yang mereka katakan. Mereka yakin bahwa semua itu hanyalah bohong dan sangkaan buruk yang tidak memberi keyakinan sama sekali.

Keteladanan Umul-Mukminin Hafshoh Binti Umar Bin Khottob Ra


Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.

Jika kita menyebut narna Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.

Nasab dan Masa Petumbuhannya

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un. Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah . memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh beliau. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebe1um Nabi diutus menjadi Rasul.”

Sayyidah Hafshah radhiallahu ‘anha dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalarn membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Memeluk Islam

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika meihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.

Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan beliau, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam, serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Menikah dan Hijrah ke Madinah

Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keirnanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah beliau mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Cobaan dan Ganjaran

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menernui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia beliau kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan beliau terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Berada di Rumah Rasulullah

Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalahpahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah kejadian ketika Hafshah melihat Mariyah al-Qibtiyah datang menemui Nabi dalam suatu urusan. Mariyah berada jauh dari masjid, dan Rasulullah menyuruhnya masuk ke dalam rumah Hafshah yang ketika itu sedang pergi ke rumah ayahnya, dia melihat tabir kamar tidurnya tertutup, sementara Rasulullah dan Mariyah berada di dalamnya. Melihat kejadian itu, amarah Hafshah meledak. Hafshah menangis penuh amarah. Rasulullah berusaha membujuk dan meredakan amarah Hafshah, bahkan beliau bersumpah mengharamkan Mariyah baginya kalau Mariyah tidak merninta maaf pada Hafshah, dan Nabi meminta agar Hafshah merahasiakan kejadian tersebut.

Merupakan hal yang wajar jika istri-istri Rasulullah merasa cemburu terhadap Mariyah, karena dialah satu-satunya wanita yang melahirkan putra Rasulullah setelah Siti Khadijah radhiallahu ‘anha. Kejadian itu segera menyebar, padahal Rasulullah telah memerintahkan untuk menutupi rahasia tersebut. Berita itu akhirnya diketahui oleh Rasulullah sehingga beliau sangat marah. Sebagian riwayat mengatakan bahwa setelah kejadian tersebut, Rasulullah menceraikan Hafshah, namun beberapa saat kemudian beliau merujuknya kembali karena melihat ayah Hafshah, Umar, sangat resah. Sementara riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah bermaksud menceraikan Hafshah, tetapi Jibril mendatangi beliau dengan maksud memerintahkan beliau untuk mempertahankan Hafshah sebagai istrinya karena dia adalah wanita yang berpendirian teguh. Rasulullah pun mempertahankan Hafshah sebagai istrinya, terlebih karena tersebut Hafshah sangat menyesali perbuatannya dengan membuka rahasia dan memurkakan Rasulullah.

Umar bin Khaththab mengingatkan putrinya agar tidak lagi membangkitkan amarah Rasulullah dan senantiasa menaati serta mencari keridhaan beliau. Umar bin Khaththab meletakkan keridhaan Rasulullah pada tempat terpenting yang harus dilakukan oleh Hafshah. Pada dasarnya, Rasulullah menikahi Hafshah karena memandang keberadaan Umar dan merasa kasihan terhadap Hafshah yang ditinggalkan suaminya. Allah menurunkan ayat berikut ini sebagai antisipasi atas isu-isu yang tersebar.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاةَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (1) قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ (2) وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ (3) إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ (4) عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (5)

“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah menghalalkannya bagimu,- kamu mencari kesenangan hati istri -istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dan sumpahmu; dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dan istri-istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafshah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberiitakan Allah kepadanya) dan rnenyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu Hafshah bertanya, ‘Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukrnin yang haik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan.” (Qs. At-Tahrim:1-5)‎

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kedua istri yang melakukan protes itu adalah Aisyah dan Hafsah adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sudah lama ia ingin menanyakan kepada Umar r.a. tentang dua orang wanita dari kalangan istri-istri Nabi Saw. yang disebutkan di dalam firman-Nya: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan). (At-Tahrim: 4) Hingga ketika Umar mengerjakan haji dan aku ikut haji bersamanya. Di tengah perjalanan Umar menepi, lalu aku pun menepi pula bersamanya dengan membawa wadah air, kemudian Umar membuang air besar. Setelah itu Umar datang kepadaku, maka kutuangkan kepadanya air, dan Umar berwudu dengannya. Lalu kutanyakan kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, siapakah dua orang wanita dari istri-istri Nabi Saw. yang disebutkan di dalam firman Allah Swt.: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong(untuk menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4)?"

Maka Umar berkata, "Pertanyaanmu aneh, hai Ibnu Abbas." Az-Zuhri memberi komentar, bahwa demi Allah, Umar tidak suka dengan pertanyaan itu, (sebab anaknya sendiri —yaitu Hafsah— terlibat), sedangkan ia tidak boleh menyembunyikannya (bila ada yang bertanya). Akhirnya Umar menjawab, "Aisyah dan Hafsah."

Kemudian Umar melanjutkan kisahnya dengan panjang lebar, "Dahulu kami orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberi kesempatan kepada wanita untuk berperan. Dan ketika kami tiba di Madinah, kami jumpai suatu kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran. Akhirnya kaum wanita kami setelah bergaul dengan kaum wanita mereka belajar dari mereka."

Umar melanjutkan kisahnya bahwa tempat tinggalnya berada di perkampungan Bani Umayyah ibnu Zaid, yaitu di tempat yang tinggi. Umar melanjutkan bahwa pada suatu hari ia marah terhadap istrinya, tetapi tiba-tiba istrinya itu melawannya sehingga Umar kaget melihat sikapnya yang demikian, ia tidak menyukai sifat tersebut. Istrinya menjawab, "Mengapa engkau merasa kaget bila aku berani melawanmu. Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Rasulullah Saw. sendiri berani melawan beliau, bahkan salah seorang dari mereka berani tidak berbicara dengan beliau hari ini sampai malam harinya."

Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia pergi dan masuk ke dalam tempat Hafsah (putrinya), lalu bertanya kepadanya, "Apakah engkau telah berani menentang Rasulullah?" Hafsah menjawab, "Ya." Umar berkata, "Apakah benar ada seseorang dari kalian yang mendiamkan beliau hari ini sampai malam harinya?" Hafsah menjawab, "Ya." Umar berkata, "Sungguh telah kecewa dan merugilah orangyang berani berbuat demikian dari kalian terhadapnya. Apakah dia dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka terhadap dirinya karena murka Rasulullah? Sudah dapat dipastikan dia akan binasa. Dan kamu janganlah sekali-kali berani memprotes Rasulullah Saw. dan jangan pula kamu meminta sesuatu darinya, tetapi mintalah kamu kepadaku dari hartaku menurut apa yang kamu sukai. Dan jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh madumu yang lebih cantik serta lebih dicintai oleh Rasulullah Saw. daripada kamu (maksudnya Aisyah)."

Umar melanjutkan kisahnya, "Dahulu aku mempunyai seorang tetangga dari kalangan Ansar, dan kami biasa siiih berganti turun menemui Rasulullah Saw. Di suatu hari gilirannya dan di hari yang lain giliranku. Maka tetangga­ku itu menyampaikan kepadaku tentang berita wahyu dan hal penting lainnya, begitu pula yang kulakukan kepadanya bila tiba giliranku."

Umar melanjutkan kisahnya, bahwa kami mendapat berita bahwa orang-orang Gassan sedang mempersiapkan pasukan berkuda untuk menyerang kami, berita ini menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan kami. Kemudian di suatu hari tiba giliran temanku itu untuk turun, kemudian di waktu isya ia datang dan langsung mengetuk pintu rumahku seraya memanggilku. Maka aku keluar menemuinya, dan ia langsung berkata, "Telah terjadi peristiwa yang besar." Aku bertanya memotongnya, "Apakah pasukan Gassan telah datang?" Lelaki Ansar tetangganya menjawab, "Bukan, tetapi peristiwanya lebih besar dan lebih panjang daripada itu. Rasulullah Saw. telah menceraikan istri-istrinya."

Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa Hafsah benar-benar telah kecewa dan merugi. Aku telah menduga kuat bahwa peristiwa ini pasti terjadi. Dan setelah ia menyelesaikan salat Subuhnya, lalu ia langsung turun dan menuju ke rumah Hafsah, kemudian masuk menemuinya yang saat itu Hafsah dijumpainya sedang menangis. Umar bertanya, "Apakah Rasulullah telah menceraikanmu?" Hafsah menjawab, "Tidak tahu, tetapi beliau sedang menyendiri di ruangan itu."

Maka aku (Umar) menemui pelayan beliau Saw. yang berkulit hitam dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin kepadanya buat Umar." Pelayan itu masuk untuk meminta izin, kemudian ia keluar lagi dan menemuiku, lalu berkata, "Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam." Maka aku pergi hingga sampai di mimbar. Ternyata di dekat mimbar terdapat sekumpulan orang-orang yang sedang duduk, sebagian dari mereka ada yang menangis. Maka aku duduk sebentar di tempat itu, kemudian aku tidak tahan lagi karena penasaranku, maka kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin masuk buat Umar." Maka pelayan itu masuk, kemudian keluar lagi dan mengatakan, "Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam saja."

Maka aku keluar lagi dan menuju ke mimbar, kemudian rasa penasaranku kembali mendorongku dengan dorongan yang kuat. Akhirnya kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin masuk buat Umar." Pelayan itu masuk, kemudian kembali lagi kepadaku dan mengatakan, "Aku telah sebutkan namamu, tetapi beliau masih diam saja." Akhirnya aku berpaling untuk pergi, tetapi tidak lama kemudian si pelayan itu memanggilku dan mengatakan, "Masuklah, beliau telah mengizinkanmu untuk menemuinya."

Aku masuk dan mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah Saw. dan kujumpai beliau sedang bersandar pada tumpukan pasir yang beralaskan tikar.

Imam Ahmad mengatakan bahwa menurut apa yang diceritakan kepada kami oleh Ya'qub dalam hadis Saleh, tumpukan pasir yang diberi alas tikar, sedangkan anyaman tikar telah membekas pada lambung beliau Saw.

Maka kutanyakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?" Rasulullah Saw. mengangkat kepalanya memandang ke arahku seraya menjawab, "Tidak." Aku berkata, "Allah Mahabesar. Wahai Rasulullah, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa kita ini orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberikan peran kepada wanita. Tetapi ketika kita tiba di Madinah, kita menjumpai .suatu kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran di kalangan mereka. Maka kaum wanita kita langsung belajar dari kaum wanita mereka. Dan di suatu hari aku marah terhadap istriku, tetapi tiba-tiba dia berani menjawabku, maka aku tidak suka dengan sikapnya itu. Tetapi ia berkata, "Mengapa engkau tidak suka dengan sikapku ini? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi Saw. sendiri berani menentang beliau dan ada salah seorang dari mereka yang berani mendiamkannya hari ini sampai dengan malam harinya." Maka kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya telah merugi dan kecewalah wanita yang berani berbuat demikian. Apakah seseorang dari kalian dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka karena murka Rasulullah Saw. Dia pasti akan binasa."

Rasulullah Saw. tersenyum mendengar ceritaku, lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah menemui Hafsah dan telah kukatakan kepadanya, 'Jangan sekali-kali kamu terpengaruh oleh madumu yang lebih cantik dan lebih dicintai oleh Rasulullah Saw. daripadamu'." Rasulullah Saw. tersenyum lagi. Maka aku berkata kepadanya, "Aku merasa rindu kepada engkau, wahai Rasulullah." Rasulullah Saw. menjawab, "Ya."

Maka aku duduk dan kutengadahkan pandanganku ke atas rumah. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu pun di dalam rumah beliau sesuatu yang menarik pandanganku kecuali aku merasa segan dengan kedudukan beliau Saw. Lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah semoga Allah memberikan keluasan kepada umatmu. Karena sesungguhnya Dia telah memberi keluagan kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi, padahal mereka tidak menyembah Allah."
Maka beliau Saw. bangkit dan duduk dengan tegak, lalu bersabda:

"أفي شك أنت يا بن الْخَطَّابِ؟ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا"

Hai Ibnul Khattab, apakah engkau berada dalam keraguan ? Mereka adalah suatu kaum yang disegerakan kepada mereka kebaikan-kebaikannya dalam kehidupan dunia ini.

Maka aku berkata, "Mohonkanlah ampunan kepada Allah bagiku, ya Rasulullah." Tersebutlah bahwa beliau Saw. telah bersumpah tidak akan menggauli istri-istri beliau selama satu bulan, karena kemarahan beliau terhadap mereka, hingga Allah Swt. menegurnya.

Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Syaikhain (Bukhari dan Muslim) telah meriwayatkannya melalui hadis Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia tinggal selama satu tahun (di Madinah) dengan tujuan akan menanyakan kepada Umar ibnul Khattab tentang makna suatu ayat yang ia tidak mampu menanyakannya secara langsung karena segan kepadanya (Umar).TJingga Umar berangkat untuk menunaikan ibadah haji, dan Ibnu Abbas pun ikut berangkat bersamanya. Ketika kami berada dalam perjalanan pulang ke Madinah, di tengah jalan Umar turun di sebuah pohon Arak untuk menunaikan hajatnya.

Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku berdiri menunggunya sampai menyelesaikan hajatnya. Setelah selesai, aku berjalan bersamanya, maka kutanyakan kepadanya, "Wahai Amirul Mu’minin, siapakah dua orang wanita yang membangkang terhadap Nabi?"

Berikut ini menurut lafaz Imam Bukhari dan Imam Muslim, bahwa siapakah kedua wanita yang disebutkan dalam firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi. (At-Tahrim: 4) Umar menjawab, "Aisyah dan Hafsah," kemudian disebutkan hingga akhir hadis dengan panjang lebar, dan sebagian dari mereka ada yang meringkasnya.

Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yunus Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar,'dari Sammak ibnul Walid Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab yang mengatakanbahwa ketika Nabi Allah memisahkan diri dari istri-istrinya, aku masuk ke dalam masjid, tiba-tiba kulihat orang-orang sedang diam menundukkan pandangan mereka, lalu mereka berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Demikian itu terjadi sebelum ada perintah untuk berhijab. Maka aku berkata pada diriku sendiri, "Aku benar-benar akan memberitahukan (masalah hijab itu) kepada beliau hari ini." Kemudian disebutkan dalam hadis ini kisah masuknya Umar menemui Aisyah dan Hafsah serta nasihat Umar kepada keduanya.

Kemudian dilanjutkan bahwa aku (Umar) masuk dan aku bersua dengan Rabah (pelayan Rasulullah Saw.) sedang berdiri di depan pintu ruangan tamu. Maka aku panggil dia dan kukatakan kepadanya, "Hai Rabah, mintakanlah izin masuk kepada Rasulullah Saw. untukku." Lalu disebutkan kisah seperti yang^erdapat pada hadis sebelumnya. Hingga sampai pada perkataan Umar yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang memberatkanmu tentang urusan istri-istrimu itu. Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, dan juga para malaikat-Nya, Jibril, Mikail, aku sendiri, Abu Bakar, dan semua orang mukmin bersamamu." Setiap kalimat yang kukatakan selalu berharap semoga Allah menurunkan wahyu yang membenarkan perkataanku. Pada akhirnya turunlah ayat ini, yaituayat Takhyir: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu.(At-Tahrim: 5) Dan firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (At-Tahrim: 4)

Maka kukatakan kepada beliau, "Apakah engkau telah menceraikan mereka?" Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak." Maka aku berdiri di pintu masjid, dan aku serukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi Saw. tidak menceraikan istri-istrinya. Dan turunlah pula ayat ini, yaitu firman-Nya:

{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الأمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ}

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (An-Nisa: 83)
Maka aku adalah orang yang mengulas berita peristiwa tersebut.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muqatil ibnu Hayyan, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya.


Cobaan Besar

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah beliau dan menyadari bahwa beliau tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri beliau selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab)

Rasulullah menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istri beliau. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Beliau telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika beliau menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah beliau menceraikan istri-istri beliau atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada beliau dan merasa sangat sedih melihat keadaan beliau, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan beliau. Umar pun meminta penjelasan dari beliau walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa beliau tidak akan menceraikan istri – istri beliau. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri beliau sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri beliau. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri beliau.

Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, beliau kembali kepada mereka. Beliau melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, beliau mengumumkan penyesalan mereka kepada kaurn muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan shalat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Pemilik Mushaf yang Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Akhir Perjalanan Hidup Hafsah r.a.
Belum genap sepuluh hari di bulan sya'ban tahun ke-41 Hijrah Nabawiyah, terdengar berita bahwasanya Ummul Mukminin Hafsah telah menghadap Allah 'azza wa jalla menyusul kekasihnya Rasulullah SAW. Dan tersiar kabar ke seluruh penjuru kota Madinah akan wafatnya penjaga al Qur'an; istri Nabi SAW. Para sahabat mengusung jenazahnya, yang diantara mereka Abu Hurairah r.a. dan Abu Said al Khudri r.a., dishalatkan oleh Marwan bin Hakam yang menjabat sebagai gubernur Madinah, dan dimakamkan di Baqi'. Dan yang menurunkan jenazah ke liang lahat saudaranya Abdullah, 'Ashim, dan ketiga anak Saudaranya Abdullah bin Umar yaitu Salim, Abdullah, dan Hamzah. Saat meninggal dia berusia 63 tahun, dan mewasiatkan harta-hartanya untuk sedekah.

Beginilah perjalanan Ummul Mukminin Hafsah r.a. yang telah menempuh hidup begitu panjang dengan ibadah, usaha, dan pengorbanan. Berangkat menyusul suami, kekasih sekaligus Nabinya di surga. Dan dia lah yang dimaksudkan oleh Jibril pada Nabi SAW :

 إنها صوامة قؤامة وهي زوجتك في الجنة
 "Dia seorang yang teguh pendirian dan merupakan istrimu di surga"
Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya pendamping Rasulullah SAW di surga.‎

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.

Teladan Dari Umul-Mukminin Saudah Binti Zam'ah Ra


Namanya menggoreskan tinta emas dalam lembaran sejarah kaum muslimin. Dia wanita yang tabah. Keinginan menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafatnya adalah bukti kesetiannya terhadap beliau.

Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah. 

Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita sesudahnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. menikahinya bukan semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat jihadnya di jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik, keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Beliau adalah ummul mukminin Saudah bintu Zama’ah bin Qois bin Abdu Syams bin Abdu Wudd Al-Amiriyyah radhiallahu’anha. Ibunya adalah Syamusy bintu Qois bin Zaid An-Najjariiyyah. Dia adalah wainta yang dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepeninggal Khadijah radhiallahu’anha, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.

Dia adalah Seorang Janda

Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. tengah mengalami rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy untuk rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.

Ketika itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah. Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar memperoleh hidayah.

Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’ Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya, bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.

Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah.

Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madh’um kurang sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.

Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang akan rnengurus rumah tangga beliau.

Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah.

Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran, sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab, “Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zum’ah.” Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah, yang sejak keislamannya begitu banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh pada Saudah. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. memilih janda yang namanya hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau setelah Khadijah wafat.

Jika kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar menanggung kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya‎

Saudah binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah.

Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan, suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin.

Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.

Hijrah ke Habbasyah

Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka. Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad. Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk demi menegakkan agama yang diyakininya.

Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan menuju Mekah.

Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman, sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy, sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.‎

Rahmat Allah

Saudah binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda, dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih memeluk agama nenek moyang.

Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya. Tidak sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali menganut kepercayaan nenek moyang.

Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya, tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu, terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya.

RASULULLAH YANG MULIA BENAR-BENAR AKAN MENJADIKANNYA SEBAGAI ISTRI. DENGAN PERASAAN TERHARU DIA MENYETUJUI PERMINTAAN ITU DAN MEMINTA KHAULAH MENEMUI AYAHNYA. SETELAH ZUM’AH BIN QAIS MENGETAHUI SIAPA YANG AKAN MEMINANG PUTRINYA, DAN SAUDAH PUN SUDAH SETUJU, LAMARAN ITU LANGSUNG DITERIMANYA, KEMUDIAN MEMINTA RASULULLAH MUHAMMAD DATANG KE RUMAHNYA. RASULULLAH MEMENUHI UNDANGAN TERSEBUT BERSAMA KHAULAH, DAN PERKAWINAN ITU TERLAKSANA DENGAN BAIK.

SIFAT-SIFATNYA

Dia termasuk golongan wanita yang agung dan mulia nasabnya. Tergolong para wanita yang cerdas akalnya. Perawakannya tinggi dan besar. Termasuk istri yang menyenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesegaran candanya.

PERNIKAHANNYA DENGAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk Islam dan kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan sahabat yang lainnya.

Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba dari Habasyah maka Sakran jatuh sakit dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammeminang Saudah dan diterima oleh Saudah dan menikahlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Saudah pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriyah.

Berada di Rumah Rasulullah

Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.

Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.

Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah. Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi, pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah, beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.

Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan tersebut Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya, sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.

Saudah adalah tipe seorang istri yang menynangkan suaminya dengan kesegaran candanya, sebagaimana dalam kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim AN-Nakha’i bahwasanya Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu menyentuh hidungku dengan keras, maka aku pegang hidungku karena takut kalau keluar darah,” maka tertawalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibrahim berkata, Saudah biasa membuat tertawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan candanya. (Thobaqoh Kubra, 8:54).

Hijrahnya ke Madinah

Pertama kali Rasulullah Shallallahu alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa keluarganya, termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah, Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada Rasulullah.

Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?”

Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.

Ketika Saudah sudah tua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat hendak mencerainya, maka Saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah janganlah Engkau menceraikanku. Bukanlah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya salah seorang istrinya sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal. Dalam hal ini turunlah ayat Alquran,

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلاَجُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ اْلأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi kedauanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik.” (QS. An-Nisa: 128)

Sebagaimana dalam sebuah riwayat 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ
يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا قَالَتْ نَقُولُ فِي ذَلِكَ أَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ { وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا }     

Ahmad bin Yunus telahmeriwayatkan kepada kami, katanya: `Abd al-Rahman iaitu Ai az-Zinad telah meriwayatkan kepada kami daripada Hisyam bin `Urwah daripada ayahnya, katanya: `Aisyah berkata:‎
“Wahai anak saudara perempuanku. Rasulullah s.a.w. tidak melebihkan sebahagian kami kepada sebahagian yang lain dalam pembahagian giliran berada di samping kami. Jarang sekali berlalu satu hari melainkan baginda akan datang kepada kami semua. Baginda akan mendekati isterinya tanpa melakukan persetubuhan sehingga sampai kepada isteri yang mempunyai hari giliran itu barulah Nabi s.a.w. bermalam di sisinya. Saudah Binti Zam`ah apabila beliau telah berumur / tua dan dia takut Rasulullah s.a.w. akan mencerainya dia berkata: “Wahai Rasulallah! Giliran hariku keberikan untuk `Aisyah. Rasulullah s.a.w. menerimanya daripadanya: Kata `Aisyah: kami selalu berkata: “Berhubung dengan Saudah ini dan orang-orang sempamanya Allah menurunkan firmannya”, saya rasa perawi berkata (iaitu firman yang Allah turunkan):

{ وَإِنْ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا}

 {Jika seorang perempuan takut / bimbang dengan sikap tidak mahu menggaulinya / sikap keras / tidak acuh  suaminya}.


Kebanyakan nuskhah tersalah cetakan pada hadits ini dengan lafaz وَكَانَ كُلَّ يَوْمٌsedangkan yang shahihnya adalah وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ sebagaimana hadits di atas dan Imam Ahmad meriwayatkan dengan lebih jelas dalam kitab Musnadnya:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ يَوْمٍ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا امْرَأَةً امْرَأَةً فَيَدْنُو وَيَلْمِسُ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يُفْضِيَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا

Daripada `Aisyah Tidak ada satu hari pun melainkan Rasulullah akan datang kepada kami semua, seorang demi seorang isterinya lalu dia mendekati dan menyentuh tanpa melakukan persetubuhan sehingga membawanya pergi kepada isteri yang hari tersebut adalah gilirannya lalu baginda bermalam disisinya.
Kedua-dua hadits ini sama dari segi maksud dan pengajrannya Cuma sedikit berbeza pada lafaz yang digunakan. Cuma pada hadits riwayat Imam Muslim ada lafaz yang boleh menjeaskan kedudkan Rasulullah s.a.w. kerana menampakkan peribadi Rasulullah yang tidak elok. Lafaz tersebut adalah:
وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا
Saudah Binti Zam`ah apabila beliau telah berumur / tua dan dia takut Rasulullah s.a.w. akan mencerainya dia berkata: “Wahai Rasulallah! Hari giliranku keberikan untuk `Aisyah. Rasulullah s.a.w. menerimanya daripadanya
Dari sudut dirayah, apa-apa lafaz yang menggambarkan Rasulullah dengan peribadi / sifat tidak elok hendaklah ditolak atau ditakwil sekiranya masih boleh ditakwilkan. Sekiranya tidak, maka wajib diketepikan sahaja.
Lafaz di atas seolah-olah menggambarkan Rasulullah seorang yang mementingkan diri sendiri dan hanya mendampingi isterinya yang muda dan cantik sahaja. Dia mungkin akan melakukan sesuatu yang membuatkan isterinya tersisih dan boleh jadi apabila baginda sudah tawar hati pada isterinya maka ada kemungkinan baginda akan menceraikannya. Dan apakah pengajaran daripadanya? Mungkin ada yang akan menceraikan isterinya apabila sudah tua / tawar hati padanya dan ini tidak menjadi kesalahan kerana ianya ‘sunnah’.‎

KEUTAMAAN-KEUTAMAANNYA

Aisyah berkata, “Saudah meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum berdesak-desakkannya manusia. Dia adalah perempuan yang berat jika berjalan, sungguh kalau saat itu aku meminta izin kepadanya lebih aku sukai daripada orang yang dilapangkan.” (Thobaqoh Kubra, 8:54)

Aisyah berkata, “Aku tidak pernah melihat wanita yang paling aku ingin sekali menjadi dia daripada Saudah bintI Zam’ah, ketika dia tua dia berikan gilirannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku.” (Shahih Muslim, 2:1085)

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesediaannya yang sangat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika haji wada’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda kepada istri-istrinya, “Ini adalah saat haji bagi kalian kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian,” maka sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Saudah selalu di rumahnya dna tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud 2:140)

Suatu saat Sa’ad bin Waqqash dan Abd bin Zam’ah saudara laki-laki Saudah berebut seorang anak di hapadan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’ad berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah anak saudaraku Utbah bin Abi Waqqash yang telah diserahkan kepadaku semasa hidupnya, lihatlah kemiripannya dengannya,” Abd bin Zam’ah berkata, “Wahai Rasulullah ini adalah saudaraku karena dilahirkan di ranjang bapakku dari budak perempuannya,” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat anak tersebut dan merasakan kemiripannya yang sangat dengan Utbah bin Abi Waqqash, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dia adalah milikmu wahai Abd. Anak adalah bagi pemilik ranjang, dan yang berzina terhalang darinya, dan berhijablah Engkau darinya wahai Saudah!” Aisyah berkata, “Maka anak itu tidak pernah melihat Saudah sesudah itu.” (Shahih Bukhari,  2:773 no  6749 dan Shahih Muslim, 2:1080)

Aisyah berkata, “Sesudah turun ayat hijab keluarlah Saudah di waktu malam untuk menunaikan hajatnya. Dia adalah wanita yang berperawakan tinggi besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita yang lainnya. Saat itu Umar melihatnya dan berkata, “Wahai Saudah demi Allah kami tetap bisa mengenalimu,” maka lihatlah bagaimana Engkau keluar, maka Saudah segera kembali dan menuju kepada Rasulullah yang waktu itu di rumah Aisyah. Pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah Saudah kepadanya seraya berkata, “Wahai Rasulullah sesungguhnya aku keluar untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan itu,” maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.” (Shahih Bukhari, 1:67 no. 4795 dan Shahih Muslim 4:1709)

Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika Umar mengirim kepadanya satu wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagikannya (Thobaqoh Kubra, 8:56 dan Dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Ishobah, 7:721).

PERAN SAUDAH BINTI ZAMA’AH DI DALAM PENYEBARAN SUNNAH-SUNNAH RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghafal dan menyampaikan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadis-hadisnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Nasai.

Hadits Riwayat Dari Beliau 

Riwayat #1

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ الْعَمِّيُّ أَبُو عَبْدِ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ مَوْلًى لِابْنِ الزُّبَيْرِ يُقَالُ لَهُ يُوسُفُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَوْ الزُّبَيْرُ بْنُ يُوسُفَ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ سَوْدَةَ بِنْتِ زَمْعَةَ قَالَتْ
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَحُجَّ قَالَ أَرَأَيْتَكَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ قُبِلَ مِنْكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاللَّهُ أَرْحَمُ حُجَّ عَنْ أَبِيكَ

Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdus Shamad Al ‘Amiy Abu Abdus Shamad telah menceritakan kepada kami Manshur dari Mujahid dari budak milik Ibnu Zubair yang biasa disebut Yusuf bin Zubair atau Zubair bin Yusuf dari Ibnu Zubair dari Saudah Binti Zam’ah dia berkata, “Seseorang datang kepada Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam kemudian dia berkata, “Sesungguhnya bapakku adalah seorang yang sudah tua dan tidak mampu lagi untuk melaksanakan haji.” Beliau menjawab: “Apa pedapatmu sekiranya bapakmu mempunyai hutang, apakah kamu akan melunasinya?” dia menjawab, “Ya.” Kemudian beliau shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Alloh lebih penyayang, maka lakukanlah haji untuk bapakmu.”

Riwayat #2

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ سَوْدَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
مَاتَتْ شَاةٌ لَنَا فَدَبَغْنَا مَسْكَهَا فَمَا زِلْنَا نَنْبِذُ بِهِ حَتَّى صَارَ شَنًّا

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dari Isma’il dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Saudah isteri Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam, dia berkata, “Seekor kambing milik kami mati kemudian kulitnya kami samak, dan kami terus saja mengerjakannya hingga menjadi geribah (wadah air dari kulit).”

Riwayat #3

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ مَوْلًى لِآلِ الزُّبَيْرِ قَالَ
إِنَّ بِنْتَ زَمْعَةَ قَالَتْ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ إِنَّ أَبِي زَمْعَةَ مَاتَ وَتَرَكَ أُمَّ وَلَدٍ لَهُ وَإِنَّا كُنَّا نَظُنُّهَا بِرَجُلٍ وَإِنَّهَا وَلَدَتْ فَخَرَجَ وَلَدُهَا يُشْبِهُ الرَّجُلَ الَّذِي ظَنَنَّاهَا بِهِ قَالَ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا أَمَّا أَنْتِ فَاحْتَجِبِي مِنْهُ فَلَيْسَ بِأَخِيكِ وَلَهُ الْمِيرَاثُ

Telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir telah meceritakan kepada kami Isra’il dari Manshur dari Mujahid dari seorang budak milik keluarga Zubair, dia berkata bahwa anak perempuan Zam’ah berkata, “Aku menemui Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam, kemudian aku berkata, “Sesungguhnya ayahku, Zam’ah, telah wafat dan meninggalkan Ummu Walad. Dan kami mencurigai dia telah melakukan perselingkuhan dengan laki-laki lain hingga melahirkan seorang anak, yang juga mirip dengan lelaki selingkuhannya.” Kemudian Rasululloh shallallohu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak perempuan Zam’ah: “Hendaklah kamu berhijab darinya, ia bukan saudaramu, namun ia masih mempunyai hak waris.”
WAFATNYA

Saudah meninggal di akhir kekhilafan Umar di Madinah tahun 54 Hijriyah. Sebelum dia meninggal, dia mewasiatkan rumahnya kepada Aisyah. Semoga Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.‎‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...