Minggu, 24 Oktober 2021

Mengapa Nabi Musa Ingin Menjadi Umat Muhammad???

 

Suatu kemuliaan sekaligus kebanggaan, kita diciptakan oleh Allah SWT menjadi umat paling mulia dari semua umat dengan Nabi yang paling mulia dari semua nabi. Betapa besarnya anugerah ini, yang layak kita renungkan untuk disyukuri sehingga membangkitkan semangat gairah kita untuk menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi Allah ini dengan melaksanakan syariatNya dan kesunnahan NabiNya.

Dan sebaliknya, jangan kita menyia-nyiakan anugerah mulia ini, dengan kita menghinakan dan lalai dalam menjalankan syariat Allah, serta menyakiti hati Baginda Rasulullah dengan menelantarkan sunnah-sunnah beliau.

Kita adalah ummat Nabi Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam yang mempunyai tugas melanjutkan risalah beliau. Kita mewarisi tugas beliau untuk menyampaikan apa yang telah beliau bawa, yakni Islam, kepada manusia sehingga dapat menjadikan dunia ini tempat yang terang oleh  cahaya Islam.

Kita bukanlah seperti kaum Nabi-nabi terdahulu. Mereka adalah kaum (qoum), yaitu yang menerima ajaran dari Nabi mereka dan mereka laksanakan untuk diri mereka sendiri. Namun kita adalah ummat, yaitu yang menerima ajaran dari Nabi kita Nabi Muhammad saw. untuk kita amalkan dan kemudian kita sampaikan (kita dakwahkan). Kita adalah ummat, yang mewarisi tugas kerasulan Nabi Muhammad saw.

Kita adalah ummat yang diirikan oleh Nabi Musa ‘alaihissalaam. Beliau pernah sangat marah tatkala menemukan kaumnya menyeleweng dan menyembah patung buatan Samiri sekembalinya dari menyepi untuk berdialog dengan Allah. Sebegitu marahnya beliau hingga luh-luh (taurat) pun beliau lemparkan dan berpecahan. Kabar tentang ini bisa dibaca di surah Al-A’raf mulai ayat 150.

وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الألْوَاحَ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ (154) 
Sesudah amarah Musa menjadi reda. lalu diambilnya (kembali) luh-luh ‎(Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
Mengenai firman Allah Swt.:
{وَلَمَّا سَكَتَ}
Sesudah terdiam (Al-A'raf: 154) 
artinya reda dan tenang.
{عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ}
kemarahan Musa. (Al-A'raf: 154)
yakni kemarahannya terhadap kaumnya telah reda dan menjadi tenang kembali.
{أَخَذَ الألْوَاحَ}
lalu Musa mengambil (kembali) luh-luh itu. (Al-A'raf: 154)
Maksudnya, dipungutnya kembali luh-luh yang tadi ia lemparkan pada saat ia sedang marah sekali karena mereka menyembah patung anak lembu. Kemarahannya itu ditimbulkan oleh rasa cemburunya karena Allah dan kebenciannya terhadap perbuatan tersebut karena Allah.
{وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ}
dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-A'raf: 154)
Kebanyakan ulama tafsir mengatakan, "Sesungguhnya ketika Musa melemparluh-luh itu, maka luh-luh itu pecah berantakan, kemudian Musa mengumpulkannya kembali." Karena itulah menurut sebagian ulama Salaf, di dalamnya Musa menjumpai tertulis petunjuk dan rahmat, sedangkan perincian isi luh-luh itu telah lenyap. Mereka menduga bahwa pecahannya masih tetap ada tersimpan di dalam perbendaharaan raja-raja dari kalangan Bani Israil, lalu berpindah tangan sampai kepada negara Islam. Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran kisah ini.
Adapun menurut dalil yang jelas menyatakan bahwa luh-luh itu pecah ketika dilemparkan oleh Musa, luh-luhitu terbuat dari permata surga. Allah Swt. menceritakan bahwa ketika Musa mengambilnya kembali sesudah melemparkannya, di dalamnya ia menjumpai: petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Tuhannya. (Al-A'raf: 154)
Ar-rahbah atau takut mengandung makna tunduk patuh, karena itulah maka ia di-muta'addi-kan ‎(dihubungkan) dengan memakai huruf ‎lam. 

‎Qatadah telah mengajakan sehubungan dengan makna firman-Nya: lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat)itu. (Al-A'raf: 154) Musa berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku lihat dalam tulisan luh-luh itu tertera nama suatu umat yang merupakan sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk umat manusia: mereka memerintahkan (manusia) berbuat kebajikan dan melarang (manusia) berbuat mungkar, maka jadikanlah mereka itu sebagai umatku.  Allah Swt. menjawab, "Itu adalah umat Ahmad (Nabi Saw.)." Musa berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku lihat dalam luh-luh itu tertera perihal suatu umat; mereka adalah orang-orang yang terakhir, tetapi mereka adalah orang-orang yang terdahuIu.""Yakni paling akhir penciptaannya, tetapi paling dahulu masuk surga. Nabi Musa berkata, "Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku." Allah Swt. berfirman, "Mereka adalah umat Ahmad (yakni Nabi Muhammad Saw.)." Musa berkata, "Wahai Tuhanku, dalam tulisan luh-luh itu aku menjumpai suatu umat yang kitab-kitab mereka adalah dada mereka, mereka membacanya secara hafalan. Padahal orang-orang sebelum mereka membaca kitabnya dengan melihatnya, hingga apabila kitab mereka diangkat, maka mereka tidak hafal sesuatu pun darinya dan tidak mengingatnya lagi. Dan sesungguhnya Allah telah memberikan kepada umat itu suatu hafalan (kekuatan daya hafal) yang belum pernah diberikan oleh Allah kepada suatu umat pun." Musa melanjutkan perkataannya, "Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku." Allah Swt. menjawab, "Mereka adalah umat Ahmad." Musa berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melihat dalam luh-luh itu tertuliskan tentang suatu umat yang beriman kepada kitab-kitab terdahulu dan kitab yang terakhir, dan mereka memerangi berbagai macam kesesatan, hingga mereka memerangi si buta sebelah yang pendusta (Dajjal), maka jadikanlah mereka sebagai umatku." Allah Swt. berfirman, "Mereka adalah umat Ahmad." Musa berkata, "Ya Tuhanku, aku menjumpai di dalam luh-luh itu tertuliskan suatu umat yang sedekah mereka dimakan oleh mereka sendiri, dimasukkan ke dalam perut mereka, tetapi mereka beroleh pahala dari sedekahnya. Sedangkan di kalangan umat-umat sebelum mereka, apabila ada suatu sedekah, Lalu sedekah itu diterima, maka Allah mengirimkan kepadanya api, kemudian api itu melahapnya. Jika sedekah itu ditolak, maka dimakan oleh hewan-hewan buas dan burung-burung pemangsa. Dan sesungguhnya Allah mengambil sedekah (zakat) dari kalangan hartawan mereka untuk kaum fakir miskin mereka." Musa melanjutkan perkataannya, "Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku." Allah Swt. menjawab, "Mereka adalah umat Ahmad." Musa berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku temui di dalam luh-luh itu tertuliskan suatu umat yang apabila seseorang dari mereka berniat akan melakukan suatu kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya, maka dicatatkan baginya pahala satu kebaikan. Jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan baginya pahala sepuluh kebaikan yang semisal dengan kebaikannya sampai tujuh ratus kali lipat. Ya Tuhanku, jadikanlah mereka sebagai umatku. Allah Swt. menjawab, "Mereka adalah umat Ahmad." Musa berkata, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku lihat di dalam luh-luh itu tertuliskan perihal suatu umat, mereka adalah orang-orang memberi syafaat dan diberi izin untuk memberikan syafaat. Maka jadikanlah mereka sebagai umatku." Allah Swt. berfirman, "Mereka adalah umat Ahmad." Qatadah mengatakan, diceritakan kepada kami bahwa setelah itu Nabi Musa a.s. mengesampingkan ‎luh-luh itu dan berdoa, "Ya Allah, jadikanlah diriku termasuk umat Ahmad (yakni Nabi Muhammad Saw.)
Allah melebihkan dan menjanjikan umat Nabi Muhammad saw dengan beberapa fadhilah yang agung, simak ulasannya sebagai berikut:

وَعَنْ كَعْبِ الْأَحْبَارِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، قَالَ: قَرَأْتُ فِي بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ، يَا مُوسَى رَكْعَتَانِ يُصَلِّيهِمَا أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ، وَهِيَ صَلَاةُ الْغَدَاةِ، مَنْ يُصَلِّيهِمَا غَفَرْتُ لَهُ مَا أَصَابَ مِنَ الذُّنُوبِ مِنَ لَيْلِهِ وَيَوْمِهِ ذَلِكَ، وَيَكُونُ فِي ذِمَّتِي


Dari Ka'bul akhbar [semoga Allah meridhainya] berkata:
Aku telah membaca dalam sebagian kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Musa alaihis salaam. Di dalamnya Allah melebihkan dan menjanjikan umat Nabi Muhammad saw dengan beberapa fadhilah yang agung. Wahai Musa, dua rakaat shalat subuh yang Ahmad (Nabi Muhammad saw) dan umatnya laksanakan itu Barangsiapa yang menjalankannya maka Kuampuni dosa-dosanya mulai malam hari dan siangnya, dan itu menjadi tanggunganKu.

يَا مُوسَى أَرْبَعُ رَكْعَاتٍ يُصَلِّيهَا أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ، وَهِيَ صَلاةُ الظُّهْرِ أُعْطِيهِمْ بِأَوَّلِ رَكْعَةٍ مِنْهَا الْمَغْفِرَةَ، وَبِالثَّانِيَةِ أُثَقِّلُ مِيزَانَهُمْ، وَبِالثَّالِثَةِ أُوَكِّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ يُسَبِّحُونَ وَيَسْتَغْفِرُونَ لَهُمْ وَبِالرَّابِعَةِ أَفْتَحُ عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ السَّمَاءِ وَيُشْرِقْنَ عَلَيْهِمُ الْحُورُ الْعِينُ

Wahai Musa, empat rakaat yang Ahmad (Nabi Muhammad saw) dan ummatnya menjalankannya, yaitu shalat dhuhur maka Kuberi mereka ampunan dengan rakaat yang awwal, Kuperberat timbangan kebaikan amalannya dengan rakaat kedua, Kuwakilkan malaikat yang membaca tasbih dan istighfar untuk mereka dengan rakaat ketiga dan dengan rakaat ke empat Kubukakan pintu-pintu langit dan bidadari-bidadari memenuhi mereka.

يَا مُوسَى أَرْبَعُ رَكْعَاتٍ يُصَلِّيهَا أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ، وَهِيَ صَلَاةُ الْعَصْرِ، فَلَا يَبْقَى مَلَكٌ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا اسْتَغْفَرَ لَهُمْ، وَمَنِ اسْتَغْفَرَتْ لَهُ الْمَلَائِكَةُ لَمْ أُعَذِّبْهُ،

Wahai musa, empat rakaat yang Ahmad (Nabi Muhammad saw) dan ummatnya laksanakan, yaitu shalat ashar maka tiada tersisa malaikat di langit dan bumi kecuali membaca istighfar untuknya, dan orang yang malaikat membacakan istighfar untuknya maka Aku tidak akan menyiksanya.

يَا مُوسَى ثَلَاثُ رَكْعَاتٍ يُصَلِّيهَا أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ حِينَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ أَفْتَحُ لَهُمْ أَبْوَابَ السَّمَاءِ، لَا يَسْأَلُونَ مِنْ حَاجَةٍ إِلَّا قَضَيْتُهَا لَهُمْ،

Wahai Musa, tiga rakaat yang Ahmad (Nabi Muhammad saw)  dan umatnya jalankan ketika matahari terbenam maka Kubukakan pintu-pintu langit untuk mereka, mereka tidak meminta suatu hajat kecuali Kupenuhi bagi mereka.

يَا مُوسَى أَرْبَعُ رَكْعَاتٍ يُصَلِّيهَا أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ حِينَ يَغِيبُ الشَّفَقُ، وَهِيَ خَيْرٌ لَهُمْ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَيَخْرُجُونَ مِنْ ذُنُوبِهِمْ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُمْ أُمُّهُمْ،
Wahai Musa, empat rakaat yang Ahmad (Nabi Muhammad saw) dan ummatnya jalankan ketika hilangnya syafaq merah yang berarti shalat isya, maka itu lebih baik baginya daripada dunia beserta isinya, dan mereka keluar dan terlepas dari dosa-dosanya sebagaimana hari di mana ibu melahirkan mereka.

يَا مُوسَى يَتَوَضَّأُ أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ كَمَا أَمَرْتُهُمْ أُعْطِيهِمْ بِكُلِّ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنَ الْمَاءِ جَنَّةً عَرْضُهَا، كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ.

Wahai Musa, Ahmad dan ummatnya melakukan wudhu sebagaimana yang Kuperintahkan maka kuberikan kepada mereka pada setiap tetesan dari airnya, syurga yang luasnya seperti luasnya langit dan bumi.

يَا مُوسَى يَصُومُ أَحْمَدُ وَأُمَّتُهُ شَهْرًا فِي كُلِّ سَنَةٍ، وَهُوَ شَهْرُ رَمَضَانَ أُعْطِيهِمْ بِصِيَامِ كُلِّ يَوْمٍ مَدِينَةً فِي الْجَنَّةِ، وَأُعْطِيهِمْ بِكُلِّ خَيْرٍ يَعْمَلُونَ فِيهِ مِنَ التَّطَوُّعِ أَجْرَ فَرِيضَةٍ، وَأَجْعَلُ فِيهِ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَنِ اسْتَغْفَرَ مِنْهُمْ فِيهَا مَرَّةً وَاحِدَةً نَادِمًا صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ إِنْ مَاتَ مِنْ لَيْلِهِ أَوْ شَهْرِهِ، أَعْطَيْتُهُ أَجْرَ ثَلَاثِينَ شَهِيدًا،

Wahai Musa, Ahmad (Nabi Muhammad saw)  dan ummatnya melakukan puasa sebulan dalam setiap tahunnya, yaitu bulan ramadhan, maka Kuberikan kepada mereka untuk puasa setiap harinya satu kota di syurga, Kuberikan kepada mereka untuk setiap kebaikan yang dilakukan yaitu ibadah sunnah mendapat pahala ibadah wajib.

Kujadikan malamnya terdapat lailatul qadar barang siapa beristighfar sekali pada malam tersebut, dengan merasa menyesal, jujur dari dalam hatinya dengan kesalahannya, jika meninggal pada malamnya atau siangnya maka Kuberikan pahala sebagaimana pahala 30 orang mati syahid.

يَا مُوسَى إِنَّ فِي أُمَّةِ مُحَمَّدٍ رِجَالًا يَقُومُونَ مِنْ كُلِّ شَرَفٍ، يَشْهَدُونَ بِشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَجَزَاؤُهُمْ بِذَلِكَ جَزَاءُ الْأَنْبِيَاءِ، عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَرَحْمَتِي عَلَيْهِمْ وَاجِبَةٌ، وَغَضَبِي بَعِيدٌ مِنْهُمْ، وَلَا أَحْجُبُ بَابَ التَّوْبَةِ عَنْ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مَا دَامُوا يَشْهَدُونَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

Wahai Musa, sesungguhnya dalam ummat Muhammad terdapat orang-orang yang mendirikan setiap kemuliaan, mereka bersaksi dengan persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah, maka balasan mereka atas hal itu adalah sebagaimana balasannya untuk para Nabi alaihimus salam, Rahmat-Ku wajib atas mereka, Kujauhkan Murka dari mereka, dan tiada Ku tutup pintu taubat bagi salah seorang dari mereka selama mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. "

تنبيه الغافلين ابو الليث السمرقندى

Di nukil dari kitab Tanbihul Ghofilin Abu Laist

Yaa Allah, Semoga kelak kami semua diakui sebagi Umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Aamiin..

Sekian ulasan tentang Kelebihan Amalan Umat Nabi Muhammad saw yang agung, tidaklah heran ketika ada Nabi meminta kepada Allah swt agar menjadikannya sebagai umat Nabi Mulia Muhammad saw. Oleh karena itu, sungguh beruntung kita dilahirkan sebagai Umatnya. Semoga bermanfaat.

Belajar Dari Kisah Wafat-nya Nabi Adam as


Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT dari tanah. Dahulu nabi Adam adalah manusia penghuni surga. Sudah tinggal selama 500 tahun per setengah hari di surga, nabi Adam terbujuk rayu setan sehingga ia diturunkan ke bumi. Dan dibumilah tempat tinggalnya setelah itu.

Nabi Adam AS memiliki umur yang sangat panjang. Ia hidup selama 960 tahun dan telah memiliki banyak keturunan. Layaknya manusia pada umumnya, Nabi Adam AS juga mengalami kematian. Bahkan sebelum meninggal dunia, ia terlebih dahulu menderita sakit. Lalu, bagaimanakah detik-detik kematian Nabi Adam AS?

Dalam sebuah hadits mauquf (sanadnya tidak sampai pada Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad ‎rahimahullah dalam Zawaidul Musnad, Jilid 5 hal. 136 yang sanadnya di shahihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 1 hal. 98 diceritakan.

Dari Uttiy bin Dhamurah As-Sa'di ‎rahimahullah, dia berkata, "Aku melihat seorang Syaikh di Madinah sedang berbicara. Lalu aku bertanya tentangnya." Mereka menjawab, "Itu adalah Ubay bin Kaab." Ubay berkata, "Ketika maut datang menjemput Adam, dia berkata kepada anak-anaknya, 'Wahai anak-anakku, aku ingin makan buah Surga." Lalu anak-anaknya pergi mencari untuknya. Mereka disambut oleh para Malaikat yang telah membawa kafan Adam dan wewangiannya. Mereka juga membawa kapak, sekop, dan cangkul. Para Malaikat bertanya, "Wahai anak-anak Adam, apa yang kalian cari? Atau apa yang kalian mau? Dan ke mana kalian pergi?" Mereka menjawab, "Bapak kami sakit, dia ingin makan buah dari Surga." Para Malaikat menjawab, "Pulanglah, karena ketetapan untuk bapak kalian telah tiba." Lalu para Malaikat datang. Hawa melihat dan mengenali mereka, maka dia berlindung kepada Adam. Adam berkata kepada Hawa, "Menjauhlah dariku. Aku pernah melakukan kesalahan karenamu. Biarkan aku dengan Malaikat Tuhanku tabaraka wa ta’ala." Lalu para Malaikat mencabut nyawanya, memandikannya, mengkafaninya, memberinya wewangian, menyiapkan kuburnya dengan membuat liang lahat di kuburnya, menshalatinya. Mereka masuk ke kuburnya dan meletakkan Adam di dalamnya, lalu mereka meletakkan bata di atasnya. Kemudian mereka keluar dari kubur, mereka menimbunnya dengan batu. Lalu mereka berkata, "Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian."

Manakala maut datang menjemputnya Nabi Adam ‘alaihis salam ‎rindu buah Surga. Ini menunjukkan betapa cinta Nabi Adam ‘alaihis salam kepada Surga dan kerinduannya untuk kembali kepadanya. Bagaimana dia tidak rindu Surga, sementara dia pernah tinggal di dalamnya, merasakan kenikmatan dan keenakannya untuk beberapa saat. Bisa jadi keinginan Nabi Adam ‘alaihis salam ‎untuk makan buah Surga merupakan tanda dekatnya ajal. Sebagian Hadits menyatakan bahwa Nabi Adam ‘alaihis salam mengetahui hitungan tahun-tahun umurnya. Dia menghitung umurnya yang telah berlalu. Nampaknya dia mengetahui bahwa tahun-tahun umurnya telah habis. Perpindahannya ke alam akhirat telah dekat. Dan tanpa ragu, Nabi Adam ‘alaihis salam mengetahui bahwa anak-anaknya tidak mungkin memenuhi permintaannya. Mana mungkin mereka bisa menembus Surga lalu memetik buahnya. Anak-anak Nabi Adam ‘alaihis salam juga menyadari hal itu. Akan tetapi, karena rasa bakti mereka kepada bapak mereka, hal itulah yang mendorong mereka untuk berangkat mencari. Belum jauh anak-anak Nabi Adam ‘alaihis salam meninggalkan bapaknya, mereka telah dihadang oleh beberapa Malaikat yang menjelma dalam wujud seorang laki-laki. Mereka telah membawa perlengkapan untuk menyiapkan orang mati.

Para Malaikat memperagakan apa yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap jenazah seperti pada hari ini. Mereka membawa kafan, wewangian, juga membawa kapak, cangkul, dan sekop yang lazim diperlukan untuk menggali kubur. Ketika anak-anak Nabi Adam‘alaihis salam menyampaikan tujuan mereka dan apa yang mereka cari, para Malaikat meminta mereka untuk pulang kepada bapak mereka, karena bapak mereka telah habis umurnya dan ditetapkan ajalnya.

Manakala para Malaikat maut datang kepada Nabi Adam ‘alaihis salam, Hawa mengenalinya sehingga dia berlindung kepada Nabi Adam ‘alaihis salam. Sepertinya Hawa hendak membujuk Nabi Adam ‘alaihis salam agar memilih hidup di dunia, karena para Rasul tidak diambil nyawanya sebelum mereka diberi pilihan antara kehidupan dunia dan Akhirat sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Nabi Adam ‘alaihis salam tidak menggubris dan menghardiknya dengan berkata, "Menjauhlah dariku, karena aku pernah melakukan dosa karenamu." Nabi Adam ‎‘alaihis salam mengisyaratkan rayuan Hawa untuk makan pohon yang dilarang semasa keduanya berada di Surga.

Para Malaikat mengambil ruh Nabi Adam ‘alaihis salam. Mereka sendirilah yang mengurusi jenazahnya dan menguburkannya, sementara anak-anak Nabi Adam ‘alaihis salam melihat mereka. Para Malaikat itu memandikannya, mengkafaninya, memberinya wangi-wangian, menggali kuburnya, membuat liang lahat, menshalatinya, masuk ke kuburnya, meletakkannya di dalamnya, lalu mereka menutupnya dengan bata. Kemudian mereka keluar dari kubur dan menimbunkan tanah kepadanya. Para Malaikat mengajarkan semua itu kepada anak-anak Adam. Mereka berkata, "Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian." Yakni, cara yang Allah pilih untuk kalian dalam hal mengurusi mayat kalian. Cara ini adalah syariat umum yang berlaku untuk seluruh Rasul dan semua orang beriman di bumi ini, mulai sejak saat itu sampai sekarang. Dan cara apa pun yang menyelisihinya berarti menyimpang dari petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala, yang besar kecilnya tergantung pada kadar penyimpangannya. Barangsiapa melihat tuntunan kaum muslimin dalam urusan jenazah yang diajarkan oleh Rasulullah ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia pasti melihat kesamaan antara hal itu dengan perlakuan para Malaikat kepada Nabi Adam ‘alaihis salam.

Sepanjang sejarah, petunjuk ini telah banyak diselisihi oleh sebagian besar umat manusia. Ada yang membakar orang mati. Ada yang membangun bangunan-bangunan megah, seperti piramid, untuk mengubur orang mati dengan meletakkan makanan, minuman, mutiara dan perhiasan bersamanya. Ada yang meletakkan mayit di kotak batu atau kayu. Semua itu menuntut biaya yang mahal dan hanya membuang-buang energi untuk sesuatu yang tidak berguna. Dan yang paling utama, semua itu telah menyelisihi petunjuk yang Allah subhanahu wa ta’alasyariatkan kepada mayit Bani Adam.

Menurut riwayat yang diceritakan dalam Kitab Taurat Nabi Adam ‘alaihis salam hidup selama 930 tahun (Perjanjian Lama, Kitab Kejadian [5] : 5) dan menurut beberapa sumber Nabi Adam ‘alaihis salam hidup antara tahun 3760 SM hingga 2830 SM. Hal ini pun dijelaskan oleh Imam Ath-Thabari rahimahullah, beliau berkata bahwa umur Nabi Adam ‘alaihis salamadalah 1000 tahun (Tarikh Ath-Thabari, Jilid 1 hal. 98-99) Dengan meninggalkan keturunan yang banyak dan berkembang menjadi umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
Nabi Adam as. telah menjalani kehidupannya bersama istri dan anak cucunya, dengan berbagai macam bentuk kehidupan. Suka dan duka telah mereka jalani dengan penuh kerelaan menerima takdir Tuhan. Penuh syukur terhadap semua nikmat yang telah diberikan Allah swt. kepada mereka. Nabi Adam as. hidup dengan membawa misi dari Allah swt. Yaitu sebagai Kholifah fi Al-Ardhi. Artinya manusia yang diberi amanah oleh Allah swt. untuk mengatur keutuhan alam. Setelah misi itu dijalankan oleh Nabi Adam as. dengan penuh keuletan dan tanpa menyerah. Allah swt. menarik kembali terutusnya Nabi Adam as; untuk kembali di hadirat Allah swt. Nabi Adam as. telah sampai pada batas kehidupannya di alam bumi. Dan Nabi Adam as. harus mengakhiri waktunya serta menyerahkan segala urusannya dan juga taggung jawabnya kepada Allah swt.

Allah berfirman : 
كل نفس ذائقة الموت

Artinya : ”Semua yang mempunyai nafas (nyawa), pasti akan mencicipi rasanya mati”. ‎

Setelah menjalani kehidupannya selama kurang lebih 960 tahun, dengan berbagai bentuk macam kehidupan, melewati jalan terjal yang membahayakan, akhirnya Nabi Adam as. kembali ke hadirat Allah swt. Yang pada saat itu anak cucunya telah mencapai 100 ribu jiwa. Baik laki-laki maupun perempuan, dengan berbagai macam bentuk, kebiasaan, istiadat serta telah menyebar ke berbagai pelosok bumi. Konon, sesaat sebelum Nabi Adam as. Meninggal, Beliau berkata kepada Allah swt. ”Wahai Tuhanku, musuhku (iblis) akan bangga mendengar kabar kematianku“, ‎
Allah swt. Menjawab:
انك سترد الى الجنة ويؤخر العين الى لنظرة ليذوق الم الموت بعد الاولين والاخرين

Artinya : “Sesungguhnya kamu (Adam as.) akan dikembalikan ke syurga. Dan Iblis yang dilaknat itu akan diakhirkan sampai masa penangguhan (akhir kiamat). Supaya ia menanggung rasa sakit matinya orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akhir”.

Begitulah, cerita tentang Adam dan Hawa yang mengajarkan kepada kita bahwa manusia harus menyadari keberadaannya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan manusia dengan kedudukan yang tinggi dari makhluk-makhluk lainnya. Namun harus disadari bahwa derajat itu akan kita peroleh manakala kita mengikuti petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhkan diri dari segala larangannya. Ketahuilah bahwa dalam menjalani hidup ini manusia selalu dihadapkan pada musuhnya yang utama yaitu Iblis yang berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan.

Sekiranya, amatlah bijaksana bila kita memperhatikan diri kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya untuk selalu mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, memohon ampun dan petunjuk-Nya agar selamat di dunia dan akhirat.

Belajar Dari Kisah Wanita Tua Zaman Nabi Musa As


Inilah kisah seorang wanita tua dari Bani Israil yang mendapatkan peluang emas. Dia memanfaatkannya bukan untuk mendapatkan harta dan benda dunia, tetapi untuk meraih derajat tinggi di Surga yang penuh dengan kenikmatan. Musa meminta kepadanya supaya menunjukkan kubur Yusuf untuk membawa jasadnya pada waktu dia keluar dari Mesir bersama Bani Israil. Nenek ini menolak, kecuali dengan syarat bahwa dia harus menyertai Musa pada hari Kiamat di Surga. Maka Allah memberikan apa yang dimintanya. Seperti inilah ambisi-ambisi tinggi, jiwa yang berhasrat meraih derajat-derajat tinggi. 

Beberapa sahabat berambisi untuk meraih derajat tinggi seperti ini, dan di antara mereka adalah Ukasyah bin Mihshan. Dia memohon kepada Rasulullah agar termasuk dalam tujuh puluh ribu golongan manusia terpilih yang masuk Surga (tanpa hisab). Wajah mereka seperti wajah rembulan di malam purnama. Mereka tidak kencing, tidak buang air besar, tidak meludah. Lalu Rasulullah menyampaikan kepada Ukasyah bahwa dia adalah satu dari mereka. Termasuk juga Abu Bakar yang berambisi dipanggil dari segala pintu Surga. Termasuk pula sahabat yang memohon kepada Rasulullah agar bisa menemaninya di Surga, lalu beliau bersabda kepadanya, "Bantulah aku atas dirimu dengan memperbanyak sujud."‎

Hadits Pertama:

عن أبي موسى الأشعريّ رضي الله عنه قال: أتى النبي صلى الله عليه وسلم أعرابيا فأكرمه فقال له: ائتنا، فأتاه، (وفي رواية: نزل رسول الله صلى الله عليه وسلم بأعرابي فأكرمه، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: تعهدنا ائتنا، فأتاه الأعرابي) فقال له سول الله صلى الله عليه وسلم): سل حاجتك، فقال: ناقة برحلها وأعنزا يحلبها أهلي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعجزتم أن تكونوا مثل عجوز بني إسرائيل؟ فقال أصحابه: يا رسول الله وما عجوز بني إسرائيل؟ قال: إن موسى لما سار ببني إسرائيل من مصر، ضلوا لطريق فقال: ما هذا؟ فقال علماؤهم: نحن نحدثك، إن يوسف لما حضره الموت أخذ علينا موثقا من الله أن لا يخرج من مصر حتى ننقل عظامه معنا، قال: فمن يعلم موضع قبره؟ قالوا: ما ندري أين قبر يوسف إلا عجوز من بني إسرائيل، فبعث إليها فأتته فقال: دلوني لى قبر يوسف، قالت: لا والله لا أفعل حتى تعطيني حكمي، قال: وما حكمك؟ قالت: أكون معك في الجنة، فكره أن يعطيها ذلك فأوحى الله إليه أن أعطها حكمها، فانطلقت بهم إلى بحيرة موضع مستنقع ماء، فقالت: انضبوا هذا الماء فأنضبوا، قالت: احفروا واستخرجوا عظام يوسف فلما أقلوها إلى الأرض إذا الطريق مثل ضوء النهار
أخرجه أبو يعلى في مسنده (١/٣٤٤)، والحاكم (٢/٤٠٤-٤٠٥ و ٥٧١-٥٧٢) من ثلاث طرق عن يونس بن أبي إسحاق عن أبي بردة عن أبي موسى -وصححه الألباني في سلسلة الصحيحة ٣١٣)

Dari Abu Musa al-Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
Seorang arab badui mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lalu nabi pun bersikap hormat kepadanya. Beliau bersabda kepada lelaki badui itu, “Mendekatlah kau kemari,” maka lelaki badui itu pun mendekati beliau. (Redaksi dalam riwayat lain: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– turun dari kendaraannya di depan seorang arab badui. Beliau bersikap hormat kepada lelaki badui itu, lalu berkata kepadanya,“Kemarilah, bergabunglah bersama kami,” maka lelaki badui itu pun mendekati beliau. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Sila kaupinta kebutuhanmu!”Lelaki badui itu berkata, “Unta beserta pelananya, juga kambing betina yang bakal diperah oleh keluargaku.” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Apakah kalian tak sanggup (memiliki keinginan) seperti (keinginan) perempuan tua Bani Israil?” Maka para shahabat beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun bertanya, “Wahai Rasulullah, memangnya kenapa dengan perempuan tua Bani Israil?” Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda:
Sesungguhnya tatkala Musa berjalan memimpin Bani Israil (keluar) dari Mesir, mereka tersesat di jalan. Maka Musa pun berkata, “Kenapa begini?” Lalu para ulama Bani Israil berkata, “Akan kami ceritakan kepadamu. Sesungguhnya Nabi Yusuf pada saat menjelang kematiannya telah mengambil perjanjian dari kami dengan persaksian Allah agar tak meninggalkan negeri Mesir kecuali dengan membawa serta ‘izhamun(tulang-tulang) beliau bersama kami.” Nabi Musa lantas bertanya, “Kalau begitu, siapa yang tahu letak kuburan beliau?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang mengetahui letak kuburan Nabi Yusuf kecuali seorang perempuan tua Bani Israil.” Maka Nabi Musa mengutus seseorang untuk membawa perempuan tua itu. Perempuan tua itu pun datang menghadap beliau, lalu Nabi Musa berkata, “Tunjukkan kepadaku letak kuburan Yusuf!”Perempuan tua itu menjawab, “Tidak, demi Allah! Aku takkan menunjukkan kuburan Yusuf kepadamu sampai kau menuruti ketentuanku!” Musa pun bertanya, “Apa ketentuanmu?” Perempuan tua itu menjawab, “Jadikan aku bersamamu di surga!” Musa enggan untuk menuruti hal itu, lalu Allah mewahyukan agar beliau menuruti ketentuan perempuan tua itu. Maka perempuan tua itu pun berangkat membawa mereka menujubuhairah (danau), suatu tempat yang dipenuhi dengan air. Perempuan tua itu berkata,“Surutkanlah air danau ini!” Maka mereka pun mengeringkan danau itu. Perempuan tua itu berkata lagi, “Galilah (kuburannya) dan keluarkan ‘izhamun (tulang-tulang) Yusuf!” Tatkala ‘izhamun Yusuf itu diangkat ke permukaan tanah, maka jalan pun menjadi jelas seumpama cahaya siang.

(Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya:1/344, juga al-Hakim: 2/404-405 dan 571-572, dari tiga jalan dari Yunus bin Abi Ishaq, dari Abu Burdah, dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu) 

PENJELASAN HADIS
Yang memicu Rasulullah untuk menyampaikan kisah tentang wanita tua Bani Israil seperti dalam hadis di atas adalah bahwa seorang Badui ditamui oleh Rasulullah, maka dia menghormati dan memuliakannya. Lalu Rasulullah memintanya untuk datang kepadanya agar bisa membalas kebaikan dengan kebaikan. Ketika Badui itu datang, Rasulullah menanyakan hajatnya. Dia pun meminta sedikit harta benda dunia, berupa seekor unta betina dengan pelananya sebagai tunggangan dan domba betina yang bisa diandalkan susunya. Rasulullah merasa permintaan dan hajat si Badui tersebut remeh, maka beliau menyampaikan hadis tentang wanita tua Bani Israil yang mengutarakan satu permintaan besar kepada Musa manakala kesempatan itu terbuka. Dia tidak mau memenuhi permintaan Musa sebelum Musa menyanggupi permintaannya, yaitu menyertainya di Surga. Wanita tua ini tidak menuntut emas dan perak dari Rasulnya, dan tidak meminta unta atau sapi atau kambing. Seandainya si Badui itu meminta kepada Rasulullah seperti permintaan wanita ini manakala Rasulullah membuka peluang meminta untuknya, niscaya dia sangatlah beruntung. Doa Rasulullah mustajab. Sekiranya dia meminta doa kepadanya untuk kebaikan Akhirat, niscaya dia akan meraih banyak kebaikan. Rasulullah memberitakan bahwa sebab persyaratan yang diminta oleh wanita tua ini kepada Musa untuk bisa menemaninya di Surga adalah karena dia mengetahui satu ilmu yang tidak diketahui oleh siapa pun dari Bani Israil. Dia mengetahui tempat kubur Yusuf ‘Alayhi Salam. Dan Yusuf telah mengambil janji kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya dari kalangan Bani Israil agar membawa tulangnya bersama mereka manakala mereka keluar dari bumi Mesir ke tanah suci. 

 Ketika Allah mengizinkan Musa dan kaumnya agar keluar, mereka tersesat. Musa terheran-heran karenanya. Dia meyakini bahwa pasti ada rahasia dalam urusan ini. Dia bertanya kepada orang-orang yang bersamanya tentang apa yang terjadi. Maka ulama Bani Israil menyampaikan janji yang diambil oleh Yusuf kepada bapak mereka. Pada saat itu Musa bertanya tentang kubur Yusuf agar bisa melaksanakan permintaannya, tetapi tidak seorang pun mengetahui kuburnya kecuali seorang wanita tua Bani Israil. Musa meminta kepadanya untuk menunjukkan kubur Yusuf. Wanita tua ini menolak kecuali jika Musa mengabulkan permintaannya, dan ketika Musa menanyakan apa keinginannya, ternyata dia menuntut perkara besar. Dia ingin bersama Musa di Surga. Musa tidak ingin mengabulkan permintaannya. Mungkin karena dia melihat permintaannya berlebih-lebihan, apa yang dilakukannya tidak sepadan dengan derajat yang diminta, atau bisa jadi karena Musa tidak bisa mengabulkan permintaan atas sesuatu yang bukan wewenangnya. Maka Allah mewahyukan kepadanya supaya mengabulkan tuntutannya. Dan barangsiapa meminta kepada Allah atas perkara-perkara yang tinggi, niscaya Allah mengabulkan permintaannya, walaupun dia tidak mencapai derajat orang-orang yang berhak meraih derajat tersebut. 

Orang yang mencari Syahadah dengan benar, niscaya Allah menyampaikannya derajat orangorang yang mati syahid, walaupun dia mati di atas tempat tidurnya. Orang yang meminta derajat ulama atau orang-orang yang dermawan, niscaya Allah menyampaikannya pada derajat mereka, walaupun tidak beramal seperti amal mereka. Rasulullah menyampaikan kepada kita bahwa, setelah wanita tua ini meraih apa yang diinginkannya, dia mengantarkan Musa dan orang-orangnya ke sebuah danau. Dia meminta agar air danau itu dikuras, lalu mereka pun berhasil mengangkat jasad Yusuf dari tempat tersebut. Manakala mereka mengangkat jasad Yusuf dan membawanya berjalan, jalanan pun menjadi terang bagi mereka seterang siang hari.

PELAJARAN-PELAJARAN DAN FAEDAH-FAEDAH HADIS
1. Dorongan Rasulullah kepada para sahabat dan umatnya agar mencari derajat-derajat yang tinggi, sebagaimana dilakukan oleh wanita tua tersebut ketika dia meminta kepada Musa. Dalam hadis shahih dari Rasulullah, bahwa beliau meminta sahabatnya agar memohon Firdaus kepada Allah yang merupakan tengah-tengah Surga dan puncak Surga dan atapnya adalah Arasy Allah.
2. Pemberitaan Rasulullah tentang sebagian kejadiankejadian secara detail yang terjadi pada ahli kitab dan tidak diketahui oleh mereka. Di antaranya adalah kisah wanita tua ini.
3. Hadis membenarkan sebagian kejadian dan peristiwa yang disebutkan oleh Taurat.
4. Adanya wanita-wanita yang baik, pemilik semangat yang tinggi di kalangan Bani Israil.
5. Berita tentang pengambilan janji oleh Yusuf atas Bani Israil agar memindahkan tulang-tulangnya ke tanah suci, dan berita tentang pemindahan yang dilakukan oleh Bani Israil, akan tetapi kita tidak mengetahui tempat dia dikubur.
6. Para Nabi dan Rasul dibolehkan mengambil janji kepada para pengikutnya dan para kerabatnya agar melakukan apa yang baik bagi mereka.
7. Perjanjian yang telah disepakati atas generasi umat pertama berlaku lazim bagi yang datang sesudah mereka. Perjanjian yang diambil oleh Yusuf atas orang-orang yang bersamanya mengikat orang-orang yang datang sesudah itu. Begitu pula janji-janji Bani Israil yang diambil atas generasi pertama mereka dari Allah atau dari Rasul-Rasul mereka adalah lazim atas mereka. Begitu pun janji-janji yang diambil atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan sahabat-sahabatnya.
8. Para hamba bisa tidak mendapatkan taufik jika mereka tidak menunaikan keinginan dan syariat Allah, sebagaimana Bani Israil yang tersesat manakala mereka meninggalkan tulang-tulang Yusuf pada saat mereka keluar.
9. Hadis ini tidak bertentangan dengan hadis lain yang shahih, di mana Rasulullah memberitakan bahwa Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi. Karena yang dimaksud dengan tulang tulang Yusuf adalah jasadnya, bukan karena jasadnya habis dan yang tertinggal hanyalah tulang-tulangnya.
10. Kurangnya perhatian Bani Israil sejak pertama kali terhadap penghormatan kepada kubur-kubur para Nabi. Buktinya, mereka tidak mengetahui – padahal Musa berada bersama mereka – tempat kubur Nabi Yusuf.

Hadits Kedua:

عن أوس بن أوس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم: إن من أفضل أيامكم يومَ الجمعة؛ فيه خلق آدم، وفيه قبض، وفيه النّفخة، وفيه الصعقة، فأكثروا علي من الصلاة فيه؛ فإن صلاتكم معروضة علي. قال: قالوا: يا رسول الله! وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت؟ -أَيْ يَقُولُونَ قَدْ بَلِيتَ- فقال: إن الله عز وجل حرّم على الأرض أجساد الأنبياء
أخرجه أحمد (٤/٨)، أبو داود (١٠٤٧) النسائي (٣/٢١)، الدارمي (١/٣٦٩) ابن ماجه (١/٣٣٦-٣٣٧ و ٥٠٢)، ابن حبان (٥٥٠)، الحاكم (١/٢٧٨) ، والبيهقي (٣/٢٤٨) وصححه الألباني في صحيح أبي داود (٩٢٥)

Dari Aus bin Aus, dia berkata:
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling utama di antara hari-hari kalian adalah hari Jumat. Pada hari itu Adam diciptakan dan pada hari itu pula dia diwafatkan, pada hari itu akan ditiup sangkakala dan pada hari itu pula semesta akan dibinasakan. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari Jumat karena sesungguhnya shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku.”Para shahabat lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa shalawat kami diperlihatkan kepadamu sementara kau telah rusak (hancur menjadi tanah)?” Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Sesungguhnya Allah –‘azza wa Jalla- mengharamkan bumi untuk memakan (menghancurkan) jasad para nabi.”

(Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad: 4/8, Abu Dawud: 1047, an-Nasa’i: 3/21, ad-Darimi: 1/369, Ibnu Majah: 1/336-337, Ibnu Hiban: 550, al-Hakim: 1/278, al-Baihaqi: 3/248).

Secara zhahir, seakan-akan terdapat pertentangan di antara kedua hadits di atas. Pada hadits pertama dikatakan bahwa Nabi Musa bersama Bani Israil mengangkat ‘izhamun (tulang-tulang) Nabi Yusuf, sementara pada hadits kedua dijelaskan bahwasanya jasad para nabi itu pastilah utuh karena Allah telah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para nabi. Padahal sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Yusuf –‘alaihis salam– itu adalah seorang nabi. Jadi bagaimana mungkin jasad nabi Yusuf hanya tinggal tulang-tulang belaka jika bumi tidak memakan jasad para nabi? Dan bukankah di dalam suatu permasalahan ilmiyah itu diharuskan adanya tsubut ad-dalil (kukuhnya dalil) dan ‎salamah min al-mu’aridh (selamat dari pertentangan)?

Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua hadits di atas. Terlebih terdapat hadits lain yang bisa dijadikan sebagai penjelas tentang tidak adanya pertentangan di antara kedua hadits di atas, yaitu hadits Ibnu ‘Umar berikut ini:

عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى اللهُ عليه وسلم لَمَّا بدَّن قال له تميم الدّاري ألا أتّخذ لك منبرا يا رسول الله يجمع أو يحمل عظامك قال بلى فاتَّخذ له منبرا مرقاتين
أخرجه أبو داود (١٠٨١) وصححه الألباني في سلسلة الصحيحة (١/٦٢٤)

Dari Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma– bahwasanya tatkala Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah semakin tua, berkatalah Tamim ad-Dari kepada beliau, “Bolehkan aku membuatkanmu mimbar untuk membawa atau mengangkat ‘izhamun-mu, wahai Rasulullah?” Rasululah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menjawab, “Boleh.” Maka Tamim ad-Dari pun membuatkan mimbar dua tingkat untuk beliau.
(Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud: 1081).

Ucapan Tamim ad-Dari –radhiyallah ‘anhu– dalam hadits tersebut memberikan gambaran bahwa perkataan ‘izhamun bisa dimaksudkan juga sebagai jasad, tubuh, atau badan. Hal itu dikarenakan mimbar tersebut -pada kenyataannya- diperuntukkan bagi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– untuk menopang tubuh beliau. Dengan demikian, makna ‘izhamun dalam hadits pertama dan hadits ketiga adalah jasad atau tubuh atau badan, bukan tulang-tulang atau kerangka … -dan perkataan tersebut termasuk ke dalam bab ithlaq al-juz’i wa iradah al-kulli (menyebutkan sebagian namun yang dimaksudkan adalah seluruhnya), yakni sebagaimana ucapan kita, “Belum terlihat batang hidungnya,” padahal yang dimaksudkan adalah, “Belum terlihat orangnya.”

Belajar Dari Kisah Wafat-nya Nabi Musa As


Di Padang Tih, bertahun-tahun hidup di sana, usia Nabi Musa dan Harun bertambah lanjut. Bani Israil benar-benar dibersihkan dari orang-orang yang fasik, yang disebutkan dalam doa Nabi Musa. Kemudian lahirlah generasi baru yang insya Allah lebih baik dari orang-orang yang fasik tersebut.

Tak berapa lama sampailah ajal Nabi Harun ‘alaihissalam. Bersama Nabi Musa, beliau dipanggil ke Bukit Thursina. Di sanalah Nabi Harun berpulang ke rahmat Allah ‘azza wa jalla.

Sepeninggal saudaranya Harun ‘alaihissalam, Nabi Musa masih melanjutkan tugas membimbing Bani Israil. Beliau dengan penuh semangat tetap mengajari mereka agar taat dan tunduk kepada aturan Allah ‘azza wa jalla Yang telah menyelamatkan dan memuliakan mereka.

Menjelang dekatnya ajal beliau, Allah‘azza wa jalla mengutus salah seorang hamba-Nya yang mulia di kalangan para malaikat. Seorang malaikat yang menghancurkan semua kelezatan dan memutuskan semua kesenangan hidup, Malaikat Maut. Makhluk suci yang diciptakan Allah ‘azza wa jalla dari cahaya.

Peristiwa ini diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabat (bahkan umatnya),

Hadits masyhur yang sering menjadi sasaran kritik oleh sebagian kalangan. Hadits tersebut adalah hadits yang menceritakan tentang Nabi Musa ’alaihis-salaam yang menampar malaikat maut ketika hendak mencabut nyawanya. Pada kesempatan ini saya akan menuliskan beberapa penjelasan ringkas (yang insyaAllah padat) dari kalangan imam Ahlus-Sunnah tentang pemahaman hadits dimaksud. Harapannya, tulisan ini dapat menjadi sumbangan amal kebajikan dalam rangka saling memberikan nasihat kepada kaum muslimin.

Adapun hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut :

عن أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :جَاءَ مَلَكُ الْمَوْتِ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ لَهُ أَجِبْ رَبَّكَ قَالَ فَلَطَمَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام عَيْنَ مَلَكِ الْمَوْتِ فَفَقَأَهَا. قَالَ : فَرَجَعَ الْمَلَكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى فَقَالَ : إِنَّكَ أَرْسَلْتَنِي إِلَى عَبْدٍ لَكَ لَا يُرِيدُ الْمَوْتَ وَقَدْ فَقَأَ عَيْنِي. قَالَ فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيْهِ عَيْنَهُ وَقَالَ ارْجِعْ إِلَى عَبْدِي فَقُلْ الْحَيَاةَ تُرِيدُ فَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ الْحَيَاةَ فَضَعْ يَدَكَ عَلَى مَتْنِ ثَوْرٍ فَمَا تَوَارَتْ يَدُكَ مِنْ شَعْرَةٍ فَإِنَّكَ تَعِيشُ بِهَا سَنَةً قَالَ ثُمَّ مَهْ قَالَ ثُمَّ تَمُوتُ قَالَ فَالْآنَ مِنْ قَرِيبٍ رَبِّ أَمِتْنِي مِنْ الْأَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ لَوْ أَنِّي عِنْدَهُ لَأَرَيْتُكُمْ قَبْرَهُ إِلَى جَانِبِ الطَّرِيقِ عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Malaikat Maut mendatangi Nabi Musa ’alaihis-salaam. Maka ia (Malaikat Maut) berkata berkata kepadanya : ’Penuhilan panggilan Tuhanmu !’. Maka Nabi Musa ’alaihis-alaam pun menampar muka Malaikat Maut sehingga matanya keluar. Kemudian Malaikat Maut kembali kepada Allah ta’ala dan berkata : ’Sesungguhnya Engkau telah mengutusku kepada seorang hamba yang tidak menginginkan kematian. Ia telah membuat mataku keluar’. Maka Allah ta’ala mengembalikan mata Malaikat Maut dan berfirman : ’Kembalilah kepada hamba-Ku (yaitu Musa) kemudian katakan kepadanya : Apakah engkau masih ingin hidup ?. Jika engkau masih ingin hidup, maka letakkan tanganmu di atas punggung sapi jantan. Setiap bulu yang dapat engkau tutupi dengan tanganmu, maka kamu hidup (bertambah umur) setahun’. Musa bertanya : ’Kemudian apa ?’. Allah berfirman : ’Kemudian engkau mati’. Maka Musa pun berkata : ’Jika demikian, sekarang (waktunya)! Wahai Rabb-ku, rupa-rupanya ajalku telah dekat. Maka dekatkanlah aku ke tanah suci sejauh jarak lemparan dengan menggunakan batu”. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Demi Allah, seandainya aku beradadi dekatnya, tentu aku tunjukkan kepadamu kuburnya yang terletak di sebelah jalan di sisi bukit pasir merah”  [HR. Al-Bukhari no. 1274, 3226; Muslim no. 2372; An-Nasa’i no. 2089; Ahmad no. 7634, 8157, 8601, 10917; Ibnu Hibban no. 6223, 6224; dan yang lainnya. Ini adalah lafadh Muslim].

Begitulah kisahnya. Sebuah berita gaib yang diceritakan oleh ash-Shadiqul Mashduq shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah tentu menjadi berita dan kisah yang tidak disangsikan lagi kebenarannya. Orang-orang yang beriman pasti menerima berita ini sebagaimana adanya. Sebab, mereka yakin terhadap apa yang diterangkan oleh Allah ‘azza wa jalla, bahwa Rasul-Nya tidak berbicara dengan hawa nafsu. Apa yang beliau sampaikan tidak lain adalah wahyu yang diturunkan kepadanya.

Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan kedatangan Malakul Maut kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan secara jelas bahwa malaikat tersebut menemui Nabi Musa dalam wujud aslinya.

Di dalam al-Qur’an, disebutkan pula peristiwa yang tidak jauh berbeda dengan kisah ini. Beberapa malaikat pernah menemui Nabi Ibrahim dan Luth ‘alaihimassalam. Nabi Ibrahim ‎‘alaihissalam yang sangat memuliakan tamu, segera menyuguhkan hidangan lezat, daging anak sapi yang sudah matang. Akan tetapi, kemudian, muncul rasa takut beliau tatkala para tamu itu tidak menyentuh daging itu sama sekali.

Begitu pula Nabi Luth ‘alaihissalam. Beliau sangat cemas akan keselamatan tamu-tamunya yang berwujud pemuda gagah dan tampan ini. Beliau khawatir, kaumnya yang terbelenggu oleh nafsu akan menyerbu rumahnya dan menangkap para pemuda ini.
Akan tetapi, setelah para tamu itu menerangkan bahwa mereka adalah utusan Allah ‘azza wa jalla, barulah kedua nabi yang mulia ini tenang. Kemudian, mengalirlah dialog di antara mereka, sebagaimana diceritakan oleh Allah ‘azza wa jalla dalam Kitab-Nya, yang tidak didatangi kebatilan baik dari depan maupun belakang.

Nabi Musa ‘alaihissalam juga demikian. Saat sedang menyendiri, beliau didatangi seseorang yang meminta nyawanya. Tentu saja beliau marah dan menampar orang tersebut. Dengan kekuatan beliau yang luar biasa, pukulan itu menyebabkan mata malaikat yang sedang berwujud manusia itu lepas dari rongganya.
Malaikat itu segera kembali menemui Rabb (Allah ‘azza wa jalla) yang mengutusnya. Allah ‘azza wa jalla mengembalikan mata itu ke tempatnya semula.

Kemudian, malaikat itu kembali lagi menemui Nabi Musa ‘alaihissalam. Kali ini, Nabi Musa ‘alaihissalam mengenalinya. Setelah dialog singkat, malaikat itu menyampaikan perintah Allah ‘azza wa jalla agar Nabi Musa ‎‘alaihissalam meletakkan tangannya di atas tubuh seekor sapi jantan. Untuk beliau adalah semua yang tertutup tangan beliau dihitung satu tahun.

Nabi Musa ‘alaihissalam bertanya, “Sesudah itu apa lagi, duhai Rabbku?”
“Al-Maut,” kata Allah ‘azza wa jalla.
Nabi Musa ‘alaihissalam langsung menyambut dan memilih bertemu dengan Rabbnya, “Kalau begitu, sekaranglah.”
Beliau pun memohon agar Allah ‘azza wa jalla mendekatkan jasad beliau ke Baitil Maqdis sejauh lemparan batu.

Kemusykilan hadits tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1.    Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :

أنكر بعض أهل البدع والجهمية هذا الحديث وقالوا لا يخلو أن يكون موسى عليه الصلاة والسلام عرف ملك الموت أو لم يعرفه فإن كان عرفه فقد استخف به وأن كان لم يعرفه فرواية من روى أنه كان يأتي موسى عيانا لا معنى لها ثم إن الله تعالى لم يقتص لملك الموت من اللطمة وفقء العين والله تعالى لا يظلم أحدا.
قال ابن خزيمة وهذا اعتراض من أعمى الله بصيرته ومعنى الحديث صحيح وذلك أن موسى لم يبعث الله إليه ملك الموت وهو يريد قبض روحه حينئذ وإنما بعثه اختبارا وبلاءً كما أمر الله تعالى خليله بذبح ولده ولم يرد إمضاء ذلك ولو أراد أن يقبض روح موسى عليه الصلاة والسلام حين لطم الملك لكان ما أراد وكانت اللطمة مباحة عند موسى إذ رأى آدميا دخل عليه ولا يعلم أنه ملك الموت وقد أباح الرسول عليه الصلاة والسلام فقأ عين الناظر في دار المسلم بغير إذن ومحال أن يعلم موسى أنه ملك الموت ويفقأ عينه وقد جاءت الملائكة إلى إبراهيم عليه الصلاة والسلام فلم يعرفهم ابتداء ولو علمهم لكان من المحال أن يقدم إليهم عجلاً لأنهم لا يطعمون وقد جاء الملك إلى مريم فلم تعرفه ولو عرفته لما استعاذت منه وقد دخل الملكان على داود عليه الصلاة والسلام في شبه آدميين يختصمان عنده فلم يعرفهما وقد جاء جبريل عليه الصلاة والسلام إلى سيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم وسأله عن الإيمان فلم يعرفه وقال ما أتاني في صورة قط إلا عرفته فيها غير هذه المرة فكيف يستنكر أن لا يعرف موسى الملك حين دخل عليه
وأما قول الجهمي إن الله تعالى لم يقتص للملك فهو دليل على جهله من الذي أخبره أن بين الملائكة والآدميين قصاصا و من أخبره أن الملك طلب القصاص فلم يقتص له وما الدليل على أن ذلك كان عمدا وقد أخبرنا نبينا صلى الله عليه وسلم أن الله تعالى لم يقبض نبيا قط حتى يريه مقعده في الجنة ويخبره فلم ير أن يقبض روحه قبل أن يريه مقعده من الجنة ويخبره

”Sebagian ahli bid’ah dan golongan Jahmiyah telah mengingkari hadits ini seraya berkata : ’Tidak peduli entah Musa mengenal Malaikat Maut tersebut atau tidak. Apabila mengenalnya, berarti Musa telah melecehkan kedatangannya. Dan bila tidak mengenalnya, maka riwayat yang menyebutkan bahwa malaikat tersebut datang kepada Musa dalam bentuk yang dapat dilihat mata, tidaklah berarti apa-apa  sedikitpun. Tambah lagi, Allah tidak menegakkan hukum qishash bagi Malaikat tersebut, karena perilaku Musa. Padahal Allah tidak pernah mendhalimi siapapun’.
(Menanggapai perkataan ini), Ibnu Khuzaimah menjelaskan : ”Ini adalah hujatan orang yang telah dibutakan pandangannya oleh Allah. Makna hadits ini sudah benar. Allah tidak mengutus Malaikat Maut untuk mencabut nyawa Musa ’alaihis-salaam saat itu juga, tetapi Allah mengutusnya sebagai ujian dan cobaan sebagaimana Allah memerintahkan kekasih-Nya (Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam) untuk menyembelih putranya, namun tidak mewujudkannya. Seandainya Malaikat itu bertujuan mencabut nyawa saat itu, tentu dia akan melaksanakannya ketika Musa menamparnya. Tamparan tersebut diperbolehkan bagi diri Nabi Musa ’alaihis-salaam, karena beliau melihat orang asing yang memasuki rumahnya. Sementara waktu itu beliau tidak mengetahui kalau yang datang tersebut adalah Malaikat Maut. Rasul shallallaahu ’alaihi wasallam telah memperbolehkan untuk mencongkel mata orang yang mengintip rumah orang tanpa ijin. Sungguh mustahil bila Musa mengetahui bahwa dia adalah Malaikat Maut lalu menamparnya hingga matanya keluar. Sungguh telah datang beberapa malaikat kepada Nabi Ibrahim ’alaihis-salaam sedang beliau awal kalinya tidak mengenal mereka. Seandainya tahu, tidak mungkin beliau menyuguhkan daging panggang kepada mereka, karena malaikat tidaklah makan. Demikian pula seorang malaikat yang pernah datang kepada Maryam dan ia tidak mengenalnya. Seandainya tahu, tidak mungkin Maryam berlindung darinya. Demikian pula dua malaikat pernah datang kepada Nabi Dawud ’alaihis-salaam dalam bentuk manusia yang sedang bersengketa di sisinya, sedang beliau tidak mengenalnya. Demikian pula datang Jibril kepada Nabi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan bertanya kepada beliau tentang iman, sedang beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengenalnya. Beliau bersabda : ”Jibril tidak pernah datang dalam bentuk rupa apapun melainkan aku mengetahuinya, kecuali kali ini”. Dengan demikian, lantas mengapa dianggap mustahil bila Musa tidak mengenal Malaikat Maut yang masuk ke rumahnya ?.
Adapun ucapan orang Jahmiyyah bahwa Allah tidak menegakkan hukum qishash bagi malaikat, maka ini menunjukkan kebodohannya, karena siapa yang mengkhabarkan (baca : mana dalilnya) dalam hal ini bahwasannya antara Malaikat dengan manusia itu ditegakkan hukum qishash ? Siapa yang mengkhabarkan kepadanya bahwa malaikat meminta qishash lalu Allah tidak memenuhinya ? Apa buktinya bahwa perilaku Nabi Musa tersebut didasari oleh unsur kesengajaan ? Nabi kita shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengkhabarkan pada kita bahwa Allah tidaklah mencabut nyawa seorang nabi pun sebelum Dia memperlihatkan tempat duduknya di surga lalu memberitahukannya. Sehingga Allah juga tidak ingin mencabut nyawa Nabi Musa ‎’alaihis-salaam sebelum memperlihatkan tempat duduknya di surga dan mengkhabarkannya” [selesai – ’Umdatul-Qaari’ Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Al-’Allamah Badruddin Al-’Aini rahimahullah juz 8 hal. 147–148; Multaqaa Ahlil-Hadiits].

2.    Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (murid Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah) berkata :

إن الله جل وعلا بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم معلما لخلقه فأنزله موضع الإبانة عن مراده فبلغ صلى الله عليه وسلم رسالته وبين عن آياته بألفاظ مجملة ومفسرة عقلها عنه أصحابه أو بعضهم وهذا الخبر من الأخبار التي يدرك معناه من لم يحرم التوفيق لإصابة الحق وذاك أن الله جل وعلا أرسل ملك الموت إلى موسى رسالة ابتلاء واختبار وأمره أن يقول له أجب ربك أمر اختبار وابتلاء لا أمرا يريد الله جل وعلا إمضاءه كما أمر خليله صلى الله على نبينا وعليه بذبح ابنه أمر اختبار وابتلاء دون الأمر الذي أراد الله جل وعلا إمضاءه فلما عزم على ذبح ابنه وتله للجبين فداه بالذبح العظيم وقد بعث الله جل وعلا الملائكة إلى رسله في صور لا يعرفونها كدخول الملائكة على رسوله إبراهيم ولم يعرفهم حتى أوجس منهم خيفة وكمجيء جبريل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وسؤاله إياه عن الإيمان والإسلام فلم يعرفه المصطفى صلى الله عليه وسلم حتى ولى فكان مجيء ملك الموت إلى موسى على غير الصورة التي كان يعرفه موسى عليه السلام عليها وكان موسى غيورا فرأى في داره رجلا لم يعرفه فشال يده فلطمه فأتت لطمته على فقء عينه التي في الصورة التي يتصور بها لا الصورة التي خلقه الله عليها ولما كان المصرح عن نبينا صلى الله عليه وسلم في خبر بن عباس حيث قال أمنى جبريل عند البيت مرتين فذكر الخبر وقال في آخره هذا وقتك ووقت الأنبياء قبلك كان في هذا الخبر البيان الواضح أن بعض شرائعنا قد تتفق ببعض شرائع من قبلنا من الأمم ولما كان من شريعتنا أن من فقأ عين الداخل داره بغير إذنه أو الناظر إلى بيته بغير أمره من غير جناح على فاعله ولا حرج على مرتكبه للأخبار الجمة الواردة فيه التي أمليناها في غير موضع من كتبنا كان جائزا اتفاق هذه الشريعة بشريعة موسى بإسقاط الحرج عمن فقأ عين الداخل داره بغير إذنه فكان استعمال موسى هذا الفعل مباحا له ولا حرج عليه في فعله فلما رجع ملك الموت إلى ربه وأخبره بما كان من موسى فيه أمره ثانيا بأمر آخر أمر اختبار وابتلاء كما ذكرنا قبل إذ قال الله له قل له إن شئت فضع يدك على متن ثور فلك بكل ما غطت يدك بكل شعرة سنة فلما علم موسى كليم الله صلى الله على نبينا وعليه أنه ملك الموت وأنه جاءه بالرسالة من عند الله طابت نفسه بالموت ولم يستمهل وقال فالآن فلو كانت المرة الأولى عرفه موسى أنه ملك الموت لاستعمل ما استعمل في المرة الأخرى عند تيقنه وعلمه به ضد قول من زعم أن أصحاب الحديث حمالة الحطب ورعاة الليل يجمعون ما لا ينتفعون به ويروون ما لا يؤجرون عليه ويقولون بما يبطله الإسلام جهلا منه لمعاني الأخبار وترك التفقه في الآثار معتمدا منه على رأيه المنكوس وقياسه المعكوس

”Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah mengutus Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wasallam untuk mengajari makhluk-Nya, lalu Allah menurunkannya sebagai posisi penjelas terhadap kehendak-Nya. Selanjutnya, Nabi ‎shallallaahu ‘alaihi wasallam menyampaikan risalah-Nya dan meneranhkan ayat-ayat-Nya dengan lafadh-lafadh yang global maupun terperinci, yang dapat dipahami oleh para shahabatnya atau sebagian dari mereka. Dan hadits ini termasuk dari berita-berita Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang bisa ditangkap maknanya oleh orang yang tidak diharamkan mendapat taufik untuk mencapai yang hak. Demikianlah, bahwasannya Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah mengutus Malaikat Maut kepada Nabi Musa ‎‘alaihis-salaam dengan sebuah risalah sebagai ujian dan cobaan. Adapun perintah Allah untuk Malaikat Maut agar mengtaakan kepada Nabi Musa : ” Penuhilan panggilan Tuhanmu” ; ini merupakan perintah sebagai ujian dan cobaan, dan bukanlah perintah yang Allah inginkan (secara terang-terangan) untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah kepada kekasih-Nya (yaitu Nabi Ibrahim) – semoga shalawat atas Nabi kita dan Nabi Ibrahim – untuk menyembelih putranya merupakan perintah sebagai ujian dan cobaan. Bukan perintah yang Allah inginkan (secara terang-terangan) untuk melaksanakannya. Maka ketika Ibrahim berkeinginan keras untuk menyembelih putranya dan beliau telah membaringkan putranya di atas pelipisnya, Allah pun menggantinya dengan seekor sembelihan yang besar. Dan sungguh Allah telah mengutus para malaikat kepada Rasul-Rasul-Nya, dalam wujud yang mereka (para Rasul itu) tidak mengenalnya. Seperti malaikat-malaikat yang menemui Ibrahim, sedangkan ia tidak mengenali para malaikat itu sehingga timbullah rasa takut kepada mereka. Dan juga seperti datangnya Jibril kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tentang iman dan Islam, sementara Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam belum mengenalnya hingga Jibril pergi (barulah beliau mengetahuinya). Begitu pula datangnya Malaikat Maut kepada Musa ’alaihis-salaam bukan dengan wujud yang biasa dikenal oleh Musa, sedangkan Musa adalah seorang Nabi yang sangat kokoh (dalam memegang agamnya). Maka ketika melihat di dalam rumahnya ada seorang laki-laki yang tidak dikenalinya (dan menginginkan nyawanya), ia pun mengangkat tangannya lalu menampar malaikat tersebut. Tamparan Musa itu menjadikan mata malaikat itu buta dalam wujud jelmaannya. Bukan dalam wujud asli yang Allah ciptakan.
Adapun keterangan para malaikat datang terang-terangan kepada Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam terdapat dalam riwayat Ibnu ’Abbas radliyallaahu ’anhuma, dimana Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Jibril mengimamiku di dekat Ka’bah sebanyak dua kali” ; lalu disebutkan riwayatnya. Dan di akhirnya Nabi ‎shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Ini adalah waktuku dan waktu para nabi sebelumku”. Pada hadits ini terdapat keterangan yang jelas bahwa sebagian syari’at kita memiliki kesamaan dengan sebagian syari’at umat-umat sebelum kita. Dimana termasuk dari syari’at kita adalah : Barangsiapa yang mencungkil mata seseorang yang masuk rumahnya tanpa ijin atau seseorang yang melihat ke dalam rumahnya tanpa perintahnya, maka tidak ada dosa bagi pelakunya dan tidak apa-apa terhadap yang melakukannya. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang menerangkan dalam permasalahan tersebut yang telah kami sampaikan di banyak tempat di dalam kitab-kitab kami. Jadi perbuatan tersebut diperbolehkan. Maka syari’at ini sesuai dengan syari’at Nabi Musa dalam hal tidak berdosanya orang yang mencungkil mata seseorang yang masuk rumahnya tanpa ijin. Dan Nabi Musa melakukan perbuatan tersebut karena diperbolehkan dan tidak ada dosa baginya untuk melakukannya. Ketika Malaikat Maut kembali kepada Rabbnya dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dengan Nabi Musa, maka Allah memerintahkannya untuk yang kedua kalinya dengan perintah yang lain, yaitu perintah sebagai ujian dan cobaan, sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya. Allah mengatakan kepadanya : ”Katakan kepada Musa, jika engkau mau, letakkan tanganmu ke punggung sapi jantan. Maka engkau akan mendapatkan penangguhan (kematian) sejumlah bulu (sapi jantan) yang tertutupi tanganmu, dengan setiap bulunya terhitung satu tahun (penangguhan)”.
Ketika Musa Kalimullah – semoga keselamatan atas Nabi kita dan atas Nabi Musa – mengetahui bahwa orang itu adalah Malaikat Maut, dan ia datang membawa risalah dari Allah, maka dirinya merasa lebih baik untuk memilih kematian dan tidak menangguhnya. Nabi Musa berkata : ” ’Jika demikian, sekarang (waktunya)!”. Seandanya pada saat kedatangan yang pertama Nabi Musa telah mengetahui bahwa orang itu adalah Malaikat Maut, maka malaikat tersebut tidak perlu datang lagi kepada Nabi Musa untuk kedua kalinya dalam rangka untuk meyakinkannya.
Keterangan ini bertentangan dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahwa Ashhaabul-Hadiits adalah para pembawa kayu bakar dan penjaga malam yang mengumpulkan hal-hal yang tidak bermanfaat, dan meriwayatkan hal-hal yang tidak bernilai pahala. Orang-orang tersebut mengatakan sesuatu yang dapat membatalkan keislaman mereka, karena mereka tidak mengetahui makna-makna dari hadits tersebut, serta meninggalkan tafaqquh (memahami agama) dan riwayat-riwayat. Kemudian mereka bersandar kepada akal dan qiyas yang berubah-rubah” [selesai – Shahih Ibni Hibban no. 6223].

3.    Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

قَالَ الْمَازِرِيّ : وَقَدْ أَنْكَرَ بَعْض الْمَلَاحِدَة هَذَا الْحَدِيث , وَأَنْكَرَ تَصَوُّره , قَالُوا كَيْف يَجُوزُ عَلَى مُوسَى فَقْء عَيْن مَلَك الْمَوْت ؟ قَالَ : وَأَجَابَ الْعُلَمَاء عَنْ هَذَا بِأَجْوِبَةٍ : أَحَدهَا أَنَّهُ لَا يَمْتَنِع أَنْ يَكُونَ مُوسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَذِنَ اللَّه تَعَالَى لَهُ فِي هَذِهِ اللَّطْمَة , وَيَكُون ذَلِكَ اِمْتِحَانًا لِلْمَلْطُومِ , وَاَللَّه سُبْحَانه وَتَعَالَى يَفْعَلُ فِي خَلْقه مَا شَاءَ , وَيَمْتَحِنُهُمْ بِمَا أَرَادَ . وَالثَّانِي أَنَّ هَذَا عَلَى الْمَجَاز , وَالْمُرَاد أَنَّ مُوسَى نَاظَرَهُ وَحَاجَّهُ فَغَلَبَهُ بِالْحُجَّةِ , وَيُقَالُ : فَقَأَ فُلَان عَيْن فُلَان إِذَا غَالَبَهُ بِالْحُجَّةِ , وَيُقَالُ : عَوَرْت الشَّيْء إِذَا أَدْخَلْت فِيهِ نَقْصًا قَالَ : وَفِي هَذَا ضَعْفٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " فَرَدَّ اللَّه عَيْنه " فَإِنْ قِيلَ : أَرَادَ رَدّ حُجَّته كَانَ بَعِيدًا . وَالثَّالِث أَنَّ مُوسَى صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ مَلَك مِنْ عِنْد اللَّه , وَظَنَّ أَنَّهُ رَجُلٌ قَصَدَهُ يُرِيدُ نَفْسَهُ , فَدَافَعَهُ عَنْهَا , فَأَدَّتْ الْمُدَافَعَةُ إِلَى فَقْءِ عَيْنِهِ , لَا أَنَّهُ قَصَدَهَا بِالْفَقْءِ , وَتُؤَيِّدُهُ رِوَايَة ( صَكَّهُ ) , وَهَذَا جَوَاب الْإِمَام أَبِي بَكْر بْن خُزَيْمَةَ وَغَيْره مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ , وَاخْتَارَهُ الْمَازِرِيّ وَالْقَاضِي عِيَاض

”Telah berkata Al-Maziri : Sebagian atheis mengingkari hadits ini beserta gambarannya dengan argumen : ”Bagaimana mungkin Nabi Musa mencongkel mata Malaikat Maut ?”. Maka para ulama menjawab syubhat ini dengan beberapa jawaban : Pertama ; Tidak mustahil bila Allah mengijinkan Musa’alaihis-salaam untuk melakukan tamparan ini sebagai ujian dan cobaan bagi yang ditampar (yaitu Malaikat Maut), karena Allah melakukan pada makhluk-Nya sekehendak-Nya. Juga, menguji makhluk-Nya dengan sekehendak-Nya pula. Kedua ; Hal ini adalah majaz. Maksudnya, Musa hendak mendebat Malaikat dan adu argumentasi dengannya sehingga mengalahkannya. Dikatakan faqa-a fulaanun ’aina fulaanin apabila ia mengalahkan argumen lawannya. Tetapi pendapat ini lemah, karena sabda Nabi ‎shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Lalu Allah mengambalikan matanya”. Bila dikatakan bahwa maksudnya adalah ”mengambalikan membantah hujjahnya” ; maka ini adalah jauh sekali. Ketiga ; Musa tidak tahu bahwa yang datang padanya adalah Malaikat utusan Allah. Musa mengira bahwa dia adalah orang asing yang menginginkan nyawanya, sehingga Musa harus membela dirinya dan menamparnya. Pembelaan ini membuat dirinya tanpa sengaja mencungkil matanya. Ini adalah jawaban Al-Imam Abu Bakr bin Khuzaimah dan yang lainnya dari kalangan ulama terdahulu. Pendapat ini juga dipilih  oleh Al-Maziri dan Al-Qadli ’Iyadl” [Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi hal. 1621–1622].

Beberapa Faedah

Hadits ini termasuk hadits-hadits yang diingkari oleh Jahmiyah dan orang-orang yang sesat lainnya. Menurut mereka, bisa jadi Nabi Musa sudah mengenal Malaikat Maut, bisa jadi pula tidak mengenalnya. Kalau beliau mengenalnya, dengan memukulnya berarti beliau telah menzalimi Malaikat Maut tersebut. Seandainya belum, riwayat yang menyebutkan bahwa Malaikat Maut itu menemui Nabi Musa dalam keadaan terang-terangan tidak ada artinya.

Sanggahan ini tidak lain berasal dari orang-orang yang telah dibutakan oleh Allah ‘azza wa jalla mata hatinya. Pengertian hadits ini sahih, tidak seperti dugaan kaum Jahmiyah. Sebab, Allah‘azza wa jalla tidak mengutus kepada beliau sosok Malaikat Maut yang ketika itu ingin mencabut ruhnya, tetapi untuk menguji beliau, seperti Allah ‘azza wa jalla memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih Ismail bin Ibrahim ‎‘alaihissalam. Andaikata Allah ‘azza wa jalla ingin mencabut ruh beliau ketika mengilhamkan Malaikat Maut untuk itu, pastilah terjadi apa yang dikehendaki Allah ‘azza wa jalla.

Mustahil Nabi Musa mengenali Malaikat Maut lalu menamparnya hingga lepas matanya. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga pernah didatangi para malaikat dalam keadaan beliau tidak mengenali mereka pada awalnya. Seandainya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengenali mereka, tentu tidak akan menyuguhkan hidangan lezat agar mereka memakannya dan tidak merasa takut ketika mereka tidak menyentuh makanan itu. Lantas, mengapa harus heran kalau Nabi Musa tidak mengenali Malaikat Maut?

Pendapat mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak mengkisas Nabi Musa, menunjukkan kebodohan mereka. Siapa yang menerangkan kepada mereka bahwa antara malaikat dan Bani Adam ada hukum kisas? Siapa pula yang mengabarkan kepada mereka bahwa Malaikat Maut menuntut kisas lalu Allah‘azza wa jalla tidak mengabulkannya? Bahkan, Allah ‘azza wa jalla mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam pernah memukul seorang Qibti hingga Qibti itu mati tetapi tidak mengkisas beliau.
Alhasil, kisah ini bukanlah dongeng yang dibuat-buat, karena beritanya sahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang yang sudah mengikrarkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah‘azza wa jalla dan Muhammad ‎shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allah ‘azza wa jalla serta utusan (Rasul)-Nya, tidak ada alasan lain kecuali tunduk menerima berita ini. Sebab, ketundukan dan kelapangan hatinya membenarkan dan menerima berita ini adalah salah satu bukti kejujurannya bersyahadat.

Selain itu, berita ini adalah perkara gaib yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bukan hak kita untuk menanyakan bagaimana dan mengapa-nya? Lebih-lebih lagi, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang jujur lagi dibenarkan. Beliau tidak berbicara kecuali dengan wahyu yang diturunkan kepada beliau. Adakah seorang yang beriman akan mengingkari berita yang sahih dari beliau? Tentu tidak ada.

Faedah lainnya, bahwa syariat para Nabi sebelum kita adalah syariat kita juga, selama tidak ada yang menghapusnya. Nabi Musa meminta didekatkan ke Tanah Suci agar dikuburkan di sana, bahkan membawa serta jasad Nabi Yusuf ketika mereka meninggalkan Mesir. Akan tetapi, semua ini dihapus berdasarkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keinginan beberapa sahabat yang hendak menguburkan syuhada Uhud di Madinah, wallahu a’lam.

Mengapa makam Nabi Musa berada di luar Baitul Maqdis?

Ibnu Hajar rahimahullah, salah seorang ulama besar mazhab Syafi’i, hakim negeri Mesir, menukilkan pendapat Ibnu Baththal dari ulama sebelumnya, bahwa hikmah makam Nabi Musa ‎‘alaihissalam tidak berada di dalam Baitul Maqdis adalah agar menyamarkan letaknya, sehingga tidak dijadikan berhala (sesuatu yang disembah dan dipuja-puja selain Allah‘azza wa jalla) oleh orang-orang yang jahil di kalangan pengikut beliau.

Hadits ini tidak bisa dijadikan dalil bolehnya memindahkan jenazah dari satu daerah ke daerah yang lain. Mengapa?
Ada beberapa alasan. Di antaranya ialah bahwa syariat umat terdahulu adalah syariat kita juga, selama tidak ada yang menghapusnya di dalam syariat kita. Ternyata, hal ini ada penjelasannya dalam syariat kita, yaitu larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkan syuhada perang Uhud dan memerintahkan para sahabat menguburkan mereka di tempat mereka terbunuh. Jadi, yang sesuai dengan sunnah ialah menguburkan seorang muslim di mana dia meninggal dunia, selama tidak ada penghalang yang syar’i.

Hadits ini dicantumkan dalam masalah akidah karena adanya segolongan ahli bid’ah yang mengingkari berita yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Mereka menganggap mustahil. Alasannya, karena tidak mungkin Nabi Musa ‘alaihissalam yang mulia akan menampar seorang malaikat. Bantahan atas keraguan dan pengingkaran mereka, telah disebutkan di atas.

Pelajaran Dari Hadits

1. Hadis ini menunjukkan bahwa sebelum nyawa para nabi dicabut, mereka diberi pilihan antara terus hidup atau berpindah kepada rahmatullah sebagaimana Musa diberi pilihan. Aisyah telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada waktu beliau sakit menjelang wafatnya, "Ya Allah, Rafiqul A'la." Aisyah mengerti bahwa beliau diberi pilihan maka beliau memilih. 
2. Kemampuan malaikat menjelma dalam wujud manusia sebagaimana malaikat maut mendatangi Musa dalam wujud manusia. 
3. Kematian adalah haq dan pasti, jika ada yang terlepas dari maut tentulah mereka adalah para nabi dan rasul. 
4. Kedudukan Musa di sisi Allah di mana dia menampar malaikat maut lalu rusak matanya, kalau bukan karena kemuliaan Musa di hadapan Allah mungkin saja malaikat akan membalas dengan keras. 
5. Tidak ada alasan yang logik untuk menolak kejadian yang shahih ini. Rusaknya mata malaikat karena tamparan Musa terjadi karena malaikat datang dalam wujud seorang manusia. Disinilah letak ujian bagi orang-orang beriman, apakah mereka mempercayainya atau tidak? 
6. Keberadaan kubur Musa di tepi perbatasan tanah suci dan Rasulullah mengetahui tempat kuburnya, beliau menunjukkan sebagian alamat kuburnya yaitu di tepi jalan di tanah pasir merah. 
7. Keinginan Musa agar kuburnya dekat dengan tanah suci dan boleh-boleh saja bagi siapa yang ingin mati di tanah suci. 
8. Tanah suci yang diberkahi memiliki batasan. Musa meminta kepada Allah agar mendekatkan kuburnya darinya sejauh batu dilempar, oleh karena itu Musa dikuburdi luar di pinggirannya.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...