Minggu, 24 Oktober 2021

Sejarah Perjuangan Raden Alit Prawatasari


KHR Alit Perwitasari (Haji Prawatasari)  lahir di Jampang (Cianjur Selatan) dari keluarga santri. Juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). ‎ Ia sendiri seorang ulama, yang dikalangan murid-muridnya dikenal sebagai Raden Alil.

Rasa keadilannya terusik ketika ia melihat tindakan sewenang-wenang Kompeni terhadap rakyat Cianjur dalam praktek Tanam Paksa Kopi (Priangan Stelsel). Ia pun bangkit dan berkjuang melawan panjajah.

Kisah kepahlawan tokoh Cianjur masa pemerintahan dalem-dalem sepertinya kurang populer. Ketokohan para dalem umumnya hanya mengisahkan perpindahan dari satu tempat ketempat lain, atau tentang penamaan nama kampung saja. 

Malah Dalem Cikundul (R Arya Wiratanudatar) Bupati Cianjur ke I, perjalanan sejarahnya seolah final dikisah pernikahannya dengan putri jin hingga melahirkan tiga anak, Rd. Suryakancana, Indang Sukaesih dan Andaka Wiru Sajagat. Dalem Cikundul adalah seorang penyebar agama Islam, dan masih banyak kisah lainnya yang layak ditampilkan hingga bisa menjadi suri tauladan bagi generasi muda, namun lagi-lagi para pejabat Cianjur dan umumnya warga seolah merasa cukup hanya mengenal Dalem Cikundul saat menikahi putri jin saja, ironis !
Demikian juga dengan Haji Prawatasari yang kini namanya diabadikan menjadi nama lapang olahraga di Joglo, kendati hampir setiap hari Minggu lapang ini dipadati warga, dan dijadikann tempat upacara resmi aparat Pem.Kab Cianjur, sepertinya mereka tidak merasa perlu untuk mencari informasi bagaimana taktik gerilya Haji Prawatasari yang pernah membuat kewalahan penjajah Belanda. 

Pada kesempatan ini akan dikupas tentang kepahlawan Haji Prawatasari dalam rangka memperingati Hari Jadi Kab. Cianjur yang 339.

Jadi diri Haji Prawatasari hingga saat ini masih belum jelas, apakah ia keturunan Dalem Cikundul Cianjur , keturunan Raja Panjalu, atau Keturunan Raja Jampang Manggung ? maka sepertinya wajar tokoh yang sejaman dengan Bupati Cianjur Aria Wiratanu II ini juga bergelar Aria Salingsingan yang artinya tokoh yang identitasnya simpangsiur. 

Sebagian besar sejarawan Sunda sendiri meyakini ia lahir dan dibesarkan di tanah Jampang. Kalaupun tidak dilahirkan di Jampang, setidaknya ia dibesarkan dan tumbuh menjadi seorang ulama di daerah yang terkenal sebagai pusat pelatihan militer (akademi militer) para jagabaya (prajurit Kerajaan Pajajaran) tersebut.

Waktu masih bocah Prawatasari dikenal dengan julukan Raden Alit. Bisa jadi istilah alit (dalam bahasa Sunda berarti kecil) mengacu kepada 2 arti: ia merupakan anak paling kecil (bungsu) dalam struktur keluarganya atau karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit” (rakyat kecil). Sebuah kondisi yang memberinya pengaruh besar untuk menjadi seorang pemberontak terhadap segala bentuk kezaliman.

Dalam buku Sejarah Cianjur karya Bayu Suriningrat dikisahkan bahwa pemberontakan Haji Prawatasari kepada Belanda berlangsung antara tahun 1703-1706. Tokoh dengan nama kecil Raden Alit / Dalem Alit ini mulai menyerang pos Belanda pada bulan Maret 1703, ia terpanggil untuk mengusir Belanda karena saat itu rakyat Cianjur terkena beban tanam paksa pohon Tarum yang menjadi kebijakan Belanda yang menjajah Kabupaten Cianjur. Haji Prawatasari memusatkan perlawanannya didaerah Jampang (Kemungkinan bukan Jampang Cianjur Selatan, akan tetapi gunung Jampang Manggung di Cikalong Kulon) ia didukung dengan 3000 santri. Pos-pos Belanda yang diserang semula hanya sekitar Cianjur dan Bogor, namun kemudian Prawatasari menyerang Jakarta, Sumedang dll.

Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat. Haji Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang sehingga membuat VOC kalang kabut. Pada suatu ketika tersebar berita bahwa RH Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.
Tujuan VOC tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari. Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang.
Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur). Pada tahun 1705 RH Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.
Dikarenakan VOC tak mampu menangkap RH Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC. Pada bulan Maret RH Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 RH Alit Prawatasari berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.
Akibat kegagalan-kegalannya menangkap RH Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantu RH Alit Prawatasari, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.
Pihak Belanda lalu mengeluarkan ultimatum dan tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkap RH Alit Prawatasari. Pada tahun 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. 
RH Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada tangal 12 Juli 1707.

Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis.
RH Alit Prawatasari memang pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional karena beliau memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional, yang telah bertindak kepahlawanan dan memiliki nilai kepahlawanan.

Sekilas Tentang Daeyeuh Luhur 

Ketika Panembahan Senopati sampai di Penyarang (daerah Sidareja) Panembahan Senopati mengangkat Ranggasena menjadi Rangga di Penyarang dan Karena Panembahan Senopati terkesima oleh kanuragan dan kefasihan berbahasa Jawa dan Sunda dari Kyai Arsagati yang sudah berusia 71 tahun, maka Panembahan Senopati berkenan menghidupkan lagi Kadipaten Dayeuhluhur menjadi wilayah Mataram mancanegara kilen , namun wilayahnya mengecil menjadi 1/3 jaman Hindu Buddha, karena bagian Cilacap Timur didirikan Kadipaten Donan dan Kadipaten Jerulegi, Daerah Ayah masuk Kadipaten Panjer (Kebumen, sekarang) dan Daerah Maos Kroya masuk wilayah Kadipaten Roma (Gombong, sekarang) dan mengangkat Kyai Ngabehi Arsagati sebagai Adipati di Dayeuhluhur (Adipati ke 4 dari Banyak Ngampar) dan mendirikan astana di Karangbirai .

Kyai Ngabehi Arsagati berputra 2 yaitu Kyai Ngabehi Raksagati dan Kyai Warga Jaya alias Kyai Ciptagati. Sareyan Kyai Ngabehi Arsagati berada di Karangbirai Dayeuhluhur.

Kyai Ngabehi Raksagati
Kyai Ngabehi Raksagati menggantikan ayahnya menjadi Adipati Dayeuhluhur ke 5, berputra Kyai Ngabehi Raksapraja/Reksapraja/Arsapraja. 

Pada masa Raksagati inilah wilayah Jawa Barat telah banyak dikuasai oleh VOC, sehingga timbul pemberontakan para pendekar silat dari Jampang yang dipimpin pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari. 

Catatan Dr.F.De Hans Belanda menyebutkan bahwa Perwitasari yang di Jawa dikenal dengan PRAWATA SARI melakukan pemberontakan dan bekali-kali memporakporandakan Batavia, ia dijadikan buron oleh VOC dan diperintahkan kepada seluruh Bupati di seluruh Priangan untuk menangkapnya dengan iming-iming hadiah. Perwitasari kemudian memindahkan pergerakannya ke Jawa Tengah dan dengan tipu muslihat VOC dapat menangkap di Kartasura dan dibunuh di Dayeuhluhur dan dimakamkan di palalangon dikenal sebagai makam pangeran Panjalu bersebelahan dengan makam Kyai Ngabehi Raksagati meskipun tahun meninggalnya Kyai Ngabehi Raksagati jauh lebih tua dari pangeran Panjalu H.Alit Perwitasari 12 Juli 1707.‎

Khusus mengenai H.Ali Perwitasari, pahlawan nasioanl dari Cianjur Tanah Jampang ini ada versi ceritera lain sebagai berikut :
Raden Haji Alit Perwitasari adalah pendekar silat dan ulama dari Jampang keturunan Prabu Singacala dari Panjalu. Ia memulai pemberontakan kepada Belanda mulai Maret 1703 dengan memobilisasi rakyat pesilat Jampang sampai berjumlah 3.000 orang. VOC kewalahan dan Batavia berkali kali diobrak abrik, suatu ketika komandan VOC Pieter Scorpoi menggiring 1.354 rakyat Jampang lewat Cianjur untuk dihukum di Batavia banyak yang meninggal diperjalanan dan tersisa hanya 582 orang, tujuanya untuk mengendorkan semangat pasukan Alit Perwitasari. Justru th 1705 pasukan Alit Perwitasari menyerbu Priangan Timur, lalu mengepung Batavia dan Bogor, membuat kekacauan di Sumedang, mengalahkan Belanda dalam 3 kali pertempuran. Belanda Geram dan mengultimatum Bupati seluruh Tatar Sunda untuk menangkap Perwitasari, th 1706 pasukan Perwitasari memindahkan gerakannya ke Jawa dan tertangkap setelah ditipu Belanda di Kartasura tanggal 12 Juli 1707 dan dimakamkan di Desa Bingkeng Kec.Dayeuhluhur Kab.Cilacap dikenal sebagai makam turunan Panjalu. (faktualnya di Palalangon atau di Nambo???). RH.Alit Perwitasari Pahlawan yang terlupakan dari Cianjur berada di Dayeuhluhur. (ini relevan dengan Pemindahan Pos Batas Belanda dan Surakarta dari Pamotan ke Madura-Wanareja th.1705 untuk mengawasi pergerakan pasukan Alit Perwitasari)

Perjuangan KHR Alit Prawatasari

PADA masa pemerintahan Dalem Aria Wiratanu II (1686-1707) secara resmi Cianjur mengakui kekuasaan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie atau Maskapai Dagang Hindia Timur). Pengakuan tersebut otomatis membuat posisi tawar Cianjur secara politik jatuh di mata VOC. Sebagai organisasi kapitalis pertama dan terbesar pada zamannya, VOC sebisa mungkin mengeksploitasi daerah taklukan mereka secara maksimal. Salah satunya dengan cara memberlakukan kerja paksa (rodi) pembangunan sarana infrastruktur seperti jalan dan gedung dagang, memonopoli perdagangan kopi sekaligus memberlakukan tanam paksa untuk tumbuhan jenis tersebut kepada rakyat.
Demi menghadapi situasi itu, para menak lokal di bawah Aria Witatanu II tidak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih menjadi pembela kepentingan rakyat, para penguasa feodal itu malah menikmati posisi mereka sebagai kaki tangan VOC. Tapi tidak serta merta semua menak lokal membebek kepada kepentingan para kapitalis bule tersebut. Selalu ada kekecualian dalam hidup. Salah satu kekecualian itu adalah Raden Alit alias Haji Prawatasari.
Haji Prawatasari menentang keras kebijakan Aria Wiratanu II yang menurutnya sama sekali tidak pro rakyat. Tidak cukup hanya menentang dengan kata-kata, ia juga memimpin pembangkangan massal rakyat untuk menolak penanaman kopi.Rupanya situasi yang penuh dengan ketidakadilan menjadikan seorang menak seperti Haji Prawatasari  menjalankan aksi ‘bunuh diri kelas’ (istilah Marx untuk para borjuis yang menggabungkan dirinya dalam perlawanan kaum proletar).

Kisah perlawanan Raden Alit terkait dengan akumulasi penderitaan rakyat, antara lain akibat dari sistim persewaan tanah dan tanam paksa. Selain itu menyangkut pula adanya penyesalan rakyat karena Bupatinya menundukan diri terhadap daulat Kompeni.

Sistim sewa tanah diberlakukan oleh para Bupati di wilayahnya. Hasil persewaan tanah tersebut diperuntukan guna membiayai oprasional pemerintahan. Tentunya penundukan para Bupati kepada VOC tidak disertai dengan adanya biaya oprasional yang memadai, sehingga perlu mendayagunakan asset kabupaten yang dimiliki.
Tanah persewaan yang laku sewa bukan berada didaerah kosong yang jauh dari perkampungan. Para pemodal swasta tidak tertarik menyewa tanah-tanah yang tidak berpenduduk. Alasan ekonomis tentunya terkait dengan masalah tenaga kerja dan posisi tanah-tanah tersebut. Berdasarkan keinginan dari para penyewa, para pemilik modal dari Eropa dan warga keturunan Timur Asing, lebih memilih tanah-tanah persewaan yang berada didesa-desa yang telah berpenghuni.
Desakan kebutuhan untuk membiayai oprasional pemerintahan, para Bupati menyetujui lokasi tanah-tanah persewaan sesuai kemauan para pemodal. Pajak-pajak dari rakyat yang biasa dipungut oleh para Bupati juga menjadi bagian dari persewaan dan beralih ka pungutnya kepada para penywa. Masalahnya menjadi rumit ketika beban pajak dikenakan sagat memberatkan rakyat. Disisi lain secara hukum para Bupati tidak dapat mengontrol pengenaan biaya sewa kepada rakyatnya, karena semuanya telah menjadi hak penyewa.
Hal yang berkaitkan dengan masalah ini adalah kewajiban menanam komoditi sesuai dengan keinginan para tuan tanah. Seluruh tanah persewaan di wilayah Cianjur pada umumnya di wajibkan menanam kopi (di wilayah lain tanaman nila dan tebu), bahkan telah dimulai sistim kerja paksa (rodi).‎

Perlawanan rakyat terjadi ketika beban hidup sudah sangat memberatkan. Disisi lain para pejabat pribumi umumnya lebih senang bergaul dengan Belanda dan menjadi abdinya, lebih menikmati gaya-gaya feodal. Pada masa ini ‘Tatar Sunda’ memasuki masa kelam dalam perkembangan ekonomi dan budaya rakyat.
Kemarahan rakyat Cianjur di picu pula oleh tindakan Bupati Wiratanu II yang sudah mengakui VOC dan menjadi kawulanya. Penundukan ini sebagai warisan dari Bupati sebelumnya, Wiratanu I menganggap Kompeni sebagai protector dan mitra penting dari Mataram. Ketika itu Mataram sedang menguasai tatar sunda. Bara ini kemudian menjadi api ketika seorang menak menyalakan lentera perlawanan. Itulah Raden Alit.‎

Bulan Maret 1703, secara tiba-tiba Haji Prawatasari menyerang asrama Kompeni di Kota Cianjur. Serangan itu sangat mengejutkan pihak VOC dan Belnda. Peristiwa itu sekaligus menjadi tanda dimulainya Perang Geriliya Prawatasari yang heroik terhadap Kompeni. Sekitar 3000 massa berhasil direkrut oleh Haji Prawatasari untuk menjadi gerilyawan. Mereka lantas menyerang tangsi-tangsi tentara kompeni di pusat kota Cianjur untuk kemudian menjalankan aksi hit and run. “Dalam berbagai aksi penyerangannya, Haji Prawatasari selalu mengacu kepada 12 taktik tempur prajurit Pajajaran yang terkenal itu,” 

Tahun 1704, dengan dukungan 3000 pengikutnya (jumlah yang terbilang besar [ada waktu itu). Haji Prawatasari menyerang titik-titik kepentingan Belanda di Bogor, Tangerang dan kemudian meluas sampai ke priangan Timur seperti Galuh. Imbanagara dan Kawasen. Setelah itu wilayah peperangannya bergeser ke muara Cilanduy.‎

Sekitar 3 bataliyon pasukan Haji Prawatasari bergerak menyerang titik-titik kepentingan militer VOC di Bogor, Tangerang dan beberapa kawasan Priangan Timur seperti Galuh, Imbanagara, Kawasen dan daerah muara Sungai Citanduy.Sesekali mereka juga menjalankan aksi hit and run mereka di sekitar Batavia.
Kenyataan itu membuat VOC sama sekali tidak nyaman. Mereka lantas membentuk sebuah ekspedisi militer dengan kekuatan 2 bataliyon (terdiri dari serdadu lokal dan sebagian kecil bule) pimpinan Pieter Scorpoi untuk menyerang Jampang.Baru sampai Cianjur, konvoi para serdadu tersebut dicegat sekaligus “dihabisi” oleh para gerilyawan Haji Prawatasari. “ Dari 1354 serdadu, yang disisakan oleh pasukan Haji Prawata hanya 582 orang,”
Selama peperangan itu beberapa kali Kompeni mengirimkan pasukan ke Jampang dan Ciamis untuk mengejar Haji Prawatasari tapi selalu gagal. Dalam gerakannya Haji Prawatasari selalu berpindah-pindah dan mendapat simpati serta bantuan dari masyarakat setempat.

Epos perlawanan Raden Alit sejaman dengan lalampahan Tanuwijaya, yang banyak memberikan bantuan untuk perjuangan Raden Alit. Padahal ketika itu Tanuwijaya sudah berpangkat Letnan Belanda dan dijadikan sebagai penguasai Bogor Baru. Tanuwijaya yang dianggap anak emas Belanda tersebut telah beberapa kali menyesatkan Belanda dalam upayanya menangkap Raden Alit. Seperti ketika merencanakan penyerangan ke daerah Jampang. Tanuwijaya menginformasikan kepada Belanda, bahwa Raden Alit telah meninggal terkena wabah penyakit. Namun dalam waktu yang sama ia pun mengirimkan berita kepada Raden Alit, tentang rencana Kompeni menyerang Raden Alit di Jampang. Tentunya tindakan yang dilakukan Tanuwijaya membutuhkan keberanian. Namun tidak heran jika mengetahui, bahwa Tanuwijaya masih ‘Teureuh Pajajaran’ yang memiliki kepentingan untuk memerdekakan tatar pasundan.

Dalam cerita lain memang ada kesan Tanuwijaya adalah antek Belanda, seperti di abadikan dalam lagu rakyat tentang ayang-ayang gung. sebagai berikut :
Ayang-ayang gung
Gung goong na rame
Menak kang Mas Tanu
Nu jadi wadana
Naha maneh kitu
Tukang olo-olo
Loba haru biru
Rucah jeung kumpeni
Niat jadi pangkat
Katon kagorengan
Nganteur Kang Jeng Dalem
Lempa lempi lempong
Ngadu pipi jeung nu ompong.
Lagu itu sangat bertolak belakangan dengan catatan sejarah. Terutama ketika diketahui bahwa Tanuwijaya dibuang Belanda ke Tanjung Harapan. Tentunya sebagai konsekwensi dari pembangkangannya kepada Belanda.
Kisah selanjutnya tentang Raden Alit terjadi pada tahun 1705. Pasukan Raden Alit diketahui telah berada di Bogor dan menyerang posisi-posisi Belanda, kemudian menghilang tak diketahui rimbanya. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga menimbulkan kecurigaan Belanda. Hingga akhirnya berdasarkan laporan intelejen Belanda diketahui, bahwa ada kerjasama antara Raden Alit dengan Tanuwijaya. Langkah berikutnya tentu Belanda ‘mengamankan Tanuwijaya’. Ia menagkap Tanuwijaya dan dibuang ke Tanjung Harapan. Namun Tanuwijaya tak kunjung mau menceritakan kepada Belanda tentang posisi Raden Alit.
Penangkapan Tanuwijaya tidak menyurutkan epos perlawanan Raden Alit. Pada bulan maret 1705 pasukan Raden Alit muncul di Sumedang Selatan dan menyerang posisi-posisi strategis Belanda. Pasukan Raden Alit berhasil membunuh pasukan Belanda yang melakukan pengejaran.
Kegagalan Intelejen Belanda dalam mendeteksi keberadaan pasukan raden Alit sangat mengkhawatirkan posisinya. Dengan politik adu dombanya Belanda mengadakan Sayembara, : Barang siapa yang mampu menangkap Raden Alit, hidup atau mati maka akan dihadiahi 300 ringgit. Namun rakyat lebih bersimpati kepada Raden Alit ketimbang tergiur hadiah 300 ringgit.
Belanda mengira adanya kerjasama antara Raden Alit dengan para penguasa daerah, seperti pada Tanuwijaya. Untuk menekan para penguasa daerah Belanda mengistruksikan kepada para Bupati untuk menangkap Raden Alit paling lambat enam bulan. Belanda mengancam pula, jika tidak berhasil para Bupati tersebut akan ditangkap dan dikenakan hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Raden Alit. Namun tidak satupun Bupati yang mengindahkan instruksi tersebut. Selain segan dan menaruh hormat terhadap Raden Alit merekapun ‘gimir’ melihat keberanian Raden Alit.

Sebagai rasa terima kasih dari Raden Alit dan menyelamatkan posisi para Bupati tersebut, pada tahun 1706 mengalihkan serangannya ke Wilayah Tangerang. Suatu wilayah yang berada dibawah pengawasan langsung Belanda. Namun Belanda hanya menemukan sisa-sisa penyerangan tanpa mengetahu jejak selanjutnya. Akibat serangan ini Belanda berkeyakinan, tidak ada hubungan antara para Bupati di tatar sunda dengan perlawanan Raden Alit.
Dihin pinasti kersaning Hyang Widi, niti wanci ninggang mangsa, hirup – pati – bagja jeung cilaka manusa rasiah Pangeran.

Tahun 1707, Haji Prawatasari tertangkap dalam satu pertempuran seru di daerah Bagelen, Banyumas yang lalu kemudian di asingkan ke Kertasura.‎

Makam pahlawan yang terlupakan ini terletak di Dayeuh Luhur, Cilacap. Penduduk setempat menyebutnya sebagai makam turunan Panjalu, makamnya ini sampai sekarang masih sering diziarahi oleh penduduk sekitar dan peziarah dari Ciamis. 

Sekilas Tentang Panjalu

Prabu Rahyang Kuning

Rahyang Kuning atau Hariang Kuning menggantikan Sanghyang Borosngora menjadi Raja Panjalu, akibat kesalahpahaman dengan adiknya yang bernama Rahyang Kancana sempat terjadi perseteruan yang akhirnya dapat didamaikan oleh Guru Aji Kampuh Jaya dari Cilimus. Rahyang Kuning kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana.

Menurut Babad Panjalu, perselisihan ini dikenal dengan peristiwa Ranca Beureum. Peristiwa ini terjadi sewaktu Prabu Rahyang Kuning bermaksud menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (Sunda:ngabedahkeun). Rahyang Kuning mengutus patih kerajaan untuk menjemput sang ayah Sanghyang Borosngora di Jampang Manggung agar menghadiri acara itu. Namun karena Sanghyang Borosngora berhalangan, maka ia menunjuk Rahyang Kancana untuk mewakili sang ayah menghadiri acara tersebut.

Berhubung hari yang telah ditentukan untuk perayaan itu semakin dekat, Rahyang Kuning memerintahkan para abdinya untuk mulai membobol Situ Lengkong sambil menunggu kedatangan ayahnya, air pembuangannya dialirkan melalui daerah jalan Sriwinangun sekarang. Sang Prabu turun langsung memimpin para abdi dan rakyatnya berbasah-basahan di tengah cuaca dingin di pagi buta itu. Untuk sekedar menghangatkan badan, Rahyang Kuning menyalakan api unggun sambil berdiang menghangatkan telapak tangannya menghadap ke arah barat.

Pada saat yang bersamaan dari arah barat, sang adik Rahyang Kancana bersama rombongan pasukan pengawalnya tiba di sekitar daerah Sriwinangun yang akan dilewati dan terkejut mendapati Situ Lengkong telah mulai dikeringkan tanpa menunggu kedatangannya sebagai wakil sang ayah. Rahyang Kancana yang tersinggung lalu membendung saluran pembuangan air itu dengan tergesa-gesa. Akibatnya meskipun sudah dibendung, tetapi tempat itu masih dipenuhi rembesan air dan gundukan tanah tak beraturan sehingga sampai sekarang tempat itu dikenal dengan nama Cibutut (Bhs. Sunda: butut artinya jelek).

Rahyang Kuning yang tengah menghangatkan telapak tangannya menghadapi api unggun terkejut melihat kedatangan Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya yang dipenuhi emosi. Sebaliknya Rahyang Kancana mengira kakaknya itu sedang menunggu untuk menantangnya adu kesaktian karena ia telah membendung air Situ Lengkong supaya tidak kering. Singkat cerita, akibat kesalahpahaman tersebut terjadilah duel pertarungan antara Rahyang Kancana bersama pasukan pengawalnya melawan Rahyang Kuning bersama pasukan pengawal kerajaan, akibat pertempuran itu banyak korban yang berjatuhan dari kedua belah pihak, akibatnya sebuah ranca (rawa atau danau dangkal) airnya menjadi berwarna merah oleh genangan darah sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Ranca Beureum (Bhs. Sunda: beureum artinya merah).

Perang saudara ini baru berakhir setelah didamaikan oleh Guru Aji Kampuhjaya, ulama kerajaan yang sangat dihormati sekaligus sahabat Prabu Sanghyang Borosngora. Rahyang Kuning yang menyesal karena telah menimbulkan perselisihan tersebut menyerahkan tahta Panjalu kepada Rahyang Kancana dan meninggalkan kaprabon lalu mengembara ke wilayah selatan Galuh.

Rahyang Kuning di akhir hayatnya menjadi Raja di Kawasen (Ciamis Selatan), jasadnya dibawa pulang ke Panjalu dan dimakamkan di Kapunduhan Cibungur, Desa Kertamandala, Kecamatan Panjalu. 
Prabu Rahyang Kancana

Rahyang Kancana atau Hariang Kancana melanjutkan tahta Panjalu dari kakaknya, untuk melupakan peristiwa berdarah perang saudara di Ranca Beureum ia memindahkan kaprabon dari Nusa Larang ke Dayeuh Nagasari, sekarang termasuk wilayah Desa Ciomas Kecamatan Panjalu.

Rahyang Kancana mempunyai dua orang putera yaitu:

1) Rahyang Kuluk Kukunangteko, dan

2) Rahyang Ageung.

Prabu Rahyang Kancana setelah mangkat dipusarakan di Nusa Larang Situ Lengkong. Pusara Prabu Rahyang Kancana sampai sekarang selalu ramai didatangi para peziarah dari berbagai daerah di Indonesia. 
Prabu Rahyang Kuluk Kukunangteko

Rahyang Kuluk Kukunangteko atau Hariang Kuluk Kukunangteko menggantikan Rahyang Kancana menduduki tahta Panjalu, ia didampingi oleh adiknya yang bernama Rahyang Ageung sebagai Patih Panjalu. Sang Prabu mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kanjut Kadali Kancana.

Pusara Rahyang Kuluk Kukunangteko terletak di Cilanglung, Simpar, Panjalu. 
Prabu Rahyang Kanjut Kadali Kancana‎

Rahyang Kanjut Kadali Kancana atau Hariang Kanjut Kadali Kancana menggantikan ayahnya sebagai Raja Panjalu, ia mempunyai seorang putera bernama Rahyang Kadacayut Martabaya. Rahyang Kanjut Kadali Kancana setelah mangkat dipusarakan di Sareupeun Hujungtiwu, Panjalu. 
Prabu Rahyang Kadacayut Martabaya

Rahyang Kadacayut Martabaya atau Hariang Kadacayut Martabaya naik tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia mempunyai seorang anak bernama Rahyang Kunang Natabaya.

Rahyang Kadacayut Martabaya jasadnya dipusarakan di Hujungwinangun, Situ Lengkong Panjalu. 
Prabu Rahyang Kunang Natabaya

Rahyang Kunang Natabaya atau Hariang Kunang Natabaya menduduki tahta Panjalu menggantikan ayahnya, ia menikah dengan Apun Emas. Apun Emas adalah anak dari penguasa Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah atau Apun di Anjung yang dikenal juga sebagai Maharaja Kawali (1592-1643) putera Pangeran Bangsit (1575-1592) (Djadja Sukardja, 2007: 33). Sementara adik Apun Emas yang bernama Tanduran di Anjung menikah dengan Prabu di Galuh Cipta Permana (1595-1608) dan menurunkan Adipati Panaekan.

Dari perkawinannya dengan Nyai Apun Emas, Prabu Rahyang Kunang Natabaya mempunyai tiga orang putera yaitu :

1) Raden Arya Sumalah,

2) Raden Arya Sacanata, dan

3) Raden Arya Dipanata (kelak diangkat menjadi Bupati Pagerageung oleh Mataram).

Pada masa kekuasaan Prabu Rahyang Kunang Natabaya ini, Panembahan Senopati (1586–1601) berhasil menaklukkan Cirebon beserta daerah-daerah bawahannya termasuk Panjalu dan Kawali menyusul kemudian Galuh pada tahun 1618.

Pusara Prabu Rahyang Kunang Natabaya terletak di Ciramping, Desa Simpar, Panjalu. 
Raden Arya Sumalah

Arya Sumalah naik tahta Panjalu bukan sebagai Raja, tapi sebagai Bupati di bawah kekuasaan Mataram. Ia menikah dengan Ratu Tilarnagara puteri dari Bupati Talaga yang bernama Sunan Ciburuy atau yang dikenal juga dengan nama Pangeran Surawijaya, dari pernikahannya itu Arya Sumalah mempunyai dua orang anak, yaitu:

1) Ratu Latibrangsari dan

2) Raden Arya Wirabaya.

Arya Sumalah setelah wafat dimakamkan di Buninagara Simpar, Panjalu. 
Pangeran Arya Sacanata atau Pangeran Arya Salingsingan

Raden Arya Sumalah wafat dalam usia muda dan meninggalkan putera-puterinya yang masih kecil. Untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Kabupaten Panjalu Raden Arya Sacanata diangkat oleh Sultan Agung (1613-1645) sebagai Bupati menggantikan kakaknya dengan gelar Pangeran Arya Sacanata.

Pangeran Arya Sacanata juga memperisteri Ratu Tilarnagara puteri Bupati Talaga Sunan Ciburuy yang merupakan janda Arya Sumalah. Pangeran Arya Sacanata mempunyai banyak keturunan, baik dari garwa padminya yaitu Ratu Tilarnagara maupun dari isteri-isteri selirnya (ada sekitar 20 orang anak), anak-anaknya itu dikemudian hari menjadi pembesar-pembesar di tanah Pasundan.

Dua belas diantara putera-puteri Pangeran Arya Sacanata itu adalah:

1) Raden Jiwakrama (Cianjur),

2) Raden Ngabehi Suramanggala,

3) Raden Wiralaksana (Tengger, Panjalu),

4) Raden Jayawicitra (Pamekaran, Panjalu),

5) Raden Dalem Singalaksana (Cianjur),

6) Raden Dalem Jiwanagara (Bogor),

7) Raden Arya Wiradipa (Maparah, Panjalu),

8) Nyi Raden Lenggang,

9) Nyi Raden Tilar Kancana,

10) Nyi Raden Sariwulan (Gandasoli, Sukabumi),

11) Raden Yudaperdawa (Gandasoli, Sukabumi), dan

12) Raden Ngabehi Dipanata.

Putera Sultan Agung, Sunan Amangkurat I (1645-1677) pada tahun 1656-1657 secara sepihak mencopot jabatan Pangeran Arya Sacanata sebagai Bupati Panjalu yang diangkat oleh Sultan Agung serta menghapuskan Kabupaten Panjalu dengan membagi wilayah Priangan menjadi 12 Ajeg; salah satunya adalah Ajeg Wirabaya yang meliputi wilayah Kabupaten Panjalu, Utama dan Bojonglopang serta dikepalai oleh keponakan sekaligus anak tirinya yaitu Raden Arya Wirabaya sehingga membuat Pangeran Arya Sacanata mendendam kepada Mataram.

Suatu ketika Pangeran Arya Sacanata ditunjuk oleh mertuanya yang juga Bupati Talaga Sunan Ciburuy untuk mewakili Talaga mengirim seba (upeti) ke Mataram. Pada kesempatan itu Pangeran Arya Sacanata menyelinap ke peraduan Sinuhun Mataram dan mempermalukanya dengan memotong sebelah kumisnya sehingga menimbulkan kegemparan besar di Mataram. Segera saja Pangeran Arya Sacanata menjadi buruan pasukan Mataram, namun hingga akhir hayatnya Pangeran Arya Sacanata tidak pernah berhasil ditangkap oleh pasukan Mataram sehingga ia mendapat julukan Pangeran Arya Salingsingan (dalam Bahasa Sunda kata “salingsingan” berarti saling berpapasan tapi tidak dikenali).

Pangeran Arya Sacanata menghabiskan hari tuanya dengan meninggalkan kehidupan keduniawian dan memilih hidup seperti petapa mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi di sepanjang hutan pegunungan dan pesisir Galuh. Mula-mula ia mendirikan padepokan di Gandakerta sebagai tempatnya berkhalwat (menyepi), Sang Pangeran kemudian berkelana ke Palabuhan Ratu, Kandangwesi, Karang, Lakbok, kemudian menyepi di Gunung Sangkur, Gunung Babakan Siluman, Gunung Cariu, Kuta Tambaksari dan terakhir di Nombo, Dayeuhluhur. Pangeran Arya Sacanata wafat dan dipusarakan di Nombo, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.‎

Sejarah Peperangan Kyai Tapa Banten


Orang terutama dari Jawa Tengah bisa saja mengira Kyai Tapa berkaitan dengan kata “pertapa”. Tetapi ternyata bukan. Kyai Tapa berasal dari Tubagus Mustafa;  Kyai Tapa diketahui juga seorang keturunan Tionghoa, dengan nama  Thung Siang Toh; saudara seayah dengan Sultan Banten,  Zainul Ariffin (1733-1748).  Kyai Tapa, seorang guru agama  adalah tokoh penting dalam pemberontakan Banten di abad ke-18 bersama dengan Ratu Bagus Buang, keponakan Sultan Zainul Arifin.

Pemberontakannya yang mula-mula ditujukan pada Ratu Sarifa Fatimah yang dengan dukungan Gubernur Jendral VOC, Baron Van Imhoff, menyingkirkan Sultan yang juga suaminya sendiri  Zainul Arifin (meninggal dalam pembuangan di Ambon) dan sebelumnya juga berhasil menyingkirkan Pangeran Gusti, putera mahkota ke Ceylon,  justru semakin membesar dan mulai mengarah pada Pusat Kekuasaan VOC di Batavia.

Sultan Zainul Arifin (1733-1748) adalah pewaris kerajaan Islam Banten. Istrinya Ratu Sarifah menghianatinya dan melaporkan bahwa sang sultan kurang waras jiwanya. Maka VOC sebagai penguasa dan pelindung politik serta militer Banten, langsung membuang sang sultan naas ini ke Ambon. Putra mahkota yang sebenarnya berhak menggantikan ayahnya juga dibuang ke Ceylon. 

Sarifah yang mengangkat dirinya sebagai wali, Sebagai penggantinya diangkatlah Pangeran Syarif abdullah dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil menjadi Sultan Banten, tahun 1750, tapi sebenarnya, Ratu Fatimah yang memegang kuasa. Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi, sehingga rakyat pun mengadakan perlawanan bersenjata.Sudah bisa diperkirakan rakyat yang sudah muak kepada istana kesultanan ditambah arogannya pejabat VOC yang sebagian besar bule, ahirnya berontak pada bulan Oktober 1750. 

Para pemberontak menginginkan diangkatnya Ratu Bagus Buang sebagai penguasa baru. Pemberontakan ini dipimpin oleh seorang tokoh Alim Ulama bernama Kiai Tapa. Secara kekerabatan Tubagus Buang adalah keponakan dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin (1733-1750). Sedangkan Kyai Tapa adalah saudara seayah dengan Sultan Muhammad Syifa Zainul Ariffin.
Pemberontakan dipimpin oleh Tubagus Buang dan Kyai Tapa dengan menyerang Keraton Surosowan, akan tetapi Benteng Keraton sulit ditembus karena bantuan VOC yang begitu kuat. Selanjutnya Tubagus Buang dan Kyai Tapa menyerang dengan cara gerilya dan mendirikan kanton-kantong perlawanan, salah satunya di Gunung Munara (Rumpin), Pandeglang, Bogor dan Tangerang. Tubagus Buang melakukakan gerilya sekitar Banten selama dua tahun, karena desakan pasukan VOC maka pasukan Tubagus Buang terpukul mundur ke pedalaman. Sementara Kyai Tapa meneruskan hingga ke Pandeglang dan Bogor, Pasukan Tubagus Buang mundur hingga ke Jasinga. rakyat Jasinga ikut serta membantu perlawanan yang dilakukan Tubagus Buang. Bersamaan dengan peristiwa ini, VOC dengan Gubernur Jenderal baru Jacob Mossel, sedang mengalami kemunduran dalam kemampuan militernya. 

Pada bulan November 1750, suatu pasukan gabungan kesultanan Banten dan VOC yang berjumlah 800 orang, dipukul mundur oleh kaum pemberontak yang jumlahnya jauh lebih besar (diperkirakan 7000 orang). Sejumlah 30 orang opsir dan prajurit bule terbunuh mati dalam pertempuran tersebut. Pasukan VOC masih bisa mempertahankan bentengnya, tapi sebagian besar wilayah Banten jatuh ketangan musuh. 

Pemberontakan lalu merembet sampai perbatasan Batavia yang membuat penduduk kota besar VOC ini ketar-ketir karena merasa takut akan datangnya pasukan Islam yang katanya akan melakukan pembunuhan besar-besaran warga Eropah. 

Rupanya pimpinan VOC di Batavia melihat bahwa kuatnya kaum pemberontak ini karena tidak adilnya pimpinan istana Banten. Jadi ini bukan soal konflik Belanda-kaum pemberontak, tapi mula-mula dipicu konflik internal antara Ratu Sarifa dan para pemuka masyarakat. Ahirnya tampa kehilangan akal, VOC menangkap Ratu Sarifa dan kemenakannya tersebut yang lalu dibuang kepulau Edam (jajaran pulau 1000). Ratu meninggal dipulau tersebut pada bulan Maret 1751. 

Oleh VOC kemudian diangkat Pangeran Arya Adil Santika, adik dari sultan Zinul Arifin. Pengangkatan ini sifatnya sementara, sambil menunggu kembalinya putra mahkota dari Ceylon. Dukungan terhadap Arya Santika ini disertai dengan perjanjian bahwa Lampung diserahkan pada VOC. ‎

Tapi pemberontakan tidak mereda juga. Maka dengan kemampuan maksimal, pada tahun 1751 dikirimlah sebanyak 1000 orang serdadu bule dan 350 serdadu pribumi (sebagian besar orang Madura) untuk menumpas habis pemberontakan. 

Serbuan ke Banten ini mengakibatkan pasukan pemberontak meninggalkan kota dan bergerilya diluar kota. Mereka melakukan pembakaran rumah-rumah dan perkebunan orang Eropah dan melakukan penyerangan pos-pos pasukan VOC. Namun seperti biasa, pertahanan kaum pemberontakpun bisa dipatahkan oleh VOC. Kubu pertahan utamanya bisa direbut pada bulan September 1751. Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang berhasil menyelamatkan diri. Setelah itu pemberontakan terjadi secara sporadis disekitar dataran tinggi Jawa Barat seperti disekitar Bandung dan Bogor. Usaha VOC untuk menumpas kaum pemberontak lama kelamaan berhasil juga. Banten tenang kembali. 

Putra Zainul Arifin bernama Zainul Asyikin kembali dari pengasingan, dia dinobatkan pada tahun 1753. Apa untungnya bagi VOC ?. Tentu saja perusahaan dagang tidak mau rugi. Kalau sebelum tahun 1753, Banten hanya bersifat daerah yang dilindungi, maka setelah ini Banten resmi menjadi wilayah jajahan VOC.‎

Kekalahan Kyai Tapa dan Penobatan Pangeran Gusti sebagai  Sultan Zainul Asyikin (1753-1777) menandai berakhirnya kemerdekaan politik Banten dan berkuasanya sepenuhnya Perkumpulan Dagang VOC, (Verenigde Oost Indische Compagnie- Persatuan Perkongsian Dagang Hindia Timur) atas Banten. 

Kasultanan Banten sebagaimana kita ketahui  akhirnya dihapuskan pada tahun 1808 oleh Gubernur Jendral Daendels setelah terlebih dahulu kratonnya dihancurkan. Datangnya Inggris tidak mengembalikan Kasultanan Banten. Justru penjajah Inggris mengukuhkan berakhirnya Kesultanan Banten.  Pada  tahun 1813,  Raffles sebagai Gubernur Jendral mewakili Pemerintahan kolonial Inggris melucuti  Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dan memaksanya turun takhta.

Bagaimana dengan Kyai Tapa, tokoh kita kali ini? Setelah pertempuran penghabisan di Banten menghadapi gempuran VOC pada September 1751, Kyai Tapa berhasil menyelamatkan diri dan terus  melakukan pertempuran sporadis di sekitar Selat Sunda, Bandung dan Bogor. 

Tanggal 21 Agustus 1753, Kiai Tapa dan pasukannya melewati Bandung, kemudian menuju Parakanmuncang (dengan bantuan Tumenggung Wiratanubaja).

Disini pasukan Belanda menghadangnya namun dapat dikalahkan, Kiai Tapa dan pasukannya terus maju hingga mereka kekurangan bahan-bahan dan prajurit-prajuritnya mengalami penderitaan, sehingga memaksakannya mengundurkan diri ke arah pedalaman Gunung Galunggung dan tidak diketahui oleh Belanda.Akhirnya Kiai Tapa menerobos ke arah timur untuk bergabung dengan pergerakan-pergerakan anti Belanda di daerah Banyumas, 

Perlawanan terhadap penjajah VOC membawa dirinya  terlibat dalam konflik Mataram. Pasca Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kyai Tapa pun  menghilang.

Namanya diabadikan sebagai nama jalan di daerah Tomang, Jakarta. Nama asli Kyai Tapa (Kyai Mustafa) adalah Thung Siang Toh lahir di Tiongkok. alias Pangeran Mustofa Abdul Ha, menurut salah satu sumber dari keluarga Kyai Tubagus Mustafa (Kyai Tapa) adalah saudara seayah dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin,  sedangkan Ratu Bagus Buang sampai 1757 masih tetap mengadakan perlawanan di Banten. Karena adanya perlawanan rakyat itu pulalah, enam bulan kemudian, Sultan Abul Ma’ali Muhammad Wasi Zainul Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Maka pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi Sultan dengan Gelar Abu’l Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin. makam Tubagus Buang berada di kompleks pemakaman Pagutan Jasinga. Ada pula yang menunjukkan makamnya terletak di pemakaman Kampung Kandang (kurang lebih 500 meter dari Pagutan).‎

Sejarah Peperangan Tuban Mojopahit


Pemberonatakan di Kerajaan Majapahit yang pertama tercatat adalah pemberontakan atau kadang disebut juga peristiwa Ranggalawe berlangsung pada tahun saka kuda-bhumi-paksaning-wong, 1217 (1295 Masehi).

Ranggalawe adalah putra Bupati Wiraraja dari Sumenep yang berganti nama menjadi Arya Adikara. Penggantian nama  ini terjadi pada saat pengangkatan Raden Wijaya menjadi seorang raja. Raden Wijaya mengenal Ranggalawe di Majapahit. Saat itu Ranggalawe diutus mengantarkan Tribuwana dari Sumenep ke Majapahit. Tanggal dan lahir Ranggalawe belum dapat dipastikan namun diketahui dengan jelas bahwa Ranggalawe meninggal pada tahun 1295.

“Pada tahun 1292 Ranggalawe dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di sebelah barat Tarik, Sidoarjo sekarang) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Konon, nama Rangga Lawe sendiri merupakan pemberian Raden Wijaya karena berkaitan dengan penyediaan 27 ekor kuda dari Sumbawa sebagai kendaraan perang Raden Wijaya dan para pengikutnya dalam perang melawan Jayakatwang raja Kadiri atau juga mempunyai arti rangga berarti ksatria / pegawai kerajaan dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti “benang”,atau dapat juga bermakna “kekuasaan” atau kemenangan. dan Ranggalawe kemudian diberi kekuasaan oleh Raden Wijaya untuk memimpin pembukaan hutan tersebut.

Penyerangan terhadap ibu kota Kadiri oleh gabungan pasukan Majapahit dan Mongol terjadi pada tahun1293. Ranggalawe berada dalam pasukan yang menggempur benteng timur kota Kadiri. ia berhasil menewaskan pemimpin benteng tersebut yang bernama Sagara Winotan.”‎

Ranggalawe terkenal dengan dirinya grusah grusuh namun disisi lain Ranggalawe juga terkenal dengan kelantangannya. Ranggalawe adalah seseorang yang ahli siasat, pemberani, lincah, juga merupakan orang yang terampil

Pemberontakan Ranggalawe terjadi pada tahun 1295 yakni tepatnya pada masa pemerintahan Raden Wijaya. Dalam kitab Pararaton yang menyebutkan bahwa Nambi adalah anak Wiraraja adalah kesalahan, Karena menurut Kidung Sorandaka dan Kidung Panji Wijayakrama serta Kidung Harsa diuraikan bahwa Nambi adalah anak Pranaraja. Bukan anak dari Wiraraja, Dalam beberapa pertempuran peranan Nambi tidaklah begitu besar. Justru oeranana Ranggalawe lah yang begitu besar pada pertempuran pertempuran. Dalam Kidung Sorandaka Nambi diangkat menjadi Patih Amangkubumi. Ranggalawe sebenarnya kecewa dengan pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi. Ranggalawe beranggapan bahwa Lembu Sora lebih pantas menjadi Patih Amangkubumi

Ranggalawe akhirnya pergi ke Majapahit dari Tuban untuk berbicara pada Raja. Ranggalawe menyatakan maksudnya ingin mempertanyakan kepada Raja perihal pengangkatan Nambi menjadi Patih Amangkubumi. Ranggalawe menganggap seseorang yang berhak menjabat sebagai Patih Amangkubumi adalah seseorang yang teramat besar jasanya dalam berbagai pertempuran sedangkan Ranggalawe melihat jasa jasa Nambi di berbagai pertempuran biasa biasa saja, justru Lembu Sora lah yang lebih berhak menjadi Patih Amangkubumi.

“Bagi patik (Dyah Kalayuda) sudah jelas bahwa usaha paduka sia sia belaka karena paduka mengangkat si Nambi menjadi Patih Amangkubumi. Jika Lembu Sora dipandang tidak memenuhi syarat tentunya patik yang harus dipertimbangkan. Bukan Nambi. Mengapa justru Nambi yang paduka angkat? Negara tidak akan baik karenanya. Tanpa Sora dan patik Negara akan runtuh”

Lembu Sora yang pada saat itu berada di tempat yang sama dengan Ranggalawe menjadi marah. Ranggalawe meneruskan ucapannya,

“Memang Dyah Kalayuda tidak rela jika si nambi yang akaan memegang pemerintahan. Paduka telah menyaksikan sendiri tindak tanduknya dahulu. Ia sangat mengecewakan, bodoh, lemah, rendah budi, penakut, tanpa perbawa. Pati ia akan merosotkan kedudukan Negara, memudarkan kedudukan paduka”.

Ranggalawe kemudian menantang Nambi untuk berkelahi. Mendengar Ranggalawe, Nambi menjadi marah. Lembu Sora akhirnya membujuk Ranggalawe supaya bersabar dan pulang ke Tuban. Akhirnya Ranggalawe luluh dan kembali ke Tuban. Sesampainya di Tuban Ranggalawe menceritakan semua yang terjadi di Istana kepada Ayahnya.

Disisi lain oleh Mahapati yang licik, Nambi diberitahu bahwa Ranggalawe menyusun sebuah pergerakan untuk memberontak di Tuban. Akhirnya Raja mengizinkan Nambi untuk berangkat memimpin pasukan Majapahit bersama Lembu Sora dan Keno Anabrang.

Ada kemungkinan besar Ranggalawe mendengar bahwa pasukan Majapahit akan menyerbunya. Maka ia juga bergerak ke medan perang bersama simpatisannya. Sebelum berangkat Ranggalawe memiliki firasat buruk bahwa ia akan meninggal karena ketika Ranggalawe memetik bunga di taman bersama istri istrinya, keranjang bunga disambar oleh seekor burung gagak seketika keranjang bunga tersebut terjatuh dan bunga bunga itu berserakan. Pada saat itulah Ranggalawe sadar ajalnya sudah dekat.

“Lawe bersiap siap untuk menghadapi tamu, lalu mandi, kemudian memakai busana. Untuk penghabisan kalianya pula ia mendukung putranya, Kuda Anjapiani, ditimang timangnya dan dicuminya. Kemudia ia berangkat. Kuda Anjampiani dibawa oleh inangnya ke istana neneknya sambil menangis. Anak itu dibujuknya bahwa Lawe akan menghadap paduka raja di Majapahit. Jika nanti pulang, ia akan dibelikan kereta kencana dengan kuda sembrani. Lawe lalu berangkat, lambat jalannya. Berkali kali ia menoleh hatinya penuh sendu sayu melihat dua orang istrinya yang mengikuti jejaknya dengan pandang sayang”.

Ranggalawe berangkat menuju medan perang dengan simpatisannya demikian pasukan Majapahit bersama Nambi, Kebo Anabrang, dan Lembu Sora.

Kidung Ranggalawe tentang Jalannya Pertempuran

Pagi itu Ranggalawe segera mengumpulkan seluruh pasukannya dan bersiap untuk berangkat ke Majapahit. Sang Adipati tampak gagah dengan pakaian perang yang ia gunakan pada waktu itu. Sebelum berangkat, ia memohon doa restu kepada ayahnya Arya Wiraraja dan kedua istrinya serta anak semata wayangnya (Kuda Anjampiani) yang saat itu masih berusia 5 tahun dan dalam gendongan inang pengasuhnya. Sejenak Dewi Martaraga menahan langkah sang Adipati, firasatnya mengatakan bahwa ini adalah pertemuan yang terakhir kali dangan suami tercintanya. Ranggalawe merasakan keharuan meyeruak di rongga dadanya, apalagi jika mengingat putra semata wayang yang sangat dikasihinya. Namun tekadnya sudah bulat, dengan segenap ketegaran, ia kemudian bergegas menaiki kuda kesayangannya (Nila Ambara). Pelan - pelan ia menjalankan kudanya, sementara dibelakangnya barisan Prajurit Tuban mengiringi langkahnya. Diluar regol Kadipaten, ia dicegat oleh ayah mertuanya (Ki Ageng Pelandongan), yang memintanya untuk membatalkan Rencananya. Namun hal itu tidak menggoyahkan tekad Ranggalawe yang memang berwatak keras kepala. Dengan iringan genderang perang disepanjang perjalanan, akhirnya pasukan Tuban berangkat menuju Majapahit.

Berita tentang keberangkatan pasukan Tuban segera diterima oleh Nambi melalui Prajurit Telik Sandi, dan segera ia bersiap menyambut kedatangan pasukan Tuban yang memang telah dinantikannya. Saat itu Sungai Tambak Beras dalam keadaan surut, sehingga Pasukan Majapahit dibawah pimpinan Nambi bisa menyeberang sungai tanpa adanya halangan. Setelah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam, akhirnya kedua Pasukan pun bertemu di tepi Sungai tambak Beras. Pertempuran dahsyat segera terjadi, Pasukan Tuban dangan semangat yang makantar - kantar (semangat berapi - api), merangsek fihak Majapahit. Ranggalawe dengan sigap mencari Nambi, saat bertemu mereka pun saling berhadapan. Nambi tampak gagah diatas punggung kudanya (Brahma Cikur), sementara Ranggalawe tidak kalah Perwiranya duduk diatas Punggung Nila Ambara. Perkelahian tidak bisa dielakan, Dalam sekejap saja, Ranggalawe berhasil menikam Brahma Cikur, namun Nambi mampu meloloskan diri. sementara itu pasukan Tuban berhasil membuat Pasukan Majapahit kocar - kacir dan melarikan diri ke seberang sungai. Ranggalawe ingin melakukan pengejaran, tapi ditahan oleh para pengikutnya. Akhirnya mereka pun mendirikan tenda untuk menunggu keesokan harinya.

Kabar tentang kekalahan Pasukan Majapahit saat itu juga diterima oleh Prabu Kertarajasa di Majapahit dan membuat gusar sang Raja, malam itu juga beliau segera mengumpulkan para senapatinya dan melakukan perundingan untuk langkah yang akan diambil selanjutnya.

Keesokan harinya, pasukan Segelar Sepapan telah bersiap di alun - alun Kerajaan dan mulai bergerak menuju Sungai Tambak Beras dibawah Pimpinan Langsung Sang Raja. Sesampainya di tepi sungai, pasukan Majapahit segera mendapat sambutan dari fihak Tuban yang memang sudah bersiap menuggu kedatangan mereka. Pada saat itu Pasukan Majapahit dipecah menjadi tiga bagian untuk mengepung laskar Tuban, dari jurusan Timur dipimpin oleh Mahesa Anabrang, dari jurusan barat dipimpin oleh Gagak Sarkara, dan dari utara dipimpin oleh Majang Mengkar. Sementara itu Lembu Sora diminta sang Raja untuk mendampinginya. Pertempuran sengit pun akhirnya tidak bisa terelakan, kali ini pasukan Tuban benar -benar terkepung rapat. Sementara Ranggalawe berhadapan dengan Mahesa Anabrang perkelahian antara dua orang yang pernah menjadi sahabat ini pun segera terjadi. Kuda Mahesa Anabrang berhasil ditikam, pengendaranya terjatuh tetapi luput dari tikaman. Ranggalawe melakukan pengejaran, perkelahian masih terjadi, dan kali ini Senapati yang pernah dikirim dalam "Ekspedisi Pamalayu" pada jaman "Kertanegara" , Raja terakhir "Singhasari" harus mengakui kegagahan dari Ranggalawe, dengan terpaksa akhirnya ia pun menghindarkan diri lari ke wilayah Majapahit di seberang Sungai. Pertempuran sempat tertunda dengan datangnya sang malam. Sementara itu Ranggalawe terlihat gusar karena belum sempat membinasakan lawan tandingnya.
Pada keesokan harinya Pertempuran antara kedua belah fihak pun dilanjutkan kembali. Suasana pagi itu kembali dipecahkan dengan suara dentingan senjata dan teriakan dari mereka yang meregang nyawa. Kembali Ranggalawe berhadapan dengan Mahesa Anabrang. Untuk kedua kalinya mereka bertemu kembali, dan kali ini Mahesa Anabrang sengaja memancing Ranggalawe untuk melakukan duel didalam sungai. Ranggalawe yang memang telah mendendam kepada Mahesa Anabrang tanpa pikir panjang segera mengejar lawan tandingnya. Perkelahian sengit kembali terjadi, mereka bergulat, saling piting, saling cekik, membuat air disekitar tempat mereka bertanding waktu itu muncrat bagai curahan hujan. memang sangat dahsyat perkelahian yang dilakukan kedua orang perwira ini. dilain kejap, Ranggalawe terpeleset dari atas batu cadas tempatnya berpijak, melihat hal ini Mahesa Anabrang tidak menyia - nyiakan kesempatan, segera ia meraih leher Ranggalawe dan ditenggelamkan berulang - ulang. Salah satu keahlian Mahesa Anabrang adalah ia sangat lihai berkelahi dalam air. setelah sekian jurus, tampak air disekitar tempat perkelahian telah menjadi merah karena darah. Ketika kepala Ranggalawe diangkat dari dalam air, dalam posisi terpiting diketiak Mahesa Anabrang, Ranggalawe sudah tidak bernyawa. 

Tiada tahan Lembu Sora menyaksikan peristiwa yang memilukan tersebut, bagaimana pun Lawe adalah anak Kemenakannya sendiri dan didepan matanya telah disiksa oleh lawan tandingnya. dengan sertamerta ia melompat dari seberang dan menikam Mahesa Anabrang dari belakang. Tusukan Keris Lembu Sora tepat bersarang di belikat tembus sampai ke dada, Mahesa Anabrang jatuh, Mati seketika diatas air, demikianlah Kebo Anabrang dan Ranggalawe terlihat seperti mati sampyuh di seberang sungai Tambak Beras. Peristiwa pembunuhan terhadap Mahesa Anabrang inilah yang kelak menjadi penyebab kematian Lembu Sora pada Tahun saka 1300 (Korban Konspirasi Politik ke-2 dari Kalayuda).

Sementara Laskar Tuban yang menyaksikan pemimpin mereka telah mati, serentak menjadi kehilangan semangat tempurnya. Kesempatan itu tidak di sia - siakan oleh fihak Majapahit, dan belum sampai tengah hari, Pasukan Tuban berhasil ditakhlukkan. Jenasah Ranggalawe dibawa ke Pura Majapahit. Arya Wiraraja, Ki Ageng Pelandongan, kedua istri dan Anaknya Kuda Anjampiani, setelah menerima kabar tentang kematian Ranggalawe segera datang ke Majapahit. Dalam "Kidung Ranggalawe" tercantum bahwa kedua istri Ranggalawe (Dewi Mertaraga dan Dewi Tirtawati) melakukan belasungkawa dengan cara Belapati (ikut mati bersama). Setelah upacara pembakaran jenasah selesai, Arya Wiraraja kembali ke Tuban diiringi Ki Ageng pelandongan dengan membawa Kuda Anjampiani serta abu jenasah ketiga orang yang mereka kasihi untuk disemayamkan. (Tidak tercatat dalam sejarah tempat dimana abu jenasah ketiga orang ini disemayamkan, ada dugaan kuat bahwa abu jenasah ketiganya dilarung di laut Jawa. jadi patut disayangkan apabila sampai saat ini masyarakat Tuban masih mempercayai bahwa makam Ranggalawe ada di Tuban dan berada di tempat pemakaman Ranggalawe yang sekarang).‎

Setelah Peristiwa Pemberontakan tersebut, Posisi Jabatan Adipati Tuban menurut catatan yang ada digantikan oleh "Raden Haryo Siro Lawe" (1295-1306). atas kesepakatan dari fihak Majapahit. Sementara itu Kuda Anjampiani dirawat oleh kakeknya "Arya Wiraraja" dan di bawa ke Lumajang setelah mendapat separoh bagian dari wilayah  Majapahit bagian Timur (sesuai janji dari Raden Wijaya kepada Banyak Wide).  Jadi kalau pun toh masih ada "Trah" Ranggalawe, kemungkinan besar malah ada di Lumajang, bagi masyarakat Tuban yang mengaku masih ada "trah" dari Ranggalawe, mohon untuk dikoreksi kembali. ‎
Demikianlah sedikit ulasan Sejarah tentang Ranggalawe, semoga ada manfaat yang bisa kita peroleh dari ulasan cerita sejarah diatas. Akhir kata, marilah kita kembali menelusuri jejak sejarah yang pernah ada, sehingga kesimpangsiuran itu bisa kita ulas kembali dan bisa dijadikan sebagai wacana untuk generasi selanjutnya.‎

Jika Seorang Suami Impotensi


Ada hak dan kewajiban bagi suami istri yang wajib dipenuhi. Bagi suami, ia berkewajiban memberikan nafkah lahir dan batin. Namun, ada kalanya hal itu tidak bisa berjalan dengan baik. Karena satu dan lain hal suami tak lagi mampu memenuhi nafkah batin, misalnya. Penyebabnya bisa akibat sakit yang berkelanjutan atau hilangnya fungsi kejantanan (impotensi). Kondisi tersebut, dalam beberapa kasus, bisa memicu disharmoni keluarga. Lantas, bagaimana pandangan fikih Islam menyikapi hilangnya kemampuan suami menafkahi batin istrinya?
Al-Imam Muslim berkata dalam Shahih-nya :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَاللَّفْظُ لِعَمْرٍو قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ امْرَأَةُ رِفَاعَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كُنْتُ عِنْدَ رِفَاعَةَ فَطَلَّقَنِي فَبَتَّ طَلَاقِي فَتَزَوَّجْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الزَّبِيرِ وَإِنَّ مَا مَعَهُ مِثْلُ هُدْبَةِ الثَّوْبِ فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَرْجِعِي إِلَى رِفَاعَةَ لَا حَتَّى تَذُوقِي عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَكِ..........
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Amru An-Naaqid dengan lafadh dari ‘Amru, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Az-Zuhriy, dari ‘Urwah, dari ‘Aaisyah, ia berkata : Suatu ketika istri Rifaa'ah menemui Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Ia berkata : “Aku adalah istri Rifaa'ah, kemudian ia menceraikanku dengan talak tiga. Setelah itu aku menikah dengan ‘Abdurrahman bin Az-Zubair, akan tetapi sesuatu yang ada padanya seperti hudbatuts-tsaub (ujung kain)”.  Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tersenyum mendengarnya, lantas beliau bersabda : "Apakah kamu ingin kembali kepada Rifaa'ah ? Tidak bisa, sebelum kamu merasakan madunya dan ia pun merasakan madumu….” [Shahih Muslim no. 1433].

Hudbatuts-tsaub maknanya adalah kemaluan suami lembek/lunak seperti ujung kain, sehingga tidak bisa memuaskan [An-Nihaayah].
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa tuntutan pemenuhan ‘nafkah biologis’ (= jima’) seorang istri kepada suaminya merupakan suatu hal yang lumrah, diperbolehkan, dan bahkan disyari’atkan. Dengan adanya ikatan pernikahan, seorang istri mempunyai hak dari suami atas nafkah jima’ dan bersenang-senang.
Lantas bagaimana halnya apabila suami tidak dapat memenuhi karena adanya gangguan atau penyakit seperti impotensi dan semisalnya ? Para ulama telah membahas hal ini.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata saat membahas cacat yang dapat membatalkan nikah :
فاختلف الفقهاءُ فى ذلك، فقال داود، وابنُ حزم، ومَنْ وافقهما: لا يُفْسَخْ النكاحُ بعيب ألبتة، وقال أبو حنيفة: لا يفسخ إلا بالجَبِّ والعُنَّةِ خاصة. وقال الشافعى ومالك: يُفْسَخُ بالجنونِ والبَرَصِ، والجُذامِ والقَرَن، والجَبِّ والعُنَّةِ خاصة، وزاد الإمام أحمد عليهما: أن تكونَ المرأة فتقاءَ منخرِقة ما بينَ السبيلين، ولأصحابه فى نَتَنِ الفرج والفم، وانخراقِ مخرجى البول والمنى فى الفرج، والقروح السيالة فيه، والبواسير، والنَّاصور، والاستحاضة، واستطلاقِ البول، والنجو، والخصى وهو قطعُ البيضتينِ، والسَّل وَهو سَلُّ البيضتين، والوجء وهو رضُّهما، وكونُ أحدهما خُنثى مشكلاً، والعيبِ الذى بصاحبه مثلُه مِن العيوب السبعة، والعيبِ الحادث بعد العقد، وجهان.
وذهب بعضُ أصحابِ الشافعى إلى ردِّ المرأة بكُلِّ عيبٍ تُردُّ به الجاريةُ فى البيع وأكثرُهم لا يَعْرِفُ هذا الوجهَ ولا مظِنَّتَه، ولا مَنْ قاله. وممن حكاه: أبو عاصم العبادانى فى كتاب طبقات أصحاب الشافعى، وهذا القولُ هو القياس، أو قولُ ابن حزم ومن وافقه.
وأما الاقتصارُ على عيبين أو ستة أو سبعة أو ثمانية دون ما هو أولى منها أو مساو لها، فلا وجه له،
“Para fuqahaa telah berbeda pendapat tentang hal tersebut. Abu Daawud, Ibnu Hazm, dan yang sependapat dengan mereka berdua berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan sama sekali pernikahan dengan sebab adanya cacat’. Abu Haniifah berkata : ‘Tidak boleh dibatalkan kecuali suaminya terpotong kemaluannya (dikebiri) dan impoten’. Asy-Syaafi’iy dan Maalik berkata : ‘(Pernikahan) dibatalkan dengan sebab gila, kusta, lepra, qaran (= semacam kelainan dari kemaluan seorang wanita akibat adanya daging tumbuh atau semacamnya sehingga tersumbat yang mengakibatkan tidak bisa melakukan jima’), terpotong kemaluannya, dan impoten’. Al-Imam Ahmad menambahkan dari yang telah disebutkan keduanya : ‘Jika si wanita mempunyai kelainan pada kemaluannya karena sobek pembatas antara dua lubang (qubul dandubur)’. Dan menurut shahabat-shahabatnya termasuk bau busuk yang keluar dari farji dan mulut, robeknya saluran kencing dan mani pada kemaluan, luka nanah pada kemaluan, wasir, sembelit, istihadlah, kencing terus-menerus, najwu (= penyakit/kelainan pada perut sehingga mengeluarkan bau busuk dan kotoran), khashaa (terpotong buah dzakarnya), tidak memiliki buah dzakar, waj’u (buah dzakarnya hancur/rusak), berkelamin ganda, dan cacat-cacat lain yang sejenis dengan tujuh cacat ini yang ada pada suami/istri.
Sedangkan cacat yang terjadi setelah ‘aqad, ada dua pendapat. Sebagian shahabat Asy-Syaafi’iy berpendapat untuk mengembalikan wanita (kepada keluarganya) untuk setiap cacat yang ada yang mana jika cacat itu ada pada seorang budak wanita, boleh dikembalikan kepada tuannya. Kebanyakan shahabat Asy-Syaafi’iy tidak mengetahui alasan dan dalil pendapat ini dan tidak mengetahui siapa yang mengatakannya. Dan dari yang dikatakan Abu ‘Aashim Al-‘Abbaadaaniy dalam kitab Thabaqaat Asy-Syaafi’iy, pendapat ini merupakan hasil dari ‎qiyas, atau pendapat Ibnu Hazm dan orang yang sependapat dengannya.‎
Adapun pembatasan atas dua, enam, tujuh, atau delapan cacat tanpa cacat lain yang lebih tinggi derajatnya (parah) atau sama, maka pendapat itu tidak punya sandaran/dalil….” [Zaadul-Ma’aad, 5/182; Muassasah Ar-Risalah, Cet. 3/1406].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن الحقوق الأبضاع، فالواجب الحكم بين الزوجين بما أمر الله ـ تعالى ـ به، من إمساك بمعروف أو تسريح بإحسان‏.‏ فيجب على كل من الزوجين أن يؤدي إلى الآخر حقوقه، بطيب نفس وانشراح صدر؛ فإن للمرأة على الرجل حقًا في ماله، وهو الصداق والنفقة بالمعروف‏.‏ وحقًا في بدنه، وهو العشرة و المتعة؛ بحيث لو إلى منها استحقت الفرقة بإجماع المسلمين، وكذلك لو كان مجبوبًا أو عنينًا لا يمكنه جماعها فلها الفرقة؛ ووطؤها واجب عليه عند أكثر العلماء‏.
“Termasuk di antara hak-hak (yang harus dipenuhi) adalah hubungan intim. Maka wajib hukumnya bagi suami suami istri melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah ta’ala, termasuk di antaranya mempergauli atau menceraikannya dengan baik. Wajib pula bagi setiap pasangan suami istri untuk memenuhi haknya satu dengan lainnya dengan ikhlash dan lapang dada. Sesungguhnya bagi seorang wanita mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh laki-laki (suaminya) dari harta yang berupa mahar dan nafkah secara ma’ruf, dan hak badan yang berupa jima’ dan bersenang-senang – dimana jika hak-hak tersebut tidak bisa dipenuhi, maka istrinya berhak menuntut cerai berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Begitu pula apabila suaminya terpotong kemaluannya atau impoten sehingga tidak memungkinkan untuk berjima’, maka si istri juga berhak menuntut cerai. Hal itu dikarenakan menggauli (menjimai) istri hukumnya wajib menurut kebanyakan ulama” [Majmu’ Al-Fataawaa, 28/383].
وكذلك يوجب العقد المطلق سلامة الزوج من الجَبّ والعِنَّة عند عامة الفقهاء‏.‏ وكذلك يوجب عند الجمهور سلامتها من موانع الوطء كالرتق، وسلامتها من الجنون، والجذام، والبرص‏.‏ وكذلك سلامتهما من العيوب التي تمنع كماله، كخروج النجاسات منه أو منها، ونحو ذلك، في أحد الوجهين في مذهب أحمد وغيره ‏
“Begitu pula diwajibkan dalam akad pernikahan yang bersifat mutlak, yaitu bebasnya seorang suami dari cacat terpotong kemaluannya dan impotensi menurut jumhur fuqahaa’. Selain itu juga bebas dari penghalang untuk bisa berjima’ seperti tertutupnya lubang kemaluan (ratq), bebas dari gila, lepra, dan kusta. Juga bebas dari cacat yang menghalangi kesempurnaannya seperti keluarnya najis dari kemaluan laki-laki atau wanita; dan yang lainnya. Ini merupakan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan lainnya…” [idem, 29/175].
Apabila seorang suami menderita cacat impotensi setelah menjalani bahtera pernikahan, maka dalam hal ini suami diberi tenggang satu tahun. Jika setelah tenggang waktu itu ia belum sembuh, maka istri berhak menuntut cerai.
نا أبو طلحة نا بندار نا عبد الرحمن نا سفيان عن الركين بن الربيع قال : سمعت أبي وحصين بن قبيصة يحدثان عن عبد الله قال يؤجل سنة فإن أتاها وإلا فرق بينهما
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Thalhah : Telah mengkhabarkan kepada kami Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrahmaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Sufyaan, dari Ar-Rukain bin Ar-Rabii’, ia berkata : Aku mendengar ayahku dan Hushain bin Qabiishah menceritakan dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun. Apabila ia mendatangi (mampu menjimai kembali) istrinya, (maka pernikahan itu diteruskan). Jika tidak, maka (boleh) dipisahkan (cerai) antara keduanya” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3814; sanadnya shahih].
حدثنا أبو طلحة حدثنا بُندار حدثنا عبد الرحمن عن سفيان عن الركين عن أبي النعمان قال : أتينا المغيرة بن شعبة في العنين، فقال : يؤجل سنة
Telah menceritakan kepada kami Abu Thalhah : Telah menceritakan kepada kami Bundaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman, dari Sufyaan, dari Ar-Rukain, dari Abun-Nu’maan, ia berkata : “Kami mendatangi Al-Mughiirah bin Syu’bah (untuk bertanya) tentang orang yang impoten. Lalu ia berkata : “Diberikan waktu satu tahun” [Sunan Ad-Daaruquthniy no. 3815; kemungkinan Abun-Nu’maan ini bernama Nu’aim bin Handhalah atau dikatakan juga An-Nu’maan bin Handhalah atau dikatakan juga nama yang lainnya. Jika benar ini adalah ia, maka shahih].
حدثنا علي أنا شعبة قال سألت قتادة وحمادا فقالا يؤجل سنة في العنين
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Qataadah dan Hammaad (tentang orang yang impotensi), mereka berdua berkata : “Diberikan waktu satu tahun bagi orang yang impoten” [Musnad Ibni Ja’d no. 1039; sanadna shahih].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
أن كُلَّ عيب ينفِرُ الزوجُ الآخر منه، ولا يحصُل به مقصودُ النكاح مِن الرحمة والمودَّة يُوجبُ الخيارَ، وهو أولى مِن البيع، كما أن الشروطَ المشترطة فى النكاح أولى بالوفاءِ مِن شروط البيع، وما ألزم اللَّهُ ورسولُه مغروراً قطُّ، ولا مغبوباً بما غُرَّ به وغُبِنَ به، ومن تدبَّر مقاصد الشرع فى مصادره وموارِده وعدله وحِكمته، وما اشتمل عليه مِن المصالح لم يخفَ عليه رجحانُ هذا القول، وقربُه من قواعد الشريعة.
“Bahwasannya setiap cacat yang dapat membuat lari pasangannya darinya serta (keberadaan faktor yang) tidak dicapai dengannya tujuan pernikahan yaitu (terwujudnya) cinta dan kasih-sayang; maka mengkonsekuensikan pilihan (untuk meneruskan rumah tangga atau melakukan perceraian). Dan itu lebih dikedepankan daripada akad jual-beli sebagaimana keberadaan syarat yang dipersyaratkan dalam pernikahan lebih dikedepankan untuk dipenuhi daripada persyaratan jual-beli. Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan orang yang tertipu dan terpedaya menerima sesuatu yang tidak diinginkan. Dan barangsiapa yang mentadaburi/memikirkan tujuan-tujuan syari’at berupa prinsip-prinsip keadilan dan hikmah dari suatu hukum dan maslahat-maslahat yang terkandung di dalamnya, tentu tahu kuatnya pendapat ini dan sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at yang ada” [Zaadul-Ma’aad, 5/183].

Terkadang pasien dengan penyakit lemah syahwat putus asa setelah berobat ke sana-sini. Berbagai metode telah ditempuh, akan tetapi terkadang lupa dengan menempuh sebab-sebab syar’i. Misalnya berdoa, berobat dengan sedekah dan berobat dengan Al-Quran. (yang biasa dilakukan orang awam adalah hanya menempuh sebab-sebabkauniy , misalnya ke dokter, minum obat penyembuh, terapi khusus dan lain-lain)

Banyak yang mengira Al-Quran hanyalah obat penyakit hati dan obat kerasukan jin dan  setan, akan tetapi Al-Quran adalah obat untuk penyakit Jasmani dan hati. Allah Ta’alaberfirman,

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (Al-Isra`: 82)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,

فالقرآن هو الشفاء التام من جميع الأدواء القلبية والبدنية، وأدواء الدنيا والآخرة، وما كل أحد يؤهل ولا يوفق للاستشفاء به، وإذا أحسن العليل التداوي به، ووضعه على دائه بصدق وإيمان، وقبول تام، واعتقاد جازم، واستيفاء شروطه، لم يقاومه الداء أبدا كيف تقاوم الأدواء كلام رب الأرض والسماء الذي لو نزل على الجبال لصدعها، أو على الأرض لقطعها، فما من مرض من أمراض القلوب والأبدان إلا وفي القرآن سبيل الدلالة على دوائه وسببه

“Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit teratur  berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh  kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurna-kan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik  penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan)-nya.” [Zadul Ma’ad, 4/287]
 
Apakah boleh mengobati lemah syahwat dengan Al-Quran?

Jawaban:

فإن القرآن الكريم شفاء وعلاج لكل الأمراض البدنية والنفسية …

فقد قال الله تعالى وَنُنَزِّلُ مِنَ القُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ {الإسراء:82}” وقال تعالى: قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ {فصِّلت:44}”

فهذه النصوص وما أشبهها نصوص عامة تشمل شفاء القرآن لجميع الأمراض؛ ولذلك فلا مانع من علاج الأمرض الجنسية وغيرها بالقرآن الكريم .

“Al-Quran adalah penyembuh dan obat untuk segala macam penyakit jasmani dan jiwa.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”  (Al-Isra’: 82)

Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah: “Al Quraan itu adalah petunjuk dan penawar /obat bagi orang-orang mu’min.” (Fushsilat: 44)

Maka dalil-dalil ini dan semacamnya adalah dalil umum yang mencakup pengobatan Al-Quran untuk segala macam penyakit. Oleh karena itu tidak ada larangan mengobati penyakit lemah syahwat dan lainnya dengan Al-Quran Al-Karim.
Caranya bagaimana?

Silahkan murujuk kembali bagaimana cara yang diajarkan oleh Islam yang benar dan shahih, tetapi tidak juga meninggalkan sebab-sebab kauniyseperti ke dokter, memeriksakan diri, minum obat dan terapi khusus. (walaupun terkadang hanya sebab syar’i saja, tanpa sebab kauniy , penyakit bisa sembuh sebagaimana kisah sahabat Sa’id Al-Khudri yang mengobati sengatan kalajengking hanya dengan membacakan Al-Fatihah saja)

Salah satu caranya adalah, memegang daerah yang sakit kemudian membaca doa yang shahih.

dari Utsman bin Al-Ash radhiallahu ‘anhu diriwayatkan bahwa ia pernah mengeluhkan penyakitnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  tentang penyakit ditubuhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ضع يدك على الذي تألم من جسدك و قل باسم الله ثلاثا و قل سبع مرات أعوذ بالله و قدراته من شر ما أجد و أحاذر
“Letakkan tanganmu dibagian tubuh yang sakit, lalu ucapkanlah:

 “bismillah” tiga kali,

lalu ucapkan sebanyak tujuh kali:

“A’udzu billahi wa qudrootihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir”,

(“Aku memohon perlindungan kepada Allah dengan kemuliaan dan kekuasaannya dari segala keburukan yang kudapatkan dan kukhawatirkan.”)‎
 ‎
Demikianlah, kita sebagai umat Islam harus meyakini Al-Quran sebagai penyembuh segala macam penyakit badan dan hati. Hendaknya jangan kita tinggalkan dan hanya menempuh sebab-sebab lahiriyah saja.

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syingkiti rahimahullahu berkata,

هو شفاء يشمل كونه شفاء للقلب من أمراضه ; كالشك والنفاق وغير ذلك، وكونه شفاء للأجسام إذا رقي عليها به، كما تدل له قصة الذي رقى الرجل اللديغ بالفاتحة، وهي صحيحة مشهورة
“ini adalah penawar/kesembuhan yang mencakup penawar hati dari penyakit-penyakitnya seperti ragu-ragu, kemunafikan dan lainnya. Dan juga mencakup penawar bagi penyakit badan jika diruqyah pada badan. Sebagaimana ditunjukkan pada kisah seorang laki-laki yang tersengat kalajengking kemudian diruqyah dengan Al-Fatihah. Kisah ini adalah shahih dan masyhur. [Adwa’ul Bayan 3/181, Darul Fikr, Beirut]

Hukum Memuntahkan Mani Di Luar Vagina


Dalam pandangan Islam, hubungan seksual adalah satu perkara yang memang tidak dapat lepas dari kehidupan manusia, terutama dalam kehidupan rumah tangga. Dan tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa kualitas dan kuantitas hubungan seksual merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Meskipun bukan satu-satunya faktor, namun realitanya hubungan seksualitas telah menempati posisi yang sangat vital.

Berbicara mengenai hubungan seksual dalam kehidupan rumah tangga, ada satu perkara yang cukup menarik perhatian banyak pihak, yaitu perkara ‘Azl. Apakah yang dimaksud dengan ‘Azl dan bagaimanakah pandangan Islam mengenai ‘Azl tersebut?
Coitus interruptus atau dikenal dalam Islam dengan ‘azl , biasa disebut pula withdrawal atau pull-out method, adalah salah satu dari cara mengontrol kelahiran, di mana laki-laki tatkala bersenggama menarik penisnya dari vagina si wanita sebelum terjadi ejakulasi. Si pria sengaja menumpahkan spermanya dari vagina pasangannya dalam upaya untuk menghindari inseminasi (pembuahan). 
Pengertian ‘Azl‎
Secara etimologi, ‘azl berarti menjauh atau menyingkir. Seperti seseorang berkata,
عزل عن المرأة واعتزلها : لم يرد ولدها .
“’Azl dari wanita, maksudnya adalah menghindarkan diri dari adanya anak (hamil).”
Al Jauhari berkata,
عزل الرّجل الماء عن جاريته إذا جامعها لئلاّ تحمل .
“Seseorang melakukan ‘azl –dengan mengalihkan sperma di luar vagina- ketika berjima’ dengan hamba sahayanya agar tidak hamil.”
Makna secara terminologi (istilah) tidak jauh dari makna etimologi (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 72).
Gambaran ‘azl terhadap pasangan adalah ketika akan mendekati keluarnya mani (ejakulasi), kemaluan sengaja ditarik keluar vagina sehingga sperma tumpah di luar. Hal ini bisa jadi dilakukan karena ingin mencegah kehamilan, atau pertimbangan lain seperti  memperhatikan kesehatan istri, janin atau anak yang sedang menyusui (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 81).
‘Azl (اْلعَزْلُ) adalah :
النزع بعد الإيلاج لينزل خارج الفرج
“Mencabut (penis) setelah penetrasi agar (air mani) tertumpah di luar farji/vagina” [Fathul-Bariy, 9/305].
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ‘azl yang secara garis besar terbagi menjadi dua kutub yang berseberangan. Sebagian ulama berpendapat haram melakukan ‘azl, sedangkan jumhur ulama – yang merupakan madzhab empat imam – membolehkannya.

Dalil Madzhab yang Mengharamkannya :
حدثنا عبيد الله بن سعيد ومحمد بن أبي عمر. قالا: حدثنا المقرئ. حدثنا سعيد بن أبي أيوب. حدثني أبو الأسود عن عروة، عن عائشة، عن جدامة بنت وهب، أخت عكاشة. قالت: حضرت رسول الله صلى الله عليه وسلم في أناس، وهو يقول:
"لقد هممت أن أنهى عن الغيلة. فنظرت في الروم وفارس. فإذا هم يغيلون أولادهم، فلا يضر أولادهم ذلك شيئا".
ثم سألوه عن العزل ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "ذلك الوأد الخفي".
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin Sa’iid dan Muhammad bin Abi ‘Umar, ‎mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Muqri’‎: Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Ayyuub: Telah menceritakan kepadaku Abul-Aswad‎, dari ‘Urwah‎, dari ‘Aaisyah, dari Judaamah binti Wahb, saudara perempuan ‘Ukaasyah, ia berkata : “Aku hadir ketika Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah orang-orang, beliau bersabda : “Sungguh, semula aku ingin melarang (kalian) dari perbuatan ghiilah. Lalu aku melihat bangsa Romawi dan Persia dimana mereka melakukan ghiilah terhadap anak-anak mereka. Ternyata hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka”. Kemudian para shahabat bertanya kepada beliau tentang ‘azl. Maka Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Itu adalah pembunuhan tersembunyi” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1442. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 6/361 & 434, Ibnu Maajah no. 2011, Ath-Thabaraaniy dalamAl-Kabiir 24/209 no. 535, dan Al-Baihaqiy 7/231. Diriwayatkan juga oleh Maalik 3/344-345 no. 1406, Ahmad 6/361, Ad-Daarimiy no. 2263, Abu Daawud no. 3882, At-Tirmidziy no. 2076-2077, An-Nasaa’iy n. 3326, Ibnu Hibbaan no. 4196, Ath-Thabaraaniy 24/208 & 209 no. 534 & 536, Al-Baihaqiy 7/465, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 9/289-291 no. 3664-3670, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 9/108 no. 2298, dan Al-Mizziy dalam ‎Tahdziibul-Kamaal 35/142 dengan tanpa tambahan : “Kemudian para shahabat bertanya kepada beliau tentang ‘azl……dst”.].
Ibnu Hazm rahimahullah saat mengomentari hadits tersebut berkata :
فمن ادعى أنه أبيح بعد أن منع فعليه البيان
“Barangsiapa yang mendakwa bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membolehkan setelah beliau melarangnya, maka wajib baginya mendatangkan bukti” [Fathul-Baariy, 9/309].
Inilah madzhab yang nampak pada Ibnu ‘Umar dan ayahnya (‘Umar bin Al-Khaththaab), ‘Utsmaan bin ‘Affaan, ‘Aliy bin Abi Thaalib, Ibnu Mas’uud, Abu Umaamah radliyallaahu ‘anhum, dan yang lainnya.
حدثنا عبدة عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب أن رجالا من المهاجرين كانوا يكرهون العزل ، منهم فلان وفلان وعثمان بن عفان .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah, dari Yahyaa bin Sa’iid‎, dari Sa’iid bin Al-Musayyib‎: Bahwasannya beberapa orang dari Muhaajirin membenci ‘azl, diantaranya Fulaan, Fulaan, dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/220; shahih].
عن معمر عن الزهري عن سالم أن بن عمر كان يكره العزل قال معمر ولا أعلم الزهري إلا قد قال وكان عمر يكره ذلك
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy‎, dari Saalim‎: Bahwasannya Ibnu ‘Umar membenci ‘azl. Ma’mar berkata : “Aku tidak mengetahui Az-Zuhriy kecuali ia berkata : ‘’Umar juga membenci hal itu (‘azl)” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 12577; shahih].
حدثنا كثير بن هشام عن جعفر بن برقان قال نا ميمون بن مهران أن ابن عمر اشترى جارية لبعض بنيه فقال : ما لي لا أراها تحمل ! لعلك تعزل عنها ولو أعلم ذلك لاوجعت ظهرك
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin Hisyaam, dari Ja’far bin Burqaan‎, dari Maimuun bin Mihraan‎ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar membeli seorang budak wanita dari sebagian anak-anaknya. Lalu ia berkata : “Mengapa aku tidak melihatnya hamil ? Barangkali engkau telah berbuat ‘azl terhadapnya ? Seandainya aku mengetahui hal itu, niscaya aku pukul punggungmu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/220-221; shahih].
حدثنا أبو بكر بن عياش عن عاصم عن زر عن علي قال : العزل الوأد الخفي
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Iyyaasy, dari ‘Aashim‎, dari Zirr‎, dari ‘Aliy, ia berkata : “’Azl adalah pembunuhan tersembunyi” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/220; hasan].
حدثنا غندر عن شعبة عن يزيد بن خمير عن سليم بن عامر عن أبي أمامة في العزل : ما كنت أرى أن مسلما يفعله
Telah menceritakan kepada kami Ghundar, dari Syu’bah‎, dari Yaziid bin Khumair‎, dari Sulaim bin ‘Aamir‎, dari Abu Umaamah tentang ‘azl, ia berkata : “Aku tidak berpendapat/menganggap orang yang melakukannya sebagai seorang muslim” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/221; shahih].
أخبرنا سعيد ، نا معتمر بن سليمان ، قال : سمعت أبي قال : حدثني أبو عمرو الشيباني ، عن ابن مسعود ، أنه قال في العزل : « هي الموءودة الصغرى »

Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid: Telah mengkhabarkan kepada kami Mu’tamir bin Sulaimaan, ia berkata : Aku mendengar ayahku berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Amru Asy-Syaibaaniy, dari Ibnu Mas’uud bahwasannya ia berkata tentang ‘azl : “Ia adalah pembunuhan kecil-kecilan” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur no. 2054; shahih].

Dalil Ulama yang Membolehkan
حدثنا مسدد: حدثنا يحيى بن سعيد، عن ابن جريج، عن عطاء، عن جابر قال : كنا نعزل على عهد النبي صلى الله عليه وسلم.
Telah menceritakan kepada kami Musaddad: Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid‎, dari Ibnu Juraij,‎ dari ‘Athaa’, dari Jaabir : “Kami (para shahabat) melakukan ‘azl di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5207. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 5208-5209, Muslim no. 1440, ‘Abdurrazzaaq no. 12566, Al-Humaidiy no. 1294, Ahmad 3/377 & 380, Ibnu Maajah no. 1927, dan Abu Ya’laa no. 2193 & 2255].
Dalam sebagian lafadh disebutkan :
كنا نعزل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فلم ينهنا عنه.
“Kami melakukan ‘azl di jaman Rasulullah ‎shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak melarang kami darinya” [Musnad Abi Ya’laa no. 2255 dan Shahih Muslim no. 1440 (137)].
Lafadh hadits ini mauquf, namun dihukumi ‎marfuu’.
حدثنا أحمد بن عبد الله بن يونس. حدثنا زهير. أخبرنا أبو الزبير عن جابر ؛ أن رجلا أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: إن لي جارية هي خادمنا وسانيتنا. وأنا أطوف عليها وأنا أكره أن تحمل. فقال : "اعزل عنها إن شئت. فإنه سيأتيها ما قدر لها" فلبث الرجل. ثم أتاه فقال: إن الجارية قد حبلت. فقال:"قد أخبرتك أنه سيأتيها ما قدر لها".
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Abdillah bin Yuunus: Telah menceritakan kepada kami Zuhair‎: Telah mengkhabarkan kepada kami Abuz-Zubair, ‎dari Jaabir : Bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Sesungguhnya aku mempunyai aku mempunyai seorang budak wanita yang membantu kami dan memberi minum (ternak) kami. Aku ingin mencampurinya namun aku tidak ingin ia hamil”. Beliau bersabda : “Lakukanlah ‘azl terhadapnya jika engkau menghendaki. Namun begitu, akan tetap datang padanya apa yang telah ditetapkan (Allah) kepadanya”. Tidak lama kemudian, laki-laki itu mendatangi beliau kembali dan berkata : “Sesungguhnya budak wanitaku hamil”. Beliau bersabda :“Sesungguhnya telah aku beritahukan kepadamu bahwa tetap akan datang padanya apa yang telah (Allah) tetapkan kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1439. Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/312, Abu Daawud no. 1273, dan Al-Baihaqiy 7/229].
Inilah yang menjadi madzhab Jaabir, Sa’d bin Abi Waqqaash, Zaid bin Tsaabit, Ibnu ‘Abbaas, Abu Ayyuub Al-Anshaariy, Al-Musayyib, dan yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.
حدثنا ابن عيينة عن عمرو عن عكرمة أن زيدا وسعدا كانا يعزلان
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari ‘Amru‎, dari ‘Ikrimah: Bahwasannya Zaid (bin Tsaabit) dan Sa’d (bin Abi Waqqaash) melakukan ‘azl” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/217; shahih].
حدثنا عبدة عن يحيى بن سعيد عن سعيد بن المسيب قال : كانت الانصار لا يرون بأسا بالعزل وكان ممن يقول ذلك زيد وأبو أيوب وأبي .
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdah bin Sulaimaan, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : “Orang-orang Anshaar memandang tidak mengapa melakukan ‘azl. Dan termasuk orang yang mengatakan itu adalah Zaid, Abu Ayyub, dan ayahku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 4/218; shahih].
أخبرنا سعيد ، نا أبو عوانة ، عن سليمان بن أبي المغيرة ، قال : سألت سعيد بن جبير عن العزل، فقال : « كان ابن عمر يكرهه ، وعن ابن عباس : لا يرى به بأسا »

Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Sulaimaan bin Abil-Mughiirah‎, ia berkata : Sa’iid Jubair pernah ditanya tentang ‘azl, lalu ia menjawab : “Adalah Ibnu ‘Umar membencinya, sedangkan Ibnu ‘Abbaas memandangnya tidak apa-apa (melakukannya)” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur no. 2065; shahih].
Para ulama yang berada di barisan ini pun ada yang merinci pembedaan ijin antara wanita merdeka dan budak.
أخبرنا سعيد ، نا هشيم ، أنا عبيدة ، عن إبراهيم ، أنه كان يقول : « يستأمر الحرة ولا يستأمر الأمة » أخبرنا سعيد ، نا هشيم ، أنا يحيى بن سعيد ، عن سعيد بن المسيب ، أنه قال مثل ذلك
Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid : Telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim: Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidah‎, dari Ibraahiim, ‎bahwasannya ia berkata : “Wanita merdeka diminta ijinnya (untuk di-‘azl), dan untuk budak wanita tidak dimintakan ijinnya”. Dan telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid : Telah mengkhabarkan kepada kami Husyaim : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, bahwasannya ia mengatakan semisal dengan itu [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur no. 2069. Atsar Ibraahiim lemah, sedangkan atsar Sa’iid bin Al-Musayyib shahih].
أخبرنا سعيد ، نا أبو عوانة ، عن منصور ، عن إبراهيم ، قال : « يعزل عن الأمة ، ويستأمر الحرة »
Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’iid : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Manshuur, dari Ibraahiim, ia berkata : “Boleh melakukan ‘azl pada budak wanita (tanpa dimintai ijinnya terlebih dahulu), namun harus meminta ijin lebih dahulu bagi wanita merdeka” [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur no. 2071; shahih].
Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
تستأمر الحرة في العزل ولا تستأمر الأمة 
“Dimintai ijin (untuk melakukan ‘azl) bagi wanita merdeka, dan tidak dimintai ijin bagi budak wanita” [Jaami’ At-Tirmidziy, 2/430].
Penjelasan
Dari dua pendapat di atas, yang raajih adalah pendapat ulama yang membolehkannya, karena telah tegas dalam riwayat Muslim no. 1439 di atas bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membolehkan seseorang yang melakukan ‘azl ketika ia tidak menginginkan budak wanita yang dimilikinya hamil. Jaabir pun telah menegskan bahwa beliau shallallaau ‘alaihi wa sallam tidak melarang perbuatan para shahabat yang melakukan ‘azl terhadap istri/budaknya.
Adapun hadits Judaamah binti Wahb radliyallaahu ‘anhaa, maka perkataan beliau bahwa ‘azl merupakan pembunuhan tersembunyi/terselubung (الوأد الخفي) bukan bermakna pengharaman.
Ibnu Hajar berkata setelah membawakan perkataan Ibnu Hazm yang mengharamkan ‘azl berdasarkan hadits Judaamah :
وتعقب بأن حديثها ليس صريحا في المنع إذ لا يلزم من تسميته وأدا خفيا على طريق التشبيه أن يكون حراما
“Para ulama telah mengkritik, karena haditsnya itu tidak shaarih berisi pelarangan. Penyebutan ‎‘azl sebagai pembunuhan tersembunyi/terselubung dalam hal penyerupaannya, tidaklah selalu berkorelasi dengan satu keharaman” [Fathul-Baariy, 9/309].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وأما تسميته وأدا خفيا فلأن الرجل إنما يعزل عن امرأته هربا من الولد وحرصا على أن لايكون فجرى قصده ونيته وحرصه على ذلك مجرى من أعدم الولد بوأده لكن ذلك ظاهر من العبد فعلا وقصدا وهذا وأد خفي منه وإنما أراده ونواه عزما ونية فكان خفيا
“Adapun penamaan ‘azl dengan pembunuhan tersebunyi/terselubung karena seorang laki-laki yang melakukan ‘azl terhadap istrinya hanyalah berkeinginan agar terhindar dari kelahiran anak. Maka, tujuan, niat, keinginannya itu seperti orang yang tidak menginginkan anak dengan cara menguburnya hidup-hidup. Akan tetapi perbedaannya, orang yang mengubur anak hidup-hidup tadi dilakukan dengan perbuatan dan niat sekaligus; sedangkan pembunuhan tersembunyi/terselubung ini (yaitu ‘azl) hanyalah sekedar berkeinginan dan berniat saja. Dan niat inilah yang tersembunyi/terselubung” [Tahdziibus-Sunan, 3/85 – melalui Aadaabuz-Zifaaf hal. 135].
Ada riwayat lain yang menyatakan pengingkaran beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas ucapan orang Yahudi bahwa ‘azl itu adalah pembunuhan kecil-kecilan (الموؤودة الصغرى).
حدثنا يونس، قال : أخبرنا ابن وهب، قال : أخبرني عياش بن عقبة الحضرمي، عن موسى بن وَرْدان، عن أبي سعيد الخدري، قال : بلغ رسول الله صلى الله عليه وسلم أن اليهود يقول إن العزل هو الموؤودة الصغرى. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كذبت يهود، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لو أفضيت لم يكن إلا بقدر.
Telah menceritakan kepada kami Yuunus, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb‎, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Iyaasy bin ‘Uqbah Al-Hadlariy‎, dari Muusaa bin Wardan, ‎dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya orang Yahudi berkata : ‘Sesungguhnya ‘azl itu pembunuhan kecil-kecilan’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang Yahudi telah berdusta. Seandainya engkau menjimainya, tidaklah itu akan menghasilkan anak kecuali dengan takdir Allah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 3/31-32 no. 4348 dan dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 5/172 no. 1918 dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam ‎Kasyful-Astaar 2/172 no. 1453. Ia mempunyai beberapa penguat sehingga menjadi shahih (lighairihi)].
Ibnul-Qayyim rahimahullah kembali berkata :
فاليهود ظنت أن العزل بمنزلة الوأد في إعدام ما انعقد بسبب خلقه فكذبهم في ذلك وأخبر أنه لو أراد الله خلقه ماصرفه أحد
“Orang-orang Yahudi menyangka bahwa ‘azl ini sama dengan pembunuhan dalam hal peniadaan sesuatu yang telah diciptakan Allah. Maka, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendustakan mereka tentang anggapan tersebut, karena seandainya Allah menghendaki untuk menciptakannya (anak), tidak ada seorang pun yang dapat menolaknya” [Tahdziibus-Sunan, 3/85 – melalui Aadaabuz-Zifaaf hal. 135].
Pembolehan ‘azl ini pada asalnya tidak dibedakan antara wanita merdeka dan budak, karena tidak ada dalil yang membedakannya. Hanya saja, ia makruh tanziih (bukan tahriim) karena bertentangan dengan tujuan adanya pernikahan dan jima’ (untuk mendapatkan anak).
حدثنا أحمد بن إبراهيم، ثنا يزيد بن هارون، أخبرنا مستلم بن سعيد [ابن أخت منصور بن زاذان]، عن منصور يعني ابن زاذان عن معاوية بن قرة، عن معقل بن يسار قال : جاء رجل إلى النبي صلى اللّه عليه وسلم فقال: إني أصبت امرأةً ذات حسب وجمال، وإنها لا تلد أفأتزوجها؟ قال: "لا" ثم أتاه الثانية فنهاه، ثم أتاه الثالثة فقال: "تزوجوا الودود الولود فإِنِّي مكاثرٌ بكم الأمم".
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibraahiim: Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun‎: Telah mengkhabarkan kepada kami Mustalim bin Sa’iid ‎– anak saudara perempuan Manshuur bin Zaadzaan - , dari Manshuur ‎– yaitu Ibnu Zaadzaan - , dari Mu’aawiyyah bin Qurrah, ‎dari Ma’qil bin Yasaar‎, ia berkata : “Ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamdan berkata : “Sesungguhnya aku jatuh hati pada seorang wanita (istri) yang berketurunan baik lagi cantik, akan tetapi ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Jangan”. Orang itu mendatangi beliau untuk kedua kalinya, dan beliau pun masih melarangnya. Kemudian, orang itu mendatangi beliau untuk ketiga kalinya, lalu beliau bersabda : “Nikahilah wanita yang penyayang lagi subur (tidak mandul). Karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan kepada umat yang lain karena jumlah kalian” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2050; sanad hadits ini hasan, dan shahih dengan keseluruhan jalannya].
حدثنا أبو اليمان : أخبرنا شعيب : حدثنا أبو الزناد، عن عبد الرحمن الأعرج، عن أبي هريرة : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (قال سليمان: لأطوفنَّ الليلة على تسعين امرأة، كلهن تأتي بفارس يجاهد في سبيل الله، فقال له صاحبه: إن شاء الله، فلم يقل إن شاء الله، فطاف عليهن جميعا فلم تحمل منهن إلا امرأة واحدة، جاءت بشق رجل، وايم الذي نفس محمد بيده، لو قال: إن شاء الله، لجاهدوا في سبيل الله فرساناً أجمعون).
Telah menceritakan kepada kami Abul-Yamaan: Telah mengkhabarkan kepada kami Syu’aib: Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zinaad, dari ‘Abdurrahmaan Al-A’raj, dari Abu Hurairah : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Telah berkata Sulaimaan bin Daawud : ‘Sungguh aku akan berkeliling pada suatu malam terhadap sembilan puluh orang wanita istriku yang kesemuanya akan melahirkan seorang penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah’. Shahabatnya berkata kepadanya : ‘Insya Allah’; akan tetapi ia (Sulaimaan) tidak mengatakan insya Allah. Maka, ia berkeliling kepada istri-istrinya sekaligus, namun tidak ada seorang pun dari istrinya yang mengandung kecuali satu orang saja yang kemudian melahirkan anak sepotong (badan) saja. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, seandainya ia mengatakan Insya Allah, niscaya akan lahir dari semua istrinya para penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6639].

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...