Minggu, 24 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Hukum Memakai Peci Hitam


Tidak bisa bisa dipungkiri, memakai kopiah ketika shalat adalah kebiasaan yang telah umum dikalangan muslimin disemua penjuru. Bahkan, seseorang bisa merasa ada yang kurang bila dia shalat sedangkan kepalanya dalam kondisi terbuka. Maka tak heran bila kemudian sebagian kalangan menmpertanyakan tentang status hukumnya, sunahkah atau hanya semacam budaya saja ? Mari kita simak penjelasannya.

Kopiah atau juga yang disebut songkok / peci adalah salah satu jenis pakaian yang dikenakan di kepala. Jadi, peci masuk kepembahasan hukum berpakaian, sedangkan secara umum berpakaian itu dihukumi :

 Wajib, yaitu pakaian yang digunakan untuk menutupi aurat. Yaitu dari pusat hingga lutut bagi kaum laki-laki, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan bagi kaum wanita.
 Sunnah, yaitu berpakaian dengan model pakaian Rasulullah Saw dan yang dicintai olehnya, diantaranya adalah gamis. Dan masuk kedalam kesunnahan juga adalah berpakaian lengkap (bukan hanya memakai sarung atau celana yang menutup pusat dan mata kaki), mengenakan pakaian bersih dan rapi, berhias dll.
 Mubah, yakni pakaian yang umumnya dikenakan mengikuti sesuai peradaban dan kedayaan manusia.
 Haram, yakni pakaian yang menyerupai pakaian orang-orang kafir dan menjadi simbol agama mereka, semisal pakaian biksu atau para pastor.
Yang jelas, kopiah tidaklah wajib, karena kepala yang ditutupi oleh kopiah bukanlah aurat bagi laki-laki, dan kita sama ma’fum, dalam shalat, yang wajib ditutupi hanya aurat. Sebaliknya, kopiah juga tidak mungkin dihukumi haram untuk dipakai, karena ia bukanlah pakaian yang menjadi ciri khas atau identitas orang-orang kafir. Terkecuali, model peci yang lazim dikenakan para pastor dan pendeta  yahudi, maka ini  haram.

Diriwayatkan 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ.  وحَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ عِيسَى، عَنْ شَرِيكٍ، عَنِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنِ الْمُهَاجِرِ الشَّامِيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ فِي حَدِيثِ شَرِيكٍ يَرْفَعُهُ، قَالَ: " مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ زَادَ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ "،
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، قَالَ: ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa, dar Syariik, dari ‘Utsmaan bin Abi Zur’ah‎, dari Al-Muhaajir Asy-Syaamiyl‎, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata (secara mauquuf) – dan dalam hadits Syariik ia memarfu’kannya – beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” – dan dalam riwayat Abu ‘Awaanah terdapat tambahan : “kemudian akan dibakar padanya di dalam neraka”.‎
Telah menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami, ia berkata : “Yaitu pakaian kehinaan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029].
Abu Haatim Ar-Raaziy mentarjih bahwa riwayat mauquuf lebih shahih.‎ 'Utsmaan bin Abi Zur'ah  dalam periwayatan marfuu' telah diselisihi oleh Al-Laits bin Abi Sulaim, sedangkan ia seorang yang dla'iif. Oleh karena itu, riwayat marfuu’ ini mahfuudh. Wallaahu a'lam.
Mengomentari hadits di atas, As-Sindiy rahimahullah berkata :
مَنْ لَبِسَ ثَوْبًا يَقْصِد بِهِ الِاشْتِهَار بَيْن النَّاس ، سَوَاء كَانَ الثَّوْب نَفِيسًا يَلْبَسهُ تَفَاخُرًا بِالدُّنْيَا وَزِينَتهَا ، أَوْ خَسِيسًا يَلْبَسهُ إِظْهَارًا لِلزُّهْدِ وَالرِّيَاء
“Yaitu : Orang yang memakai pakaian dengan tujuan kemasyhuran/kepopuleran di antara manusia. Sama saja, apakah pakaian itu bagus yang dipakai untuk berbangga-bangga dengan dunia dan perhiasannya, atau pakaian itu hina/jelek yang dipakai untuk menampakkan kezuhudan dan riyaa’ (di hadapan manusia)” [Hasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Sunan Ibni Maajah].
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111].
Para ulama telah menjelaskan bahwa salah satu bentuk terlarang pakaian syuhrah ini adalah pakaian yang berbeda dari adat kebiasaan orang-orang setempat. Perhatikan dua riwayat di bawah :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrahdengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْن ثابت بْن بندار، نا أبي الْحُسَيْن بْن عَلِيّ، نا أَحْمَد بْن منصور البوسري، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مخلد، ثني مُحَمَّد بْن يوسف، قَالَ: قَالَ عَبَّاس بْن عَبْدِ العظيم العنبري: قَالَ بِشْر بْن الحارث: إن ابْن الْمُبَارَك " دخل المسجد يوم جمعة وعليه قلنسوة فنظر الناس ليس عليهم قلانس فأخذها فوضعها فِي كمه "
Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Tsaabit bin Bundaar : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku (: Telah  mengkhabarkan kepada kami ) Al-Husain bin ‘Aliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Manshuur Al-Buusiriy : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Yuusuf, ia berkata : Telah berkata ‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy : Telah berkata Bisyr bin Al-Haarits : Sesungguhnya Ibnu Mubaarak pernah masuk ke dalam masjid pada hari Jum’at, dan ia memakai peci. Lalu ia melihat orang-orang tidak ada yang memakai peci. Maka Ibnul-Mubaarak melepas dan menyimpannya di balik bajunya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jauziy dalam Talbiis Ibliis,  hal. 184].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan posisi madzhabnya :
يُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ ، أَوْ خِلَافُ زِيِّ بَلْدَةٍ مِنْ النَّاسِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau ‎menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
Oleh karena itu, syari’at menganjurkan kita berpakaian dengan pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri tempat kita tinggal, selama tidak ada hal-hal yang menjadi larangan syari’at.

Termasuk hal yang mengherankan, ada sebagian saudara kita yang melarang – atau bahkan mencela – pemakaian peci hitam sebagaimana lazim dipakai penduduk negeri kita. Padahal telah menjadi pengetahuan jamak bahwa peci hitam merupakan salah atribut pakaian kaum muslimin negeri kita. Tidak ada pula dalil yang melarangnya. Peci hitam tidak ubahnya seperti peci putih, hijau, biru, atau warna-warna yang lainnya.
Apakah peci hitam itu dilarang karena warna hitamnya ?. Jika inii alasannya, maka salah satu sifat ‘imamah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah berwarna hitam sebagaimana riwayat :
حدثنا عَلِيُّ بْنُ حَكِيمٍ الْأَوْدِيُّ، أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ: أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Hakiim Al-Audiy : Telah mengkhabarkan kepada kami Syariik, dari ‘Ammaar Ad-Duhniy, dari Abuz-Zubair, dari Jaabir bin ‘Abdillah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki pada hari penaklukan Makkah dengan memakai ‘imaamah (surban) berwarna hitam [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1358].
Bahkan para ulama kita terdahulu telah ada yang memakai peci berwarna hitam. ‘Abdurrahmaan bin Muhammad bin Al-Mughiirah rahimahullah berkata :
رأيت أبا حنيفة شيخاً يفتي الناس بمسجد الكوفة عليه قلنسوة سوداء طويلة
“Aku pernah melihat Abu Haniifah seorang syaikh yang memberikan fatwa kepada manusia di Masjid Kuufah, dimana (waktu itu) ia memakai peci hitam panjang” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 6/399].
حدثنا أَبُو مُسْهِرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: " رَأَيْتُ عَلَى الْأَوْزَاعِيِّ قَلَنْسُوَةً سَوْدَاءَ فِي أَيَّامِ ابْنِ سُرَاقَةَ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Mus-hir, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khaalid, ia berkata : “Aku pernah melihat Al-Auza’iy memakai peci hitam pada peristiwa Ibnu Suraaqah” [Diriwayatkan oleh Abu Zur’ah dalam Taariikh-nya no. 368 & 2319; shahih].
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: " كُنْتُ إِذَا رَأَيْتُ دَاوُدَ الطَّائِيَّ لا يُشْبِهُ الْقُرَّاءَ، عَلَيْهِ قَلَنْسُوَةٌ سَوْدَاءُ طَوِيلَةٌ مِمَّا يَلْبَسُ التُّجَّارُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : “Dulu jika aku melihat Daawud Ath-Thaa’iy, ia tidak menyerupai qurraa’, karena ia memakai peci hitam panjang yang dipakai para pedagang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat, 6/536; shahih].
Hadits, penjelasan ulama, dan contoh-contoh di atas semoga dapat menjadi kejelasan bagi kita tentang diperbolehkannya memakai peci hitam. Bagi yang lebih senang memakai peci putih haji, ya silakan. Bebas memilihnya.

Penjelasan Batalnya Wudhu Bagi Suami Istri Yang Bersentuhan


Pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhu termasuk persoalan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Dalam prinsip Ahlus Sunnah, perbedaan yang demikian termasuk sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi. Karenanya diperlukan sikap lapang dada untuk menerima perbedaan pendapat tersebut, selama masing-masing berpegang pada dalil yang ada.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fikih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali.
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari al-Qur’an dan as- Sunnah, dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.‎

Dalil Bersentuhan dengan Istri Membatalkan Wudhu

Secara umum, para ulama sepakat bahwa menyentuh laki-laki akan seorang perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu’. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang suami yang menyentuh istrinya tanpa ada pembatas antara keduanya. Jika dilihat dari perbedaan pandangan ini terjadi akibat perbedaan dalam pentafsiran ayat al-Quran sebagai rujukan awal dalam penetapan hukum serta pandangan kedudukan hadits yang digunakan sebagai dalil hukumnya.
Sebagian ulama yang menyatakan batal wudhu karena menyentuh wanita, berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); ...” (QS. Al Ma-idah: 6) Mereka menafsirkan kalimat “lamastumun nisaa’” dengan menyentuh perempuan. Landasannya adalah perkataan Ibnu Mas’ud ,
اللَّمْسُ، مَا دُوْنَ الجِمَاعِ.
“Al lams (lamastum) bermakna selain jima’”. ‎Perkataan yang serupa juga dikatakan oleh Ibnu ‘Umar. ‎Jadi, menurut keduanya lamastumun nisaa’ bermakna selain berhubungan badan seperti menyentuh.
Akan tetapi, tafsiran dua ulama sahabat ini bertentangan dengan perkataan sahabat -yang lebih pakar dalam masalah tafsir- yaitu Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Beliau mengatakan,
إن”المس” و”اللمس”، و”المباشرة”، الجماع، ولكن الله يكني ما شاء بما شاء
“Namanya al mass, al lams dan al mubasyaroih bermakna jima’ (berhubungan badan). Akan tetapi Allah menyebutkan sesuai dengan yang ia suka.”
Dalam perkataan lainnya disebutkan,
أو لامستم النساء”، قال: هو الجماع.
“Makna ayat: lamastumun nisaa’ adalah jima’ (berhubungan badan).

Persentuhan kulit laki-laki dewasa dengan wanita dewasa yang bukan mahram (termauk juga istri) tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu. Dalam kitab al-Iqna pada Hamisyi albujairimi juz I, halaman 171 sebagai berikut:

..والرابع من نواقض الوضوء لمــــس الرجل ببشرته المرأة الأجنبية أى بشرتها من غير حائل.

…hal keempat membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dewasa dengan perempuan dewasa lain (yang bukan muhrim) tanpa ada penghalang.

Begitu juga yang dijelaskan dalam hadits dari Muadz bin Djabal.

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أتاه رجل فقال: يارسول الله ما تقول فى رجل لقي امرأة لايعرفها وليس يأتى الرجل من امرأته شيئا إلاأتاه منها غير أنه لم يجامعها قال فأنزل الله عز وجل هذه الأية أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل, قال فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم : توضاء ثم صل..! قال معاذ فقلت يارسول الله أله خاصة أم للمؤمنين عامة؟ فقال:بل للمؤمنين عامة (رواه أحمد والدارقطنى

Rasulullah saw. kedatangan seorang lelaki lalu berkata: ya Rasulullah, apa pendapatmu tentang seorang lelaki bertemu dengan perempuan yang tak dikenalnya. Dan mereka bertemu tidak seperti layaknya suimi-istri, tidak juga bersetubuh. Namun, hanya itu saja (bersetubuh) yang tidak dilakukannya. Kata Rawi Maka turunlah ayat أقم الصلاة طرفي النهار وزلفا من الليل . Rawi bercerita: Maka rasulullah saw bersabda: berwudhulah kamu kemudian sembahyanglah. Muadz berkata ”wahai Rasulullah apakah perintah ini hanya untuk orang ini, atau umum untuk semua orang mu’min? Rasulullah saw menjawab “untuk semua orang mu’min’ (HR. Ahmad Addaruquthni)

Ada juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya:

قبلة الرجل امرأته وجسه بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أوجسها بيده فعليه الوضوء (رواه مالك فى الموطأ والشافعى )

Sentuhan tanagn seorang laki-laki terhadap istrinya dan kecupannya termasuk pada bersentuhan (mulamasah). Maka barangsiapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangan, wajiblah atasnya berwudhu (HR. Malik dalam Muwattha’ dan as-Syafi’i)

Hadits ini jelas menerangkan bahwa bersentuhan dengan istri itu membatalkan wudhu seperti halnya batalnya wudhu karena mencium istri sendiri.

Seperti yang ditekankan dalam salah satu riwayat Ibnu Haitam, bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:

اللمس ما دون الجماع

Yang dimaksud dengan sentuh (allamsu) adalah selain jima’.

Ini berarti bersentuhan dengan istri tanpa penghalang baik sengaja atapun tidak membatalkan wudhu. Lebih jelas lagi riwayat atThabrani:

يتوضأ الرجل من المباشرة ومن اللمس بيده ومن القبلة

Berwudhulah lelaki karena berlekatan, bersentuhan dengan tangan dan karena ciuman.
Pendapat Imam Asy-Syafi’I Rh:
Imam Asy-Syafi’i berkata; “Telah sampai kepada kami dari Ibnu Mas’ud yang mendekati makna ucapan Ibnu Umar: Apabila seorang laki-laki menyentuhkan tangannya kepada istrinya, atau bersentuhan sebahagian tubuhnya pada sebahagian tubuh istrinya, dimana tidak ada pembatas antara dia dan istrinya, baik dengan nafsu birahi atau tidak, maka wajib atas keduanya berwudhu. Berikut teka yang tersebut di dalam kitab al-Umm:

قال الشافعي: وَبَلَغَنَا عن بن مَسْعُودٍ قَرِيبٌ من مَعْنَى قَوْلِ بن عُمَرَ، وإذا أَفْضَى الرَّجُلُ بيده إلَى امْرَأَتِهِ أو بِبَعْضِ جَسَدِهِ إلَى بَعْضِ جَسَدِهَا لَا حَائِلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا بِشَهْوَةٍ أو بِغَيْرِ شَهْوَةٍ وَجَبَ عليه الْوُضُوءُ

Hal ini sesuai dalam hadits sebagai berikut: 
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء. 

Artinya : “Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu.” (HR. Imam Malik)

Terhadap hadist di atas, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hadits di atas dengan sanad yang shahih.

Demikian halnya apabila sentuhan itu dari pihak istri, maka keduanya pun wajib berwudhu. Jadi, mana saja dari badan keduanya yang tersentuh pada yang lain, baik dari pihak laki-laki yang menyentuh kulit wanita atau wanita yang menyentuh kulit laki-laki, keduanya wajib berwudhu.

Imam Syafi’i Rh menyampaikan; Apabila laki-laki menyentuhkan tangannya pada rambut wanita, namun tidak sampai menyentuh kulitnya, maka tidak wajib atas orang itu berwudhu, baik terdorong oleh nafsu birahi atau tidak. Demikian juga halnya bila ia bernafsu kepada istrinya, namun ia tidak menyentuhnya, maka tidak wajib baginya berwudhuk kembali. Nafsu tidak dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum, sebab ia hanya ada dalam hati. Bahkan yang mesti dijadikan pegangan adalah perbuatan, sementara rambut berbeda dengan kulit. Namun, Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu.‎

Imam Syafi’I melanjutkan; Seandainya seseorang lebih berjaga-jaga dan berhati-hati, misalnya ketika ia menyentuh rambut wanita kemudian ia berwudhu, niscaya hal itu lebih saya sukai. Jika seseorang menyentuh dengan tangannya apa yang dikehendaki dari badan wanita, baik dilapisi kain tipis maupun yang tebal atau selainnya, disertai rasa nikmat ataupun tidak, dan hal itu diperbuat juga oleh wanita, maka tidak wajib bagi mereka untuk berwudhu, karena masing-masing dari keduanya tidak saling bersentuhan. Hanya saja, setiap salah seorang dari keduanya menyentuh lawan jenisnya.‎

Pendapat Ulama Madzhab Asy-Syafi’I Rh: 
Asy-Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, dalam kitab Al-Bajuri menyebutkan: 

)لمس الرجل المرأة الاجنبية( غير المحرم ولو ميتة. والمراد بالرجل والمرأة ذكر وانثى بلغا حد الشهوة عرفا. والمراد بالمحرم من حرم نكاحها لأجل نسب أو رضاع أو مساهرة. وقوله من غير حائل يخرج مالو كان هناك حائل فلا نقض حينئذ.

Adapun maksud kalimat di atas adalah; Adapun yang membatalkan wudhu’ yang ke empat adalah menyentuh laki-laki akan perempuan yang ajnabiy (sah nikah), bukan seorang mahram, sekalipun dia adalah mayit. Adapun maksud dari “laki-laki” dan “perempuan” di sini adalah laki-laki atau perempuan yang sudah sampai pada batasan syahwat secara uruf (adat kebiasaan). Sedangkan yang dimaksud dengan “mahram” di sini adalah laki-laki yang haram menikahi perempuan, baik itu karena sepersusuan (radha’ah) atau karena hubungan pernikahan (musaharah). Adapun bersentuhan disini adalah tanpa adanya batasan. Jika seandainya bersentuhan itu terdapat batasan (berlapik), maka tidak membatalkan wudhu’.

Imam an-Nawawi berkata; “Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan merupakan hal yang membatalkan wudhu’ kecuali mahram menurut fatwa yang dhahir. Orang yang disentuh sama hukumnya dengan yang menyentuh, menurut fatwa yang adhar. Dan tidak membinasakan wudhu’ jika bersentuhan dengan anak kecil, dengan rambut, dengan gigi dan kuku, menurut pendapat yang lebih shahih.” Imam Al-Mahalliy dalam mensyarah pernyataan imam An-Nawawi di atas, beliau menyampaikan; Adapun dalil dari apa yang disampaikan Imam An-Nawawi adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 6, yaitu أو لامستم النساء dan makna dari sebab yang membatalkan wudhu’ adalah dengan sebab bersentuhnya kulit laki-laki dengan perempuan. Karena hal tersebut merupakan hadhannah (berpotensi) ke hal kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat‎

Sayid Bakar Ibn Sayid Muhammad Syaththan al-Damiyathiyy di dalam kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin Pada Juz 1, memberi batasan bahwa bersentuhan kulit yang mengakibatkan batalnya wudhu’ itu adalah bahwa keadaanya antara laki-laki dengan perempuan, keadaannya dengan orang dewasa, dan bahwa yang bersentuhan itu bukanlah mahram diantara keduanya. Kemudian ia melanjutkan, bahwa keluarlah dari demikian (baca: tidak membatalkan wudhu’) kepada 4 hal: yaitu: 1. Bersentuhan dengan rambut, gigi dan kuku; 2. Bersentuhan antara 2 orang laki-laki atau dua orang perempuan atau 2 orang khuntsa, atau khuntsa dengan laki-laki, atau khuntsa dengan perempuan; 3. Bersentuhan antara anak kecil dengan orang dewasa yang tidak sampai pada batasan syahwat; dan 4. Bersentuhan dengan mahram, sekalipun dalam keadaan ihtimal.

Imam Syafii menyampaikan; “Allah Ta’alai berfirman dalam al-Quran surat Al-Maidah ayat 6: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan debu itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”.

Ayat ini bermaksud; Allah Azza Wajalla menyebutkan wudhuk bagi orang yang berdiri hendak mengerjakan shalat. Maksud yang lebih dominan adalah orang yang berdiri (baca: bangun) dari tidur terlentang. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutkan bersuci dari janabah. Kemudian setelah menyebutkan bersuci dari janabah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu junub, maka mandilah; dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air (toilet/kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.

Ayat yang sama dengan ayat di atas juga termaktub dalam Qs. An-Nisa pada ayat ke 43, sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا 

Artinya: “Hai orang yang beriman, janganlah kamu shalat pada saat kamu sedang mabuk, sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula dalam keadaan junub, kecuali lalu saja di masjid dibolehkan, hingga kamu mandi lebih dahulu. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan, atau dating dari kakus (toilet) atau menyentuh kamu akan perempuan. Kemudian kamu tidak mendapat air (untuk berwudhu’), maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih, maka sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun”.

Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa dilarang shalat dalam keadaan mabuk. Shalat boleh dilaksanakan jika kita sudah mengetahui apa yang kita ucapkan. Ini juga berate dilarang shalat dalam keadaan hialng akal. Hilang akal yang disebabkan mabuk akan membatalkan wudhu’. Hal ini dikarenakan orang mabuk biasanya tidak tahu apakah ia sudah kencing atau sudah buang angin (baca: kentut) dalam mabuknya itu.

Ayat di atas juga memberi makna bahwa dilarang shalat setelah bersetubuh dengan wanita (istri), kecuali jika sudah mandi. Orang yang habis bersetubuh dibolehkan melalui masjid. Seumpama seseorang yang ingin pulang ke rumahnya yang terletak di belakang masjid. Yang tidak boleh adalah shalat dalam masjid dalam keadaan berjunub.

Dari ayat di atas juga melahirkan hukum bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan (musafir) yang tidak mendapat air, maka boleh bertayamum saja sesuai ketentuan yang telah ditentukan dalam fiqh. Begitu juga setelah buang air, besar atau kecil atau sesudah menyentuh wanita batal wudhu’ dan boleh bertayamum jika tidak mendapatkan air.

Jika dirangkumkan dari makna yang tergantung dalam ayat di atas terkait yang mebatalkan wudhu’ adalah sebagai berikut:
1. Hilang akal
2. Bersetubuh
3. Buang air besar atau kecil‎
4. Menyentuh wanita‎
Inilah dalil yang sangat kuat dari al-Quran yang menyatakan bahwa menyentuh wanita dapat membatalkan wudhu’, artinya tidak boleh melaksanakan shalat sebelum seseorang terlebih dahulu berwudhu’.

Di dalam madzhab Syafi’I ada 5 hal yang dapat mebatalkan wudhu’, yaitu:
1. Keluar sesuatu dari salah satu dua jalan, yaitu qubul dan dubur 
2. Tidur dalam keadaan tidak tetap
3. Hilang akal karena mabuk, sakit atau gila dan lain-lain
4. Bersentuhan laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram
5. Menyentuh kemaluan dengan telapak tangan, baik itu menyentuh kemaluannya sendiri atau orang lain, laki-laki atau perempuan, masih kecil atau sudah dewasa, baik itu untuk orang hidup atau sudah meninggal.

Adapun dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum menyentuh laki-laki akan perempuan ini adalah terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwatha’ Juz I, pada halaman seperti yang telah disebutkan di atas. Berikut dikutip kembali artinya:‎

عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر، أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء. 
Artinya: “Mengabarkan kepadaku Yahya, dari Malik, dari ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya Abdullah bin Umar, beliau berkata: Ciuman laki-laki atas istrinya dan menyentuh ia dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”, maka barang siapa mencium istrinya atau menyentuhnya dengan tangannya maka wajib ia berwudhu”. (HR. Imam Malik)

Dalil Hadits Yang Berkaitan

Jika dilihat dari hadits yang terdapat dalam kitab hadits, terdapat beberapa hadist lain yang berkaitan dengan permasalahan di atas. Namun pertanyaannya kenapa dalam madzhab Syafi’i tidak dijadikan rujukan dalam penetapan hukum ini? Berikut diakhir tulisan ini disampaikan haditsnya beserta tanggapan ulama dalam madzhab syafi’i berkaitan status haditsnya.

1. Terdapat dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
Artinya: “Dari Habib Ibnu Abi Tsabit, dari Urwah dari Sitti ‘Aisyah Rda. Bahwa Nabi Muhammad SAW mencium sebahgaian istrinya, kemudian beliau keluar pergi shalat dan beliau tidak berwudhu lebih dahulu.” (HR. Imam Ahmad)

Hadits Habib bin Abi Tsabit ini adalah hadits dha’if. Adapun yang menyampaikan adalah ulama hadits, seperti Sofyan Tsuri, Yahya bin Sa’id al-Qasim, Abu Bakar an-Naisaburi, Abu Hasan Daruquthni, Abu Bakar al-Baihaqi, dan lain-lain.

Imam Ahmad bin Hanbal yang merawikan hadist ini dan Abu Bakar an-Naisaburi berkata bahwa Habib bin Abi Tsabit telah tersalah dari “cium orang puasa” kepada “cium orang berwudhu’”. Imam Abu Daud berkata: Diriwayatkan oleh Sofyan Tsuri, bahwa Habib bin Abi Tsabit hanya merawikan hadits dari Urwah al-Muzni bukan Urwah bin Zuber. Urwah al-Muzni seorang tidak dikenal (majhul), bahwa hadits yang shahih dari Sitti ‘Aisyah adalah bahwa Nabi mencium istrinya ketika beliau berpuasa. ‎Selanjutnya tersebut dalam kitab Mizanul I’tidal yang dikarang oleh Adz-Dzahabi, bahwa Urwah al-Muzni, guru Habib bin Abi Tsabit adalah seorang Yang tidak dikenal (majhul).‎

2. Kemudian terdapat hadits yang diriwayatkan dari Abu Rauq:
Artinya: “Dari Abu Rauq, diambil dari Ibrahim at-Taimi, diambilnya dari Sitti Aisyah Rda. beliau berkata: Bhawasannya Nabi Muhammad SAW adalah mencium (istrinya) sesudah berwudhu’. Kemudian beliau tidak mengulang wudhu’nya lagi.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Rauq, ia adalah orang yang dha’if. Beliau didhaifkan oleh Ibnu Mu’in. Dalam hadits ini dikatakan bahwa Ibrahim at-Taimi mengambil hadits dari Ummil Mu’minin Sitti ‘Aisyah. Ini adalah keliru, karena Ibrahim at-Taimi tidak pernah berjumpa dengan Sitti ‘Aisyah. Ia adalah seorang Tabi’ Tabi’in bukan Tabi’in. Jadi hadits ini adalah hadits “mursal, sama derajatnya dengan hadits dha’if, karena ada sanad yang hilang antara Ibrahim at-Taimi dengan Sitti ‘Aisyah. Imam Abu Hatim berkata; Ibrahim at-Taimi banyak mengeluarkan hadits mungkar. Berkata Imam Bukhari; Haditsnya tidak tsabit (tidak tetap). Selanjutnya Imam Daruquthni berkata Ia dha’if.‎

3. Selanjutnya terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
Artinya: “Dari Abu Qatadah al-Anshari, bahwasannya Rasulullah SAW shalat sedang memikul Umamah binti Zainab binti Rasulullah SAW. Manakala beliau sujud, beliau letakkan anak itu dan manakala beliau berdiri, beliau gendong anak itu. ”(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika dilihat dari hadits ini bahwa Nabi menggendong ana perempuan yaitu Umamah binti Zainab yang waktu itu dia masih kecil. Dan bersentuhan dengan anak kecil memang tidak membatalkan wudhu’. Kemudian anak ini adalah cucu Nabi, karena ibunya Zainab adalah anak Nabi Muhammad SAW. Dan bersentuhan dengan cucu tidak membatalkan wudhu’.

Selanjutnya jika dilihat lagi, menggendong anak kecil belum tentu Nabi bersinggungan dengan kulitnya, dan dimungkinkan anak itu terlapisi dengan kain. Dan bahkan sebahagian ulama ada yang menyatakan hadits ini tidak dipakai lagi, dalam arti sudah mansukh karena bekerja dalam sembahyang.

4. Kemudian terdapat dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari juga disebutkan:
Artinya: “Dari Sitti ‘Aisyah Rda. beliau berkata: Adalah aku tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku di pihak kiblat. Apabila beliau sujud ia tolak kakiku (dengan tangannya), maka saya tarik kakiku, dan apabila beliau telah berdiri saya luruskan kembali”.(HR. Bukhari)‎

Pada hadits ini terdapat “ihtimal”, yatitu boleh jadi di dalamnya. Boleh jadi Nabi menolak kaki Ummulmu’minin di balik kain atau dibalik kaus kaki, karena kebiasaan wanita Arab memakai celana panjang kalau tidur. Tidak ada dalam hadits ini bahwa antara tangan Nabi dan kulit Sitti ‘Aisyah bersentuhan, yang ada bahwa beliau menolak kakinya.

Karena hadits ini mengandung “ihtimal”, maka menurut ilmu ushul fiqh tidak bisa dijadikan hujjah dalam penetapan hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Imam An-Nawawi:

“Dan menurut fatwa jumhur ulama (ulama-ulama yang banyak dan kenamaan), bahwasannya bersentuhan wanita membinasakan wudgu’. Mereka meletakkan hadits ini, bahwa Nabi Muhammad SAW. menyentuh Sitti ‘Aisyah Rda. dibalik kain, maka hadits ini menjadi tidak membuktikan atas tidak batalnya wudhu’ apabila menyentuh kulit wanita”.

Di dalam kaedah usuhul fiqh disebutkan:

الدليل اذا طرقة الإحتمال سقط به الإستدلال 

Artinya: “Dalil-dalil yang mengandung “ihtimal” (boleh jadi) maka gugurlah (tidak boleh lagi dipakai) menjadi dalil” 

5. Terdapat juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

Artinya: “Dan Ummulmu’minin Sitti ‘Aisyah Rda. beliau berkata: Saya kehilangan Rasulullah SAW. ketika tidur, maka saya berdiri mencari beliau. Maka jatuhlah tangan saya pada jantung tumit beliau. Ketika beliau selesai shalat lantar berkata; Datang kepadamu syaithanmu.” (HR. Imam Muslim)

Hadits ini sama dengan hadits di atas, yaitu sama-sama mengantung “ihtimal”, tidak nash yang nyata, bahwa Sitti ‘Aisyah langsung menyentuh kulit Nabi. Boleh jadi persentuhan itu terjadi di balik kain atau terdinding oleh kain. Imam An-Nawawi menyampaikan tentang hadits ini sebagai berikut:

“Dan jawaban atas hadits Sitti ‘Aisyah ini, tentang jatuhnya tangan beliau ke tumit Nabi, bahwa hal itu boleh jadi berdinding dengan kain”.

Demikian hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum menyentuh wanita bagi seorang laki-laki dalam keadaan berwudhu, yang dalam madzhab syafi’i tidak digunakan sebagai dalil hukum dalam penetapan hukum seorang suami menyentuh istrinya atau sebaliknya. Seperti telah disebutkan di atas, terdapat beberapa faktor sehiingga tidak dijadikan hujjah dalam penetapan hukum.

Demikian tulisan ini dibuat, hendaknya bermanfaat dan menambah wawasan kita terkait persoalan ini. Dan semoga tulisan ini tidak menjadikan kita berdebat akibat perbedaan pandangan dalam hal ini. In syaa Allah di artikel selanjutnya akan dibahas pandangan madzhab yang lain, terutama madzhab yang empat (Hanafi, Maliki dan Hanbali) terkait persoalan ini secara detail, serta apa dalil yang digunakan dalam penetapan hukumnya.

Akhirnya kepada Allah penulis mohon ampun, kepada saudaraku semua penulis mohon maaf. Semoga kita terus diberi hidayah oleh Nya, dan tentunya diberikan ilmu syariat yang bisa menghantarkan kita kepada Nya. Amin‎

Hukum Mencium Tangan Ulama Dan Orang Yang Dihormati


Di Indonesia, mencium tangan merupakan kebiasaan (‘urf) yang ma’ruf beredar di tengah masyarakat, terutama ditujukan kepada orang tua atau sebagian guru yang mempunyai keutamaan. Ada sebagian ikhwan yang mengingkari perbuatan ini dan menganggapnya sebagai tindakan ghulluw (berlebih-lebihan) dan bid’ah, tidak ada contohnya dari kalangan salaf.
Jika kita dudukkan permasalahan secara lebih arif, segala macam ‘urf itu diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syari’at. ‎

Inilah Tradisi Ketimuran sebagai simbol penghormatan kepada yg lebih tua, baik dalam kedudukan maupun dalam Nasabnya. Mencium tangan para ulama merupakan perbuatan yang dianjurkan agama. Karena perbuatan itu merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada mereka.

Ada nash yang menunjukkan kebolehan mencium tangan orang lain sebagai satu tanda penghormatan. Di antaranya :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نَصْرٍ التَّمَّارُ قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ الْمَخْزُومِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ رَزِينٍ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، قَالَ: " بَايَعْتُ بِيَدِي هَذِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَاهَا، فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ "
Telah menceritakan Ahmad bin Al-Hasan bin ‘Abdil-Jabbaar Ash-Shuufiy di baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr At-Tammaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid Al-Makhzuumiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Raziin, dari Salamah bin Al-Akwaa’, ia berkata : “Aku berbaiat kepada Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tanganku ini, lalu kami menciumnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr bin Al-Muqri’ dalam Ar-Rukhshah fii Taqbiilil-Yadd no. 12; hasan].
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَطَّافُ بْنُ خَالِدٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ رَزِينٍ، قَالَ: " مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ، فَقِيلَ لَنَا: هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الأَكْوَعِ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ، فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Maryam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aththaaf bin Khaalid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Raziin, ia berkata : “Kami pernah melewati daerah Rabadzah. Lalu dikatakan kepada kami : “Itu dia Salamah bin Al-Akwa’”. Maka kami mendatanginya dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia mengeluarkan kedua tangannya dan berkata : “Aku berbaiat kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan kedua tanganku ini”. Ia mengeluarkan kedua telapak tangannya yang besar yang seperti tapak onta. Kami pun berdiri, lalu menciumnya (tangan Salamah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 973].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ، نَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ النَّيْسَابُورِيُّ، نَا الْحَسَنُ بْنُ عِيسَى، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، عَنْ دَاوُدَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ: " رَكِبَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، فَأَخَذَ ابْنَ عَبَّاسٍ بِرِكَابِهِ، فَقَالَ لَهُ: لا تَفْعَلْ يَا ابْنَ عَمِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا، فَقَالَ زَيْدٌ: أَرِنِي يَدَكَ، فَأَخْرَجَ يَدَهُ، فَقَبَّلَهَا زَيْدٌ، وَقَالَ: هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ بِأَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Muhammad An-Naisaabuuriy : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Hasan bin ‘Iisaa, dari Ibnul-Mubaarak, dari Daawud, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Zaid bin Tsaabit pernah mengendarai hewan tunggangannya, lalu Ibnu ‘Abbaas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Zaid berkata : “Jangan engkau lakukan wahai anak paman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Ibnu ‘Abbaas berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ulama kami”. Zaid berkata : “Kemarikanlah tanganmu”. Lalu Ibnu ‘Abbaas mengeluarkan tangannya, kemudian Zaid menciumnya dan berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ahli bait Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Abu Bakr Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah wa Jawaahirul-‘Ilm 4/146-147 no. 1314; dihasankan oleh Masyhuur Hasan Salmaan dalam takhrij-nya atas kitab tersebut].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas dan Zaid : “beginilah kami diperintahkan…..”, menunjukkan hukum ‎marfu’ atas riwayat ini.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ زِيَادِ بْنِ فَيَّاضٍ، عَنْ تَمِيمِ بْنِ سَلَمَةَ، أَنَّ أَبَا عُبَيْدَةَ قَبَّلَ يَدَ عُمَرَ ، قَالَ تَمِيمٌ: وَالْقُبْلَةُ سُنَّةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Ziyaad bin Fayyaadl, dari Tamiim bin Salamah : Bahwasannya Abu ‘Ubaidah (bin Al-Jarraah) pernah mencium tangan ‘Umar”. Tamiim berkata : “Ciuman (tangan) adalah sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 26611 dan dalam Al-Adab no. 4; dla’iif, namun perkataan Tamiim bahwa ciuman tangan adalah sunnah, shahih].‎
Tamiim adalah seorang tsiqah dari kalangan ulama tabi’iin pertengahan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ الصَّائِغُ، ثنا سَعِيدٌ، ثنا سُفْيَانُ، عَنْ مَالِكِ بْنِ مِغْوَلٍ، عَنْ طَلْحَةَ، " أَنَّهُ قَبَّلَ يَدَ خَيْثَمَةَ ".قَالَ مَالِكٌ: وَقَبَّلَ طَلْحَةُ يَدِي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Aliy Ash-Shaaigh : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid (bin Manshuur) : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan (bin ‘Uyainah), dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah : Bahwasannya ia mencium tangan Khaitsamah. Maalik berkata : “Dan Thalhah mencium tanganku” [Diriwayatkan oleh Ibnul-‘Arabiy dalam Al-Qubal no. 6; shahih].
Maalik bin Mighwal adalah seorang tsiqah dari kalangan kibaaru atbaa’it-taabi’iin. Thalhah bin Musharrif adalah seorang yag tsiqah, qari’, lagi mempunyai keutamaan dari kalangan ulama ‎shighaarut-taabi’iin.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيَّ، يَقُولُ: " لا بَأْسَ بِهَا لِلْإِمَامِ الْعَادِلِ، وَأَكْرَهُهَا عَلَى دُنْيَا "
Dari ‘Aliy bin Tsaabit, ia berkata : Aku mendengar Sufyaan Ats-Tsauriy berkata : “Tidak mengapa dengannya (yaitu mencium tangan) terhadap imam yang adil, namun aku membencinya jika dilandasi alasan dunia” [Al-Wara’, no. 479; shahih].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata :
سألت أبا عبد الله عن قبلة اليد فلم ير به بأسا على طريق التدين ،وكرهها على طريق الدنيا
“Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang mencium tangan, maka ia memandang hal itu tidak mengapa jika dilakukan karena alasan agama, dan ia memakruhkan jika dilakukan karena alasan keduniaan” [Al-Wara’, no. 476].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
تَقْبِيل يَد الرَّجُل لِزُهْدِهِ وَصَلَاحه أَوْ عِلْمه أَوْ شَرَفه أَوْ صِيَانَته أَوْ نَحْو ذَلِكَ مِنْ الْأُمُور الدِّينِيَّة لَا يُكْرَه بَلْ يُسْتَحَبّ ، فَإِنْ كَانَ لِغِنَاهُ أَوْ شَوْكَته أَوْ جَاهه عِنْد أَهْل الدُّنْيَا فَمَكْرُوه شَدِيد الْكَرَاهَة وَقَالَ أَبُو سَعِيد الْمُتَوَلِّي : لَا يَجُوز
“Mencium tangan seorang laki-laki dikarenakan kezuhudan, keshalihan, ilmu yang dimiliki, kemuliaannya, penjagaannya, atau yang lainnya dari perkara-perkara agama tidaklah dibenci, bahkan disukai. Namun apabila hal itu dilakukan karena faktor kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya di mata orang-orang, maka hal itu sangat dibenci. Dan berkata Abu Sa’iid Al-Mutawalliy : ‘Tidak diperbolehkan” [Fathul-Baariy, 11/57].

Asy-Syaikh Ibnul-Jibriin rahimahullah berkata :

نرى جواز ذلك إذا كان على وجه الاحترام والتوقير للوالدين والعلماء وذوي الفضل وكبار الأسنان من الأقارب ونحوهم، وقد ألف في ذلك ابن الأعرابي رسالة في أحكام تقبيل اليد ونحوها، فليرجع إليها، ومتى كان هذا التقبيل للأقارب المُسنين وذوي الفضل فإنه يكون احترامًا ولا يكون تذللا ولا يكون تعظيمًا، وقد رأينا بعض مشائخنا يُنكرون ذلك ويمنعونه، وذلك منهم من باب التواضع لا لتحريمه فيما يظهر. والله أعلم

“Kami berpendapat bolehnya hal itu, apabila tujuannya untuk menghormati dan menghargai kedua orang tua, ulama, orang terhormat dan yang berusia lanjut dari karib kerabat dan yang lain. Ibnul-‘Arabiy telah menulis tentang hal itu tentang hukum mencium tangan dan semisalnya. Maka dipersilakan merujuk kepadanya. Apabila mencium tangan ini ditujukan kepada karib kerabat yang berusia lanjut dan orang yang mempunyai keutamaan (ulama) maka hal itu untuk menghormati, bukan merupakan perendahan diri dan pengagungan kepadanya. Kami telah melihat sebagian guru kami mengingkari hal itu dan melarangnya. Hal itu karena sifat tawadlu' dari mereka, bukan karena mengharamkannya. ‎Wallahu a'lam 

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam Sunannya (juz II halaman 523, hadits nomor 524, cetakan ke I tahun 1410 H - 1990 M, Daar al Fikr Beirut Lebanon)dan Imam Thabrani dalam al Mu'jam al Ausathnya (juz I halaman 424, hadits nomor 425, maktabah syamilah), Sanad dan matannya sbb (al Mu'jam al Ausath) :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خُلَيْدٍ ، قَالَ : نا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى الطَّبَّاعُ ، قَالَ : نا مَطَرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الأَعْنَقُ ، عَنْ أُمِّ أَبَانَ بِنْتِ الْوَازِعِبْنِ الزَّارِعِ ، عَنْ جَدِّهَا الزَّارِعِ ، وَكَانَ فِي وَفْدِ عَبْدِ الْقَيْسِ قَالَ : لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ ، جَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا ، فَنُقَبِّلُ يَدَيِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَيْهِ 

Telah menceritakan kami, Ahmad bin Khulaid, berkata, telah menceritakan kami, Muhammad bin Isa ath thabba', berkata, telah menceritakan kami Abdurrahman al A'naq, dari Ummu Aban bin al Wazi' bin al Zari', dari kakeknya, al Zari' dan beliau menjadi salah satu delegasi suku Abdil Qais, beliau berkata, Ketika sampai di Madinah kami bersegera turun dari kendaraan kami, lalu kami mengecup tangan dan kaki Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam 

Atas dasar hadits ini, para ulama mensunnahkan mencium tangan para habaib, para kiyai, para ustadz dan para guru serta orang-orang yang kita hormati. 

Imam Nawawi berkata dalam kitab Raudhah juz X halaman 36, cetakan al Maktab al islami tahun 1412 H -1991 M) berkata:

وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ ، فَإِنْ كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ ، فَمُسْتَحَبٌّ ، وَإِنْ كَانَ لِدُنْيَاهُ وَثَرْوَتِهِ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ ، فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ

Adapun mencium tangan, jika karena kezuhudan dan kesalehan orangnya, atau karena ilmunya, atau mulianya, atau karena dia menjaga perkara keagamaan, maka hukumnya MUSTAHAB (disunnahkan) Dan apabila karena dunianya, kekayaannya dan kepangkatannya dsb, maka hukumnya sangat MAKRUH. 

1. Yang dimaksud mencium tangan dalam ibarah di atas (ta’bir pertama) mencium tangan dengan bibir dan ini sunnah karena yang dimakruhkan adalah mencium kepala serta wajah saat bertemu meskipun orang yang mencium/yang dicium adalah orang shalih.

2. Kesunnahan mushofahah itu hanya berlaku bagi dua orang yang sama jenisnya, dan tidak berlaku bagi kedua orang yang berlainan jenis meskipun ia seorang yang shalih. Syaikh Ismail az-Azzain ditanya tentang seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan perempuan, bagaimanakah hukumnya?, dan jika haram, apakah dalam persoalan ini ada pengecualian?. Beliau menjawab:

 ان ذلك اذا كان بغير حائل حرام مطلقا من غير استثناء , فان كان بحائل جاز ما لم يثر شهوة اه__: 207

"Jika jabat tangan tersebut tidak menggunakan penghalang (hail) hukumnya haram secara mutlak, jika menggunakan penghalang maka boleh selama tidak membangkitkan syahwat”. [Qurratul ‘Ain, hal, 207].

Walhasil, mencium tangan seseorang sebagai satu tanda penghormatan kita terhadapnya (misal : orang tua, suami, guru, ulama, dan yang semisalnya) adalah diperbolehkan dengan rambu-rambu syar’iy yang telah dijelaskan para ulama di atas.

Membongkokkan atau menundukkan badan sebagai penghormatan

Hadis daripada Anas B. Malik radhiyallahu ‘anhu, Kami bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِي بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ لَا قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لَا وَلَكِنْ تَصَافَحُوا

“Wahai Rasulullah, adakah sebahagian kami boleh membongkokkan (atau menundukkan) badan kepada sebahagian yang lain (yang ditemui)?” Rasulullah bersabda, “Tidak boleh.” Kami bertanya lagi, “Adakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?” Beliau bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaklah kalian saling bersalaman.” (Sunan Ibnu Majah, no. 3692).

Anas B. Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ

“Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, adakah kami boleh saling menundukkan (atau membongkokkan) badan apabila salah seorang dari kami bertemu dengan saudaranya atau sahabatnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Lelaki tersebut bertanya lagi, “Adakah boleh mendakapnya (memeluknya) dan menciumnya?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Lelaki itu bertanya lagi, “Adakah boleh mengambil tangannya dan bersalaman dengannya?” Rasulullah menjawab, “Ya.”.” (Sunan at-Tirmidzi, no. 2728).

Imam al-Qurthubi rahimahullah (Wafat: 671H) berkara:

وَرَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ: قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِي بَعْضُنَا إِلَى بَعْضٍ إِذَا الْتَقَيْنَا؟ قَالَ:" لَا"، قُلْنَا: أَفَيَعْتَنِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا؟ قَالَ" لَا". قُلْنَا: أَفَيُصَافِحُ بَعْضُنَا بَعْضًا؟ قَالَ" نَعَمْ"

Diriwayatkan daripada Anas B. Malik, beliau berkata, “Kami bertanya:

“Wahai Rasulullah bolehkah kami saling membongkokkan (menundukkan) badan apabila kami bertemu?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Anas bertanya, “Untuk saling berpelukan di antara satu dengan lain?” Rasulullah menjawab, “Tidak.” Anas bertanya lagi, “Dengan saling bersalaman di antara satu dengan yang lain?” Rasulullah menjawab, “Ya.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/265)

Imam al-Qurthubi mengatakan:

وَإِذَا سَلَّمَ فَإِنَّهُ لَا يَنْحَنِي، وَلَا أَنْ يُقَبِّلَ مَعَ السَّلَامِ يَدَهُ، وَلِأَنَّ الِانْحِنَاءَ عَلَى مَعْنَى التَّوَاضُعِ لَا يَنْبَغِي إِلَّا لِلَّهِ. وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ فَإِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْأَعَاجِمِ، وَلَا يُتَّبَعُونَ عَلَى أَفْعَالِهِمُ الَّتِي أَحْدَثُوهَا تَعْظِيمًا مِنْهُمْ لِكُبَرَائِهِمْ

“Tidak boleh bersalaman (atau menghulur tangan) diiringi dengan membongkokkan badan dan mencium tangan. Membongkokkan badan dalam maksud atau tujuan kerendahan hati hanya boleh ditujukan kepada Allah (Subhanahu wa Ta’ala). Adapun mencium tangan, itu adalah perbuatan orang-orang ajam (selain ‘Arab) yang dilakukan dengan maksud memuliakan orang-orang tuanya.” (Tafsir al-Qurthubi, 9/266)

Dibolehkan mencium tangan dari kalangan ulama (orang-orang soleh dan berilmu) dengan beberapa syarat. (Ulama yang dimaksudkan adalah ulama Ahlu Sunnah wal-Jama’ah). 

[Pertama] Antaranya tidak dijadikan sebagai kebiasaan, kerana para sahabat Nabi sendiri tidak biasa mencium tangan Nabi. Dan orang yang dicium tangannya tersebut tidak menghulurkan tangannya supaya dicium.

[Kedua] Tidak menjadikan orang yang dicium tangannya tersebut riya’, sombong, dan merasa lebih baik dari yang lain.

[Ketiga] Tidak menghilangkan sunnah bersalaman tangan sebagaimana biasa yang dianjurkan oleh Sunnah Rasulullah. (Rujuk Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah, 1/159)

Adapun perbuatan saling berpelukan (berdakapan) dibenarkan apabila pulang dari musafir atau setelah lama tidak bertemu. Tetapi jika menjadikan ianya sebagai kebiasaan (selain dari ketika balik safar), maka tidak dibolehkan (makruh). Ini sebagaimana diriwayatkan dari amalan para sahabat Nabi.

كان أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إذا تلاقوا تصافحوا، و إذا قدموا من سفر تعانقوا

“Bahawasanya para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apabila bertemu mereka saling bersalaman, dan apabila pulang dari safar (bermusafir), mereka saling berpelukan.” (Majma’ az-Zawa’id, 8/75. Kata al-Haitsami, “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath dan para perawinya adalah perawi kitab ash-Shahih)".

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Tidaklah dua orang muslim yang bertemu kemudian saling bersalaman melainkan dosa keduanya akan diampunkan (oleh Allah) sebelum ia berpisah.” (Musnad Ahmad, no. 18547. Sunan Abu Daud, no. 5212. Sunan at-Tirmidzi, no. 2727. Sunan Ibnu Majah, no. 3693).

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...