Minggu, 24 Oktober 2021

Hukum Tertib Dalam Wudhu


Para ulama bersepakat disyari’atkannya tertib di dalam berwudlu, namun mereka berselisih apakah hukumnya wajib atau sunnah menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama : hukumnya wajib, dan ini adalah salah satu pendapat Malik, madzhab Asy Syafi'I dan yang masyhur dari madzhab Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.

Pendapat kedua : Hukumnya sunnah, dan ini adalah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madzhab Malik dan dipilih oleh sejumlah ulama Syafi'iyah seperti Al Muzani, ibnul Mundzir dan Abu Nashr Al Bandaniji.

Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فَيَغْسِلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ وَيَمْسَحَ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

"Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari kamu sampai ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wa jalla; ia mencuci wajahnya, mencuci kedua tangannya sampai siku-siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) dua kakinya sampai mata kaki".

Dikeluarkan oleh Abu Dawud no 858, dan ibnu Majah no 460 dari jalan Al Hajjaj bin Al Minhal haddatsana Hammam haddatsana Ishaq bin Abdillah bin Abi Thalhah dari Ali bin Yahya bin Khollad dari ayahnya dari pamannya yaitu Rifa'ah bin Rafi'. Qultu : sanad ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid berkata :

اختلفوا في وجود ترتيب أفعال الوضوء على نسق الآية. فقال قوم: هو سنة، وهو الذي حكاه المتأخرون من أصحاب مالك عن المذهب، وبه قال أبو حنيفة والثوري وداود. وقال قوم: هو فريضة، وبه قال الشافعي وأحمد وأبو عبيد، 
وسبب اختلافهم شيئان: أحدهما الاشتراك الذي في واو العطف، وذلك أنه قد يعطف بها الأشياء المترتبة بعضها على بعض، وقد يعطف بها غير المرتبة، وذلك ظاهر من استقراء كلام العرب، ولذلك انقسم النحويون فيها قسمين، فقال نحاة البصرة: ليس تقتضي نسقا ولا ترتيبا، وإنما تقتضي الجمع فقط، وقال الكوفيون: بل تقتضي النسق والترتيب؛ 
والسبب الثاني اختلافهم في أفعاله عليه الصلاة والسلام، هل هي محمولة على الوجوب أو على الندب؟ فمن حملها على الوجوب قال بوجوب الترتيب، لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه توضأ قط إلا مرتبا، ومن حملها على الندب قال إن الترتيب سنة،

Para ulama berbeda pendapat tentang urutan (tertib) perbuatan yang harus dilakukan dalam wudhu sesuai dengan urutan dalam ayat. Segolongan ulama mutaakhirin dari pengikut Malik, Abu Hanifah, Tsauri, dan Dawud berpendapat bahwa tertib perbuatan dalam ayat itu berkonotasi sunnat. Sedangkan menurut Syafi’i’ Ahmad, dan Abu Ubaid, tertib perbuatan itu berkonotasi wajib. 
Dua hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat di atas; Pertama, kata penghubung ‘wawu athaf’ yang berarti ‘dan’ itu mengandung fungsi ganda. Yakni dapat difungsikan sebagai penghubung antara satu perbuatan dengan perbuatan lain secara tertib dan bisa juga secara tidak tertib. Fungsi tersebut sudah sering digunakan dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, para ahli nahwu terbagi menjadi dua aliran. Aliran Basrah mengatakan bahwa penghubung ‘wawu athaf’ itu tidak menunjukkan arti berurutan (tertib), tapi hanya menunjukkan ‘adanya perbuatan’ itu. Sedang menurut aliran Kufah, penghubung itu menunjukkan arti ‘berurutan’ (tertib).
Kedua, perselisihan para ulama dalam menafsirkan perbuatan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Apakah perbuatan Nabi dalam wudhu itu menunjukkan arti wajib atau sunnat?
Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi tersebut menunjukkan hukum wajib, maka urut (tertib) itu wajib, karena Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam selalu melaksanakan wudhu secara tertib. Ulama yang berpendapat bahwa perbuatan Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam tersebut menunjukkan sunnat, maka tertib dalam wudhu itu hukumnya sunnat.
[Bidayatul Mujtahid 1/13 (1/ 23].

عن خالد بن مَعْدَانَ عن بعضِ أزواجِ النبيِّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم ‏(‏أن رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم رأى رجلًا يصلي في ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَةٌ قَدْرَ الدِّرْهَمَ لَمْ يُصِبْهَا الماءُ فَأَمَرَهُ رسولُ اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم أن يُعِيْدَ الوضوءَ‏)‏‏. 
رواه أحمد وأبو داود وزاد والصلاةَ قال الأَثْرَمُ‏:‏ قُلْتُ لأحمدَ هذا إسْنَادُهُ جَيِّدٌ قال جَيِّدٌ‏. 

Dari Khalid bin Ma’dan dan dari sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang laki-laki sedang shalat padahal di atas tapak kakinya ada kulit yang mengkilat selebar dirham yang tidak kena air (wudhu), maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia mengulangi wudhu” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan Abu Dawud menambah dengan perkataan “Dan mengulangi shalat” Al-Atsram berkata, “Aku bertanya pada Imam Ahmad, adakah sanad hadits ini baik? Ia menjawab : ‘Baik)

وعن عُمَرِ بن الخطابِ‏:‏ ‏(‏أنَّ رجلًا توضأَ فترك مَوْضِعَ ظُفْرٍ على قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِيُّ صلى اللَّه عليه وآله وسلم فقال‏:‏ ارجعْ فأحْسِنْ وضوءك قال‏:‏ فرجع فتوضأَ ثم صلَّى‏)‏‏. 
رواه أحمد ومسلم ولم يذكر فتوضأ‏.

Dari Umar bin Khattab, bahwa seorang laki-laki wudhu tetapi ia tidak menyiram tempat kuku atas kakinya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya, maka ia bersabda, “Ulangilah dan perbaikilah wudhumu”. Umar berkata, “Lalu ia mengulangi wudhu lalu shalat” (HR. Ahmad, dan Muslim tidak menyebut, ‘lalu ia wudhu’)

Imam Asy-Syaukani berkata :

والحديث الأول يدل على وجوب إعادة الوضوء من أوله على من ترك من غسل أعضائه مثل ذلك المقدار‏. 
والحديث الثاني لا يدل على وجوب الإعادة لأنه أمره فيه بالإحسان لا بالإعادة والإحسان يحصل بمجرد إسباغ غسل ذلك العضو‏. 

Hadits pertama menunjukkan wajib mengulangi wudhu dari permulaannya bagi orang yang tidak mencuci sebagian anggotanya sebesar ukuran yang terdapat di dalam hadits itu. Hadits kedua menunjukkan tidak wajib mengulangi karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk memperbaiki cukup dengan menyempurnakan anggota yang tidak tercuci itu saja.

فالحديث الأول يدل على مذهب من قال بوجوب الموالاة لأن الأمر بالإعادة للوضوء كاملًا للإخلال بها بترك اللمعة وهو الأوزاعي ومالك وأحمد بن حنبل والشافعي في قول له‏. 
والحديث الثاني وحديث أنس السابق يدلان على مذهب من قال بعدم الوجوب وهم العترة وأبو حنيفة والشافعي في قول له 

Hadits pertama menjadi dalil bagi orang yang berpendapat atas wajibnya berturut-turut, karena perintah mengulangi wudhu dengan sempurna itu disebabkan oleh meninggalkan kulit yang mengkilat (tidak tercuci). Demikian menurut Al-Auza’I, Malik, Ahmad, Ibnu Hanbal, dan menurut salah satu pendapat Al-Syafi’i.
Hadits kedua dan hadits Anas menjadi dalil bagi orang yang berpendapat tidak wajibnya ‘berturut-turut’. Mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Atrah, Abu Hanifah, dan menurut Syafi’i di dalam salah satu pendapatnya.
[Nailul Authar 1/144 (1/386)]

‎Hadits-hadits yang menunjukkan tidak tertib dalam wudlu, yaitu
Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ، قَالَ: حَدَّثَنَا حَرِيزٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَيْسَرَةَ الْحَضْرَمِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ الْمِقْدَامَ بْنَ مَعْدِي كَرِبَ الْكِنْدِيَّ، قَالَ: " أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ بِوَضُوءٍ، فَتَوَضَّأَ، فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "

Telah menceritakan kepada kami Abul-Mughiirah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hariiz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Maisarah Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku mendengar Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib Al-Kindiy, ia berkata : Didatangkan air wudlu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau berwudlu dengan mencuci dua telapak tangannya tiga kali, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci dua hastanya tiga kali tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan beristinsyaaq tiga kali, dan mengusap kepalanya dan telinganya bagian luar dan dalam, dan mencuci dua kakinya tiga kali” [Al-Musnad, 4/132 (28/425) no. 17188].

Sanad riwayat ini hasan. Berikut keterangan para perawinya :

1.     ‘Abdul-Qudduus bin Al-Hajjaaj Al-Khaulaaniy, Abul-Mughiirah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang perawi tsiqah.  Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 618 no. 4173; dan ‎Al-Mughniy fii Ma’rifati Rijaal Ash-Shahiihain hal. 158 no. 1347].

2.     Hariiz bin ‘Utsmaan bin Jabr bin Ahmar bin As’ad Ar-Rahabiy Al-Masyriqiy, Abu ‘Utsmaan/Abu ‘Aun Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, namun dituduh berpemahaman Nashibiy. Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 163 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal. 231 no. 1194 dan Ar-Ruwaatuts-Tsiqaat Al-Mutakallamu fiihim bimaa Laa Yuujibu Raddahum oleh Adz-Dzahabiy, hal. 82 no. 27].

3.     ‘Abdurrahmaan bin Maisarah Al-Hadlramiy, Abu Salamah Asy-Syaamiy Al-Himshiy; seorang yang dikatakan Ibnu Hajar : ‘maqbuul’. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Abu Daawud dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 601 no. 4048].

Berikut perincian perkataan para ulama tentangnya :
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Majhuul, tidak ada yang meriwayatkan darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Al-‘Ijliy berkata : “Taabi’iy, tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. Abu Daawud berkata : “Guru-guru dari Hariiz semuanya tsiqaat”. Ibnul-Qaththaan Al-Faasiy berkata : “Majhuul al-haal, tidak diketahui ada orang yang meriwayatkan darinya selain Hariiz bin ‘Utsmaan”. Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah”. Al-Albaaniy berkata : “Haditsnya hasan”.

Perkataan Ibnul-Madiiniy di atas tidaklah benar, karena yang meriwayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Maisarah selain Hariiz, adalah : Tsaur bin Yaziid (tsiqah) dan Shafwaan bin ‘Amru (tsiqah) sebagaimana disebutkan oleh Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal. Juga telah meriwayatkan darinya Mu’aawiyyah bin Shaalih. Tautsiq Abu Daawud meskipun sifatnya umum, maka itu tetap dapat dipertimbangkan. Tautsiq ini bersamaan dengan tautsiq Ibnu Hibbaan dan Al-‘Ijliy, beserta periwayatan beberapa orang perawi tsiqaat darinya, mengangkat ‎jahalah ‘Abdurrahmaan.
Oleh karena itu, statusnya adalah shaduuq, hasanul-hadiits, wallaahu a’lam.

[Tahdziibul-Kamaal 17/450-451 no. 3973,Tahdziibut-Tahdziib 6/284 no. 556,Bayaanul-Wahm wal-Iihaam 4/109 no. 1547,Al-Kaasyif 1/646 no. 3327, Mu’jamu Asamiyyir-Ruwaat 2/504-505, Tahriirut-Taqriib 2/351 no. 4022, Kasyful-Iihaam hal. 456 no. 364, dan Natsnun-Nabaal hal. 779 no. 1788].

4.     Al-Miqdaam bin Ma’diy Karib bin ‘Amru Al-Kindiy, Abu Kariimah/Abu Yahyaa; salah seorang shahabat yang masyhuur. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 87 H di Syaam dalam usia 91 tahun. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 969 no. 6919].

Ahmad dalam periwayatan dari Abul-Mughiirah mempunyai mutaba’ah dari Abu Zaid Al-Hauthiy dan Ahmad bin ‘Abdil-Wahhaab bin Najdah sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin no. 1076 dan dalam Al-Kabiir 20/276-277 no. 654.

Abu Daawud [no. 121] membawakan dari jalan Ahmad dengan lafadh berkumur dan istinsyaaq sebelum mencuci wajah, namun yang mahfuudh dari jalan Al-Miqdaam adalah sebagaimana tersebut di atas.

Riwayat lain, Abu Daawud rahimahullah berkata :

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ ابْنِ عَفْرَاءَ، قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ يَأْتِينَا، فَحَدَّثَتْنَا أَنَّهُ قَالَ: اسْكُبِي لِي وَضُوءًا، فَذَكَرَتْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِهْ وَسَلَّمَ قَالَتْ فِيهِ: " فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثًا، وَوَضَّأَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، وَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مَرَّةً، وَوَضَّأَ يَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّتَيْنِ بِمُؤَخَّرِ رَأْسِهِ ثُمَّ بِمُقَدَّمِهِ وَبِأُذُنَيْهِ كِلْتَيْهِمَا ظُهُورِهِمَا وَبُطُونِهِمَا، وَوَضَّأَ رِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا "

Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil, dari Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afraa’, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah mendatangi kami”. Lalu ia (Rubayyi’) menceritakan kepada kami bahwa beliau ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Tuangkanlah air wudlu untukku". Lalu ia (Ar-Rubayyi') menyebutkan sifat wudlu Rasulullah ‎shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia berkata perihal sifat wudlu beliau tersebut : “Beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali, membasuh wajahnya tiga kali, berkumur, beristinsyaq satu kali, membasuh kedua tangannya tiga kali tiga kali, mengusap kepalanya dua kali, di bagian akhir kepalanya kemudian bagian depannya, dan dua telinganya, bagian luar dan dalamnya, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali” [As-Sunan no. 126 – dan darinya (Abu Daawud), Al-Baihaqiy meriwayatkan dalam ‎Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar no. 195].

Musaddad mempunyai mutaba’ah dari Muhammad bin Yahyaa Ar-Rammaaniy [Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/64 (1/105) no. 300], Mu’aadz bin Al-Mutsannaa [Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 24/270-271 no. 686], dan ‘Aashim bin ‘Aliy Al-Waasithiy [Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur no. 106].

Hadits Rubayyi’ mempunyai lafadh yang berlainan, ada yang ringkas, ada yang panjang yang kesemuanya berporos pada ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil.
Ia adalah : ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu Muhammad Al-Madaniy; seorang yang shaduuq, namun dalam haditsnya terdapat kelemahan – dan dikatakan berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk thaqabah ke-4 dan wafat setelah tahun 140 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 542 no. 3617].

Selain itu, Bisyr bin Al-Mufadldlal (tsiqah lagi ‎tsabat) diselisihi oleh Ibnu ‘Uyainah (tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah), Ats-Tsauriy (tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagihujjah), Ma’mar bin Raasyid (tsiqah, tsabat, lagi mempunyai keutamaan), Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (tsiqah lagi haafidh), Rauh bin Al-Qaasim (tsiqah lagi tsabat), Al-Hasan bin Shaalih bin Hay (tsiqah lagi ‘aabid), Zuhair bin Muhammad (tsiqah), ‘Ubaidullah bin ‘Amru (tsiqah, faqiih, namun kadang ragu), dan Fulaih bin Sulaimaan (shaduuq, namun mempunyai banyak kekeliruan) yang menyebutkan tahapan berkumur dan istinsyaaq sebelum membasuh wajah.
Oleh karena itu hadits Rubayyi’ dengan lafadh di atas tidaklah mahfuudh.

Riwayat Al-Miqdaam di atas menunjukkan bahwa tartib dalam wudlu bukanlah merupakan kewajiban, namun hanya sunnah saja. Al-Miqdaam bin Ma’di Kaarib radliyallaahu ‘anhu telah mengkhabarkan apa yang tidak dikhabarkan oleh shahabat lainnya, sehingga berlakulah kaedah : orang yang mengetahui menjadi hujjah bagi orang yang tidak mengetahui, dan orang yang hapal menjadi hujjah bagi orang yang tidak hapal.

Oleh karena itu ayat :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” [QS. Al-Maaiadah :6]
dan juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّهَا لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ، حَتَّى يُسْبِغَ الْوُضُوءَ كَمَا أَمَرَهُ اللَّهُ تَعَالَى، يَغْسِلُ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ، وَيَمْسَحُ بِرَأْسِهِ وَرِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga ia menyempurnakan wudlu sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ta’ala. Ia mencuci wajah dan kedua tangannya hingga siku, mengusap kepalanya, dan (mencuci) kedua kakinya hingga mata kaki” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 1136, Ibnu Maajah no. 460, dan yang lainnya; shahih]

tidak menunjukkan (wajibnya) tartib (urutan) yang dimulai dari membasuh muka, tangan, menyapu kepala, lalu membasuh kaki. Hal itu dikarenakan jenis-jenis pekerjaan tadi dihubungkan dengan wawu ‘athaf yang jika ditinjau dari ilmu bahasa (nahwu) tidak menunjukkan tartib.

Diqiyaskan juga dengan tayammum yang notabene pengganti wudlu. Allah ta’ala berfirman :

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” [QS. Al-Maaidah : 6].

Pada ayat di atas, kegiatan menyapu muka dan tangan dihubungkan wawu ‘athaf, sama seperti ayat wudlu sebelumnya. Seandainya ayat ini dipahami sebagai tartib, maka telah shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pernah mendahulukan menyapu tangan sebelum muka. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ، ثُمَّ نَفَضَهَا، ثُمَّ مَسَحَ بِها ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”.  Kemudian beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan tanah sekali, lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 347].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

فيه أنّ الترتيب غير مشترط في التيمّم

“Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwatartib tidak dipersyaratkan dalam tayammum” [Fathul-Baariy, 1/457].

Ada beberapa atsar yang ternukil dari sebagian salaf yang mendukungnya, antara lain :
Diriwayatkan juga oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 353-354 no. 325-326.

حَدَّثَنَا مُعْتَمِرُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ هِنْدٍ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: " مَا أُبَالِي إِذَا أَتْمَمْتُ وُضُوئِي بِأَيِّ أَعْضَائِي بَدَأْتُ "

Telah menceritakan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, dari ‘Auf, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Hind, ia berkata : Telah berkata ‘Aliy : “Aku tidak peduli apabila aku menyempurnakan wudluku dengan anggota tubuh manapun aku memulainya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/39 (1/370) no. 421; mursal, karena ‘Abdullah bin ‘Amru tidak pernah mendengar riwayat dari ‘Aliy].

ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُغِيرَةُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، كَانَ يَبْدَأُ بِمَيَامِنِهِ فِي الْوُضُوءِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلامُ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ "،
ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ زِيَادٍ، مَوْلَى بَنِي مَخْزُومٍ عَنْ عَلِيٍّ عَلَيْهِ السَّلامُ وَأَبِي هُرَيْرَةَ مِثْلَهُ

Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim : Bahwasannya Abu Hurairah memulai wudlu dengan anggota badan sebelah kanan. Maka sampailah hal itu pada ‘Aliy ‘alaihis-salaam, maka ia memulainya dengan sebelah kiri.
Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Ziyaad maulaa Bani Makhzuum, dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam dam Abu Hurairah riwayat semisalnya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal. 352-353 no. 322-323; hasan].

نا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْوَكِيلُ، نا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، نا هُشَيْمٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَسْعُودِيِّ، حَدَّثَنِي سَلَمَةُ بْنُ كُهَيْلٍ، عَنْ أَبِي الْعُبَيْدَيْنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ تَوَضَّأَ فَبَدَأَ بِمَيَاسِرِهِ، فَقَالَ: لا بَأْسَ.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah Al-Wakiil : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari ‘Abdurrahmaan Al-Mas’uudiy : Telah menceritakan kepadaku Salamah bin Kuhail, dari Abul-‘Ubaidain, dari ‘Abdullah bin Mas’uud : Bahwasannya ia pernah ditanya tentang seseorang yang berwudlu, lalu ia mendahulukan sebelah kiri. Maka ia menjawab : “Tidak mengapa” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 297].

ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: ثنا مَنْصُورٌ، عَنِ الْحَسَنِ أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا فِيمَنْ قَدَّمَ وَضُوءَهُ شَيْئًا قَبْلَ شَيْءٍ

Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Manshuur, dari Al-Hasan (Al-Bashriy) : Bahwasannya ia berpendapat tidak mengapa orang yang mendahulukan anggota tubuh satu sebelum yang lain dalam wudlunya [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal 354 no. 327].

ثنا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الْعَوَّامُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: " مَا أَصَابَ الْمَاءَ مِنْ مَوَاضِعِ الطَّهُورِ فَقَدْ طَهُرَ "

Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-‘Awwaam, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Apa saja yang terkena air dari tempat-tempat-tempat yang mesti dibasuh ketika bersuci/wudlu, sungguh ia menjadi suci” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Ath-Thahuur hal 354 no. 328; shahih].

‎Dari Busr bin Sa'id ia berkata :

أَتَى عُثْمَانُ الْمَقَاعِدَ فَدَعَا بِوَضُوءٍ فَتَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا وَيَدَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا وَرِجْلَيْهِ ثَلَاثًا ثَلَاثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا يَتَوَضَّأُ يَا هَؤُلَاءِ أَكَذَاكَ قَالُوا نَعَمْ لِنَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"Utsman mendatangi maqa'id dan meminta air wudlu lalu beliau berkumur-kumur dan istinsyaq kemudian mencuci wajahnya tiga kali kemudian kedua tangannya tiga kali tiga kali dan kedua kakinya tiga kali tiga kali kemudian mengusap kepalanya kemudian berkata: "Aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu begini, wahai kalian apakah benar demikian ? mereka menjawab: "Ya". Beliau berkata kepada sekelompok shahabat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam. (HR Ad Daraquthni. Daif ).

Pendapat inilah yang raajih, yang dipegang oleh Abu Hanifah dan shahabat-shahabatnya [Al-Mabsuuth oleh As-Sarkhasiy 1/55 dan Badaai’ush-Shanaai’ oleh Al-Kaasaaniy 1/21], masyhur dalam madzhab Maalikiyyah [Al-Muqaddimaat oleh Ibnu Rusyd Al-Jadd 1/16, Al-Bidaayah oleh Ibnu Rusyd 1/75, dan Tahdziibul-Masaalik oleh Al-Fandalaawiy 1/68], An-Nawawiy [Al-Majmuu’ 1/433], dan yang lainnya.

‎Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm berkata :

قال الله عز وجل فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم إلى الكعبين 
قال وتوضأ رسول الله صلى الله عليه وسلم كما أمره الله عز وجل وبدأ بما بدأ الله تعالى به قال فأشبه والله تعالى أعلم أن يكون على المتوضيء في الوضوء شيئان أن يبدأ بما بدأ الله ثم رسوله عليه الصلاة والسلام به منه ويأتي على إكمال ما أمر به فمن بدأ بيده قبل وجهه أو رأسه قبل يديه أو رجليه قبل رأسه كان عليه عندى أن يعيد حتى يغسل كلا في موضعه بعد الذي قبله وقبل الذي بعده لا يجزيه عندي غير ذلك وإن صلى أعاد الصلاة بعد أن يعيد الوضوء ومسح الرأس وغيره في هذا سواء 

Allah Subhanahu wata’ala berfirman, “…. apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…” (QS. Al-Ma’idah 5 : 6)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu sebagaimana yang diperintahkan kepadanya, dan memulai dengan apa yang dimulai (diperintahkan) oleh Allah Subhanahu wata’ala. Dengan demikian –wallahu a’lam- orang yang berwudhu hendaklah memperhatikan dua perkara; yaitu memulai dengan apa yang dumulai (diperintahkan) oleh Allah Subhanahu wata’ala, kemudian yang dimulai oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan hendaknya menyempurnakan apa yang diperintahkan kepadanya. Barangsiapa memulai dengan tangannya sebelum muka, atau kepalanya sebelum dua tangannya, atau dua kakinya sebelum kepalanya, maka menurut saya hendaklah ia mengulang wudhunya sehingga ia membasuh sesuai urutan. Wudhunya tidak sah –menurut saya- kecuali bila dikerjakan sesuai urutannya. Lalu apabila ia telah melaksanakan shalat, maka hendaklah ia mengulangi shalatnya setelah berwudhu terlebih dahulu sesuai dengan urutan.
[Al-Umm 1/35 (Ringkasan Kitab Al-Umm 1/43)]

Imam Nawawi dakam kitab Raudhatuth Thalibin berkata :

الفرض السادس الترتيب فلو تركه عمدا لم يصح وضوؤه لكن يعتد بالوجه وما غسله
بعده على الترتيب ولو تركه ناسيا فقولان المشهور الجديد لا يجزئه ولو غسل أربعة أنفس أعضاءه دفعة باذنه لم يحصل إلا الوجه على الصحيح وعلى الثاني يحصل الجميع

Syarat wajib wudhu yang keenam adalah Tertib (berurutan). Apabila dia meninggalkannya dengan sengaja, maka wudhunya tidak sah. Akan tetapi membasuh wajah dan lainnya setelah wajah secara berurutan dianggap sah. Apabila meninggalkannya karena lupa, maka dal hal ini terdapat dua pendapat Imam Syafi’i; Pertama, menurut pendapat yang masyhur dan baru tidak sah. Apabila ada empat orang yang membasuhkan anggota wudhunya secara bersamaan dengan seizinnya, maka tidak dianggap kecuali membasuh wajah saja, menurut pendapat yang sahih. Kedua, semua sah dan dianggap.
[Raudhatuth Thalibin 1/41 (1/204)].

Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqih Sunnah berkata :

فلم ينقل عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه توضأ إلا مرتبا, والوضوء عبادة ومدار الأمر فى العبادات على الإتباع, فليس لأ حد أن يخالف المأثور فى كيفية وضوئه رسول الله صلى الله عليه وسلم خصوصا ماكان مطردا منها

Tidak ada sebuah haditspun yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam berwudhu tanpa berurutan dan tanpa tertib. Wudhu merupakan suatu ibadah, sedangkan prinsip utama ibadah itu ialah meneladani atau mengikuti jejak langkah sunnah Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam. Oleh karenanya, tidak boleh menyalahi sunnah yang sahih yang berhubung tata cara wudhu Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, terutama tata cara yang sudah menjadi suatu ketetapan.
[Fiqih Sunnah1/ (1/52)].

Peraktek para shahabat ketika mencontohkan tata cara wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara tertib. Diantaranya hadits 'Utsman bin 'Affan radliyallahu 'anhu :

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا

"Dari Humran maula 'Utsman bahwa 'Utsman meminta air wudlu lalu beliau berwudlu; beliau mencuci dua telapak tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istintsar, kemudian mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangan kanannya sampai siku-siku tiga kali, kemudian mencuci tangan kirinya seperti itu juga, kemudian mengusap kepalanya kemudian mencuci kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali kemudian mencuci kaki kiri seperti itu juga kemudian berkata: "Aku melihat Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam berwudlu seperti wudluku ini". (HR Bukhari dan Muslim dan ini adalah lafadz Muslim).

Diantaranya juga hadits Abdullah bin zaid radliyallahu 'anhu :

قِيلَ لَهُ تَوَضَّأْ لَنَا وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِإِنَاءٍ فَأَكْفَأَ مِنْهَا عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَهُمَا ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِيَدَيْهِ وَأَدْبَرَ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثُمَّ قَالَ هَكَذَا كَانَ وُضُوءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

"dikatakan kepadanya,"Berwudlulah seperti wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau meminta bejana lalu menuangkan air kepada dua telapak tangannya dan mencucinya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu berkumur-kumur dan istinsyaq dari satu telapak tangan, beliau lakukan itu tiga kali. Kemudian beliau memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mencuci wajahnya tiga kali kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mencuci dua tangannya sampai siku-siku dua kali dua kali, kemudian memasukkan tangannya dan mengeluarkannya lalu mengusap kepalanya dari depan kebelakang kemudian mencuci dua kakinya sampai mata kaki kemudian berkata: "Beginilah wudlu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". (HR Bukhari dan muslim dan ini adalah lafadz Muslim).

Sisi pendalilannya: Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Hadits ini menunjukkan tertib dalam mencuci anggota wudlu karena disitu digunakan kata "kemudian" pada seluruhnya".
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Semua shahabat yang menceritakan wudlu Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam, menceritakannya secara tertib. Dan ia menafsirkan apa yang ada dalam kitabullah".

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: "Dan adalah wudlu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilakukan secara tertib dan muwalah dan beliau tidak pernah sekalipun menyalahinya (tidak tertib)".

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berurutan (tertib) dalam membasuh anggota wudhu ketika berwudhu hukumnya wajib

Sholat Jum'at Di Jalan Tidak Sah


Shalat Jum’at merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (orang yang telah diberikan beban untuk menjalankan kewajiban agama) dan aqil baligh sesuai dengan dalil yang menunjukkan bahwa shalat Jum’at wajib bagi setiap mukallaf, dengan ancaman yang sangat keras bagi orang yang meninggalkannya, dan dengan himmah (tekad) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membakar rumah orang-orang yang meninggalkannya, tidaklah ada hujjah yang lebih jelas daripada perintah yang termaktub di dalam al-Qur-an yang mencakup setiap individu muslim, di dalamnya diungkapkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah…” [Al-Jumu’ah: 9]

Inilah argumentasi yang jelas.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Thariq bin Syihab, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَـى كُلِّ مُسْلِمٍ (فِـيْ جَمَـاعَةٍ) إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ.

“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim (dengan berjama’ah) kecuali kepada empat orang: hamba sahaya, wanita, anak-anak dan orang yang sedang sakit.”
Hadits ini dishahihkan bukan hanya oleh satu Imam (ulama hadits).
Ad-Daaruquthniy rahimahullah berkata :
حدثنا أبو بكر الشافعي ثنا إسماعيل بن الفضل ثنا القواريري ثنا أبو بكر الحنفي عن عبد الله بن نافع عن أبيه عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ليس على المسافر جمعة
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Asy-Syaafi’iy : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al-Hanafiy, dari ‘Abdullah bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam, beliau bersabda : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [As-Sunan, no. 1582].
Ismaa’iil bin Al-Fadhl mempunyai muttabi’ dari Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy sebagaimana diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam ‎Al-Ausath 1/249 no. 818.
Hadits ini sangat lemah, dikarenakan ‘Abdullah bin Naafi’, seorang yang matruuk.
Al-Baihaqiy rahimahullah menyatakan bahwa yang shahih (mahfuudh) dari riwayat ini adalah mauquf :
وأخبرنا أبو حازم الحافظ ثنا أبو أحمد الحافظ أنبأ أبو يعقوب إسحاق بن أيوب الفقيه بواسط ثنا أحمد بن سعد الزهري ثنا يحيى بن سليمان الجعفي ثنا بن وهب أخبرني عمرو بن الحارث حدثني عبيد الله بن عمر عن نافع عن بن عمر قال لا جمعة على مسافر
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haazim Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Al-Haafidh : Telah memberitakan Abu Ya’quub Ishaaq bin Ayyuub Al-Faqiih di Waasith : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sa’d Az-Zuhriy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sulaimaan Al-Ju’fiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [As-Sunan Al-Kubraa, 3/184].‎
Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq (3/172 no. 5198) dari jalan ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Ada hadits lain dalam hal ini :
Ad-Daaruquthniy rahimahullah berkata :
حدثنا عبيد الله بن عبد الصمد بن المهتدي بالله ثنا يحيى بن نافع بن خالد بمصر ثنا سعيد بن أبي مريم ثنا ابن لهيعة حدثني معاذ بن محمد الأنصارى عن أبي الزبير عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فعليه الجمعة يوم الجمعة إلا مريض أو مسافر أو امرأة أو صبي أو مملوك فمن استغنى بلهو أو تجارة استغنى الله عنه والله غني حميد
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdish-Shamad Al-Muhtadiy billah : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Naafi’ bin Khaalid di Mesir : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadz bin Muhammad Al-Anshaariy, dari Abuz-Zuabir, dari Jaabir : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajib baginya mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, kecuali : orang yang sakit, musafir, wanita, anak-anak, dari budak. Barangsiapa yang mencukupkan diri dengan kesia-siaan atau perdagangan, maka Allah akan merasa cukup darinya, dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” [As-Sunan, no. 1576, dan dari jalannya Ibnul-Jauziy dalam At-Tahqiiq, 1/501 no. 788].
Sa’iid bin Abi Maryam mempunyai muttabi’ dari Kaamil bin Thalhah Al-Jahdariy, seorang yang ‎shaduuq, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/184.
Riwayat ini lemah, atau bahkan mungkin sangat lemah. Ibnu Lahii’ah, seorang yang lemah dari sektor hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar [At-Taqriib, hal. 538 no. 3587]. Mu’aadz bin Muhammad seorang perawi munkarul-hadiits,‎ sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy [Al-Kaamil no. 1912]. Adapun Al-Uqailiy berkata : “Dalam haditsnya ada wahm”[Adl-Dlu’afaa’, hal. 1348 no. 1787].
Jaabir mempunyai syaahid antara lain dari :
1.      Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu.
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
أخبرنا علي بن أحمد بن عبدان أنبأ أحمد بن عبيد الصفار ثنا علي بن الحسن بن بيان ثنا سعيد بن سليمان ثنا محمد بن طلحة بن مصرف ح وأخبرنا أبو حازم الحافظ أنبأ أبو أحمد الحافظ يعني النيسابوري أنبأ أبو أحمد محمد بن سليمان بن فارس ثنا محمد يعني بن إسماعيل البخاري حدثني إسماعيل بن أبان ثنا محمد بن طلحة عن الحكم بن عمرو عن ضرار بن عمرو عن أبي عبد الله الشامي عن تميم الداري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الجمعة واجبة إلا على صبي أو مملوك أو مسافر وفي رواية بن عبدان إن الجمعة واجبة إلا على صبي أو مملوك أو مسافر

Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Ahmad bin ‘Abdaan : Telah memberitakan Ahmad bin ‘Ubaid Ash-Shaffaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Bayaan : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah bin Musharrif (ح). Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haazim Al-Haafidh : Telah memberitakan Abu Ahmad Al-Haafidh An-Naisaabuuriy : Telah memberitakan Abu Ahmad Muhammad bin Sulaimaan bin Faaris : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy : Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil bin Abaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah, dari Al-Hakam bin ‘Amru, dari Dliraar bin ‘Amru, dari Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy, dari Tamiim Ad-Daariy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat Jum’at itu wajib kecuali bagi anak-anak, budak, atau musafir”. Dan dalam riwayat Ibnu ‘Abdaan : “Sesungguhnya shalat Jum’at itu wajib kecuali bagi anak-anak, budak, dan musafir” [As-Sunan Al-Kubraa, 3/183-184].
Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa 2/51-52 no. 1257 dan Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ hal. 609 no. 765 dari jalan Muhammad bin Thalhah yang selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini sangat lemah. Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy namanya Syahr bin Hausyab adalah perawi lemah [Tahriirut-Taqriib, 2/122 no. 2830]. Dliraar bin ‘Amru Al-Malathiy, [Mishbaahul-Ariib, 2/105 no. 12603] dan Al-Hakam bin ‘Amru Ar-Ru’ainiy [idem, 1/389 no. 8165 – lihat juga ‎ta’liq Hamdiy As-Salafiy dalam Al-Kabiir], adalah dua orang perawi yang sangat lemah.

Abu Zur’ah berkata tentang hadits ini : “Hadits munkar” [Al-‘Ilal oleh Ibnu Abi Haatim 1/212].
2.      Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Ath-Thabaraaniy rahimahulah berkata :
حدثنا أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد المصري قال حدثنا إبراهيم بن حماد بن أبي حازم المديني قال حدثنا مالك بن أنس عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمسة لا جمعة عليهم المرأة والمسافر والعبد والصبي وأهل البادية لم يرو هذا الحديث عن مالك إلا إبراهيم بن حماد بن أبي حازم
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj bin Risydiin bin Sa’d Al-Mishriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Hammaad bin Abi Haazim Al-Madiiniy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ada lima golongan yang tidak diwajibkan shalat Jum’at atas mereka : wanita, musafir, budak, anak-anak, dan penduduk padang pasir”. Ath-Thabaraaniy berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Maalik kecuali Ibraahiim bin Hammaad bin Abi Haazim” [Al-Ausath, no. 204].
Hadits ini lemah karena Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj [Irsyaadul-Qaadliy, hal. 155-156 no. 172] dan Ibraahiim bin Hammaad [Mishbaahul-Ariib,1/28 no. 283] adalah dua orang perawi lemah.

‎Ada juga hadits mursal Al-Hasan Al-Bashriy ‎rahimahullah :
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ ، عَنْ عَمْرٍو ، عَنِ الْحَسَنِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Dari Ibnu ‘Uyainah, dari ‘Amru, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5203].
Hadits ini lemah karena mursal.
Kesimpulan : Hadits perkecualian musafir dari orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at dari sabda beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah lemah.
Akan tetapi perkecualian musaafir dari orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at merupakan ijmaa’ dari kalangan ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Hubairah ‎rahimahullah :
واتفقوا على أن الجمعة لا تجب على صبي ولا عبد ولا مسافر ولا امرأة، إلا رواية عن أحمد في العبد خاصة
“Para ulama telah sepakat bahwasannya shalat Jum’at tidak diwajibkan atas anak-anak, hamba/budak, musafir, dan wanit; kecuali satu riwayat dari Ahmad tentang hamba secara khusus” [Ikhtilaaful-‘Ulamaa’, 1/152].
Begitu juga yang dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr ‎rahimahullah :
وأما قوله: (ليس على مسافر جمعة) فإجماع لا خلاف فيه
“Adapun sabda beliau : ‘Tidak ada kewajiban shalat Jum’at atas musafir’, maka itu adalahijma’ tanpa ada perselisihan padanya” [Al-Istidzkaar, 2/36].
Hal itu dikarenakan bahwasannya Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah sering melakukan safar, akan tetapi tidak ternukil satupun riwayat yang menjelaskan beliau menegakkan shalat Jum’at. Ibnul-Mundzir ‎rahimahullah berkata :
ومما يحتج به في إسقاط الجمعة عن المسافر أن النبي صلى الله عليه وسلم قد مرّ به في أسفاره جُمَعٌ لا محالة، فلم يبلغنا أنه جَمَّع وهو مسافر، بل قد ثبت عنه أنه صلى الظهر بعرفة وكان يوم الجمعة، فدلّ ذلك من فعله على أن لا جمعة على المسافر
“Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam safar-safarnya tentu pernah melewati hari Jum’at. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ‎mengerjakan shalat Jum’at dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhur di ‘Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jum’at. ‎Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Al-Ausath, 4/20].
حدثنا وكيع عن العمري عن نافع عن ابن عمر أنه كان لا يجمع في السفر
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Al-‘Umariy, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak melaksanakan shalat Jum’at ketika safar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya hasan, namun shahih dengan riwayat mauquf Al-Baihaqiy di awal].
عن الثوري عن مغيرة عن إبراهيم قال كانوا لا يجمعون في سفر ولا يصلون الا ركعتين
Dari Ats-Tsauriy, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, ia berkata : “Mereka tidak mengerjakan shalat Jum’at ketika safar. Dan mereka tidaklah shalat kecuali dua raka’at” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 3/173-174 no. 5202; sanadnya shahih].
Mereka’ yang dimaksud Ibraahiim An-Nakha’iy ini adalah beberapa tabi’in dan shahabat yang semasa dengannya, karena ia sendiri termasuk ‎tabi’iy kecil (thabaqah ke-5, wafat tahun 196 H).
حدثنا معتمر عن برد عن مكحول قال : ليس على المسافر أضحى ولا فطر ولا جمعة
Telah meceritakan kepada kami Mu’tamir, dari Burd, dari Mak-huul, ia berkata : “Tidak ada kewajiban bagi musafir shalat ‘Iedul-Adlhaa, shalat ‘Iedul-Fithri, dan shalat Jum’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا أبو أسامة عن أبي العميس عن علي بن الأقمر قال : خرج مسروق وعروة بن المغيرة ونفر من أصحاب عبد الله فحضرت الجمعة فلم يجمعوا وحضر الفطر فلم يفطروا
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Abul-‘Umais, dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata : “Masruuq, ‘Urwah, Al-Mughiirah, dan sejumlah orang dari kalangan shahabat ‘Abdullah pernah keluar untuk safar. Tibalah hari Jum’at, namun mereka tidak shalat Jum’at. Dan tiba pula hari ‘Iedul-Fithri, namun mereka tidak shalat ‘Ied” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا أبو الأحوص عن مغيرة عن إبراهيم قال كان أصحابنا يغزون فيقيمون السنة أو نحو ذلك يقصرون الصلاة ولا يجمعون
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Mughiirah, dari Ibraahiim : “Shahabat-shahabat kami pernah berperang selama kurang lebih setahun, dimana mereka menqashar shalat namun tidak melakukan shalat Jum’at” [idem, sanadnya shahih].
عن معمر عن بن طاووس عن أبيه قال ليس على المسافر جمعة
Dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq 3/172 no. 5197; sanadnya shahih].
Ijma’ ini adalah bagi musafir yang tidak singgah di satu negeri/daerah dan tidak terdengar adzan oleh mereka. ‎Seandainya mereka menegakkan sendiri shalat Jum’at, maka shalatnya tidak sah menurut sebagian ulama, dan ia harus mengulangi dengan melakukan shalat Dhuhur.
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat ‎tentang musafir yang mendengar panggilan adzan dalam satu negeri/daerah yang ia lewati. ‎Jumhur ulama berpendapat tidak wajib menghadiri shalat Jum’at. Alasannya adalah sebagaimana di atas.
حدثنا عبد الأعلى عن يونس عن الحسن أن أنس بن مالك أقام بنيسابور سنة أو سنتين فكان يصلي ركعتين ثم يسلم ولا يجمع
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya Anas bin Maalik pernah berada di Naisaabuur selama setahun atau dua tahun. Ia shalat dua raka’at kemudian salam, tanpa mengerjakan shalat Jum’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا عبد الأعلى عن يونس عن الحسن أن عبد الرحمن بن سمرة شتى بكابل شتوة أو شتوتين لا يجمع ويصلي ركعتين
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’la, dari Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya ‘Abdurrahman bin Samurah pernah berada di negeri Kaabul (Afghanistan) pada musim dingin selama semusim atau dua musim. Ia tidak melakukan shalat Jum’at, dan ia shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا زيد بن حباب قال ثنا رجاء بن أبي سلمة قال حدثني أبو عبيد مولى سليمان بن عبد الملك قال : خرج عمر بن عبد العزيز من دابق وهو يومئذ أمير المؤمنين فمر بحلب يوم الجمعة فقال لأميرها : جمع فإنا سفر
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rajaa’ bin Abi Salamah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ubaid maulaa Sulaimaan bin ‘Abdil-Malik, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah keluar dalam safarnya dari Daabiq dimana saat itu ia menjabat sebagai Amiirul-Mukminiin. Ia melewati negeri Halab pada hari Jum’at, lalu ia berkata kepada amir negeri itu : “Shalat Jum’at lah, karena kami sedang safar (sehingga tidak shalat bersama kalian)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/105; sanadnya shahih].
Di antara mereka (salaf) ada yang tetap mewajibkan menghadiri shalat Jum’at. Dalil mereka adalah keumuman ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Jum’ah : 6].
Ayat ini umum, tidak mengkhususkan bagi orang yang mukim saja.
عن معمر عن الزهري قال سألته عن المسافر يمر بقرية فينزل فيها يوم الجمعة قال إذا سمع الاذان فليشهد الجمعة
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku (Ma’mar) pernah bertanya kepadanya tentang musafir yang melewati satu kampung/desa yang bertepatan dengan hari Jum’at, maka ia menjawab : “Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri shalat Jum’at” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq 3/174 no. 5205; sanadnya shahih].
Catatan : Pendapat Az-Zuhriy ini juga dilatarbelakangi pengetahuannya bahwa para shahabat dan tabi’in ketika berada di Dzul-Hulaifah menghadiri shalat Jum’at.
حدثنا أبو خالد الأحمر عن عبد الله بن يزيد عن سعيد بن المسيب قال : سألته على من تجب الجمعة ؟ فقال : على من سمع النداء
Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Abdullah bin Yaziid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : Aku (‘Abdullah bin Yaziid) pernah bertanya kepadanya tentang orang yang diwajibkan shalat Jum’at, lalu ia menjawab : “Wajib bagi siapa saja yang mendengar adzan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/102; sanadnya shahih].
حدثنا وكيع عن داود بن قيس الفراء قال : سمعت عمرو بن شعيب قيل له : يا أبا إبراهيم على من يجب الجمعة ؟ قال : على من سمع الصوت
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Daawud bin Qais Al-Farraa’, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Amru bin Qais, dikatakan kepadanya : “Wahai Abu Ibraahiim, siapa saja yang diwajibkan shalat Jum’at ?”. Ia berkata : “Diwajibkan bagi siapa saja yang mendengar suara adzan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
Pendapat inilah yang nampak dikuatkan oleh Shiddiiq Hasan Khaan rahimahullah, dimana ia berkata :
والغالب أن المسافر لا يسمع النداء، وقد ورد أن الجمعة على من سمع النداء، كما في حديث ابن عمر عند أبي داود
“Dan ghalib-nya, musafir itu tidak mendengar adzan. Dan telah ada riwayat bahwasannya shalat Jum’at itu wajib bagi orang yang mendengar adzan, sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud” [Ar-Raudlatun-Nadiyyah, 1/362].
Riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa ‎dalam Sunan Abi Daawud yang dimaksudkan oleh Shiddiiq Hasan Khaan adalah :
حدثنا محمد بن يحيى بن فارس، ثنا قبيصة، ثنا سفيان، عن محمد بن سعيد يعني الطائفي عن أبي سلمة بن نبيه، عن عبد اللّه بن هارون، عن عبد اللّه بن عمرو، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الجمعة على كل من سمع النداء".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa bin Faaris : Telah menceritakan kepada kami Qabiishah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Muhammad bin Sa’iid Ath-Thaaifiy, dari Abu Salamah bin Nabiih, dari ‘Abdullah bin Haarun, dari ‘Abdulah bin ‘Amru, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat Jum’at wajib bagi siapa saja yang mendengar adzan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1056; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 3/58-60 no. 594].
Yang raajih, shalat Jum’at wajib dihadiri oleh ‎musafir jika ia mendengar seruan adzan, karena tidak ada dalil yang memalingkankannya dari keutuhan nya ‎Baik seruan adzan itu berasal dari perkotaan ataupun pedesaan.
حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah : Bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) bertanya kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/101; sanadnya shahih].
‎Bagaimana kalau saat demo melaksanakan shalat Jumat di jalan raya, diimami di jalan raya padahal masjid masih muat dan bisa menampung jamaah?
 
Syarat Sah dan Wajib Jum'at

Para ulama memberikan syarat sahnya shalat jumat dilaksanakan. Di antara syarat yang disebutkan adalah mengenai syarat sah dan syarat wajib sekaligus. Artinya, jika syarat ini tidak ada, maka shalat jumatnya tidak sah dan tidak wajib dilaksanakan.
Syarat sah dan wajib Jumat yang sekaligus disebut oleh para ulama adalah :
Tempat didirikan shalat Jumat adalah di masjid suatu negeri atau kampung yang berpenduduk.
Mendapatkan izin dari sultan atau penguasa.‎
Sudah masuk waktu pelaksanaan shalat zhuhur dan waktunya berlangsung terus hingga waktu ‘Ashar.
 
Syarat pertama disebutkan oleh madzhab Abu Hanifah. Dalam salah satu kitab pegangan dalam madzhab Abu Hanifah, Al-Mabsuth karya Abu Bakr Muhammad bin Abu Sahl As-Sarakhsi disebutkan,
لَا جُمُعَةَ وَلَا تَشْرِيقَ وَلَا فِطْرَ وَلَا أَضْحَى إلَّا فِي مِصْرٍ جَامِعٍ وَلِأَنَّ الصَّحَابَةَ حِينَ فَتَحُوا الْأَمْصَارَ وَالْقُرَى مَا اشْتَغَلُوا بِنَصْبِ الْمَنَابِرِ وَبِنَاءِ الْجَوَامِعِ إلَّا فِي الْأَمْصَارِ وَالْمُدُنِ وَذَلِكَ اتِّفَاقٌ مِنْهُمْ عَلَى أَنَّ الْمِصْرَ مِنْ شَرَائِطِ الْجُمُعَةِ
“Tidak ada Jum’at, tasyriq, Idul Fithri, Idul Adha, melainkan di lakukan di mishr jami’. Karena para sahabat ketika menaklukkan berbagai negeri dan kampung, mereka tidaklah sibuk dengan mendirikan mimbar dan membangun jami’ kecuali berada di negeri dan kampung. Karenanya mereka itu sepakat bahwa ‎mishr jami’ itu merupakan syarat didirikannya shalat Jum’at.” (Al-Mabsuth, 2: 310)
Yang dimaksud dengan mishr jami’ disebutkan oleh Imam As-Sarakhsi,
حَدِّ الْمِصْرِ الْجَامِعِ أَنْ يَكُونَ فِيهِ سُلْطَانٌ أَوْ قَاضٍ لِإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَتَنْفِيذِ الْأَحْكَامِ

“Batasan disebut mishr jami’ adalah yang di dalamnya ada sultan (penguasa) atau qadhi (kami) untuk menegakkan hukum hudud dan menjalankan hukum syari’at lainnya.”
Sedangkan madzhab lainnya tidak menyaratkan seperti ini.
Dalam madzhab Syafi’i disyaratkan, shalat Jumat yang penting dilakukan di dalam bangunan tertutup yang ada di negeri atau perkampungan.
Imam Asy-Syairazi dalam Al-Muhaddzab menyatakan,
ولا تصح الجمعة إلا في أبنية يستوطنها من تنعقد بهم الجمعة من بلد أو قرية
“Shalat Jumat tidaklah sah dilakukan kecuali di dalam bangunan yang di mana nantinya diisi oleh orang-orang yang sah mendirikan shalat jumat yang menetap di negeri atau kampung.”
Imam Nawawi menjelaskan,
سواء كان البناء من احجار أو أخشاب أو طين أو قصب أو سعف أو غيرها
“Bangunan tadi bisa jadi terbuat dari batu, kayu, tanah, batang yang beruas (seperti pada tebu, pen.), pelepah kurma, dan selainnya.” (Al-Majmu’, 4: 256-257)
Ulama Hambali menyatakan bahwa shalat di padang pasir pun masih sah.
Ibnu Qudamah rahimahullah (lahir tahun 541 H, meninggal dunia tahun 620 H) menyatakan,
وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْجُمُعَةِ إقَامَتُهَا فِي الْبُنْيَانِ ، وَيَجُوزُ إقَامَتُهَا فِيمَا قَارَبَهُ مِنْ الصَّحْرَاءِ .وَبِهَذَا قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَقَالَ الشَّافِعِيُّ : لَا تَجُوزُ فِي غَيْرِ الْبُنْيَانِ
“Tidak disyaratkan untuk sahnya jumat untuk dilakukan di masjid. Boleh saja melakukan shalat Jumat di tanah lapang yang dekat dengan bangunan. Demikian juga yang menjadi pendapat dalam madzhab Abu Hanifah. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak boleh mengerjakan shalat Jumat selain di dalam gedung.” (Al-Mughni, 3: 209)
Ulama Malikiyah menyaratkan shalat Jumat dilaksanakan di tempat yang bisa menetap dalam waktu yang lama, bisa dilakukan dalam gedung atau rumah dari kayu (gubug). Namun tidak boleh shalat Jumat tersebut dilakukan di kemah karena bukan tempat yang layak untuk menetap dalam waktu yang lama.
Kalau kita perhatikan dari pendapat yang ada, berarti yang menyaratkan shalat dalam bangunan hanyalah madzhab Syafi’i. Sedangkan madzhab Hambali dan Abu Hanifah masih membolehkan di luar masjid. Adapun madzhab Malikiyah berpendapat bahwa asalkan tempatnya layak untuk tinggal, boleh didirikan shalat Jumat.
Sehingga dalam madzhab Syafi’i sendiri -sebagaimana yang dianut di negeri kita- mengenai shalat di jalan jelas tidak dibolehkan karena dipersyaratkan shalat Jumat mesti dalam bangunan.
 
Mengenai Hukum Shalat di Jalan

Adapun mayoritas ulama masih membolehkan shalat di jalan karena dengan alasan keumuman hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Semua tempat di muka adalah masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian.” (HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Adapun hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يُصَلَّى فِى سَبْعَةِ مَوَاطِنَ فِى الْمَزْبَلَةِ وَالْمَجْزَرَةِ وَالْمَقْبُرَةِ وَقَارِعَةِ الطَّرِيقِ وَفِى الْحَمَّامِ وَفِى مَعَاطِنِ الإِبِلِ وَفَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ اللَّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat di tujuh tempat: (1) tempat sampah, (2) tempat penyembelihan hewan, (3) pekuburan, (4) tengah jalan, (5) tempat pemandian, (6) tempat menderumnya unta, (7) di atas Ka’bah.” (HR. Tirmidzi, no. 346; Ibnu Majah, no. 746. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menilai hadits ini dha’if dalam Minhah Al-‘Allam, 2: 352-353)
Kalau hadits kedua di atas dha’if, berarti masih dibolehkan shalat di tujuh tempat di atas kecuali jika ada dalil shahih yang melarang seperti shalat di pekuburan, tempat pemandian dan tempat menderumnya unta.
Ulama madzhab Hanafiyah dan Syafi’iyah menganggap bahwa dimakruhkan (terlarang) shalat di jalan. Al-Khatib Asy-Syarbini, salah seorang ulama besar dalam madzhab Syafi’i menyatakan bahwa sebab dilarangnya shalat di jalan adalah karena dapat mengganggu kepentingan umum, menghalangi orang untuk lewat hingga kurangnya khusyu’. (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27: 114)
Syaikh ‘Abdullah berkata, “Yang utama tidaklah shalat di jalan. Akan tetapi jika ada hajat untuk shalat di tengah jalan, maka tidaklah masalah. Seperti misalnya masjid sangatlah sempit asalkan menggunakan alas saat itu.” (Minhah Al-‘Allam, 2: 356)
Kesimpulan, shalat Jumat baiknya dilakukan di masjid, bukan di jalan raya (seperti yang dilakukan oleh para pendemo) yang akan mengganggu kepentingan umum, lebih-lebih masjid sekitar masih muat menampung jama’ah. Beda halnya kalau masjid tidak bisa memuat jama’ah yang jumlahnya jutaan. Baca lagi berulang pembahasan diatas.

Penjelasan Hukum Perkawinan Sejenis


Bila dicermati dengan seksama, secara bahasa, perpaduan antara kata “perkawinan” dengan kata “sejenis” yang sering dijumpai pada istilah “perkawinan sejenis”, terdapat ketidakcocokan makna. Hal itu dikarenakan, perkawinan adalah penggabungan, persilangan, dan pembastaran dari dua jenis kelamin yang berbeda, laki-laki dengan perempuan pada manusia, atau jantan dengan betina pada hewan dan tumbuhan. Sehingga tidak tepat jika perkawinan itu terjadi hanya antara satu jenis makhluk hidup.

Meski fenomena ini dilegalkan di sebagian wilayah di negara-negara Eropa (Barat), namun hal itu lebih layak disebut dengan hubungan sejenis, karena tidak lebih dari sekedar pelampiasan nafsu birahi dengan cara yang salah. Adapun pernikahan, memiliki makna yang jauh lebih luas dan mulia dari pada sekedar pelampiasan nafsu. Demikian pula perkawinan dalam syariat Islam tidak dibenarkan, kecuali dari dua jenis kelamin yang berbeda.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا

Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan. [an-Nabâ’/78:8].

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. [ar-Ra’d/13:38].

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. [ar-Rûm/30:21].

Dalam bahasa Arab, kata “zauj” dan “azwaj” bermakna istri atau suami. Kata ini tidak terwujud, kecuali bila diawali dengan pernikahan atau perkawinan antara dua individu berjenis kelamin yang berbeda.

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [an-Nisâ’/4:3].

Banyak ayat senada yang memerintahkan untuk menikahi wanita (lawan jenis).

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

تَزَوَّجُوْا الْوَلُوْدَ الْوَدُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمُ

Nikahilah wanita yang penyayang dan subur. karena aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian- ummatku-(yakni pada hari kemudian).

HUKUM HUBUNGAN SEJENIS
Jika menelaah peradaban manusia, sebenarnya fenomena penyimpangan seksual sudah terjadi jauh sebelum masa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tepatnya pada masa Nabi Lûth yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut dengan menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah Nabi Lûth. Sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ ﴿٢٨﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ

Dan (ingatlah) ketika Lûth berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu ?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allâh, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” [al-‘Ankabût/29:28-29]‎
Juga firman-Nya :

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ ﴿٥٤﴾ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ ﴿٥٥﴾ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ ﴿٥٦﴾ فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَاهَا مِنَ الْغَابِرِينَ ﴿٥٧﴾ وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ

Dan (ingatlah kisah) Lûth, ketika dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fâhisyah itu sedang kamu melihatkan(nya)? Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu),” maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Lûth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih,” maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). [an-Naml/27:54-58].

Demikianlah sejarah yang memberikan pemahaman betapa hina perbuatan keji ini, dan kehinaan bagi pelakunya.

Selanjutnya dalam khazanah keilmuan Islam khususnya ilmu fiqh, praktek homoseksual dan lesbian telah dibahas tuntas, bahwa hukumnya haram. Penyimpangan seksual ini yang dalam Islam sering disebut al-fâhisyah (dosa besar) merupakan perilaku sangat menjijikkan dan bertentangan dengan kodrat ataupun tabiat manusia. Para Ulama selain mengharamkannya, juga sangat mengutuk serta mengecam perbuatan itu. Namun demikian, pendapat para ulama tidaklah berlebihan dalam masalah tersebut karena telah jelas dalil-dalil yang mereka kemukakan.

Bila ditelusuri secara bahasa, sebenarnya tidak ada perbedaan penggunaan kata antara homoseksual dengan lesbian. Dalam bahasa Arab keduanya dinamakan al liwath. Pelakunya dinamakan al-luthiy (lotte). Namun demikian, Imam al-Mawardi rahimahullah membedakannya. Beliau menyebut homoseksual dengan liwath, dan lesbian dengan sihaq atau musâhaqah.

Adapun hukum perbuatan ini sangat jelas disebutkan dalam al-Qur’ân, Hadits dan ijmâ’ para Ulama. Allâh Azza wa Jalla menggambarkan azab yang menimpa kaum Nabi Lûth dalam firman-Nya :

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ ﴿٨٢﴾ مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ ۖ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Lûth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. [Hûd/11:82-83]

Tidaklah Allâh Azza wa Jalla menurunkan azabnya kecuali kepada orang-orang yang zhalim (melakukan hal yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla ). Dalam sebuah hadits, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلَ قَوْمِ لُوْطٍ

Dari Jâbir bin Abdullâh Radhiyallahu anhu , ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Lûth”

Para Ulama juga sudah Ijmâ’, bahwa perilaku homoseksual dan lesbian adalah haram. Ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) Ulama Islam. Artinya, tidak ada diantara para Ulama yang berselisih tentang masalah ini. Jadi, tidak ada seorang Ulama pun yang berpendapat tentang kehalalannya. Hal ini sudah menjadi ketetapan hukum sejak dahulu sampai hari kemudian.
Ibnu Qudâmah al-Maqdisi menyebutkan bahwa penetapan hukum haramnya praktek homoseksual adalah Ijma’ (kesepakatan) Ulama, berdasarkan nash-nash al-Qur’ân dan al-Hadits. Sehingga, dapat diambil kesimpulkan tentang haramnya hubungan sejenis menurut syari’at Islam.
Jika seseorang melakukan tindakan homoseksual tapi ia masih meyakini keharamannya, maka ia “hanya” melakukan dosa besar.

Adapun jika ia telah “melegalkan” homoseksual tersebut melalui akad nikah pasangan sejenis, maka ia telah melakukan kekafiran karena tindakan tersebut bermakna penghalalan homoseksual.

Sanksi untuk orang yang melegalkan homoseksual adalah hukuman mati, yaitu dipenggal dengan pedang, bukan hukuman rajam. Hal itu seperti halnya sanksi untuk orang yang melegalkan pernikahan dengan mahramnya adalah hukuman mati dengan pedang, bukan hukuman rajam.

Dalil dari hal ini adalah hadits:

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ وَآخُذَ مَالَهُ

Dari Barra’ bin Azib, ia berkata, “Saya bertemu dengan pamanku (dalam riwayat Tirmidzi dan lainnya disebutkan bernama Abu Burdah bin Niyar) dan ia membawa panji perang. Saya bertanya kepadanya ‘Paman hendak pergi ke mana?’ Ia menjawab ‘Rasulullah SAW mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri bapaknya setelah bapaknya meninggal. Rasulullah SAW memerintahkanku untuk memenggal kepalanya dan menyita hartanya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Tirmidzi. Asy-Syaukani berkata: Hadits ini memiliki banyak sanad, para perawi salah satu sanadnya adalah para perawi Shahih Bukhari)

Imam Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwasanya imam (khalifah) boleh memerintahkan hukuman mati terhadap orang yang menyelisihi perkara yang qath’i dalam syariat Islam, seperti masalah ini. Sebab Allah SWT telah berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapak kalian…”(QS. An-Nisa’ [4]: 22). Namun hadits ini harus dibawa pada pengertian bahwa orang yang Nabi SAW memerintahkan untuk dihukum mati tersebut adalah orang yang telah mengetahui keharaman perbuatannya (menikahi istri bapaknya / janda bapaknya) dan ia melakukannya dengan menghalalkannya. Hal itu merupakan penyebab kekafiran, sehingga orang murtad dihukum mati berdasar dalil-dalil yang telah disebutkan.” (Nailul Authar, 9/70)
SOLUSI HUBUNGAN SEJENIS
Untuk mengetahui solusi yang perlu diambil dalam pencegahan tindakan hubungan sejenis maupun pengobatan bagi pelaku penyimpangan tersebut, sebaiknya kita mengetahui penyebab terjadinya homoseksual dan lesbian itu.

Terdapat penyebab yang berbeda-beda yang mengakibatkan berbeda pula penanganannya. Penyebab utama yang sudah pasti menyebabkan fenomena ganjil ini adalah kurangnya iman yang membuat seseorang tidak tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam yang sudah jelas mengharamkan praktek homoseksual dan lesbian ini. Selain itu terdapat penyebab secara psikologis, diantaranya trauma masa lalu (pernah mengalami pelecehan seksual, misal disodomi), membenci lawan jenis, keluarga yang tidak harmonis (ayah atau ibu yang kasar), atau pernah dikecewakan pasangan, dan lingkungan yang buruk (maksiat yang menghalalkan free sex, praktek homoseksual dan lesbian).

Untuk mencegah praktek hubungan sejenis diantaranya pendidikan Islam sejak kecil, sehingga menjauhkan generasi muda dimulai dari sekedar fikiran negatif hingga perbuatannya. Yaitu pendidikan Islam secara benar dengan tunduk dan patuh terhadap syari’at Islam serta berjalan di atas fitrah sebagai manusia. Hubungan keluarga yang harmonis berlandaskan syari’at Islam serta lingkungan yang agamis juga memiliki peranan yang sangat penting. Selain itu, perhatian dari orang tua kepada anaknya sejak kecil (aktivitasnya dan lingkungan di sekitarnya) dan perlindungan terhadap bahaya yang mengancam merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Sementara itu, dengan menyibukkan diri pada hal-hal yang bermanfaat seperti menuntut ilmu (terutama ilmu agama) juga menjadi benteng pertahanan yang akan menjauhkan diri dari orientasi aneh yang menjurus pada hubungan ganjil ini.

Adapun jika seseorang tersebut sudah terlanjur memiliki keluarga yang tidak agamis dan harmonis, maka segeralah bentengi diri dengan iman, sehingga tidak jatuh pada trauma mendalam yang memicu pada kebencian berlebihan terhadap lawan jenis. Sedangkan apabila berada pada lingkungan yang buruk dan penuh maksiat, hendaklah segera hijrah kepada lingkungan yang baik (terutama lingkungan agamis yang selalu mengamalkan syariat Islam secara baik).

Diantara solusi yang dapat ditempuh oleh pelaku hubungan sejenis, adalah keinginan yang kuat untuk berubah dengan diawali taubat nasuha (tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosa), kemudian berusaha secara sabar, sungguh-sungguh dan disiplin mengontrol hasrat diri, melupakan trauma masa lalu (apabila ia merupakan penyebab perilaku menyimpang ini). Selanjutnya dukungan dari orang-orang sekitar, baik para orang tua, kerabat dan teman yang baik, bahkan psikolog sangatlah diperlukan. Dengan melakukan terapi kognitif, seperti membangunkan kesadaran bahwa apa yang pelaku perbuat merupakan kesalahan tanpa menyudutkan dan menumbuhkan motivasi pada diri si pelaku. Juga dengan terapi behavior, yaitu si pelaku dimasukkan dalam lingkungan yang lebih bersih dan baik (terutama lingkungan Islami), yang mendukung kesembuhannya serta dijauhkan dari komunitasnya.
Saya pribadi tak mendukung pernikahan sesama jenis. Salah satu alasannya sederhana saja, namun tidak pula sederhana-sederhana amat: selama belum ada bukti saintifik, yang dipercaya semua otoritas medis di dunia, bahwa homoseksual merupakan murni perkara genetika, saya akan terus ogah mendukung pernikahan LGBT.

Keogahan ini bukan berarti kemudian saya menginginkan para LGBT itu mati ditolak bumi atau diusir dari tanahnya macam Syiah di Sampang. Buat apa pula berharap seperti itu? Bebal sekali rasanya. Semua ini seperti halnya selera makanan: Anda menyukai bakso menggunakan bihun, saya tidak. Walau begitu, toh kita sama-sama paham, dengan atau tanpa bihun, semangkuk bakso tetaplah semangkuk bakso. Gak nyambung? Yo pancen, sengojo ra disambungke, ben utekmu mikir. Emang sengaja dibikin gak nyambung, biar Anda mikir.

Sudah, mikirnya? Lanjut…

Mengapa saya lebih memilih argumentasi saintifik? Sebab argumentasi moral cenderung menggelikan, dalam derajat tertentu malah menjijikkan, kelewat abstrak, dan memiliki keruwetan yang njlimet untuk diuji keabsahannya.

Sejauh ini, faktanya, memang tak ada orang yang terlahir sebagai homoseksual atau memiliki gay gene—istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Magnus Hirscheld pada tahun 1899—sejak orok. Bahwa ada kemungkinan seseorang menjadi homoseksual, itu jelas, dan karenanya disebut gay is chance.

Singkat kata, saya percaya gay adalah produk yang nurture, bukan nature.

Salah satu literatur yang dapat Anda baca terkait gay gene adalah Exploding The Gene Myth: How Genetic Information Is Produced and Manipulated by Scientists, Physcians, Employers, Insurance Companies, Educators, and Law Enforcers karya Ruth Hubbard, salah seorang profesor biologi dari Universitas Harvard.

Atau Anda juga bisa membaca dua buah riset Dean Hamer, ilmuwan Amerika yang juga seorang gay. Riset Hamer pertama dilakukan pada tahun 1993, yang merupakan lanjutan dari riset dari Michael Bailey dan Richard Pillard dua tahun sebelumnya.

Dengan melibatkan 40 pasang kakak beradik homoseksual, Hamer menunjukkan dalam riset tersebut bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh terhadap pembentukan sifat homoseksual. Dengan demikian, menurut Hamer, homoseksual terlahir secara alamiah, dari sononya udah begitu, dan karenanya mustahil ter/disembuhkan.

Enam tahun kemudian, dengan tetap mengadaptasi metode Bailey dan Pillard, Hamer melakukan riset kedua, namun kali ini melibatkan responden yang lebih banyak. Hasilnya justru berkebalikan dari riset pertamanya. Riset terakhirnya ternyata menunjukkan, bahwa gen ternyata bukanlah faktor utama yang melahirkan homoseksual.

Hamer sadar riset pertamanya telah keliru. Dan ia pun berjiwa besar, meminta maaf di berbagai forum kesehatan internasional.

Riset mengenai gay gene terus berlanjut. Masih di tahun 1999, George Rice, salah seorang profesor dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan melibatkan 52 pasang kakak beradik homoseksual sebagai responden. Riset tersebut hasilnya juga memperlihatkan tidak ada kesamaan penanda di kromosom Xq28. Dengan demikian, pengaruh bawaan yang menimbulkan sifat homoseksual dapat ditiadakan.

Bahwa ada kecenderungan (muatan) politis dalam setiap riset tentu tak dapat dihindari. Di Amerika sendiri, misalnya, agar argumennya tampak lebih berbobot dan tidak sekadar cocokologi ayat suci, kaum Kristen fundamentalis di sana kerap membuat riset, buku, hingga menggelar aksi demonstrasi yang bertujuan menentang hak-hak kaum LGBT. Strategi tersebut, saya kira, pasti nanti akan ditiru oleh ormas-ormas yang galak di negeri ini. Atau sudah ditiru, ya?

Namun, ketimbang sikap para bigot yang doyan ngamukan gak mutu itu, saya sebenarnya jauh lebih tertarik dengan kehebohan para “humanis” di Indonesia yang mendukung legalisasi pernikahan sejenis. Benarkah mereka mendukung pernikahan sejenis berdasarkan kehendak moral? Jujur dan siapkah mereka untuk menerima dengan dada lapang jika suatu saat nanti ada keturunan mereka yang jadi homoseksual?

Dan jika menurut mereka dukungan ini adalah soal merayakan pluralisme, sanggupkah mereka menerima perbedaan dalam bentuk lain yang jauh lebih ekstrem lagi radikal? Saya sih sangat skeptis mereka mampu melakukannya.

Tapi, ya, demi kosmetik sosial yang lebih menor, para “humanis liberal” ini tentu tak akan berhenti membela kemanusiaan. Sebab, sebagaimana yang pernah dikatakan Greg Gutfeld:

“Preaching tolerance makes you look cooler, than saying something like, ’please lower my taxes.’”

Mengkhutbahkan toleransi membuat Anda lebih keren—daripada ngomong: “Tolong turunkan nilai pajak saya.”

Kyai Margopati Keris Haus Darah Zaman Amangkurat


Bagi pembaca yang menggemari tosanaji tentu tidak asing dengan nama keris yang satu ini. Memang keris yang akan saya bahas ini tidak seterkenal nama-nama keris yang melegenda di kalangan masyarakat Jawa, seperti keris Nogososro, Sengkelat dan Keris Mpu Gandring. Akan tetapi, keris ini mempunyai riwayat yang jauh lebih mengerikan karena jumlah korban yang meninggal akibat dari keris ini lebih banyak. Iya, keris yang akan saya bahas kali ini adalah keris Kyai Kanjeng Margopati.

Keris Margopati diciptakan oleh Mpu Madrim pada jaman Mataram di masa pemerintahan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada saat itu di desa Mijen terdapat batu meteor yang jatuh dari langit. Meteor tersebut jatuh menimpa rumah dan memakan nyawa 7 orang penghuni rumah tersebut. Batu meteor itu, meskipun mempunyai kualitas fisik yang bagus untuk membuat keris, namun sifat atau ‘angsar-nya’ buruk karena belum apa-apa sudah meminta nyawa manusia, maka akan tidak bagus pula jadinya jika nantinya akan dipergunakan sebagai bahan baku untuk membuat senjata. Setelah di teliti ternyata batu itu mengandung besi, yang dinamakan besi Kumboyono. Sebuah besi yang mempunyai daya panas guna mencabut nyawa.‎

Sunan Tegal Arum (Amangkurat I) kemudian menghendaki besi itu dibuat menjadi sebilah keris yang dijadikan piyandel keraton. Dipilihnya Mpu Madrim, seorang bekas mpu keraton yang sudah tua dan telah pensiun; untuk menangani pembuatan keris tersebut. Sang mpu sebenarnya telah menyampaikan bahwa bahan “Kiriman dari Langit” tersebut bersifat buruk bila dijadikan sebilah keris. Namun sang raja bersikeras ingin menjadikannya sebilah keris dan mengancam akan membunuh sang mpu apabila tidak bersedia membuatnya dengan bahan tersebut.

Akhirnya dengan berat hati, sang mpu mulai membuat keris dengan besi Kumboyono sebagai bahannya. Jadi lah sebilah keris pusaka yang hitam kelam, sangat pekat, luk 9 dengan pamor blarak ngirit yang sangat sempurna. Tampak menyala bagai api yang tak kunjung padam.

Namun apa yang dikawatirkan oleh sang mpu akhirnya terbukti. Setelah menyandang keris itu, kekejaman Prabu Amangkurat pun makin menjadi-jadi. Adalah putera Tumenggung Pasingsingan sebagai korban pertama Kyai Margopati, karena ketahuan menjalin kasih dengan puteri sang prabu. Ditikamnya, dan dibuang jenasahnya ke sungai hingga kemudian jenasah tumenggung itu ditemukan Ki Gede Solo. Jenasah itu kemudian diangkat dan dikebumikan di tempat yang kemudian hari dinamakan sebagai Bathangan.

Konon, keris ini mengeksekusi mati 50 orang ulama yang diduga membantu pemberontakan Trunojoyo. Juga digunakan untuk membunuh 43 selir sang prabu karena dianggap tidak setia.Tragisnya, seluruh eksekusi itu dilakukan dengan tangan Sunan Amangkurat sendiri. ‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...