Minggu, 24 Oktober 2021

Penjelasan Qunut Nazilah


Qunut adalah bacaan doa yang dilakukan pada rakaat akhir setelah bangun dari rukuk. Qunut dalam mazhab Syafi'i ada tiga macam yaitu qunut ratib (jamak, rawatib), qunut witir dan qunut nazilah. Qunut rawatib adalah qunut yang dilakukan secara teratur dan terus menerus. Qunut ratib terjadi pada waktu shalat subuh. Yang kedua adalah qunut witir yaitu qunut yang dibaca setiap rakaat akhir shalat witir. Ketiga, nazilah yaitu qunut yang dilakukan saat umat Islam terimpa musibah atau bencana. Qunut nazilah sunnah di lakukan di setiap shalat fardhu. Hukumnya qunut adalah sunnah.

Kata (an Nazilah)” artinya: Musibah, bencana, malapetaka.

Jadi, qunut Nazilah yaitu qunut untuk mendo’akan kebaikan (kemenangan) bagi kaum Muslimin dan mendo’akan kecelakaan (kebinasaan) bagi kaum Kafir atau Musyrik yang menjadi musuh Islam.

Qunut Nazilah ini hukumnya sunnat dan adanya di lima waktu shalat wajib; Shubuh, Zhuhur, ‘Ashar, Magh-rib dan Isya’. Tempatnya doa qunut ialah waktu berdiri sesudah ruku’ di raka’at yang akhir. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut sebelum ruku’ maksudnya: Lama berdiri dalam membaca ayat, sebagaimana disebutkan dalam hadits:

أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُوْلُ الْقُنُوْتِ

” Seutama-utama shalat yaitu yang lama berdirinya.”‎
‎HADITS-HADITS SHAHIH TENTANG QUNUT NAZILAH

HADITS PERTAMA

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلاَةِ الْصُّبْحِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، مِنَ الرَّكْعَةِ اْلأَخِرَةِ يَدْعُوْ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِيْ سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ، وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ. (وَكَانَ أَرْسَلَ يَدْعُوْهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَقَتَلُوْهُمْ . قَالَ عِكْرِمَةُ : هَذَا مِفْتَاحُ الْقُنُوْتِ).
اخرجه أبو داود رقم (1443) وابن الجارود رقم (106) وأحمد (1/ 301-302) والحاكم (1/325-326) والبيهقي (2/200) وقال الحاكم: صحيح على شرط البخاري ووافقه الذهبي .

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah qunut selama satu bulan secara terus-menerus pada shalat Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, Isya dan Shubuh di akhir setiap shalat, (yaitu) apabila ia mengucap Sami’Allahu liman hamidah di raka’at yang akhir, beliau mendo’akan kebinasaan atas kabilah Ri’lin, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang ada pada perkampungan Bani Sulaim, dan orang-orang di belakang beliau mengucapkan amin.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnul Jarud, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi. Dan Imam al-Hakim menambahkan bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus para da’i agar mereka (kabilah-kabilah itu) masuk Islam, tapi malah mereka membunuh para da’i itu. ‘Ikrimah berkata: Inilah pertama kali qunut diadakan.‎

HADIS KEDUA 

Daripada Anas bin Malik RA:

أَنَّ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ اسْتَمَدُّوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عَدُوٍّ فَأَمَدَّهُمْ بِسَبْعِينَ مِنَ الْأَنْصَارِ كُنَّا نُسَمِّيهِمُ الْقُرَّاءَ فِي زَمَانِهِمْ كَانُوا يَحْتَطِبُونَ بِالنَّهَارِ وَيُصَلُّونَ بِاللَّيْلِ حَتَّى كَانُوا بِبِئْرِ مَعُونَةَ قَتَلُوهُمْ وَغَدَرُوا بِهِمْ فَبَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو فِي الصُّبْحِ عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لَحْيَانَ‎

Mafhumnya: “Bahawa Bani Ri’lin, Zakwan, Usaiyah dan Bani Lahyan pernah meminta pertolongan dari Rasulullah SAW untuk menghadapi musuh mereka. Maka baginda menghantar bantuan seramai 70 orang sahabat dari golongan Ansar. Kami menamakan mereka sebagai al-Qurra, mereka dahulunya mengedarkan makanan untuk orang-orang yang memerlukan pada siang hari dan banyak menunaikan solat pada malam hari. Sehinggalah mereka sampai di Bi’ri Ma’unah, tiba-tiba mereka di bunuh dan dikhanati oleh kabilah-kabilah berkenaan. Apabila berita itu sampai kepada Nabi SAW, baginda membaca qunut (Nazilah) selama sebulan dan berdoa dalam solat Subuh untuk dikenakan balasan ke atas jenayah dan pengkhianatan Bani Ri’lin, Zakwan, ‘Usayyah dan Bani Lahyan.” (HR al-Bukhari)

Hadits sunnahnya Qunut nazilah apabila tertimpa musibah atau bencana:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقنت في الفجر والظهر والعصر والمغرب والعشاء

Artinya: Bahwasanya Nabi Muhammad melakukan qunut (nazilah) pada saat shalat subuh, dhuhur (dzuhur), ashar, maghrib, dan isya' (HR Ahmad) Diriwayatkan juga bahwa Umar bin Khattab membaca doa qunut pada shalat Subuh di hadapan para sahabat dan lainnya. 

Berkenaan dengan Hadith yang diriwayatkan oleh Anas ini, menurut al Haithami, para perawinya adalah tsiqah (dapat dipercaya). Menurut Imam Nawawi ia diriwayatkan oleh sekumpulan huffadz (ahli hadith) dan mengakui kesahihannya. 

Kesahihan ini dinyatakan juga oleh al Hafiz al Balkhi, Al Hakim, Al Baihaqi dan ia juga diriwayatkan oleh Ad Daruqutni melalui beberapa jalan dengan sanad yang sahih. Dalam mazhab Syafi'i adalah sunnah hukumnya membaca doa qunut waku melaksanakan shalat subuh, baik saat turunnya bala' atau tidak. 

Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Ibnu Abbas, Barra’ bin Azib. Lihat: Kitab Al Majmu’ Syarah Muhadzab III halaman 504. 
Syekh Nawawi Banten dalam kitab Kasyifatussaja mendefinisikan qunut sbb:

والقنوت هو ذكر مخصوص مشتمل على دعاء وثناء ويحصل بكل لفظ اشتمل عليهما بأي صيغة شاء كقوله: اللهم اغفر لي يا غفور، فالدعاء يحصل باغفر والثناء بغفور، وكذلك ارحمني يا رحيم وقوله: الطف بي يا لطيف وهكذا،

Artinya: Qunut adalah dzikir tertentu yang mengandung doa dan pujian (pada Allah). (Oleh karena itu) setiap kalimat yang mengadung kedua unsur itu dapat digunakan. Seperti kalimat: Allahumma ighfir li Ya Ghafur. Kata "ighfir" adalah doa. Sedangkan kata "ghafur" adalah pujian. Begitu juga kalimat "Irhamni Ya Rahim" dan "Ultuf bi Ya Latif" dan seterusnya. 

Karena qunut adalah suatu dzikir yang khusus maka boleh diganti dengan doa lain asal diniati untuk qunut:

ومثل الذكر المخصوص آية تتضمن ذلك كآخر سورة البقرة بشرط أن يقصد بها القنوت، وكقوله تعالى: ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلاًّ للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم} ((59)الحشر:10)


Artinya: Sama dengan dzikir khusus adalah ayat yang mengandung dzikir seperti akhir surat Al Baqarah dengan syarat harus diniati qunut. Seperti firman Allah dalam QS Al-Hasyr 59:10 

Qunut Sayyidina ‘Umar bin Khaththab berikut ini, 
 
اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَفْجُرُكَ؛ اللَّهُمَّ إيَّاكَ نعبدُ، ولَكَ نُصلي وَنَسْجُد، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بالكُفَّارِ مُلْحِقٌ. اللَّهُمَّ عَذّبِ الكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ، ويُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَيُقاتِلُونَ أوْلِيَاءَكَ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ للْمُؤْمِنِينَ والمؤمنات والمسلمين والمُسْلِماتِ، وأصْلِح ذَاتَ بَيْنِهِمْ، وأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ، وَاجْعَلْ فِي قُلُوبِهِم الإِيمَانَ وَالحِكْمَةَ، وَثَبِّتْهُمْ على مِلَّةِ رسولِك صلى الله عليه وسلم، وَأَوْزِعْهُمْ أنْ يُوفُوا بِعَهْدِكَ الَّذي عاهَدْتَهُمْ عَلَيْهِ، وَانْصُرْهُمْ على عَدُّوَكَ وَعَدُوِّهِمْ، إِلهَ الحَقّ، وَاجْعَلْنا منهم
 
Bahkan boleh dengan do’a apa saja bila tidak hafal redaksi do’a qunut diatas, dan itu sudah hasil sebagai qunut. Hal ini, menurut Imam Nawawi adalah pendapat yang mukhtar (yang dipilih dalam madzhab Syafi’iyah). Dianjurkan juga bersamaan antara imam dan makmum dalam mengucapkan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa didalam qunut, karena tidak ada "amin" pada rentan waktu tersebut sehingga mengucapkan bersamaan itu lebih utama.
 
Disunnahkan juga mengangkat kedua tangan ketika berqunut tanpa mengusap muka, menurut pendapat yang lebih shahih, namun tidak apa-apa bila mengusap muka, tapi sebagian ulama ada yang memakruhkan mengusap muka ketika qunut.
HUKUM MENAMBAH BACAAN QUNUT DENGAN QUNUT UMAR DAN DOA LAIN 

Membaca doa qunut yang biasa itu sunnah. Dan menambahnya dengan doa qunut Umar juga sunnah menurut Imam Nawawi asal dalam keadaan sendirian atau bersama makmum yang diketahui rela dengan doa yang panjang. Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar lin Nawawi hlm. 88 menyatakan: ‎

قال أصحابنا: يستحب الجمع بين قنوت عمر رضي الله عنه وبين ما سبق، فإن جمع بينهما فالأصح تأخير قنوت عمر، وفي وجه يستحب تقديمه. وإن اقتصر فليقتصر على الأول، وإنما يستحب الجمع بينهما إذا كان منفرداً أو إمامَ محصورين يرضون بالتطويل
Artinya: Ulama madzhab Syafi'i menyatakan bahwa sunnah mengumpulkan antara qunut yang biasa dengan qunut Umar. Kalau dikumpulkan, maka sebaiknya qunut Umar diakhirkan. Ada pendapat sunnah mendahulukannya. Apabila memilih salah satu, maka hendaknya memilih qunut yang biasa. Sunnahnya mengumpulkan keduanya apabila shalat sendiri atau berjemaah dengan makmum yang rela doa panjang. 

Imam Nawawi juga berpendapat bahwa doa qunut tidak harus berupa bacaan yang berasal dari Nabi atau dari Umar. Bacaan qunut bisa saja berupa doa apa apa saja, termasuk berupa satu ayat atau dua ayat Quran apabila mengandung doa. ‎

Berdasarkan pada hadits di atas, maka menurut para ulama mazhab Syafi'i qunut nazilah juga sunnah dilaksanakan pada shalat Jum'at. Karena, kalau Nabi pernah melakukan qunut nazilah setiap shalat fardhu sebulan penuh maka itu artinya shalat Jum'at termasuk di dalamnya. Imam Syafi'i dalam kitab Al-Umm, bab "Qunut Al-Jumah", hlm. 1/236 menyatakan :
حكى عدد صلاة النبي صلى الله عليه وسلم الجمعة فما علمت أحدا منهم حكى أنه قنت فيها إلا أن تكون دخلت في جملة قنوته في الصلوات كلهن حين قنت على قتلة أهل بئر معونة، ولا قنوت في شيء من الصلوات إلا الصبح إلا أن تنزل نازلة فيقنت في الصلوات كلهن إن شاء الإمام‎

Artinya: Sejumlah perawi hadits meriwayatkan shalat Jumat-nya Nabi. Tidak ada satupun dari mereka yang meriwayatkan bahwa Nabi melakukan qunut pada shalat Jum'at kecuali apabila Nabi melakukan qunut nazilah pada semua shalat fardhu ketika beliau qunut atas terbunuhnya penduduk Bir Maunah. Dan tidak disunnahkan qunut (rawatib) pada shalat fardhu selain Subuh kecuali saat turunnya bencana (nazilah) maka boleh melakukan qunut pada seluruh shalat wajib apabila imam berkehendak. 

Imam Romli dalam Nihayatul Muhtaj, hlm. 1/508 menyatakan:

( ويشرع ) أي يستحب ( القنوت ) مع ما مر أيضا ( في سائر المكتوبات ) أي باقيها من الخمس في اعتدال الركعة الأخيرة ( للنازلة ) إذا نزلت بأن نزلت بالمسلمين ولو واحدا على ما بحثه جمع ، لكن اشترط فيه الإسنوي تعدي نفعه كأسر العالم والشجاع وهو ظاهر
Artinya: Disunnahkan qunut pada lima shalat fardhu yang lain pada saat i'tidal (bangun) dari rakaat akhir untuk qunut nazilah apabila terjadi musibah / bencaa pada umat Islam, walaupun satu orang, berdasarkan pendapat segolongan ulama. Namun Imam Asnawi mensyaratkan manfaatnya melebihi satu orang seperti ditahannya orang alim atau pemberani. 
CONTOH DOA QUNUT NAZILAH

اَللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَعِيْنُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلَا نَكْفُرُكَ، اللهُمَّ إيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إنَّ عَذَابَكَ الجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ،

اَللَّهُمَّ عَذِّبِ الْكَفَرَةَ وَأَهْلَ الْكِتَابِ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ،اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الإسْلَامَ وَالْمُسلمين، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرْ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْن, اَللَّهُمَّ أَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالطُّغَاةَ وَالظَّالِمِيْنَ يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْن، اَللَّهُمَّ اِنَّنَا نَجْعَلُكَ فى نُحُورِ أَعْدَاءِنَا و نَعُوذُ بِكَ مِنْ شُرُورِهِمْ, اَللَّهُمَّ بَدِّدْ شَمْلَهُمْ وَ فَرِّقْ جَمْعَهُمْ وَشَتِّتْ كَلِمَتَهُمْ وَزَلْزِلْ أَقْدَامَهُمْ يَا قَهَّار, يَا جَبَّار, يَا مُنْتَقِم, يَا الله, يَا الله, يَا الله.

اللهُمَّ يَا مُنْزِلَ الْكِتَابِ، وَيَا مُجْرِيَ السَّحَابِ، وَيَا هَازِمَ الْأَحْزَابِ، اِهْزِمْهُمْ وَاْنصُرْنَا عَلَيْهِمْ.

اَللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ فِلِسْطِيْن، اَللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْلِمِيْن فِيْ كُلِّ مَكَان, اَللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ, اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى اليَهُودَ الغَاصِبِيْنَ المُحْتَلِّيْنَ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ، اَللَّهُمَّ أهْلِكْ الصِّهْيُوْنِيَّةَ وَمَنْ وَالَاهُمْ, اَللَّهُمَّ أهْلِكْ الصِّهْيُوْنِيَّةَ وَمَنْ وَالَاهُمْ، اَللَّهُمَّ أهْلِكْ الصِّهْيُوْنِيَّةَ وَمَنْ وَالَاهُمْ.

اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِكْ، والْمُضْطَهَدِيْنَ فِيْ دِيْنِهِمْ فِيْ كُلِّ مَكَان، اَللَّهُمَّ انْصُرْ إخْوَانَنَا فِيْ فِلِسْطِيْن وفي رُوْهِيڠيَا، اَللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ، اَللَّهُمَّ اجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ، وَوَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ، يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ, رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ.‎

MAKSUDNYA: 
“Ya Allah sesungguhnya kami memohon pertolongan dariMU dan kami beriman denganMu, dan kami bertawakkal kepada Mu, dan kami memuja Mu dengan kebaikan dan kami tidak mengkufuriMU, Ya Allah hanya engkau yang kami sembah dan kepada Mu kami menunaikan solat dan bersujud, kepadaMu kami menuju, dan kami menyegerakan langkah, kami mengharapkan rahmatMu dan kami takutkan azabMu, sesungguhnya azabMu sangat pedih akan dikenakan kepada orang-orang yang kafir, Ya Allah azablah orang-orag kafir dan Ahli kitab yang menghalangi jalanMU.
Ya Allah muliakanlah Islam dan kaum muslimin, dan hinakanlah kesyirikan dan kaum musyrik, Ya Allah hancurkan musuh-musuhMu yang merupakan musuh-musuh agamaMu (Islam), Ya Allah binasakanlah kekufuran, toghut dan orang-orang yang zalim, Wahai tuhan sekelian alam.
Ya Allah kami jadikan Engkau dihadapan musuh-musuh kami dan kami berlindung denganMu dari kejahatan-kejahatan mereka. Ya Allah cerai-beraikan kekuatan mereka, pecah-belahkan kesatuan mereka, selerakkanlah kalimah mereka, dan goncangkan kedudukan mereka, Wahai Tuhan Yang Maha Gagah, wahai Tuhan Yang Maha Keras, wahai Tuhan Yang Maha Membalas, Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah.
Ya Allah, wahai Tuhan, yang menurunkan al-Kitab, wahai Tuhan yang menggerakkan awan, wahai Tuhan yang mengalahkan tentera al-Ahzab, kalahkanlah mereka (orang-orang kuffar) dan bantulah kami menghadapi mereka.

Ya Allah, selamatkanlah kaum muslimin di Palestin dan Rohingya, Ya Allah selamatkanlah kaum muslimin di semua tempat, Ya Allah selamatkanlah kaum-kaum yang lemah dari kalangan orang-orang yang beriman, Ya Allah keraskan balasanMu ke atas orang-orang Yahudi Perampas dan Penjajah, Ya Allah kenakan ke atas mereka tahun-tahun keperitan seperti tahun-tahun keperitan pada zaman Nabi Yusuf. Ya Allah hancurkan Yahudi Zionis dan penyokong-penyokongnya, Ya Allah hancurkan Yahudi Zionis dan penyokong-penyokongnya, Ya Allah hancurkan Yahudi Zionis dan penyokong-penyokongnya.

Allah bantulah saudara-saudara kami para pejuang di jalanMu, yang ditindas kerana agama yang mereka anuti di semua tempat. Ya Allah bantulah saudara-saudara kami di Palestin dan di Rohingya, Ya Allah bantulah mereka, Ya Allah bantulah mereka berdepan dengan musuhMu dan musuh mereka, Ya Allah satukanlah kalimah mereka, dan saf-saf mereka, wahai Tuhan sekelian alam, Wahai Tuhan kami sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampunkan kami dan mengasihani kami, sudah pasti kami akan tergolong dari kalangan orang-orang yang rugi."

Tafkir Fitnah Yang Paling Berbahaya Melanda Umat


Dunia Islam dan kaum muslimin dewasa ini cukup menyedihkan. Tuduhan demi tuduhan dilemparkan musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala, akibat ulah sebagian kelompok kaum muslimin. Musuh-musuh Islam terus mengintai negara dan masyarakat Islam; mengintai kapan kaum muslimin berbuat salah, kapan menjadi materialis dan kapan cinta dunia menguasainya.

Akhirnya, masa-masa yang ditunggupun tiba. Kaum muslimin hidup bergelimang dunia dan dosa. Kebodohan menjadi ciri mereka, menyebabkan keluar dan menyelisihi syariat. Tanpa sadar membuat kerusakan di bumi dan seisinya. Padahal sesuatu yang menyelisihi, pasti berbahaya; apalagi dalam permasalahan agama.

Kehinaan dan fitnah pun melanda kaum muslimin, sebagai konsekwensi akibat melanggar dan jauhnya mereka dari syariat RasulNya.

Allah Azza wa Jalla berfirman,

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. [an Nur/24 :63].

Bermunculanlah penyakit dan fitnah dalam tubuh kaum muslimin. Membuat mereka bingung, sedih dan berpecah-belah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan dan mempersatukan kaum muslimin di atas ajaran agama Islam yang benar.

Diantara fitnah yang muncul dan sangat berbahaya dalam tubuh kaum muslimin, yaitu fitnah takfir. Takfir ialah vonis kafir terhadap orang lain yang menyimpang dari syari’at Islam. Fitnah ini berawal dari munculnya sekte Khawarij pada zaman Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Fitnah ini pernah mengguncang dunia Islam. Menumpahkan ribuan, bahkan jutaan darah kaum muslimin. Telah banyak harta dan jiwa yang dikorbankan kaum muslimin untuk meredam fitnah ini.

Fitnah takfir (bermudah-mudahan dalam mengafirkan) sesama muslim merupakan bahaya laten yang harus diwaspadai oleh semua pihak. Karena, cepat atau lambat ia akan menghancurkan  masyarakat muslim, dari lingkup yang paling kecil (keluarga), hingga yang paling besar (negara). Tak heran, bila terkadang kita dikejutkan oleh sebuah fenomena; ada seorang anak yang mengafirkan ayah dan ibunya. Mengafirkan adik, kakak dan saudara-saudaranya. Bahkan mengafirkan pemerintah dan masyarakatnya. Tak berhenti sampai di situ. Ternyata sikap bermudah-mudahan dalam mengafirkan sesama muslim itu berujung pada keyakinan halalnya darah-darah mereka.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallamjauh-jauh hari telah memperingatkan semua itu, sebagaimana dalam sabdanya:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِصَاحِبِهِ: يَا كَافِرُ, فَإِنَّهَا تَجِبُ عَلَى أَحَدِ هِمَا فَإِنْ كَانَ الَّذِي قِيْلَ لَهُ كَافِرًا فَهُوَ كَافِرٌ وَإِلاَّ رَجَعَ إِلَيْهِ مَا قَالَ

“Jika seorang lelaki berkata kepada kawannya: ‘Hai kafir, maka sungguh perkataan itu mengenai salah satu dari keduanya. Bila yang disebut kafir itu memang kafir maka jatuhlah hukuman kafir itu kepadanya. Namun bila tidak, hukuman kafir itu kembali kepada yang mengatakannya.” (HR. Ahmaddari sahabat Abdullah bin ‘Umar. Disahihkan oleh Asy Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq-nya terhadap ‎Musnad Al Imam Ahmad no. 2035, 5077, 5259, 5824)

Lihatlah, sejak pembunuhan khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, disusul dengan terbunuhnya khalifah dan menantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, hingga pemberontakan mereka terhadap negara Islam Bani Umayyah dan Abbasiyah, serta negara-negara Islam hingga saat ini.

Pertama kali muncul, mereka mencela sebaik-baiknya orang shalih waktu itu. Yaitu Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Bukanlah satu hal aneh, karena tokoh pertama mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah telah mencela sebaik-baiknya makhluk Allah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dikisahkan dalam riwayat dibawah ini :

أَنَّ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْسِمُ قِسْمًا أَتَاهُ ذُو الْخُوَيْصِرَةِ وَهُوَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ فَقَالَ وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ قَدْ خِبْتَ وَخَسِرْتَ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ فَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي فِيهِ فَأَضْرِبَ عُنُقَهُ فَقَالَ دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ أَصْحَابًا يَحْقِرُ أَحَدُكُمْ صَلَاتَهُ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَهُ مَعَ صِيَامِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ

“Sesungguhnya Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu anhu bercerita,”Ketika kami bersama Rasululluh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau membagi-bagikan sesuatu. Datanglah Dzul Khuwaishirah seorang yang berasal dari Bani Tamim kepada beliau, lalu berkata,’Wahai Rasulullah berbuat adillah!’ Lalu beliau menjawab,’Celaka kamu, siapakah yang berbuat adil, jika aku tidak berbuat adil? Engkau telah rugi dan celaka jika aku tidak adil’. Umar berkata,’Wahai Rasulullah izinkanlah aku memenggal lehernya’. Beliau menjawab, ’Biarkan dia! Sesungguhnya dia memiliki pengikut. Salah seorang dari kalian akan meremehkan shalatnya dibanding shalat mereka dan puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca al-Qur’an, tapi hanya ditenggorokan mereka saja. Mereka meninggalkan agama, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya’.” [Mutafaqun alaihi].

Nampaklah, bahwa kemunculan Khawarij berawal dari persoalan harta dan penentangan terhadap pemimpin. Sungguh benar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, dan fitnah umatku adalah harta”.

Dzul Khuwaishirah menentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan slogan keadilan. Menuntut keadilan, hak dan persamaan. Dia menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat tidak adil, sehingga menuntut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keadaan pengikutnya.

Tuduhan dan tuntutan seperti ini ditujukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya, kepada orang yang berada dibawah (sesudah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam), dari para penguasa dan wali amri kaum muslimin lebih gampang dan mudah bagi mereka menyampaikan tuntutannya. Ketika pengikut Dzul Khuwaishirah muncul pada zaman Ali bin Abi Thalib, juga karena persoalan harta dan penentangan mereka terhadap kebijakan Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, mereka mengkafirkan pelaku dosa besar, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin seluruhnya, kecuali anggota sektenya. Inilah yang melandasi pemberontakan mereka dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dalam haditsnya,

إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ قَتَلْتُهُمْ قَتْلَ عَادٍ

“Sesungguhnya di belakang orang ini akan lahir satu kaum yang membaca al- Qur’an, tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari Islam, seperti lepasnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan penyembah berhala. Sungguh, jika aku mendapatkan mereka, niscaya aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan kaum ‘Ad”.[Diriwayatkan oleh Abu Daud].

Dan dalam riwayat yang lainnya:

هُمْ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ

“Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah langit” [Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 2926 dan Ibnu Majah dalam Muqaddimah, no.173].‎

Kaum Khawarij ini diperangi kaum muslimin, hingga hampir hilang dari permukaan bumi. Memang, kumpulan mereka ini masih ada di beberapa tempat, seperti : di Oman, Maroko, Al Jazair dan Zanjibar. Diwakili oleh sekte Ibadhiyah. Meskipun demikian, pemikiran dan aqidah mereka masih eksis dan bertebaran di sekitar kaum muslimin. dan terkadang sebagian kaum muslimin tidak sadar memiliki pemikiran dan aqidah mereka ini.

Kemudian lebih dari seperempat abad yang lalu muncullah istilah takfir dan hijrah, ditandai dengan satu kejadian besar. Yaitu pembunuhan terhadap penulis kitab At Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husein Adz Dzahabi.

Jamaah takfir wal hijrah ini dikatakan oleh para peniliti, sebagai bagian dari Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka kecewa dengan sikap dan tindakan tokoh-tokoh pemimpin Ikhwanul Muslimin dengan peran mereka dalam politik negeri Mesir. Lalu mengangkat panji hakimiyah sebagai simbol pemisah kafir dan Islam. Pada akhirnya, mereka mengkafirkan seluruh kaum muslimin, baik penguasa maupun rakyatnya –tentu- kecuali anggota jamaah mereka.

Dari takfir ini, mereka melakukan pembunuhan, peledakan dan pelecehan hak para ulama serta kaum muslimin. Mereka mengambil pemikirannya berdasarkan tulisan dan pernyataan Sayyid Quthub yang telah menjadi imam dan pemikir sejatinya. Kita akan semakin jelas melihatnya, jika mencermati dan menelaah pemikiran Sayyid Quthub, salah seorang tokoh legendaris Jamaah Ikhwanul Muslimin. Mereka banyak menjadikan pemikiran tokoh intelektual ini dalam kaidah beragama. Menyebabkan mereka menjadi orang yang cepat memvonis kafir terhadap orang lain. Mencela para ulama yang tidak cocok atau dianggap tidak sesuai dengan mereka. Hal ini tidaklah mengherankan. Karena orang yang telah terkena fitnah takfir, tentunya tidak lepas dari gaya penampilan para pendahulu mereka dari kalangan Khawarij. Beberapa pemikiran Sayyid Quthub tentang takfir, dapat diketahui besarnya bahaya yang muncul karenanya.

Tentang takfir ini, Sayyid Quthub mengkafirkan hampir seluruh kaum muslimin, termasuk para muadzin yang selalu melantunkan kalimat tauhid. Seperti ini dapat dilihat pada tulisan beliau. Diantara pernyataan beliau, ialah:

1. Manusia telah murtad kepada penyembahan makhluk (paganisme) dan kejahatan agama serta telah keluar dari Laa ilaha Illa Allah. Walaupun sebaian mereka masih selalu mengumandangkan Laa ilaha Illa Allah diatas tempat beradzan”.

2. Manusia telah kembali kepada kejahiliyahan, dan keluar dari Laa ilaha Illa Allah … Manusia seluruhnya -termasuk orang–orang yang selalu mengumandangkan kalimat Laa ilaha illa Allah pada adzan-adzan di timur sampai barat bumi ini tanpa pengertian dan pembuktian nyata- bahkan mereka ini lebih berat dosa dan adzabnya pada hari kiamat; karena mereka telah murtad kepada penyembahan makhluk, setelah jelas bagi mereka petunjuk dan setelah mereka berada di agama Allah.

3. Masyarakat yang menganggap dirinya muslim masuk ke dalam lingkungan masyarakat jahiliyah, bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah. Bukan pula karena menunjukkan syi’ar-syi’ar peribadatan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi mereka masuk ke dalam lingkup ini karena tidak beribadah kepada Allah saja dalam hukum-hukum kehidupannya.

4. Orang yang tidak mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam hakimiyah –di semua zaman dan tempat- adalah orang-orang musyrik. Tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan ini, walaupun mereka berkeyakinan terhadap Laa ilaha illa Allah dan tidak pula syi’ar (peribadatan) yang mereka tujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

5. Di permukaan bumi ini, tidak ada satupun negara Islam dan tidak pula masyarakat muslim.

Sayyid Quthub mengkafirkan masyarakat kaum muslimin yang ada. Karena –masyarakat muslim itu- tidak menggunakan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, beliau mensifatkan penyembah berhala -dari kalangan kaum musyrikin- dengan pernyataannya: “Kesyirikan mereka yang hakiki bukanlah pada permasalahan ini -yaitu penyembahan berhala untuk mendekatkan diri dan meminta syafaat di hadapan Allah- dan tidak pula islamnya orang yang masuk Islam karena meninggalkan permohonan syafaat kepada para berhala tersebut”.

Perhatikanlah pernyataan beliau ini. Bukankah menyelisihi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini?

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan),”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu,” [an Nahl/16 :36]

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu”, [an Nisa/4 :48].

Bahkan para Rasul berdakwah mengajak kaumnya untuk tidak menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyatakan,

يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللهَ مَالَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Ilah bagimu selainNya”. [al A’raf/7 :59].

Kemudian kaum ‘Ad membantah ajakan nabi mereka dengan menyatakan,

قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَاكَانَ يَعْبُدُ ءَابَآؤُنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَآ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

“Mereka berkata,”Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami, maka datangkanlah adzab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al A’raf/7 :70].

Demikian juga kaum Nabi Nuh Alaihissallam, ketika didakwahi untuk tidak menyembah orang shalih yang diyakini dapat memberi syafaat dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka menyatakan,

وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمْ وَلاَتَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَسُوَاعًا وَلاَيَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka berkata,”Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu, dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr,” [Nuh/71 :23].

Ternyata dakwah para Rasul ialah mengajak manusia menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhi syirik dalam peribadatan, bukan syirik hakimiyah; tidak seperti yang mereka inginkan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dalam pernyataan beliau :

يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

“Wahai Bani Adam, sesungguhnya jika kamu menjumpaiKu dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, kemudian menjumpaiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu, sungguh Aku akan memberimu sepenuh pengampunan bumi” [Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no.3463].

يَا مُعَاذُ أَتَدْرِي مَا حَقُّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا أَتَدْرِي مَا حَقُّهُمْ عَلَيْهِ قَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَنْ لَا يُعَذِّبَهُمْ

“Wahai Mu’adz, tahukah engkau, apa hak Allah atas hambaNya?Dia (Mu’adz) menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,“MenyembahNya dan tidak menyekutukanNya. Apakah engkau tahu, apa hak mereka atas Allah?” Mu’adz menjawab,“Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Beliau menjawab,“Tidak mengadzab mereka.” [Muttafaqun Alaihi]

Subhanallah! Seandainya memang benar perkataan dan pernyataan Sayyid Quthub ini, tentulah apa yang didakwahkan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan umat manusia. Ini sungguh kesalahan yang sangat fatal sekali.

Pemikiran takfir ini terus merebak di kalangan para pemuda kaum muslimin yang bersemangat. Sehingga, akibatnya mereka mengorbankan diri untuk meledakkan bom, merusak dan membunuh dengan dalih jihad suci melawan orang kafir. Bahkan lebih dari itu, mereka melecehkan para ulama dan mengkafirkannya. Lantaran para ulama itu tidak mengkafirkan orang yang telah kafir. Sungguh mengerikan akibat ditimbulkan dari pemikiran takfir ini.

Maka, sudah seharusnya kaum muslimin senantiasa waspada terhadap kembalinya pemikiran-pemikiran yang merusak ini. Yaitu dengan menuntut ilmu agama dari para ulama, dan tidak tergesa-gesa memvonis kafir (takfir) terhadap orang lain, serta senantiasa menyerahkan permasalahan kepada ahlinya.‎

Mengapa Fitnah Takfir Itu Bergulir hingga Hari Ini?

Bergulirnya fitnah takfir hingga hari ini mempunyai banyak sebab. Di antaranya:

– Dangkalnya ilmu dan kurangnya pemahaman tentang agama.

– Memahami agama tidak dengan pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.

– Jeleknya pemahaman yang dibangun di atas jeleknya niat.

– Adanya kecemburuan (ghirah) terhadap agama yang berlebihan atau semangat yang tidak pada tempatnya. (Lihat Fitnatut Takfir, hlm. 13 dan 19Zhahiratut-Tabdi’’ Wat-Tafsiq Wat-Takfir Wa-Dhawabithuha, hlm. 14).

Hukum Membaca Alqur'an Setelah Fatihah Pada Roka'at Ke 3 Dan Ke 4


Para sahabat ijma (sepakat) bahwa disunnahkan membaca Al-Qur’an setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama di semua shalat. Ibnu Sirin mengatakan,

لا اعلمهم يختلفون في هذا

“saya tidak mengetahui mereka (para sahabat) berbeda pendapat dalam masalah ini” (dinukil dari Sifat Shalat Nabi, 101).

Diantara dalilnya adalah sabda nabi shallallahu’alaihi wasallam dari sahabat Abu Qatadah,

انَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الظُّهْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وَسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ وَيُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وَكَانَ يَقْرَأُ فِي العَصْرِ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ وَسُورَتَيْنِ، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الأُولَى، وَكَانَ يُطَوِّلُ فِي الرَّكْعَةِ الأُولَى مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَيُقَصِّرُ فِي الثَّانِيَةِ

“Nabi shallallahu’alaihi wasallam membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat zhuhur dan juga membaca dua surat yang panjang pada rakaat pertama dan pendek pada rakaat kedua dan terkadang hanya satu ayat. Beliau membaca Al-Fatihah di dua rakaat pertama shalat ashar dan juga membaca dua surat dengan surat yang panjang pada rakaat pertama. Beliau juga biasanya memperpanjang bacaan surat di rakaat pertama shalat subuh dan memperpendeknya di rakaat kedua” (HR Al-Bukhari 759, Muslim 451).

Namun para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan Al-Qur’an pada rakaat ketiga atau keempat. Jumhur ulama berpendapat tidak disunnahkan membaca  Al-Qur’an pada rakaat ketiga atau keempat, namun amalan ini tidak terlarang sebagaimana dilakukan oleh para salaf.‎
Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari haditsnya Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwa :

النبي صلى الله عليه و سلم كان يقرأ في صلاة الظهر في الركعتين الأوليين في كل ركعة قدر ثلاثين آية وفي الأخريين قدر خمس عشرة آية أو قال نصف ذلك وفي العصر في الركعتين الأوليين في كل ركعة قدر قراءة خمس عشرة آية وفي الأخريين قدر نصف ذلك

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca dalam shalat Zhuhur pada dua raka’at pertama sekira 30 ayat, dan pada dua raka’at yang terakhir sekira 15 ayat.”
Atau ia mengatakan : “Setengah dari itu.”
Dan di dalam shalat Ashar, pada dua raka’at yang pertama beliau membaca sekira 15 ayat di setiap raka’atnya, sedangkan pada dua raka’at yang terakhir sekira setengah dari itu.”
(Shahih Muslim 1/334 no.452)

Hadits ini menjadi dalil yang jelas mengenai bolehnya bagi seseorang yang shalat untuk membaca ayat Al-Quran tambahan setelah membaca Al-Fatihah pada raka’at ketiga (dan juga pada raka’at ke-empat).

Al-Hafizh ibnu Rajab rahimahullah mengatakan :

وقد تقدم من حديث أبي سعيد الخدري ما يدل على أن النبي ( كان يقرأ في الركعتين الأخريين على قدر نصف قراءته في الأوليين .
وحمله طائفة من أصحابنا وغيرهم على أن هذا كان يفعله أحياناً لبيان الجواز ، فيدل على أنه غير مكروه ، خلافا لمن كرهه . والله أعلم

“Dan juga telah disebutkan sebelumnya dari haditsnya Abu Sa’id al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu yang menunjukan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca pada dua raka’at terakhir sekira setengahnya dari bacaan beliau pada dua raka’at pertama.
Sekelompok ulama dari kalangan sahabat2 kami dan yang selainnya membawakan pengertian hadits ini bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terkadang melakukannya adalah untuk menjelaskan akan kebolehannya.
Dan ini menunjukan bahwa perbuatan itu (yakni membaca surat/ayat lain pada raka’at ke-3 dan ke-4) tidaklah makruh, dan hadits ini menyelisihi orang yang menganggapnya makruh. Wallaahu a'lam. ”
(Fathul-Bari 7/80)

Kemudian, yang menguatkan dan memperjelas akan bolehnya bagi seseorang untuk membaca ayat Al-Quran tambahan setelah membaca Al-Fatihah pada raka’at ketiga (dan juga pada raka’at ke-empat) adalah apa yang pernah diamalkan oleh Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallaahu 'anhu.

Al-Hafizh ibnu Rajab rahimahullah mengatakan :

وقد تقدم عن أبي بكر الصديق ، أنه قرأ في الثالثة من المغرب بعد الفاتحة ( رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا ( [ آل عمران : 8 ] .
وقد استحب أحمد ذلك في رواية .

“Telah disebutkan sebelumnya dari Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallaahu ‘anhu bahwa pada raka’at ke-3 shalat Maghrib, setelah Al-Fatihah, beliau membaca : “Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wahablanaa min ladunka rahmatan innaka antal-wahhaab.” (Q.S Ali ‘Imran ayat 8)
Dan dalam salah satu riwayatnya, imam Ahmad menyukai akan hal itu.”
(Fathul-Bari 7/80)

Adapun riwayat yang dimaksud oleh Al-Hafizh ibnu Rajab rahimahullah dari Abu Bakar radhiyallaahu 'anhu ini, diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah dalam Al-Muwatha', yaitu :

عن أبي عبيد مولى سليمان بن عبد الملك عن عبادة بن نسي عن قيس بن الحارث عن أبي عبد الله الصنابحي قال قدمت المدينة في خلافة أبي بكر الصديق فصليت وراءه المغرب فقرأ في الركعتين الأوليين بأم القرآن وسورة سورة من قصار المفصل ثم قام في الثالثة فدنوت منه حتى إن ثيابي لتكاد أن تمس ثيابه فسمعته قرأ بأم القرآن وبهذه الآية { ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب } 

Dari Abu ‘Ubaid maula Sulaiman bin ‘Abdul Malik dari ‘Ubadah bin Nusa dari Qais bin Al-Harits dari Abu ‘Abdullah ash-Shunabihi, ia berkata :
“Aku datang ke Madinah pada masa ke-Khalifahan Abu Bakar ash-Shidiq radhiyallaahu ‘anhu, maka akupun shalat Maghrib di belakang beliau.  Beliau membaca pada dua raka’at pertama dengan Ummul-Quran dan surat2 pendek dari Al-Mufashal. Kemudian beliau berdiri pada raka’at ketiga, dan akupun mendekat kepadanya sampai2 kainku hampir menempel dengan pakaiannya.
Maka aku mendengar beliau membaca Ummul-Quran dan ayat : “Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wahablanaa min ladunka rahmatan innaka antal-wahhaab.”
(Al-Muwatha 1/79 Kitab ash-Shalat no.25. -Isnadnya shahih-)‎

Maka, seperti inilah yang kemudian dipilih oleh sebagian ulama, yakni akan bolehnya bagi seseorang untuk membaca ayat Al-Quran tambahan setelah membaca Al-Fatihah pada raka’at ketiga (dan juga pada raka’at ke-empat).

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan :

وأحب أن يكون أقل ما يقرأ مع أم القرآن في الركعتين الأوليين قدر أقصر سورة من القرآن مثل إنا أعطيناك الكوثر وما أشببها وفي الأخريين أم القرآن وآية

“Aku suka jika apa yang dibaca bersama dengan Ummul-Quran pada dua raka’at yang pertama, paling sedikit adalah seukuran dengan surat2 yang paling pendek dari Al-Quran, semisal Innaa a’thainaakal-kautsar, atau yang sepertinya. Dan pada dua raka’at yang terakhir membaca Ummul-Quran dan satu ayat.”‎
(Al-Umm 2/250)

Imam Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya mengatakan,

إباحة القراءة في الأخريين من الظهر والعصر بأكثر من فاتحة الكتاب وهذا من اختلاف المباح لا من اختلاف الذي يكون أحدهما محظورا والأخر مباحا فجائز أن يقرأ في الأخريين في كل ركعة بفاتحة فيقتصر من القراءة عليها ومباح أن يزاد في الأخريين على فاتحة الكتاب

Boleh membaca di dua rakaat terahir untuk shalat dzuhur dan asar lebih dari surat al-Fatihah. Ini termasuk perbedaan pendapat ulama yang sifatnya mubah. Bukan perbedaan yang satu hukumnya terlarang dan yang satu mubah. Boleh saja di dua rakaat terakhir, pada masing-masing rakaat seseorang membaca al-Fatihah saja. Boleh juga di dua rakaat terakhir dia tambahi dengan surat lain setelah al-Fatihah. (Shahih Ibnu Khuzaimah, 1/256).

Karena itulah, Abul Hasan al-Laknawi (w. 1304 H) mengingkari pendapat sebagian ulama yang menganjurkan sujud sahwi bagi orang yang membaca surat setelah bacaan al-Fatihah di rakaat ketiga dan keempat.

Dalam kitabnnya at-Ta’liq al-Mumajjad, beliau mengatakan,

وأغرب بعض أصحابنا حيث حكموا على وجوب سجود السهو بقراءة سورة في الأخريين، وقد ردَّه شراح “المنية” – إبراهيم الحلبي وابن أمير حاج الحلبي وغيرهما – بأحسن ردّ ولا أشكُّ في أن من قال بذلك لم يبلغه الحديث، ولو بلغه لم يتفوَّه به

Yang aneh, pendapat sebagian madzhab kami (hanafi) yang mewajibkan sujud sahwi karena membaca surat di dua rakaat terakhir. Pendapat ini telah dibantah dengan bagus oleh para ulama yang mensyarah kitab al-Maniyah, seperti Ibrahim al-Halabi, Ibnu Amir al-Hal al-Halabi, dan ulama lainnya. Kita sangat yakin, orang yang berpendapat demikian, karena belum sampai kepadanya hadis. Andai telah sampai kepadanya hadis, tentu dia tidak akan mengucapkan demikian. (at-Ta’liq al-Mumajjad, 1/440).

Akidah Imam Abu Bakr Al-Humaidi


Beliau adalah 'Abdullah bin Az-Zubair bin 'Isa bin 'Ubaidullah bin Usamah, Abu Bakar al-Humaidi al-Maki rahimahullah, salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah, salah seorang murid dari imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan salah seorang guru yang paling masyhur dari imam Al-Bukhari rahimahullah, dan guru dari Abu Hatim rahimahullah, Abu Zur'ah rahimahullah dan ulama2 salaf lainnya, dan beliau termasuk salah seorang imam dari imam2 Ahlus Sunnah. ‎

Al-Hakim rahimahullah mengatakan :

 الحميدي مفتي أهل مكة ومحدثهم وهو لأهل الحجاز في السنة كأحمد بن حنبل لأهل العراق

"Al-Humaidi adalah mufti-nya penduduk Mekkah dan muhadits mereka. 
Kedudukan Al-Humaidi bagi penduduk Hijazdalam masalah sunnah, sama seperti kedudukan Ahmad bin Hanbal bagi penduduk 'Iraq."
(Thabaqat Asy-Syafi’iyah 1/66)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan :

الحميدي عندنا إمام

“Al-Humaidi rahimahullah di sisi kami adalah seorang imam”
(Tadzkiratul-Huffazh 2/3)

Al-Marwazi rahimahullah mengatakan :

سمعت إسحاق بن راهويه يقول الأئمة فى زماننا الشافعى والحميدى وأبو عبيد

“Aku mendengar Ishaq bin Rahawaih rahimahullah mengatakan : “Imam2 pada jaman kami adalah Asy-Syafi’i rahimahullah, Al-Humaidi rahimahullah, dan Abu ‘Ubaid rahimahullah”.
(Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Kubra 2/140)

Abu Hatim rahimahullah mengatakan :

أثبت الناس في  ابن عيينة الحميدي وهو رئيس أصحاب ابن عيينة .... ثقة إمام

"Orang yang paling tsabit dalam riwayatnya ibnu 'Uyainah adalah Al-Humaidi, dan Al-Humaidi ini adalah pemimpinnya sahabat2 Sufyan bin 'Uyainah,...... dan ia adalah seorang yang tsiqah dan imam."
(Al-Jarh wa At-Ta'dil 5/28)

Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan :

الحميدى إمام فى الحديث

"Al-Humaidi adalah imam dalam hadits."
(Thabaqat Asy-Syafi’iyah Al-Kubra 2/106)

Demikianlah, dapat kita lihat tingginya kedudukan beliau di kalangan ulama2 Ahlus-Sunnah.
Adapun diantara yang beliau katakan dalam masalah 'Aqidah ini adalah :
1. Iman kepada Qadar 

Beliau rahimahullah mengatakan :

السنة عندنا : أن يؤمن الرجل بالقدر خيره وشره ، حلوه ومره ، وأن يعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه ، وأن ذلك كله قضاء من الله ـ عزوجل ـ

“As-Sunnah di sisi kami adalah bahwa seseorang itu beriman kepada qadar baik dan buruk. Dan bahwasannya seseorang itu mengetahui bahwa apa2 yang ditetapkan menimpa dirinya tidak akan luput darinya dan apa2 yang ditetapkan tidak menimpa dirinya tidak akan mengenai dirinya, dan bahwa semua itu merupakan qadha dari Allah ‘Azza wa Jalla.” ‎
(Ushulus-Sunnah, halaman 36-37)‎

2. Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, dan iman itu bertambah dan berkurang

Beliau rahimahullah mengatakan :

وأن الإيمان قول وعمل يزيد وينقص ولا ينفع قول إلا بعمل ولا عمل قول  إلا بنية  ، ولا قول وعمل ونية إلا بسنة .

“Bahwasannya iman itu adalah perkataan dan perbuatan, ia bertambah dan berkurang. Tidaklah bermanfaat perkataan kecuali dengan perbuatan dan tidaklah perbuatan dan perkataan melainkan dengan niat, sedangkan tidaklah perkataan, perbuatan dan niat itu melainkan dengan sunnah.” ‎
(Ushulus-Sunnah, halaman 37-38)

Beliau rahimahullah juga berkata :

وسمعت سفيان يقول : الإيمان قول وعمل ويزيد وينقص " .

“Dan aku mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan : “Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, dan iman itu bertambah dan berkurang.”
(Ushulus-Sunnah, halaman 41)
3. Pujian kepada para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam –semoga Allah ridha kepada beliau semua-. 

Beliau rahimahullah lalu mengatakan :

والترحم على أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم كلهم ، فإن الله ـ عزوجل ـ قال } والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان { [الحشر 10] فلن يؤمن إلا بالإستغفار لهم ، فمن سبهم أو تنقصهم أو أحداً منهم فليس على السنة.

“Dan memohonkan rahmat terhadap sahabat2 Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam semuanya, sebab sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman : 
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Q.S Al-Hasyr ayat 10)
Maka tidaklah seseorang itu beriman melainkan dengan memohonkan ampunan untuk mereka semua radhiyallaahu ‘anhum. 
Barangsiapa yang mencaci sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataupun salah seorang diantara mereka, dan barangsiapa yang menghina sahabat2 Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataupun salah seorang diantara mereka radhiyallaahu 'anhum, maka dia tidaklah berada di atas sunnah.” ‎
(Ushulus-Sunnah, halaman 38-39)

Sebagaimana juga perkataan guru beliau, yaitu Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullah pernah mengatakan :

وقد أثنى الله - تبارك وتعالى - على أصحاب رسول الله صلّى الله عليه وسلّم في القرآن والتوراة والإنجيل، وسبق لهم على لسان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم من الفضل ما ليس لأحد بعدهم، فرحمهم الله، وهنأهم بما آتاهم من ذلك ببلوغ أعلى منازل الصديقين والشهداء والصالحين 

"Sungguh Allah telah memuji para sahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam Al-Quran, Taurat dan Injil dan Allah telah memberikan kepada mereka keutamaan-keutamaan lewat lisan rasul-Nya yang tidak diperoleh oleh seorangpun setelah mereka. 
Semoga Allah merahmati mereka dan memberikan keselamatan kepada mereka dengan apa yang Allah berikan kepada mereka itu untuk sampai ke tingkatan yang paling tinggi dari tingkatan para shiddiqin, syuhada dan shalihin."
(Manaqib Asy-Syafi'i lil-Baihaqi 1/442)

Dan diantara dalil yang menunjukan pujian Allah secara umum kepada sahabat2 Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam yang diisyaratkan oleh imam Asy-Syafi'i rahimahullah ini adalah firman Allah :
"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar."
(Q.S Al-Fath ayat 29) 
4. Al-Quran itu adalah kalam Allah ta’ala

Beliau rahimahullah mengatakan :

والقرآن : كلام الله ، سمعت سفيان [ بن عيينة ] يقول :" القرآن كلام الله ، ومن قال مخلوق فهو مبتدع ، لم نسمع أحدا يقول هذا " .

“Al-Quran adalah kalamullah. Aku mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan : “Al-Quran adalah kalamullah, dan barangsiapa yang mengatakan Al-Quran itu makhluq, maka dia adalah seorang mubtadi’. 
Tidak pernah aku mendengar seorangpun yang berkata seperti ini (bahwa Al-Quran itu adalah makhluq).” ‎
(Ushulus-Sunnah, halaman 40)

Ini adalah aqidah yang sama sebagaimana guru beliau, yaitu Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Imam Asy-Syafi'i rahimahullah pernah mengatakan :

ما لقيت أحدا منهم - يعني من أساتذته - إلا قال : من قال في القرآن إنه مخلوق فهو كاف

”Tidaklah aku menjumpai satupun di antara mereka –yakni guru-guru imam2 Asy-Syafi'i rahimahullah– kecuali ia mengatakan : "Barangsiapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an bahwa Al-Quran itu adalah makhluk, maka ia telah kafir”
(Al-Asma’ wa Ash-Shifat 1/613)

Diantara dalil bahwa Al-Quran ini adalah kalamullah ialah sebagaimana Allah sebutkan sendiri :
"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalam Allah.."
(Q.S At-Taubah ayat 6)
5. Orang2 mu’min akan melihat Allah pada hari kiamat nanti

Beliau rahimahullah mengatakan :

والإقرار بالرؤية بعد الموت .

“Dan menetapkan tentang melihat Allah setelah mati (yakni kelak pada hari kiamat).” ‎
(Ushulus-Sunnah, halaman 41)

Ini adalah aqidah yang sama sebagaimana guru beliau, yaitu Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i rahimahullah mengatakan :

 والله لو لم يوقن محمد بن إدريس أنه يرى ربه في المعاد لما عبده في الدنيا

"Demi Allah, kalau sekiranya Muhammad bin Idris (yakni beliau sendiri) tidak meyakini bahwa ia akan melihat Rabb-Nya di akhirat, niscaya tidaklah ia  akan menyembah-Nya di dunia”
(Manaqib Asy-Syafi’i 1/419)

Dan aqidah yang sama yang dipegang oleh imam Malik rahimahullah, beliau mengatakan :

 الناس ينظرون إلى الله تعالى يوم القيامة بأعينهم

"Manusia akan melihat Allah Ta’ala pada hari kiamat nanti dengan mata mereka”
(At-Tashdiq bin-Nazhari ila Allah Ta'ala fil-Akhirat halaman 41)

Dan aqidah yang sama yang dipegang oleh imam Ahmad rahimahullah, beliau pernah mengatakan :

من قال : إن الله تعالى لا يُرى، فهو كافر

“Siapa saja yang mengatakan : "Sesungguhnya Allah tidak dapat dilihat (di akhirat), maka ia telah kafir.”
(Asy-Syari’ah, 2/10)

6. Itsbat atau Menetapkan Shifat2 Allah 

Beliau rahimahullah mengatakan :

وما نطق به القرآن والحديث مثل : } وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم { [ المائدة 64] ومثل } والسموات مطويات بيمينه { [الزمر :67] وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ، نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة ونقول }الرحمن على العرش استوى { [طه :5] ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي

"Apa2 yang diucapkan oleh Al-Quran dan al-Hadits, semisal : "Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu.." atau contoh yang lainnya : "dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.", ataupun ayat2 Al-Quran dan hadits2 lain yang serupa dengan itu, maka kami tidaklah akan menambahkan kedalamnya dan tidak pula menafsirkannya.
Kami berhenti pada apa yang Al-Quran dan as-Sunnah berhenti atasnya, dan kami katakan : "Ar-Rahman yang istiwa di atas 'Arsy.", dan barangsiapa yang menyangka selain daripada ayat ini, maka dia adalah seorang mu'athil jahmiy."
(Ushulus-Sunnah)

Jangan Bermain Dengan Ilmu Ini


Amalan mahabbah yang akan kami bagikan ini merupakan amalan yang termaktub dalam kitab Khazinatul Asrar karya As-Sayyid Muhammad Haqqi An-Nazili. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwasanya amalan mahabbah ayat lima ini merupakan amalan yang sangat mujarab (da'wah mujarabah shahihah) yang tiada keraguan lagi di dalamnya bagi siapa saja yang bersedia mengamalkannya dengan baik dan ikhlas lillahi ta'ala.‎

Berikut ini akan kami jelaskan tata caranya sesuai dengan pengalaman kami, yaitu:

1. Berwudhu terlebih dahulu
2. Shalat hajat dua rakaat
3. Duduk menghadap kiblat
4. Baca ayat lima sebanyak 93 kali
5. Lakukan dalam sekali duduk
6. Waktu pengamalannya adalah pada hari jumat sebelum melakukan shalat jumat

Dan berikut ini teks selengkapnya dari ayat lima untuk mahabbah:

بسم الله الرحمان الرحيم كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ ياَهَفْقَلْزَائِيْلُ هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ ياَكَغْشَكَياَئِيْلُ يَوْمَ الْآزِفَةِ إِذِ الْقُلُوبُ لَدَى الْحَنَاجِرِ كَاظِمِينَ ۚ مَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ ياَدَغْذَياَئِيْلُ عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ الْجَوَارِ الْكُنَّسِ وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ ياَ وَغْرَلَهَائِيْلُ ص . وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ . بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ. ياَدَغْشَعَباَئِيْلُ تَوَكَّلُوْا ياَخُدَّامَ هَذِهِ اْلآياَتِ وَ يَـأَيُّهَا السَّيـِّدُ مَيْطَطَرُوْنَ بِتَهْيِـيْجِ قَلْبِ ( فلان بن فلانة ) عَلَى مَحَـبَّتِى وَمَوَدَّتِى. اَلْعَجَلَ اَلْعَجَلَ اَلْوَحَا اَلْوَحَا اَلسَّاعَةَ اَلسَّاعَةَ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ عَلَيْهِمَاالسَّلاَمُ بِحَقِّ اْلإِنْجِيْلِ وَالتَّوْرَاةِ وَالزَّبُوْرِ وَبِحَقِّ الْفُرْقَانِ وَ بِحَقِّ مُحَمَّدِنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ بِحَقِّ هَذِهِ اْلآياَتِ الْعِظَامِ وَاْلأَسْمَاءِ الْكِرَامِ وَ بِحَقِّ كَجَفْظَمَهْيُوْشٍ. اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ أَنْ تُسَخِّرَلِى وَتُحَرِّكَ لِي قَلْبَ ( فلان بن فلانة ) عَلَى مَحَبَّتِى وَمَوَدَّتِى نَصْرٌ مِنَ اللهِ وَفَتْحٌ قَرِيْبٌ.


Bismillaahirrahmaanirrahiim. Kamaa-in anzalnaahu minas samaa-i fakhtalatha bihi nabaatul ardhi fa ashbaha hasyiiman tadzruuhur riyaah yaa hafqalzaaiil huwallaah alladzii laa ilaaha illaa huwa 'aalimul ghaibi wasy syahaadah huwar rahmaanurrahiim yaa kaghsyakayaaiilu yaumal aazifati idzil quluubu ladal hanaajiri kaadzimiin. maa lidz dzaalimiina min hamiimin wa laa syafii'in yuthaa' yaa daghdzayaa-iilu 'alimat nafsum maa ahdharat fa laa uqsimu bil khunnas al jawaaril kunnas wal laili idzaa 'as'as wash shubhi idzaa tanaffas yaa waghralahaa-iil. Shod. wal quraani dzidz dzikr. Balilladiina kafaruu fii 'izzatin wasyiqaaq. Yaa daghsya'abaa-iil tawakkaluu yaa khuddaam hadzihil aayaati wa yaa ayyuha as sayyid maithatharuun bitahyiiji qalbi (Fulan bin Fulanah) 'alaa mahabbatii wa mawaddatii al 'ajal al 'ajal al waha al waha as-sa'ah as-sa'ah 'alaa mulki sulaimanabni dawuda 'alaihimas salaam bihaqqil injiili wat tauraati waz zabuuri wa bihaqqil furqaani wa bihaqqi muhammadinil musthafa shallallahu 'alaihi wa sallama wa bihaqqi hadzihil aayaatil 'idzaami wal asmaa-il kiraami wa bihaqqi kajafdzamahyuusyin. Allaahumma innii asaluka an tusakhkhiralii wa tuharrika lii qalba (Fulan bin Fulanah) 'alaa mahabbatii wa mawaddatii nashrun minallaahi wa fathun qariib.

Demikianlah Teks dan tatacara mengamalkan amalan mahabbah ayat lima. Semoga bisa bermanfaat. 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...