Minggu, 24 Oktober 2021

Umur 'Aisyah Ra Saat Menikah Dengan Rosululloh SAW


Tulisan ini mencoba meluruskan riwayat pernikahan Rasulullah dengan Aisyah ra. yang telah berabad-abad lamanya diyakini secara tidak rasional. Dan efeknya, orientalis Barat pun memanfaatkan celah argumen data pernikahan ini sebagai alat tuduh terhadap Rasulullah dengan menganggapnya fedofilia. Mari kita buktikan. 

Ada satu hakikat yang tidak boleh dilupakan oleh siapa pun dalam mendiskusikan masalah ini, yaitu perbedaan pendapat para pakar tentang berapakah usia ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha ketika menikah dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukanlah perbedaan dalam perkara aqidah yang pokok, dasar-dasar agama, dan bukan pula domain untuk mengeluarkan seseorang dari Islam. Bukan hanya masalah ini, para imam pun tidak ada kata sepakat dan final dalam memastikan kapan tanggal, bulan, dan tahun pasti tentang kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, walau di sisi lain mereka sepakat lahirnya di hari Senin dan di tahun Gajah. Mereka juga tidak ada kata sepakat tentang kapan peristiwa Isra Mi’raj terjadi secara pasti, dan sebagainya. Oleh karenanya, perbedaan seperti ini –bukan hanya jangan menimbulkan fitnah saling mengkafirkan- tetapi jangan sampai menodai kehormatan para imam yang memiliki pendapat lain terhadap lainnya.

Sangat tidak pantas jika generasi kemudian menyalahkan amirul mu’minin fil hadits, Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim, dua imam hadits yang karya mereka berdua (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) diakui kitab paling shahih setelah Al Quran, dengan menuduh mereka sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas fitnah kaum kafirin masa modern karena telah meriwayatkan kisah pernikahan tersebut. Kaum kuffar memfitnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pengidap Pedofilia (Seorang yang orientasi seksualnya kepada anak-anak), hanya karena Beliau menikahi ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha saat masih enam tahun (atau tujuh tahun)!

Tegas kami katakan, ada atau tidak ada riwayat tersebut, ada atau tidak ada kisah-kisah lainnya yang dianggap kontroversi, bukankah memang mereka selalu memfitnah kaum muslimin dan nabinya sepanjang zaman? Bukankah memang sejak awal fajar Islam mereka menuding Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan segala macam fitnah? Janganlah karena ingin meredakan fitnah mereka, akhirnya kita berapologi dengan bermuka manis untuk mereka, sambil basa basi ikut-ikutan menyalahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim, serta imam-imam muhadditsin lainnya yang menshahihkan hadits itu?

Seandainya hadits tentang ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menikah di usia enam tahun adalah dhaif bahkan palsu, apakah kaum kuffar akan berhenti memfitnah Islam dan kaum muslimin? Bahagiakah mereka? Puaskah? Tidak, Karena kebencian terhadap risalah Islam sudah mendarah daging dan beragam upaya mereka lakukan untuk memadamkan cahaya agama Allah ini.

Tudingan bahwa riwayat tersebut tidak rasional, lalu dengannya juga menjadi sebab penolakannya, maka sudah berapa banyak rasio manusia menjadi tolok ukur keautentikan sebuah hadits? Haruskan hadits itu dicocokkan dulu dengan akal dan tradisi, barulah shahih, kalau tidak cocok maka tidak shahih? Terburu-buru menolak hadits shahih, yang telah diyakini sedemikian panjang para imam dari zaman ke zaman, hanya karena bertentangan dengan akal dan tradisi manusia zaman sekarang, adalah perbuatan yang melampaui batas. Apalagi sampai menuduh pihak lain dengan sebutan taklid, bodoh, dan..?

Banyak hal-hal yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan/atau Imam Muslim, yang menurut akal manusia tidak rasional. Seperti butanya mata malaikat maut karena dicolok oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam pada saat Nabi Musa hendak dicabut nyawanya, perdebatan antara Nabi Adam dan Nabi Musa ‘Alaihismassalam tentang sebab apa Nabi Adam dikeluarkan dari surga, Nabi Muhammad melihat Nabi Musa sedang shalat di dalam kuburnya, ibu yang membunuh bayinya maka si ibu dan bayinya masuk ke neraka; apa salah bayinya? …….. Dan masih banyak lagi, apakah serta merta semua ini langsung didhaifkan? Apalagi hanya karena takut difitnah oleh orientalis barat, lalu supaya mereka tidak menuding lagi maka kita katakan secara apologetic: “Sudah ya jangan fitnah kami lagi, kan hadits yang kalian jadikan alasan menyerang Islam itu ternyata dhaif lho!?”

Sesungguhnya, menggunakan hadits dhaif sama juga memasukkan ke dalam Islam sesuatu yang bukan berasal dari Islam. Sebagaimana terburu-buru mendhaifkan hadits shahih sama juga menghapuskan sesuatu yang merupakan sebenarnya dari Islam.

Hadits yang berbicara tentang usia menikah ‘Aisyah mempunyai beberapa jalan, diantaranya :

Dari jalan Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 3894, 3896, 5133, 5134, 5158, 5160), Muslim (no. 1422), Abu Dawud (no. 2121, 4933, 4934, 4936), An-Nasa’i (6/82, 131), Ad-Daarimi (2/159-160), Ibnu Majah (no. 1876), Ibnul-Jarud (no. 711), Al-Baihaqi (7/113), Ath-Thayalisi (no. 1454), Ahmad (6/118, 280), Al-Humaidi (no. 231), Ibnu Sa’d dalamAth-Thabaqaat (8/40) dan yang lainnya.

Dari jalan Az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa.

Dikeluarkan oleh Muslim (no. 1422), ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (no. 10349), An-Nasa’i dalam Al-Kubraa(no. 5570), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (23/44), dan Al-Baghawi dalamSyarhus-Sunnah (no. 2258).

Dari jalan Abu Mu’awiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Dikeluarkan oleh Muslim (no. 1422), An-Nasa’i (no. 6/82) dan dalam Al-Kubraa (no. 5368), dan Ahmad (6/42), Ibnu Sa’d (8/60), Ibnu Abi Syaibah (13/46), Ishaq bin Rahawaih (no. 1538), dan Al-Baihaqi (7/114).

Dari jalan Israail, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari ‘Aisyah ‎radliyallaahu ‘anhaa.

Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad (8/62).

Dari jalan Muhammad bin Busyr, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah dan Yahya, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Dikeluarkan oleh Ahmad (6/210-211).

Dari dua jalan yaitu Yahya bin Said Al-Umawy dan ‘Abdullah bin Idris Al-Audy, keduanya dari Muhammad bin ‘Amru, dari Yahya bin ‘Abdirrahman bin Haathib, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahaaditsul-Matsaaniy (no. 3006, 3061), Ath-Thabary dalam At-Taarikh (3/162-163), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (23/57, 24/80), Ibnul-Atsir dalam Asadul-Ghaabah (dalam biografi ‘Aisyah), dan Al-Baihaqi dalam ‎Dalaailun-Nubuwwah (2/411-412).

Dari sini saja sudah kelihatan kesalahan anggapan bahwa poros sanad riwayat yang menceritakan usia pernikahan ‘Aisyah enam atau tujuh tahun itu hanya pada Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah. Riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya (‘Urwah) ini ada mutaba’ah, yaitu riwayat Az-Zuhri dari ‘Urwah. Adapun riwayat ‘Urwah sendiri mempunyai mutaba’ah dari Al-Aswad dan Yahya bin ‘Abdirrahman Al-Haathib. Dari sini saja sudah bisa menunjukkan keshahihan haditsnya dengan keyakinan yang sangat kuat. Dan dari sini pula sebenarnya pembahasan selanjutnya sudah tidak diperlukan lagi.

Hadits yang menyebutkan umur Aisyah saat dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alailhi wa sallam diiriwayatkan oleh Aisyah sendiri.

Dan yang meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: (1) Urwah bin Az-Zubair Al-Madaniy (94H), (2) Al-Aswad bin Yaziid Al-Kuufiy (74H), (3) Abu Salamah bin Abdurrahman Al-Madaniy (94H), (4) Abdullah bin Abi Mulaikah Al-Makkiy (117H), (5) Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiiq Al-Madaniy (106H), (6) Abdul Malik bin Umair Al-Kuufiy (136H), (7) Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud Al-Kuufiy (180H), (8)Yahya bin Abdirrahman bin Haathib Al-Madaniy (104H).

A.    Hadits Urwah bin Az-Zubair, dari Aisyah.

Yang meriwayatkan dari Urwah: (1) Hisyam bin Urwah Al-Madaniy (145H), (2) Az-Zuhriy Muhammad bin Muslim Al-Madaniy (125H),(3) Abdullah bin ‘Urwah Al-Madaniy.

a.     Hadits Hisyam bin Urwah, dari Urwah, dari Aisyah.

Yang meriwayatkan dari Hisyam: (1) Ali bin Mushir Al-Kuufiy (189H), (2) Abu Usamah Hammaad bin Usaamah Al-Kuufiy (201H),(3) Sufyan Ats-Tsauriy Al-Kuufiy (161H), (4)Wuhaib bin Khaalid Al-Bashriy (165H), (5)Abu Mu’awiyah Muhammad bin Khazim Al-Kuufiy (295H), (6) ‘Abdah bin Sulaiman Al-Kuufiy (187H), (7) Isma’il bin Zakariya Al-Khulqaaniy Al-Kuufiy (194H), (8)Abdurrahman bin Abi Az-Zinaad Al-Madaniy(174H), (9) Ja’far bin Sulaiman Adh-Dhuba’iy Al-Bashriy (178H), (10) Hammaad bin Zayd Al-Bashriy (179H), (11) Hammaad bin Salamah Al-Bashriy (167H), (12) Jariir bin Abdul Hamiid Al-Kuufiy (188H), (13) Sufyan bin ‘Uyainah Al-Kuufiy (198H).
Berikut Hadits Yang Dimaksud

1)      Hadits Ali bin Mushir, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy (256H) rahimahullah dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 5/55 no.3894:

قال: حَدَّثَنِي فَرْوَةُ بْنُ أَبِي المَغْرَاءِ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، فَقَدِمْنَا المَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي، فَوَفَى جُمَيْمَةً فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ، وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ، وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا، لاَ أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ، وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي البَيْتِ، فَقُلْنَ عَلَى الخَيْرِ وَالبَرَكَةِ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ، فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضُحًى، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»

(Imam Bukhari berkata) berkata kepadaku Farwah bin Abu Al Maghra’, berkata kepada kami Ali bin Mushir, dari Hisyam (bin ‘Urwah), dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al-Harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu membasuhkannya ke muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata di dalamnya ada para wanita Anshar. Mereka berkata: "Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan dan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik". Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapikan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan keceriaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada beliau dimana saat itu usiaku sembilan tahun".‎

Hadits Abu Usamah, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim (261H) rahimahullah dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 2/1038 no.1422:

قال: حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، ح . وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: وَجَدْتُ فِي كِتَابِي عَنْ أَبِي أُسَامَةَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»

3)      Hadits Sufyan Ats-Tsauriy, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 7/17 no.5133:

قال: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا»

Dari Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya saat ia berumur enam tahun, dan ia digauli saat berumur sembilan tahun. Dan Aisyah hidup bersama dengan beliau selama sembilan tahun.

4)      Hadits Wuhaib dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 7/17 no.5134:

قال: حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ» قَالَ هِشَامٌ: وَأُنْبِئْتُ «أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَهُ تِسْعَ سِنِينَ»

5)      Hadits Abu Mu’awiyah dan ‘Abdah bin Sulaiman, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 2/1039 no.1422:

قال: وحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، ح . وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، وَاللَّفْظُ لَهُ، حَدَّثَنَاعَبْدَةُ هُوَ ابْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»

6)      Hadits Isma’il bin Zakariya, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur (227H) rahimahullah dalam kitabnya “As-Sunan” 1/145 no.515:

قَالَ: نا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّا، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعِ سِنِينَ»

7)      Hadits Abdurrahman bin Abi Az-Zinaad,dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (241H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Musnad” 41/360 no.24867:

قال: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: " تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ بِمَكَّةَ، مُتَوَفَّى خَدِيجَةَ، وَدَخَلَ بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعِ سِنِينَ بِالْمَدِينَةِ "

8)      Hadits Ja’far bin Sulaiman, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy (303H) rahimahullah dalam kitabnya “As-Sunan Al-Kubraa” 5/170 no.5347:

قال: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ النَّضْرِ بْنِ مُسَاوِرٍ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسَبْعِ سِنِينَ، وَدَخَلَ عَلَيَّ لِتِسْعِ سِنِينَ»

9)      Hadits Hammaad bin Zayd, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud (275H) rahimahullah dalam kitabnya “As-Sunan” 2/239 no.2121:

قال: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، وَأَبُو كَامِلٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سَبْعٍ». قَالَ سُلَيْمَانُ: أَوْ سِتٍّ وَدَخَلَ بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعٍ " .

10)  Hadits Hammaad bin Salamah, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya “Al-Musnad” 43/404 no.26397:

قال: حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى، قَالَ: حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَفَّى خَدِيجَةَ، قَبْلَ مَخْرَجِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ بِسَنَتَيْنِ أَوْ ثَلَاثٍ، وَأَنَا بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ جَاءَتْنِي نِسْوَةٌ وَأَنَا أَلْعَبُ فِي أُرْجُوحَةٍ، وَأَنَا مُجَمَّمَةٌ، فَذَهَبْنَ بِي، فَهَيَّأْنَنِي وَصَنَعْنَنِي، ثُمَّ أَتَيْنَ بِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ "

Aisyah berkata; "Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam menikahiku setelah Khadijah wafat dan dua tahun atau tiga tahun sebelum kepergian beliau ke Madinah. Sementara aku sedang berumurtujuh tahun. Ketika kami datang ke Madinah, para wanita mendatangiku sementara aku sedang bermain-main di Urjuhah dan rambutku masih turun di antara telingaku. Lalu mereka membawaku pergi dan mempersiapkanku serta menghiasiku. Mereka membawaku kepada Rasulullah ‎shallaallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau mulai membangun keluarga denganku ketika aku berumur sembilan tahun."

11)  Hadits Jariir, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud (316H) rahimahullah dalam kitabnya “Musnad Aisyah” no.34:

قال: حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى، ثنا جَرِيرٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ .

12)  Hadits Sufyan bin ‘Uyainah, dari Hisyam, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’iy (204H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Musnad” hal.275:

قال: أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»

Sufyan bin ‘Uyainah berkata: Hadits ini adalah salah satu hadits terbaik yang diriwayatkan Hisyam dari bapaknya. [Musnad Al-Humaidiy 1/273 no.233]

b.     Hadits Az-Zuhriy, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 2/1039 no.1422:

قال: وحَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ، وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ، وَلُعَبُهَا مَعَهَا، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ»

'Aisyah; "Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menikahinya ketika dia berusia ‎tujuh tahun, dan dia diantar ke kamar beliau ketika berusia sembilan tahun, dan ketika itu dia sedang membawa bonekanya, sedangkan beliau wafat darinya ketika dia berusia delapan belas tahun."‎

Hadits Abdullah bin Urwah, dari Urwah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Al-‘Ijliy (261H) rahimahullah dalam kitabnya “Ats-Tsiqaat” 2/455:

قال: حَدثنَا أَبُو مُسلم حَدثنِي أبي حَدثنَا أَبُو دَاوُد الْحَفرِي عَن سُفْيَان عَن إِسْمَاعِيل بن أُميَّة عَن عبد الله بن عُرْوَة عَن عُرْوَة عَن عَائِشَة قَالَت تزوجنى رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَأَنا بنت سِتّ سِنِين وَدخل بِي وانا بنت تسع سِنِين وَبنى بِي فِي شَوَّال . فأى نِسَائِهِ كَانَ احظى عِنْده مني ؟

‘Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menikahiku saat aku berumur enam tahun, menggauliku saat aku berumur ‎sembilan tahun, dan mulai berumah tangga bersamaku di bulan Syawal. Maka istri Rasulullah yang manakah yang lebih beruntung dariku?

B.    Hadits Al-Aswad, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya “Ash-Shahiih” 2/1039 no.1422:

قال: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو كُرَيْبٍ، قَالَ يَحْيَى، وَإِسْحَاقُ: أَخْبَرَنَا، وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ»

C.    Hadits Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam kitabnya “As-Sunan” 6/131 no.3379:

قال: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ سَعْدِ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَمِّي، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ»

D.   Hadits Ibnu Abi Mulaikah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Ishaaq bin Raahawaih (238H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Musnad” 3/1033 no.1784:

قال: أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، نا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنِ الْأَجْلَحُ، عَنِ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَدَخَلَ بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ .

E.     Hadits Al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy (360H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir” juz 23, hal.22 dan 28, no.52 dan 69:

عن سُفْيَان، عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ، وَبَنَى عَلَيَّ فِي شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَائِكُمْ كَانَ أَحْظَى مِنِّي؟

F.     Hadits Abdul Malik bin Umair dari, Aisyah.

Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam kitabnya “Al-Mu’jam Al-Kabiir” 23/29 no.74:

قال: حَدَّثَنَا أَبُو مُسْلِمٍ الْكَشِّيُّ، ثنا سَهْلُ بْنُ بَكَّارٍ، ثنا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أُعْطِيتُ خِصَالًا مَا أُعْطِيَتْهَا امْرَأَةٌ: مَلَكَنِي وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَأَتَاهُ الْمَلَكُ بِصُورَتِي فِي كَفِّهِ فَنَظَرَ إِلَيْهَا، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ، وَرَأَيْتُ جِبْرِيلَ وَلَمْ تَرَهُ امْرَأَةٌ غَيْرِي، وَكُنْتُ أَحَبَّ نِسَائِهِ إِلَيْهِ، وَكَانَ أَبِي أَحَبَّ أَصْحَابِهِ إِلَيْهِ، وَمَرِضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْضَتَهُ وَلَمْ تَشْهَدْهُ غَيْرِي وَالْمَلَائِكَةُ "

Aisyah berkata: Aku diberi beberpa hal yang tidak diberikan kepada wanita lain: Aku dinikahi oleh Rasulullah saat aku berumur enam tahun, Rasulullah didatangi malaikat dalam bentuk rupaku di telapak tangannya kemudian Rasulullah melihatnya, Rasulullah mulai hidup berumah tangga bersamaku saat aku berumur sembilan tahun, aku melihat Jibril dan tidak pernah dilihat oleh wanita selainku, aku adalah wanita yang paling dicintai Rasulullah, bapaku adalah sahabatnya yang paling ia cintai, dan Rasulullah sakit dan tidak ada yang menyaksikannya selain aku dan para Malaikat.

G.   Hadits Abu ‘Ubaidah, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam kitabnya “As-Sunan Al-Kubraa” 5/170 no.5349:

قال: أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْثَرُ، عَنْ مُطَرِّفٍ وَهُوَ ابْنُ طَرِيفٍ الْكُوفِيُّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ، قَالَ: قَالَتْ عَائِشَةُ: «تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِتِسْعِ سِنِينَ، وَصَحِبْتُهُ تِسْعًا»

H.   Hadits Yahya bin Abdiirahman bin Haathib, dari Aisyah.

Diriwayatkan oleh Abu Ya’laa (307H) rahimahullah dalam kitabnya “Al-Musnad” 8/132 no.4673:

قال: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَامِرِ بْنِ زُرَارَةَ الْحَضْرَمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ يَحْيَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَاطِبٍ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ. زَوَّجَهَا إِيَّاهُ أَبُو بَكْرٍ»


Semua riwayat di atas melalui Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Aisyah, lantaran Hisyam inilah hadits ini menjadi dhaif menurut mereka.

Siapa Hisyam bin ‘Urwah Radhiallahu ‘Anhu?

Beliau adalah Hisyam bin ‘Urwah bin Az Zubeir bin ‘Awwam bin Khuwalid bin Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay bin Kilaab. Ibunya berasal dari Khurasan, yakni Shaafiyah. Kun-yah beliau adalah Abu Al Mundzir, ada juga yang mengatakan Abu Bakar Al Qursyi Al Madini.
‘Amru bin ‘Ali berkata: Hisyam bin ‘Urwah dilahirkan pada tahun 61 H.

‘Amru bin ‘Ali juga berkata: dari Abdullah bin Daud: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku seusia dengan Umar bin Abdul Aziz.

Beliau juga berkata: aku mendengar Waki’ berkata: Aku mendengar Hisyam berkata: Aku pernah berjumpa dengan Abdullah bin Jabir dan Abdullah bin Umar, masing-masing keduanya memiliki ilmu yang melimpah.
Abu Hatim berkata: Dia adalah imam yang tsiqah (terpercaya) dalam hadits.

Yahya bin Ma’in mengatakan: Beliau wafat di Baghdad pada tahun 146 H. (Diterangkan oleh Imam Abul Walid Sulaiman Khalaf Al Baji, At Ta’dil wat Tajrih, 3/1333, No. 1398)

Abu Nu’aim mengatakan bahwa Hisyam wafat 145 H, Adz Dzuhli dan Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan seperti Abu Nu’aim. Yahya bin Bakir menyebut 146 H. Sementara ‘Amru bin ‘Ali menyebutkannya wafat 147 H. (Lihat Rijaal Shahih Al Bukhari, 2/770)

Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad mengatakan, bahwa Hisyam adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Sa’ad menambahkan bahwa hadits dari Hisyam banyak, kuat dan hujjah. Sedangkan Ya’qub bin Syaibah mengatakan Hisyam adalah orang yang tsiqah tidak ada yang diingkari darinya kecuali riwayat setelah dia pergi ke Iraq. Abdurrahman bin Kharrasy mengatakan bahwa Malik tidak menyukai riwayat Hisyam yang berasal dari penduduk Iraq. Yahya bin Ma’in dan jama’ah mengatakan tsiqah. Ali bin Al Madini mengatakan dia memiliki 400 hadits. Adz Dzahabi sendiri menyebut lebih dari 1000 hadits. Banyak manusia yang mengambil hadits darinya seperti Syu’bah, Sufyan Ats Tsauri, Malik, dan banyak lagi. (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala, 6/45-47, Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 11/45. Al ‘Ijli, Ma’rifah Ats Tsiqaat, No. 1906).
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutnya sebagai orang yang tsiqah dan faqih, hanya saja barangkali dia melakukan tadlis. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, No. 7302)

Beliau dituduh mengalami kekacauan hafalan pada akhir hayatnya, khususnya ketika di pindah ke Iraq, namun hal itu telah dikomentari oleh Imam Adz Dzahabi –dalam Mizanul I’tidal- sebagai berikut:
“Dia adalah salah satu tokoh besar (Al A’laam), hujjah lagi imam, tetapi di usia tuanya hafalannya berkurang, namun selamanya tidak pernah mengalami kekacauan! Jangan hiraukan apa yang dikatakan Abul Hasan bin Al Qahththan yang menyebutkan bahwa Beliau dan Suhail bin Abu Shalih hafalannya menjadi kacau dan berubah. Betul! Seseorang akan mengalami perubahan sedikit pada hafalannya, dan tidak lagi sama sebagaimana ketika dia masih muda, maka wajar dia lupa pada sebagian hafalannya atau mengalami wahm (ragu), dan itu apa salahnya! Apakah dia ma’shum (terjaga) dari lupa?

Ketika Beliau datang ke Iraq di akhir hidupnya, dia banyak sekali membawa ilmu ke sana, bersamaan dengan itu dia juga membawa sedikit hadits-hadits yang tidak bagus, hal seperti ini juga dialami oleh para imam besar terpercaya seperti Malik, Syu’bah, dan Waki’, maka tinggalkanlah olehmu menikam para imam yang mengalami itu dengan menyebut mereka sebagai orang-orang dhaif dan kacau, dan Hisyam adalah seorang Syaikhul Islam.” (Mizanul I’tidal, 4/302. Lihat juga Imam Ibrahim bin Muhammad bin Khalil Ath Tharablusi, Al Ightibath Lima’rifati Man Ramaa bil Ikhtilath, Hal. 68, No. 98)

Imam Adz Dzahabi juga membela Hisyam bin ‘Urwah dalam kitabnya yang lain, katanya:
“Aku berkata: secara mutlak dia adalah seorang yang terpercaya, jangan hiraukan apa yang dikatakan oleh Al Hafizh Abul Hasan bin Al Qaththan bahwa dia (Hisyam) dan Suhail bin Abu Shalih hafalannya menjadi kacau dan berubah. Sebab seorang yang haafizh dia akan berkurang hafalannya ketika usia tuanya serta terbatas kecerdasannya. Keadaannya ketika sudah tua tidak akan sama dengan ketika masih muda. Tidak ada seorang pun yang terjaga dari lupa, dan tidak pula perubahan itu membawa mudharat. Yang membawa mudharat itu jika dia mengalami kekacauan (ikhtilath) dalam hafalannya, sedangkan Hisyam sedikit pun tidak mengalaminya. Maka, ucapan Ibnul Qaththan bahwa Hisyam telah kacau hafalannya adalah ucapan yang tertolak dan buruk.

Saya melihat para imam besar pun mengalami kesalahan dan wahm (ragu). Lihatlah Syu’bah, ketika sudah beruban dia pun mengalami ragu dalam hafalannya, begitu pula Al Auza’i, Ma’mar, dan juga Malik Rahmatullah ‘Alaihim.” (Siyar A’lamin Nubala, 6/35-36)

Pembelaan yang begitu bersemangat dari Imam Adz Dzahabi ini tentu menjadi koreksi atas pihak yang menciderai kedudukan Hisyam, khususnya penolakan mereka terhadap hadits Hisyam bin ‘Urwah Radhiallahu ‘Anhu ketika akhir hidupnya di Iraq. Jadi, mayoritas imam menilainya tsiqah secara mutlak, kecuali menurut Imam Malik, Imam Ya’qub bin Syaibah, dan Imam Abul Hasan bin Al Qaththan, yang menyebutnya tsiqah-nya Hisyam adalah sebelum ke Iraq.

Benarkah hadits ini hanya dari Hisyam bin ‘Urwah?

Adalah TIDAK BENAR hadits ini hanya bersumber dari Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya, dan dari ‘Aisyah. 
Hadits ini memiliki jalur-jalur lain selain dirinya:

– Di antaranya dari Al Aswad bin Yazid sebagai berikut:

و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالَ يَحْيَى وَإِسْحَقُ أَخْبَرَنَا و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

(Imam Muslim berkata:) Berkata kepada kami Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Abu Kuraib, berkata Yahya dan Ishaq: telah mengabarkan kepada kami. Sedangkan dua yang lain (Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib) berkata: berkata kepada kami Abu Mu’awiyah, dari Al A’masy, dari Ibrahim, dari Al Aswad, dari ‘Aisyah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya dan dia berusia enam tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun, dan Beliau wafat saat ‘Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim No. 1422, 72)
Hadits ini pun shahih, seluruh rawinya adalah tsiqaat.

– Lalu, jalur lain yakni Yahya bin Abdurrahman bin Haathib, sebagai berikut:

حدثنا عبد الله بن عامر بن زرارة الحضرمي حدثنا يحيى بن زكريا بن أبي زائدة عن محمد بن عمرو عن يحيى بن عبد الرحمن بن حاطب : عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم تزوجها وهي بنت ست سنين وبنى بها وهي بنت تسع سنين زوجها إياه أبو بكر

(Imam Abu Ya’la berkata): berkata kepada kami Abdullah bin ‘Amir bin Zurarah Al Hadhrami, berkata kepada kami Yahya bin Zakaria bin Abi Zaaidah, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Yahya bin Abdurrahman bin Haathib, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya dan dia berusia enam tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun, dan Beliau wafat saat ‘Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Musnad Abu Ya’la No. 4673, Syaikh Husein Salim Asad berkata: hasan)

– Jalur lain, dalam Shahih Muslim juga yakni Az Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, sebagai berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ

Berkata kepada kami Abdu bin Humaid, mengabarkan kepada kami Abdurrazzaq, mengabarkan kepada kami Ma’mar, dari Az Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya pada saat berusia tujuh tahun dan mulai memboyongnya pada saat sembilan tahun, Beliau bercengkerama dengannya dan wafat pada saat ‘Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim No. 1422, 71)

Pada riwayat ini disebut tujuh tahun, dan sama sekali tidak masalah bagi riwayat yang menyebut enam tahun. Sebab sering manusia menyebut usianya dengan angka yang bisa berbeda satu tahun. Hal itu bisa terjadi karena menurut tahunnya dia sudah masuk usia tujuh tahun, walau menurut bulannya dia belum tujuh tahun. Istilah di negeri kita, usia enam tahun jalan tujuh, atau tujuh tahun jalan.‎

Maka, berbagai jalur di atas menunjukkan jelas keliru jika menganggap hadits ini hanya berasal dari riwayat Hisyam bin ‘Urwah saja.

Benarkah Imam Al Bukhari dan Imam Muslim memudah-mudahkan?

Mereka menuduh Imam Bukhari dan Imam Muslim telah melonggarkan masalah ini, sehingga mereka memasukkan hadits ini dalam kitab shahihnya masing-masing. Tuduhan itu sama sekali tidak benar jika dilihat dari banyak sisi:

Pertama, Bagaimana mungkin mereka dianggap memudahkan (mutasahil), padahal standard dan syarat mereka berdua untuk menshahihkan hadits adalah yang paling ketat?

Berkata Imam An Nawawi dalam kitab At Taqrib:

أول مصنف في الصحيح المجرد، صحيح البخاري، ثم مسلم، وهما أصح الكتب بعد القرآن، والبخاري أصحهما وأكثرهما فوائد، وقيل مسلم أصح، والصواب الأول

“Kitab pertama yang paling shahih adalah Shahih Al Bukhari, kemudian Shahih Muslim. Keduanya adalah kitab paling shahih setelah Al Quran. Dan Shahih Al Bukhari paling shahih di antara keduanya dan paling banyak manfaatnya. Ada yang mengatakan Shahih Muslim paling shahih, tapi yang benar adalah yang pertama.” (Imam An Nawawi, At Taqrib wat Taisir, Hal. 1. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Beliau menambahkan:

الصحيح أقسام: أعلاها ما اتفق عليه البخاري ومسلم، ثم ما انفرد به البخاري، ثم مسلم، ثم ما على شرطهما، ثم على شرط البخاري، ثم مسلم، ثم صحيح عند غيرهما، وإذا قاولوا صحيح متفق عليه أو على صحته فمرادهم اتفاق الشيخين

“Hadits Shahih itu terbagi-bagi, paling tinggi adalah yang disepakati oleh Al Bukhari dan Muslim, kemudian Al Bukhari saja, kemudian Muslim, kemudian hadits yang sesuai syarat keduanya, kemudian yang sesuai syarat Al Bukhari, kemudian Muslim, kemudian shahih menurut selain keduanya. Jika mereka mengatakan: Shahih Muttafaq ‘Alaih atau ‘Ala Shihatihi maksudnya adalah disepakati oleh Syaikhain (dua syaikh yakni Al Bukhari dan Muslim).” (Ibid)

Kedua, terkenal bahwa Imam Al Bukhari dan Imam Muslim termasuk ulama yang menolak menggunakan hadits dhaif dalam semua urusan dan perkara, termasuk dalam masalah selain aqidah, hukum, halal dan haram, yang para ulama istilahkan perkara fadhailul a’mal, targhib wat tarhib, akhlak, dan semisalnya. Ini juga menjadi pendapat Imam Ibnu Hazm, Imam Yahya bin Ma’in, Imam Ibnul ‘Arabi, Syaikh Ahmad Syakir, Syaikh Al Albani, dan lainnya.

Bagaimana mungkin Imam Bukhari mengendorkan sanad, padahal dia termasuk ulama yang menolak memakai hadits dhaif dalam hal apa pun?

Ketiga, ini yang paling penting, bahwa Hisyam bin ‘Urwah telah dipakai oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih mereka di ratusan hadits dengan berbagai tema sampai-sampai kami pun sulit menghitungnya karena saking banyaknya, baik tema-tema aqidah, halal haram, dan hukum, dan tentunya fadhailul a’mal. Apa artinya? Artinya menurut standar mereka berdua Hisyam bin ‘Urwah adalah tsiqah (terpercaya) dalam meriwayatkan semua tema hadits, bukan hanya fadhailul a’mal.

Benarkah tidak rasional?

Ya, jika kita menggunakan kaca mata manusia saat ini, maka apa yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan adalah tidak rasional dan bertentangan dengan tradisi manusia saat ini! Tetapi pandanglah dengan kaca mata manusia yang hidup zaman itu, masa Beliau dan ‘Aisyah hidup bersama-sama dan itu kebiasaan bangsa Arab saat itu dan beberapa abad setelahnya. Justru tidak rasional jika ada manusia zaman ini yang menilai manusia masa lalu dengan sudut pandang manusia masa kini. Tidak masuk akal menilai standar kepantasan manusia lalu dengan standar kepantasan manusia masa kini.

Lihatlah sejarah, dan lihatlah kebiasaan mereka, dan lihatlah buku-buku yang ditulis para fuqaha. Niscaya akan kita pahami dan maklumi, itulah kebiasaan mereka saat itu. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ‘Aisyah termasuk manusia yang hidup pada zaman itu, tentu dia akan seperti masyarakatnya.

Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash hanya berbeda 11 tahun dengan ayahnya (Amr bin Al ‘Ash). (Lihat Siyar A’lamin Nubala, 3/ 17-18) apa artinya? Amr bin Al Ash menikah pada usia sangat belia, sekitar 10 – 13 tahun!

Para fuqaha di berbagi mazhab fiqih ramai membicarakan dalam kitab-kitab mereka tentang pernikahan sesama anak-anak, bahkan sebagian mereka ada yang membicarakan pernikahan bayi, apakah sah atau tidak?! Apa artinya ini? Ini menunjukkan pernikahan anak di bawah umur sudah biasa terjadi saat itu dan merupakan tradisi mereka, dan saat itu bukan dianggap aneh, apalagi dianggap kejahatan terhadap anak-anak di bawah umur. Lalu hari ini kita hidup di zaman modern menghakimi tradisi masa itu dengan standar tradisi manusia hari ini? Jelas sangat tidak rasional!

Kira-kira enam tahun lalu, ada yang bertanya kepada kami kenapa Firaun ikut-ikutan mengejar Nabi Musa ‘Alaihissalam? Bukankah Firaun seorang raja yang memiliki ribuan pasukan? Seharusnya cukuplah anak buahnya saja yang mengejar, dia tidak usah ikut mengejar. Saat itu kami jawab: “Karena Firaun hidup pada masa dulu, di mana para pemimpin ketika itu, jika rakyatnya perang mereka juga ikut ambil bagian bahkan menjadi pemimpinnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga ikut berperang dan menjadi pemimpin pasukannya dalam banyak peperangan, Abu Jahal pun ikut berperang bersama kaumnya melawan pasukan kaum muslimin. Jangan gunakan pikiran dan realita saat ini, di mana jenderal duduk manis di belakang meja, sementara prajuritnya yang mati-matian bertempur.”
Nah, cara berpikirlah yang harus kita benahi agar tidak kaku dan lebih rasional dalam membaca sejarah.‎

Imam Bukhari dan Imam Muslim sama sekali tidak salah
Dalam masalah ini, kedua imam ini sama sekali tidak memiliki saham kesalahan yang membuat orientalis barat memfitnah Islam dan kaum muslimin masa kini. Tidak pada awal dan tidak pada akhirnya, tidak pada sebagian dan tidak pula pada keseluruhannya. Justru bagi kami, yang keliru adalah sikap kaum muslimin dan sebagian ulamanya yang nampaknya begitu inferior, minder. Dan ketakutan di hadapan tudingan-tudingan itu. Seharusnya mereka memberikan pembelaan yang benar dan cerdas, bukan malah menyalahkan dan meragukan keabsahan nash-nash yang shahih pada kitab mereka berdua, apalagi menyebut hadits-hadits tersebut merupakan fitnah keji kepada nabi, dengan tujuan supaya kaum kuffar tidak lagi menuduh Islam.
Adalah hal yang terpuji jika kita melakukan upaya untuk menutup celah agar kaum kuffar tidak memiliki hujjah menyerang Islam. Hal itu patut diapresiasi. Tetapi, tidak dengan cara merobohkan bangunan kita sendiri, tidak dengan mengoyak tatanan yang sudah baku, yang telah dibangun para imam sepanjang zaman.

Imam Bukhari dan Imam Muslim telah menunaikan apa yang telah menjadi kewajibannya sebagai ‘aalim. Mereka telah bersusah payah menghabiskan semua umur dan waktunya untuk berkhidmat kepada As Sunnah, dan akhirnya Allah Ta’ala memberikan mereka kedudukan yang tinggi di dalam dada kaum muslimin dan ulamanya sesudah itu hingga saat ini. Telah banyak ulama yang bangkit membela kehormatan mereka dari serangan para orientalis dan kaki tangannya, sebut saja Asy Syaikh Al ‘Allamah Yusuf Al Qaradhawi dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1, juga Asy Syaikh Mushthafa As Siba’i Rahimahullah dalam As Sunnah wa Makaanatuha fil Islam.

Karena riwayat ini mereka menuduh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang Pedofilia?

Kami sudah katakan sebelumnya, ada atau tidak ada hadits ini, mereka tidak akan pernah hilang menyerang kepribadian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yang mesti kita lakukan adalah menjawab tuduhan itu secara rasional, bukan serta merta mendhaifkan riwayat tersebut secara takalluf (baca: maksain), seakan mendhaifkan adalah jalan pintas untuk mereduksi segala tudingan mereka. Bukan begitu caranya.
Kita lihat, ketika kaum kuffar menuding Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang hyper sex karena Beliau beristri banyak, apakah serta merta kita dhaifkan saja berbagai riwayat yang menyebut berbilangnya istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Apakah ketika kaum kuffar menuduh Islam disebarkan dengan pedang karena ada hadits muttafaq ‘alaih: umirtu an uqaatilan naas hatta yasyhaduu alla ilaha illallah … (Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah  …dst), lalu untuk menjawab tuduhan mereka kita dhaifkan saja hadis ini? Tidak begitu. Tapi, jelaskanlah semuanya secara cerdas.

Termasuk dalam masalah tudingan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang pedofilia disebabkan adanya hadits ini.

Seharusnya kita katakan bahwa seseorang dikatakan pedofilia jika memang orientasi seksualnya hanya kepada anak-anak. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat jauh dari orientasi seperti itu. Kalau memang Beliau seorang pedofilia tentulah semua istrinya, atau sebagian besarnya, adalah wanita berusia anak-anak. Tapi kenyataannya tidak demikian, hanya ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang menikah dengannya pada usia sangat belia. Istri lainnya mayoritas adalah janda, wanita dewasa bahkan cukup tua. Kenyataan ini sudah cukup menggugurkan tudingan tersebut. Sebab semua teori dan tuduhan jika tidak sesuai dengan fakta maka teori dan tuduhan itu rapuh. Jika kaum kuffar masih menuding juga dan tidak puas dengan ini, tidak usah sampai: yaa sudahlah hadits ini dhaifkan saja! Biar tudingan mereka menjadi tidak berdasar. Maka, ini adalah kekalahan mental terhadap mereka.

Jika mereka menuding Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang hyper sex, maka kita jawab: bagaimana menurut kalian tentang Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam (King Solomon) yang memiliki 1000 istri menurut Bible? Atau Nabi Daud ‘Alaihis Salam yang 40 istri, kenapa kalian tidak menuding mereka berdua? Kami pun tidak ingin kalian menuding mereka berdua sebagai super hyper sex misalnya, tetapi kami ingin menegaskan betapa tidak fairnya kalian ini! Betapa api kebencian terhadap Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat kalian bertindak zhalim dan hina seperti ini. Demikianlah jawaban kita atas mereka, bukan dengan menyalahkan riwayat tersebut: aah riwayat tersebut dhaif.

Tetap Mengapresiasi

Demikian siap kami dalam hal ini. Tetapi, kami tetap mengapresiasi perjuangan setiap aktivis muslim yang meng-caunter serangan kaum kuffar, termasuk yang dilakukan para ulama dan pemikir muslim mana pun dan siapa pun dengan cara ilmiah dalam perkara pernikahan nabi dan ‘Aisyah ini. Perbedaan ini hendaklah didasarkan karena cinta dan ukhuwah yang sehat, untuk mencapai target yang sama, yakni kebenaran. Bukan karena kebencian apalagi i’tizaziyah (gaya-gayaan).
Demikian, semoga bermanfaat untuk saudara penanya dan sidang pembaca sekalian.‎

Belajar Dari Kisah Cinta Rosululloh SAW Dan Siti Khodijah Ra


Siti Khadijah adalah isteri pertama nabi Muhammad SAW, dan beliau tidak menikah lagi sampai Siti Khadijah meninggal dunia, demikianlah hubungan kasih sayang di antara beliau dan isterinya.

Karena hal tersebut menjadi skenario yang bijak menurut kehendak Allâh, dan sesuai dengan firman-Nya,

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًالِتَسْكُنُوْااِلَيْهَاوَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِيْ ذَالِكَ لآ يَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”. (QS. Al-Rûm/30: 21) .

Khadijah binti Khuwailid, memandang Nabi SAW adalah orang yang sangat cerdas, jujur. Khadijah telah mendapatkan barang yang mulai hilang dari perilaku manusia ketika itu.

Di dalam berdagang, Nabi Muhammad SAW sangat menjaga amanah dari perempuan yang memberikan kepercayaan kepadanya, di mana selama ini Khadijah hampir tidak pernah lagi melihat watak mulia itu. Atas keterangan pembantunya Maisarah, beliau menjadi tertarik pada Nabi SAW dan akhirnya terjadilah pinang meminang antara kedua keluarga.

Akad nikah dilaksanakan, dihadiri oleh Bani Hasyim dan para Pemuka Bani Mudhar. Maskawinnya dua puluh ekor onta.

Cinta pertama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dialah….Khadijah binti Khuwailid radhiallahu 'anhaa…

Bahkan Rasulullah pernah dengan bangganya berkata kepada Aisyah yang cemburu kepada Khadijah,

إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

"Sungguh Allah telah menganugrahkan kepadaku rasa cinta kepada Khadijah" (HR Muslim no 2435)

Imam An-Nawawi berkata, "Ini adalah isyarat bahwasanya mencintai Khadijah adalah kemuliaan" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 15/201)
Dialah istri pertama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Selama hidup bersamanya kurang lebih 25 tahun Nabi sama sekali tidak menikahi wanita yang lain. 

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Tidak ada perselisihan diantara para ulama bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berpoligami sejak menikah dengan Khadijah hingga wafatnya Khadijah. Dan ini merupakan dalil akan besarnya kedudukan Khadijah di sisi Nabi dan bertambahnya kemuliaan Khadijah. Karena Nabi mencukupkan dirinya dengan Khadijah sehingga tidak berpoligami….sehingga Rasulullah telah menjaga hati Khadijah dari kecemburuan dan kepayahan yang ditimbulkan oleh para madu" (Fathul Baari 7/137)‎

Seorang wanita cemburu kepada wanita lain yang telah meninggal ??!!

Aisyah -istri yang paling dicintai oleh Nabi- tidak pernah cemburu kepada istri-istri Nabi yang lain sebagaimana kecemburannya kepada Khadijah… Padahal Khadijah telah meninggal dunia…!!! Seorang wanita cemburu kepada wanita yang telah meninggal dunia…???. Semuanya tidak lain melainkan karena begitu cintanya Nabi shallallau 'alaihi wa sallam kepada cinta pertamanya Khadijah meskipun telah tiada.

Aisyah radhiallahu 'anhaa bertutur:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika menyebut tentang Khadijah maka iapun memujinya, dengan pujian yang sangat indah. Maka pada suatu hari akupun cemburu, maka aku berkata, "Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua. Allah telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya". Maka Nabi berkata, "Allah tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allah telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allah tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain" (HR Ahmad no 24864 dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)‎

Kenapa Nabi sangat mencintai Khadijah?

Bukanlah perkara yang mengherankan jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mencintai Khadijah. Hal ini dikarenakan banyak sebab diantaranya:

Pertama : Khadijah adalah cinta pertama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Tidak bisa dipungkiri bahwa memang cinta pertama sulit untuk dilupakan. Penyair berkata :

نَقِّلْ فُؤَادَكَ حَيْثُ شِئْتَ مِنَ الْهَوَى      فَماَ الْحُبُّ إِلاَّ لِلْحَبِيْبِ الْأَوَّلِ

وَكَمْ مَنْزِلٍ فِي الْأَرْضِ يَأْلَفُهُ الْفَتَى              وَحَنِيْنُهُ أبَدًا لِأَوَّلِ مَنْزِلِ

Pindahkanlah hatimu kepada siapa saja yang engkau mau……

Namun kecintaan (sejati) hanyalah untuk kekasih yang pertama

Betapa banyak tempat di bumi yang sudah biasa ditinggali seorang pemuda…..

Namun selamanya kerinduannya selalu kepada tempat yang pertama ia tinggali
Kedua : Khadijahlah yang telah memberikan keturunan kepadanya. Dari Khadijah Allah telah menganugrahkan kepada Nabi 2 orang putra (Abdullah dan Qoosim) dan 4 orang putri (Zainab, Ruqoyyah, Ummu Kaltsum, dan Fathimah)

Ketiga : Khodijah adalah orang pertama yang beriman kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam disaat kebanyakan orang mendustakan beliau.

Ibnu Hajar berkata : "Diantara keistimewaan Khadijah adalah ia adalah wanita pertama umat ini yang beriman, dan dialah yang pertama kali mencontohkan hal ini bagi setiap orang yang beriman setelahnya, maka bagi Khadijah seperti pahala seluruh wanita sesudahnya. Karena dalam hadits "Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik maka baginya seperti pahala orang yang menjalankannya…". Dan keistimewaan yang dimiliki oleh Khadijah ini juga dimiliki oleh Abu Bakar As-Shiddiiq berkaitan dengan pahala kaum pria yang beriman setelah Abu Bakar. Dan tidak ada yang mengetahui besarnya pahala yang diraih oleh Abu Bakar dan Khadijah karena keistimewaan ini kecuali Allah Azza wa Jalla" (Fathul Baari 7/137)

Keempat : Khadijahlah yang telah mengorbankan hartanya demi dakwah suaminya. Dialah yang ikut memikul beban dakwah yang dirasakan dan dipikul oleh sang suami. Tidak seperti sebagian wanita yang justru menghalangi suaminya untuk berdakwah…!!!

Kelima : Khodijah adalah seorang istri yang tatkala sang suami menghadapi kesulitan dan kegelisahan maka iapun bersegera menenangkan hatinya. Tidak sebagaimana sebagian istri yang semakin menambah beban sang suami yang sudah berat memikul beban kehidupan.

Tatkala Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam baru pertama kali menerima wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril dengan bentuknya yang sangat dahsyat, maka Nabipun ketakutan dan segera turun dari gua Hiroo menuju rumah Khadijah, lantas ia berkata, لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِي “Aku mengkhawatirkan diriku”, maka Khadijah menenteramkan hati suaminya seraya berkata dengan perkataan yang indah yang terabadikan di buku-buku hadits,

كَلاَّ أَبْشِرْ فَوَاللهِ لاَ يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمِ وَتَصْدُقُ الْحَدِيْثَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Sekali-kali tidak, bergembiralah !!!. Demi Allah sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, membantu orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah” (HR Al-Bukhari no 3 dan Muslim no 160)‎

Demikianlah sikap Khadijah yang mulia untuk menenangkan dan meyakinkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. 

Keenam : Khadijah adalah seorang istri yang sangat taat kepada suaminya. Ia tidak pernah melelahkan suaminya…apalagi sampai membuat suaminya mengangkat suara, apalagi sampai mengangkat suaranya di hadapan suaminya. Serta ia adalah wanita yang sabar meskipun letih dalam mendidik anak-anaknya.

Abu Huroiroh radhiallahu 'anhu berkata:

أَتَى جِبْرِيْلُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ الله هَذِهِ خَدِيْجَةُ قَدْ أَتَتْ مَعَهَا إِنَاءٌ فِيْهِ إِدَامٌ أَوْ طَعَامٌ أَوْ شَرَابٌ فَإِذَا هِيَ أَتَتْكَ فَاقْرَأْ عَلَيْهَا السَّلاَمَ مِنْ رَبِّهَا وَمِنِّي وَبَشِّرْهَا بِبَيْتٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ قَصب لاَ صَخَبَ فِيْهِ وَلاَ نَصْبَ

"Jibril mendatangi Nabi shallalllahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Ya Rasulullah, Khadijah telah datang membawa tempayan berisi kuah daging atau makanan atau minuman, maka jika ia tiba sampaikanlah kepadanya salam dari Robnya dan dariku, serta kabarkanlah kepadanya dengan sebuah rumah di surga dari mutiara yang tidak ada suara keras (hiruk pikuk) di dalamnya dan juga tidak ada keletihan" (HR Al-Bukhari no 3820 dan Muslim no 2432)

Ganjaran pahala sesuai dengan perbuatan…, As-Suhaili berkata, "Tatkala Khadijah diseru oleh suaminya shallallahu 'alaihi wa sallam untuk masuk Islam maka serta merta beliau taat dan tidak menolak sehingga tidak perlu menjadikan suaminya untuk mengangkat suaranya dan tidak perlu keletihan. Bahkan Khadijah telah menghilangkan seluruh keletihan dari suaminya dan telah menghilangkan rasa kesendirian suaminya bahkan meringankan seluruh kesulitan suaminya, maka sangat sesuai jika rumahnya di surga yang telah diberi kabar gembira oleh Allah memiliki sifat-sifat yang sesuai" (Fathul Baari 7/138)

Khadijah dijanjikan sebuah rumah di surga, yaitu istana di surga, karena Khadijah adalah yang pertama kali membangun rumah Islam, tatkala itu tidak ada satu rumah Islampun di atas muka bumi. (Lihat Faidhul Qodiir 2/241)

Sebagian ulama menyatakan bahwa Khadijah diberi balasan dengan istana di surga yang tidak ada rasa letih sama sekali karena beliau telah letih dalam mendidik anak-anak beliau, maka sesuai jika dibalas dengan surga yang penuh dengan istirahat tanpa kelelahan sedikitpun (Kasyful Musykil min hadits as-shahihaini 1/444)‎

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terus mengenang Khadijah

Tiga tahun sebelum Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berhijroh ke Madinah, Khadijah wafat. Dan Nabi sangat bersedih atas wafatnya Khadijah, istri yang sangat dicintainya. Sampai-sampai para ahli sejarah menamakan tahun wafatnya Khadijah dengan tahun kesedihan bagi Nabi.

Setelah wafatnya Khadijah kecintaan Nabi tetap melekat di hati beliau. Beliau masih tetap sering menyebut-nyebut Khadijah…bahkan beliau memberikan hadiah kepada sahabat-sahabat Khadijah radhiallahu 'anhaa, hingga seakan-akan sepertinya tidak ada wanita di dunia ini kecuali Khadijah. Aisyah bertutur :

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم  مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتَهَا وَلَكِنْ كَانَ النبي صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ ذِكْرَهَا وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يَقْطَعُهَا أَعْضَاءَ ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ فَرُبَّمَا قُلْتُ لَهُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ فَيَقُوْلُ إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ

“Aku tidak pernah cemburu pada seorangpun dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kecemburuanku pada Khadijah. Aku tidak pernah melihatnya akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebut namanya. Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih seekor kambing kemudian beliau memotong-motongnya lalu mengirimkannya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Terkadang aku berkata kepadanya, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita yang lain kecuali Khadijah”, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Dia itu wanita yang demikian dan demikian dan aku memiliki anak-anak darinya….” (HR Al-Bukhari no 3907)‎

Kalung Sang Kekasih….‎

Ibnu Ishaaq rahimahullah berkata dalam sirohnya :

"Abul 'Aash bin Ar-Robii' adalah salah seorang dari penduduk kota Mekah yang dikenal dengan perdagangannya, hartanya yang banyak, serta terkenal dengan sifat amanah. Abul 'Aash adalah keponakan Khadijah (karena Ibu Abul 'Aash adalah Haalah binti Khuwailid, saudari perempuan Khodijah Binti Khuwailid radhiallahu 'anhaa).

Khoodijahlah yang telah meminta Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahkan Abul 'Aaash dengan Zainab putri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan Nabi tidak menyelisihi permintaan Khodiijah, maka Nabipun menikahkan putrinya Zainab dengan Abul 'Aaash. Dan pernikahan ini terjadi sebelum turun wahyu (sebelum Nabi diangkat menjadi seorang Nabi). Bahkan Nabi menganggap Abul 'Aash seperti anak senidiri.

Tatkala Allah memuliakan Nabi dengan wahyu kenabian maka berimanlah Khodijah serta seluruh putri-putrinya termasuk Zainab, akan tetapi Abul 'Aash (suami Zainab) tetap dalam keadaan musyrik.

Nabi juga telah menikahkan salah seorang putrinya (Ruqooyah atau Ummu Kaltsuum) dengan putra Abu Lahab yaitu 'Utbah bin Abi Lahab.

Tatkala  Nabi mendakwahkan perintah Allah dan menunjukkan permusuhan kepada kaum musyrikin maka mereka berkata, "Kalian telah menyantaikan Muhammad dari kesulitannya, kembalikanlah putri-putrinya agar ia tersibukkan dengan putri-putrinya !!".

Merekapun mendatangi 'Utbah putra Abu Lahab lalu berkata, "Ceraikanlah putri Muhammad, maka niscaya kami akan menikahkan engkau dengan wanita Quraisy mana saja yang kau kehendaki !!". 'Utbah berkata, "Aku akan menceraikannya dengan syarat kalian menikahkan aku dengan putrinya Sa'iid bin Al-'Aash". Maka merekapun menikahkan 'Utbah dengan putri Sa'iid bin Al-'Aaash dan Utbahpun menceraikah putri Nabi sebelum berhubungan tubuh dengannya. Dengan perceraian tersebut Allah telah memuliakan putri Nabi dan sebagai kehinaan bagi 'Utbah. Setelah putri Nabi diceraikan oleh 'Utbah maka dinikahi oleh 'Utsmaan bin 'Afaan radhiallahu 'anhu.

Para pembesar-pembesar kafir Quraisypun mendatangi Abul 'Aash lalu mereka berkata, "Ceraikanlah istrimu itu, kami akan menikahkan engkau dengan wanita mana saja yang engkau sukai dari Quraish !!". Abul 'Aash berkata, "Demi Allah aku tidak akan menceraikan istriku, dan aku tidak suka istriku diganti dengan wanita Qurasih mana saja" (Perkataan Ibnu Ishaaq ini dinukil oleh Ibnu Hisyaam dalam sirohnya 1/651-652 dan Ibnu Katsiir dalam Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 3/379)

Khadijah radhiallahu 'anhaa memiliki sebuah kalung yang dipakainya. Tatkala Zainab putrinya menikah dengan keponakan Khadija Abul 'Aash maka Khadijah menghadiahkan kalung tersebut kepada Zainab untuk dikenakan oleh Zainab tatkala malam pengantin dengan Abul 'Aaash.

Setelah Nabi diberi wahyu kenabian maka seluruh putri-putri Nabi masuk Islam. Adapun Abul 'Aash suami Zainab tetap dalam kemusyrikannya.

Ibnu Ishaaq rahimahullah berkata, "Rasulullah tatkala di Mekah tidak bisa menghalalkan dan mengharamkan, beliau tidak berkuasa. Islam telah memisahkan antara Zainab dengan Abul 'Aash bin Ar-Robii', hanya saja Rasulullah tidak mampu untuk memisahkan mereka beruda. Maka Zainabpun tinggal bersama Abul 'Aash yang dalam keadaan musyrik hingga Rasulullah berhijrah ke Madinah.

Tatkala terjadi perang Badar dan diantara pasukan Quraisy adalah Abul 'Aash bin Ar-Robii' yang akhirnya menjadi tawanan perang Badar, lalu dibawalah ia di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah" (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hisyaam dalam sirohnya 1/252 dan Ibnu Katsiir dalam Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 3/379-380)

Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan kesempatan kepada penduduk Mekah yang mau membebaskan para tawanan perang Badar untuk membayar tebusan. Diantara mereka ada yang dibayar hingga 4000 dirham (sekitar 400 dinar, dan satu dinar kurang lebih 4 1/4 gram emas) seperti Abu Wadaa'ah, ada yang ditebus dengan 100 uqiyah (sekitar 3 kg emas, karena 1 uuqiyah sekitar 30 gram emas) seperti Al-Abbas bin Abdil Muttholib, dan ada yang hanya 40 uuqiyah seperti Al-'Aqiil bin Abi Tholib. (Lihat As-Siiroh An-Nabawiyah fi Dhoi Al-Mashoodir Al-Ashliyah hal 359)‎

Kalung Yang Mengingatkan Nabi Kepada Cinta Pertamanya…

Tatkala Zainab yang berada di Mekah mendengar bahwa suaminya Abul 'Aaash menjadi tawanan perang di Madinah maka iapun hendak menebus suaminya. Akan tetapi Zainab tidaklah memiliki apa-apa untuk menebus sang suami yang ia cintainya, kecuali hanya sedikit harta dan kalung pemberian ibunya Khadijah sebagai hadiah pernikahannya dengan suaminya.   

Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata :

لَمَّا بَعَثَ أَهْلُ مَكَّةَ فِى فِدَاءِ أَسْرَاهُمْ بَعَثَتْ زَيْنَبُ فِى فِدَاءِ أَبِى الْعَاصِ بِمَالٍ وَبَعَثَتْ فِيهِ بِقِلاَدَةٍ لَهَا كَانَتْ عِنْدَ خَدِيجَةَ أَدْخَلَتْهَا بِهَا عَلَى أَبِى الْعَاصِ. قَالَتْ فَلَمَّا رَآهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَقَّ لَهَا رِقَّةً شَدِيدَةً وَقَالَ « إِنْ رَأَيْتُمْ أَنْ تُطْلِقُوا لَهَا أَسِيرَهَا وَتَرُدُّوا عَلَيْهَا الَّذِى لَهَا ». فَقَالُوا نَعَمْ. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَخَذَ عَلَيْهِ أَوْ وَعَدَهُ أَنْ يُخَلِّىَ سَبِيلَ زَيْنَبَ إِلَيْهِ وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ وَرَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ « كُونَا بِبَطْنِ يَأْجِجَ حَتَّى تَمُرَّ بِكُمَا زَيْنَبُ فَتَصْحَبَاهَا حَتَّى تَأْتِيَا بِهَا ».

"Tatkala penduduk Mekah mengirim harta untuk menebus para tawanan mereka, maka Zainabpun mengirim sejumlah harta untuk menebus suaminya Abul 'Aash, dan Zainab mengirim bersama harta tersebut sebuah kalung yang dahulunya milik Khadijah, lalu Khadijah memberikan kalung tersebut kepada Zainab tatkala Zainab menikah dengan Abul 'Aash.

Maka tatkala kalung tersebut dilihat oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka Rasulullahpun sangat sedih kepada Zainab. Beliaupun berkata (kepada para sahabatnya), "Jika menurut kalian bisa untuk membebaskan tawanan Zainab dan kalian kembalikan lagi kalungnya  ??". Maka para sahabat berkata, "Iya Rasulullah". Akan tetapi Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam mengambil janji dari Abul 'Aaash agar membiarkan Zainab ke Madinah. Lalu Rasulullah mengirim Zaid bin Haaritsah dan seseorang dari Anshoor (untuk menjemput Zainab), dan beliau berkata kepada mereka berdua, "Hendaknya kalian berdua menunggu di lembah Ya'jij hingga Zainab melewati kalian berdua, lalu kalian berdua menemaninya hingga kalian membawanya di Madinah" (HR Abu Dawud no 2694 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melihat kalung tersebut maka Nabipun sangat sedih karena mengingat kondisi putrinya Zainab yang bersendirian di Mekah, dan juga sangat sedih karena mengingat kembali cinta pertamanya Khadijah radhiallahu 'anhaa dan bagaimana kesetiaan istrinya Khadijah, karena kalung tersebut dahulunya adalah milik Khadijah dan dipakai oleh Khadijah di lehernya radhiallahu 'anhaa' (Lihat 'Auunul Ma'buud 7/254). Kalung tersebut mengingatkan beliau kepada Khadijah yang sangat dicintainya yang merupakan ibu dari anak-anaknya. (Lihat Al-Fath Ar-Robbaaniy 14/100-101). Hal inilah yang menjadikan Nabi membebaskan Abul 'Aash suami putrinya Zainab dan sekaligus keponakan Istrinya Khodijah tanpa tebusan sama sekali.
Itulah keistimewaan Khadijah yang menjadi sebab kenapa Nabi sangat cinta kepadanya, yang patut ditauladani oleh para ibu atau isteri-isteri orang yang beriman dan shaleh. Karena tauladan yang paling baik bagi kaum perempuan itu adalah umm al-mukminîn yakni para isteri Nabi MuhammadSAW. Ketika canang kebebasan mulai diguguh, korban manusia berguguran karena hilang kendali yang melahirkan balas dendam. Kaum perempuan kembali jadi sasaran.

Bahaya besar mengancam generasi. Setiap kita berkewajiban mencegah, dengan berdo’a secara tulus ikhlas agar kemelut tidak terjadi.

رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ اِسْرَافَنَا فِى أَمْرِنَا وَ ثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَ انْصُرْنَا عَلَى القَوْمِ الكَافَرْيْن.

“Ya Allah, Ampunilah dosa kami, ampunilah keteledoran kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami menghadapi kaum kafir”.

اللَّهُمَّ لاَ تُمْكِنُ الأَعْدَاءَ فِيْنَا وَلاَ تُسَلِّطْهُمْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ َيَخافُكَ وَلاَ يَرْحَمُنَا

“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau beri kemungkinan musuh berkuasa terhadap kami janganlah Engkau berikan kemungkinan mereka memerintah kami, walaupun kami mempunyai dosa. Janganlah Engkau jadikan yang memerintah kami, orang yang tidak takut kepada-Mu, dan tidak mempunyai kasih sayang terhadap kami”.

اللهُمَّ أَهْلِكِ الكَفَرَةَ الَّذِي يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَ يَكْذِبُوْنَ رَسُلَكَ وَ يُقَاتِلُوْنَ أَوْلِيَائَكَ

“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah orang-orang yang selalu menutup jalan Engkau, yang tidak memberikan kebebasan kepada agama-Mu, dan mereka-mereka yang mendustakan Rasul-Rasul Engkau,dan mereka yang memerangi orang-orang yang Engkau kasihi”.

اللهُمَّ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَ أَنْزِلْ بِهِمْ بَأْسَكَ الَّذِي لا َتَرُوْدَهُ عَنِ القَوْمِ الُمجْرِمِْينَ.

“Wahai Tuhan kami, hancurkanlah kesatuan mereka, dan pecah belah barisan mereka. Turunkan kepada mereka ‘azab sengsara-Mu, yang selalu Engkau timpakan kepada golongan-golongan yang selalu berbuat dosa”.

اللهُمَّ أَعِزِّ الإِسْلاَمِ وَ المُسْلِمِيْنَ وَ اخْذُلِ الكَفَرَةَ وَ المُشْرِكِيْنَ

“Wahai Tuhan kami, berilah kemuliaan kepada Islam dan kaum Muslimin, rendahkanlah orang-orang yang kafir dan orang musyrik”.

رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِى الآخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ العَلِيْمِ وَ تبُ ْعَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَ سَلاَمُ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَ اْلحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.

Semoga dengan pembahasan yang singkat ini dapat bermanfaat, bagi semua umat islam, khusus bagi penulis sendiri menajadi amal yang shaleh. Amie

Kisah Wafat-nya Kanjeng Nabi Muhammad SAW


Di antara rahmat Allah Azza wa Jalla kepada hamba-Nya adalah mengutus para rasul untuk menyerukan dakwah ilallâh. Setiap kali seorang nabi wafat, maka akan diutus nabi berikutnya sampai kemudian kenabian berakhir pada diri Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah aku”[al-Anbiyâ`/21:25]

Allah Azza wa Jalla telah menentukan nabi terakhir dan menjatuhkan pilihan-Nya pada Muhammad bin `Abdillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendapatkan berbagai keistimewaan dari Allah Azza wa Jalla yang tidak dimiliki oleh orang lain, sebagaimana umat Islam juga memiliki keistimewaan yang tidak ada pada agama sebelumnya.

Dalam Shahîh Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Dan sesungguhnya Allah memilih Kinânah dari anak keturunan Ismâîl, mememilih suku Quraisy dari bangsa Kinânah, memilih bani Hâsyim dari suku Quraisy, memilih diriku dari bani Hâsyim.[HR Muslim no. 4221]

Melalui hadits yang mulia ini, dapat diketahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pokok dari seluruh intisari kebaikan melalui tinjauan kemuliaan nasab, sebagaimana pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga terdapat pokok dari intisari-intisari keutamaan dan ketinggian derajat di sisi Allah Azza wa Jalla.

Seperti yang kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah Nabi penutup atau Nabi penutup yang berada di akhir jaman. Setelah Beliau, tidak ada lagi Nabi setelahnya. Kemudian lahir pertama kali Nabi Muhammad s‎hallallahu alaihi wasallam ternyata mengartikan bahwa mulainya awal hembusan angin Kiamat, seperti dalam hadits berikut ini, Dan diriwayatkan dari Qais bin Abi Hazim dari Abu Jubairah secara marfu’:

بُعِثْتُ فيِ نَسْمِ  السَّاعَةِ.

“Aku diutus pada awal hembusan angin Kiamat (awal tanda-tanda Kiamat).”

Diriwayatkan at-Tirmidzi bahwa jarak di utusnya Rasulullah dan hari kiamat hanya sedikit lagi, jaraknya sangat dekat, sedekat perbandingan panjang antara jari tengah dan telunjuk, inilah hadits tersebut :

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ، وَأَشَارَ أَبُو دَاوُدَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، فَمَا فَضَّلَ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى.

“Jarak antara diutusnya aku dan hari Kiamat seperti dua (jari) ini.” Abu Dawud memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Dia tidak melebihkan panjang salah satunya (kecuali hanya sedikit saja).”

Allah juga menerangkan bahwa Rasulullah adalah Nabi penutup dan sekaligus tanda akan datangnya akhir zaman, Allah Ta’ala berfirman:

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَٰكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi…” [Al-Ahzaab: 40]

Maka sepeninggalan Rasulullah dirasakan sangatlah hampa dan seperti gelap gulita bagi bumi itulah yang dirasakan para sahabat Rasulullah, seperti dalam hadits berikut ini:

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata:

لَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الَّذِي دَخَلَ فِيهِ رَسُـولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ؛ أَضَاءَ مِنْهَا كُلُّ شَـيْءٍ، فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ؛ أَظْلَمَ مِنْهَا كُلُّ شَيْءٍ، وَمَا نَفَضْنَا عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلأَيْدِي -وَإِنَّا لَفِي دَفْنِهِ- حَتَّى أَنْكَرْنَا قُلُوبَنَا.

“Di hari kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah segala sesuatu bercahaya, lalu ketika tiba hari wafatnya segala sesuatu menjadi gelap, dan tidaklah kami selesai menepuk-nepukkan tangan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam-ketika kami menguburnya sehingga kami mengingkari hati kami (tidak menemukan keadaan seperti sebelumnya).”

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah mereka semua merasakan suasana hati yang berubah dari yang mereka rasakan ketika masih bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa keharmonisan, kejernihan, dan kelembutan. Hal itu karena mereka telah kehilangan segala hal yang diberikan oleh beliau berupa pengajaran dan pendidikan.”

Sekitar tiga bulan sepulang menunaikan haji wada’, beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menderita sakit yang cukup serius. Beliau pertama kali mengeluhkan sakitnya di rumah Ummul-Mukminin Maimunah radliyallaahu ’anhaa. Beliau sakit selama 10 hari,dan akhirnya wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul-Awwal pada usia 63 tahun.

Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam meminta ijin kepada istri-istrinya agar diperbolehkan untuk dirawat di rumah ’Aisyah Ummul-Mukminiin.‎ Ia (’Aisyah) mengusap-usapkankan tangan beliau pada badan beliau sambil membacakan surat Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas).

Ketika beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan kritis disebutkan dalam Sebuah Hadits

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى، أَخْبَرَنَا هِشَامٌ، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " لَمَّا حُضِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَفِي الْبَيْتِ رِجَالٌ فِيهِمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ، قَالَ: هَلُمَّ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ، قَالَ عُمَرُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَهُ الْوَجَعُ وَعِنْدَكُمُ الْقُرْآنُ، فَحَسْبُنَا كِتَابُ اللَّهِ وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَاخْتَصَمُوا، فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: قَرِّبُوا يَكْتُبْ لَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِتَابًا لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ: مَا قَالَ عُمَرُ

Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Muusaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafat, maka di rumah beliau terdapat beberapa orang laki-laki yang di antaranya adalah ‘Umar bin Al-Khaththaab. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Kesinilah, akan aku tuliskan kepada kalian satu tulisan yang (dengannya) kalian tidak akan tersesat selama-lamanya”. ‘Umar berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit dan Al-Qur’an di tengah kalian. Maka, cukuplah bagi kami Kitabullah”. Ahlul-Bait pun berselisih dan bertengkar. Di antara mereka ada yang berkata : “Dekatkan pena kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam agar beliau menulis wasiat yang kalian tidak akan sesat selamanya”. Sebagian lagi mengatakan seperti ucapan Umar…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7366].

Sebuah riwayat shahih menyebutkan bahwa beliau meminta alat tulis tersebut pada hari Kamis, 4 hari sebelum beliau wafat. «Seandainya permintaan tersebut wajib, niscaya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak akan meninggalkannya karena adanya perselisihan para shahabat pada waktu waktu itu. Beliau tidak mungkin meninggalkan tabligh (atas risalah) meskipun ada yang menyelisihi. Para shahabat sudah biasa mengkonfirmasi kepada beliau dalam beberapa perkara yang ada perintah secara pasti».

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ أَبُو الزُّبَيْرِ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا وَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ كَرْبِ الْمَوْتِ مَا وَجَدَ قَالَتْ فَاطِمَةُ وَا كَرْبَ أَبَتَاهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا كَرْبَ عَلَى أَبِيكِ بَعْدَ الْيَوْمِ إِنَّهُ قَدْ حَضَرَ مِنْ أَبِيكِ مَا لَيْسَ بِتَارِكٍ مِنْهُ أَحَدًا الْمُوَافَاةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ali] berkata, telah menceritakan kepada kami [Abdullah Ibnu Az Zubair Abu Az Zubair] berkata, telah menceritakan kepada kami [Tsabit Al Bunani] dari [Anas bin Malik] berkata, "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merasakan kerasnya sakaratul maut, Fatimah berkata, "Betapa sakitnya engkau wahai ayah! " lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bapakmu tidak akan mendapatkan sakit setelah hari ini. Sungguh, telah datang kepada bapakmu sesuatu yang tidak akan pernah dilewatkan oleh seorang pun, kematian. [HR. ibnumajah No.1618].

Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam memanggil Fathimah radliyallaahu ’anhaa yang kemudian membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah menangis. Beliau memanggil kembali dan membisikinya yang dengan itu kemudian Fathimah tersenyum. Setelah wafat, Fathimah menjelaskan bahwa ia menangis karena dibisiki bahwa beliau akan wafat, dan ia tersenyum karena dibisiki bahwa ia merupakan anggota keluarganya yang pertama yang akan menyusul beliau. ‎Dan salah satu tanda nubuwwah tersebut akhirnya terbukti.

Sakit yang beliau derita semakin bertambah berat sehingga beliau tidak sanggup keluar untuk shalat bersama para shahabat. 

Hadits panjang yang dikeluarkan oleh Imam At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamail Muhammadiyyah, Imam An-Nasai di dalam Tafsir-nya, dan Imam Thabrani dalam ‎Mu’jamul Kabir.

أُغْمِيَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فِي مَرَضِهِ فَأَفَاقَ ، فَقَالَ : ” حَضَرَتِ الصَّلاةُ ؟ ” فَقَالُوا : نَعَمْ . فَقَالَ : ” مُرُوا بِلالا فَلْيُؤَذِّنْ ، وَمُرُوا أَبَا بَكْرٍ أَنْ يُصَلِّيَ لِلنَّاسِ ” أَوْ قَالَ : بِالنَّاسِ ، قَالَ : ثُمَّ أُغْمِيَ عَلَيْهِ ، فَأَفَاقَ ، فَقَالَ : ” حَضَرَتِ الصَّلاةُ ؟ ” فَقَالُوا : نَعَمْ . فَقَالَ : ” مُرُوا بِلالا فَلْيُؤَذِّنْ ، وَمُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ ” ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ : إِنَّ أَبِي رَجُلٌ أَسِيفٌ ، إِذَا قَامَ ذَلِكَ الْمَقَامَ بَكَى فَلا يَسْتَطِيعُ ، فَلَوْ أَمَرْتَ غَيْرَهُ ، قَالَ : ثُمَّ أُغْمِيَ عَلَيْهِ فَأَفَاقَ فَقَالَ : ” مُرُوا بِلالا فَلْيُؤَذِّنْ ، وَمُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ ، فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ أَوْ صَوَاحِبَاتُ يُوسُفَ ” ، قَالَ : فَأُمِرَ بِلالٌ فَأَذَّنَ ، وَأُمِرَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى بِالنَّاسِ ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَجَدَ خِفَّةً ، فَقَالَ : ” انْظُرُوا لِي مَنْ أَتَّكِئُ عَلَيْهِ ” ، فَجَاءَتْ بَرِيرَةُ , وَرَجُلٌ آخَرُ ، فَاتَّكَأَ عَلَيْهِمَا فَلَمَّا رَآهُ أَبُو بَكْرٍ ذَهَبَ لِينْكُصَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَنْ يَثْبُتَ مَكَانَهُ ، حَتَّى قَضَى أَبُو بَكْرٍ صَلاتَهُ ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبِضَ ، فَقَالَ عُمَرُ : وَاللَّهِ لا أَسْمَعُ أَحَدًا يَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , قُبِضَ إِلا ضَرَبْتُهُ بِسَيْفِي هَذَا ، قَالَ : وَكَانَ النَّاسُ أُمِّيِّينَ لَمْ يَكُنْ فِيهِمْ نَبِيٌّ قَبْلَهُ ، فَأَمْسَكَ النَّاسُ ، فَقَالُوا : يَا سَالِمُ ، انْطَلِقْ إِلَى صَاحِبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَادْعُهُ ، فَأَتَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأَتَيْتُهُ أَبْكِي دَهِشًا ، فَلَمَّا رَآنِي ، قَالَ : أَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قُلْتُ : إِنَّ عُمَرَ , يَقُولُ : لا أَسْمَعُ أَحَدًا يَذْكُرُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُبِضَ إِلا ضَرَبْتُهُ بِسَيْفِي هَذَا ، فَقَالَ لِي : انْطَلِقْ ، فَانْطَلَقْتُ مَعَهُ ، فَجَاءَ هُوَ وَالنَّاسُ قَدْ دَخَلُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، أَفْرِجُوا لِي ، فَأَفْرَجُوا لَهُ فَجَاءَ حَتَّى أَكَبَّ عَلَيْهِ وَمَسَّهُ ، فَقَالَ : إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ سورة الزمر آية 30 , ثُمَّ قَالُوا : يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، فَعَلِمُوا أَنْ قَدْ صَدَقَ ، قَالُوا : يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَيُصَلَّى عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالُوا : وَكَيْفَ ؟ قَالَ : يَدْخُلُ قَوْمٌ فَيُكَبِّرُونَ وَيُصَلُّونَ , وَيَدْعُونَ ، ثُمَّ يَخْرُجُونَ ، ثُمَّ يَدْخُلُ قَوْمٌ فَيُكَبِّرُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَدْعُونَ ، ثُمَّ يَخْرُجُونَ ، حَتَّى يَدْخُلَ النَّاسُ ، قَالُوا : يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُدْفَنُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قَالُوا : أَيْنَ ؟ قَالَ : فِي الْمكَانِ الَّذِي قَبَضَ اللَّهُ فِيهِ رُوحَهُ ، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَقْبِضْ رُوحَهُ إِلا فِي مَكَانٍ طَيِّبٍ . فَعَلِمُوا أَنْ قَدْ صَدَقَ ، ثُمَّ أَمَرَهُمْ أَنْ يَغْسِلَهُ بَنُو أَبِيهِ , وَاجْتَمَعَ الْمُهَاجِرُونَ يَتَشَاوَرُونَ ، فَقَالُوا : انْطَلِقْ بِنَا إِلَى إِخْوَانِنَا مِنَ الأَنْصَارِ نُدْخِلُهُمْ مَعَنَا فِي هَذَا الأَمْرِ ، فَقَالَتِ الأَنْصَارُ : مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ : مَنْ لَهُ مثل هَذِهِ الثَّلاثِ ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا سورة التوبة آية 40 مَنْ هُمَا ؟ قَالَ : ثُمَّ بَسَطَ يَدَهُ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ بَيْعَةً حَسَنَةً جَمِيلَةً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pingsan karena sakitnya (sakaratul maut), kemudian sadarkan diri dan beliau berkata, “Apakah (waktu) shalat sudah masuk?” Maka orang-orang sekitarnya menjawab, “Iya.” Maka Rasulullah berkata, “Perintahlah Bilal untuk adzan dan perintahkan Abu Bakar untuk shalat menjadi imam manusia.” Kemudian Rasulullah pingsan lagi, kemudian sadar lagi, dan berkata, “Shalat sudah masuk?” Para sahabat yang ada di sekitarnya menjawab, “Iya.” Rasulullah berkata, “Perintahkan Bilal untuk adzan dan perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat.” …”

Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :

مروا أبا بكر فليصل بالناس

”Suruhlah Abu Bakr agar shalat mengimami manusia”.

’Aisyah berusaha agar beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menunjuk orang lain saja karena khawatir orang-orang akan berprasangka yang bukan-bukan kepada ayahnya (Abu Bakr). ’Aisyah berkata :

إن أبا بكر رجل رقيق ضعيف الصوت كثير البكاء إذا قرأ القرآن

”Sesungguhnya Abu Bakr itu seorang laki-laki yang fisiknya lemah, suaranya pelan, mudah menangis ketika membaca Al-Qur’an”.

Namun beliau tetap bersikeras dengan perintahnya tersebut. Akhirnya Abu Bakr maju menjadi imam shalat bagi para shahabat. Pada satu hari, Nabi ‎shallallaahu ’alaihi wasallam keluar dengan dipapah oleh Ibnu ’Abbas dan ’Ali radliyallaahu ’anhuma untuk shalat bersama para shahabat, dan kemudian beliau berkhutbah. Beliau memuji-muji serta menjelaskan keutamaan Abu Bakr ‎radliyallaahu ’anhu dalam khutbahnya tersebut dimana ia (Abu Bakr) disuruh memilih oleh Allah antara dunia dan kahirat, namun ia memilih akhirat.

Khutbah terakhir yang beliau sampaikan tersebut adalah 5 hari sebelum wafat beliau. Beliau berkata di dalamnya :

إن عبدًا عرضت عليه الدنيا وزينتها فاختار الآخرة

”Sesungguhnya ada seorang hamba yang ditawari dunia dan perhiasannya, namun justru ia memilih akhirat”.

Abu Bakr paham bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ia pun menangis. Melihat hal tersebut, orang-orang merasa heran karena mereka tidak paham apa yang dirasakan oleh Abu Bakr.

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam membuka tabir kamar ’Aisyah pada waktu shalat Shubuh, hari dimana beliau wafat, dan kemudian beliau memandang kepada para shahabat yang sedang berada pada shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum dan tertawa kecil seakan-akan sedang berpamitan kepada mereka. Para shahabat merasa sangat gembira dengan keluar beliau tersebut. Abu Bakr pun mundur karena mengira bahwa Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ingin shalat bersama mereka. Namun beliau memberikan isyarat kepada mereka dengan tangannya agar menyelesaikan shalat mereka. Beliau kemudian kembali masuk kamar sambil menutup tabir.

Fathimah masuk menemui beliau shallallaahu ’alaihi wasallam dan berkata : ”Alangkah berat penderitaan ayah”. Maka beliau menjawab :

ليس على أبيك كرب بعد اليوم

”Setelah hari ini, tidak akan ada lagi penderitaan”.

Usamah bin Zaid masuk, dan beliau memanggilnya dengan isyarat. Beliau sudah tidak sanggup lagi berbicara dikarenakan sakitnya yang semakin berat.

Pada saat-saat menjelang ajal, beliau bersandar di dada ’Aisyah. ’Aisyah mengambil siwak pemberian dari saudaranya yang bernama ’Abdurrahman. Ia lalu menggigit siwak tersebut dengan giginya dan kemudian memberikannya kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam. Beliaupun lantas bersiwak dengannya.

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kemudian memasukkan tangannya ke dalam bejana yang berisi air dan membasuh mukanya. Beliau pun bersabda :

لا إله إلا الله إن للموت سكرات

”Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah. Sesungguhnya pada setiap kematian itu ada saat-saat sekarat”.

Dan ’Aisyah samar-samar masih sempat mendengar sabda beliau :

مع الذين أنعم الله عليهم

”Bersama orang-orang yang dikaruniai nikmat oleh Allah”.

Lalu beliau pun berdoa :

اللهم في الرفيق الأعلى

”Ya Allah, pertemukan aku dengan Ar-Rafiiqul-A’laa (Allah)”.

’Aisyah mengetahui bahwasannya beliau pada saat itu disuruh memilih, dan beliau pun memilih Ar-Rafiiqul-A’laa(Allah).

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَوْشَب، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عُرْوَة، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ نَبِيٍّ يَمْرَضُ إِلَّا خُيِّر بَيْنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ" وَكَانَ فِي شَكْوَاهُ الَّتِي قُبِضَ فِيهِ، فَأَخَذَتْهُ بُحَّة شَدِيدَةٌ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: {مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ} فَعَلِمْتُ أَنَّهُ خُيِّر.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Hausyab, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari ayahnya, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tiada seorang nabi pun yang mengalami sakit melainkan ia disuruh memilih antara dunia dan akhirat. Tersebutlah pula bahwa ketika Nabi Saw. dalam sakit yang membawa kepada kewafatannya, beliau terserang rasa sakit yang sangat, lalu Siti Aisyah mendengarnya mengucapkan kalimat berikut:bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Maka Siti Aisyah mengetahui bahwa saat itu Nabi Saw. sedang disuruh memilih oleh Allah Swt. 
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Syu'bah, dari Sa'd ibnu Ibrahim dengan lafaz yang sama.

Hadis di atas merupakan makna dari sabdanya yang menyebutkan:

"اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى" ثَلَاثًا ثُمَّ قَضَى،

Ya Allah, (aku memilih) bersama-sama Rafiqul A'la.Kalimat tersebut beliau ucapkan sebanyak tiga kali, kemudian wafatlah beliau.
Semoga salawat dan salam yang paling afdal terlimpahkan kepadanya.

Akhirnya beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun wafat pada waktu Dluhaa  - dan ada yang mengatakan pada waktu tergelincirnya matahari - sedangkan kepala beliau di pangkuan ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa. Abu Bakr ‎radliyallaahu ’anhu segera masuk, dimana ketika wafatnya beliau ‎shallallaahu ’alaihi wasallam ia tidak berada di tempat. Ia membuka penutup wajah beliau, dan kemudian ia menutupnya kembali dan menciumnya. Ia pun keluar menemui orang-orang. Pada waktu itu, orang-orang berada dalam keadaan percaya dan tidak percaya atas khabar wafatnya beliau ‎shallallaahu ’alaihi wasallam. ’Umar ‎radliyallaahu ’anhu termasuk orang yang tidak percaya atas berita wafatnya beliau tersebut.

‎Allah telah berfirman,

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran : 144).”

Demikian pula telah ditetapkan di dalam kitab-kitab sahih serta kitab-kitab musnad, juga kitab-kitab sunnah serta kitab-kitab Islam lainnya sebuah hadis yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang memberikan pengertian adanya suatu kepastian. Kami mengetengahkan hal tersebut di dalam kedua kitab Musnad Syaikhain, yaitu Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma. Disebutkan bahwa ketika Rasulullah Saw. wafat, Abu Bakar As-Siddiq r.a. membacakan ayat ini.

قَالَ الْبُخَارِيُّ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَير، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ عُقيل عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمة؛ أَنَّ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَقْبَلُ عَلَى فَرَس مِنْ مَسْكنه بالسَّنْح حَتَّى نَزَلَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَلَمْ يُكلم النَّاسَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى عَائِشَةَ فتيمَّم رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلموَهُوَ مُغَشى بِثَوْبٍ حِبَرَةٍ، فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ [صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ] ثُمَّ أَكُبَّ عَلَيْهِ وقَبَّله وَبَكَى، ثُمَّ قَالَ: بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي. وَاللَّهِ لَا يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ موْتَتَين؛ أَمَّا الْمَوْتَةُ الَّتِي كُتبت عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّها.
وَقَالَ الزُّهْرِيُّ: وَحَدَّثَنِي أَبُو سَلمة عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ أَبَا بَكْرٍ خَرَجَ وَعُمَرُ يُحَدِّث النَّاسَ فَقَالَ: اجْلِسْ يَا عُمَرُ فَأَبَى عمرُ أَنْ يَجْلِسَ، فَأَقْبَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ وَتَرَكُوا عُمَرَ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَّا بَعْدُ، مَنْ كانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيّ لَا يَمُوتُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ} إِلَى قَوْلِهِ: {وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ} قَالَ: فَوَاللَّهِ لكَأنّ النَّاسَ لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ هَذِهِ الْآيَةَ حَتَّى تَلَاهَا أَبُو بَكْرٍ، فَتَلَقَّاهَا النَّاسُ مِنْهُ كُلُّهُمْ، فَمَا سَمِعَهَا بَشَرٌ مِنَ النَّاسِ إِلَّا تَلَاهَا.
وَأَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ المُسَيَّب أَنَّ عُمر قَالَ: وَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ تَلَاهَا فَعقرتُ حَتَّى مَا تُقِلُّنِي رِجْلَايَ وَحَتَّى هَوَيتُ إِلَى الْأَرْضِ.

Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Al-Lais, dari Aqil, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, bahwa Siti Aisyah menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar r.a. (di hari wafatnya Rasulullah Saw.) tiba memakai kendaraan kuda dari tempat tinggalnya yang terletak di As-Sanah, lalu ia turun dan masuk ke dalam Masjid (Nabawi). Orang-orang tidak ada yang berbicara, hingga Abu Bakar masuk menemui Siti Aisyah. Lalu menuju ke arah jenazah Rasulullah Saw. yang saat itu telah diselimuti dengan kain hibarah (kain yang bersalur). Kemudian ia Membuka penutup wajah Rasulullah Saw., lalu menangkupinya dan menciuminya seraya menangis. Setelah itu Abu Bakar berkata:  Demi Ayah dan Ibuku menjadi tebusanmu. Demi Allah, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu. Adapun kematian yang telah ditetapkan atas dirimu sekarang telah engkau laksanakan, 

Az-Zuhri mengatakan telah menceritakan kepadaku Abu Salamah, dari Ibnu Abbas bahwa ketika Umar sedang berbicara dengan orang-orang, Abu Bakar keluar, lalu berkata, "Duduklah kamu, hai Umar." Lalu Abu Bakar berkata: Amma ba'du Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat Dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup kekal dan tidak akan mati.
Kemudian Ia membacakan firman-Nya:Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul Sampai dengan firman-Nya: dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (Ali Imran: 144) Selanjutnya Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Allah, seakan-akan orang-orang tidak menyadari bahwa Allah Swt. telah menurunkan ayat ini sebelum Abu Bakar membacakannya kepada mereka. Maka semua orang ikut membacakannya bersama bacaan Abu Bakar dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya melainkan  ia ikut membacanya."

Telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnul Musayab bahwa sahabat Umar r.a. pernah mengatakan, "Demi Allah aku masih dalam keadaan belum sadar kecuali setelah aku mendengar Abu Bakar rnembacakannya, maka tubuhku penuh dengan keringat hingga kedua kakiku tidak dapat menopang diriku lagi karena lemas, hingga aku terjatuh ke tanah."

Abul Qasim At-Tabrani mengatakan telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qainad. telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Nasr dari samak ibnu Harb. dari ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa sahabat ali —-semasa Rasulullah Saw. masih hidup— pernah membacakan firman-Nya:Apakah jika dia wafat atau terbunuh  kalian berbalik ke belakang? (Ali lmran: 144), hingga akhir ayat. Lalu ia berkata: "Demi Allah. kami tidak akan berbalik mundur ke belakang setelah Allah memberi kami petunjuk. Demi Allah, sekiranya beliau wafat atau terbunuh, sungguh aku akan tetap bertempur meneruskan perjuangannya hingga tetes darah penghabisan. Demi Allah, sesungguhnya aku adalah saudaranya, walinya anak paman-nya, dan ahli warisnya. siapakah orangnya yang  lebih berhak terhadap beliau selain daripada diriku sendiri."

Mempersiapkan dan Melepas Kepergian Jasad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Yang Mulia.

Sebelum mereka, para Sahabat radhiyallahu'anhum mengurus jenazah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam , telah terjadi perselisihan dalam masalah kekhilafahan, sehingga berlangsung dialog, diskusi, perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin di Saqifah kebun Bani Sa’idah, dan akhirnya mereka sepakat untuk mengangkat Abu Bakar radhiyallahu 'anhu sebagai Khalifah pertama setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Dan hal ini berlangsung sepanjang hari senin hingga akhir malam. Malam Selasa mendekati Subuh jasad beliau ditutup dengan kain panjang, sedangkan pintu rumah tertutup kecuali keluarganya

Kemudian pada hari selasa mereka memandikan Rasulullah tanpa melepas pakaiannya, orang-orang yang memandikannya adalah Al-‘Abbas, Ali, al-Fadhl bin al-Abbas, Qutsm bin al-Abbas, Saqran budak Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Usamah bin Zaid dan Aus bin Khauli radhiyallahu'anhum. Al-Abbas, al-Fadhl bin al-Abbas, Qutsm yang membalik jenazah beliau, sedangkan Usamah dan Syaqran yang menyiramkan airnya, sedang Ali yang membasuhnya dan Aus yang menyadarkannya kedadanya

Kemudian mereka mengkafaninya dengan tiga helai kain tenun Yaman.Kain itu berwarna putih terbuat dari katun, tanpabaju dan surban, Mereka mengenakan pakaian tersebut padanya satu persatu secara berlapis.
 
Kemudian mereka bersellisih tentang tempat pemakamannya, Abu Bakar radhiyallahu 'anhu berkata:”Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,”Tidaklah seorang Nabi wafat, kecuali dikubur di tempat ia wafat." 

Maka Abu Thalhah mengangkat kasur yang dipakai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada saat meninggal, kemudian ia menggali tanah yang ada di bawahnya, dan membentuk liang lahad.

Orang-orang memasuki kamar secara bergantian sepuluh-sepuluh. Mereka menshalatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam secara sendiri-sendiri tanpa ada seorang pun yang mengimami mereka. Pertama kali yang menshalatkan adalah keluargany, kemudian orang-orang Muhajirin, setelah itu orang-orang Anshar. Para wanita menshalatkannya setelah kaum pria, setelah itu anak-anak kecil, atau anak-anak kecil dahulu kemudian para wanita.
Hal ini berlangsung pada hari Selasa sampai malam dan masuk malam Rabu.

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ أَنْبَأَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا أَرَادُوا أَنْ يَحْفِرُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثُوا إِلَى أَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَّاحِ وَكَانَ يَضْرَحُ كَضَرِيحِ أَهْلِ مَكَّةَ وَبَعَثُوا إِلَى أَبِي طَلْحَةَ وَكَانَ هُوَ الَّذِي يَحْفِرُ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَكَانَ يَلْحَدُ فَبَعَثُوا إِلَيْهِمَا رَسُولَيْنِ وَقَالُوا اللَّهُمَّ خِرْ لِرَسُولِكَ فَوَجَدُوا أَبَا طَلْحَةَ فَجِيءَ بِهِ وَلَمْ يُوجَدْ أَبُو عُبَيْدَةَ فَلَحَدَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَلَمَّا فَرَغُوا مِنْ جِهَازِهِ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ وُضِعَ عَلَى سَرِيرِهِ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ دَخَلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَالًا يُصَلُّونَ عَلَيْهِ حَتَّى إِذَا فَرَغُوا أَدْخَلُوا النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا فَرَغُوا أَدْخَلُوا الصِّبْيَانَ وَلَمْ يَؤُمَّ النَّاسَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدٌ لَقَدْ اخْتَلَفَ الْمُسْلِمُونَ فِي الْمَكَانِ الَّذِي يُحْفَرُ لَهُ فَقَالَ قَائِلُونَ يُدْفَنُ فِي مَسْجِدِهِ وَقَالَ قَائِلُونَ يُدْفَنُ مَعَ أَصْحَابِهِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا قُبِضَ نَبِيٌّ إِلَّا دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ قَالَ فَرَفَعُوا فِرَاشَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي تُوُفِّيَ عَلَيْهِ فَحَفَرُوا لَهُ ثُمَّ دُفِنَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَطَ اللَّيْلِ مِنْ لَيْلَةِ الْأَرْبِعَاءِ وَنَزَلَ فِي حُفْرَتِهِ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ وَالْفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ وَقُثَمُ أَخُوهُ وَشُقْرَانُ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ أَوْسُ بْنُ خَوْلِيٍّ وَهُوَ أَبُو لَيْلَى لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ أَنْشُدُكَ اللَّهَ وَحَظَّنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ عَلِيٌّ انْزِلْ وَكَانَ شُقْرَانُ مَوْلَاهُ أَخَذَ قَطِيفَةً كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُهَا فَدَفَنَهَا فِي الْقَبْرِ وَقَالَ وَاللَّهِ لَا يَلْبَسُهَا أَحَدٌ بَعْدَكَ أَبَدًا فَدُفِنَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Telah menceritakan kepada kami [Nashr bin Ali Al Jahdlami] berkata, telah memberitakan kepada kami [Wahb bin Jarir] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku] dari [Muhammad bin Ishaq] berkata, telah menceritakan kepadaku [Husain bin Abdullah] dari [Ikrimah] dari [Ibnu Abbas] ia berkata, "Ketika para sahabat akan membuatkan lubang untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mereka mengutus seseorang menemui Abu Ubaidah Ibnul Jarrah, dia adalah orang yang membuat lubang bagi penduduk Makkah. Sementara yang lain mengirim utusan menemui Abu Thalhah, dia adalah orang yang membuat lubang bagi penduduk Madinah, tetapi dengan model liang lahad. Lalu mereka mengutus untuk menjemput keduanya, para sahabat berkata, "Ya Allah, berilah mana yang lebih baik bagi Rasul-Mu. " Akhirnya mereka dapat menemukan Abu Thalhah dan membawanya, sementara Abu Ubaidah tidak ditemukan. Kemudian Abu Thalhah membuatkan lubang untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. " Ibnu Abbas berkata, "Ketika persiapan untuk Rasulullah telah selesai pada hari selasa, beliau diletakkan di atas kasur dalam rumahnya. Kemudian orang-orang masuk sekelompok demi sekelompok menshalati jenazah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah mereka selesai, para sahabat mempersilahkan kaum wanita untuk masuk (shalat), Setelah selesai mereka mempersilahkan anak-anak. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi imam bagi orang-orang ketika menshalati Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kaum muslimin berselisih di mana lubang Rasulullah akan digali, sebagian mengatakan, "Sebaiknya beliau dikubur dalam masjidnya, " sebagian yang lain berkata, "Sebaiknya beliau dikubur bersama para sahabatnya. " Lalu [Abu Bakar] berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada seorang Nabi yg meninggal kecuali dikuburkan pada tempat ia meninggal. Ibnu Abbas berkata, Kasur Rasulullah yg beliau wafat di atasnya diangkat, lalu mereka membuat lubang, setelah itu Nabi dikuburkan pada tengah malam di malam rabu. Sementara yg turun ke kuburan beliau adl Ali bin Abu Thalib, Al Fadll Ibnul Abbas, Qutsam saudaranya & Syuqran mantan budak Rasulullah . Aus bin Khauli -ia adl Abu Laila- berkata kepada Ali bin Abu Thalib, Aku bersumpah kepada Allah & kedudukan kami di sisi Rasulullah atas kamu (maksudnya; minta izin turun ke lubang beliau). Maka Ali pun berkata, Turunlah. Syuqran adl budak beliau, ia mengambil kain kasar yg pernah Rasulullah kenakan, kemudian ia memasukkannya ke dalam kuburan beliau seraya berkata, Demi Allah, tak ada yg akan mengenakannya setelahmu, selamanya! maka kain itu pun dikubur bersama Rasulullah . [HR. ibnumajah No.1617].

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...